Anda di halaman 1dari 74

Ensefalopati metabolic & toksik

Ensefalopati toksik

Ensefalopati hepatic

Batasan dan uraian umum


Merupakan gangguan fungsional otak yang di sebabkan oleh kegagalan fungsi hati yang terjadi karena dua
mekanisme yaitu hepatocellular failure dan diversi toksin dari vena porta hepar ke dalam sirkulasi sistemik

Gambaran Fulminant hepatic failure Portal systemic encephalofathy


Perjalan penyakit
Mulai timbul Biasanya akut Bervariasi,mungkin tiba-tiba atau
subakut
Status mental Mania mungkin berkembang Kesadran menurun berkembang
menjadi koma dalam (deep menjadi koma
coma)
Factor pencetus Infeksi virak atau hepatotoksin Perdarahan gastrointestinal,
exogenous protein, obat,urenia
Riwayat perjalan penyakit hati Tidak ada Ada
Gejala klinis
Nause, vomitus Biasa Tidak biasa
Nyeri abdominal Biasa Tidak biasa
Tanda
Hepar Kecil,lembut,kenyal Biasanya besar, keras, tidak nyeri
Status nutrisi Normal khakeksia
Sirkulasi kolateral (-) (+)
Asites (-) Mungkin (+)
Pemeriksaan Laboratorium
transamine Sangat tinggi Normal atau sedikit tinggi
Koagulopati (+) Sering (+)

Kriteria diagnosis
 Disfungsi serebral karena kegagalan fungsi hati berupa punurunan tingkat dan kualitas kesadaran
 Laboratorium :
Peningkatan kadar ammonia,AST,ALT alkalin fosfatase,abnomalitas elektrolit dan asam basa.pada
ensefalofati kronik kadar serum asam amino aromatic dan buthionine meningkat,kadar asam amino
rantai cabang menurun, pada akut ensefalopati asam amino meningkat,kadar asam amino rantai
cabang normal
 Gangguan fungsi luhur berupa gangguan atensi ,konsentrasi dan persepsi visuopeatial.(palimg tidak
terjadi pada 60% pasien sirosis walaupun tanpa bukti adanya ensefalopatic)
 LCS :
Pada keadaan akut di dapatkan peninggian tekanan, pada keadaan kronik tekanan dan protein
normal, xantrokrom, mengandung bilirubin, glutamin dan a-ketoglukarat.
 EEG untuk melihat derajat beratnya ensefalopati, didapatkan 3 tingkatan yaitu :
o Tingkat gelombang theta diffuse 4-7 Hz
o Fase triphasic dengan permukaan defleksi maksimum positif
o Tingkat gelombang delta, karakteristiknya aritmia lambat acak dengan sedikit bilateral
sinkron
 MRI pada TI :
Gambaran abnormalitas yang tersebar luas dan ditemukan di sitem limbic dan ekstrafiramidal serta
umumnya di dareah white matter

Tata laksana
 Pengobatan suportif
 Cari dan obati factor pencetus
 Kurangi masukan nitrogen dari usus
 Penatalaksanaan jangka panjang
 Hentikan diuretic
 Kosongkan usus dari nitrogen
 Atasi perdarahan & protein-free diet
 Laktulosa
 Ne3omycin (4x1gram po selama 1 minggu)
 Jaga energi, cairan, dan keseimbangan elektrolit
 Peningkatan diet protein secara perlahan setelah penyembuhan

Walaupun ensefalopati hepatic revesibel seutuhnya, tetapi episode berkepanjangan atau berulang merupakan
resiko untuk berkembang menjadi degenerasi hepatocerebral non-wilsonian, penyakit bertambah berat
dengan devisit neuroligik yang menetap atau progresif, termasuk dementia, disartria,giat ataxia dengan
intesion tremor dan koreoatetosis.beberapa pasien penyakit berlanjut dengan timbulnya kerusakan pada
tulang belakang dengan gejala paraplegi. Koma hepatic berat merupakan resiko terjadinya kematian.

Ensefalopati uremik

Batasan dan uraian umum


Ensefalopati uremikum merupakan gangguan fungsi otak akibat dari perubahan metabolic yang mengikuti
gagal ginjal.

Manifestasi klinik
 Gangguan fungsi otak terutama gangguan kesadaran
 Twiching
 Mioklonus
 Agitasi
 Kejang (eksitasi neural)
 Apati,capek,kurang konsentrasi & insomnia
 Asterixi, Distrasia, tremor
 Gangguan kognitif, halusinasi release phenomena: paratonia, sucking,grasp rooting relexes
 Meningismus
 Penurunan virus progresif + papiledema pada anemia uremikum TD .Stupor-koma,Miolonus-
tetani
 Kejang umum tonik-kronik

Pemeriksaan penunjang
 Fungsi renal : BUN,kreatinin serum
 EEG : berupa perlambatan progresif, simetris dan miring paroksismal gelombang lambat di daerah
kepala bagian depan
 LCS jernih,tekana normal, limfositik pleositosis sedang, protein meningkat

Diagnosis banding
 Intiksikasi air akut
 Ensefalopati hipertensi

Tata laksana
 Dialisis atau peritoneal dialysis lambat (sebagai alternatif)
 Transplantasi ginjal
 fenitoin bila kejang
 atasi anemia

Gangguan metabolisme air dan elektrolit


Pasien dengan gangguan metabolisme air dan elektrolit sering memperlihatkan perubahan status kesadaran
atau kejang sebagai gejala awal.

Gangguan Osmolalitas
 Hemostatis osmotik
 Penurunana osmolalitas serum akan menyebabkan edema serebri dengan gejala konsekuensinya
 Hipoosmolalitas
 Berhubungan dengan hiponatremi, pada SIADH dapat asimptomatik
 Hiperosmolalitas ( >400)
 Berhubungan peningkatan konsentrasi Na serum, hiperglikemi pada pasien diabetik, dehidrasi
(cuaca panas), diabetes yang tidak terkontrol

Gangguan Elektrolit
Definisi Etiologi& patologi Gejala klinis Pemeriksaan Terapi
penunjang
Na

Hiponatremi Na<130 1.Hiponatremi Akut  Kadar sodium Hiponatremi hipotonik


mEq/L hipotonik keletihan hebat, serum, sodium dengan hipovolemik:
a.hipovolem nausea, vomitus, dalam urin dalam 1.NacL 0,9 %
- renal(Na urin hipotensi& 24 jam, kadar 2.Simptomatik
sewaktu >20 kejang, koma serum lipid dan
mEq/L):RTA protein, EEG  Hiponatremi hipotonik
- nonrenal (Na urin Kronik  akut : kesan dengan
sewaktu >10 mEq/L): Kletihan hebat, perlambatan disfus nonhipovolemik:
diare kelemahan, kram dikedua 1.Restriksi cairan (0,5-
otot, nausea, 1L/hr)
b.nonhipovolemi kejang, bingung, 2.Restriksi asupan Na
- volume arteri efektif delirium 3.Na <110 mEq/L
rendah : gagal ginjal - kadar Na di tingkatkan
kronik 0,5 mEq/L/jam
- volemu arteri tidak -koreksi kadar Na
rendah SIADH serum sampai 120
mEq/L (>130mEq/L
2.Hiponatremi dalam 48 jam I)
hipertonik : DM  terlalu cepat koreksi
menyebabkan CPM
atau cerebral
exstraponitine
myelinolysis
4.bila perlu diuretik
(syarat tidak boleh
menggunakan cairan
tanpa
elektrolit/freewater)
5.koreksi albumin bila
perlu
Hiper Na>144 1. intake cairan Perubahan Kadar sodium NaCl 0,4 % bila tidak
natremi mEq/L  kasadaran, serum, urine syok Diuretik + cairan
2. intake Na  meningismus, lengkap & fisiologis bebas Na
3. kehilangan rigiditas& koma. elektrolit urin. Vasopresin  pada
cairan  pd anak Mioklonus, Diabetes insipidus
dg vomitus & chorea, aktivitas Insulin  pada DM
diare kejang. (diuresis osmotik) NaCl
4. makanan per Kelemahan otot 0,9 % bila
NGT/parenteral proksimalp syok/dehidrasi
5. DM
6. kerusakan
hypothalamus
7. trauma
kepala &
panatalaksanaan
edema cerebri
8. diabetes
insipidus
Kalium

hipokalemi K< 6,5 1. Intake K yg Kelemahan otot Kadar K serum , K <3 mEq/L  20
mEq/L tdk adekuat umum, parestisia EKG (ST depresi, mEq/jam dalam 50 –
2. alkalosis hiporefleksia, QT panjang T 100 cc dekstrosa 5 % K
3. gangguan bingung, inverted, gel. U), > 3 mEq/L  per oral
gastrointestinal delirium, & Na serum , Monitor kadar K tiap 2
4. ggn renal tetani, aritmia aldosteron urin, – 4 jam
5. obat jantung kadar rennin &
(epineprin, angiotensin
isoproterenol, plasma, urin 24
salbutamol, jam lengkap,
terbutalin, barium, elektrolit urin
insulin)
hiperkalemi K> 6,5 1. Asidosis Kelemahan & Kadar K serum , Calcium glukonat 10%
mEq/L 2. Eksresi  parestisia, Kadar K serum , 10 – 20 ml i.v. bolus
3. Sumber K paralysis & henti EKG (ST depresi, dalam 3 – 5 menit, Na
daeri luar jantung & nafas QT panjang, bicarbonate 50 ml i.v.
(makanan) /dalam puncak ge;. T (44 meq),
(rehabdomyolysis inverted, kompleks cationexchange resin
& hemolysis) QRS besar therapy. Dialisis K < 7
4. intoksikasi mEq/L (sub akut) 
flurida akut resin dan dialysis
Kalsium

Hipokalsemi Ca< 8,5 Berhubungan dengan Hiperkalsemia Diuresis paksa


mg/dl hiperparati roidisme, berat langsung menggunakan saline
idiopatik penyakit berakibat ke dan diuretic.
granulomatosa otak, Selanjutnya terapi
terutama hiperkalsemia penyebab hiperkalsemia
sacrodioisis,pengobat berat kurang
an dengan obat berat menyebab
termasuk diuretic perubahan
tiazid, vitamin kesadaran
D,kalsium tumor dengan sindrom
yang metastase ke pseudodemensia
tulang, penyakit dan kelemahan.
tiroid Kelainan pada
gastrointestinal,
renal dan
kardiovaskuler
Hiperkalsem ringanC Berhubungan dengan Parastesia sekitar Hipokasemia berat di
i a >10,6- hiperparatiriodisme mulut dan jari- terapi dengan infuse
11,5mg/dl Primer  solitary jari, kram karena kalsium untuk
adenoima solitd kontraksi otot mencegah dan
Sedang tumor dengan tetani dan kejang mengobati kejang
Ca >11,6- metastase (mamae) epilepsi. Pada epilepsI atau spasme
14 mg/dl keganasan kasus kronik, laring kedua
hematologik sakit kepala oleh mengancam jiwa dan
Berat  karena komplikasi yang jarang.
Ca >14 peningkatan terapi jangka panjang
mg/dl tekanan dengan kalsium dan
intracranial, vit.D
gejala
ekstrapiramidal(s
eperti chorea
atau Parkinson
isme).CT kepala
menunjukan
kalsipikasi di
basal
ganglia.status
neurogik
chovstik
&trousseau
(+).katarak dan
apapilede (+).
Magnesium
Hipomagnes
ia Mg<0,4m 1.intake Mg tidak Kelemahan,kebi Mgs04 1 gr dlm 100mL
mol/l atau adekuat ngungan,proagre sol
0,8 meq/l 2.gangguan GIT sif,iritabilitas,agi Selama 1 jam, 1-2
3.kegagalan absorpsi tasi dengan tab/hr
Mg gangguan (35meq)
4.gangguan renal tidur,twitching
5.Metabolik (asidosis otot,mioklomus=
diabetic,porfiria,pank kejang,tremor,hi
reatitis) perrefleksia
6.hiperaldosteronism umum,perubahan
e,hipoparatiroidisme, kepribadian,gera
hipertiroidisme kan
khoreathetosis,ta
kikardi
chovstek&trouss
eau (+)
Hipermagne Mg >4 1.infus magnesium Nause,vomitus,k Ca gluconate IV dialisis
sia mmol/l pada eklamsi elemahan
atau 10 2.obat (laxatif)pada otot,mengantuk,
meq/l pasien gangguan koma
jarang renal
Mangan Keracunan mangan parkinsonisme
terjadi terutama pada
penambangan biji
mangan

Gangguan Metabolik
Gangguan karena metabolisme glukosa

Batasan & uraian umum

Manifestasi klinis

A.Hipoglikemi
Tiga macam sindrom yang dikenal, yaitu:
 Sindrom akut
o Kerja jangka pendek preparat insulin/sulfonylurea
o Malaise,perasaan terasing,gelisah berhubungan dengan lapar,cemas yang menjadi
panik,bereringat,ataxia
o Terapi glukosa oral
o Serangan dapat berakhir atau berlanjut kea rah kejang atau koma yang menyebabkan
trauma otak menetap
 Sindrom subakut
o Hipoglekemi spontan yang berhubungan dengan keadaan puasa
o Perubahan kesadaran,amnesia,hipotermi terjadi secara lambat dan bertahap
 Hipoglikemi kronik
o Jarang
o Etiologi tumor yang mensekresi insulin,control diabetes yang
berlebihan
o Perubahan kepribadian,memori dan tingkah laku(yang di
DD/demensia)

Pemeriksaan penunjang
 Kadar glukosa serum, peningkatan kadar serum insulin,tes
fungsi hati
 MRI & CT kepala (awal normal,ensefalopati berat:atrofi
cerebri,dilatasi ventrikel)
 EEG (perlambatan progresif selama serangan hipoglikemi
dengan aktivitas theta simetris diikuti munculnya aktivitas delta simetris pada kedua hemisfer.pada awal
perlambatan tercetus karena hiperventilasi)
Pada hipoglikemi,terapi dengan glukosa 40% parenteral sebanyak 20-50cc setiap 20-50 menit sampai pasien
sadar,disertai infuse dekstrosa 10% 6 jam/kolf.bila tidak berhasil dapat diberikan antagonis insulin
(adrenalin,Parkinson atau glulkagon)

B.Hiperglikemi

Ketoasidosis diabetes (KAD) Hiperosmolar nonketotik (HONK)


 Tipe DM I II
 Umur <40 >40
 Faktor Infeksi Infeksi,gastroenteritis,pankreatitis dan
pencetus kadang-kadang terapi glukokortikoid &
fenitoin pertama kali terjadi,lambat &
periode poliuri lebih lama mengarah ke
dehidrasi
 Gejala Hiperosmolalitas,hipovolemi,disfungsi
Tripoli,anoreksia,nausea,disorientasi & serebral,kejang epilepsi sering fokal
koma,hiperventilasi (asidosis berat)
 Gula darah
>1000
 Na serum <1000 >140
 K serum <140
/N Sering 
 Bikarbonat
N/sedikit 
 Ureum
Sangat 
 Osmolaritas >60
 Sensitivitas  tapi <60
insulin >360
 Prognosis  tapi <360
 penatalaksa
naan Mortalitas 50% protap hiperglikemi
Mortalitas 10% protap KAD

Pemeriksaan Penunjang

Foto toraks (tanda infeksi paru), EKG ( tanda infark miokard akut) q, Laboratorium (DPL, GD sewaktu,
aseton darah/urin, AGD, elektrolit, tes fungsi hati dan ginjal)
Penatalaksanaan infuse 3 jalur (rehidrasi dengan NaCl 0,9 %, insulin dan koreksi K), bila perlu pemasangan
CVP
Periksa :
 Kadar glukosa darah tiap jam
 Elektrolit tiap 6 jam selama 24 jam selanjutnya tergantung keadaan
 AGD; bila pH<7 tiap 6 jam sampai pH 7,1 selanjutnya tiap hari sampai stabil
 Balans cairan
 Awasi kemungkinan DIC

Defisiensi nutrisi (vitamin B12, asam nikotinat, thiamin, folate)


Demensia, ensefalopati

Wernick-Korsakoff syndrome

Disebabkan defisiensi thiamin dengan gejala ataksia, diplopia bersama dengan abnormalitas motorik ocular
dan ocute confusional state.
Trias gejala klasik adalah ataksia, oftalmoplegia & akut demensia
Pemeriksaan penunjang
 Laboratorium:
Alcohol darah, kadar glukosa darah, elektrolit serum, BUN, kreatinin, kalsium, magnesium, profil
enzim hati
 MRI peningkatan intensitas pada T2 di periaquuueductal gray matter median thalamus dan TI
postkontras mamillary body enchancement
 LCS protein normal – sedikit meningkat
 Kadar thiamin serum & eritrosit transketolase  & kadar piruvat serum 

Tata laksana

 Thiamini 3x200 mg IV selama 2 hr diikuti 200mg/hr  2x100mg/hr per oral (selama alkoholik)
 Infus glukosa
 Koreksi elektrolit imbalans
 Multivitamin & berhenti minum alhohol

Korsakoff syndrome

Korsoff syndrome & Wernicke syndrome merupakan stadium yang berbeda dari 1 proses penyakit. Pada
Korsakoff syndrome khasnya mengikuti gejala Wernicke syndrome

Klinis amnesia retro & anterograde ditandai gangguan memori, disoriemtasi tempat & waktu,
kewaspadaan, atensi, tingkah laku social, fungsi kognitif baik. Konfabulasi terutama pada stadium awal.
Fungsi memori lambat & biasa tidak lengkap walaupun diterapi dengan thiamine. Jadi selain terapi dengan
thiamine juga di butuhkan dukungan social.

Enselofalopati dialysis

Sindrom disequilibrium
Terjadi sebagai akibat berpindahnya air kedalam otak selama dialysis.
Klinis gelisah, sakit kepala hebat diikuti nausea, vomitus, diorientasi & tremor.
Kejang & hilangnya kesadaran menunjukkan peningkatan TIK

Faktor resiko:
Trauma kepala, stroke baru, tumor otak, subdural hematoma/edema serebri.
CT scan kepala: abnormalitas fokal ?& edema serebri

Tata laksana
 Atasi ketidak seimbangan elektrolit
 Atasi kejang
 Terapi edema serebri dengan drainase ventrikel bila perlu
 Pencegahan SDD adalah dengan cara dialisis lambat, yaitu dengan interval 1- 2 hari. Dapat
pula ditambahkan solusi yang aktif osmotic, seperti gliserol, manitol atau natrium pada dialisat.

Sindrom dialysis ensefalopati = dementia dialysis


Progresif, ensefalupati yang terjadi pada pasien dengan kronik hemodialisis patofisiologi demensia dialysis,
difikirkan akibat toksin dari lungkungan disertai adanya peningkatan konsentrasi aluminium dalam korteks
selebri. Pengaruh aluminium dalam funsi neural, yang menyebabkan demensia masih belum diketahui.

Klinis

Kesulitan bicara,gagap,ragu-ragu.Perubahan kepribadian dengan pemikiran paranoid,halusinasi visual dan


auditorik,movement disorder seperti asterixis,twitching&apraksia motorik. Disfasia dan akhirnya global
demensia, mioklonik jerk dan akhirnya koma dan terjadi kematian. Terjadi pada 20% kasus
Stadium awal terjadi selama dialisa yang akan hilang setelah 24 jam dan dalam waktu 6-12 bulan pasien tidak
mampu lagi

Pemeriksaan penunjang
 EEG (Setelah 6-8 bulan gejala mulai timbul)burst paroksimal bilateral sinkron dan bercampur dengan
gelombang delta-theta dengan gelombang paku tajam
 MRI/CT kepala: hidrosefalus ex vacuo ringan-sedand
 LCS normal
Tata laksana

Terapi diazepam, khelasi ddengan deferoksamin yang akan mengikat aluminium dengan aviditas lebih tinggi
dibandingkan dengan plasma protein dan jaringan.

Ensefalopati hipertensif

Gangguan fungsi otak yang ditandai oleh peningkatan tekanan darah dan peningkatan tekanan intracranial

Etiologi

 Primer :
Hipertinsi esensial
 Sekunder :
Glomerulonefritis akut, nefritis kronik, feokromositoma, penyakit chusing atau toksemia pada
kehamilan
PA makroskopik edema selebri difus dan vasospasme serebral mikroskopik petechiae dan nekrosis
fibrinoid arteri

Klinis

Sakit kepala hebat dengan nausea & vomitus. Gangguan penglihatan termasuk penglihatan kabur &
skotomata. Bingung dan progresif menjadi stupor, konvulsif, koma bila tidak diobati. Funduskopi
papilleddema & perubahan retina hipertensif. Deficit neurology fokal tidak khas tetapi mungkin terlihat
sebagai fenomena potiktal atau ketika terjadi perdarahan intracranial MRI & CT scan kepala edema cerebri
difus

Tata laksana

Merupakan kedaruratan medis sehingga TD harus diturunkan cepat dan seaman mungkin
Target terapi  penurunan mean arterial blood pressure (MABP) tidak lebih dari 25% dalam beberapa menit
sampai 2 jam dan kemudian menjadi 160/100 dalam 2-6 jam. TD diatur tiap 15-30 menit
Terapi berupa obat antihipertensi parenteral seperti :
 Diltiazem infuse kontinyu
 Nicardipine infuse kontinyu

Efek nonmetastasis kanker (karsinoma paru small-cell; penyakit Hodgkin)=ensefalopati limbik

Kehilangan neuron yang luas, anxietas, depresi, halusinasi, hipersomnia


Terapi removal tumors, pada beberapa kasus diterapi dengan plasmaparesis, immunoglobin atau
kortikostiroid

Miksedema koma
Gangguan fungsi otak akibat hipotiroidisme
 Ditandai oleh penurunan setatus mental progresif, dementia, apatis, terabaikan, dan pada beberapa
kasus psikosis berkembang menjadi stupor-koma
 Biasanya terjadi pada wanita dengan riwayat hipotiroidisme jangka panjang disebabkan oleh tiroiditis
otoimun, tiroidektomi pada penyakit Grave, radiasi pada daerah leher pada kanker, hipopituitarisme
atau pada penatalaksanaan antitiroid
 Factor pencetus pneumonia atau infeksi saluran kemih. Hipoventilasi, hipotermia, bradikardi kulit
terlihat kering dan dingin. Rambut jarang. Wajah dan extremitas nonpitting edema. Refleks tendon
menurun
 Laboraturium serum T4 , TSH  kreatinin kenase  dengan elevasi fraksi MM. hiponatremi,
hipoglikemi karang pericardial infusion. EEG pada hipotiroidisme berat atau meksedema koma
menunjukan perlambatan dengan voltase rendah yang menerata pada daerah theta

Tata laksana
 Penggantian cairan
 T4 300-500 µg i.v. bolus  µg./hr i.v  p.o
 Hidrokortison 200 mg/hr i.v.
 Dihangatkan
 Restriksi cairan
 Preparat glukosa intravena
 Bila perlu intubasi dan alat Bantu nafas.

Daftar pustaka
1. Gilroy J. Basic Neurology. Mc Graw Hill. 3rd ed. New York 200: 507-52
2. Bradley W.G., Daroff R.B., fenichel G.M., Jankovic J. pocket Companion to Neurology in
Clinical Practice. Elsevier. 4th ed. USA 2004 : 345-54
3. pedoman Diagnosis dan Terapi di bidang Ilmu Penyakit Dalam. Cetakan ke tiga. PIPFKUI.
Jakarta 2001
Gangguan kesadaran
Batasan dan uraian umum

Suatu keadaan terganggunya pengintegrasian impuls eferen (input) dan aferen (output). Derajat penurunan
kesadaran dapat ringan samapai sangat berat, berturut – turut, somnolen, (latergi, obtundasi), spoor (stupor),
koma ringan (semi-koma) dan koma. Selain dari itu dikenal istilah delirium yang juga merupakan salah satu
tipe penurunan kesadaran.
Penurunan kesadaran berdasarkan penyebabnya dapat digolongkan atas:

Akibat adanya gangguan atau kelainan pada sistim saraf pusat:


 Gangguan supratentorial diensefalik (seperti meningitis, ensefalitis, trauma kepala, lesi vaskuler
hemisfer, hematoma, neoplasma, infiltrasi dan metastasis tumor ganas)
 Gangguan infratentorial diensefalik (lesi vaskiler batang otak, trauma kepala, neoplasma,
granuloma, abses dan perdarahan pada serebelum).

Akibat adanya gangguan pada bihemisferik difus:


 Ensefalopati metabolic primer (seperti penyakit alzhaimer, Pick, Korea Hutington dll)
 Ensefalopati metabolic sekunder (hipoksia, hipoglikemia, hiperglikemia, penyakit-penyakit organik
diluar SSP seperu kegagalan fungsi hati dan kegagalan fungsi ginjal, intoksikasi, gangguan balance
elektrolit dan air, penyakit-penyakit yang membuat toksin)

Pada penyusunan standar pelayanan medik ini dibagi atas:


 Gangguan kesadarn akibat proses pada susunan saraf pusat (diuraikan pada masing-masing
diagnosis penyakit), dan
 Gangguan kesadaran akibat proses metabolik sekunder atau akibat penyakit system organ lain selain
SSP dan akibat toksik metabolik lainnya (diuraikan dalam bab ensefalopati metabolic dan toksik
berikut ini)
NEUROVASKULAR

2 a. Stroke iskemik

Batasa klinis dan uraian umum

Stroke iskemik ialah menifestasi klinis akibat fungsi otak baik focal maupun global yang disebabkan oleh
berkurangnya atu hilangnya aliran darah pada perenchim otak yang dapat disebabkan oleh penyumbatan,
kekentalan darah; cepatnyan proses pembekuan darah dan gangguan aliran akibat adanya gangguan fungsi
jantung dan kelainan pembuluh darah besar lainnya yang timbulnya mendadak maupun bertahap.

kriteria diagnosis
gangguan fokal:
 Kelumpuhan sesisi, kelumpuhan kedua sisi, kelumpuhan satu extremitas, kelumpuhan otot-otot
penggerakan bola mata, kelumpuhan otot-otot untuk proses menelan, wicara dan sebagainya
 Gangguan fungsi keseimbangan
 Gangguan fungsi penghidu
 Gangguan fungsi penglihatan
 Gangguan fungsi pendengaran
 Gangguan fungsi somatic sensoris
 Gangguan Neurobihabivioral yang meliputi :
o Gangguan attensi
o Gangguan memory
o Gangguan bicara verbal
o Gangguan mengerti pembicaraan
o Gangguan pengenalan ruang
o Gangguan fungsi kognitif lain
 Gangguan Global berupa gangguan kesadaran

Pemeriksaan penunjang :

Hematologi

 Darah perifer lengkap


 INR,APPT,Fibrinogen,Antibodi(Anti factor x aktif),agregasi trombosit
 D DIMER;PT, Protein C, AT III;
 Lupus anti koagulan ,anticardiolipin antibody, ANF, Ds DNA-Homocyctein (bila terindikasi)

Kimia darah
 Elektrolit serum
 Ureum, kreatinin, gula darah, asam urat, cholesterol, HDL, LDL, Trigliserida

Analisa Gas Darah (ada indikasi)

Kardiologi

EKG
Trans eosophageal Echocardiogram dan atau Trans Thorakal

Radiologik (awal masuk)


 Foto thoraks
 CT Scan otak
 MRI, MRA, DWI, PWI, Spektroskopi (atas indikasi)

Transkranial Doppler dan Duplex carotis

Neurobehaviour: pemeriksaan neuropsikologi dan neuropsikiatri

Tata laksana dan tindakan lanjut:


Terapi umum:
 Pasien tirah baring (bedrest)
 Bebaskan jalan nafas
 Pernafasan (kalau perlu intubasi)
 Jantung, perhatikan denyut dan irama jantung dan gangguan organik lainnya.
 Infus NaCl atau Ringer Laktat, atas indikasi
 Oksigen (saturasi O2 kurang dari 100%) tergantung analisa gas darah
 Atasi gangguan tekanan darah, pertahankan systole tekanan darah pada range 150-170mmHg
 Nutrisi :
Cairan 1500-2000mL dan elektrolit serta komposisi sesuai kebutuhan pasien, tergantung berat badan
dan fungsi ginjal. Minimal 20cc/kgBB
 Glukosa :
Atasi hiperglikemia (dengan insulin skala luncur) dan hipoglikemia
 Posisi :
Ubah posisi tidur setiap 2 jam
 Kebersihan kandung kemih, tidak semua pasien harus dilakukan pemasangan cateter.
 Simptomatis :
Cephalgia, mual/muntah, demam
 Tekanan darah:
Tidak perlu diturunkan segera, kecuali jika didapatkan adanya tekanan sistolik > 220mmHg,
diastolic > 120mmHg, MAP > 130, atau adanya gagal jantung
 Jika Hipotensi (sistolik < 90mmHg, Diastolik < 70 mmHg), berikan NaCl 0,9% 250cc (1jam),
dilanjutkan 500cc (4jam), dan 500 cc (8jam). Bila tidak menolong (sistolik <90) berikan dopamine
2-20ug/kg/menit sampai sistolik > 10
 Kejang
 Bila ada kejang berikan diazepam 5-20 mg IV maksimal 100 mg/hr, dan dilanjutkan antikonvulsan
per oral (fenitoin, karbamezepin) selama 1 bulan. Bila kejang timbul setelah 2 minggu, diberikan
antikonvulsan per oral jangka panjang. (apabila tak ada komplikasi, gangguan irama jantung,
penggunaan fenitoin injeksi lebih diutamakan)
 TIK peningkatan
 Manitol :
Bolus IV 0,25-1 g/kg/30 mnt, 0,25g/kg/30 mnt setiap 6 jam selama 3-5 hari. Pantau osmolalitas <
320 mmol. Tidak semua stroke iskemik memerlukan manitol (pada resiko herniasi). Pemberian
manitol harus ditapering off

Terapi khusus :
Reperfusi
 rtPA
 Hemoreologik :
pentoksifilin, hemodilusi
 Antitrombotik (antiplatelet:asprin, dipiridamol,tiklopidin,klopidogrel, cilostazol) dan antikoagulan:
heparin,LMWH, warfarin atas indikasi, sesuai EAFT,spirit, WARS
o Neuroproteksi
o Hypothermia
o Tambahan te:
 Citicolin
 piracetam
o Neurorestorasi/neurorehabilitasi, yaitu:
 Fisiotherapi pasif dilanjutkan aktif
 Terapi wicara
 Terapi okupasi
o Edukasi keluarga
o Discharge planning

Unit / departemen penunjang


 Dep. Penyakit dalam/kardiologi
 Dep. Anestesi
 Dep. Rehabilitasi medik
 Dep. Penyakit dalam/hematology
 Dep. Bedah/ bedah vaskuler
 Dep. Bedah saraf

2 b. Stroke hemoragik
Batasan klinis dan uraian umum
Stroke hemoragik adalah suatu gangguan organik otak yang disebabkan adanya darah di parenkim
otak maupun di rongga subarakhnoid.

Kriteria diagnosis

Gejala klinis yang ditimbulkan :


Gejala prodomal yaitu:
 Gejala peningkatan tekanan intracranial dapat berupa: sakit kepala, muntah-muntah, sampai
kesadaran menurun
 Gejala rangsang meningeal: sakit kepala, leher tegang, silau,sampai kesadaran menurun
Gejala penekanan parenkim otak (perdarahan intracerebral):
Memberikan gejala tergantung daerah otak yang tertekan / terdorong oleh bekuan darah
Gejala khusus untuk perdarahan subarakhnoid hemorrhage yaitu dapat berupa:
 Manifestasi stroke iskemik karena vasopasme bergantung kepada komplikasinya
 Manifestasi gangguan fungsi serebral karena edema serebri dan hidrosefalus
 Manifestasi peningkatan TIK karena edema serebri, hydrocephalus dan terjadinya perdarahan
berulang .

Pemeriksaan penunjang
Lihat stroke iskemik
Tata laksana dan tindak lanjut:
Terapi umum:
 Rawat ICU bila:
Volume hematoma>30cc, perdarahan intraventrikuler, timbul hidrosefalus, klinis cenderung
menurun
 Tekana darah:
Ditururnkan perlahan(15-20%) bila tekanan sistolik>180,tekanan
diastolic>120,MAP>130,volume hematoma bertambah dan terdapat gagal jantung(labetalol IV
10mg(2')sampai 20mg(10')maksimum 300mg enalapril IV 0,625-25mg/6jam,captropil 3x6,25-
25mg)
 Tekanan intra cranial meningkat
 Posisi kepala dinaikan 30 dengan posisi kepala dan dada pada satu bidang
o Manitol (lihat stroke iskemik)
o Hiperventilasi (Pco2 30-35mmHg)
Terapi khusus:
 Perdarahan intra serebral
o Medis
o Bedah:
Evakuasi hematoma
 Perdarahan subarakhnoid:
o Medis (anti spasme, analgetik, anti muntah)
o Bedah (aneurisma,AVM) dengan ligasi,
embolisasi,eksterpasi,gamma knife,obat-obat pencegahan(anti muntah),perdarahan
lambung,obat pencahar.obat fibrinolitik diberikan apabila akan di lkukan hot intervensi
o Hot phase (sebelum hari ke 4)
o Cold phase (sesudah hari ke 21)
Obat-obatan tambahan:
 Anti kejang bila ada kejang
 Antibiotik bila ada infeksi
Rehabilitasi (sesuai kebutuhan pasien),yaitu:
 Fisioterapi
 Terapi wicara
 Terapi okupasi
Edukasi keluarga
Discharge planning
2 c. Pasca stroke rawat jalan

Batasan klinis dan uraian umum


Pasca stroke rawat jalan ialah penderita yang pernah mengalami stroke iskemik atau stroke hemoragik,dan
melakukan rawat jalan.

Pemeriksaan fisik, pemeriksan penunjang,tatalaksana& tindak lanjut, pencegahan dan pendidikan:


Tujuan:
Mencegah stroke ulang, dengan tujuan memaksimalkan penyembuhan fungsi organ yang terganggu dan
rehabilitasi.

Mencegah terjadinya stroke berulang,dengan cara:


 Gaya hidup sehat
 Mengendalikan factor resiko
o Hepirtensi:
Mengupayakan tekanan darah sistolik < 140mmHg, diastolic < 90 mmHg (ace
Inhibitor,A2RB,Ca analysis)dan sebagainya.
o Diabetes mellitus:
Mengontrol kadar gula darah dengan diet, obat anti diabetic,insulin (actrapid)
 Antitrombotik
o Antiplatelet:
Aspirin, dipiridamol,ticlopidin,clodiprogel,cilostazol
o Antikoagulan:
Warfarin(INR 2-3),pada kasus AF dan resiko emboli jantung
 Angioplasty dan stenting pada penyumbatan pembuluh darah

Mengobati penyakit penyerta lainnya:


 Penyakit jantung koroner
 Infeksi saluran napas
 Infeksi sitemik lain dan sebagainya
Rehabilitasi (sesuai kebutuhan pasien), yaitu:
 Fisioterapi
 Terapi wicara
 Terapi okupasi
3a. Infeksi otak (ensefalitis viral)

Batasan klinis dan uraian umum

Suatau penyakit demam akut dengan kerusakan jaringan parenkim system saraf pusat yang menimbulkan
kejang, kesadran menurun, atau tanda-tanda neurology fokal

Kriteria diagnosis
 Bentuk asimtomatik:
 Gejala ringan,kadang ada nyeri kepala ringan atau demam tanpa diketahui
Penyebabnya.Diplopia,vertigo,parestesi berlangsung sepintas
 Bentuk abortif:
 Nyeri kepala,demam yang tidak tinggi kaku kuduk ringan. Umumnya terdapat infeksi saluran
napas bagian atas atau gastrointestinal
 Bentuk fulminan:
 Berlangsung beberapa jam sampai beberapa hari yang berakhir dengan kematian. Pada stadium
akut demam tingi, nyeri kepala difus yang hebat, apatis, kaku kuduk, disorientasi, sangat gelisah
dan dalam waktu singkat masuk ke dalam koma dalam. Kematian biasanya terjadi dalam 2-4 hari
akibat kelainan bulbar atau jantung
 Bentuk khas ensefalitis:
Gejala awal nyeri kepala ringan, demam, gejla infeksi saluran napas bagian atas atau
gastrointestinal selama beberapa hari. Kaku kuduk, tanda kering positif, gelisah, lemah dan sukar
tidur.selanjutnya kesadaran menurun sampai koma, kejang fokal atau umum, hemiparesis,
gangguan koordinasi, kelainan kepribadian, disorientasi gangguan bicara, dan gangguan mental

Pemeriksaan penunjang
 Pungsi lumbal (jika tidak ada kontraindikasi):
o Cairan serebrospinal jernih dan tekanannya dapat normal atau meningkat
o Fase dini dapat di jumpai peningkatan sel PMN diikuti pleisitosis limfositik,umunya
kurang dari 1000/ul
o Glikosa dan klorida normal
Protein normal atau sedikit meninggi (80-200mg/dl)
 Pemeriksaan darah:
o Lekosit normal atau lekopeni atau lekositosis ringan
o Amilase serum sering meningkat pada parotitis
o Fungsi hati abnormal dijumpai pada hepatitis virus dan mononukleosida infeksiosa
o Pemeriksaan antibody-antigen spesifik untuk HSV, CMV dan HIV
 Pemeriksaan radiology:
Fhoto thoraks, CT scan atau MRI kepala

Penatalaksanaan
 Antiedema serebri:
Deksamethason dan manitol 20%
 Atasi kejang:
Diazepam 10-20-mg IV perlahan-lahan dapat diulang sampai 3 kali dengan interval 15-30
menit.bila masih kejang berikan fenitoin 100-200mg/12jam dilarutkan dalam NaCL 0,9% dengan
kecepatan maksimal 5omg/mnt
 Terapi kausal:
Acyclovir untuk HSV
3b. Ensefalitis toksoplasma pada AIDS

Gejala klinis
Demam, sakit kepala,deficit neurology fokal dan kesadaran menurun merupakan manifestasi klinis
utama. Sakit kepala, kesadaran menurun dan gangguan perilaku di jumpai pada 50-75% kasus. Demam
di jumpai pada 40-50% kasus.Defisit neurologik fokal merupakan manisfestasi klinis yang terbanyak di
jumpai, terutama hemiparesis 40-50%. Kejang sebagai gejala utama di jumpai pada 15-30% kasus.
Gejala lain adalah ataksia, paresis saraf cranial, afasia, parkinsone, chorea-athetosis dan gangguan
lapangan pandang.

Imajing
Pemeriksaan imajing otak memiliki peranan yang sangat berarti dalam diagnosis dan manajemen
ET.MRI lebih superior di banding dengan CT dalam memperlihatkan lesi fokal pada ET. 90%
memperlihatkan lesi hipodens pada CT atau hipontens pada MRI yang multiple,menyangat kontras
berbentuk cincin, disertai edema dan efek massa.lesi yang tidak menyangat kontras juga di laporkan
pada 6-20% kasus.Lokasi lesi seringkali de dapatkan pada daerah ganglia basal dan thalamus,juga pada
daerah corticomedullary junction.

Serologi
Pemeriksaan serologi toksoplasma di anjurkan pada ODHA dengan CD4,200sel/uL.pada ET biasanya
dijumpai IgG yang positif sedangkan IgM negative.

Diagnosis
Diagnosis definitive ET hanya dapat di tegakkan dengan pemeriksaan histologis biopsy jaringan otak.
Sedangkan diagnosis presumtif ET dapat dibuat berdasarkan respon terhadap terapi empiric anti-
toksoplasma negative dianjurkan untuk biopsy strereotaktik. Secara praktis semua ODHA dengan lesi
massa intracranial dengan gejala neurology yang progresif dapat diberikan terapi empiric anti-
toksoplasma selama 2 minggu, walaupun serologinya negative atau lesinya tunggal. Bila tidak terdapat
perbaikan klinis maupun radiology setelah terapi empiric, barulah di anjurkan untuk biopsy.

Diagnosis banding
Progressiv multifocal leukoencephalopathy (PML)perjalanan penyakitnya kronis dengan gambaran
imajing lesi fokal yang tidak menyangat kontras dan tanpa efek massa. Infeksi TBC pada system saraf
pusat harus di pertimbangkan bila terdapat bukti infeksi TBC di tempat lain.Limfoma system saraf pusat
berada pada urutan kedua setelah ET sebagai penyebab lesi massa intrakarnial pada ODHA, keduanya
dapat memberikan gambaran imajing yang serupa.pada MRI lesi tunggal dengan penyangatan kontras
yang homogen lebih menyokong pada diagnosis limfoma. Pemeriksaan SPECT, PET dan MRS dapat
membedakan lesi ET atau limfoma sistim saraf pusat..ss

Tatalaksana
Standar terapi ET adalah kombinasi pirimetamin dan sulfadiazine. Keduanya bersifat aktif terhadap
bentuk takizoit yang menyebabkan gejala klinis dan proses patologik pada ET, namaun tidak aktif
terhadap bentuk kista jaringan karena itu untuk mencegah kekambuhan, setelah terapi fase akut selesai
harus dilanjutkan dengan terapi rumatan jangka pnjang. Leucovorin (folinic acid) harus di tambah kan
dalam regimen standar untuk mencegah efek samping toksisitas pada system hematology. Walaupun
masih diperdebatkan steroid dapat di gunakan dalam waktu singkat pada terapi fase akut, terutama bila
di jumpai efek massa yang signifikan
Respon klinis terhadap terapi standar ET biasanya terlihat dalam 7 hari. Respon radiology berupa
berkurangnya ukuran lesi dan penyangkatan kontras mulai terlihat pada minggu ke-2.

3 c. Meningitis tuberculosis
Batasan klinis dan uraian umum

Meningitis tuberculosis adalah reaksi peradangan yang mengenai selaput otak yang disebabkan oleh
kuman tuberkolosis. Didahului oleh gejala prodromal berupa nyeri kepala, anoreksia, mual/muntah,
demam subfebris, disertai dengan perubahan tingkah laku dan penurunan kesadaran, onset subakut,
riwayat penderita TB atau adanya focus infeksi sangat mendukung.

Kriteria diagnosis

Gejala klinis
 Demam subfebris
 Nyeri kepala
 Muntah
 Kesadaran menurun dan perubahan tingkah laku
 Kaku kuduk, Laseque <70, kernig +, Brudzinsky +
 Paresis saraf kranialis

Pemeriksaan menunjang
 Laboraturium :
Darah perifer lengkap, gula darah, ureum, kreatinin, elektrolit, kultur darah, Ig G anti TB dan
PCR sebagai pemeriksaan tambahan
 Cairan serebrospinal (LP)
Rutin lengkap, sitologi, imunologi, kultur. Didapatkan pleiositosis 50-500/mm 3, dominant
mononuclear, protein meningkat 100-200 mg%, glukosa menurun < 50-60% dari gula darah
sewaktu
 Pemeriksaan seputum BTA 3 kalifoto torak PA/AP
 CT Scan Kepala atau MRI dibuat sebelum dilakukan pungsi lumbal bila dijumpai tanda
peningkatan tekanan intracranial.
 Pemeriksaan neuropsikologi dan neuro psikiatri, jika ada indikasi

Tata laksana
Terapi kausal:
Kombinasi obat anti tuberculosis (OAT)
 INH
 Pyrazinamida
 Rifampisin
 Etambutol
 Kortikostiroaid
Penyulit/komplikasi

Hidrosefalus, kelumpuhan saraf cranial, iskemi dan infark otak dan mielum, epilepsy, SIADH, retaldasi
mental, atrofi nervus optikus.
Konsultasi
Departemen Bedah Saraf jika terdapat penyulit/komplikasi seperti hedrosefalus.
3d. Meningitis purulenta
(meningitis bakterialisasi akut )

Batasan klinis dan uraian umum

Meningitis bakterialis akut ialah infeksi akut atau subakut leptomening (arakhonoid dan piameter) di
sertai dengan perubahan sel (predominan PMN) dan kimia cairan serebrospinal (cairan serebrospinal
keruh karena mengandung pus, nanah).

Etiologinya ialah penyebaran infeksi dari tempat lain melalui darah (meningokok, pneumokok,
hemofilus influenza), atau penjalaran radang langsung dari infeksi THT (OMA, mastoiditis, sinusitis),
infeksi gigi (gangguan pulpa), dan luka terbuka pada kepala.

Tujan
Menyelamatkan pasien dari kematian, mencegah kecacatan, dan mengobati infeksi segera dengan
pemberian antibiotika berdasar klinis dan epidemiologi, sementara menunggu penyebab pasti.

Kriteria diagnosis

Gejala klinis
 Demam akut / subskut
 Nyeri kepala
 Muntah
 Kesadaran menurun
 Kejang
 Kaku kuduk, Lasaque<70, Kernig +, Brudzinky +

Pemeriksaan penunjang
 Laboratorium:
Darah perifer lengkap, gula darah, ureum, kreatinin, elektrolit, kultur darah
 Cairan serebrospinal (LP):
Rutin lengkap, sitologi, imunologi, kultur, laktat (untuk membedakan bakteri/virus)
 Foto thoraks PA/AP
 Foto sinus, mastoid (jika di perlukan)
 CTscan kepala (jika ada penurunan kesadaran, kejang lama, peninggian tekanan intra cranial, dan
deficit fokal neurology sebelum LP)
 Neurobehavior
Pemeriksaan neuropsikologi dan n europsikiatri, jika ada indikasi.

Tata Laksana dan tindak lanjut:

Umum:
 Pasang infuse
 Pasang sonde lambung (jika kesaran menurun)

Medikamentasa:
 Pilihan 1:
~ Cephalosporin generasi III (meningkok, pneumokok)
~ Cefotaxime 6x2 gr IV (15 hari)
~ Ceftriaxon 1x2 gr IV (15 hari)
 Pilihan II:

~ Cotrimoksazol 10 mg/kg BB/hari (12 hari)


Untuk listeria monocytogenes
~ Dexametason (0,15 mg/kg BB) selama 4 hari
~ Rifampisin dapat di berikan selama 2 hari pada kasus pneumokok yang
Resisten terhadap beta lactam, dengan dosis 20mg/kgBB/hari

Unit / Departemen terkait


 PPM/Protokol Departemen telinga Hidung Tenggorokan
 PPM/Protokol Departemen SMF Penyakit Dalam
 PPM/ Protokol Departemen Bedah Saraf

Meningitis Serosa rawat inap

Batasan klinis dan uraian umum

Meningitis serosa ialah infeksi akut/subakut leptomening (arahnoid dan piamater) di sertai
perubahan sel (predominan limfosit) dan kimia pada cairan serebrospinal (cairan serebrospinal jernih
meskipun mengandung jumlah sel dan protein yang tinggi).

Etiologi yang tersering ialah infeksi Micobakterium tuberculosis, dapat juga di sebabkan oleh virus.
Kriteria Diagnosi
Gejala dan tanda klinis
 Demam subaku/akut
 Nyeri kepala
 Muntah
 Kesadaran menurun
 Kejang fokal/umum
 Kaku kuduk, Laseque<70°, Kernig +, Brudzinsky+
 Keterlibatan saraf kranialis (ocular palsy, facial palsy, deafness)
 Dsfisit neurologist fokal
 Dapat dijumpai TBC aktif di organ lain seperti tulang, paru, ginjal

Pemeriksaan Penunjang
 Laboratorium:
Darah perifer lengkap, gula darah, ureum, kreatinin, elektrolit, kultur darah/ BTA
 Tes Tuberkulin
 Cairan serebrospinal (LP):
Rutin lengkap (predominan Limfosit, glukosa <40mg/dl), sitologi, imunologi,
kultur/BTA, deteksi PCR dari Tuberculosis nucleid acid)
 Foto toraks PA
 CT scan kepala (jika ada tanda deficit neurologist fokal dan peninggian tekanan
intracranial)
 Neurobehavior:
Pemeriksaan neuropsikologi dan neuropsikiatr , jika ada indikasi.

Tata laksana dan tindak lanjut


Meningitis tuberkulosa
 Belum pernah mendapat OAT
INH 300 mg setiap hari Selama 6 bulan
Rifampicin 600 mh setiap hari Selama 6 bulan
Pirazinamid 15-30 mg/kg setiap hari Selama 2 bulan

 Sudah pernah mendapat OAT


INH 300 mg setiap hari Selama 12 bulan
Rifampicin 600 mg setiap hari Selama 12 bulan
Pirazinamid 15-30 mg/kg setiap hari Selama 2 bulan
Streptomycin 1 g setiap hari Selama 2 bulan

 Steroid
◦ Prednison
2-3mg/kg/hr (dosis normal 20 mg/hr dalam 3 dosis selama 2-4 mingg),
dilanjutkan 1mg/kg BB/hr selama 1-2 minggu. Seluruhnya 3 bulan.
◦ Deksametason :
2-16 mg/hr (dewasa), diberikan selama 3-6 minggu, toppering off 2-4
minggu

Virus
 Acyclovir diberikan dengan dosis 10mg/kg BB setiap 8jam selama 10 hari
atau per oral 200mg/kg, (5-6) kali sehari
 Kontrol Hb, jika Hb turun sampai dengan 9gr% dosis dturunkan menjadi 200
mg setiap 8 jam. Jika Hb turun sampai dengan 7gr % atau lebih, Pengobatan
sementara dehentikan.

Unit/dokumen terkait
PPM/protocol Penyakit dalam
3e. Meningitis kriptokokus pada AIDS
Gejala klinis
Pada AIDS gejala klinis meningitis kriptokokus sering kali tidak jelas atau samar-samar. Biasanya dijumpai
gejala prodormal selama 2-4 minggu. Gejala awal berupa demam, sakit kepala dan malaise terjadi pada 65-80
% kasus. Bahkan demam dapat merupakan satu-satunya manifestasi klinis yang ada. Mual dan muntah terjadi
pada 50 %. Tanda klasik meningitis berupa kaku kuduk hanya diju,pai 30%. Pasien dating dengan keluhan
gangguan kesadaran dan perilaku. Gejala neurology fokal hanya dilaorkan 10 %. Peningkatan tekanan
intracranial didapatkan pada 75% kasus meningitis kriptokokus pada AIDS. Sedangkan edema papil hanya
didapatkan 26%.

Imajing

Gambaran imajing pada meningitis kriptokokus tidak khas. Dapat ditemukan gambaran hidrosefalus, edema
difus, atrofi, penyangatan menigen dan pluksus khoroideus. Bahkan gambaran imajing yang normal sering
ditemukan. Pada MRI dapat ditemukan pelebaran ruang Vichow-robin, yang tampak sebagai lesi hipertens
berukuran kecil pada T2 dan lesi hipointens pada T1.

Diagnosis
Diagnosis meningitis kriptokokus melalui pemeriksaan cairan serebrospinal, yaitu :
 Identifikasi jamur dengan pewarnaan tinta India
 Identifikasi jamur melalui kultur
 Deteksi antigen C. neoformans dengan reaksi aglutinasi.
Analisa rutin cairan serebrospinal tidak memperlihatkan gambaran yang khas. Dapat ditemukan peningkatan
sel yang tidak terlalu tinggi yang didominasi oleh limfosit. Kadar glukosa dapat turun atau normal. Protein
biasanya menunjukan peningkatan yang moderet.

Diagnosis banding
Mengingat tingginya prevalensi tuberculosis di Indonesia, kemungkinan adanya meningitis tuberculosis
(MTB) Harus selalu dipikirkan dalam diagnosis banding. Pemeriksaan analisa rutin cairan serebrospinal pada
MTB maupun meningitis kriptokokus memiliki gambaran yang sama, demikian pula bentuk klinisnya.
Berbagai etiologi meningitis pada AIDS dengan CD4<200 sel/u harus dipertimbangkan, yaitu:
Salmonella, streptokokus, histoplasma, kandida, aspergilus, siifilis, listeria, nokardia dan lin sebagainya.

Tata laksana
Terapi fase akut

Pilihan pertama
 Fase induksi selama 2 minggu:
Amphoterisin B 0,7-1 mg/kg BB/hr secara intravena dan 5-flurositosin 100mg/kg BB/hr secara oral
 Fase konsolidasi selama 8 minggu atau hingga cairan serebrospinal steril: Flukonazol 400 mh/hr
secara oral

Pilihan kedua
 Fase induksi selama 2 minggu:
Amphoterisin B 0,7-1 mg/kg BB/hr secara intravena
 Fase konsolidasi selama 10 minggu atau hingga cairan serebrospinal steril:Flukonazol 400 mg/hr
secara oral

Pilihan ketiga
 Flukonazol 400 -800mg/hr secara oral dan 5-flurositosin 100 mg/kg BB/hr secara oral selama 6-10
minggu
Terapi rumatan(profilaksis sekunder)
Salah satu regimen dibawah ini diberikan seterusnya hingga nilai CD 4>200sel/ul:
 Flukonazol 200 mg/hr secara oralAmphoterisin B 1mg.
 /kg BB/hr satu atau dua kali seminggu secara intravena
 Itrakonazol 200 mg 2 kali perhari secara oral
Terapi profilaksis primer hingga saat ini tidak dianjurkan.
Diindonesia tidak terdapat 5-flurositosin sehingga dirumah sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) digunakan
terapi alternative kedua untuk terapi induksi dan konsolidasi.

Protocol pemberian ampoteresin B


Di Indonesia saat ini, yang tersedia adalah ampoterisin B deoksikolat (AmBD). Obat ini memiliki toksisitas
yang cukup signifikan, sehingga pemberiannya harus dilakukan secara hati-hati dengan pengawas yang ketat.
Persiapan obat:
Larutkan AmBD 50 mg di dalam botol dengan 10 ml akuades steril, sehingga menjadi 5
mg AmBD dalam 1 ml larutan. Setelah dilarutkan obat harus disimpan dalam lemari
pendingin.
Sebelum pemberian AmBD
 Periksa tanda vital
 Pastikan pasien tidak dalam keadaan dehidrasi
 Priksa protein urin, ureum-kreatinin, elektrolit, darah lengkap dan fungsi hati
Dosis percobaan:
1 mg AmBD dimasukan dalam 350 ml dekstrosa 5 %
diberikan sebagai infuse intravena dalam jangka
Hari pertama waktu 4 jam. Selama pemberian monitor tanda-tanda
vital setiap 30 menit. AmBD tidak boleh dilarutkan
kedalam NaCl 0,9 % karena dapat mengkristal.
Dosis selanjutnya:
AmBD 0,3 mg/kg dimasukkan dalam 500 ml
dekstrosa 5 % diberikan secara infuse intravena
dalam jangka waktu 6 jam.
Dosis AmBD 0,7-1 mg/kg dimasukan dalam 500 ml
dekstrosa 5% diberikan sacara infuse intravena dalam
Hari kedua dan seterusnya jangka waktu 6 jam. Setelah pemberian AmBD
selesai, infuse dapat diganti sesuai dengan kebutuhan
pasien.
 Ukur balance cairan setiap hari
 Tiap 2 hari:
Periksa protein urin, ureum-kreatinin darah dan elektrolit (Na,K, Mg)
 Tiap minggu:
Periksa darah lengkap dan fungsi hati

Tata laksana dan pencegahan efek samping


 Menggigil dan demam dapat terjadi 1 – 3 jam setelah pemberian.
Keadaan ini dapat dicegah dengan premedikasi sebelum infus
AmBD. Obat yang dapat diberikan adalah:
 Parasetamol 4X500 mg secara oral
 Ibuprofen 3X200 mg secara oral
 Aspirin 3X500 mg secara oral
 Meperidin 0,5-1 mg/kg secara intramuscular
 Hidrokotrison 10-50 mg diberikan bersama dalam infuse AmBD
 Hipotensi
 Segera hentikan pemberian AmBD
 Tempatkan pasien dalam posisi tungkai lebih tinggi
 Berikan 300-500 ml NaCL 0,9 % dalam 30 menit
 Bila diperlukan dapat diberikan efedrin 0,3-0,6 mg/kg secara intramuskuler
 Mual dan muntah:
Metoklorpramid 2 mg/kg secara oral atau intravena
 Koreksi gangguan elektrolit (hipokalemia, hipomagnesemia, dan hipokalsemia)
 Heparin 1200-1600 Unit dapat dimasukkan dalam infuse bersama AmBD, untuk mengcegah
phlebitis. (tidak diperlukan bila menggunakan vena sentral)
 Gangguan fungsi ginjal dapat dicegah dengan :
 Asupan cairan yang adekuat, perhatikan balans cairan setiap hati
 Cegah penggunaan AmBD secara bersamaan dengan obat lain yang bersifat toksik pada ginjal
 Loading NaCL 0,9 % sebanyak 300-500 ml sebelum dan setelah pemberian infuse AmBD
 Hentikan pemberian obat bila kreatinin darah >3 mg/dl dan BUN > 40 mg/dl

Tata laksana peningkatan tekanan intracranial


Pungsi lumbal pada MK berfungsi bila sebagai diagnostik maupun terapi.
Tindakan ini dikontraindikasikan pada kasus dengan massa intracranial, hidrosefalus obstruktif, gangguan
koagulasi darah dan terdapat infeksi pada lokasi pungsi. Pada MK batas untuk menentukan tekanan
intracranial yang tinggi adalah tekanan yang lebih dari 200 mmHg pada pengukuran manometer dengan
posisi lateral decubitus. Tekanan intracranial yang tinggi merupakan prodiktor kematian. Selain itu juga
menimbulkan gangguan pendengaran dan penglihatan. Tata laksana peningkatan tekanan intracranial pada
MK adalah dengan mengeluarkan cairan serebrospinal 20-30 ml per hari. Tindakan ini dapat dilakukan
secara berulang dalam beberapa hari hingga tercapai tekanan yang diinginkan. Pada kasus yang tidak
berespon atau dijumpai tekanan yang sangat tinggi dapat dilakukan tindakan pemasangan drain lumbal atau
operasi ventriculo-peritoneal shunt (VPS). Penggunaan kortikosteroid, manitol dan asetazolamid tidak
memperlihatkan manfaat yang nyata dalam tatalaksana peningkatan tekanan intracranial pada meningitis
kriptokokus.
Tatalaksana peningkatan tekanan intrakranial pada MK menurut rekomendasi Mycoses Study Group
Cryptococcal Subproject pada tahun 2000 adalah sebagai berikut :
 Pemeriksaan imajing sebelum pungsi lumbal pada tersangka MK untuk mencari adanya
kontraindikasi
 Bila pada pungsi lumbal didapatkan tekana yang normal, 2 minggu kemudian (setelah terapi terapi
ampoterisin) dilakukan pungsi lumbal ulang
 Bila didapatkan tekanan intrakranial > 250 mmHg, dilakukan drainage hingga tercapai tekanan <
200 mmHg atau didapatkan penurunan 50 % dari tekanan semula. Bila pada drainage yang pertama
tidak dapat dicapai tekanan <200 mmHg
 Pemasangan drain lumbal diindikasikan bila tekanan >400 mmHg
 VPS di indikasikan bila pungsi lumbal berulang dan pemasangan drain lumbal, gagal untuk
menurunkan tekanan cairan serebrospinal

3 f. Serebritis & abses otak

Definisi
Penumpukan materi piogenik yang terlokalisir di dalam / di antara parenkim otak.

Etiologi
 Bakteri (yang sering):
Staphylococcus aureus, Streptococcus anaerob, S. beta
Hemolitikus, S. alfa hemolitikus, E. coli, Bacteroides
 Jamur:
N. asteroids, candida, aspergillus
 Parasit:
E. histolitika, cystisercosis, schistosomiasis

Stadium
 Serebritis dini (hari I-III)
 Serebritis lanjut (hari IV-IX)
 Serebritis kapsul dini (hari X-XIII)
 Serebritis kapsul lanjut (> hari XIV)

Kriteria diagnosis
 Gambaran klinisnya tidak khas. Criteria terdapat tanda infeksi dan peningkatan TIK bila
terdapat trias: gejala infeksi, peningkatan tanda TIK, dan tanda neurologis fokal.
 Pemeriksaan darah rutin:
50-60 % didapati leukositosis, 70-95% LED meningkat
Ct scan kepala tanpa kontras dan dengan kontras: abses berrdiameter > 10mm

Pemeriksaan penunjang
Darah rutin (leukosit, LED)
Pungsi lumbal: dilakukan bila ada kontra indikasi untuk kultur dan tes sensitifitas
Radiologi:
CT Scan kepala tanpa dan dengan kontras, angiografi

Diagnosis banding
Space occupying lesion lainnya
Meningitis

Tata laksana
Prinsip: menghilangkan focus infeksi dan efek massa
Terapi kausal:
Ampisillin 2 g/6 jam IV (200-400 mg/kg BB/hari selama 2 minggu)
Kloramfenikol 1 g/6 jam IV selama 2 minggu
Metronidazole 500 mg/8 jam IV selama 2 minggu
Antiedema: dexamethason/manitol
Operasi bila tindakan konservatif gagal atau abses berdiameter >=2 cm

Konsultasi
Depertemen Bedah Saraf.

3 g. Rabies

Batasan klinis dan uraian umum


Rabies adalah penyakit peradangan akut susunan saraf pusat oleh virus rabies, bermanifestasi sebagian
kelainan neurology yang umumnya berakhir dengan kematian.
Penderita mempunyai riwayat tergigit, tercakar atau kontak dengan anjing, kucing atau binatang lainnya
yang:
Positif rabies (hasil pemeriksaan hewan tersangka)
Mati dalam waktu 10 hari sejak mengigit (bukan dibunuh)
Tak dapat diobservasi setelah mengigit (dibunuh, lari, dan sebagainya)
Tersangka rabies (hewan berubah sifat, malas makan, dll)

Kriteria diagnosis
Gejala klinis
Stadium prodromal (2-10 hari)
Sakit dan rasa kesemutan di sekitar luka gigigtan (tanda awal rabies, sakit kepala, lemah,
anoreksia, demam, rasa takut cemas, agitasi)
Stadium kelainan neurologist (2-7 hari)
Bentuk spastic: peka terhadap rangsangan ringan, kontraksi otot faring dan esophagus, kejang,
aerofobia, hidrofobia, kaku kuduk, delirium, semikoma, meninggal setelah 3-5 hari
Bentuk demensia: kepekaan terhadap rangsangan bertambah, gila, mendadak dapat melakukan
tindakan kekerasan,koma,mati
Bentuk paralitik (7-10 hari)
Gejala tidak khas, penderita meninggal sebelum diagnosis tegak, terdapat monoplegi atau paraplegi
flaksid, gejala bulbar, kematian karena kelumpuhan otot napas

Pemeriksaan penunjang
Laboratorium
Darah rutin(lekositosis, Hematokrit menurun, Hb berkurang), urinalisa (albuminuria dan sedikit lekosit
urin)

Pungsi lumbal (bila perlu)


Protein dan sel normal atau sedikit meningkat

Tata laksana
 Terapi hanya bersifat simtomatis dan suportif (infuse dextrose, antikejang)
 Vaksin antirabies/serum antirabies tidak diperlukan

Penyulit
Dehidrasi, gagal napas

Konsultasi
Departemen Anestesiologi

Penatalaksanaan penderita tergigit anjing atau hewan tersangka dan positif rabies
NO Indikasi Tindakan Jenis VAR Boos ter Keterangan
1 Luka gigitan  Cuci dg air - - Menunda
sabun penjahitan luka,
(detergen) 5- jika penjahitan
10 menit diperlukan
kemudian gunakan anti
dibilas dengan serum local.
air bersih Bila
 Alkhohol 40- diindikasikan
70% dapat diberikan
 Berikan Toxoid Tetanus
yodium, antibiotic, anti
betadin infalmasi dan
solution atau analgetik.
senyawa
ammonium
kuartener 0,1
%
 Penyuntikan
SAR secara
infiltrasi
sekeliling luka
2 Kotak, terapi tanpa - - - -
lesi, kontak tak
langsung, tak ada
kontak
3 Menjilat kulit, Berikan VAR Imovax atau - Dosis untuk
garukan atau abrasi verorab semua umur
kulit, gigitan kecil  Hari 0 : 0,5 ml deltoid sama
(daerah tertutup), 2x suntikan kiri dan 0,5
lengan, badan dan IM ml deltoid
tungkai kanan

0,5 ml deltoid
 Hari 7: kanan atau
1x suntikan kiri
IM
0,5 ml deltoid
kanan atau
 Hari 21: kiri
1x suntikan
IM

4 Menjilat mukosa, Serum anti rabies Imovax Hari 90: 0,5


luka gigitan besar (SAR) rabies ml IM pada
atau dalam  ½ dosis deltoid kiri
multiple, luka pada disuntikan atau kanan
muka, kepala, secara 20IU/kg BB
leher, jari, tangan infiltrasi di
dan jari kaki sekitar luka
 ½ dosis
sisanya
disuntikkan
IM di region
glutea
 Vaksin anti
rabies (VAR)
 Sesuai poin
3A & B Imovak
verorab
5 Kasus gigitan Berikan VAR hari 0 Imovag, - 0,5 ml IM
ulang verorab deltoideus.
Kurang dari 1 SMVB Umur <3 th 0,1
tahun ml IC flexor
Berikan SAR+VAR lengan bawah
Lebih dari 1 tahun secara lengkap Imovax, Umur > 3th
verorab, 0,25 ml ic
SMBV, floxor lengan
imogan bawah
rabies
6 Bila ada reaksi Berikan anti histamine
penyuntikan : sistemik atau local.
reaksi local Tidak boleh diberikan
kamerahan, gatal, kortikosteroid.
pembengkakan
7 Bisa timbul efeksamping pemberian VAR berupa meningoensefalitis TH/kortikosteroid dosis
tinggi
3 h. Tetanus

Batasan klinis dan uraian umum


Penyakit sistem saraf yang akut dengan karakteristik spasme tonik persistem dan eksaserbasi singkat.

Kriteria diagnosis
 Hipertoni dan spasme otot
 Trismus, risus sardonikus, otot leher kaku dan nyeri, opistotonus, dinding perut tegang, anggota
gerak spastic
 Lain – lain:
Kesukaran menelan, asfiksia dan sianosis, nyeri pada otot – otot di sekitar luka
 Kejang tonik dengan kesadaran tidak terganggu
 Umumnya ada luka/riwayat luka
 Retensi urine dan hiperpireksia
 Tetanus local

Pemeriksaan penunjang
 EKG bila ada tanda gangguan jantung
 Foto toraks bila ada tanda komplikasi paru – paru.

Tata laksana
 IVFD dekstrose 5 % :RL = 1: 1/6 jam
 Kausal:
 Antitoksin tetatus:
 Serum antitetanus (ATS) diberikan dengan dosis 20.000 IU/hari IM selama 3-5 hari.
Tes kulit sebelumnya, atau
 Human Tetanus Immunoglobulin (HTIG). Dosis 500-3000 IU IM, tergantung beratnya
penyakit. Diberikan single dose
 Antibiotik;
 Metronidazole 500mg/8 jam drip IV
 Ampisilin dengan dosis 1 g/8 jam IV (tes kulit sebelumnya)
 Bila alergi terhadap penicillin dapat diberikan : eritromisin 500 mg/6 am oral atau
Tetrasklin 500 mg/6 jam oral
 Penanganan luka : dilakukan cross incision dan irigasi menggunakan H2O2
 Simtomatis dan suportif:
◦ Diazepam
 Segara diberikan diazepam 10mg IV perlahan selama 2-3 menit. Dapat diulang bila
diperlukan.
Dosis rumatan : 10 ampul = 100mh/500 ml cairan infuse( 10-12mg/kg/BB/hari) diberikan
secara IV drip (syringe pump).
Untuk mencegah kristalisasi, cairan dikocok setiap 30 menit
 Setiap kejang diberikan bolus diazepam 10 mg IV perlahan selama 3-5 menit, dapat
diulang setiap 15 menit sampai maksimal 3 kali. Bila tak teratasi segera rawat di ICU
 Bila penderita telah bebas kejang selama + 48 jam maka dosis diazepam diturunkan secara
bertahap + 10% setiap 1-3 hari.
Jika sudah memungkinkan, diazepam diberikan peroral dengan frekuensi pemberian tiap 3
jam
◦ Oksigen diberikan bila terdapat tanda-tanda hipoksia, distress pernapasan, sianosis

◦ Nutrisi TKTP
◦ Menghindari tindakan /perbuatan yang merangsang termasuk suara dan cahaya
◦ Mempertahankan /membebaskan jalan nafas; penghisapan lender oro/nasofaring secara berkala
◦ Posisi/letak penderita diubah-ubah secara periodic
◦ Pemasangan kateter bila terjadi retensi urin

Penyulit
 Asfiksia akibat depresi pernapasan, spasme jalan napas
 Pneumonia aspirasi
 Kardiomiopati
 Fraktur kompresi

3i. Malaria serebral

Batasan klinis dan uraian umum


Merupakan komplikasi malaria. Paling sering disebabkan oleh P. falciparum. Diagnosis ditegakkan pada
penderita malaria (terbukti dari pemeriksaan apus darah) yang mengalami penurunan kesadran (GCS<7)
disertai gejala lalu gangguan serebral ( ensefalopati).

Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan apus darah tebal: ditemukan parasit ,alaria

Terapi
 Antimalaria:
Kinin dihidroklorida IV
 Terapi suportif:
Antikonvulsan, antipiretika, penanganan hipoglikemia, menjaga keseimbangan cairan dan
elektrolit
 Pencegahan:
Anti malaria oral sejak 2 minggu sebelum perjalanan ke daerah endemis

Penyulit
Hipoglikemia, asidosis, edema paru, syok hemodinamik,

4a. Komosio serebri/cedera kepala ringan

Batasan dan uraian umum


 Cedera kepala Ringan (CKR) adalah klasifikasi berdasarkan pemeriksaan klinis
 Komosio serebri adalah klasifikasi berdasarkan patologi
 CKR dianalogikan sama dengan komosio serebri
 Di klinik, klasifikasi CKR lebih umum dipakai karena memiliki beberapa keuntungan yaitu:
◦ mempergunakan penilaian skala koma Glasgow (SKG) yang berguna untuk menilai berat
ringannya cedera; penilaiannya mudah bagi dokter spesialis, dokter umum, maupun
paramedic; nilai SKG dapat dipakai sebagai monitoring kondisi pasien
◦ Menilai skening otak, sehingga akurasi adanya kerusakan otak lebih tinggi

Tujuan rawat inap ialah:


 Mengatasi gejala (muntah, sakit kepala, vertigo)
 Mengevaluasi adanya keluhan (terutama) gangguan fungsi lihur pasca trauma berkepanjangan
yang akan mempengaruhi kualitas hidup
 Menilai kemungkinan terjadinya hematoma epidural atau hematoma subdural

Kriteria diagnosis
Komosio serebri ialah keadaan pingsan tidak lebih dari 10 menit yang disebabkan trauma kepala, tanpa
disertai kelainan neurologist lain. Cedera kepala ringan ialah cedera yang mengenai kepala baik
langsung maupun tidak langsung, dengan lama pingsan kurang atau sama dengan 10 menit, nilai skala
koma glascow 13-15, dan tanpa deficit neurology fokal.

Kebijakan/ manifestasi klinis

Indikasi rawat inap


 Nilai skala koma Glascow<15
 Orientasi (waktu dan tempat) terganggu, adanya anamnesia
 Gejala sakit kepala, muntah, dan vertigo
 Fraktur tulang kepala
 Tidak ada yang bisa mengawasi dengan baik dirumah

Pemeriksaan penunjang
 Laboratorium: darah tepi lengkap
 Foto kepala AP/lateral, foto servikal kalau perlu
 CT Scan kepala saat masuk dan diulang bila ada hematoma intrakranial dengan gejala riwayat
lucide interval, sakit kepala progresif, muntah proyektil, kesadaran menurun, dan gejala
lateralisasi

Tata laksana dan tidak lanjut


 Tirah baring dengan kepala ditinggikan 20°-30°, dimana posisi kepala dan dada pada satu
bidang, lamanya disesuaikan dengan keluhan ( sakit kepala,muntah, vertigo). Mobilisasi
bertahap harus dilakukan secepatnya
 Simtomatis:
Analgetika ( parasetamol, asam mefenamat), anti vertigo (beta histis mesilat), anti emetik
 Antibiotika jika ada luka (ampicillin 4x500 mg, amoxicillin 4x500 mg)
 Perawatan luka
 Muntah (+), berikan IVFD NaCl 0,9% atau ringer lactate 1 kolf/12 jam, intuk mencegah
dehidrasi

Unit terkait
 PPM bedah saraf → bila ada hematoma epidural atau hematoma subdural yang perlu tindakan
bedah.

4b. Cedera kepala sedang (CKS) dan cedera kepala berat (CKB)

Batasan dan uraian umum/kriteria diagnosis


CKS adalah cedera yang mengenai kepala baik langsung maupun tidak langsung, lama pingsan > 10menit
sampai dengan ≤6 jam, dengan deficit neurologist, skening otak abnormal, dan nilai skala koma Glascow 9-2.
CKB ialah cedera yang mengenai kepala baik langsung maupun tidak langsung, lama pingsan ≥6 jam,
dengan deficit neurologist, skening otal bnormal, dan nilai skala koma Glascow 3-8.

Tujuan rawat inap ialah


 Menyelamatkan pasien dari kematian
 Memperkecil pengaruh CKS dan DKB, terhadap kecacatan, yang akan mempengaruhi kualitas
hidup
 Mmemperkecil pengaruh CKS dan DBK terhadap penderita dan keluarga

Kebijakanmanifestasi klinis
 Gejala dan tanda klinis:
Lihat uraian umum
 Lama perawatan:
Minimal sampai pasien sadar (SKG 15), hemodinamik stabil, elektrolit normal, dengan nilai tes
orientasi dan anemia Galvastone (TOAG) lebih dari 40

Pemeriksaan Penunjang

Laboratorium
 Darah tepi lengkap
 Gula darah sewaktu
 Ureum, kreatinin
 Albumin serum (hari 1)
 Analisa gas darah (astrup)
 Elektrolit darah dan elektrolit urin (kalau perlu)
 Trombosit, PT, aPTT, fibrinogen (bila dicurigai ada kelainan hematologis)

Pemeriksaan radiology
 Foto kepala AP/lateral, dan foto leher ( bila didapatkan fraktur servikal kerah leher/”collar” yang
telah terpasang tidak dilepas)
 Foto anggota gerak, dada, dan abdomen dibuat atas indikasi
 Skening otak untuk menentukan luas dan letak lesi intrakranial(edema, kontusio, hematoma)

Neurobehavior
Pemeriksaan neuropsikologi dan neuropsikiatri

Tata laksana dan tindak lanjut


Urutan tindakan menurut prioritas:
Resusitasi jantung paru, dengan tindakan airway (A), Breathing (B), Dan Circulation (C).

A: posisi kepala ekstensi untuk membebaskan jalan nafas dari lidah yang turun ke bawah
 Kalau perlu pasang pipa orofaring atau pipa endotrakheal
 Bersihkan sisa muntahan, darah, lender, atau gigi palsu
 Isi lambung dikosongkan melalui pipa nasogastrik untuk menghindari aspirasi

B:
 Berikan oksigen dosis tinggi 10-15 ltr/mnt, intermiten
 Kalau perlu pakai ventilator

C:
Jika terjadi hipotensi (sistolik <90 mmHg), cari penyebabnya, biasanya oleh factor ekstrakranial berupa
hipovolemi akibat perdarahan luar atau rupture alat dalam, trauma dada disertai tamponade jantung atau
pneumotorik dan shock septic.

Tindakan tata laksana:


Menghentikan sumber perdarahn
Restorasi volume darah dengan cairan isotonic, yaitu NaCl 0,9% atau ringer lactate perinfus
Mengganti darah dengan plasma, hydroxyethyl starch atau darah

Pemeriksaan fisi
Dilakukan setelah resusitasi ABC, meliputi:
Kesadarn
Tekanan darah, nadi, pola dan frekuensi pernafasan
Pupil
Deficit local serebral
Cedera ekstrakranial (dengan konsultasi dan kerjasama tim)
Setiap hari dievaluasi, setiap perburukan dari salah satu komponen diatas bisa diartikan timbulnya kerusakan
sekunder.

Pemeriksaan radiology:

Lihat pemeriksaan penunjang

Pemeriksaan laboratorium:

Tekanan intrakranial (TIK) meninggi


Bila ada fasilitas, untuk mengukur naik turunnya TIK sebaiknya dipasang monitor TIK. TIK normal adalah
0-15 mmHg. Diatas 20 mmHg. Sudah harus diturunkan dengan cara:

Hipervebtilasi
Lakukan hiperventilasi dengan terkontrol, sasarn Pco2 dipertahankan antara 30-35 mmHg selama 48-72 jam,
lalu dicoba dilepas dengan mengurangi hiperventilasi, bila TIK naik lagi, hiperventilasi diteruskan lagi
selama 24-48 jam. Bila TIK tidak menurun dengan hiperventilasi periksa gas darah dan lakukan CT Scan
ualang.

Terapi diuretic
 Diuretik osmotik (manitol 20%)
Cara pemberian:
Bolus 0,5-1 g/kgBB dalam 24-48 jam. Monitor osmolalitas serum tidak melebihi 320 mOsm
 Loop diuretic (flurosemid)
Pemberian bersama manitol mempunyai efek sinergik, dan memperpanjang efek osmotic serum oleh
manitol.
Dosis 40 mg/hari IV
◦ Terapi barbiturat:
Diberikan jika tidak responsive terhadap semua jenis terapi di atas.
◦ Cara pemberian:
Bolus 10 mg/kg BB IV selama ½ jam, dilanjutkan 2-3 mg/kg BB/jam, selama 3 jam, lalu
pertahankan pada kadar serum 3-4 mg% dengan dosis sekitar 1mg/kg BB/jam, setelah TIK
terkontrol <20 mmHg selama 24-48 jam, dosis diturunkan bertahap selama 3 hari
◦ Posisi tidur
Bagian kepala ditinggikan 20-30 derajat dengan kepala dan dada pada satu bidang.

Keseimbangan cairan dan elektrolit


Saat awal pemasukan cairan dikurangi untuk mencegah bertambahnya edema serebri dengan jumlah cairan
1500-2000 ml/hr parenteral, dapat dipakai cairan kristaloid seperti NaCl 0,9% atau ringer lactate, jangan
diberikan cairan yang mengandung glukosa. Keseimbangan cairan tercapai bila tekanan darah stabil normal,
takikardi kembali normal dan volume urin ≥30 ml/jam. Setelah 3-4 hari dimulai makanan peroral melalui
pipa nasogastrik. Bila terjadi gangguan keseimbangan cairan elektrolit (pemberian diuretic, diabetes
insipidus, SIADH), pemasukan cairan harus disesuaikan. Pada keadaan ini perlu dipantau kadar elektrolit,
gula darah, ureum, kreatinin, dan osmolalitas darah.

Nutrisi

Kebutuhan energi rata-rata pada CKB meningkat rata-rata 40%, kebutuhan protein 1,5-2 g/kgBB/hr, lipid 10-
40 % dari kebutuhan kalori/hr, dan zinc 12 mg/hr.
Selain infuse, nutrisi diberikan melalui pipa nasogastrik:
Hari ke 1:
Berikan glukosa 10% sebanyak 100ml/2jam
Hari ke 2:
Berikan susu dengan dosis seperti glukosa
Hari ke 3 dst:
Makanan cair 2000-3000 kalori perhari disesuaikan dengan keseimbangan elektrolit.

Neuroproteksi

Adanya tenggang waktu antara terjadinya trauma dengan timbulnya kerusakan jaringan saraf memberi waktu
bagi kita untuk memberikan neuroprotektan.
Obat0obta tersebut antara lain:
Antagonis kalsium atau nimodipin (terutama diberikan pada SAH), sitikolin, dan piracetam 12 gr/hr yang
diberikan selama 7 hari.

Komplikasi
 Epilepsi/kejang
Epilepsi yang terjadi dalam minggu pertama setelah trauma disebut early epilepsy, dan yang terjadi
setelah minggu pertama disebut late epilepsy.
Profilaksis dengan anti kejang pasca CKB, yaitu:
◦ SKG<10, kontusio kortikal, fraktur kompresi tulang tengkorak, SDH, EDH
◦ ICH, luka tembus dan kejang yang terjadi dalam kurun waktu<24 jam pasca cedera
Pengobatan:
◦ kejang pertama :
Saat kejang, diberikan diazepam 10 mg IV, dilanjutkan dengan fenitol 200 mg peroral, dan
seterusnya diberikan 3-4x100 mg/hr
◦ Profilaksasis:
Diberikan fenitoin 3-4x100 mg/hr atau karbamazepin 3x200 mg/hr selama 7- 10 hari.

 Infeksi
Profilaksis antibiotic diberikan bila ada risiko tinggi infeksi seperti fraktur tulang terbuka, luka luar,
dan fraktur basis kranii.
Antibiotik yang diberikan: ampisilin 3x1 gr/hr IV selama 10 hari.
Bila ada kecurigaan infeksi pada menigen, diberikan antibiotika dengan dosis meningitis, misalnya
ampisilin 4x3 gr IV dan kloramfenikol 4x1, 5-2 gr IV selama 10 hari. Untuk gram negative
meningitis, terapi diberikan selama 21 hari atau 10 hari setelah kultur cairan serebrospinal negative.
 Demam
Setiap kenaikan suhu harus dicari dan diatasi penyebabnya.
Selain itu dilakukan tindakan menurunkan suhu dengan kompres dingin pada kepala, ketiak dan
lipat paha, atau tanpa memakai baju dan perawatan dilakukan dalam ruangan dengan pendingin.
Dapat ditambahkan obat antipiretik.
 Gastrointestinal
Pada pasien CKB sering ditemukan gastritis erosi dan lesi
Gastroduodenal lain, dengan 19-14% diantaranya akan berdarah.Keadaan ini dapat dicegah dengan
pemberian antasida 3x1 peroral atau bersama dengan H2 reseptor bloker yaitu simetidine, ranitidine,
atau famatidin yang diberikan 3x1 ampul IV selama 5 hari.
 Gelisah
Kegelisahan dapt disebabkan oleh kandung kemihatau usus yang penuh, patah tulang yang nyeri,
tekanan intrakranial yang meningkat, dan dapat pula terjadi pad emboli paru. Dapat diberikan
penenang dengan observasi kesadaran lebih ketat. Obat yang dipilih adalah obat peroral dan tidak
menimbulkan depresi pernapasan.
 Edema pulmonum
Dapat terjadi pada gangguan fungsi hipotalamus yang mengakibatkan penguncupan vena-vena paru.
Dapat dilakukan pemberian diuretic. Oksigen diberikan, bila perlu dengan teknik tekanan ekspirasio
akhir positif.

Neurorestorasi/rehabilitasi
Neurorestorasi dan neurorehabilitasi menjadi penting untuk dimasukkan dan diprogramkan pada manajemen
cedera kranioserebral. Program ini dibagi dalam :
 Pasien dengan kesadaran menurun, program neurorestorasi/rehabilitasi dilakukan untuk mencegah
dekubitus dan pneumonia ortostatik dengan perubahan posisi baring tiap 8 jam, dilakukan tapotase
torak dan ekstremitas digerakan secara pasif.
 Pasien sadar, dilakukan pemeriksaan neurologist ulang termasuk pemeriksaan kortikal luhur, karena
banyak gejala sisa berupa gangguan kortikal luhur yang menurunkan kualitas hidup pasca cidera
kranio serebral.

EPILEPSI
5. Status epileptikus/konvulsif

Batas Klinis dan Uraian Umum


Status epileptikus ialah suatu keadaan kejang atau serangan epilepsy yang terus menerus disertai kesadaran
menurun selama lebih dari 30 menit, atau kejang beruntun tanpa disertai pemulihan kesadaran yang
sempurna.Status epileptikus merupakan keadaan gawat darutat yang harus segera diatasi karena dapat
menyebabkan kematian dan kecacatan ytang permanent.
Kriteria diagnosis
Kriteria diagnosis ditegakkan atas dasar :
1. Kejang atau serangan epilepsy berulang tanpa pemulihan kesadaran sempurna, atau
2. kejang beruntun disertai kesadaran menurun lebih dari 30 menit
Pemeriksaan Penunjang
1. Laboratorium:
 Darah Perifer Lengkap, analisa gas darah dan elektrolit, Gula Darah Sewaktu, Ureum,
Creatinin, Kadar obat anti epilepsy
2. EEG
3. Pungsi Lumbal, jika perlu
4. CT Scan kepala, jika perlu
5. Neurobehaviour: pemeriksaan neuropsikologi, dan neuropsikiatri, jika ada indikasi

Tatalaksana dan tindak lanjut


1. perbaiki jalan nafas (jika perlu, intubasi) dan sirkulasi
2. Oksigen melalui nasal, monitor EKG, pernafasan dan temperature
3. Ambil sample darah untuk pemeriksaan laboratorium
4. pasang jalur intravena dengan larutan NaCl 0,9% dengan tetesan lambat
5. Berikan 50 mL glukosa 40% i.v. dan 100mL thiamin i.v atau i.m.
6. Lakukan rekaman EEG jika ada
7. Berikan diazepam 0,3mg/kgBB i.v. (kecepatan 5mg/mnt) sampai maksimum 20 mg, dapat diulang
jika masih kejang, setelah 5 menit.
8. Bila kejang teratasi, dilanjutkan dengan phenytoin i.v. 18 mg/kgBB (kecepatan maksimum
50mg/menit) disertai monitor EKG dan tekanan darah selama infus phenytoin. Bila kejang belum
teratasi diberikan phenytoin i.v. 15-20mg/kgBB (kecepatan 150mg/menit)
9. Jika kejang menetap dalam 20-30 menit, beri Phenobarbital, dosis rumat 20mg/kgBB i.v.
(100mg/menit).
10. Jika kejang menetap, dalam 40-60 menit, perawatan dilakukan di icu. Berikan Pentobarbital
5mg/kgBB i.v. dosis awal, dinaikkan hingga kejang berhenti dengan memonitor EEG, dilanjutkan
dengan 1mg/kgBB/jam, kecepatan infuse lambat setiap 4-6 jam untuk menentukan apakah kejang
sudah teratai dan tidak ada komplikasi terhadap tekanan darah, dan pernafasan.
11. Jika kejang masih menetap (status refrakter), dilakukan anesthesia dengan pentobarbital, intubasi
dan ventilator mekanik.

Epilepsi Rawat Jalan

Batasan klinis dan uraian umum


Epilepsi ialah manifestasi klinis yang serupa dan berulang secara paroksismal yang disebabkan oleh aktifitas
listrik sekelompok sel saraf abnormal yang biasanya spontan, bukan disebabkan oleh suatu penyakit otak
akut (on provocated).

Tujuan rawat jalan ialah untuk mengatai manifestasi klinis yang dapat menurunkan kualitas hidup pribadi
maupun social pasien.

Manifestasi klinis dan emeriksaan fisik


1. Anamnesis (auto dan alloanamnesis) meliputi pola serangan yang terjadi (jenis, lama, waktu,
frekuensi serangan), dan pengobatan yang pernah didapat.
2. Pemeriksaan fisis dan neurologist ada tidaknya deficit neurologist.

Pemeriksaan penunjang
1. EEg
2. 2. CT Scan dan atau MRI jika diperlukan
3. pemeriksaan fungsi luhur jika diperlukan
4. Laboratorium : Darah tepi lengkap, fungsi hati, fungsi ginjal, elektrolit (Ca, P, Mg, Na), Gula darah,
dan kadar obat dalam darah jika diperlukan.
5. neurobehavioral : pemeriksaan neuropsikologi dan neuropsikiatri, jika ada indikasi.

Tata laksana:
1. Pemilihan obat anti epilepsy (OAE) tergantung pada bentuk bangkitan dan sindroma epilepsy.
Penggunaan terapi tunggal dan dosis rendah menjadi pilihan utama
2. Penatalaksanaan : (sesuai jenis epilepsy)
 Obat anti epilepsy pilihan pertama :
o Karbamazepin
o Dephenylhidantoin (Phenytoin)
o Asam valproat
o Phenobarbital
 Obat anti epilepsy pilihan kedua:
o Lamotrigine
o Okskarbazepin
o Clobazam
o Topiramate
o Gaba pentin
Unit/dokumen terkait
PPM/protocol Dep. Bedah Saraf

NYERI
6 a. Nyeri punggung bawah rawat inap
dan rawat jalan

Batasan klinis dan uraian umum


Nyeri Punggung Bawah (NBP) ialah suatu gejala nyeri pada punggung bawah (pinggang), dapat merupakan
nyeri local maupun nyeri radikuler atau keduanya. Nyeri yang berasal dari punggung bawahdapat terujuk ke
daerah lain, atau sebaliknya nyeri yang berasal dari daerah laindirasakan di daerah punggung bawah
(referred pain). NBP bila disebabkan oleh: kelainan musculoskeletal, system saraf, vaskuler, visceral, dan
psikogenik.

Manifestasi klinis dan pemeriksaan fisik


Gejala dan tanda klinis:
 Diskripsi gejala dan lamanya, dampak gejala terhadap aktivitas harian, serta respon terhadap
pengobatan sebelumnya
 Mengetahui adakah riwayat trauma, riwayat supresi imun, penurunan berat badan tanpa penyebab
yang jelas (kanker)
 Nyeri yang menetap merupakan pertimbangan untuk kanker atau infeksi
 Pemberatan nyeri dikala berbaring (tumor intraspinal atau infeksi) atau pengurangan nyeri (hernia
nucleus pulposus / HNP)
 Nyeri yang paling berat di pagi hari (spondiloartropati seronegatif: ankylosing spondylitis, arthritis
psoriatic, spondiloartropati reaktif, sindroma Reiter, arthritis rematoid, polymyalgia rheumatica,
nyeri miofasial, sindroma fibromialgia)
 Nyeri pada saat duduk (HNP, kelainan faset sendi, stenosis kanal kelainan otot paraspinal, kelainan
sendi sakroiliaka, spondilolisis / spondilolistesis, NBP non spesifik)
 Adanya demam (infeksi)
 Gangguan hormonal (dismenore, pasca menopause/andropause)
 Keluhan visceral (referred pain)
 Keluhan neurologik berupa lokasi dan prnjalaran nyeri (nyeri radikuler), gangguan sensorik sesuai
dengan dermatom yang terganggu, kelemahan motorik ekstremitas bawah.
 Pemeriksaan motorik
 Pemeriksaan sensorik : Tanda perangsangan meningeal : Srtaight Leg Raising (SLR), test Laseque
(iritasi radiks L5 atau S1), CrossLaseque (HNP median), Reverse Laseque (iritasi radiks lumbal
atas), Sitting Knee Extension (iritasi lesi iskhiadikus)
 Pemeriksaan system otonom
 Pemeriksaan reflek – reflek
 Tanda Patrick ( lesi coxae ) dan kontra Patrick ( lesi sakroiliaka )
 Tes Naffziger
 Tes Valsava

Pemeriksaan Penunjang
Neurofisiologik
 Elektromiografi ( EMG )
 Somatosensory Evoked Pontesial ( SSEP ). Berguna untuk stenosis kanal dan mielopati spinal

Radiologik
 Foto polos vetebra
 Mielografi, Mielo-CT, CT Scan, MRI

Laboratorium
 Laju endap darah, darah perifer lengkap, CRP, Faktor remotoid, fosfatase alkali/asam, kalsium (atas
Indikasi)
 Urinalisis ( untuk penyakit non spesifik seperti infeksi, hematuri)
 Likuor serebrospinal ( atas indikasi )

Kriteria Diagnosis
 Indikasi Rawat Inap:
Pada NBP akut, dengan nyeri yang menetap setelah mendapat terapi.
 Indikasi Rawat Jalan:
Pada NBP kronis, atau NBP akut yang pada pertolongan pertama menunjukan perbaikan

Tatalaksana dan Tindak Lanjut


 Non Farmakoloogikk
 Pada NBP akut:
Imobilisasi ( lamanya tergantung kasus, minimal 4-7 hari), pengaturan berat badan, posisis tubuh
dan aktifitas, modalitas termal, masase, traksi ( untuk dislokasi tulang belakang ), alat Bantu ( antara
lain korset, tongkat )
 NBP Kronik:
Terapi psikologik, modulasi nyeri ( TENS, akupuntur, modalitas termal ), latihan kondisi otot,
pengaturan berat badan, posisi tubuh dan aktifitas
 Farmakoterapi
 NBP akut:
Asetaminofen, NSAID, muscle relaxant, opioid ( nyeri berat ), injeksi epidural ( steroid, lidokain,
opioid) untuk nyeri radikuler
 NBP kronik:
Antidepresan trisiklik (amitriptilin), antikonvulsan (gabepentin, karbamazepin, okskarbasepin,
fenitoin), alpha blocker (klonidin, prazosin)
 Invasif non bedah
 Blok saraf anestetik local (radikulopati)
 Neurolitik (alcohol 100%, fenol 30%)
 Bedah
 HNP, indikasi operasi
 Nyeri menetap, bertambah berat setelah terapikonservatif selama lebih dari 4 minggu
 Defisit neurologist memburuk (ada paresis, dan gangguan miksi dan defekasi)
 Sindroma kauda
 Terbukti adanya kompresi radiks berdasarkan pemeriksaan EMG

Unit/ Departemen terkait


 PPM/protocol Dep Bedah Saraf
 PPM/protocol Dep Unit Rehabilitasi Medik
 PPM/protocol Dep Penyakit Dalam

6 b. Brachialgia

Batasan klinis dan uraian umum

Brachialgia adalah suatu istilah rasa nyeri pada daerah brachial akibat lesi pada plexus brachialis. Dalam
menghadapi lesi plexus brachial, diperlukan pengetahuan struktur anatomis pernafasan dari bahu, ekstremitas
atas dan pembagian dermatom sensorik. Plexus brachial terdiri atas cabang-cabang saraf dari C5-8 dan yang
langsung bercabang untuk mempersarafi otot bahu atau membentuk suatu trunkus dan corda terlebih dahulu
saat berjalan turun untuk mempersarafi otot bahu dan lengan.

Manifestasi klinis

Melalui anamnesis, didapatkan manifestasi klinis yang tersaring adalah rasa nyeri pada otot bahu, punggung
dan lengan seperti pegel dan linu. Dapat juga dijumpai kelemahan pada otot-otot ekstremitas atas yang
mungkin tanpadiikuti rasa nyeri. Rasa baal ataupun kesemutan pada kulit bahu dan lengan, walau tidak
disertai nyeri yang spesifik namun dapat memberikan rasa tidak nyaman bagi pasien. Bila telah melibatkan
seluruh plexus brachial dapat timbul gejala sindroma horner. Pada pemeriksaan didapatkan rasa nyeri pada
saat otot-otot bahu dan lengan digerakkan. Seluruh otot yang dipersarafi plexus brachialis diperiksa dengan
menyeluruh abduksi, adduksi, fleksi, ekstensi dan rotasi. Rasa nyeri dapat unilateral ataupun bilateral
bergantung dari pada lesinya. Kekuatan motorik dapat menurun, dapat juga ditemukan atrofi pada otot-otot
bahu dan lengan. Reflek fisiologis cenderung turun. Terdapat gangguan sensibilitas pada kulit ekstermitas
atas.

Pemerikasaan Penunjang

Untuk menunjang diagnosa, dapat dilakukan pemeriksaan laboraturium seperti darah rutin, LED, gula darah
dan lainnya yang dapat membantu mencari etiologis dari brachialgia yang dapat disebabkan oleh berbagai
macam hal seperti trauma, toksin/serum imunisasi, SLE, poliartritis nodosa, tumor, atau cancer.

Pemeriksaan radiologist foto polos, CT scan atau MRI mungkin dapat memperlihatkan suatu massa yang
menekan atau mengiritasi didaerah plexus brachialis. Pemeriksaan EMG dapat memberikan gambaran lokasi
lesi pada plexus brachialis dengan adanya perlambatan atau suatu hantaran gelombang yang abnormal.

Kriteria Diagnosis

Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemerikasaan yang didapatkan pada keluhan nyeri,
kelemahan otot-otot lengan dan bahu ataupun gangguan sensibilitas yang merupakan manifestasi klinis yang
berkaitan dengan lokasi persarafan pexus brachialis. Pemeriksaan seperti laboraturium, radiologist dan EMG
diperlukan dalam menunjang diagnosis untuk mengetahui lokasi daripada lesi dengan tepat, mencari
etiologinya sehingga dapat menentukan tatalaksana yang tepat dan mengetahui prognosisnya. (lihat lampiran)

Tata laksana
Tatalaksana untuk brachialgia bergantung dari pada etiologisnya. Secara umum tatalaksana ini dibagi
menjadi:
Non Bedah

Non farmakologik
Immobilisasi (lamanya tergantung kasus), pengaturan posisi tubuh dan aktivitas, modalitas termal, kompres
hangat, diatermi, ultrasound, masase, latihan (tergantung kasus) atau alat Bantu.

Farmakologik
Pada keadaan akut dapat diberikan asetaminofen, NSAID, muscle relaxant, opioid (untuk nyeri yang berat),
injeksi epidural (stroid, lidokain, opioid)untuk nyeri radikuler. Pada keadaan kronik dapat diberikan
antidepresan trisiklik (amitriptilin), antikonvulsan (gabapentin, karbamazepin, okskarbazepin, fenitoin).

Bedah
Bila diketahui etiologis dari pada lesi adalah terdapatnya cabang dari saraf yang terjepit atau tertekan oleh
suatu massa, maka dapat dilakukan tindakan bedah dekompresi saraf yang terjepit tersebut

Tindak lanjut, pencegahan dan pendidikan


Fisioterapi dapat dilakukan untuk merehabilitasi keadaan patologisnya yang disebabkan oleh lesi plexus
brachial dan mengembalikan atau memperbaiki fungsi dari otot sehingga tidak menjadi cacat yang berat.
Edukasi bagi penderita mengenai posisi bahu dan lengan yang fisiologisnya serta hal-hal yang tidak boleh
dilakukan untuk memperberat lesi, misalnya mengangkat beban, yang terlalu berat lebih tinggi daripada dada.

Unit/departemen terkait:
 PPM/protocol Dep. Bedah Saraf
 PPM/protocol Dep. Rehabilitasi Medik
6 c. Nyeri Ekstermitas Atas

Batasan dan uraian umum

Nyeri merupakan pengalaman sensorik dan emosional yang tidak menyenangkan akibat kerusakan jaringan,
baik actual maupun potensial yang digambarkan dalam bentuk kerusakan tersebut. Keluhan nyeri bahu dan
lengan cukup seringdijumpai dalam praktek sehari-hari. Nyeri bahu lengan meliputi nyeri bahu, lengan atas,
siku lengan bawah, pergelangan tangan dan tangan. Nyeri ini bisa disebabkan oleh berbagai bangunan dan
etiologi, seperti kelainan muskuloskletal, system saraf, vaskuler, visceral, dan psikogenik. Beberapa jenis
diantaranya dapat mengganggu aktivitas sehari-hari, bahkan ada yang menimbulkan kerusakan sandi atau
kecacatan, akhirnya merupakan masalah ekonomi dan psikososial bagi penderita dan keluarganya. Oleh
karena itu perlu menegakkan diagnosisnya sedini mungkin sehingga dapat diberikan terapi yang tepat. Dalam
makalah ini akan dibahas beberapa nyeri bahu dan lengan yang sering dijumpai didalam praktek.

Manifestasi klinis
Anamnesis
Riwayat penyakit sekarang:
 Deskripsi gejala dan lamanya
 Dampak dan gejala terhadap aktifitas harian
 Respon terhadap pengobatan sebelumnya
 Riwayat trauma
Riwayat penyakit sebelumnya:
 Immunosuppresion
 Penurunan berat tanpa sebab yang jelas (kanker)
 Nyeri yang menetap merupakan pertimbangan untuk kanker atau infeksi
 Nyeri yang paling berat pada pagi hari(Spondiloarthropathy seronegatif: Ankylosing spondilitis,
Arthritis Rheumatoid, Polymyalgia Rheumatica, Nyeri Miofacial, Sindroma Fibrimyalgia)
 Adanya demam (infeksi)
 Gangguan hormonal (Dysminore, Pasca monopouse/androupose)
 Keluhan visceral (Referred pain)
Pemeriksaan fisis
Inspeksi:
 Posisi dan gerakan leher, bahu, lengan dan tangan
 Adanya deformitas, atrofi, dan hilangnya bentuk-bentuk normal
Pemeriksaan neurology:
 Motorik
 Sensorik
 Otonom
 Rentang gerak leher, bahu, siku, pergelangan tangan, dan tangan tanda lehrmitte, Tes Naffziger, Tes
Valsava, Tes Tinnel, Tanda Phalen, dan Tes Adson.
Pemeriksaan penunjang
 EMG, SSEP (tergantung indiksi dan lokasi nyeri)
 Foto polos, Mielografi, CT Scan, Mielo-CT, MRI 9tergantung indiksi dan lokasi nyeri)
 Laboraturium (atas indikasi), antara lain:
 Darah perifer lengkap, LED, CRP, Faktor Rhematoid, Fosfatase alkali/asam, LCS
Penatalaksanaan
Farmakoterapi
Akut:
 Acetaminophen, NSAID, Muscle Relaxan, Opoid (nyeri berat), Injeksi epidural (Steroid, Lidocain,
Opoid) untuk nyeri radikuler.
Kronik:
 Antidepressan Trisiklik (Amitriptilin), Antikonvulsan (Gabapentin, Karbamazepin, Oskarbazepin,
Fenitoin), alfa bloker (clonidin, prazozin), Opoid (kalau sangat diperlukan)
Non Farmakoligi
Akut:
 Immobilisasi (lamanya tyergantung kasus)
 Pengaturan berat badan, posisi tubuhdan aktifitas, modalitas termal (terapi panas dan dingin),
masase, latihan: jalan, naik sepeda, berenang(tergantung kasus)
Kronik:
 Terapi psikologik, modulasi (TENS, Akupuntur, modalitas Termal)
 Latihan kondisi otot, rehabilitasi vocasional, pengaturan berat badan, posisi tubuh, dan aktivitas
Invasif non bedah
 Blok saraf dengan anestesilokal (Radikulopathy)
 Neurolitik (Alkohol 100%, fenol 30%)→ nyeri neuropatik bahu lengan yang intractable
Bedah
 Skiatika dengan terapi konservatif selama lebih dari 4 minggu: nyeri
berat/intractable/menetap/progresif
 Defisit neurology memburuk
 Terbukti adanya kompresi radix berdasarkan pemeriksaan neurofisiologi dan radiology
 Informasi dan edukasi

Frozen shoulder ( nyeri bahu, kapsulitis adhesive)

Pada nyeri bahu ini terdapat keterbatasan gerak dari sendi glenohumeral, akinatnya sendi bahu susah
digerakkan. Nyeri yang timbul dapat disebabkan oleh inflamasi jaringan ataupun factor mekanik.
Jarang terjadi penyembuhan spontan, keluhan nyeri dapat membaik tetapi gangguan gerakan masih
berlangsung lama.

Etiologi:
Fraktur lengan/bahu, inflamasi, terkait dengan diabetes militus, Stroke, infark miokard, penyakit tyroid, dan
TBC paru. Kadangkala dapat bersamaan dengan osteoporosis.

Gejala:
 Nyeri pada sendi bahu
 Gerakan sendi bahu terbatas terutama abduksi dan elevasi

Pemeriksaan:
Nyeri pada gerakan sendi bahu kesegala arah, aktif maupun pasif.

Diagnosis:
 Diagnosis berdasarkan gejala klinis. Tes Rotasi (+)
 Pemeriksaan radiology untuk menyingkirkan fraktur, luksasi, keganasan
 Arthrografi untuk menentukan robekan rotator cuff, tetapi jarang dilakukan
Terapi :
 Analgetik (OAINS)
 Suntikan lokal pariartikular (kortikosteroid dan lidokain)
 Fisioterapi dini (kompres hangat, diartemi, ultrasound dan latihan)
 Obat- obatan saja tanpa fisioterapi tidak akan menolong, manipulasi sendi bahu dengan pembiusan
dianggap berbahaya karena dapat merusak tendo, kapsul dan tulang
Neuritis brakhialis

Merupakan nyeri yang hebat pada bahu dan lengan yang progfresif menjadi lemah danh atrofi, kadang kala
disertai parastesia. Neuriaperistisi sering dihubungakan dengan infeksi virus (citomegalo virus), vaksinasi,
latihan keras atau penyalahgunaan obat suntikan heroin.

Gambaran klinis :
 Awitan akut dimulai dari bahu menjalar ke lengan. Kelemahan otot umumnya pada bagian
proksimal. Umumnya kelemahan unilateral, kadangkala bilateral. Atrofi dapat terlihat setelah 3-4
minggu kemudian. Gejala sensoris minimal

Pemeriksaan penunjang
 Pemeriksan titer virus mungkin positif
 Pemeriksaan cairan serebrospinal terlihat jumlah sel dan kadar protein sedikit meningkat
 Pada EMG tampak kecepatan hantar saraf melambat

Terapi
 Kortikosteroid
 Analgetik narkotik hanya diberikan pad keluhan nyeri yang hebat
Thoracic outlet syndrome

Bercirikan nyri tengkuk dan bahu yang menjalar kelengan dan tangan.

Etiologi :
Kompresi pada pleksus brakialis dan a. subklavia yang melintas diatas kosta servikal dan m. skalenus
antearior.

Gambaran klinis :
 Rasa nyeri pada lengan dan tanagn
 Parastesi yang intermiten bila tidur dengan meletakkan lengan diatas kepala
 Dapat terjadi kelemahan artrofi tenar serta otot interosius
 Hipestesi dapat terjadi pada distribusi torokal I
 Kepucatan dan sianosis yang intermiten terjadi akaibat kompresi vaskuler (fenomena Raynaund)
 Hilangnya pulsus a.radialis dalam posisis abduksi lengan dan kepala dirotasi kearah yang
berlawanan (tes asdon)

Pemeriksaan :
 Pemeriksaan laboratorium dalam batas normal
 Angiogram dikerjakan bila aada obstruksi pembuluh darah
 EMG dilakukan untuk membedakan lesi saraf perifer lainya
 MRI memberikan hasil yang definitive

Terapi :
 Analgetik dan vasodilator
 Fisioterapi untuk latihan sikap tubuh. Tindakan operatif hanya untuk penderita yang berat.
Tindakan bedah tersebut berupa refseksi kosta servikal dan eksisi lapisan fasia yang menekan
pleksus n.subklavia.

6 d. Neuritis akibat jebakan

Terjadi akibat gesekan jaringan lunak yang berdekatan dengan tendo yang membentuk terowongan.
Penyempitan terowongan yang dilintasi saraf dengan sndirinya menimbulkan nyeri dan rasa baal serta
kesemutan. Ras nyeri terutama waktu istirahat, dapat menghebat pada malam harinya. Didalam klinik
dijumpai beberapa neuritis akibat jebakan :
Neuritis radialis akibat jebakan di lengan atas, neuritis ulnaris akibat jebakan disiku (sindrom kubital) atau
dipergelangan tangan (sindroma guyon), neuritis medianus akibat jebakan di lipatan siku(sindroma pronator
teres) dan di pergelangan tangan (sindroma karpal)

Sindroma terowongan kubital


Nervus ulnalis didaerah siku melalui sulkus dibelakang epikondilus medialis, kemudian berjalan diantara
caput humeral dan caput ulnaris m. flexor carpi ulnalis, sela diantara dua kaput disebut terowongan kubital.
Penderita mengeluh rasa nyeri didaerah jari IV, V, kadang-kadang di scapula yang disebabkan jebakan
ulnaris di terowongan kubital.

Etiologi :
Diabetes mellitus, hipotiroid, trauma, rheumatoid arthritis, gout dan kehamilan.

Diagnosis :
Berdasarkan gejala klinis di atas, gangguan motorik berupa kelemahan m. flexor carpi ulnaris dan m. flexor
digitorium profundus yang menyebabkan klemahan flexi dari pergelangan tangan, jari manis dan klingking
(Claw hand).

Tanda tinnel di sendi siku :


Terapi :
 Istirahat
 NSAID
 Analgetik adjuvant
 Suntikan local (steroid dan anastesi)
 Operasi (bila pengobatan konservatif gagal atau keadaan berat/atrofi otot yang diperserafi nervus
ulnaris)

Sindroma terowongan karpal (carpal tunnel syndrome)


Terjadi karena penekanan nervus medianus didalam terowongan karpal. Sindrom ini sering terjadi pada
gerakan seperti mencuci pakaian, mengepel lantai, kehamilan (bilateral).

Gejala :
Nyeri dan kesemutan, rasa terbakar di pergelangan tangan, telapak tangan dan jari I, II, III. Rasa nyeri lebih
banyak pada malam hari sehingga penderita mengibas-ngibaskan tangannya, pada keadaan berat rasa nyeri
bisa menjalar ke lengan atas serta didapatkan atrofi otot tenar.

Diagnosis :
 Berdasarkan gejala klinis
 Tes provokasi (tes Tinnel dan tes phalen)
Pada tes Tinnel dilakukan perkusi ringan pada n. medianus dipergelangan tangan, kemudian timbul rasa nyeri
atau parastesi yang menjalar ke jari I, II, III. Pada tes phanel dilakukan extensi maximal atau flexi maksimal
dari pergelangan tangan selama 60 detik, timbul nyeri atau kesemutandikawasan nervus medianus.
 EMG (Latensi distal motorik dan sensorik memanjang)

Terapi :
 Imobilisasi, splint
 NSAID
 Suntikan local (steroid dan anastesi)
 Operasi (bila pengobatan konservatif gagal atau keadaan berat/atrofi otot thenar)

Sindroma terowongan radial


Nervus radialis barjalan dari medial ke lateral melingkari bagian belakan hurmerus, kemudian menembus
septum muscular lateralis. Kompresi oleh kontraksi otot akan menimbulkan nyeri seperti disengat atau panas
di daerah epikondilus lateralis akibat jebakan kontraksi otot pada nervus radialis.

Diagnosis :
Gejala klinis diatas, kadang-kadang kelemahan ekstensi jari-jari.\terapi :
 NSAID
 Operatif memberikan kesembuhan
Spiralis groove syndrome
Nervus radialis di pertengahan lengan atas berjalan pada sulkus spinalis humeri, pada daerah tersebut sangat
rawan mengalami kompresi. Ini terjadi pada fraktuf humeri atau akibat kebiasaan berlama-lama
menyandarkan lengannya pada sandaran kursi (Saturday night palsy)

Gejala :
Drop hand, yaitu ketidak mampuan melakukan dorsofleksi pergelangan tangan, ekstensi sandi
metacarpophalangeal dan abduksi ibu jari keradial. Hipertensi terjadi pada lengan bawah dan dorsum falang
I-II-III.
Terapi :
Neurolisis pada fraktur humeri. Untuk menghindari berulang jangan berlama-lama menyandarkan lengan
pada sandaran kursi.

Sindroma pronator teres


Terjadi akibat terjebaknya n. medianus oleh kedua kaput pronator teres dan oleh ligamentum Strutthers.

Gejala :
Penderita merasa nyeri dibagian tengah lipatan siku. Parestesia pada telapak tangan serta jari I-II-III.
Gangguan motorik berupa kelemahan jari-jari dan fleksi radial dari tangan.

Terapi :
Seperti sindroma terowongan karpal.

Sindroma guyon
Terowongn Guyon dibentuk oleh prosesus os hamatum, os fisiformis dan ligamentum fisohamatum. Sinroma
Guyon terjadi bila n. ulnaris terjebak didalam terowongan Guyon.

Gejala :
 Rasa nyeri dan hipertensia pada jari IV dan V
 Gangguan motorik berupa kelemahan memegang dengan ibu jari dan jari II

Terapi :
Seperti sindroma terowongan kubital.

6 e. Complex regional pain syndrome (CRPS)


CRPS tipe I
Deskripsi :
Nyeri difus pada ekstremitas umumnya seperti terbakar, nyeri dalam spontan (berdenyut, ditekan,
menyentak). Biasanya timbul satu bulan setekah trauma (fraktur, lesi jaringan lunak, imobilisasi misalnya
pada stroke, angina pectoris) atau stimulasi noksius yang menyebabkan kelainan :
Sensorik :
Hipertensia, hipertensia serta alodinia terhadap stimulasi dingin dan mekanik yang tidak tergantung dari
factor penyebab dan tidak sesuai dengan dermatom atau distribusi saraf tepi.

Motorik :
Paresis, tremor, kaku persendian.

Otonomik :
 Perubahan aliran darah di kulit (Bertambah atau berkurang), Hiperhidrosis, edema trofik : atrofi
otot, osteopenia, arthropati, kulit licin, kuku rapuh dan perubahan pertumbuhan rambut
 Gangguan psikologik antara lain dengan gangguan efektif
 Bila tidak diobati RSD dapat berlanjut dan setelah beberapa bulan/tahun akan menimbulkan bentuk
intermitten dimana remisi spontan dapat terjadi

Penatalaksanaan
Diagnosis
Anamnesis :
 Nyeri sesuai dengan deskripsi diatas.
 Nyeri gerak juga pada eksremitas yang tidak terken.

Pemeriksaan fisik :
Inspeksi
Sesuai dengan deskripsi
Pemeriksaan neurology
Kelainan motorik, sensorik, otonom, dan trofik seperti deskripsi diatas yang berkembang mulai dari daerah
distal eksremitas terutama telapak kaki/tangan.

Pemeriksaan penunjang
 Blok Simpatik dengan anastesia
 Tes guenetidin
 Tes fentolamin
 Tes iskemik
 Pemeriksaan Radiologik dan sken tulang :
Gambarab osteoporosis
 Termografi

Terapi
Farmakologik :
 Antidepresan trisiklik
 Antikonvulsan
 Opioid oral
 Simpatolitik oral :
Klonidin, prazosin, fenoksibensamin
 Transdenal :
Clonidin patch (0,1 mg tiap 3-7 hari)
 Kortikosteroid dosis tinggi

Non-farmakologi :
 Latihan fisik
 TENS
 Modialitas termal
 Terapi pisikologik

Invansif non-bedah :
 Blok ragional intravena/intraarterial dengan simpatolitik : guanetidin, reserpin, bretilium
 Neurolitik dengan fenol
Bedah :
Simpatektomi

CRPS tipe II (Kausalgia)


Deskripsi :

Nyeri pada eksremitas seperti terbakar segera (beberapa jam-hari) paca trauma persial pada satu saraf atau
cabang utamanya
Gejala :
 Sensorik :
Alodinial, hipestesia, parestesia, dan hiparpatia yang sesuai dengan dermatom atau distribusi saraf
tepi.
 Motorik :
Paresis otot. Hiperpatia merupakan gejala yang menonjol pada CRPS tipe II dan tidak ada pada
CRPS tipe I
Penatalaksanaan :
Sama dengan CRPS tipe I.
Unit/departemen terkait:
 PPM/Departemen Bedah saraf
 PPM/Departemen Bedah Ortopedi

6 f. Sindroma terowongan karpal


Kriteria diagnosis

Nyeri pada sindroma terowongan karpal berupa kesemuta, rasa terbakar dan baal di jari tangan I, II, III dan
setengah bagian lateral jari IV terutama malam tau dini hari akibat jebakan N. Medianus di dalam
terowongan karpal. Pada keadaan berat rasa nyeri dapat menjalar ke lengan atas dan atrofi otot tenar.

Klinis :
Tes provokasi : tes tinel, tes phalen, tes wormser

Laboraturium
Atas indikasi. Sesuai dengan penyakit medik yang mendasarinya: Laju Endap Darah, gula darah, rheumatoid
factor, asam urat.

Neurofisiologi :
Studi konduksi saraf

Radiology :
Foto polos pergelangan tangan, MRI.

Penatalaksanaan :
Medikamentosa : Suntikan local (steroid dan anestesi), analgetik ajuvan Nonmedikamentosa

Edukasi :
Hindari trauma berupa gerakan berulang pergelangan tangan, imobilisasi, split
Bedah :
Bila terapi konservatif gagal dalam 6 bulanan.

SEFALGIA

7.a Tension-type headache


Klinis:
 Sekurang-kurangnya terdapat 10 episode serangan nyeri kepala
 Nyeri kepala berlangsung dari 30 menit sampai 7 hari
 Sedikitnya memili 2 karakteristik nyeri kepala berikut:
◦ lokasi birateral
◦ menekan/mengikat ( tidak berdenyut)
◦ intensitas ringan atau sedang
◦ tidak diperberat oleh aktivitas rutin seperti berjalan atau naik tangga
 Tidak dijumpai:
◦ mual atau muntah
◦ lebih dari satu keluhan(fotofobia atau fonofobia)
 Tidak berkaitan dengan kelainan lain
Laboratorium:
Darah rutin, elektrolit, kadar gula darah, dll (atas indikasi)
Radiologi:
Atas indikasi (untuk menyingkirkan penyebab sekunder)
Tata laksana
Madikamentosa:
 Analgetik: aspirin, asetaminofe, NSAIDs
 Caffeine 65 mg (analgetik ajuvan)
 Kombinasi: 325 mg aspirin,asetaminofen + 40 mg caffeine
 Antidepresan: amitriptilin
 Antiansietas: golongan benzodiazepine, butalbutal
Terapi fisik

7.b.Migren
Klinis
Migren tanpa aura:
 Sekurang-kurangnya terjadi 5 serangan nyeri kepala berulang dengan manifestasi serangan
berlangsung4-72 jam, yang sedikitnya mempunyai 2 karateristik berikut:
Unilateral, berdenyut, intensitas sedang atau berat, bertambah berat dengan aktivitas fisik.
 Selama nyeri kepala disertai salah satu berikut: nausea dan atau muntah, fotofobia atau fonofobia
 Serangan nyeri kepala tidak berkaitan dengan kelainan yang lain
Migren dengan aura:
 Sekurang-kurangnya terjadi 2 serangan nyeri kepala berulang yang didahului gejala neurologi fokal
yang reversible secara bertahan 5-20 menit dan berlangsung kurang dari 60 menit
 Terdapat sedikitnya satu aura berikut ini reversiberl seperti:
Gangguan visual, gangguan sensoris, gangguan bicara disfasia
Paling sedikit dua dari katateristik berikut:
◦ gejala visual homonym dan atau gejala sensoris unilateral
◦ paling tidak timbul satu macam aura secara gradual >= 5 menit dan atau jenis aura yang
lainnya >= 5 menit.
◦ tiap gejala berlangsung >= 5 menit dan <= 60 menit
 Tidak berkaitan dengan kelainan lain

Status migrenous
 Serangan migren dengan intensitas berat yang berlangsung >=72 jam (tidak hilang dalam 72
jam)
 Tidak berkaitan dengan gangguan lain

Laboratorium :
Darah rutin, elektrolit, kadar gula darah, dll ( atas indikasi untuk menyingkirkan penyebab sekunder).

Radiologi
Atas indikasi untuk menyingkir penyebab sekunder

Penatalaksanaan
 Hindari factor pencetus
 Terapi abortif:
◦ Nonspesifik:
Analgetik/NSAIDs, analgerik narkotik, adjunctive therapy (missal: metoklopramide)
◦ Obat spesifik:
Triptans, DHE, obat kombinasi (missal:aspirin dengan asetaminophen dan kafein), obat
golongan ergotamie
◦ Bila tidak respon:
Opiate dan analgetik yang mengandung buta/bital
7 c. Neuralgia Kranial

Kriteria diadnosis
Klinis
Neuralgis trigeminal klasik
 Serangan nyeri paroksismal beberapa detik sampai dua menit melibatkan satu atau lebih cabang
N.Trigeminus
 Memenuhi paling sedikit satu karakteristik berikut:
◦ Kuat, tajam superficial atau rasa menikam
◦ Dipresipitasi dari trigger area atau oleh factor pencetus
Jenis serangan stereotype pada masing-masing individu
Tidak ada deficit neurologist
Tidak berkaitan dengan gangguan lain

Neuralgis trigeminal simtomatik


Serangan nyeri paroksismal selama beberapa detik sampai dua menit dengan atau tanpa nyeri persisten
di antara serangan paroksismal, melibatkan satu atau lebih cabang /devisi N.Trigeminus
Memenuhi paling sedikit satu karakteristik nyeri berikut:
◦ kuat, tajam, superficial atau rasa menikam
◦ Depresipitasi dari trigger area atau oleh factor pencetus
 Jenis serangan stereotype pada masing-masing individu
 Lesi penyebab adalah selan kompresi pembuluh darah, juga kelainan structural yang nyata terlihat
pada pemeriksaan canggih dan atau oleh eksplorasi fossa posterior

Neuralgia oksipital
 Nyeri yang paroksimal pada daerah distribusi nervus oksipitalis mayor atau minor, dengan atau
tanpa rasa nyeri persisten di antara serangan paroksimal, yang kadang-kadang diikuti berkurangnya
sensasi atau dysaesthesia pada area yang terkena
 Nyeri tekan pada saraf yang bersangkutan
 Nyeri akan bersukarang sementara dengan pemberian blockade local anestesi terhadap saraf yang
bersangkutan.

Pemeriksaan penunjang
Laboratorium:
Darah rutin, kimia darah
Radiology:
CT/MRI atas indikasi (menyingkirkan penyebab lain)

Penatalaksanaan
Trigeminal klasik
Medikamentasona:
Karbamazepin, okskarbazepin, gabapentin, fenitoin, lamotrigin, baklofen
Operatif:
Operasi pada kasus intractable

Trigeminal simtomatik
Kausal
Medikamentosa:sama dengan neuralgia trigeminal idiopatik
Operatif: menghilangkan kausal seperti angkat tumor

Neuralgia okspital
 Analgetik
 Fisioterapi, kompres panas local, traksi servikal
 Injeksi lidokain 0,5-2 cc blockade saraf servikal
 Gabapentin
 Bedah dekompresi saraf C2&C3 atas indikasi
DEMENSIA

Batasan klinis dan urutan umum


 Demensia adalah sindrom klinis penurunan fungsi intelektual akibat penyakit di otak. Sindrom ini
ditandai oleh gangguan kognitif, emosional dan psikomotor yang menyebabkan penderita tak
mampu mengikuti aktivitas social dan mengurus diri sendiri
 Pada neagara-negara maju terjadi perubahan dramatis demografi penduduknya, yaitu meningkatnya
populasi usia lanjut. Populasi usia diatas 65 tahun di amerika diduga meningkat dari 33,5 juta pada
tahun 1995 menjadi 39,4 juta pada tahun 2010 dan menjadi lebih dari 69 juta pada tahun 2030.
dengan peningkatan ini muncul masalah-masalah penyakit pada usia lanjut, demensia merupakan
penyebab kematian ke 4 setelah penyakit jantung, tumor ganas dan stroke.
 Peningkatan angka kejadian kasus demensia berbanding lurus dengan meningkatnya harapan hidup
suatu populasi. Laporan departemen kesehatan tahun 1998, populasi usia lanjut diatas 60 tahun di
Indonesia adalah 7,2% (populasi usia lanjut kurang lebih 15 juta)
 Kira-kira 5-10% usia lanjut diatas 65 tahun menderita demensia dan meningkat dua kali lipat setiap
5 tahun mencapai 50% pada usia diatas 85 tahun. Pada Negara industri kasus demensia 0.5-1.0%
dan di amerika jumlah demensia pada usia lanjut 10-15% atau sekitar 3-4 juta orang. (Luvy
et.al,1999. Evann et al,1989. katzmann,1986; Kaplan& Sadale, 1995)
 Penelitian-penelitian demensia di Amerika Serikat dan Eropa barat, penyebab terbanyak adalah
penyakit alzheimer (50-70%) dan demensia vaskuler yaitu akibat penyakit pembuluh darah di
otak(20-30%). Di jepang dan Cina demensia vaskuler 50-60% dan 30-40% demensia akibat
penyakit alzheimer
Definisi

Demensia adalah sindrom klinis ditandai dengan gangguan daya ingat disertai satu atau lebih domain kognitif
lainnya ( atensi, fungsi bahasa, fungsi visouspasial, fungsi eksekutif( yang sudah mengganggu aktivitas
kehidupan sehari-hari dan tidak disebabkan oleh gangguan pada fisik. Sindrom ini dapat disebabkan oleh
berbagai gangguan/penyakit otak yang mungkin membaik ataupun menetap /memburuk.

Etiologi
Degeneratif
Alzheimer’s disease, pick’s disease, huntington’disease, frontotemporal atrophy without pick bodies,
lewy body disease, parkinson’s disease, Wilson’s disease, progressive supranuclear palsy dan spinocerebellar
deneration

Vascular
Multi-infacrt, binswanger’s disease, CNS vasculitis, dan subdural hematoma,
Mixed vaskuler and degenerative

Metabolic
Thyroid disease, parathyroid disease, hepatic dysfunction, cushing’s disease, hypopituitarism, uremia,
porphyria, B12 deficiency, dan folate deficiency

Toxic
Anticholinergic drugs, antihistaminic drugs, drug combinations in therapeutic range, alcohol dan heavy
metals, arsenic, lead, mercury

Infectious
Syphilis, fungal meningitis, lyme disease, TB meningitis, AIDs dementia complex, CNS Whipples disease,
herpes encephalitis, dan bacterial meningitis esp.partially treated inflammatory:
Demyelinating-murtiple sclerosis, sarcoid, lupus, dan limbic encephalitis.

Neoplasm
Primary brain tumor (a. frontal lobe glioma, b. corpus callosum glioma), mestatic tumors, dan meningeal
carcinomatosis

Trauma
Head injury, post-anoxic insult

Hydrocephalus
Obstructive, non-obstructive dan normal pressure

Miscellaneous
Creutzfeldt Jakob

Manifestasi klinis
Penyebab demensia terbanyak adalah Demensia Alzheimer dan Demensia Vaskuler.
Gejala klinik Demensia Alzheimer adalah:
 Kehilangan daya ingat secara perlahan-lahan dan progresif
 Kesulitan dalam mengikuti perintah dan melakukan kegiatan sehari-hari
 Gangguan penilaian, penalaran, konsentrasi dan orientasi
 Kebingungan dan kegelisahan
 Perubahan kepribadian
 Kehilangan kemampuan untuk mengurus diri sendiri
Tidak semua gangguan memori disebabkan oleh penyakit Alzheimer. Karena banyak gangguan memori yang
bisa diobati bahkan disembuhkan. Oleh sebab itu, sangat penting untuk melakukan diagnosis yang tepat

Gejala klinis Demensia Vaskuler


Dengan pengukuran skala iskemik (Hachinski et.al 1975) telah disusun gambaran klinis sebagai berikut:
 ‘Onset’ tiba-tiba
 Didahului riwayat stroke
 Perjalanan klinis berlangsung fluktuasi
 Adanya gejala fokal neurology
 Deteriorisasi bertingkat
 Konfusi nocturnal
 Kepribadian relative baik
 Depresi
 Keluhan-keluhan somatic
 Emosi labil
 Hipertensi
 Asosiasi aterosklerosis

Pemeriksaan fisis
Pemeriksaan fisis umum
Pemeriksaan fisis umum meliputi observasi penampilan, tanda-tanda vital, arteriosclerosis, factor resiko
vaskuler seperti retinopati, bising (bruit), karotis, hipertensi, penyakit jantung.

Pemeriksaan neurologis
Gangguan berjalan, gangguan kekuatan, tonus atau control motorik, gangguan sensorik atau lapangan visual,
gangguan saraf otak, gangguan keseimbangan, dan gangguan refleks.

Pemeriksaan neurobehavior singkat


MMSE(Mini Mental State Examination) adalah penilaian status mental singkat untuk kognitif:
Nilai MMSE <24 dicurigai Demensia (nilai rata-rata pada semua tingkat pendidikan), dibawah 27 dianggap
abnormal dan mengindikasikan gangguan kognisi yang signifikan pada pendidikan >12 tahun/SMA dan
perguruan tinggi.
Evaluasi penampisan depresi dapat dilakukan dengan SKALA DEPRESI 15.

Pemeriksaan Penunjang
Laboraturium
 DPL
 Kimia Darah
 Foto thoraks
 CT-scan/MRI
 EEG
 EKG
 Lain-lain: fungsi thyroid, HIV, LCS, PET

Neuroimaging
CT-scan otak/MRI otak

Neurobehavior
Pemeriksaan neuropsikologis meliputi pemeriksaan status mental, aktivitas sehari-hari/fungsional dan aspek
kognitif lainnya seperti memori episodic, memori tunda, memori segera, fungsi eksekutif (perencanaan,
pengaturan), atensi, visuospasial, bahasa, intelektual, dll.
Pemeriksaan neoropsikiatri dapat dievaluasi dengan asesmen Neuro Psychiatry Inventory (NPI).

Neurofisiologis
EEG, P300

Kriteria diagnosis
ICD-10
Demensia adalah suatu keadaan perburukan fungsi intelektual meliputi memory dan proses berpikir, sehingga
mengganggu kehidupan aktifitas sehari-hari. Gangguan memori khas mempengaruhi registrasi, penyimpanan
dan pengambilan kembali informasi. Dalam hal ini harus terdapat gangguan proses berpikir dan reasoning
disamping memori.
DSM IV
Demensia adalah suatu sindroma klinik yang ditandai terjadinya deficit kognisi murtiple meliputi daya ingat
dan paling sedikit satu dari kognisi lain seperti afasia, apraksia, agnosia atau gangguan fungsi eksekutif yang
cukup berat sehingga menganggu fungsi-fungsi okupasi, social dan harus memperlihatkan penurunan fungsi
disbanding sebelumnya
Kriteria diagnosis ‘probable’, ‘posible’, ‘definite’, demensia vaskuler dari NINDS-AIREN (National Institute
of Neurological disorders and stroke-Association Internationale pour la Recherche et l’Enseignement en
Neurosciences):
Kriteria diagnosis “probable” demensia vaskuler:
 Demensia yaitu penurunan fungsi kognitif yang bermanifestasi sebagai gangguan memori sertai dua
atau lebih gangguan modalitas kognitif lainnya (orientasi, atensi, fungsi bahasa, fungsi visuospasial,
fungsi eksekutif, control motorik dan praksis) dan terutama didukung adanya pemeriksaan klinik
dan tes neuropsikologik.
 Penurunan fungsi kognitifharus cukup berat sehingga mengganggu aktifitas kehidupan sehari-hari
yang bukan karena efek gangguan secara fisik.
 Kriteria ekslusi:
o Kasus dan gangguan kesadaran
o Delirium
o Psikosis
o Afasia berat
o Gangguan sensori motorik mayor
o Gangguan sistemik
o Penyakit otak lainnya termasuk demensia Alzhaimer
 Penyakit serebrovaskuler didefinisikan berdasarkan adanya tanda-tanda fokal pada pemeriksaan
neurology (eg: hemiparesis, kelumpuhan otot muka bawah, tanda-tanda babinsky, deficit sensorik,
hemianopsia, dan disartia) yang konsisten dengan stroke dan kejadiannya mempunyai relevansi
dengan gambaran neuroimaging CT-scan dan MRI (magnetic resonance imaging)termasuk:
o Stroke akibat satu atau murtiple gangguan pembuluh darah besar
 Infark yang letaknya strategis (girus angularis, thalamus, basal forebrain, teritori aliran arteri serebri
posterior atau arteri serebri anterior)sepertilesi murtiple ganglia basalis, lesi lakuner substansia alba,
lesi eksensif substansia alba periventrikuler atau kombinasi salah satunya
 Hubungan kedua gangguan diatas (demensia dan penyakit serebrovaskuler) bermanifestasi salah
satunya atau keduanya yaitu:
o Munculnya demensia setelah 3 bulan terjadinya stroke yang dikenal
o Deteriorisasi funsi kognitif yang tiba-tiba atau berfluktuasi berlangsung progresif secara
bertingkat (‘step-wise’)
Gambaran klinis yang konsisten dengan ‘probable’ demensia vaskuler sbb:
 Gangguan gait muncul awal (‘small-step gait/marche a petits pas, magnetic, apraxic-ataxic, or
Parkinson gait’)
 Riwayat bila berdiri tidak stabil dan sering terjatuh tanpa sebab
 Gangguan b.a.k muncul awal, ‘urgency’ dan gejala-gejala ‘urinary’ yang tidak sesuai penyakit
urologi
 Perubahan mood dan kepribadian, abulia, depresi, emosi labil, deficit sub kortikal lainnya termasuk
retardasi psikomotor dan fungsi eksekutif yang tak normal
Gambaran klinis yang menyebabkan diagnosa demensia vaskuler meragukan:
 Perubahan fungsi memori pada ‘on set’ awal dan perburukan yang progresif dari fungsi memori
serta fungsi kognitif lainnya seperti bahasa ( afasia, transkortikal sensorik), keterampilan motorik,
(apraxia), persepsi ( agnosia ) dan tidak ditemukan lesi-lesi fokal pada ‘imaging’ otak
 Gejala neurology fokal tidak ada, selain gangguan kognitif
 Tidak adanya lesi-lesi serebrovaskuler pada CT atau MRI
Gambaran klinis ‘posible’ demensia vaskuler:
Ditegakkannya diagnosa dengan hadirnya demensia dengan tand-tanda neurology fokal, tapi tidak adanya
konfirmasi ‘imaging’ otak dari ‘definite’ penyakit serebrovaskuler, atau tidak adanya hungan waktu yang
jelas antara demensia atau stroke, atau penderiata ‘subtle onset’ dengan cara yang bervariasi (plateau atau
perbaikan dari deficit kognitif , dan kejadian penyakit serebrovaskuler yang relevan)
Kriteria diagnosa yang ‘definite’ demensia vaskuler adalah:
 Kriteria klinis ‘probable’ demensia vaskuler.
 Kejadian histopatologi dengan penyakit serebrovaskuler secara biopsy dan autopsy
 Tidak adanya ‘neurofibrillary tangels’ dan ‘neurotik plaques’ sesuai umur
 Tidak adanya gangguan klinik dan patologik lainnya yang mampu menyebabkan demensia
Klasifikasi dari demensia vaskuler untuk tujuan penelitian dapat dibuat berdasarkan gambaran klinik,
radiologist, dan gambaran neuropatologis untuk sub kategori sbb:
 Demensia vaskuler kortikal
 Demensia vaskuler subkortikal
 Penyakit binswanger
 Demensia talamik
Tata laksana

Terapi farmakologi
Terapi kausal
Hipertensi, diabetes militus, penyakit jantung, atherosclerosis, arteriosclerosis, dislipidemia.
Terapi simptomatis
Kolinesterase inhibitor
 Donepecil hidrochlorida
Dosis tunggal 5-10 mg/hari tanpa titrasi, diberikan pada malam hari
 Rivastigmin
Perbaikan fungsi ADL didapatkan pada dosis 6-12mg/hari
 Galantamine
Diberikan dalam dosis terbagi dimulai dengan dosis 2x4 mg/hari selama 4 minggu, kemudian
2x8mg/hari, dosis dapat sampai 24mg/hari
Terapi non farmakologi
Bertujuan untuk memaksimalkan /mempertahankan fungsi kognisi yang masih ada.
 Prilaku hidup sehat
 Terapi rehabilitasi
 Intervensi lingkungan
Unit/departemen terkait
 PPM/protokol Div. Geriatri Dep. Penyakit Dalam
 PPM/protokol Dep. Psikiatri
 PPM/protokol Dep. Rehabilitasi Medik

MOVEMENT DISORDER
9. Penyakit Parkinson

Batasan klinis dan uraian umum


Penyakit Parkinson adalah bagian dari parkinsonism yang patologis ditandai dengan generasi ganglia basalis
terutama dipars compcta subtansia nigra disertai dengan inklusi sitoplasmik eosinofilik (Lewy’s bodies).
Parkinsonism adalah sindroma yang ditandai dengan tremor waktu istirahat, rigiditas, bradikinesia dan
hilangnya refleks postural akibat penurunan dopamine karena beberapa sebab.

Kriteria diagnosis
Klinis
Umum:
 Gejala dimulai pada satu sisi (hemiparkinsonism)
 Tremor saat istirahat
 Tidak didapatkan gejala neurologis lain
 Tidak dijumpai kelainan laboraturium dan radiology
 Perkembangan penyakit lambat
 Respon terhadap levodopa cepat dan dramatis
 Refleks postural tidak dijumpai pada awal penyakit
Khusus:
 Tremor: laten, saat istirahat, bertahan saat istirahat
 Rigiditas
 Akinesia/bradikinesia
o Kedipan mata berkurang
o Wajah seperti topeng
o Hipotonia, hipersaliva
o Takikinesia
o Tulisan semakin kecil-kecil
o Cara berjalan langkah kecil-kecil
 Hilangnya refleks postural
 Gambaran motorik lain:
o Distonia
o Rasa kaku
o Sulit memulai gerak
o Palilalia
Perjalananan klinis penyakit Parkinson dilihat berdasarkan tahapan menurut Hoehn dan Yahr:
Stadium I:
 Gejala dan tanda pada satu sisi
 Gejala ringan
 Gejala yang timbul mengganggu tapi tidak menimbulkan cacat
 Tremor pada satu anggota gerak
 Gejala awal dapat dikenali orang terdekat
Stadium II:
 Gejala bilateral
 Terjadinya kecacatan minimal
 Sikap/cara berjalan terganggu
Stadium III:
 Gerakan tubuh nyata lambat diri
 Gangguan keseimbangan saat jalan/berdiri
 Disfungsi umum sedang
Stadium IV:
 Gejala lebih berat
 Keterbatasan jarak berjalan
 Rigiditas dan bradikineisa
 Tidak mampu mandiri
 Tremor berkurang
Stadium V:
 Stadium kakeksia
 Kecacatan kompleks
 Tidak mampu berdiri atau berjalan
 Memerlukan perawatan tetap
Laboraturium
Tidak ada
Radiologi
CT scan kepala untuk menyingkirkan kausa lain
Tata laksana
Medikamentosa
 Amantadin
 Antikolinergik:
Benz tropin mesilat, biperidin, trihexyphenidil
 Dopaminergik:
Carbidopa dan levodopa
 Benserazide dan levodopa
 Dopamine agonis:
Bromokriptin mesilat, pergolide mesilat, pramipexole,
 Rupinirol, lysuride
 COMT inhibitor:
Entacapone, tolcapone
 MAO-B inhibitor:
Selegiline, lazabemide
 Antioksidan:
Glutamate, antagonis, alfa tocoferol, asam ascorbat,
 Beta carotene
 Botulinum toksin
 Propanolol
Non medikamentosa:
 Operasi:
Talamotomi, palidotomi, transplantasi substansia nigra, ablasi dan stimulasi otak
 Rehabilitasi medis
 Psikoterapi
10. Gerakan spontan abnormal

Batasan dan uraian umum


Gangguan gerakan (biasa disebut gangguan ekstrapiramidal) merupakan gangguan regulasi aktivitas motorik
volunter tanpa secara langsung mempengaruhi kekuatan, sensasi atau fungsi serebelum. Gangguan gerak
terdiri dari gangguan hiperkinetik atau gangguan hipokinetik. Gangguan hiperkinetik berhubungan dengan
gerakan spontan abnormal.
Gerakan spontan abnormal dapat diklasifikasikan menjadi:
 Tremor
 Chorea:
Gerakan cepat, kaku, dan semipurposive, biasanya melibatkan ekstremitas
 Athetosis atau distonia:
Gerakan yang lebih lambat, gerakan sinus yang kotinyu.
 Ballismus
 Mioklonus
 Tics
Manifestasi Klinis
Anamnesis
Usia Saat Onset
Dari usia saat mulai terjadi dari gangguan gerak dapat diperkirakan penyakit dasar atau penyebabnya.
Misalnya onset saat bayi atau anak-anak mungkin disebabkan oleh trauma saat lahir,kernikterus,anoxia
serebri,atau kelainan bawaan;gerak wajah abnormal yang berkembang pada masa anak-anak lebih sering
berupa tics daripada gangguan gerak lainya;dan tremor yang timbul pada dewasa muda yang mungkin
disebabkan oleh bentuk lain yang lebih ringan, bukan karena penyakit Parkinson.
Usai saat onset juga mempengaruhi prognosis pada torsion distonia idiopatik lebih sering berkembang
progresif kearah yang lebih berat bila timbul pada usia anak-anak.
Bentuk onset
Distonia yang timbul tiba-tiba pada anak-anak atau dewasa muda mungkin disebabkan oleh reaksi yang
disebabkan oleh obat (drug-induced); onset yang perlahan-lahan dari gerakan dan postur distonik pada orang
dewasa kemungkinan disebabkan penyakit kronis seperti torsion distonia idiopatik atau penyakit Wilson.
Demikian juga, onset yang mendadak dari chorea berat atau ballismus mengarah pada sebab vaskuler, dan
onset mendadak dari parkinsonism berat mengarah pada sebab vaskuler, dan onset mendadak dari
parkinsonism berat mengarah pada sebab neurotoksik; onset yang perlahan-lahan mengarah pada sebab
proses degeneratif.

Perjalanan penyakit
Syndenham’s chorea biasanya mengalami resolusi dalam 6 bulan sejak onset, sehingga kita tidak perlu
bingung dengan bentuk laim dari chorea yang timbul pada usia anak-anak.
Riwayat minum obat
Obat golongan phenotiazin dan butirophenon dapat memperberat timbulnya gerakan abnormal, baik saat
pasien minum obat atau setelah penghentian obat, dan diskinesia yang timbul mungkin ireversibel.
Diskinesia yang reversible dapat disebabkan oleh obat – obat seperti: kontrasepsi oral, levodopa, dan
phenytion. Beberapa obat-obatan, terutama litium, antidepresan trisiklik, asam valproat, dan bronkodilator
dapat menyebabkan tremor. Serotonin reuptake inhibitor berhubungan dengan terjadinya parkinsonism,
akathisia, chorea, distonia dan bruxism.

Riwayat penyakit sebelumnya


 Chorea mungkin merupakan suatu gejala dari pasien dengan demam rematik, penyakit tiroid, lupus
erimatosus sistemik, polisitemia, hipoparatiroidism, atau sirosis hati
 Gangguan gerak, termasuk tremor, chorea, hemiballismus, distonia dan mioklonus ditemukan pada
penderita AIDS
 Riwayat trauma kelahiran atau perinatal distress dapat merupakan penyebab timbulnya gangguan
gerak yang timbul pada anak – anak

Riwayat keluarga
Beberapa jenis gangguan gerak berhubungan dengan factor keturunan.

Pemeriksaan fisis
 Pemeriksaan status mental :
 Gangguan gerak mungkin berhubungan dengan gangguan psikiats atau timbul karena obat –
obat antipsikotik, atau pasien menderita gangguan gerak disertai gangguan perilaku, seperti
pada penyakit Huntington atau penyakit Wilson
 Deficit motorik atau sensorik fokal dapat disebabkan oleh proses desak ruang (SOL) yang
tampak pada funduskopi sebagai papiledema.
Keyser-Fleischer rings menunjukkan adanya penyakit Wilson
 Tanda penyakit vaskular, hepatik atau metabolic dapat merupakan petunjuk penyebab lain dari
gangguan gerak seperti degenerasi hepatoserebral yang didapat atau vaskulitis

Pemeriksaan penunjang

Darah dan analisa urin


 Copper di dalam urin dan darah penting untuk diagnosis penyakit Wilson
 Pemeriksaan darah lengkap (DPL) dan LED penting untuk menyingkirkan polisitemia,
vaskulitis atau SLE, dimama kelainan – kelainan tersebut dapat juga menimbulkan
gangguan gerak
 Kimia darah dapat menunjukkan adanya disfungsi herap yang berhubungan dengan
penyakit Wilsonatau degerasi hepatoserebral didapati; hipertiroid atau hipokalsemia
sebagai penyebab dari chorea; atau berbagai gangguan metabolik yang berhubungan
dengan mioklonus
 Pemeriksaan serologic untuk diagnosis gangguan gerak karena SLE.
Neurosifilis dapat menimbulkan manifestasi klinis yang bervariasi dan harus disingkirkan
melalui pemeriksaan serologis pada semua pasien dengan gangguan neurologist yang
sebabnya tidak jelas

EEG
EEG kadang-kadang bermanfaat untuk diagnosis pasien dengan mioklonus, meskipun kegunaannya
sangat terbatas.

Neuroimaging
Foto polos kepala atau CT scan dapat menunjukkan adanya klasifikasi intrakranial. MRI atau Ct
scan menunjukkan adanya tumor yang berhubungan dengan diskinesia fokal atau distonia, atropi
kaudatus pada penyakit huntingtong, atau abnormalitas ganglia basalis yang berhubungan dengan
penyakit Wilson.

Pemeriksaan genetika
Gen untuk penyakit Huntington telah terdeteksi pada kromosom 4, dan penyakit Wilson pada
kromosom 13.
NEUROPATI

11. Neuropati

Batasan klinis dan uraian umum


Proses patologi yang mengenai sususna saraf perifer, berupa proses demielinasasi atau degenerasi aksonal
atau kedua-duanya. Susunan saraf perifer mencakup saraf otak, saraf spinal dengan radiks saraf serta cabang-
cabanganya, saraf tepid an bagian-bagian tepi dari susunan saraf otonom.

Etiologi:

Metabolic

Neuropati diabetic:
 Polineuropati:
Komplikasi diabetes mellitus yang paling sering terjadi
 Gejala dan tanda:
 Gangguan motoriok tungkai lebih sering terkena daripada tangan
 Gangguan sensorik kaos kaki dan sarung tangan beruoa gangguan rasa nyeri & suhu, vibrasi
serta posisi

Otonom neuropati:
 Gejala dan tanda:
 Keringat berkurang, hipotensi ortostatik, nocturnal diare
 Inkontinensia alvi, konstipasi, inkontinensia & retensio urine
 Gastroparesis, dan impotensi

Mononeuropati:
 Gejala dan tanda:
 Terutama mengenai saraf kranialis (terutama saraf untuk pergerakan bola mata) dan saraf tepi
besar dengan gejala nyeri
 Polineuropati uremikum:
Terjadi pada pasien uremia kronis (gagal ginjal kronis)
 Gejala dan tanda:
 Gangguan sensorimotor simetris pada tungkai dan tangan
 Rasa gatal, geli & rasa merayap pada tungkai dan paha memberat pada malam hari,
membaik bila kaki digerakkan (restless leg syndrome)

Nutrisional:
Polineuropati defisiensi (piridoksin, asam folat, niasin), polineuropat alkoholik

Toksik:
Arsenic, merkuri

Drug induced:
Antineoplasma, antimicrobiar

Keganasan/paraneoplastic polyneuropathy

Trauma

Kriteria diagnosis

Klinis:
 Gangguan sensorik (paresthesia, nyeri, terbakar, penurunan rasa raba, vibrasi dan posisi)
 Gangguan motorik : Kelemahan otot-otot
 Refleks tendon menurun
 Fasikulasi
Laboratorium :
 Periksa Gula Darah Puasa, fungsi ginjal, kadar vitamin B1, B6, B12 darah, kadar logam berat,
fungsi hormone tiroid.
 Lumbal Pungsi  sesuai indikasi

Pemeriksaan Gold Standard:


 ENMG : Degenerasi axonal dan demyelinisasi
 Biopsi saraf

Penatalaksanaan
 Terapi kausa
 Simptomatik :
Analgetik, antipiretik
 Neurotropik vitamin: B1, B6, B12, asam folat
 Fisioterapi

Nyeri Neuropati Diabetika

Kriteria Diagnosis:
Nyeri neuropati diabetika ditandai dengan rasa terbakar, ditusuki, ditikam, kesetrum, disobek, diikat, dan
alodinia.
Bisa disertai gejala negative berupa baal, kurang tangkas, sulit mengenal barang dalam kantong, hilang
keseimbangan, cidera tanpa nyeri, borok.
Diperkirakan > 50% penderita diabetes lama menderita neuropati diabetika.

Klinis
 Ulcerasi kaki
 Chargot joint
 Deformitas claw toe
 Tes Laseque, reverse laseque, test Tinel, tes Phalen
 Tes saraf otonom

Laboratorium:
Pemeriksaan kadar gula darah

Neurofisiologi
Indikasi terutama adanya gejala dan tanda otonom murni atau hanya ada nyeri

Penatalaksanaan

Kausal:
Pengendalian optimal kadar gula darah. Kadar HbA1c dipertahankan 7%.

Medikamentosa:
 NSAID:
Nyeri musculoskeletal neurotropati
 Antidepressan trisiklik:
Amitryptillin, Amipiramin,
 Antikonvulsan:
Meksiletin
 Topikal:
Krim Kapsaikin
 Blok Saraf Lokal

Non Medikamentosa:
 Edukasi:
Perawat kaki teliti.
 Splint
 TENS
ONKOLOGI

12. Tumor Intrakranial

Definisi

Masa intrakranial baik primer maupun sekunder, yang memberikan gambaran klinis proses desak ruang dan
atau gejala fokal neurologist.

Kriteria diagnosis

 Gejala tekanan intrakranial yang meningkat:


1. sakit kepala kronik,tidak berkurang dengan obat analgesic
2. muntah tanpa penyebab gastrointestinal
3. papil edema
4. kesadaran menurun atau berubah

 Gejala fokal:
1. True Location sign
2. False Location sign
3. Neighbourin sign

 Tidak ada tanda-tanda radang sebelumnya


 Pemeriksaan neuroimaging terdapat kelainan yang menunjukkan adanya masa (SOL)

Pemeriksaan penunjang

 Foto polos kranium


 Neurofisiologi : EEG, BAEP
 Ct Scan / MRI Kepala dengan kontras

Tata laksana

 Kausal : operatif, radioterapi, kemoterapi


 Obat-obat dan tindakan untuk menurunkan tekanan intrakranial: Dexamethason, manitol, posisi
kepala di tinggikan 30 derajat
 Simtomatis : antikonfulsan, analgetik/antipiretik, sedatif, antidepresan
 Rehabilitasi medis

Introduksi

 Tumor pada otak dan medulla spinalis sering disertai dengan diplopia, kelemahan, perubahan
sensorik, rasa sakit yang hebat, seizure atau bahkan halusinasi. Namun pada tumor yang
berkembang lambat dapat menyebabkan sakit kepala kronis, kehilangan fungsi saraf cranial yang
progresif, kelemahan tungkai, atau perubahan kepribadian. Dalam setiap kasus, langkah pertama dan
paling penting dalam mendiagnosa adalah mencurigai keadaan tumor.
 Dalam keadaan akut. Komplikasi penting yang tidak perlu disertai adalah status epileptic (klinik
atau sub klinik), kemungkinan hernasi atau kompresi spinal. Sesudah itu dapatkan riwayat gejala,
lakukan pemeriksaan fisik yang lengkap, dapatkan hasil laboratorium yang sesuai, dan studi MRI,
dan akhirnya, kembangkan rencana terapi.

Klasifikasi
Tumor jaringan neuroepitelial:
 Tumor astrositik:
o Astrositoma
o Asrtositoma anaplastik
o Gliblastoma pilositik (GBM)
o Astrositoma pilositik
o Xanthoastrositoma pleomorfik
o Astrositoma subependimal gian sel
 Tumor oligodendrogllia:
o Oligodendroglioma
o Oligodendroglioma anaplastik
 Glioma campur:
o Oligoastrositoma
o Oligoastrositoma anaplastik
 Tumor ependimal
o Ependimoma
o Ependimoma anaplastik
o Ependimoma myxopapila
o Subependimoma
 Tumor plexus choroids
o Papiloma choroid plexus
o Carcinoma choroids plexus
 Tumor neuron dan campuran neuron dan glia:
o Gangliositoma
o Ganglioglioma anaplastik
o Neurositoma pusat
 Tumor parenkim pineal
o Pineostoma
o pineoblastoma

Tumor embrional:
 meduloblastoma
 Tumor neuroektodemal primitif
Tumor meningeal:
 Meningioma
 Hemangioperisitoma
 Tumor melanositik
 Hemangioblastoma

Limfoma sistemsyaraf pusat primer


Tumor sel germ:
 Germinoma
 Carcinoma embrional
 Tumor yolk sac
 Koriokarsinama
 Teratoma
 Tumor campur sel germ
Tumor daerah sellar:
 Adenoma pituitary
 Karsinoma pitutari
 Kraniofaringioma

Tumor – tumor metastatik


Dimodifikasi dari klasifikasi WHO
Epidemiologi
 Pada otak, lebih dari 80% tumor yang baru didiagnosa bersifat metastasis dan simtomatik
pada saat kematian 100 ribu pasien tiap tahunnya. Insidens tumor otak primer meningkat
beberapa tahun terakhir, mungkin ini mencerminkan angka harapan hidup yang lebih tinggi.
 Pada kasus limfoma system syaraf pusat primer, HIV dan pemakaian imunosupresan kronis
merupakan faktor resiko pada keganasan sel B.
 Terpapar radiasiionisasi merupakan satu-satunya faktor lingkungan yang berhubungan
dengan meningkatkan insidens meningioma dan tumor dila dan diperkirakan insidens
meningioma dan tumor gila dan diperkirakan laten selama 10-20 tahun.

Riwayat
Pada orang dewasa, sakit kepala dan seizere merupakan dua manifestasi yang paling sering terjadi
pada tumor otak, diikuti oleh hemiparesis progresif dan abmormalitas status mental.

Pertanyaan yang penting diajukan adalah;


 Kapan waktu terjadinya gejala? Secara umum, tumor yang kurang keganasan berkorelasi
dengan lebih lamanya durasi keluhan.
 Apakah ada gejala yang mendadak menjadi lebih buruk walaupun onsetnya lambat dan
menetap yang dapat menjadi tanda adanya perdarahan intra tumor?
 Apakah tumor yang berkembang lambat (bahkan selama beberapa dekade) menjadi
penyebab riwayat panjang seizure?
 Apakah durasi gejala-gejala dipengaruhi oleh lokasi tumor/
o Tumor primer pada lobus temporalis arau frontalis dapat tidak bergejala selama
beberapa waktu
o Sebaliknya tumor pada fossa posterior atau daerah kortikal menyebabkan gejala
fokal yang lebih awal
o 30% pasien dengan astrositoma, meningioma atau oligodendroglioma hadir dengan
seizure bila tumor ada di frontalis, parietal atau lobua temporalis
 Bila terdapat sakit kepala, bagaimana gejalanya? Sakit kepala merupakan
gejala awal 20% pasien dengan tumor otak dan digambarkan sebagai sakit yang tumpul, secara
progresif menjadi lebih intens dan menetap walau diberi analgetik
 Dimana sakit kepalanya? Sakit kepala biasanya terletak di ipsilateral tumor.
o Tumor supratentorial menginvasi dan menekan struktur yang
dipersyarafi oleh nervus trigeminus aferen dan rasa sakit diahlikan ke anterior dari
temporalis atau area frontal retroobital
o Rasa sakit disebabkan oleh tumor fossa posterior digambarkan
terasa di oksipital dan di leher (syaraf cranial IX dan X dan syaraf-syaraf servikal)
 Apakah terdapat tanda-tanda prningkatan tekanan intra
cranial/ Hal ini termasuk sakit kepala posisional, nausea, vomiting, pandangan kabur, perubahan
status mental dan cara berjalan yang tidak stabil
 Nause dan muntah?
o Rekuren dan terjadi di pagi hari atau muntah di
malam hari secara khusus menandakan adanya massa intrakranial
o Muntah yang dimulai mendadak, berakhir setelah
beberapa jam dapat menjadi indikasi adanya peningkatan tekanan intra kranial yang singkat,
nekrosis tumor, hemoragi, obstruksi temporer pada sirkulasi CSF.
 Apakah pasien status mentalnya berubah? (perubahan kepribadian, abulia, pelupa,
kosentrasi yang buruk, kemampuan menilai dan abstraksi yang buruk)? Apakah pasien tidak
atentif dan mudah teralih perhatiannya?

Melokalisir Gejala
Batang otak
 Invasi awal tumor pada batang otak menyebabkan gejala gangguan langsung traktus asendens dan
desendens dan nuclei didekatnya (sindrom parinaud, kelemahan, kehilangan pendengaran,
ophtalmoplegia internuklear dan ataksia)
 Tumor sudut serebellopontin, meningens, serebelum, dan syaraf kranial (termasuk syaraf yang
melalui basis kranium) dapat diketahui awalnya melalui tanda-tanda ekstra aksial
 Saat invasi tumor berlanjut, kompresi ventrikel ke-empat atau aquaduct menyebabkan
hidrosephalus, dan akhirnya pernafasan dan kardiovaskuler menjadi terganggu.
Serebelum
Siklus vomiting dan sakit kepala, pusing nistagmus horizontal dan rotatory, dismetria atau ataksia trunkus,
berkurangnya tonus dan refleks di ipsilateral tumor.

Daerah ventrikel ketiga


Hidrosefalus, diabetes insipidus, amenorrhea, atau galaktorrhea, nafsu makan dan temperature berubah.

Daerah pineal
Hidrosefalus, syndrome parinaud, (kesulitan pada pandangan keatas, nistagmus konvergen-retraksi dan
disosiasi pupil bila dekat dengan cahaya) sesudah kompresi tektum dan komisura posterior.

Lobus frontalis
Motorik sederhana atau seizure secara umum diikuti paralysis postiktal, disarthia kortikal, apraxia, aphasia,
kelemahan kontra lateral.

Lobus temporalis
Quadrantanopsia homonimus superior, aphasia, seizure parsial kompleks, aphasia konduktif dan anomic,
disfungsi memori, perubahan kepribadian, depresi.

Lobus parietalis
Quadrantanopsia kontra lateral homonimus inferior atau hemianopia (dengan keterlibatan radiasi optic
parietal), hilangnya kontra lateral visualterhadap stimulasi visual yang simultan, seizure sensorik atau
motorik sederhana, neglect motorik dan sensorik kontra lateral, agnosia jari, bingung membedakan kiri dan
kanan, neglect motorik atau sensorik kontra lateral, apraxia, tidak bisa berhitung.

Lobus oksipital
Hemianopia homonimus kecuali macula, seizure (lampu senter, warna atau bentuk pola), anomia warna,
aloestesia optic (salah menempatkan obyek ke lapangan pandangan yang lain), metamorfosis (distorsi bentuk
dari sebuah obyek).

Diagnosis kerja
 MRI dengan penambahan gadolinium merupakan alat diagnostic pilihan.
 Bila suatu neoplasma diindentifikasi melalui MRI, pertanyaan pertama yang sering timbul adalah
apakah lesi tersebut primer atau penyakit metastasis. Diindikasikan pemeriksaan menyeluruh untuk
mendapatkan lesi primernya karena lesi primer lebih sesuai untuk biopsy dan tentu memberikan
diagnosis dan prognosis yang paling akurat bagi pasien. Lakukan pemeriksaan fisis lengkap dengan
perhatian khusus pada pemeriksaan lengkap kulit, payudara, testikel, pelvis, dan nodus limfe. Tes
laboraturium sering menyertakan hitung darah lengkap, tes darah fecal occult, panel metabolic
lengkap, tes fungsi hati, tes fungsi teroid, serum dan urin elektroforesis dan antigen yang spesifik
terhadap antigen. Pencitraan melibatkan dada, abdomen dan CT pelvis, mammogram, dan scan
tulang.
 Tomografi dapat berguna untuk mendeteksi daerah hipometabolik di dalam glioma yang dinyatakan
pada tingkat yang rendah. Targetkan daerah ini dengan biopsy atau reseksi untuk menyertakan
jaringan yang paling ganas kedalam diagnosis. Tomografi juga dapat membantu membedakan antara
nekrosis karena radiasi dan tumor rekuren.
 Patologi jaringan dengan biopsi atau reseksi
 Fungsi lumbal untuk sitologi juga dilakukan bila tidak terdapat tanda-tanda peningkatan tekanan
intra kranial. Namun sitologi sering tidak sensitive dan beberapa sample dari CSF mungkin
diperlukan.

Ringkasan tumor yang sering deitemukan


Astrositoma
Tingkat rendah
 Epidemiologi:
Seperempat dari seluruh glioma sereberal. Puncak insidens padadekade ke 3-4
 Presentasi:
Paling sering seizure, deficit fokal lainnya juga bisa didapatkan
 Lokasi:
Hemisfer sereberal pada orang dewasa: batang otak pada anak-anak: juga ditemukan pada sereberal,
nervus optikus,hipotalamus
 Radiologi:
o CT: densitas rendah tanpa kontras
o MRI: gelap pada T1 dan terang pada T2, tanpa kontras
 Perawatan:
Reseksi lebih disukai dalam pembedahan. Bila tumor terlalu besar atau melibatkan struktur penting,
beri terapi radiasi
Malignan (astrositoma analplastik dan glioblastoma multiforme)
 Epidemiologi:
Glioma yang paling sering didapat. Puncak insidens pada decade ke 4-5 (anaplastik) dan 6-7
(GBM). Rasio pria terhadap wanita 3:2
 Presentasi:
Deficit fokal tergantung dari lokasinya (lihat diatas)
 Lokasi:
Hemisfer serebral. Dapat menyebrangi korpus kalosum kehemisfer lainnya, menghasilkan pola
“kupu-kupu”. Juga batang otak pada anak-anak
 Radiologi:
CT dan MRI-nekrosis sentral dengan kontras ireguler seperti cincin. Sering edema
 Patologi:
Area nekrosis dikelilingi sel pseudopalisade
 Perawatan:
Diawali reseksi lalu terapi radiasi. Kemoterapi dengan carmustine bisa dipertimbangkan. Lakukan
reseksi kedua bila rekuren
 Prognosis:
Daya tahan median lamanya 3 tahun pada tipe anaplastik dan 1 tahun pada GBM

Oligodendroglikoma
 Epidemiologi:
Puncak insiden pada usia 30-50tahun
 Presentasi:
Riwayat panjang seizure. Hemiparesis progresif atau perubahan kognitif. Juga hemoragi intra
kranial (tumor rentan terhadap perdarahan)
 Lokasi:
Hemisfer-hemisfer serebral (lobus temporalis dan frontalis yang paling sering)
 Radiology:
Serupa dengan astrositoma tingkat rendah, tetapi lebih sering terkalsifikasi
 Patologi:
Sel-sel berpenampilan seperti “telur goreng” (nuclei yang bulat ditengah,dikelilingi halo yang
jernih, yang merupakan sisa hasil proses jaringan)
 Perawatan:
o Tingkat rendah:
Diawali reseksi lalu terapi radiasi atau kemotrapi
o Anaplastik:
Bila memungkinkan reseksi yang ekstensif, diikuti kemotrapi, lalu radioterapi
Meningioma
 Epidemiologi:
20% dari tumor intra kranial. Rasio pria terhadap wanita 2:1
 Presentasi:
Sakit kepala dan seizure adalah yang paling sering
 Lokasi:
Basis kranium, daerah parasellar, dan diatas daerah konveks pada serebral. Juga intra spinal
 Radiologi:
MRI: kontras yang difus dengan tumor berkembang sepanjang dura. Edema yang signifikan
menandakan tingkat tumor yang lebih tinggi atau bentuk sekretori
 Patologi:
Badan psammoma, sel nampak lingkaran-lingkaran
 Perawatan:
Bedah. Radioterapi sterotaktik biar tumor kecil dan tidak melekat dengan struktur yang penting

Limfoma primer pada system syaraf pusat


 Epidemiologi:
Kasus meningkat karena makin banyaknya pasien yang imunosupressed (misalnya AIDS). Puncak
insidens pada pasien yang imunokompeten terjadi pada decade ke 6-7
 Presentasi:
Perubahan prilaku dan kognitif terlihat pada dua pertiga pasien. Sering mengalami sakit kepala,
seizure, hemiparesis, aphasia, gangguan lapangan pandang
 Lokasi:
Sub kortikal. Dapat multi fokal
 Radiology:
MRI: lokasi periventrikular dengan kontras difus dan homogen
 Patologi:
Didominasi sel B. sel tumor terlihat pada CSF pada pungsi lumbal pada 25% dari kasus
 Perawatan:
Kemoterapi dengan methotrexate. Terapi radiasi tambahan dapat meningkatkan daya tahan median
Tumor yang bermetastasis
 Diferensial diagnosis pada massa otak sering menyertakan metastasis dari tumor primer didekatnya.
15-20% dari semua pasien dengan kanker akan mengalami metastase ke otak.
 Riwayat yang bagus dan pemeriksaan fisik dapat mengidentifikasi gejala dan tanda menunjukkan
adanya tumor yang bukan dari saraf.tanda-tanda yang perlu diwaspadai: batuk kronis, kehilangan
berat badan, perubahan frekuensi dan bentuk “stool” dan melena.
 Pemeriksaan tambahan non-neurologis seperti dada dan/ atau CT abdominal atau kolonoskopi dapat
dilakukan secara individual. Namun pada 8% kasur, tumor primernya tidak diketahui.
 Tumor yang bermetastasis pada 80% kasur supratentorial dan sering multipel ( pada 60% kasus).
Karena penyebaran melalui darah, tumor cenderung terjadi pada junction materi abu-abu-putih.
Tumor yang paling sering bermetastase adalah tumor fossa posterior pada orang dewasa.
 Perawatan metastasis ke otak tergantung jumlah lesi, patologi tumor primer, dan kondisi klinis
pasien secara keseluruhan. Pengobatan paliatif merupakan tujuan utama perawatan. Pilihan
perawatan pada metastase tunggal adalah bedah reseksi, bedah radio stereotaktik dan bedah radio
pisau gamma.kegunaan dari radiasi otak menyeluruh tetap belum jelas.
 Tumor yang sering bermetastasis ke otak (untuk membantu ingatan: LBKGS=”pound kilogram”)
o Lung :
Sel ”non –small” dan sel kecil (64% dari semua metastasis ke otak)
o Breast (14%)
o Kidney : sel ginjal (2%)
o GI: kolorektal(3%)
o Skin: melanoma (4%)
 Tumor yang kurang sering bermetastasis ke otak :
o Reproduksi ( khususnya testikel )
o Thyroid
o Liver
 Tumor metastasis yang sering hemoragic
o Melanoma (dapat menghasilkan CSF yang hitam pada fungsi lumbal dari melamin yang
disekresi )
o Karsinoma sel renal
o Khoriokarsinoma

Sindrom paraneoplastik
Ada kewaspadaan yang meningkat tentang kelainan neurology yang disebabkan tumor yang berasal dari
organ non nervus. Gejala dari sindrom paraneoplastik dihasilkan dari reaksi silang antibody dengan antigen
tumor dengan antigen system syaraf. Gejala neurology dapat melibatkan bagian system syaraf mana saja:
otot, junction neuromuscular, syaraf perifer, medulla spinalis, akar ganglion dorsal, serebelum, nucleus syaraf
cranial, dan hemisfer serebral.
Tabel 1 memberikan daftar singkat gejala sindrom paraneoplastik yang sering ditemukan, dan hubungannya
dengan antibody dan tumor sistemik.

Tabel 1
Sindrom paraneoplastik yang sering ditemukan
Sindrom Antibodi Kanker yang berhubungan Antigen
Esephalomyelitis, Anti-Hu Sel kecil paaru-paru, Neukleus pada semua
neuronopati sensorik neuroblastoma neuron
Degenerasi serebral Anti-Yo Tumor ginekologi, payudara Sitoplasma sel purkinje
Ataksia serebral, Anti-Ri Tumor ginekologi, payudara, sel Nukleus neuron system
opsoklonus kecil paru-paru syaraf pusat
Disfungsi serebral dan Anti-Ma Multipel Sitoplasma dan nucleus
batang otak neuron
Encefalitis limbik, Anti-Ta Testipel Sitoplasma dan nucleus
disfungsi batang otak neuron
Sindrom mystenik Anti-voltase Sel kecil paru-paru Channel kalsium
Lambert-Eaton gerbang gerbang voltase pra
chnnel sinaptik
Ca²,anti MysB
Myashhenia gravis Anti-reseptor Thymoma Reseptor asetilkolin post
astilko lin, sinaptik
anti-astriasio
nal
Neoplasma maligna pada system syaraf perifer
 Definisi: Pertumbuhan sel ganas pada system perifer atau system syaraf otonomi tanpa ada
spesifikasi dari lokasinya.
 Gambaran : Dua tipe utama yaitu, schwannoma dan neurofibroma

Schwnnoma
 Tumor jinak yang berasal dari sel schwann
 Dapat bersal dari nervus VIII pada sudut serebelopontin (neuroma akustik) dari akar dorsal atau
batang syaraf perifer utama
 Gambaran: tepi jelas, berkapsul, permukaan putih abu-abu, berasal dari akar dorsal, keluar dari
vetebra bentuknya menjadi seperti dumbel
 Syaraf melekat pada tumor dan dapat terbungkus kapsul tumor
 Mikroskopik: terdiri dari 2 pola pertumbuhan yaitu:
1. Area Antoni A; sel berelongasi dan lebih padat dengan stroma lebih sedikit di antara sel
2. Area Antini B: Sel tumor kurang padat dan dipisahkan oleh stroma myxoid

Schwannoma malignan (tumor ganas pada bungkus syaraf)


Sangat ganas, infiltratif secara local, dapat primer atau berasal dari neurifbroma pleksform, batas tepi
kurang jelas, terdiri dari sel terelongasi dengan proses bipolar dan atipia nuclear.

Neurofibroma, tiga tipe:


1. Neurofibroma kutaneus
Gambaran:
o Terlihat meniggi, nodular dan kadang-kadang lesi pedunkel yang berhubungan
dengan hiperpigmentasi
o Terdapat pada dermis dan meluas ke sub kutan
o Tepi jelas tapi tidak berkapsul
Mikroskopik : terdiri dari sel spindle di dalam stroma yang kaya kolagen
2. Neurofibroma soliter, berasal dari syaraf tepi, menyerupai Neur
3. Neurofibroma pleksiform, terjadi sehubungan dengan neurofibromatosis dan beresiko
menjadi ganas
o Gambaran umum: berhubungan erat dengan syaraftidak seperti scwannoma, tumor ini tidak dapat
dipisahkan dengan syarf tempatnya berasal.
o Mikroskopik: Terdapat stroma my xoid dan hiposeluler yang terdiri dari sel schwann, sel
perineunal, fibroblast, dan sel inflamasi termasuk sel mast. Akson dapat terlihat di dalam tumor

Schwannoma pada syaraf kranisal


Pasien dengan Schwannoma dapat kehilangan fungsi pada syaraf yang terkena, tetapi dapat juga
asimtomatik. Pada yang asimtomatik, lesiditemukan decara tidak sengaja melalui CT skan atau MRI yang
dilakukan untuk tujuan lain .
 CN Schwannoma biasanya berupa lesi terisolassi, kecuali bila berhubungan dengan
neurofibromatosis tipe 2 (NF2), suatu kelainan autosomal dominant yang langka terjadi pada 1 dari
50.000 kelahiran
 NF2 disebut juga: sindrom Schwannoma multiple diwariskan meningioma, dan ependimoma
(MISME)
 Cirri-ciri NF2: Schwannoma vesitubularis bilateral. Schwannoma dari syaraf kranial lainnya terjadi
lebih sering pada NF2, dan kehadiran dari suatu jenis CN Schwannoma yang jarang ditemukan
menunjukkan kemungkinan adanya NF2. Meningioma dan ependimoma intra meduler dari medulla
spinallis juga pada NF2
 Patofisiologi: berasal dari bungkus syaraf dan terdiri dari sel Schwannoma pada matriks kolagen
 Histology: istilah Antoni A neurilemoma dan B digunakan untuk menggambarkan berbagai pola
pertumbuhan Schwannoma
 Jaringan tipe A terdapat sel spindle terelongasi tersusun dengan arah yang tidak beraturan dan
kompak
 Jaringan tipe B ausunanya lebih longgar, sering terdapat ruang sitik bercampur dengan jaringan.
Ruang sistik dengan T2 MRI menghasilkan gambaran dengan intensitas tinggi. Tumor yang berasal
dari sel Schwannoma dapat terdeteksi pada pemeriksaan imunohistokimia berdasarkan hasil positif
pada tes antigen S-100
 Frekuensi:
Schwannoma vestibularis merupakan CN Schwannoma yang paling sering terjadi, diikuti oleh
Schwannoma trigeminus dan fasialis, lalu glossofaringeus, vagus dan Schwannoma nervus
accesorius spinalis. Schwannoma yang melibatkan nervus okulomotoris, troklear, abducens, dan
hipoglosus jarang ditemukan
 Morbiditas:
Terjadi pada Schwannoma yang menyebabkan disfungsi syaraf dan kompresi batang otak
 Mortalitas:
Terjadi kompresi massa pada batang otak.
 Ras dan seks:
Tidak terdapat predileksi terhadap seks dan ras
 Gambaran klinis:
Gejala tergantung dari syaraf yang terkena
o Schwannoma vestibularis:
Kehilangan pendengaran neuralsensorik, tinnitus, ketidakseimbangan gambaran fisik, lesi berasal
dari bagian superior atau inferior syaraf vestibularis, gejala timbul karena tekanan massa pada
nervus koklear didekatnya. Kadang pasien kehilangan pendengaran akut neuralsensorik sekunder
disebabkan hemoragi kedalam Schwannoma.
o Schwannoma trigeminus:
Sakit pada wajah dan atrofi otot pengunyahan.
o Schwannoma facialis:
Gambaran bervariasi tergantung bagian nervusfasialis dimana tumor berkembang.
Gejala mulai dari:
Fasial palsi, berkurangnya pendengaran akibat interferensi ossikular dan kehilangan pendengaran
neuralsensorik akibat nervus cochlear pada kanal telinga dalam (lebih jarang terjadi)
o Tumor apa kanal telinga dalam dapat memiliki gejala seperti Schwannoma vestibularis akibat
kompresi nervus vestibularis yang berdekatan
o Schwannoma fasialis pada pertengahan fossa kranium atau pada distal foramen stilomastoideus
dapat berkembang ukurannya sampai beberapa sentimeter karena tidak terdapat struktur yang
sensitive pada daerah tersebut dan tidak terdapat gejala sampai lesi menjadi besar
o Schwannoma pada foramen jugularis yang berasal dari nervus glossopharyingeus, vagus, atau
aksesorius:
Dapat timbul dengan gejala sereberal dan akustik bervariasi. Tumor ini juga menyebabkan disfungsi
glosofaringeus ( suara serak, sukar menelan) dan/atau gejala aksesorius spinalis (contohnya: atropi
trapezius)
o Schwannoma pada okulomotoris, troklear dan abduncens jarang terjadi.
Palsi pada otot yang terkena, dan gejala pada ipsilateral sinus kavernosus bila massa ada disinus
kavernosus
o Schwannoma hipoglosus:
Lesi yang jarang, dapat terjadi dengan gejala deviasi lidah keipsilateral, mungkin berhubungan
dengan hemiatropi ipsilateral
 Pemeriksaan yang dipilih:
MRI dengan medium kontras berbasiskan gadolinium merupakan teknik yang dipilih untuk
mendapat gambaran syaraf cranial. MRI memberikan derajad resolusi tertinggi pada jaringan lunak,
dapat memberikan gambaran pada dataran murtiple dan tidak terganggu oleh tulang basis kranium.
CT ideal untuk mengevaluasi efek sekunder pada foramen neural.
 Keterbatasannya:
Evaluasi CT terbatas terutama utuk mendapatkan perubahan tulang pada basis kranium. Bagian dari
basis kranium membatasi kemampuan resolusi jaringan lunak pada CT khususnya pada lesi yang
kecil. Rongtsen biasa tidak dapat berperan pada evaluasi lesi imi. Kekurangan MRI disbanding CT,
CT dapat lebih sensitive dalam memperlihatkan destruksi tulang terdekat.
 Masalah lain yang perlu dipertimbangkan:
o Differensial diagnosis bervariasi tergantung dari lokasi, tetapi meningioma dapat terjadi pada
daerah yang sama dengan gambaran yang juga sama dengan Schwannoma. Perbedaan pola
pertumbuhan seperti juga “dural tail” dan hiperotasis yang dapat terlihat bersama-sama dengan
meningioma, sering membantu sebagai factor yang membedakan (lihat gambar 5)
o Perlu CSF pada penyakit metastatik atau limpoma dapat terlihat sebagai massa CN fokal ( lihat
gambar 16, gambar 18). Pada pasien dengan meningitis kaesinomatous dan limfoma, massa
metastatik fokal dapat terlibat pada nervus cranial dan menyerupai Schwannoma.
o Neuritis ( misalnya inflamasi pada syaraf) dapat terlihat serupa dengan massa tumor
o NF2 adalah salah satu “ phacomatous “ dengan cirri-ciri Schwannoma intra cranial multiple,
meningioma, dan ependimoma, schwannoma vestibularis bilateral merupakan diagnosis pada
keadaan ini, tetapi pasien dapat terkena schawannoma pada nervus cranial manapun (nervus III-
XIII)
Pemeriksaan CT
 Pada CT scan tanpa contras, kebanyakan schwannoma terlihat relative sama dengan prenkim otak,
kalsifikasi pada daerah hemoragi jarang terjadi. Pada CT scan dengan kontras, pola kontras secara
tipikal homogen
 Pencitraan “bone-window” dapat memperlihatkan remodeling dari basis kranium terdekat, seperti
pada ekspansi kanal telinga dalam oleh Schwannoma vestibularis dan ekspansi dari kanal fasialis
oleh Schwannoma fasialis (lihat gambar 7)
 CT pada basis kranium dapat membantu mengevaluasi destruksi tulang. Penemuan ini berguna
untuk membedakan Schwannoma foramen jugularis dengan paraganglioma
 Dengan CT, lesi besar dapat didiagnosa dengan kepastian yang cukup tinggi. Membedakan
Schwannoma dengan meningioma tidak dapat dilakukan dengan CT. lesi kecil pada nervus kranialis
tidak dapat dibedakan dengan jelas dengan Schwannoma
 Negatif/positif palsu:
 Pencitraan CT dapat menghasilkan negative palsu pada lesi yang kecil. Kadang-kadang gambaran
garis-garis tak beraturan pada sudut sereberal-pontin dapat menyerupai lesi
Pemeriksaan MRI
 Seperti pada CT, MRI juga memberi gambaran massa homogen pada Schwannoma. Dengan T1
terlihat memiliki intensitas yang sama atau lebih rendah terhadap materi abu-abu, sedang T2
intensitasnya sedikit lebih rendah dibanding CSF. Dengan kontras gadolinium terlihat homogen
walaupun Schwannoma yang lebih besar dapat memperlihatkan daerah degerasi sistik dan
intensitasnya heterogen. Penemuan ini berdasarkan peningkatan jumlah daerah dengan gambaran
Antoni B
 Baru-baru ini, T2 tiga dimensi resolusi tinggi, potongan tipis berurutan digunakan untuk melihat
neuroma akustik. Gambaran yang diperoleh, nervus individual pada system dan IAC terlihat sebagai
kelainan linier penuh pada CSF yang terang. Massa kecil dapat diidentifikasikan tanpa kontras.
Schwannoma vestibularis
 Merupakan CN Schwannoma yang paling sering ditemukan. Biasanya massa terletak disudut
serebelopontin dan berpusat pada porus, dengan perluasan kedalam IAC. Terlihat seperti buntut
komet atau kone es krim, dengan kone sebagai ekstensi ke intrakanikula dan es krimnya sebagai
komponen sisternal. Sumbu panjang tumor paralel dengan permukaan petrous
 Kadang tumor seluruhnya terdapat pada intrakanikula dengan differensial diagnosa utamanya
meningioma pada sudut serebelopontin. Tidak seperti Schwannoma vestibularis, meningioma
cenderung membentuk sudut tumpul terhadap tulang petrous terdekat, hemisferik, dan sering
meluas kefossa media sebagai akibat herniasi. Meningioma dapat dibedakan dari luasnya dasar yang
melekat sepanjang tulang petrous dan adanya “dural tail” meningioma jarang meluas ke IAC
Schwannoma fasialis
Dapat terjadi pada bagian manapun tetapi sering melibatkan ganglion genigulate dari situ meluas ke
prosikmal atau distal. MRI CT mirip dengan schwannoma vestibularis. Lokasi massa mempengaruhi ppola
pertumbuhannya. Pada IAC, tidak dapat dibedakan dendan lesivestibularis. Bila schwannoma fasialis
menyeberangi tulang petrous. Sebaliknya, schwannoma trigeminus menyeberang dekat apeks petrous. Lesi
pada gangguan genniculate dapat disalah artikan sebagai lesi, lobus temporalis dan pencitraan pada
penampang koronal berguna untuk mengevaluasi ini.

Schwannoma Trigeminus
Dapat timbul dari lubang Meckel atau di dalam system sepanjang saraf tersebut. Ekstensi dan ekspansi
keforamen ovale dan rotundum sering terjadi, dan masa terlihat berlobus 2. tumor juga dapat berkembang ke
posterior ke fossa posterior atau berkembang ke anterior ke sinus kavernosus. Schwannoma trigeminus
cenderung memiliki komponen sistik amore di banding schwannoma lainnya.

Schwnnoma glosofaringeus, Vagus dan aksesorius


 Jarang ditemukan dan sulit dibedakan satu sama lainnya. Tumor disklasifikasi berdasar pola
pertumbuhan
◦ tipe A : lebih sering bertumbuh ke intracranial.
◦ tipe B : berkembang ke foramen jugularis
◦ tipe C : berkembang ke ekstra cranial
 MRI dan CT serupa dengan schwnnoma lainnya. Berlawanan dengan paraganglioma pada daerah ini,
schwnoma meluas tetapi tidak berinfiltrasi dan merusak perlahan ke tulang yang berdekatan,
schwnnoma dengan mulus mendorong tulang dengan tepi kortikal tetap utuh.
Schwnnoma hipoglosus
Pola pertumbuhan dan gambarannya serupa dengan schwnnoma foramen jugularis. Bila sudah cukup besar,
tumor merusak sedikit demi sedikit kanal hopoglosus sehingga sulit dibedakan dengan schwnnoma foramen
jugularis.

Schwannoma abdusens
Jarang ditemukan. Terletak pada system prepontin, dengan gambaran heterogen pada CT dan MRI dan
meluas kesinus kavernosus didekatnya. Differensial diagnosis dengan meningioma dan gambaran perubahan
sistik (terlihat berintensitas tinggi pada gambaran T2 weighted) dapat menjadi tanda lesi tersebut
Schwannoma dan bukan meningioma. Schwannoma nervus IV juga jarang.
Schwannoma nervus okulomotorius
Sangat jarang. Dapat terlihat sebagai beberapa massa pada system suprasellar dan dapat sulit di bedakan dari
meningioma.
 Diagnosis:
Masa nervus cranial dapat memiliki derajat kepastian yang tinggi dengan menggunakan MRI
 Positif/negative palsu:
Positif palsu terjadi pada fossa jugularis dimana aliran yang lambat pada bulba jugularis dapat
menyerupai massa. Negative palsu dapat terjadi pada gambaran yang tidak adekuat. Contohnya potongan
image terlalu tebal atau bila supresi lemak tidak digunakan dalam mengevaluasi dasar kranium
Perawatan
Badah radio stereotsktik(contohnya bedah radio pisau gamma) sudah menggantikan reseksi bedah untuk
perawatan schwanonoma vestibularis, khususnya pada lesi yang tidak menekan batang otak. Lesi harus lebih
kecil dari 3 cm. penelitian menunjukan rata-rata dari control tumor (lesi menjadi stabil atau mengecil)lebih
besar dari 95% dan pendengaran dapat dipertahankan rata-rata 70%. Schwannoma lainnya dapat dirawat
dengan bedah radio.

Neurofibromatosis
Kelainan autosomal dominan yang mengenai tulang, system syaraf, jaringan lunak dan kulit. Minimal ada 8
fenotipe klinis yang berbeda yang sudah diidentifikasi dan berhubungan dengan minimal 2 kelainan genetic.
Manifestasi klinis meningkat dengan berjalannya waktu. Dapat menimbulkan problem neurologis dan
keganasan.

Patofisiologi
Neurofibromatosis (NF) adalah kondisi neurokutaneus yang dapat melibatkan system organ manapun. Maka
gejala dan tanda yang terlihat dapat sangat bervariasi.
 Dua subtype utama:
o Neurofibromatosis 1 (NF): paling sering dan disebut juga NF periferal
o Neurofibromatosis 2 (NF2): disebut juga NF pusat
 Gambaran ini tidak sepenuhnya tepat karena NF 1 kadang memiliki gambaran pada pusat.
 Variasi ketiga dikenal sebagai Neurofibromatosis segmental; istilah ini digunakan untuk
menggambarkan penyakit terbatas pada daerah badan tunggal. NF segmental dapat berhubungan
dengan mosaicisme atau hiperekspresi segmental. Kehilangan heterozigositas dapat menimbulkan
gambaran klinis lesi segmental.

Mortalitas/morbiditas
Dapat melibatkan berbagai system organ. Tanda-tanda dapat berkisar dari manifestasi kutaneus jinak sampai
keganasan. Rata-rata mortalitas lebih tinggi dari populasi yang sehat karena berpotensi untuk berubah
menjadi malignan pada jaringan yang terkena dan berkembangnya neurofibrosarkoma. Pasien dengan NF1
diperkirakan rasio bertambah 3-15% untuk menjadi ganas.
Riwayat
 Walaupun kebanyakan individu yang menderita NF tidak lahir dengan macula café au lait, lesi kulit ini
berkembang selama 3 tahun pertama kehidupan, mendorong orang tua mencari pengobatan untuk anak
mereka
 NF terbentuk pada dewasa tua
Pasien mengeluh diskolorasi kutan atau perubahan bentuk atau gejala fisik yang lebih serius (contoh: rasa
sakit yang disebabkan NF, factor patologis, sakit kepala seperti pada hipertensi disebabkan
pheochromacytoma)
Gambaran fisik
 Pigmentasi yang tidak biasa, bercak café au lait berbentuk tidak reratur, pigmentasinya merata, macula
cokelat. Kebanyakan individu dengan NF terdapat 6 atau lebih bercak yang berdiameter 1,5 atau lebih
o Pada anak kecil 5 atau lebih macula café au lait berdiameter lebih dari 0,5 cm dicurigai sebagai
NF
o Lebih dari 1% anak yang sehat memilki 3 atau lebih bercak seperti itu walaupun 1 atau 2 makula
café au lait sering didapat pada individu sehat
 Nodul lisch adalah hamartoma pada iris berbentuk kubah dan ditemukan superficial disekitar mata pada
pemeriksaan slit lamp. Asimtomatik tetapi membantu memastikan diagnosa NF
 Freckling aksila (seperti halnya freckling pada perineum ) dikenal sebagai tanda crowe, merupakan
gambaran yang membantu diagnosa NF. Baik freckling aksila dan inguinal sering berkembang pada saat
puber. Daerah bercak dan daerah hipertrikosis sering menutupi NF pleksiform
 Keterlibatan tulang dapat meliputi pseudoarthosis pada tibia, melengkungnya tulang dan defek orbital.
Kadang-kadang ditemukan denyut exoptalmus akibat displasia pada sayap sphenoid. Ditemukan
scoliosis ringan dan terdapat localized hipertrofi tulang khususnya pada wajah. Belum jelas apakah
perubahan tulang ini disebabkan NF difus atau kelainan mesodermal lainnya.

Neurofibroma
Adalah tumor jinak NF 1 yang paling sering ditemukan. Tumor ini terdiri dari sel schwann, fibrolas, sel
mast dan komponen vaskuler. Tumor ini dapat berkembang pada daerah manapun sepanjang nervus.
Tiga subtype neurofibroma :
 Kutaneus
 Pleksiform
 Subkutaneus
o Lesi kutaneus dan sub kutan keduanya berbatas jelas, tidak satupun spesifik untuk NF1. nodulnya
berwarna cokelat, pink atau sewrna kulit. Dapat lunak atau keras pada waktu disentuh, dan bila
ditekan jari terjadi invaginasi phatogonomik seprti lubang kancing. Neurofibroma pleksiform
tidak berbatas jelas, tebal dan tidak beraturan, dapat terlihat buruk karena adanya jalinan struktur
pendukung yang penting. Subtype pleksiform spesifik untuk NF1
o Berbagai abnormalitas yang terjadi, dapat menyebabkan ketulian bila melibatkan saraf akustik dan
glioma saraf optikus juga dapat terjadi. Berbagai tumor seperti astrositoma, meningioma, glioma
intra medula, dan ependioma, terjadi lebih sering pada pasien – pasien ini. Tumor dapat
menyebabkan ICP, seizur, ataksia atau abnormalitas syarap cranial. Schawannoma jarang terdapat
pada pasien NFI tetapi dapat hadir pada bungkus syarap spinal. Namun pada NF2, tumor dapat
melinatkan syarap perifer dan cranial. Pada schawannoma vestibularis unilateral (dulu dikenal
sebagai neuroma akustik), NF2 merupakan deferensial diagnosis.
o Banyak individu dengan NF memiliki intelegensi di bawah rata-rata. 25-40 % pasien dengan NFI
memiliki kesulitan belajar, sedangkan 5-10% mengalami reterdasi mental. Tipe-tipe kesulitan
belajar meliputi disfungsi neuromotorik, ADHD dan deficit proses visuospasial
o Masalah endokrinologi sering berhubungan dengan NF. Postur yang pendek dan defesiensi
hormone pertumbuhan lebih sering pada pasien ini disbanding populasi umum walaupun insidens
yang pasti tidak diketahui. Precocity seksual terjadi pada 3-5% anak kecil yang terkena, biasanya
berhubungan dengan tumor intracranial. Pheochromocytoma dapat terjadi

Criteria diagnostic NF1


Criteria diagnostic terpenuhi bila 2 atau lebih gambaran sebagai berikut ada pada pasien :
 Enam atau lebih macula café au lait dengan diameter terbesarnya >5 mm pada individu pra puber
dan pada individu post puber diameter terbesarnya >15 mm
 Dua atau lebih NF tipe maupun atau satu NF pleksiform
 Freckling pada aksila atau inguinal
 Glioma optikus
 Dua atau lebih nodulus Lisch (hamartoma iris)
 Lessi osseus yang nyata seperti displasia sphenoid atau penipisan korteks tulang panjang, dengan
atau tanpa pseudoarthrosis
 Derajat pertama berhubungan dengan NFI menurut criteria diatas. Criteria diagnostic NF2

Criteria terpenuhi bila terdapat salah satu dari kondisi berikut :


 Masa bilateral pada syaraf cranial VIII terlihat dengan CT atau MRI
 Derajat pertama yang berhubungan dengan salah satu di antara:
o Massa unilateral nervus III atau
o Dua dari yang berikut :
Neurofibroma, meningioma, glioma, schawannoma atau oapsitas sub kapsuler juvenile
posterior
Penyebab
 NF adalah kelainan neurogenetik autosmal dominan. Peningkatan konsentrasi aktivitas stimulasi
pertumbuhan syaraf dihubungkan dengan perkembangan NF. NF1 adalah kelainan dengan variable
ekspresi fenitipik. Beberapa pasien terjadi ekspresi kuteneus, sedang yang lain mengalami komplikasi
berat keganasan yang mengancam nyawa. Variasi berkembang dengan berjalannya waktu. Rata-rata
mutasi spontan 100X lebih besar disbanding gen lain dan diperkirakan memiliki kontribusi pada 30-50%
kasus NF
Laboraturium
Baru-baru ini analisa mutasi dengan teknik genetic canggih dimana keakuratannya 60-70% dalam
mendeteksi mutasi ini, bisa dilakukan pada NF1 dan NF2. namun jenis tes ini belum tersedia. Mungkin pada
tahun-tahun mendatang, analisa linkage atau analisa mutasi dapat tersedia untuk diagnosa prenatal pada bayi
yang beresiko.
Pemeriksaan MRI
MRI otak dan spina servikal dapat berguna pada pasien dengan NF1 khususnya gejala yang menandakan
adanya lesi. Pasien yang dicurigai menderita NF2 dianjurkan untuk MRI kepala pada dewasa muda.
Pemeriksaan lain
 Pemeriksaan wood lamp berguna pada pasien yang kulitnya sangat pucat untuk lebuh mudah
melihat macula café au lait
 Pemeriksaan slit lamp dianjurkan pada anak berusia lebih dari ^ tahun untuk mengkonfirmasi
adanya nodulus lisch
 Histology
 Evaluasi histology pada freckling aksila dan inguinal memperlihatkan peningkatan pigmentasi
sepanjang lapisan basal dermis dan adanya makromelanosom. Makromelanosom tidak selalu
ditemukan pada sindrom Albright. NF memiliki cirri nucleus bergelombang berbentuk spindle
dan stroma barmuncim yang longgar.
Perawat
Untuk NF, yang sering adalah pembedahan.
 Bila ukuran NF membesar dan menyebabkan rasa sakit, perlu dicurigai adanya perubahankearah
keganasan, eksisi atau biopsy perlu dilakukan
 Neuroma akustik dan tumor yang menyebakan tinnitus dan vertigo perlu dieksisi dangan hati-hati
 Tanda-tanda epilepsy perlu diselidiki dan tumor penyebab haru diangkat
Konsultasi
 Ortopedi harus terlibat dalam penatalaksanaan masalah seperti melengkungnya tibia dan
kyphoskoliosis
 Bedah pelastik dapat diseretakan untuk mengkoreksi deformitas khususnya pada wajah
 Pengawasan psikologis dan psikiatrik dapat diperlukan untuk memonitor kelainan bahasa dan
gangguan belajar
 Konseling genetic perlu disertakan pada perawatan pasien dengan penyakit ini karena
pertimbangan pola autosomal dominan NF yang diturunkan
Rawat jalan
 American Academy of Pediatric Committee on Genetics menganjurkan monitoring anak
dengan cara melakukan pemeriksaan fisik dan evaluasi ophtalmologi. Pemeriksaan audiologi
juga dilakukan sebelum anak berusia sekolah. Evaluasibahasa dan bicara juga perlu
dipertimbangkan pada setiap anak. Anak perlu diperiksa apakah terdapat scoliosis. Tekanan
darah diperiksakan setahun sekali
 Pasien harus terus dimonitor pertumbuhan, perubahan atau rasa sakit pada NF karena ini dapat
menjadi tanda kearah malignan. Biopsy haru dilakukan bila terdapat perubahan-perubahan
tersebut pada lesi
Komplikasi
Komplikasi yang serius selain perubahan keganasan relative jarang.
Prognosis
Prognosa bervariasi sesuai dengan sifat penyakit.
Edukasi pasien:
Perlu diberikan informasi mengenai support grup NF yang membantu dalam masalah psikologis yang
dihadapi sepanjang hidup.

Anda mungkin juga menyukai