Hirschsprung disease (HD) juga dikenal sebagai megakolon kongenital merupakan penyakit yang ditandai dengan ketidakhadirannya sel ganglion myenteric dan submucosal plexuses pada usus. HD terjadi dalam 1 : 50.000 kelahiran. Perkiraan 80% anak memiliki zona transisi pada rektum dan colon rektosigmoid. Sisanya 10% mengenai kolon lebih proksimal, sekitar 5-10% memiliki total aganglionik kolon sampai ke intesinal. Dan kejadian yang lebih jarang lagi adalah mengenai hampir seluruh intestin tidak memiliki ganglion (aganglion). Sel ganglion berdiferensiasi dari lempeng neural. 13 minggu post konsepsi, sel lempeng neural bermigrasi dari proksimal ke distal melalui saluran gastrointestinal, dan setelah itu baru maturisasi dari sel ganglion berlangsung. Ada 2 teori yang menyebabkan Hirschsprung Disease ini terjadi, pertama adalah teori yang mengatakan bahwa sel lempeng neural tidak pernah mencapai bagian distal dari saluran cerna karena maturasi yang terlalu dini atau diferensiasi terlalu dini dari sel ganglion. Teori kedua mengatakan bahwa sel lempeng nural mencapai daerah tujuannya namun gagal bertahan atau gagal berdeferensiasi menajdi ganglion sel karena mikroenvironment yang tidak menunjang. Hirschsprung disease biasanya terdeteksi saat periode neonatal dengan manifestasi berupa distensi abdomen, muntah bilious, dan intoleransi makanan. Delay pengeluaran mekonium lebih dari 24 jam pertama ditemukan pada sekitar 90% kasus. Pada pemeriksaan foto abdomen x ray didapatkan dilatasi usus seluruh abdomen. Selanjutnya dilakukan pemeriksaan kontras water-soluble enema, dimana akan ditemukan zona transisi antara usus yang normal dan aganglionik, namun ada 10% neonatus yang tidak menunjukan zona transisi secara radiologis. Setelah itu lakukan foto ulang retensi kontras 24 jam, dan ditemukannya retensi kontras sangat mengarah pada Hirschsprung Disease. Jika diagnosis suspek HD telah disebutkan, maka perlu dilakukan biopsi rektum, yang bisa dilakukan tanpa sedasi dengan menggunakan suction technique. Penanganan awal setelah diagnosis ditegakan meliputi pemberian cairan intravena, pemberian antibiotik spektrum luas, pemasangan NGT dan rektal dekompresi menggunakan rectal stimulation dan/atau irigasi rektal (wash out). Setelah bayi dinyatakan stabil dan telah teresusitasi, operasi dapat dilakukan secara semi-elektif. Sembari menunggu waktu melakukan prosedur yang aman, pasien dapat dipulangkan dengan konsumsi ASI maupun susu formula dengan rectal stimulation dan/atau irigasi rektal (wash out). Pada anak yang lebih besar dimana terdapat dilatasi kolon yang ekstrim, pull-through dapat ditunda sampai diameter kolon berkurang dan cukup untuk dilakukan prosedur yang aman. Wash out rektal mungkin diperlukan hingga bebulan-bulan. Pada banyak kasus diperlukan inisial colostomy untuk mencapai dekompresi yang adekuat pada kolon yang telah mengalami dilatasi. Tujuan pembedahan pada kasus Hirschsprung Disease adalah mengangkat usus yang aganglionik dan rekonstruksi saluran cerna dengan menarik usus dengan inervasi normal ke arah anus (pull-through) sembari menyiapkan fungsi normal spincter. Ada beberapa prosedur operasi yang dapat dilakukan, antara lain Swenson’s procedure, Soave’s procedure, Duhamel’s procedure, Laparoscopic Pull-through, dan Transanal (Perineal) Pull-through. Prosedur tersebut biasanya dilakukan dalam 1 kali operasi, namun sering terjadi insiden striktur, bocor, dan hasil yang tidak diinginkan lainnya sehingga prosedur inisial colostomy dilakukan dan kemudian definitif pull- through dilakukan 3 – 12 bulan kemudian. Ditemukan relasi antara Clostridium difficile dan toksinnya pada sekitar 30% pasien dengan enterokolitis pada pasien HD. Hal ini merupakan sesuatu yang esensial dan perlu penanganan untuk melakukan dekompresi usus sedini mungkin. Deflasi usus dapat dicapai dengan irigasi rektal, dan ketika bayi sudah stabil dapat dilakukan colostomy. Secara tradisi, definitif operasi Pull-through untuk pasien HD dilakukan ketika bayi berusia 6 – 12 bulan. Namun akhir-akhir ini operasi pull-through dilakukan one stage pada bayi baru lahir dengan alasan dilatasi kolon dapat dikontrol baik dengan washouts dan kolon yang dilakukan Pull-through masih dalam kaliber yang hampir normal. Hal ini dapat mengurangi leakage dan cuff infection serta memungkinkan anastomosis yang akurat. Ketika diagnosis HD telah dikonfirmasi, irigasi rektal dilakukan dua kali sehari selama 3 hari dan diberikan i.v. gentamicin dan metronitazol pagi sebelum dimulainya operasi. 2.2. Hipospadia
Hipospadia adalah anomaly perkembangan dengan karakteristik berupa
meatus uretra berada di sisi ventral penis, atau dimanapun sepanjang shaft penis dari gland sampai perineum. Hal lain yang sering ditemukan bersamaan dengan hipospadia adalah chordee, yang merupakan lengkungan penis kearah ventras. Hipospadia merupakan kegagalan fusi dari uretra atau atau inner genial folds. Kelainan sekunder berupa defisiensi dari preputium ventral (dorsal hood), dan defisiensi relative dari pertumbuhan jaringan peri uretral dibandingkan dengan struktur dorsal seperti corpus cavernosum. Hal ini yang kemudian menyebabkan munculnya chordee, atau kelengkungan penis, terutama yang tampak saat ereksi. Insidensi hipospadia diperkirakan antara 0.8 sampai 8.2 per 1000 kelahiran bayi laki-laki. Variasi sangat beragam tergantung kondisi geografis dan ras. Namun jika kelainan minimal diperhitungkan, maka didapatkan angka insidensi 1 per 125 kelahiran bayi laki-laki. Etiologic dicurigai karena adanya defek pada stimulasi androgen pada perkembangan penis, dimana pembentukan uretra dan struktur yang meliputinya merupakan penyebab yang sangat mempengaruhi terjadinya hipospadia. Tatalaksana bedah dapat dikerjakan pada usia 3-6 bulan ,biasanya dikerjakan dengan One day care atau over night stay. Rawat inap mungkin diperlukan jika dilakukan diversi urin, tergantung tingkat keparahan anomaly dan pilihan operator.
2.3. Undescended Testis
Undescended testis (UDT) merupakan kelainan yang memicu terjadinya
implikasi medis berupa masalah fertilitas dan keganasan. Kelainan pada struktur anatomi dapat mempengaruhi proses turunnya testis, tremasuk pengaruh pada regulasi hormonal juga dapat memicu terjadinya maldescent kongenital. Testis berkembang dan turun tergantuing koordinasi dan interaksi dari sistem endokrin, parakrin, pertumbuhan dan faktor mekani. Testis pada masa janin berada di abdomen dekat dengan internal ring sampai terjadinya descensus testis melalui canal ingunal pada awal trimester ketiga. Ada 2 hormon penting yang berperan dalam proses testikular descensus, yaitu insulin-like factor 3 (INLS 3) dan testosteron serta peran 2 struktur anatomi, yaitu gubernaculum testis dan cranial suspensory ligament (CSL). Undescensus testis memiliki multiple penyebab, yang paling sering adalah gagalnya gubernaculum bermigrasi untuk alasan mekanikal. Penyebab lainnya adalah defisiensi transien dari androgen yang berhubungan dengan anomali pada hipotalamus atau pituitari atau bisa juga disebabkan karena defek dari fungsi plasenta. Tempat tersering untuk undesensus testis adalah diluar dari external ring, yaitu di superficial pouch, nama tunika vaginalis ketika berada pada inguinal, superficial dari dinding apdomen dan didalam fasia dinding superficial abdomen (fascia scarpa). Diagnosis undescensus testis bertujuan untuk menentukan lokasi testis dan menentukan posisi terendah yang bisa dicapai tanpa tension. Pemeriksaan dilakukan dalam ruangan yang cukup hangat, pemeriksaan dilakukan mulai dari apakah skrotum terdapat hiperplasia, karena skrotum akan hiperplasia jika testis tidak pernah sampai ke skrotum. Kemudian dilanjutkan dengan mencari keberadaan testis. Setelah diagnosis ditegakan, menurut guidelines (AAP 1996 dan EAU 2012) merekomendasikan orchidopexy pada laki-laki yang sehat pada usia 12-18 bulan, jika UDT masih tidak turun setelah usia 12 bulan.
2.4. Inguinal Hernia
Terminologi hernia berasal dari bahasa latin “hernios”, yang berarti cabang atau tunas. Hernia inguinalis terjadi karena adanya patensi dari prcessus vaginalis. Processus vaginalis ini seharusnya tertutup setelah penurunan testis berlangsung dan berlanjut sampai lahir. Patensi ini telah dilaporkan terjadi 80-94% pada saat baru lahir, 57% pada kelompok usia 4-12 bulan, 20% tidak menutup sampai anak. Namun kejadian patensi processus vaginalis ini tidak berbanding lurus dengan kejadian hernia inguinalis. Insidensi hernia inguinalis diperkirakan sekitar 5% pria. Kejadian pada pria 5- 10 kali lipat lebih sering dibandingkan wanita. Kejadian hernia ingunal kanan dua kali lebih sering dibanding kiri, dan kejadian hernia inguinal bilateral terjadi sekitar 10% kejadian. Terminologi hernia termasuk herina inguinal indirek, herina inguinal direk dan hernia femoralis. Hernia inguinalis indirek, keluar dari sisi lateral inferior dari a.v. epigastrika dan merupakan yang tersering pada anak. Hernia inguinal direk merupakan kejadian yang jarang. Sedangkan hernia femoralis, keluar dari sisi inferior ligamen ingunalis, merupakan kejadian yang diperkirakan kurang dari 1% hernia inguinal pada anak. Kehadiran hernia inguinalis merupakan indikasi untuk Jika diagnosis hernia ingunialis telah ditegakan, maka hal ini merupakan indikasi untuk operasi elektif untuk repair hernia. Tidak perlu melakukan restriksi pada anak-anak tanpa gejala sebelum operasi. Repair dini dapat mengurangi insidensi inkarserata, terutama pada usia awal kehidupan. Penelitian di kanada menemukan bahwa anak di bawah 1 tahun akan memiliki resiko terjadinya inkarserata 2 kali lipat jika dilakukan repair lebih dari 2 minggu setelah diagnosis. Neonatus yang dirawat di NICUdapat dilakukan repair secara dini sebelum bayi dipulangkan. Namun hal ini masih diperdebatkan karena terdapat pendapat bahwa repair dini ini akan memiliki insiden rekurensi dan komplikasi yang lebih tinggi, dandapat memperpanjang masa penggunaan ventilasi mekanik sehingga akan tinggal lebih lama di NICU. Sebaliknya, repair yang “terlambat” dapat meningkatkan resiko inkarserasi (10-30%), dan lebih sering datang ke IGD sehingga dilakukan operasi emergensi.
2.5. Nonperforated Appendicitis
Appendicitis merupakan sebuah versi divertikulitis dimana appendik
merupakan divertikulum dengan lumen yang sempit dan panjang. Appendix sebagai reservoar untuk flora normal usus dan tempat dimana terdapat konsentrasi tertinggi dari GALT (gut-associated lymphoid tissue) dalam usus. Inflamasi dari appendix adalah hasil dari proses obsturksi, dimana obstruksi pada lumen appendix mengakibatkan terjadinya kongseti vaskuler, iskemik nekrosis dan akibatnya terjadi infeksi. Appendicitis umumnya terjadi karena infeksi bakteri. Penyebab obstruksi yang paling sering adalah fecolith. Fecolith ditemukan pada sekitar 20% anak dengan appendicitis. Penyebab lain dari obstruksi appendiks meliputi: Hiperplasia folikel lymphoid Carcinoid atau tumor lainnya Benda asing (pin, biji-bijian) Kadang parasit 1 Penyebab lain yang diduga menimbulkan Appendicitis adalah ulserasi mukosa appendix oleh parasit E. histolytica. Berbagai spesies bakteri yang dapat diisolasi pada pasien appendicitis yaitu7 : Bakteri aerob fakultatif Bakteri anaerob Escherichia coli Viridans streptococci Pseudomonas aeruginosa Enterococcus Bacteroides fragilis Peptostreptococcus micros Bilophila species Lactobacillus species Standar historis untuk manajemen apendisitis adalah apendectomy cito. Meskipun operasi dianggap darurat, hal ini tidak lagi menjadi masalah. Mengingat semakin tingginya bukti bahwa antibiotik saja bisa mengobati appendicitis, jelas bahwa operasi dapat dilakukan hari berikutnya setelah pemberian antibiotik tanpa takut terhadap dampak negatif. Dalam studi perbandingan appendectomy dalam waktu 5 jam dan 17 jam, tidak didapatkan perbedaan dalam kejadian appendicitis gangren / perforasi, waktu operasi, readmisi, komplikasi pasca operasi, infeksi operasi, biaya perawatan di rumah sakit, atau peningkatan perforasi berdasarkan lamanya waktu di UGD sebelum operasi. Keterlambatan 12-24 jam tidak berhubungan dengan peningkatan angka perforasi atau abses pasca operasi. Waktu operasi tidak mempengaruhi hasil, keterlambatan tidak terkait dengan peningkatan risiko infeksi luka, abses intraabdomen, operasi ulang, atau readmisi. Selain itu, appendectomy yang dikerjakan malam hari akan memberikan stress lebih pada keluarga, ahli bedah, dan rumah sakit, dan tidak lagi dibenarkan.
2.6. Atresia Bilier
Atresia bilier merupakan kelainan kolestasis pada neonatus yang disebabkan oleh sumbatan total sistem bilier ekstra hepatal yang disebabkan oleh kelainan kongenital. Pasien biasanya datang membawa bayinya karena berak seperti tanah liat dan ikterik yang persisten lebih dari usia 2 minggu. Etiologi pasti kelianan ini belum diketahui secara jelas. Insidensi atresia bilier diketahui terjadi 1 dari 10.000 kelahiran hidup. Tidak ada perbedaan insidensi pada rasis yang berbeda. Bayi perempuan lebih sering dibandingkan laki-laki dengan rasio 1.27 : 1. Atresia bilier diklasifikasikan berdasarkan anatomi dan temuan kolangiografi. Tipe 1 atresia common bile duct Tipe 2a atresia common hepatic duct Tipe 2b atresia common bile duct dan common hepatic duct Tipe 3 atresia semua extrahepatic duct sampai ke porta hepatika. Klinis yang merupakan tanda khas dari atresia bilier adalah ikterik dengan bilirubin terkonjugasi yang meningkat selama lebih dari 14 hari, acholic stool dan urin kuning gelap pada neonatus. Selain itu pada neonatus dengan atresia bilier akan didapatkan malabsorbsi lemak yang berakibay defisiensi vitamin larut lemak A, D, E, dan yang paling penting Vitamin K. Akibatnya akan terjadi resiko perdarahan termasuk perdarahan intrakranial. Strategi diagnostik bertujuan untuk menyingkirkan penyebab ikterus yang berasal dari kelainan liver lainnya, seperti infantil hepatitis, infeksi virus, defisiensi alpha-1 antitripsi dan lain lain. Diagnostik prosedur meliputi 1. pemeriksaan darah lengkap 2. evaluasi histologis dari biopsi jarum liver perkutan 3. test untuk ekskresi produk empedu ke duodenum 4. imaging radiografi untuk sistem bilier Sebelum ditemukannya prosedur Kasai hepatic portoenterostomy, Atresia bilier merupakan penyakit yang tidak dapat dikoreksi. Dengan prosedur ini, sekitar 50% pasien bilier atresia dapat mencapai drainase bilier yang efektif. Repair yang dini merupakan hal yang sangat krusial. Prosedur portoenterostomy ini idealnya dikerjakan pada usia 2 bulan. Jika dilakukan pada usia lebih dari 4 bulan, maka efektivitasnya dilaporkan hanya 7% karena berhubungan dengan kerusakan liver yang irreversibel. Namun sejak ditemukannya teknik transplantasi liver, pasien dengan atresia bilier memiliki kesempatan hidup yang lebih tinggi. Pilihan transplantasi liver terutama pada bayi dengan ikterik yang tidak membaik setelah portoenterostomy, atau pada anak dengan komplikasi end stage chronic liver disease.
2.7. Omphalocele dan Gastroschiziz (fundamental)
Penampilan kasar gastroschisis yang khas melibatkan defek ke kanan
umbilikus yang memiliki tepi yang halus dan biasanya berdiameter kurang dari 4 cm. Cacat sering dipisahkan dari pangkal tali pusat oleh jembatan kecil kulit. Usus biasanya menebal dan kusut tanpa membran atasnya. Beberapa varian anatomi telah dijelaskan. Yang paling menonjol adalah gastroskisis "closed" atau "vanishing", di mana diduga bahwa defek umbilikus tertutup sebelum lahir, mengakibatkan cedera iskemik dan nekrosis usus. Penelitian ultrasonografi prenatal telah mendokumentasikan patogenesis kelainan anatomi ini. Hasil dari bayi-bayi ini berhubungan langsung dengan jumlah sisa usus yang layak. Secara karakteristik, rawat inap yang lama dan operasi berulang diperlukan pada bayi yang selamat. Varian lain adalah gastroschisis sisi kiri di mana defeknya adalah di sebelah kiri umbilikus. Meskipun hanya seri kasus kecil yang ada, kejadian anomali terkait, frekuensi komplikasi, dan kelangsungan hidup secara keseluruhan tampaknya tidak berbeda secara signifikan bila dibandingkan dengan gastroschisis yang berhak. Dalam beberapa kasus, defek dinding perut mungkin perlu dibesarkan agar sesuai dengan ukuran viscera yang akan kembali masuk perut. Dalam semua kasus defek dinding perut, usus harus diperiksa untuk mencari adanya atresia dan rotasi abnormal. Jika atresia teridentifikasi dan usus tampak sehat, atresia harus diperbaiki dengan anastomosis primer. Jika usus terlalu tebal atau meradang, stoma dapat dilakukan atau cacat dinding perut diperbaiki secara terencana untuk memperbaiki atresia pada laparotomi selanjutnya beberapa minggu kemudian.Idealnya usus harus diatur dalam posisi nonrotasi, meskipun dalam kebanyakan kasus gastroschisis sulit untuk menilai adanya malrotasi. Omphalocele adalah kelainan dinding perut bawaan yang umum. Ini terdiri dari cacat sentral di cincin pusar yang memungkinkan herniasi visera ke dalam tali pusat, sehingga menyebabkan cacat yang ditutupi membran. Kematian secara historis dilaporkan melebihi 25%, namun ini telah berkurang oleh kemajuan dalam diagnosis prenatal, anestesi anak, ventilasi mekanis, dukungan nutrisi, teknik operasi, dan unit perawatan intensif neonatal. Etiologi dianggap sebagai cacat dalam pembelahan antara 3 dan 4 minggu kehamilan. Selama periode ini, dinding perut dibentuk oleh fold cranial, caudal, dan dua fold embrionik lateral. Jika defisit terutama dengan kranial fold, maka omphalocele dikaitkan dengan cacat kranial fold lainnya, seperti hernia diafragma anterior, anomali jantung, cacat perikardial, dan sumbing sternum (pentalogi Cantrell). Jika defisit terutama dengan caudal fold, maka omphalocele dapat dikaitkan dengan ekstrofi kandung kemih. Hasil dari kesalahan dalam fold ini adalah spektrum cacat mulai dari hernia umbilikalis hingga omphaloceles raksasa. Insidensinya sekitar 1 dari 5.000 kelahiran. Hal ini terkait dengan usia ibu lanjut. Berbeda dengan gastroschisis, pasien dengan omphalocele memiliki insiden tinggi terkait cacat, mulai dari 50 hingga 70% (Tabel 66.1), serta 30% kejadian kelainan kromosom. Sindrom terkait adalah Beckwith-Wiedemann, yang ditandai oleh makroglossia, organomegali, hipoglikemia, dan peningkatan risiko keganasan, khususnya tumor Wilms, hepatoblastoma, dan neuroblastoma. Pasien dengan omphalocele juga memiliki insiden cacat jantung yang tinggi (50%). Menariknya, semakin kecil omphalocele, semakin tinggi kejadian anomali kromosom dan jantung. Kelangsungan hidup pasien dengan omphalocele umumnya tergantung pada tingkat keparahan cacat yang terkait. Pada bayi dengan omphalocele, diafragma harus diperiksa untuk memastikan tidak ada cacat yang hanya akan terlihat setelah usus diletakkan kembali ke perut. Jika visera tidak dapat masuk ke dalam perut tanpa peningkatan tekanan intra-abdominal, 'silo' silastik dapat ditempatkan dan konten hernia berangsur-angsur dimasukan kembali ke perut selama 1-10 hari ke depan. Silo harus diberi povodone-iodine atau agen antibakteri lain untuk membantu mengurangi risiko infeksi. Antibiotik parenteral harus dilanjutkan sampai silo dikeluarkan. Isi silo harus dikurangi setiap 12-24 jam sebagaimana ditoleransi oleh bayi. Ketika visera telah berhasil dikembalikan ke perut, bayi dibawa ke ruang operasi, silo diangkat, dan fasia ditutup bersama dengan kulit di atasnya. Keputusan untuk melakukan perbaikan primer atau menempatkan silo mungkin akan sulit. Tekanan intra-abdomen yang berlebihan dapat menyebabkan 'sindrom kompartemen' perut, dengan iskemia usus yang mengakibatkan perforasi dan fistulisasi, berkurangnya aliran darah hati dan ginjal, dan berkurangnya sirkulasi ke dan dari ekstremitas bawah. Tekanan jalan nafas puncak telah digunakan sebagai indikator tekanan intraabdomen yang berlebihan. Studi eksperimental dan klinis telah menunjukkan bahwa tekanan intravesikular atau intragastrik <20 mmHg, dalam kombinasi dengan peningkatan tekanan vena sentral <4mm Hg berkorelasi dengan insiden yang lebih rendah dari sindrom kompartemen perut. Parameter ini juga dapat diikuti selama pengurangan silo, dan pasca operasi, dan jika terlampaui akan menyarankan bahwa perut harus dibuka kembali dan ditempatkan silo. Beberapa konsep baru telah disarankan dalam beberapa tahun terakhir yang dapat meningkatkan hasil untuk bayi dengan gastroschisis. Perbaikan segera di ruang bersalin, seperti yang dilaporkan oleh kelompok Detroit, tampaknya memungkinkan penutupan dinding perut yang lebih mudah, ekstubasi sebelumnya, lebih sedikit waktu untuk mulai menyusui, dan tinggal di rumah sakit yang lebih pendek. Baru-baru ini, beberapa kelompok menganjurkan penempatan silo pegas di samping tempat tidur, yang dapat dimasukkan ke dalam defek tanpa perlu anestesi umum. Setelah pengurangan viscera secara bertahap selama 1-7 hari ke depan, penutupan fasia dilakukan hanya dengan satu anestesi yang diperlukan. Teknik ini telah dikaitkan dengan hasil yang lebih baik jika dibandingkan dengan pendekatan standar. Akhirnya, Bianchi baru-baru ini melaporkan suatu teknik untuk penutupan gastroschisis di samping tempat tidur tanpa menggunakan anestesi atau silo. Adopsi yang lebih luas dari teknik ini akan menunggu pelaporan hasil lebih lanjut.
2.8. Extropia Buli
Selama 2 dekade terakhir, modifikasi dalam manajemen penutupan kandung kemih fungsional telah berkontribusi pada peningkatan dramatis dalam keberhasilan prosedur. Perubahan paling signifikan dalam pengelolaan exstrophy kandung kemih adalah 1. penutupan bladder, uretra posterior, dan dinding perut secara dini, biasanya dengan osteotomi panggul 2. perbaikan dini epispadia 3. Rekonstruksi bladder neck yang kompeten dan reimplantasi ureter 4. Menentukan kriteria ketat untuk pemilihan pasien yang cocok untuk pendekatan ini. Tujuan utama dari penutupan fungsional adalah untuk mengubah pasien dengan exstrophy kandung kemih menjadi satu dengan epispadia lengkap dengan inkontinensia dan resistensi outlet posterior seimbang yang menjaga fungsi ginjal, tetapi merangsang pertumbuhan kandung kemih. Biasanya perbaikan epispadias sekarang dilakukan antara usia 6 bulan dan 12 bulan, setelah stimulasi testosteron. Perbaikan leher kandung kemih biasanya terjadi ketika anak berusia 4-5 tahun, memiliki kapasitas kandung kemih yang memadai dan siap untuk berpartisipasi dalam program berkemih pasca operasi. Bab ini hanya membahas penutupan kandung kemih awal