Anda di halaman 1dari 54

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. KONSEP GAGAL GINJAL KRONIK

1. Definisi Gagal Ginjal Kronik

Gagal ginjal kronis (Chronic Renal Failure)

adalah kerusakan ginjal progresif yang berakibat fatal

dan ditindai dengan uremi (urea dan limbah nitrogen

lainnya yang beredar dalam darah) serta komplikasinya

jika tidak dilakukan dialisis atau transpalantasi

ginjal (Nursalam, 2011).

Menurut Muttaqin (2012), gagal ginjal kronis

adalah kegagalan fungsi ginjal untuk mempertahankan

metabolisme serta keseimbangan cairan dan elektrolit

akibat destruksi struktur ginjal yang progresif dengan

manifestasi penumpukan sisa metabolik (toksik uremik)

di dalam darah.

2. Penyebab Gagal Ginjal Kronik

Penyebab tersering terjadinya gagal ginjal kronik

adalah diabetes dan tekanan darah tinggi, yaitu sekitar

dua pertiga dari seluruh kasus (National Kidney

Foundation, 2015). Sedangkan menurut Nursalam (2011)

yaitu:

09
10

a. Penyakit dari ginjal

1) Penyakit pada saringan (glomerulus):

glomerulonefritis

2) Infeksi kuman: pyelonefritis, ureteritis

3) Batu ginjal: nefrolitiasis

4) Kista di ginjal: polycystic kidney

5) Trauma langsung pada ginjal

6) Keganasan pada ginjal

7) Sumbatan: batu, tumor, penyempitaan/striktur

b. Penyakit umum di luar ginjal

1) Penyakit sistemik: diabetes mellitus, hipertensi,

kolestrol tinggi

2) Dysplidemia

3) Systemic lupus erythematosus (SLE)

4) Infeksi di badan: TB paru, sifilis, malaria,

hepatis

5) Preeklamsi

6) Obat-obatan

7) Kehilangan banyak cairan yang mendadak (luka

bakar)

3. Stadium Gagal Ginjal

Menurut National Kidney Foundation-Kidney Disease

Outcomes Qualiy Initiative (NKF-KDOQI), gangguan fungsi

ginjal dapat dikelompokkan menjadi 4 stadium menurut

tingkat keparahannya:
11

a. Kondisi normal: kerusakan ginjal dengan nilai GFR

normal, ginjal berfungsi diatas 90%, nilai GFR

diatas 90ml/menit/1,73m²

b. Stadium 1: kerusakan ginjal ringan dengan penurunan

nilai GFR, belum terasa gejala yang terganggu,

ginjal berfungsi 60-89%, nilai GFR 60-

89ml/menit/1,73m²

c. Stadium 2: kerusakan sedang masih bisa

dipertahankan, ginjal berfungsi 30-59%, nilai GFR

30-59ml/menit/1,73m²

d. Stadium 3: kerusakan berat sudah tingkat

membahayakan, ginjal berfungsi 15-29%, nilai GFR 15-

29ml/menit/1,73m²

e. Stadium 4: kerusakan parah harus cuci ginjal, fungsi

ginjal <15%, nilai GFR <15ml/menit/1,73m²

(Vitahealth, 2008).

4. Tanda dan Gejala Gagal Ginjal Kronik

Tanda dan gejala gagal ginjal kronis meliputi

(Kowalak, 2011):

a. Hipervolemia akibat retensi natrium

b. Hipokalsemia dan hiperkalemia akibat

ketidakseimbangan elektrolit

c. Azotemia akibat retensi zat sisa nitrogenus

d. Asidosis metabolik akibat kehilangan bikarbonat


12

e. Nyeri tulang serta otot dan fraktur yang disebabkan

oleh ketidakseimbangan hormon paratiroid yang

ditimbulkan

f. Neuropati perifer akibat penumpukan zat-zat toksik

g. Mulut yang kering, keadaan mudah lelah, dan mual

akibat hiponatremia

h. Hipotensi akibat kehilangan natrium

i. Perubahan status kesadaran akibat hiponatremia dan

penumpukkan zat-zat toksik

j. Frekuensi jantung yang tidak regular akibat

hiperkalemia

k. Hipertensi akibat kelebihan muatan cairan

l. Luka-luka pada gusi dan perdarahan akibat

koagulopati

m. Kulit berwarna kuning tembaga akibat perubahan

proses metabolik

n. Kulit yang kering serta bersisik dan rasa gatal yang

hebat akibat uremic frost

o. Kram otot dan kedutan (twitching) yang meliputi

iritabilitas jantung akibat hiperkalemia

p. Pernapasan kussmaul akibat asidosis metabolik.

5. Patofisiologi Gagal Ginjal Kronik

Fungsi renal menurun, produk akhir metabolisme

protein (yang normalnya diekskresikan dalam urin)

tertimbun di dalam darah menjadi uremia dan


13

mempengaruhi setiap sistem tubuh. Semakin banyak

timbunan produk sampah maka gejala akan semakin berat.

Banyak gejala membaik setelah dialisis.

Gangguan klirens renal. Banyak masalah muncul

pada gagal ginjal sebagai akibat dari penurunan jumlah

glomerulus yang berfungsi menyebabkan penurunan klirens

substansi darah yang seharusnya dibersihkan oleh

ginjal.

Penurunan laju filtrasi glomerulus (GFR) dapat

dideteksi dengan mendapatkan urine 24 jam untuk

pemeriksaan klirens kreatinin. Menurunnya filtrasi

glomerulus (akibat tidak berfungsinya glomerulus)

klirens kreatinin akan menurun dan kadar kreatinin

serum akan meningkat. Selain itu kadar nitrogen urea

darah (BUN) biasanya meningkat, kreatinin serum

merupakan indikator yang paling sensitif dari fungsi

renal karena substansi ini diproduksi secara konstan

oleh tubuh. BUN tidak hanya dipengaruhi oleh penyakit

renal, tetapi juga oleh masukan protein dalam diet,

katabolisme (jaringan dan luka RBC), dan medikasi

seperti steroid.

Retensi cairan dan natrium. Ginjal juga tidak

mampu untuk mengkonsentrasikan atau mengencerkan urin

secara normal pada penyakit ginjal tahap akhir, respon

ginjal yang sesuai terhadap perubahan masukan cairan


14

dan elektrolit sehari-hari tidak terjadi. Pasien sering

menahan natrium dan cairan meningkatkan resiko

terjadinyaedema, gagal jantung kongestif dan

hipertensi. Hipertensi juga dapat terjadi akibat

aktifasi aksis-renin-angiotensin dan kerjasama keduanya

meningkatkan sekresi aldosteron yang mempunyai

kecenderungan untuk kehilangan garam, mencetus resiko

hipotensi dan hipovolemia. Episode muntah dan diare

menyebabkan perpisahan air dan natrium, yang semakin

memperburuk status uremik.

Asidosis dengan semakin berkembangnya penyakit

renal, terjadi asidosis metabolic seiring dengan

ketidakmampuan ginjal mengekskresikan muatan asam (H+)

yang berlebihan. Penurunan sekresi asam terutama akibat

ketidakmampuan tubulus ginjal untuk mengekskresi

ammonia (NH3-) dan mengabsorbsi natrium (HCO3-).

Penurunan ekskresi fosfat dan asam organiklain juga

terjadi.

Anemia, terjadi akibat dari produksi aritropoitin

yang tidak adekuat, memendeknya usia sel darah merah,

defisiensi nutrisi dan kecenderungan untuk mengalami

perdarahan akibat status uremik pasien terutama dari

saluran gastrointestinal. Eritropoitin suatu substansi

normal yang diproduksi oleh ginjal menstimuli sum-sum

tulang untuk menghasilkan sel darah merah. Pada gagal


15

ginjal produksi eritropoitin menurun dan anemia berat

terjadi disertai keletihan angina dan napas sesak

(Smeltzer & Bare, 2008; Muttaqin & Sari, 2011).

Ketidakseimbangan kalsium dan fosfat.

Abnormalitas utama yang lain pada gagal ginjal kronik

adalah gangguan metabolisme kalsium dan fosfat. Kadar

serum dan fosfat tubuh memiliki hubungan saling timbal

balik. Jika salah satu meningkat salah satu akan

menurun. Dengan menurunnya filtrasi melalui glomerulus

ginjal terdapat peningkatan kadar fosfat serum dan

sebaliknya penurunan kadar serum kalsium. Penurunan

kadar kalsium serum menyebabkan sekresi parathormon dan

akibatnya kalsium ditulang menurun menyebabkan

perubahan pada tulang dan penyakit tulang. Selain itu,

metabolik aktif vitamin D (1,25-Dihidrokolekasiferol)

yang secara normal dibuat diginjal menurun seiring

dengan berkembangnya gagal ginjal kronik (Smeltzer &

Bare, 2008).

Penyakit tulang uremik sering disebut

osteodistrofi renal terjadi dari kalsium, fosfat dan

keseimbangan parathormon. Laju penurunan fungsi ginjal

dan perkembangan gagal ginjal kronik berkaitan dengan

gangguan yang mendasari ekskresi protein dalam urin dan

adanya hipertensi. Pasien yang mengekskresikan secara

signifikan sejumlah protein atau mengalami peningkatan


16

tekanan darah cenderung akan cepat memperburuk dan pada

mereka yang tidak menjalani kondisi ini ( Brunner &

Suddarth, 2002).

6. Penatalaksanaan Gagal Ginjal Kronik

Tujuan penatalaksanaan adalah untuk

mempertahankan fungsi ginjal dan hemoestasis selama

mungkin. Seluruh faktor yang berperan dalam gagal

ginjal tahap akhir dan faktor yang dipulihkan (misalnya

obstruksi) diidentifikasi dan ditangani. Komplikasi

potensial gagal ginjal kronik yang memerlukan

pendekatan kolaboratif dalam perawatan mencakup:

a. Hiperkalemia akibat penurunan ekskresi, asidosis

metabolik, katabolisme, dan masukan diet yang

berlebih.

b. Perikarditis, efusi perikarditial, dan temponode

jantung akibat retensi produk sampah uremik dan

dialisis yang tidak adekuat.

c. Hipertensi akibat retensi cairan dan natrium serta

malfungsi sistem renin-angiotensin-aldosteron.

d. Anemia akibat penurunan aritropoitin, penurunan

rentang usia sel darah merah, perdarahan

gastrointestinal akibat iritasi oleh toksin, dan

kehilangan darah selama hemodialisa.

e. Penyakit tulang serta klasifikasi metastasik akibat

retensi fosfat, kadar kalsium serum yang rendah,


17

metabolisme vitamin D yang abnormal, dan peningkatan

kadar aluminium.

Komplikasi dapat dicegah atau dihambat dengan

pemberian antihipertensif, eritropoitin, suplemen besi,

agen pengikat fosfat, dan suplemen kalsium. Pasien juga

perlu mendapat penanganan dialysis yang adekuat untuk

menurunkan kadar produk sampah uremik dalam darah.

Intervensi diet juga diperlukan pada gangguan

fungsi renal dan mencakup pengaturan yang cermat

terhadap masukan protein, masukan cairan untuk

mengganti cairan yang hilang, masukan natrium untuk

mengganti natrium yang hilang, dan pembatasan kalium.

Pada saat yang sama, masukan kalori yang adekuat dan

suplemen vitamin harus dianjurkan. Protein akan

dibatasi karena urea, asam urat dan asam organik, hasil

pemecahan makanan dan protein jaringan akan menumpuk

secara cepat dalam darah jika terdapat gangguan pada

kilens renal. Protein yang dikonsumsi harus memiliki

nilai biologis tinggi (produk susu, telur, daging).

Protein mengandung nilai biologis yang tinggi adalah

substansi protein lengkap dan menyuplai asam amino

utama yang diperlukan untuk pertumbuhan dan perbaikan

sel. Biasanya cairan yang diperbolehkan adalah 500-600

ml untuk 24 jam. Kalori diperoleh dari karbohidrat dan

lemak untuk mencegah kelemahan. Pemberian vitamin juga


18

penting karena diet rendah protein tidak cukup

memberikan komplemen vitamin yang diperlukan. Selain

itu, pasien dialisis mungkin kehilangan vitamin larut

air melalui darah selama penanganan dialisis.

Hiperfosfatemia dan hipokalemia ditangani dengan

antasida mengandung aluminium yang mengikat fosfat

makanan disaluran gastrointestinal. Namun demikian

perhatian terhadap potensial toksisitis aluminium

jangka panjang dan hubungan antara tingginya kadar

aluminium dan neurologis dan osteomalasis menyebabkan

dokter meresepkan natrium karbonat dosis tinggi sebagai

penggantinya. Medikasi ini juga mengikat fosfat diet

disaluran intestinal menyebabkan antasida yang

digunakan cukup diberikan dalam dosis kecil. Kalsium

karbonat dan antasida pengikat fosfat harus diberikan

bersama dengan makanan agar efektif. Antasida

mengandung magnesium harus dihindari untuk mencegah

toksisitas magnesium.

Hipertensi ditangani dengan berbagai medikasi

antihipertensif control volume intravaskular.

Hiperkalemia biasanya dicegah dengan penanganan

dialisis yang adekuat disertai pengambilan kalium dan

pemantauan yang dicermat terhadap kandungan kalium pada

seluruh medikasi oral maupun intravena. Pasien


19

diharuskan diet rendah kalium.Kadang-kadang kayexe-late

diberikan secara oral.

Abnormalitas neurologi dapat terjadi dan

memerlukan observasi dini terhadap tanda-tanda seperti

kedutan, sakit kepala, delirium atau aktifitas

kejang.Pasien dilindungi dari cidera dengan menempatkan

pembatas tempat tidur.

Anemia pada gagal ginjal kronik ditangani dengan

epogen (eritropoitin manusia rekombinan). Anemia pada

pasien (hematokrit kurang dari 30%) muncul tanpa gejala

spesifik seperti malaise, keletihan umum, dan penurunan

toleransi aktivitas. Terapi epogen diberikan untuk

memperoleh nilai hematokrit sebesar 33%-38% yang

biasanya memulihkan gejala anemia epogen diberikan

secara intravena atau subkutan 3x seminggu (Brunner &

Suddarth, 2002).

7. Perubahan yang Terjadi pada Pasien Gagal Ginjal yang

Menjalani Hemodialisis

a. Perubahan Fisik

Tingkat keparahan tanda dan gejala bergantung

seberapa banyak kerusakan pada renal dan keadaan lain

yang mempengaruhi dan usia pasien. Tanda dan gejala

yang dapat muncul :

1) Neurologi: kelemahan, fatigue, kecemasan, penurunan

konsentrasi, disorientasi, tremor, seizures,


20

kelemahan pada lengan, nyeri pada telapak kaki,

perubahan tingkah laku.

2) Integumen: kulit berwarna coklat keabu-abuan,

kering, kulit mudah terkelupas, pruritus, ekimosis,

purpura tipis, kuku rapuh, rambut tipis.

3) Kardiovaskular: Hipertensi, edema pitting (kaki,

tangan, dan sakrum), edema periorbita, precordial

friction rub, pembesaran vena pada leher,

perikarditis, efusi perikardial,tamponade

pericardial, hiperkalemia, hiperlipidemia.

4) Paru-paru: krakles, sputum yang lengket dan kental,

depresi refleks batuk, nyeri pleuritik, napas

pendek, takipnea napas kussmaul, uremic pneumonitis,

“uremic lung”.

5) Gastrointestinal: bau ammonia, napas uremik, berasa

logam, ulserasi pada mulut dan berdarah, anoreksia,

mual dan muntah, hiccup, konstipasi atau diare,

perdarahan pada saluran pencernaan.

6) Hematologi: anemia, trombositopenia.

7) Reproduksi: amenorrhea, atropi testis, infertile,

penurunan libido.

8) Muslukoskleletal: kram otot,hilangnya kekuatan otot,

renal osteodistropi, nyeri tulang, fraktur, dan foot

drop.
21

Pasien GGK adalah hasil dari kerusakan jaringan

ginjal yang permanen. Kondisi ini membuat gangguan

fisik dan psikologis semakin terasa oleh pasien dan

membuat kehidupan pasien menjadi tidak normal akibat

keterbatasan yang dimiliki, sehingga akan mengganggu

kehidupan sosialnya (Leung, 2003).

Terapi rutin gagal ginjal yang dilakukan harus

bisa diintegrasikan oleh pasien kedalam kehidupan

kesehariannya. Secara umum pasien GGK menjalani terapi

hemodialisis sebanyak 2-3 kali seminggu, sehingga

membuat pasien akan berkurang waktu tidurnya. Proses

hemodialisis yang berlangsung 4-6 jam akan membuat

waktu tidur pasien kurang dari 6 jam (Nurmanawati,

2011). Gangguan tidur yang terjadi disebabkan karena

anemia, hipoalbumin, hipertensi, kram otot, gangguan

keseimbangan cairan elektrolit dan kondisi psikologis

pasien (Sabry et al, 2010). Keadaan ini membuat pasien

mengalami kelelahan dan mengalami penurunan fisik yang

akan membatasi aktivitas sosialnya (Leung, 2003).

Masalah nyeri kronis juga sering dikeluhkan oleh

pasien gagal ginjal kronis. Nyeri kronis pada pasien

gagal ginjal yang menjalani dialisis adalah akibat dari

osteoporosis, osteoartritis, artritis, 18 osteodistropi

ginjal, polineuropati perifer, carpal thunnel, penyakit

pembuluh darah tepi, osteomeilitis, dan prosedur


22

dialisis. Nyeri kronis pada pasien GGK ini dapat

menyebabkan depresi (Davison, 2007). Penyakit GGK juga

membuat kondisi kardiovaskuler pasien mengalami

gangguan. Hipertensi, dislipidemia dan diabetes akan

menjadi faktor resiko utama dalam perubahan endotel

pembuluh darah, dan pembentukan ateroskerosis. Kondisi

ini dapat memicu beberapa penyakit kardiovaskuler

antara lain penyakit jantung koroner, gagal jantung,

stroke dan penyakit arteri perifer. Konsekuensi yang

harus diterima adalah pasien yang menderita gagal

ginjal kronis akan memiliki morbiditas dan mortalitas

lebih tinggi akibat gangguan kardiovaskuler (Schiffrin

et al, 2007).

Masalah fisik yang lain yang sering dikeluhkan

pasien adalah gangguan seksual. Menurut penelitian

Kastrouni et al, (2010) melaporkan bahwa masalah

seksual adalah masalah yang paling utama pada pasien

GGK yang menjalani hemodialisis di Yunani. Gangguan

ginjal akan mempengaruhi penampilan seksual baik pada

laki-laki maupun pada wanita. Hal ini disebabkan pasien

mengalami perubahan hormonal akibat uremia.Selain

perubahan hormonal, efek obat juga berperan dalam

gangguan seksual ini. Obat yang diberikan pada pasien

hemodialisis dapat menyebabkan disfungsi seksual

(Leung, 2003). Hal ini didukung oleh hasil penelitian


23

Nurmawati (2011) yang menyebutkan bahwa pasien yang

menjalani hemodialisis mengalami masalah dalam hubungan

seksual dengan pasangannya.

b. Perubahan Psikologis

Perubahan fungsi secara progresif akibat penyakit

ginjal yang diderita membuat pasien gagal ginjal

mengalami berbagai stres psikologis. Perubahan

keseharian akibat terapi yang harus dijalani, kewajiban

melakukan kunjungan ke rumah sakit dan laboratorium

secara rutin untuk pemeriksaan darah, dan perubahan

finansial untuk biaya pengobatan membuat pasien

mengalami stres dan membuat mereka tidak dapat

menjalankan peran secara holistik (Purba & Moni 2012).

Keadaan lainya yang membuat kondisi psikologis pasien

semakin berat adalah ancaman kematian, potensial

malpraktik petugas kesehatan, perasaan menjadi objek

percobaan akibat seringnya diambil darah untuk

pemeriksaan, stres akibat efek dari penyakit yang

diderita, dan ketakutan akan diisolasi oleh lingkungan

sekitar (Kastrouni et al, 2010).

Kondisi tersebut akan membuat pasien dengan gagal

ginjal kronis dapat mengalami depresi. Depresi yang

terjadi pada pasien gagal ginjal kronis adalah

multidimensional meliputi komponen fisik, psikologis

dan sosial. Depresi biasanya timbul pada tahun pertama


24

pada saat mulai dilakukan terapi hemodialisis. Kondisi

ini dipicu oleh perubahan secara radikal pola hidup

pasien, masalah kehilangan pekerjaan, perubahan peran

di keluarga, perubahan hubungan dan waktu yang terbuang

untuk dialisis. Penelitian yang dilakukan oleh Asri

dkk, (2006) melaporkan bahwa terdapat hubungan yang

bermakna antara dukungan sosial dan tingkat depresi

pasein yang menjalani hemodialisis. Penelitian lain

menunjukkan bahwa pada pasien gagal ginjal kronis yang

mengalami depresi memiliki kualitas hidup yang lebih

rendah jika dibandingkan dengan pasien yang tidak

mengalami depresi (Son et al, 2009). Periode

penyesuaian ini pasien akan mengalami ketidakberdayaan

dan kehilangan kepribadian yang cukup parah (Davison,

2007).

Pasien hemodialisis akan melalui tiga tahap

penyesuaian secara psikologis, yaitu:

1) Periode honey moon, disebut juga periode optimis,

yang ditandai adanya perbaikan fisik dan emosional,

dan kesadaran pasien lebih jernih. keadaan ini

diikuti dengan munculnya harapan dan kepercayaan.

Muncul setelah tiga minggu penderita menjalani

hemodialisis yang pertama dan berlangsung enam

minggu sampai enam bulan.


25

2) Periode kekecewaan, rasa senang, percaya, dan

harapan mulai berkurang dan kemudian menghilang.

Pasien mulai sedih dan tidak berdaya. Keadaan ini

berlangsung tiga sampai enam belas bulan.

3) Periode adaptasi jangka panjang (long term

adaptation), masing-masing pasien menerima

keterbatasan dirinya, kekurangan, dan komplikasi

dari tindakan hemodialisis tersebut. Perubahan ke

periode ini terjadi secara bertahap. Perubahan ini

ditandai dengan fluktuasi perasaan pasien tentang

emosi dan kesehatan dirinya (Kaplan & Sadock, 1997 ;

Auer, 2002).

Pasien dengan GGK harus dapat menerima fakta

terapi hemodialisis akan diperlukan untuk sepanjang

hidupnya. Pasien dengan PGK seringkali menyangkal apa

yang sedang terjadi pada mereka pada saat awal terapi

hemodialisis. Hal ini mungkin berlanjut beberapa waktu

dan menghalangi beberapa pasien untuk menerima aspek-

aspek penting alam pengobatan mereka. Pemberian

informasi tentang penyakit mereka dan keterlibatan

dalam perencanaan dan implementasi perawatan membantu

pasien untuk melawan perasaanperasaan ketergantungan

danmenjaditermotivasi untuk mempertahankan kesehatan

mereka sedapat mungkin (Hudak & Gallo, 1996). Aspek

emosi yang muncul pada awal pasien didiagnosis GGT


26

adalah takut, marah, berduka, depresi dan akhirnya

menerima penyakit dan menjalani terapi. Rasa takut

muncul karena pasien tidak mengetahui masa depan dari

penyakit dan terapi yang dijalaninya. Marah karena

pasien menganggap seharusnya bukan dia yang sakit. Rasa

berduka karena kehilangan fungsi organ sebelum akhirnya

harus tergantung pada dialisis. Depresi terjadi akibat

dari komplikasi dari terapi yang dijalani pasien.

Keadaan ini membuat pasien membutuhkan bantuan dalam

beradaptasi secara biopsikososial terhadap penyakitnya

(Leung, 2003).

Masalah psikologis lain adalah perubahan harga

diri pasien, perubahan pola hidup, perubahan nilai-

nilai personal dan pola rutinitas pasien (Leung, 2003)

kehilangan harapan, dendam (White & Granyer, 2001).

c. Perubahan Sosial

Beberapa pasien timbul gangguan psikis seperti

stres, depresi, cemas, putus asa, konflik

ketergantungan, denial, frustasi, keinginan untuk bunuh

diri, dan penurunan citra diri (Hudak & Galo, 1996).

Selain itu, karena keterbatasan fisik yang dialaminya

maka pasien pun akan mengalami perubahan peran dalam

keluarga maupun peran sosial di masyarakat. Peran

sosial lain yang berubah pada pasien GGK adalah

perubahan pekerjaan. Pasien dengan keterbatasan fisik


27

akan mengalami penurunan kemampuan kerja. Pasien dapat

mengambil cuti atau kehilangan pekerjaannya. Hal ini

akan menimbulkan permasalahan lain yaitu penurunan

kualitas hidup pasien. Pasien GGK yang tidak mempunyai

pekerjaan mempunyai penurunan skor yang sangat

signifikan pada dimensi fungsi fisik, peran fisik,

kesehatan umum, vitalitas, peran emosional dan

peningkatan intensitas nyeri (Blake et al, 2000).

d. Perubahan Ekonomi

Perubahan ekonomi akibat dari penyakit ginjal dan

dialisis tidak hanya terjadi pada individu dan keluarga

pasien. Masalah ekonomi ini juga akan berakibat kepada

perekonomian negara sebagai penanggung jawab atas

penduduknya. Biaya dialisis yang mahal akan membuat

pengeluaran di sektor kesehatan akan meningkat. Menurut

Shcieppati & Remuzzi, (2005) biaya yang harus

dikeluarkan untuk setiap pasien dialisis setiap

tahunnya adalah $ 52.000 (Rp 494.000.000).

Biaya perawatan yang mahal membuat pasien yang

harus menjalani hemodialisis di negara berkembang

sebagian besar meninggal atau berhenti melakukan

dialisis setelah 3 bulan menjalani terapi (Shcieppati &

Remuzzi, 2005). Di sisi lain kapasitas kerja dan fisik

mereka mengalami penurunan yang sangat drastis sehingga

terjadi penurunan penghasilan.


28

Individu dengan hemodialisis jangka panjang

sering merasa khawatir dengan kondisi sakitnya yang

tidak dapat diramalkan dan gangguan dalam

kehidupannya.Mereka biasanya menghadapi masalah

finansial, kesulitan dalam mempertahankan pekerjaan,

dan beban yang ditimbulkan pada keluarga mereka.

Asuransi kesehatan yang dimiliki akan sangat

membantu mengurangi pengeluaran finansial mereka. Biaya

yang harus mereka keluarkan hanya untuk membeli obat

dan biaya tranportasi ke unit hemodialis. Penurunan

pengeluaran finansial ini akan mengurangi stres

psikologis pasien.

B. KONSEP HEMODIALISA

1. Definisi Hemodialisa

Hemodialisa (HD) adalah dialisis dengan

menggunakan mesin dialiser yang berfungsi sebagai

ginjal buatan. Pada hemodialisa, darah dipompa keluar

dari tubuh, masuk kedalam mesin dialiser. Didalam mesin

dialiser, darah dibersihkan dari zat-zat racun melalui

proses difusi dan ultrafiltrasi oleh dialisat (suatu

cairan khusus untuk dialisis), lalu dialirkan kembali

kedalam tubuh. Proses hemodialisa dilakukan 1-3 kali

seminggu dirumah sakit dan setiap kalinya membutuhkan

waktu sekitar 2-4jam (Ratna Mahdiana, 2011).


29

Hemodialisis merupakan suatu proses yang

digunakan pada pasien dalam keadaan sakit akut dan

memerlukan terapi dialisis jangka pendek (beberapa hari

hingga beberapa minggu) atau pasien dengan penyakit

ginjal stadium terminal (ERSD; End Stage Renal Disease)

yang membutuhkan terapi jangka panjang atau terapi

permanen (Brunner & Suddarth, 2010).

2. Tujuan Hemodialisa

Tujuan hemodialisa adalah untuk mengambil zat-zat

nitrogen yang toksik dari dalam darah dan mengeluarkan

air yang berlebihan. Pada hemodialisis, aliran darah

yang penuh dengan toksin dan limbah nitrogen dialihkan

dari tubuh pasien ke dialiser tempat darah tersebut

dibersihkan dan kemudian dikembalikan lagi ke tubuh

pasien (Brunner & Suddarth, 2010). Tujuan utama

tindakan hemodialisis adalah mengembalikan keseimbangan

cairan intraseluler dan ekstraseluler yang terganggu

akibat dari fungsi ginjal yang rusak (Himmelfarb &

Ikizler, 2010).

3. Peresepan Hemodialisa

Sebelum hemodialisa dilaksanakan haruslah dibuat

suatu peresepan (prescription) untuk merencanakan dosis

hemodialisa tersebut, dan selanjutnya membandingkan

dengan hasil hemodialisa yang telah dilakukan untuk

menilai adekuatnya suatu tindakan hemodialisa.


30

4. Tindakan Hemodialisis Regular

Pasien yang mengalami gagal ginjal kronik dan

kemudianberkembang menjadi gagal ginjal terminal

membutuhkan dialysissecara rutin.Sesi ini bertujuan

untuk mengetahui faktor-faktor yang relevan sebagai

pertimbangan untuk memulai dan menjagapasien tetap pada

terapi dialisis regular (Cahyaningsih, 2011).

5. Prinsip Yang Mendasari Kerja Hemodialisa

Ada tigaprinsip yang mendasari kerja

hemodialisis, yaitu difusi, osmosis, dan ultrafiltrasi.

Toksin dan zat limbah didalam darah dikeluarkan melalui

proses difusi dengan cara bergerak dari darah yang

memiliki konsentrasi tinggi, ke cairan dialisat dengan

konsentrasi yang lebih rendah (Lavey, 2011). Cairan

dialisat tersusun dari semua elektrolit yang penting

dengan konsentrasi ekstrasel yang ideal. Kelebihan

cairan dikeluarkan dari dalam tubuh melalui proses

osmosis. Pengeluaran air dapat dikendalikan dengan

menciptakan gradient tekanan, dimana air bergerak dari

daerah dengan tekanan yang lebih tinggi (tubuh pasien)

ke tekanan yang lebih rendah (cairan dialisat). Gradien

ini dapat ditingkatkan melalui penambahan tekanan

negatif yang dikenal sebagai ultrafiltrasi pada mesin

dialisis. Tekanan negatif diterapkan pada alat ini


31

sebagai kekuatan penghisap pada membrane dan

memfasilitasi pengeluaran air (Elizabeth, et al, 2011).

6. Penatalaksanaan Pasien Yang Menjalani Hemodialisa

Hemodialisis merupakan hal yang sangat membantu

pasien sebagai upaya memperpanjang usia penderita.

Hemodialisis tidak dapat menyembuhkan penyakit ginjal

yang diderita pasien tetapi hemodialisis dapat

meningkatkan kesejahteraan kehidupan pasien yang gagal

ginjal (Anita, 2012).

Pasien hemodialisis harus mendapat asupan makanan

yang cukup agar tetap dalam gizi yang baik. Gizi kurang

merupakan prediktor yang penting untuk terjadinya

kematian pada pasien hemodialisis. Asupan protein

diharapkan 1-1,2 gr/kgBB/hari dengan 50% terdiri atas

asupan protein dengan nilai biologis tinggi. Asupan

kalium diberikan 40-70 meq/hari. Pembatasan kalium

sangat diperlukan, karena itu makanan tinggi kalium

seperti buah-buahan dan umbi-umbian tidak dianjurkan

untuk dikonsumsi. Jumlah asupan cairan dibatasi sesuai

dengan jumlah urin yang ada ditambah insensible water

loss.Asupan natrium dibatasi 40-120 meq/hari guna

mengendalikan tekanan darah dan edema. Asupan tinggi

natrium akan menimbulkan rasa haus yang selanjutnya

mendorong pasien untuk minum. Bila asupan cairan

berlebihan maka selama periode diantara dialisis akan


32

terjadi kenaikan berat badan yang besar (Perhimpunan

Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia, 2014).

Banyak obat yang diekskresikan seluruhnya atau

sebagian melalui ginjal. Pasien yang memerlukan obat-

obatan (preparat glikosida jantung, antibiotik,

antiaritmia, dan antihipertensi) harus dipantau dengan

ketat untuk memastikan agar kadar obat-obatan ini dalam

darah dan jaringan dapat dipertahankan tanpa

menimbulkan akumulasi toksik. Resiko timbulnya efek

toksik akibat obat harus dipertimbangkan bila seseorang

pasien bertanya, ”Apakah obat ini aman untuk sakit

kepala?” beberapa akan dikeluarkan dari darah pada saat

dialisis, oleh karena itu, penyesuaian dosis oleh

dokter diperlukan. Obat-obatan yang terikat dengan

protein tidak akan dikeluarkan selama dialisis.

Pengeluaran metabolit obat yang lain bergantung pada

berat dan ukuran molekulnya.

7. Pembuatan Akses Untuk Hemodialisa

Agar prosedur hemodialisa dapat berlangsung

sebelumnya perlu dibuatkan akses untuk keluar dan

masuknya darah dari tubuh. Akses untuk hemodialisa

dapat bersifat temporer (sementara) atau permanen

(Ratna Mahdiana, 2011).

a. Akses temporer yaitu berupa kateter yang dipasang

pada pembuluh darah balik (vena) didaerah leher.


33

Tips perawatan akses temporer (kateter):

1) Cuci tangan sesering mungkin

2) Jangan menyentuh kateter

3) Jangan biarkan kateter tergesek atau terdorong

oleh benda apapun, termasuk baju yang sedang anda

kenakan

4) Jaga agar kateter senantiasa kering.

b. Akses permanen biasanya dibuat dengan menghubungkan

salah satu pembuluh darah balik (vena) dengan

pembuluh nadi (arteri) pada lengan bawah. Akses

model fistula ini populer dengan nama cimino. Jika

meletakkan jari di bagian cimino, akan merasakan

getaran yang ditimbulkan oleh aliran darah pada

cimino. Getaran ini perlu diperiksa secara berkala

untuk memastikan bahwa aliran darah pada cimino

tetap lancar.

Tips perawatan cimino yaitu:

1) Jangan mengenakan pakaian ketat atau perhiasan

disekitar daerah cimino

2) Jangan mengukur tekanan darah, mengambil darah,

atau melakukan infuse pada lengan yang terpasang

cimino

3) Cuci tangan sesering mungkin dan jaga agar daerah

dan sekitarnya senantiasa bersih.


34

8. Keuntungan dan Kerugian Hemodialisa

Keuntungan hemodialisa yaitu:

a) Tidak usah menyiapkan peralatan hemodialisa sendiri

b) Kondisi pasien lebih terpantau karena prosedur

hemodialisa dilakukan dirumah sakit oleh tenaga

kesehatan terlatih

c) Jumlah protein yang hilang selama pada proses

hemodialisa lebih sedikit (Ratna Mahdiana, 2011).

Kerugian hemodialisa yaitu:

a) Fungsi ginjal yang tersisa cepat menurun

b) Pembatasan asupan cairan dan diet lebih ketat

c) Kadar hemoglobin lebih rendah, sehingga kebutuhan

akan eritropoetin lebih tinggi (Ratna Mahdiana,

2011).

9. Perawatan Pada Hemodialisa

Ada tiga jenis perawatan yang dilakukan pada

pasien dengan hemodialisa , yaitu:

a. Perawatan Sebelum Hemodialisis (Pra Hd)

Persiapan alat:

Persiapan mesin

Listrik

Air (sudah melalui pengolahan)

Saluran pembuangan

Dialisat (proportioning sistim, batch sistim)

Persiapan peralatan + obat-obatan


35

Dialyzer/ Ginjal buatan (GB)

AV Blood line

AV fistula/abocath

Infuse set

Spuit : 50 cc, 5 cc, dll ; insulin

Heparin inj

Xylocain (anestesi local)

NaCl 0,90 %

Kain kasa/ Gaas steril

Duk steril

Sarung tangan steril

Bak kecil steril

Mangkuk kecil steril

Klem

Plester

Desinfektan (alcohol + bethadine)

Gelas ukur (mat kan)

Timbangan BB

Formulir hemodialisis

Sirkulasi darah

Persiapan pasien:

1) Persiapan mental

2) Izin hemodialisis

3) Persiapan fisik :Timbang BB, Posisi, Observasi KU

(ukur TTV)
36

LANGKAH LANGKAH :

a) Cuci tangan

b) Letakkan GB pada holder, dengan posisi merah

diatas

c) Hubungkan ujung putih pada ABL dengan GB ujung

merah

d) Hubungkan ujung putih VBL dengan GB ujungbiru,

ujung biru VBL dihubungkan dengan alat

penampung/ mat-kan

e) Letakkan posisi GB terbalik, yaitu yang tanda

merah dibawah, biru diatas

f) Gantungkan NaCl 0,9 % (2-3 kolf)

g) Pasang infus set pada kolf NaCl

h) Hubungkan ujung infus set dengan ujung merah

ABL atau tempat khusus

i) Tutup semua klem yang ada pada slang ABL, VBL,

(untuk hubungan tekanan arteri, tekanan vena,

pemberian obat-obatan)

j) Buka klem ujung dari ABL, VBL dan infus set

100 ml/m±Jalankan Qb dengan kecepatan

k) Udara yang ada dalam GB harus hilang (sampai

bebeas udara) dengan cara menekan-nekan VBL

l) Air trap/Bubble trap diisi 2/3-3/4 bagian

m) Setiap kolf NaCl sesudah/ hendak mengganti kolf

baru Qb dimatikan
37

n) Setelah udara dalam GB habis, hubungkan ujung

ABL dengan ujung VBL, klem tetap dilepas

o) Masukkan heparin dalam sirkulasi darah sebanyak

1500-2000 U

Ganti kolf NaCl dengan yang baru yang telah

diberi heparin 500 U dan klem infus dibuka

p) Jalankan sirkulasi darah + soaking (melembabkan

GB) selama 10-15 menit sebelu dihubungkan

dengan sirkulasi sistemik (pasien)

CATATAN !!!!

PERSIAPAN SIRKULASI

Rinsing/Membilas GB + VBL + ABL

Priming/ mengisi GB + VBL + ABL

Soaking/ melembabkan GB.

Volume priming : darah yang berada dalam sirkulasi

(ABL + GB + VBL )

Cara menghitung volume priming :

Σ NaCl yang dipakai membilas dikurangi jumlah NaCl

yang ada didalam mat kan (gelas tampung/ ukur)

Contoh :

∑ NaCl yang dipakai membilas : 1000 cc

∑ NaCl yang ada didalam mat kan : 750 cc

Jadi volume priming : 1000 cc – 750 cc = 250 cc

Cara melembabkan (soaking) GB Yaitu dengan

menghubungkan GB dengan sirkulasi dialisat


38

Bila mempergunakan dialyzer reuse / pemakaian GB

ulang :

Buang formalin dari kompartemen darah dan

kompartemen dialisat

Hubungkan dialyzer dengan selang dialisat 15 menit

pada posisi rinse ±

Biarkan test formalin dengan tablet clinitest :

Tampung cairan yang keluar dari dialyzer atau

drain 10 tts (1/2 cc), masukkan ke dalam tabung

gelas, masukkan 1 tablet clinitest ke dalam tabung

gelas yang sudah berisi cairan±

Ambil cairan

Lihat reaksi :

Warna biru : – / negatif

Warna hijau : + / positif

Warna kuning : + / positif

Warna coklat : +/ positif

Selanjutnya mengisi GB sesuai dengan cara mengisi

GB baru

b. Perawatan Selama Hemodialisis (Intra HD)

Persiapan pasien dan langkah-langkahnya:

a) Pasien sebelumnya dianjurkan cuci lengan & tangan

b) Teknik aseptic + antiseptic : bethadine + alcohol

c) Anestesi local (lidocain inj, procain inj)


39

d) Punksi vena (outlet). Dengan AV fistula no G.14

s/d G.16/ abocath, fiksasi, tutup dengan kasa

steril

e) Berikan bolus heparin inj (dosis awal)

Punksi inlet (fistula), fiksasi, tutup dengan

kassa steril

f) Dengan eksternal A-V shunt (Schibner)

g) Desinfektan

Klem kanula arteri & vena

h) Bolus heparin inj (dosis awal)

i) Desinfektan

Anestesi local

j) Punksi outlet/ vena (salah satu vena yang besar,

biasanya di lengan).

k) Bolus heparin inj (dosis awal)

l) Fiksasi, tutup kassa steril

m) Punksi inlet (vena/ arteri femoralis)

n) Raba arteri femoralis

o) Tekan arteri femoralis 0,5 – 1 cm ke arah medial

± Vena femoralis

p) Anestesi lokal (infiltrasi anetesi) Vena

femoralis dipunksi setelah anestesi lokal 3-5

menit
40

q) Fiksasi

Tutup Tanpa 1 & 2(femora dll)

dengan kassa steril

Memulai hemodialisis dan langkah-langkahnya:

1) Ujung ABL line dihubungkan dengan punksi inlet

2) Ujung VBL line dihubungkan dengan punksi outlet

3) Semua klem dibuka, kecuali klem infus set100

ml/m, sampai sirkulasi darah terisi darah semua.±

4) Jalankan pompa darah (bloopump) dengan Qb

5) Pompa darah (blood pump stop, sambungkan ujung

dari VBL dengan punksi outlet

6) Fiksasi ABL & VBL (sehingga pasien tidak sulit

untuk bergerak)

7) cairan priming diampung di gelas ukur dan

jumlahnya dicatat (cairan dikeluarkan sesuai

kebutuhan).

8) Jalankan pompa darah dengan Qb = 100 ml/m,

setelah 15 menit bisa dinaikkan sampai 300 ml/m

(dilihat dari keadaan pasien)

9) Hubungkan selang-selang untuk monitor : venous

pressure, arteri pressure, hidupkanair/ blood

leak detector

10) Pompa heparin dijalankan (dosis heparin sesuai

keperluan). Heparin dilarutkan dengan NaCl


41

11) Ukur TD, Nadi setiap 1 jam. Bila keadaan pasien

tidak baik/ lemah lakukanmengukur TD, N, lebih

sering.

12) Isi formulir HD antara lain : Nama, Umur, BB, TD,

S, N, P, Tipe GB, Cairan priming yang masuk,

makan/minum, keluhan selama HD, masalah selama

HD.

CATATAN !!!!

a) Permulaan HD posisi dialyzer terbalik setelah

dialyzer bebas udara posisi kembalikanke posisi

sebenarnya

b) Pada waktu menghubungkan venous line dengan

punksi outlet, udara harus diamankanlebih dulu

c) Semua sambungan dikencangkan

d) Tempat-tempat punksi harus harus

seringdikontrol,untuk

menghindariterjadi perdarahan dari tempat

punksi.

Persiapan Mesin dan langkah-langkahnya :

Memprogram mesin hemodialisis :

1) Qb : 200–300 ml/m

2) Qd : 300–500 ml/m

3) Temperatur : 36-400C

4) TMP. UFR
42

5) Heparinisasi

Tekanan (+)/venous pressure

Trans Membran Pressure/TMP Tekanan(-)/dialysate

pressure

Tekanan(+)+ tekanan (-)

Tekanan / pressure :

Arterial pressure/tekanan arteri : banyaknya

darah yang keluar dari tubuh

Venous pressure/tekanan vena : lancar/ tidak

darah yang masuk ke dalam.

6) Heparinisasi

Dosis heparin :

Dosis awal : 25–50 U/kgBB

Dosis selanjutnya (maintenance) = 500–1000U/kgBB

Cara memberikan:

Kontinus

Intermiten (biasa diberikan tiap 1 jam sampai 1

jamterakhir sebelum HD selesai)

Heparinisasi umum

Kontinus :

Dosis awal : ……. U

Dosis selanjutnya : …… U

Intermitten :

Dosis awal : …… U

Dosis selanjutnya : ……. U


43

Heparinisasi regional

Dosis awal : …… U

Dosis selanjutnya : ….. U

Protamin : …. U

Heparin : protamin =100U : 1mg

Heparin & protamin dilarutkan dengan NaCl.

Heparin diberikan/ dipasang pada selang sebelum

dializer.

Protamin diberikan/ dipasang pada selang sebelum

masuk ke tubuh/ VBL.

Heparinisasi minimal

Syarat-syarat :

Dialyzer khusus (kalau ada).

Qb tinggi (250 – 300 ml/m)

Dosis heparin : 500 U (pada sirkulasi darah).

Bilas dengan NaCl setiap : ½– 1jam

Banyaknya NaCl yang masuk harus dihitung

Jumlahnya NaCl yang masuk harus dikeluarkan dari

tubuh, bisa dimasukkan ke dalam program

ultrafiltrasi

CATATAN

Dosis awal : diberikan pada waktu punksi : sirkulasi

system

Dosis selanjutnya: diberikan dengan

sirkulasi(maintenance) ekstra korporeal.


44

PENGAMATAN OBSERVASI, MONITOR SELAMA HEMODIALISA

1) PASIEN

KU pasien

TTV

Perdarahan

Tempat punksi inlet, outlet

Keluhan/ komplikasi hemodialisis

2) MESIN & PERALATAN

Qb

Qd

Temperature

Koduktiviti

Pressure/ tekanan : arterial, venous, dialysate,

UFR

Air leak & Blood leak

Heparinisasi

Sirkulasi ekstra corporeal

Sambungan-sambungan

CATATAN :

Obat menaikkan TD ( tu. pend hipotensi berat) :

Efedrin 1 ampul + 10 cc aquadest kmd disuntik 2

ml/I

c. Perawatan Sesudah Hemodialisis (Post Hd)

Persiapan alat :

Kain kasa/ gaas steril


45

Plester

Verband gulung

Alkohol/ bethadine

Antibiotik powder (nebacetin/ cicatrin)

Bantal pasir (1-1/2 keram) : pada punksi femoral

Cara bekerja:

a) 5menit sebelum hemodialisis berakhir Qb diturunkan

sekitar 100cc/m UFR = 0

b) Ukur TD, nadi

c) Blood pump stop

d) Ujung ABL diklem, jarum inlet dicabut , bekas

punksi inlet ditekandengan kassa sterilyang diberi

betadine.

e) Hubungkan ujung abl dengan infus set 50 – 100

cc)± 100 ml/m (NaCl masuk : ±6.Darah dimasukkan ke

dalam tubuh dengando dorong dengan nacl sambil

qb dijalankan

f) Setelah darah masuk ke tubuh Blood pump stop, ujun

VBL diklem.

g) Jarum outlet dicabut, bekas punksi inlet & outlet

ditekan dengan kassa steril yang diberi bethadine

h) Bila perdarahan pada punksi sudah berhenti, bubuhi

bekas punksi inlet & outletdengan antibiotik

powder, lalu tutup dengan kain kassa/band aid lalu

pasang verband.
46

i) Ukur TTV : TD. N, S, P

j) Timbang BB (kalau memungkinkan)

k) Isi formulir hemodialisis

CATATAN :

1) Cairan pendorong/ pembilas (NaCl) sesuai dengan

kebutuhan , kalau perlu di dorong dengan udara (

harus hati-hati)

2) Penekanan bekas punksi dengan 3 jari sekitar

10menit

3) Bekas punksi femoral lebih lama, setelah

perdarahan berhenti, ditekan kembali denganbantal

pasir

4) Bekas punksi arteri penekanan harus tepat, lebih

lama

5) Memakai teknik aseptik dan antiseptic

SCRIBNER

1) Pakai sarung tangan

2) Sebelum ABL & VBL dilepas dari kanula maka kanula

arteri & kanula vena harus diklem lebih dulu

3) kanula arteri & vena dibilas dengan NaCl yang

diberi 2500U – 300U heparin inj.

4) Kedua sisi kanula dihubungkan kembali dengan

konektor

5) Lepas klem pada kedua kanula

6) Fiksasi
47

7) Pasang balutan dengan sedikit kanula bisa dilihat

dari luar, untuk mengetahui ada bekuan atautidak.

C. KONSEP DUKUNGAN KELUARGA

1. Pengertian Keluarga

Keluarga adalah dua atau lebih dari dua individu

yang tergabung karena hubungan darah, hubungan

perkawinan atau pengangkatan dan mereka hidup dalam

satu rumah tangga, berinteraksi satu sama lain dan

didalam perannya masing-masing menciptakan serta

mempertahankan kebudayaan (Friedman, 2010).

Sedangkan menurut Ali (2010), keluarga adalah dua

atau lebih individu yang bergabung karena hubungan

darah, perkawinan dan adopsi dalam satu rumah tangga,

yang berinteraksi satu dengan lainnya dalam peran dan

menciptakan serta mempertahankan suatu budaya.

2. Fungsi Keluarga

Berdasarkan UU No.10 tahun 1992 PP No.21 tahun

1994 tertulis fungsi keluarga dalam delapan bentuk

yaitu:

a. Fungsi Keagamaan

b. Fungsi Budaya

c. Fungsi Cinta Kasih

d. Fungsi Perlindungan

e. Fungsi Reproduksi

f. Fungsi Sosialisasi
48

g. Fungsi Ekonomi

h. Fungsi Pelestarian Lingkungan

Sedangkan fungsi keluarga menurut Friedmen 2010

yaitu sebagai berikut:

a. Fungsi Afektif

b. Fungsi Sosialisasi

c. Fungsi Reproduksi

d. Fungsi Ekonomi

e. Fungsi Pemeliharaan Kesehatan

3. Tugas Keluarga Dalam Bidang Kesehatan

Menurut Friedmen (2010) sesuai dengan fungsi

pemeliharaan kesehatan, keluarga mempunyai tugas-tugas

dalam bidang kesehatan yang perlu dipahami dan

dilakukan, yaitu:

a. Mengenal masalah kesehatan setiap anggota

keluarganya.

b. Mengambil keputusan untuk melakukan tindakan yang

tepat bagi keluarga.

c. Memberikan perawatan bagi anggotanya yang sakit atau

yang tidak mampu membantu dirinya sendiri karena

kecacatan atau usianya yang terlalu muda

d. Mempertahankan suasana dirumah yang menguntungkan

kesehatan dan perkembangan kepribadian anggota

keluarga.
49

e. Mempertahankan hubungan timbal balik antara keluarga

dan lembaga kesehatan dengan memanfaatkan fasilitas

pelayanan kesehatan yang ada.

4. Bentuk Dukungan Keluarga

Keluarga memiliki beberapa bentuk dukungan

(Friedman, 2010) yaitu:

a. Dukungan Penilaian

b. Dukungan Instrumental

c. Dukungan Informasional

d. Dukungan Emosional

5. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Dukungan Keluarga

Menurut purnawan (2008) faktor-faktor yang

mempengaruhi dukungan keluarga adalah :

a. Faktor Internal

1) Tahap Perkembangan

Artinya dukungan dapat ditentukan oleh

factor usia dalam hal ini adalah pertumbuhan dan

perkembangan, dengan demikian setiap rentan usia

(Bayi-Lansia) memiliki pemahaman dan respon

terhadap perubahan kesehatan yang berbeda-beda.

2) Pendidikan atau tingkat Pengetahuan

Keyakinan sesorang terhadap adanya dukungan

terbentuk oleh variabel intelektual yang terdiri


50

dari pengetahuan, latar belakang pendidikan, dan

pengalaman masa lalu. Kemampuan kognitif akan

membentuk cara berfikir seseorang termasuk

kemampuan untuk memahami faktor-faktor yang

berhubungan dengan penyakit dan menggunakan

pengetahuan tentang kesehatan untuk menjaga

kesehatan dirinya.

3) Faktor Emosi

Faktor emosional juga mempengaruhi

keyakinan terhadap adanya dukungan dan cara

melaksankannya. Sesorang yang mengalami respon

stress dalam setiap perubahan hidupnya cenderung

berespon terhadap berbagai tanda sakit, mungkin

dilakukan dengan cara mengkhawatirkan bahwa

penyakit tersebut dapat mengancam kehidupanya.

Seseorang yang secara umum terlihat sangat tenang

mungkin mempunyai respon emosional yang kecil

selama ia sakit. Seorang individu yang tidak

mampu melakukan koping secara emosional terhadap

ancaman penyakit mungkin akan menyangkal adanya

gejala penyakit pada dirinya dan tidak mau

menjalani pengobatan.

4) Faktor Spiritual

Aspek spiritual dapat terlihat dari

bagaimana seseorang menjalani kehidupanya,


51

mencakup nilai dan keyakinan yang dilaksanakan,

hubungan dengan keluarga atau teman, dan

kemampuan mencari harapan dan arti dalam hidup.

b. Faktor Eksternal

1) Praktik di keluarga

Cara bagaimana keluarga memberikan dukungan

biasanya mempengaruhi penderita dalammelaksanakan

kesehatannya. Misalnya: klien juga kemungkinan

besar akan melakukan tindakan pencegahan jika

keluarganya melakukan hal yang sama. Misal: anak

yang selalu diajak orang tuanya untuk melakukan

pemeriksaan kesehatan rutin, maka ketika punya

anak dia akan melakukan hal yang sama.

2) Faktor sosio-ekonomi

Factor sosial dan psikososial dapat

meningkatkan risiko terjadinya penyakit dan

mempengaruhi cara seseorang mendefinisikan dan

bereaksi terhadap penyakitnya.

Variabelpsikososial mencakup: stabilitas

perkawinan, gaya hidup, dan lingkungan kerja.

Seseorang biasanya akan mencari dukungan dan

persetujuan dari kelompok sosialnya, hal ini akan

mempengaruhi keyakinan kesehatan dan cara

pelaksanaannya. Semakin tinggi tingkat ekonomi

seseorang biasanya ia akan lebih cepat tanggap


52

terhadap gejala penyakit yang dirasakan. Sehingga

ia akan segera mencari pertolongan ketika merasa

ada gangguan pada kesehatannya .

3) Latar belakang budaya

Latar belakang budaya mempengaruhi

keyakinan, nilai dan kebiasaan individu, dalam

memberikan dukungan termasuk cara pelaksanaan

kesehatan pribadi.

6. Alat Ukur Dukungan Keluarga

Alat yang digunakan untuk mengukur dukungan

keluarga dengan menggunakan kuesioner, kuesioner adalah

sejumlah pertanyaan atau pernyataan tertulis yang

digunakan untuk memperoleh data dan informasi dari

responden (Arikunto, 2006). Kuesioner di adopsi dari

farida (2012) skala yang digunakan dalam penelitian ini

yaitu skala likert dengan alternative jawaban selalu

(SL), sering (SR), jarang (JR) tidak pernah (TP).

Pemberian skor untuk pertanyaan dilakukan dengan

sistematika jawaban selalu (skor 4), sering (skor 3),

jarang (skor 2), tidak pernah (skor 1). Skor tersebut

dibuat presentase (%) dan akan dimasukan dalam kategori

Baik :76%-100%

Cukup :56%-75%

Kurang :<56%
53

Kemudian jumlah skor tersebut seluruhnya di total

untuk mengetahui tingkat dukungan keluarga terhadap

mekanisme koping pasien GGK (Arikunto, 2010).

7. Dukungan Keluarga Untuk Pasien Hemodialisis

Dukungan keluarga merupakan dukungan verbal dan

non verbal, bisa berupa saran, bantuan langsung atau

sikap yang diberikan oleh orang-orang yang mempunyai

kedekatan dengan subjek didalam lingkungan sosialnya.

Dukungan ini bisa juga berupa kehadiran yang memberi

responemosional dan mempengaruhi tingkah laku penerima

dukungan tersebut (Ali dalam Zurmelli dkk, 2015). Ada 5

(lima) dimensi dukungan keluarga yang diberikan oleh

anggota keluarga (House dalam Smet, 2004) yaitu

dukungan emosional, dukungan penghargaan, dukungan

informasi, dukungan instrumental, dan dukungan jaringan

sosial yang kesemuanya menjadi satu bentuk dukungan

keluarga.

Dukungan keluarga adalah faktor penting bagi

individu ketika menghadapi masalah (kesehatan), dimana

keluarga berperan dalam fungsi keperawatan kesehatan

anggota keluarganya untuk mencapai kesehatan yang

ptimum (Ratna, 2010). Pasien memerlukan hubungan yang

erat dengan seseorang yang bisa dijadikan tempat untuk

menumpahkan perasaannya pada saat-saat stress dan

kehilangan semangat selama menjalani terapi hemodialisa


54

yang cukup lama yang dapat diperoleh dari anggota

keluarga, disamping itu dapat membuat anggota keluarga

menjadi lebih dekat satu sama lain (Smeltzer & Bare,

2002).

Dukungan keluarga merupakan salah satu faktor

yang mempengaruhi pasien yang menjalani terapi

hemodialisis. Hemodialisis merupakan terapi bagi

penderita penyakit ginjal kronik yang membutuhkan biaya

besar tidak cukup dalam waktu 1-2 bulan saja tetapi

butuh waktu yang lama. Penderita tidak bisa melakukan

terapi hemodialisis sendiri, mengantar ke pusat

hemodialisis sendiri, mengantar ke pusat hemodialisi

dan melakukan control ke dokter. Tanpa adanya dukungan

keluarga mustahil program terapi hemodialisis bisa

dilakukan sesuai jadwal (Sunarni, 2009).

D. KONSEP MEKANISME KOPING

1. Definisi Koping

Taylor (2012) mendefinisikan koping sebagai

pikiran dan perilaku yang digunakan untuk mengelola

tuntutan internal dan eksternal dari situasi yang

menekan.

Martina, 2010 mendefinisikan koping sebagai usaha

individu yang berorientasi pada tindakan dan

intrapsikis untuk mengendalikan, menguasai, mengurangi

dan memperkecil pengaruh lingkungan, tuntutan internal


55

dan konflik-konflik yang telah melampaui kemampuan

individu tersebut.

Mekanisme koping yaitu setiap individu yang

mengalami stress dapat menimbulkan ketidaknyamanan

akibat ketegangan fisik dan emosional. Hal ini akan

membuat seseorang termotivasi untuk melakukan sesuatu

untuk mengatasinya. Hal-hal yang dilakukan tersebut

merupakan bagian dari koping (Nasir dan Muhith, 2011).

2. Penggolongan Mekanisme Koping

Mekanisme koping berdasarkan penggolongannya

dibagi menjadi 2 (Kusnadi, 2014) yaitu:

a. Mekanisme Koping Adaptif

Adalah mekanisme yang mendukung fungsi integrasi

pertumbuhan, belajar dan mencapai tujuan.

Kategorinya adalah: berbicara dengan orang lain,

memecahkan masalah secara efektif, teknik relaksasi,

latihan keseimbangan dan aktifitas konstruktif.

b. Mekanisme Koping Maladaptif

Adalah mekanisme coping yang menghambat fungsi

integrasi, memecah pertumbuhan, menurunkan otonomi

dan cendrung menguasai lingkungan. Kategorinya

adalah: makan berlebihan atau bekerja berlebihan

sert amenghindar.

3. Faktor yang Mempengaruhi Strategi Koping


56

Cara individu menangani situasi yang mengandung

tekanan ditentukan oleh sumber daya individu yang

meliputi kesehatan fisik atau energi, keyakinan atau

pandangan positif, keterampilan mengatasi masalah,

keterampilan sosial dan dukungan sosial serta materi

(Kusnadi, 2014).

a. Kesehatan fisik

Kesehatan merupakan hal yang penting dalam usaha

mengatasi stress, individu dituntut untuk

mengerahkan tenaga yang cukup besar.

b. Keyakinan atau pandangan positif

Ketrampilan ini meliputi kemampuan untuk mencari

informasi, menganalisa situasi, mengidentifikasi

masalah dengan tujuan untuk menghasilkan alternatif

tindakan, kemudian mempertimbangkan alternative

tersebut sehubungan dengan hasil yang ingin

dicapai, dan pada akhirnya melaksanakan rencana

dengan melakukan suatu tindakan yang tepat.

c. Keterampilan Memecahkan Masalah

Keterampilan ini meliputi kemampuan untuk mencari

informasi, menganalisa situasi, mengidentifikasi

masalah dengan tujuan untuk menghasilkan

alternative tindakan, kemudian mempertimbangkan

alternative tersebut dengan hasil yang ingin


57

dicapai, dan pada akhirnya melaksanakan rencana

dengan melakukan suatu tindakan yang tepat.

d. Keterampilan sosial

Keterampilan ini meliputi kemampuan untuk

berkomuikasi dan vertingkah laku dengan cara-cara

yang sesuai dengan nilai-nilai yang berlaku di

masyarakat

e. Dukungan Sosial

Dukungan ini meliputi dengan pemenuhan kebutuhan

informasi dan emosional pada individu yang

diberikan oleh orang tua, anggota keluarga lain,

sodara, teman dan lingkungan masyarakat sekitarnya

f. Materi

Dukungan ini meliputi sumber daya berupa uang

barang-barang atau layanan yang biasanya dapat

dibeli.

4. Macam-macam Koping

Dua strategi yang dapat dilakukan dalam koping

yaitu:

a. Koping yang berfokus pada masalah yaitu usaha untuk

mengatasi stress dengan cara mengatur atau mengubah

masalah yang dihadapi dan lingkungan sekitarnya yang

menyebabkan terjadinya penekanan.

Strategi yang dipakai dalam koping berfokus pada

masalah ini antara lain:


58

1) Confrontative coping

2) Seeking social support

3) Planful problem solving

b. Koping berfokus pada emosi yaitu usaha mengatasi

stress dengan cara mengatur respon emosional dalam

rangka menyesuaikan diri dengan dampak yang

ditimbulkan oleh suatu kondisi atau situasi yang

dianggap penuh tekanan. Adapun strategi yang

digunakan dalam koping berfokus pada emosi ini

antara lain:

1) Self control

2) Distancing

3) Positive reappraisal

4) Accepting responsibility

5) Escape avoidance

5. Alat Ukur Mekanisme Koping

Kuesioner untuk mengidentifikasi mekanisme koping

pasien dengan 24item pertanyaan untuk data mekanisme

koping pasien yang bersifat subyektif. Untuk kuesioner

mekanisme koping terdiri dari 24 item pertanyaan yang

terdiri dari 12 pertanyaan positif (pertanyaan nomor

13, 14, 15, 16, 17, 18, 19, 20, 21, 22, 23 dan 24) dan

12 pertanyaan negatif (pertanyaan nomor 1, 2, 3, 4, 5,

6, 7, 8, 9, 10, 11, dan 12) dengan penilaian pemilihan

jawaban: selalu, sering, kadang-kadang, dan tidak


59

pernah. Untuk pertanyaan positif yang diberi skor

:Selalu (4), sering (3), kadang-kadang (2), dan tidak

pernah (1). Sedangkan pernyataan negatif diberi skor :

Selalu (1), sering (2), kadang-kadang (3), dan tidak

pernah (4). Kemudian datanya dianalisis, dan hasilnya

dimasukkan dalam kategori: adaptif dan maladaptif

(Whilhelmus & Nandan, 2012).

Mekanisme koping dinilai berdasarkan cara

adaptasi responden yang terdiri dari 2 kategori adaptif

dan maladaptif.

Koping maladaptif bila skor : 24-48

Koping adaptif bila skor : 49-96

6. Koping Pada Pasien Hemodialisis

Strategi koping (mekanisme koping) adalah cara

berespon bawaan terhadap perubahan lingkungan, masalah

atau situasi tertentu. Mekanisme koping adaptif adalah

membantu individu menghadapi kejadian yang menimbulkan

stress dan meminimalkan stress yang diakibatkan secara

efektif. Mekanisme koping adaptif pada pasien GGK yang

menjalani terapi hemodialisa adalah mampu mengotrol

emosi, bercerita atau berbagi dengan orang lain,

memecahkan masalah, menerima dukungnan, memiliki

kewaspadaan yang tinggi, lebih perhatian pada masalah

dan memiliki pandangan yang luas. Koping yang

didapatkan bersumber dari kemampuan, bakat, tehnik


60

pertahanan, dukungan sosial dan motivasi. Kemampuan dan

bakat seseorang dapat diperoleh melalui pendidikan.

Untuk pasien yang melakukan mekanisme koping

adaptif merupakan pasien yang telah terbiasa, dengan

proses terapi hemodialis dan jugan mendapatkan dukungan

keluarga yang baik dimana peran yang penting dalam

memberikan padangan atau respon adaptif bagi pasien.

Menurut Semiun (2006), dukungan emosional dalam

keluarga sangatlah penting. Karena keadaan sesorang

yang mengalami tekanan membutuhkan kasih sayang,

penopang, serta perlindungan dari orang terdekat,

khususnya keluarga dalam hal menumbuhkan kembali

kepercayaan diri dan kondisi psikis yang baik. Adanya

penerimaan penyakit yang dialami memberikan pandangan

yang positif bagi pasien, melakukan pendekatan

religious juga sangat berpengaruh, dengan cara

beribadah dan berdoa sesuai dengan keyakina pasein

dapat merasakan ketenangan batin sehingga mampu

melakukan koping adaptif.


61

E. Kerangka Konsep

Pasien Gagal Ginjal Kronik


Yang Dilakukan Tindakan
Hemodialisa

Faktor yang mempengaruhi Faktor yang mempengaruhi


Dukungan Keluarga: strategi Koping:
1. Faktor Internal a. Kesehatan fisik
2. Faktor Ekternal b. Keyakinan atau
pandangan positif
c. Keterampilan
Memecahkan Masalah
Dukungan keluarga: d. Keterampilan sosial
1. Dukungan e. Dukungan Sosial
penilaian f. Materi
2. Dukungan
instrumental
3. Dukungan
Informasi Mekanisme Koping
4. Dukungan pasien GGK
emosional

Kriteria Dukungan Mekanisme Koping:


Keluarga: a. Adaptif
c. Baik b. Maladaptif
d. Cukup
e. Kurang
Arikunto, (2006)

Keterangan : : Diteliti

: Tidak diteliti

Bagan 2.1 Hubungan Dukungan Keluarga Dengan Mekanisme Koping

Pasien Gagal Ginjal Kronik Yang Dilakukan Tindakan

Hemodialisa
62

F. HIPOTESIS PENELITIAN

Hipotesis adalah jawaban sementara penelitian,

patokan dugaan atau dalil sementara yang kebenarannya

akan dibuktikan dalam penelitian tersebut (Notoatmodjo,

2012).

Hipotesis dari penelitian ini adalah :

Ha : Ada Hubungan Dukungan Keluarga Dengan Mekanisme

Koping Pasien Gagal Ginjal Kronik Yang Dilakukan

Tindakan Hemodialisa di RSUD Provinsi NTB

Anda mungkin juga menyukai