FEBRUARI 2021
OLEH:
M. Mirza Aditya Hakim
PEMBIMBING:
Prof. Dr. dr. Syahrul Rauf, Sp.OG(K)
1
DAFTAR ISI
Halaman Sampul.......................................................................................... 1
Daftar Isi...................................................................................................... 2
Pendahuluan................................................................................................. 3
Tinjauan Pustaka.......................................................................................... 6
1. Anatomi dan Fisiologi Pelvis....................................................... 6
2. Epidemiologi................................................................................ 9
3. Faktor Risiko................................................................................ 10
4. Patofisiologi................................................................................. 12
5. Manifestasi Klinis dan Diagnosis................................................ 16
6 Grading.......................................................................................... 24
7. Tatalaksana dan Pencegaahan………………………………….. 24
Kesimpulan……………………………………………………………….. 28
Daftar Pustaka…………………………………………………………….. 29
2
PENDAHULUAN
seperempat dari semua persalinan. Komplikasi yang paling sering terjadi dari operasi
caesar adalah perdarahan intra‐ dan pasca operasi, komplikasi luka dan tromboemboli.
Risiko jangka panjang setelah operasi caesar kurang terdokumentasi dengan baik, tetapi
hal ini mencakup masalah menstruasi, adhesi intrauterin, plasenta yang melekat secara
tidak normal dan kehamilan ektopik pada skar operasi caesar. Nyeri pelvis juga dapat
terjadi setelah operasi caesar dan biasanya disebabkan oleh adhesi pelvis pasca operasi.
Prevalensi adhesi pelvis setelah operasi ginekologi sulit untuk diteliti. Beberapa
ditemukan sangat umum terjadi pada pasien dengan riwayat operasi atau proses
intraoperatif yang berat selama operasi berikutnya jika dilakukan adhesiolisis. Untuk
meminimalkan risiko komplikasi ini, adhesiolysis hanya boleh dilakukan oleh ahli bedah
secara keseluruhan sangat penting untuk perawatan bedah selanjutnya. Strategi anti-
abdominopelvic.2 Prevalensi dan dampak klinis dari adhesi pelvis setelah operasi caesar
tidak terdokumentasi dengan baik. Studi pada wanita yang menjalani operasi caesar
3
berulang menunjukkan bahwa adhesi sering muncul tetapi beberapa penelitian tidak
menghubungkan temuannya dengan gejala klinis sehingga banyak yang tidak terdeteksi.1
ginekologi (dan operasi di tempat lain di seluruh tubuh). Meskipun outcome yang
dihasilkan bervariasi tergantung pada tempat pembedahan, hal ini mencakup obstruksi
usus, nyeri, peningkatan laju cedera pada prosedur pembedahan berikutnya, gangguan
dengan fungsi organ fisiologis dan mekanis, serta peningkatan waktu operasi berulang
dengan peningkatan biaya terkait. Saat ini, pemahaman mengenai anatomi dan
dengan USG dalam kombinasi dengan manipulasi mekanis, pendekatan seperti ini belum
diproduksi ulang secara luas dan tidak memberikan identifikasi yang komprehensif dari
lokasi, kejadian, dan karakteristik adhesi. Dengan demikian, saat ini visualisasi langsung
dari adhesi pada saat prosedur bedah kedua diperlukan untuk mereproduksi dan secara
adhesi dapat diberikan bersamaan guna mengurangi perkembangan adhesi pasca operasi.
guna menurunkan risiko adhesi pasca operasi. Optimalisasi pengurangan adhesi pasca
4
referat ini akan dibahas secara komprehensif mengenai adhesi pelvis dengan fokus
5
TINJAUAN PUSTAKA
Embriologi
Tulang pelvis terbentuk dari mesenkim embrionik. Pada akhir minggu keempat
perkembangan, sel sklerotom berubah menjadi polimorf dan membentuk jaringan yang
terorganisir, yang disebut mesenkim. Mesenkim merupakan jaringan ikat embrionik. Sel
dapat menjadi kondroblas, fibroblas, atau osteoblas (sel pembentuk tulang). Kapasitas
Pelvis memiliki banyak fungsi yang berbeda, dengan fungsi utama yaitu sebagai
dukungan struktural dan stabilitas untuk gerakan termasuk berdiri, berjalan, dan berlari.
Struktur pelvis yang berbeda memungkinkan berbagai fungsi khusus untuk sub-struktur
pelvis itu. Oleh karena itu, penting untuk memahami setiap struktur pelvis secara
keseluruhan. 5,6
Tulang pelvis
Tulang pelvis memiliki banyak fungsi struktural. Susunan ligamen dan tulang di
dalam pelvis memungkinkan fungsi seperti menopang berat individu, menstabilkan dan
6
memungkinkan untuk dapat duduk dan berdiri saat kaki berada di posisi inferior.
Struktur tulang juga menawarkan perlindungan ke pelvis dan abdomen bagian dalam
serta struktur dan jaringan lain seperti organ reproduksi eksternal. Tulang pelvis dapat
dibagi dan dilihat menjadi 2 bagian yaitu anterior dan posterior. Bagian anterior disebut
pelvic girdle yang terdiri dari pubis, iskium, dan ilium. Bagian anterior terhubung secara
posterior ke tulang belakang pelvis. Pelvis posterior terdiri dari tulang ekor dan sakrum.
Tulang pubis, tulang iskia, dan tulang iliaka bergabung bersama di setiap sisi dan disebut
tulang innominate. Jadi terdapat 2 tulang innominate, satu di sisi kanan dan satu lagi di
sisi kiri. Dua bagian pelvis membentuk cincin pelvis. Struktur cincin pelvis terdiri dari
sakrum dan dua tulang innominate, kestabilan ini bergantung pada kuatnya struktur
sendi sakroiliaka dengan sakrum, dan 1 simfisis pubis di anterior. Sendi sakrokoksigeal
adalah sendi penghubung antara sakrum dan tulang ekor. Sendi sakroiliaka adalah sendi
terkuat di tubuh. Simfisis pubis adalah sendi tulang rawan dengan tulang rawan di
antaranya. Simfisis sakrokoksigeal adalah sendi yang sedikit bergerak antara sakrum dan
tulang ekor. Fungsi sendi ini cenderung menurun seiring bertambahnya usia. Terdapat
garis di antara 2 tuberositas iskiadika yang membagi ruang menjadi dua segitiga.
Segitiga anterior disebut segitiga urogenital. Segitiga posterior disebut segitiga anal.
7
Segitiga anterior berisi penis pada pria, dan posterior berisi anus pada pria dan wanita.
bawah.
- Tipe II: Tulang ekor ini memiliki kelengkungan yang lebih dalam dengan
Rongga Pelvis
Rongga di dalam tulang pelvis disebut rongga pelvis. Di bagian atas, rongga
pelvis bersambung dengan rongga perut. Di bagian inferior, rongga pelvis dibatasi oleh
dasar pelvis. Rongga pelvis dibagi menjadi dua bagian yaitu greater pelvis dan lesser
pelvis. Greater pelvis adalah bagian abdomen, sehingga disebut juga pelvis palsu. Lesser
pelvis adalah bagian dari pelvis, sehingga disebut juga pelvis sejati. Sakrum dan tulang
ekor terletak di posterior. Rongga pelvis berfungsi sebagai tempat kandung kemih, usus
besar, organ reproduksi bagian dalam, dan rektum. Rongga pelvis juga menampung
struktur dan jaringan internal lainnya termasuk otot, arteri, vena, saraf, dan jaringan ikat
pelvis.7,8
8
Lantai Pelvis
Dasar panggul terdiri dari otot, ligamen, dan fasia yang berfungsi sebagai
struktur yang menopang kandung kemih, organ reproduksi, dan rektum. Bagian jaringan
lunak dari dasar panggul ditutupi oleh tulang panggul, dibentuk oleh 2 tulang innominate
yang terbuat dari ilium, iskium, dan pubis, yang berartikulasi dengan sakrum di posterior
dan satu sama lain di anterior (Gbr. 1). Memanjang dari sakrum adalah tulang ekor, yang
bertindak sebagai jangkar ligamen. Otot dasar panggul berfungsi untuk menopang
organ-organ panggul melalui kontraksi dan relaksasi yang terkoordinasi. Dasar panggul
memberikan dukungan aktif melalui kontraksi otot yang konstan dan dukungan pasif
dari jaringan ikat dan fasia sekitarnya. Dengan peningkatan tekanan intraabdominal, otot
dasar panggul berkontraksi dimana tindakan ini penting untuk menjaga kontinuitas.
9
Gambar 1. Tulang pelvis terdiri dari 2 tulang innominata dan sakrum, yang dihubungkan
2 Epidemiologi
karena, hingga saat ini, hal itu mengharuskan wanita untuk menjalani operasi berulang.
wanita setelah operasi abdomen terbuka atau laparoskopi. 1 Beberapa penelitian telah
menyatakan peningkatan insiden adhesi setelah persalinan caesar karena variabel teknik
yang digunakan.10 Penelitian oleh Moro et al menjelaskan bahwa adhesi lebih sering
terjadi pada wanita dengan riwayat operasi caesar multipel dan lebih sering terjadi pada
wanita yang telah menjalani operasi pelvis tambahan, seperti pengobatan endometriosis.
Adhesi antara uterus dan dinding anterior abdomen secara signifikan terkait dengan
operasi terbuka awal pada tahun 1996, dengan fokus pada operasi ginekologi dan
abdominal bagian bawah. Penelitian ini juga bertujuan untuk mengatasi beban kejadian
terbuka. Untuk menentukan apakah beban ini telah berubah dari waktu ke waktu, studi
tersebut membandingkan kelompok insiden operasi untuk tahun 1996, 1997 dan 1998.
10
Tingkat penerimaan kembali terkait adhesi setelah operasi ginekologi terbuka dan
falopi, dan uterus. Karena kode bedah untuk prosedur laparoskopi tidak semaju untuk
prosedur berisiko rendah, sedang dan tinggi. Risiko rendah yaitu pasien yang menjalani
sterilisasi tuba, risiko tinggi termasuk adhesiolisis dan prosedur drainase kista ovarium.
(termasuk prosedur tuba lainnya) yang dianggap panel SCAR-2 sebagai prosedur
adhesiogenik. Pada kohort tahun 1996, lebih dari 7% pasien yang menjalani operasi
ginekologi terbuka dirawat kembali dalam waktu 2 tahun untuk kejadian yang secara
langsung atau mungkin terkait dengan adhesi. Namun, yang lebih memprihatinkan
adalah temuan bahwa 16,4% pasien yang menjalani laparoskopi risiko tinggi juga
diterima kembali dalam waktu 2 tahun dan pola ini diulangi dalam tiga kohort
penelitian. Studi SCAR-2 menegaskan bahwa operasi ovarium terbuka dan adhesiolisis
laparoskopi dikaitkan dengan risiko tinggi untuk perawatan ulang terkait adhesi. Telah
disarankan bahwa laparoskopi memiliki risiko adhesi yang lebih rendah dibandingkan
laparotomi.11
3 Faktor risiko
11
Adhesi dapat terjadi di situs yang tidak memiliki adhesi sebelumnya (de novo)
atau di situs yang sudah terdapat adhesi (reformasi). Adhesi de novo dapat terbentuk di
tempat pembedahan atau di tempat yang jauh dari lokasi pembedahan. Penelitian
kemungkinan reformasi adhesi yang lebih besar. Karena faktor-faktor ini menekan
adhesi yang terbentuk kembali cenderung lebih padat dan lebih berat dibandingkan
adhesi. Menzies dan Ellis menemukan bahwa 93% pasien yang menjalani laparotomi
melaporkan adhesi pada 83% pasien yang sebelumnya telah menjalani operasi
dibandingkan dengan hanya 7% pasien yang menjalani operasi awal. Setiap laparotomi
meningkatkan risiko adhesi de novo dan mendorong reformasi adhesi. Dari pasien yang
tebal, vaskular) atau grade 4 (padat, usus besar berisiko cedera) dibandingkan dengan
hanya 1% pasien yang menjalani operasi awal, menunjukkan bahwa pencegahan primer
12
- Manipulasi jaringan yang kasar selama operasi.
Iskemia jaringan dapat terjadi akibat penanganan jaringan yang berlebihan atau
kasar, pengikatan, penjahitan atau meninggalkan luka tetap pada peritoneum. Hal ini
(yang berada di jaringan peritoneal) dan stimulasi angiogenesis dari area non-iskemik ke
area yang tidak memiliki suplai darah yang memadai. Benda asing reaktif umum selama
operasi meliputi jahitan, bedak talk dari sarung tangan bedah, masker atau bantalan
laparotomi. Benda asing seperti ini dapat menyebabkan pembentukan massa fibrin yang
berlebihan pada nidus, yang dapat menyebabkan pembentukan adhesi. Namun, adhesi
lebih kecil kemungkinannya untuk berkembang dengan adanya benda asing tanpa cedera
adhesi, meskipun peran sebenarnya tidak dipahami dengan baik. Secara umum, darah
iskemia jaringan.11,12
4 Patofisiologi
13
Selama beberapa dekade terakhir, terdapat sejumlah besar bukti untuk
mendukung hipotesis bahwa hipoksia, sebagai akibat dari cedera jaringan, adalah faktor
pemicu yang mengarah pada pengembangan adhesi pasca operasi. Hipoksia memicu
adaptasi kritis yang memungkinkan kelangsungan hidup sel, termasuk supresi apoptosis,
metabolisme glukosa yang berubah dan fenotipe angiogenik, yang secara kolektif
memainkan peran penting dalam patogenesis adhesi pasca operasi. Untuk mendukung
radikal bebas yang signifikan, baik melalui peningkatan pembentukan spesies oksigen
reaktif (ROS) atau dengan mengurangi uptake ROS. Peningkatan produksi ROS terkait
dan matriks ekstraseluler serta perubahan genotipe seperti perubahan urutan DNA dari
NAPH oksidase. Setelah peritoneum rusak, kaskade koagulasi mulai bergerak. Kaskade
koagulasi melibatkan konversi serangkaian proenzim tidak aktif menjadi enzim aktif,
yang pada akhirnya menghasilkan pembentukan gumpalan. Jalur intrinsik dan ekstrinsik
mengarah pada aktivasi faktor X, yang kemudian memicu konversi protrombin (faktor
II) menjadi trombin (faktor IIa). Trombin berfungsi sebagai enzim akhir dari kaskade ini
dan mengubah fibrinogen menjadi monomer fibrin. Monomer fibrin ini kemudian
14
berpolimerisasi untuk membentuk gumpalan fibrin yang tidak larut. Kaskade ini
merupakan respons hemostatik normal terhadap cedera jaringan dan ditargetkan untuk
perbaikan kerusakan. Namun, jika dua permukaan peritoneum yang rusak bersentuhan
satu sama lain, dapat terjadi 'fusi' untuk membentuk koneksi, seperti sebuah adhesi.
Dalam sistem fibrinolitik, plasminogen diubah menjadi bentuk aktifnya, plasmin, oleh
aktivator plasminogen jaringan (tPA) atau aktivator plasminogen jenis urokinase (uPA).
Peran Plasmin adalah untuk mendegradasi serat menjadi produk degradasi serat (FDP).
Untuk mengatasi proses ini, plasminogen activator inhibitor-1 (PAI-1) dan PAI-2
berfungsi sebagai inhibitor tPA. Selain itu, inhibitor fibrinolisis yang dapat
memecah fibrin menjadi FDP mengakibatkan pengendapan kolagen yang berujung pada
menunjukkan penurunan yang nyata dari rasio ekspresi mRNA tPA / PAI-1 serta
penurunan aktivitas tPA sebagai respons terhadap hipoksia jaringan. Dengan demikian
kemungkinan bahwa kumpulan serat di situs bedah akan menjalani fibrinolisis sangat
berkurang. Sistem inflamasi juga memainkan peran penting dalam regulasi hemostasis
dan, dengan demikian, inflamasi sekunder akibat pembedahan atau cedera jaringan
15
lainnya berperan utama dalam patogenesis pembentukan adhesif pasca bedah. Sitokin
deposisi fibrin pada pasien bedah. Hubungan ini telah diperkuat lebih lanjut oleh
penelitian yang menemukan korelasi yang signifikan antara tingkat pembentukan adhesi
dan kadar plasma pra operasi dari PAI-1 dan C-reactive peptide (CRP). Penelitian
menjelaskan bahwa inflamasi kronis berperan dalam proses pembentukan adhesi dan
dapat dilihat proses yang saling berhubungan dari peradangan, hipoksia, koagulasi, dan
Penelitian lainnya pada hewan menunjukkan korelasi yang kuat antara keadaan
16
Gambar 2. Inflamasi, hipoksia, koagulasi dan fibrinolisis serta perannya dalam
Namun sampai saat ini tidak ada biomarker yang tersedia untuk memprediksi kejadian
atau tingkat dan keparahan adhesi sebelum operasi. Selain itu, tidak ada penanda serum
atau studi pencitraan yang secara umum dianggap dapat memprediksi insiden,
keparahan, atau luasnya adhesi. Pasca pembedahan, banyak adhesiv mungkin bersifat
asimtomatik atau dapat menyebabkan spektrum yang luas dari masalah klinis, seperti
17
obstruksi usus, nyeri pelvis kronis dan infertilitas. Beberapa kondisi memerlukan
readmisi ke rumah sakit dan seringkali operasi tambahan. Gejala yang dilaporkan
mencakup meteorismus, buang air besar tidak teratur, nyeri abdomen kronis, gangguan
pencernaan, penyumbatan usus dan sering gagal untuk dikaitkan dengan penyebabnya.16
untuk kemungkinan diagnosis adesif dengan adanya gejala yang disebutkan di atas. Di
sisi lain, gambaran klinis seperti penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan,
demam, dan keringat di malam hari merupakan manifestasi nonspesifik yang dapat
terjadi pada adhesi. Peningkatan bising usus, perkusi menunjukkan timpani (bila adhesi
menghalangi), dan nyeri tekan merupakan temuan umum dalam pemeriksaan fisik.
Namun seringkali pada pemeriksaan fisik tidak didapatkan temuan bermakna. Sampai
saat ini tidak ada pemeriksaan laboratorium khusus yang terkait dengan adhesi. Namun
Misalnya, peningkatan protein C-reaktif, anemia berat, atau kelainan pemeriksaan hati
(CT) scan atau magnetic resonance imaging (MRI). Adhesi dapat dideteksi (terlepas dari
proses penyakit primer) dalam pencitraan yang sama dengan penyakit primer tanpa
biaya tambahan, radiasi, atau efek samping pada pasien. Adhesi dapat dievaluasi dalam
hal morfologi, perluasan, dan kuantifikasi. Pengaruh adhesi pada dinding abdomen dan
18
struktur viseral dapat digambarkan dengan lebih baik, dibandingkan dengan visualisasi
langsung dari adhesi. Temuan dalam modalitas pencitraan ini cenderung berkorelasi
dengan laparoskopi pada tingkat yang berbeda-beda, tergantung pada jenis dan lokasi
adhesi dan juga pada efek sekunder pada struktur yang berdampingan. Pemeriksaan CT
dan MRI pra operasi berguna sebagai panduan dalam penatalaksanaan bedah non-invasif
untuk intervensi operasi dan prosedur laparoskopi. Diagnosis pencitraan dari adhesi juga
relevan secara klinis untuk menentukan penyebab gejala pasien, terutama pada pasien
dengan nyeri pelvis kronis. Diagnosis CT dan MRI dari adhesi peritoneal dapat
membantu dalam memutuskan pendekatan operasi (laparoskopi atau terbuka) dan dapat
memfasilitasi perencanaan pra operasi yang tepat. CT atau MRI pra operasi untuk
diperlukan adhesiolisis bedah. Deteksi adhesi peritoneum sering didasarkan pada tanda
tidak langsung pada CT dan MRI. Kontur luar organ panggul harus dievaluasi dengan
hati-hati. Panjang uterus dan permukaan uterus dapat memberikan petunjuk tentang
adanya adhesi [Gambar 3 & 4]. Temuan pita peritoneal atau struktur seperti lembaran
mungkin merupakan tanda langsung dari adhesi. Adhesi dapat berupa "tipis" atau tebal
"seperti pita" yang kontur viseral. Adhesi dapat berserat atau vaskularisasi dan dapat
menunjukkan enhancement pada CT atau MRI. CT dan MRI dapat menunjukkan adhesi
pelvis yang dalam, yang berhubungan dengan gambar laparoskopi [Gambar 5 & 6]. 18
19
Gambar 3. CT scan potongan sagital menunjukkan adhesi uterus yang disertai
20
Gambar 4. MRI Sagittal T2W menunjukkan adhesi kavum douglas. Gambaran kavum
meluas antara kista ovarium dan loop usus halus. Gambaran adhesi pada CT scan dan
21
Gambar 6. Pemeriksaan MRI potongan aksial menunjukkan kista ovarium bilateral
(Kissing ovaries).
Adhesi pelvis juga dapat dinilai dengan USG transvaginal. Adanya salah satu
temuan berikut ini dianggap menunjukkan kemungkinan adhesi pelvis: (i) kaburnya tepi
ovarium (margin), yang didefinisikan sebagai tidak adanya kontur ovarium yang tepat di
lebih dari tiga perempat ovarium; (ii) adhesi dari ovarium ke uterus, yang bertahan
dengan palpasi abdominal (fiksasi); (iii) augmentasi jarak normal ovarium dari probe
yang bertahan dengan palpasi abdominal (Gambar 7). Belum lama ini terdapat
22
sliding sign adalah pemeriksaan praoperasi yang berguna untuk wanita yang menjalani
operasi ginekologi dan dapat memprediksi kesulitan teknis. Adhesi pada kantong
vesikouterin didiagnosis jika kandung kemih tidak dapat dipisahkan dari aspek anterior
segmen bawah rahim, dan terdapat bukti jaringan hyperechoic padat di kantong
vesikouterine [Gambar 8a]. Adhesi ovarium didiagnosis ketika ovarium tidak dapat
digerakkan sama sekali baik dengan probe vagina ataupun memberikan tekanan di
didiagnosis dengan tidak adanya pergerakan antara uterus dan kolon rektosigmoid dan
dengan adanya jaringan hiperekoik yang tebal di septum rektovaginal [Gambar 8c].
Adhesi antara uterus dan dinding anterior abdomen didiagnosis jika tidak ada loop usus
Gambar 7. Pemeriksaan B-mode terkait adanya adhesi pelvis. Fiksasi ovarium (O) ke
uterus (U) (panel kiri), kaburnya tepi ovarium terkait dengan pembesaran jarak normal
23
Gambar 7. Pemeriksaan USG transvaginal untuk menilai kantung vesikouterine (a),
ovarium (b), dan kavum douglas (c). Teknik sliding pada USG dapat mendeteksi
2.6 Grading
Pada tahun 1982, Hulka menerbitkan klasifikasi prognostik setelah lima tahun
menjalani operasi untuk pasien infertil. Klasifikasinya didasarkan pada 2 faktor utama;
24
sejauh mana keterlibatan ovarium dan sifat adhesi, apakah filmy atau padat. Prognosis
paling buruk adalah pada pasien dengan adhesi padat yang menutupi lebih dari 50%
menerbitkan sistem penilaian adhesi yang lebih komprehensif untuk mengetahui tingkat
keparahan (0, tidak ada; 1, filmy, avaskular; 2, padat dan / atau vaskular; 3 , kohesif) dan
luas total luas atau panjang (0, tidak ada; 1< 25%; 2, 26-50%; 3,> 50%;). Namun, tidak
satu pun dari sistem ini yang telah divalidasi dengan hasil klinis.12
Saat ini tidak ada farmakoterapi yang efektif untuk adhesi pelvis. Pengobatan
empiris dan simptomatik seperti yang tersedia untuk dispepsia (misalnya simetikon,
proton pumb inhibitor, nortriptyline) sering kali dicoba tetapi memiliki efektivitas yang
bervariasi, tergantung pada sejauh mana gejala disebabkan oleh adhesi serta tingkat
dengan penyakit adhesif tidak akan meredakan nyeri dan jika ada, dapat menyebabkan
lebih banyak ketidaknyamanan. Polietilen glikol dapat berguna (bersama dengan diet
residu rendah). Untuk pasien dengan gejala seperti kram perut, muscle relaxant seperti
25
dipertimbangkan konsekuensi adhesi dari pendekatan bedah laparoskopi dan laparotomi.
Telah dinyatakan dalam literatur bahwa tingkat perkembangan adhesi setelah operasi
ginekologi adalah antara 55 dan 100 persen, terlepas dari metode pendekatan bedah.
tidak signifikan secara statistik. Perkembangan adhesi umum terjadi pada laparotomi dan
laparoskopi, namun tidak ada manfaat yang ditunjukkan secara konsisten dari
pada pasien dengan perlengketan. Dalam studi retrospektif yang dilakukan oleh Chan
dan Wood yang mencakup pasien dengan infertilitas, penyakit tuba, nyeri panggul
Laparotomi diagnostik telah dilakukan, dan pasien yang mengalami adhesi menjalani
adhesiolisis. Dalam kuesioner pasca operasi, dengan tingkat tanggapan 67,6%, para
nyeri perut kronis, dan 69,7% dispareunia; mereka juga melaporkan pengurangan
penelitian yang dilakukan oleh Sutton dan MacDonald menemukan bahwa 84% pasien
26
lainnya yang dilakukan oleh Steege dan Stout. Penelitian ini melaporkan bahwa 56%
kasus mengalami resolusi nyeri atau setidaknya penurunan nyeri lebih dari 50%. Pada
pasien yang didiagnosis dengan dispareunia, 70% mengalami resolusi nyeri atau
terbuka dengan adhesiolisis laparoskopi pada 123 wanita dengan nyeri pelvis kronis.
Setelah melewati lama masa tindak lanjut rata-rata 13,7 bulan, pereda nyeri tercatat pada
71% kasus bedah mikro, dan 61% kasus laparoskopi; 64% pasien dengan laparotomi
nyeri setelah 24 bulan masa tindak lanjut adalah 51%. Riwayat laparotomi sebelumnya
komplikasi. Dalam satu laporan, tingkat komplikasi minor adalah 5% hingga 11%, dan
tingkat komplikasi mayor adalah 0,1% hingga 2,3%. Komplikasi utama yang potensial
termasuk cedera vaskular, cedera saraf skiatik atau femoralis, perforasi, cedera kandung
kemih, cedera usus, dan cedera ureter.22 Semua ahli bedah harus menyadari risiko dan
konsekuensi dari adhesi pasca operasi dan cara untuk mencegah pembentukan adhesi
27
secara berlebihan
- Menggunakan bahan nonreaktif
dan aman
Pemilihan prosedur - Diutamakan laparoskopi
dibandingkan laparotomi
Agen penghilang adhesi - Icodextrin 4%
- Peritoneal instillates - Oxidized regenerated cellulose
(Interceed)
- Penghalang adhesi - Expanded polytetrafluoroethylene
(Gore-Tex)
- Hyaluronic acid –
carboxymethylcellulose (Seprafilm)
KESIMPULAN
adhesi setelah persalinan caesar karena variabel teknik yang digunakan. Inflamasi,
28
hipoksia, koagulasi dan fibrinolisis berperan dalam pengembangan formasi adhesi post-
operasi. Namun sampai saat ini tidak ada biomarker yang tersedia untuk memprediksi
kejadian atau tingkat dan keparahan adhesi sebelum operasi. Evaluasi adhesi dapat
resonance imaging (MRI). Pemeriksaan CT dan MRI pra operasi berguna sebagai
panduan dalam penatalaksanaan bedah non-invasif untuk intervensi operasi dan prosedur
laparoskop. Adhesi pelvis juga dapat dinilai dengan USG transvaginal. Belum lama ini
ultrasound sliding sign adalah pemeriksaan praoperasi yang berguna untuk wanita yang
menjalani operasi ginekologi dan dapat memprediksi kesulitan teknis. Saat ini tidak ada
farmakoterapi yang efektif untuk adhesi pelvis. Prosedur yang umum digunakan untuk
adhesi pelvis adalah adheliolisis. Pemahaman yang baik secara komprehensif mengenai
DAFTAR PUSTAKA
29
2. Herrmann A, De Wilde RL. Adhesions are the major cause of complications in
doi:10.1016/j.bpobgyn.2015.10.010
2016;106(5):994-997.e1. doi:10.1016/j.fertnstert.2016.08.029
2019;32(3):396-407. doi:10.1002/ca.23328
doi:10.1186/s13048-018-0473-1
https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/30571008/
30
8. Lung K, Lui F. Anatomy, Abdomen and Pelvis, Superior Gluteal Nerve.
https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/30571029/
9. Eickmeyer SM. Anatomy and Physiology of the Pelvic Floor. Phys Med Rehabil
10. Dawood AS, Elgergawy AE. Incidence and sites of pelvic adhesions in women
1163. doi:10.1080/01443615.2018.1460583
11. Parker MC. Epidemiology of adhesions: The burden. In: Hospital Medicine. Vol
https://www.gfmer.ch/International_activities_En/El_Mowafi/Pelvic_adhesions.ht
13. Maciver AH, McCall M, James Shapiro AM. Intra-abdominal adhesions: Cellular
doi:10.1016/j.ijsu.2011.08.008
14. Fortin CN, Saed GM, Diamond MP. Predisposing factors to post-operative
31
adhesion development. Hum Reprod Update. 2014;21(4):536-551.
doi:10.1093/humupd/dmv021
and Current Preventive Techniques OPEN ACCESS. Vol 1.; 2018. Accessed
doi:10.1016/j.amsu.2017.01.021
18. Ghonge NP, Ghonge SD. Computed tomography and magnetic resonance
3026.134400
doi:10.4103/1658-354X.203053
32
20. Guerriero S, Ajossa S, Lai MP, Mais V, Paoletti AM, Melis GB. Transvaginal
1997;12(12):2649-2653. doi:10.1093/humrep/12.12.2649
22. Hammoud A, Gago LA, Diamond MP. Adhesions in patients with chronic pelvic
doi:10.1016/j.fertnstert.2004.07.948
33