Anda di halaman 1dari 33

REFERAT

FEBRUARI 2021

DETEKSI PRA OPERASI PERLENGKETAN DI PELVIK


DAN CARA PENANGANAN DAN PENCEGAHAN

OLEH:
M. Mirza Aditya Hakim
PEMBIMBING:
Prof. Dr. dr. Syahrul Rauf, Sp.OG(K)

DIBAWAKAN DALAM RANGKA MENYELESAIKAN TUGAS


DIVISI ONKOLOGI GINEKOLOGI
DEPARTEMEN OBSTETRI DAN GINEKOLOGI
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2021

1
DAFTAR ISI

Halaman Sampul.......................................................................................... 1
Daftar Isi...................................................................................................... 2
Pendahuluan................................................................................................. 3
Tinjauan Pustaka.......................................................................................... 6
1. Anatomi dan Fisiologi Pelvis....................................................... 6
2. Epidemiologi................................................................................ 9
3. Faktor Risiko................................................................................ 10
4. Patofisiologi................................................................................. 12
5. Manifestasi Klinis dan Diagnosis................................................ 16
6 Grading.......................................................................................... 24
7. Tatalaksana dan Pencegaahan………………………………….. 24
Kesimpulan……………………………………………………………….. 28
Daftar Pustaka…………………………………………………………….. 29

2
PENDAHULUAN

Insiden operasi caesar meningkat di seluruh dunia, terhitung lebih dari

seperempat dari semua persalinan. Komplikasi yang paling sering terjadi dari operasi

caesar adalah perdarahan intra‐ dan pasca operasi, komplikasi luka dan tromboemboli.

Risiko jangka panjang setelah operasi caesar kurang terdokumentasi dengan baik, tetapi

hal ini mencakup masalah menstruasi, adhesi intrauterin, plasenta yang melekat secara

tidak normal dan kehamilan ektopik pada skar operasi caesar. Nyeri pelvis juga dapat

terjadi setelah operasi caesar dan biasanya disebabkan oleh adhesi pelvis pasca operasi.

Prevalensi adhesi pelvis setelah operasi ginekologi sulit untuk diteliti. Beberapa

penelitian observasi telah melaporkan adanya adhesi intraperitoneal pada 30-100%

wanita setelah operasi abdomen terbuka atau laparoskopi.1 Pembentukan adhesi

ditemukan sangat umum terjadi pada pasien dengan riwayat operasi atau proses

inflamasi peritoneal. Pasien-pasien ini berisiko tinggi mengalami komplikasi

intraoperatif yang berat selama operasi berikutnya jika dilakukan adhesiolisis. Untuk

meminimalkan risiko komplikasi ini, adhesiolysis hanya boleh dilakukan oleh ahli bedah

berpengalaman, dan strategi intraoperatif harus diterapkan. Penurunan insiden adhesi

secara keseluruhan sangat penting untuk perawatan bedah selanjutnya. Strategi anti-

adhesi harus diadopsi untuk mencegah terulangnya adhesi setelah operasi

abdominopelvic.2 Prevalensi dan dampak klinis dari adhesi pelvis setelah operasi caesar

tidak terdokumentasi dengan baik. Studi pada wanita yang menjalani operasi caesar

3
berulang menunjukkan bahwa adhesi sering muncul tetapi beberapa penelitian tidak

menghubungkan temuannya dengan gejala klinis sehingga banyak yang tidak terdeteksi.1

Perkembangan adhesi pasca operasi merupakan komplikasi utama dari operasi

ginekologi (dan operasi di tempat lain di seluruh tubuh). Meskipun outcome yang

dihasilkan bervariasi tergantung pada tempat pembedahan, hal ini mencakup obstruksi

usus, nyeri, peningkatan laju cedera pada prosedur pembedahan berikutnya, gangguan

dengan fungsi organ fisiologis dan mekanis, serta peningkatan waktu operasi berulang

dengan peningkatan biaya terkait. Saat ini, pemahaman mengenai anatomi dan

karakteristik adhesi masih terbatas. Beberapa penelitian menggunakan biomarker atau

studi pencitraan. Meskipun beberapa kelompok telah melaporkan identifikasi adhesi

dengan USG dalam kombinasi dengan manipulasi mekanis, pendekatan seperti ini belum

diproduksi ulang secara luas dan tidak memberikan identifikasi yang komprehensif dari

lokasi, kejadian, dan karakteristik adhesi. Dengan demikian, saat ini visualisasi langsung

dari adhesi pada saat prosedur bedah kedua diperlukan untuk mereproduksi dan secara

akurat mengkarakterisasi perkembangan adhesi pasca operasi. Penerapan adjuvan anti-

adhesi dapat diberikan bersamaan guna mengurangi perkembangan adhesi pasca operasi.

Peningkatan pemahaman tentang patofisiologi perkembangan adhesi penting diketahui

guna menurunkan risiko adhesi pasca operasi. Optimalisasi pengurangan adhesi pasca

operasi kemungkinan akan membutuhkan identifikasi. Diagnosis yang cermat dan

dipersonalisasi pada setiap individu, dapat meningkatkan outcome pascaoperasi.3 Dalam

4
referat ini akan dibahas secara komprehensif mengenai adhesi pelvis dengan fokus

diagnosis dan penatalaksanaan.

5
TINJAUAN PUSTAKA

1 Anatomi dan fisiologi pelvis

Embriologi

Tulang pelvis terbentuk dari mesenkim embrionik. Pada akhir minggu keempat

perkembangan, sel sklerotom berubah menjadi polimorf dan membentuk jaringan yang

terorganisir, yang disebut mesenkim. Mesenkim merupakan jaringan ikat embrionik. Sel

mesenkim biasanya bermigrasi dan berdiferensiasi dengan berbagai cara. Mesenkim

dapat menjadi kondroblas, fibroblas, atau osteoblas (sel pembentuk tulang). Kapasitas

mesenkim pembentuk tulang meluas hingga lapisan parietal mesoderm. Lapisan

mesodermal ini memunculkan tulang pelvis, tulang dada, dan tungkai.4

Pelvis memiliki banyak fungsi yang berbeda, dengan fungsi utama yaitu sebagai

dukungan struktural dan stabilitas untuk gerakan termasuk berdiri, berjalan, dan berlari.

Struktur pelvis yang berbeda memungkinkan berbagai fungsi khusus untuk sub-struktur

pelvis itu. Oleh karena itu, penting untuk memahami setiap struktur pelvis secara

keseluruhan. 5,6

Tulang pelvis

Tulang pelvis memiliki banyak fungsi struktural. Susunan ligamen dan tulang di

dalam pelvis memungkinkan fungsi seperti menopang berat individu, menstabilkan dan

6
memungkinkan untuk dapat duduk dan berdiri saat kaki berada di posisi inferior.

Struktur tulang juga menawarkan perlindungan ke pelvis dan abdomen bagian dalam

serta struktur dan jaringan lain seperti organ reproduksi eksternal. Tulang pelvis dapat

dibagi dan dilihat menjadi 2 bagian yaitu anterior dan posterior. Bagian anterior disebut

pelvic girdle yang terdiri dari pubis, iskium, dan ilium. Bagian anterior terhubung secara

posterior ke tulang belakang pelvis. Pelvis posterior terdiri dari tulang ekor dan sakrum.

Tulang pubis, tulang iskia, dan tulang iliaka bergabung bersama di setiap sisi dan disebut

tulang innominate. Jadi terdapat 2 tulang innominate, satu di sisi kanan dan satu lagi di

sisi kiri. Dua bagian pelvis membentuk cincin pelvis. Struktur cincin pelvis terdiri dari

sakrum dan dua tulang innominate, kestabilan ini bergantung pada kuatnya struktur

ligamen sekitarnya. Sebagian besar struktur neurovaskular terletak di posterior.5,6

Tulang pelvis membuat 4 sendi pelvis. Satu sendi sakrokoksigeal di posterior, 2

sendi sakroiliaka dengan sakrum, dan 1 simfisis pubis di anterior. Sendi sakrokoksigeal

adalah sendi penghubung antara sakrum dan tulang ekor. Sendi sakroiliaka adalah sendi

terkuat di tubuh. Simfisis pubis adalah sendi tulang rawan dengan tulang rawan di

antaranya. Simfisis sakrokoksigeal adalah sendi yang sedikit bergerak antara sakrum dan

tulang ekor. Fungsi sendi ini cenderung menurun seiring bertambahnya usia. Terdapat

garis di antara 2 tuberositas iskiadika yang membagi ruang menjadi dua segitiga.

Segitiga anterior disebut segitiga urogenital. Segitiga posterior disebut segitiga anal.

7
Segitiga anterior berisi penis pada pria, dan posterior berisi anus pada pria dan wanita.

Terdapat 4 jenis tulang ekor:

- Tipe I: Tulang ekor ini melengkung ke depan dengan puncaknya menghadap ke

bawah.

- Tipe II: Tulang ekor ini memiliki kelengkungan yang lebih dalam dengan

puncaknya menghadap ke depan.

- Tipe III: Tulang ekor ini miring ke depan dengan tajam.

- Tipe IV: Tulang ekor ini disubluksasi di sendi sakrokoksigeal.5,6

Rongga Pelvis

Rongga di dalam tulang pelvis disebut rongga pelvis. Di bagian atas, rongga

pelvis bersambung dengan rongga perut. Di bagian inferior, rongga pelvis dibatasi oleh

dasar pelvis. Rongga pelvis dibagi menjadi dua bagian yaitu greater pelvis dan lesser

pelvis. Greater pelvis adalah bagian abdomen, sehingga disebut juga pelvis palsu. Lesser

pelvis adalah bagian dari pelvis, sehingga disebut juga pelvis sejati. Sakrum dan tulang

ekor terletak di posterior. Rongga pelvis berfungsi sebagai tempat kandung kemih, usus

besar, organ reproduksi bagian dalam, dan rektum. Rongga pelvis juga menampung

struktur dan jaringan internal lainnya termasuk otot, arteri, vena, saraf, dan jaringan ikat

pelvis.7,8

8
Lantai Pelvis

Dasar panggul terdiri dari otot, ligamen, dan fasia yang berfungsi sebagai

struktur yang menopang kandung kemih, organ reproduksi, dan rektum. Bagian jaringan

lunak dari dasar panggul ditutupi oleh tulang panggul, dibentuk oleh 2 tulang innominate

yang terbuat dari ilium, iskium, dan pubis, yang berartikulasi dengan sakrum di posterior

dan satu sama lain di anterior (Gbr. 1). Memanjang dari sakrum adalah tulang ekor, yang

bertindak sebagai jangkar ligamen. Otot dasar panggul berfungsi untuk menopang

organ-organ panggul melalui kontraksi dan relaksasi yang terkoordinasi. Dasar panggul

memberikan dukungan aktif melalui kontraksi otot yang konstan dan dukungan pasif

dari jaringan ikat dan fasia sekitarnya. Dengan peningkatan tekanan intraabdominal, otot

dasar panggul berkontraksi dimana tindakan ini penting untuk menjaga kontinuitas.

Relaksasi dasar panggul terjadi selama proses berkemih dan defekasi.9

9
Gambar 1. Tulang pelvis terdiri dari 2 tulang innominata dan sakrum, yang dihubungkan

dengan 2 sendi sakroiliaka posterior dan 1 sendi simfisis pubis anterior.

2 Epidemiologi

Prevalensi adhesi panggul setelah operasi ginekologi sulit untuk ditentukan

karena, hingga saat ini, hal itu mengharuskan wanita untuk menjalani operasi berulang.

Beberapa penelitian telah melaporkan adanya adhesi intraperitoneal pada 30 - 100%

wanita setelah operasi abdomen terbuka atau laparoskopi. 1 Beberapa penelitian telah

menyatakan peningkatan insiden adhesi setelah persalinan caesar karena variabel teknik

yang digunakan.10 Penelitian oleh Moro et al menjelaskan bahwa adhesi lebih sering

terjadi pada wanita dengan riwayat operasi caesar multipel dan lebih sering terjadi pada

wanita yang telah menjalani operasi pelvis tambahan, seperti pengobatan endometriosis.

Adhesi antara uterus dan dinding anterior abdomen secara signifikan terkait dengan

riwayat infeksi luka pasca operasi sebelumnya.1

Penelitian SCAR-2 dilakukan untuk menilai kembali beban adhesi setelah

operasi terbuka awal pada tahun 1996, dengan fokus pada operasi ginekologi dan

abdominal bagian bawah. Penelitian ini juga bertujuan untuk mengatasi beban kejadian

terkait adhesi setelah operasi laparoskopi dan membandingkannya dengan operasi

terbuka. Untuk menentukan apakah beban ini telah berubah dari waktu ke waktu, studi

tersebut membandingkan kelompok insiden operasi untuk tahun 1996, 1997 dan 1998.

10
Tingkat penerimaan kembali terkait adhesi setelah operasi ginekologi terbuka dan

laparoskopi dinilai. Pasien yang menjalani prosedur ginekologi terbuka awal

dikategorikan ke dalam kelompok yang menjalani pembedahan pada ovarium, tuba

falopi, dan uterus. Karena kode bedah untuk prosedur laparoskopi tidak semaju untuk

operasi terbuka, pasien yang menjalani laparoskopi ginekologi dikategorikan ke dalam

prosedur berisiko rendah, sedang dan tinggi. Risiko rendah yaitu pasien yang menjalani

sterilisasi tuba, risiko tinggi termasuk adhesiolisis dan prosedur drainase kista ovarium.

Risiko menengah mencakup semua laparoskopi terapeutik dan diagnostik lainnya

(termasuk prosedur tuba lainnya) yang dianggap panel SCAR-2 sebagai prosedur

adhesiogenik. Pada kohort tahun 1996, lebih dari 7% pasien yang menjalani operasi

ginekologi terbuka dirawat kembali dalam waktu 2 tahun untuk kejadian yang secara

langsung atau mungkin terkait dengan adhesi. Namun, yang lebih memprihatinkan

adalah temuan bahwa 16,4% pasien yang menjalani laparoskopi risiko tinggi juga

diterima kembali dalam waktu 2 tahun dan pola ini diulangi dalam tiga kohort

penelitian. Studi SCAR-2 menegaskan bahwa operasi ovarium terbuka dan adhesiolisis

laparoskopi dikaitkan dengan risiko tinggi untuk perawatan ulang terkait adhesi. Telah

disarankan bahwa laparoskopi memiliki risiko adhesi yang lebih rendah dibandingkan

laparotomi.11

3 Faktor risiko

11
Adhesi dapat terjadi di situs yang tidak memiliki adhesi sebelumnya (de novo)

atau di situs yang sudah terdapat adhesi (reformasi). Adhesi de novo dapat terbentuk di

tempat pembedahan atau di tempat yang jauh dari lokasi pembedahan. Penelitian

menunjukkan bahwa, dibandingkan dengan jaringan peritoneum normal, jaringan

adhesif mengandung tingkat faktor pertumbuhan yang lebih tinggi, menunjukkan

kemungkinan reformasi adhesi yang lebih besar. Karena faktor-faktor ini menekan

aktivitas fibriolitik dan menyebabkan fibrosis jaringan, tidak mengherankan bahwa

adhesi yang terbentuk kembali cenderung lebih padat dan lebih berat dibandingkan

adhesi de novo. Laparotomi sebelumnya merupakan faktor risiko utama perkembangan

adhesi. Menzies dan Ellis menemukan bahwa 93% pasien yang menjalani laparotomi

mengembangkan adhesi yang disebabkan oleh operasi terbuka sebelumnya. Beck et al

melaporkan adhesi pada 83% pasien yang sebelumnya telah menjalani operasi

dibandingkan dengan hanya 7% pasien yang menjalani operasi awal. Setiap laparotomi

meningkatkan risiko adhesi de novo dan mendorong reformasi adhesi. Dari pasien yang

telah menjalani operasi sebelumnya, 46% menunjukkan perlekatan grade 3 (ekstensif,

tebal, vaskular) atau grade 4 (padat, usus besar berisiko cedera) dibandingkan dengan

hanya 1% pasien yang menjalani operasi awal, menunjukkan bahwa pencegahan primer

lebih baik dibandingkan mengobati.11,12 Faktor risiko lain mencakup :

- Infeksi intra abdomen.

- Hipoksia atau iskemia jaringan.

12
- Manipulasi jaringan yang kasar selama operasi.

- Kehadiran benda asing reaktif.

- Adanya darah intraperitoneal.

- Diseksi adhesi sebelumnya.

Iskemia jaringan dapat terjadi akibat penanganan jaringan yang berlebihan atau

kasar, pengikatan, penjahitan atau meninggalkan luka tetap pada peritoneum. Hal ini

dapat menyebabkan pembentukan adhesi melalui penghambatan aktivitas fibrinolitik

(yang berada di jaringan peritoneal) dan stimulasi angiogenesis dari area non-iskemik ke

area yang tidak memiliki suplai darah yang memadai. Benda asing reaktif umum selama

operasi meliputi jahitan, bedak talk dari sarung tangan bedah, masker atau bantalan

laparotomi. Benda asing seperti ini dapat menyebabkan pembentukan massa fibrin yang

berlebihan pada nidus, yang dapat menyebabkan pembentukan adhesi. Namun, adhesi

lebih kecil kemungkinannya untuk berkembang dengan adanya benda asing tanpa cedera

peritoneal. Adanya darah intraperitoneal telah diduga dapat menyebabkan pembentukan

adhesi, meskipun peran sebenarnya tidak dipahami dengan baik. Secara umum, darah

intraperitoneal biasanya tidak menyebabkan pembentukan adhesi, kecuali jika terdapat

iskemia jaringan.11,12

4 Patofisiologi

13
Selama beberapa dekade terakhir, terdapat sejumlah besar bukti untuk

mendukung hipotesis bahwa hipoksia, sebagai akibat dari cedera jaringan, adalah faktor

pemicu yang mengarah pada pengembangan adhesi pasca operasi. Hipoksia memicu

adaptasi kritis yang memungkinkan kelangsungan hidup sel, termasuk supresi apoptosis,

metabolisme glukosa yang berubah dan fenotipe angiogenik, yang secara kolektif

menyebabkan perkembangan fenotipe adhesi. Hipoksia dan stres oksidatif diyakini

memainkan peran penting dalam patogenesis adhesi pasca operasi. Untuk mendukung

konsep ini, penelitian menunjukkan bahwa stres oksidatif akut di peritoneum

menyebabkan hilangnya atau disfungsi sel mesothelial, fibrosis peritoneal, dan

pembentukan adesi intra-abdominal. Selama 5 menit pertama iskemia, terdapat produksi

radikal bebas yang signifikan, baik melalui peningkatan pembentukan spesies oksigen

reaktif (ROS) atau dengan mengurangi uptake ROS. Peningkatan produksi ROS terkait

dengan perubahan fenotipik seperti peningkatan ekspresi sitokin, faktor pertumbuhan

dan matriks ekstraseluler serta perubahan genotipe seperti perubahan urutan DNA dari

NAPH oksidase. Setelah peritoneum rusak, kaskade koagulasi mulai bergerak. Kaskade

koagulasi melibatkan konversi serangkaian proenzim tidak aktif menjadi enzim aktif,

yang pada akhirnya menghasilkan pembentukan gumpalan. Jalur intrinsik dan ekstrinsik

mengarah pada aktivasi faktor X, yang kemudian memicu konversi protrombin (faktor

II) menjadi trombin (faktor IIa). Trombin berfungsi sebagai enzim akhir dari kaskade ini

dan mengubah fibrinogen menjadi monomer fibrin. Monomer fibrin ini kemudian

14
berpolimerisasi untuk membentuk gumpalan fibrin yang tidak larut. Kaskade ini

merupakan respons hemostatik normal terhadap cedera jaringan dan ditargetkan untuk

perbaikan kerusakan. Namun, jika dua permukaan peritoneum yang rusak bersentuhan

satu sama lain, dapat terjadi 'fusi' untuk membentuk koneksi, seperti sebuah adhesi.

Dalam sistem fibrinolitik, plasminogen diubah menjadi bentuk aktifnya, plasmin, oleh

aktivator plasminogen jaringan (tPA) atau aktivator plasminogen jenis urokinase (uPA).

Peran Plasmin adalah untuk mendegradasi serat menjadi produk degradasi serat (FDP).

Untuk mengatasi proses ini, plasminogen activator inhibitor-1 (PAI-1) dan PAI-2

berfungsi sebagai inhibitor tPA. Selain itu, inhibitor fibrinolisis yang dapat

mengaktifkan trombin (TAFI) menghambat konversi plasminogen menjadi plasmin, dan

a2-antiplasmin menonaktifkan plasmin. Antitrombin III (AT-III), bertindak sebagai

antikoagulan dengan menghambat aksi trombin. Kegagalan sistem fibrinolitik untuk

memecah fibrin menjadi FDP mengakibatkan pengendapan kolagen yang berujung pada

pemberntukan jaringan fibrosa permanen. Penelitian menunjukkan bahwa kaskade

koagulasi diubah sebagai respons terhadap hipoksia jaringan. Penelitian telah

menunjukkan penurunan yang nyata dari rasio ekspresi mRNA tPA / PAI-1 serta

penurunan aktivitas tPA sebagai respons terhadap hipoksia jaringan. Dengan demikian

kemungkinan bahwa kumpulan serat di situs bedah akan menjalani fibrinolisis sangat

berkurang. Sistem inflamasi juga memainkan peran penting dalam regulasi hemostasis

dan, dengan demikian, inflamasi sekunder akibat pembedahan atau cedera jaringan

15
lainnya berperan utama dalam patogenesis pembentukan adhesif pasca bedah. Sitokin

proinflamasi interleukin-1 (IL-1) dan tumor necrosis factor-a meningkatkan ekspresi

PAI-1 dan penurunan ekspresi tPA, yang menjelaskan kecenderungan peningkatan

deposisi fibrin pada pasien bedah. Hubungan ini telah diperkuat lebih lanjut oleh

penelitian yang menemukan korelasi yang signifikan antara tingkat pembentukan adhesi

dan kadar plasma pra operasi dari PAI-1 dan C-reactive peptide (CRP). Penelitian

menjelaskan bahwa inflamasi kronis berperan dalam proses pembentukan adhesi dan

keadaan peradangan merupakan prediktor tingkat pembentukan adhesi. Pada gambar 2

dapat dilihat proses yang saling berhubungan dari peradangan, hipoksia, koagulasi, dan

fibrinolisis dan perannya dalam pengembangan pembentukan adhesi pasca operasi.

Penelitian lainnya pada hewan menunjukkan korelasi yang kuat antara keadaan

hipofibrinolitik dan pembentukan adhesi.13–15

16
Gambar 2. Inflamasi, hipoksia, koagulasi dan fibrinolisis serta perannya dalam

pengembangan formasi adhesi post-operatif.

5 Manifestasi klinis dan diagnosis

Anamnesis dapat menentukan faktor risiko perkembangan adhesi pasca operasi.

Namun sampai saat ini tidak ada biomarker yang tersedia untuk memprediksi kejadian

atau tingkat dan keparahan adhesi sebelum operasi. Selain itu, tidak ada penanda serum

atau studi pencitraan yang secara umum dianggap dapat memprediksi insiden,

keparahan, atau luasnya adhesi. Pasca pembedahan, banyak adhesiv mungkin bersifat

asimtomatik atau dapat menyebabkan spektrum yang luas dari masalah klinis, seperti

17
obstruksi usus, nyeri pelvis kronis dan infertilitas. Beberapa kondisi memerlukan

readmisi ke rumah sakit dan seringkali operasi tambahan. Gejala yang dilaporkan

mencakup meteorismus, buang air besar tidak teratur, nyeri abdomen kronis, gangguan

pencernaan, penyumbatan usus dan sering gagal untuk dikaitkan dengan penyebabnya.16

Riwayat laparotomi, gangguan inflamasi, atau terapi radiasi merupakan petunjuk

untuk kemungkinan diagnosis adesif dengan adanya gejala yang disebutkan di atas. Di

sisi lain, gambaran klinis seperti penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan,

demam, dan keringat di malam hari merupakan manifestasi nonspesifik yang dapat

terjadi pada adhesi. Peningkatan bising usus, perkusi menunjukkan timpani (bila adhesi

menghalangi), dan nyeri tekan merupakan temuan umum dalam pemeriksaan fisik.

Namun seringkali pada pemeriksaan fisik tidak didapatkan temuan bermakna. Sampai

saat ini tidak ada pemeriksaan laboratorium khusus yang terkait dengan adhesi. Namun

pemeriksaan laboratorium diperlukan untuk menyingkirkan kemungkinan lain.

Misalnya, peningkatan protein C-reaktif, anemia berat, atau kelainan pemeriksaan hati

harus mengarah pada evaluasi lebih lanjut untuk etiologi lain.17

Evaluasi adhesi dapat dilakukan dengan pemeriksaan computed tomography

(CT) scan atau magnetic resonance imaging (MRI). Adhesi dapat dideteksi (terlepas dari

proses penyakit primer) dalam pencitraan yang sama dengan penyakit primer tanpa

biaya tambahan, radiasi, atau efek samping pada pasien. Adhesi dapat dievaluasi dalam

hal morfologi, perluasan, dan kuantifikasi. Pengaruh adhesi pada dinding abdomen dan

18
struktur viseral dapat digambarkan dengan lebih baik, dibandingkan dengan visualisasi

langsung dari adhesi. Temuan dalam modalitas pencitraan ini cenderung berkorelasi

dengan laparoskopi pada tingkat yang berbeda-beda, tergantung pada jenis dan lokasi

adhesi dan juga pada efek sekunder pada struktur yang berdampingan. Pemeriksaan CT

dan MRI pra operasi berguna sebagai panduan dalam penatalaksanaan bedah non-invasif

untuk intervensi operasi dan prosedur laparoskopi. Diagnosis pencitraan dari adhesi juga

relevan secara klinis untuk menentukan penyebab gejala pasien, terutama pada pasien

dengan nyeri pelvis kronis. Diagnosis CT dan MRI dari adhesi peritoneal dapat

membantu dalam memutuskan pendekatan operasi (laparoskopi atau terbuka) dan dapat

memfasilitasi perencanaan pra operasi yang tepat. CT atau MRI pra operasi untuk

evaluasi adhesi sangat umum digunakan, karena memberikan panduan apakah

diperlukan adhesiolisis bedah. Deteksi adhesi peritoneum sering didasarkan pada tanda

tidak langsung pada CT dan MRI. Kontur luar organ panggul harus dievaluasi dengan

hati-hati. Panjang uterus dan permukaan uterus dapat memberikan petunjuk tentang

adanya adhesi [Gambar 3 & 4]. Temuan pita peritoneal atau struktur seperti lembaran

mungkin merupakan tanda langsung dari adhesi. Adhesi dapat berupa "tipis" atau tebal

"seperti pita" yang kontur viseral. Adhesi dapat berserat atau vaskularisasi dan dapat

menunjukkan enhancement pada CT atau MRI. CT dan MRI dapat menunjukkan adhesi

pelvis yang dalam, yang berhubungan dengan gambar laparoskopi [Gambar 5 & 6]. 18

19
Gambar 3. CT scan potongan sagital menunjukkan adhesi uterus yang disertai

peningkatan panjang utero-serviks.

20
Gambar 4. MRI Sagittal T2W menunjukkan adhesi kavum douglas. Gambaran kavum

douglas menumpul karena adanya adhesi posterior.

Gambar 5. CT scan aksial menunjukkan enhancing peritoneal band (panah) yang

meluas antara kista ovarium dan loop usus halus. Gambaran adhesi pada CT scan dan

MRI berhubungan dengan temuan di laparoskopi.

21
Gambar 6. Pemeriksaan MRI potongan aksial menunjukkan kista ovarium bilateral

disertai fenomena shading yang menandakan endometrioma. Kista saling menempel

(Kissing ovaries).

Adhesi pelvis juga dapat dinilai dengan USG transvaginal. Adanya salah satu

temuan berikut ini dianggap menunjukkan kemungkinan adhesi pelvis: (i) kaburnya tepi

ovarium (margin), yang didefinisikan sebagai tidak adanya kontur ovarium yang tepat di

lebih dari tiga perempat ovarium; (ii) adhesi dari ovarium ke uterus, yang bertahan

dengan palpasi abdominal (fiksasi); (iii) augmentasi jarak normal ovarium dari probe

yang bertahan dengan palpasi abdominal (Gambar 7). Belum lama ini terdapat

modifikasi dari pemeriksaan ultrasonografi dengan teknik sliding. Teknik ultrasound

22
sliding sign adalah pemeriksaan praoperasi yang berguna untuk wanita yang menjalani

operasi ginekologi dan dapat memprediksi kesulitan teknis. Adhesi pada kantong

vesikouterin didiagnosis jika kandung kemih tidak dapat dipisahkan dari aspek anterior

segmen bawah rahim, dan terdapat bukti jaringan hyperechoic padat di kantong

vesikouterine [Gambar 8a]. Adhesi ovarium didiagnosis ketika ovarium tidak dapat

digerakkan sama sekali baik dengan probe vagina ataupun memberikan tekanan di

abdomen menggunakan tangan pemeriksa [Gambar 8b]. Adhesi di kavum douglas

didiagnosis dengan tidak adanya pergerakan antara uterus dan kolon rektosigmoid dan

dengan adanya jaringan hiperekoik yang tebal di septum rektovaginal [Gambar 8c].

Adhesi antara uterus dan dinding anterior abdomen didiagnosis jika tidak ada loop usus

halus antara uterus dan dinding anterior abdomen.19,20

Gambar 7. Pemeriksaan B-mode terkait adanya adhesi pelvis. Fiksasi ovarium (O) ke

uterus (U) (panel kiri), kaburnya tepi ovarium terkait dengan pembesaran jarak normal

ovarium (antara menandai kaliper) dan probe (panel kanan)

23
Gambar 7. Pemeriksaan USG transvaginal untuk menilai kantung vesikouterine (a),

ovarium (b), dan kavum douglas (c). Teknik sliding pada USG dapat mendeteksi

keberadaan sliding motiong antara dua struktur berdekatan.

2.6 Grading

Pada tahun 1982, Hulka menerbitkan klasifikasi prognostik setelah lima tahun

menjalani operasi untuk pasien infertil. Klasifikasinya didasarkan pada 2 faktor utama;

24
sejauh mana keterlibatan ovarium dan sifat adhesi, apakah filmy atau padat. Prognosis

paling buruk adalah pada pasien dengan adhesi padat yang menutupi lebih dari 50%

permukaan ovarium yang terlihat saat laparoskopi. Adhesion Scoring Group

menerbitkan sistem penilaian adhesi yang lebih komprehensif untuk mengetahui tingkat

keparahan (0, tidak ada; 1, filmy, avaskular; 2, padat dan / atau vaskular; 3 , kohesif) dan

luas total luas atau panjang (0, tidak ada; 1< 25%; 2, 26-50%; 3,> 50%;). Namun, tidak

satu pun dari sistem ini yang telah divalidasi dengan hasil klinis.12

2.7 Tatalaksana dan pencegahan

Saat ini tidak ada farmakoterapi yang efektif untuk adhesi pelvis. Pengobatan

empiris dan simptomatik seperti yang tersedia untuk dispepsia (misalnya simetikon,

proton pumb inhibitor, nortriptyline) sering kali dicoba tetapi memiliki efektivitas yang

bervariasi, tergantung pada sejauh mana gejala disebabkan oleh adhesi serta tingkat

keparahannya. Suplementasi serat untuk mengobati gejala konstipasi yang berhubungan

dengan penyakit adhesif tidak akan meredakan nyeri dan jika ada, dapat menyebabkan

lebih banyak ketidaknyamanan. Polietilen glikol dapat berguna (bersama dengan diet

residu rendah). Untuk pasien dengan gejala seperti kram perut, muscle relaxant seperti

dicyclomine mungkin dapat diberikan.17

Seiring kemajuan teknologi, peran teknik bedah invasif minimal seperti

laparoskopi dalam pengelolaan adhesi pelvis semakin menonjol. Namun, perlu

25
dipertimbangkan konsekuensi adhesi dari pendekatan bedah laparoskopi dan laparotomi.

Telah dinyatakan dalam literatur bahwa tingkat perkembangan adhesi setelah operasi

ginekologi adalah antara 55 dan 100 persen, terlepas dari metode pendekatan bedah.

Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Luandorff et al menemukan bahwa ada

penurunan perkembangan adhesi pada kelompok laparoskopi dibandingkan dengan

kelompok laparotomi pada laparoskopi tampilan kedua. Namun, perbedaan tersebut

tidak signifikan secara statistik. Perkembangan adhesi umum terjadi pada laparotomi dan

laparoskopi, namun tidak ada manfaat yang ditunjukkan secara konsisten dari

laparoskopi untuk penurunan risiko pembentukan adhesi dibandingkan dengan

laparotomi.21 Banyak penelitian telah dilakukan untuk menilai efektivitas adhesiolysis

pada pasien dengan perlengketan. Dalam studi retrospektif yang dilakukan oleh Chan

dan Wood yang mencakup pasien dengan infertilitas, penyakit tuba, nyeri panggul

kronis, gangguan menstruasi, endometriosis, perlengketan, dan sakit punggung.

Laparotomi diagnostik telah dilakukan, dan pasien yang mengalami adhesi menjalani

adhesiolisis. Dalam kuesioner pasca operasi, dengan tingkat tanggapan 67,6%, para

peneliti menemukan bahwa adhesiolisi mampu menghilangkan 47,1% dismenore, 65,1%

nyeri perut kronis, dan 69,7% dispareunia; mereka juga melaporkan pengurangan

perdarahan uterus abnormal dan sindrom pramenstruasi dengan adhesiolisis. Begitupula

penelitian yang dilakukan oleh Sutton dan MacDonald menemukan bahwa 84% pasien

mengalami pengurangan gejala setelah laparoskopi adhesiolisis. Dalam penelitian

26
lainnya yang dilakukan oleh Steege dan Stout. Penelitian ini melaporkan bahwa 56%

kasus mengalami resolusi nyeri atau setidaknya penurunan nyeri lebih dari 50%. Pada

pasien yang didiagnosis dengan dispareunia, 70% mengalami resolusi nyeri atau

berkurang setidaknya 50% nyeri. Saravelos et al membandingkan adhesiolisis bedah

terbuka dengan adhesiolisis laparoskopi pada 123 wanita dengan nyeri pelvis kronis.

Setelah melewati lama masa tindak lanjut rata-rata 13,7 bulan, pereda nyeri tercatat pada

71% kasus bedah mikro, dan 61% kasus laparoskopi; 64% pasien dengan laparotomi

sebelumnya mengalami nyeri persistensi. Tingkat keseluruhan persistensi / kekambuhan

nyeri setelah 24 bulan masa tindak lanjut adalah 51%. Riwayat laparotomi sebelumnya

merupakan faktor risiko persistensi nyeri. 22

Seperti semua prosedur pembedahan, laparoskopi operatif memiliki potensi

komplikasi. Dalam satu laporan, tingkat komplikasi minor adalah 5% hingga 11%, dan

tingkat komplikasi mayor adalah 0,1% hingga 2,3%. Komplikasi utama yang potensial

termasuk cedera vaskular, cedera saraf skiatik atau femoralis, perforasi, cedera kandung

kemih, cedera usus, dan cedera ureter.22 Semua ahli bedah harus menyadari risiko dan

konsekuensi dari adhesi pasca operasi dan cara untuk mencegah pembentukan adhesi

dapat dilihat pada tabel 2.

Teknik pembedahan - Menggerakkan jaringan atau organ


secara lembut
- Hemostasis yang baik
- Minimalisir iskemia
- Penggunaan elektrokauter tidak

27
secara berlebihan
- Menggunakan bahan nonreaktif
dan aman
Pemilihan prosedur - Diutamakan laparoskopi
dibandingkan laparotomi
Agen penghilang adhesi - Icodextrin 4%
- Peritoneal instillates - Oxidized regenerated cellulose
(Interceed)
- Penghalang adhesi - Expanded polytetrafluoroethylene
(Gore-Tex)
- Hyaluronic acid –
carboxymethylcellulose (Seprafilm)

Tabel 2. Pencegahan adhesi.

KESIMPULAN

Seiring dengan peningkatan prosedur ginekologi, prevalensi terjadinya adhesi

juga semakin meningkat. Beberapa penelitian telah menyatakan peningkatan insiden

adhesi setelah persalinan caesar karena variabel teknik yang digunakan. Inflamasi,

28
hipoksia, koagulasi dan fibrinolisis berperan dalam pengembangan formasi adhesi post-

operatif. Anamnesis dapat menentukan faktor risiko perkembangan adhesi pasca

operasi. Namun sampai saat ini tidak ada biomarker yang tersedia untuk memprediksi

kejadian atau tingkat dan keparahan adhesi sebelum operasi. Evaluasi adhesi dapat

dilakukan dengan pemeriksaan computed tomography (CT) scan atau magnetic

resonance imaging (MRI). Pemeriksaan CT dan MRI pra operasi berguna sebagai

panduan dalam penatalaksanaan bedah non-invasif untuk intervensi operasi dan prosedur

laparoskop. Adhesi pelvis juga dapat dinilai dengan USG transvaginal. Belum lama ini

terdapat modifikasi dari pemeriksaan ultrasonografi dengan teknik sliding. Teknik

ultrasound sliding sign adalah pemeriksaan praoperasi yang berguna untuk wanita yang

menjalani operasi ginekologi dan dapat memprediksi kesulitan teknis. Saat ini tidak ada

farmakoterapi yang efektif untuk adhesi pelvis. Prosedur yang umum digunakan untuk

adhesi pelvis adalah adheliolisis. Pemahaman yang baik secara komprehensif mengenai

adhesi pelvis dapat menurunkan angka morbiditas terkait.

DAFTAR PUSTAKA

1. Moro F, Mavrelos D, Pateman K, Holland T, Hoo WL, Jurkovic D. Prevalence of

pelvic adhesions on ultrasound examination in women with a history of Cesarean

section. Ultrasound Obstet Gynecol. 2015;45(2):223-228. doi:10.1002/uog.14628

29
2. Herrmann A, De Wilde RL. Adhesions are the major cause of complications in

operative gynecology. Best Pract Res Clin Obstet Gynaecol. 2016;35:71-83.

doi:10.1016/j.bpobgyn.2015.10.010

3. Diamond MP. Reduction of postoperative adhesion development. Fertil Steril.

2016;106(5):994-997.e1. doi:10.1016/j.fertnstert.2016.08.029

4. Laterza RM, De Gennaro M, Tubaro A, Koelbl H. Female pelvic congenital

malformations. Part I: Embryology, anatomy and surgical treatment. Eur J Obstet

Gynecol Reprod Biol. 2011;159(1):26-34. doi:10.1016/j.ejogrb.2011.06.042

5. Aldabe D, Hammer N, Flack NAMS, Woodley SJ. A systematic review of the

morphology and function of the sacrotuberous ligament. Clin Anat.

2019;32(3):396-407. doi:10.1002/ca.23328

6. Matsutani H, Nakai G, Yamada T, Yamamoto K, Ohmichi M, Narumi Y.

Diversity of imaging features of ovarian sclerosing stromal tumors on MRI and

PET-CT: A case report and literature review. J Ovarian Res. 2018;11(1).

doi:10.1186/s13048-018-0473-1

7. Siccardi M, Scharbach S, Bordoni B. Anatomy, Abdomen and Pelvis, Ischioanal

Fossa . StatPearls. Published online November 2020. Accessed February 4, 2021.

https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/30571008/

30
8. Lung K, Lui F. Anatomy, Abdomen and Pelvis, Superior Gluteal Nerve.

StatPearls. Published online 2020. Accessed February 4, 2021.

https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/30571029/

9. Eickmeyer SM. Anatomy and Physiology of the Pelvic Floor. Phys Med Rehabil

Clin N Am. 2017;28(3):455-460. doi:10.1016/j.pmr.2017.03.003

10. Dawood AS, Elgergawy AE. Incidence and sites of pelvic adhesions in women

with post-caesarean infertility. J Obstet Gynaecol (Lahore). 2018;38(8):1158-

1163. doi:10.1080/01443615.2018.1460583

11. Parker MC. Epidemiology of adhesions: The burden. In: Hospital Medicine. Vol

65. MA Healthcare Ltd; 2004:330-336. doi:10.12968/hosp.2004.65.6.13729

12. El-Mowafi D, Diamond M. Pelvic Adhesions. Geneva Foundation for Medical

Education and Research. Published 2019. Accessed February 4, 2021.

https://www.gfmer.ch/International_activities_En/El_Mowafi/Pelvic_adhesions.ht

13. Maciver AH, McCall M, James Shapiro AM. Intra-abdominal adhesions: Cellular

mechanisms and strategies for prevention. Int J Surg. 2011;9(8):589-594.

doi:10.1016/j.ijsu.2011.08.008

14. Fortin CN, Saed GM, Diamond MP. Predisposing factors to post-operative

31
adhesion development. Hum Reprod Update. 2014;21(4):536-551.

doi:10.1093/humupd/dmv021

15. Guzmán-Valdivia Gómez G. Postoperative Abdominal Adhesions: Pathogenesis

and Current Preventive Techniques OPEN ACCESS. Vol 1.; 2018. Accessed

February 4, 2021. http://surgeryresearchjournal.com

16. Butureanu S. Pathophysiology of adhesions . Chirurgia (Bucur). Published 2014.

Accessed February 4, 2021. https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/24956331/

17. Tabibian N, Swehli E, Boyd A, Umbreen A, Tabibian JH. Abdominal adhesions:

A practical review of an often overlooked entity. Ann Med Surg. 2017;15:9-13.

doi:10.1016/j.amsu.2017.01.021

18. Ghonge NP, Ghonge SD. Computed tomography and magnetic resonance

imaging in the evaluation of pelvic peritoneal adhesions: What radiologists need

to know? Indian J Radiol Imaging. 2014;24(2):149-155. doi:10.4103/0971-

3026.134400

19. Ayachi A, Jendoubi A, Mkaouer L, Mourali M. The value of ultrasound sliding

sign technique in predicting adhesion-related complications: The point of view of

the gynecologist and the anesthesiologist. Saudi J Anaesth. 2017;11(2):250-252.

doi:10.4103/1658-354X.203053

32
20. Guerriero S, Ajossa S, Lai MP, Mais V, Paoletti AM, Melis GB. Transvaginal

ultrasonography in the diagnosis of pelvic adhesions. Hum Reprod.

1997;12(12):2649-2653. doi:10.1093/humrep/12.12.2649

21. Lue JR. Pelvic Adhesive Disease: Current Approaches to Management. J

Women’s Heal Issues Care. 2014;03(03). doi:10.4172/2325-9795.1000150

22. Hammoud A, Gago LA, Diamond MP. Adhesions in patients with chronic pelvic

pain: A role for adhesiolysis? Fertil Steril. 2004;82(6):1483-1491.

doi:10.1016/j.fertnstert.2004.07.948

33

Anda mungkin juga menyukai