Anda di halaman 1dari 5

Si Pengupas Telur Puyuh

Riuh pasar mulai terdengar, tanda langkahnya sebentar lagi akan sampai. Langkahnya
itu sudah berapa kali disalib oleh mobil pikap, sepeda motor, bahkan sepeda jengki yang
reyot. Walaupun begitu langkahnya tetap maju, tak iri dengan pihak yang mendahului itu.
Langkah majunya beriringan dengan waktu yang berjalan dan niatan untuk melanjutkan
hidupnya serta keluarga.

Setibanya di pasar, Nurma beristirahat sejenak di depan sebuah kios yang masih tutup.
Maklum jarak rumahnya dengan pasar memerlukan langkah yang banyak. Hawa sejuk subuh
itu ternyata dirasakan dingin oleh tubuhnya yang kecil. Sweter coklat kusam peninggalan
ibunya itu ternyata kurang ampuh untuk menangkis hawa sejuk itu. Ia pun merapatkan
tubuhnya dan mulai menggosok-gosok kedua tangannya. Tatapannya yang melihat lurus
kedepan, sambil memohon agar hari ini akan lebih dari hari lalu.

Ramai dan hidup. Para distributor sayur mulai menurunkan muatannya. Roling Door
pada tiap kios yang sedari malam tidur, pelan pelan mulai bangun. Pedagang kaki lima mulai
menggelar tikar. Nurma juga mulai mendengar kesibukan di kios belakangnya. Tidak
menunggu lama ia kembali melangkah. Menuju ke dalam pasar yang lembab, gelap, dan
sunyi.

“ Nur, ini ada dua baskom belum dikupas, nanti jam 6 mau diambil, cepat ya!”,
Perintah Bu Wening.

“ Ya bu siap”, dijawab Nurma yang baru saja sampai. Setelah melepas sweternya, ia
mulai bekerja. Nurma sudah dua tahun ini menjual jasanya sebagai pengupas telur puyuh.
Sedikit keterangan, Bu Wening merupakan satu-satunya juragan telur puyuh di Pasar Resik.
Maka wajar kios nya selalu ramai sedari pagi. Walau pekerjaan ini dianggap sebelah mata
tapi Nurma tetap melakukannya. Memang zaman sekarang untuk orang yang tak punya ijazah
pendidikan dan keahlian di suatu bidang sepertinya tiada pilihan. Adapun kerja itu seperti
yang sekarang dilakukan, buruh kasar. Tapi tak mengapa memang haknya si rejeki itu untuk
dijemput, dan kewajiban manusialah yang menjemputnya, tidak mengenal kasar ataupun
halus.
Tangan Nurma yang kecil itu pelan tapi teratur megupas satu demi satu cangkang
telur. Nurma tidak sendiri, ia ditemani dengan dua pekerja. Bisa dibilang raut muka
Nurmalah yang paling segar diantara mereka.

“ Wah Bu wening itu kok nggak nambah pegawai pengupas ya ? yang ditambah
malah stok telurnya , padahal kita kan keteteran terus setiap hari” kata Bu Darso membuka
obrolan.

“ Ya gimana mau nambah jeng kalau yang ditawarin pekerjaan ini tidak mau, saya
saja kalo nggak kepepet bantu suami, ya mending ngurus kegiatan rumah ” jawab Bu
Darsiyah.

“ Kok sampeyan tahu kalau nggak ada yang mau dari siapa?”

“ Wah jeng sih yang kurang aktif gaulnya, aku dapet cerita dari pedagang tetangga,
kemarin. Bu Wening sempat ngajak anak jalanan yang dipojokan pasar buat kerja disini, eh
tapi malah ditolak. Harga diri mereka ternyata besar jeng.”

“ Belaga gengsi segala mereka, udah ijazah seadanya, ditawarin pekerjaan nolak. ”

“ Ya gimana ya jeng, karo mereka setiap hari ngemis-ngamen dari pagi- dzuhur aja
udah bisa bawa uang 150 ribu. Gak usah banyak tenaga tinggal genjreng gitar, muka melas,
bisa hidup.”

“ Wah beneran bu? itu sama aja gaji kita ngupas 10 baskom, tapi bisa kebas ini
tangan.”

“ Iya bener jeng “, Bu Darsiyah ketawa kesal.

Bu Darso mulai melirik Nurma yang sedari tadi menyimak,” Nur kamu kok gak
ngemis saja?” Bu Darsiyah menapuk pundak Bu Darso, Ia berpikir kalimat yang baru saja
kelewatan.

“ Wah tidak bu, selagi Saya masih sehat, masih bisa melakukan pekerjaan, saya
pantang jadi peminta-minta. Lebih baik saya bekerja seperti ini walaupun berat tapi hasil
usaha sendiri” jawab Nurma sambil tersenyum. Raut mukanya biasa saja, menandakan ia
memaklumi bercandanya Bu Darso.
“Walah Nur, zaman sekarang sudah instan, kamu nggak usah mikir ruwet, proses
sekarang hanya tipu-tipu. Lihat saja banyak orang sukses banyak uang dengan cara yang
santai-santai”, sambung Bu Darso

“ Muka kamu manis Nur, kenapa juga nggak memilih menikah saja, bukannya si
Yayan petugas pasar ini naksir kamu, nanti bebanmu cuman ngurusin rumah saja lho” Kata
Bu Darsiyah setelahnya.

“Belum sampai kepikiran kesana, Saya masih ingin ngerawat adek. Saya juga mau
ngumpulin uang untuk ambil kejar paket agar dapat ijazah kesetaraan. Buat lamar pekerjaan
yang lebih baik bu”

“ Aduh Nur jangan banyak pengen deh, zaman sekarang gimana cepet bisa hidup
nyaman. Cari cara yang instant bukan yang ribet. Toh kalo kamu menikah kamu bisa juga
ngurusin adek-adekmu juga. Nikah itu nyepetin datangnya rejeki Nur.” Bu Darsiyah
menanggapi Nurma, menakankan kembali apa yang telah di ucapkan Bu Darso tadi.

Nurma tertunduk dilanjutkan dengan senyum tipis manisnya mendengar jawaban


kedua ibu tadi. Mereka pun mengobrol dengan bergantian topik. Nurma kadang juga ikut
mengobrol tapi ia kebanyakan mengupas. Baskom demi baskompun diselesaikan. Jam tak
terasa sudah menunjuk pukul sepuluh tiga puluh. Suasana dalam pasar sudah mulai senggang.
Bu Darsiyah dan Bu Darso berpamitan untuk pulang. Tapi beda halnya dengan Nurma, ia
menunggu siapa tahu ada pekerjaan tambahan dari Bu Wening untuk menambah pundi
rupiahnya yang akan dibawa pulang nanti.

Benar saja datang seorang konsumen datang. Dia seorang wanita tua berseragam
PNS. Dia memesan dua Baskom penuh telur puyuh rebus kupas. Bu wening menjelaskan
bahwa pesanan itu harus ditunggu karena harus mengupas stok telur yang belum dikupas. Ibu
itu menyanggupinya dan memutuskan untuk berkeliling pasar dahulu. Karena tinggal Nurma
sendiri yang ada di kios maka ia yang mendapat rejeki itu. Untuk mempercepat pekerjaan, Bu
Wening juga tak malu duduk bersama Nurma dan membantunya.

“ Tau gak Nur, Ibu PNS tadi itu bolos lho. Padahalkan udah di gaji negara dapat
fasilitas kok ya bisa-bisanya masih bisa keluyuran pas jam kerja.” Bu wening berkata.

“ Jangan prasangka buruk dulu bu siapa tau ibu tadi memang ada perlu di pasar dan
sudah izin” jawab Nurma
“Tidak Nur, dia itu bolos. Aku sudah hapal sifat PNS tua seperti dia. Kadang akupun
yang sudah tua ini juga ingin seperti itu, kerja santai dan dibayar. Tapi jika aku
meninggalkan kios kemudian, belanja bisa aja karyawan disini pergi semua. Liat aja tu Bu
darso sama Bu Darsiyah, Ada aku pasti pulang sebelum Dzuhur gimana kalau aku tidak ada.”

“ Ya dimaklumi lah bu setidaknya mereka masih mau disini, gak pergi selamanya dari
kios ibu”

“ Wah Nur kamu gak merasakan apa yang aku rasakan, tapi biarlah aku masih punya
kamu disini. Kemarin tahu tidak aku ngajak anak jalanan yang ada di pojok pasar untuk kerja
disini.”

Mendengar Bu Wening bercerita Nurma seakan sudah tahu arah pembicaraanya mau
dibawa ke mana. Nurma mendengarkan saja. Bu Wening bercerita panjang dan lebar seperti
pada temannya. Bisa dibilang pada kala itu status pemilik kios dan karyawan pengupas telur
tida ada. Memang itulah seharusnya sosok pemimpin mau berbaur dengan siapa saja. Suasana
yang santai mengiringi mereka bekerja. Ibu PNS itu kembali dari berkelilingnya, Bu Wening
menemuinya dan menyerahkan pesanannya. Ditanyakan mau diapakan telur dua baskom itu
pada ibu PNS tua itu. Ternyata telur-telur itu ingin dibuat sate untuk acara arisan. Ibu PNS
tadi pun meninggalkan kios setelah menyerahkan dua lembar uang berwarna biru. Bu Wening
merapikan kiosnya. Tanda kios akan tutup. Bu Wening menemui Norma dan gaji harian
Nurma dibayarkan.

“Nur kamu gak akan pindah kerja kan?” tanya Bu Wening padanya selepas memberi
kan gaji harian Nurma.

“Tidak bu, saya masih betah disini. Semisal saya pergi saya juga mau kerja apa.
Keahlian saya hanya bisa mengupas cangkang telur.”

Bu Wening mendengar jawaban Nurma tersenyum lebar dan berpesan hati-hati dalam
perjalanannya pulang. Nurma pun berpamitan dengan bersalaman. Membawa uang untuk
hidup dan sebungkus telur puyuh rebus sisa hari ini untuk dimasaknya nanti. Langkah banyak
Nurma pun kembali dimulai, bedanya sekarang menuju rumah, satu-satunya tempat ia harus
kembali. Dibawah teriknya matarahari dan sepoinya angin siang. Nurma si gadis pengupas
telur itu tetap tegap berjalan. Perasannya tabah menjalani takdir hari ini dan esok.

Anda mungkin juga menyukai