id
A. Tinjauan Pustaka
1. ASMA
1.1. Pengertian
Asma adalah gangguan inflamsi kronik saluran nafas yang melibatkan banyak sel
dan elemennya.Inflamasi kronik menyebabkan peningkatan hiperesponsif jalan
nafas yang menimbulkan gejala episodik berulang berupa mengi, sesak nafas,
dada terasa berat dan batuk-batuk terutama malam dan atau dini hari.Episodik
tersebut berhubungan dengan obstruksi jalan napas yang luas, bervariasi dan
seringkali bersifat reversibel dengan atau tanpa pengobatan (GINA, 2002;
NHLBI, 2008).
1.2. Penyebab
Penyebab asma sampai sekarang belum diketahui pasti.Telah
banyakpenelitian yang dilakukan oleh para ahli dibidang asma untuk
menerangkan sebab terjadinya asma, namun belum ada teori ataupun hipotesis
yang dapat diterima atau disepakati para ahli (GINA, 2002).
a. Faktor predisposisi
Genetik merupakan faktor pendukung timbulnya asma. Bakat alergi merupakan
hal yang diturunkan, meskipun belum diketahui bagaimana cara penurunannya
yang jelas. Bakat alergi ini membuat pasien sangat mudah terkena penyakit asma
jika terpapar faktor pencetus. Pasien biasanya mempunyai keluarga dekat yang
juga menderita penyakit alergi. Apabila kedua orang tua memiliki riwayat
penyakit asma maka hampir 50% dari anak-anaknya memiliki kecenderungan
asma, sedangkan jika hanya salah satu orang tuanya yang menderita asma maka
kecenderungannya hanya 35% (GINA,2002)).
b. Faktor Presipitasi
Menurut (NHLBI, 2008), beberapa faktor yang mencetuskan serangan asma, yaitu
:1. Faktor Presipitasi dapat dibagi menjadi 3 jenis, yaitu :
commit to user
5
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
b.Aktifitas& tidur
terganggu
napas cepat, merasa cemas dan ketakutan, tak sanggup bicara lebih dari 1-2 kata
setiap kali tarik napas, dada dan leher tampak mencekung bila tarik napas, bibir/
jari tampak berwarna biru (NIH, 2002).
Tiga gejala yang sering muncul pada asma adalah sesak napas, napas
bunyi/ wheezing, batuk-batuk terutama malam hari, saluran nafas menyempit
(bronkospasme). Tingkat keparahan serangan asma tergantung pada tingkat
obstruksi saluran napas, kadar saturasi oksigen, pembawaan pola napas,
perubahan status mental, dan bagaimana tanggapan pasien terhadap status
pernapasannya (NIH 2002).
1.5. Patofisiologi
Asma merupakan obstruksi jalan napas yang reversibel.Obstruksi tersebut
dapat disebabkan oleh faktor berikut, seperti penyempitan jalan napas;
pembengkakan membran pada bronkus; pengisian bronkus dengan mucus
kental.Berbagai sel mediator inflamasi terlibat dalam patogenesis penyakit ini.
Hubungan antara inflamasi dan gejala klinis masih kontroversial. Diduga terdapat
beberapa faktor ikut menentukan derajat asma antara lain perubahan struktur
saluran napas, infiltrasi neutrofil dan mekanisme neural (Mangunnegoro,
Syafiudin, Yunus, 2003). Inflamasi asma dibagi menjadi inflamasi akut dan
inflamasi kronis. Inflamasi akut terdiri dari reaksi fase cepat dan reaksi fase
lambat.
a. Reaksi fase cepat
Reaksi fase cepat diawali oleh aktivasi sel-sel yang berhubungan dengan alergen
dan Ig E spesifik. Alergen akan terikat pada Ig E yang menempel pada sel mast
dan atau basofil, yang mana ini menyebabkan degranulasi sel mast dan basofil.
Degranulasi tersebut mengeluarkan mediator seperti histamin dan prostaglandin
yang menyebabkan kontraksi otot polos bronkus, hipersekresi mukosa dan
vasodilatasi (Bousquet et al., 2000; Broide, 2001).
Mediator inflamasi tersebut menyebabkan kebocoran dan eksudasi plasma
kedalam saluran napas. Kebocoran protein plasma dapat menyebabkan edema dan
penebalan dinding saluran napascommit to user
sehingga terjadi penyempitan saluran napas.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
10
11
dan marah telah dikenal pula sebagai pemicu asma (Wrigh, Rodriquez &Cohen ,
1998).
Pendapat bahwa stres psikologis mempengaruhi kontrol otonom jalan
napas didasarkan terutama pada kenyataan bahwa banyak mekanisme otonom
yang dianggap memainkan peran pada asma dilibatkan dalam aktivasi dan
pengaturan respons fisiologis terhadap stres. Mekanisme tersebut meliputi :
1. Pelepasan mediator sistem saraf simpatik
2. Kerja dari adrenergik (simpatetik) dan kolinergik (parasimpatetik)
3. Kerja neurotransmiter dan neuropeptida yang dihasilkan adrenergik dan
kolinergik(Wrigh, Rodriquez & Cohen, 1998)
Stresor mempunyai kemampuan untuk mengaktifkan SNS (Sympathetic
Nervous System). Stimulasi SNS menghasilkan pelepasan sistemik epinefrin dari
medulla adrenal, demikian juga serabut noreadrenergik yang mensyarafi jaringan
paru dan limfoid. Reseptor adrenergik berada pada sel T dan B, reseptor tersebut
dapat mengatur beragam bentuk respons humoral yang terlibat dalam asma
meliputi pelepasan IL-4, IL-5 dan IL-13 mengikuti paparan alergen, pelepasan
histamin oleh aktivasi sel mast, perekrutan eosinofil dan aktivasi eosinofil di
jalan napas. Aktivasi PNS akan menyebabkan pelepasan neurotransmiter
asetilkolin yang menyebabkan bronkokonstriksi dan seksresi mukus (Surjanto dan
Sutanto, 2009).
Stres secara khusus menurunkan aktivitas parasimpatik pada individu
sehat. Beberapa peneliti mempunyai dalil bahwa pada pasien asma, stres
dihubungkan dengan hiperresponsif parasimpatik dan jalur α-simpatetik.
Untuk mempengaruhi proses inflamasi di saluran napas, stresor harus
dinilai sebagai hal yang mengancam dan tidak dapat diatasi. Pola atau bentuk
penilaian seperti itu menyebabkan peningkatan emosi yang negatif (seperti marah,
takut, malu) dan menurunkan emosi yang positif (seperti keteguhan, senang,
kalem). Proses emosi dan kognitif ini akan mensensitisasi jalur Th-2, menuju ke
peningkatan frekuensi, durasi dan keparahan gejala (Chen & Miller, 2007).
12
13
Asthma Control Test adalah suatu uji skrining berupa kuesioner tentang
penilaian klinis seorang pasien asma untuk mengetahui asmanya terkontrol atau
tidak. Kuesioner ini terdiri dari lima pertanyaan, dikeluarkan oleh American Lung
Association dengan tujuan memberi kemudahan kepada dokter dan pasien dalam
mengevaluasi asma yang berusia lebih dari 12 tahun dan menetapkan terapi
pilihannya (GINA, 2002).
2. KECEMASAN
Kecemasan (ansietas/anxiety) adalah gangguan alam perasaan (affective) yang
ditandai dengan perasaan takut atau khawatir yang mendalam dan berkelanjutan,
tetapi kemampuan dalam menilai relitas (Reality Testing Ability/RTA) tidak
terganggu, begitupun kepribadiannya masih utuh (tidak mengalami keretakan
kepribadian/splitting of personality), sedangkan perilaku dapat terganggu
walaupun masih dalam batas-batas normal (Hawari, 2001).
Ditinjau dari aspek klinis, kecemasan bisa merupakan suatu keadaan yang
abnormal, suatu gejala dari suatu penyakit lain, suatu sindrom, atau suatu
gangguan yang berdiri sendiri.Sebagai kecemasan yang normal, setiap orang
pernah mengalaminya misalnya waktu menghadapi ujian. Dalam hal ini,
kecemasan dirasakan sebagai akibat dari suatu penyebab yang jelas dan akan
kembali normal setelah obyek yang menjadi penyebab kecemasan itu berlalu.
Kecemasan juga bisa merupakan gejala dari gangguan atau penyakit lain misalnya
psikosis atau serangan miokar infark. Kecemasan sebagai sindroma klinik,
misalnya sebagai manifestasi gangguan kepribadian menghindar atau fobik.Di
sini, cemas dirasakan menganggu apabila berdekatan dengan obyek atau situasi
yang ditakuti tetapi sebenarnya tidak berbahaya.Sedangkan kecemasan yang
berdiri sendiri berupa gangguan cemas umum (menyeluruh).Disini kecemasan
dirasakan mengambang (free floating), tidak menentu dan tidak jelas penyebabnya
(Sudiyanto, 2003).
Ditinjau dari psikodinamika, kecemasan merupakan salah satu reaksi
terhadap stresor psikososial selain depresi.Stresor psikososial didefinisikan
sebagai keadaan atau peristiwacommit
yang tomenyebabkan
user perubahan dalam diri
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
14
seseorang hingga orang itu terpaksa mengadakan adaptasi atau penyesuain diri
untuk menanggulanginya. Apabila seseorang tidak mampu melakukan adaptasi
atau mengatasi stresor tersebut maka timbulah keluhan-keluhan antara lain berupa
cemas dan depresi. Perbedaan dari reaksi tersebut adalah pada kecemasan yang
dikeluhkan pasien terutama adalah keluhan psikis berupa adanya rasa takutatau
khawatir sedangkan pada depresi yang dikeluhkan pasien terutama keluhan psikis
berupa kemurungan atau kesedihan (Maramis, 2001).
2.1.Epidemiologi
Menurut studi pelayanan primer WHO yang dilakukan oleh Welter dan
kawan-kawan bahwa prevalensi ansietas di kawasan benua Eropa adalah sebesar
11,5%, dengan perincian gangguan ansietas menyeluruh (GAD) sekitar 8,5%,
kemudian gangguan panik 2,2%, khusus gangguan agoraphobia 1,5%, kejadian
ansietas untuk seumur hidup sekitar 24,9%, fobia sosial 13,3%, fobia simpleks
9,8% (Howland and Thase, 2009)
2,2. Gejala dan diagnosis
Gejala fisiologis terjadi pada beberapasistem dalam tubuh. Gejala pada
sistem kardiovaskuler (tekanan darahtinggi, jantung berdebar, ingin pingsan,
denyut nadi turun), gejala padasistem pernapasan (napas cepat dan pendek,
terengah-engah), gejala padasistem neuromuskular (gelisah, tremor, akral dingin,
refleks meningkat),gejala sistem gastrointestinal (nafsu makan turun, mual, diare),
gejala padasistem traktus urinarius (sering kencing), pada sistemintegumen (wajah
kemerahan, pucat, mudah berkeringat) , gejala psikologis sikap tegang dan
ketakutan, ketegangan otot-otot, kesulitan untuk relaksasi, menurunnya
kepercayaan diri, perasaan akan berbahaya (Richardson,2006).
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis yang luas, pemeriksaan
klinis yang teliti pemeriksaan penunjang yang mendukung untuk menegakkan
diagnosis tertentu dan menyingkirkan diagnosis tertentu. Sindroma ansietas baik
dalam PPDGJ III, DSM-IV dan ICD 10 yakni gangguan panic (PD), gangguan
fobik (Pb.D), gangguan obsesif kompulsif (OCD), gangguan ansietas menyeluruh
(GAD), Gangguan stres pasca trauma (PTSD).
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
15
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
16
Gambar diatas menunjukkan sinyal sistem saraf pusat (SSP) melalui jalur
sistemik dan saraf vagus (n. vagus) dan pengaturan SSP pada imunitas melalui
aksis hipotalamus-pituitari-adrenal (HPA), Hipotalamus-pituitari tiroid (HPT) dan
hipotalamus pituitary gonad (HPG), dan sistem saraf simpatis dan sistem saraf
parasimpatis. Ekspresi sitokin dalam SSP diperlihatkan oleh tanda bintang dalam
otak.Garis bertitik merupakan jalur regulasi negatif, dan garis utuh merupakan
jalur regulasi positif (Diding, 2010).
Tiga neurotransmiter utama yang berhubungan dengan kecemasan
berdasarkan penelitian pada binatang dan respon terhadap terapi obat adalah
norepinefrin, serotonin, dan gamma aminobutyric acid (GABA) (Howland et al.,
2002).
Peranan Serotonin (5-HT) pertama kali didasarkan bahwa antidepresan
serotonergik memiliki efek terapeutik pada beberapa gangguan panik dan OCD.
Sebagian besar serotonik berlokasi di nucleus raphe di batang otak rostral dan
berjalan ke korteks serebral, sistem limbik (khususnya amigdala dan
hipokampus), dan hipotalamus. Obat dengan efek serotonergik yang
menyebabkan pelepasan serotonin, menyebabkan peningkatan kecemasan,
halusinogen adalah berhubungan dengan perkembangan gangguan kecemasan
akut maupun kronis pada orang yang menggunakan obat-obat tersebut (Kaplan
commit to user
and Sadock, 1998).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
17
18
19
Pada studi kali ini menggunakan metode kelompok. CBT kelompok terdiri
dari 15 orang. Keuntungan terapi kelompok adalah : terapi kelompok
menyediakan pasien peluang untuk (1) Identifikasi timbal balik dan mengurangi
perasaan diasingkan; (2) Penerimaan teman sekelompok, dukungan sosial dan
tanggung jawab untuk membuat perubahan positif (3) Konfrontasi terapeutik dan
umpan balik realistis; (4) Pertukaran informasi berdasarkan fakta; (5) dari sisi
ekonomi lebih hemat biaya dan waktu (Spitz, 2009).
Terapi kelompok juga ada kekurangannya antara lain: (1) pasien
menyingkapkan identitas mereka dan permasalahan pribadi ke orang lain. Ini bisa
merupakan suatu masalah bila ada penyingkapan informasi yang tidak
dikehendaki sehingga berpotensi merusak karier, reputasi, dan hubungan
sosialnya; (2) isi dan langkah perawatan ditentukan oleh kelompok secara
keseluruhan dan bukan oleh kebutuhan seseorang; (3) hanya suatu bagian kecil
waktu terapi difokuskan bagi kebutuhan seseorang; (4) terapi kelompok kurang
praktis dalam hal logistik, karena harus mengumpulkan beberapa orang yang
memiliki masalah serupa (Spitz, 2009).
Beberapa meta analisis menunjukkan bahwa berbagai bentuk CBT lebih
efektif disbanding wait list controls. Dan pengaruh dari bentuk komponen-
komponen CBT mempunyai perbedaan yang signifikan dari angka nol. Contoh
sebelum diberikan perlakuan dan setelah diberikan perlakuan, ukuran pengaruh
untuk setiap varian dari CBT telah berubah antara 0,80 dan 1,08. Pembelajaran
jangka panjang dari terapi ini menyarankan untuk memenuhi terapi dengan
lengkap, bahkan terapi CBT secara individual
commit to user dalam jangka pendek (antara 4
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
20
sampai 8 sesi) dan terapi kelompok jangka pendek CBT (6 sesi) memberi banyak
manfaat karena dapat menurunkan gejala, komponen dari CBTjauh lebih efektif
dibandingakan terapi alternatif (Fernandez, 2006).sete
Pada studi ini tehnik CBT dengan menggunakan modul CBTkelompok
untuk pasien ansietas yang dibuat oleh Peter J. Norton 2010. Modul aslinya telah
dimodifikasi dan telah dilakukan face validity oleh pembimbing penelitian. Modul
asli terdiri dari 12 sesi, pada penelitian ini dibuat menjadi 6 kali pertemuan, 1 kali
pertemuan terdiri dari 2 sesi. Pertemuan 1 dan 2 membimbing pasien untuk
menemukan bagaimana pikiran dapat mempengaruhi perasaan, pertemuan 3
membimbing pasien menggunakan pikiran untuk merubah perasaan, pertemuan 4
membimbing pasien untuk memahami bahwa aktivitas dapat mempengaruhi
perasaan dan sebaliknya, pertemuan 5 membimbing pasien untuk memahami
bahwa hubungan dengan orang lain dapat mempengaruhi perasaan begitu juga
sebaliknya, pertemuan 6 mengulang sekilas pertemuan terdahulu dan terminasi.
Setiap selesai pertemuan 1 sampai 5 pasien mendapat PR yang harus dikerjakan
dirumah, dan dibahas pada pertemuan berikutnya.
Mungkin strategi yang paling penting dalam CBT adalah pekerjaan
rumah.Tugas pekerjaan rumah membantu pasien mereduksi distres emosional
dengan mengajarkan pasien keterampilan mengatur pola perilaku dan pikiran
putus asa. Dalam tugas, hal-hal yang perlu dicatat seperti : (1) situasi yang
membuat perasaan tidak nyaman, (2) mengidentifikasi dan mencatat kognitif pada
situasi tersebut, (3) identifikasi mencatat perasaan yang berhubungan dengan hal
tersebut (Coon dan Thompson, 2003).
Psikoterapi merupakan bagian penting dan tak terpisahkan dari terapi
kecamasan. Terapi kombinasi obat dan psikoterapi terbukti lebih efektif untuk
pasien dibandingkan obat saja atau psikoterapi saja, dibandingkan jika terapi
tersebut digunakan sendiri-sendiri ( Luty et al. 2007).
3.1.Psikoneuroimunologi Psikoterapi
Intervensi psikoterapi
bekerja pada mekanisme coping dengan
commit to user
meningkatkan afek positif dan mengurangi afek negatif sehingga memperbaiki
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
21
fungsi imun yang ditandai dengan sinyal kognitif berjalan ke otak melewati jalur
sensorik, auditorik dan visual. Sinyal ini sifatnya tidak darurat, sesudah mencapai
thalamus kemudian ke korteks sensoris tanpa mengalami pembajakan, terus
berlanjut ke korteks transisional untuk proses kontrol kognitif. Sesudah proses di
Korteks selesai, selanjutnya sinyal tersebut diproyeksikan ke hipokampus untuk
disimpan sebagai memori, selain itu sinyal tersebut juga diproyeksikan ke
amigdala serta organ lain yang terkait untuk diekspresikan ke luar. Sinyal kognitif
tersebut memiliki kemampuan untuk menghentikan arus pembajakan sinyal
darurat dari korteks menuju amigdala dan menuju hipotalamus. Dengan demikian
sinyal yang berasal dari pemberian psikoterapi sesudah mencapai korteks untuk
proses kognisi, saat diproyeksikan ke hipokampus dan ke amigdala sudah
merupakan sinyal yang tertata baik, sedangkan sinyal darurat sudah terhambat dan
hilang (Mulyata 2005).
Dibawah pengaruh psikoterapi, korteks serebri mengalami inhibisi kuat,
sehingga daya identifikasi, analisis, pengambilan keputusan terhadap stimuli baru
menurun, pengalaman masa lalu tidak dapat dimanfaatkan. Melalui arahan aktif,
kondisi dan perilaku psikis dan faal pasien dapat dikendalikan (Desen dkk., 2008).
Peranan psikoterapi di sini adalah dapat “membangkitkan” sistem imun. Hasil
riset psikoneuroimunologi bermakna khususnya untuk pengobatan psikosomatik
karena mereka menjelaskan dalam suatu jalur sistemik pengamatan klinis awal
dan studi ilmiah mengenai pengaruh stres pada kondisi kesehatan. Keuntungan
dari pendekatan psikoterapi secara murni adalah menghindari interaksi obat atau
efek samping obat terhadap masalah fisik (Sadock, James, Alcott 2007).
22
Klinis Universitas McGill di Montreal, penting bagi pasien PPOK bahwa depresi
dan kecemasan harus diperlakukan sebagai potensi resiko klinis yang penting,
bukan sebagai ko-morbiditas yang sederhana yang disebabkan PPOK. Hibbert dan
Pilsbury menggunakan monitoring ambulatory PCO2 menunjukkan bahwa
hiperventilasi mendahului eksaserbasi asma pada pasien cemas. Pada kasus ini
diajarkan pada pasien bagaimana cara mengontrol pernafasan setelah terjadinya
hiperventilasi yang berperan penting untuk menghindari serangan asma
(Yellowless and Kalucy, 2004).
4.1.Paradigma Psikobiologi
23
kortisol yang juga bersifat darurat, kadarnya jauh di atas normal, mensupresi
sistem imun menjadi kurang aktif yang berakibat melemahnya ketahanan
imunologis serta menyebabkan proses penyembuhan menjadi terhambat atau
memanjang (Mulyata, 2005). Sebagian respon pada stres termasuk
glukokortikoid dapat menginhibisi fungsi imun, yang terjadi melalui aksis HPA.
CRF dapat merangsang pelepasan norepinefrin melalui reseptor CRF yang
berada di lokus seroleus dengan aktivasi sistem simpatetik sentral maupun perifer
dan meningkatkan pelepasan epinefrin dari medulla adrenal. Selain itu terdapat
hubungan langsung neuron norepinefrin yang merupakan sinap target sel imun.
Jadi ketika terdapat stresor yang dalam hal ini terjadi juga dapat mengaktivasi
imun, termasuk pelepasan faktor humoral – immune (sitokin). Sitokin ini dapat
melepaskan CRF yang dapat meningkatkan efek glukokortikoid dan dapat
melakukan self-limit pada aktivasi imun (Duncan, 2001).
Peningkatan kadar kortisol pada tujuh hari terjadi akibat terpapar
pengaruh stresor psikologis. Tahap berikutnya dari hari ke hari (stres kronis)
terjadi penurunan kadar kortisol akibat kelenjar adrenal dipacu terus
mengeluarkan norepinefrin dan kortisol sehingga sekresi kortisol dan norepinefrin
menjadi berkurang (negative feed back loop), kadar norepinefrin dan kortisol yang
berkurang menyebabkan terjadinya bronkokontriksi pada saluran pernafasan
sebaliknya penurunan aktivitas dari aksis tersebut dan rendahnya derajat
glukokortikoid meningkatkan kerentanan terhadap inflamasi dan keparahan
inflamasi (Rhen &Cidlowski, 2005).
Stres kronis akan menginduksi keadaan hiporesponsif HPA aksis dan
sekresi kortisol berkurang diikuti peningkatan sekresi sitokin inflamasi sehingga
sistem imun menjadi lebih aktif. Pajanan stres lama menyebabkan penurunan
regulasi reseptor terhadap molekul kortisol sehingga mengakibatkan produksi
berlebihan sitokin T helper-2 (Th2) dan perekrutan eosinofil mengakibatkan
proses inflamasi sehingga menimbulkan gejala asma (Surjanto, Sutanto, dan
Duyen, 2009).
24
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
25
A.KERANGKA TEORI
26
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
27
A. KERANGKA TEORI
Khawatir kambuh
Takut mati
Tidak berdaya
Pekerjaan terganggu
Penghasilan berkurang ASMA
Menjadi beban orang lain
Masalah ekonomi pengobatan
HIPOTALAMUS
AMIGDALA hipocampus
LC PAG PBN RN
Eksarsebasi asma
28
B.KERANGKA BERPIKIR
Stresor adalah salah satu faktor pemicu timbulnya asma, sebaliknya asma
juga bisa menyebabkan timbulnya stresor seperti kecemasan dan depresi pada
penderitanya. Pemberian psikoterapi dalam hal ini CBT akan membantu
menurunkan stresor sebagai pemicu serangan asma. Dengan pemberian
psikoterapi keadaan akan berbalik. Rangsangan stres ke sistem limbik akan
dihambat, sehingga aktifasi HPA aksis dan ANS juga dihambat, akibatnya
produksi sitokin proinflamasi menurun gejala asma juga menurun (Hockemeyer,
2002).
Intervensi psikoterapi dalam hal ini CBT bekerja untuk menurunkan
stresor yang dapat mencetuskan eksaserbasi asma. CBT bekerja dengan mengubah
pikiran negatif yang ditimbulkan oleh stresor menjadi pikiran yang positif
sehingga dapat memperbaiki fungsi imun. Sinyal kognitif yang positif setelah
mendapat CBT berjalan menuju orbital prefrontal cortex (OPC), selanjutnya
sinyal kognitif yang sudah tertata baik ntersebut masuk ke amigdala sebagai pusat
yang terlibat dalam perubahan emosi, kemudian amigdala memproyeksikan sinyal
tersebut ke organ-organ lain seperti anterior cingulated cortex (ACC),
hipokampus, hipotalamus, thalamus dan brainstem. Oleh brainstem sinyal tersebut
diteruskan ke LC, PAG dan PBN, karena sinyal yang sampai ke PBN merupakan
sinyal yang tertata baik sehingga menyebabkan aktifitas pernafasan berbalik
menjadi normal seperti Respirasi normal, Sesak nafas berkurang, Takikardia
berkurang, Dada tidak terasa berat, kecemasan berkurang, akibatnya kekambuhan
asma menjadi menurun atau berkurang (Stahl, 2008)
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
29
B. KERANGKA BERPIKIR
Khawatir kambuh
Takut mati
Tidak berdaya ASMA
Pekerjaan terganggu
Penghasilan berkurang
Menjadi beban orang lain
Masalah ekonomi pengobatan
CBT
KELENJAR
PITUITARI thalamus BRAINSTEM
(+)
LC PAG PBN RN
Negative Feeback
KELENJAR
ADRENAL Rangsangan normal, tertata
Respirasi nprmal
Sesak nafas berkurang
SISTEM SARAF OTONOM (ANS) : Takikardia (-)
- SIMPATIS Dada terasa berat (-)
- PARASIMPATIS ( ASETILKOLIN ↑) Kecemasan berkurang
Eksarsebasi
asma
Gambar 2.2. Kerangka berpikir : Pemberian CBT pada penanganan asma dengan ansietas
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
30
B. Hipotesis
commit to user