PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
Baterai adalah salah satu media penyimpan dan penyedia aliran listrik
melalui reaksi kimia [1]. Pada baterai berlangsung proses reversible yang
merupakan proses pengubahan kimia pada baterai menjadi listrik (proses
penggunaan) dan dari listrik menjadi kimia (proses pengisian) [2]. Dilihat dari
sejarah, beberapa nama yang terkait erat dengan pengembangan baterai dan ilmu
yang berhubungan baterai yaitu Luigi Galvani, Alessandro Volta, Sir Humphry
Davy, dan Gaston Plante. Pada tahun 1800, Volta mempatenkan hasil
penemuannya yaitu sel Volta. Hal tersebut menjadikannya sebagai orang pertama
di zaman modern yang membuat baterai. Penemuan tersebut didorong dari
penemuan ‘listrik hewan’ Luigi Galvani dan menjadikan minat penelitian listrik
galvanis meluas. Di tahun yang sama dengan Alessandro Volta, Sir Humphry
Davy menemukan elektrolisis dan di tahun 1859 Gaston Plante menemukan baterai
asam timbal yang menjadi dasar baterai isi ulang [3]. Hingga saat ini dari
peralatan elektronik sampai kendaraan listrik, baterai adalah sumber energi utama
dibanyak aplikasi.
Jenis baterai yang saat ini banyak digunakan pada banyak aplikasi adalah
baterai Lithium Ion. Baterai Lithium Ion pertama kali dipasarkan oleh Sony pada
awal tahun 1990 [3]. Baterai Lithium Ion memiliki keunggulan diantaranya
performa yang baik, ringan, dan tidak ada efek memori. Serupa dengan baterai
pada umumnya, Lithium Ion menggunakan katoda, anoda, dan elektrolit. Pada saat
pengosongan, electron mengalir dari anoda ke beban kemudian berakhir di katoda.
Sedangkan saat pengisian (charging), terjadi proses kebalikannya, yaitu elektron
ke anoda melalui charging dan ion-ion kembali ke katoda [4]. Impedansi
(hambatan dalam) pada baterai Lithium Ion lebih tinggi dibandingkan baterai NiCd
dan NiMH, Akibatnya baterai cepat menjadi panas dan tegangannya turun jika
dibebani terlalu berat [5]. Suhu yang melebihi suhu kerja maksimum baterai
tersebut dinamakan thermal runaway dan dapat membahayakan pada kesehatan
baterai.
Selain tegangan dan arus, suhu merupakan salah satu parameter penting
dalam kinerja baterai. Saat suhu meningkat dapat memberikan efek yaitu
overcharging, short circuit, atau bahkan ledakan pada baterai. Rentang suhu
operasi terbaik baterai yaitu antara 25℃ sampai 40℃ [23]. Oleh karena itu, Sistem
Manajemen Termal Baterai diperlukan untuk mengkondisikan suhu pada baterai
saat pemakaian atau pengisian karena suhu kerja yang berlebihan dapat merusak
dan memperpendek umur baterai.
Salah satu eksperimen Sistem Manajemen Termal Baterai sudah dilakukan
oleh Charles-Victor Hemery pada tahun 2014 [6]. Eksperimen tersebut dilakukan
dengan dua metode yaitu sistem pendinginan aktif dan pasif (semi pasif). Sistem
pendinginan aktif dilakukan dengan cara menggunakan sebuah aktuator dalam
mendinginkan, sedangkan pendinginan pasif melakukan pendinginan tanpa
aktuator namun dengan material atau lingkungan sekitar. Untuk keamanan,
eksperimen yang dilakukan tidak menggunakan baterai Lithium Ion secara
langsung, namun terlebih dahulu membuat purwarupa dengan menggunakan
pemanas elektrik.
Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan, sistem manajemen termal
baterai yang direalisasikan memiliki perbedaan dengan eksperimen Charles-Victor
Hemery yaitu menggunakan elemen pemanas untuk menghantarkan panas di suhu
ekstrim sampai 40℃ maupun lebih dari itu. Penelitian dilakukan dengan sistem
pendinginan semi-pasif yaitu menggunakan paraffin sebagai material berubah fasa
dan menambahkan kipas untuk membuang panas ke lingkungan saat suhu paraffin
mencapai 30℃. Dipilihnya paraffin karena dapat menyerap panas dengan besar,
biaya yang murah, dan mudah diintegrasikan [23,31,32]. Penelitian ini dilakukan
dengan membuat purwarupa terlebih dahulu dan kemudian diaplikasikan pada
baterai Li-Ion pack. Diharapakan peneltian ini dapat memberikan informasi proses
sistem manajemen termal baterai yang efektif.