Anda di halaman 1dari 17

15

MODUL 2
PEMBUATAN PUPUK CAIR DARI SAMPAH
SAYURAN DAN BUAH

Kompetensi :
1.Mahasiswa mampu membuat Mikroorganisme Lokal (MOL) dari tapai sebagai
bioaktivator.
2. Mahasiswa mampu membuat pupuk cair dari sampah sayuran dan buahan
3. Mahasiswa mampu mempelajari pengaruh dosis bioaktivator pada proses
pengomposan.
4. Mahasisiwa mampu mengukur pH pupuk cair
5. Mahasiswa mampu menghitung rendemen pupuk cair
6. Mahasiswa mampu menganalisa C/N rasio pupuk cair.

2.1. Pendahuluan
Sampah adalah sisa-sisa bahan yang telah mengalami perlakuan, telah diambil
bagian utamanya, telah mengalami pengolahan, dan sudah tidak bermanfaat, dari segi
ekonomi sudah tidak ada harganya lagi dan dari segi lingkungan dapat menyebabkan
pencemaran atau gangguan kelestarian alam (Amurwarahaja, 2006).
Berdasarkan komposisi kimianya, maka sampah dibagi menjadi sampah organik
dan sampah anorganik. Penelitian mengenai sampah padat di Indonesia menunjukkan
bahwa 80% merupakan sampah organik, dan diperkirakan 78% dari sampah tersebut dapat
digunakan kembali (Outerbridge, ed., 1991). Maka pengelolaan sampah dapat dilakukan
secara preventive, yaitu memanfaatkan sampah salah satunya seperti usaha pengomposan
(Damanhuri, 1988).
Selama ini pupuk kompos yang dihasilkan dari sampah organik dalam bentuk padat.
Namun, jarang yang berbentuk cair, padahal kompos atau pupuk cair ini lebih praktis

Dipersiapkan oleh Elvi Yenie, ST.,MEng.


16

digunakan, prosesnya relatif lebih mudah, dan biaya pembuatan yang dikeluarkan juga
tidak terlalu besar (Sinaga, 2009) 

2.2. Dasar Teori

Menurut Azwar (1990), sampah (refuse) adalah sebagian dari sesuatu yang tidak
dipakai, tidak disenangi atau sesuatu yang harus dibuang, yang umumnya berasal dari
kegiatan yang dilakukan oleh manusia (termasuk kegiatan industri), tetapi bukan biologis
(karena human waste tidak termasuk didalamnya) dan umumnya bersifat padat.

Purwendro dan Nurhidayati (2006), membagi sampah dalam tiga jenis, yaitu:
 Sampah Organik
Sampah Organik berasal dari makhluk hidup, baik manusia, hewan, maupun
tumbuhan. Sampah organik sendiri dibagi menjadi sampah organik basah dan
sampah organik kering. Istilah sampah organik basah dimaksudkan sampah yang
mempunyai kandungan air yang cukup tinggi, contohnya kulit buah dan sisa
sayuran. Sedangkan bahan yang termasuk sampah organik kering adalah sampah
yang mempunyai kandungan air yang rendah, contohnya kayu, ranting kering, dan
dedaunan kering.
 Sampah anorganik
Sampah anorganik bukan berasal dari makhluk hidup. Sampah ini berasal dari
bahan yang dapat diperbaharui (recycle) dan sampah ini sulit terurai oleh jasad
renik. Jenis sampah ini misalnya bahan yang terbuat dari plastik dan logam.
 Sampah B3 (Bahan Berbahaya dan Beracun)
Sampah B3 yang dikategorikan beracun dan berbahaya bagi manusia. Umumnya
sampah ini mengandung merkuri seperti kaleng bekas cat semprot atau minyak
wangi.

Berdasarkan cara pembuatannya, pupuk organik terbagi menjadi dua kelompok,


yaitu: pupuk organik alami dan pupuk organik buatan. Jenis pupuk yang tergolong dalam

Dipersiapkan oleh Elvi Yenie, ST.,MEng.


17

kelompok pupuk organik alami benar-benar langsung diambil dari alam, seperti dari sisa
hewan, tumbuhan, tanah, baik dengan atau tanpa sentuhan teknologi
Pupuk organik buatan dibuat untuk memenuhi kebutuhan pupuk tanaman yang
bersifat alami atau non kimia, berkualitas baik, dengan bentuk, ukuran, dan kemasan yang
praktis, mudah didapat, didistribusikan, dan diaplikasikan, serta dengan kandungan unsur
hara yang lengkap dan terukur
Berdasarkan bentuknya, pupuk organik dibagi menjadi dua, yakni pupuk cair dan
padat. Pupuk organik cair adalah larutan dari hasil pembusukan bahan – bahan organik
yang berasal dari sisa tanaman, kotoran hewan, dan manusia yang kandungan unsur
haranya lebih dari satu unsur. Sedangkan pupuk organik padat adalah pupuk yang sebagian
besar atau seluruhnya terdiri atas bahan organik yang berasal dari sisa tanaman, kotoran
hewan, dan kotoran manusia yang berbentuk padat (Hadisuwito, 2007).

Menurut Simamora, dkk (2005), pupuk cair organik adalah pupuk yang bahan
dasarnya berasal dari hewan dan tumbuhan yang sudah mengalami fermentasi dan bentuk
produknya berupa cairan. Kandungan bahan kimia di dalamnya maksimum 5%.
Penggunaan pupuk cair memiliki beberapa keuntungan sebagai berikut:
1. Pengaplikasiannya lebih mudah jika dibandingkan dengan pengaplikasian pupuk
organik padat.
2. Unsur hara yang terdapat di dalam pupuk cair mudah diserap tanaman.
3. Mengandung mikroorganisme yang jarang terdapat dalam pupuk organik padat.
4. Pencampuran pupuk organik cair dengan pupuk organik padat mengaktifkan unsur
hara yang ada dalam pupuk organik padat tersebut.

Dibandingkan dengan pupuk anorganik, pupuk organik cair umumnya tidak


merusak tanah dan tanaman walaupun digunakan sesering mungkin. Selain itu, pupuk ini
juga memiliki bahan pengikat sehingga larutan pupuk yang diberikan ke permukaan tanah
bisa langsung digunakan oleh tanaman (Hadisuwito, 2007).

Dipersiapkan oleh Elvi Yenie, ST.,MEng.


18

Pembuatan pupuk organik dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain:


1. Perbandingan Karbon-Nitrogen (C/N) bahan baku pupuk organik
Rasio C/N adalah perbandingan kadar karbon (C) dan kadar nitrogen (N) dalam
satu bahan. Semua makhluk hidup terbuat dari sejumlah besar bahan karbon (C) serta
nitrogen (N) dalam jumlah kecil. Unsur karbon dan bahan organik (dalam bentuk
karbohidrat) dan nitrogen (dalam bentuk protein, asam nitrat, amoniak, dan lain-lain)
merupakan makanan pokok bagi bakteri anaerobik. Unsur Karbon (C) digunakan untuk
energi dan unsur nitrogen (N) digunakan untuk struktur sel dan bakteri. Bakteri memakan
habis unsur C 30 kali lebih cepat daripada memakan unsur N. Pembuatan kompos yang
optimal membutuhkan rasio C/N 25/1 sampai 30/1 (Yuwono, 2006).
Perbandingan C dan N awal yang baik dalam bahan yang dikomposkan adalah 25-
30 (satuan berat kering), sedang C/N diakhir proses adalah 12-15. Harga C/N tanah < 20
sehingga bahan-bahan yang mempunyai harga C/N mendekati C/N tanah dapat langsung
digunakan (Damanhuri dan Padmi, 2007).

2. Ukuran Bahan
Semakin kecil ukuran bahan, proses pengomposan akan lebih cepat dan lebih baik
karena mikroorganisme lebih mudah beraktivitas pada bahan yang lembut daripada bahan
dengan ukuran yang lebih besar. Ukuran bahan yang dianjurkan pada pengomposan aerobik
antara 1-7,5 cm. Sedangkan pada pengomposan anaerobik, sangat dianjurkan untuk
menghancurkan bahan selumat-lumatnya sehingga menyerupai bubur atau lumpur. Hal ini
untuk mempercepat proses penguraian oleh bakteri dan mempermudah pencampuran bahan
(Yuwono, 2006).

3. Komposisi Bahan
Pengomposan dari beberapa macam bahan akan lebih baik dan lebih cepat.
Pengomposan bahan organik dari tanaman akan lebih cepat bila ditambah dengan kotoran
hewan.

Dipersiapkan oleh Elvi Yenie, ST.,MEng.


19

4. Jumlah mikroorganisme
Dengan semakin banyaknya jumlah mikroorganisme, maka proses pengomposan
diharapkan akan semakin cepat.

5. Kadar air Bahan


Kadar air bahan yang dianjurkan dalam pengomposan aerobik adalah 40-50%.
Kondisi ini harus dijaga agar mikroorganisme aerobik dalam kompos dapat bekerja dengan
baik dan tidak mati. Terlalu banyak kadar air akan berakibat bahan semakin padat,
melumerkan sumber makanan yang dibutuhkan mikroba dan memblokir oksigen yang
masuk. Namun, apabila air terlalu sedikit maka bahan kering dan tidak mendukung
mikroba.
Pengomposan secara anaerobik membutuhkan kadar air yang tinggi, yaitu 50% ke
atas. Kadar air yang banyak pada proses anaerobik diperlukan bakteri untuk membentuk
senyawa-senyawa gas dan beraneka macam asam organik sehingga pengendapan
kompos akan lebih cepat. Secara fisik, kadar air juga akan memudahkan proses
penghancuran bahan organik dan mengurangi bau (Yuwono, 2006).

6. Suhu
Faktor suhu sangat berpengaruh terhadap proses pengomposan karena
berhubungan dengan jenis mikroorganisme yang terlibat. Suhu optimum yang bagi
pengomposan adalah 40-60oC. Bila suhu terlalu tinggi mikroorganisme akan mati. Bila
suhu relatif rendah mikroorganisme belum dapat bekerja

7. Keasaman (pH)
Keasaman atau pH dalam tumpukan kompos juga mempengaruhi aktivitas
mikroorganisme. Kisaran pH yang baik sekitar 6,5-7,5 (netral). Oleh karena itu, dalam
proses pengomposan sering diberi tambahan kapur atau abu dapur untuk menaikkan
pH.

Dipersiapkan oleh Elvi Yenie, ST.,MEng.


20

Mikroorganisme lokal (MOL) adalah aktivator atau starter kompos yang diperlukan
untuk mempercepat pengomposan namun dibuat sendiri dan berasal dari sampah organik
rumah tangga. Keunggulanan penggunaan MOL tentu saja karena murah meriah tanpa
biaya. MOL merupakan kumpulan mikroorganisme yang bisa “diternakkan”, fungsinya
dalam konsep zero waste adalah untuk starter pembuatan kompos organik. Dengan MOL
ini maka konsep pengomposan bisa selesai dalam waktu 3 mingguan (Wulandari dkk,
2009).

2.3. Percobaan

2.3.1. Tujuan
1. Pembuatan Mikroorganisme Lokal (MOL) dari tapai sebagai bioaktivator.
2. Pembuatan pupuk cair dari sampah sayuran.
3. Mempelajari pengaruh dosis bioaktivator pada proses pengomposan.
4. Mengukur pH
5. Menghitung rendemen
6. Menganalisa C/N rasio pupuk cair.

2.3.2. Bahan

Bahan yang digunakan adalah:


- sampah sayuran
- tapai
- pasir
- gula merah
- air sumur dan
- air cucian beras

Dipersiapkan oleh Elvi Yenie, ST.,MEng.


21

2.3.3. Alat
Alat yang digunakan adalah:
- ember ukuran 25 liter sebanyak 3 buah,
- karung beras ukuran 20 kg
- botol air mineral 1500 ml
- beaker glass 1000 ml
- gelas ukur 10 ml
- pH meter digital
- timbangan
- kompor, dan
- panci.

Diagram alir Pembuatan Pupuk Cair:

Dipersiapkan oleh Elvi Yenie, ST.,MEng.


22

Dipersiapkan oleh Elvi Yenie, ST.,MEng.


23

2.3.4. Prosedur
1. Pembuatan Mikroorganisme Lokal (MOL)
Campurkan tapai yang terbuat dari singkong sebanyak 100 gram dengan 1,125 liter
air sumur serta 150 gram gula pasir. Masukkan campuran tersebut dalam botol,
kemudian aduk hingga merata dan simpan selama 5 hari tanpa ditutup. Setelah 5 hari,
jika dicium telah berbau wangi alkohol, maka MOL telah dapat digunakan.

Dipersiapkan oleh Elvi Yenie, ST.,MEng.


24

2. Pembuatan Cairan Molase


Masukkan air sebanyak 500 ml ke dalam panci dan letakkan di atas kompor.
Panaskan. air. Setelah mendidih, masukkan gula merah ke dalam panci sebanyak 500
gram, aduk hingga terlarut merata dalam air, kemudian dinginkan.
Tambahkan 4,895 ml konsentrat etil asetat (untuk kadar 100%) kedalam 900 ml air
deion pada labu ukur takar 1000 ml, kemudian tambahkan air deion sampai
volumenya 1 liter

3. Proses Pengomposan
Rajang sampah sayuran dengan ukuran 1-3 cm. Sampah yang telah dirajang
masukkan ke dalam karung 20 kg sebanyak 5 kg dan tekan sampai padat. Ikat karung
dengan tali. Buat larutan media dengan cara mencampurkan air sumur 1 liter, cairan
molase 500 ml, air bekas cucian beras (air tajin) 1 liter, dan larutan MOL dengan
dosis D1, D2, D3, lalu masukkan ke dalam ember. Masukkan karung yang berisi
sampah sayuran ke dalam larutan media sampai terendam. Letakkan beban di atas
karung agar karung tidak mengapung. Tutup rapat ember dengan plastik dengan cara
mengikat erat dengan tali pada bagian atas ember. Lalu simpan di tempat yang teduh
dan terhindar dari sinar matahari langsung. Simpan selama perlakuan P1, P2, P3.
Setelah fermentasi selesai, buka tutup ember dan karung dikeluarkan dari ember.
Kompos cair siap untuk dianalisis.

Keterangan :
Dosis Mikroorganisme Lokal (MOL) 10 ml (D 1), 20 ml (D2), dan 30 ml (D3), serta
lama perendaman 7 hari (P1), 14 hari (P2), dan 21 hari (P3).

Dipersiapkan oleh Elvi Yenie, ST.,MEng.


25

2.3.5. Perhitungan / Analisis

1. Rasio C/N

Rasio C/N
No Sampel Pupuk Cair
7 hari 14 hari 21 hari
1. Dosis MOL 10 ml
2. Dosis MOL 20 ml
3. Dosis MOL 30 ml

2. pH

pH akhir
No Sampel Pupuk Cair
7 hari 14 hari 21 hari
1. Dosis MOL 10 ml
2. Dosis MOL 20 ml
3. Dosis MOL 30 ml

3. Rendemen

Rendemen
No Sampel Kompos Cair
7 hari 14 hari 21 hari
1. Dosis MOL 10 ml
2. Dosis MOL 20 ml
3. Dosis MOL 30 ml

DAFTAR PUSTAKA

Amurwarahaja, I. P., (2006), “Analisis Teknologi Pengolahan Sampah Dengan Proses


Hirarki Analitik dan Metode Valuasi Kontingensi Studi Kasus di Jakarta Timur,
Makalah Falsafah Sains”, Institut Pertanian Bogor, Ilmu Pengolahan Sumber Daya
Alam dan Lingkungan Program Pascasarjana, Bogor.
Azwar, Asrul., (1990), “Pengantar Ilmu Kesehatan Lingkungan”, Mutiara Sumber Widya,
Jakarta.
Damanhuri, E., (1988), “Optimasi Lahan Sanitary Landfill, Suatu Konsep”, Jurnal Tehnik
Penyehatan Edisi Mei.

Dipersiapkan oleh Elvi Yenie, ST.,MEng.


26

Damanhuri, E., dan Tri Padmi, (2007), “Pengomposan-Composting”,


http://www.tsabitah.wordpress.com, Akses 30 Juli 2012.
Hadisuwito, S., (2007), “Membuat Pupuk Kompos Cair”, PT Agromedia Pustaka, Jakarta.
Outerbridge, Thomas., (1991), “Limbah Padat di Indonesia : Masalah atau Sumber Daya”,
Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.
Purwendro, S., dan Nurhidayat, (2006), “Mengolah Sampah untuk Pupuk dan Pestisida
Organik, Seri Agritekno”, Penebar Swadaya, Jakarta.
Simamora, S., dan Sulundik, (2006), “Meningkatkan Kualitas Kompos”, Agromedia
Pustaka, Jakarta.
Sinaga, D., (2009), “Pembuatan Pupuk Cair dari Sampah Organik dengan Menggunakan
Boisca sebagai Starter”, Skripsi, Universitas Sumatera Utara, Medan.
Wulandari, D., dkk, (2009), “Penerapan MOL (Mikroorganisme Lokal) dari Bonggol
Pisang (Musa Paradisiaca) sebagai Biostarter dalam Pembuatan Kompos”, Program
Kreativitas Mahasiswa, Universitas Sebelas Maret, Surakarta.
Yuwono, D., (2006), “Kompos dengan Cara Aerob Maupun Anaerob untuk Menghasilkan
Kompos yang Berkualitas”, Penebar Swadaya, Jakarta.

1. Analisis Rasio C/N


A. Penetapan Kadar C Organik
1. Alat dan Bahan
a. Neraca Analitik
b. Spektrofotometer
c. Labu Ukur 100 ml
d. Dispenser 10 ml
e. Pipet volume 5 ml

2. Pereaksi
a. Asam sulfat pekat
b. Kalium dikromat 1 N;
Larutkan 98,1 gr kalium dikromat dengan 600 ml air bebas ion dalam gelas
piala, tambahkan 100 ml asam sulfat pekat, panaskan hingga larut sempurna.
Setelah dingin diencerkan dalam labu ukur 1 liter dengan air bebas ion
sampai tanda garis.
c. Larutan standar 5000 ppm C;

Dipersiapkan oleh Elvi Yenie, ST.,MEng.


27

Larutkan 12,510 gram glukosa dengan air suling di dalam labu ukur 1 liter
dan diimpitkan.

3. Cara Kerja
a. Pipet sampel 5 ml, lalu masukkan ke dalam labu ukur 100 ml.
b. Tambahkan 5 ml K2Cr2O7 1 N, lalu kocok.
c. Tambahkan 7,5 ml H2SO4 pekat, dikocok lalu diamkan selama 30 menit.
Lalu diencerkan dengan air bebas ion, biarkan dingin dan diimpitkan.
d. Keesokan harinya diukur absorbansi larutan jernih dengan spektrofotometer
pada panjang gelombang 561 nm.
e. Sebagai pembanding, dibuat larutan standar 0 dan 250 ppm, dengan
memipet 0 dan 5 ml larutan standar 5000 ppm ke dalam labu ukur 100 ml
dengan perlakuan yang sama dengan pengerjaan contoh.

B. Penetapan Kadar N Total


1. Alat
a. Botol kaca, terbuat dari kaca yang tahan pada temperatur dan tekanan tinggi,
tahan pada sterilisasi uap bertekanan tinggi dan tahan pada suhu hingga
120oC.
b. Autoclave, sterilizer uap bertekanan tinggi dan dapat dipanaskan sampai
120oC.
c. Spektrofotometer yang dapat mengukur pada panjang gelombang 220 nm.
d. Sel penyerap (cuvet), terbuat dari kuarsa.

2. Bahan
a. Air destilasi / suling
b. HCl (1+16)
c. HCl (1+500)
d. Sodium hidroksida – potasium peroksodisulfat
e. Larutan standar nitrogen (0,1 mg/L)

Dipersiapkan oleh Elvi Yenie, ST.,MEng.


28

f. Larutan standar nitrogen (0,02 mg/L)

3. Cara Kerja
3.1. Pembuatan pereaksi
3.1.1. Pembuatan HCl (1+16)
a. Pipet satu bagian volume HCl pekat.
b. Tuangkan perlahan-lahan melalui dinding ke dalam beaker glass
yang telah berisi 16 bagian volume air suling.

3.1.2. Pembuatan HCl (1+500)


a. Pipet satu bagian volume HCl pekat.
b. Tuangkan perlahan-lahan melalui dinding ke dalam beaker glass
yang telah berisi 500 bagian volume air suling.

3.1.3. Pembuatan larutan natrium hidroksida – kalium peroksodisulfat


(NaOH – K2S2O8)
a. Larutkan 15 gram kalium peroksodisulfat dalam 500 ml air
suling.
b. Larutkan 20 gram natrium hidroksida ke dalam larutan tadi.
c. Ingat ! siapkan larutan NaOH – K2S2O8 pada kondisi segar, dan
lakukan pembuatan pereaksi ini dalam ruang asam.

3.2. Pengambilan Contoh Uji


Contoh uji diambil sesuai dengan metode pengambilan contoh uji, SNI
nomor SNI 06-2421-1991.

3.3. Perlakuan dan Pengawetan Contoh Uji


Sebaiknya contoh uji dianalisis langsung di laboratorium setelah
pengambilan. Bila tidak, contoh uji diawetkan dengan cara pendinginan pada

Dipersiapkan oleh Elvi Yenie, ST.,MEng.


29

temperatur 4oC dengan menambahkan 2 ml H2SO4 per liter contoh. Lama


penyimpanan maksimum pada kondisi ini adalah 24 jam.

3.4. Analisis
Analisis meliputi 2 bagian, yaitu persiapan analisis dan penentuan contoh
uji.
3.4.1. Persiapan analisis
Persiapan analisis meliputi pembuatan larutan standar induk-total,
pembuatan larutan standar kerja dan pembuatan kurva kalibrasi.

3.4.2. Pembuatan larutan induk 100 mg/L N:


Untuk penentuan nitrogen total dengan metode absorpsiometri
ultraviolet melalui dekomposisi thermal, diperlukan larutan induk nitrogen
total berkonsentrasi 100 mg/L. Untuk pembuatan larutan standar induk
nitrogen total 100 mg/L dilakukan langkah-langkah berikut:
a. Keringkan KNO3 pada temperatur 110oC selama 3 jam,
dinginkan dalam desikator.
b. 0,7214 gram KNO3 dengan 100 ml air suling di dalam labu ukur
1000 ml.
c. Tambahkan air suling sampai tanda tera.

3.4.3. Pembuatan larutan standar kerja nitrogen 20 mg/L :


a. Pipet 10 ml larutan induk ke dalam labu takar 50 ml.
b. Tambahkan air suling sampai tanda tera.

3.4.4. Pembuatan Kurva Kalibrasi :


a. Pipet ke dalam labu ukur 100 ml larutan standar masing-masing
0; 1; 3; 5; 7; 9 ml ke dalam 6 buah labu takar 50 ml.

Dipersiapkan oleh Elvi Yenie, ST.,MEng.


30

b. Tambahkan air suling sampai tanda tera sehingga diperoleh


konsentrasi masing-masing 0; 0,2; 0,6; 1,0; 1,4; 1,8 μg/ml.
c. Pindahkan masing-masing larutan tersebut ke dalam 6
erlenmeyer berukuran 50 ml.
d. Optimalkan alat spektrofotometer untuk pengujian nitrogen total
sesuai petunjuk penggunaan alat.
e. Terhadap masing-masing larutan deret standar di dalam beaker
glass 50 ml diperlakukan sebagai berikut:
 Pindahkan masing-masing larutan standar sebanyak 25 ml ke
dalam beaker glass 50 ml.
 Tambahkan 5 ml (1+500) ke dalam masing-masing larutan
standar.
 Kocok sampai homogen
 Diamkan sebentar
 Masukkan ke dalam kuvet dan ukur absorbansinya pada
panjang gelombang di sekitar 200 nm dengan reference (zero
adjustment) air suling.
 Buat kurva kalibrasi dengan absorbansi sebagai ordinat dan
konsentrasi sebagai absis, dengan menggunakan kertas
milimeter block. Koefisien korelasi kurva kalibrasi yang
diperoleh adalah minimum 99% (r = 0,99).
3.4.5. Penentuan contoh uji:
a. Pipet 50 ml contoh uji ke dalam erlenmeyer 100 ml.
b. Tambahkan 10 ml NaOH – K2S2O8.
c. Tutup cepat dan kocok sampai homogen.
d. Masukkan ke dalam autoclave bertekanan tinggi pada temperatur
120oC selama 30 menit.
e. Dinginkan sampai temperatur kamar.

Dipersiapkan oleh Elvi Yenie, ST.,MEng.


31

f. Lakukanlah penyaringan dengan kertas saring berukuran pori 45


μm, ambil filtrat awal sebanyak 5 ml, bilaslah erlenmeyer dan
buang, kemudian lanjutkan penyaringan.
g. Pipet 25 ml filtrat ke dalam beaker glass 100 ml
h. Aturlah pH sampai 2-3 dengan HCl (1+16)
i. Masukkan ke dalam kuvet dan ukur absorbansinya pada panjang
gelombanng di sekitar 220 nm dengan reference (zero
adjustment) air suling.

2. Analisis pH Akhir
Pengukuran pH menggunakan pH meter digital. Masukkan sampel sebanyak 50
ml ke dalam erlenmeyer, kemudian persiapkan pH meter digital yang telah dikalibrasi
dengan larutan buffer pH 7,0 atau pH 4,0 (larutan buffer pH yang mendekati perkiraan
pH sampel yang akan diukur) dan lakukan setiap saat akan melakukan pemeriksaan.
Nilai pH dibaca dan dicatat sesuai skala pH meter yang ditunjukkan pada monitor dan
hasil pembacaan dinyatakan dalam 2 angka dibelakang koma.

3. Analisis Rendemen
Masukkan semua bahan ke dalam ember, kemudian timbang sebagai berat awal.
Setelah fermentasi selesai, timbang pupuk cair yang di dalam ember kembali sebagai
berat akhir. Kemudian rendemen dapat dihitung dengan rumus:
Berat akhir
Rendemen= x 100 %
Berat awal

Dipersiapkan oleh Elvi Yenie, ST.,MEng.

Anda mungkin juga menyukai