Anda di halaman 1dari 26

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.

id

BAB II. LANDASAN TEORI

A. Tinjauan Pustaka

1. ASMA
1.1. Pengertian
Asma adalah gangguan inflamsi kronik saluran nafas yang melibatkan banyak sel
dan elemennya.Inflamasi kronik menyebabkan peningkatan hiperesponsif jalan
nafas yang menimbulkan gejala episodik berulang berupa mengi, sesak nafas,
dada terasa berat dan batuk-batuk terutama malam dan atau dini hari.Episodik
tersebut berhubungan dengan obstruksi jalan napas yang luas, bervariasi dan
seringkali bersifat reversibel dengan atau tanpa pengobatan (GINA, 2002;
NHLBI, 2008).
1.2. Penyebab
Penyebab asma sampai sekarang belum diketahui pasti.Telah
banyakpenelitian yang dilakukan oleh para ahli dibidang asma untuk
menerangkan sebab terjadinya asma, namun belum ada teori ataupun hipotesis
yang dapat diterima atau disepakati para ahli (GINA, 2002).
a. Faktor predisposisi
Genetik merupakan faktor pendukung timbulnya asma. Bakat alergi merupakan
hal yang diturunkan, meskipun belum diketahui bagaimana cara penurunannya
yang jelas. Bakat alergi ini membuat pasien sangat mudah terkena penyakit asma
jika terpapar faktor pencetus. Pasien biasanya mempunyai keluarga dekat yang
juga menderita penyakit alergi. Apabila kedua orang tua memiliki riwayat
penyakit asma maka hampir 50% dari anak-anaknya memiliki kecenderungan
asma, sedangkan jika hanya salah satu orang tuanya yang menderita asma maka
kecenderungannya hanya 35% (GINA,2002)).
b. Faktor Presipitasi
Menurut (NHLBI, 2008), beberapa faktor yang mencetuskan serangan asma, yaitu
:1. Faktor Presipitasi dapat dibagi menjadi 3 jenis, yaitu :
commit to user

5
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

1) Inhalan : masuk melalui saluran pernapasan.misal : debu, serbuk bunga, bulu


binatang,polusi, asap rokok.
2) Ingestan : masuk melalui mulut. misal : makanan dan obat-obatan.
3) Kontaktan: masuk melalui kontak dengan kulit.misal : perhiasan, logam, jam
2. Stres atau gangguan emosi
Stres atau tekanan jiwa bukan penyebab asma tetapi menjadi pencetus
serangan asma, karena banyak orang yang mengalami stres atau mendapat
tekanan jiwa tetapi tidak menjadi asma. Stres atau gangguan emosi bahkan
dapat memperberat serangan asma yang sudah ada.
3. Lingkungan Kerja
Serangan asma yang timbul berhubungan langsung dengan lingkungan kerja
penderita,misalnya polisi lalu lintas, pekerja pabrik asbes, pekerja industri
tekstil. Gejala ini membaik pada waktu libur atau cuti.
4. Perubahan Cuaca
Cuaca lembab dan udara dingin juga dapat mempengaruhi asma.Terkadang
serangan asma berhubungan dengan musim.
5. Olahraga
Serangan asma timbul pada sebagian besar penderita jika melakukan aktivitas
jasmani atau olahraga berat.Serangan asma karena aktivitas biasanya terjadi
setelah selesai aktivitas tersebut.
6. Infeksi saluran pernapasan

1.3. Klasifikasi Asma


a. Berdasarkan berat ringan gejala
Asma dapat dibagi dalam 4 tahap menurut berat ringannya gejala, yaitu asma
intermiten, asma persisten ringan, asma persisten sedang, dan asma persisten berat
(GINA, 2002)

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Klasifikasi asma berdasarkan Berat Ringannya Gejala

DERAJAT INTENSITAS INTENSITAS


MUNCULNYA GEJALA MUNCULNYA
GEJALA PD MALAM
HARI

Intermiten Gejala 1x/minggu < 2x dalam sebulan

Persisten Sedang a.Gejala setiap hari > 1x seminggu

b.Aktifitas& tidur
terganggu

c.Membutuhkan obat tiap


hari

Persisten Berat a.Gejala kontinyu Sering

b.Aktifitas fisik terbatas

b. Berdasarkan serangan asma


Klasifikasi ini mencerminkan berbagai kelainan patologi yang menyebabkan
gangguan aliran udara serta mempunyai dampak terhadap pengobatan.Serangan
asma ringan kadang-kadang, tidak terdapat atau ada hiperreaktivitas bronkus yang
ringan.Serangan asma persisten sering dan terdapat hipereaktivitas bronkus.Pasien
asma berat mempunyai saluran pernafasan yang sensitif, berisiko tinggi untuk
mengalami eksaserbasi tiba-tiba yang berat dan mengancam jiwa (GINA, 2002).

1.4. Tanda dan Gejala


Kejadian utama pada serangan asma adalah obstruksi jalan napas secara
luas yang merupakan kombinasi dari spasme otot polos bronkus, edema mukosa
karena sumbatan mukus. Tanda serangan asma yang dapat kita ketahui adalah
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

napas cepat, merasa cemas dan ketakutan, tak sanggup bicara lebih dari 1-2 kata
setiap kali tarik napas, dada dan leher tampak mencekung bila tarik napas, bibir/
jari tampak berwarna biru (NIH, 2002).
Tiga gejala yang sering muncul pada asma adalah sesak napas, napas
bunyi/ wheezing, batuk-batuk terutama malam hari, saluran nafas menyempit
(bronkospasme). Tingkat keparahan serangan asma tergantung pada tingkat
obstruksi saluran napas, kadar saturasi oksigen, pembawaan pola napas,
perubahan status mental, dan bagaimana tanggapan pasien terhadap status
pernapasannya (NIH 2002).

1.5. Patofisiologi
Asma merupakan obstruksi jalan napas yang reversibel.Obstruksi tersebut
dapat disebabkan oleh faktor berikut, seperti penyempitan jalan napas;
pembengkakan membran pada bronkus; pengisian bronkus dengan mucus
kental.Berbagai sel mediator inflamasi terlibat dalam patogenesis penyakit ini.
Hubungan antara inflamasi dan gejala klinis masih kontroversial. Diduga terdapat
beberapa faktor ikut menentukan derajat asma antara lain perubahan struktur
saluran napas, infiltrasi neutrofil dan mekanisme neural (Mangunnegoro,
Syafiudin, Yunus, 2003). Inflamasi asma dibagi menjadi inflamasi akut dan
inflamasi kronis. Inflamasi akut terdiri dari reaksi fase cepat dan reaksi fase
lambat.
a. Reaksi fase cepat
Reaksi fase cepat diawali oleh aktivasi sel-sel yang berhubungan dengan alergen
dan Ig E spesifik. Alergen akan terikat pada Ig E yang menempel pada sel mast
dan atau basofil, yang mana ini menyebabkan degranulasi sel mast dan basofil.
Degranulasi tersebut mengeluarkan mediator seperti histamin dan prostaglandin
yang menyebabkan kontraksi otot polos bronkus, hipersekresi mukosa dan
vasodilatasi (Bousquet et al., 2000; Broide, 2001).
Mediator inflamasi tersebut menyebabkan kebocoran dan eksudasi plasma
kedalam saluran napas. Kebocoran protein plasma dapat menyebabkan edema dan
penebalan dinding saluran napascommit to user
sehingga terjadi penyempitan saluran napas.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Secara bersama-sama semua efek diatas menyebabkan obstruksi saluran napas


(NHLBI, 2008; Bousqet et al., 2000).Gejala klinik sesak napas pada reaksi cepat
ini terjadi beberapa menit setelah pajanan alergen dan berakhir setelah 1-2 jam
(Sundaru, 2002).
b. Reaksi fase lambat
Reaksi ini mulai tampak 2-4 jam setelah pajanan alergen dan mencapai puncaknya
antara jam ke 4 sampai ke 8 (Bousquet et al., 2000; Sundaru, 2001). Gejala asma
yang terjadi lebih berat dan lebih lama berupa sesak napas, wheezing dan napas
pendek, biasanya tidak menetap untuk selama lebih dari satu hari. Mediator yang
dikeluarkan pada fase cepat akan menarik dan mengaktivasi sel-sel inflamasi
termasuk eosinofil dan limfosit T kearah terjadinya reaksi alergi di saluran napas.
Sel eosinofil yang bermigrasi ke saluran napas teraktivasi dan mengeluarkan
mediator inflamasi yaitu sitokin, kemokin, Eosinophilic Cationic Protein (ECP).
Selanjutnya terjadi proses inflamasi kronik (NHLBI, 2008; Bousquet et al., 2000).
Inflamasi kronik
Asma merupakan inflamasi kronik saluran napas. Faktor lingkungan dan
berbagai faktor lain berperan sebagai penyebab atau pencetus inflamasi saluran
napas pada pasien asma. Inflamasi dapat ditemukan pada berbagai bentuk asma
seperti asma alergik, asma non alergik, asma kerja (Hadiarto dkk, 2006).
Inflamasi kronik yang terjadi lebih kompleks oleh karena seluruh sel
saluran napas teraktivasi. Berbagai sel yang terlibat dan teraktivasi pada inflamasi
kronik adalah limfosit T, eosinofil, makrofag, netrofil, sel mast, epitel, sel otot
polos bronkus (NHLBI, 2008 ; Bousquet et al., 2000; Barneset al.,1998; Holt et
al., 1999). Inflamasi kronik terjadi akibat eksaserbasi inflamasi akut yang
disebabkan oleh virus atau pajanan alergen seperti stres sehingga dapat
menimbulkan remodelling saluran napas. Eosinofil memegang peran utama
sebagai efektor pelepasan mediator proinflamasi, mediator sitokin yang
menyebabkan kebocoran vaskuler, hipereaktivitas bronkus. Sel-sel ini terlibat
dalam regulasi inflamasi saluran napas dan mengawali proses airway remodelling
dengan pelepasan sitokin dan growth factors (NHLBI, 2008; Sundaru, 2002;
Bousquet et al., 2000). commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

10

Kontrol saraf saluran napas


Aktivasi serabut saraf parasimpatis kolinergik yang menginervasi otot polos
bronkus, menyebabkan bronkokonstriksi. Otot polos jalan napas pada manusia
secara fungsional tidak diinervasi oleh akson adrenergik, tetapi pada kelenjar
submukosa, pembuluh darah bronkus dan ganglia jalan napas diinervasi oleh
serabut saraf adrenergik (Zobeiri et al., 2009).
Pada penderita asma, mempunyai karakteristik bahwa mereka
hiporesponsif terhadap α dan β adrenergik dan hiperesponsif terhadap kolinergik
(Zobeiriet al., 2009). Pada organ paru aktivasi simpatetik memudahkan dilatasi
bronkus melalui otot polos pembuluh darah dan kelenjar submukosa
(Chen&Miller, 2007).
Studi tentang interaksi antara otak dan imun menyatakan bahwa ada
hubungan dua arah antara sistem neural dan neuroendokrin dan sistem imun.
Melalui jalur neural dan neuroendokrin sistem saraf pusat mengatur sistem imun
dan sebaliknya, signal dari sistem imun bisa mempengaruhi otak melalui neural
dan neuroendokrin. Organ imun diinervasi oleh sistem saraf simpatis dan sel-sel
imun mengeluarkan reseptor untuk neurotransmiter termasuk katekolamin,
neuropeptida dan hormon- horman diantaranya hypothalamic-pituitary
adrenal(HPA), hypothalamic-pituitary-gonadal (HPG), hypothalamic-pituitary-
thyroid (HPT), and the hypothalamicgrowth-hormone.Di samping itu, sistem saraf
simpatis melalui nervus vagus mempunyai peranan pada hubungan dua arah
antara sistem neural dan neuroendokrin dan sistem imun tersebut. Melalui jalur
ini, sistem saraf dan endokrin secara langsung dapat mempengaruhi sistem imun
(Marques, Cizza &Sternberg, 2007).
Sebuah bukti penting mendukung peranan mekanisme kompleks neural
dan perubahan kontrol sistem saraf otonom pada patofisiologi dan simtomatologi
asma. Pertimbangan terbaru dalam bidang psikoneuroimunologi, menghubungkan
antara stres psikososial, sistem saraf pusat dan perubahan dalam fungsi imun dan
endokrin menghasilkan jalur biologi yang masuk akal diduga dimana stres
berdampak pada tanda-tanda asma.Stresor psikologis, seperti rasa senang, takut
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

11

dan marah telah dikenal pula sebagai pemicu asma (Wrigh, Rodriquez &Cohen ,
1998).
Pendapat bahwa stres psikologis mempengaruhi kontrol otonom jalan
napas didasarkan terutama pada kenyataan bahwa banyak mekanisme otonom
yang dianggap memainkan peran pada asma dilibatkan dalam aktivasi dan
pengaturan respons fisiologis terhadap stres. Mekanisme tersebut meliputi :
1. Pelepasan mediator sistem saraf simpatik
2. Kerja dari adrenergik (simpatetik) dan kolinergik (parasimpatetik)
3. Kerja neurotransmiter dan neuropeptida yang dihasilkan adrenergik dan
kolinergik(Wrigh, Rodriquez & Cohen, 1998)
Stresor mempunyai kemampuan untuk mengaktifkan SNS (Sympathetic
Nervous System). Stimulasi SNS menghasilkan pelepasan sistemik epinefrin dari
medulla adrenal, demikian juga serabut noreadrenergik yang mensyarafi jaringan
paru dan limfoid. Reseptor adrenergik berada pada sel T dan B, reseptor tersebut
dapat mengatur beragam bentuk respons humoral yang terlibat dalam asma
meliputi pelepasan IL-4, IL-5 dan IL-13 mengikuti paparan alergen, pelepasan
histamin oleh aktivasi sel mast, perekrutan eosinofil dan aktivasi eosinofil di
jalan napas. Aktivasi PNS akan menyebabkan pelepasan neurotransmiter
asetilkolin yang menyebabkan bronkokonstriksi dan seksresi mukus (Surjanto dan
Sutanto, 2009).
Stres secara khusus menurunkan aktivitas parasimpatik pada individu
sehat. Beberapa peneliti mempunyai dalil bahwa pada pasien asma, stres
dihubungkan dengan hiperresponsif parasimpatik dan jalur α-simpatetik.
Untuk mempengaruhi proses inflamasi di saluran napas, stresor harus
dinilai sebagai hal yang mengancam dan tidak dapat diatasi. Pola atau bentuk
penilaian seperti itu menyebabkan peningkatan emosi yang negatif (seperti marah,
takut, malu) dan menurunkan emosi yang positif (seperti keteguhan, senang,
kalem). Proses emosi dan kognitif ini akan mensensitisasi jalur Th-2, menuju ke
peningkatan frekuensi, durasi dan keparahan gejala (Chen & Miller, 2007).

1.6. Penatalaksanaan commit to user


perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

12

Prinsip umum pengobatan asma adalah menghilangkan obstruksi jalan napas


segera, mengenal dan menghindari faktor-faktor pencetus serangan asma;
memberi penjelasan pada penderita atau keluarga tentang penyakit asma, baik
pengobatannya maupun tanda gejalanya (NIH, 2002).
Tujuan penetalaksanaan asma adalah mengusahakan agar asma menjadi
terkontrol yang ditandai oleh gejala yang tidak ada atau minimal, tidak ada
keterbatasan aktifitas, faal paru yang normal atau mendekati normal
(Surjanto,2005).
Obat-obatan untuk mengobati asma dapat diklasifikasikan menjadi obat-
obatan pengontrol atau pelega. Obat-obatan pengontrol dikonsumsi setiap hari,
merupakan obat-obatan yang bekerja dalam jangka waktu lama untuk menjaga
agar asma tetap dibawah kontrol klinis terutama melalui efek anti inflamasi obat-
obat pengontrol asma tersebut. Obat-obatan pelega digunakan berdasarkan
kebutuhan yang dapat bekerja cepat mengatasi bronkokonstriksi dan
menghilangkan gejala(NHLBI, 2008).
Meskipun intervensi farmakologis efektif untuk mengontrol gejala asma,
tetapi tindakan untuk mencegah timbulnya gejala dan eksaserbasi asma dengan
menghindari atau mengurangi pajanan terhadap faktor resiko sebaiknya dilakukan.
Eksaserbasi asma dapat disebabkan oleh berbagai faktor yaitu alergen, infeksi
virus, polutan, obat-obatan dan stres. Mengurangi paparan terhadap faktor resiko
(misalnya menghentikan merokok, obat-obatan, makanan dan faktor psikis/stres
yang diperkirakan menyebabkan timbulnya gejala) akan meningkatkan kontrol
asma dan mengurangi pengobatan yang diperlukan (NHLBI, 2008).
Ada beberapa instrument yang dapat digunakan untuk menilai pasien
dengan asma tekontrol atau tidak terkontrol,yang telah divalidasi untuk menilai
kontrol klinis asma. Contoh instrumen yang telah divalidasi adalah Asthma
Control Test (ACT), Asthma Control Questionnare (ACQ) dan Asthma Control
Scoring System (ACSS), Childhood Asthma Control test (C-Act), Asthma
Theraphy Assesment Questionnare (ATAQ) (NHLBI, 2008).Yang dipakai pada
penelitian ini Asthma Control Test (ACT).
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

13

Asthma Control Test adalah suatu uji skrining berupa kuesioner tentang
penilaian klinis seorang pasien asma untuk mengetahui asmanya terkontrol atau
tidak. Kuesioner ini terdiri dari lima pertanyaan, dikeluarkan oleh American Lung
Association dengan tujuan memberi kemudahan kepada dokter dan pasien dalam
mengevaluasi asma yang berusia lebih dari 12 tahun dan menetapkan terapi
pilihannya (GINA, 2002).

2. KECEMASAN
Kecemasan (ansietas/anxiety) adalah gangguan alam perasaan (affective) yang
ditandai dengan perasaan takut atau khawatir yang mendalam dan berkelanjutan,
tetapi kemampuan dalam menilai relitas (Reality Testing Ability/RTA) tidak
terganggu, begitupun kepribadiannya masih utuh (tidak mengalami keretakan
kepribadian/splitting of personality), sedangkan perilaku dapat terganggu
walaupun masih dalam batas-batas normal (Hawari, 2001).
Ditinjau dari aspek klinis, kecemasan bisa merupakan suatu keadaan yang
abnormal, suatu gejala dari suatu penyakit lain, suatu sindrom, atau suatu
gangguan yang berdiri sendiri.Sebagai kecemasan yang normal, setiap orang
pernah mengalaminya misalnya waktu menghadapi ujian. Dalam hal ini,
kecemasan dirasakan sebagai akibat dari suatu penyebab yang jelas dan akan
kembali normal setelah obyek yang menjadi penyebab kecemasan itu berlalu.
Kecemasan juga bisa merupakan gejala dari gangguan atau penyakit lain misalnya
psikosis atau serangan miokar infark. Kecemasan sebagai sindroma klinik,
misalnya sebagai manifestasi gangguan kepribadian menghindar atau fobik.Di
sini, cemas dirasakan menganggu apabila berdekatan dengan obyek atau situasi
yang ditakuti tetapi sebenarnya tidak berbahaya.Sedangkan kecemasan yang
berdiri sendiri berupa gangguan cemas umum (menyeluruh).Disini kecemasan
dirasakan mengambang (free floating), tidak menentu dan tidak jelas penyebabnya
(Sudiyanto, 2003).
Ditinjau dari psikodinamika, kecemasan merupakan salah satu reaksi
terhadap stresor psikososial selain depresi.Stresor psikososial didefinisikan
sebagai keadaan atau peristiwacommit
yang tomenyebabkan
user perubahan dalam diri
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

14

seseorang hingga orang itu terpaksa mengadakan adaptasi atau penyesuain diri
untuk menanggulanginya. Apabila seseorang tidak mampu melakukan adaptasi
atau mengatasi stresor tersebut maka timbulah keluhan-keluhan antara lain berupa
cemas dan depresi. Perbedaan dari reaksi tersebut adalah pada kecemasan yang
dikeluhkan pasien terutama adalah keluhan psikis berupa adanya rasa takutatau
khawatir sedangkan pada depresi yang dikeluhkan pasien terutama keluhan psikis
berupa kemurungan atau kesedihan (Maramis, 2001).
2.1.Epidemiologi
Menurut studi pelayanan primer WHO yang dilakukan oleh Welter dan
kawan-kawan bahwa prevalensi ansietas di kawasan benua Eropa adalah sebesar
11,5%, dengan perincian gangguan ansietas menyeluruh (GAD) sekitar 8,5%,
kemudian gangguan panik 2,2%, khusus gangguan agoraphobia 1,5%, kejadian
ansietas untuk seumur hidup sekitar 24,9%, fobia sosial 13,3%, fobia simpleks
9,8% (Howland and Thase, 2009)
2,2. Gejala dan diagnosis
Gejala fisiologis terjadi pada beberapasistem dalam tubuh. Gejala pada
sistem kardiovaskuler (tekanan darahtinggi, jantung berdebar, ingin pingsan,
denyut nadi turun), gejala padasistem pernapasan (napas cepat dan pendek,
terengah-engah), gejala padasistem neuromuskular (gelisah, tremor, akral dingin,
refleks meningkat),gejala sistem gastrointestinal (nafsu makan turun, mual, diare),
gejala padasistem traktus urinarius (sering kencing), pada sistemintegumen (wajah
kemerahan, pucat, mudah berkeringat) , gejala psikologis sikap tegang dan
ketakutan, ketegangan otot-otot, kesulitan untuk relaksasi, menurunnya
kepercayaan diri, perasaan akan berbahaya (Richardson,2006).
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis yang luas, pemeriksaan
klinis yang teliti pemeriksaan penunjang yang mendukung untuk menegakkan
diagnosis tertentu dan menyingkirkan diagnosis tertentu. Sindroma ansietas baik
dalam PPDGJ III, DSM-IV dan ICD 10 yakni gangguan panic (PD), gangguan
fobik (Pb.D), gangguan obsesif kompulsif (OCD), gangguan ansietas menyeluruh
(GAD), Gangguan stres pasca trauma (PTSD).
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

15

2.3. Patologi Ansietas


a. Psikososial
Konsep psikososial adanya stresor (konflik, frustasi, tekanan, krisis).
Sumber stres pada kehidupan sehari-hari bisa datang dari luar (lingkungan) dan
dari dalam individu sendiri, bentuknya bisa berupa frustasi akibat rintangan
terhadap tujuan individu, atau konflik seperti ekstra dan intra psikis, dan yang lain
berupa krisis yaitu suatu respon terhadap tuntutan yang tidak disangka-sangka
yang membuat ancaman terhadap fisik atau kehidupan seseorang atau perubahan
status dan susunan keluarga (Nuhriawangsa, 2001).
b. Neurobiologi
Kejadian yang tidak menyenangkan akan dipersepsi oleh panca indera ke
susunan syaraf pusat (SSP), yang akan melibatkan korteks serebri – sistem
limbik– reticular activating system – hipotalamus, kemudian akan memacu
kelenjar adrenal untuk mengeluarkan hormon mediator yang memacu syaraf
otonom (Hypothalamus Pituitary Adrenal Axis = HPA Aksis).
Adrenocorticotropic Hormone (ACTH) memacu korteks pararenalis
mengeluarkan kortikosteroid, dan syaraf simpatis memacu medula pararenalis
mengeluarkan katekolamin (epinefrin dan norepinefrin). Kedua sel baik di korteks
maupun medulla adrenalis mengalami stres tahap 1 (teraktivasi). Seperti kita
ketahui bahwa limfosit mempunyai reseptor untuk glukokortikoid EPI maupun
NE sehingga dapat memodulasi limfosit, selanjunya limfosit mengalami stres
tahap 1 (teraktivasi). Sinyal stres ini memodulasi respon imun sehingga terjadi
perubahan psikoneuro-imunologis atau imunitas. Pada orang yang mengalami
stresor, akan mengalami terjadinya perubahan respon imun. Stresor dapat berupa
stresor psikologis, fisik, biologis, kimia (Diding, 2010).

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

16

Gambar diatas menunjukkan sinyal sistem saraf pusat (SSP) melalui jalur
sistemik dan saraf vagus (n. vagus) dan pengaturan SSP pada imunitas melalui
aksis hipotalamus-pituitari-adrenal (HPA), Hipotalamus-pituitari tiroid (HPT) dan
hipotalamus pituitary gonad (HPG), dan sistem saraf simpatis dan sistem saraf
parasimpatis. Ekspresi sitokin dalam SSP diperlihatkan oleh tanda bintang dalam
otak.Garis bertitik merupakan jalur regulasi negatif, dan garis utuh merupakan
jalur regulasi positif (Diding, 2010).
Tiga neurotransmiter utama yang berhubungan dengan kecemasan
berdasarkan penelitian pada binatang dan respon terhadap terapi obat adalah
norepinefrin, serotonin, dan gamma aminobutyric acid (GABA) (Howland et al.,
2002).
Peranan Serotonin (5-HT) pertama kali didasarkan bahwa antidepresan
serotonergik memiliki efek terapeutik pada beberapa gangguan panik dan OCD.
Sebagian besar serotonik berlokasi di nucleus raphe di batang otak rostral dan
berjalan ke korteks serebral, sistem limbik (khususnya amigdala dan
hipokampus), dan hipotalamus. Obat dengan efek serotonergik yang
menyebabkan pelepasan serotonin, menyebabkan peningkatan kecemasan,
halusinogen adalah berhubungan dengan perkembangan gangguan kecemasan
akut maupun kronis pada orang yang menggunakan obat-obat tersebut (Kaplan
commit to user
and Sadock, 1998).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

17

Neurotransmiter GABA berperan dalam gangguan kecemasan didukung


oleh manfaat benzodiazepin, yang meningkatkan aktifitas GABA pada reseptor
GABAa.Data tersebut telah menyebabkan peneliti menghipotesiskan bahwa
beberapa pasien dengan gangguan ansietas memiliki fungsi reseptor GABA yang
abnormal, walaupun hubungan tersebut belum terbukti secara langsung (Kaplan
and Sadock, 1998).
Salah satu instrument sebagai alat bantu diagnosis kecemasan adalah
HRSA (Hamilton Rating Scale for Anxiety). Alat ukur ini terdiri dari beberapa
kelompok gejala yang masing-masing kelompok dirinci dengan gejala yang lebih
spesifik.Masing-masing kelompok gejala diberi skor antara 0-4, yang artinya nilai
0 (tidak ada gejala), nilai 1 (satu dari gejala yang ada), nilai 2 (sedang/separuh
dari gejala yang ada), nilai 3 (berat/lebih dari ½ gejala yang ada), nilai 4 (sangat
berat/semua gejala ada).Masing-masing skor dari kelompok gejala tersebut
dijumlahkan dan dari hasil penjumlahan dapat diketahui tingkat kecemasan.HRSA
banyak digunakan oleh peneliti karena mempunyai validitas dan reliabilitas yang
cukup tinggi (Hawari, 2001).

3. COGNITIVE BEHAVIOR THERAPY (CBT)


Psikoterapi adalah pengobatan secara professional oleh orang yang terlatih
secara sukarela dengan cara mengubah atau menghambat gejala yang ada,
mengoreksi perilaku yang terganggu, dan mengembangkan pertumbuhan yang
positif, dengan tujuan utama agar pasien dapat dewasa (mature), bahagia(happy)
dan mandiri (independence). Cognitive Behavior Therapy (CBT), adalah salah
satu bentuk psikoterapi yang dapat digunakan terhadap masalah emosional yang
bertujuan menghilangkan tanda, gejala, atau problem emosional dengan cara
merubah dan membangun kembali status kognitif yang positif dan rasional
sehingga mempunyai perilaku dan reaksi somatik yang yang sehat (Hepple, 2004).
Semua kejadian yang dialami berlaku bagi stimulus yang dapat dipersepsi
secara positif (rasional) maupun negatif (irasional). Isi pikiran yang positif akan
mempengaruhi perasaan dan perilaku yang positif (normal), isi pikiran yang
negatif mengakibatkan gangguancommit
emosito (perasaan).
user Dengan CBT, dilakukan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

18

modifikasi fungsi pikiran, perasaan dan perbuatan (perilaku), dengan mengubah


status pikiran dan perasaan, diharapkan pasien dapat merubah perilakunya dari
negatif menjadi positif (Sudiyanto, 2007).
Terapi ini digunakan untuk pasien dengan depresi, cemas, gangguan
obsesif-kompulsif, gangguan kepribadian.Terapi biasanya dilakukan secara
individual, meskipun metode kelompok juga kadang bermanfaat (Newman &
Beck, 2009).
Cara yang berguna untuk menggambarkan peran dari kognisi adalah model
“A-B-C-D” atau model rasional emosi (model ABCD telah diadaptasi secara
umum untuk penggunaan CBT) kemudian dikembangkan menjadi A-B-C-D-E-F.
Pada model ini „A” adalah Activating Event (kejadian yang mencetuskan
kepercayaan atau keyakinan yang salah). “B” adalah Believe (keyakinan atau
kepercayaan sesorang berdasarkan kejadian yang mencetuskan), bukan kejadian
itu sendiri yang menghasilkan gangguan perasaan, tetapi interpretasi dan
keyakinan atau kepercayaan orang tersebut tentang kejadian itu. “C” Consequence
(konsekuensi emosional dari kejadian tersebut). “D” adalah Dispute (penggoyahan
terhadap keyakinan yang tidak rasional, tidak realistik, tidak tepat kemudian
menggantikannya dengan keyakinan yang rasional, realistik dan tepat).“E” adalah
Effect pandangan rasional efektif dan baru yang diikuti perubahan emosional dan
perilaku. “F” Further Action, mengembangkan rencana untuk bertindak lebih
lanjut untuk mengurangi kemungkinan berpikir dan bereaksi yang berguna di
masa depan (Froggat, 2006 cit., Sudiyanto, 2008).
CBT dibagi menjadi 3 fase : awal, pertengahan dan akhir. Tiap fase
tergantung pasien dan kemampuan secara umum.Dibutuhkan sekitar 12-16 sesi
untuk mencapai remisi. Secara tradisional 12-16 sesi, mingguan, satu jam tiap
sesi (Whitfield dan Williams, 2003) :
a. Fase awal (sekitar tiga sesi awal)
tujuan sesi awal ini untuk mensosialisasikan secara adekuat kepada pasien
tentang terapi.Sosialisasi meliputi hal : (1) harapan pada terapi, (2)
mengklarifikasikan bahwa CBT memiliki batas waktu, (3) menggaris bawahi
bahwa fokus CBT adalah “saatcommit
ini”, (4)tomenetapkan
user tujuan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

19

b. Fase pertengahan : sesi 4 – 9


Pada fase ini pasien dapat diberikan berbagai format yang merupakan tugas
dan pasien perlu tahu komitmennya mengerjakan tugas tersebut, penguatan
tentang pentingnya pengerjaan tugas rutin dan latihan di rumah.
c. Fase akhir : sesi 10-12
Merupakan akhir dari terapi, dua tujuan pada fase ini, yaitu : (1) persiapan,
melengkapi, pengakhiran terapi, (2) perencanaan pencegahan kekambuhan.

Pada studi kali ini menggunakan metode kelompok. CBT kelompok terdiri
dari 15 orang. Keuntungan terapi kelompok adalah : terapi kelompok
menyediakan pasien peluang untuk (1) Identifikasi timbal balik dan mengurangi
perasaan diasingkan; (2) Penerimaan teman sekelompok, dukungan sosial dan
tanggung jawab untuk membuat perubahan positif (3) Konfrontasi terapeutik dan
umpan balik realistis; (4) Pertukaran informasi berdasarkan fakta; (5) dari sisi
ekonomi lebih hemat biaya dan waktu (Spitz, 2009).
Terapi kelompok juga ada kekurangannya antara lain: (1) pasien
menyingkapkan identitas mereka dan permasalahan pribadi ke orang lain. Ini bisa
merupakan suatu masalah bila ada penyingkapan informasi yang tidak
dikehendaki sehingga berpotensi merusak karier, reputasi, dan hubungan
sosialnya; (2) isi dan langkah perawatan ditentukan oleh kelompok secara
keseluruhan dan bukan oleh kebutuhan seseorang; (3) hanya suatu bagian kecil
waktu terapi difokuskan bagi kebutuhan seseorang; (4) terapi kelompok kurang
praktis dalam hal logistik, karena harus mengumpulkan beberapa orang yang
memiliki masalah serupa (Spitz, 2009).
Beberapa meta analisis menunjukkan bahwa berbagai bentuk CBT lebih
efektif disbanding wait list controls. Dan pengaruh dari bentuk komponen-
komponen CBT mempunyai perbedaan yang signifikan dari angka nol. Contoh
sebelum diberikan perlakuan dan setelah diberikan perlakuan, ukuran pengaruh
untuk setiap varian dari CBT telah berubah antara 0,80 dan 1,08. Pembelajaran
jangka panjang dari terapi ini menyarankan untuk memenuhi terapi dengan
lengkap, bahkan terapi CBT secara individual
commit to user dalam jangka pendek (antara 4
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

20

sampai 8 sesi) dan terapi kelompok jangka pendek CBT (6 sesi) memberi banyak
manfaat karena dapat menurunkan gejala, komponen dari CBTjauh lebih efektif
dibandingakan terapi alternatif (Fernandez, 2006).sete
Pada studi ini tehnik CBT dengan menggunakan modul CBTkelompok
untuk pasien ansietas yang dibuat oleh Peter J. Norton 2010. Modul aslinya telah
dimodifikasi dan telah dilakukan face validity oleh pembimbing penelitian. Modul
asli terdiri dari 12 sesi, pada penelitian ini dibuat menjadi 6 kali pertemuan, 1 kali
pertemuan terdiri dari 2 sesi. Pertemuan 1 dan 2 membimbing pasien untuk
menemukan bagaimana pikiran dapat mempengaruhi perasaan, pertemuan 3
membimbing pasien menggunakan pikiran untuk merubah perasaan, pertemuan 4
membimbing pasien untuk memahami bahwa aktivitas dapat mempengaruhi
perasaan dan sebaliknya, pertemuan 5 membimbing pasien untuk memahami
bahwa hubungan dengan orang lain dapat mempengaruhi perasaan begitu juga
sebaliknya, pertemuan 6 mengulang sekilas pertemuan terdahulu dan terminasi.
Setiap selesai pertemuan 1 sampai 5 pasien mendapat PR yang harus dikerjakan
dirumah, dan dibahas pada pertemuan berikutnya.
Mungkin strategi yang paling penting dalam CBT adalah pekerjaan
rumah.Tugas pekerjaan rumah membantu pasien mereduksi distres emosional
dengan mengajarkan pasien keterampilan mengatur pola perilaku dan pikiran
putus asa. Dalam tugas, hal-hal yang perlu dicatat seperti : (1) situasi yang
membuat perasaan tidak nyaman, (2) mengidentifikasi dan mencatat kognitif pada
situasi tersebut, (3) identifikasi mencatat perasaan yang berhubungan dengan hal
tersebut (Coon dan Thompson, 2003).
Psikoterapi merupakan bagian penting dan tak terpisahkan dari terapi
kecamasan. Terapi kombinasi obat dan psikoterapi terbukti lebih efektif untuk
pasien dibandingkan obat saja atau psikoterapi saja, dibandingkan jika terapi
tersebut digunakan sendiri-sendiri ( Luty et al. 2007).

3.1.Psikoneuroimunologi Psikoterapi
Intervensi psikoterapi
bekerja pada mekanisme coping dengan
commit to user
meningkatkan afek positif dan mengurangi afek negatif sehingga memperbaiki
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

21

fungsi imun yang ditandai dengan sinyal kognitif berjalan ke otak melewati jalur
sensorik, auditorik dan visual. Sinyal ini sifatnya tidak darurat, sesudah mencapai
thalamus kemudian ke korteks sensoris tanpa mengalami pembajakan, terus
berlanjut ke korteks transisional untuk proses kontrol kognitif. Sesudah proses di
Korteks selesai, selanjutnya sinyal tersebut diproyeksikan ke hipokampus untuk
disimpan sebagai memori, selain itu sinyal tersebut juga diproyeksikan ke
amigdala serta organ lain yang terkait untuk diekspresikan ke luar. Sinyal kognitif
tersebut memiliki kemampuan untuk menghentikan arus pembajakan sinyal
darurat dari korteks menuju amigdala dan menuju hipotalamus. Dengan demikian
sinyal yang berasal dari pemberian psikoterapi sesudah mencapai korteks untuk
proses kognisi, saat diproyeksikan ke hipokampus dan ke amigdala sudah
merupakan sinyal yang tertata baik, sedangkan sinyal darurat sudah terhambat dan
hilang (Mulyata 2005).
Dibawah pengaruh psikoterapi, korteks serebri mengalami inhibisi kuat,
sehingga daya identifikasi, analisis, pengambilan keputusan terhadap stimuli baru
menurun, pengalaman masa lalu tidak dapat dimanfaatkan. Melalui arahan aktif,
kondisi dan perilaku psikis dan faal pasien dapat dikendalikan (Desen dkk., 2008).
Peranan psikoterapi di sini adalah dapat “membangkitkan” sistem imun. Hasil
riset psikoneuroimunologi bermakna khususnya untuk pengobatan psikosomatik
karena mereka menjelaskan dalam suatu jalur sistemik pengamatan klinis awal
dan studi ilmiah mengenai pengaruh stres pada kondisi kesehatan. Keuntungan
dari pendekatan psikoterapi secara murni adalah menghindari interaksi obat atau
efek samping obat terhadap masalah fisik (Sadock, James, Alcott 2007).

4. CEMAS DAN ASMA

Adanya suatu hubungan yang positif antara keadaan psikologik dengan


gejala-gejala saluran pernafasan.Gejala cemas dapat memperberat terjadinya
asma.Dari suatu penelitian prevalensi depresi dan kecemasan pada pasien PPOK
berkisar 40-90%, dibandingkan 8-20% di populasi normal (Ritz andSteptone,
2000).
commit
Menurut Jean Boubeau, MD, Direktur to Epidemiologi
Unit user Respirasi dan Penelitian
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

22

Klinis Universitas McGill di Montreal, penting bagi pasien PPOK bahwa depresi
dan kecemasan harus diperlakukan sebagai potensi resiko klinis yang penting,
bukan sebagai ko-morbiditas yang sederhana yang disebabkan PPOK. Hibbert dan
Pilsbury menggunakan monitoring ambulatory PCO2 menunjukkan bahwa
hiperventilasi mendahului eksaserbasi asma pada pasien cemas. Pada kasus ini
diajarkan pada pasien bagaimana cara mengontrol pernafasan setelah terjadinya
hiperventilasi yang berperan penting untuk menghindari serangan asma
(Yellowless and Kalucy, 2004).
4.1.Paradigma Psikobiologi

Suatu stresor merupakan impuls emergencyyang berjalan ke atas dalam


jalur sensorik menuju thalamus. Sinyal tersebut sedianya menuju korteks sensorik,
tetapi sebagian besar sinyal tersebut dibajak dan dibelokkan menuju amigdala,
hanya sebagian kecil saja yang terus menuju korteks sensoris untuk proses
kognitif, kemudian berlanjut ke korteks transisional untuk proses kognitif
berikutnya (Le Doux, 1998cit. Mulyata, 2005). Amigdala sebagai pusat yang
terlibat dalam perubahan emosi, karena sinyal yang datang bersifat darurat,
amigdala belum siap dan mengirim sinyal ke hipotalamus, terutama ke nukleus
paraventrikularis. Nukleus hipotalami tersebut merespon sinyal darurat dengan
melepas CRF yang juga bersifat darurat, selanjutnya sinyal tersebut mengaktifkan
hipofisis dan sistem saraf otonom (Kaplan, 2005).
4.2.Paradigma Patofisiologi
Impuls stres yang terus-menerus berjalan ke atas menuju talamus direspon
dengan melepas CRF (Corticotropine-releasing hormone) dari hipotalamus,
selanjutnya terjadi respon lewat aksis HPA dan aksis SAM (sympathetic-adrenal
medullary). Respon lewat aksis HPA melepas kortisol, sedangkan respon yang
lewat aksis SAM melepas katekolamin. Sinyal darurat dari CRF akan memacu
pituitaria untuk melepas ACTH (Adreno Corticotropine Hormone). ACTH masuk
ke dalam sirkulasi darah, sampai di adrenal mengaktifkan serabut preganglioner
simpatis menuju adrenal dan ganti neuron di medula adrenal, melepas
katekolamin yang kadarnya tinggi dan bersifat darurat, selanjutnya katekolamin
commit to user
masuk ke dalam sirkulasi darah mengalir ke seluruh tubuh. Sementara itu
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

23

kortisol yang juga bersifat darurat, kadarnya jauh di atas normal, mensupresi
sistem imun menjadi kurang aktif yang berakibat melemahnya ketahanan
imunologis serta menyebabkan proses penyembuhan menjadi terhambat atau
memanjang (Mulyata, 2005). Sebagian respon pada stres termasuk
glukokortikoid dapat menginhibisi fungsi imun, yang terjadi melalui aksis HPA.
CRF dapat merangsang pelepasan norepinefrin melalui reseptor CRF yang
berada di lokus seroleus dengan aktivasi sistem simpatetik sentral maupun perifer
dan meningkatkan pelepasan epinefrin dari medulla adrenal. Selain itu terdapat

hubungan langsung neuron norepinefrin yang merupakan sinap target sel imun.
Jadi ketika terdapat stresor yang dalam hal ini terjadi juga dapat mengaktivasi
imun, termasuk pelepasan faktor humoral – immune (sitokin). Sitokin ini dapat
melepaskan CRF yang dapat meningkatkan efek glukokortikoid dan dapat
melakukan self-limit pada aktivasi imun (Duncan, 2001).
Peningkatan kadar kortisol pada tujuh hari terjadi akibat terpapar
pengaruh stresor psikologis. Tahap berikutnya dari hari ke hari (stres kronis)
terjadi penurunan kadar kortisol akibat kelenjar adrenal dipacu terus
mengeluarkan norepinefrin dan kortisol sehingga sekresi kortisol dan norepinefrin
menjadi berkurang (negative feed back loop), kadar norepinefrin dan kortisol yang
berkurang menyebabkan terjadinya bronkokontriksi pada saluran pernafasan
sebaliknya penurunan aktivitas dari aksis tersebut dan rendahnya derajat
glukokortikoid meningkatkan kerentanan terhadap inflamasi dan keparahan
inflamasi (Rhen &Cidlowski, 2005).
Stres kronis akan menginduksi keadaan hiporesponsif HPA aksis dan
sekresi kortisol berkurang diikuti peningkatan sekresi sitokin inflamasi sehingga
sistem imun menjadi lebih aktif. Pajanan stres lama menyebabkan penurunan
regulasi reseptor terhadap molekul kortisol sehingga mengakibatkan produksi
berlebihan sitokin T helper-2 (Th2) dan perekrutan eosinofil mengakibatkan
proses inflamasi sehingga menimbulkan gejala asma (Surjanto, Sutanto, dan
Duyen, 2009).

5. KUALITAS HIDUP commit to user


perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

24

Kualitas hidup menurut WHO (1991) adalah persepsi individu terhadap


posisinya dalam kehidupan sesuai dengan sistem budaya dan nilai-nilai tempat
mereka hidup dalam kaitannya dengan kepentingan, tujuan hidup, harapan dan
standar yang ingin dicapainya (Woffshohn, Cochrone, dan Watt, 2000).
Dalam psikiatri konsep kualitas hidup telah lama dianggap sebagai aspek
penting kesehatan mental. Kualitas hidup merupakan pengalaman internal yang
dipengaruhi oleh apa yang terjadi diluar dirinya, tetapi hal tersebut juga diwarnai
oleh pengalaman subjektif yang pernah dialami sebelumnya, kondisi mental,
kepribadian dan harapan-harapannya.Pasien dengan penyakit kromis atau dengan
komplikasi dan lamanya pengobatan mengakibatkan turunnya kualitas hidup
dibanding pasien yang baru saja sakit tanpa komplikasi (Schrag, 2000).
Pengukuran kualitas hidup adalah penting dalam menentukan dampak
penyakit pada fungsi keseharian pasien dan untuk penanganan selanjutnya (Gee
et. al, 2000).
Pada penelitian ini digunakan pengukuran tingkat kualitas hidup
berdasarkan skor CGI-QL yang telah teruji reliabilitas dan validitasnya, mencakup
penilaian terhadap:
1. Derajat kualitas hidup, yang dinilai atas pertimbangan total pengalaman
klinik peneliti (0=tidak dinilai, 1=normal, tidak terganggu, 2=perbatasan
antara sehat-terganggu, 3=terganggu ringan, 4=terganggu derajat sedang,
5=terganggu berat, 6=sangat berat, 7=ekstra berat).
2. Perbaikan global, dinilai seberapa perbaikan klinis yang terjadi (secara
menyeluruh) dibandingkan saat awal diperiksa dengan skor: (0=tidak dinilai,
1=sangat menbaik, 2=banyak perbaikan, 3=sedikit membaik, 4=tak ada
perbaikan, 5=sedikit memburuk, 6=memburuk, 7=sangat memburuk).
3. Efek terapeutik (0=tidak dinilai, 1=sangat nyata, terjadi perbaikan yang cepat
nyaris semua gangguan kualitas hidup menghilang, 2=sedang, terjadi
perbaikan, sebagian gangguan hilang, 3=minimal, sedikit perbaikan, 4=tidak
ada perbaikan atau memburuk).

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

25

A.KERANGKA TEORI

Asma adalah penyakit dengan pola episodikal: aktif remisi kronik


eksaserbasi, bermanifestasi lebih berat pada penderita yang dalam keadaan stres
dan sebaliknya pada penderita dengan emosi yang stabil, gambaran klinis penyakit
ini lebih ringan.Mekanisme terjadinya melalui jalur HPA aksis dan sistem saraf
otonom, masalah yang menimbulkan stres melalui sistem limbic diteruskan ke
hipotalamus, selanjutnya hipotalamus meneruskan rangsangan tersebut ke
pituitary dan mengaktifkan autonomic nervous system (ANS).Stresor mempunyai
kemampuan untuk mengaktifkan symphathic nervous system (SNS). Stimulasi
SNS menghasilkan pelepasan sistemik epinefrin dan norepinefrin.
Aktivasiparasymphatic nervous system (PNS) akan menyebabkan pelepasan
neurotransmiter asetilkolin yang menyebabkan bronkokonstriksi dan seksresi
mukus, individu dengan asma mempunyai toleransi rendah terhadap respon
parasimpatis (Surjanto dan Sutanto, 2009). Miller & Wood (1989) melakukan stud
itemuan bahwa meningkat kolinergik/parasimpatis pada mereka yang stres
mendukung teori bisa membangkitkan pola otonom yang bisa memediasi
penyempitan saluran napas.
Amigdala, yang memainkan peran sentral dalam pengalaman kecemasan
dan ketakutan, memiliki hubungan timbal balik dengan berbagai daerah otak
lainnya. Koneksi ini memungkinkan amigdala untuk mengintegrasikan baik
informasi sensorik dan kognitif dan kemudian digunakan untuk memicu(atau
tidak) respon rasa takut. Perasaan takut yang diatur oleh hubungan timbal balik
antara amigdala, anterior cingulated cortex (ACC) dan orbitofrontal cortex(OFC)
(Stahl, 2008) Cortex dorsal prefrontal, dorsal anterior cingulate, parietal dan
cotex cingulated posterior, dan hippocampus berhubungan dengan aktifitas
kognitif, psikomotor dan sensorik. Medial frontal, orbito frontal, dan
perigenualanterior cingulate cortex yang terkait jelas dengan proses kognitif dari
rangsangan emosional. Lebih terperinci pengolahan emosional kognitif dikaitkan
dengan daerah temporal dan medial subkortikal, termasuk amigdala, ganglia basal
ventral, daerah otak yang terlibat dalam proses homeostatis serta representasi
commit to user
tubuh(aspek fisikpengalaman emosional) meliputi anterior cingulate cortex
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

26

subgenual, anterior insula, dan hipotalamus. Terapi perilaku kognitif (CBT),


mungkin memiliki daerah primer tindakan dalam jaringan tersebut yaitu (korteks
frontal untuk CBT dan wilayah subcortical otak tengah untuk obat) (Stuart et
al,1995 )

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

27

A. KERANGKA TEORI

Khawatir kambuh
Takut mati
Tidak berdaya
Pekerjaan terganggu
Penghasilan berkurang ASMA
Menjadi beban orang lain
Masalah ekonomi  pengobatan

stresor Rangsangan berlebihan dan


terus menerus

Sistem limbik Orbital Prefrontal Anterior cingulate


cortex cortex

HIPOTALAMUS
AMIGDALA hipocampus

KELENJAR thalamus BRAINSTEM


(-) PITUITARI

LC PAG PBN RN

Negative Feeback KELENJAR


ADRENAL
Rangsangan berlebihan
terus menerus
Respirasi terganggu
Sesak nafas
SISTEM SARAF OTONOM (ANS) : Takikardia
- SIMPATIS Dada terasa berat
- PARASIMPATIS ( ASETILKOLIN ↑) Kecemasan meningkat

Eksarsebasi asma

Gambar 2.1. Kerangka Teori commit


Kaitan to user
Ansietas dengan Asma
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

28

B.KERANGKA BERPIKIR
Stresor adalah salah satu faktor pemicu timbulnya asma, sebaliknya asma
juga bisa menyebabkan timbulnya stresor seperti kecemasan dan depresi pada
penderitanya. Pemberian psikoterapi dalam hal ini CBT akan membantu
menurunkan stresor sebagai pemicu serangan asma. Dengan pemberian
psikoterapi keadaan akan berbalik. Rangsangan stres ke sistem limbik akan
dihambat, sehingga aktifasi HPA aksis dan ANS juga dihambat, akibatnya
produksi sitokin proinflamasi menurun gejala asma juga menurun (Hockemeyer,
2002).
Intervensi psikoterapi dalam hal ini CBT bekerja untuk menurunkan
stresor yang dapat mencetuskan eksaserbasi asma. CBT bekerja dengan mengubah
pikiran negatif yang ditimbulkan oleh stresor menjadi pikiran yang positif
sehingga dapat memperbaiki fungsi imun. Sinyal kognitif yang positif setelah
mendapat CBT berjalan menuju orbital prefrontal cortex (OPC), selanjutnya
sinyal kognitif yang sudah tertata baik ntersebut masuk ke amigdala sebagai pusat
yang terlibat dalam perubahan emosi, kemudian amigdala memproyeksikan sinyal
tersebut ke organ-organ lain seperti anterior cingulated cortex (ACC),
hipokampus, hipotalamus, thalamus dan brainstem. Oleh brainstem sinyal tersebut
diteruskan ke LC, PAG dan PBN, karena sinyal yang sampai ke PBN merupakan
sinyal yang tertata baik sehingga menyebabkan aktifitas pernafasan berbalik
menjadi normal seperti Respirasi normal, Sesak nafas berkurang, Takikardia
berkurang, Dada tidak terasa berat, kecemasan berkurang, akibatnya kekambuhan
asma menjadi menurun atau berkurang (Stahl, 2008)

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

29

B. KERANGKA BERPIKIR

Khawatir kambuh
Takut mati
Tidak berdaya ASMA
Pekerjaan terganggu
Penghasilan berkurang
Menjadi beban orang lain
Masalah ekonomi  pengobatan
CBT

stresor Rangsangan normal, tertata


Orbital Prefrontal Anterior cingulate
Sistem limbik cortex cortex

HIPOTALAMUS AMIGDALA hipocam

KELENJAR
PITUITARI thalamus BRAINSTEM
(+)
LC PAG PBN RN
Negative Feeback
KELENJAR
ADRENAL Rangsangan normal, tertata
Respirasi nprmal
Sesak nafas berkurang
SISTEM SARAF OTONOM (ANS) : Takikardia (-)
- SIMPATIS Dada terasa berat (-)
- PARASIMPATIS ( ASETILKOLIN ↑) Kecemasan berkurang

Eksarsebasi
asma

Gambar 2.2. Kerangka berpikir : Pemberian CBT pada penanganan asma dengan ansietas

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

30

B. Hipotesis

1. Cognitive Behavior Therapy (CBT)efektif menurunkan tingkat kecemasan.


2. Cognitive Behavior Therapy (CBT) efektif meningkatkan skor kontrol asma
pada pasien asma.
3. Cognitive Behavior Therapy (CBT) efektif dalam meningkatkan kualitas
hidup pasien asma

commit to user

Anda mungkin juga menyukai