Anda di halaman 1dari 26

ASUHAN KEPERAWATAN PADA ANAK YANG MENGALAMI AIDS

NAMA KELOMPOK 4 KELAS A12-B:


1. I Gede Gargita (183212867)
2. I Made Widhi Antara (183212870)
3. Ni Kadek Dian Kusuma Erawati (183212879)
4. Ni Kadek Dinda Putri Marichi (183212880)
5. Ni Kadek Yuli Damayanti (183212885)
6. Ni Luh Putu Dita Puspita Sari (183212896)
7. Wahidah Shenny Rusliana (183212899)

PROGRAM STUDI KEPERAWATAN PROGRAM SARJANA


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN
WIRA MEDIKA BALI
DENPASAR
2020
KATA PENGANTAR

Puja dan puji syukur yang tiada terhingga penulis haturkan kehadapan Ida
Sang Hyang Widhi Wasa (Tuhan Yang Maha Esa), karena atas rahmat dan
karunia-Nya, karya tulis yang berjudul “Asuhan Keperawatan Pada Anak
Mengalami AIDS” ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya.
Karya tulis ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Keperawatan
Anak II dalam menempuh Pendidikan Program Studi Keperawatan Program
Sarjana, Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Wira Medika Bali pada semester ganjil
tahun 2020, yang diampu oleh Ibu Ns. Ni Ketut Citrawati, S.Kep., M.Kep.
Dalam keberhasilan penyusunan karya tulis ini, tentunya tidak luput dari
bantuan berbagai pihak. Untuk itu, penulis menyampaikan terima kasih yang
setulus-tulusnya kepada pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan karya
tulis ini.
Penulis menyadari bahwa, karya tulis ini masih jauh dari yang sempurna.
Oleh karena itu, segala kritik dan saran perbaikan sangat diharapkan demi karya-
karya penulis berikutnya. Semoga karya tulis ini ada manfaatnya.

Denpasar, 13 Desember 2020

Tim Penyusun
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.................................................................................ii
DAFTAR ISI................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang................................................................................
1.2 Rumusan Masalah...........................................................................
1.3 Tujuan.............................................................................................
14. Manfaat...........................................................................................
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Konsep Dasar DHF ........................................................................
2.2 Konsep Asuhan Keperawatan.........................................................
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan.....................................................................................
3.2 Saran...............................................................................................
DAFTAR PUSTAKA
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang


Penyakit HIV dan AIDS menyebabkan penderita mengalami penurunan ketahanan
tubuh sehingga sangat mudah untuk terinfeksi berbagai macam penyakit lain
(Kemenkes, 2015). Meskipun telah ada kemajuan dalam pengobatannya, namun
infeksi HIV dan AIDS masih merupan masalah kesehatan yang penting di dunia ini
(Smeltzer dan Bare, 2015).
Orang yang terinfeksi HIV atau mengidap AIDS biasa disebut dengan ODHA.
Orang Dengan HIV AIDS (ODHA) beresiko mengalami Infeksi Oportunistik atau IO.
Infeksi Oportunistik adalah infeksi yang terjadi karena menurunnya kekebalan tubuh
seseorang akibat virus HIV. Infeksi ini umumnya menyerang ODHA dengan HIV
stadium lanjut. Infeksi Oportunistik yang dialami ODHA dengan HIV stadium lanjut
menyebabkan gangguan berbagai aspek kebutuhan dasar, diantaranya gangguan
kebutuhan oksigenisasi, nutrisi, cairan, kenyamanan, koping, integritas kulit dan
sosial spritual. Gangguan kebutuhan dasar ini bermanifestasi menjadi diare, nyeri
kronis pada beberapa anggota tubuh, penurunan berat badan, kelemahan, infeksi
jamur, hingga distres dan depresi (Nursalam,2011).

1.2 Rumusan masalah


1. Konsep dasar penyakit pada anak yang mengalami AIDS
2. Konsep dasar asuhan keperawatan pada anak dengan AIDS

1.3 Tujuan
Untuk mengetahui konsep dasar dan asuhan keperawatan pada anak dengan AIDS.

1.4 Manfaat
Agar mahasiswa dan pembaca mengetahui konsep dasar dan asuhan keperawatan
pada anak dengan AIDS.
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian
AIDS singkatan dari Acquired Immune Deficiency Syndrome, adalah suatu
kumpulan kondisi klinis tertentu yang merupakan hasil akhir dari infeksi oleh HIV
(Sylvia & Lorraine, 2012). Infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) merupakan
penyakit kekurangan sistem imun yang disebabkan oleh retrovirus HIV tipe 1 atau
HIV tipe 2 (Copstead dan Banasik, 2012). Infeksi HIV adalah infeksi virus yang
secara progresif menghancurkan sel-sel darah putih infeksi oleh HIV biasanya
berakibat pada kerusakan sistem kekebalan tubuh secara progresif, menyebabkan
terjadinya infeksi oportunistik dan kanker tertentu (terutama pada orang dewasa)
(Bararah dan Jauhar, 2013).
Definisi kasus surveilensi untuk HIV dari CDC menurut Sylvia dan lorraine
(2012) yaitu kriteria yang direfisi pada tahun 2000 untuk pelaporan tingkat nasional
mengombinasikan infeksi HIV dan AIDS dalam suatu definisi kasus. Pada orang
dewasa, remaja, atau anak-anak berusia 18 bulan atau lebih, definisi kasus
suveilensiHIV dipenuhi apabila salah atui kriteria laboratorium positif atau dijumpai
bukti klinis yang secar spesifik menunjukan infeksi HIV dan penyakit HIV berat
(AIDS).
Bukti laboratorium untuk infeksi HIV mencakup reaksi positif berulang
terhadap uji-uji penap[isan antibodi yang dikonfirmasi dengan uji suplementer (misal,
ELISA dikonfirmasi dengan uji Western blot) atau hasil positif atau laporan
terdeteksinya salah satu uji njonantibodi atau virologi HIV: uji antigen p24 HIV
dengan pemeriksaan netralisir, biakan virus HIV, deteksi asam nuleat (RNA atau
DNA) HIV (misalnya, reaksi berantai polimerase atau RNA HIV-1 plasma, yang
berinteraksi akibat terpajan masa perinatal)
Kriteria klinis mencakup suatu diagnosa infeksi HIV yangt didasarkan pada daftar
kriteria laboratorium yabg tercatat dalam rekam medis oleh dokter atau penyakit-
panyekit yang memenuhi kriteria tercakup dalam definisi untuk AIDS. Kriteria untuk
kasus AIDS adalah:
a. Semua pasien yang terinfeksi oleh HIV dengan :
1. Hitungan sel T CD4 +>200/µl
2. Hitungan sel T CD4 + < 14% sel total, tanpa memandang kategori klinis,
simtomatik atau asimptomatik
b. Adanya infeksi-infeksi oportunistik terkait HIV, seperti:
1. Kandidiasis bronkus, trakea, atau paru
2. Kandidiasis esofagus.
3. Kanker serviks, infasif.
4. Kriptosporidiosis, usus kronik (lama sakit lebih dari satu bulan).
5. Kriptokokus, esktraparu.
6. Penyakit sitomegalovirus (selain ahti, limpa, atau kelenjar getah bening

2.2 Penyebab
Penyebab adalah golongan virus retro yang disebut human immunodeficiency
virus (HIV). HIV pertama kali ditemukan pada tahun 1983 sebagai retrovirus dan
disebut HIV-1. Pada tahun 1986 di Afrika ditemukan lagi retrovirus baru yang diberi
nama HIV-2. HIV-2 dianggap sebagai virus kurang pathogen dibandingkaan dengan
HIV-1. Maka untuk memudahkan keduanya disebut HIV. Transmisi infeksi HIV dan
AIDS terdiri dari lima fase yaitu :
1. Periode jendela. Lamanya 4 minggu sampai 6 bulan setelah infeksi. Tidak ada
gejala.
2. Fase infeksi HIV primer akut. Lamanya 1-2 minggu dengan gejala flulikes illness.
3. Infeksi asimtomatik. Lamanya 1-15 atau lebih tahun dengan gejala tidak ada.
4. Supresi imun simtomatik. Diatas 3 tahun dengan gejala demam, keringat malam
hari, B menurun, diare, neuropati, lemah, rash, limfadenopati, lesi mulut.
5. AIDS. Lamanya bervariasi antara 1-5 tahun dari kondisi AIDS pertama kali
ditegakkan. Didapatkan infeksi oportunis berat dan tumor pada berbagai system
tubuh, dan manifestasi neurologist.

AIDS dapat menyerang semua golongan umur, termasuk bayi, pria maupun
wanita. Yang termasuk kelompok resiko tinggi adalah :
1. Lelaki homoseksual atau biseks.
2. Bayi dari ibu/bapak terinfeksi HIV.
3. Orang yang ketagian obat intravena.
4. Partner seks dari penderita AIDS.
5. Penerima darah atau produk darah (transfusi).
Menurut Nursalam dan Kurniawati (2011) virus HIV menular melalui enam cara
penularan, yaitu :
1. Hubungan seksual dengan penderita HIV AIDS Hubungan seksual secara vaginal,
anal dan oral dengan penderita HIV tanpa perlindungan bisa menu;arkan HIV.
Selama hubungan seksual berlangsung, air mani, cairan vagina, dan darah yang
dapat mengenai selaput lendir, penis, dubur, atau mulut sehingga HIV yang
terdapat dalam cairan tersebut masauk kedalam aliran darah (Nursalam 2007).
Selama berhubungan bisa terjadi lesi mikro pada dinding vagina, dubur, dan mulut
yang bisa menjadi jalan HIV untuk asuk kedalam aliran darah pasangan seksual.
2. Ibu pada bayinya Penularan HIV dari ibu bisa terjadi pada saat kehamilan (in
utero). Berdasarkan CDC Amerika, prevelensi dari ibu ke bayi 0,01% sampai
dengan 7%. Bila ibu baru terinfeksi HIV belum ada gejala AIDS, kemungkinan
bayi terinfeksi 20% sampai 30%, sedangkan gejala AIDS sudah jelas pada ibu
kemungkinan mencapai 50% (PELKESI , 1995 ddalam Nursalam 2007).
Penularan juga terjadi selama proses persalinan melalui transfusi fetomaternal
atatu kontak kulit atau membran mukosa bayi dengan darah atau sekresi maternal
saat melahirkan. ( Lili V 2004 dalam Nursalam 2007). Transmisi lain terjadi
selama periode post partum melalui ASI dari Ibu yang positif sekitar 10%.
3. Darah dan produk darah yang tercemar HIV/AIDS Sangat cepat menular HIV
karena virus langsung masuk ke pembuluh darah dan menyebar keseluruh tubuh.
4. Pemakaian alat kesehatan yang tidak streril Alat pemeriksaan kandungan sperti
spekulum, tenakulum, dan alat- alat lainnya yang menyentuh dara, cairan vagina
atau air mani yang terinfeksi HIV, dan langsung digunakan untuk orang lain yang
tidak terinfeksi HIV bisa menularkan HIV.
5. Menggunakan jarum suntik secara bergantian Jarum suntik yang digunakan oleh
parah pengguna narkoba (Injekting Drug User - IDU) sangat berpotensi
menularkan HIV. Selain jarum suntik para pengguna IDU secara bersam- sama
menggunakan tempat penyampur, pengaduk dan gelsa pengoplos obat, sehingga
berpotensi tinggi menularkan HIV.

HIV tidak menular melalui peralatan makan, pakaian, handuk, sapu tangan, hidup
serumah dengan penderita HIV/AIDS, gigitan nyamuk, dan hubungan sosial yang
lainnya.
2.3 Patofisiologi
Menurut Robbins, Dkk (2011) perjalanan HIV paling baik dipahami dengan
menggunakan kaidah saling mempengaruhi antara HIV dan sistem imun. Ada tiga
tahap yang dikenali yang mencerminkan dinamika interaksi antara virus dan penjamu.
1. Fase Akut Pada Tahap Awal.
Fase akut menggambarkan respon awal seseorang dewasa yang imunokompeten
terhadap infeksi HIV. Secara klinis, hal yang khas merupakan penyakit yang
sembuh sendiri yang terjadi pada 50% hingga 70% dari orang dewasa selama 3-6
minggu setelah infeksi; fase ini ditandai dengan gejalah nonspesifik yaitu nyeri
tenggorokan, nilagioa, demam, ruam, dan kadang-kadang meningitis aseptik. Fase
ini juga ditandai dengan prooduksi virus dalam jumlah besar, viremia dan
persemaian yang luas pada jaringan limfoid perifer, yang secara khas disertai
dengtan berkurangnya sel T CD4+ kembali mendekati jumlah normal. Namun
segera setelah hali itu terjadi, akan muncul respon imun yang spesifik terhadap
virus, yang dibuktikan melalui serokonversi ( biasanya dalam rentang waktu 3
hingg 17 minggu setelah pejanan) dan munculnya sel T sitoksik CD8+ yang
spesifik terhadap virus. Setelah viremia meredah, sel T CD4+ kembali mendekati
jumlah normal. Namun berkurangnya virus dalam plasma bukan merupakan
penanda berakhirnya replikasi virus, yang akan terus berkanjut didalam
magkrofak dan sel T CD4+ jaringan.
2. Fase Kronis Pada Tahap Menengah.
Fase kronis, pada tahap menengah, menunjukan tahap penahanan relatif virus.
Pada fase ini, sebagaian besar sistem imun masih utuh, tetapi replikasi virus
berlanjut hingga beberapa tahun. Pada pasien tiudak menunjukan gejala ataupn
limfadenopati persisten, dsan banyak penderita yang mengalami infeksi
oportunistik ”ringan” seperti sariawan (candida) atau herpes zoster selama fase ini
replikasi virus dalam jaringan limfoid terus berlanjut. Pergantian virus yang
meluas akan disertai dengan kehilangan sel CD4+ yang berlanjut. Namun, karena
kemampuan regenerasi imun besar, sel CD4+ akan tergantikan dengan juumlah
yang besar. Oleh karena itu penuruna sel CD4+ dalam darah perifer hanyalah hal
yang sederhana. Setelah melewati periode yang panjang dan beragam, pertahanan
mulai berkkurang, jumlah CD4+ mulai menurun, dan jumlah CD4+ hidup yang
terinfeksi oleh HIV semakin meningkat. Linfadenopati persisten yang disertai
dengan kemunculan gejala konstitusional yang bermakna (demam, ruam, mudah
lelah) mencerminkan onset adanya deokompesasi sistem imun, peningkatan
replikasi virus, dan onset fase “kritis”.
3. Fase Kritis Pada Tahap Akhir
Tahap akhir, fase kritis , ditandai dengan kehancuran pertahanna penjamu yang
sangat merugikan viremia yang nyata, srerta penyakit kinis. Para pasien khasnya
akan mengalami demam lebih dari satu bulan, mudah lelah, penurunan berat
badan, dan diare. Jumlah sel CD4+ menurun dibawah 500 sel/µL. Setelah adanya
interval yang berubah- ubah, para pasien mengalami infeksi oportunistik yang
serius, neoplasma sekunder, dan atau manifestasi neurologis (disebut kondisi yang
menentukan AIDS), dan pasien yang bersangkutan dikatakan telah menderita
AIDS yang sesungguhnya. Bahkan jikakondisi lazim yang menentukan AIDS
tidak muncul, pedoman CDC yanng digunakan saat ini menentukan bahwa
seseorang teerinfeksi HIV dengan jumlah sel CD4+ kurang atau sma dengan
200/µL sebagai pengidap AIDS.

2.4 Manifestasi Klinis


Menurut Zmeltser (2013) manifestasi klinis penyakit AIDS menyebar luas dan
pada dasranya dapat mengenai setiap sistem organ. Penyakit yang berkjaitan dengan
infeksai HIV dan AIDS terjadi akibat infeksi, malignasi dan atau efek langsung HIV
pada jaringan tubuh, pembahasan berikut ini dibatasinpada manifestasi klinis dan
akibat infeksi HIV berat yang paling sering ditemukan.
a. Respiratori
Pneumonia pneumocytis carini. Gejalah napas yang pendek, sesak napas
(dsipneu), batuk-batuk, nyeri dad dan demam akan menyertai berbagai infeksi
oportunistik seperti yang disebabkan oleh mycobacterium avium intracelulare
(MAI), sitomegalovirus (CMV) dan legionella. Walaupun begitu, infeksi yang
paling sering ditemukan pada penderita AIDS adalah pneumonia pneumocyti
carini (PPC) yang merupakan penyakit oportunistik pertama yang dideskripsikan
berkaitan dengan AIDS. Penderita AIDS pada mulanya hanya memperlihatkan
tanda-tanda dan gejala yang tidak khas seperti demam, menggigil, batuk
nonproduktif, napas pendek, dispneu dan kadang-kadang nyeri dada.
b. Gastrointestinal
Manifestasi gastrointestinal penyakit AIDS mencakup hilangnya selera makan,
mual,munta,vomitus, kandidiasis oral, serta esofagus, dan diare kronis. Bagi
pasien AIDS, diare dapat membawah akibat yang serius sehubungan dengan
terjadinya penurunan berat badan yang nyata (lebih dari 10% berat badan),
gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit, ekskoriasis kulit perinatal,
kelemahan dan ketidak mampuan untuk nmelaksanakan kegiatan yang biasa
dilakukan dalam kehidupan sehari-hari.

2.5 Pemeriksaan Penunjang


1. Pemeriksaan laboratorium menurut Mansjoer (2000), dapat dilakukan dengan dua
cara:
a. Cara langsung yaitu isolasi virus dari sampel. Umumnya dengan
menggunakan microskop elektron dan deteksi antigen virus. Salah satu cara
deteksi antigen virus adalah dengan polymerase chain reaction (PCR).
Penggunaan PCR antara lain untuk ;

1) Tes HIV pada bayi karena zat anti dari ibu masih ada pada bayi
sehingga menghambat pemeriksaan serologis.
2) Menetapkan status infeksi pada individu seronegatif
3) Tes pada kelompok rasio tinggi sebelum terjadi sero konversi
4) Tes konfirmasi untuk HIV-2 sebab sensitivitas ELISA untuk rendah.
b. Cara tidak langsung yaitu dengan melihat respon zat anti spesifik tes,
misalnya:
1) ELISA, sensitivitas tinggi (98,1-100%), biasanya
memberikan hasil positif 2-3 buah sesudah infeksi. Hasil positif harus di
konfirmasi dengan pemeriksaan Western Blot.
2) Western Blot, spsifitas tinggi (99,6-100%). Namun,
pemeriksaan ini cukup sulit, mahal dan membutuhkan waktu sekitar 24
jam. Mutlak diperlukan untuk konfirmasi hasil pemeriksaan ELISA
positif.
3) Imonofivoresceni assay (IFA)
4) Radio Imuno praecipitation assay (RIPA)
2. Pemeriksaan laboratorium untuk mendiagnosa dan melacak
virus HIV
a. Status imun
1) Tes fungsi sel CD4
2) Sel T4 mengalami penurunan kemampuan untuk reaksi terhadap
antigen
3) Kadar imunoglobutin meningkat
4) Hitung sel darah putih normal hingga menurun
5) Rasio CD4 : CD8 menurun
3. Complete Blood Covnt (CBC)
Dilakukan untuk mendeteks adanya anemia, leukopenia dan thrombocytopenia
yang sering muncul pada HIV.
4. CD4 cell count
Tes yang paling banyak digunakan untuk memonitor perkembangan penyakit dan
terapi yang akan dilakukan.
5. Blood Culture
6. Immune Complek Dissociaced P24 Assay
Untuk memonitor perkembangan penyakit dan aktivitas medikasi antivirus.
7. Tes lain yang biasa dilakukan sesuai dengan manifestasi klinik
baik yang general atau spesifik antara lain :
b. Tuberkulin skin testing
Mendeteksi kemungkinan adanya infeksi TBC.
c. Magnetik resonance imaging (MRI)
Mendeteksi adanya lymphoma pada otak
d. Spesifik culture dan serology examination (uji kultur spesifik
dan scrologi)
e. Pap smear setiap 6 bulan
Mendeteksi dini adanya kanker rahim.

Mendiagnosisi infeksi HIV pada bayi dari ibu yang terinfeksi HIV tidak mudah.
Dengan menggunakan gabungan dari tes-tes di atas, diagnosis dapat ditetapkan
pada kebanyakan anak yang terinfeksi sebelum berusia 6 bulan.
Temuan laboratorium ini umumnya terdapat pada bayi dan anak-anak yang
terinfeksi HIV:
1. Penurunan jumlah limfosit CD4+ absolut
2. Penurunan persentase CD4
3. Penurunan rasio CD4 terhadap CD3
4. Limfopenia
5. Anemia, trombositopenia
6. Hipergammaglobulinemia (IgG, IgA, IgM)
7. Penurunan respons terhadap tes kulit (Candida albicans, tetanus)
8. Respons buruk terhadap vaksin yang didapat (difteria, tetanus, morbilli,
Haemophilus influenzae tipe B)

Bayi yang lahir dari ibu HIV-positif, yang berusia kurang dari 18 bulan dan yang
menunjukkan uji positif untuk sekurang-kurangnya dua determinasi terpisah dari kultur
HIV, reaksi rantai polimerase-HIV, atau antigen HIV, maka ia dapat dikatakan “terinfeksi
HIV”. Bayi yang lahir dari ibu HIV-positif, berusia kurang dari 18bulan, dan tidak positif
terhadap ketiga uji tersebut dikatakan “terpajan pada masa perinatal”. Bayi yang lahir dari
ibu terinfeksi HIV, yang ternyata antibodi-HIV negatif dan tidak ada bukti laboratorium
lain yang menunjukkan bahwa ia terinfeksi HIV maka ia dikatakan “seroreverter”
1. Tes Laboratorium telah dikembangkan sejumlah tes diagnostic yang sebagian
masih bersifat penelitian. Tes dan pemeriksaan laboratorium digunakan untuk
mendiagnosis Human Immunodeficiency Virus (HIV) dan memantau
perkembangan penyakit serta responnya terhadap terapi Human
Immunodeficiency Virus (HIV).
2. Tes HIV umum, termasuk imunoasaienzim HIV dan pengujian Western blot,
dilakukan untuk mendeteksi antibodi HIV pada serum, plasma, cairan mulut,
darah kering, atau urin pasien.

2.6 Komplikasi
a. Pneumonia Pneumocystis carinii (PPC)
b. Pneumonia interstitial limfoid
c. Tuberkulosis (TB)
d. Virus sinsitial pernapasan
e. Candidiasis esophagus
f. Limfadenopati (pembesaran kelenjar getah bening)
g. Diare kronik
2.7 Penatalaksanaan
Hingga kini belum ada penyembuhan untuk infeksi HIV dan AIDS.
Penatalaksanaan AIDS dimulai dengan evaluasi staging untuk menentukan
perkembangan penyakit dan pengobatan yang sesuai. Anak dikategorikan
menggunakan tiga parameter: status kekebalan, status infeksi, dan status klinik.
Seorang anak dengan tanda dan gejala ringan tetapi tanpa bukti adanya supresi
imun dikategorikan sebagai A2. status imun didasarkan pada jumlah CD4 atau
persentase CD4, yang tergantung usia anak.
Kategorisasi Anak Infeksi HIV dan AIDS

Kategori Imun Kategori Klinis


(N) Tanpa (A) Tanda (B) Tanda (C) Tanda
Tanda dan dan Gejala dan Gejala dan Gejala
Gejala Ringan Sedang Hebat
(1) Tanpa tanda supresi N1 A1 B1 C1
(2) Tanda supresi sedang N2 A2 B2 C2
(3) Tanda supresi berat N3 A3 B3 C3

Keterangan :

Kategori Klinis HIV

1. Kategori N : Tidak bergejala


Anak-anak tanpa tanda atau gejala infeksi HIV
2. Kategori A: Gejala ringan
Anak-anak mengalami dua atau lebih gejala berikut ini:
a.Limfadenopati
b. Hepatomegali
c.Splenomegali
d. Dermatitis
e.Parotitis
f. Infeksi saluran pernapasan atas yang kambuhan/persisten, sinusitis, atau otitis
media.
3. Kategori B: Gejala sedang
Anak-anak dengan kondisi simtomatik karena infeksi HIV atau menunjukkan
kekurangan kekebalan karena infeksi HIV: contoh dari kondisi-kondisi tersebut
adalah sebagai berikut :
a. Anemia, neutropenia, trombositopenia selama > 30 hari
b. Meningitis bakterial, pneumonia, atau sepsis
c. Sariawan persisten selama lebih dari 2 bulan pada anak di atas 6 bulan
d. Kardiomiopati
e. Infeksi sitomegalovirus dengan awitan sebelum berusia 1 bulan
f. Diare, kambuhan atau kronik
g. Hepatitis
h. Stomatitis herpes, kambuhan
i. Bronkitis, pneumonitis, atau esofagitis HSV dengan awitan sebelum
berusia 1 bulan.
j. Herpes zoster, dua atau lebih episode
k. Leiosarkoma
l. Penumonia interstisial limfoid atau kompleks hiperplasia limfoid
pulmoner (LIP/PLH)
m. Varisela zoster persisten
n. Demam persisten > 1 bulan
o. Toksoplasmosis awitan sebelum berusia 1 bulan
p. Varisela, diseminata (cacar air berkomplikasi)
4. Kategori C : Gejala Hebat
Anak dengan kondisi berikut ini:

a. Infeksi bakterial multipel atau kambuhan


b. Kandidiasis pada trakea, bronki, paru, atau esofagus
c. Koksidioidomikosis, diseminata atau ekstrapulinoner
d. Kriptosporodisis, intestinal kronik
e. Penyakit, sitomegalovirus (selain hati, limpa, nodus), dimulai pada
umur > 1 bulan.
f. Retinitis sitomegalovirus (dengan kehilangan penglihatan)
g. Ensefalopati HIV
h. Ulkus herpes simpleks kronik (durasi > 1 bulan) atau pneumonitis atau
esofatis, awitan saat berusia > 1 bulan.
i. Histoplasmosis diseminata atau ekstrapulmoner
j. Isosporiasis, intestinal kronik (durasi > 1 bulan)
k. Sarkoma Kaposi
l. Limfoma, primer di otak
m. Limfoma (sarkoma Burkitt atau sarkoma imunoblastik)
n. Kompleks Mycobacterium ovium atau mycobacterium kansasii,
diseminata atau ekstrapulmoner.
o. Penumonia Pneumocystis carinii
p. Leukoensefalopati multifokal progresif
q. Septikemia salmonela, kambuhan
r. Toksoplasmosis pada otak, awitan saat berumur >1 bulan.
s. Wasting syndrome karena HIV

Selain mengendalikan perkembangan penyakit, pengobatan ditujukan terhadap


mencegah dan menangani infeksi oportunistik seperti kandidiasis dan penumonia
interstisial.

Azidotimidin (zidovudin), videks, dan zalcitabin (dcc) adalah obat-obatan untuk


infeksi HIV dengan jumlah CD4 rendah. Videks dan ddc kurang bermanfaat untuk
penyakit sistem saraf pusat Trimetoprim sulfametoksazol (Septra, Bactrim) dan
pentamadin digunakan untuk pengobatan dan profilaksis pneumonia cariini Pneumocystis
(PCP). Pemberian imunoglobulin secara intravena setiap bulan sekali berguna untuk
mencegah infeksi bakteri berat pada anak, selain untuk hipogamaglobulinemia.

Imunisasi disarankan untuk anak-anak dengan infeksi HIV. Sebagai ganti vaksin
poliovirus oral (OPV), anak-anak diberi vaksin virus polio yang tidak aktif (IPV).

Memulihkan sistem imun.

1. Obat-obat yang telah dicoba dipakai adalah imunomodulator, seperti isoprenosino,


interferon (alfa dan gamma), interleukin 2. Namun, sampai sekarang belum
memberikan hasil seperti yang diharapkan.
2. Transfusi limfosit dan transplantasi sumsum tulang.
Memberantas virusnya. Salah satu cara untuk memutuskan rantai pembiakan virus AIDS
adalah dengan “inhibiton reserve transcriptace” dengan obat suramin untuk menghambat
efek sitopatis virus terhadap sel limposit-T helper, namun obat ini sangat toksik.
Menurut Long (1996) perawatan diri pasien dengan AIDS adalah :
1. Upaya preventif meliputi :
a. Penyuluhan kesehatan pada kelompok yang beresiko terkena AIDS.
b. Anjuran bagi yang telah terinfeksi virus ini untuk tidak menyumbangkan darah,
organ atau cairan semen.
c. Modifikasi tingkah laku dengan :
1). Membantu mereka agar bisa merubah perilaku resiko tinggi menjadi perilaku
yang beresiko atau yang kurang beresiko dengan mengubah kebiasaan seksual
guna mencegah terjadinya penularan.
2). Mengingatkan kembali tentang cara hidup sehat, sehingga bisa
mempertahankan tubuh dengan baik yaitu dengan asupan nutrisi dan vitamin
yang cukup.
3). Pandangan hidup yang positif
4). Memberikan dukungan psikologis dan sosial
d. Skrining darah donor terhadap adanya antibody HIV
2. Edukasi yang bertujuan :
a. Mendidik pasien dan keluarganya tentang bagaimana menghadapi kenyataan
hidup bersama AIDS, kemungkinan didiskriminasikan dari masyarakat sekitar,
bagaimana tanggung jawab keluarga, teman dekat atau masyarakat lain.
b. Pendidikan bagaimana cara hidup sehat, dengan mengatur diet, asupan nutrisi dan
vitamin yang cukup, menghindari kebiasaan.
Pathway
HIV

Plasenta ASI Hubungan seksual


Transfusi darah
jarum suntik

Transmisi Ibu
ke anak
HIV masuk ke
dalam tubuh

Menyerang sistem imun


(Sel darah putih/ Limfosit)
ASUHAN KEPERAWATAN PADA ANAK MENGALAMI AIDS

A. PENGKAJIAN KEPERAWATAN
1. Data Subjektif, mencakup:
a. Pengetahuan klien tentang AIDS
b. Data nutrisi, seperti masalah cara makan, BB turun
c. Dispneu (serangan)
d. Ketidaknyamanan (lokasi, karakteristik, lamanya)
2. Data Objektif, meliputi:
a. Kulit, lesi, integritas terganggu
b. Bunyi nafas
c. Kondisi mulut dan genetalia
d. BAB (frekuensi dan karakternya)
e. Gejala cemas
3. Pemeriksaan Fisik
a. Pengukuran TTV
b. Pengkajian Kardiovaskuler
c. Suhu tubuh meningkat, nadi cepat, tekanan darah meningkat. Gagal
jantung kongestif sekunder akibat kardiomiopati karena HIV.
d. Pengkajian Respiratori
e. Batuk lama dengan atau tanpa sputum, sesak napas, takipnea, hipoksia,
nyeri dada, napas pendek waktu istirahat, gagal napas.
f. Pengkajian Neurologik
g. Sakit kepala, somnolen, sukar konsentrasi, perubahan perilaku, nyeri
otot, kejang-kejang, enselofati, gangguan psikomotor, penurunan kesadaran,
delirium, meningitis, keterlambatan perkembangan.
h. Pengkajian Gastrointestinal
i. Berat badan menurun, anoreksia, nyeri menelan, kesulitan menelan,
bercak putih kekuningan pada mukosa mulut, faringitis, candidisiasis esophagus,
candidisiasis mulut, selaput lender kering, pembesaran hati, mual, muntah, colitis
akibat diare kronis, pembesaran limfa.
j. Pengkajain Renal
k. Pengkajaian Muskuloskeletal
l. Nyeri otot, nyeri persendian, letih, gangguan gerak (ataksia)
m. Pengkajian Hematologik
n. Pengkajian Endokrin
5. Kaji status nutrisi
6. Kaji adanya infeksi oportunistik
7. Kaji adanya pengetahuan tentang penularan
Uji Laboratorium dan Diagnostik

1. ELISA : Enzyme-linked immunosorbent assay (uji awal yang umum)


untuk mendeteksi antibody terhadap antigen HIV(umumnya dipakai untuk skrining
HIV pada individu yang berusia lebih dari 2 tahun).
2. Western blot (uji konfirmasi yang umum) untuk mendeteksi adanya
antibodi terhadap beberapa protein spesifik HIV.
3. Kultur HIV untuk memastikan diagnosis pada bayi.
4. Reaksi rantai polimerase (Polymerase chain reaction)/PCR untuk
mendeteksi asam deoksiribonukleat (DNA) HIV (uji langsung ini bermanfaat untuk
mendiagnosis HIV pada bayi dan anak).
5. Uji antigen HIV untuk mendeteksi antigen HIV.
6. HIV, IgA, IgM untuk mendeteksi antibodi HIV yang diproduksi bayi
(secara eksperimental dipakai untuk mendiagnosis HIV pada bayi).

B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Risiko Infeksi b.d penyakit kronis (AIDS)
2. Hipertermi b.d proses penyakit infeksi HIV d.d suhu tubuh diatas nilai normal
3. Risiko ketidakseimbangan elektrolit b.d kehilangan volume cairan dan diare
4. Gangguan integritas kulit/ jaringan b.d imunodefisiensi (AIDS)
5. Pola nafas tidak efektif b.d hambatan upaya pernapasan d.d dipsnea
6. Gangguan proses keluarga b.d perubahan status kesehatan anggota keluarga d.d salah
satu anggota keluarga menderita penyakit kronis (AIDS)
7. Keletihan b.d kondisi fisiologi akibat penyakit kronis (AIDS) d.d tampak lesu dan
kebutuhan istirahat meningkat
8. Deficit nutrisi b.d ketidakmampuan mencerna makanan d.d berat badan menurun
9. Ansietas b.d ancaman terhadap konsep diri d.d tampak gelisah
10. Deficit pengetahuan b.d kurang terpapar informasi
11. Gangguan tumbuh kembang b.d efek ketidakmampuan fisik d.d pertumbuhan fisik
terganggu

C. RENCANA TINDAKAN
No Diagnosa
Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi
Keperawatan
1. Risiko Infeksi Setelah dilakukan tindakan keperawatan Pencegahan Infeksi
selama … x24 tingkat infeksi klien 1. Monitor tanda dan gejala infeksi
menurun dengan kriteria hasil: local
1. Pasien mampu mengikuti perintah, 2. Cuci tangan sebelum dan sesudah
mampu mengingat peristiwa saat ini kontak dengan pasien dan
serta mampu mengingat nama dan lingkungan pasien
atau anggota keluarga. 3. Jelaskan tanda dan gejala infeksi
2. Pasien tidak merasa gelisah ataupun 4. Kolaborasikan pemberian
depresi. imunisasi
3. Pola tidur, aktivitas dan interaksi
social pasien dapat membaik.
2. Hipertermi Setelah dilakukan tindakan keperawatan Manajemen Hipertermia
selama … x24 termoregulasi klien 1. Momonitor suhu tubuh
menurun dengan kriteria hasil: 2. Ganti linen setiap hari atau lebih
1. Pasien tidak mengigil, kejang dan sering jika mengalami
pucat berkurang hyperhidrosis (keringat berlebih)
2. Tidak ada tanda-tanda takikardi, 3. Anjurkan tirah baring
takipnea dan bradikardi serta hipoksia 4. Kolaborasikan pemberian cairan
3. Tanda-tanda vital pasien kembali dan elektrolit intravena, jika
normal. perlu

3. Risiko Setelah dilakukan tindakan keperawatan Pemantauan Elektrolit


ketidakseimbangan selama … x24 keseimbangan elektrolit 1. Monitor kadar elektrolit serum
elektrolit klien meningkat dengan kriteria hasil: 2. Monitor mual, muntah dan diare
1. Kadar serum elektrolit dalam 3. Atur interval waktu pemantauan
batas normal. pasien
4. Dokumentasikan hasil
pemantauan
5. Informasikan hasil pemantauan,
jika perlu

4. Gangguan integritas Setelah dilakukan tindakan keperawatan Perawatan Integritas Kulit


kulit/ jaringan selama … x24 integritas kulit dan 1. Indentifikasi penyebab
jaringan klien meningkat dengan kriteria gangguan integritas kulit
hasil: 2. Gunakan produk berbahan
1. Tingkat elastisitas, hidrasi dan ringan/alami dan hipoalergik
perfusi jaringan pasien membaik pada kulit sensitive
2. Pasien tidak mengeluh nyeri, tidak 3. Hindari produk berbahan dasar
terdapat kerusakan jaringan atau alcohol pada kulit kering
lapisan kulit dan tidak ada 4. Anjurkan menggunakan
perdarahan. pelembab
3. Suhu kulit pasien dalam batas 5. Anjurkan minum air yang cukup
normal (37,5oC)

5. Pola nafas tidak Setelah dilakukan tindakan keperawatan Manajemen Jalan Napas
efektif selama … x24 pola napas klien membaik 1. Monitor pola napas
dengan kriteria hasil: 2. Monitor bunyi napas
1. Tidak ada tanda dipsnea dan 3. Monitor sputum
pernapasan cuping hidung 4. Pertahankan kepatenan jalan
2. Frekuensi dan kedalaman napas napas dengan head-tilt dan chin-
pasien membaik tilt
5. Anjurkan asupan cairan
2000ml/hari, jika tidak
kontraindikasi
6. Kolaborasi pemberian
bronkodilator, ekspektoran,
mukolitik, jika perlu.
6. Gangguan proses Setelah dilakukan tindakan keperawatan Dukung Koping Keluarga
keluarga selama … x24 proses keluarga klien 1. Identifikasi respons emosional
membaik dengan kriteria hasil: terhadap kondisi saat ini
1. Adaptasi keluarga terhadap situasi 2. Hargai dan dukung mekanisme
dapat kembali normal
2. Keluarga mampu berkomunikasi koping adaptif yang digunakan
secara terbuka di antara anggota 3. Berikan kesempatan berkunjung
keluarganya. bagi anggota keluarga
4. Informasikan kemajuan pasien
secara berkala
5. Rujuk untuk terapi keluarga,jika
perlu.
7. Keletihan Setelah dilakukan tindakan keperawatan Manajemen Energi
selama … x 24 tingkat keletihan klien 1. Monitor pola dan jam tidur
membaik dengan kriteria hasil: 2. Sediakan lingkungan nyaman
1. Pasien mampu melakukan aktivitas dan rendah stimulus
rutin 3. Anjurkan tirah baring
2. Pasien tidak mengeluh lelah dan 4. Kolaborasi dengan ahli gizi
lesu serta pola isirahat membaik tentang cara meningkatkan
asupan makanan
8. Deficit nutrisi Setelah dilakukan tindakan keperawatan Manajemen Nutrisi
selama … x24 status nutrisi klien 1. Monitot status nutrisi
membaik dengan kriteria hasil: 2. Lakukan oral hygiene sebelum
1. Pasien mampu mengabiskan porsi makan, jika perlu.
makanan 3. Anjurkan posisi duduk, jika
2. Tidak ada keluhan sariawan, nyeri perlu.
abdomen ataupun diare 4. Kolaborasi dengan ahli gizi
3. Berat badan indeks masa tubuh untuk menentukan jumlah kalori
(IMT) membaik dan jenis nutrient yang
dibutuhkan, jika perlu.
9. Ansietas Setelah dilakukan tindakan keperawatan Terapi Relaksasi
selama … x24 tingkat ansietas klien 1. Identifikasi teknik relaksasi
menurun dengan kriteria hasil: yang pernah efektif digunakan
1. Perilaku gelisah, tegang dan pucat 2. Cipatakan lingkungan tenang
berkurang dan tanpa gangguan dengan
2. Konsentrasi serta pola tidur pasien pencahayaan dan suhu ruang
membaik yang nyaman, jika
memungkinkan.
3. Jelaskan tujuan, manfaat,
batasan, dan jenis relaksasi yang
tersedia
4. Anjurkan sering mengulangi
atau melatih teknik yang dipilih
10 Deficit pengetahuan Setelah dilakukan tindakan keperawatan Edukasi Kesehatan
. selama … x24 tingkat pengetahuan klien 1. Identifikasi kesiapan dan
meningkat dengan kriteria hasil: kemampuan menerima
1. Pasien berperilaku sesuai dengan informasi
anjuran 2. Sediakan materi dan media
2. Mampu menggambarkan pendidikan kesehatan
pengalaman sebelumnya yang 3. Berikan kesempatan bertanya
sesuai dengan topik 4. Ajarkan perilaku hidup bersih
dan sehat.
11 Gangguan tumbuh Setelah dilakukan tindakan keperawatan Promosi Perkembangan Anak
. kembang selama … x24 status perkembangan klien 1. Identifikasi kebutuhan khusus
membaik dengan kriteria hasil: anak dan kemampuan adaptasi
1. Pasien dapat melakukan perawatan anak
diri dengan baik 2. Fasilitasi hubungan anak dengan
teman sebaya
3. Demostrasikan kegiatan yang
meningkatkan perkembangan
pada pengasuh
4. Rujuk untuk konseling, jika
perlu.
D. IMPLEMENTASI
Implementasi merupakan tahap keempat dari proses keperawatan dimana
rencana keperawatan dilaksanakan : melaksanakan intervensi/aktivitas yang telah
ditentukan, pada tahap ini perawat siap untuk melaksanakan intervensi dan aktivitas
yang telah dicatat dalam rencana perawatan klien. Agar implementasi perencanaan
dapat tepat waktu dan efektif terhadap biaya, pertama-tama harus mengidentifikasi
prioritas perawatan klien, kemudian bila perawatan telah dilaksanakan, memantau dan
mencatat respons pasien terhadap setiap intervensi dan mengkomunikasikan informasi
ini kepada penyedia perawatan kesehatan lainnya. Kemudian, dengan menggunakan
data, dapat mengevaluasi dan merevisi rencana perawatan dalam tahap proses
keperawatan berikitnya.

E. EVALUASI
1. Dx 1 : Risiko Infeksi b.d penyakit kronis (AIDS)
a. Pasien mampu mengikuti perintah, mampu mengingat peristiwa saat ini serta
mampu mengingat nama dan atau anggota keluarga.
b. Pasien tidak merasa gelisah ataupun depresi.
c. Pola tidur, aktivitas dan interaksi social pasien dapat membaik.
2. Dx 2 : Hipertermi b.d proses penyakit infeksi HIV d.d suhu tubuh diatas nilai normal
a. Pasien tidak mengigil, kejang dan pucat berkurang
b. Tidak ada tanda-tanda takikardi, takipnea dan bradikardi serta hipoksia
c. Tanda-tanda vital pasien kembali normal.
3. Dx 3 : Risiko ketidakseimbangan elektrolit b.d kehilangan volume cairan dan diare
a. Kadar serum elektrolit dalam batas normal.
4. Dx 4 : Gangguan integritas kulit/ jaringan b.d imunodefisiensi (AIDS)
a. Tingkat elastisitas, hidrasi dan perfusi jaringan pasien membaik
b. Pasien tidak mengeluh nyeri, tidak terdapat kerusakan jaringan atau lapisan
kulit dan tidak ada perdarahan.
c. Suhu kulit pasien dalam batas normal (37,5oC)
5. Dx 5 : Pola nafas tidak efektif b.d hambatan upaya pernapasan d.d dipsnea
a. Tidak ada tanda dipsnea dan pernapasan cuping hidung
b. Frekuensi dan kedalaman napas pasien membaik
6. Dx 6 : Gangguan proses keluarga b.d perubahan status kesehatan anggota keluarga d.d
salah satu anggota keluarga menderita penyakit kronis (AIDS)
a. Adaptasi keluarga terhadap situasi dapat kembali normal
b. Keluarga mampu berkomunikasi secara terbuka di antara anggota
keluarganya.
7. Dx 7 : Keletihan b.d kondisi fisiologi akibat penyakit kronis (AIDS) d.d tampak lesu
dan kebutuhan istirahat meningkat
a. Pasien mampu melakukan aktivitas rutin
b. Pasien tidak mengeluh lelah dan lesu serta pola isirahat membaik
8. Dx 8 : Deficit nutrisi b.d ketidakmampuan mencerna makanan d.d berat badan
menurun
a. Pasien mampu menghabiskan porsi makanan
b. Tidak ada keluhan sariawan, nyeri abdomen ataupun diare
c. Berat badan indeks masa tubuh (IMT) membaik
9. Dx 9 : Ansietas b.d ancaman terhadap konsep diri d.d tampak gelisah
a. Perilaku gelisah, tegang dan pucat berkurang
b. Konsentrasi serta pola tidur pasien membaik
10. Dx 10 : Deficit pengetahuan b.d kurang terpapar informasi
a. Pasien berperilaku sesuai dengan anjuran
b. Mampu menggambarkan pengalaman sebelumnya yang sesuai dengan topik
11. Dx 11 : Gangguan tumbuh kembang b.d efek ketidakmampuan fisik d.d pertumbuhan
fisik terganggu
a. Pasien dapat melakukan perawatan diri dengan baik
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
AIDS disebabkan oleh infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV), yaitu suatu
lentivirus dari golongan retroviridae. Transmisi infeksi HIV dapat melalui hubungan
seksual, darah atau produk darah yang terinfeksi, jarum yang terkontaminasi, serta
transmisi vertikal dari ibu ke anak Gejala klinis pada infeksi HIV meliputi stadium:
Serokonversi, periode inkubasi, AIDS – related complex atau persistent generalized
lymphadenopathy, periode AIDS Diagnosis infeksi HIV dan AIDS dapat dilakukan
dengan anamnesis, pemeriksaan fisik, serta pemeriksaan penunjang yang meliputi
pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan radiologi. Penatalaksanaan penderita dengan
infeksi HIV atau AIDS meliputi pengobatan suportif, pengobatan infeksi oportunistik
dengan antibiotik, antijamur, antiparasit, antivirus dan glukokortikoid, pengobatan
neoplasma, serta pengobatan dengan antiretroviral (ARV).
Penderita HIV/AIDS seringkali tidak mau membuka status mereka ke orang lain
karena mereka takut dan khawatir orang-orang akan menjauhi bahkan mengucilkan
mereka dari lingkungan sekitarnya. Sebaliknya bagi mereka yang bersedia untuk open
status, biasanya mereka yang telah mendapatkan dukungan dari keluarga dan teman-
teman dekat mereka, sehingga mereka tidak khawatir akan pengakuan keberadaan
mereka.

3.2 Saran
Masyarakat membutuhkan edukasi tentang bahaya penyakit HIV/AIDS dan
bagaimana cara penularannya yang benar agar stigma dan diskriminasi terhadap ODHA
dapat diluruskan. Untuk itu perlu diadakannya seminar dan penyuluhan tentang
HIV/AIDS serta diselenggarakannya acara testimonial dari para ODHA untuk pelajar dan
mahasiswa. ODHA butuh mendapat perhatian dan dukungan dari masyarakat dan
pemerintah, selain itu Dukungan Kawan Sebaya juga dapat memberikan semangat hidup
bagi penderita HIV/AIDS
DAFTAR PUSTAKA

Amini, Ulfah. 2009. Laporan Pendahuluan dan Asuhan Keperawatan dengan AIDS.
https://www.academia.edu/31787641/ASKEP_AIDS. Diakses pada 12 Desember
2020.

Ardhiyanti, Y., Lusiana, N., & Megasari, K. (2015). Bahan ajar AIDS pada asuhan
kebidanan. Deepublish.

Sudikno, S., Simanungkalit, B., & Siswanto, S. (2011). Pengetahuan HIV dan AIDS pada
remaja di indonesia (Analisis Data Riskesdas 2010). Indonesian Journal of
Reproductive Health, 1(3), 145-154.

Tim Pokja SDKI DPP PPNI. (2016). Standar Diagnosa Keperawatan Indonesia (1st ed.).
Jakarta: Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perawat Nasional Indonesia.

Tim Pokja SIKI DPP PPNI. (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia (I). Jakarta.

Tim Pokja SLKI DPP PPNI. (2018). Standar Luaran Keperawatan Indonesia: Definisi dan
Kriteria Hasil Keperawatan (1st ed.). Jakarta: Dewan Pengurus Pusat Persatuan
Perawat Nasional Indonesia.

Yuliyanasari, N. (2017). Global Burden Disease–Human Immunodeficiency Virus–Acquired


Immune Deficiency Syndrome (HIV-AIDS). Qanun Medika-Medical Journal Faculty
of Medicine Muhammadiyah Surabaya, 1(01).

Anda mungkin juga menyukai