Terimakasih Catatan Maya, Catatan Raphaela, PPM Revisi, Lecture SPV, dan Google.
10 Penyakit Pediatri
A. Asma
• Definisi:
• Faktor risiko:
• Modifiable: polusi udara, asap rokok, makanan cepat saji, berat lahir, rendahnya
pendidikan ibu, ventilasi rumah yang tidak memadai.
• Patogenesis:
APC utama pada saluran respiratori adalah sel dendritik. Ketika antigen masuk ke
saluran respiratori, sel dendritik akan menangkap antigen tersebut dan bermigrasi ke
tempat yang banyak limfosit. Di tempat ini, sel dendritik akan menjadi APC yang matang
akibat adanya sitokin-sitokin. APC yang matang menyebabkan polarisasi Th0 (Th naif)
menjadi Th1 atau Th2 (polarisasi dilihat dari IL-12 + atau -). Bila IL-12(+) maka Th0
menjadi Th1, mengeluarkan sitokin berupa IFN-γ, TNF-β, dan IL-2. Bila IL-12(-) maka Th0
menjadi Th2, mengeluarkan sitokin yang berkaitan dengan kejadian asma seperti IL-4,
IL-5, IL-9, IL-13, dan IL-16. Sitokin-sitokin yang dikeluarkan oleh Th2 ini mengaktifasi IgE,
sel mast, basofil, dan eosinofil sehingga terjadi pelepasan mediator inflamasi (histamin,
prostaglandin, leukotrien, dan enzim). Mediator-mediator ini menginduksi:
Proses ini menyebabkan terjadinya obstruksi jalur nafas. Hal ini menyebabkan munculnya
gejala-gejala asma.
• Diagnosis:
• Anamnesis, dikeluhkan batuk, sesak, atau rasa dada tertekan dengan karakteristik:
- Timbul bila ada faktor pencetus, misalkan iritan (asap rokok, bakaran sampah,
suhu dingin, udara kering, makanan), alergen (debu, tungau, bulu hewan, pollen),
infeksi respiratori akut (virus, flu, rinofaringitis), dan aktivitas fisik (lari, teriak,
menangis).
- Reversibilitas (gejala dapat membaik secara spontan atau dengan obat pereda
asma).
• Pemeriksaan fisik, pada keadaan stabil tidak ditemukan gejala, sedangkan pada
keadaan bergejala, dapat terdengan wheezing, baik audible wheezing atau dengan
stetoskop. Perlu juga dicari tanda atopi lain seperti dermatitis atopi, rinitis alergi,
allergic shiners, geographic tounge.
- Spirometri / Peak Flow Meter (PFM) untuk uji fungsi paru sekaligus uji reversibilitas
dan variabilitas. Bermakna bila terdapat gambaran obstruksi (FEV1 <80% nilai
prediksi atau FEV1/FVC <90%), kemudian setelah diberikan bronkodilator uji
reversibilitas terjadi peningkatan FEV >12%, variabilitas menunjukkan PEFR harian
>13%.
- Uji provokasi bronkus dengan exercise, metakolin, atau larutan salin hipertonik.
- Pengecekan lain sesuai indikasi (tes tuberkulin, x-ray, uji reflux gastro-esofagus).
- Intermiten, episode gejala <6x/tahun dengan jarak antar gejala <6 minggu.
- Asma terkendali penuh (well controlled), tanpa obat pengendali pada klasifikasi
intermiten dan dengan obat pengendali pada klasifikasi persisten (ringan/
sedang/berat).
- Tanpa gejala.
- Ada gejala.
- Serangan ringan/sedang.
- Serangan berat,
• Tatalaksana:
- LTRA (Leukotrine Receptor Antagonist), pilihan lain selain ICS, dapat dikombinasi
dengan ICS, memiliki efek terapetik yang lebih rendah.
- Teofilin lepas lambat, bisa tunggal ataupun kombinasi ICS, pemberian tidak boleh
lebih dari 10mg/Kg/BB karena efek samping dapat timbul berupa mual muntah,
anoreksia, palpitasi, takikardia, aritmia.
- Anti-IgE, antibodi monoklonal yang dapat mengurangi kadar IgE bebas dalam
serum, diberikan apabila ICS dosis tinggi dan LABA gagal. Harus dibawah
supervisi dokter spesialis karena sering menyebabkan anafilaktik.
- Jenjang 3: pilihan pertama ICS dosis rendah+LABA, pilihan lain ICS dosis sedang,
ICS dosis rendah+LTRA, ICS dosis rendah+teofilin lepas lambat.
- Jenjang 4: ICS dosis sedang+LABA, pilihan lain ICS dosis tinggi+LABA, ICS dosis
tinggi+LTRA, ICS dosis tinggi+teofilin lepas lambat.
- Catatan:
- 6-8 minggu memburuk maka step up, 8-12 minggu membaik maka step
down.
- Bila jenjang 3 masih gagal, maka kasus termasuk asma sulit, sehingga harus
dirujuk ke konsultan respirologi anak.
Serangan asma adalah episode peningkatan gejala asma yang progresif. Serangan
asma mencerminkan gagalnya tatalaksana asma jangka panjang atau terpapar pencetus.
Tahapan tatalaksana dibagi 2:
- Terbutalin
- Aminofilin IV, pada serangan asma berat atau asma yang tidak berespon dengan
pengobatan. Bolus inisial pelan 6-8mg/KgBB dalam 20 menit dilanjutkan dengan
drip 1mg/KgBB. Target aminofilin serum 10-20ug/mL (dievaluasi setelah 1-2 jam
pemberian bolus).
• Faktor Risiko
• Patogenesis
Bronkiolitis didahului dengan adanya infeksi virus saluran napas bagian atas.
Akibat adanya infeksi, muncul respon inflamasi akut yang menyebabkan terjadinya
edema, hipersekresi mukus, dan pengumpulan debris-debris seluler. Hal ini menyebabkan
terjadinya hambatan udara. Ketika udara terhambat, terjadi air trapping dan hiperinflasi
paru. Akibatnya, terjadi gangguan ventilasi dan perfusi dan menyebabkan hipoksemia dan
hipercapnia. Tetapi, seperti halnya infeksi virus lain, umumnya bronkiolitis bersifat self
limiting.
• Diagnosis
• Anamnesis, dikeluhkan sesak atau mengi YANG didahului dengan demam sub febris
serta batuk pilek + 5 hari. Bila parah, bisa dikeluhkan sulit makan dan minum.
Ditanyakan juga faktori risiko atau DD, seperti riwayat asma, riwayat persalinan,
lingkungan rumah.
• Pemeriksaan fisik, didapatkan wheezing, ronki, atau crackles pada auskultasi thoraks,
napas cuping hidung, retraksi dada, hiperinflasi dada, sianosis, dan ekspirasi
memanjang.
• Penunjang, dengan gold standard RSV test. Bisa juga dilakukan AGD, chest x-ray.
- Cara membedakan bronkiolitis dan asma adalah riwayat atopi serta perjalanan
penyakit. Asma jarang didahului dengan demam.
• Derajat Penyakit
• Ringan
- RR dbn
- tanpa retraksi
- tanpa dehidrasi
- Ekspirasi memanjang
• Sedang
- RR meningkat
- Retraksi sedang
• Berat
- RR >70x/menit
- Retraksi nyata
- SpO2 <94%
- Merintih
• Tatalaksana
- 10 Kg pertama: 100mL/KgBB/hari.
- 10 Kg kedua: 50mL/KgBB/hari.
- Selebihnya: 20 mL/KgBB/hari.
• Bronkodilator:
• Kortikosteroid:
• Antiviral:
- Ribavin (nebulizer) 20mg/mL diberikan dalam 12-18 jam per hari selama 1 minggu.
Ribavin diberikan apabila curiga mengarah ke berat.
C. Pneumonia
• Definisi
Pneumonitis merupakan istilah umum untuk inflamasi paru, dengan atau tanpa
adanya konsolidasi.
CAP adalah pneumonia yang terjadi di komuitas pada pasien yang belum pernah
dirawat inap 14 hari sebelum onset atau <4 hari di rawat inap sebelum onset.
• Etiologi:
• Neonatus: Streptococcus B
• Pembagian
• Berdasarkan anatomi:
- P. lobaris
- P. lobularis (bronkopneumonia)
- P. Interstitial
- Pleuropneumonia
• Faktor Risiko
• Non modifiable: Penyakit paru (asma), kelainan anatomi (fistula trakeoesofageal), AIDS
• Perjalanan Penyakit
- Terjadi konsolidasi akibat berkumpulnya eritrosit, sel epitel, cairan edema, kuman
dan mendilatasi maksimal kapiler alveolus.
- Kongesti paru.
• Diagnosis
• Anamnesis, ditemukan keluhan demam tinggi, sakit kepala, nafsu makan turun, sesak
napas, gelisah, batuk.
- Fremitus melemah
- Dijumpai “anggukan kepala”, kaku kuduk, nyeri dada, friction rub, dan nyeri
abdomen.
• Pemeriksaan penunjang
- Mikrobio: usapan
- X-Ray:
• Virus: Mengi, stridor, demam tidak tinggi, leukosit tidak meningkat, streaky infiltrate.
• Bakteri: Demam tinggi, menggigil, suara napas turun, redup, leukosit meningkat,
konsolidasi lobar, efusi pleura.
• Bukan pneumonia
• Pneumonia berat
- Retraksi dada
- Grunting (merintih)
- Sianosis sentral
- Muntah
- Anggukan kepala
• Tatalaksana:
• Demam:
- Paracetamol 10mg/KgBB/kali.
- Sediaan:
- Drop: 100mg/mL
- Infusion: 10mg/mL
• Bronkodilator
• Kortikosteroid
• Antibiotik
- Jika dalam 48 jam tidak membaik, maka AB diganti dengan seftriakson 50-75mg/
KgBB/hari IV @ 12 jam selama 5 hari.
- Sediaan amoksisilin:
- Syrup: 125mg/5mL
• Catatan
• Wheezing:
- Asma: polifoni.
• Ronkhi basah halus terjadi saat akhir inspirasi dan awal ekspirasi, wheezing saat
ekspirasi.
D. Diare
• Definisi
Bila diare terjadi lebih dari 14 hari, maka disebut diare persisten bila disebabkan
oleh infeksi usus atau diare kronik bila tidak disebabkan oleh infeksi usus.
• Etiologi
• Infeksi:
- Parasit: Amoeba.
• Konsumsi:
- Alergi makanan, seperti alergi protein susu sapi (CMPA), alergi kedelai
• Kelainan cerna:
- Malabsorpsi
- Intoleransi laktosa
• Patofisiologi
• Osmotic diarrhea: Didasari adanya nutrien yang tidak diserap (contoh pada intoleransi
laktosa), sehingga nutrien tersebut berfermentasi di saluran usus. Fermentasi akan
mengakibatkan terproduksinya asam organik dan gas. Hasl fermentasi ini akan
menyebabkan peningkatan tekanan osmotik intraluminal yang menghambat
reabsorpsi air dan elektrolit.
• Invasive diarrhea: Dibagi dua, disentri (Shigella) dan non disentri (Rotavirus). Patogen
secara langsung merusak villi usus, sehingga terjadi pertumbuhan villi usus yang baru.
Akan tetapi, villi usus yang baru tidak memiliki laktose, sehingga terjadi proses yang
mirip dengan osmotic diarrhea.
• Diagnosis
• Anamnesis
• Pemeriksaan fisik
• Pemeriksaan penunjang
- DL
- Feses lengkap
- Kultur feses
Anamnesis
• Diare
1-3x
3x atau lebih
Terus menerus,
banyak
• Muntah
Tidak ada/sedikit
Kadang-kadang
Biasanya sering
• Rasa haus
TIdak ada/sedikit
Haus
Hasu sekali/tidak
mau minum
• Kencing
Normal
Sedikit, pekat
Oligouri
• Mata
Normal
Cekung
Sangat cekung
• Air mata
Ada
Tidak ada
Tidak ada
• Mulut/lidah
Basah
Kering
Sangat kering
• Napas
Normal
Lebih cepat
Cepat dan dalam
B. Palpasi
• Turgor
Kembali cepat
Kembali pelan
Kembali sangat
pelan >2 detik
Normal
Lebih cepat
Sangat cepat/tidak
• Nadi
teraba
• Ubun-ubun
Normal
Cekung
Sangat cekung
C. Kehilangan
Sedikit 5-9% >10%
berat badan
• Berdasarkan MTBS:
• Tanpa dehidrasi
• Dehidrasi ringan/sedang
- Gelisah, rewel
- Mata cekung
• Dehidrasi berat
- Letargi/tidak sadar
- Mata cekung
• Tatalaksana
• Oralit (Cairan)
- Dehidrasi berat:
- <12 bulan:
- >12 bulan:
- Pemberian I diulangi bila tidak ada perbaikan atau nadi tidak teraba/lemah
- Nilai kembali tiap 1-2 jam, bila rehidrasi belum tercapai percepat tetesan IV.
• Nutrisi
• Zinc
• Wejangan (edukasi)
- Pencegahan diare, dengan ASI eksklusif 6 bulan, higienitas, jaga makan dan
minum, imunisasi campak
- Edukasi, ASI atau susu formula harus dilanjutkan selama diare dan ditingkatkan
setelah diare sembuh.
• Catatan
• Osmotic Gap= 290-2 (Na+K). Secretory diarrhea ketika osmotic gap <50.
• Tes untuk intoleransi laktosa adalah restriksi laktosa dan laktosa breath hydrogen test.
E. Kejang Demam
• Definisi
Kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi pada pada anak berumur 6
bulan sampai 5 tahun yang mengalami kenaikan suhu tubuh di atas 38 derajat C (dengan
metode pengukuran apapun) yang tidak disebabkan oleh proses intrakranial (disebabkan
oleh proses ekstrakranial).
Tidak termasuk:
- *Bila terjadi pada anak <6bulan/>5 tahun, pikirkan penyebab SSP atau
epilepsi yang kebetulan terjadi bersamaan dengan demam.
• Faktor Terjadinya KD
• Patofisiologi
Pada saat demam, terjadi kelainan anatomi, fisiologi, serta biokimia. Salah satu
kelainan yang terjadi adalah adanya gangguan permeabilitas sel, termasuk sel neuron.
Sehingga, ion Na2+ lebih mudah masuk ke sel neuron dan mendorong ion K+ keluar. Hal
ini menjadikan sel neuron tereksitasi dan berujung pada terjadinya bangkitan kejang.
• Klasifikasi KD
• KD simple
• KD complex
- Kejang lama didefinisikan terjadi >15 menit atau kejang berulang >2x dan diantara
bangkitan kejang anak tidak sadar.
- Kejang berulang didefinisikan terjadi >2x dalam 1 hari dan diantara episode anak
sadar.
• Diagnosis
• Anamnesis, harus dipastikan apakah anak mengalam kejang atau bukan kejang.
Harus diketahui juga tipe, durasi, dan frekuensi kejang. Penyebab demam juga harus
ditelusuri untuk terapi penyakit yang mendasari.
• Penunjang
- EEG, tidak direkomendasikan kecuali pada kasus KD complex pada anak berusia
lebih dari 6 tahun atau KD fokal.
- Imaging, jarang sekali dilakukan kecuali atas indikasi: Kelainan neurologik fokal
yang menetap (hemiparesis); paresis N. VI; papiledema.
• Tatalaksasna
Terdiri dari:
- Saat kejang
- Pasca kejang
• Saat kejang
- Diazepam (di rumah) per rectal, 5mg BB <12Kg dan 10mg BB >12Kg. Maksimal 2
kali diberikan dengan jarak 5 menit. Total penanganan di rumah 10 menit.
- Diazepam (IGD bila di rumah tidak berhenti kejang) IV, 0,2-0,5mg/KgBB perlahan
dengan kecepatan 2mg/menit, dosis maksimal 10mg. Total penanganan 10 menit
- Fenitoin (bila dalam 10 menit masih kejang) IV, 20mg/KgBB diencerkan dalam
50mL NS dengan kecepatan 2mg/KgBB/menit maksimal 1000mg. Total
penanganan 20 menit.
- Bila pemberian fenitoin tidak berhasil, maka berikan fenobarbital, begitu juga
sebaliknya. Lama penanganan 30 menit.
- Bila di IGD masih belum hilang, maka persiapkan ICU (SE refrakter). Di ICU
dilakukan “knock-down” dengan midazolam bolus IV 100-200mcg/KgBB, Propofol
bolus IV 1-3mg/KgBB, atau pentobarbital bolus IV 5-15mg/KgBB
• Pasca kejang
- Diazepam oral 0,3mg/KgBB/kali atau per rectal 5mg BB <12 kg dan 10mg BB >12
Kg @ 8 jam dosis maksimal 7,5mg/kali.
- Perlu KIE bahwa dosis diazepam ini cukup tinggi sehingga dapat menyebabkan
ataxia, iritabilitas, dan sedasi.
- Kejang fokal
- Terjadi kelainan neurologis yang nyata sebelum atau sesudah episode kejang
speerti hemiparesis, todd’s paralysis, cerebral palsy
- Lama terapi selama 1 tahun bebas kejang, setelah itu dihentikan perlahan selama
1-2 bulan.
• Definisi
Infeksi Dengue merupakan infeksi yang disebabkan oleh DEN-V (DEN1-4, DEN-3
paling virulen) dengan manifestasi klinis khas demam tinggi mendadak bifasik. DHF
didefinisikan sebagai demam dengue yang disertai dengan kebocoran plasma.
• Patofisiologi
DEN-V disebarkan melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti. Ada banyak teori. Ketika
DEN-V masuk ke tubuh, maka terjadi respon imun humoral (limfosit B membentuk
antibodi spesifik serotipe DEN-V sehingga terjadi kekebalan terhadap serotipe tersebut)
dan respon imun seluler (limfosit T spesifik dapat mengenali DEN-V, sehingga terjadi
proliferasi limfosit T dan menghancurkan sel yang terinfeksi serta produksi sitokin). Pada
struktur DEN-V terdapat protein NS1 yang mirip dengan komponen sel endotel dan
trombosit (molecular mimicry). Karenanya, antibodi yang terbentuk bereaksi silang
dengan sel endotel dan trombosit, sehingga terjadi peningkatan permeabilitas (kebocoran
plasma) dan trombositopenia.
• Perjalanan Penyakit
- Fase demam
- Fase kritis
- Fase konvalesens
• Fase demam, dimulai dari demam tinggi yang mendadak, kontinyu, bifasik,
berlangsung 2-7 hari. Pada kasus ringan, gejala akan hilang ketika demam hilang.
Hilangnya demam terjadi secara lisis, artinya hilang dengan segera.
• Fase kritis, terjadi saat demam turun. Disebut krisis karena pada fase ini terjadi
kebocoran plasma dan berisiko syok hipovolemi. Terjadi selama 24-48 jam. Paling
awal terjadi pada fase ini adalah peningkatan hematokrit, kemudian diikuti penurunan
tekanan darah dan nadi. Oleh karenanya, penting untuk mengetahui warning sign
yang dapat muncul.
• Fase konvalesens, terjadi setelah fase kritis. Terjadi reabsorpsi cairan dari ruang
esktravaskuler ke intravaskuler secara bertahap 48-72 jam setelahnya. Pada fase ini
terjadi perbaikan KU dan laboratorium.
• Warning Signs
• Klinis:
- Letargi, gelisah.
- Pendarahan mukosa.
- Akumulasi cairan.
- Oligouria.
• Laboratorium:
• Manifestasi Infeksi
• Infeksi primer (pertama kali): Demam sederhana tidak khas, dapat disertai ruam, self
limiting.
• Demam dengue:
- Demam tinggi mendadak 39-40 derajat C, terus menerus, bifasik, 2-7 hari.
- Pola demam bifasik: Pada hari 3 demam turun tapi masih diatas suhu normal.
- Ruam konvalesens white islands in the red sea (ada bercak putih di antara ruam).
- Manifestasi pendarahan melalui uji torniquet (rumple leed test), positif bila >10
petechiae dalam area diameter 5cm atau petechiae spontan.
• Diagnosis laboratorium
- Confirmed dengue: Bila terdeteksi NS1 denga RT-PCR atau terjadi serokonversi
IgG dan IgM (dari negatif jadi positif). IgM muncul dahulu baru diikuti IgG.
- Interpretasi serologi:
• DF (Dengue without warning signs), berupa demam yang diikuti dengan 2 dari gejala:
Nyeri kepala; nyeri retroorbital; myalgia; atralgia; rash; manifestasi pendarahan. Tanpa
adanya tanda kebocoran plasma.
• DBD non syok (Dengue with waring signs, DHF grade I dan II), berupa DF dengan
adanya tanda kebocoran plasma tanpa adanya syok.
• DBD dengan syok/DSS (Severe Dengue, DHF grade III dan IV), berupa DBD dengan
adanya tanda syok.
• Expanded Dengue Syndrome, memenuhi kriteria DF atau DHF disertai syok maupun
tidak, dengan manifestasi klinis komplikasi virus atau klinis yang tidak biasa, seperti
gangguan elektrolit, kelebihan cairan, ensefalitis, perdarahan hebat, AKI, hemolitic
uremic syndrome, gangguan jantung.
• DSS - terkompensasi (DHF grade III) dan dekompensasi (DHF grade IV).
• Tatalaksana
- Warning signs
- Indikasi sosial (rumah jauh, tidak ada orangtua/wali yang dapat diandalkan).
• Rawat jalan
- Pasang IV, berikan cairan kristaloid (D5% atau NS atau RL) sesuai kebutuhan
maintenance (10Kg pertama 100mL/hari, 10Kg kedua 50mL/hari, Kg berikutnya
20mL/hari).
- Pantau TTV tiap 3 jam, Hct dan trombosit tiap 6 jam, bila klinis buruk tiap 4 jam.
- Bila ada perbaikan, cairan diberikan sesuai kebutuhan maintenance saja. Bila terus
berlanjut membaik maka cairan IV dihentikan dalam 24-48 jam.
- Bila Hct tetap tinggi/meningkat tanpa tanda syok, tetesan dipertahankan dan
evaluasi dalam 3 jam. Bila membaik maka kurangi tetesan sesuai maintenance.
- Bila terjadi perburukan klinis (tanda syok), maka lakukan sesuai protokol DSS.
- Bila syok teratasi, IVFD diturunkan menjadi 10mL/KgBB dalam 1-2 jam, kemudian
bila TTV stabil IVFD diturunkan bertahap 7, 5, 3, 1,5 mL/KgBB/jam. IVFD
dihentikan maksimal 48 jam setelah syok teratasi.
- Bila syok tidak teratasi, periksa ABCS (Hct, AGD, glukosa) dan koreksi segera bila
ditemukan kelainan.
- Bila Hct meningkat, berikan bolus kedua kristaloid atau koloid dengan dosis
yang sama dalam waktu 10-20 menit, bila masih tidak teratasi berikan koloid
(Hes 6% atau gelatin (gelofusin, hati-hati anafilaktik)) dosis yang sama 10-20
menit. Jika syok menetap maka berikan dosis ketiga koloid. Bila membaik
lakukan algoritma syok teratasi.
- Bila Hct menurun, periksa pendarahan. Bila pendarahan tidak jelas maka berikan
koloid dosis yang sama. Bila terjadi pendarahan maka transfusi darah.
- Pada dasarnya sama dengan algoritma DSS terkompensasi, hanya saja pemberian
awal cairan kristaloid dan/atau koloid 10-20mL/KgBB dalam waktu 10-20 menit
dan periksa dari awal ABCS.
• Kriteria pulang
- Trombosit >50.000/mm3
• Postulat dr. Dwi Lingga: Beri cairan secukupnya, pulangkan pada waktunya.
G. Demam Tifoid
• Definisi
Demam tifoid adalah suatu infeksi sistemik yang akut, disebabkan oleh Salmonella
typhii. Bersama parathypoid fever disebut dengan enteric fever.
• Etiologi
S. typhi merupakan bakteri gram (-), berbentuk batang, aerobik, dan bergerak
dengan flagella. Bakteri ini memiliki 3 antigen; antigen somatik (O), antigen flagel (H,
paling tinggi produksi antibodi di tubuh), dan antigen permukaan (Vi, petunjuk sebagai
carrier).
Bakteri masuk melalui feko oral. Ketika masuk, bakteri akan melekat ke vili usus.
Disana, terjadi invasi/penetrasi mukosa, melewati lamina propia dan peyer’s patch, hingga
ke KGB mesentrial. Dari sana akan tersebar melalui darah (bakteremia) dan di uptake oleh
RES (reticuloendothelial system-lien, hepar, bone marrow) dan terjadi eliminasi dan
multiplikasi. Pada fase bakteremia I ini, bersifat asimptomatik. Setelah terjadi proses di
RES, bakteremia II akan terjadi dan diekskresi melalui kantung empedu (kolesistisis) dan
menuju ke usus dan organ/jaringan yang lain. Bakteri yang mati akan melepaskan
endotoksin, menimbulkan gejala klinis.
• Perjalanan Penyakit
• Fase invasif: Demam intermitten, nyeri kepala, lesu, lelah, tidak enak di perut,
konstipasi, diare. Hari ke 0-7.
• Diagnosis:
• Anamnesis
• Demam (klasik)
- Minggu 1: ireguler, remitens (malam hari naik, pagi/siang turun tapi suhu tidak
pernah mencapai normal.
• Distress abdominal, berupa anoreksia, nausea, muntah, diare atau konstipasi, nyeri
abdomen, distensi abdomen.
• Gejala neurologis, berupa cloudy sensorium, sakit kepala, iritable, apatis, kejang,
delirium, karfologia.
• Pemeriksaan fisik
- Anak tampak sakit, pucat, gelisah, iritable, apatis, delirium, kulit kering.
- Lidah kotor.
• Laboratorium
• Widal test (tidak direkomendasikan IDAI): Titer meningkat 4x atau lebih, atau titer O
>1/160. Hati-hati dengan test widal karena bisa false negatif. Titer O dapat pada
keadaan:
- Titer O dan H bisa (+) karena ada aglutinin akibat infeksi EPEC.
• Tatalaksana:
• Suportif:
- Cairan, larutan D5:NaCl 0,9% 3:1, dosis rumatan, ditambahkan 12,5% pada
peningkatan suhu 1 derajat C.
• AB:
• Kortikosteroid:
• Evaluasi pengobatan selama 5 hari. Bila tidak membaik, AB yang dipilih bisa saja
resisten sehingga harus diganti dengan obat lain atau ke second line. Bisa juga karena
dosis tidak optimal atau diagnosis salah.
• Vaksin
- Vaksin Typhim Vi (vaksin inaktif), IM, diberikan pada usia >2 tahun, diulang tiap 3
tahun
- Ty 21-A, oral (Vivotif): 3 dosis interval 1 hari, diberikan pada umur > 6 tahun.
H. Gizi Buruk - Malnutrisi Energi Protein (MEP)
• Definisi
• Gizi kurang, pada BB/TB atau BB/PB -2s/d-3 SD (untuk anak 6-59 bulan), LiLA
>11,5cm, nafsu makan baik, tanpa komplikasi.
• Gizi buruk tanpa komplikasi, terlihat sangat kurus, edema minimal (punggung tangan/
kaki), LiLA <11,5cm (6-59 bulan), BB/PB <-3 SD, nafsu makan baik, tanpa komplikasi.
• Gizi buruk dengan komplikasi, kriteria gizi buruk disertai edema seluruh tubuh dengan
komplikasi; anemia berat, anorexia, pneumonia, demam tinggi, penurunan kesadaran,
dan dehidrasi berat.
• Secara antropometri:
- Kondisi V: Tidak ditemukan syok, letargi, maupun muntah + (diare dan dehidrasi)
• Patofisiologi
- Gangguan pertumbuhan
- Atrofi otot
- Asites
- Hepatomegali
- Otot atrofi
- Anoreksia
- Anak tampak sangat kurus, tulang-belulang dibungkus kulit, jaringan lemak (-)
- Atrofi otot
- Perut cekung
- Kulit keriput/berlipat-lipat/kering
• Diagnosis
• Anamnesis, cari susunan diet sejak lahir, faktor-faktor penunjang penyebab medis/non
medis.
• Tatalaksana
- Energi: 100kcal/KgBB/hari
- Protein: 1-1,5g/KgBB/hari
- Bila nafsu makan baik dan anak tidak sembab, pemberian makan bisa dipercepat
2-3 hari.
- Pantau RR HR.
- Bila RR naik >5x/menit dan HR >25x/menit dalam observasi tiap 4 jam berurutan,
kurangi pemberian formula.
- Energi: 150-220kcal/KgBB/hari
- Protein: 4-6g/KgBB/hari
• Tindakan khusus
- Dehidrasi: Cairan resomal 5mL/KgBB setiap 30 menit selama 2 jam per oral,
lanjutkan 5-10mL/KgBB/jam selama 4-6 jam berikutnya. Lanjutkan dengan
makanan formula.
- Susu skim bubuk 85g atau susu full cream 110g + gula pasir 50g + minyak sayur
60 mL (susu bubuk) atau 30 mL (susu full cream) + larutan elektrolit 20 mL +
ditambahkan air hingga 1000 mL.
- Dalam F-100 1000mL, terdapat 1000 kcal, 29 gram protein, osmolaritas 419
mOsm/L
Eritrosit yang telah selesai masanya (normal usia 120 hari) akan mengalami
hemolisis secara intravaskuler/ekstravaskuler. Hemolisis terjadi di spleen, dimana
hemoglobin akan terpecah menjadi globin (yang akan digunakan kembali) dan heme.
Heme oleh heme oksigenase akan diubah menjadi biliverdin. Biliverdin oleh biliverdin
reduktase kemudian akan diubah menjadi unconjugated bilirubin (bilirubin indirek).
Unconjugated bilirubin akan dibawa oleh albumin ke hepar yang selanjutnya oleh
glucoronyl transferasi diubah menjadi conjugated bilirubin di hepar (bilirubin direk).
Conjugated bilirubin ada yang diubah kembali menjadi unconjugated bilirubin oleh
glucoranidase dan ada yang diubah oleh bakteri usus menjadi urobilinogen (urin) dan
sterkobilinogen (feses).
Unconjugated bilirubin bersifat lipid soluble, sehingga dapat menembus BBB dan
sulit diekskresi. Sedangkan conjugated bilirubin bersifat water soluble.
• Definisi
Ikterus neonatorum adalah warna kulit, konjungtiva, dan mukosa yang kuning
akibat penumpukan bilirubin dalam serum. Sedangkan hiperbilirubinemia adalah
peningkatan kadar bilirubin serum total akibat produksi bilirubin yang lebih besar dari
ekskresinya, cenderung menjurus ke kernikterus (ensefalopati akibat peningkatan
bilirubin). Hiperbilirubinemia lebih mengarah ke peningkatan bilirubin indirek unbound,
sehingga dapat menembus BBB.
• Fisiologis
- Timbul pada hari ke 2-3, tampak jelas pada hari ke 5-6, batas hari ke 10 (BCB)
atau 14 (BKB).
- Kadar bilirubin indirek yang naik, setelah 2x24 jam tidak >15mg% pada BCB dan
10mg% pada BKB.
• Patologis
• Etiologi
• Ikterus fisiologis
- Umur eritrosit neonatus lebih pendek (90 hari). Normalnya 120 hari.
- Kekurangan enzim glukoronil transferasi -> tidak bisa mengubah bilirubin indirek
menjadi direk.
• Ikterus patologis
- Post-hepatik: Gerakan usus belum bagus sehingga transit time bilirubin naik.
- Breast milk jaundice: Minum ASI sehingga kuning (>5hari). Kriteria; BB naik,
muncul >5 hari setelah pemberian ASI.
- Breast feeding jaundice: Sedikit ASI sehingga kuning, dimana kurang minum
menyebabkan gerakan usus melambat, sehingga siklus intrahepatik memanjang.
Muncul <5 hari.
• Kolestasis
• Etiologi:
- Intrahepatik: BBL 2678 g, tinja sering kuning selama dirawat, feses akholik usia
30 hari, hepar normal lebih sering.
- Ekstrahepatik: BBL 3226 g, tinja sering pucat selama dirawat, feses akholik usia
16 hari, hepar lebih sering hepatomegali.
- (dr. Karyana) -> Bila gejala muncul sebelum 2 minggu, curiga atresia bilier. Bila
gejala muncul setelah 2 minggu, curiga kerusakan intrahepatik (infeksi jaringan
parenkim hepar).
• Px penunjang:
- Imaging: USG 2 fase (puasa 6-8 jam dan setelah minum, lihat ada kontraksi atau
tidak), USG doppler bila sudah sirosis.
- Biopsi hepar
• Tatalaksana
- Terapi definitif atresia bilier: Transplantasi hepar. Kasai procedure hanya terapi
sementara karena sifat atresia bilier fibrosis progresif.
• Gambaran Klinis
- Gejala utama adalah kuning pada kulit, konjungtiva, dan mukosa. Cara mengecek
kulit kuning adalah ditekan selama 2 detik kemudian dilepas, dilihat saat warna
kembali merah terlihat kuning. Untuk melihat ikterus minimal, tarik palpebra atas
dan minta anak melirik ke bawah (bilirubin <5mg/dL).
- Dehidrasi.
- Letargi.
- Hepatosplenomegali.
• Pemeriksaan Penunjang
- Kadar bilirubin serum total. Bilirubin serum direk dianjurkan bila bayi kuning usia
>10 hari atau dicurigai adanya kolestasis.
- DL dan hapusan darah tepi untuk melihat morfologi eritrosit dan jumlah retikulosit.
- Golongan darah dan Rh ibu dan bayi. Bayi yang berasal dari ibu dengan Rh
negatiff harus diperiksakan gol. darah, faktor Rh, uji Coomb (untuk mengetahui
kapasitas darah dan melihat ada tidaknya anemia hemolisis).
- Enzim G6PD.
- Pada ikterus lama, lakukan tes fungsi hati, tiroid, uji urin terhadapt galaktosemia.
• Diagnosis -> berdasarkan kadar bilirubin, golongan darah, resus ibu dan anak, coombs
test, retikulosit, albumin.
• Kernicterus: Akibat bilirubin indirek unbound yang tinggi (>20mg/dL) menembus BBB,
sehingga terjadi gangguan fungsi saraf terutama basal ganglia. Keluhan berupa letargi,
hipotonia, iritabilitas, poor feeding.
• Tatalaksana
• Hidrasi: Bisa dengan IV line, pemberian ASI 8x/hari minimal karena penurunan asupan
akan menyebabkan peningkatan gambaran ikterus.
• Fototerapi: Sesuai dengan kurva Bhutani, dengan sinar biru putih (450-460).
Fototerapi radiasi 26-40 uw/cm2/nm. Dikatakan berhasil bila kadar bilirubin minimal
turun 1mg/dL. Kriteria fototerapi Kramer III.
• Transfusi tukar: Darah dikeluarkan dan diganti dengan whole blood (2x85mL/KgBB),
berisiko hipotermia. Indikasi bila ada tanda ensefalopati bilirubin, bilirubin sangat
tinggi, atau fototerapi gagal. Bila inkompatibilitas ABO, maka transfusi degnan darah
ibu/golongan O. Bila inkompatibilitas Rh pakai darah anak.
• Jemur matahari: Dilakukan pagi hari, lindungi mata dan genitalia, jangan sampai sinar
terik.
APGAR score adalah alat penilaian untuk menilai derajat asfiksia dari bayi. APGAR
terdiri dari Appearance, Pulse, Grimmace, Activity, Respiration.
APGAR 0 1 2
Appearance Blue/pale Pink body, blue Pink
extrimity
Pulse (-) <100x/min >100x/min
Grimmace (With (-) Respon minimal Respon normal
tactile stimulation)
Activity (-) Fleksi tangan/kaki Aktif
Respiration (-) Menangis/napas Menangis kuat
lemah/kecil/pelan
Interpretasi hasil:
• Resusitas Neonatus
• Periode transisi
- Pada BBL, terjadi proses transisi dari intrauterin (placental support) ke ekstrauterin
(self maintenance), sehingga terjadi perubahan fisiologis yang terjadi pada organ
tubuh. Perubahan ini terjadi dimulai dari dipotongnya tali pusat.
- Pernapasan - detik
- Renal - jam/hari
- Transisi pulmoner: Pada intrauterin, paru belum berfungsi untuk pertukaran udara
karena masih diregulasi oleh plasenta, sehinga alveoli terisi cairan dan resistensi
vaskuler paru tinggi. Pada BBL, tarikan napas pertama akan pengembangkan
kapasitas residu fungsional paru dan cairan di alveoli terdorong, sehingga
menurunkan resistensi vaskuler paru dan cairan terserap jaringan paru. Isi alveoli
kemudian diganti dengan udara dan O2 dapat berdifusi ke pembuluh darah
alveolar.
- Adaptasi sirkulasi: Pada intrauterin, sirkulasi fetal masih melalui sirkulasi umbilikus-
plasenta. Sirkulasi fetal masih memiliki circulatory shunt bypass (liver: duktus
venosus ke vena cava inferior, paru: foramen ovale antara atrium kanan dan kiri
serta duktus arteriosus antara arteri pulmonaris dan aorta). Pada BBL, karena
terjadi penurunan resistensi paru dan peningkatan aliran darah paru, paru bayi
akan mengembang dan meningkatkan aliran darah balik dari paru. Hal ini
menyebabkan peningkatan tekanan atrium kanan, sehingga menutup foramen
ovale. Dalam 24 jam, resistensi sistemik akan menjadi lebih tinggi dari resistensi
pari, sehingga akibat aktifitas prostaglandin akan menutup duktus arteriosus.
- Bayi tidak bernapas adekuat untuk mengeluarkan cairan dari alveoli akan
menyebabkan alveoli tidak terisi udara, sehingga hipoksia.
- Sebelum resusitasi: (1) Konsultasi antenatal untuk mengetahui morbiditas ibu dan
bayi sehingga bisa memprediksi kebutuhan resusitasi. (2) Pembentukan tim (1
leader 2 anggota) dengan peran masing-masing (circulation, breathing, drug and
equipment). (3) Persiapan alat (dengan checklist). (4) Sesaat sebelum bayi lahir
dilakukan re-brefing dan simulasi.
- Termoregulasi: Gunakan matras hangat, sumber gas hangat dan lembab, topi 2
lapis sampai telinga, dan plastik polietylene untuk BB <1500g.
- A: Alat untuk membuka jalan napas dengan Dee Lee, kateter dan vakum,
laringoskop ukuran 1 (BCB), 0 (BKB), 00 (BBLSR), ETT <1Kg 2,5mm, 1-2Kg 3mm,
2-3Kg 3,5mm, >3Kg 4mm (kedalaman ETT BB(Kg) + 6cm).
- B,C,D: Balon dan sungkup untuk ventilasi, kotak resusitasi lengkap, sarung
tangan, pencatat waktu.
- Pemotongan tali pusat sebaiknya ditunda, paling cepat 30 detik sampai 2 menit,
untuk mengurangi insiden anemia, pendarahan intrakranial, hipotensi. Tidak boleh
ditunda pada solusio plasenta dan prolaps tali pusat.
- Tidak perlu rutin melakukan suction sampai trachea, cukup di rongga mulut karena
bahaya refleks vagal.
- Jalan napas: 1/2 ekstensi leher dengan cara meletakkan handuk + dari bahu bayi.
- Sumber oksigen: Prematur <35 minggu dengan FiO2 21-30%; >35 minggu 21%.
- Drug (obat dan cairan) jarang digunakan, sehingga pastikan dahulu VTP dan
kompresi dada adekuat. Epinephrine (jika RJP gagal) dosis 0,1mg/KgBB (0,1mL
epi 1:1000 dilarutkan 1mL NS)
- S: Sugar and Safe care, bayi lahir punya cadangan energi hingga 72 jam, tetapi
rentan hipoglikemi (normal 50-110mg/dL), cek BS 30-60 menit setelah lahir dan
observasi tanda hipoglikemia. Terapi: Bolus D10% 2mL/KgBB kec. 1mL/menit.
- T: Temperature, terutama bayi prematur memiliki brown fat tipis, kulit tipis, rasio
BSA>massa, tonus jelek (tidak bisa shivering). Hipotermia ringan 36-36,4C,
sedang 32-35,9C, berat <32C.
- A: Airway
- B: Blood pressure
- L: Laboratory exam, 4B (blood count, blood culture, blood glucose, blood gas)
- E: Emotional support
• Perawatan Rutin
• Keringkan dan hangatkan: Gunakan handuk, jangan bersihkan verniks di tangan bayi,
gunakan baju dan topi, mandi setelah 6 jam (suhu bayi harus 36,5-37,5C dan tidak
ada masalah pernapasan), suhu ruangan, IMD.
- RR:
- LDJ:
• Pemotongan tali pusat: Dilakukan 2 menit setelah bayi lahir dan ibu telah
mendapatkan oksitosin. Perawatan tali pusat: Kering dan terbuka, tidak boleh diolesi
alkohol atau betadine, lepas sendiri dalam 6-8 hari, lihat tanda infeksi
• IMD: Dilakukan pada 1 jam pertama kelahiran (diletakkan di dada ibu diantara kedua
puting kebawah sedikit), dikatakan gagal jika >1 jam.
• Suntik Vit. K1 1mg (0,5mL -> 1 ampul 2mg/mL) di anterolateral paha kiri IM. Diberikan
untuk mencegah pendarahan karena sistem pembekuan darah bayi yang belum
sempurna.
• Imunisasi Hep B0 0,5mL di paha kanan IM 1-2 jam setelah pemberian vit. K1 untuk
menunggu efek vitaminnya (mencegah pendarahan). Diberikan karena Indonesia
endemis.
• Bayi boleh pulang apabila sudah BAB dan BAK dalam 1 hari serta asupan ASI baik +
1-2 hari.
• Kesan umum
• TTV
- RR: 40-60x/menit
- HR: 100-180x/menit
• Antropometri
- BB lahir:
BBLSR: 1000-1500g
- PB lahir: 48-52cm
- LK lahir: 33-37cm
• Usia kelahiran
- Pada trimester 1-3 awal terjadi organogenesis, sedangkan akhir trimester 3 terjadi
growth spurt, oleh karenanya bayi prematur biasanya BBL rendah dan memiliki
kelainan organ karena belum menyelesaikan organogenesis.
• Status generalis
- Kulit
- Ikterus: Tekan kulit dan tahan 2 detik kemudian lepas, lihat warnanya. Penilaian
dengan Kramer (Kramer I-V).
- Kepala
- Leher
- Wajah
- Telinga
- Mata
- Sekret: GO
- Cek mata dengan refleks moro, refleks pupil muncul UK 28-30 minggu.
- Hidung
- Thoraks (Paru)
- Thoraks (Jantung)
- Auskultasi: + murmur
- Abdomen
- Auskultasi
- Palpasi: Hepar (normal terapa 1-2 cm di bawah arkus kosta), lien (teraba
bertanda CMV/rubella)
- Umbilikus
- Genitalia
- Anus
• Reflex
- Rooting/menetek
- Tonic neck reflex, ketika kepala bayi dihadapkan ke satu sisi, lengan pada sisi
tersebut akan ekstensi (hilang setelah 9-10 bulan).
- Moro reflex, ekstensi lengan ketika hilang support (seperti terjatuh), hilang pada
akhir bulan ke 6. Edema otak menyebabkan reflex muncul setelah 6 bulan,
subdural hematome menyebabkan reflex hilang sebelum 6 bulan.
• Bayi Prematur
- Kurva Lubchenco
• TTV:
- Suhu labil
- Daun telinga sangat elastis sehingga tidak ada recoil (karena pembentukan tulang
rawan yang belum sempurna), ear lobe bisa belum terbentuk.
- Genitalia, skrotum bisa kosong dan rugae samar/tidak ada, labia mayora tidak
menutupi labia minora.
- Hipotermia, karena brow fat sedikit, tonus otot lemah (tidak bisa shivering),
BSA>massa (heat loss lebih cepat melalui evaporasi). Lakukan metode kangguru
(skin-to-skin contact dan diselimuti).
- Hipoglikemia
- Infeksi
- Hipoxia
• Baik digunakan <12 jam (UK<26 minggu) / <96 jam (>26 minggu).
• Kurva Lubchenco
• Untuk mengetahui apakah bayi SMK, BMK, atau KMK berdasarkan UK dan BBL.
• Finstorm Score
• Finstorm digunakan
agar tidak banyak
melakukan stimulasi.