Anda di halaman 1dari 11

PAJAK PERTAMBAHAN NILAI

A. Pengertian PPN
Pajak Pertambahan Nilai (PPN) adalah yang pajak dikenakan atas setiap
pertambahan nilai dari barang dan atau jasa dalam peredarannya dari produsen ke
konsumen. Atau pajak atas konsumsi barang dan jasa di daerah pabean yang
dikenakan secara bertingkat di setiap jalur produksi dan distribusi.

B. Subjek PPN
Adapun subjek dari PPN ini ada 2 (dua), yaitu :
1. Pengusaha Kena Pajak (PKP)
Pengusaha adalah orang pribadi atau badan dalam bentuk apapun yang dalam
kegiatan usaha atau pekerjaannya menghasilkan barang, mengimpor barang,
mengekspor barang, melakukan usaha perdagangan, memanfaatkan barang tidak
berwujud dari luar Daerah Pabean, melakukan usaha jasa termasuk mengekspor
jasa, atau memanfaatkan jasa dari luar Daerah Pabean. Dan Pengusaha Kena
Pajak atau PKP adalah pengusaha yang melakukan penyerahan Barang Kena
Pajak dan atau Jasa Kena Pajak yang dikenai pajak berdasarkan undang-undang.
2. Bukan Pengusaha Kena Pajak (non PKP)
Bukan Pengusaha Kena Pajak atau bukan PKP adalah orang atau badan yang
mengimpor BKP, memanfaatkan jasa atau BKP tidak berwujud dari luar daerah
pabean, dan yang melakukan kegiatan membangun sendiri.

C. Objek PPN
Berdasarkan UU No.42 tahun 2009 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan
Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah atau selanjutnya disebut UU PPN
1984.
Adapun objek PPN adalah sebagai berikut : (pasal 4 ayat 1)
a. Penyerahan Barang Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh
pengusaha;
b. Impor Barang Kena Pajak;
c. Penyerahan Jasa Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh
pengusaha;
d. Pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean di
dalam Daerah Pabean;
e. Pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah
Pabean;
f. Ekspor Barang Kena Pajak Berwujud oleh Pengusaha Kena Pajak;
g. Ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud oleh Pengusaha Kena Pajak;
h. Ekspor Jasa Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak.

D. Bukan Objek PPN


Jenis barang yang tidak dikenai PPN adalah barang tertentu dalam barang sebagai
berikut :
1. Barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil langsung
dari sumbernya
a. Minyak mentah (crude oil)
b. Gas bumi, tidak termasuk gas bumi seperti elpiji yang siap dikonsumsi
langsung oleh masyarakat
c. Panas bumi;
d. Asbes, batu tulis, batu setengah permata, batu kapur, batu apung, batu
permata, bentonit, dolomit, felspar (feldspar), garam batu (halite), grafit,
granit/andesit, gips, kalsit, kaolin, leusit, magnesit, mika, marmer, nitrat,
opsidien, oker, pasir dan kerikil, pasir kuarsa, perlit, fosfat (phospat), talk,
tanah serap (fullers earth), tanah diatome, tanah liat, tawas (alum), tras,
yarosif, zeolit, basal, dan trakkit
e. Batubara sebelum diproses menjadi briket batubara; dan
f. Bijih besi, bijih timah, bijih emas, bijih tembaga, bijih nikel, dan bijih perak
serta bijih bauksit.
2. Barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak
a. Beras, Gabah, Sagu, Jagung, Kedelai;
b. Garam baik yang beryodium maupun tidak beryodium
c. Daging, yaitu daging segar yang tanpa diolah, tetapi telah melalui proses
disembelih, dikuliti, dipotong, didinginkan, dibekukan, dikemas atau tidak
dikemas, digarami, dikapur, diasamkan, diawetkan dengan cara lain,
dan/atau direbus
d. Telur, yaitu telur yang tidak diolah, termasuk telur yang dibersihkan,
diasinkan,atau dikemas
e. Susu, yaitu susu perah baik yang telah melalui proses didinginkan maupun
dipanaskan, tidak mengandung tambahan gula atau bahan lainnya, dan/atau
dikemas atau tidak dikemas buah-buahan, yaitu buah-buahan segar yang
dipetik, baik yang telah melalui proses dicuci, disortasi, dikupas, dipotong,
diiris, di-grading, dan/atau dikemas atau tidak dikemas
f. Buah-buahan yaitu buah segar yang dipetik, baik yang telah melalui proses
dicuci, disortasi, dikupas, dipotong, diiris dan dikemas atau tidak dikemas.
g. Sayur-sayuran, yaitu sayuran segar yang dipetik, dicuci, ditiriskan, dan/atau
disimpan pada suhu rendah, termasuk sayuran segar yang dicacah.
3. Uang, emas batangan, dan surat berharga
4. Makanan dan minuman yang disajikan di hotel, restoran, rumah makan,
warung, dan sejenisnya, meliputi makanan dan minuman baik yang dikonsumsi
di tempat maupun tidak, termasuk makanan dan minuman yang diserahkan oleh
usaha jasa boga atau catering. Ketentuan ini dimaksudkan untuk menghindari
pengenaan pajak berganda karena sudah merupakan objek pengenaan Pajak
Daerah.

Jenis jasa yang tidak dikenai PPN adalah jasa tertentu dalam jasa sebagai berikut :
1. Jasa pelayanan kesehatan medis
2. Jasa pelayanan sosial
3. Jasa pengiriman surat dengan perangko
4. Jasa asuransi
5. Jasa keuangan
6. Jasa keagamaan
7. Jasa pendidikan
8. Jasa kesenian dan hiburan
9. Jasa penyiaran yang tidak bersifat iklan
10. Jasa angkutan umum di darat dan air serta jasa angkutan udara dalam negeri
yang menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari jasa angkutan udara luar
negeri
11. Jasa tenaga kerja
12. Jasa perhotelan
13. Jasa-jasa yang disediakan oleh pemerinth dalam rangka menjalankan
pemerinthan secara umum
14. Jasa penyediaan tempat parkir
15. Jasa telepon umum dengan menggunakan uang logam
16. Jasa pengiriman uang dengan wesel pos
17. Jasa boga atau katering.

E. Pengusaha Kena Pajak


Pengusaha Kena Pajak (PKP) adalah pengusaha yang melakukan penyerahan
Barang Kena Pajak dan atau Jasa Kena Pajak yang dikenai pajak berdasarkan
undang-undang. Dengan kata lain PKP adalah Pengusaha yang usahanya adalah
memperdagangkan barang kena pajak dan/atau jasa kena pajak. Apabila Pengusaha
tersebut memperdagangkan atau melakukan penyerahan barang yang tidak kena
pajak atau jasa yang tidak kena pajak, maka Pengusaha tersebut adalah bukan
Pengusaha Kena Pajak.
Terdapat pengecualian untuk pengusaha kecil sesuai dengan pasal 3A ayat 1
UU PPN yang berbunyi: Pengusaha yang melakukan penyerahan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a, huruf c, huruf f, huruf g, dan huruf h,
kecuali pengusaha kecil yang batasannya ditetapkan oleh Menteri Keuangan, wajib
melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak dan wajib
memungut, menyetor, dan melaporkan Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak
Penjualan atas Barang Mewah yang terutang.
Berdasarkan Pasal 3A ayat (1) UU PPN 1984 diatur bahwa Pengusaha Kecil
tidak termasuk sebagai PKP sehingga tidak diwajibkan untuk melaporkan usahanya
untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak. Namun demikian, berdasarkan
Pasal 3A ayat (1a) UU PPN 1984, Pengusaha Kecil dapat memilih untuk
dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak. Pengusaha Kecil yang memilih untuk
dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak tersebut wajib melaporkan usahanya
untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak dan wajib memungut, menyetor,
dan melaporkan Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah
yang terutang.

Batasan Pengusaha Kecil sesuai Peraturan Menteri Keuangan Nomor :


68/PMK.03/2010 adalah sebagai berikut :
1. Pengusaha kecil adalah Pengusaha yang selama satu tahun buku melakukan
penyerahan BKP dan/atau JKP dengan jumlah peredaran bruto dan/atau
penerimaan bruto tidak lebih dari Rp 600.000.000,- (enam ratus juta rupiah).
2. Jumlah peredaran bruto dan/atau penerimaan bruto adalah jumlah keseluruhan
penyerahan BKP dan/atau JKP yang dilakukan oleh Pengusaha dalam rangka
kegiatan usahanya.
3. Pengusaha yang masuk kriteria sebagai pengusaha kecil tidak wajib
melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai PKP dan tidak wajib
memungut, menyetor, dan melaporkan PPN dan PPnBM atas penyerahan BKP
dan atau JKP yang dilakukannya.
Sehingga kepada pengusaha kecil diberikan kebebasan memilih untuk
dikukuhkan sebagai pengusaha kena pajak atau tidak. Jika memilih untuk
dikukuhkan sebagai pengusaha kena pajak, maka wajib melaksanakan ketentuan
sebagaimana dimaksud pada pasal 3A ayat 1 UU PPN.

F. Faktur Pajak
Faktur Pajak adalah bukti pungutan pajak yang dibuat oleh Pengusaha Kena Pajak
(PKP) yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) atau penyerahan
Jasa Kena Pajak (JKP).
Sesuai dengan Peraturan Direktur Jendral Pajak, Nomor: 65/PJ/2010, yang
memuat bahwa Faktur Pajak harus dibuat pada:
a. Saat penyerahan BKP dan/atau JKP
b. Saat penerimaan pembayaran dalam hal pembayaran terjadi sebelum
penyerahan BKP dan/atau penyerahan JKP
c. Saat penerimaan pembayaran termin dalam hal penyerahan sebagai tahap
pekerjaan, atau
d. Saat PKP rekanan menyampaikan tagihan kepada bendahara pemerintah
sebagai pemungut PPN
Nota Retur
Pasal 5A UU PPN 1984 dan PMK-65/PMK.03/2010 tentang Tata Cara
Pengurangan Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah
Untuk Barang Kena Pajak dan Jasa Kena Pajak yang Dikembalikan.
 Nota Retur dibuat apabila PKP pembeli mengembalikan BKP/JKP.
 Fungsi Nota Retur Bagi pengembalian BKP mengurangi:
1)  Pajak Masukan dari Pengusaha Kena Pajak atau Pembeli, dalam hal Pajak
Masukan atas Barang Kena Pajak yang dikembalikan telah dikreditkan;
2)  biaya atau harta bagi Pengusaha Kena Pajak Pembeli, dalam hal pajak atas
Barang Kena Pajak yang dikembalikan tersebut tidak dikreditkan dan telah
dibebankan sebagai biaya atau telah ditambahkan (dikapitalisasi) dalam
harga perolehan harta tersebut; atau
3)  biaya atau harta bagi Pembeli yang bukan Pengusaha Kena Pajak dalam hal
Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan
atas Barang Mewah atas Barang Kena Pajak yang dikembalikan
tersebut telah dibebankan sebagai biaya atau telah ditambahkan
(dikapitalisasi) dalam harga perolehan harta tersebut.
 Nota Retur harus dibuat dalam Masa Pajak yang sama dengan Masa
Pajak terjadinya pengembalian Barang Kena Pajak.
Fungsi Nota Retur Bagi pengembalian JKP mengurangi:
a.  Pajak Masukan dari Pengusaha Kena Pajak (PKP) Penerima Jasa, dalam hal
Pajak Masukan atas Jasa Kena Pajak yang dibatalkan telah dikreditkan;
b.  biaya atau harta bagi Pengusaha Kena Pajak Penerima Jasa, dalam hal Pajak
Pertambahan Nilai atas Jasa Kena Pajak yang dibatalkan tersebut tidak
dikreditkan dan telah dibebankan sebagai biaya atau telah ditambahkan
(dikapitalisasi) dalam harga perolehan harta tersebut; atau
c.   biaya atau harta bagi Penerima Jasa yang bukan Pengusaha Kena Pajak dalam
hal Pajak Pertambahan Nilai atas Jasa Kena Pajak yang dibatalkan tersebut
telah dibebankan sebagai biaya atau telah ditambahkan (dikapitalisasi) dalam
harga perolehan harta tersebut.

G. Saat dan Tempat Terutang PPN


Saat Terutang PPN
Dalam pasal 11 UU PPN 1984 tentang saat terhutangnya pajak, terhutang pada saat
:
1) Penyerahaan barang kena pajak.
2) Impor barang kena pajak saat masuk daerah pabean
3) Penyerahaan jasa kena pajak
4) Pemanfaatan barang kena pajak tidak berwujud diluar daerah pabean
5) Pemanfaatan jasa kena pajak tidak berwujud diluar daerah pabean
6) Ekspor barang kena pajak berwujud
7) Ekspor barang kena pajak tidak berwujud
8) Ekspor jasa kena pajak
9) Dalam hal pembayaran diterima sebelum penyerahan barang kena pajak atau
sebelum penyerahan jasa kena pajak atau dalam hal pembayaran dilakukan
sebelum dimulainya pemanfaatan barang kena pajak tidak berwujud atau jasa
kena pajak diluar daerah pabean, saat terhutangnya pajak adalah pada saat
pembayaran
10) Direktur Jenderal Pajak dapat menentapkan saat lain sebagai saat terhutangnya
pajak dalam hal saat terhutangnya pajak sukar ditetapkan atau terjadi
perubahan ketentuan yang dapat menimbulkan ketidakadilan.

Tempat Terutang PPN


Pengusaha Kena Pajak (PKP) orang pribadi, terutang pajak di tempat tinggal
dan/atau tempat kegiatan usaha, sedangkan bagi Pengusaha Kena Pajak (PKP)
badan, terhutang pajak di tempat kedudukan dan tempat kegiatan usaha. Apabila
Pengusaha Kena Pajak mempunyai satu atau lebih tempat kegiatan usaha di luar
tempat tinggal atau tempat kedudukannya, setiap tempat tersebut merupakan tempat
terutangnya pajak dan Pengusaha Kena Pajak dimaksud wajib melaporkan
usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak.
Apabila Pengusaha Kena Pajak mempunyai lebih dari satu tempat pajak
terutang yang berada di wilayah kerja 1 (satu) Kantor Direktorat Jenderal Pajak,
untuk seluruh tempat terutang tersebut, Pengusaha Kena Pajak memilih salah satu
tempat kegiatan usaha sebagai tempat pajak terutang yang bertanggung jawab untuk
seluruh tempat kegiatan usahanya, kecuali apabila Pengusaha Kena Pajak
menghendaki lebih dari 1 (satu) tempat pajak terutang, Pengusaha Kena Pajak
wajib memberitahukan kepada Direktur Jenderal Pajak.
Dalam hal-hal tertentu, Direktur Jenderal Pajak dapat menetapkan tempat lain
selain tempat tinggal atau tempat kedudukan dan tempat kegiatan usaha sebagai
tempat pajak terutang.

H. Tata Cara Penghitungan PPN


1. Cara Menghitung PPN
Pajak pertambahan nilai (PPN) dihitung dengan cara mengalikan tarif pajak
dengan dasar pengenaan pajak (DPP).

PPN Terutang = Tari f x DPP

2. Tarif PPN (pasal 7 UU PPN 1984)


a.  Tarif Pajak Pertambahan Nilai adalah 10%
b.  Tarif Pajak Pertambahan Nilai sebesar 0% diterapkan atas:
 Ekspor barang kena pajak berwujud
 Ekspor barang kena pajak tidak berwujud
 Ekspor jasa kena pajak
c.   Tarif pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diubah menjadi paling
rendah 5% dan paling tinggi 15% yang perubahan tarifnya diatur oleh
pemerintah.
3. Dasar Pengenaan Pajak
DPP adalah jumlah harga jual, penggantian, nilai impor, nilai ekspor, atau nilai
lain yang dipakai sebagai dasar untuk menghitung pajak terhutang.
a. Harga jual adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta
atau seharusnya diminta oleh penjual karena penyerahan baranag kena
pajak, tidak termasuk PPN yang dipungut menurut UU ini dalam potongan
harga yang dicantumkan dalam faktur pajak.
b. Penggantian adalah nilai berupa uang, termasudk semua biaya yang
diminta atau seharusnya diminta oleh pengusaha karena penyerahan jasa
kena pajak, ekspor jasa kena pajak, atau ekspor barang kena pajak tidak
berwujud.
c. Nilai impor adalah nialai berupa uang yang menjadi dasar perhitungan bea
masuk ditambah pungutan berdasarkan ketentuan dalam peraturan
perundang-undangan yang mengatur mengenai kepabean dan cukai untuk
impor barang kena pajak, tidak termasuk PPN dan PPnBM.
Nilai impor = CIF + bea nasuk + bea masuk tambahan
d. Nilai ekspor adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta
atau sehrusnya dimiinta oleh eksportir.
e. Nilai lain adalah nilai berupa uang yang ditetapkan sebagai DPP. Diatur
dalam PMK No.75/PMK.03/2010 tanggal 31 Maret 2010, ditetapkan
sebagai berikut :
1. Pemakaian sendiri atau cuma-cuma, DPPnya adalah harga
jual/penggantian dikurangi laba kotor.
2. Penyerahan media rekaman suara atau gambar, DPP adalah perkiraan
harga jual rata-rata.
3. Penyerahan film cerita, DPP adalah perkiraan hasil rata-rata perjudul
film.
4. Penyerahan produk hasil tembakau, DPP adalah harga jual eceran.
5. BKP persediaan dan/atau aktiva yang semula tidak untuk
diperjualbelikan, yang masih tersisa pada saat pembubaran, DPP adalah
harga pasar wajar.
6. Penyerahan BPK/JKP dari pusat ke cabang atau sebaliknya dan antar
cabang, DPP adalah harga pokok penjualan atau harga eceran.
7. Penyerahaan BKP kepada pedagang perantara, DPP adalah harga yang
disepakati antar pedagang perantara dengan pembeli.
8. Penyerahan BKP melalui juru lelang, DPP adalah harga lelang.
9. Jasa pengiriman paket, DPP adalah 10% dari tagihan atau yang
seharusnya ditagih.
10. Jasa biro perjalanan atau jasa biro pariwisata, DPP adalah 10% dari
tagihan atau yang seharusnya ditagih.

I. Pemungut PPN, Objek Pemungutan dan Restitusi PPN


Pasal 1 angka 27, Pemungut PPN yaitu :
1. Bendaharawan pemerintah;
2. Badan;
3. Instansi pemerintah;
yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan untuk memungut, menyetor, dan melaporkan
pajak yang terutang oleh Pengusaha Kena Pajak atas penyerahan BKP/JKP kepada
pemungut PPN.
Objek Pemungutannya yaitu setiap pembayaran atas penyerahan BKP dan/atau
JKP, kecuali :
a. Pembayaran yang jumlahnya paling banyak Rp1 juta, dan tidak merupakan
jumlah yang terpecah-pecah
b. Pembayaran untuk pembebasan tanah
c. Pembayaran atas penyerahan BKP dan/atau JKP yang mendapat fasilitas PPN
tidak dipungut/ dibebaskan dari pengenaan PPN
d. Pembayaran untuk penyerahan BBM dan bukan BBM oleh Pertamina
e. Pembayaran atas rekening telepon
f. Pembayaran untuk jasa angkutan udara yang diserahkan oleh perusahaan
penerbangan
g. Pembayaran lain yang menurut ketentuan tidak terutang PPN

Restitusi PPN adalah pengembalian Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan
atas Barang Mewah yang sudah dibayar atas pembelian barang Kena Pajak di
Indonesia yang kemudian dibawa oleh orang pribadi tersebut ke luar Daerah
Pabean.
Cara Restitusi PPN:
Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang dapat
diminta kembali harus memenuhi syarat:
a) Nilai Pertambahan Nilai paling sedikit Rp. 500.000,- (lima ratus ribu rupiah)
dan dapat disesuaikan dengan Peraturan Pemerintah;
b) Pembelian Barang Kena Pajak dilakukan dalam jangka waktu 1 (satu) bulan
sebelum keberangkatan ke luar Daerah pabean, dan;
c) Faktur Pajak memenuhi persyaratan formil, kecuali pada kolom Nomor Pokok
Wajib Pajak (NPWP) dan alamat pembeli diisi dengan nomor paspor dan
alamat lengkap di negara yang menerbitkan paspor atau penjualan kepada
orang pribadi pemegang paspor luar negeri yang tidak mempunyai Nomor
Pokok Wajib Pajak.

J.   Contoh Soal atau Kasus PPN


1)  Pengusaha kena pajak D melakukan ekspor Barang Kena Pajak dengan Nilai
ekspor Rp.100.000.000.
Pajak Pertambahan Nilai yang terhutang = 0% x Rp.100.000.000 = Rp. 0.
2)  Pengusaha kena pajak D menyerahkan BKP secara Cuma-Cuma untuk
membantu korban bencana alam senilai Rp.330.000.000, termasuk laba sebesar
10%.
PPN terhutang adalah:

DPP = x harga jual termasuk laba

DPP = x Rp.330.000.000= Rp.300.000.000


PPN = 10% x Rp.300.000.000= Rp.30.000.000
3)  PT BUDI adalah PKP yang bergerak di bidang industri tekstil, padal 16 Mei
2010 melakukan penjualan aktiva berupa satu unit Truck yang semula untuk
mengangkut barang dagangan seharga Rp150.000.000,- kepada PT PEMBELI
BARANG BEKAS, Truck ini dibeli pada 17 Juni 2004 dengan harga
Rp250.000.000,-.
PPN terutang atas penyerahan aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk
diperjual belikan (Pasal 16D) adalah :
10% x Rp150.000.000 = Rp15.000.000

Anda mungkin juga menyukai