Anda di halaman 1dari 17

LAPORAN DISKUSI KELOMPOK

PEMICU 1 BLOK 17

” GUSI NYERI DAN GIGI PALSU LONGGAR”

DISUSUN OLEH:

KELOMPOK 6

FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2020
KELOMPOK 6

Ketua : Cici Cahya Utami (180600204)

Sekretaris : Iqlima Salsabila Binti Mohamad (180600248)

Anggota :

Safutri Wulandari (180600031)

Rahmi Mawaddah (180600032)

Nadya Alyssa (180600033)

Anary Bruni (180600034)

T. Nadya Arizka (180600035)

Hanifa Natarisya (180600036)

Regina Sianipar (180600118)

Irna Salsabila Lubis (180600119)

Neneng Nurhikmawati (180600120)

Rifa Ardisa (180600122)

Welly R Napitupulu (180600123)

Sherley Margan (180600124)

Bonie Melino Prabawa (180600125)

Luthfi Aulia (180600199)

Kesia Bregita (180600200)

Mirza Yolanda (180600201)

Annimah Agpabratasino Melga S (180600202)

Kristieva Aprilia Sihombing (180600203)

Hania Neysa Nabilah (180600205)


BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Pada prinsipnya, masalah impaksi timbul karena ketidaksesuaian antara ukuran serta
bentuk gigi dan rahang. Impaksi gigi molar ketiga bawah adalah gigi molar ketiga mandibula
yang gagal untuk erupsi (tumbuh) secara sempurna pada posisinya, oleh karena terhalang
oleh gigi depannya (molar kedua) atau jaringan tulang/jaringan lunak yang padat di
sekitarnya. Impaksi gigi molar tiga bawah sering ditemukan pada praktek dokter gigi
seharihari. Gigi ini tumbuh pada akhir masa remaja atau awal usia 20-an. Usia ini dianggap
sebagai “age of wisdom” (usia di mana seseorang mulai bijaksana), sehingga gigi bungsu
dalam bahasa Inggris disebut “wisdom tooth”. Impaksi gigi molar ketiga mandibula juga
dapat mengganggu proses mengunyah dan sering menyebabkan berbagai komplikasi, salah
satu komplikasi nya adalah perikoronitis.

Perikoronitis adalah infeksi non spesifik pada jaringan lunak disekitar mahkota gigi
yang erupsinya tidak sempurna. Perikoronitis sering ditemukan pada molar 3 bawah yang
impaksi, namun dapat pula terjadi pada anak yang sedang mengalami proses erupsi gigi
molar tetap. Perikoronitis dapat muncul dengan gambaran yang berkembang dalam hitungan
jam hingga beberapa hari dengan gambaran klinis berupa kemerahan dan pembengkakan
yang halus berkilat pada gingiva sekitar mahkota yang terlibat dengan penyebaran nyeri
hingga telinga, tenggorokan dan dasar mulut.
1.2. Kasus

Nama Pemicu : Gusi nyeri dan gigi palsu longgar


Penyusun : Abdullah Oes, drg. ; Indra Basar Siregar, drg., M.Kes. ; Syafrinani, drg.,
Sp.Pros(K).
Hari/ Tanggal : Rabu / 3 November 2020
Waktu : 13.30 – 15.30 WIB

Skenario
Seorang pasien wanita usia 50 tahun di rujuk ke RSGM USU, dengan keluhan nyeri pada
gusi gigi geraham ketiga bawah sebelah kiri sejak 6 hari yang lalu dan terasa bengkak. Pasien
meminum obat yang diberikan oleh drg, namun bengkak tidak berkurang. Pada pemeriksaan
klinik,terlihat pembengkakan di gingiva gigi 38, warna lebih merah dari jaringan sekitarnya,
nyeri tekan (+), konsisitensi lunak, gingiva sebagian menutupi mahkota gigi 38. Edentulous
pada region gigi 14 s/d 16 dan regio gigi 31 s/d 35. Pada pemeriksaan radiografi panoramik
terlihat gigi molar 38, seperti pada foto dibawah ini.

Pertanyaan :
1. Dari hasil radiografi, sebutkan klasifikasi gigi molar tiga mandibula tersebut menurut Pell

& Greogory dan Winter!


2. Apakah kemungkinan diagnosa pada kasus tersebut!
3. Jelaskan etiologi dan patofisiologi dari penyakit tersebut!
4. Jelaskan rencana perawatan dari kasus tersebut!
5. Jelaskan komplikasi dari perawatan kasus tersebut!
6. Tuliskan peresapan rasional untuk kasus tersebut di atas!

More information :
Pasien sebelumnya menggunakan gigi palsu lepasan pada sisi kiri bawah sejak sekitar 8 tahun
yang lalu. Namun gigi palsu tersebut tidak dapat digunakan lagi karena selalu goyang dan
tidak nyaman apabila di pakai. Pasien dirujuk ke RSGM USU juga untuk pembuatan gigi
palsu yang baru. Pada pemeriksaan klinis di dapatkan linggir datar pada regio gigi 31 s/d 35.
Ketika gigi tiruan dibuka, tampak adanya kemerahan pada mukosa tengah dibawah lipatan
bibir depan bawah, juga kemerahan pada mukosa linggir alveolar edentulus yang menonjol
pada regio 14 s/d 16, nyeri saat ditekan.

7. Apakah diagnosis tambahan pada kasus tersebut!


8. Jelaskan rencana perawatan yang sebaiknya dilakukan terhadap kasus tersebut!
BAB II
PEMBAHASAN
1. Dari hasil radiografi, sebutkan klasifikasi gigi molar tiga mandibula tersebut
menurut Pell & Greogory dan Winter!

Jawab :

Menurut Pell dan Gregory (1933), Berdasarkan kedalaman impaksi molar ketiga
didalam tulang, molar ketiga dapat diklasifikasikan menjadi 3 kategori, yaitu:
- Kelas A : Permukaan oklusal gigi yang impaksi berada pada level yang sama atau
sedikit dibawah gigi molar kedua.
- Kelas B : Permukaan oklusal dari gigi yang impaksi berada pada pertengahan
mahkota gigi molar kedua atau berada pada level yang sama dengan garis servikal.
- Kelas C : Permukaan oklusal gigi yang impaksi berada dibawah garis servikal gigi
molar kedua.

Menurut Pell dan Gregory (1933), Berdasarkan jarak gigi (distal molar kedua) ke batas
anterior ramus mandibula, gigi impaksi dapat diklasifikasikan menjadi tiga ketgori, yaitu:
- Kelas 1 : Jarak antara gigi molar kedua dan batas anterior ramus lebih lebar dari
diameter mesiodistal mahkota gigi yang impaksi, jadi ekstraksi tidak membutuhkan
pembuangan tulang dari bagian ramus mandibula.
- Kelas 2 : Jarak antara gigi molar kedua dan batas anterior ramus lebih kecil dan
ruang yang tersedia lebih sempit dari diameter mesiodistal mahkota gigi yang
impaksi.
- Kelas 3 : Tidak ada ruang antara gigi molar kedua dan batas anterior ramus, jadi gigi
impaksi yang ada terbenam pada ramus mandibula.
Menurut George Winter, Berdasarka angulasi (posisi aksis gigi molar ketiga terhadap
gigi molar kedua), gigi impaksi diklasifikasikan menjadi:
- Mesioangular : Gigi impaksi miring ke arah molar kedua dalam arah mesial (11º-
79º).
- Distoangular : Gigi impaksi molar krtiga miring ke arah distal / posterior menjauhi
molar kedua (-11º-(-79º)).
- Vertikal : Sumbu panjang molar ketiga sejajar dengan sumbu panjang molar kedua
(10º-(-10º)).
- Horizontal : Sumbu panjang molar ketiga horizontal (80º-100º).
- Bukoangular : Gigi impaksi miring ke arah bukal.
- Linguoangular : Gigi impaksi miring ke arah lingual
- Inverted : Gigi impaksi mengarah terbalik terhadap arah erupsi gigi yang seharusnya.
- Unusual position
Jika dikaitkan dengan kelainan yang terjadi pada gigi 38 menurut kalsifikasi Pell and
Geogory maka termasuk kelas 1 pada posisi B dan pada Angulation klasifikasi menurut
Winter maka termasuk kedalam mesioangular.

2. Apakah kemungkinan diagnosa pada kasus tersebut!

Jawab :

Diagnosis pada kasus adalah pericoronitis (operculitis) karena impaksi gigi 38.

Gigi impaksi adalah gigi yang erupsi seluruhnya atau sebagian yang posisinya
menentang gigi lain, tulang, atau jaringan lunak sehingga menghambat kelanjutan erupsinya.
Pericoronitis adalah infeksi jaringan lunak yang mengelilingi mahkota gigi yang erupsi
parsial, ditandai dengan pembengkakan, nyeri, eritema pada operculum, trismus,
pembengkakan fasial, naiknya suhu tubuh, limfadenopati regional, dan malaise. Pericoronitis
paling sering ditemukan pada gigi molar ketiga mandibula, tetapi dapat terjadi di seluruh gigi
yang erupsinya belum sempurna.

Pada kasus pemeriksaan klinis gigi 38, gigi impaksi, terlihat adanya pembengkakan
pada gingiva serta warna lebih merah dari jaringan sekitarnya. Gambaran klinis tersebut
merupakan gambaran klinis perikoronitis, dimana terjadi inflamasi gingiva yang disebabkan
oleh gigi yang erupsi sebagian. Menurut indonesian journal of dentistry, perikoronitis dapat
muncul dengan gambaran inflamasi akut yang berkembang dalam hitungan jam hingga
beberapa hari (pada skenario sejak 6 hari yang lalu).

3. Jelaskan etiologi dan patofisiologi dari penyakit tersebut!

Jawab :

 Etiologi perikoronitis
Etiologi utama perikoronitis adalah flora normal rongga mulut yang terdapat
dalam sulkus gingiva. Flora normal yang terlibat adalah polibakteri, meliputi bakteri
gram positif dan bakteri gram negatif. Spesies bakteri yang dominan pada
perikoronitis molar ketiga rahang bawah yang sedang tumbuh adalah spesies
Streptococcus, Actinomyces dan Propionibacterium. Mikroflora pada perikoronitis
didapatkan mirip dengan mikroflora pada poket periodontal. Bakteri-bakteri tersebut
memicu inflamasi pada daerah perikorona. Perikoronitis juga diperparah oleh trauma
akibat gigi antagonis. Selain itu faktor emosi, merokok, dan infeksi saluran respirasi
juga memparah perikoronitis.

 Patofisiologi perikoronitis
Perikoronitis berawal dari gigi yang erupsi sebagian, mahkota gigi diliputi
oleh jaringan lunak yang disebut dengan operkulum. Antara operkulum dengan
mahkota gigi yang erupsi sebagian terdapat spasia yang membentuk pseudopoket.
Debris makanan dapat berkumpul pada poket antara operkulum dan gigi impaksi,
sehingga tidak dapat dibersihkan dari sisa makanan dengan sempurna akhirnya
menyebabkan infeksi oleh berbagai macam flora normal rongga mulut, terutama
microflora subgingiva yang membentuk koloni di celah tersebut. Keadaan ini juga
dapat diperparah karena salah satunya kebersihan rongga mulut yang kurang,
sehingga terdapat akumulasi plak, dapat mendukung berkembangnya koloni bakteri
dan juga infeksi ini dapat bersifat lokal atau dapat meluas ke jaringan yang lebih
dalam dan melibatkan spasia jaringan lunak yang lainnya.

4. Jelaskan rencana perawatan dari kasus tersebut!

Jawab :

 Fase nonbedah: Debridemen, melakukan irigasi pada daerah di bawah flap


operculum dengan saline hangat. Larutan iodin 1cc bisa menjadi alternatif bahan
irigasi. Pasien diresepkan antibiotik. Menginstruksikan pasien berkumur dengan
0,12% klorheksidin atau air garam hangat dua kali sehari. Instrumen yang digunakan
spuit injeksi 10 ml dengan jarum tumpul no. 10 yang ditekuk hingga 80 derajat,
dibantu dengan instrument ultrasonic dan sonic untuk membersihkan plak dan
kalkulus yang berakumulasi.

 Evaluasi infeksi: Pasien dijadwalkan kembali 24 jam berikutnya untuk dilakukan


irigasi kembali, kemudian dijadwalkan lagi 24 jam berikutnya, jika infeksi akut telah
mereda dilakukan odontektomi gigi 38.
 Ekstraksi gigi 28. Tujuan dari ekstraksi gigi 28 adalah untuk menghilangkan salah
satu penyebab terjadinya pericoronitis pada regio 38 sehingga inflamasi dapat segera
mereda, dan juga dapat mencegah terjadinya pericoronitis berulang.

 Fase bedah: ekstraksi gigi 38 yang impaksi (odontektomi). Gigi 38 mengalami


impaksi mesioangular, yang juga menjadi salah satu penyebab rentan terjadinya
penumpukan debris pada operculum yang dpaat menyebabkan pericoronitis dan
berisiko merusak gigi tetangga (gigi 37). Sehingga, gigi 38 diindikasikan untuk
dilakukan perawatan operatif odontektomi sesegera mungkin setelah inflamasi pada
operculum telah mereda.

Tahapan odontektomi:
1) Anestesi (blok mandibular anestesi)
2) Operkulektomi
Prosedur ini dilakukan untuk mengobati perikoronitis, suatu kondisi yang di
karakteristikan oleh nyeri dan peradangan pada operculum atau lipatan gusi yang
menutupi gigi, yaitu dengan cara menyingkirkan atau insisi pada daerah operculum
yang menutupi mahkota gigi.
3) Insisi dan desain flep (Incision and Designing the Flap)
Insisi horizontal: pada daerah distal molar ketiga sampai ramus
Insisi semivertikal: pada daerah distal molar kedua
4) Pembuangan tulang (Bone Removal)
Menggunakan hand piece high speed dengan bur round tulang pada daerah oklusal
dan bukal dari garis serviks sampai ke akar gigi di buang. Bagian tulang yang dibuang
adalah bagian bukal dann distal gigi 38.
5) Pembelahan dan pengambilan gigi dari soket (Sectioning and Delivery)
Separasi gigi dan keluarkan dari soket
6) Pembersihan dengan irigasi (Debridement)
7) Penutupan luka atau suturing (Wound Closure)
5. Jelaskan komplikasi dari perawatan kasus tersebut!

Jawab :

 Komplikasi yang mungkin terjadi selama perawatan:


- Cedera jaringan lunak. Komplikasi yang umum dan biasanya disebabkan oleh
manipulasi instrumen yang tidak tepat atau tidak disengaja (misalnya
tergelincirnya elevator) selama pencabutan gigi. Daerah yang sering cedera
adalah pipi, dasar mulut, langit-langit, dan daerah retromolar.
- Fraktur alveolar process. Komplikasi ini dapat terjadi jika pergerakan saat
ekstraksi dilakukan secara tiba-tiba atau terdapatnya akilosis gigi dengan prosesus
alveolar.
- Fraktur mandibula. Komplikasi ini dapat terjadi jika selama ekstraksi gigi molar
ketiga mandibula, digunakan kekuatan yang berlebih dengan elevator, ketika jalur
yang adekuat tidak terbentuk.
- Instrumen patah dalam jaringan. Kekuatan berlebih selama luksasi gigi dapat
menyebabkan patahnya instrumen. Instrumen yang sering patah berupa elevator,
bur, jarum anestesi.
- Dislokasi sendi temporomandibula. Komplikasi ini terjadi karena prosedur
operasi yang panjang, terutama pada ekstraksi molar ketiga yang terpendam.
- Emfisema subkutan dan submukosa. Komplikasi ini dapat terjadi sebagai akibat
dari udara yang memasuki jaringan ikat yang longgar, ketika rotor udara
digunakan dalam prosedur bedah untuk pengangkatan tulang atau untuk
memotong gigi yang impaksi.
- Hemorrhage. Komplikasi yang umum terjadi pada prosedur bedah. Perdarahan
dapat terjadi karena trauma pembuluh darah dan adanya masalah koagulasi.
- Cedera saraf. Komplikasi ini, terutama pemutusan saraf inferior alveolar dapat
terjadi selama prosedur bedah pada saat blokade saraf ataupun insisi.

 Komplikasi yang mungkin terjadi setelah perawatan:


- Trismus. Biasanya terjadi saat ekstraksi molar ketiga manidbula, yang
dikarakteristik oleh restriksi pembukaan mulut karena kekakuan otot mastikasi.
- Hematoma. Biasanya disebabkan oleh perdarahan kapiler yang berkepanjangan.
- Ekimosis. Terdapatnya kapiler yang rapuh karena kerusakan selama retraksi flap
dengan retraktor.
- Edema. Komplikasi ini terjadi karena ekstravasasi cairan oleh jaringan yang
trauma karena kerusakan pembuluh limfe yang berakumulasi pada jaringan.
Pembengkakan akan mencapai maksimum dalam 48-72 jam setelah prosedur
bedah.
- Nyeri soket pasca ekstraksi. Biasanya tnyeri timbul sesaat setelah efek anestesi
hilang.
- Dry socket. Biasanya timbul 2-3 hari setelah ekstraksi. Pada kondisi ini, blood
clot hancur dan lepas, sehingga memperlambat penyembuhan dan terjadinya
nekrosis pada permukaan tulang dari soket.
- Infeksi pada luka. Infeksi dapat terjadi pada permukaan luka bedah ataupun
meluas ke dalam jaringan yang terlibat dalam manipulasi bedah.

6. Tuliskan resep yang rasional yang dapat diberikan pada pasien tersebut!
Jawab :

R/ Asam Mefenamat 500 mg No. X


S3 dd Cap 1

R/ Amoxicillin tab 500mg No. XV


S3 dd tab 1

R/ Kalium Diclofenac tab mg 500 No.VI


S p.r.n tab 1

R/ Becom-C tab 500mg No. X


S1 dd tab 1

a) Asam Mefenamat (Antipiretik)


Alasan pemberian antipireutik pemberian obat golongan ini bermanfaat untuk mengontrol
nyeri yang timbul pasca tindakan odontektomi. Asam mefenamat mampu membantu
meredakan peradangan dan keluhan sakit gigi, seperti nyeri dan bengkak di sekitar gigi atau
gusi. Asam mefenamat bekerja dengan cara mengurangi nyeri dan peradangan yang terjadi
saat seseorang menderita sakit gigi. Cara asam mefenamat dalam meredakan nyeri adalah
dengan menurunkan produksi prostaglandin dalam tubuh.
b) Amoxicillin (Antibiotik)
Amoxicillin diresepkan untuk mengobati berbagai macam infeksi. Obat ini termasuk ke
dalam antibiotik golongan penicillin. Obat amoxicillin bekerja dengan untuk mencegah
terjadinya infeksi oleh bakteri yang dapat menghambat penyembuhan luka bedah. Antibiotik
bekerja dengan cara membunuh kuman-kuman penyebab sakit gigi, sehingga infeksi dan
peradangan pada gigi maupun gusi dapat cepat membaik. Biasanya digunakan untuk
mengatasi sakit gigi yang disertai dengan pembengkakan pada gusi ataupun gusi bernanah.

c) Kalium Diclofenac
Kalium Diklofenak memiliki efek analgesik dan antiinflamasi untuk meringankan nyeri sakit
gigi ringan sampai sedang.

d) BECOM-C (Multivitamin)
BECOM-C mengandung kombinasi Vitamin B Kompleks, Vitamin C, Nicotinamide, dan
Kalsium Pantotenat. Multivitamin ini digunakan untuk membantu memenuhi kebutuhan
multivitamin selama masa penyembuhan. Becom C merupakan multivitamin yang berperan
memelihara dan meningkatkan daya tahan tubuh dan mempercepat terjadinya penyembuhan.

7. Apakah diagnosis tambahan pada kasus tersebut!

Jawab :

 Eksositosis pada regio 14 s/d 16


Eksostosis adalah pertumbuhan tulang berlebih yang jinak, terlokalisasi dan bisa
berupa tonjolan nodular, datar atau bertangkai yang terletak di permukaan alveolar
tulang rahang. Eksostosis adalah penonjolan tulang yang dapat terjadi pada rahang
bawah maupun rahang atas yang berbentuk membulat, serta tajam bila diraba dan
terasa sakit dan tidak dapat digerakkan. Penyebab eksostosis ini adalah adanya
resorbsi tulang pada usia lanjut yang terjadi secara fisiologis dan tidak teratur
sehingga didapatkan sisa tulang resorbsi yang tajam dan mungkin ada yang tumpul.
Eksostosis ditandai secara khas dengan tertutupnya tonjolan tersebut oleh kartilago.
Eksostosis dapat mengganggu retensi, stabilitas, dan kenyamanan pasien pengguna
gigi tiruan.
 Linggir Datar (flat-ridge) pada regio gigi 31 s/d 35
Linggir datar merupakan resorbsi tulang alveolar yang berlebih pada rahang tanpa
gigi dan biasa ditemukan pada pasien yang sudah lama kehilangan gigi. Resorbsi
berlebihan pada puncak tulang alveolar mengakibatkan bentuk linggir yang datar
akibat hilangnya lapisan kortikalis tulang. Pada kasus rahang bawah dengan linggir
datar karena mengalami resorbsi akibat kehilangan gigi, sehingga perlekatan otot-otot
terletak pada puncak linggir maka gigi tiruan akan dengan mudah terlepas (goyang).
Perubahan yang terjadi pada tulang alveolar (linggir) dapat mempengaruhi retensi,
dukungan dan stabilitas dari gigi tiruan yang dapat menyebabkan fungsi gigi tiruan
kurang baik dan oklusi yang tidak seimbang.

8. Jelaskan rencana perawatan yang sebaiknya dilakukan terhadap kasus tersebut!

 Rencana perawatan yang dilakukan pada regio 31 s/d 35 linggir datar adalah
pembuatan Gigi Tiruan Sebahagian Lepasan (GTSL) baru. Kebutuhan
penggunaan gigi tiruan sebahagian lepasan meningkat pada pasien usia lanjut
karena mengalami perubahan - perubahan fisiologis dalam rongga mulut mereka
termasuk kehilangan gigi. Tindakan pembuatan gigi tiruan sebahagian lepasan
baru dilakukan setelah pencabutan gigi 38 dan setelah tindakan alveolektomi.
Sebelum dibuat gigi tiruan baru terlebih dahulu dilakukan vestibuloplasti, yang
merupakan tindakan bedah bertujuan untuk mendalamkan sulkus alveolar hingga
dapat tinggi linggir yang ideal. Tujuan dari vestibuloplasti adalah untuk
menambah stabilitas dan retensi yang baik dari gigi tiruan sehingga memberi
kenyamanan pada pasien.
 Rencana perawatan untuk regio 14 s/d 16 adalah alveolektomi. Tujuan
dilakukannya alveolektomi adalah memperbaiki kelainan dan perubahan alveolar
ridge yang berpengaruh dalam adaptasi gigi tiruan, membuang alveolar ridge
yang tajam dan menonjol untuk menghilangkan undercut yang dapat menggangu
pemasangan gigi tiruan.
 Pembuatan gigi tiruan sebagian lepasan pada regio edentulous gigi 14 s/d 16
bertujuan untuk mengembalikan fungsi pengunyahan yang optimal. Pencetakan
dapat dilakukan setelah daerah bedah telah pulih.
BAB III
KESIMPULAN

Gigi impaksi merupakan gigi yang menghalangi jalan dari normalnya erupsi pada
lengkung gigi karena kurangnya ruang pada lengkung atau obstruksi pada jalannya erupsi
dari gigi. Gigi yang paling sering mengalami impaksi adalah molar ke tiga rahang bawah,
sehingga perlu dilakukan tindakan odontektomi. Tindakan odontektomi membutuhkan
waktu relatif lebih lama jika dibandingkan dengan ekstraksi gigi biasa karena terdapat
tahapan langkah dasar atau rencana prosedural dalam tindakannya serta kesulitan dari
posisi gigi. Efek lain bila tidak dilakukan tindakan odontektomi gigi impaksi molar ketiga
rahang bawah akan menyebabkan sakit atau gangguan atau tekanan pada gigi molar
keduanya dan kemungkinan terjadi kista dentigerous. Perikoronitis terjadi ketika
pertumbuhan gigi geraham bungsu mengalami gangguan, sehingga gigi gagal keluar dari
gusi (erupsi) dengan sempurna. Terganggunya proses erupsi ini disebut dengan impaksi.
Gejala perikoronitis ditandai dengan nyeri di sekitar gigi molar tiga, pembengkakan pada
gusi, bau mulut yang tidak sedap dan keluarnya nanah dari gusi. Pada kasus linggir datar,
linggir datar merupakan resorbsi tulang alveolar yang berlebih pada rahang tanpa gigi dan
biasa ditemukan pada pasien yang sudah lama kehilangan gigi. Manakala eksositosis
adalah penonjolan tulang yang dapat terjadi pada rahang bawah maupun rahang atas yang
berbentuk membulat, serta tajam bila diraba dan terasa sakit. Penyebab eksostosis ini juga
karena adanya resorbsi tulang pada usia lanjut yang terjadi secara fisiologis dan tidak
teratur sehingga didapatkan sisa tulang resorbsi yang tajam dan mungkin ada yang
tumpul. Eksositosis dapat mengganggu retensi, stabilitas, dan kenyamanan pasien
pengguna gigi tiruan. Pada kasus dengan pasien edentulus, kehilangan gigi merupakan
salah satu perubahan jaringan rongga mulut. Jika gigi yang hilang tidak segera diganti
dapat menimbulkan kesulitan bagi pasien sendiri. Pada kasus pasien edentulous sebagian,
gigi tiruan sebagian lepasan (GTSL) adalah gigi tiruan yang menggantikan beberapa gigi
yang hilang pada rahang atas atau rahang bawah dan dapat dilepas oleh pasien.
Kebutuhan penggunaan gigi tiruan meningkat pada kelompok usia lanjut karena
mengalami perubahan-perubahan fisiologis dalam rongga mulut mereka termasuk
kehilangan gigi.
DAFTAR PUSTAKA

1. Kumar L. Biomechanics and clinical implications of complete edentulous state. JCGG


2014:101-4.

2. Dabas N, Dabas A, Yadav H. Management of the mandibular compromised ridge: a


literature review and case report. World Dent J 2013;4(1):67-71.

3. Angelia V. Penatalaksanaan Gigi Tiruan Lengkap Dengan Linggir Datar dan Hubungan
Rahang Klas III Disertai Cerebrovascular Accident (Laporan Kasus).B-Dent
2015;2(1):44-50.

4. Rahayu S. Odontektomi, Tatalaksanan Gigi Bungsu Impaksi. E-Journal WIDYA


Kesehatan dan Lingkungan 2014; 1(2): 81-89.

5. Hupp JR. Ellis E, Tucker MR. Contemporary Oral and Maxillofacial Surgery. 7 th ed.
Philadelphia: Elsevier; 2019: 162-3.

6. Yurika AL, Indra H. Klasifikasi impaksi gigi molar ketiga melalui pemeriksaan radiografi
sebagai penunjang odontektomi. Jurnal Radiologi Dentomaksilofasial Indonesia April
2020; 4(1) : 1-5.

7. Wray D, Stenhouse D, Lee D, Clark AJ (2003). Buku Teks Bedah Umum Dan Mulut.
Edinburgh [Dll]: Churchill Livingstone. Hlm. 220–222.

8. Bataineh Q M Et Al 2003. The Predisposing Factors Of Pericoronitis Of Mandibular


Third Molars In A Jordania Population. J Oral Maxillofacial Surgery.

9. Fragiskos FD. Oral Surgery. Greek: Springer-Verlag Berlin Heidelberg; 2007: 126-7.

10.Yilmaz S, Adisen MZ, Misirlioglu M, Yorubulut S. Assessment of Third Molar Impaction


Pattern and Associated Clinical Symptoms in a Central Anatolian Turkish Population.
Med Princ Pract 2016; 25: 169-75.

11. Dhonge RP, Zade RM, Gopinath V, Amirisetty R. An insight into pericoronitis. Int J Dent
Med Res 2015; 1(6): 172-5.

12. Carranza FA, Jr. The treatment plan, in: Carranza FA Jr & Newman MG (eds), Clinical
Periodontology, 8th ed. Philadelphia, WB Saunders Co., 1996: 399-401.

Anda mungkin juga menyukai