Anda di halaman 1dari 20

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Human Immunodeficiency Virus (HIV) merupakan penyebab penyakit
Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS) dengan cara menyerang sel darah
putih sehingga dapat merusak sistem kekebalan tubuh manusia. Kasus HIV/AIDS
merupakan fenomena gunung es, dengan jumlah orang yang dilaporkan jauh lebih
sedikit dibandingkan dengan yang sebenarnya. Hal ini terlihat dari jumlah kasus
AIDS yang dilaporkan setiap tahunnya sangat meningkat secara signifikan. Di seluruh
dunia, setiap hari diperkirakan sekitar 2000 anak di bawah 15 tahun tertular HIV dan
sekitar 1400 anak di bawah usia 15 tahun meninggal dunia, serta menginfeksi lebih
dari 6000 orang berusia produktif (Purwaningsih, 2008).
Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) adalah sekumpulan gejala
infeksi atau sindrom yang timbul karena rusaknya sistem kekebalan tubuh manusia
akibat infeksi virus HIV. Human Immunodeficiency Virus yaitu virus yang
memperlemah kekebalan pada tubuh manusia. Orang yang terkena virus ini akan
menjadi rentan terhadap infeksi oportunistik ataupun mudah terkena tumor. Meskipun
penanganan yang telah ada dapat memperlambat laju perkembangan virus, namun
penyakit ini belum benar- benar bisa disembuhkan.
HIV umumnya ditularkan melalui kontak langsung antara lapisan kulit dalam
(membaran mukosa) atau aliran darah, dengan cairan tubuh yang mengandung HIV,
seperti darah, air mani, cairan vagina, cairan preseminal, dan air susu ibu. Penularan
dapat terjadi melalui hubungan intim (vaginal, anal,ataupun oral), transfusi darah,
jarum suntik yang terkontaminasi, antara ibu dan bayi selama kehamilan, bersalin,
atau menyusui, serta bentuk kontak lainnya dengan cairan-cairan tubuh tersebut.

1
B. Rumusan Masalah
1. Apa definisi dari HIV/AIDS?
2. Apa etiologi dari HIV/AIDS?
3. Apa patofisiologi dari HIV/AIDS?
4. Apa pathway dari HIV/AIDS?
5. Bagaimana klasifikasi dari HIV/AIDS?
6. Apa saja manifestasi klinis dari HIV/AIDS?
7. Bagaimana penularan dari HIV/AIDS?
8. Apa data penunjang dalam pemeriksaan HIV/AIDS?
9. Apa penatalaksanaan dari HIV/AIDS?
10. Bagaimana pencegahan dari HIV/AIDS?
11. Bagaimana asuhan keperawatan pada pasien HIV/AIDS?

C. Tujuan
1. Mahasiswa dapat memahami definisi dari HIV/AIDS.
2. Mahasiswa dapat memahami etiologi dari HIV/AIDS.
3. Mahasiswa dapat memahami patofisiologi dari HIV/AIDS.
4. Mahasiswa dapat memahami pathway dari HIV/AIDS.
5. Mahasiswa dapat memahami klasifikasi dari HIV/AIDS.
6. Mahasiswa dapat memahami manifestasi klinis dari HIV/AIDS.
7. Mahasiswa dapat memahami penularan dari HIV/AIDS.
8. Mahasiswa dapat memahami data penunjang dalam pemeriksaan HIV/AIDS.
9. Mahasiswa dapat memahami penatalaksanaan dari HIV/AIDS.
10. Mahasiswa dapat memahami pencegahan dari HIV/AIDS.
11. Mahasiswa dapat memahami asuhan keperawatan pada pasien HIV/AIDS.

2
BAB II
TINJAUAN TEORI
A. Definisi
Human Immunodeficiency Virus atau HIV adalah virus yang menyerang sel
darah putih di dalam tubuh (limfosit) yang mengakibatkan turunnya kekebalan tubuh
manusia. Orang yang dalam darahnya terdapat virus HIV dapat tampak sehat dan
belum tentu membutuhkan pengobatan. Meskipun demikian, orang tersebut dapat
menularkan virusnya kepada orang lain bila melakukan hubungan seks berisiko dan
berbagi penggunaan alat suntik dengan orang lain (KPAD Kab. Jember, 2015).
Acquired Immune Deficiency Syndrome atau AIDS adalah sekumpulan gejala
penyakit yang timbul karena kekebalan tubuh yang menurun yang disebabkan oleh
infeksi HIV. Akibat menurunnya kekebalan tubuh pada seseorang maka orang
tersebut sangat mudah terkena penyakit seperti TBC, kandidiasis, berbagai radang
pada kulit, paru, saluran penernaan, otak dan kanker. (KPAD Kab. Jember, 2015).
B. Etiologi
Acquired immune deficiency syndrome (AIDS) disebabkan oleh Human
Immunodeficiency Virus (HIV). HIV adalah virus sitopatik yang diklasifikasikan
dalam famili Retroviridae, subfamili Lentivirinae, genus Lentivirus. HIV termasuk
virus Ribonucleic Acid (RNA) dengan berat molekul 9,7 kb (kilobases). Strukturnya
terdiri dari lapisan luar atau envelop yang terdiri atas glikoprotein gp120 yang
melekat pada glikoprotein gp4. Dibagian dalamnya terdapat lapisan kedua yang terdiri
dari protein p17. Setelah itu terdapat inti HIV yang dibentuk oleh protein p24.
Didalam inti terdapat komponen penting berupa dua buah rantai RNA dan enzim
reverse transcriptase. Bagian envelope yang terdiri atas glikoprotein, ternyata
mempunyai peran yang penting pada terjadinya infeksi oleh karena mempunyai
afinitas yang tinggi terhadap reseptor spesifik CD4 dari sel Host. Molekul RNA
dikelilingi oleh kapsid berlapis dua dan suatu membran selubung yang mengandung
protein.1, 5, 26 Jenis virus RNA dalam proses replikasinya harus membuat sebuah
salinan Deoxyribo Nucleic Acid (DNA) dari RNA yang ada di dalam virus. Gen DNA
tersebut yang memungkinkan virus untuk bereplikasi. Seperti halnya virus yang lain,
HIV hanya dapat bereplikasi di dalam sel induk. Di dalam inti virus juga terdapat
enzim-enzim yang digunakan untuk membuat salinan RNA, yang diperlukan untuk
replikasi HIV yakni antara lain: reverse transcriptase, integrase, dan protease.

3
RNA diliputi oleh kapsul berbentuk kerucut terdiri atas sekitar 2000 kopi p24
protein virus. Dikenal dua tipe HIV yaitu HIV -1 yang ditemukan pada tahun 198327
dan HIV-2 yang ditemukan pada tahun 1986 pada pasien AIDS di Afrika Barat.28
Epidemi HIV secara global terutama disebabkan oleh HIV-1, sedangkan HIV-2 tidak
terlalu luas penyebarannya, hanya terdapat di Afrika Barat dan beberapa negara Eropa
yang mempunyai hubungan erat dengan Afrika Barat.27, 28 HIV-1 dan HIV-2
mempunyai struktur yang hampir sama tetapi mempunyai perbedaan struktur genom.
HIV-1 punya gen vpu tapi tidak punya vpx , sedangkan HIV-2 sebaliknya.29,30
Perbedaan struktur genom ini walaupun sedikit, diperkirakan mempunyai peranan
dalam menentukan patogenitas dan perbedaan perjalanan penyakit diantara kedua tipe
HIV. Karena HIV-1 yang lebih sering ditemukan, maka penelitian – penelitian klinis
dan laboratoris lebih sering sering dilakukan terhadap HIV-1.31, 32 Jumlah limfosit T
penting untuk menentukan progresifitas penyakit infeksi HIV ke AIDS. Sel T yang
terinfeksi tidak akan berfungsi lagi dan akhirnya mati. Infeksi HIV ditandai dengan
adanya penurunan drastis sel T dari darah tepi.
C. Patofisiologi
HIV tergolong ke dalam kelompok virus yang dikenal sebagai retrovirus yang
menunjukkan bahwa virus tersebut membawa materi genetiknya dalam asam
ribonukleat (RNA) dan bukan dalam asam deoksiribonukleat (DNA). Virion HIV
( partikel virus yang lengkap yang dibungkus oleh selubung pelindung) melindung
RNA dalam inti berbentuk peluru yang terpancung dimana p24 merupakan komponen
struktural yang utama. Tombol (knob) yang menonjol lewat dinding virus terdiri atas
protein gp120 yang terkait pada protein gp41. Bagian yang secara selektif berikatan
dengan sel-sel CD4-positif (CD4+) adalah gp120 dari HIV.
Sel-sel CD4+ mencakup monosit, makrofag dan limfosit T4 helper (yang
dinamakan sel-sel CD4+ kalau dikaitkan dengan infeksi HIV), limfosit T4 helper ini
merupakan sel yang paling banyak diantara ketiga sel di atas. Sesudah terkait dengan
membrane sel T4 helper, HIV akan menginjeksikan dua utas benang RNA yang
identik ke dalam sel T4 helper. Dengan menggunakan enzim yang dikenal sebagai
reverse transcriptase, HIV akan melakukan pemrogaman ulang materi genetik dari sel
T4 yang terinfeksi untuk membuat double standed DNA (DNA utas ganda). DNA ini
akan disatukan ke dalam nukleus sel T4 sebagai sebuah provirus dan kemudian
terjadi infeksi yang permanen.

4
Siklus replikasi HIV dibatasi dalam stadium ini sampai sel yang terinfeksi
diaktifkan. Aktivasi sel yang terinfeksi dapat dilaksanakan oleh antigen, mitogen,
sitokin (TNF alfa atau interleukin 1) atau produk gen virus seperti sitomegalovirus
(CMV : cytomegalovirus), virus Epstein-Barr, herpes simpleks dan hepatitis.
Sebagian akibatnya, pada saat sel T4 yang terinfeksi diaktifkan, replikasi serta
pembentukan tunas HIV akan terjadi dan sel T4 akan dihancurkan. HIV yang baru
dibentuk ini kemudian dilepas ke dalam plasma darah dan menginfeksi sel-sel CD4+
lainnya.
Infeksi monosit dan makrofag tampaknya berlangsung secara persisten dan
tidak mengakibatkan kematian sel yang bermakna, tetapi sel-sel ini menjadi reservoir
bagi HIV sehingga virus tersebut dapat tersembunyi dari sistem imun dan terangkut
ke seluruh tubuh lewat sistem ini untuk menginfeksi berbagai jaringan tubuh.
Sebagian besar jaringan ini dapat mengandung molekul CD4+ atau memiliki
kemampuan untuk memproduksinya. Sejumlah penelitian memperlihatkan bahwa
sesudah infeksi inisial, kurang lebih 25% dari sel-sel kelenjar limfe akan terinfeksi
oleh HIV. Replikasi virus akan berlangsung terus sepanjang perjalanan infeksi HIV,
tempat primernya adalah jaringan limfoid. Ketika sistem imun terstimulasi, replikasi
virus akan terjadi dan virus tersebut menyebar ke dalam plasma darah yang
mengakibatkan infeksi berikutnya pada sel-sel CD4+ yang lain. Penelitian yang lebih
mutakhir menunjukkan bahwa sistem imun pada infeksi HIV lebih aktif daripada
yang diperkirakan sebelumnya sebagaimana dibuktikan oleh produksi sebanyak dua
milyar limfosit CD4+ per hari. Keseluruhan populasi sel-sel CD4+ perifer akan
mengalami “pergantian (turn over)” setiap 15 hari sekali (Ho et al, 1995).
Kecepatan produksi HIV diperkirakan berkaitan dengan status kesehatan
orang yang terjangkit infeksi tersebut. Jika orang tersebut tidak sedang berperang
melawan dengan infeksi yang lain, reproduksi HIV berjalan dengan lambat. Namun,
reproduksi HIV tampaknya akan dipercepat kalau penderitanya sedang menghadapi
infeksi lain atau kalau sistem imunnya terstimulasi. Keadaan ini dapat mejelaskan
periode laten yang diperlihatkan oleh sebagian penderita sesudah terinfeksi HIV.
Sebagai contoh, seorang pasien mungkin bebas dari gejala selama berpuluh tahun,
kendati demikian, sebagian besar orang yang terinfeksi HIV (sampai 65%) tetap
menderita penyakit HIV atau AIDS yang simtomatik dalam waktu 10 tahun sesudah
orang tersebut terinfeksi (Pinching, 1992).

5
Dalam respons imun, limfosit T4 memainkan beberapa perangan yang
penting, yaitu : mengenali antigen yang asing, mengaktifkan limfosit B yang
memproduksi antibody, menstimulasi limfosit T sitotostik, memproduksi limfokin dan
mempertahankan tubuh terhadap infeksi parasit. Kalau fungsi limfosit T4 terganggu,
mikroorganisme yang biasanya tidak menimbulkan penyakit akan memiliki
kesempatan untuk menginvasi dan menyebabkan sakit yang serius. Infeksi dan
malignansi yang timbul sebagai akibat dari gangguan sistem imun dinamakan infeksi
oportunistik.
D. Pathway

6
E. Klasifikasi HIV
Klasifikasi HIV/AIDS pada orang dewasa menurut CDC (Centers for Disease
Control) dibagi atas empat tahap, yakni:
1. Infeksi HIV akut
Tahap ini disebut juga sebagai infeksi primer HIV. Keluhan muncul setelah 2-4
minggu terinfeksi. Keluhan yang muncul berupa demam, ruam merah pada kulit,
nyeri telan, badan lesu, dan limfadenopati. Pada tahap ini, diagnosis jarang dapat
ditegakkan karena keluhan menyerupai banyak penyakit lainnya dan hasil tes
serologi standar masih negatif (Murtiastutik, 2008).
2. Infeksi Seropositif HIV Asimtomatis
Pada tahap ini, tes serologi sudah menunjukkan hasil positif tetapi gejala
asimtomatis. Pada orang dewasa, fase ini berlangsung lama dan penderita bisa
tidak mengalami keluhan apapun selama sepuluh tahun atau lebih. Berbeda
dengan anak- anak, fase ini lebih cepat dilalui (Murtiastutik, 2008).
3. Persisten Generalized Lymphadenopathy (PGL)
Pada fase ini ditemukan pembesaran kelenjar limfe sedikitnya di dua tempat
selain limfonodi inguinal. Pembesaran ini terjadi karena jaringan limfe berfungsi
sebagai tempat penampungan utama HIV. PGL terjadi pada sepertiga orang yang
terinfeksi HIV asimtomatis. Pembesaran menetap, menyeluruh, simetri, dan tidak
nyeri tekan (Murtiastutik, 2008).
4. AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome)
Hampir semua orang yang terinfeksi HIV, yang tidak mendapat pengobatan, akan
berkembang menjadi AIDS. Progresivitas infeksi HIV bergantung pada
karakteristik virus dan hospes. Usia kurang dari lima tahun atau lebih dari 40
tahun, infeksi yang menyertai, dan faktor genetik merupakan faktor penyebab
peningkatan progresivitas. Bersamaan dengan progresifitas dan penurunan sistem
imun, penderita HIV lebih rentan terhadap infeksi. Beberapa penderita
mengalami gejala konstitusional, seperti demam dan penurunan berat badan, yang
tidak jelas penyebabnya. Beberapa penderita lain mengalami diare kronis dengan
penurunan berat badan. Penderita yang mengalami infeksi oportunistik dan tidak
mendapat pengobatan anti retrovirus biasanya akan meninggal kurang dari dua
tahun kemudian (Murtiastutik, 2008).

7
F. Manifestasi Klinik HIV
Manifestasi penyakit klinik penaykit AIDS menyebar luas dan pada dasarnya
dapat mengenai setiap sistem organ. Penyakit yang berkaitan dengan infeksi HIV dan
penyakit AIDS terjadi akibat infeksi. Malignansi atau efek langsung HIV pada
jaringan tubuh.
Infeksi HIV tidak akan langsung memperlihatkan tanda atau gejala tertentu.
Dalam perjalanan nya, infeksi HIV dapat melalui 3 fase klinis (Nasronudin, 2007).
Tahap 1 : infeksi akut
Dalam 2 hingga 6 minggu setelah terinfeksi HIV, seseorang mungkin mengalami
penyakit seperti flu, yang dapat berlangsung selama beberapa minggu. Ini adalah
respons alami tubuh terhadap infeksi. Setelah HIV menginfeksi sel target, yang terjadi
adalah proses replikasi yang menghasilkan berjuta-juta virus baru (virion), terjadi
viremia yang memicu sindrom infeksi akut dengan gejala yang mirip sindrom infeksi
akut dengan gejala yang mirip sindrom semacam flu. Gejala yang terjadi dapat berupa
demam, nyeri menelan, pembengkakan kelenjar getah bening, ruam, diare, nyeri otot,
dan sendi atau batuk.
Tahap 2 : infeksi laten
Infeksi asimtomatik (tanpa gejala), yang umumnya berlangsung selama 8-10 tahun.
Pembentukan respon imun spesifik HIV dan terperangkapnya virus dalam sel
dendritik folikuler di pusat germinavitivum kelenjar limfe menyebabkan virion dapat
dikendalikan , gejala hilang dan mulai memasuki fase laten. M eskipun pada fase ini
virion di plasma menurun, replikasi tetap terjadi di dalam kelenjar limfe dan jumlah
limfosit T-CD4 perlahan menurun walaupun belum menunjukan gejala (asimtomatis).
Beberapa pasien dapat menderita sarkoma Kaposi’s, herpes zoster, herpes simplek,
sinusitis bakterial, atau pneumonia yang mungkin tidak berlangsung lama.
Tahap 3 : infeksi kronis
Sekelompok kecil yang dapat menunjukkan perjalanan penyakit amat cepat dalam 2
tahun, dan ada pula yang perjalanannya lambat (nonprogressor). Akibat replikasi virus
yang di ikuti kerusakan dan kematian sel dendritik folikuler karena banyaknya virus,
fungsi kelenjar limfe sebagai perangkap virus menurun dan virus di curahkan ke
dalam darah. Saat ini terjadi, respon imun sudah tidak mampu meredam jumlah virion
yang berlebihan tersebut. Limfosit T-CD4 semakin tertekan oleh karena intervensi
HIV yang semakin banyak, dan jumlah nya dapat menurun hingga di bawah 200
sel/mm3. Penurunan lomfosit T ini mengakibatkan sistem imun menurun dan pasien

8
semakin rentan terhadap berbagai penyakit infeksi sekunder, dan akhirnya pasien
jatuh pada kondisi AIDS.
Seiring dengan semakin memburuknya kekebalan tubuh, ODHA mulai
menampakkan gejala akibat infeksi oportunistik seperti berat badan menurun, demam
lama, rasa lemah, pembesaran kelenjar getah bening, diare, tuberculosis, infeksi
jamur, herpes, dll. Sekitar 50% dari semua orang yang terinfeksi HIV, 50%
berkembang masuk dalam tahap AIDS sesudah 10 tahun, dan sesudah 13 tahun,
hampir semua menunjukkan gejala AIDS, kemudian meninggal.
Gejala dan klinis yang patut di duga infeksi HIV adalah sebagai beriku (kemenkes RI,
2012) :
1. Keadaan umum,yakni kehillangan berat badan >10% dari berat badan dasar;
demam (terus menerus atau intermitten, temperatur oral, >3,75) lebih dari satu
bulan; diare (terus menerus atau intermitten) yang lebih dari satu bulan;
limfadenopati meluas.
2. Kulit, yaitu di dapatkan pruritic papular eruption dan kulit kering yang luas;
merupakan dugaan kuat infeksi HIV beberapa kelainan kulit seperti genital warts,
folikulitis, psoriasis sering terjadi pada ODHA tapi tidak terlalu terkait dengan
HIV.
3. Infeksi jamur dengan di temukan kadidiasis oral; dermatitis seboroik; atau
kandidiasis vagina berulang.
4. Infeksi viral dengan ditemukan herpes zoster (berulang atau melibatkan lebih dari
satu dermatom); herpes genital berulang; moluskum kontangiosum; atau
kondiloma.
5. Gangguan pernapasan dapat berupa batuk lebih dari satu bulan ; sesak napas;
tuberkulosis; pneumonia berulang; sinusitis kroni atau berulang.
6. Gejala neurologis dapat berupa nyeri kepala yang semakin parah (terus menerus
dan tidak jelas penyebab nya); kejang demam; atau menurunnya funsgi kognitif
G. Penularan HIV
Jalur penularan infeksi HIV serupa dengan infeksi hepatitis B. Pada
homoseksual pria, anal intercourse atau anal manipulation akan meningkatkan
kemungkinan trauma pada mukosa rectum dan selanjutnya memperbesar peluang
untuk terkena virus HIV lewat sekret tubuh. Peningkatan frekuensi praktik dan
hubungan seksual ini dengan partner yang bergantian juga turut menyebarkan

9
penyakit ini. Hubungan heteroseksual dengan orang yang menderita infeksi HIV juga
merupakan bentuk penuluran yang terus tumbuh secara bermakna.
Penularan melalui pemakai obat bius intravena terjadi lewat kontak langsung
darah dengan jarum dan semprit yang terkontaminasi. Meskipun jumlah darah dalam
semprit relatif kecil, efek kumulatif pemakaian bersama peralatan suntik yang sudah
terkontaminasi tersebut akan meningkatkan risiko penularan.

Darah dan produk arah, yang mencakup transfusi yang diberikan pada
penderita hemofilia, dapat menularkan HIV kepada risipien. Namun demikian, risiko
yang berkaitan dengan transfusi kini sudah banyak berkurang sebagia hasil dari
pemeriksaan serologi yang secara sukarela diminta sendiri, pemrosesan konsentrat
faktor pembekuan dengan pemanasan, dan cara-cara inaktivasi virus yang semakin
efektif (Donagen, 1990). Insidens penyakit AIDS pada petugas kesehatan yang
terpajan HIV lewat cedera tertusuk jarum suntik diperkirakan kurang dari 1%.
Penelitian berskala besar terhadap para petugas kesehatan yang terpajan kini sedang
dilaksanakan oleh CDC dan kelompok-kelompok lainnya. Virus HIV dapat pula
ditularkan in utero dari ibu kepada bayinya dan kemudian melalui air susu ibu.

H. Data Penunjang
1. Mendeteksi antigen virus dengan PCR (Polimerase Chain Reaction)
2. Tes ELSA memberikan hasil positif 2-3 bulan sesudah infeksi
3. Hasil positif dikonfirmasi dengan pemeriksaan western blot
4. Serologis: skrining HIV dengan ELISA, tes wastern blot, limfosit T
5. Pemeriksaan darah rutin
6. Pemeriksaan neurologist
7. Tes fungsi paru, broskoscopi
I. Penatalaksanaan
1. Pengobatan suportif
a. Pemberian nutrisi yang baik
b. Pemberian multivitamin
2. Pengobatan simptomatik
3. Pencegahan infeksi oportunistik, dapat digunakan antibiotik kotrimoksazol
4. Pemberian ARV (Antiretroviral)
ARV dapat diberikan saat pasien sudah siap terhadap kepatuhan berobat seumur
hidup.

10
J. Pencegahan HIV
1. Pencegahan penularan HIV pada wanita di lakukan secara primer mencakup
mengubah perilaku seksual dengan menerapkan prinsip ABC, yaitu Abstinence
(tidak melakukan hubungan seksual), be faithful (setia kepada pasangan), dan
Condom (pergunakan kondom).
2. Tidak menggunakan narkoba terutama narkoba suntikan dengan pemakaian jarum
yang bergantian.
3. Tidak menggunakan alat menoreh kulit dan benda tajam secara bergantian,
misalnya tato, tindik, akupuntur, dll.
4. Kelompok risiko tinggi infeksi HIV/AIDS tidak diperbolehkan menjadi pendonor
darah, donor organ atau transplantasi.
5. Ibu yang positif HIV/AIDS sebaiknya jangan hamil karena akan memindahkan
virus kepada janin.
6. Perawat atau tenaga kesehatan khusus nya memberikan konseling untuk
pemakaian kontrasepsi, wanita yang menderita infeksi diberi informasi bahwa
pemakaian alat kontrasepsi mengurangi risiko penularan kepada pasangan.
7. Hindari kontak langsung dengan cairain yang terinfeksi. Meliputi cairan sperma,
cairan vagina, ASI, cairan ketuban.
8. Perhatikan luka terbuka. Hindari kontak langsung dengan cairan terinfeksi
HIV/AIDS.
K. Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
Pengkajian keperawatan mencakup pengenalan faktor risiko yang potensial,
termasuk praktik seksual yang berisiko dan penggunaan obat-obatan bius IV.
Status fisik dan psikologis pasien harus dinilai. Semua faktor yang mempengaruhi
fungsi sistem imun perlu di gali.
Status fisik dinilai dengan menanyakan riwayat diet dan mengenali faktor-
faktor yang dapat mengganggu asuan oral seperti anoreksia, mual, vomitus, nyeri
oral atau kesulitan menelan. Kemampuan pasien membeli dan mempersiapkan
makanan harus dinilai.penimbangan berat badan, pengukuran antropometrik,
pemeriksaan kadar BUN (Blood Urea Nitrogen), protei serum, albumin dan
transferin akan memberikan parameter status nutrisi yang objektif.

11
Kulit dan membran mukosa di inspeksi untuk menemukan tanda lesi,
ulserasi atau infeksi. Rongga mulut diperiksa untuk memantau gejala kemerahan,
ulserasi, dan adanya bercak-bercak putih seperti krim yang menunjukkan
kandidiasis. Daerah perineal diperiksa untuk menemukan ekskoriasi dan infeksi
pada pasien dengan diare yang profus.
Status respiratorius dinilai lewat pemantauan pasien untuk mendeteksi
gejala batuk, produksi sputum, napas pendek, ortopnea, lakipnea, dan nyeri dada.
Status neurologis di tentukan dengan menilai tingkat kesadaran pasien,
orientasinya terhadap orang, tempat serta waktu dan ingatan yang hilang. Pasein
juga dinilai untuk mendeteksi gangguan sensorik (perubahan visual, sakit kepala,
patirasa dan parestesia pada ekstremitas)serta gangguan motorik (perubahan gaya
jalan, paresis atau paralisis) dan serangan kejang.
Status cairan dan elektrolit dinilai dengan memeriksa kulit serta membran
mukosa untuk menentukan turgor dan kekeringannya. Peningkatan rasa haus,
pengeluaran haluaran urin, tekanan darah yang rendah dan penurunan tekanan
sistolik antara 10 dan 15 mmHg disertai kenaikan frekuensi denyut ketika pasien
duduk, dengan denyut nadi yang lemah serta cepat dan berat jenis urin sebesar
1.025 atau lebih menunjukkan dehidrasi. Gangguan keseimbangan elektrolit
seperti penurunan kadar natrium, kalium, kalsium, magnesium dan klorida dalam
serum secara khas akan terjadi karena diare hebta. Pemeriksaan pasien juga
dinilai untuk memeriksa tanda-tanda dan gejala deplesi elektrolit; tanda-tanda ini
mencakup penurunan status mental, kekuatan otot, kram otot, denyut nadi yang
tidak teratur, mual serta vomitus, dan pernapasan yang dangkal.
Tingkat pengetahuan pasien dan penyakitnya dan cara penulan penyakit
harus di evaluasi. Tingkat pengetahuan keluarga perlu dinilai. Reaksi psikologis
pasien terhadap diagnosis penyakit HIV/AIDS merupakan informasi penting yang
digali. Reaksi setiap pasien berbeda dapat berupa penolakkan, amarah, rasa takut,
rasa malu, menarik diri, pergaulan sosial dan depresi. Pemahaman tentang cara
pasien menghadapi sakitnya dan riwayat stres utama yang pernah di alami
sebelumnya kerapkali bermanfaat. Sumber-sumber yang dimilik pasien untuk
memberikan dukungan kepada nya juga harus di identifikasi.

12
2. Diagnosa Keperawatan
a. Bersihan saluran nafas tidak efektif berhubungan dengan pneumonia,
peningkatan sekresi bronkus dan penurunan kemampuan untuk batuk yang
menyertai kelemahan serta keadaan mudah letih
b. Kerusakan integritas kulit yang berhubungan dengan manifestasi HIV,
ekskoriasi dan diare pada kulit
c. Diare yang berhubungan dengan kuman patogen usus dan/atau infeksi HIV
d. Risiko terhadap infeksi yang berhubungan dengan imunodefisiensi
e. Intoleransi aktivitas yang berhubungan dengan keadaan mudah letih,
kelemahan, malnutrisi, gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit, dan
hipoksia yang menyertai infeksi paru
f. Perubahan proses pikir yang berhubungan dengan penyempitan tentang
perhatian, gangguan daya ingat, kebingungan dan disorientasi yang
menyertai ensefalopati HIV
g. Nyeri yang berhubungan dengan gangguan integritas kulit perianal akibat
diare, sarkoma kaposi dan neuropati perifer
h. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
penurunan asupan oral
i. Isolasi sosial berhubungan dengan stigma penyakit, penarikan diri dari sistem
pendukung, prosedur isolasi dan ketakutan bila dirinya menulari orang lain
j. Berduka diantisipasi berhubungan dengan perubahan gaya hidup serta
peranannya dan dengan prognosis yang tidak menyenangkan
k. Kurang pengetahuan berhubungan dengan cara mencegah penularan HIV dan
perawatan mandiri
3. Intervensi dan Implementasi Keperawatan
a. Meningkatkan integritas kulit
1) Kulit dan mukosa oral harus dinilai secara rutin untuk mendeteksi
perubahan dalam penampakan, lokasi serta ukuran lesi dan menemukan
bukti infeksi serta kerusakan kulit. Pasien dianjurkan agar sedapat
mungkin mempertahankan keseimbangan antara istirahat dan mobilitas.
Pasien yang immobile (tidak dapat bergerak) harus dibantu untuk
mengubah posisi tubuhnya setiap 2 jam sekali. Alat-alat seperti kasur
dengan tekanan yang berubah-ubah dan tempat tidur khusus (low and high
loss beds) digunakan untuk mencegah disrupsi kulit.

13
2) Pasien diminta untuk tidak menggaruk dan mau menggunakan sabun yang
non abrasif serta tidak membuat kulit menjadi kering, dan memakai
pelembab kulit tanpa parfum untuk mencegah kekeringan kulit. Perawatan
oral yang rutin harus dianjurkan pula.
3) Losion, salep dan kasa steril yang dibubuhi obat (medicated) dapat
digunakan pada kulit yang sakit sesuai dengan ketentuan dokter.
Penggunaan plester harus dihindari. Permukaan kulit dilindungi terhadap
gesekan dengan menjaga agar kain sprei tidak berkerut dan menghindari
pemakaian pakaian yang ketat.
4) Pasien yang menderita lesi pada kaki dianjurkan untuk mengenakan kaos
kaki katun berwarna putih dan sepatu yang tidak membuat kaki
berkeringat. Obat-obat antipruritus, antibiotik, dan analgetik diberikan
menurut ketentuan medik.
5) Daerah perinial pasien harus sering diperiksa untuk menilai gangguan
integritas kulit dan infeksi .kepada pasien diminta untuk menjaga daerah
tersebut sebersih mungkin. Daerah perianal dibersihkan setiap kali selesai
defekasi dengan sabun non abrasif dan air untuk mencegah ekstoriasi
lebih lanjut, kerusakan dan infeksi pada kulit. Jika daerah ini terasa nyeri,
pemakaian kain lembut atau spons kapas ternyata tidak begitu iriatif
dibandingkan waslap biasa.
6) Disamping itu, rendam duduk atau irigasi secara perlahan-lahan dapat
memudahkan pembersihan dan meningkatkan rasa nyaman. Daerah
perianal yang sudah dibersihkan lalu dikeringkan dengan seksama.losion
atau salep dapat digunakan dengan ketentuan dokter untuk meningkatkan
kesembuhan.
7) Luka harus dikulur jika dicurigai kemungkinann infeksi sehingga terapi
antibiotik yang tepat dapt dimulai. Pasien dengan keadaan umum yang
buruk memerlukan bantuan untuk memelihara kebersihan dirinya.
b. Meningkatkan kebiasaan defekasi yang lazim
1) Pola defekasi pasien harus dimulai untuk mendeteksi diare. Perawat harus
memantau frekuensi defekasi serta konsistensi feses dan melaporkan rasa
skit atau kram pada perut yang berkaitan dengan defekasi.
2) Faktor-faktor yang membuat diare dan frekuen kambuh kembali harus
pula dinilai.

14
3) Kuantitas dan volume feses cair diukur untuk mencatat kehilangan volume
cairan.
4) Kultur feses dilakukan untuk mengidentifikasi mikroorganisme patogen
penyebab diare.
5) Konseling mengenai cara-cara mengurangi diare perlu dilakukan pada
pasien. Dokter dapat merekomendasikan pembatasan asupan oral untuk
mengistrahatkan usus selama periode inflamasi akut yang berkaitan
dengan infeksi usus yang berat. Dengan ditingkatkannya asupan makanan,
jenis-jenis makanan yang merangsang usus seperti buah serta sayuran
mentah, jagung bakar, minuman bersoda, makanan pedas dan makanan
dengan suhu ekstrem perlu dihindari. Makan dengan porsi kecil tetapi
sering akan membantu mencegah distensi abdomen.
6) Kolaborasi dengan dokter untuk meresapkan obat-obat antikolinergik,
antipasmodik atau opioid yang mengurangi diare dengan menurunkan
motilitas dan spasme usus, pemeberian obat anti diare denagn jadwal
teratur mungkin lebih efektfi daripada pemberian kalau perlu. Preparat
antibiotik dan antifungal dapat pula diresepkan untuk melawan kuman-
kuman patogen yang ditemukan lewat pemeriksaan kultur feses.
c. Mencegah infeksi
1) Kepada pasien dan orang yang merawatnya diminta untuk memantau
tanda-tanda serta gejala infeksi. Tanda-tanda ini mencakup gejala
demam/panas, menggigil, keringat malam, batuk dengan atau tanpa
produksi sputum, napas yang pendek, kesulitan bernapas, rasa sakit pada
mulut atau kesuliatan menelan, bercak-bercak putih dalam rongga mulut,
penurunan berat badan yang tidak jelas penyebabnya, kelenjar limfe yang
membengkak, mual, muntah, dan nyeri akut berkemih, sakit kepala,
perubahan visusla dan penurunan daya ingat, kemerahan, pembengkakan
atau pengeluaran sekret dari luka pada kulit, dan lesi vaskuler pada wajah,
bibir atau daerah perianal.
2) Perawat juga harus memantau hasil laboratorium yang menunjukan
infeksi, seperti hitung leukosit dan hitung jenis.
3) Kolaborasi dengan dokter memutuskan untuk melakukan pemeriksaan
kultur spesimen dari sekret lukaa, lesi kulit, urin, feses, sputum, mulut

15
serta daerah untuk mengidentifikasi mikroorganisme patogen dan terapi
antimikroba yang paling tepat.
d. Penyuluhan pasien mencakup strategi untuk menghindari infeksi
1) Pentingnya higiene perorangan harus ditekankan. Permukaan dapur dan
kamar mandi harus dibersihkan secara teratur dengan larutan disinfektan
untuk mecegah pertumbuhan bakteri serta jamur. Pasien yang dirumahnya
terdapat hewan peliharaan memerlukan bantuan orang lain untuk
membersihkan tempat-tempat yang tercemar kotoran hewan tersebut.
Pasien juga harus dinasihati untuk menghindari kontak dengan orang lain
yang sakit atau baru saja divaksinasi.
2) Penderita AIDS dan pasangan seksualnya cairan tubuh pasangannya
selama melakukan aktivitas seksual dan menggunakan kondom pada
segala bentuk hubungan seks.
3) Pemakaian obat IV harus dilarang karena terdapatnya infeksi bagi pasien
dan penularan infeksi HIV kepada orang lain. Pentingnya menghindari
rokok dan mempertahankan keseimbanagn antara diet, istirahat dan
latihan juga harus ditekankan. Semua profesional kesehatan harus selalu
yang ketat ketika mengerjakan prosedur yang invasif.
e. Memperbaiki toleransi terhadap aktivitas
1) Toleransi terhadap aktivitas dinilai dengan memantau kemampuan pasien
untuk bergerak (ambulasi) dan melaksanakan kegiatan sehari-hari. Pasien
mungkin tidak mamapu mempertahakan tingkat aktivitas yang lazim
karena kelemahan, keadaan mudah lelah, napas yang pendek, rasa pening
dan gangguan neurologis
2) Bantu dalam menysusun rencana rutinitas harian yang menjaga
keseimbangan antara aktivitas dan istirahat mungkin diperlukan.
3) Terapi seperti relaksasi dan imajinasi perbimbing mungkin bermanfaat
bagi pasien karena dapat mengurangi rasa cemas yang turut menimbulkan
kelemahan dan keadaan mudah letih.
4) Kolaborasi dengan anggota lainnya dari tim perawtan kesehatan dapat
mengungkapkan faktor-faktor lain yang berkaitan dengan peningkatan
keaadaan mudah lelah dan strategi untuk menghadapinya.

16
f. Memperbaiki proses berpikir
1) Pemerikasaan pasien dilakukan pula menilai perubahan pada status mental
yang mungkin berhubungan dengan gangguan neurologis, abnormalitas
metabolisme, infeksi, efek-samping pengobatan atau mekanisme untuk
mengatasi persoalan.
2) Status mental harus dinilai sedini mungkin untuk memberikann data dasar
bagi keprluan pemantauan perubahan perilaku.
3) Pasien dan keluarganya harus dibantu untuk memahami dan mengatasi
semua perubahan yang terjadi dalam proeses berpikir. Pasien dapat
memerlukan orientasi ulang terhadap orang, tempat dan waktu jika
diperlukan, biasanya disekat pasien harus disediakan kalender dan jam
yang mudah diliat. Jika pasien dirawat dirumah sakit, keluarga dan teman
pasien dianjurkan agar membawa barang-barang yang disenangi pasien
guna menciptakan lingkungan yang akrab dirumah sakit dan mengurangi
suasana rumah sakit yang mengancam.
4) Semua instruksi yang disampaikan kepada pasien harus dengan bahasa
yang sederhana dan jelas. Tindakan melindungi pasien terhadap cedera
harus dilakukan. Strategi untuk memperbaiki atau mempertahankan
fungsionalnya dan memeberikan lingkungan yang aman digunakan bagi
pasien dengan ensefalopati HIV.
g. Memperbaiki bersihan jalan napas
1) Status respiratorius, yang mencakup frekuensi, irama, penggunaan ototo-
otot aksesoris dan suara pernapasan. Setiap gejala batuk dan jumlah serta
karateristik sputum harus dicatat.
2) Spesimen sputum dianalisis untuk menemukan mikroorganisme yang
menular. Terapi pulmoner(batuk, bernapas dalam. Drainase postural,
perkusi dan vibrasi) dilakaukan sedikitnya setiap dua jam sekali untuk
mencegah statis sekresi dan meningkatkan bersihan jalan napas karena
kelemahan dan keadaan mudah lelah, memerlukan bantuan dalam
mendapatkan suatu posisi (fowler atau semi fowler) yang akan
memudahkan pernapasan dan bersihan jalan saluran napas.
3) Memberikan kesempatan istirahat cukup sangat penting untuk
memaksimalkan pengeluaran tenaga pasien dan mencegah kelelahan yang
berlebihan.

17
h. Meredakan nyeri dan ketidaknyamanan
1) Pasien dinilai untuk menentukan kualitas dan kuantitas rasa nyeri yang
berkaitan dengan terganggunya integritas kulit perianal, lesi sarkoma
kaposi dan neuropati perifer. Disamping itu, efek nyeri pada fungsi
eliminasi, nutrisi, tidur, afek dan komunikasi harus digali bersama faktor-
faktor yang menyebabkan ekaserbasi serta meringankan.
2) Tindakan membersihkan daerah perianal seperti yang dijelaskan
sebelumnya dapat meningkatkan rasa nyaman. Preparat antispasme modik
dan antidiare dapat diresepkan untuk mengurangi gangguan rasa nyaman
serta frekuensi defekasi.
i. Memperbaiki status nutrisi
1) Status nutrisi dinilai dengan memantau berat badan, asupan makanan,hasil
pengukran antropoetrik, dan kadar albumin,BUN, protein serta transferin
dalam serum.
2) Pasien juga dinilai untuk menemukan faktor-faktor yang mengganggu
asupan oral, seperti anoreksia, infeksi kanidida pada mulut serta esofagus,
mual, nyeri, kelemahan, dan keadaan mudah letih, serta intoleransi laktosa.
3) Berdasrkan hasil-hasil penilaian ini, perawat dapat mengimplementasikan
tindakan yang spesifik untuk memfasilitasi asupan oral.
4) Pengendalian mual dan muntah dengan obat-obatan entimetik yang
diberikan secara teratur dapat meningkatkan asupan diet pasien. Asupan
makanan yang tidak memadai karena luka-luka pada mulut atau sakit leher
dapat diatasi dengan resep preparat opimoid dan larutan lidokain (untuk
kumur mulut dan ditelan).
5) Pasien dianjurkan untuk memakan makanan yang mudah ditelan dan
menghindari makanan yang kasar,pedas ataupun lengket serta terlalu panas
atau dingin.

18
BAB III

PENUTUP

A. Simpulan
Human Immunodeficiency Virus atau HIV adalah virus yang menyerang sel darah
putih di dalam tubuh (limfosit) yang mengakibatkan turunnya kekebalan tubuh
manusia. Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) disebabkan oleh Human
Immunodeficiency Virus (HIV). Pencegahan dari penyakit HIV di antaranya :
1. Mengubah perilaku seksual dengan menerapkan prinsip ABC, yaitu Abstinence
(tidak melakukan hubungan seksual), be faithful (setia kepada pasangan), dan
Condom (pergunakan kondom)
2. Tidak menggunakan narkoba terutama narkoba suntikan dengan pemakaian jarum
yang bergantian
3. Tidak menggunakan alat menoreh kulit dan benda tajam secara bergantian,
misalnya tato, tindik, akupuntur, dll
4. Kelompok risiko tinggi infeksi HIV/AIDS tidak diperbolehkan menjadi pendonor
darah, donor organ atau transplantasi
5. Ibu yang positif HIV/AIDS sebaiknya jangan hamil karena akan memindahkan
virus kepada janin
6. Perawat atau tenaga kesehatan khusus nya memberikan konseling untuk
pemakaian kontrasepsi, wanita yang menderita infeksi diberi informasi bahwa
pemakaian alat kontrasepsi mengurangi risiko penularan kepada pasangan.
7. Hindari kontak langsung dengan cairain yang terinfeksi. Meliputi cairan sperma,
cairan vagina, ASI, cairan ketuban
8. Perhatikan luka terbuka. Hindari kontak langsung dengan cairan terinfeksi
HIV/AIDS

HIV tergolong ke dalam kelompok virus yang dikenal sebagai retrovirus yang
menunjukkan bahwa virus tersebut membawa materi genetiknya dalam asam
ribonukleat (RNA). Siklus replikasi HIV dibatasi dalam stadium ini sampai sel yang
terinfeksi diaktifkan. Aktivasi sel yang terinfeksi dapat dilaksanakan oleh antigen,
mitogen, sitokin. Infeksi monosit dan makrofag tampaknya berlangsung secara
persisten dan tidak mengakibatkan kematian sel yang bermakna, tetapi sel-sel ini

19
menjadi reservoir bagi HIV sehingga virus tersebut dapat tersembunyi dari sistem
imun dan terangkut ke seluruh tubuh lewat sistem ini untuk menginfeksi berbagai
jaringan tubuh. Kecepatan produksi HIV diperkirakan berkaitan dengan status
kesehatan orang yang terjangkit infeksi tersebut. Jika orang tersebut tidak sedang
berperang melawan dengan infeksi yang lain, reproduksi HIV berjalan dengan lambat.
Namun, reproduksi HIV tampaknya akan dipercepat kalau penderitanya sedang
menghadapi infeksi lain atau kalau sistem imunnya terstimulasi.

Infeksi HIV tidak akan langsung memperlihatkan tanda atau gejala tertentu.
Dalam perjalanan nya, infeksi HIV dapat melalui 3 fase klinis yaitu tahap infeksi akut,
tahap infeksi laten dan tahap infeksi kronis. Adapun data penunjang untuk pemeriksaan
HIV/AIDS yaitu :
1. Mendeteksi antigen virus dengan PCR (Polimerase Chain Reaction)
2. Tes ELSA memberikan hasil positif 2-3 bulan sesudah infeksi
3. Hasil positif dikonfirmasi dengan pemeriksaan western blot
4. Serologis: skrining HIV dengan ELISA, tes wastern blot, limfosit T
5. Pemeriksaan darah rutin
6. Pemeriksaan neurologist
7. Tes fungsi paru, broskoscopi

20

Anda mungkin juga menyukai