Anda di halaman 1dari 209

BUNGA RAMPAI

GERONGGANG
Jenis Lokal Potensial
Bumi Lancang Kuning
Bunga Rampai Geronggang
Jenis Lokal Potensial
Bumi Lancang Kuning
Ahmad Junaedi, Danu, Avry Pribadi, Yeni Aprianis, Eka
Novriyanti, Eko Sutrisno, Opik Taupik Akbar, Michael Daru
Enggar W dan Hery Kurniawan

Editor :
Yanto Rochmayanto
Rochmayanto
Eka Novriyanti

Foto Halaman Depan :


Ahmad Junaedi
ISBN: 978-623-92561-5-9
Diterbitkan melalui:
Diandra Kreatif/Mirra Buana Media
(Grup Penerbitan CV. Diandra Primamitra Media)(Anggota
IKAPI, 062/ DIY/ 08)
Jl. Melati No. 171 Sambilegi Baru Kidul, Maguwoharjo,
Depok, Sleman, Yogyakarta
Telp. (0274) 2801996, Fax. (0274) 485222
E-mail: diandracreative@gmail.com
Fb. DiandraCreative SelfPublishing dan Percetakan
Instagram: diandraredaksi, diandracreative
www.diandracreative.com

Copyright@2019
Hak cipta dilindungi oleh Undang-undang. Dilarang
memperbanyak atau memindahkan sebagian atau seluruh isi
buku dalam bentuk apapun, secara elekteronik atau mekanis,
termasuk memfotokopi, merekam atau dengan teknik
perekaman lain, tanpa seizin tertulis dari penerbit.
Bunga Rampai Geronggang
Jenis Lokal Potensial
Bumi Lancang Kuning

Editor
YANTO ROCHMAYANTO
EKA NOVRIYANTI

Diandra Kreatif
ii
Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Poensial Bumi Lancang Kuning
SAMBUTAN GUBERNUR RIAU
Puji syukur atas karunia Allah untuk nikmat kesempatan dan keilmuan
sehingga terbitlah buku “Geronggang: Jenis Lokal Potensial Bumi Lancang
Kuning” ini. Penerbitan buku ini tentunya bentuk apresiasi atas berbagai hasil
penelitian dan pengembangan terkait kayu geronggang yang telah dilakukan oleh
Balai Litbang Teknologi Serat Tanaman Hutan (BP2TSTH), Kementerian
Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Adanya buku ini dapat dianalogikan sebagai
oase di tengah kebutuhan informasi dan teknis pemanfaatan kayu geronggang di
Indonesia khususnya di Provinsi Riau. Melalui buku ini kita dapat memahami
mengenai karakteristik pertumbuhan kayu geronggang hingga skema
pemanfaatannya yang tuntas dari segi keekonomiannya.
Pemerintah Provinsi Riau melalui program “Riau Hijau” sudah tidak
asing lagi dengan komoditi ini, terlebih masyarakat di Kabupaten Bengkalis. Kayu
geronggang telah memberikan kontribusi ekonomis pada pendapatan masyarakat
dan berdampak pada kondisi ekologis. Karakteristiknya yang memiliki nilai kalor
yang rendah dapat dijadikan sebagai teknis pengendalian dari perspektif
penanganan kebakaran hutan dan lahan. Di samping itu kemampuannya yang
adaptif pada suksesi sekunder, tentunya kayu geronggang ini dapat berperan
sebagai penyangga hutan payau guna mengatasi abrasi di kawasan pantai.
Kontribusi lembaga litbang melalui penerbitan buku ini patut diapresiasi
dan hendaknya terus bergulir setiap tahunnya. Buah pikir dan gagasan yang
tertuang melalui tulisan di buku ini merupakan warisan tak ternilai untuk
generasi mendatang dan Insya Allah bernilai jariyyah bagi penulisnya.
Kebanggaan saya atas karya ini juga ditujukan kepada penulis yang telah
berkontribusi atas penuangan idenya di atas kertas. Mari terus berkarya dan
berinovasi untuk membangun sinergitas antar lini pemerintah guna mewujudkan
SDM Unggul – Indonesia Maju.

iii
Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Potensial Bumi Lancang Kuning
Tuan berpetuah kata terangkai
Puanpun duduk senyum mengembang
Buku yang terbit bertajuk bunga rampai
Sampaikan potensi kayu geronggang

Riau hijau untuk kemaslahatan


Merawat alam tak hanya menanami
Mari membaca guna berwawasan
Agar berilmu juga memahami

Pekanbaru, Desember 2019


Gubernur Riau,

Drs. H. Syamsuar, M.Si

iv
Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Poensial Bumi Lancang Kuning
PENGANTAR KEPALA BALAI

Segala puji teruntuk Allah SWT dan syukur atas karunia dan ridhaNya
dalam penerbitan buku “Geronggang: Jenis Lokal Potensial Bumi Lancang
Kuning” ini. Komoditi geronggang yang telah menjadi trendsetter perbanyakan
massal berbasis native species menjadi sebuah fenomena di bidang kehutanan
saat ini. Kemampuannya mencekam air dan nilai kalor yang rendah dapat
dijadikan sebagai alternatif pencegahan kebakaran hutan dan lahan. Selanjutnya,
dengan potensi nektar yang dimilikinya dapat pula dimanfaatkan sebagai sumber
pakan lebah penghasil madu. Banyaknya manfaat dari komoditi ini namun belum
dibarengi dengan penguasaan iptek dan teknis perbanyakan di kalangan umum.
Peluang potensi yang dimiliki oleh kayu geronggang dapat
direkomendasikan kepada masyarakat dalam konsep hutan kemasyarakatan dan
perhutanan sosial. Hadirnya buku ini tentunya mengangkat dan
mempublikasikan nilai tambah kayu geronggang kepada khalayak umum.
Hadirnya buku ini dirasa tepat dan sangat bermanfaat dalam konteks diseminasi
hasil kajian yang telah kami lakukan. Hal ini tentunya sejalan dengan amanat
Undang-undang Nomor 11 Tahun 2019 tentang Sistem Nasional Ilmu
Pengetahuan dan Teknologi. Kepada para pembaca, besar harapan kami
kontribusi ini dapat dimanfaatkan secara maksimal terkhusus kepada peminat
dan penggiat kayu.
Keberhasilan penulis dalam mengemas hasil kegiatan litbang dalam
tulisan buku ini sangat saya apresiasi dan berharap akan selalu ada dengan tema
baru secara periodik. Dengan terbitnya buku ini diharapkan dapat menciptakan
atmosfer menulis dan ekosistem riset lingkup BP2TSTH. Melalui buku ini juga,
kerja nyata dan berdampak itu dapat terealisasi hingga ke stakeholder. Insan
litbang berkarya, generasi ilmiah berkader.

Kuok, Desember 2019

Kepala Balai,

Priyo Kusumedi, S.Hut, MP

v
Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Potensial Bumi Lancang Kuning
vi
Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Poensial Bumi Lancang Kuning
Daftar Isi
I Pendahuluan ............................................................................ 1
Ahmad Junaedi
II Mengenal Geronggang …………………….……………………. 15
Ahmad Junaedi
III Informasi Awal Teknik Budidaya Geronggang …… 31
Ahmad Junaedi
IV Perbanyakan Tanaman Geronggang ………...…………. 45
Danu & Ahmad Junaedi
V Status Kesehatan Tanaman Jenis Geronggang (Studi
Tahun 2012-2014) ………………………………………………… 57
Avry Pribadi
VI Sifat Dasar Kayu Geronggang ………………………………... 71
Yeni Aprianis
VII Kualitas Kayu dan Serat Geronggang …………………… 83
Eka Novriyanti
VIII Pengolahan Pulp dan Kertas Kayu Geronggang …… 101
Yeni Aprianis & Eka Novriyanti
IX Konsep Pikir: Peluang Kayu Geronggang Sebagai
Material Maju Berbasis Nanoteknologi ……………….. 111
Eko Sutrisno
X Potensi Geronggang Sebagai Tanaman Obat …………. 129
Opik Taupik Akbar
XI Hutan Tanaman Geronggang Sebagai Sumber Pakan
Lebah ……………………………………… 143
Avry Pribadi
XII Nilai Harapan Lahan Pengusahaan Geronggang
di Kabupaten Bengkalis ……………………………………….. 161
Hery Kurniawan & Michael Daru Enggar W
XIII Kearifan Lokal Terhadap Geronggang
di Kabupaten Bengkalis ……………………………………….. 185
Michael Daru Enggar W & Hery Kurniawan

vii
Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Potensial Bumi Lancang Kuning
Daftar Gambar
Gambar 1.1. Hamparan hutan tanaman Acacia mangium dan Eucalyptus
pellita di riau (Ahmad Junaedi, 2018)
Gambar 1.2. Distribusi luasan hutan tanaman di Dunia (FAO, 2006 dalam
Anonim, 2009)
Gambar 1.3. Kondisi Hutan Acacia crassicarpa di Riau (a: tegakan tinggal
yang sudah banyak mati, b: salah satu pohon mati diduga
karena penyakit
Gambar 1.4 Distribusi jenis pohon yang dikembangkan pada hutan
tanaman di dunia (Carle et al., 2002)
Gambar 2.1 Bentuk helai (a) jorong, (b) memanjang dan (c) lanset); tangkai
daun geronggang (d) lurus , (e) bengkok); dan adanya buku
berupa garis lengkung(ditunjukkan anak panah)
Gambar 2.2 Pertulangan daun geronggang (a) menyirip dan membentuk
tulang pinggir (ditunjukkan anak panah) dan (b) tulang utama
yang melengkung/cekung
Gambar 2.3 Permukaan kulit batang geronggang (a) warna coklat
kemerahan, (b) warna abu-abu, (c) lichen pada permukaan
kulit batang geronggang
Gambar 2.4 Bagian dalam kulit batang geronggang (a) berwarna coklat
kemerahan dan mengandung resin berwarna coklat
kemerahan (tanda panah), (b) berlapis-lapis dan (c) bagian
kayu dibawah kulit berwarna putih/kuning terang
Gambar 2.5 Bentuk tajuk dan percabangan geronggang (a) rauh, (b)
scarrone, (c) percabangan geronggang yang mengalami self
pruning)
Gambar 2.6 Bunga (a) bunga kuncup, (b) bunga mekar); buah (c) buah
muda/mentah, (d) buah tua/kering
Gambar 2.7 Rambut akar geronggang yang berada di permukaan/bawah
serasah
Gambar 2.8 Contoh pemanfaatan kayu geronggang untuk cerocok dan
papan/dinding rumah
Gambar 2.9 Lebah penghasil madu dan propolis dari jenis Trigona sp yang
mengambil nektar dan serbuk sari di bunga geronggang
Gambar 2.10 Kehadiran beberapa binatang di tegakan geronggang seperti
burung dan serangga

viii
Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Poensial Bumi Lancang Kuning
Gambar 3.1 Kondisi lahan gambut terdegradasi yang didominasi alang-
alang dan paku-pakuan
Gambar 3.2 Penyiapan lahan secara manual dan kondisi lahan yang sudah
disiapkan (dibabat)
Gambar 3.3 Salah satu contoh program pemuliaan yang bisa dilakukan
untuk mendapatkan bibit unggul geronggang (Junaedi, 2014)
Gambar 3.4 Pohon geronggang berfenotipe relatif baik di Desa Wonosari,
Bengkalis, Riau
Gambar 3.5 Bibit geronggang yang sudah layak ditanam
Gambar 3.6 Pembuatan lubang tanam geronggang di lahan gambut
Gambar 3.7 Kondisi tajuk dan bawah tegakan geronggang berumur satu
dan tiga tahun
Gambar 3.8 Serangan ulat pada daun geronggang
Gambar 3.9 Contoh penggunan kurva MAI dan CAI untuk menentukkan
daur optimal pada jenis Acacia crassicarpa yang diperoleh
pada umur sekitar lima tahun (Suhartati et al., 2013)
Gambar 4.1 Bunga dan biji/benih geronggang
Gambar 4.2 Ektraksi benih geronggang dengan sistem kering (a) dan
basah (b dan c)
Gambar 4.3 Pengadaan bibit geronggang dengan sistem cabutan alam
untuk jarak jauh (a) anakan alam, (b) pengambilan anakan
alam, (c) cabutan alam dan (d) anakan alam yang sudah
disapih)
Gambar 4.4 Pembibitan geronggang dengan sistem cabutan alam untuk
jarak dekat (a) mencabut anakan alam, (b) cabutan alam, (c)
pemotongan daun dan akar dan (d) bibit asal cabutan alam
yang sudah stabil
Gambar 4.5 Pembibitan geronggang sistem generative dengan
menggunakan benih yang disemaikan (a) penyemaian benih,
(b) kecambah , (c) semai yang sudah bisa disapih dan (d) bibit
yang dihasilkan)
Gambar 4.6 Pembibitan gerunggang sistem vegetativ stek pucuk (a) bahan
stek, (b) stek ditanam pada media dengan rumah tumbuh
sisten KOFCO, (c) stek gerunggang umur tiga bulan setelah
tanam
Gambar 5.1 Kerusakan yang ditimbulkan akibat serangan hama ulat
pemakan daun

ix
Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Potensial Bumi Lancang Kuning
Gambar 5.2 Tanda kehadiran lichen ataupun penyakit karat daun pada
permukaan daun geronggang yang menutupi permukaan daun
sehingga menghalangi proses fotosintesa
Gambar 5.3 Potongan melintang lichen Lobaria pulmonaria yang
merupakan simbiosis antara fungus, algae, dan cyanobacteria.
Fungi berada pada bagian atas (upper cells/UC), medulla (M),
dan lapisan kortex bawah (LC). Fotosintesa terjadi pada
lapisan algae (A) and cyanobacteria akan memfikasasi
nitrogen menjadi bentuk yang dapat dimanfaatkan oleh
tanaman (CB) (Jovan, 2008). Photo: Eric Peterson from
www.crustose.net
Gambar 5.4 Kerusakan yang disebabkan oleh aktivitas rusa atau babi
(terlihat kulit batang seperti terkelupas)
Gambar 5.5 Diagram persentase penyebab kerusakan (tipe kerusakan)
pada jenis geronggang 2012 s.d 2014
Gambar 5.6 Diagram persentase kerusakan (severity level) pada jenis
geronggang tahun 2012 s.d 2014
Gambar 5.7 Kepik penghisap ujung daun (Hemiptera) di pohon
geronggang
Gambar 6.1 Kayu gerunggang diameter 15 cm (a) penampang lintang
makro, (b) penampang lintang mikro, (c) penampang radial
mikro, (d) penampang tangensial mikro (d)
Gambar 6.2 Kayu gerunggang diameter 20 cm (a) penampang lintang
makro, (b) penampang lintang mikro, (c) penampang radial
mikro, (d) penampang tangensial mikro
Gambar 6.3 Kayu gerunggang diameter 25 cm (a) penampang lintang
makro, (b) penampang lintang mikro, (c) penampang radial
mikro, (d) penampang tangensial mikro
Gambar 6.4 Grafik sifat fisika dan mekanik geronggang (Paradis et al.,
2012)
Gambar 7.1 Beberapa contoh produk komposit kayu (Stark et al., 2010)
Gambar 8.1 Tipe pemisahan serat (Sumber: Johansson et al., 2011)
Gambar 8.2 Pohon industri pulp dan kertas
Gambar 9.1 Building block system selulosa pada tanaman
Gambar 9.2 Susunan komponen penyusun dinding sel tanaman (Wertz,
Bedue, & Mercier, 2010)
Gambar 9.3 Teknik integrasi fabrikasi nanoselulosa (Kargarzadeh,
Ioelovich, et al., 2017)

x
Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Poensial Bumi Lancang Kuning
Gambar 9.4 Pemisahan rantai selulosa menjadi monomer glukosa
menggunakan hidrolisis asam (Girisuta, Janssen, & Heeres,
2007)
Gambar 9.5 Reaksi kimia dengan adanya penambahan katalis (Girisuta
et al., 2007)
Gambar 10.1 Struktur kimia α-mangostin (kiri) (Kaomongkolgit et al.,
2011) dan struktur kimia β-mangpostin (kanan) (Sidahmed et
al., 2016)
Gambar 12.1 Tual sagu siap diangkut ke kilang pengolahan (kiri); kondisi
salah satu hutan sagu di Bengkalis (kanan)
Gambar 12.2 Tanaman geronggang milik LSM Ikatan Pemuda Melayu
Peduli Lingkungan Bengkalis (kiri); Salah satu produk pintu
menggunakan bahan kayu geronggang (kanan)
Gambar 12.3 Geronggang di lahan milik masyarakat Bengkalis
Gambar 12.4 Nilai Harapan Lahan (LEV) pengusahaan tanaman
geronggang, sagu dan karet
Gambar 12.5 Grafik perubahan LEV geronggang oleh perubahan harga jual
produk pada tiga tingkat suku bunga
Gambar 12.6 Persentase penurunan nilai LEV pengusahaan geronggang
oleh penurunan harga jual produk kayu geronggang
Gambar 12.7 Penurunan nilai nominal LEV (Rp) oleh penurunan harga jual
produk kayu geronggang
Gambar 12.8 Grafik perubahan LEV sagu oleh perubahan harga jual produk
pada tiga tingkat suku bunga
Gambar 13.1 Peta Kabupaten Bengkalis
Gambar 13.2 Persentase penduduk bekerja menurut lapangan kerja utama
(BPS Kab. Bengkalis, 2018)
Gambar 13.3 (a) Diskusi menggali informasi dengan masyarakat pegiat
geronggang, (b) Bersama Pembina dan praktisi usaha tani
gerongggang dari LSM Ikatan Pemuda Melayu Peduli
Lingkungan
Gambar 13.4 (a) Rumah menggunakan bahan baku kayu geronggang, (b)
Papan kayu geronggang sebagai dinding rumah

xi
Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Potensial Bumi Lancang Kuning
Daftar Tabel
Tabel 2.1 Lokasi sebaran alam geronggang di Indonesia
Tabel 5.1 Kodefikasi tentang lokasi atau bagian tanaman dimana terjadinya
kerusakan
Tabel 5.2 Kodefikasi mengenai jenis-jenis kerusakan yang dialami oleh tanaman
Tabel 5.3 Kodefikasi untuk penentuan tingkat keparahan (severity level)
Tabel 5.4 Rekapitulasi tingkat kesehatan tegakan geronggang tahun 2012
Tabel 5.5 Rekapitulasi tingkat kesehatan tegakan Geronggang tahun 2013
Tabel 5.6 Rekapitulasi tingkat kesehatan tanaman jenis geronggang tahun 2014
Tabel 6.1 Dimensi serat dan diameter geronggang
Tabel 6.2 Nilai kualitas kayu geronggang dari beberapa diameter
Tabel 6.3 Sifat kimia kayu geronggang
Tabel 7.1 Rangkuman atribut kayu dan serat geronggang
Tabel 7.2 Dimensi serat yang digunakan sebagai bahan baku pulp
Tabel 7.3 Kriteria kualitas serat kayu untuk bahan baku pulp dan kertas dan
kualitas serat geronggang
Tabel 7.4 Kriteria karakter kayu sebagai bahan baku pulp dan karakter kayu
geronggang
Tabel 7.5 Klasifikasi produk komposit kayu
Tabel 8.1 Revolusi kertas
Tabel 8.2 Pengaruh diameter setinggi dada (dbh) dan konsentrasi NaOH terhadap
rendemen pulp putih
Tabel 8.3 Sifat pulp kraft geronggang dan hasil analisis uji-T serta konsumsi kayu
Tabel 8.4 Sifat fisik pulp geronggang yang diolah secara mekanis
Tabel 9.1 Komposisi dan formulasi hidrolisis untuk fabrikasi serat nanoselulosa
Tabel 9.2 Formulasi kelarutan pulp selulosa pada larutan elektrolit (Lin et al., 2014)
Tabel 9.3 Kombinasi teknik dalam fabrikasi serat nanoselulosa dari berbagai
material
Tabel 10.1 Bagian tanaman geronggang yang dimanfaatkan sebagai biofarmaka
Tabel 10.2 Fitokimia dalam geronggang
Tabel 11.1 Perkiraan nilai potensi nektar pada jenis geronggang di provinsi Riau
dengan beberapa asumsi
Tabel 11.2 Perhitungan carrying capacity dan perkiraan jumlah madu yang
dihasilkan

xii
Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Poensial Bumi Lancang Kuning
I.
PENDAHULUAN
(Ahmad Junaedi)
(Ahmad

Degradasi dan pengurangan luas hutan (deforestasi) masih terjadi dengan


tingkat yang mengkhawatirkan di berbagai belahan dunia, terutama di daerah
tropis seperti Indonesia. Total deforestasi di dunia dari tahun 1990 – 2015 adalah
sebesar 129,1 juta ha, sedangkan untuk wilayah tropis sebesar 195,4 juta ha
(Keenan et al., 2015). Ini menunjukkan bahwa tingkat degradasi dan deforestasi
hutan di wilayah tropis ternyata 51% lebih tinggi dibandingkan dengan rerata
deforestasi yang terjadi di dunia, dikarenakan pada beberapa negara non tropis
angka deforestasinya sudah negatif. Sementara itu pada kurun waktu yang sama,
deforestasi Indonesia mencapai 27,5 juta ha atau sebesar 21% dan 14% dari
deforestasi dunia dan Tropis (FAO, 2015). Laju deforestasi Indonesia pada kurun
waktu tersebut adalah lebih dari 1 juta ha/tahun. Sementara itu, angka deforestasi
terbaru yang dilaporkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan
(2018) berdasarkan data deforestasi netto pada kurun waktu 2016 – 2017 adalah
sebesar 0,48 juta ha. Walaupun angka ini menunjukkan sudah terjadinya
penurunan laju deforestasi, namun upaya penurunan deforestasi harus tetap
digalakkan dan tidak boleh berhenti.
Pengurangan tutupan hutan (deforestasi) menjadi sinyal lampu kuning
adanya potensi bencana. Banyak bencana alam yang dihubungkan dengan
deforestasi; seperti kabut asap, banjir, longsor dan lain lain. Bahkan fenomena
global perubahan iklim yang dicirikan oleh peningkatan suhu (efek rumah kaca),
juga diduga berkaitan erat dengan deforestasi. Perubahan biomassa hutan
menjadi karbon ini dianggap berbahaya, mengingat CO 2 adalah salah satu jenis
gas rumah kaca yang mempunyai peran kunci dalam memanasakan lapisan udara
bawah/troposfer (Junaedi, 2007). Emisi gas ini dari deforestasi Indonesia jika
diakumulasikan bersama Brazil menyentuh angka signifikan, mencapai 55% dari
total emisi karbon yang dihasilkan dari deforestasi di wilayah tropis (Harris et al.,
2012).
Berbagai upaya dalam rangka menurunkan laju deforestasi harus semakin
digalakkan. Namun, upaya ini hendaknya tidak dimaknai sebagai tindakan yang

1
Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Potensial Bumi Lancang Kuning
meninggalkan pemanfaatan hutan secara paripurna, dikarenakan masih adanya
kebutuhan masyarakat terhadap sumber daya yang ada di dalam hutan, baik
terhadap kayu maupun non-kayu. Peningkatan jumlah penduduk berikut ragam
kebutuhannya berimplikasi terhadap peningkatan kebutuhan sumber daya yang
ada di dalam hutan dan bahkan lahan hutan itu sendiri.
Hutan menyediakan ragam kebutuhan hidup manusia yang cukup
lengkap dan beragam seperti kayu (sumber papan), sumber serat (sandang, kertas
dll), obat–obatan, beraneka sumber makanan (pangan), minyak atsiri, jasa
lingkungan, ecosystem services dll. Hasil sensus Badan Pusat Statistik (BPS) pada
tahun 2010 menunjukkan jumlah penduduk Indonesia sebesar 237,6 juta jiwa
dengan laju pertumbuhan 1,49 %/tahun (BPS, 2019). Untuk itu, pengelolaan
hutan melalui pemanfaatan sumber daya hutan yang berkelanjutan perlu
diterapkan dengan sebenar-benarnya. Pengelolaan hutan ini pun diharapkan
dapat juga berperan dalam upaya penurunan deforestasi dan degradasi hutan.
Pembangunan hutan tanaman muncul sebagai salah satu metode
pengelolaan hutan yang memungkinkan dapat dicapainya kelestarian hutan.
Walaupun metode ini masih menimbulkan pro kontra di antara pihak yang
berkepentingan dalam pengelolaan hutan dan lingkungan hidup, tetapi
nampaknya cara lain yang paling ideal dalam rangka pemanfaatan hutan dengan
paling bijak masih belum ditemukan.

Gambar 1.1. Hamparan hutan tanaman Acacia mangium dan Eucalyptus pellita
di Riau

Pengelolaan hutan tanaman sudah cukup lama dipraktekkan di


Indonesia, dan hutan tanaman pertama adalah hutan jati di Pulau Jawa. Jati
sempat diduga sebagai jenis asli Indonesia yakni dari Pulau Jawa dan Muna
(Pratiwi & Lust, 1994), tetapi belakangan berdasarkan penelitian Verhaegen et al.
(2013) ada dugaaan bahwa jati Indonesia diduga berasal dari Laos Tengah. Hutan
2
Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Poensial Bumi Lancang Kuning
tanaman lain yang juga cukup lama dikenal adalah Pinus spp. Kemudian, jenis
hutan tanaman yang terbaru adalah hutan tanaman industri (HTI) kayu pulp
dengan jenis Acacia dan Eucalyptus. Adapun lokasi pengembangan HTI-pulp
sampai saat ini terkonsentrasi di Sumatera dan Kalimantan, dan hanya sedikit di
wilayah lainnya. Keberadaan HTI jenis eksotik ini sangat diandalkan mengingat
kayu yang dipanen merupakan bahan baku utama industri pulp dan kertas di
Indonesia yang kapasitasnya cukup besar yakni mencapai 7,9 dan 12,9 juta
ton/tahun (Asosiasi Pulp dan Kertas Indonesia, 2017). Bahkan, belakangan jenis-
jenis ini pun sudah dimanfaatkan untuk bahan baku produksi viscose-rayon
(Rafael, 2019).

A. Memilih Hutan Tanaman Sebagai Solusi


Era pengusahaan hutan di Indonesia dimulai pada tahun 1967-an atau
pada masa orde baru (orba). Pengusahaan hutan tersebut dilakukan dengan
pemanenan kayu (secara selektif) dari hutan alam yang jumlahnya masih
melimpah. Masa itu telah mengantarkan sektor kehutanan menjadi bagian
penting dalam pembangunan ekonomi Indonesia, yakni kedua setelah sektor
migas. Nilai ekspornya hingga akhir tahun 1971 mencapai USD 440 juta (BEM
Fahutan-IPB, 2013). Kemudian, pendapatan negara dari sektor ini pada tahun
1974 mencapai USD 564 juta (Hidayat, 2016).
Sayangnya, praktek pengusahaan hutan melalui Hak Pengusahaan Hutan
(HPH) menimbulkan dampak negatif. Ada tiga dampak yang ditimbulkannya
yakni: Pertama, kelestarian hutan dalam arti meningkatnya produktivitas lahan
hutan dan kelestarian hasil kayu tidak tercapai; Kedua, muncul konflik antara
pengusaha HPH, pemerintah dengan penduduk lokal; dan Ketiga terjadi banyak
perubahan sosial, politik dan budaya di desa-desa sekitar hutan terutama sekali
jika dilihat dari sistem land tenurial, dan terganggunya akses penduduk atas
sumber daya hutan (Awang, 2000). Selain itu, distribusi manfaat yang
diperolehnya pun cenderung timpang karena banyak dinikmati para pemodal
besar.
Perusahaan HPH menguasai hutan Indonesia dalam jumlah yang sangat
luas. Akibatnya, praktek pengelolaan mereka yang cenderung buruk
menimbulkan kerusakan hutan yang tidak sedikit. Kartodihardjo & Supriono
(2000) melaporkan bahwa sampai tahun 1998 saja degradasi hutan di areal HPH
sudah mencapai 16,57 juta ha dan cenderung terus meningkat dari tahun ke
3
Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Potensial Bumi Lancang Kuning
tahun. Jumlah pemegang konsesi HPH dan luasan hutan yang dikelolanya hingga
tahun 2000 adalah sebanyak 600 unit dan 64 juta ha (Suparna, tanpa tahun).
Namun, Jumlah unit dan luasan tersebut sudah jauh menurun dan sampai pada
tahun 2015 tinggal 269 unit dan 20,62 juta ha (Yasman et al., 2016).
Dampak dari kinerja HPH yang rendah menyebabkan banyaknya areal
hutan dalam kondisi terdegradasi. Kerusakan tersebut pun sampai saat ini belum
dapat diatasi secara optimal, sehingga menurunkan fungsi ekologi hutan seperti
pengatur tata air (hidrologi), penyimpan biomassa (karbon), pengatur iklim
mikro, biodiversitas dll.
Pemerintah Indonesia sebenarnya telah berupaya membuat konsep,
panduan ataupun model untuk diterapkan dalam pengeloaan hutan berbasis HPH
yang lestari (secara produksi, sosial dan ekologi). Panduan ini pun terus menerus
diperbaiki sehingga harapannya dapat ditemukan formula yang paling cocok
untuk mengelola hutan alam di Indonesia secara lestari. Beberapa konsep dan
panduan pengelolaan ini telah dituangkan dalam berbagai bentuk sistem
silvikultur yang terus dibenahi antara lain Tebang Pilih Indonesia (TPI), Tebang
Pilih Tanam Indonesia (TPTI), Tebang Jalur Tanam Indonesia (TJTI), Silvikultur
Intensif (SILIN). Belakangan, muncul pemikiran baru yakni multi sistem
silvikultur. Namun, faktanya secara umum pengelolaan hutan berbasis HPH
belum menunjukkan hasil yang menggembirakan. Kalaupun ada yang dianggap
berkinerja baik jumlahnya tidak banyak yakni di bawah 8% dari total HPH yang
ada (FWI, 2011).
Namun demikian, kita perlu menemukan strategi untuk mengatasi
kawasan hutan yang terdegradasi. Bagaimanapun kebutuhan terhadap sumber
daya hutan masih tetap ada dan bahkan cenderung meningkat. Salah satunya
adalah kebutuhan kayu yang secara konsisten dianggap masih melebihi pasokan
yang bisa disediakan. Kebutuhan ini harus dipenuhi, namun dalam
pemenuhannya sebisa mungkin tidak menambah luas kerusakan hutan dan
deforestasi.
Pengelolaan hutan melalui pembangunan hutan tanaman merupakan
salah satu cara terbaik yang bisa dipilih untuk menyelamatkan hutan Indonesia.
Pengelolaan hutan tanaman ini sangat berbeda dengan HPH, karena yang
dilakukan adalah dengan menanami hutan yang rusak untuk kemudian dipanen
dalam suatu siklus rotasi, lalu ditanami kembali, demikian seterusnya. Lokasi

4
Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Poensial Bumi Lancang Kuning
pembangunan hutan tanaman diarahkan pada kawasan hutan produksi yang
terdegradasi, sehingga pembangunan hutan tanaman sekaligus merupakan
kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan. Hal ini menunjukkan bahwa jika dilakukan
secara benar, pembangunan hutan tanaman setidaknya akan menghasilkan dua
dampak positif. Dampak positif yang pertama adalah akan tetap terpenuhi
kebutuhan terhadap sumber daya yang ada di dalam hutan baik berupa kayu
maupun non kayu. Kalaupun tidak terpenuhi sepenuhnya untuk kebutuhan
kayu, tetapi gap antara permintaan dengan pasokannya bisa diperkecil. Dampak
positif yang kedua adalah semakin bekurangnya tekanan terhadap hutan alam
yang tersisa.
Pembangunan hutan tanaman di beberapa negara telah menunjukkan
hasil yang menggembirakan dalam hal menghutankan kembali hutan yang rusak
dan sekaligus memasok kebutuhan bahan baku untuk industri. Beberapa di
antaranya adalah Amerika Serikat, Brazil, Jepang, China dll yang memiliki luasan
hutan tanaman cukup signifikan di dunia (Gambar 1.2). Indonesia secara luasan
termasuk sepuluh besar di dunia (Gambar 1.2). Namun, secara presentase belum
optimal, jika ditinjau relatif terhadap luas daratan, terutama terhadap luasan
kawasan hutan yang terdegradasi dan terdeforestasi, sehingga kegiatan
pembangunan hutan tanaman ini harus semakin digalakkan.

Gambar 1.2. Distribusi luasan hutan tanaman di Dunia (FAO, 2006 dalam
Anonim, 2009)

B. Sekilas Perjalanan Hutan Tanaman di Indonesia


Pengelolaan hutan dan kehutanan berbasis hutan tanaman bukan hal
baru di Indonesia. Praktik hutan tanaman jauh telah ada sebelum kemerdekaan,
yakni telah ada pada era penjajahan Belanda berupa hutan tanaman jati dan pinus
5
Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Potensial Bumi Lancang Kuning
di Pulau Jawa. Keduanya sampai saat ini masih eksis dan dikelola oleh perusahaan
BUMN PT. Perhutani. Selain itu, kedua jenis tersebut pun (terutama jati) banyak
ditanam oleh masyarakat di lahan miliknya, berupa hutan rakyat. Adapun, topik
perbincangan pada tahun 1980 adalah mengenai perlunya membangun hutan
tanaman industri (HTI). Berawal dari perbincangan tersebut yang ditindaklanjuti
dengan berbagai forum serupa maka terbentuklah berbagai kebijakan dan aturan
tentang pembangunan HTI di Indonesia. Selanjutnya, beberapa perusahaan HTI
pun muncul. Jenisnya didominasi oleh HTI yang ditujukan untuk memenuhi
kebutuhan industri pulp/kertas, sedangkan HTI yang diarahkan untuk
memenuhi kebutuhan lainnnya seperti pertukangan dan HHBK, hampir tidak
ada. Lokasi HTI dibagun di luar Jawa yakni di kawasan hutan produksi yang
sudah tidak produktif yang salah satunya dicirikan oleh kuantitas tegakannya
yang kurang dari 20 m3/ha (Srihardiono, 2005). Realisasi pembangunan sampai
tahun 2016 sekitar 2,45 juta ha. Realisasi ini baru sebesar 23,2% dari luas total
konsesi HTI atau 38,6 persen dari luas lahan efektif (Yasman et al., 2016).
Belum genap setengah abad sejak digagas, HTI di Indonesia ternyata
menghadapi masalah yang serius terkait penurunan produktivitas. Penurunan
ini terjadi baik pada HTI yang dibangun di tanah mineral maupun gambut.
Nampaknya, serangan organisme penggangu tanaman menjadi salah satu
penyebab serius penurunan produktivitas tersebut. Serangan Ganoderma spp,
Ceratocystis spp menyerang Acacia mangium di HTI lahan mineral dan Acacia
crassicarpa di HTI lahan Gambut (Rimbawanto, 2014; Tarigan et al., 2011;
Junaedi, 2018). Bahkan, binatang pengerat (tupai) dan mamalia (kera) turut
menyerang HTI Acacia mangium (Kurniawan 2009; Inhutani II, 2014).
Akibatnya, standing stock dan produktivitas hutan tanaman Acacia spp umur 5
tahun pada rotasi kedua dan berikutnya relatif rendah di bawah 30% dan 140
m3/ha (Nurcan et al. , 2014; Suhartati et al, 2013; Suhartati et al. , 2014). Bahkan
pada tingkat plot penelitian yang relatif berukuran kecil, persen hidup dan
produktivitasnya rendah yakni hanya sekitar 22% pada umur 5,5 tahun (Junaedi,
2018).
Penurunan performa jenis yang dikembangkan oleh HTI tersebut cepat
atau lambat berpotensi menimbulkan masalah serius bagi industri pulp dan kertas
di Indonesia, sehingga perlu segera ditemukan solusinya. Upaya peningkatan
daya tahan terhadap penyakit pada jenis eksotik tersebut melalui pemuliaan dan
bioteknologi hutan serta memperbaiki teknik silvikultur merupakan solusi yang
6
Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Poensial Bumi Lancang Kuning
memungkinkan. Solusi lain yang logis untuk dilakukan adalah dengan mengganti
jenis eksotik yang saat ini masih dikembangkan dengan jenis lainnya. Salah satu
jenis pengganti yang bisa dipromosikan adalah jenis pohon asli setempat/lokal
(native species).
Selain adanya permasalahan penurunan produktivitas pada jenis eksotik
di HTI-pulp, masalah lainnya adalah cenderung berkutatnya pembangunan
hutan tanaman hanya pada jenis HTI-pulp, sedangkan untuk jenis lain seperti
untuk kayu pertukangan atau bahkan penghasil HHBK belum nampak
kiprahnya. Hal ini menunjukkan bahwa kebutuhan akan kayu pertukangan atau
HHBK di Indonesia masih sangat tergantung terhadap hutan alam. Seharusnya,
Hutan Tanaman (HT) pertukangan pun bisa berkembang dengan baik mengingat
kebutuhan kayu untuk pertukangan baik untuk masyarakat ataupun industri
akan tetap tinggi. Contoh hutan tanaman untuk kebutuhan bahan baku non kayu
(HT HHBK) sebenarnya sudah ada yakni pada jenis kayu putih di Jawa dan
Kepulauan Maluku yang mana luasannya mencapai 248.756 Ha (Sunanto, 2003
dalam Kartikawati et al., 2014). Tentu, jika dikaji secara serius dan digalakkan,
pembangunan HT-HHBK untuk jenis selain kayu putih nampaknya akan sangat
memungkinkan.

( (
a) b)

Gambar 1.3. Kondisi Hutan Acacia crassicarpa di Riau (a = tegakan tinggal yang
sudah banyak mati, b = salah satu pohon mati diduga karena
penyakit

C. Jenis Lokal atau Eksotik


Suatu jenis tanaman dikategorikan sebagai jenis asli setempat jika
tumbuh, hidup dan tersebar alami pada suatu lokasi tanpa ada campur tangan
manusia (Morse et al., 2007). Jenis tanaman yang tidak sesuai dengan kategori ini
7
Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Potensial Bumi Lancang Kuning
merupakan jenis eksotik. Secara lebih detail, penentuan apakah suatu jenis
termasuk native species atau eksotik tergantung dari sudut pandang wilayah
sebaran alaminya, yakni apakah berdasarkan wilayah administrasi atau
ekosistem. Misalnya, jenis pohon tertentu bisa dikatakan sebagai jenis
lokal/eksotik Indonesia, Sumatera, Jawa dll jika berdasarkan lokasi administrasi,
sedangkan berdasarkan sudut pandang tipe ekosistemnya, jenis pohon tertentu
bisa dikategorikan sebagai jenis lokal/eksotik ekosistem lahan gambut, eksosistem
hutan pegunungan, ekosistem lahan kering dll. Sebagai contoh jabon adalah jenis
lokal Sumatera, tetapi bukan jenis lokal lahan gambut.
Jenis lokal merupakan jenis yang paling dominan (> 80%) dikembangkan
oleh hutan tanaman di dunia, terutama jenis pinus yang mencapai 20% (Payn et
al., 2015; Carle et al., 2002) (Gambar 1.4). Namun, hutan tanaman di Indonesia
berbeda dengan trend tersebut karena justru cukup luas mengembangkan Acacia
mangium, Acacia crassicarpa dan Eucalyptus pellita di luar lokasi sebaran
alaminya, sehingga masuk dalam kategori jenis eksotik. Acacia mangium dan
Eucalyptus pellita sebenarnya merupakan asli Indonesia karena sebaran alamnya
ada di wilayah Indonesia yakni Acacia mangium pada lahan mineral di
Kepulauan Aru, Pulau Seram dan P. Papua dan Eucalytus pellita pada lahan
mineral di Pulau Papua (Sein & Mitlöhner, 201 & Hung et al., 2015). Namun,
ketiganya ditanam pada lahan kering di P. Sumatera dan Kalimantan yang bukan
lokasi sebaran alamnya.
Jenis lokal maupun jenis eksotik masing-masing mempunyai kelebihan.
Beberapa kelebihan jenis lokal antara lain adalah mampu beradaptasi pada
kondisi lokasi dan toleran terhadap kondisi lingkungan (termasuk dari serangan
hama penyakit); menjadi bagian penting dalam menjaga biodiversitas (apalagi
ketika keberadaannya di alam sedang terancam atau bahkan hampir punah);
menjadi bagian penting dari keseimbangan dan kesinambungan alami untuk
organisme lainnya di habitat alamnya; berkontribusi terhadap produktivitas
lahan dan membuat bentang alam yang khas (Jhonson & Stawell, 2001; Harrison
et al., 2005). Sementara itu, jenis eksotik pun mempunyai kelebihan antara lain:
beberapa jenis mampu beradaptasi dan tumbuh baik pada kondisi lahan yang
kritis/marginal, bahan perbanyakan (benih dan bibit) relatif lebih mudah
diperoleh serta pengetahuan silvikulturnya lebih lengkap dan memadai.
Kelebihan jenis eksotik inilah yang menyebabkan hutan tanaman jenis eksotik
dikembangkan cukup luas di Indonesia. Namun demikian, sebagaimana telah
8
Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Poensial Bumi Lancang Kuning
diungkapkan sebelumnya bahwa dengan berjalannya waktu, nampak bahwa ada
penurunan performa jenis eksotik antara lain dikarenakan serangan hama dan
penyakit. Kondisi ini melatarbelakangi perlunya mencari jenis baru yang
potensial untuk dikembangkan di hutan tanaman. Salah satu jenis yang bisa
dipromosikan adalah jenis lokal.

Gambar 1.4. Distribusi jenis pohon yang dikembangkan pada hutan tanaman di
dunia (Carle et al., 2002)

D. Geronggang Jenis Lokal Potensial


Indonesia adalah negeri yang terkenal dengan mega biodiversitasnya,
karena memiliki kekayaan hayati yang sangat melimpah. Untuk jenis pohon saja,
Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan (2005) menyebutkan lebih dari
4000 jenis terdapat di Indonesia. Sementara itu, Wardani et al. (2018) melaporkan
bahwa untuk Pulau Sumatera saja terdapat 1737 species pohon, yang berasal dari
363 genera dan 86 famili. Angka yang cukup besar sekaligus modal berharga bagi
pencarian jenis pohon yang menjanjikan untuk dikembangkan di hutan tanaman,
baik untuk tujuan pemenuhan bahan baku pulp, pertukangan ataupun HHBK.
Geronggang merupakan jenis asli eksositem hutan Indonesia yang diduga
memiliki potensi yang baik untuk dikembangkan di hutan tanaman. Beberapa
penelitian telah menunjukkan jenis ini memiliki karakteristik serat kayu yang
baik untuk bahan baku pulp (Junaedi & Aprianis, 2010; Aprianis, 2016). Kayunya
telah sejak lama digunakan untuk kayu pertukangan di beberapa daerah di
Indonesia. Kayu geronggang bisa juga digunakan sebagai bahan baku untuk

9
Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Potensial Bumi Lancang Kuning
arang. Beberapa penelitian yang relatif baru menunjukkan bahwa kulit kayu jenis
ini memiliki bahan kimia yang diduga bisa digunakan sebagai bahan baku obat-
obatan (Sidahmed et al., 2013; Omer et al., 2017). Beberapa bagian geronggnag,
seperti kulit batang, daun, akar dan resin secara tradisional telah digunakan
sebagai obat untuk mengatasi gatal, luka dan sakit perut (Soerinegara &
Lemmens, 2001).

DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2009. Ten countries with the largest area of productive forest plantation.
www.grida.no. Diakses 2 September 2019
Aprianis, Y. 2016. Peluang beberapa jenis kayu alternatif untuk pulp. Dalam A. Hidayat,
Sudarmalik, E. Novriyanti, H. H. Rachmat, & A. Wahyudi (Editor.). Prosiding
Hasil Penelitian : Peluang dan tantangan pembangunan LHK di Riau (Hal. 1 -
12). Kuok: Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Serat Tanaman
Hutan.
Asosiasi Pulp dan Kertas Indonesia. 2017. Dampak penerapan regulasi gambut terhadap
kinerja industri pulp dan kertas. APKI. Jakarta.
Awang, S.A. 2000. Dinamika proses RUU kehutanan (disparitas cita-cita dan fakta).
Jurnal PSDA 1(1) : 13 – 17.
Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. 2005. Atlas kayu Indonesia, Jilid I.
Badan Penelitian dan Kehutanan. Bogor.
Badan Pusat Statistik. 2019. Jumlah dan Distribusi Penduduk. BPS.
https://sp2010.bps.go.id/index.php/site/index. Diakses 12 Agustus 2019.
BEM Fahutan-IPB. 2013. Profesi Kehutanan (Part III).
https://bemfahutanlkipb.wordpress.com/2013/06/15/profesi-kehutanan-part-
iii/. Diakses 12 Agustus 2019.
Carle, J,P. Vuorinen, & A.D. Lungo. 2002. Status and Trends in Global Forest Plantation
Development. Journal Forest Products 52(7) : 1 – 13
FAO. 2015. Global forest resources assessment 2015. FAO. Rome.
FWI. 2011. Potret keadaan hutan Indonesia periode tahun 2000 – 2009. Forest Watch
Indonesia. Bogor.
Harris, N.L., S. Brown, S. C. Hagen, S. S. Saatchi, S. Petrova, etal. 2012. Baseline map of
carbon emissions from deforestation in tropical regions. Science 336: (1573-
1575). doi:10.1126/science.1217962
Harrison, S., T.J. Venn, R. Sales, E.O. Mangaoang & J.F. Herbohn. 2005. Estimated
financial performances of exotic and indigenous tree species in smallholder
plantations in Leyte Province. Annals of Tropical Research 27(1): 67 – 80.

10
Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Poensial Bumi Lancang Kuning
Hidayat, H. 2016. Forestry Industry (Logging, HTI, Plywood, Pulp, and Paper) in Forest
Resources Management in Indonesia (1968–2004). Springer Science+Business
Media .Singapore.
Hung, T.D.,J.T. Brawner, R. Meder, D.J. Lee, S. Southerton, H.H. Thinh & M.J. Dieters .
2015. Estimates og genetic parameters for growth and wood properties in
Eucayptus pellita F. Muell. To support tree breeding in Vietnam. Annals of
Forest Science, 72, 2015 – 217.
Jhonson, H & Stawell. 2001. The benefits of usig indigenous Plants. Landcare Note. State
of of Victoria Department of Natural Resources and Environment, Australia.
Junaedi & Aprianis. 2010. Sifat kayu gerunggang sebagai jenis pulpable alternatif pada
lahan gambut. Buletin Hasil Hutan 6(1).
Junaedi, A. 2018. Growth performance of three native tree species for pulpwood
plantation in drained peatland of Pelalawan District, Riau. Indonesian Journal
of Forestry Research 5(2), 119-132.
Junaedi, A. 2007. Kontribusi hutan sebagai rosot karbon dioksida. Info Hutan 5(1) : 1-7.
Kartikawati, N.K., A. Rimbawanto, M. Susanto, L. Baskorowati & Prastyono. 2014.
Budidaya dan prospek pengembangan kayu putih (Melaleuca cajuputi). IPB
Press. Bogor.
Kartodihardjo, H., Supriono, A. 2000. The Impact of sectoral development on natural
forest conversion and degradation: the case of timber and tree crop plantations
in Indonesia. CIFOR Occasional Paper No.26 (E). Bogor, Indonesia, CIFOR.
14p.
Keenan, R.J., G.A. Reams, F. Achard, J.V. de Freitas, A. Grainger, E. Lindquist. 2015.
Dynamics of global forest area: Results from the FAO Global Forest Resources
Assessment 2015. Forest Ecology and Management 352: 9–20.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Status Hutan dan Kehutanan Indonesia
2018. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Jakarta.
Kurniawan, A. 2009. Serangan awal kera ekor panjang (Macaca fascicularis) pada HTI
Acacia mangium di PT. Musi Hutan Persada Sumatera Selatan. Tekno Hutan
Tanaman 2(2):77 – 82.
Morse, L.E., J.M. Swearingen & J.M. Randall. 2007. Defining what is native- what is
native plant www.fhwa.dot.gov/environment/rdsduse. Diakses Tanggal 9
Oktober 2013.
Nurcan, Refdanil, Sribudiani, E., & Sudarmalik. 2014. Analisi harga jual kayu akasia
berdasarkan pendekatan biaya produksi pembangunan hutan tanaman
industri.
https://jom.unri.ac.id/index.php/JOMFAPERTA/article/viewFile/1873/1836
Omer, F.A.A , N.B.M Hashim,M.Y. Ibrahim, F. Dehghan, M. Yahayu, H. Karimian, L.Z.A
Salim & S. Mohan. Beta-mangostin from Cratoxylumarborescens activates the
intrinsic apoptosis pathway through reactive oxygen species with

11
Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Potensial Bumi Lancang Kuning
downregulation of the HSP70 gene in the HL60 cells associated with a G0/G1
cell-cycle arrest. Tumor Biology : 1– 12
Payn, T, J.M. Carnus, P.F. Smith, M. Kimberley, W. Kollert, S. Liu, C. Orazio, L.
Rodriguez, L.N. Silva & M.J. Wingfield. Changes in planted forests and future
global implications. Forest Ecology and Management 352 : 57–67
Pratiwi & N. Lust. 1994. Teak (Tectona grandis L.f.) Forests in Java, Indonesia plantations,
management and policy. Silva Gandavensis 59 : 97 – 118.
PT. Inhutani II. 2014. Hasil kunjungan pakar hama penyakit di Pulau Laut.
www.bumn.go.id. Diakses 3 September 2019.
Rafael, E.C. 2019. APR menyasar industry fesyen global. Dikutip
dariamp.kontan.co.id/news/apr-menyasar-industri-fesyen-global. E.C. Rafael.
Diakses 1 Nopember 2019.
Rimbawanto, A. (2014). Managing root rot diseases in Acacia mangium. In Seminar
Nasional. Retrieved from http://www.forda-
mof.org/files/Mengelola_Penyakit_ Busuk_Akar_-_Anto_R.pdf. on 16 March
2018 Yogyakarta.
Sein, C.C & R. Mitlöhner. 2011. Acacia mangium Willd: Ecology and silviculture in
Vietnam. Bogor : Center for International Forestry Research.
Sidahmed, Heyam & Abdelwahab, Siddig & Mohan, Syam & Abdulla, Mahmood & Taha,
Manal & Mohd Hashim, Najihah & Hamid A Hadi, A & Vadivelu, Jamuna &
Loke, Mun Fai & Rahmani, Mawardi & Yahayu, Maizatulakmal. (2013). α-
Mangostin from Cratoxylum arborescens (Vahl) Blume Demonstrates Anti-
Ulcerogenic Property: A Mechanistic Study. Evidence-based complementary
and alternative medicine : eCAM. 2013. 450840. 10.1155/2013/450840.
Srihardiono, U. 2005. Hutan tanaman industry : skenario masa depan kehutanan
Indonesia. PT. Musi Hutan Persada & Wana Aksara.
Soerinegara, I. & R.H.M.J. Lemmens. (Eds). (2001). Plant resources of South-East, Timber
trees : Major commercial timbers. Bogor : Prosea.
Suhartati, Y. Aprianis, A. Pribadi & Y. Rochmayanto. 2013. Kajian dampak penurunan
daur tanaman Acacia crassicarpa A. Cunn terhadap nilai produksi dan sosial.
Jurnal Penelitian Hutan Tanaman 10(2): 109 – 118.
Suhartati, Y. Rochmayanto & Y. Daeng. 2014. Dampak penurunan daur tanaman Acacia
terhadap kelestarian Produksi, Ekologis dan Sosial. Buletin Eboni 11(2):103 –
116.
Suparna, N. tanpa tahun. Peran HPH dalam menjaga keberlanjutan hutan alam. Lestari
Paper No.3. USAID.
Tarigan, M., Roux, J., Wyk, M. Van, Tjahjono, B., & Wingfield, M. J. (2011). A new wilt
and dieback disease of Acacia mangium associated with Ceratocystis
manginecans and C. acaciivora sp. In Indonesia. South African Journal of
Botany, 77(2), 292–304.doi:10.1016/j.sajb.2010.08.006.

12
Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Poensial Bumi Lancang Kuning
Wardani, M., Denny & Sutiyono. 2018. Spesies pohon hutan rawa gambut Sumatera.
Dalam E. Martin,H.L. Tata, L. Syaufina & M. Rachmat (Editor.). Prosiding
Seminar Merawar Asa Restorasi Gambut, Pencegahan Kebakaran dan
Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat (Hal. 1 - 10). Palembang: Balai
Penelitian dan Pengembangan LHK Palembang.
Yasman, I., R. Benyamin, H. Siswoyo, N. Suparna, B. Widyantoro, I. Kusuma, I. Harmain,
Sugijanto, A. Wahyudi, S. Karim & B. Prayitno. 2016. Roadmap pembangunan
hutan produksi Tahun 2016 – 2024. Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia.
Jakarta.

13
Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Potensial Bumi Lancang Kuning
14
Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Poensial Bumi Lancang Kuning
II.
MENGENAL GERONGGANG
(Ahmad Junaedi)
(Ahmad

Geronggang (Cratoxylon arborescens) merupakan salah satu jenis pohon


lokal lahan gambut yang akhir-akhir ini ramai diperbincangkan, karena memiliki
potensi yang menjanjikan untuk dikembangkan dalam bentuk hutan tanaman,
baik untuk hutan tanaman industri (HTI) maupun di masyarakat (Hutan Rakyat).
Hal ini antara lain mengemuka dalam pertemuan antara Balai Besar Bioteknologi
dan Pemuliaan Tanaman Hutan (BBPBPTH) dengan Bagian Research and
Development PT. Arara Abadi, Sinar Mas serta Balai Litbang Serat Tanaman
Hutan (BP2TSTH) di Yogyakarta pada tahun 2015. Pertemuan ini membahas
peluang pengembangan jenis-jenis alternatif tanaman HTI, terkhusus untuk HTI-
pulp (Badan Litbang dan Inovasi Kehutanan, 2015). Dalam kesempatan tersebut,
BP2TSTH salah satunya mempromosikan pohon lokal geronggang untuk HTI-
Pulp. Promosi geronggang ini dilakukan atas dasar hasil penelitian yang
dilakukan BP2TSTH sejak tahun 2011 pada aspek silvikultur, sifat kayu dan
pengolahan pulp. Hal ini juga didasarkan pada hasil penelitian sebelumnya yang
dilakukan pada tahun 2007 mengenai sebaran dan syarat tumbuh serta sifat dasar
kayu geronggang. Kemungkinan Pengembangan jenis ini untuk tujuan
rehabilitasi lahan gambut terdegradasi maupun untuk hutan tanaman juga
dikemukakan pada acara seminar hasil penelitian BP2TSTH di Pekanbaru pada
tahun 2015.
Perusahaan pengelola HTI-pulp berskala besar seperti PT. Arara Abadi
(Sinar Mas Group) juga tak luput memberikan perhatiannya pada geronggang.
Perusahaan ini sudah merintis pengembangan jenis ini antara lain dengan
melakukan penelitian yang lebih intensif terutama pada aspek silvikultur dan
pemuliaannya (Giesen & Sari, 2018). Kemungkinan hal ini dilatarbelakangi oleh
hasil penelitian pendahuluan mereka bersama Badan Litbang dan Inovasi
Lingkungan Hidup dan Kehutanan (BLI) dan Korea Forest Research Institute
(KFRI) mengenai uji jenis pohon lokal lahan gambut untuk pulp yang
menunjukkan geronggang sebagai salah satu jenis pohon lokal lahan gambut yang
cukup menjanjikan dibandingkan jenis pohon lokal gambut lainnya.

15
Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Potensial Bumi Lancang Kuning
Berita mengenai potensi geronggang ini pun semakin booming ketika
berbagai komponen masyarakat di Bengkalis, Riau yang dimotori LSM Ikatan
Pemuda Melayu Peduli Lingkungan mulai mengembangkan jenis ini. Gubernur
Riau pun telah terjun langsung untuk melihat geronggang yang ditanam
masyarakat tersebut dan memberikan apresiasi, hingga mempromosikan
penanaman jenis geronggang ini sebagai salah satu upaya antisipasi/mencegah
kebakaran hutan dan lahan (karhutla) (“Antisipasi Karhutla”, 2019). Informasi
mengenai pohon geronggang dan bagaimana status budi dayanya
(silvikulturnya), akan diuraikan pada bab ini.

A. Taksonomi dan Sebaran Alami Geronggang


Geronggang adalah jenis pohon asli Indonesia dan beberapa negara
lainnya di Asia Tenggara dengan nama lokal yang berbeda-beda. Beberapa nama
lain dari jenis ini adalah serungan (Sabah, Malaysia), gerunggang (Brunei),
geronggang (nama umum di Indonesia dan Malaysia), lede (Sumatera bagian
utara) (Sabah Forestry Department, 2007; Soerinegara & Lemmens, 2001).
Adapun nama ilmiahnya adalah Cratoxylum arborescens (Vahl) Blume yang juga
sinonim dengan nama ilmiah Ancistrolobus glaucescnes Turz., Cratoxylum
arborescens var. miquelli King, Cratoxylum cuneatu Miq., Hyperricum
arborescens Vahl dan Hypericum coccineum Wall (“Cratoxylum arborescens”,
tanpa tahun). Secara taksonomi geronggang termasuk ke dalam filum
Tracheophyta, kelas Magnoliopsida, ordo Malpighiales, family Hypericaceae dan
genus Cratoxylum Blume (GBIF Secretariat, 2017).
Jenis Cratoxylum arborescens tersebar alami di Myanmar/Burma bagian
selatan, semenanjung Malaysia (Malaysia & Singapura), Kalimantan (Indonesia
dan Malaysia) dan Sumatera (Gogelein, 1967; Soerinegara & Lemmens, 2001).
Wong et al. (2013) dalam Neo et al. (2016) melaporkan bahwa geronggang di
Singapura berada di Hutan Rawa Nee Soon. Sementara itu, laporan dari Malaysia
menunjukkan bahwa jenis ini secara alami ditemukan di Sabah dan Serawak,
salah satunya di Hutan Sekunder Universitas Malaysia Serawak, Malaysia Timur
(Sabah Forestry Department, 2007; Karyati et al., 2017). Di Indonesia, sebaran
alami geronggang menurut Gogelein (1967) mencakup seluruh wilayah di Pulau
Kalimantan dan Sumatera, walaupun laporan terkini tidak menunjukkan adanya
sebaran geronggang di semua provinsi yang ada di Sumatera dan Kalimantan

16
Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Poensial Bumi Lancang Kuning
(Tabel 2.1). Sebaran alami geronggang pada lokasi yang lebih spesifik di
Burma/Myanmar belum ditemukan laporannya.
Tabel 2.1. Lokasi sebaran alam geronggang di Indonesia
No. Lokasi Pulau/Propinsi Tipe Lahan Referensi
1 HL. Gunung Tarak Kalimantan/Kalimantan Barat Mineral Desi et al. , 2017
2 TN. Sebangau Kalimantan/Kalimantan Tengah Gambut Istomo et al., 2010;Lestariningsih, et al, 2018
3 Eks Mega Rice Project Area Kalimantan/Kalimantan Tengah Gambut Blackham et al. , 2014
4 Cagar Alam Muara Kendawangan Kalimantan/Kalimantan Barat Gambut Siregar & Ruskandi, 2006
5 KHDTK Tumbang Nusa Kalimantan/Kalimantan Tengah Gambut Tata & Pradjadinata (2013)
6 Kelampangan Canal , Palangkaraya Kalimantan/Kalimantan Tengah Gambut Saito et al. (2005) ; Simbolon (2004)
7 Hutan Sungai Berpasir-Sungai Siduung, Tanjung Redeb Kalimantan/Kalimantan Timur Heriyanto & Subiandono (2007)
8 Hutan kerangas sekitar Danau Tahai Kalimantan/Kalimantan Tengah Mineral Sigit , 2014
9 HL. Gambut Lahai, Kuala Kapuas Kalimantan/Kalimantan Tengah Gambut Nugraha, 2014
10 TN. Tanjung Putting, Kotawaringin Barat Kalimantan/Kalimantan Tengah Gambut Mirmanto et al., 2000
11 Hutan WisataRawa Gambut Baning, Sintang Kalimantan/Kalimantan Barat Gambut Syukur et al., 2007
12 Cagar Alam Kersik Luway, Kutai Barat Kalimantan/Kalimantan Timur Mineral Budiman et al. (2016)
13 HL. Lahai Kalimantan/Kalimantan Tengah Gambut Istomo et al. (2010)
14 Hutan Rawa Gambut Tripa Sumatera/NAD Gambut Universitas Syiah Kuala,
15 TN. Berbak Sumatera/Jambi Gambut Istomo et al. (2010)
16 HLG. Tanjung Jabung Barat Sumatera/Jambi Gambut Istomo et al. (2010)
17 Cagar Alam Durian Luncuk I, Sarolangon Sumatera/Jambi Mineral Ariyanto (2017)
18 PT. Putra Duta Indah Wood , Muaro Jambi Sumatera/Jambi Gambut Mawazin (2013)
19 Kubah gambut merang, Bayung Lencir, Musi Banyuasin Sumatera/Sumatera Selatan Gambut Pemerintah Prov. Sumsel (2017); Barkah, 2009
20 TN. Zamrud, Siak Sumatera/Riau Gambut Suhartati et al (2012)
21 HL. Bukit Betabuh, Kuantan Singingi Sumatera/Riau Mineral Suhartati et al (2012)
22 PT. Diamond Raya Timber, Dumai Sumatera/Riau Gambut Mawazin & Subiakto (2013); Sufaidah (2016)
PT. Mutiara Sabuk Khatulistiwa & PT. Sumatera Riang
23 Sumatera/Riau Gambut
Lestari, Inderagiri Hilir
24 Kecamatan Bangko, Rokan Hilir Sumatera/Riau Gambut
Suhartati et al (2012)
Mineral &
25 Tahura Sutan Syarif Hasyim II & TN. Zamrud, Siak Sumatera/Riau
Gambut
26 Kecamatan Bengkalis, Bengkalis Bengkalis/Riau Gambut
27 Tanah Merah, Rangsang Pesisir, Kep. Meranti Sumatera/Riau Gambut Pemerintah Desa Tanah Merah, 2017
28 Tanjung Sari, Tebing Tinggi Timur, Kep. Meranti Sumatera/Riau Gambut Sepka et al., 2017

Khusus di Riau, Tim Peneliti BP2TSTH telah melakukan survei sebaran


alami geronggang, walaupupun belum secara menyeluruh menjangkau wilayah
yang ada di Riau. Hasilnya menunjukan bahwa geronggang ditemukan di
Kabupaten Bengkalis, Siak, Kuansing, Rokan Hilir dan Indragiri Hilir (Suhartati
et al., 2012). Selanjutnya, beberapa informasi tambahan menunjukkan bahwa
selain di kabupaten-kabupaten tersebut, ternyata di Provinsi Riau geronggang
secara alami juga dapat ditemukan di Kab. Kepulauan Meranti yakni di Desa
Tanah Merah dan Tanjung Sari (Pemerintah Desa Tanah Merah, 2017; Sepka et
al., 2017).

17
Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Potensial Bumi Lancang Kuning
Geronggang secara alami dapat ditemukan di hutan rawa gambut maupun
di lahan mineral. Seperti yang dilaporkan oleh Sabah Forestry Department (2007)
bahwa geronggang secara alami tumbuh pada hutan pegunungan (ketinggian
1.400 m dpl). Bahkan, geronggang juga ditemukan secara alami mampu hidup dan
bertahan pada lahan mineral yang marginal seperti lahan bersubstrat pasir silika
dan podsol (merah kuning) serta lahan yang berjenis gley soil (Sigit, 2014; Karyati
et al., 2017). Bukti-bukti ini sesuai dengan syarat tumbuh yang dilaporkan
Soerinegara & Lemmens (2001) bahwa geronggang dapat tumbuh pada rentang
ketinggian tempat yang lebar yakni 0 – 1800 m dpl. Kemudian, Wahyuningtyas
& Ariani (2015) melaporkan bahwa pada tingkat semai jenis ini relatif tidak tahan
genangan. Penelitiannya di Kalimantan menunjukkan bahwa sebanyak 68%
semai mati saat kondisi tergenang.

B. Morfologi Pohon Geronggang


Geronggang merupakan jenis pohon sedang sampai besar dengan tinggi
dan diameternya dapat mencapai 50 m dan 85 cm (Soerinegara & Lemmens,
2001). Beberapa karakteristik yang terkait dengan morfologi pohon ini dijelaskan
berikut ini:
B.1. Daun
Daun geronggang termasuk daun tunggal yang mempunyai tiga bentuk
helai daun yaitu jorong (elliptic), memanjang (oblong) dan lancet (lanceolate).
Letak daunnya berhadapan sederhana dengan tangkai daun yang umumnya lurus,
tetapi terdapat juga tangkai daun yang nampak bengkok. Pada tiap bagian
pertemuan dua tangkai daun tersebut (bagian pelepah daun) terdapat semacam
buku yang berbentuk garis cembung (Gambar 2.1). Pangkal dan ujung daun
geronggang umumnya meruncing, sedangkan tepi daunnya rata. Ukuran tulang
daun utama (midrib) mengecil dari pangkal ke ujung dan umumnya berbentuk
cekung (Gambar 2.1). Pertulangan daunnya menyirip yang mana tulang daun
ordo 1 tumbuh lancip (membentuk sudut < 90o terhadap tulang daun utama)
sampai mendekati tepi daun (1-2 mm dari tepi daun), kemudian melengkung dan
saling berhubungan dengan tulang daun ordo 1 lainnya secara berkesinambungan
(kontinu), sehingga membentuk tulang daun pinggir (Gambar 2.2). Warna daun
geronggang cenderung hijau tua untuk bagian atas dan hijau muda pada bagian
bawahnya dan relatif mengkilap di kedua bagian tersebut. Kesan raba pada bagian
atas dan bawah daun geronggang adalah relatif agak licin (tidak kasar) atau tidak
18
Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Poensial Bumi Lancang Kuning
berbulu. Daging daunnya tipis dan kaku karena mengandung lignin yang relatif
tinggi, > 30% (Junaedi, 2014).

Gambar 2.1. Bentuk helai (a) jorong, (b) memanjang dan (c) lanset);
D tangkai
E
daun geronggang (d) lurus, (e) bengkok, dan adanya buku berupa
garis lengkung (ditunjukkan anak panah)

Gambar 2.2. Pertulangan daun geronggang (a) menyirip dan membentuk tulang
pinggir (ditunjukkan anak panah) dan (b) tulang utama yang
melengkung/cekung
B.2. Batang
Batang geronggang relatif silindris dan tumbuh lurus ke atas (erectus).
Kulit batang geronggang dapat ditemukan dalam berbagai variasi warna yakni
abu-abu, coklat dan coklat kemerahan; walaupun ada dugaan bahwa warna asli
kulit batang geronggang adalah merah atau merah kecoklatan. Adapun warna
kulitnya yang berwarna abu-abu diduga karena adanya pengaruh asosiasi jamur
dengan lumut (lichen) yang menempel menyelimuti permukaan kulit batang
geronggang (Gambar 2.3). Permukaan kulit batang geronggang termasuk kasar
dan beralur (lebar alur 1- 2 cm). Kulit batang geronggang memiliki tebal yang
relatif sedang (sekitar 2 mm pada tanaman muda). Dalam kondisi basah, kulitnya
berwarna merah kecoklatan pada bagian luar serta kuning pada bagian dalamnya.

19
Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Potensial Bumi Lancang Kuning
Kulit geronggang berlapis-lapis dan apabila dilihat penampang melintangnya,
nampak seperti lapisan kertas yang bertumpukan (Gambar 2.4). Apabila bagian
kayu disayat, beberapa jam kemudian akan mengeluarkan resin yang berwarna
merah kecoklatan. Pada saat basah, permukaan kayu berwarna putih/kuning
muda.

Gambar 2.3. Permukaan kulit batang geronggang


( (a) warna coklat kemerahan,
(
(
(b) warna Abu-abu, (c) lichen pada permukaan kulit batang
b) c)
geronggang
a)

Gambar 2.4. Bagian dalam kulit batang geronggang (a) berwarna coklat
( ( (
kemerahan dan mengandung resin berwarna coklat kemerahan
a) b) c) C
(tanda panah), (b) berlapis-lapis dan (c) bagian kayu dibawah kulit
berwarna putih/kuning terang
B.3. Arsitektur pohon (tajuk)
Setidaknya ada dua model pertajukan geronggang yang umum ditemukan
di lapangan, yakni rauh dan scarrone (Gambar 2.5). Percabangan umumnya
monopodial, walaupun pada kondisi tertentu dapat ditemukan yang simpodial.
Di dalam tegakan, percabangan geronggang dapat memangkas sendiri ( self
pruning) (Gambar 2.5), walaupun memerlukan waktu yang relatif lama (tahunan)
untuk mengeringkan dan “menggugurkan” percabangannya. Namun,
pemangkasan sendiri ini nampaknya relatif sulit ditemukan untuk pohon yang
tumbuh soliter.

20
Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Poensial Bumi Lancang Kuning
Gambar 2.5. Bentuk tajuk dan percabangan geronggang (a) rauh, (b) scarrone,
(
(c) percabangan geronggang( yang mengalami self (pruning)
a) b) c)
B.4. Bunga dan buah

Ket : = Biji/geronggang kering yang akan ke luar


Gambar 2.6. Bunga (a) bunga kuncup,C(b) bunga mekar); buah (c) buah
muda/menta, (d) buah tua/kering

Bunga geronggang berwarna merah muda, baik saat kuncup maupun


mekar (Gambar 2.6). Bunga geronggang termasuk jenis majemuk dischasial yang
21
Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Potensial Bumi Lancang Kuning
dicirikan oleh adanya dua cabang yang saling berhadapan di ibu tangkai. Buah
geronggang berjenis buah kapsul yang mana di dalamnya terdapat ruang-ruang
(lokus). Dalam setiap kapsul terdapat 6 lokus dan dalam setiap lokus terdapat 10–
18 biji/benih (Neo et al, 2016). Buah geronggang yang mentah berwarna merah
muda yang akan berubah menjadi hijau, kuning, merah keungu-unguan dan
kemudian coklat dengan semakin matangnya buah. Apabila semakin tua, buah
akan kering, merekah dan pecah sehingga biji/benih yang ada didalamnya akan
beterbangan jika terkena guncangan baik oleh angin atau satwa (Gambar 2.6).
Biji/benih geronggang bersayap pada semua sisinya.
B.5. Perakaran
Geronggang memiliki sistem perakaran sebagiamana jenis pohon lainnya
yakni berakar tunggang yang bercabang (ramous). Perakaran geronggang
umumnya tidak berbanir, walaupun banir pada beberapa pohon bisa ditemukan
sampai ketinggian 1 m di atas permukaan tanah (Neo et al., 2016). Namun
demikian perakaran geronggang mempunyai ciri khas yakni terkait penyebaran
rambut akarnya yang menjelajah jauh baik secara vertikal mapun horizontal.
Bahkan rambut akar ini bisa ditemukan di permukaan tanah/bawah serasah
(Gambar 2.7). Ciri khas lainnya adalah kemampuan perakarannya untuk dapat
berkolonisasi dengan jamur mikoriza (Tawaraya et al., 2003).

Gambar 2.7. Rambut akar geronggang yang berada di permukaan/bawah serasah

C. Pemanfaatan
Sudah sejak lama pohon geronggang banyak dimanfaatkan untuk
berbagai tujuan. Kayu geronggang berukuran besar dimanfaatkan untuk bahan
22
Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Poensial Bumi Lancang Kuning
bangunan rumah (papan, kayu broti, kayu lapis dll), sedangkan yang berukuran
kecil untuk cerocok (Gambar 2.8). Kayu geronggang dapat digunakan sebagai
bahan baku kayu energi, yakni untuk arang (Prosea, 2001). Selain itu, penelitian
telah menunjukkan bahwa kayu geronggang ternyata mempunyai sifat yang
cocok sebagai bahan baku kayu akustik seperti untuk pembuatan biola dan gitar
(Sedik et al., 2010). Masyarakat pun sudah mengenal pemanfaatan daun dan kulit
geronggang sebagai obat tradisional untuk sariawan, gatal, luka, obat sakit perut
dan lain lain (Prosea, 2001). Beberapa penelitian di tingkat laboratorium telah
menunjukkan potensi bagian kulit batang geronggang untuk bahan obat–obatan
karena mengandung senyawa kimia yang bermanfaat bagi kesehatan (Sim et al.,
2011; Ibrahim et al., 2017; Omer et al., 2017). Kemudian, serat kayu geronggang
mempunyai sifat yang baik jika akan digunakan untuk bahan baku pulp (kelas II),
dimana untuk menghasilkan 1 ton pulp maka dibutuhkan kayu sekitar 4,83 m3
(Aprianis, 2015: Junaedi & Aprianis, 2010). Bagian bunga geronggang pun dapat
dimanfaatkan sebagai pakan lebah dalam usaha budidaya lebah madu karena
mengandung nektar yang disukai jenis-jenis lebah penghasil madu seperti jenis
Triogona spp (Gambar 2.9). Selain itu, getah dan resinnya juga berpotensi untuk
dimanfaatkan sebagai pakan bagi jenis lebah penghasil propolis.
Peluang lain dalam pemanfaatan bagian tanaman geronggang adalah pada
bagian daunnya. Daun geronggang kemungkinan dapat dimanfaatkan sebagai
bioreduktor dalam sintesis nanopartikel (green synthesis). Hal ini didasarkan
pada keberhasilan species Cratoxylum lainnya yakni Cratoxylum glaucum yang
mana ekstrak daunnya bisa digunakan sebagai bioreduktur nanopartikel perak
(Fabiani et al., 2018; Sutanti et al., 2018).
Geronggang mempunyai manfaat ekologi yang besar. Kaitannya dengan
keanekaragaman hayati (biodiversitas), jenis ini mempunyai nilai yang tinggi
karena merupakan jenis asli ekosistem hutan rawa gambut. Selain itu, tegakan
geronggang merupakan tempat yang mendukung bagi kehadiran beberapa satwa
seperti burung dan beberapa serangga (Gambar 2.10). Kemudian kaitannya
dengan upaya pencegahan kebakaran lahan dan hutan, geronggang termasuk
jenis pohon dengan tingkat kerentanan terhadap kebakaran yang relatif lebih
rendah dibandingkan jenis pohon lainnya karena mempunyai nilai kalor
terendah yakni sekitar 16 kJ/g (Usup, 2004 dalam Yulianti, 2018). Penelitan
Junaedi (2014) pun menunjukkan bahwa pada kondisi tegakan yang terjaga (jarak
tanam 2 x 3 m), tegakan geronggang mampu menjaga kelembaban lahan gambut.
23
Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Potensial Bumi Lancang Kuning
Penelitiannya pada lahan gambut didrainase di Pelalawan Riau menunjukkan
bahwa pada musim kemarau tahun 2015 kelembaban serasah dan tanah di bawah
tegakan geronggang mampu dipertahankan pada angka 89%. Toriyama et al.
(2014) menyatakan bahwa bersama tumih (C. rotundatus), geronggang adalah
jenis pohon yang tergolong relatif tahan kebakaran dibandingkan jenis pohon
lainnya. Untuk itu, pohon lokal ini dibandingkan jenis pohon lainnya lebih
direkomendasikan untuk dimanfaatkan sebagai pohon rehabilitasi pencegah
kebakaran hutan dan lahan gambut.

Gambar 2.8. Contoh pemanfaatan kayu geronggang untuk cerocok dan


papan/dinding rumah

Gambar 2. 9. Lebah penghasil madu dan propolis dari jenis Trigona sp yang
mengambil nektar dan serbuk sari di bunga geronggang
24
Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Poensial Bumi Lancang Kuning
Gambar 2.10. Kehadiran beberapa binatang di tegakan geronggang seperti
burung dan serangga
Daftar Pustaka

Antisipasi Karhutla, Gubernur Riau: “Penanaman Kayu Gerunggang Salah Satu


Alternatifnya”.2019. Dikutip dari https://suarapersada.com/bengkalis/
antisipasi-karhutla-gubernur-riau penanaman-kayu-gerunggang-salah-satu-
alternatifnya/.
Aprianis, Y. 2015. Peluang jenis kayu alternatif sebagai bahan baku pulp. Prosiding
Seminar Hasil Penelitian BP2TSTH. Balai Penelitian dan Pengembangan
Teknologi Serat Tanaman Hutan. Kuok.
Ariyanto. 2017. Keanekaragaman dan pola sebaran spesies tumbuhan asing invasif di
Cagar Alam Durian Luncuk I Sarolangu Jambi. Skripsi. Fakultas Kehutanan-
IPB. Bogor
Badan Litbang dan Inovasi Kehutanan. 2015. Peluang pengembangan jenis-jenis alternatif
tanaman HTI. www.forda-mof.org. diakses 9 Agustus 2019. Berita 5 Februari
2015.
Barkah, B.S. 2009. Panduan Pelaksanaan Rehabilitasi Hutan Rawa Gambut Berbasis
Masyarakatdi Areal MRPP Kabupaten Musi Banyuasin. German Technical
Cooperation-

25
Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Potensial Bumi Lancang Kuning
Blackham, G.V., E.L. Webb & RT. Corlett. 2014. Natural regeneration in a degraded
tropical peatland, Central Kalimantan, Indonesia: Implications for forest
restoration. Forest Ecology and Management 324 : 8–15.
Budiman, F. Kristianto & Sumarso. 2016. Diversitas dan Karakter Kulit Batang
Pohon Inang Anggrek Hitam (Coelogyne pandurata Lind.) di Kawasan
Cagar Alam Kersik Luway. J-PAL, Vol. 7, No. 1, 2016.
Cratoxylum arborescens (Vahl) Blume. Tanpa tahun. Dikutip dari
http://www.asianplant.net/
Desi, R. Linda & I. Winarti. 2017. Struktur dan Profil Vegetasi Habitat Kukang
Kalimantan (Nycticebus menagensis) Pelepasliaran Yayasan IAR Indonesia Di
Hutan Lindung Gunung TarakProtobiont, 6 (1) : 1-9
Fabiani, V.A., F. Sutanti, D. Silvia & M.A. Putri. 2018. Green symthesis nanopartikel
perak menggunakan ekstrak daun pucuk idat (Cratoxylum glaucum) sebagai
bioreduktor. Indo. J. Pure App. Chem. 1 (2) : 68-76.
GBIF Secretariat. 2017. Cratoxylum arborescens Blume.
https://www.gbif.org/species/7330035. Diakses 12 Agustus 2019.
Giesen, W., E.N. Sari. 2018. Tropical Peatland Restoration Report: The Indonesian Case.
Euroconsult Mott MacDonald in association with: Universitas’ Jambi, Mitra
Aksi Foundation. Perkumpulan Gita Buana, Perkumpulan Walestra.
Heriyanto, N.M & E. Subiandono. 2003. Status Kelangkaan Jenis Pohon di Kelompok
HutanSungai Lekawai-Sungai Jengonoi, Sintang, Kalimantan Barat Buletin
Plasma Nutfah Vol.9 No.2 Th.2003
Heriyanto, N.M & E. Subiandono. 2007. Studi Ekologi dan Potensi Geronggang
(Cratoxylon arborescens Bl.) di Kelompok Hutan Sungai Bepasir-Sungai
Siduung, Kabupaten Tanjung Redeb, Kalimantan Timur. Buletin Plasma
Nutfah Vol.13 No.2 Th.2007
Ibrahim, M.Y, N.M. Hashim, S.Mohan, M.A. Abdulla, S.I. Abdelwahab, I.A. Arbab,
Istomo, T. E. Komar, S.I. Suryaman, B. A. Marpaung B.M. Purba. 2010. Disain
dan pembuatan plot pengamatan ekologi dan dinamika populasi ramin dan
jenis-jenis lain di Hutan Rawa Gambut Sumatera dan Kalimantan. ITTO CITES
Project bekerjasama dengan Pusat Litbang Konservasi Alam.
Junaedi, A. 2014. Pertumbuhan tegakan dan produktivitas serta laju dekomposisi seresah
beberapa jenis pohon lokal pada lahan gambut di Kabupaten Pelalawan, Riau.
Tesis. Program Pasca Sarjana, Fahutan-UGM. Yogyakarta.
Junaedi, A., Y. Aprianis. 2010. Sifat kayu geronggang sebagai jenis pulpable alternative
pada lahan gambut. Bulletin Hasil Hutan Vol.16 (1). Pusat Litbang Teknologi
Hasil Hutan. Bogor.
Karyati, I.B. Ipor, I. Jusoh, M.E. Wasli. 2017. The diameter increment of selected tree
species in a secondary tropical forest in Sarawak, Malaysia. BIODIVERSITAS
18 (1) : 304 - 311

26
Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Poensial Bumi Lancang Kuning
Lestariningsih, F. Handayani & Salasiah. 2018. Karakteristik tanah gambut dan
keanekaragaman tumbuhan tinggi di Taman Nasional Sebangau Kalimantan
Tengah. BIOSFER Jurnal Tadris Pendidikan Biologi 9(1): 114-139
M. Yahayu, L.Z. Ali, O.E. Ishag. 2015. a-Mangostin from Cratoxylum arborescens: An in
vitro and in vivo toxicological evaluation. Arabian Journal of Chemistry 8, 129–
137
Mawazin & A. Subiakto. 2013. Keanekaragaman dan Komposisi Jenis Permudaan Alam
Hutan Rawa Gambut Bekas Tebangan di Riau. Jurnal Rehabilitasi Hutan1(1) :
59 – 73.
Mawazin. 2013. Tingkat kerusakan tegakan tinggal di hutan rawa gambut Sungai
Kumpeh-Suangai Air Hitam Laut Jambi. Indonesian Forest Rehabilitation
Journal Vol. 1 No. 1, September 2013: 39-50
Mirmanto, R. Polosakan & H. Simbolon. 2000. Ekologi hutan gambut di Taman Nasional
Tanjung Putting, Kalimantan Tengah. Berita Biologi, Volume 5, Nomor 3,
Desember 2000
Neo, L. , K. Y. Chong, S. Y. Tan, C. Y. Koh, R. C. J. Lim, J. W. Loh, W. Q. Ng, W.
W. Seah, A.T. K. Yee & H. T. W. Tan. 2016. Towards a field guide to
the trees of the Nee Soon Swamp Forest (II): Cratoxylum
(Hypericaceae). Nature In Singapore 2016 9: 29–39
Nugraha, A. 2014. Struktur tegakan dan sebaran jenis jelutung (Dyera costulata Hook. f.)
dan tumih (Combretocarpus rotundatus (Miq.) Danser) di hutan rawa gambut
(studi kasus di kawasan lindung gambut Lahai, Kalteng). Skripsi. Departemen
Silvikultur Fahutan-IPB. Bogor.
Omer, F.A.A, N.B.M Hashim, M.Y. Ibrahim, F. Dehghan, M. Yahayu, H. Karimian, L.Z.A.
Salim, S. Mohan. 2017. Beta-mangostin from Cratoxylum arborescens activates
the intrinsic apoptosispathway through reactive oxygen specieswith
downregulation of the HSP70 genein the HL60 cells associated with a
G0/G1cell-cycle arrest. Tumor Biology November 2017: 1–12.
Pemerintah Desa Tanah Merah. 2017. Pohon Geronggang Kayu Pilihan di Desa Tanah
Merah Meranti. https://desariau.com/2017/09/23/pohon-geronggang-kayu-
pilihan-di-desa-tanah-merah-meranti/. Diakses 12 Agustus 2019.
Pemerintah Prov. Sumsel. 2017. Strategi dan rencana aksi keanekaragaman hayati
Provinsi Sumatera Selatan/SeHati Sumsel (2017 – 2021). Pemerintah Prov.
Sumsel. Palembang
Sabah Forestry Department. 2007. Serungan/geronggang tree species. Sabah Forestry
Department. Sabah, Malasyia
Saito , H., M. Shibuya., S.J. Tuah., M. Turjaman., K. Takahashi., Y. Jamal., H. Segah., P.E.
Putir & S.H. Limin. 2005. Initial screening of fast growing tree species being
tolerant of dry tropical peatland in Central Kalimantan, Indonesia. Journal of
Forestry Research. 2 (2): 1 – 10.

27
Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Potensial Bumi Lancang Kuning
Sedik, Y., S. Hamdan, I. Jusoh, M. Hasan. 2010. Acoustic Properties of Selected Tropical
Wood Species. J Nondestruct Eval 29: 38–42
Sepka, M.S., Andriko & R. Syahputra. 2017. Profil Desa Tanjungsari Kecamatan
Tebing Tinggi Timur Kabupaten Kepulauan Meranti Tahun 2017. Badan
Restorasi Gambut. Jakarta.
Sigit, R.R. 2014. Sains: Hutan Kerangas, Ekosistem Rapuh di Atas Lahan Kritis.
Mongabay, situs berita lingkungan.
https://www.mongabay.co.id/2014/05/10/sains-hutan-kerangas-ekosistem-
rapuh-di-atas-lahan-kritis/. Diakses 12 Agustus 2019.
Sim, W.C, G.C.L. Ee, C.J. Lim & M.A. Sukari. 2011. Cratoxylum glaucum and Cratoxylum
arborescens (Guttiferae Two Potential Source of Antioxidant Agents. Asian
Journal of Chemistry 23 (2):569-572.
Simbolon, H. 2004. Proses awal pemulihan hutan gambut Kelampangan – Kalimantan
Tengah pasca kebakaran hutan Desember 1997 dan September 2002. Berita
Biologi Volume 7, Nomor 3, Desember 2004
Siregar, M & A. Ruskandi. 2000. Studi ekologi hutan Cagar Alam Muara Kendawangan,
Kalimantan Barat. Laporan Teknik Tahun 2000, Hal 39 - 58. Pusat Litbang
Biologi-LIPI. Bogor.
Soerinegara, I. & R.H.M.J. Lemmens. (Eds). (2001). Plant resources of South-East, Timber
trees : Major commercial timbers. Bogor : Prosea.
Sufaidah. 2016. Asosiasi ramin (Gonystylus bancanus (Miq.) Kurz) dengan jenis dominan
di IUPHHK-HA PT Diamond Raya Timber, Riau. Skripsi. Departemen
Silvikultur Fahutan-IPB. Bogor.
Suhartati, S. Rahmayanti, A. Junaedi & E. Nurrohman. 2012. Sebaran dan persyaratan
tumbuh jenis alternatif penghasil pulp di wilayah Riau. Badan Litbang
Kehutanan. Jakarta.
Sutanti, F, D. Silvia, M.A. Putri & F.A. Fabiani. 2018. Pengaruh konsentrasi AgNO 3 pada
sintesis nanopartikel perak menggunakan bioreduktor ekstrak pucuk idat
(Cratoxylum glaucum KORTH). Prosiding Seminar Nasional Penelitian dan
Pengabdian pada Masyarakat.
Syukur, M., A.A. Bratawinata & M. Sumaryono. 2007. Komposisi dan asosiasi vegetasi
hutan gambut berdasarkan ketebalan lapisan gambut di Hutan Wisata Rawa
Gambut Baning, Kabupaten Sintang, Kalimantan Barat. Jurnal Kehutanan
UNMUL 3 (2), 163 – 173.
Tata, M.H.L & S. Pradjadinata. 2013. Regenerasi alami hutan rawa gambut terbakar dan
lahan gambut terbakar di Tumbang Nusa, Kalimantan Tengah dan implikasinya
terhadap konsevasi. Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam Vol. 10 No.
3, Desember 2013 : 327-342
Tawaraya, K. , Y. Takaya, M. Turjaman, S.J. Tuah, S.H. Limin, Y. Tamai, J.Y. Cha, T.
Wagatsuma, M. Osaki. 2003. Arbuscular mycorrhizal colonization of tree

28
Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Poensial Bumi Lancang Kuning
species grown in peat swamp forests of Central Kalimantan, Indonesia. Forest
Ecology and Management 182: 381–386.
Toriyama, J., T. Takahash., S. Nishimura., T. Sato., Y.Monda., H. Saito., Y. Awaya., S.H.
Limin., A.R. Susan.t, F. Darma., Krisyoyo & Y.Kiyono. 2014. Estimation of fuel
mass and its loss during a forest fire in peat swamp forests of Central
Kalimantan, Indonesia. Forest Ecology and Management 314 (2014) 1–8
Universitas Syiah Kuala. Tanpa tahun. Biodiversitas. Project Implementation Unit – Studi
Eksosistem Rawa Tripa. http://cs.unsyiah.ac.id/tpsf/images/pdf/03-
Biodiversity-B.pdf. Diakses 5 September 2019.
Wahyuningtyas, R.S., & R. Ariani. 2015. Pengaruh gundukan terhadap pertumbuhan
tanaman gerunggang (Cratoxylon arborescens) di lahan rawa gambut. Leaflet.
Balai Penelitian Kehutanan Banjarbaru.
Yulianti, N. 2018. Pengenalan bencana kebakaran dan kabut asap lintas batas (studi kasus
eks proyek lahan gambut sejuta hektar). IPB Press. Bogor.

29
Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Potensial Bumi Lancang Kuning
30
Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Poensial Bumi Lancang Kuning
III.
INFORMASI AWAL
TEKNIK BUDIDAYA GERONGGANG
(Ahmad Junaedi)
(Ahmad

Informasi yang lengkap dan tuntas mengenai teknik budidaya


(silvikultur) geronggang (Cratoxylum arborescens) masih belum tersedia sampai
saat ini. Hal ini dimungkinkan salah satunya karena minat untuk
membudidayakannya relatif masih baru, walaupun pemanfaatannya sudah lama
dikenal. Penelitian maupun contoh praktek budidaya di lapangan terkait
pengembangannya masih sangat awal dan terbatas. Silvikultur yang dimaksud
meliputi persiapan lahan, penanaman, pemeliharaan dan pemanenan. Sementara
untuk teknik perbanyakan tanaman (pembibitan), kendatipun penelitiannya juga
relatif belum banyak, tetapi informasi yang ada sudah cukup memadai dan bisa
digunakan di tingkat lapangan (persemaian). Informasi mengenai teknik
pembibitan tersebut akan disampaikan dalam bab tersendiri.
Penelitian yang terkait budidaya geronggang bukan sama sekali tidak ada,
namun jumlahnya masih relatif sedikit. Untuk itu, beberapa informasi terkait
budidaya geronggang yang disampaikan pada bab ini merupakan hasil
pendekatan dari hasil-hasil penelitian ataupun contoh praktek pada jenis pohon
lain yang dianggap memiliki sifat silvik yang mirip dengan geronggang. Dengan
demikian, informasi yang disampaikan masih bersifat informasi awal, sehingga
seiring dengan berkembangnya penelitian mengenai silvikultur geronggang
pembaharuan perlu dilakukan.

A. Penyiapan lahan
Kondisi optimal untuk pertumbuhan geronggang adalah di lahan terbuka
karena geronggang merupakan jenis pioneer. Untuk itu, metode persiapan lahan
yang paling tepat adalah dengan pembersihan total. Namun, jika ada kendala
untuk melakukan pembersihan total karena adanya keterbatasan biaya atau
tenaga, pembersihan lahan sebagian dapat dilakukan dengan catatatan tetap
berupaya agar titik tanam memperoleh pencahayaan yang optimal.

31
Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Potensial Bumi Lancang Kuning
Penanaman geronggang sebaiknya diarahkan pada lahan tidak produktif
seperti di lahan marginal atau kritis, khususnya yang berada di Sumatera dan
Kalimantan yang merupakan wilayah sebaran alami jenis ini. Karakteristik lahan
kritis secara umumnya dicirikan oleh: vegetasi yang didominasi oleh rumput-
rumputan, alang-alang, paku-pakuan dan jenis semak belukar lainnya; kesuburan
tanah rendah dan kondisi iklim mikro yang relatif ektrim dan tidak stabil
(Gambar 3.1). Di beberapa lokasi bahkan ditemukan pohon eksotik dari jenis
Acacia spp yang diduga sudah masuk kategori invasive alien species pada berbagai
strata (semai, pancang, tiang dan pohon).

Gambar 3.1. Kondisi lahan gambut terdegradasi yang didominasi alang-alang


dan paku-pakuan

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan/LHK (2018) melaporkan


bahwa berdasarkan data dari Direktorat Jenderal Pengelolaan Daerah Aliran
Sungai dan Hutan Lindung (Dirjen PDASHL) luas lahan kritis di Sumatera dan
Kalimantan pada tahun 2013 adalah lebih dari 6,5 juta dan 7,7 juta ha. Dari luasan
tersebut, luasan terbesar ada di Riau untuk Pulau Sumatera yang mencapai lebih
dari 1,8 juta ha dan Kalimantan Tengah untuk Pulai Kalimantan yakni mencapai
lebih dari lima juta ha. Sementara, target luasan lahan kritis yang akan
direhabilitasi untuk seluruh Indonesia adalah seluas 5,5 juta untuk periode 2015–
2019 dengan anggaran 39 triliun rupiah (Kementerian LHK, 2018). Penanaman
geronggang bisa dimasukkan ke dalam program ini, terutama pada lahan kritis
bertipe gambut. Salah satu lokasi tersebut adalah Riau, yang hingga tahun 2010
saja hutan rawa gambutnya hanya tinggal sekitar 36% (Nurjanah et al., 2013).

32
Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Poensial Bumi Lancang Kuning
Pembersihan secara total bisa dilakukan dengan alat berat (eskavator)
atau secara manual dengan pembabatan menggunakan parang atau sejenisnya
(Gambar 3.2). Lahan yang dibuka dengan eskavator tidak memerlukan
pembersihan lanjutan, tetapi jika pembersihannya manual maka harus
dilanjutkan dengan penyemprotan herbisida terhadap sisa-sisa tebasan, sebelum
dilakukan penanaman.
Kegiatan pembersihan sebaiknya tidak dilakukan pada musim kering,
agar terhindar dari bahaya kebakaran. Sisa tebasan dari pembersihan hendaknya
tidak dibakar tetapi dibiarkan di lapangan karena nantinya jika terdekomposisi
akan menjadi sumber hara bagi tanaman, selain akan berperan sebagai mulsa yang
akan mengurangi penguapan dan juga menjaga stabilitas iklim mikro.

Gambar 3.2. Penyiapan lahan secara manual dan kondisi lahan yang sudah
disiapkan (dibabat)

Pembersihan jalur (sistem jalur) bisa dipilih jika dikehendaki


pembersihan lahan yang tidak secara total (sebagian). Hal ini antara lain
dikarenakan alasan sumber daya yang terbatas (biaya dan tenaga kerja) atau
alasan ekologi. Jalur yang dibersihkan bisa dibuat secara manual dan memanjang
(tergantung lapangan) dengan lebar sekitar 1 – 1,5 m. Dengan lebar ini sistem
jalur hanya akan bisa diterapkan untuk jarak tanam yang relatif lebar. Adapan
jarak antar jalur bisa disesuaikan dengan jarak tanam yang dipilih.

B. Penyiapan dan Perlakuan Bibit Pra Tanam


Idealnya, bibit yang akan ditanam hendaknya dipilih dari bibit yang
berkualitas baik ditinjau dari aspek genetik, fenotip dan fisiologi. Bibit dengan

33
Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Potensial Bumi Lancang Kuning
kategori ini akan lebih bisa diharapkan hidup dan tumbuh dengan baik di
lapangan.
Saat ini, secara genetik bibit unggul jenis geronggang belum diperoleh.
Hal ini masih menjadi kendala tersendiri, mengingat tanpa menggunakan bibit
yang berkualitas, Junaedi (2018) melaporkan bahwa produktivitas geronggang
relatif belum optimal. Untuk mendapatkan bibit dengan kualitas genetik yang
baik bisa dilakukan dengan program pemuliaan (Gambar 3.3). Saat ini program
pemuliaan pada geronggang masih berada pada tahap awal. Sambil menunggu
dihasilkannya bibit unggul, yang bisa dilakukan saat ini setidaknya adalah
memilih bibit yang berasal dari pohon induk yang fenotipenya baik. Hal ini
dicirikan oleh penampilan fenotip (tinggi dan diameter) yang menonjol di
lapangan. Salah satu lokasi dengan kondisi pohon geronggang berfenotip cukup
baik bisa didapatkan di Desa Wonosari, Bengkalis, Riau (Gambar 3.4).

Gambar 3.3. Salah satu contoh program pemuliaan yang bisa dilakukan untuk
mendapatkan bibit unggul geronggang (Junaedi, 2014)

Secara fisik, dimensi bibit geronggang yang akan ditanam bisa mengacu
pada standar fisik bibit jenis tanaman HTI yang selama ini ditanam yakni yang
tingginya lebih dari 17 cm (Christianus, 2006). Selanjutnya, jika mengacu pada
hasil penelitian sementara Wahyuningtyas di Banjarbaru yang dilaporkan oleh
Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan
Banjarbaru (2019) batas atas tinggi geronggang yang disarankan ditanam adalah
34
Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Poensial Bumi Lancang Kuning
40 cm, sehingga kisaran tinggi geronggang yang disarankan layak tanam adalah
17 - 40 cm. Untuk variabel mutu fisik bibit lainnya dapat mengikuti kaedah
umum pada bibit tanaman hutan yakni diameter pangkal lebih dari 2 cm, Rasio
Pucuk Akar (RPA) 2 – 5 dan Indeks Mutu Bibit (IMB) lebih dari 0,09 (Omon,
2009; Alrasyid, 1972 dalam Mindawati & Susilo, 2005; Lackey & Alm, 1982 dalam
Durahim & Hendromono, 2006).

Gambar 3.4. Pohon geronggang berfenotipe relatif baik di Desa Wonosari,


Bengkalis, Riau

Gambar 3.5. Bibit geronggang yang sudah layak ditanam

Kegiatan penting lainnya yang dilakukan sebelum penanaman adalah


aklimatisasi yakni upaya adaptasi bibit dengan iklim mikro lokasi penanaman.
Hal ini diperlukan mengingat bibit sebelumnya berada di persemaian yang
kondisi lingkungannya relatif terkontrol dan sangat mungkin berbeda dengan
kondisi lingkungan di lokasi penanaman. Aklimatisasi bisa dilakukan dengan
menempatkan bibit di lokasi sekitar penanaman selama 1 - 2 pekan. Pada tahap
awal aklimatisasi (hari I - III), bibit tetap secara rutin dipelihara/disiram dan
35
Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Potensial Bumi Lancang Kuning
diberi naungan atau ditempatkan di bawah pepohonan. Berikutnya, secara
bertahap penyiraman dan naungan dikurangi sampai pada dua sampai tiga hari
menjelang waktu tanam, naungan sudah dibuka 100% (tanpa naungan). Jika satu
hari menjelang penanaman tidak ada hujan, penyiraman bibit sebaiknya
dilakukan pada hari tanam dan diupayakan mencapai kapasitas lapang.

C. Penanaman
Kegiatan penanaman sangat terkait dengan jarak tanam yang dipilih.
Jarak tanam geronggang dapat disesuaikan dengan tujuan pengembangannya.
Jarak tanam sempit seperti 1 x 1 (m) atau 1,5 X 1,5 (m) bisa dipilih untuk tujuan
produksi kayu cerocok. Untuk tujuan bahan baku serat dan pertukangan, sebagai
acauan awal jarak tanam bisa dipilih 2 x 2 (m), 2 x 3 (m), 2,5 x 3 (m) dan 3 x 3
(m). Jarak tanam tersebut adalah jarak tanam yang biasa digunakan untuk jenis
pohon penghasil serat maupun pertukangan antara lain Acacia spp., Eucalyptus
spp., jati dan meranti (Wahyudi et al., 2014; Mawazin & Suhaendi, 2008; Xu et
al., 2008 & Sankaran et al., 2008). Penelitian dalam rangka memastikan jarak
tanam terbaik untuk geronggang masih perlu dilakukan untuk ke depannya.
Bibit ditanam pada lubang tanam yang sudah disiapkan sebelumnya,
sesuai jarak tanam yang telah ditentukan. Di lahan gambut, lubang tanam relatif
mudah dibuat yakni cukup dengan menugalnya menggunakan kayu berdiameter
sekitar 15 cm atau menggunakan alat dodos kelapa sawit. Pembuatan lubang
tanam dapat juga menggunakan dodos (alat panen kelapa sawit). Adapun
kedalaman lubang tanam yang dibuat adalah sekitar 15 – 20 cm (Gambar 3.6).
Sementara itu, lubang tanam berukuran 20 x 20 x 20 (cm) di lahan mineral dibuat
dengan menggunakan cangkul atau alat sejenisnya.
Penanaman geronggang baik di lahan gambut maupun mineral,
sebaiknya tidak dilakukan pada musim kering. Hal ini dikarenakan umumnya
kondisi lahan gambut yang mengalami drainase sudah rusak yang dicirikan oleh
menurun drastisnya kemampuan menyerap lengas pada bagian atas tanah.
Akibatnya, zona lembab pada bagian atas tanah relatif sudah hilang. Padahal,
zona ini adalah daerah sekitar perakaran bibit yang ditanam, sehingga jika kering
akan membahayakan bibit yang ditanam. Akan tetapi, jika kondisi kelembaban
tanah gambutnya relatif masih terjaga yang dicirikan dengan masih lembabnya
zona perakaran bibit (kedalaman 0 – 20 cm dari permukaan), maka penanaman
pada musim kering pun masih bisa dilakukan. Waktu yang relatif paling tepat
36
Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Poensial Bumi Lancang Kuning
untuk penanaman adalah pada awal musim hujan, walaupun penanaman bisa
dilakukan di sepanjang musim hujan kecuali pada kondisi lahan gambut yang
mengalami genangan temporal. Penanaman di lahan gambut tergenang temporal
sebaiknya tidak dilakukan menjelang dan saat puncak musim hujan, karena ada
potensi terjadinya genangan. Adanya genangan bukan hanya menyulitkan proses
penanaman, juga akan menyebabkan kematian bibit. Hal ini dikarenakan
umumnya bibit geronggang yang baru ditanam belum mampu beradaptasi
dengan genangan.

Gambar 3.6. Pembuatan lubang tanam geronggang di lahan gambut

D. Pemeliharaan
Fokus utama pemeliharaan adalah pada tahun pertama setelah
penanaman yang meliputi pemberian pupuk, pengendalian organisme
pengganggu tanaman (OPT) dan pemangkasan cabang. Namun, akan lebih baik
jika pemeliharaan bisa dilanjutkan sampai tiga tahun setelah penanaman.
Pupuk bisa berupa pupuk awal yakni pupuk yang diberikan sebelum atau
bersamaan penanaman dan dapat dilanjutkan dengan pemupukan susulan. Akan
tetapi, berhubung belum tersedianya informasi mengenai teknik pemupukan
untuk geronggang maka beberapa pendekatan alternatif pemupukan bisa dipilih.
Alternatif pemupukan ini didasarkan kepada hasil penelitian teknik pemupukan
pada jenis pohon lain dengan karakter dan tujuan penggunaan mirip dengan

37
Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Potensial Bumi Lancang Kuning
geronggang yakni pada jenis Eucalyptus, Acacia dan jelutung rawa. Teknik
pemupukan ini pun relatif bisa digunakan untuk pengembangan geronggang di
lahan gambut dan mineral, berhubung secara umum permasalahan terkait
kondisi tanah di kedua lahan tersebut adalah mirip yakni rendahnya kandungan
hara makro (N,P,K) tingginya kemasaman tanah serta kandungan Fe dan Al.
Berikut adalah alternatif pemupukan yang salah satunya bisa dipilih dalam
pengembangan geronggang :
1. Pupuk awal berupa rockphosphat 250 g/tanaman, Ertibor 10 g/tanaman,
Zincop 10 g/tanaman (Junaedi, 2014)
2. Pupuk awal yang diberikan pada tiap tanaman berupa 100 g NPK
(16:16:8) dan 403 g superphospat yang diberikan sebelum penanaman di
berikan pada lubang tanam (Bon & Hardwood, 2016)
3. Pupuk awal diberikan saat tanam berupa 70 g TSP/tanaman dan 40 g
KCl/tanaman; kemudian pupuk susulan 40 KCl/tanaman diberikan pada
umur empat bulan dan 200 g ZA/tanaman pada umur delapan bulan
(Halomoan et al., 2015)
4. Pupuk diberikan pada saat tanam berupa campuran 100 g NPK dan 200 g
kompos/tanaman (Van Do et al., 2017)
5. Pupuk NPK tablet sebanyal 20–30 g/tanaman yang diberikan rutin dua
kali setahun (awal dan akhir musim hujan) sampai umur tiga tahun
(Bastoni, 2014).
Pengendalian OPT terutama diarahkan untuk mengurangi kompetitor
tanaman utama (gulma). Pengendalian gulma dilakukan tiap empat bulan pada
tahun pertama, namun tergantung kondisi lahan penanaman. Pengendalian
gulma dilanjutkan pada tahun kedua dengan intensitas tiap enam bulan. Namun,
kemungkinan tajuk geronggang pada jarak tanam yang rapat sudah menutupi
permukaan tanah sehingga tidak diperlukan lagi pengendalian gulma pada tahun
kedua dan seterusnya (Gambar 3.7). Gulma dikendalikan dengan cara gabungan
sistem fisik dan kimia. Beberapa gulma yang berkayu dan relatif tingi dibabat
dengan parang lalu disemprot herbisida, sedangkan gulma yang relatif lebih kecil
dan sukulen seperti paku-pakuan dan rumput–rumputan bisa langsung disemprot
denga herbisida. Pengendalian OPT lainnya adalah dengan penyemprotan
insektisida pada daun geronggang yang terkena serangan ulat. Pengamatan
menunjukkan bahwa pada awal tanam dan terutama pada musim yang lebih
kering, ulat menyerang pucuk tanaman muda geronggang (Gambar 3.8).
38
Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Poensial Bumi Lancang Kuning
Gambar 3.7. Kondisi tajuk dan bawah tegakan geronggang berumur satu dan
tiga tahun

Singling (penunggalan cabang) merupakan kegiatan penting yang juga


harus dilakukan dalam budi daya geronggang, terutama untuk tujuan kayu
pertukangan. Singling dilakukan pada tanaman yang berpotensi mempunyai
lebih dari satu cabang utama. Singling dilakukan satu kali pada tahun pertama
yakni pada umur tanaman lebih dari enam bulan dan jika masih ditemukan
tanaman yang mempunyai dua cabang utama pada umur satu sampai dua tahun.

e
Gambar 3.8 . Serangan ulat pada daun geronggang

39
Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Potensial Bumi Lancang Kuning
E. Pemanenan
Geronggang dapat dipanen pada berbagai umur sesuai peruntukan dan
karakteristik pertumbuhannya, terutama pertumbuhan diameter batang setinggi
dada (DBH). Untuk kayu cerocok, geronggang bisa dipanen apabila memiliki
batang yang berdiameter lebih dari delapan cm (Departemen Pekerjaan umum,
1999). Kemudian untuk kayu serat, diameter kayu lebih dari lima cm sudah bisa
dimanfaatkan. Sementara itu, untuk pertukangan memerlukan kayu berdiameter
lebih besar yakni di atas 20 cm (Leksono, 2010 ). Akan tetapi, untuk kayu
pertukangan ternyata hutan rakyat di Pulau Jawa sudah ditebang/dipanen pada
diameter yang lebih kecil dari 20 cm yakni diameter lebih dari 10 cm
(Sukadaryati et al., 2018).
Belum banyak penelitian yang melaporkan performa pertumbuhan
geronggang terutama kaitannya dengan teknik silvikultur yang diterapkan. Ada
empat publikasi yang dapat diperoleh terkait hal tersebut yakni dari Saito et al.
(2005), Daryono (2009), Karyati et al. (2017) dan Junaedi (2018). Kisaran riap
tinggi dan diameter berdasarkan hasil penelitian tersebut adalah 1,18 – 2,89
m/tahun dan 0,96 – 2,08 cm/tahun. Jika mengacu pada pertumbuhan terbaik yang
dilaporkan maka untuk cerocok kemungkinan geronggang baru mulai dapat
dipanen pada umur empat tahun. Sedangkan pemanenan kayu untuk serat baru
bisa dilakukan pada umur lebih dari tiga tahun, dan untuk pertukangan baru bisa
dipanen pada umur lebih dari sepuluh tahun.
Dalam prakteknya, waktu panen yang paling tepat tidak hanya
didasarkan pada batas minimal diameter yang bisa dipanen, tapi juga harus
mengacu kepada daur optimal tegakan. Informasi daur optimal ini akan diperoleh
dari hasil pengamatan dan analisa data pertumbuhan yang dilakukan secara
series/tiap tahun (kontinu) sampai pada umur tertentu. Daur optimal dihitung
berdasarkan hasil perpaduan dua kurva yakni kurva rerata riap tahunan (MAI)
dan rerata riap berjalan (CAI). Titik di mana kedua kurva tersebut berpotongan
merupakan umur/waktu yang paling optimal untuk melakukan pemanenan
(Gambar 3.9).

40
Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Poensial Bumi Lancang Kuning
Gambar 3.9. Contoh penggunan kurva MAI dan CAI untuk menentukkan daur
optimal pada jenis Acacia crassicarpa yang diperoleh pada umur
sekitar lima tahun (Suhartati et al., 2013)

Daftar Pustaka
Alrasyid, H. 1972. Teknik Persemaian dan Penanaman di Jepang. Laporan No.142.
Lembaga Penelitian Hutan, Bogor. hal 21-23. Dikutip dari : Mindawati, N & Y.
Susilo. 2005. Pengaruh macam media terhadap pertumbuhan semai Acacia
mangium Willd. Jurnal Penelitian Hutan & Konservasi Alam 2(1): 53-59.
Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Banjarbaru. 2019.
Ukuran bibit gerunggang (Cratoxylum arborescens (Vahl) Blume.) kurang dari
40 cm lebih adaptif menghadapi kondisi ekstrim di lahan gambut.
www.foreinanjarbaru.or.id. Diakses 8 Oktober 2019.
Bastoni. 2014. Budidaya jelutung rawa (Dyera lowii Hook.F). Balai Kehutanan
Palembang. Palembang.
Bon, P.V., Hardwood, C.E. 2016. Effects of stock plant age and fertilizer
application at planting on growth and form of clonal Acacia hybrid.
Journal of Tropical Forest Science 28(2): 182–189
Christianus, A.P. 2006. Pengalaman pembangunan hutan tanaman industri di lahan
gambut oleh PT.RAPP. www.wetland.com. Diakses 31 Maret 2010.
Daryono, H. 2009. Potensi, permasalahan dan kebijakan yang diperlukan dalam
pengelolaan hutan dan lahan rawa gambut secara lestari. Jurnal Analisis
Kebijakan Kehutanan 6(2): 71-101.
Departemen Pekerjaan umum. 1999. Tata cara pelaksanaan pondasi cerucuk kayu di atas
tanah lembek dan tanah gambut. Pedoman Teknik. PT. Mediatama Saptakarya.

41
Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Potensial Bumi Lancang Kuning
Halomoan, S.S.T, Wawan, Adiwirman. 2015. Effect of Fertilization on the Growth and
Biomass of Acacia mangiumand Eucalyptus hybrid (E. grandis x E. pellita). J
Trop Soils 20(3): 157-166.
Junaedi, A. 2014. Pertumbuhan tegakan dan produktivitas serta laju dekomposisi seresah
beberapa jenis pohon lokal pada lahan gambut di Kabupaten Pelalawan, Riau.
Tesis. Universitas Gadjah Mada.
Junaedi, A. 2014. Strategi pemuliaan geronggang (Cratoxylum arborescens) untuk
penghasil kayu pulp. Mitra Hutan Tanaman 9(1).
Junaedi, A. 2018. Growth performance of three native tree species for pulpwood
plantation in drained peatland of Pelalawan District, Riau. Indonesian Journal
of Forestry Research 5(2): 119-132.
Karyati, I.B. Ipor, I. Jusoh, Wasli, M.E. 2017. The diameter increment of selected tree
species in a secondary tropical forest in Sarawak, Malaysia. Biodiversitas 18(1):
304-311.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. 2018. Status hutan dan kehutanan
Indonesia 2018. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Jakarta.
Lackey, M. & A. Alm. 1982. Evaluation of growing media for culturing containerized Red
Pini and White Spruce. Tree Planterrs’ Notes 33(1) : 3 – 7. Dikutip dari :
Durahim & Hendromono. 2006. Pengaruh media dan pupuk NPK terhadap
pertumbuhan dan mutu bibit eboni. Jurnal Penelitian Hutan & Konservasi
Alam 3(1): 9 - 17.
Leksono, B. 2010. Efisiensi seleksi awal pada kebun benih semai Eucalyptus pellita. Jurnal
Penelitian Hutan Tanaman 7(1): 1 – 13.
Mawazin, Suhaendi, H. 2008. Pengaruh jarak tanam terhadap pertumbuhan
diameterShorea parvifolia Dyer. Jurnal Penelitian Hutan & Konservasi Alam
5(4): 381-388.
Mindawati, N & Y. Susilo. 2005. Pengaruh macam media terhadap pertumbuhan semai
Acacia mangium Willd. Jurnal Penelitian Hutan & Konservasi Alam 2(1): 53-
59.
Nurjanah, S., Octavia, D., Kusumadewi, F. 2013. Identifikasi lokasi penanaman kembali
ramin (Gonystylus bancanus Kurz) di hutan rawa gambut Sumatera dan
Kalimantan. Forda Press. Bogor.
Omon, R.M. 2009. Uji coba indikator mutu bibit meranti merah di HPH PT. Sari Bumi
Kusuma dan PT. Ikani Kalimantan. Jurnal Standarisasi 11(2): 119–125.
Saito, H., M. Shibuya, S.J. Tuah, M. Turjaman, K. Takashi, YT. Jamal, P.E. Putir & S.H.
Limin. 2005. Initial Screening of fast growing tree species being tolerant of dry
peatland in Central Kalimantan, Indonesia. Journal of Forestry Research 2(2),
1 – 10.
Sankaran, K.V., Mendham, D.S., Chacko, K.C., Pandalai, R.C., Pillai, P.K.C, Grove, T.S.,
O’Connell, A.M. 2008. Impact of Site Management Practices on Growth of
Eucalypt Plantations in the Monsoonal Tropics in Kerala, India. Proceedings of
42
Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Poensial Bumi Lancang Kuning
Workshops in Piracicaba (Brazil) 22-26 November 2004 and Bogor (Indonesia)
6-9 November 2006. CIFOR. Bogor.
Suhartati, Y. Aprianis, A. Pribadi & Y. Rochmayanto. 2013. Kajian dampak penurunan
daur tanaman Acacia crassicarpa A. Cunn terhadap nilai produksi dan sosial.
Jurnal Penelitian Hutan Tanaman 10(2): 109-118.
Sukadaryati, Yuniawati, & Dulsalam. 2018. Pemanenan Kayu Hutan Rakyat (Studi Kasus
di Ciamis, Jawa Barat). Jurnal Ilmu Kehutanan 12: 142-155.
Wahyudi, I., Dinata, D.K.S., Muhran, Jasni, L.B. 2014. Pengaruh Jarak Tanam Terhadap
Pertumbuhan Pohon dan Beberapa Sifat Fisis-Mekanis Kayu Jati Cepat
Tumbuh. Jurnal Ilmu Pertanian 19(3): 204 – 210.
Xu, D.P., Yang, Z.N., Zhang, N.N. 2008. Effects of Site Management on Tree Growth,
Above ground Biomass Production and Nutrient Accumulation of a Second-
rotation Plantation of Eucalyptus urophylla in Guangdong Province, China.
Proceedings of Workshops in Piracicaba (Brazil) 22-26 November 2004 and
Bogor (Indonesia) 6-9 November 2006. CIFOR. Bogor.

43
Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Potensial Bumi Lancang Kuning
44
Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Poensial Bumi Lancang Kuning
IV.
PERBANYAKAN TANAMAN GERONGGANG
(Danu & Ahmad Junaedi)

A. Pengumpulan Benih
Buah geronggang memiliki tipe buah kering indehicent (benih lepas
ketika buah mekar) (Smith, 2000). Untuk mengumpulkan benih gerongang dapat
dilakukan dengan pemanjatan atau perontokan sebagian dahan dengan
menggunakan galah berkait ketika benih sudah masak fisiologis, karena bila
terlambat tidak akan dapat benih. Buah masak akan mekar di atas pohon
sehingga benih sulit dikumpulkan. Bila diunduh terlalu awal benih yang
diperoleh masih muda dan jadinya bermutu rendah. Buah yang sudah terkumpul
kemudian dikemas dalam kantong plastik dan diberi label yang berisi lokasi dan
tanggal pengunduhan.
Berdasarkan penelitian Alimah dan Rusmana (2013) serta Dharmawati,
et al. (2013), tanaman geronggang mulai berbunga serentak pada bulan Mei dan
Oktober, setelah 4-8 bulan kemudian bunga berkembang menjadi buah masak
(Februari-Maret dan September-Oktober). Bunga geronggang berukuran kecil
berbentuk malai, berwarna merah hingga merah tua dengan panjang malai 10 –
15 cm. Setiap malai memiliki 120-198 kuntum bunga/buah. Buah geronggang
berbentuk oval dan ujung bagian luar meruncing berukuran ± 0,5 cm berwarna
keungu-unguan, mempunyai tiga ruang yang berisi benih. Buah masak dicirikan
dengan warna kulit buah coklat. Biji geronggang memiliki panjang sekitar 6 – 7
mm dan tebal 0,3 – 0,5 mm.

Gambar 4.1. Bunga dan biji/benih geronggang


45
Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Potensial Bumi Lancang Kuning
Lokasi sumber benih yang sampai saat ini teridentifikasi dengan jelas
untuk wilayah Riau adalah di sekitar Kecamatan Bengkalis, Riau, Kawasan TN.
Zamrud, Siak dan KHDTK Kepau Jaya (milik BP2TSTH). Kemungkinan lokasi
lainnya adalah di sekitar Musi Banyuasin, Sumatra Selatan. Sementara itu, di
Kalimantan benih geronggang bisa dikumpulkan di KHDTK Tumbang Nusa,
Kecamatan Jabiren, Kabupaten Pulang Pisau, Kalimantan Tengah. Di lokasi
KHDTK Tumbang Nusa memiliki 162–208 pohon/ha (Dharmawati, et al., 2013).
Untuk meningkatkan produksi dapat dilakukan penjarangan berbentuk rumpang
yaitu pembukaan tajuk tanaman pokok. Penjarangan dengan metode rumpang
dapat meningkatkan rata-rata diameter batang 1,07 cm dan pertumbuhan tunas
generatif (bakal bunga) setelah delapan bulan (Dharmawati, 2015).
Pengumpulan benih sebaiknya dilakukan di sumber benih yang
bersertifikat. Apabila sumber benih untuk suatu jenis belum tersedia, beberapa
lokasi lain dapat dipertimbangkan seperti hutan alam, hutan rakyat dan hutan
tanaman lainnya yang dikumpulkan dari minimal 25 pohon induk tidak
berkerabat. Pengumpulan buah harus dilakukan pada saat puncak musim buah.
Dari sejumlah pohon tersebut diharapkan dapat menangkap genotif yang cukup
tinggi. Walaupun belum ada ketentuan yang pasti, Graudal dan Kjaer (1998),
menyarankan agar untuk pengumpulan benih dari 25 pohon tidak berkerabat
dari populasi 100 pohon, untuk konservasi jangka pendek sejumlah 50 pohon
yang tidak berkerabat dengan asumsi terjadi inbreeding < 1 % dengan 95%
memiliki frekuenasi alel > 0,05, sedangkan untuk konservasi jangka panjang
sebanyak 500 pohon induk. Wright (1962), menyarankan agar populasi dasar
sumber benih untuk tanaman cepat tumbuh dan berbuah banyak adalah
sebanyak 50 sampai dengan 100 pohon induk, untuk lahan kosong, namun secara
umum antara 25 sampai 200 pohon. Sedangkan untuk tanaman yang lambat
tumbuh dan berbuah sedikit perlu lebih banyak lagi.
Berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan No. P.01/Menhut-II/2009
yang telah direvisi menjadi P.72/Menhut-II/2009 tentang Penyelenggaraan
Perbenihan Tanaman Hutan, sumber benih terbagi atas: 1) Tegakan benih
teridentifikasi, 2) Tegakan benih terseleksi, 3) Areal produksi benih, 4) Tegakan
benih provenan, 5) Kebun benih semai, 6) Kebun benih klon dan 7) Kebun
pangkas. Tegakan Benih Teridentifikasi yaitu sumber benih dengan kualitas rata-
rata yang digunakan untuk menghasilkan benih dan lokasinya dapat
diidentifikasi dengan tepat. Tegakan Benih Terseleksi yaitu sumber benih dengan
46
Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Poensial Bumi Lancang Kuning
fenotipe pohon baik yang mempunyai karakter penting seperti batang lurus,
tidak cacat dan percabangan ringan. Areal Produksi Benih yaitu sumber benih
yang dibangun khusus atau berasal dari tegakan benih teridentifikasi dan/atau
terseleksi yang kemudian ditingkatkan kualitasnya melalui penebangan pohon-
pohon berfenotipa tidak bagus. Tegakan Benih Provenan yaitu sumber benih
yang dibangun dari benih yang provenannya telah teruji dan diketahui
keunggulannya. Kebun Benih Klon adalah sumber benih yang dibangun dengan
bahan vegetatif antara lain ranting, tunas, dan mata tunas yang berasal dari pohon
plus hasil uji klon atau hasil uji keturunan. Kebun Benih Semai adalah sumber
benih yang dibangun dengan benih berasal dari pohon plus hasil uji keturunan.
Kebun Pangkas adalah sumber benih yang dibangun dari klon-klon yang telah
teruji untuk memproduksi materi vegetatif guna memperbanyak bibit unggul
tanam
Nurhasybi dan Sudrajat (2008) berpendapat bahwa penentuan jumlah
pohon minimal sebanyak 25-30 pohon dalam kegiatan pengumpulan benih
didasarkan pada beberapa asumsi: Pertama, jumlah tersebut dianggap dapat
mewakili keragaman genetik yang ada dalam populasi tersebut (Lauridsen, 2000;
IFSP, 2000). Secara statistik jumlah sampel 30 pohon didasarkan pada Central
Limit Theorem, dimana sampel yang mewakili suatu populasi harus ≥ 30. Metode
ini umumnya berlaku untuk distribusi sampling yang mendekati normal (Spiegel,
1972). Kedua, jumlah pohon tersebut juga dapat diartikan sebagai ukuran sampel
populasi minimal yang dihubungkan dengan perkiraan laju inbreeding per
generasi (rate of inbreeding per generation). Jika dianalogikan dengan keragaman
pada populasi binatang, maka menurut para ahli hilangnya keragaman yang
disebabkan inbreeding dapat ditolerir apabila nilainya di bawah 2%. Laju
inbreeding per generasi (F)=1/2 ukuran efektif populasi (Ne), maka jumlah
ukuran efektif populasi tersebut adalah 25 pohon (National Research Council,
1991). Dalam kondisi terpaksa dapat dilakukan dengan mengumpulkan 10 pohon
induk yang baik, atau menggabungkan dari beberapa petani masing-masing enam
pohon kemudian benih digabung sehingga menjadi lebih dari 30 pohon, sehingga
masing-masing petani mendapatkan benih dari lebih 30 pohon (Mulawarman et
al. 2003). Untuk jenis-jenis tanaman asli Indonesia, penentuan jumlah minimal
pohon induk untuk sumber benih sebanyak 25 pohon, bila seluruh pohon induk
berbunga serempak dan dapat melakukan kawin silang satu sama lain, tegakan

47
Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Potensial Bumi Lancang Kuning
tersebut memiliki keragaman genetik minimal antara 0,10 - 0,20 pada tingkat
kepercayaan 95%.

B. Ekstraksi Benih
Ekstraksi benih adalah kegiatan mendapatkan biji/benih dari dalam buah
geronggang. Kegiatan ini dilakukan untuk biji unduhan langsung dari pohon.
Sementara itu, umumnya benih yang jatuh atau berada di sekitar pohon sudah
dalam bentuk biji yang siap disemai. Ekstraksi benih bisa dilakukan dengan cara
dijemur sinar matahari selama tiga hari, buah geronggang akan terbuka (sistem
kering). Buah geronggang yang telah kering dapat juga dibuka secara manual
dengan cara membuka satu persatu buah dengan tangan hingga biji/benihnya
keluar. Biji yang keluar ditampung di wadah, sedangkan kulit dan bagian lainnya
bisa dibuang. Kemudian campuran biji dan bagian buah lainnya ditampung di
wadah, kemudian untuk mensortasi benihnya bisa dilakukan dengan cara
penampian. Buah/benih yang telah berhasil dipisahkan dari kotoran (kulit buah
dan serasah), kemudian diambil untuk dikemas atau langsung disiapkan untuk
disemai. Ekstraksi benih geronggang bisa juga dilakukan dengan sistem basah
yakni dengan menghancurkan atau menggosok-gosokan buah dengan kedua
belah tangan hingga hancur atau benih/bijinya keluar. Dengan cara ini sebagian
besar biji akan keluar dan mengapung di permukaan. Untuk memisahkan antara
benih dengan bagian buah lain yang tidak dikehendaki, bisa dilakukan dengan
penyaringan (Gambar 4.2).
Biji/benih yang sudah diekstrakasi bisa langsung disemai atau disimpan.
Sampai saat ini belum ada penelitian yang melaporkan kondisi penyimpanan
terbaik untuk geronggang dan batas waktu penyimpanan benih geronggang.
Akan tetapi, jika mengacu pada penyimpanan beberapa benih rekalsitran yang
hampir sejenis seperti benih suren. Benih suren dengan kadar air 6,1% - 10,8%
dikemas dalam wadah alumunium disimpan dalam dry cold storage selama empat
minggu memiliki daya kecambah 71% (Suryanto, 2013). Biji geronggang diduga
termasuk golongan biji intermediate yang memiliki karakter antara biji ortodoks
dan rekalsitran. Daya simpan diperkirakan selama maksimal tiga bulan karena
cadangan makanan untuk embrio dalam biji sangat sedikit. Viabilitas biji akan
meurun setelah masa simpan maksimal terlewati.

48
Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Poensial Bumi Lancang Kuning
a b c

Gambar 4.2. Ektraksi benih geronggang dengan sistem kering (a) dan basah (b)
dan (c)

C. Pembibitan
Setidaknya ada tiga cara dalam pembibitan geronggang. Cara pertama
adalah dengan memanfaatkan cabutan alam, sistem generatif (menyemai biji) dan
cara vegetatif dengan stek pucuk.
C.1. Sistem cabutan alam
Sistem cabutan alam bisa dilakukan dengan dua cara yakni pemanfaatan
cabutan alam untuk dibibitkan lebih lanjut di persemaian yang letaknya relatif
jauh dari lokasi sumber cabutan alam dan cabutan yang letaknya tidak terlampau
jauh. Teknik cabutan maupun perlakuan terhadap cabutan alam yang diperoleh
akan berbeda untuk dua kondisi tersebut.
C.1.1. Sistem cabutan alam yang berjarak jauh
Cara puteran nampaknya cara terbaik untuk membibitan geronggang
yang sumber anakan alamnya cukup jauh dari persemiaan. Inti dari teknik ini
adalah terletak pada cara pengambilan anakan yakni dengan cara sebisa mungkin
anakan alam bersama media tumbuhnya/tanah gambut secara kompak ikut
terbawa. Pengambilan anakan alam dengan sistem puteran pada jenis geronggang
ini sedikit berbeda dengan yang biasa dilakukan di lahan mineral (kering) karena
umumnya jenis tanah gambut ini lebih lunak. Akibatnya, pengambilan anakan
alam beserta tanahnya tidak selalu dilakukan dengan membuat semacam lubang
yang mengitari anakan alam. Anakan alam geronggang di lahan gambut cukup
mudah diambil dengan cara mencongkelnya dengan golok atau tangan pun sudah
bisa terambil berikut dengan tanahnya. Bahkan, seringkali ditemukan jumlah
anakan alam yang berdekatan dan melimpah di lapangan, sehingga satu
congkelan golok/tangan bisa mendapat beberapa anakan sekaligus (Gambar 4.3).

49
Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Potensial Bumi Lancang Kuning
Anakan alam yang telah diambil berserta tanahnya kemudian
dikumpulkan dan dikemas ke dalam wadah. Wadah yang dipakai bisa berupa
ember, baskom atau semacamnya yang penting intinya mudah dibawa dan dapat
memuat anakan dalam jumlah yang banyak. Kemudian diangkut ke mobil untuk
dibawa ke persemaian. Jika anakan tersebut dibawa dengan jenis mobil bak
terbuka, untuk menghindari transpirasi berlebihan dan juga stres panas dan
tekanan angin yang berlebihan maka harus ditutup dengan dua lapis paranet, dan
kemudian disiram dengan air.
Ketika anakan alam sampai ke persemaian jika waktnya memungkinkan
sebaiknya segera disapih ke wadah bibit atau polibag. Wadah berikut medianya
tersebut sudah disiapkan sebelumnya sehingga mempercepat pengerjaaan
pemindahan bibit. Junaedi (2015) melaporkan salah jenis satu wadah dan media
terbaik yang bisa dipilih adalah polibag volume 200 m3 dengan media campuran
kompos dan tanah (1:1, v/v). Akan tetapi jika tanahnya relatif subur, cukup
menggunakan tanah saja. Naungan yang disarankan untuk bibit geronggang
adalah sebesar 25%. Hal ini sebagaimana yang dilaporkan Danu & Kurniati
(2013b) bahwa penggunaan media tanah dengan naungan 25 % pada pembibitan
geronggang memberikan pertumbuhan dan kualitas bibit terbaik. Adapun sifat
tanah yang digunakan sebagai media pembibitan mengandung N 0,56%, P 0,11
ppm, dan K 2,1 cmol/kg (Danu & Kurniaty, 2013a).

a b c d
Gambar 4.3. Pengadaan bibit geronggang dengan sistem cabutan alam untuk
jarak jauh (a) anakan alam, (b) pengambilan anakan alam, (c)
cabutan alam dan (d) anakan alam yang sudah disapih)
C. 1.2. Sistem cabutan alam jarak dekat
Pembibitan geronggang dapat dilakukan dengan cara mengumpulkan
anakan alam yang jumlahnya melimpah di hutan alam dengan cara cabutan.
Pengumpulan cabutan dapat dilakukan sekitar bulan Juli – bulan Desember.
Anakan dicabut tidak perlu dengan tanahnya kemudian di bawa ke lokasi
persemaian. Sebelum disapih atau ditanam di polibag, cabutan alam digunting
50
Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Poensial Bumi Lancang Kuning
sebagian daun dan akarnya (Gambar 4.4). Anakan alam yang dipilih sebaiknya
yang tingginya lebih dari 10 cm. Jenis wadah, media dan naungan yang
digunakan sama dengan untuk teknik pembibitan untuk cabutan alam jarak jauh.
Dengan cara ini, bibit sudah stabil setelah dua bulan, dan mencapai persen hidup
sekitar 90%.
Pemberian atau inokulasi mikoriza disarankan untuk meningkatkan
performa bibit dan juga kemampuan hidup dan tumbuh bibit saat ditanam di
lapangan. Yuwati et al. (2008) melaporkan bahwa inokulasi mikoriza arbuskula
(isolat Gigaspora sp.4) memberikan pengaruh nyata terhadap pertumbuhan
tinggi, penambahan jumlah daun dan persen kolonisasi akar geronggang setelah
tiga bulan di persemaian.

(a ( b ( c ( d
a)
Gambar 4.4. Pembibitan b)
geronggang denganc)sistem cabutan
d) alam untuk jarak
dekat (a) mencabut anakan alam, (b) cabutan alam, (c)
pemotongan daun dan akar dan (d) bibit asal cabutan alam yang
sudah stabil
C.2. Sistem penyemaian benih/generatif (dari benih/biji)
Biji geronggang termasuk memiliki perkecambahan epigeal yaitu keping
lembaganya (cotyledon) terangkat ke atas tanah. Sehingga dalam proses
penaburan benih tidak terlalu dalam. Benih ditabur pada media tabur pasir: tanah
(1:1,v/v) kemudian benih ditutup media tipis-tipis, setebal 2/3 tebal benih
(panjang benih). Setelah benih berkecambah kemudian disapih ke dalam media
sapih. Media sapih yang bisa digunakan antara lain adalah campuran arang sekam
padi dan serbuk sabut kelapa (1 : 2, v/v) dengan naungan 25% menghasilkan
pertumbuhan bibit geronggang tertinggi dibandingkan dengan media lainnya
pada umur tiga bulan, yaitu tinggi 11,1 cm, diameter 1,51 mm, persen hidup
99,04% dan jumlah daun 11 (Danu & Kurniaty, 2013b). Media sapih lain yang
bisa digunakan adalah campuran kompos degan top soil (1:1, v/v) (Junaedi, 2015).

51
Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Potensial Bumi Lancang Kuning
a b

c d
Gambar 4.5. Pembibitan geronggang sistem generative dengan menggunakan
benih yang disemaikan (a) penyemaian benih, (b) kecambah , (c)
semai yang sudah bisa disapih dan (d) bibit yang dihasilkan)
C.3. Sistem vegetatif dengan stek pucuk
Teknik perbanyakan vegetatif tanaman geronggang dengan stek dapat
menggunakan media pasir dengan tambahan zat pengatur tumbuh IBA 1500
ppm. Perlakuan ini dapat menghasilkan persen berakar 66,67% dan panjang tunas
enam cm. Media zeolite, media campuran sabut kelapa dan arang sekam padi
(2:1,v/v), dan media campuran serbuk sabut kelapa dan sekam padi (2:1,v/v)
dengan tambahan zat pengatur tumbuh IBA 1500 ppm dapat menghasilkan
persentase berakar stek geronggang masing-masing sebesar 43,33%, 60% dan
53,33% (Danu & Putri, 2014). Prosedur penyetekan dilakukan dengan cara bahan
stek pucuk dipotong dengan ukuran minimal dua ruas daun atau tiga nodul.
Daun-daun pada bahan stek dipotong separuhnya, bila ada tunas atau daun muda
(shoot tip) sebaiknya dibuang. Bagian dasar bahan stek kemudian direndam
dalam larutan IBA 1500 ppm selama sepuluh menit, kemudian ditanam pada
media stek dalam pot tray yang telah disterilkan. Selanjutnya pot tray diletakan
di rumah kaca yang dilengkapi dengan sistem pendingin (cooling sistem) (Sakai
&Subiakto, 2007) atau sungkup plastik yang memiliki suhu 25 °C - 30°C dengan
kelembaban ≥ 90%.
52
Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Poensial Bumi Lancang Kuning
Media pasir dan zeolit serta campuran serbuk sabut kelapa + sekam padi
(2:1, v/v) dapat digunakan sebagai media perakaran stek geronggang, karena
media pasir dan zeolit memiliki kerapatan lindak yang tinggi (0,98 g/cc dan 0,85
g/cc) dengan drainase yang baik (16,52% dan 25,08%). Namun kemampuan
kedua media ini untuk mempertahankan ketersediaan air dalam media sangat
rendah (7,34% dan 3,21%) sehinga perlu dilakukan menyiraman lebih intesif
(setiap hari). Media campuran serbuk sabut kelapa + sekam padi (2:1, v/v)
memiliki bulk density yang rendah (0,46 g/cc dan 0,34 g/cc), drainasi yang baik
(8,71% dan 9,05%) dan daya simpan air yang cukup (13,24% dan 15,50%) (Danu
& Putri, 2014).
Hasil penelitian Wahyuningtyas (2016) menunjukkan penggunaan media
pasir sungai, campuran gambut+sekam padi (3:1), campuran top soil+sekam padi
(3:1), campuran sabut kelapa+sekam (2:1) mampu menghasilkan persen stek
berakar geronggang 56,25-80%. Untuk meningkatkan pertumbuhan akar stek
dapat menggunakan hormon perangsang akar (Rootone F). Stek geronggang
mulai berakar setelah empat minggu. Bibit dapat disapih dengan media top
soil+sekam (3:1) atau gambut+sekam (3:1). Pertumbuhan tinggi bibit dengan
kedua media tersebut berkisar satu cm/minggu dan pertambahan daun dua
lembar per tiga minggu. Bibit geronggang umumnya siap tanam setelah umur
enam bulan di persemaian.

a b c

Gambar 4.6. Pembibitan gerunggang sistem vegetative stek pucuk (a) bahan
stek, (b) stek ditanam pada media dengan rumah tumbuh sisten
KOFCO, (c) stek gerunggang umur( tiga bulan setelah tanam)
b)
D. Penutup
Pembangunan hutan tanaman geronggang dapat menggunakan bibit
yang bermutu secara genetik dan fisiologis. Hal ini dapat dilakukan dengan cara
53
Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Potensial Bumi Lancang Kuning
menggunakan benih yang dikumpulkan dari tegakan yang unggul dan memiliki
keragaman genetik yang luas serta pembibitan yang tepat. Pengadaan bibit juga
dapat dilakukan melalui pengumpulan anakan alam maupun bibit yang
dihasilkan dari perbanyakan vegetatif.

Daftar Pustaka
Alimah, D. & Rusmana. 2013. Fenologi berbunga dan berbuah jenis-jenis pohon hutan
rawa gambut. Prosiding Ekpose Hasil Penelitian. 30 tahun BPK Banjarbaru
dalam pembangunan Kehutanan. BPK banjarbaru, 19 September 2013. 100 -
106. Editor: Tjuk Sasmito, Yudi Firmanl Arifin, Hamdani Fauzi.
Danu & Putri, K.P. (2014). Teknik perbanyakan tanaman geronggang (Cratoxylem
arborescens (Vahl) Blume dengan stek pucuk. Prosiding Seminar Nasional
Silvikultur II. Pembaruan Silvikultur untuk mendukung pemulihan fungsi
hutan menuju ekonomi hijau. Yogyakarta 28-29 Agustus 2014. Editor:
Daryono Prehaten, Atus Syahbudin, Roma Dian Andiyani. Fakultas Kehutanan
Universitas Gajah Mada, Masyarakat Silvikultur Indonesia (MASSI) dan DITjen
BPDAS PS Kementerian Kehutanan.
Danu & R. Kurniaty (2013a). Pengaruh media dan naungan terhadap pertumbuhan
pembibitan geronggang (Cratoxylom arborescens (Vahl) Blume). Jurnal
Perbenihan Tanaman Hutan Volume 1 (1). 43-50.
Danu & R. Kurniaty (2013b). Penggunaan beberapa macam media dan naungan dalam
pembibitan geronggang (Cratoxylom arborescens (Vahl) Blume). Prosiding
Seminar Nasional Silvikultur I & Pertemuan Ilmiah Masyarakat Silvikultur
Indonesia. Optimalisasi Peran Silvikultur intuk menjawab tantangan
Kehutanan masa depan. Makasar, 29-30 Agustus 2013. Editor: Baharuddin
Nurkin, H.M. Restu, Samuel A. Paembonan, Syamsuddin Millang, Mukrimin.
Fakultas Kehutanan UNHAS dan Masagena Press dan Masyarakat Silvikultur
Indonesia.
Dharmawati F.D., Danu, Yulianti, Mindawati, N., & Wahyuningtyas, R.S. (2013). Potensi
pengembangan sumber benih jenis geronggang (Cratoxylem arborescens
(Vahl) Blume di lahan gambut Kalimantan. Prosiding Seminar Nasional
Agroforsstri IV.Banjarbaru, 26-27 Oktober 2013. Editor: Mahrus Aryadi,
Hamdan Fauzi, Trisnu Satriadi. (Fakultas Kehutanan Univ Lambung
Mangkurat, Pemkab Banjar, Indonesia Network For Agroforstry Education).
Dharmawati, F.D. (2015). Metode Rumpang mempengruhi produktivitas tanaman
geronggang (Cratoxylom arborescens (Vahl) Blume). Di dalam KHDTK
Tumbang Nusa-Kalimantan Tengah. Buletin Penelitian Hutan Lestari
Produktif. Volume 18 Eds Oktober 2015. Perhutani.
Graudal, L. and E.D. Kjaer. 1998. Priorities and strategies for tree improvemen. Danida
Forest Seed Centre. Humlebaek. Denmark.

54
Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Poensial Bumi Lancang Kuning
IFSP (Indonesia Forest Seed Project). 2000. Pengaruh dari kegiatan penanganan benih
dan persemaian terhadap mutu benih. Bahan Kursus Biologi Benih, 7-18
Februari 2000 di Bogor.
Junaedi, A. 2015. Pertumbuhan dan mutu bibit geronggang (Cratoxylum arborescens)
pada tiga wadah bibit. Prosiding Workshop ITTO Project PD. 710/13 Rev.1 (F)
“Improving appreciation and awareness on conservation of high value
indigenous wood species of Sumatra” pada Tanggal 23 April 2015 di Pekanbaru.
Balai Penelitian Teknologi Serat Tanaman Hutan. Kuok.
Lauridsen, E.B. 2000. Monitoring seed quality in seed production. Lecture note for course
in seed biology. Bogor 12-24 June 2000. Indonesia Forest Seed Project.
Bandung.
Mulawarman, JM Roshetko, SM Sasongko and D Irianto. 2003. Tree Seed Management –
Seed Sources, Seed Collection and Seed Handling: A Field Manual for Field
Workers and Farmers. International Centre for Research in Agroforestry
(ICRAF) and Winrock International. Bogor, Indonesia. 54
National Research Council. 1991. Managing global genetic resources, forest trees.
National Academy Press, Washington D.C.
Nurhasybi & D.J. Sudrajat. 2008. Optimalisasi pengumpulan benih tanaman hutan sebagai
salah satu upaya memperbaiki mutu benih. Info Benih (in press). Balai
Penelitian Teknologi Perbenihan Bogor. Bogor.
Peraturan Menteri Kehutanan No:P.1/Menhut-II/2009 tentang Penyelenggaraan
Perbenihan Tanaman Hutan. Jakarta
Sakai, C. & Subiakto A. (2007). Manajemen Persemaian KOFFCO Sistem. Bogor:
Kerjasama Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan - Komatsu-JICA.
Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam.
Spiegel, M.R. 1972. Theori and problems of statistics. S1 (Metric) edition. Schaum’s
Outline Series. McGraw-Hill Book Company. New York.
Suryanto, H. 2013. Pengaruh beberapa perlakuan penyimpanan terhadap perkecambahan
benih suren (Toona sureni). Jurnla Penelitian Kehutanan Wallcea. Volme 2 (1):
26-40
Wahyuningtyas, R & A. Susianto. 2016. The Effect Of Rooting Media On The Success Of
Cratoxylum arborescens Cuttings. Proceeding International Seminar “The 1st
International Conference on Innovation and Commercialization of Forest
Product”. Lambung Mangkurat University.
Wright, J.W. 1962. Genetics of Forest Tree Improvement. Food and Agriculture
Organization of The United Nations (FAO). Rome.
Yuwati, T.W., Hakim, S.H., & Alimah, D. (2008). Pengaruh aplikasi mikoriza arbuskula
terhadap pertumbuhan geronggang (Cratoxylon arborescens) di persemaian.
Jurnal Hutan Trofis. Volume 6 (2). 170 – 176

55
Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Potensial Bumi Lancang Kuning
56
Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Poensial Bumi Lancang Kuning
V.
STATUS KESEHATAN GERONGGANG
(Studi Tahun 2012 – 2014)
(Avry Pribadi)
(Ahmad

A. Parameter Kesehatan Hutan


Hutan memiliki peranan penting sebagai sumber biodiversitas dunia dan
penyeimbang ekosistem. Hal tersebut menjadikan hutan haruslah dijaga
kelestariannya dari berbagai kerusakan baik yang sifatnya dari hutan itu sendiri
ataupun dari faktor eksternal. Salah satu usaha untuk mewujudkan hal tersebut
adalah dengan melakukan kegiatan monitoring. Kegiatan monitoring bertujuan
selain untuk melakukan deteksi dini tentang perubahan yang terjadi di hutan,
juga dapat digunakan untuk mengetahui tingkat perkembangan hutan dari waktu
ke waktu. Menurut United States Department of Agriculture (USDA), Forest
Health Monitoring (FHM) adalah suatu kegiatan yang menggunakan data dari
survei lapangan untuk faktor biotik dan abiotik yang dianalisis untuk menjawab
permasalahan kesehatan hutan yang pada akhirnya akan mempengaruhi
kelestarian ekosistem hutan itu sendiri.
Pada pelaksanaannya, FHM memiliki lima tahapan, yaitu (i) identifikasi
berbagai jenis potensi gangguan terhadap kondisi ekosistem, udara dan tanah
untuk kemudian dapat digunakan sebagai dasar pertimbangan dalam
menentukan status perubahan ekosistem yang terjadi, (ii) menentukan jumlah
luasan, tingkat keparahan, dan faktor penyebab perubahan ekosistem yang tidak
diinginkan dalam kesehatan hutan, (iii) monitoring terhadap faktor-faktor
abiotik, (iv) studi tentang beberapa indikator kesehatan dan penentuan faktor-
faktor biotik penyebab, dan (v) pelaporan yang mudah dimengerti oleh pihak
yang berkepentingan (Mangold, 1998).
Oleh karena hutan memiliki nilai yang tinggi dan penting, sehingga
upaya pelestarian hutan merupakan sesuatu hal yang wajib dilakukan. Perubahan
dalam ekosistem hutan yang mengarah pada kerusakan, perlu dicari solusi yang
tepat untuk mempertahankan produktivitas tegakan ataupun ekosistem hutan
sehingga kelestarian hutan dapat dijaga.

57
Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Potensial Bumi Lancang Kuning
Kerusakan pada tingkat tegakan dapat disebabkan oleh serangan
serangga, patogen, maupun aktivitas manusia. Kerusakan yang ditimbulkan oleh
ketiga faktor tersebut dapat terjadi secara sinergitas ataupun berdiri sendiri-
sendiri. Kegiatan identifikasi terhadap tanda dan gejala dari kerusakan yang
terjadi merupakan informasi yang penting agar dapat diketahui seluruh
kemungkinan penyimpangan dari kondisi yang telah stabil. Untuk itu diperlukan
kegiatan untuk memonitor tingkat kesehatan hutan pada tingkat tegakan yang
akan berkaitan dengan survey untuk produktivitas tegakan. Beberapa hal yang
perlu diperhatikan antara lain adalah mengetahui tanda dan gejala kerusakan,
kemungkinan tegakan menjadi mati sebagai akibat dari kerusakan yang terjadi,
penentuan kategori tingkat kerusakan, dan meminimalisasi terjadinya double
interpretation terhadap satu obyek yang sama.
Salah satu pedoman dalam melakukan monitoring adalah dengan
menggunakan Forest Health Monitoring Field Methods Guide. Pada pedoman ini
terdapat tujuh indikator pokok yang digunakan untuk menilai kesehatan hutan,
yaitu klasifikasi kondisi tajuk, nilai hutan, radiasi aktif, penentuan kerusakan dan
kematian, struktur vegetasi, laju fotosintesis, keberadaan lichen, dan tanaman
bioindikator keberadaan ozon. Akan tetapi menurut Supriyanto et al. (2001)
terdapat empat indikator dari tujuh indikator pada FHM Methods Guide yang
memiliki kesesuaian untuk hutan tropis seperti Indonesia. Empat faktor tersebut
adalah produksi, keragaman (biodiversitas), kesehatan, dan kualitas tapak. Untuk
memperoleh informasi yang lengkap mengenai keempat faktor tersebut,
dibutuhkan beberapa parameter pendekatan seperti tingkat pertumbuhan pohon,
periode permudaan dan kematian, keadaan tajuk dan strukturnya, struktur
vegetasi, biodiversitas, kerusakan tegakan yang disebabkan oleh faktor biotik dan
abiotik, hama dan penyakit, dan kondisi sosial ekonomi.
Dalam kasus tegakan geronggang ini, indikator tingkat kesehatan hutan
hanya dibatasi pada tingkat kerusakan dan kematian tegakan geronggang yang
ditanam di lahan gambut pada tahun 2012 s.d 2014. Konsep penilaian kesehatan
hutan berdasarkan pada tingkat kerusakannya ini menilai kesehatan hutan
dengan berdasar pada kesehatan pohon penyusunnya dan kesehatan pohon itu
sendiri dipengaruhi oleh keberadaan dan level kerusakan yang ada pada pohon
tersebut (Mangold, 2000).

58
Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Poensial Bumi Lancang Kuning
Berikut beberapa parameter tentang kriteria tingkat kesehatan hutan
yang hanya menggunakan parameter tingkat kerusakan dan kematian tegakan
kesehatan tegakan berdasarkan Irwanto (2006), yaitu:
1. Kematian Pohon
Setiap pohon sampel diamati penampilan fisik pada seluruh bagiannya dan
seluruh parameter yang ditemukan diuraikan singkat. Kodefikasi untuk
parameter yang menyebabkan tegakan mati ini dimulai dari angka 001 hingga
999 berdasar perkiraan tingkat penyebab kematiannya.
2. Kerusakan Pohon
Pada parameter ini, tingkat kerusakan pohon didasarkan pada beberapa
faktor penentu, yaitu
a. Gejala dan tanda kerusakan pada setiap pohon sampel
b. Penampakan kemunculan perakaran di permukaan tanah
c. Kerusakan diklasifikasikan menurut lokasi tempat terjadinya kerusakan
d. Penilaian tingkat keparahan (severity level).

Untuk lokasi kerusakan menggunakan kodefikasi 0 s.d 9 yang tentang


berisi tentang bagian-bagian tanaman yang mengalami kerusakan, mulai dari
akar sampai pucuk (Irwanto, 2006). Berikut adalah tabel yang menjelaskan
mengenai kodefikasi tersebut:
Tabel 5.1. Kodefikasi tentang lokasi atau bagian tanaman dimana terjadinya
kerusakan
Lokasi Pengertian
0 Tidak ada kerusakan
1 Akar terlihat sekitar 30 cm dari permukaan tanah
2 Bagian akar yang tampak dan separuh dari batang bagian bawah
3 Bagian akar dan bagian batang diantara batang bawah dan cabang pertama
4 Batang bawah dan batang atas
5 Batang atas sebelum tajuk
6 Batang dalam tajuk
7 Cabang
8 Tunas
9 Daun

Lebih lanjut, menurut Irwanto (2006), dalam memudahkan untuk


melakukan penentuan terhadap tipe kerusakan maka diberikan kodefikasi antara
01 s.d 31. Berikut adalah keterangan dari kodefikasi tersebut:

59
Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Potensial Bumi Lancang Kuning
Tabel 5.2. Kodefikasi mengenai jenis-jenis kerusakan yang dialami oleh tanaman
No. Kode Jenis Kerusakan
01 Kanker
02 Terdapat jamur yang terlihat dari adanya fruiting body
03 Luka terbuka
04 Gumosis
11 Akar atau batang patah
12 Tunas berair
13 Akar patah > 0,91 m
21 Die back
22 Patah dan mati
24 Kerusakan pada daun dan tunas
25 Warna daun berubah
31 Kerusakan lain
Sedangkan untuk tingkat keparahan dari masing-masing tipe kerusakan
menggunakan klasifikasi yang sedikit dimodifikasi untuk memperlebar kisaran
sebagai berikut:
Tabel 5.3. Kodefikasi untuk penentuan tingkat keparahan (severity level)
Kode Kisaran Keparahan (%) Keterangan
1 0 – 20 Sangat ringan
2 21 – 40 Ringan
3 41 – 60 Sedang
4 61 – 80 Berat
5 81 – 100 Sangat Berat

B. Status Kesehatan Tegakan Geronggang


Kegiatan observasi status kesehatan tegakan geronggang di lahan gambut
pada periode waktu tahun 2012 – 2014 dilakukan dengan menggunakan beberapa
parameter untuk melihat tingkat kerusakan dan kematian pohon dalam tegakan
yang digunakan oleh Irwanto (2006). Kegiatan ini dilakukan pada tahun 2012 s.d
2014 yang berlokasi di desa Lubuk Ogong, Kab. Pelalawan, Provinsi Riau.
Kegiatan observasi dilakukan pertama kali di tahun 2012 pada tegakan
geronggang umur satu tahun yang ditanam pada jenis tanah gambut pada bulan
Juni, Agustus, dan November. Pada tahun 2013, ketika tegakan geronggang telah
mencapai umur dua tahun, pengamatan dilakukan pada bulan Maret, Juni, dan
Agustus. Sedangkan pengamatan pada tahun 2014 atau pada saat tegakan telah
berumur tiga tahun dilakukan pada bulan Maret, Agustus, dan November.

60
Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Poensial Bumi Lancang Kuning
Pengamatan tingkat kesehatan geronggang di tahun 2012 menunjukkan
bahwa jenis atau tipe kerusakan oleh organisme pengganggu tanaman (OPT)
tertinggi adalah jenis ulat pemakan daun (defoliator) yang termasuk dalam ordo
Lepidoptera. Serangan ulat tertinggi terjadi pada bulan Juni dan Agustus yang
menyerang hampir 50% dari seluruh tegakan Geronggang. Akan tetapi, infestasi
ulat pemakan daun ini memiliki kecenderungan menurun di akhir pengamatan
pada bulan November 2012 yang hanya mencapai nilai 31,28%. Berbeda dengan
ulat pemakan daun, jenis kerusakan yang disebabkan oleh jenis kepik penghisap
daun muda (ordo Hemiptera) menunjukkan kecenderungan meningkat pada
akhir pengamatan di bulan November. Hama ini cenderung menyerang daun
muda dan pucuk-pucuk daun sehingga menyebabkan berkurangnya jumlah daun
jika serangan hama ini mewabah dan menyebabkan munculnya terubusan. Tipe
kerusakan lainnya adalah luka terbuka yang diduga disebabkan oleh rusa ataupun
babi. Bagian batang yang diserang akan tampak seperti terkelupas dan apabila
kerusakan ini terjadi pada hampir seluruh keliling batang, maka dapat
menimbulkan kematian.
Salah satu hama pemakan daun adalah jenis ulat yang berasal dari ordo
Lepidoptera. Ordo Lepidoptera merupakan kelompok kupu-kupu dan ngengat.
Pada fase dewasa hama ini memiliki ciri-ciri seperti kupu-kupu pada umumnya
yaitu memiliki (i) dua pasang sayap bersisik halus, (ii) bermetamorfosis secara
sempurna, (iii) tipe mulut menghisap, dan (iv) memiliki mata faset besar.
Sedangkan pada fase ulat atau larva memiliki tipe mulut menggigit dan nafsu
makan yang sangat besar. Hama ulat yang ditemukan di tanaman geronggang
memiliki kecenderungan untuk menempelkan dua daun dengan menggunakan
jalinan benang halus terutama jika mendekati fase pupa (Gambar 5.1). Pada fase
awalnya, ulat akan memakan jaringan yang ada pada daun berawal dari bagian
dalam daun sehingga akan tampak semacam terowongan-terowongan nekrosis di
permukaan daun. Fase pupa atau kepompong memiliki ukuran tidak lebih dari
satu cm dengan warna kecoklatan.

61
Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Potensial Bumi Lancang Kuning
Gambar 5.1. Kerusakan yang ditimbulkan akibat serangan hama ulat pemakan
daun

Pengamatan terhadap tingkat keparahan (severity level) dari akumulasi


berbagai tipe-tipe kerusakan menunjukkan kecenderungan peningkatan sampai
pada akhir pengamatan di bulan November. Hal ini menunjukkan bahwa sampai
pada akhir tahun 2012, tegakan geronggang menunjukkan tingkat kesehatan
yang semakin menurun jika dinilai dari akumulasi tingkat keparahan yang
dialami pada seluruh organ tanamannya (daun, batang, ujung tunas, dan akar)
meskipun masih termasuk pada kategori ringan. Parameter lainnya adalah
persentase jumlah tegakan yang berada pada kategori sehat yang menurun pada
akhir pengamatan di bulan November. Pada tahun 2013 pun, tegakan
geronggang masih berada pada kategori tingkat kerusakan yang ringan karena
lebih dari 80% tanamannya masih berada pada kategori ringan.

Gambar 5.2. Tanda kehadiran lichen ataupun penyakit karat daun pada
permukaan daun geronggang yang menutupi permukaan daun
sehingga menghalangi proses fotosintesa
62
Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Poensial Bumi Lancang Kuning
Pada pengamatan tahun 2013, hama ulat pemakan daun masih menjadi
hama yang dominan sama seperti yang terjadi pada tahun 2012. Meskipun sempat
turun pada pengamatan bulan Juni, persentase serangan jenis hama ini kembali
mengalami peningkatan pada bulan Agustus. Sedangkan pada kelompok hama
kedua yang mendominasi adalah kepik (Hemiptera) yang menunjukkan
kecenderungan menurun. Lebih lanjut, pada tahun 2013 muncul jenis kerusakan
lain yaitu nekrosis yang disebabkan oleh keberadaan lichen ataupun penyakit
jarat daun yang menutup permukaan daun. Sampai saat ini penulis belum
mengetahui secara pasti organisme penyebab penyakit ini (Gambar 5.2). Infestasi
jenis penyakit ini menjadi yang paling mendominasi pada akhir pengamatan di
bulan Agustus dibandingkan dengan ulat.

Gambar 5.3. Potongan melintang lichen Lobaria pulmonaria yang merupakan


symbiosis antara fungus, algae, dan cyanobacteria. Fungi berada
pada bagian atas (upper cells/UC), medulla (M), dan lapisan kortex
bawah (LC). Fotosintesa terjadi pada lapisan algae (A) and
cyanobacteria akan memfikasasi nitrogen menjadi bentuk yang
dapat dimanfaatkan oleh tanaman (CB) (Jovan, 2008). Photo: Eric
Peterson from www.crustose.net

Lichen adalah suatu bentuk symbiosis antara kelompok fungi dengan satu
atau lebih organisme yang memiliki kemampuan berfotosintesa seperti alga
ataupun cyanobacterium (Jovan, 2008). Dari potongan secara melintang, dapat
dilihat bahwa bagian organisme yang berfotosintesis berada di tengah atau
diselimuti oleh fungi. Fungi memiliki fungsi untuk menyediakan air yang
diperlukan oleh proses fotosintesa yang akan dilakukan oleh algae sedangkan
algae akan menghasilkan produk fotosintesa yang akan dimanfaatkan oleh fungi.

63
Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Potensial Bumi Lancang Kuning
Adapun fungsi cyanobacteria adalah memfiksasi nitrogen di alam untuk dapat
digunakan oleh algae sebagai sumber nitrogen (Gambar 5.3). Sebenarnya lichen
jika tumbuh pada bagian tanaman tidak bersifat parasit, melainkan
memanfaatkan bagian tanaman tersebut sebagai substrat. Terhalangnya bagian
daun oleh lichen dapat mengurangi luas permukaan daun yang terekspose oleh
matahari dan dapat menjadikannya lembab sehingga dapat memicu terjadinya
nekrosis sebagai akibat dari kehadiran mikroorganisme pathogen.
Kemungkinan kedua adalah disebabkan oleh penyakit karat daun. Pada
umumnya, penyakit karat yang menyerang daun ditandai dengan kemunculan
bercak nekrosis kecil yang tidak beraturan pada permukaan dorsal daun.
Sedangkan pada fase awal serangan biasanya muncul gejala karat pada bagian
ventral daun (Sumartini, 2010). Lama kelamaan, bercak tersebut akan berubah
warna menjadi kuning tua hingga kecoklatan dan membentuk suatu bentuk yang
disebut pustule. Pustule merupakan sekumpulan uredium yang berbentuk seperti
tepung yang memiliki warna orange atau jingga menyerupai karat besi (Sugiarti,
2017). Tepung ini sebenarnya merupakan spora-spora jamur (urediospora).
Untuk menginfeksi, urediospora harus masuk ke dalam tumbuhan melalui
stomata. Ketika mencapai mulut stomata, spora akan mulai berkecambah
kemudian membesar dan membentuk apresorium yang merupakan alat untuk
mempenetrasi masuk ke dalam lubang stomata. Lama kelamaan, akan terbentuk
substansi yang berbentuk seperti gelembung yang kemudian tumbuh menjadi
hifa yang kemudian akan membentuk alat yang bernama haustorium yang
berfungsi untuk menghisap makanan dari sel induk (Semangun, 1996).
Tingkat keparahan (severity level) selama pengamatan tahun 2013
menunjukkan kecenderungan peningkatan sampai akhir pengamatan. Tingkat
keparahan dari seluruh bagian tanaman yang diobservasi seperti daun, batang,
ujung tunas, dan akar yang berada pada kategori 4 (berat) pada akhir pengamatan
mengalami peningkatan menjadi 4,14% dari hanya 0,25% pada awal pengamatan
di bulan Maret sedangkan tingkat keparahan 1 (sangat ringan) mengalami
penurunan dari 68,96% menjadi 50,83% pada akhir pengamatan. Hal ini
memperlihatkan bahwa tingkat kesehatan tegakan Geronggang terus menurun
memasuki umur dua tahun, meski begitu, secara umum tegakan geronggang
masih berada pada kategori tingkat keparahan yang ringan dan sangat ringan.

64
Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Poensial Bumi Lancang Kuning
Gambar 5.4. Kerusakan yang disebabkan oleh aktivitas rusa atau babi (terlihat
kulit batang seperti terkelupas)

Salah satu jenis kerusakan yang dominan pada tegakan geronggang pada
tahun 2013 adalah luka terbuka. Luka ini terlihat seperti disebabkan oleh
aktivitas hewan liar karena terlihat tidak beraturan. Di beberapa pengamatan,
luka yang disebabkan hanya berupa gesekan kecil tetapi terdapat juga beberapa
tegakan yang terluka hampir di seluruh keliling bagian batang (Gambar 5.4) yang
disebabkan oleh gesekan babi ataupun rusa hutan terhadap batang. Rusa
merupakan jenis hewan nocturnal yang hanya aktif pada malam hari. Rusa jantan
memiliki tanduk yang akan terus tumbuh dan harus terus menggosokkan
tanduknya agar menjaga tetap tumbuh. Aktivitas menggosok inilah yang
mengakibatkan kerusakan pada batang tanaman. Kulit pohon yang terkelupas
dapat membuat pohon rentan akan serangan hama dan penyakit. Selain itu,
apabila aktivitas menggosok tanduk ini menyebabkan kerusakan hingga
mencapai lapisan kambium maka akan dapat berakibat lebih fatal bagi tanaman.
Jaringan pengangkut seperti floem dan xylem akan rusak yang lama kelamaan
tenaman akan mati karena kekurangan nutrisi sebagai akibat rusaknya jaringan
pengangkut. Sedangkan babi, lebih banyak menyerang batang tanaman yang
masih muda.

65
Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Potensial Bumi Lancang Kuning
Tabel 5.4. Rekapitulasi tingkat kesehatan tegakan geronggang tahun 2012
Rangking
No Parameter
1 2 3 4 5
Ulat Kepik Luka Leaf
1 Tipe kerusakan Lichen
(Lepidoptera) (Hemiptera) terbuka spot
% Maret 46.11 4.66 3.37 3.89 41.97
% Agustus 31.70 9.81 0.00 5.66 52.83
% November 45.31 4.74 0.00 8.55 40.31
2 Lokasi kerusakan Daun Batang Akar
% Maret 91.46 8.04 0.50
% Agustus 94.21 5.03 0.50
% November 81.92 4.37 0.44
3 Tingkat keparahan 1 2 3 4 5
% Maret 48.58 23.58 20.17 7.67 0.00
% Agustus 94.21 5.03 0.50 5.64 0.23
% November 96.12 1.71 0.17 1.92 0.08

Tabel 5.5. Rekapitulasi tingkat kesehatan tanaman jenis geronggang tahun 2014
Rangking
No Parameter
1 2 3 4 5
Ulat Kepik Luka Leaf
1 Tipe kerusakan Lichen
(Lepidoptera) (Hemiptera) terbuka spot
% Maret 46.11 4.66 3.37 3.89 41.97
% Agustus 31.70 9.81 0.00 5.66 52.83
% November 45.31 4.74 0.00 8.55 40.31
2 Lokasi kerusakan Daun Batang Akar
% Maret 91.46 8.04 0.50
% Agustus 94.21 5.03 0.50
% November 81.92 4.37 0.44
3 Tingkat keparahan 1 2 3 4 5
% Maret 48.58 23.58 20.17 7.67 0.00
% Agustus 94.21 5.03 0.50 5.64 0.23
% November 96.12 1.71 0.17 1.92 0.08

Pada tahun 2014, hasil observasi memperlihatkan bahwa tipe kerusakan


oleh OPT tertinggi masih oleh jenis ulat pemakan daun (defoliator). Tipe
kerusakan yang disebabkan oleh ulat ini memiiliki kecenderungan berfluktuasi
pada dua pengamatan berikutnya. Jenis kerusakan lain yang mendominasi adalah
jenis tutupan lichen ataupun penyakit karat daun yang menyebabkan permukaan
daun tampak tertutup oleh bercak berwarna hijau muda sampai kuning (orange)
sehingga diduga dapat menghalangi proses fotosintesa bahkan jika sangat parah
66
Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Poensial Bumi Lancang Kuning
dapat menimbulkan nekrosis. Hal yang menarik adalah meningkatnya infestasi
lichen ataupun penyakit karat daun secara drastis dari tahun 2013 ke tahun 2014
(Tabel 5.4 dan Tabel 5.5). Diduga hal ini ada kaitannya dengan kelembaban yang
semakin tinggi sebagai akibat dari semakin lebar dan tinggi tajuk yang terbentuk
dan sudah saling menutup sehingga mampu mengurangi penetrasi sinar matahari
sampai ke lantai hutan sehingga menyebabkan meningkatkan kelembaban yang
sesuai bagi perkembangan lichen ataupun jamur penyebab penyakit karat daun.
Menurut Grabow (2016), kelembaban yang tinggi (>87%) dapat meningkatkan
posibilitas jamur karat daun untuk menginfeksi inangnya sampai 89%.
Pengamatan tingkat keparahan (severity level) selama pengamatan tahun
2014 menunjukkan kecenderungan semakin baik sampai akhir pengamatannya.
Hasil ini berkebalikan dengan fenomena yang terjadi pada pengamatan dua tahun
sebelumnya yang cenderung menurun atau semakin parah. Pada tahun 2014,
seluruh bagian tanaman yang diobservasi seperti daun, batang, ujung tunas, dan
akar didominasi oleh kerusakan kategori 1 (sangat ringan) yang berarti tegakan
geronggang berada pada kondisi yang dominan sehat. Meskipun jenis kerusakan
tutupan lichen ataupun penyakit karat daun hampir mendominasi seluruh
tegakan, persentase tingkat keparahannya masih berada pada kategori ringan.
Pada pengamatan tahun 2014 ini untuk pertama kalinya ditemukan beberapa
pohon geronggang yang berada pada kategori kerusakan sangat berat (kategori 5)
yang terjadi pada pengamatan di bulan Agustus dan November.
Dari pengamatan secara time series terhadap tipe kerusakan yang dialami
oleh geronggang dari tahun 2012 hingga tahun 2014 (Gambar 5.5) terlihat bahwa
tipe kerusakan yang disebabkan oleh serangan ulat pemakan daun (Lepidoptera),
kepik penghisap daun muda dan tunas muda (hemiptera), dan tutupan lichen
pada permukaan daun merupakan penyebab kerusakan yang dominan pada
tegakan geronggang. Khusus kerusakan yang disebabkan oleh tutupan lichen
ataupun penyakit karat daun menunjukkan peningkatan yang cukup drastis pada
pengamatan di bulan Juni 2013. Diduga hal ini berkaitan dengan meningkatnya
kelembaban udara di tegakan geronggang yang menyebabkan kondisi yang ideal
bagi pertumbuhan lichen ataupun penyakit karat daun untuk berkembang.
Sedangkan untuk hama ulat pemakan daun, intensitas serangannya mengalami
penurunan sampai pada akhir pengamatan di tahun 2014. Sedangkan tipe
kerusakan berupa luka terbuka dan mati pucuk menunjukkan kecenderungan
tidak mengalami perubahan yang berarti.
67
Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Potensial Bumi Lancang Kuning
60
Defoliator (31)

50 Kepik
penghisap (32)
Luka terbuka (3)
40
Die back (21)
30

20

10

0
Juni 2012 Agustus 2012
November 2012Maret 2013 Juni 2013 Agustus 2013 Maret 2014 Agustus 2014
November 2014

Gambar 5.5. Diagram persentase penyebab kerusakan (tipe kerusakan) pada


jenis geronggang 2012 s.d 2014
120

100

80
sangat
60 ringan
ringan
40
sedang
20

0
Juni 2012 Agustus November Maret 2013 Juni 2013 Agustus Maret 2014 Agustus November
2012 2012 2013 2014 2014

Gambar 5.6. Diagram persentase kerusakan (severity level) pada jenis


geronggang tahun 2012 s.d 2014

Faktor abiotik juga berpengaruh terhadap turgoritas dan fisiologi


tanaman yang akhirnya akan mempengaruhi ketahanan tanaman terhadap hama
(Salisbury & Ross, 1995). Temperatur lingkungan berpengaruh terhadap sintesis
senyawa metabolit sekunder seperti alkaloid dan flavonoid yang mempengaruhi
ketahanan tumbuhan terhadap hama dan penyakit (Smith, 1997). Temperatur
tidak hanya berpengaruh terhadap fisiologis tanaman, akan tetapi juga terhadap
serangga hama. Faktor makanan adalah unsur utama dalam menentukan
perkembangan serangan hama dan penyakit tanaman (Petzoldt & Seaman, 2010).
Selain itu faktor lain berupa predator dan kompetitor juga akan mempengaruhi
keberadaan hama dan penyakit. Sehingga faktor temperatur memilki pengaruh
tidak hanya terhadap tanaman inang tetapi juga kepada organisme pengganggu.
68
Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Poensial Bumi Lancang Kuning
Selanjutnya, tingkat korelasi faktor lingkungan terhadap tingkat
keparahan menunjukkan beberapa variasi. Pada musim hujan, peningkatan
temperatur, curah hujan, dan jumlah hari hujan berbanding terbalik dengan
tingkat keparahan serangan dan begitu juga sebaliknya. Sedangkan peningkatan
kelembaban akan menyebabkan peningkatan tingkat keparahan (severity level)
pada musim hujan dan sebaliknya (Petzoldt & Seaman, 2010; Smith, 1997).
Sebaliknya, pada musim kemarau menunjukkan bahwa peningkatan temperatur
dan curah hujan berbanding lurus dengan meningkatnya tingkat keparahan
(Reddy, 2013). Hal ini menunjukkan bahwa semakin sedikit hari hujan dan
kelembaban yang semakin rendah maka tingkat keparahan pada daun semakin
meningkat.
Organisme pengganggu tanaman lainnya yang ditemukan banyak
menyerang geronggang adalah kepik penghisap (hemiptera). Hama ini bersifat
polyphagus dan memiliki kisaran inang yang luas (Pan et al., 2015). Kepik ini
menyerang dengan cara menghisap cairan sel pada bagian pucuk dan daun muda.
Hasil obsevasi memperlihatkan bahwa bagian yang terserang akan layu dan mati.
Pucuk yang mati ini kemudian akan tumbuh trubusan lebih dari satu cabang.
Kerusakan akibat serangan hama ini cukup serius tetapi tidak mengakibatkan
kematian. Terlihat hama ini hanya dominan pada periode permudaan (di bawah
dua tahun). Kepik ini termasuk dalam ordo hemiptera memiliki mulut seperti
jarum untuk menghisap cairan. Kepik ini memiliki ciri-ciri tubuh berwarna
kecoklatan dan pada bagian sisi abdomen tampak seperti melipat ke atas dan
bermotif loreng. Panjang tubuh imago sekitar 10 s.d 15 mm (Gambar 5.7)

Gambar 5.7. Kepik penghisap ujung daun (Hemiptera) di pohon geronggang

69
Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Potensial Bumi Lancang Kuning
Daftar Pustaka
Grabow, B. (2016). Enviromental Conditions Associated with Stripe Rust and Leaf Rust.
Kansas State university.
Irwanto. (2006). Penilaian kesehatan hutan tanaman tegakan Jati (Tectona grandis) dan
Eucalyptus (Eucalyptus pellita) pada kawasan hutan Wanagama i. Yogyakarta.
Jovan, S. (2008). Lichen Bioindication of Biodiversity , Air Quality, and Climate : Baseline
Results From Monitoring in Washington, Oregon, and California. Washington.
Mangold, R. D. (1998). Overview of the Forest Health Monitoring Program. Integrated
Tools Proceedings, 129–140.
Mangold, R. D. (2000). Overview of the Forest Health Monitoring Program; In Hansen,
Mark; Burk, Thomas, eds. Integrated tools for natural resources inventories in
the 21st century. An International Conference on the Inventory and
Monitoring of Forested Ecosystems, 129–140. Idaho: U.S. Department of
Agriculture.
Pan, H., Liu, B., Lu, Y., & Wyckhuys, K. A. G. (2015). Seasonal Alterations in Host Range
and Fidelity in the Polyphagous Mirid Bug, Apolygus lucorum (Heteroptera :
Miridae ) 1–17. https://doi.org/10.1371/journal.pone.0117153
Petzoldt, C., & Seaman, A. (2010). Climate Change Effect on Insects and Pathogens.
Reddy, P. P. (2013). Impact of climate change on insect pests, pathogens and nematodes.
Pest Management in Horticultural Ecosystems, 19(2), 225–233.
Salisbury, J. W., & Ross, C. W. (1995). Fisiologi Tumbuhan. Bandung: Institut Teknologi
Bandung.
Semangun, H. (1996). Pengantar Ilmu Penyakit Tumbuhan. Yogyakarta: Gadjah mada
University Press.
Smith, R. (1997). Phisiology of Tree Resistance to Insect. Annual Review of Entomology,
20, 75–91.
Sugiarti, L. (2017). Analisis Tingkat Keparahan Penyakit Karat Daun pada Tanaman Kopi
Arabika di Kebun Percobaan Fakultas Pertanian Universitas Winaya Mukti
Tanjungsari. JAGROS, 1(2), 80–89.
Sumartini. (2010). Penyakit karat pada kedelai dan cara pengendaliannya yang ramah
lingkungan. Jurnal Litbang Pertanian, 29(3), 107–112.
Supriyanto, Soektjo, & Justianto, A. (2001). Assessment of Production Indicator in Forest
Health Monitoring to Monitor the Sustainability of Indonesian Tropical Rain
Forest (I. C. Stuckle, C. A. Siregar, Supriyanto, & J. Kartana, Eds.). Bogor: ITTO
and SEAMEO-BIOTROP.

70
Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Poensial Bumi Lancang Kuning
VI.
SIFAT DASAR KAYU GERONGGANG
(Yeni Aprianis)
(Ahmad

Geronggang (Cratoxylon arborescen) merupakan kayu lokal yang


ditemui di Riau dan dapat tumbuh dengan baik di lahan gambut. Hasil survey
Suhartati et al. (2012) menunjukkan bahwa sebaran geronggang di Riau
ditemukan di Kabupaten Bengkalis, Siak, Pelalawan dan Rokan Hilir. Sifat
pertumbuhan geronggang membuat tumbuhan ini sangat sesuai sebagai salah satu
alternatif dalam mengantisipasi bencana kebakaran hutan yang terus melanda
Propinsi Riau, seperti yang diungkapkan oleh Gubernur Riau di Tribun Sabtu,
Rabu, 06/03/2019. Kayu lokal jenis geronggang ini juga dapat dijadikan sebagai
salah satu jenis tanaman dalam rehabilitasi lahan dan hutan (Pratiwi et al., 2014).
Pada bab ini penulis tidak membahas mengenai fungsi geronggang dalam
rehabilitasi lahan, namun lebih kepada pemanfaatan kayu geronggang.
Walaupun geronggang telah sejak lama telah dimanfaatkan sebagai bahan
konstruksi di Bengkalis, disisi lain geronggang juga memiliki kualitas sebagai
bahan baku pulp (Aprianis et al., 2018). Hal ini menjadi suatu yang menarik bagi
industri pulp dan kertas karena geronggang ini dapat tumbuh di lahan gambut
sehingga dapat menjadi substitusi bagi jenis Acacia crassicarpa yang selama ini
menjadi andalan HTI pulp di lahan gambut namun memiliki berbagai
permasalahan seperti tingginya mortalitas dan tingkat kerobohannya yang juga
tinggi.
Kayu sendiri merupakan material yang unik bila dibandingkan dengan
bahan lain seperti besi, baja, alumunium dan kaca. Karena sifat-sifatnya, kayu
memiliki multifungsi yang bisa dimanfaatkan sebagai bahan pertukangan, kayu
lapis, papan partikel ataupun bahan kertas. Pemanfaatan yang tepat suatu jenis
kayu didasari oleh sifat dasar yang dimiliki oleh kayu tersebut. Dengan
diketahuinya sifat kayu yang paling menonjol maka pemanfaatan kayu tersebut
akan menjadi lebih maksimal. Sifat dasar kayu merupakan sifat-sifat kayu yang
paling penting untuk diperhatikan sebelum kayu tersebut dimanfaatkan untuk
tujuan pemanfaatan tertentu. Pemanfaatan kayu yang sesuai dengan sifat
dasarnya akan memberikan hasil yang lebih efisien. Sifat bahan baku kayu
pertukangan akan berbeda dengan sifat kayu untuk produk pulp dan juga untuk
71
Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Potensial Bumi Lancang Kuning
penggunaan lainnya. Dalam bagian ini akan dibahas mengenai sifat dasar yang
meliputi struktur anatomi, sifat fisika, sifat mekanika, sifat kimia dan beberapa
sifat tambahan lainnya.

A. Stuktur Anatomi dan Dimensi Serat


Struktur anatomi kayu geronggang telah dimuat di buku Atlas Kayu Jilid
1 yang telah dilaporkan oleh Martawijaya, et al (2005), namun untuk BP2TSTH
juga melakukan kajian ini pada tahun 2012 untuk pengayaan dan update
infromasi. Pada kajian tahun 2012 ditambahkan informasi dari kelas diameter
geronggang yang tumbuh di Kab. Bengkalis, kemudian tahun 2015-2017
BP2TSTH mengkaji sifat kayu geronggang pada berbagai umur yang tumbuh di
Kabupaten Kampar. Menurut Rinanda (2012) kayu gerunggang berwarna merah
bata. Kayu bertekstur agak kasar dan saat diraba memberi kesan kesat.
Permukaan kayunya agak mengkilap. Batang kayu mengeluarkan getah kuning.
Penampang lintang makro dan penampang mikro (lintang, radial dan tangensial)
kayu gerunggang pada tiga kelas diameter disajikan pada Gambar 6.1, 6.2, dan
6.3.
Menurut Rinanda (2012) kayu geronggang memperlihatkan ciri anatomi
berupa lingkaran tumbuh yang tidak jelas; pembuluhnya baur dan berganda
radial empat atau lebih; panjang pembuluh 514,48±123,80 (µ), diameter
pembuluh 158,59±32,06 (µ) (gerunggang diameter 15 cm); panjang pembuluh
549,35±111,52 (µ), diameter pembuluh 186,37±34,83 (µ) (gerunggang diameter 20
cm); panjang pembuluh 484,72±92,96 (µ), diameter pembuluh 187,35±34,57 (µ)
(gerunggang diameter 25 cm); frekuensi pembuluh 5-20 per mm; bidang perforasi
sederhana; ceruk antar pembuluh selang-seling dengan ukuran sedang > 4-7 (µ);
ceruk antar pembuluh dan jari-jari dengan halaman yang sempit serupa dalam
ukuran dan bentuk dengan ceruk antar pembuluh. Parenkim geronggang
merupakan parenkim aksial paratrakea yang jarang dan vaskisentrik. Tipe sel
parenkim aksial delapan (5-8) sel per untai. Pada kayu dengan umur yang lebih
tua ditemukan parenkim pita sempit ≤ 3 lapis sel. Jari-jari kayu geronggang
terdiri dari satu sampai tiga seri dan jari-jari besar yang terdiri dari empat sampai
sepuluh dapat ditemukan pada kayu dengan umur lebih tua. Komposisi sel jari-
jari seluruhnya berupa sel bujur sangkar atau sel tegak; tubuh jari-jari sel baring
dengan satu jalur sel tegak dan atau sel bujur sangkar marjinal.

72
Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Poensial Bumi Lancang Kuning
a b c d

Gambar 6.1. Penampang lintang makro (a), penampang lintang mikro (b),
penampang radial mikro (c), penampang tangensial mikro (d) kayu
gerunggang diameter 15 cm

a b c d

Gambar 6.2. Penampang lintang makro (a), penampang lintang mikro (b),
penampang radial mikro (c), penampang tangensial mikro (d)
kayu gerunggang diameter 20 cm

a b c d

Gambar 6.3. Penampang lintang makro (a), penampang lintang mikro (b),
penampang radial mikro (c), penampang tangensial mikro (d) kayu
gerunggang diameter 25 cm

Dimensi serat geronggang yang telah dilaporkan pada Jurnal Ilmu Kayu
Tropis Indonesia adalah dimensi serat kayu geronggang yang diperoleh dari alam
yaitu dari Kabupaten Bengkalis yang tidak diketahui umurnya, sedangkan yang
73
Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Potensial Bumi Lancang Kuning
dari Lubuok Ogung, Kab. Pelalawan berumur 4,5 tahun. Dimensi serat
geronggang dapat dilihat pada Tabel 6.1. Bila geronggang dibandingkan dengan
A. crassicarpa, terlihat bahwa A. crassicarpa memiliki serat yang lebih panjang.
Perbedaan panjang serat ini disebabkan oleh perbedaan jenis kayu namun
ditenggarai juga disebabkan oleh sumber benih A. crassicarpa yang telah melalui
kegiatan pemuliaan.
Tabel 6.1. Dimensi serat dan diameter geronggang
Geronggang
A.
Dimensi serat Alam (Bengkalis) 4,5
crassicarpac
G1a G2a G3a G4b tahunb
Panjang serat (µm) 1230 1327 1257 1156 1134 1306
Diameter serat (µm) 28,09 31,18 28,85 24,63 25,60 34,24
Tebal dinding sel (µm) 2,10 2,07 2,00 7,17 7,43 -
Diameter setinggi dada (cm) 15 20 25 24,30 11,04 18
a) Rinanda et al (2012); b) Aprianis, et al (2018); c) Suhartati, et al (2014)

Menurut Aprianis et al. (2018), hasil analisis Uji T menunjukkan bahwa


semua parameter dimensi serat antara geronggang alam (G4a) dan umur 4,5 tahun
bernilai sama, artinya tidak ada perbedaan dimensi serat kedua geronggang
tersebut. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh genetik kedua geronggang sama,
karena asal bibit geronggang umur 4,5 tahun (Pelalawan) diperoleh bibitnya di
Kabupaten Bengkalis dan kemungkinan memiliki tingkat kesuburan lahan
gambut yang sama, walaupun ditanam pada kondisi yang berbeda. Menurut
Ibrahim & Abdelazim (2015) menunjukkan bahwa dimensi serat Eucalyptus
camaldulensis dipengaruhi oleh laju pertumbuhan pohon (grow rate).
Pertumbuhan kayu yang cepat (fast growing species) cenderung menurunkan
dimensi sel kayu karena semakin cepat pembelahan sel di kambium terjadi
sehingga tebal dinding sel semakin tipis dan diameter serat semakin menurun
dengan meningkatnya laju pertumbuhan (Ibrahim & Abdelazim, 2015; Roque &
Fo, 2007). Menurut Saito et al. (2005) kayu geronggang dikategorikan dalam
kelompok pohon cepat tumbuh (Saito et al., 2005).
Secara morfologi serat geronggang memiliki ceruk sederhana sampai
dengan berhalaman sangat kecil. Tebal dinding seratnya termasuk dalam kategori
tipis sampai tebal (Rinanda, et al. 2012). Inklusi mineral tidak ditemukan, tapi
berdasarkan Prosea (1994) seharusnya ditemukan silika pada jari-jari, pada kayu
contoh uji silika belum ditemukan, kemungkinan kayu masih berumur muda dan
silika belum terbentuk.
74
Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Poensial Bumi Lancang Kuning
Nilai kualitas serat kayu dapat diketahui berdasarkan perhitungan
turunan dimensi serat. Hal ini menentukan kemungkinan penggunaan kayu
untuk bahan baku pulp dan kertas. Nilai kualitas serat kayu geronggang
selengkapnya disajikan dalam Tabel 6.2. Peranan dimensi serat sebagai parameter
kualitas bahan baku pulp dan kertas memiliki hubungan yang komplek dan akan
berpengaruh terhadap sifat fisik pulp kertas yang dihasilkannya seperti densiti,
fleksibilitas, kelicinan, porositas dan kekuatan fisiknya (Haroen, 2016).
Tabel 6.2. Nilai kualitas kayu geronggang dari beberapa diameter
Diameter (cm)
Parameter 15 20 25
X SD NKK X SD NKK W SD NKK
Panjang 1231 85 50 1327 112 50 1258 102 50
serat (μm)
Daya tenun 44,46 5,67 25 42,42 4,69 25 44,02 6,23 25
Muhlsteph 27,86 4,60 100 24,84 4,76 100 26,11 6,67 100
ratio (%)
Rasio 0,85 0,03 100 0,86 0,03 100 0,86 0,04 100
Fleksibilitas
Bilangan 0,18 0,04 100 0,16 0,04 100 0,17 0,06 100
runkel
Koefisien 0,08 0,01 100 0,07 0,01 100 0,07 0,02 100
kekakuan
Total nilai 475 475 475
Kelas
kualitas I I I

Sumber: Rinanda et al. (2012)


Tabel 6.2 menunjukkan bahwa turunan dimensi serat geronggang pada
semua sampel dengan diameter yang berbeda, 15, 20, 25 cm, termasuk dalam
kualitas serat kelas I (satu). Panjang serat dianggap sebagai salah satu dimensi
yang memegang peranan penting dalam menentukan kekuatan sobek lembaran
kertas yang nanti dihasilkan. Panjang serat berpengaruh terhadap sifat fisik
kertas, semakin tinggi perbandingan panjang serat dengan diameter serat akan
memberikan kekuatan sobek dan daya tenun yang lebih baik. Serat panjang akan
membentuk ikatan antar serat lebih luas dan penyebaran tekanan yang lebih
baik. Kekuatan lembaran kertas yang dipengaruhi oleh panjang serat adalah
ketahanan tarik, ketahanan lipat dan ketahanan sobek. Bilangan Runkel ketiga
geronggang dengan diameter yang berbeda bernilai kecil dari 0,25 yang
menunjukkan bahwa geronggang termasuk dalam kualitas serat kelas I. Serat
dengan bilangan Runkel rendah lebih mudah digiling dan memiliki ikatan antara

75
Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Potensial Bumi Lancang Kuning
serat lebih luas, akan menghasilkan lembaran pulp dengan kekuatan jebol, tarik
dan lipat yang tinggi. Serat dengan bilangan Runkel yang rendah juga memiliki
dinding sel yang tipis dan diameter lumen lebar sehingga serat dalam lembaran
dapat menggepeng seluruhnya dan ikatan antar serat dapat terjadi lebih baik.
Nilai daya tenun merupakan perbandingan panjang serat dengan
diameter serat. Semakin besar perbandingan tersebut maka semakin tinggi
kekuatan sobek dan semakin baik daya tenun seratnya. Semakin panjang serat
maka semakin tinggi kekuatan sobek karena serat yang panjang menyebabkan
jalinan antara serat yang juga semakin panjang dan gaya sobek akan terbagi dalam
luasan yang lebih besar (Syafii & Siregar, 2006). Nilai daya tenun serat
geronggang berkisar 42-44. Nilai daya tenun geronggang yang berasal dari
Bengkalis ini tidak terlalu berbeda dengan daya tenun kayu Macaranga hypoleuca
dari Jambi, yaitu 40 (Aprianis dan Rahmayanti, 2009).
Muhlsteph ratio adalah perbandingan antara luas penampang dinding
serat terhadap luas penampang melintang serat. Muhlsteph ratio geronggang
berkisar 24-27% (Tabel 6.2) yang berdasarkan klasifikasi termasuk pada golongan
II, karena berada dalam range 20-30% (Haroen, 2016). Namun menurut Anonim
(1976) bahwa Muhlsteph ratio kecil atau dibawah 30% termasuk dalam klasifikasi
kualitas kelas I. Sedangkan Rasio flexibilitas (kelemasan) adalah perbandingan
diameter lumen dengan diameter serat. Pada Tabel 6.2 terlihat bahwa rasio
felxibilitas geronggang adalah 0,85.

B. Sifat fisika dan mekanika


Sifat fisika kayu adalah sifat-sifat yang melekat pada susunan strukturnya
(Marsoem, 2011). Sifat fisika ini penting bagi penggunaan kayu, terutama kayu
sebagai bahan konstruksi dan rekayasa. Sifat ini disebabkan oleh perubahan
kondisi atmosfir atau udara yang ada di sekitarnya. Kayu sangat sensitif terhadap
perubahan kadar air udara atau kelembaban. Hal ini dikarenakan kayu bersifat
higroskopis yang meyebabkan kayu dapat menyerap atau kehilangan air
tergantung suhu dan kelembaban udara di atmosfer.
Pada bab ini sifat fisika yang dikupas adalah berat jenis. Berat jenis adalah
perbandingan massa kayu sebagai jumlah sel-sel penyusun kayu. Berat jenis
mempengaruhi rendemen dan kualitas pulp. Variasi berat jenis kayu setiap jenis
kayu akan berbeda tergantung tergantung strukturnya terutama tebal dinding

76
Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Poensial Bumi Lancang Kuning
selnya. Umumnya kayu berberat jenis tinggi akan menghasilkan pulp yang sulit
digiling, tebal, kekuatan sobek tinggi, kekuatan tarik, jebol dan lipatnya rendah.
(Haroen, 2016). Kayu dengan berat jenis tinggi biasanya digunakan untuk
konstruksi. Menurut Paradis et al. (2012) bahwa berat jenis geronggang adalah
0,45 dimana tergolong kayu dengan berat jenis ringan. Rerata berat jenis untuk
kayu pulp berkisar 0,4-0,6 sehingga geronggang berada dalam kategori kayu
dengan berat jenis yang sesuai untuk tujuan produk pulp.
Sifat mekanika kayu adalah perilaku kayu terhadap beban luar yang
mengenainya. Sehingga sifat mekanika dikenal dengan kekuatan tekan, kekuatan
tarik, kekuatan geser, kekuatan lengkung, kekuatan belah, kekerasan dan
lainnya. Mengetahui sifat mekanika lebih diperuntukan untuk kayu konstruksi.
Kekuatan kayu tergantung kerapatannya. Semakin tinggi kerapatannya maka
semakin tinggi pula kekuatannya (Desch, 1996). Pada Gambar 6.4 terlihat bahwa
sifat mekanik geronggang seperti kekuatan kayu, kekuatan pukul, kekuatan
lentur statis dan modulus elastis tergolong rendah, sedangkan penyusutan
koefisien volumetrik dan total penyusustan tangensial tergolong medium. Dari
data ini geronggang dapat dimanfaatkan untuk konstruksi ringan, seperti selama
ini yang sudah dilakukan oleh masyarakat Bengkalis, Riau yang menggunakan
kayu geronggang sebagai kayu pancang.

Gambar 6.4. Grafik sifat fisika dan mekanik geronggang (Paradis et al., 2012)
77
Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Potensial Bumi Lancang Kuning
C. Sifat Kimia Kayu
Sifat kimia kayu adalah perilaku kayu berdasarkan sifat kimia penyusun
kayu. Kayu tersusun atas bahan penyusun dinding sel dan bahan di luar dinding
sel kayu. Bahan kimia yang menyusun dinding sel kayu adalah selulosa, lignin
dan hemiselulosa, serta zat ekstraktif. Seringkali kegagalan pengolahan kayu
menjadi pulp disebabkan oleh adanya lignin atau ekstraktif kayu. Penggunaan
kayu untuk tujuan konstruksi lebih banyak berhubungan dengan berat jenis
kayu, kekuatan, kekerasan dan bukan karena adanya zat ekstraktif. Bahan kimia
yang terkandung dalam kayu berhubungan dengan sifat keawetan atau
ketahanan kayu. Selulosa memiliki persentase yang tinggi dari penyususn kayu,
diiikuti oleh lignin dan hemiselulosa. Ketiga penyususun kayu tersebut bersifat
higroskopis atau sangat suka air. Kemudian bahan kimia yang ada diluar dinding
sel adalah zat ekstraktif yang dapat diekstrak keluar dengan mudah (Prayitno,
2007).
Pada kajian ini penulis lebih banyak membahas mengenai sifat dasar kayu
geronggang sebagai bahan baku pulp. Komponen kimia kayu sangat
mempengaruhi kualitas dan kuantitas pulp yang dihasilkan. Seperti yang
disampaikan sebelumnya, secara umum komponen kimia penyusun kayu adalah
selulosa, hemiselulosa, lignin, dan ekstraktif.
C.1. Selulosa
Selulosa merupakan komponen terbanyak dalam kayu lunak dan kayu
keras dengan jumlah mencapai hampir setengahnya yaitu 40–50% (Fengel dan
Wegener, 1995). Kadar selulosa geronggang berkisar 39,71–40,72% (Tabel 6.3).
Selulosa adalah polimer rantai lurus yang tersusun oleh monomer unit β (1-4)
glukosa (Pettersen, 1984). Ikatan hidrogen antara molekul selulosa
mengakibatkan kekuatan serat selulosa yang tinggi (kekuatan tarik) dan tidak
mudah larut dalam kebanyakan pelarut (Sjӧstrӧm, 1995). Kandungan selulosa
pada kayu mempengaruhi kekuatan tarik pada pulp (Casey, 1980).
C.2. Hemiselulosa
Pada kayu, hemiselulosa hadir berdampingan dengan selulosa dan sangat
penting dalam proses pembuatan kertas karena dapat meningkatkan ikatan antar
serat. Hemiselulosa adalah campuran polisakarida yang rantainya bercabang
terdiri dari glukosa, mannosa, galaktosa, xylosa, arabinosa, asam glukoronik, dan
asam galaktoronik (Pettersen, 1984). Fengel dan Wegener (1995) menyatakan

78
Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Poensial Bumi Lancang Kuning
hemiselulosa dapat meningkatkan kekuatan kertas (khususnya kekuatan tarik,
jebol, dan lipat) dan rendemen pulp. Kandungan hemiselulosa terbukti
berhubungan dengan hidrasi pulp yang cepat, pembentukan ikatan antar serat
yang lebih banyak dan lebih baik, dan pembentukan lembaran yang rapat
(Bowyer et al., 2007).
Komposisi hemiselulosa pada kayu keras antara 20–30% (Sjӧstrӧm, 1995).
Kandungan hemiselulosa geronggang berada pada kisaran tersebut yaitu 29,97–
30,68% (Tabel 6.3). Sebagai perbandingan, kandungan hemiselulosa pada kayu
Eucalyptus hibrid umur 4, 5, 6, dan 10 tahun berturut-turut sebesar 29,86%,
29,33%, 28,55%, dan 31,09% (Roliadi et al., 2010). Peningkatan kadar
hemiselulosa memberikan hasil kekuatan tarik lembaran pulp yang cenderung
meningkat mengikuti komposisi hemiselulosa (Roliadi et al., 2010).
C.3. Lignin
Keberadaan lignin dalam dinding sel berfungsi untuk memberikan
ketegaran pada sel. Lignin berpengaruh dalam memperkecil perubahan dimensi
dan mengurangi degradasi pada sel. Konsentrasi lignin tertinggi terdapat dalam
lamela tengah dan akan semakin mengecil pada lapisan dinding sekunder
(Bowyer et al., 2007). Menurut Fengel dan Wegener (1995) lignin adalah struktur
makromolekul berbentuk amorf yang terdiri atas sistem aromatik yang tersusun
atas unit-unit fenil propana. Di dalam sel kayu tidak diendapkan begitu saja
antara polisakarida dinding sel, tetapi terikat dan terasosiasi dengan polisakarida.
Bahkan polisakarida (karbohidrat) merupakan prasyarat untuk membentuk
makromolekul lignin dalam dinding sel tumbuhan. Ikatan antara polisakarida
dan lignin dinamakan komplek lignin-polisakarida.
Kandungan lignin pada kayu keras di daerah sub tropis bekisar antara 20–
25%, sedangkan pada kayu tropis kandungannya bisa lebih besar dari 30%
(Sjӧstrӧm, 1995). Kadar lignin geronggang berada pada kisaran 21,71-23,70%
(Tabel 6.3). Nilai ini masuk dalam kisaran yang dinyatakan oleh Sjostrom (1995).
Sedangkan kandungan lignin pada kayu A. mangium berkisar 27,30% (Marsoem,
2004).
Keberadaan lignin di dalam serat akan mengganggu ikatan gugus-gugus
hidroksil dari selulosa dan hemiselulosa sehingga akan menurunkan indeks jebol
lembaran kertas yang dihasilkan (Biermann, 1996). Selain itu keberadaan lignin
dalam kertas juga dapat menyebabkan kertas berubah warna menjadi kekuningan

79
Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Potensial Bumi Lancang Kuning
apabila dibiarkan dalam udara terbuka dan terkena sinar matahari (Bowyer et al.,
2007). Dari itulah, untuk kayu pulp lebih diinginkan kandungan lignin yang
rendah atau sebisa mungkin untuk menghilangkan kandungan lignin yang
dikandung oleh kayu tersebut.
C.4. Ekstraktif
Ekstraktif merupakan komponen kayu yang dapat larut dalam pelarut
polar dan nonpolar. Sejumlah kayu mengandung senyawa-senyawa ekstraktif
bersifat racun yang dapat mencegah bakteri, jamur, dan rayap (Fengel dan
Wegener, 1995). Keberadaan ekstraktif dalam kayu ini dapat menurunkan
rendemen pulp, meningkatkan konsumsi bahan kimia, dan jika tidak dihilangkan
akan menimbulkan masalah seperti munculnya busa selama proses pembuatan
kertas (Marsoem, 2012). Kadar ekstraktif kayu di daerah subtropis berkisar 4-
10%, sedangkan ekstraktif kayu tropis dapat melebihi 20% (Pettersen, 1984).
Pada Tabel 6.3 terlihat bahwa ekstraktif etanol-toluena kayu geronggang berkisar
4,74 –4,89%.
Tabel 6.3. Sifat kimia kayu geronggang
Geronggang
Sifat kimia
Alam Umur 4,5 tahun
Ekstraktif (%) 4,89 ± 1,44 4,74 ± 1,14
Lignin (%) 21,71 ± 1,79 23,70 ± 1,45
Selulosa (%) 40,72 ± 1,79 39,71 ± 0,76
Hemiselulosa (%) 29,97 ± 1,51 30,68 ± 0,93
Sumber : Aprianis et al (2018)

Menurut Aprianis, et al. (2018) kadar lignin kedua geronggang tersebut


menunjukkan perbedaan yang signifikan. Kadar lignin geronggang tanaman dan
alam berturut-turut adalah 23,70 dan 21,71%. Dari data lignin terlihat bahwa
kemungkinan geronggang tanaman berumur lebih muda dibandingkan dengan
geronggang alam, karena lignin dibutuhkan sebagai penompang tanaman dalam
masa pertumbuhan. Hal ini sesuai dengan yang dilaporkan Zobel (1998) dimana
kayu muda memiliki kayu juvenil dan kandungan lignin yang lebih tinggi
dibandingkan dengan kayu dewasa (mature wood). Sebaliknya semakin tua
tanaman maka kayu dewasanya semakin besar dan kadar lignin semakin kecil
(Osman et al., 2015). Perbedaan kadar lignin yang sangat nyata juga ditemukan
pada kayu populus yang ditanam pada daerah yang berbeda (Kacik et al., 2012).

80
Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Poensial Bumi Lancang Kuning
Daftar Pustaka
Anonim. (1976). Vademecum Kehutanan Indonesia. Departemen Pertanian. Direktorat
Jenderal Kehutanan, Jakarta.
Aprianis, Y & Rahmayanti. S. (2009). Dimensi serat dan nilai turunannya dari tujuh jenis
kayu asal Propinsi Jambi. Jurnal Penelitian Hasil Hutan. Vol. 27 (1), 11-20.
Aprianis, Y., Akbar, O.T & Rizqiani, K.D. (2018). Perbandingan sifat bahan baku dan pulp
kraft geronggang (Cratoxylon arborescen) alam dan tanaman. Jurnal Ilmu dan
Teknologi Kayu Tropis. Vol 16 (2), 177-183.
Bierman, C.J. 1(996). Handbook of pulping and papermaking second edition. Academic
Press, California.
Bowyer, J.L., R. Shmulsky & J.G Haygreen. (2007). Forest product and wood science an
intoduction fifth edition. Blackwell Publishing, Oxford.
Casey JP. 1980. Pulp and paper chemistry and chemical technology vol.II . Interscience
Publishing Inc., New York.
Desch, H.E. (1996). Timber: Structure, Properties, Conversion and Use, 7thedition. Food
Products Press, New York.
Fengel. D dan G. Wegener. (1995). Kimia, ultrastruktur, reaksi-reaksi kayu. Gadjah Mada
University Press. Yogyakarta.
Haroen, W.K. (2016). Teknologi serat bahan baku pulp kertas. CV. Agung Ilmu, Bandung.
Ibrahim, M & Abdelazim (2015). Effect of Growth Rate on Fiber Characteristics of
Eucalyptus camaldulensis Wood of Coppice Origin Grown in White Nile State,
Sudan. Journal of Natural Resource and Enviromental, 6456(3), 14–23.
Kacik, F., Durkociv, J., & Kacikova, D. (2012). Chemical Profiles of Wood Components
of Poplar Clones for Their Energy Utilization. Energies, 5:5243–5256.
http://doi.org/10.3390/en5125243.
Marsoem, S.N. (2004). Pemanfaatan hasil hutan tanaman Acacia mangium. Pembangunan
Hutan Tanaman Acacia mangium : Pengalaman di PT. Musi Hutan Persada.
Hardiyanto E.B dan H. Arisman (Ed). Palembang PT. Musi Hutan Persada,
Sumatera Selatan.
Marsoem, S.N. (2011). Sifat-sifat dasar kayu. Buku Ajar Fakultas Kehutanan, Universitas
Gadjah Mada.
Marsoem, S.N. (2012). Pulp dan kertas. Bahan Kuliah Mahasiswa Jurusan Teknologi Hasil
Hutan. Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada. (Tidak dipublikasikan).
Yogyakarta.
Martawiajaya, A., Kartasujana, I., Kadir, K & Prawira, S.A. (2005). Atlas Kayu Indonesia
Jilid I. Departemen Kehutanan Badan Penelitian dan Pengembangan
Kehutanan.
Osman, S.O., Ahmed, A.A & Yaseen, A.A. (2015). Study the effect of age wood chemical
compound of Eucalyptus camaldulensis and Populus nigra growing in erbil
governorates. International Journal of Life Sciences Research. Vol 3 (4), 61-66.
81
Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Potensial Bumi Lancang Kuning
Paradis, S., Thevenon, M.F., Brancheriau, L & Langbour, P. (2012). Tropix 7: The main
technological characteristics of 245 tropical wood species. Conference: IUFRO
Conference-Division 5: forest products. At Estoril, Portugal.
DOI:10.5281/zenodo.44995.
Pettersen, R.C. (1984). The chemical composition of wood. The Chemistry of Solid Wood.
Rowell. R (Ed). American Chemical Society. Washington.
Pratiwi, B.H. Narendra, G.M.E. Hartoyo, T. Kalima & S. Pradjadinata. (2014) Atlas jenis-
jenis pohon andalan setempat untuk rehabilitasi hutan dan lahan di Indonesia.
A. Ngaloken Gintings (Ed). Forda Press, Bogor.
Prayitno. (2007). Teknologi Hasil Hutan. Program Studi Ilmu Kehutanan, Fakultas
Kehutanan, Universitas Gadjah Mada.
Prosea. (1994). Soerianegara, I & Lemmens, R. H. M. J (eds). Plant Resources of South-
East Asia No 5 (1). Timber trees : minor commercial timber. Genus:
Cratoxylum. Backhuys Publishers, Leiden.
Rinanda, R., Suhartati, Rahmayanti, S., Winarsih, A., Sutrisno, E., & Putra., A.M. (2012).
Kajian Sifat Dasar dan Kegunaan Kayu Jabon (Anthocephalus cadamba Miq.)
dan gerunggang (Cratoxylon arborescens BI.) Laporan Hasil Penelitian. Balai
Penelitian Teknologi Serat Tanaman Hutan. Kuok-Riau.
Roliadi, H., Dulsalam, dan D. Anggraini. (2010). Penentuan Daur Teknis Optimal dan
Faktor Eksploitasi kayu Hutan Tanaman Jenis Eucalyptus Hybrid sebagai
Bahan Baku Pulp. Pusat Penelitian dan Pengembangan Keteknikan Kehutanan
dan Pengolahan Hasil Hutan. Jurnal Penelitian Hutan .Vol 28 (4): 332-357.
Roque, R. M. & Fo, M. T. (2007). Wood Density and Fiber Dimensions of Gmelina arborea
in Fast Growth Trees in Costa Rica : Relation to the Growth Rate. Investigacion
Agraria : Sistemas y Recurcos Forestales, 6(3), 267–276.
Saito, H., Shibuya, M., Tuah, S. J., Turjaman, M., Takahashi, K., Jamal, Y., Segah, H., Putir,
P. E., & Limin, S. H. (2005). Initial Screening of Fast-Growing Tree Species
Being Tolerant of Dry Tropical Peatlands in Central Kalimantan, Indonesia.
Journal of Forestry Research, 2, 1–10.
Sjöström, E. 1995. Kimia Kayu, Dasar-Dasar dan Penggunaan. Terjemahan Gadjah Mada
University Press, Yogyakarta.
Suhartati, S. Rahmayanti, A. Junaedi & E. Nurrohman. 2012. Sebaran dan Persyaratan
Tumbuh Jenis Alternatif Penghasil Pulp di Wilayah Riau. Kementerian
Kehutanan. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Jakarta.
Suhartati, Rochmayanto, Y., & Daeng, Y. (2014). Dampak penurunan daur tanaman HTI
acacia terhadap kelestarian produksi, ekologis dan sosial. Info Teknis Eboni, 11
(2):103–116.
Syafii, W & Siregar, I.Z. (2006). Sifat kimia dan dimensi serat kayu mangium (Acacia
mangium Willd) dari tiga provenans. Jurnal Ilmu dan Teknologi Kayu Tropis.
Vol. 4 (1): 29-32.
Zobel, B.J. (1998). Juvenil wood in forest tress. Springer-Verlag Berlin Heidelberg.
82
Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Poensial Bumi Lancang Kuning
VII.
KUALITAS KAYU DAN SERAT GERONGGANG:
DAMPAKNYA PADA POTENSI PEMANFAATAN
(Eka Novriyanti)
(Ahmad
Ringkasan

Kayu geronggang merupakan kayu lokal Sumatera yang sangat potensial


dikembangkan sebagai hutan tanaman. Pertumbuhannya yang baik di lahan
gambut yang sering tergenang dan atribut kayu serta seratnya membuka peluang
untuk pemanfaatan yang lebih luas. Potensinya sebagai bahan baku pulp dan
kertas sudah cukup banyak dibahas, namun karakter dan kualitas kayunya
memungkinkan untuk lebih lanjut dikaji potensinya sebagai bahan baku produk
hasil hutan maju lainnya seperti komposit kayu dan produk nanocellulose.
Geronggang termasuk kayu dengan kekuatan rendah dan tidak awet, namun
dengan investasi nanoteknologi, propertis kayu yang lemah ini dapat
ditingkatkan, misalnya dengan impregnasi nanopartikel untuk memperbaiki
stabilitas dimensi, keawetan dan daya tahan bakarnya, selain juga berpotensi
sebagai bahan baku untuk nanomaterial.

A. Sekilas Mengenai Geronggang


Indonesia memiliki kekayaan keanekaragaman hayati yang luar biasa dan
merupakan salah satu negara mega biodiversitas di dunia. Banyak sekali
tumbuhan lokal kurang dikenal yang sebenarnya memiliki potensi besar untuk
untuk dikembangkan dan bernilai ekonomi. Sebanyak 17% dari total spesies
dunia berada di Indonesia yang tersebar di seluruh ekosistem daratan dan
perairannya (MoEF, 2014). Namun kekayaan hayati tersebut terus menghadapi
ancaman dari laju degradasi dan deforestasi yang terbilang tinggi di Indonesia
(Barri et al., 2018; MoEF, 2018). Hilangnya penutupan hutan baik dikarenakan
deforestasi, perubahan peruntukan lahan ataupun sebab lainnya juga
menyebabkan hilangnya banyak jenis kayu lokal belum dikenal yang memiliki
potensi pemanfaatan yang besar. Dengan lenyapnya jenis lokal potensial, selain
hilang fungsi ekologisnya akan hilang juga peluang potensi pemanfaatannya yang
bisa meningkatkan penghidupan masyarakat.

83
Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Potensial Bumi Lancang Kuning
Geronggang merupakan salah satu jenis lokal di Riau yang saat ini sedang
bergaung terutama karena potensinya untuk dikembangkan sebagai tanaman HTI
pulp (Akbar et al., 2016; Aprianis et al., 2018). Jenis ini juga memiliki kandungan
kimiawi yang juga dapat dimanfaatkan untuk pengobatan dan kayunya memiliki
potensi untuk bahan baku pulp. Saat ini kayu dari jenis ini sudah dimanfaatkan
secara lokal oleh masyarakat Riau untuk cerocok dan bahan bangunan (Lumy,
2019). Di belahan bumi yang lain, kayu geronggang dimanfaatkan untuk
konstruksi ringan, kotak dan crate yang tidak membutuhkan kekuatan tinggi,
cement-board, papan partikel, wool kayu, pulp dan kayu energi (arang dan kayu
bakar), paneling untuk interior, furnitur, blockboard, fiberboard, veneer
plywood, bahkan instrumen musik (CIRAD, 2012; Fern, 2019; ITTO, 2012;
PlantUse, 2017). Pengembangan pemanfaatan kayu dan serat geronggang masih
sangat terbuka lebar dengan semakin beragamnya kebutuhan manusia dan
semakin mutakhirnya perkembangan di bidang teknologi produk hasil hutan,
tentunya dengan memperhatikan atribut yang dimiliki oleh kayu geronggang
sendiri.
Di Malaysia, hanya dalam jumlah kecil kayu geronggang yang ditemukan
di pasaran. Meskipun begitu, perdagangan komersial kayu geronggang di
Malaysia sudah tercatat sejak tahun 1983 dalam bentuk kayu bulat maupun kayu
gergajian yang pada umumnya diekspor ke Singapura. Ekspor kayu geronggang
dari Malaysia ini mencapai nilai hingga 1,5 juta dolar Amerika dari volume ekspor
8500 m3 log dan 5000 m3 kayu gergajian pada tahun 1992 (PlantUse, 2017).
Nilai dan volume ekspor kayu geronggang Indonesia belum tersedia
laporannya. Nilai komersil geronggang di Indonesia tercatat di Bengkalis, Riau.
Di lokasi tersebut, geronggang sudah diusahakan dalam bentuk tanaman rakyat
dengan jarak tanam 1 x 1 (m) sehingga dalam 1 ha bisa menghasilkan setidaknya
9500 batang geronggang (Syamsuar, 2018). Jika batang geronggang dijual untuk
tujuan cerocok saja (tujuan penggunaan yang paling sederhana) dan dianggap
nilai jualnya sama dengan harga saat ini (tahun 2019) di Riau yaitu Rp
10.000/batang, maka dalam tiga hingga empat tahun saat dipanen dari areal seluas
satu ha akan diperoleh Rp 95.000.000. Namun agar diperoleh tujuan
pembangunan yang lestari maka pengusahaan geronggang haruslah dalam bentuk
hutan tanaman, baik yang diusahakan oleh rakyat maupun oleh perusahaan.
Pengusahaan dalam bentuk hutan tanaman ini direkomendasikan karena potensi
alami geronggang yang tercatat saat ini tidaklah besar. Secara alami, geronggang
84
Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Poensial Bumi Lancang Kuning
bukan merupakan tumbuhan dominan di habitatnya. Laporan Heriyanto dan
Subiandono (2007) menyebutkan bahwa INP geronggang pada tingkat pohon
hanya 8,8% di kelompok hutan Sungai Bepasir - Sungai Sidung (Kabupaten
Tanjung Redep, Kalimantan Timur).
Geronggang, Cratoxylon arborescens (Vahl) Blume, secara alami tersebar
di Asia Tenggara seperti di Indonesia, Malaysia, Myanmar dan Filipina (Aprianis
et al, 2018; Barri et al., 2018; CIRAD, 2012;). Di Indonesia, geronggang ditemukan
di Sumatera, Kalimantan, Jawa dan Sulawesi (PlantUse, 2017). Jenis ini biasanya
ditemukan tumbuh tersebar berasosiasi dengan dipterokarpa di hutan rawa, rawa
gambut mulai dari pesisir pantai hingga hutan sub-pegunungan (ketinggian > 900
m dpl) (Fern, 2019; Heriyanto & Subiandono, 2007; ITTO, 2012).
Geronggang dapat berupa perdu hingga pohon yang jika tempat
tumbuhnya sesuai tingginya dapat mencapai 50 m dengan diameter hingga 120
cm yang terkadang menggugurkan daun namun biasanya merupakan evergreen
(PlantUse, 2017; ITTO, 2012). Jenis ini diklasifikasikan sebagai ‘less concern’
dalam The IUCN Red List (Fern, 2019). Perbanyakan geronggang dapat
diilakukan melalui biji yang prosedurnya tidak terlalu rumit untuk dilakukan.
Batang geronggang lurus dan jarang berbanir dengan bebas cabang yang cukup
tinggi. Junaedi (Junaedi, 2018) melaporkan bahwa riap pertumbuhan tinggi dan
diameter geronggang adalah 1,18-2,89 m/tahun dan 0,96-2,08 cm/tahun.
Informasi yang lebih lengkap mengenai budidaya geronggang dapat disimak pada
bab sebelumnya mengenai informasi awal budidaya geronggang. Pada bagian ini
pembahasan akan lebih ditekankan kepada potensi pemanfaatan kayu dan serat
geronggang untuk berbagai produk akhir berdasarkan karakteristik kayu dan
seratnya.

B. Kualitas Kayu dan Serat Geronggang


Kualitas kayu diterjemahkan berbeda-beda tergantung sudut pandang
bidang masing-masing dari pelaku usaha perkayuan. Di bidang silvikultur, kayu
berkualitas adalah yang volume dan pertumbuhannya tinggi serta memiliki
bentuk yang baik (Bayne, 2015; Zhang, 2003); bagi pengguna kayu bulat, kualitas
kayu ditentukan oleh bebas cacat, kekuatan, kekakuan, stabilitas dimensi dan
keawetan (Bayne, 2015); sedangkan untuk pulp dan kertas, kualitas kayu akan
ditentukan oleh dimensi serat dan berat jenis (Zhang, 2003); kualitas kayu untuk
tujuan energi yang diinginkan adalah yang berat jenis dan nilai kalornya tinggi;
85
Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Potensial Bumi Lancang Kuning
dan seterusnya. Walaupun hampir semuanya berkonsensus bahwa kualitas kayu
didefinisikan dengan mempertimbangkan penggunaan akhir yang spesifik, secara
umum kualitas kayu dianggap tergantung pada berat jenis dan panjang serat
terlepas dari penggunaan akhirnya (Zhang, 2003).
Zhang (2003) sendiri mendefinisikan kualitas kayu sebagai semua
karakteristik kayu yang mempengaruhi nilai rantai pemulihan dan kemampuan
melayani dari produk akhir. Definisi yang paling sering disitir adalah yang
disampaikan oleh Mitchell (Mitchell, 1961): kualitas kayu merupakan hasil dari
karakteristik fisis dan kimiawi yang dimiliki oleh pohon atau bagian dari pohon
yang menyebabkannya dapat memenuhi sifat yang diperlukan dari suatu produk
akhir yang berbeda-beda. Sedangkan Savidge (Savidge, 2003) menyatakan
kualitas kayu sebagai ‘derajat ekselensinya’ yang dikaitkan dengan tujuan atau
rencana penggunaannya.
Jika mengacu pada konsensus umum definisi kayu, maka kayu dan serat
geronggang termasuk dalam kategori rendah hingga moderat karena memiliki
berat jenis yang sedang dan berserat pendek. Kualitas kayu geronggang pada
bagian ini akan dibahas lebih lanjut juga dari parameter karakterisitik kayu
lainnya yang dianalisis melalui kajian sifat dasarnya yang meliputi anatomi, sifat
fisis mekanis, dan kimia yang dikaitkan dengan persyaratan yang harus dipenuhi
untuk tujuan produk akhir (end-products) tertentu.
Pemanfaatan kayu dalam bentuk kayu solid menuntut kualitas mutlak
dari bahan kayunya. Sedangkan untuk turunan kayu seperti vinir, serpih, blok,
serat, hingga nano selulosa, walaupun kualitasnya mutlak jika berdiri sendiri
namun kualitas tersebut semestinya dapat ditingkatkan dengan suatu perlakuan
atau teknik tertentu atau mengasosiasikannya dengan bahan lain dalam
penggunaannya. Hal ini termasuk yang kita singung dalam pembahasan di bagian
ini untuk mengkaji peluang pemanfaatan kayu dan serat geronggang.

86
Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Poensial Bumi Lancang Kuning
Tabel 7.1. Rangkuman atribut kayu dan serat geronggang
Sifat yang
dipengaruhi Potensi Nilai atribut kayu
Atribut kayu Sumber
terkait end- penggunaan geronggang
product
Anatomi
Micro Fibril Kekakuan dan Konstruksi, n/a (Zhang, 2003)
Angle penyusutan; komposit
stabilitas
dimensi
Dimensi serat Kekuatan pulp Pulp,kertas, Panjang serat 1250 (Rinanda et al.,
komposit µm 2012)
Fisis mekanis
kerapatan/ Kekuatan 0,45 (CIRAD, 2012;
berat jenis produk, pulp ITTO, 2012;
yield Rinanda et al.,
2012)
Warna n/a Putih pink hingga (CIRAD, 2012;
coklat merah (color ITTO, 2012;
index 5 dengan 1-7 PlantUse, 2017)
= gelap-terang)
Tekstur Mempengaruhi Kekasaran sedang (CIRAD, 2012;
sifat permesinan ITTO, 2012;
PlantUse, 2017)
Grain Sifat Lurus, interlocked (CIRAD, 2012;
permesinan dan ITTO, 2012;
stabilitas PlantUse, 2017)
dimensi
Permeabilitas Mempengaruhi Konstruksi, Relative tinggi (CIRAD, 2012;
keterawetan, komposit PlantUse, 2017)
assembling,
impregnasi,
stabilitas
dimensi
Penyusutan Stabilitas Furniture, 2,2-2,6 (PlantUse,
radial, % dimensi papan, 2017)
konstruksi
Penyusutan Stabilitas Furniture, 4,2-4,7 (PlantUse,
tangensial, % dimensi papan, 2017)
konstruksi
Modulus of Kekuatan konstruksi 67,520.5 (Rinanda et al.,
elasticity (MOE), 2012)
kg/cm2
Modulus of Kekuatan konstruksi 600.6 (Rinanda et al.,
rupture (MOR), 2012)
kg/cm2
87
Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Potensial Bumi Lancang Kuning
Keteguhan tekan Kekuatan konstruksi 288.1 (Rinanda et al.,
// serat, kg/cm2 2012)
Keteguhan tekan Kekuatan konstruksi 96.8 (Rinanda et al.,
//serat, kg/cm2 2012)
Keteguhan geser Kekuatan konstruksi 83.2 (Rinanda et al.,
(R), kg/cm2 2012)
Keteguhan geser Kekuatan konstruksi 96.3 (Rinanda et al.,
(T), kg/cm2 2012)
Keteguhan pukul Kekuatan konstruksi 17.4 (Rinanda et al.,
(R), kg m/dm3 2012)
Keteguhan pukul Kekuatan konstruksi 16.8 (Rinanda et al.,
(T), kg m/dm3 2012)
Keteguhan belah Kekuatan konstruksi 21.9 (Rinanda et al.,
(R), kg/cm 2012)
Keteguhan belah Kekuatan konstruksi 27.4 (Rinanda et al.,
(T), kg/cm 2012)
Keteguhan Kekuatan konstruksi 20.9 (Rinanda et al.,
tarik//(R), 2012)
kg/cm2
Keteguhan Kekuatan konstruksi 32.8 (Rinanda et al.,
tarik//(T), kg/cm2 2012)
Keteguhan tarik Kekuatan konstruksi 507.0 (Rinanda et al.,
sejajar // (R), 2012)
kg/cm2
Keteguhan tarik Kekuatan konstruksi 592.9 (Rinanda et al.,
sejajar // (T), 2012)
kg/cm2
Kekerasan ujung, Kekuatan konstruksi 354.1 (Rinanda et al.,
kg/cm2 2012)
Kekerasan sisi, Kekuatan konstruksi 240.5 (Rinanda et al.,
kg/cm2 2012)
Kimia
Titik jenuh air Kekuatan, Furniture, 31 (CIRAD, 2012)
(%) keawetan, konstruksi
proses
pengerjaan
Kadar abu (%) Proses pulping Pulp, kertas, 0,64 (Rinanda et al.,
selulosa dan 2012)
turunan
Kadar silika (%) Proses pulping, Pulp, kertas, 0,21 (Rinanda et al.,
proses selulosa dan 2012)
permesinan turunan
kayu
Ekstraktif dalam Pulping dan Pulp, kertas, 1,65 (Rinanda et al.,
air dingin pengerjaan kayu selulosa dan 2012)
turunan

88
Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Poensial Bumi Lancang Kuning
Ekstraktif dalam Pulping dan Pulp, kertas, 5,77 (Rinanda et al.,
air panas pengerjaan kayu selulosa dan 2012)
turunan
Ekstraktif dalam Pulping dan Pulp, kertas, 1,87 (Rinanda et al.,
alkohol – pengerjaan kayu selulosa dan 2012)
benzene turunan
Ekstraktif dalam Pulping dan Pulp, kertas, 11,21 (Rinanda et al.,
NaOH 1% pengerjaan kayu selulosa dan 2012)
turunan
Kadar lignin (%) Pulping dan Pulp, kertas, 22,7 (Aprianis et al.,
rendemen pulp selulosa dan 2018)
turunan
Kadar pentosan Pulping dan Pulp, kertas, 14,98 (Rinanda et al.,
(%) rendemen pulp selulosa dan 2012)
turunan
Kadar selulosa Pulping dan Pulp, kertas, 51,87 (Rinanda et al.,
(%) rendemen pulp selulosa dan 2012)
turunan
Hemiselulosa Pulping dan Pulp, kertas, 30,32 (Aprianis et al.,
rendemen pulp selulosa dan 2018)
turunan
Nilai kalor Fire safety n/a 4,29 (Rinanda et al.,
(kal/gr) 2012)
Keawetan Serviceability Konstruksi, Non-durable (CIRAD, 2012;
papan, ITTO, 2012;
furniture PlantUse, 2017)
Keterawetan Serviceability Konstruksi, Mudah (CIRAD, 2012;
papan, PlantUse, 2017)
furniture

Pengeringan Stabilitas Konstruksi, Laju cepat, resiko (CIRAD, 2012;


dimensi, papan, cacat akibat PlantUse, 2017)
serviceability furniture pengeringan
rendah
Pengergajian dan Permesinan
Blunting effect n/a Kayu Normal (CIRAD, 2012)
gergajian
Rekomendasi n/a Kayu Biasa atau alloy
gigi gergaji gergajian baja
Rekomendasi n/a Kayu Biasa
alat potong gergajian
Pengupasan n/a Vinir, Baik namun vinir
plywood mudah sobek
Penyayatan n/a Vinir, Tidak
plywood direkomendasikan
Assembling

89
Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Potensial Bumi Lancang Kuning
Paku/sekrup n/a Komposit, mudah (CIRAD, 2012;
engineered ITTO, 2012)
wood
Adhesive n/a Komposit, UF baik, PF tidak (PlantUse,
engineered direkomendasikan 2017)
wood
Faktor kualitas n/a Alat musik 101,6 pada 2589 hz (CIRAD, 2012)
musical

B.1. Pulp dan kertas


Karakter kayu yang diutamakan dalam pertimbangan sebagai bahan baku
pulp dan kertas adalah sifat fisik (anatomi, dimensi serat) dan sifat kimia (Tabel
7.2, 7.3 dan 7.4). Faktor produktifitas pohon yang terkait dengan laju
pertumbuhan biasanya juga menjadi tambahan pertimbangan, biasanya
cenderung dipilih spesies cepat tumbuh yang produktifitasnya tinggi. Namun
berdasarkan berat jenis dan panjang seratnya, geronggang sangat sesuai sebagai
bahan baku pulp kraft (Tabel 7.3 dan 7.4) (Aprianis et al., 2018).
Tabel 7.2. Dimensi serat yang digunakan sebagai bahan baku pulp
Panjang (mm) Lebar (µm)
Softwood (trakeid) 1.4-6 20-50
Hardwood (fiber dan vessel) 0.2-1.6 10-300
Straw 0.5-1.5 8-15
Sugar cane bagasse 1.2-2 15-25
Cotton 25-65 18-30
Flax 10-36 12-20
Ramie 100-150 35-50
Sisal 2.5-3 18-25
Bamboo 2-3.5 12-18
Sumber: (Perez & Fauchon, 2003)

Geronggang termasuk dalam kelompok kayu daun lebar sehingga panjang


seratnya 1200-1300 µm (Rinanda et al., 2012) yang walaupun termasuk kelas II,
merupakan nilai yang wajar untuk kayu daun lebar. Berdasarkan total skor untuk
karakter serat dan turunannya, kayu geronggang berada dalam rentang kualitas
kelas I sebagai bahan baku pulp karena hasil total penilain karakter seratnya 475
(Tabel 7.3). Sedangkan dari berat jenis dan sifat kimianya kayu gerongang juga
diklasifikasikan sebagai kualitas tinggi (Tabel 7.4). Rendemen pulp geronggang
adalah 48,15% (Akbar et al., 2016) yang merupakan nilai yang wajar untuk kayu
daun lebar (Fengel & Wegener, 1995).

90
Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Poensial Bumi Lancang Kuning
Tabel 7.3. Kriteria kualitas serat kayu untuk bahan baku pulp dan kertas dan
kualitas serat geronggang

Sumber: (Rachman & Siagian, 1976; *Rinanda et al., 2012)


Tabel 7.4. Kriteria karakter kayu sebagai bahan baku pulp dan karakter kayu
geronggang
Kualitas pulp Karakter kayu geronggang*
Sifat kayu
Tinggi Sedang Rendah Nilai kualitas

Warna kayu Putih- Coklat- Hitam Coklat -merah Sedang**


kuning hitam
Kerapatan kayu < 0,501 0,501-0,600 > 0,600 0,445-0,515 tinggi
Holoselulosa (%) > 65 60-65 < 60 70,39-70,69 tinggi
Lignin (%) < 25 25-30 > 30 21,71-23,70 tinggi
Ekstraktif (%) <5 5-7 >7 4,74-4,89 tinggi

Sumber: (Aprianis et al., 2018; ITTO, 2012; Wardany, 2002)

Walaupun termasuk dalam kategori kelas I untuk kualitasnya sebagai


bahan baku pulp, peruntukan kertas yang dihasilkan dari serat geronggang ini
tetap menyesuaikan dengan panjang seratnya yang merupakan serat berukuran
sedang. Panjang serat mempengaruhi kekuatan mekanis lembaran yang
dihasilkan. Serat yang panjang akan menghasilkan kontak permukaan dan ikatan
antar serat yang lebih baik sehingga menghasilkan lembaran yang memiliki
kekuatan mekanis yang baik (Ververis et al., 2004). Kekuatan mekanis lembaran
juga diberikan oleh serat dengan Runkel ratio, felting power, rasio fleksibilitas
serta Muhlsteph ratio yang baik karena dapat meningkatkan kekuatan tarik dan

91
Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Potensial Bumi Lancang Kuning
sobek yang tinggi pada lembaran (Casey et al., 1980; Ververis et al., 2004). Serat
geronggang memiliki Runkle, Muhlsteph dan fleksibilitas yang sangat baik,
walaupun felting power atau daya tenunnya rendah, namun secara umum serat
geronggang akan menghasilkan lembaran dengan kekuatan mekanis yang cukup
baik dengan kekuatan sobek dan tarik yang tinggi. Lembaran dengan kekuatan
mekanis tinggi cocok sebagai bahan baku pembuatan kertas tulis, print dan
kemasan (Ververis et al., 2004).
B.2. Konstruksi
Penggunaan kayu sebagai material konstruksi suatu struktur memiliki
nilai lebih dari sisi estetika, lebih ramah lingkungan (Kuzman & Grošelj, 2012)
juga toleransi terhadap gempa apabila desainnya sesuai. Namun begitu sifat-sifat
alami kayu menyebabkan keterbatasan pemanfaatannya sebagai kayu konstruksi,
hanya kayu yang memiliki kekuatan tinggi dan awet yang bisa dipilih. Karena
itulah struktur bangunan yang dikonstruksi dari kayu solid bernilai luxurius yang
tinggi karena hanya menggunakan kayu berkualitas tinggi yang mahal. Biasanya
kayu dengan kekuatan yang tinggi tersebut memiliki sifat pertumbuhan yang
lambat sehingga ketersediaan kayu tersebut biasanya terbatas. Pemanfaatan
keteknikan kayu dapat dilakukan untuk meningkatkan kekuatan dan keawetan
jenis-jenis kayu yang kurang kuat dan awet sehingga memberikan alternatif
produk di pasaran.
Penggunaan kayu untuk peruntukan konstruksi tidak hanya dapat
ditutupi dari kayu solid namun juga dari produk komposit kayu dan engineered
wood. Tiang yang terbuat dari laminated timber dan laminated veneer lumber
(LVL) seringkali memiliki kekuatan yang jauh lebih tinggi dari kayu aslinya.
Walaupun begitu, pada bagian ini hanya dibahas mengenai karakter kayu
geronggang dalam penggunaannya sebagai kayu konstruksi secara konvensional
dalam bentuk kayu solid.
Kayu solid akan berkualitas tinggi jika memilliki bentuk yang lurus, bebas
cacat, kestabilan dimensi yang tinggi, awet, kuat dan kaku. Sifat fisis mekanis
merupakan karakter atribut kayu yang menentukan kualtasnya. Kayu
geronggang sudah dimanfaatkan sebagai kayu konstruksi ringan di Malaysia dan
di Indonesia tercatat di Riau (Lumy, 2019; PlantUse, 2017). Secara umum,
geronggang tidak memiliki sifat fisik dan mekanikal yang tinggi dan juga
termasuk dalam kelompok kayu tidak awet yang memerlukan perlakuan

92
Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Poensial Bumi Lancang Kuning
pengawetan untuk meningkatkan masa pakainya (Tabel 7.1) sehingga
pemanfaatannya untuk konstruksi hanya direkomendasikan untuk penggunaan
konstruksi ringan di dalam ruangan. Pemanfaatan kayu solid sebagai cerocok
tidak menuntut kekuatan yang tinggi dan masa pakai yang panjang karena
penggunaannya hanya bersifat sementara atau tidak lama, karena itulah
geronggang yang tidak memiliki kekuatan tinggi dan tidak awet dimanfaatkan
sebagai kayu cerocok di Riau.
Seperti yang disampaikan sebelumnya, kayu konstruksi eksterior
menuntut kekuatan dan keawetan yang tinggi dari kayu bahan bakunya agar
service yang diperoleh maksimal dan masa penggunaanya panjang. Dalam
meningkatkan nilai pemanfaatan kayu geronggang untuk tujuan konstruksi,
diperlukan aplikasi keteknikan kayu dan proses pengawetan. Namun belum
tersedia data mengenai performa peningkatan kualitas geronggang melalui wood
engineering sehingga masih diperlukan penelitian dan kajian terkait hal tersebut.
B.3. Komposit/wood engineering
Kayu komposit didefinisikan sebagai material yang merupakan campuran
dari kayu dan turunannya (serat, chip, blok, dan sebagainya) dengan material lain
yang digabung melalui suatu agen pengikat/penghubung tertentu. Barbu et al.
(Barbu et al., 2014) menyatakan bahwa kayu komposit dibuat dari bahan kayu
dan non kayu berlignoselulosa yang diikat/disatukan dengan perekat alami
ataupun sintetis. Sedangkan Stark et al. (Stark et al., 2010) menggunakan
terminologi komposit untuk semua material kayu yang digabung menggunakan
perekat.
Komposit kayu berkembang karena semakin sulitnya didapatkan kayu
berkualitas tinggi dengan ukuran yang diperlukan. Tujuan utama pengembangan
komposit kayu adalah untuk mengefisienkan penggunaan kayu (Barbu et al.,
2014) dan memperoleh produk dengan kekuatan dan derajat ekselensi yang
tinggi. Kayu komposit tidak dipengaruhi oleh karakter yang disebabkan oleh
pertumbuhan alami kayu sehingga kualitas alami kayu dapat dikesampingkan dan
kayu dengan kekuatan rendah dapat digunakan dalam fabrikasinya. Lebih lanjut,
seperti halnya kayu solid grade rendah, ekselensi kayu komposit bahkan dapat
lebih ditingkatkan dengan penambahan keawetan dan daya tahan bakarnya (fire
resistant).

93
Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Potensial Bumi Lancang Kuning
Komposit kayu dan produk keteknikan kayu (wood engineering)
memiliki kelebihan daripada kayu solid dalam hal: keseragaman yang tinggi,
karakter kinerja yang didefinisikan dengan baik, membutuhkan lebih sedikit
bahan kayu untuk mendapatkan karakter kekuatan yang sama, memiliki sumber
bahan baku yang sangat luas, dan dapat menggunakan kayu berkualitas rendah
(de la Roche et al., 2003) yang kekuatanya rendah secara alami maupun yang
disebabkan cacat. Di balik kelebihan produk komposit kayu, tidak semua produk
komposit memiliki karakter yang lebih baik dari kayu solid, beberapa produk
papan serat dan papan partikel tidak sesuai untuk penggunaan eksterior karena
daya adsorbsi airnya lebih tinggi sehingga mudah mengalami perubahan bentuk
(melengkung) atau mengembang, kadang dibutuhkan energi pemrosesan yang
besar, dan yang paling krusial adalah masalah emisi bahan beracun formaldehid
yang berasal dari perekat UF dan PF yang umum digunakan dalam produk
komposit kayu. Kekurangan ini dapat ditutupi dengan investasi penambahan
bahan lain untuk mengurangi daya adsorbsi air dan menggunakan perekat alami
atau perekat lain yang ramah lingkungan.
Komposit kayu menggunakan bahan dasar kayu dan turunannya dalam
berbagai bentuk dan ukuran, yaitu serat, partikel, serbuk kayu, serpih, vinir,
papan lamina dan kayu gergajian (Stark et al., 2010). Komposit kayu bahkan dapat
menggunakan limbah prosesing kayu atau limbah pertanian sebagai bahan
bakunya (Maloney, 1996). Dengan pengembangan komposit kayu maka
pemanfaatan kayu dapat lebih efisien menuju zero waste production. Klasifikasi
produk komposit kayu dapat dilihat pada Tabel 7.5.

Gambar 7.1. Beberapa contoh produk komposit kayu (Stark et al., 2010)
94
Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Poensial Bumi Lancang Kuning
Tabel 7.5. Klasifikasi produk komposit kayu
Sumber Kelompok produk Jenis produk
Maloney Produk panel Kayu lapis, blokboard, papan serat
(1996) (insulation dan hardboard), medium
density fiberboard (MDF), papan
partikel, waferboard, oriented strand
board (OSB), com-ply panel
Produk lumber dan timber Laminated veneer lumber (LVL), com-
ply lumber, parallel strand lumber
(parallam), oriented strand lumber
(OSL), railroad ties
Produk molding Panel automobile, door skins
Produk inorganic-bonded Wood-cement, wood gypsum
Stark et al. Produk berbasis vinir Kayu lapis, LVL, parallam (PSL),
(2010) Laminates Glue laminated timber, overlayed
materials, laminated wood-nonwood
komposit, multiwood komposit (com-
ply)
Material komposit Papan serat (low, medium, high
density), cellulosic fiberboard,
hardboard, papan partikel, waferboard,
flakeboard, OSB, laminated strand
lumber (LSL), OSL
Wood-nonwood komposit Wood fiber-polimer komposit,
Inorganic-bonded komposit
Produk komposit kayu dapat digunakan pada aplikasi non struktural dan
struktural baik untuk penggunaan interior maupun eksterior. Dalam hal ini,
komposit kayu harus memiliki sifat fisik mekanik yang baik. Geronggang dapat
dimanfaatkan menjadi produk komposit kayu untuk meningkatkan
penggunaannya hingga tujuan struktural eksterior yang sebelumnya tidak
memungkinkan dengan sifat alami kayunya. Kayu geronggang dapat dibuat vinir
dengan rotary peeling dan juga dengan metode slicing (ITTO, 2012) dan
selanjutnya dapat dikembangkan menjadi kayu lapis atau Laminated Veneer
Lumber (LVL). Kajian mengenai hal tersebut sejauh ini memang belum tersedia
untuk kayu geronggang dan perlu dilakukan, namun potensi pengembangan
geronggang sebagai produk komposit sangatlah besar. Potensi pengembangan
kayu geronggang untuk wood dan non-wood dan plastik komposit juga sangat
terbuka dikaji dan dikembangkan.

95
Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Potensial Bumi Lancang Kuning
B.4. Nanomaterial dan nanoteknologi
Berbicara tentang ukuran nano berarti berbicara tentang material
berukuran < 100 nanometer. Keterlibatan kayu geronggang dalam bahasan bisa
ditinjau dari dua sisi, sebagai bahan baku produk nano dan sebagai objek
peningkatan mutu dengan teknologi nano. Tentu saja prospek pengembangan
tersebut perlu dipertimbangkan dengan memperhatikan atribut dari kayu
geronggang sendiri. Kayu sebagai bahan berlignoselulosa dan interaksinya
dengan nanomaterial lain masih sangat terbuka luas untuk dikaji dan
dikembangkan (Anonymous, 2005).
Baik sebagai bahan baku produk nano (misalnya serat nanoselulosa dan
kristal nanoselulosa) maupun sebagai objek teknologi nano, karakter kayu
geronggang sangat memungkinkan untuk hal tersebut. Kayu geronggang
termasuk dalam kelas kayu tidak awet dengan kekuatan fisis mekanis yang
rendah (Tabel 7.1) sehingga perlu dilakukan peningkatan kualitas kayunya untuk
memperluas bidang pemanfaatannya. Kemudahan kayu geronggang untuk
diimpregnasi dengan suatu bahan (CIRAD, 2012; ITTO, 2012; PlantUse, 2017)
membuat hal ini dimungkinkan melalui aplikakasi teknologi nano. Kandungan
kimia kayu geronggang (Tabel 7.1 dan 7.4) juga membuka peluang bagi kayu ini
untuk dijadikan bahan baku produk nano karena memiliki kandungan selulosa
yang baik, kandungan lignin dan ekstaktif yang tolerable.
Kayu pada umumnya, termasuk geronggang, merupakan materi
biopolymer berlignoselulosa yang memiliki keunikan sifat dan karakteristik
sehingga merupakan area yang sangat potensial dalam hal nanoteknologi. Kayu
memiliki ketersedian yang melimpah di alam, renewable, memiliki struktur
nanofibril, memiliki potensi multifungsional dan dapat dikontrol dalam proses
assemblingnya (Anonymous, 2005; Beecher, 2007) Selulosa nanofibril memiliki
kekuatan yang tinggi dan juga fleksibilitas sehingga sangat berpotensi untuk
menghasilkan bahan yang kuat namun ringan dan awet (Anonymous, 2005).
Pada skala nano, sifat mekanis, elektris, optis, magnetis dan berbagai atribut
lainnya akan menunjukkan perilaku yang berbeda dari ukuran bulk-nya sehingga
dapat diperoleh bahan dengan kekuatan lebih tinggi, opasitas lebih besar, serta
kinerja elektris magnetis yang lebih baik (Anonymous, 2005).

96
Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Poensial Bumi Lancang Kuning
Lebih dari dua per tiga biomasa kayu dapat dirubah menjadi biofuel cair
dan monomer melalui fermentasi dan gasifikasi. Sisanya merupakan daerah dari
selulosa kristalin, yaitu polimer berbasis glukosa yang tersedia melimpah di alam.
Selulosa kristalin tersusun dari selulosa nanofibril yang berukuran kurang lebih
diameter 5-20 nm dan panjang 100-an nm, yang memerlukan teknologi tertentu
untuk dipecah dari bahan bulknya namun merupakan sumber potensial bagi
nanomaterial (Beecher, 2007). Sebuah matrik polimer yang melibatkan berbagai
tipe selulosa nanofibril – nanokristal, selulosa whiskers dan nanoselulosa dibuat
untuk menghasilkan komposit reinforced yang memiliki kekakuan 145 GPa dan
tensile strength 7,5 GPa. Nilai tersebut menyerupai nilai karbon nanotubes yang
saat ini digunakan untuk reinforcement pada berbagai material. Produksi
reinforcement dari nanomaterial kayu tentu saja akan lebih murah untuk
dilakukan jika dibandingkan karbon nanotubes (Beecher, 2007).
Beecher (2007) melaporkan bahwa penelitian di Amerika yang dimotori
oleh John Simonsen yang menggabungkan 10% selulosa nanofibril dalam poly-
(vinyl alcohol) dan matriknya ditautkan secara silang dengan poly-(acrylic acid)
menghasilkan bahan yang memiliki ekselensi tinggi. Bahan ini memiliki tensile
strength, keteguhan dan kestabilan thermal yang tinggi, serta karakter pelapisan
yang mendekati difusi molekul hidrofobik. Ini hanya salah satu contoh yang luar
biasa dari kajian produk nano dari kayu/selulosa.
Nanoteknologi juga dapat melibatkan kayu dan komposit kayu sebagai
objek dalam tujuan untuk meningkatkan proteksi terhadap kayu,
memperpanjang masa pakai dan meningkatkan kinerjanya. Taghiyari (2014)
menyampaikan berbagai peningkatan kualitas kayu dan kayu komposit dengan
nanoteknologi, diantaranya:
 metal nano-partikel untuk memperbaiki konduktifitas termal.
Impregnasi kayu dengan metal nanopartikel, perak dan tembaga,
meningkatkan konduktifitas termalnya, mempercepat transfer panas dari
permukaan ke bagian dalam sehingga mengurangi over-heated dan
penurunan sifat mekanis oleh panas.
 mineral dan metal nano-material untuk meningkatkan resistensi terhadap
serangan biologis dan api.

97
Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Potensial Bumi Lancang Kuning
Wollastonite nano-fiber dilaporkan dapat meningkatkan ketahanan kayu
poplar. NS, NC dan nao-zinc oxide juga meningkatkan resistensi kayu
terhadap serangan jamur pelapuk putih.
 nanoteknologi untuk mengurangi waktu produksi dari panel komposit kayu,
Mineral dan metal nano-material yang memiliki koefisien konduktifitas
panas yang baik dilaporkan dapat mengurangi waktu pengempaan dan juga
memperbaiki sifat mekanis papan partikel.
 nano-teknologi untuk meningkatkan water-resistant.
Nano-zycosil secara signifikan dapat mengurangi permeabilitas MDF
terhadap cairan dan gas, sehingga lebih memiliki kestabilan dimensi yang
baik.

Daftar Pustaka
Akbar, O. T., Aprianis, Y., & Novriyanti, E. (2016). Performance of geronggang
(Cratoxylon arborescens) at 4.5 years old as potential substitute for Acacia
crassicarpa in peat land. In H. Ohi, T. Ryohei, H. Liu, H. Zhang, Z. Lv, R. Daik,
… et al. (Eds.), Proceedings International Symposium on 2nd Resource
Efficiency in Pulp and Paper Technology (pp. 59–65). Bandung: Center for
Pulp and Paper.
Anonymous. (2005). Nanotechnology for the forest product industry. Wood and Fiber
Science, 37(4), 549–551.
Aprianis, Y., Akbar, O. T., & Rizqiani, K. D. (2018). Perbandingan sifat bahan baku dan
pulp kraft geronggang (Cratoxilum arborescen) alam dan tanaman. Jurnal Ilmu
Dan Teknologi Kayu Tropis, 16(2177–183).
Barbu, M. C., Reh, R., & Irle, M. (2014). Wood-based composites. In A. Aguilera & J. P.
Davim (Eds.), Research developments in wood engineering and technology
(pp. 1–45). https://doi.org/10.4018/978-1-4666-4554-7
Bayne, K. (2015). Wood quality considerations for radiata pine in international markets.
NZ Journal of Forestry, 59(4), 23–31.
Beecher, J. F. (2007). Organic materials: wood, trees, and nanotechnology. Nature, 2, 466–
467.
CIRAD. (2012). Tropix 7: Geronggang’s datasheet. Montpelleir: Tropical and
Mediterranean Forest Products Research Unit .
de la Roche, I. A., O’Connor, J., & Tetu, P. (2003). Wood products and sustainable
construction. Proceedings of the XII World Forestry Congress. Quebec.
Fengel, D., & Wegener, G. (1995). Kimia, ultrastruktur, reaksi-reaksi kayu. Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press.
Fern, K. (2019). Tropical plants database, Cratoxylum arborescens.

98
Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Poensial Bumi Lancang Kuning
Heriyanto, N. & Subiandono, H. (2007). Studi ekologi dan potensi geronggang
(Cratoxylon arborescens Bl.) di kelompok hutan Sungai Bepasir-Sungai
Siduung, Kabupaten Tanjung Redeb, Kalimantan Timur. Buletin Plasma
Nutfah, 13(2), 82–87.
ITTO. (2012). ITTO Lesser use species: geronggang. Yokohama.
Junaedi, A. (2018). Growth performance of three native tree species for pulpwood
plantation in drained peatland of Pelalawan District, Riau. Indonesian Journal
of Forestry Research, 5(2), 119–132.
Kuzman, M. K., & Grošelj, P. (2012). Wood as a construction material: Comparison of
Different construction types for residential Building using the analytic
hierarchy process. Wood Research, 57(4), 591–600.
Lumy, F. E. (2019, March). Hari Ini Gubri Syamsuar meninjau budidaya udang vaname
dan pohon geronggang di Pulau Bengkalis. GoRiau.
Maloney, T. M. (1996). The family of wood composite materials. Forest Product Journal,
46(2), 19–25.
Mitchell, H. L. (1961). A concept of intrinsic wood quality and nondestructive methods
for deermining quality in standing timber. Madison, Wisconsin.
MoEF. (2014). The fifth national report of Indonesia submitted to the Convention on
Biological Diversity (1st ed.; A. Suseno, V. S. Nalang, & L. Agustina, Eds.).
Jakarta: Deputy Minister of Environmental Degradation Control and Climate
Change Ministry of Environment and Forestry.
Perez, D. D. S., & Fauchon, T. (2003). Wood quality for pulp and paper. In J. R. Bartnett
& G. Jeronimidis (Eds.), Wood quality and its biological basis (pp. 157–186).
Boca Raton: Blackwell Publlishing.
PlantUse. (2017). Cratoxylum (PROSEA) -.
Rachman, A. N., & Siagian, R. M. (1976). Laporan LPHH No. 75: Dimensi serat jenis kayu
Indonesia Bagian III. Bogor.
Rinanda, R., Suhartati, Rahmayanti, S., Winarsih, A., Sutrisno, E., & Putra, A. (2012).
Laporan Hasil Penelitian: Sifat dasar dan kegunaan kayu jabon (Anthocephalus
cadamba Miq.) dan gerunggang (Cratoxylon arborescens BI.). Kuok, Riau.
Savidge, R. A. (2003). Tree growth and wood quality. In J. R. Bartnett & G. Jeronimidis
(Eds.), Wood quality and its biological basis (pp. 1–26). Boca Raton: Blackwell
Publlishing.
Stark, N. M., Cai, Z., & Carli, C. (2010). Wood-based composite materials panel products,
glued-laminated timber, structural composite lumber, and wood–nonwood
composite materials. In R. J. Ross (Ed.), Wood Handbook, wood as engineering
material (Centennial, pp. 11.2-11.26). Madison, Wisconsin: Forest Product
Laboratory, USDA.
Syamsuar. (2018). Geronggang, alternatif masa depan ekonomi Riau.

99
Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Potensial Bumi Lancang Kuning
Taghiyari, H. R. (2014). Nanotechnology in wood and wood-composite materials. Journal
of Nanomaterials & Nanotechnology, 3(1), 1–2.
https://doi.org/:http://dx.doi.org/10.4172/2324-8777.1000e106
Ververis, C., Georghiou, K., Christodoulakis, N., Santas, P., & Santas, R. (2004). Fiber
dimensions, lignin and cellulose content of various plant materials and their
suitability for paper production. Industrial Crops and Products, 19, 245–254.
https://doi.org/10.1016/j.indcrop.2003.10.006
Wardany, H. . (2002). Analisis sifat kimia dan sifat anatomi kayu mangium (Acacia
mangium Wild) pada berbagai provenansi. Institut Pertanian Bogor.
Zhang, S. Y. (2003). Wood quality attributes and their impacts on wood utilization.
Proceedings of the XII World Forestry Congress. Quebec.

100
Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Poensial Bumi Lancang Kuning
VIII.
PENGOLAHAN PULP DAN KERTAS
KAYU GERONGGANG
(Yeni Aprianis & Eka Novriyanti)
(Ahmad

Pulp merupakan bahan berserat yang dihasilkan dari pengolahan bahan


berselulosa menjadi komponen-komponennya, baik secara mekanis, kimia atau
kombinasi dari keduanya (kimia dan mekanis/semikimia) dan merupakan bahan
baku pembuatan lembaran pulp, kertas dan papan serat, rayon serta produk
turunan sintesis lainnya (Marsoem, 2012). Salah satu contoh bahan berselulosa
adalah tanamam berkayu baik yang berupa perdu maupun pohon besar. Namun
seperti halnya bahan alam lainnya, bahan berlignoselulosa dari tanaman berkayu
ini memiliki keragaman karakterisitik yang sangat tinggi yang sangat
mempengaruhi pengerjaannya dalam menghasilkan produk serat alam.
Kertas terdiri dari jalinan serat selulosa berasal dari tumbuhan yang
memiliki dimensi panjang, lebar dan tebal dinding sel yang bervariasi tergantung
jenis, posisi dan genetis pohon serta tempat tumbuhnya. Pembuatan kertas
merupakan proses penyusunan kembali serat kedalam bentuk lembaran. Selama
proses pengeluaran air dari jaringan serat maka akan terjadi pembentukan jalinan
antar serat yang lebih rapat dan terjadi perubahan bentuk serat menjadi pipih
(Haroen, 2016). Sejarah peradaban atau revolusi tulis menulis dapat di lihat pada
Tabel 8.1. Kertas dapat dimanfaatkan untuk berbagai tujuan yang begitu banyak,
seperti penulisan, pencetakan, pembungkus, pakaian, industri, sanitasi dan
kesehatan.
Pada Tabel 8.1 terlihat bahwa pengolahan pulp untuk dijadikan kertas
diawali dengan proses pulping secara mekanis, soda, sulfit dan sulfat. Selain
proses tersebut, pengolahan pulp secara biologi (menggunakan jamur dan enzim)
juga dapat dilakukan meskipun saat ini masih dalam skala pilot atau penelitian.
Pengolahan pulp secara biologi biasanya dikombinasikan dengan proses mekanis
ataupun semi-mekanis dengan harapan nantinya dapat mengurangi energi dalam
penguraian serat, mengurangi penggunaan bahan kimia, dan tentu saja ada
pertimbangan nilai lingkungan karena proses ini lebih ramah lingkungan.

101
Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Potensial Bumi Lancang Kuning
Pengolahan pulp secara bio-semi mekanis telah diteliti untuk jenis kayu yang
lebih ringan dibandingkan dengan kayu geronggang, yaitu pada jenis kayu
terentang (Camnosperma auriculta Blume Hook.F). Inkubasi kayu terentang
dengan jamur Phanerochaete chrysosporium dapat menghemat energi refening
sekitar 22,7% (Aprianis et al., 2016). Pengolahan pulp biologi ini mengharuskan
kondisi yang steril, memerlukan waktu yang lebih lama dan tempat inkubasi yang
luas. Batasan-batasan tersebut menyebabkan proses biologi ini belum dapat
digunakan secara luas.

A. Pengolahan Pulp
Seperti yang sudah disampaikan sebelumnya, pulp dapat diperoleh
melalui berbagai proses tergantung pada peruntukkannya. Pada bagian ini akan
disampaikan mengenai pengolahan pulp dari kayu geronggang secara semi
mekanis dan kraft.
A.1. Pengolahan pulp semi mekanis
Pengolahan pulp semi mekanis sudah mulai diterapkan semenjak tahun
1970-an. Walaupun saat ini pengolahan pulp kayu lebih banyak dilakukan secara
kimia karena memprioritaskan kekuatan atau sifat fisik pulp, namun pembuatan
pulp melalui proses mekanis/semi mekanis masih dilakukan dan terus mengalami
perkembangan teknologi. Pulp mekanis/semi mekanis merupakan bahan untuk
pembuatan kertas koran, majalah, kalender dan kertas gelombang yang
kebutuhannya mencapai 20-25% dari total kebutuhan pulp dunia (Yang et al.,
2008). Beberapa jenis proses pembuatan pulp mekanis dan semi mekanis yaitu:
RMP (Refiner Mechanical Pulping), TMP (Thermo mechanical Pulping) dan
CTMP (Chemo thermo mechanical Pulping) (Cameron, 2004).
Proses semi mekanis merupakan kombinasi pengolahan pulp melalui aksi
kimia dan mekanis. Tujuan utama dari proses mekanis adalah menguraikan serat
(refining) dengan memisahkan serat dari matrik kayu sebagai bahan kertas
dengan mempertahankan rendemen yang tinggi. Idealnya proses mekanis dapat
menghasilkan kondisi sebagai berikut: serat terpisahkan dari matrik kayu,
panjang serat dipertahankan, kumpulan serat harus diikuti dengan pengupasan
lapisan terluar lamela tengah, lapisan dinding primer, dan terakhir penguraian
permukaan dinding sekunder (Ilikainen, 2008).

102
Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Poensial Bumi Lancang Kuning
Tabel 8.1. Revolusi kertas
No Tahun Penemu /bangsa Keterangan
1 Tidak Bangsa sumeria Informasi ditulis di batu, kayu, bambu, kulit,
diketahui daun lontar dan tulang binatang
Menggunakan papirus sebagai media tulis pada
Tidak Peradaban mesir
2 zaman Firaun, kemudian menyebar ke Timur
diketahui kuno
Tengah, Romawi dan Eropa
3 101 M Tsai Lun (Cina) Membuat kertas dari bambu
Masa Abbasiyah Didirikan industri kertas di Baghdad, Samarkand
4 751 M
(Arab) dan kota industri lainnya
Abad ke- Gutenberg
5 Menemukan mesin cetak kertas
12 (Eropa)
Nicholas Louis
Menemukan screen wire yang digunakan untuk
6 1799 Robert
pembuatan kertas
(Perancis)
Membuat kertas lebih tipis menggunakan
7 1809 John Dickinson
fourdrinier
Friedrich gottlob Menemukan proses mekanis untuk pembuatan
8 1814
keller pulp dari kayu
Ditemukan steam cylinder untuk pengeringan
9 1826 Tidak diketahui
pembuatan kertas
Mengoptimalkan penggunaan fourdinier
10 1827 Amerika serikat sehingga kertas dari kain bekas menjadi
berkurang
Charles watt dan
11 1853-1854 Menemukan proses kimia soda
Hugh Burgess
Benjamin Chew
12 1857 Tilghman Menemukan proses sulfit
(Amerika)
Menemukan proses kraft yang berkembang &
13 1884 Carl Dahl merupakan proses yang paling banyak
digunakan saat ini.
Sumber : disimpulkan dari buku (Haroen, 2016)

Pada proses refining, serat terpisahkan pada bagian dinding primer-


sekunder melalui aksi mekanis. Pulp hasil proses mekanis permukaan seratnya
masih dibungkus oleh lamela tengah yang kaku, sehingga konsentrasi lignin di
permukaan masih tinggi dan mengakibatkan rendahnya kekuatan pulp yang
dihasilkan. Tipe pemutusan serat pada proses pulp mekanis dan semi mekanis

103
Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Potensial Bumi Lancang Kuning
diilustrasikan secara sistematik oleh Franzen (Johansson et al., 2011) pada
Gambar 8.1.
garis perkiraan pemisahan
serat

Gambar 8.1. Tipe pemisahan serat (Sumber: Johansson et al., 2011)

Salah satu faktor yang penting pada proses pulping semi mekanis adalah
konsentrasi bahan kimia pemasak. Menurut Bierman (1996) variabel pada proses
pulp semi mekanis diantaranya adalah: jenis kayu, pola pisau refiner (disk dan
conical refiner), jarak antara plat refiner (0,005-0,1 inci), kecepatan refiner (800-
2000 rpm), suhu pemasakan (110-130 oC), dan jenis bahan kimia yang digunakan
(NaOH atau Na2SO3).
Pengolahan pulp semi mekanis kayu geronggang dilakukan dengan
menggunakan NaOH pada konsentrasi 6, 8 dan 10%, sedangkan variasi diameter
kayu geronggang yang digunakan adalah 10, 15 dan 20 cm. Rendemen pulp putih
yang diperoleh disampaikan pada Tabel 8.2. Rendemen terendah 73,76%
dihasilkan oleh geronggang berdiameter 15 cm dan perlakuan kondisi 10%,
sedangkan yang tertinggi sebesar 81,99% dari kayu geronggang berdiameter 10
cm dan perlakuan 6%. Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa diameter
dan konsentrasi NaOH serta interaksi keduanya berpengaruh sangat nyata
terhadap rendemen pulp putih (Aprianis & Sugesty, 2013).
Pada Tabel 8.2 terlihat bahwa semakin tinggi konsentrasi NaOH maka
rendemen yang dihasilkan semakin sedikit, artinya NaOH yang terlalu tinggi
akan ikut mendegradasi lapisan dinding sel kayu berupa selulosa dan
hemiselulosa. Perbedaan diameter kayu menyebabkan fluktuasi rendemen yang
dihasilkan, namun dari hasil penelitian ini terlihat kecenderungan bahwa
104
Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Poensial Bumi Lancang Kuning
semakin besar diameter maka semakin kecil rendemennya. Meski begitu, perlu
dilakukan kajian dengan menggunakan sampel yang jauh lebih banyak untuk
menghasilkan suatu pernyataan yang ideal terkait faktor diameter ini. Rendemen
pulp putih kayu geronggang melalui proses ini rata-rata sebesar 77,86%.
Tabel 8.2. Pengaruh diameter setinggi dada (dbh) dan konsentrasi NaOH
terhadap rendemen pulp putih
Konsentrasi dbh (cm)
NaOH 10 15 20
6% 81.99i 77.54e 80.69h
8% 77.67f 77.37d 78.12g
10% 77.02c 73.76a 76.6b
Keterangan: Angka-angka pada masing-masing kolom diikuti dengan huruf kecil yang
sama dan baris yang diikuti dengan huruf kecil kedua yang sama tidak berbeda nyata
dengan uji Tukey
Sumber : (Aprianis & Sugesty, 2013)
A.2. Pengolahan pulp secara kimia (kraft)
Pengolahan pulp secara kimia lebih banyak dilakukan oleh industri. Dua
proses kimia yang dominan digunakan adalah proses sulfit dan proses kraft.
Kedua proses tersebut sama-sama menggunakan tabung pemasak bertekanan atau
digester, namun proses sulfit yang ditemukan lebih dulu menggunakan berbagai
garam dari asam sulfur (SO3-2 atau HSO3-) untuk mengekstrak lignin dalam
menghasilkan selulosa. Kata kraft diambil dari bahasa jerman yang berarti kuat.
Ada juga yang mengistilahkan proses kimia ini sebagai proses alkali dan proses
sulfat, padahal larutan yang digunakan tidak menggunakan sulfat namun
menggunakan natrium hidroksida (NaOH) dan natrium sulfida (Na2S). Proses
sulfat memiliki keunggulan dibandingkan dengan proses sulfit, yaitu (Marsoem,
2012):
 dapat menggunakan segala macam jenis kayu, sehingga pasokan
kayunya memiliki fleksibilitas yang tinggi (termasuk kayu residu)
 memiliki toleransi terhadap serpih yang mengandung kulit cukup
banyak
 waktu pemasakannya singkat
 tidak ada masalah peresinan
 pulp yang dihasilkan memiliki kekuatan tinggi
 dari beberapa jenis kayu dapat dihasilkan produk berharga dalam
bentuk tall oil dan terpentin
 pemulihan (recovery) bahan kimia yang digunakan relatif murah
105
Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Potensial Bumi Lancang Kuning
Dengan berbagai keunggulannya, namun untuk membangun pabrik
untuk proses kraft diperlukan investasi modal yang tinggi. Kelemahan lainnya
adanya masalah bau yang ditimbulkan oleh limbah gasnya, warna yang jelek dari
pulp yang tidak diputihkan, biaya pemutihan yang tinggi, kesulitan dalam
penghalusan kembali (refenning) dengan alkali untuk menghasilkan pulp
larut/encer dan kualitas penggilingan pulp yang lamban (Marsoem, 2012).
Kayu geronggang juga telah dipelajari pembuatan pulpnya melalui proses
kraft. Dalam kajian tersebut digunakan kayu geronggang yang tumbuh alami dan
geronggang tanaman berumur 4,5 tahun. Sifat pengolahan pulp geronggang yang
dihasilkan melalui proses kraft tersebut dapat dilihat pada Tabel 8.3.
Tabel 8.3. Sifat pulp kraft geronggang dan hasil analisis uji-T serta konsumsi
kayu
Geronggang
Sifat pulp kraft t Probabilitas
alam umur 4,5 tahun
Rendemen, % 46,75±0,92 48,15±0,83 -1,604 0,250
Bilangan kappa 20,05±0,30 16,09±2,17 2,558 0,125
Lignin pulp, % 7,21±0,26 4,28±0,10 14,788 0,005*
Konsumsi kayu, m3t-1 4,55 4,83 - -
Keterangan: * berbeda nyata pada taraf uji 95%
- = data tidak tersedia
Sumber : (Aprianis et al., 2018)

Pengolahan pulp geronggang secara kraft menghasilkan rendemen


berkisar 46,75-48,15% dengan reject yang hampir tidak ada. Rendemen pulp
geronggang tanaman lebih tinggi dibandingkan dengan geronggang alam,
walaupun secara statistik nilainya tidak berbeda nyata. Nilai rendemen ini masuk
dalam rentang rendemen pada proses pulp alkali (kraft) dari bahan berkayu, yaitu
berkisar 45-50% (Fengel & Wegener, 1995).
Geronggang dapat tumbuh dengan baik di lahan gambut sehingga
merupakan substitusi yang potensial untuk Acacia crassicarpa yang saat ini
merupakan primadona HTI pulp di lahan gambut. Dari kajian proses kraft untuk
geronggang, rendemen yang dihasilkan memang masih lebih rendah
dibandingkan rendemen pulp A. crassicarpa. Suhartati et al. (2014) menyebutkan
bahwa rendemen pulp A. crassicarpa umur lima tahun sebesar 50,46% sedangkan
rendemen pulp geronggang 48,15%. Perbedaan nilai rendemen ini disebabkan
perbedaan berat jenis, kayu yang memiliki berat jenis tinggi menghasilkan

106
Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Poensial Bumi Lancang Kuning
rendemen pulp yang tinggi juga (Casey, 1980). Pada penelitian ini berat jenis
geronggang alam dan tanaman masing-masing 0,47 dan 0,43, sedangkan berat
jenis A. crassicarpa 0,49 (Suhartati et al., 2014) sehingga rendemen pulp yang
dihasilkan A. crassicarpa lebih tinggi. Konsumsi kayu geronggang alam dan
tanaman untuk memproduksi satu ton pulp berturut-turut adalah 4,55 dan 4,83
m3ton-1, sedangkan A. crassicarpa hasil pemuliaan sebesar 4 m3ton-1. Geronggang
tanaman membutuhkan bahan baku yang lebih banyak dibandingkan dengan
geronggang alam untuk menghasilkan satu ton pulp. Konsumsi kayu geronggang
memang masih di bawah konsumsi kayu krasikarpa, namun perlu diperhatikan
bahwa tanaman krasikarpa di sini telah melewati proses pemulian sehingga tidak
menutup kemungkinan geronggang akan menyamai bahkan melebihi
keunggulan krasikarpa jika dilakukan pemuliaan pada tanaman ini.
Bilangan kappa pulp geronggang yang dihasilkan berkisar 16,09-20,05
(Tabel 8.3). Bilangan kappa menunjukkan residual lignin yang masih terdapat di
dalam pulp setelah proses pulping. Bilangan kappa yang terlalu rendah berakibat
pada terjadinya disolusi karbohidrat pada saat proses pulping yang akhirnya
berefek pada berkurangnya rendemen pulp. Namun bilangan kappa yang tinggi
menyebabkan konsumsi bahan kimia yang tinggi pula saat pemutihan sehingga
meningkatkan biaya produksi (Correia et al. 2018; Segura et al., 2016). Namun,
dewasa ini industri cenderung lebih mementingkan aspek rendemen sehingga
terjadi kecenderungan untuk menghasilkan pulp dengan bilangan kappa yang
tinggi (Correia et al., 2018) sehingga diperoleh rendemen pulp yang tinggi dan
peningkatan kapasitas pemulihan bahan kimia tanpa mempengaruhi kualitas
pulp (Patrick, 2005).

B. Sifat Fisik Pulp


Pada bagian ini dibahas mengenai sifat fisik pulp yang diolah secara
mekanis yang dibandingkan dengan pulp dari jenis kayu lain menggunakan
proses pengolahan pulp yang sama. Sifat fisik pulp geronggang yang diolah secara
mekanis disampaikan pada Tabel 8.4.
Bila dibandingkan sifat fisik pulp geronggang dengan mangium dan
kertas koran terlihat bahwa pulp mekanis geronggang memiliki kriteria sebagai
bahan pembuat kertas koran (Tabel 8.4). Komposisi kertas koran sebagian besar
terdiri dari pulp mekanis dan juga campuran pulp kimia untuk memberi kekuatan
pada lembaran kertas dan tidak mudah putus. Proses kombinasi kimia-mekanis
107
Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Potensial Bumi Lancang Kuning
dapat secara langsung menghasilkan pulp dengan karakter yang serupa dengan
komposisi campuran untuk kertas koran. Menurut Roliadi et al. (2010),
penggunaan bahan kimia diatas 8% termasuk kedalam pengolahan kimia
mekanis.
Tabel 8.4. Sifat fisik pulp geronggang yang diolah secara mekanis
Mangium Kertas koran Eucalyptus
Parameter Satuan Geronggang 1) 2) 3)

Brightness % ISO 53,17 48,98 min. 55 63


Indeks Tarik N.m/g 33,22 19,68 min. 23,46 -
Indeks retak k.Pa.m/g 11,9 - - 1,7
Indeks sobek Nm2/kg 3,85 4,17 min. 3,56 3,4
Ketahanan -
lipat - 10,07 - -
Opasitas % - 91,46 min. 89 93
Hendrik, M.T (1998) 1); SNI 14-0091-19872); Kokta, et al., 19933); Aprianis & Sugesty,
2013

Jika dilihat dari sisi rendemen geronggang mempunyai peluang besar bila
dibandingkan dengan mangium (Tabel 8.4). Nilai indeks tarik dan sobek pulp
geronggang juga lebih baik daripada mangium. Sedangkan ekaliptus yang diolah
secara semikimia menggunakan larutan pemasak NaOH dan Na2SO3 memberikan
hasil rendemen, brightness dan opasitas yang lebih tinggi bila dibandingkan
dengan geronggang dan mangium. Untuk pemakaian sebagai kertas koran, maka
pulp geronggang masih memerlukan perbaikan dalam hal gramatur yaitu berat
perluas lembaran pulp, brightness dan penentuan opasitas cetak.

C. Pohon Industri Pulp dan Kertas


Sekilas proses pembuatan pulp dan kertas dapat dilihat pada Gambar 8.2.
Bahan baku berupa kayu bulat yang diperoleh dari hutan tanaman dan limbah
pertanian dibuat menjadi serpih yang kemudian dimasak menjadi pulp. Jika pulp
yang dihasilkan merupakan serat pendek maka kemudian dibuat menjadi
lembaran kertas dengan berbagai macam jenis peruntukan seperti kertas budaya,
kertas industri, kertas tisu dan kertas percetakan. Sedangkan pulp yang berasal
dari serat panjang yang biasanya digunakan untuk kertas kemasan kantong semen
masih diimpor dari luar negeri. Pulp yang diperuntukkan untuk rayon yang
berasal dari serat panjang masih dalam bentuk pilot project, sedangkan yang
berasal dari serat pendek sudah dilakukan oleh PT. RAPP sejak dua tahun

108
Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Poensial Bumi Lancang Kuning
terakhir ini dimana bahan bakunya diperoleh dari akasia. Bila dilihat dari sifat
bahan bakunya, geronggang juga berpotensi sebagai bahan baku pulp rayon dari
serat pendek.

Gambar 8.2. Pohon industri pulp dan kertas (Kementrian Perindustrian, 2018)

Daftar Pustaka
Aprianis, Y., Akbar, O. T., & Rizqiani, K. D. (2018). Perbandingan sifat bahan baku dan
pulp kraft geronggang (Cratoxilum arborescen) alam dan tanaman. Jurnal Ilmu
Dan Teknologi Kayu Tropis, 16(2177–183).
Aprianis, Y., Irawati, D., & Marsoem, S. . (2016). Penggunaan Phanerochaete auriculata
pada pengolahan pulp bio-semi-mekanis kayu terentang (Camnosperma
auriculata Hook.f). Jurnal Penelitian Hasil Hutan, 34(3), 231–239.
Aprianis, Y., & Sugesty, S. (2013). Sifat pulp semimekanis kayu geronggang (Cratoxylum
arborescen). In Prosiding Seminar Teknologi Pulp dan Kertas 2013. Bandung.
Bierman, C. . (1996). handbook of pulping and papermaking (Second Edi). California:
Academic Press.
Cameron, J. (2004). Mechanical pulping. USA: Elsevier.
Casey, J. P. (1980). Pulp and paper chemistry and chemical technology (Volume II). New
York: Interscience Publishing Inc.
Correia, F. M., Hallak D’angelo, J. V., Almeida, G. M., & Mingoti, S. A. (2018). Predicting
kappa number in a kraft pulp continuous digester: a comparison of forecasting
methods. Brazilian Journal of Chemical Engineering, 35(03), 1081–1094.
https://doi.org/10.1590/0104-6632.20180353s20160678
Fengel, D., & Wegener, G. (1995). Kimia, ultrastruktur, reaksi-reaksi kayu. Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press.

109
Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Potensial Bumi Lancang Kuning
Haroen, W. K. (2016). Teknologi serat bahan baku pulp kertas. Bandung: CV. Agung
Ilmu.
Ilikainen, M. (2008). Mechanism of thermo-mechanical pulp refining. University of
Oulu.
Johansson, L., Hill, J., Gorski, D., & Axelson, P. (2011). Improvement of energy efficiency
in TMP refining by selective wood disintegration and targeted application of
chemical. Nordic Pulp and Paper Research Journal, 26(1), 31–46.
Kementrian Perindustrian. (2018). Perkembangan regulasi terbaru mengenai industri
pulp dan kertas termasuk sertifikasi dan pemasaran hasil hutan serta potensi
bisnis hasil hutan lestari. Jakarta.
Marsoem, S. (2012). Pulp dan kertas, bahan kuliah mahasiswa Jurusan Teknologi Hasil
Hutan. Yogyakarta: Fakultas Kehutanan, Universitas Gadjah Mada.
Patrick, K. (2005, March). Mills boost production, cut fiber cost by cooking to optimum
kappa levels. Paper Age. Cohasset.
Roliadi, H., Dulsalam, & Anggraini, D. (2010). Penentuan daur teknis optimal dan faktor
eksploitasi kayu hutan tanaman jenis eucalyptus hibrid sebagai bahan baku
pulp. Jurnal Penelitian Hutan, 28(4), 332357.
Segura, T. E. S., dos Santos, J. R. S., Sarto, C., & da Silva Jr, F. G. (2016). Kappa number
&amp; pulping. BioResources, 11(4), 9842–9855. Retrieved from
https://bioresources.cnr.ncsu.edu/wp-
content/uploads/2016/10/BioRes_11_4_9842_Segure_SSg_Effect_Kappa_No_
Variation_Mod_Pulping_Eucalyptus_10052.pdf
Suhartati, Rochmayanto, Y., & Daeng, Y. (2014). Dampak penurunan daur tanaman HTI
acacia terhadap kelestarian produksi, ekologis dan sosial. Info Teknis Eboni,
11(2), 103–116.

110
Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Poensial Bumi Lancang Kuning
IX.
KONSEP PIKIR:
Peluang Kayu Geronggang
Sebagai Material Maju Berbasis Nanoteknologi
(Eko Sutrisno)
(Ahmad

A. Tinjauan Historis
Material maju saat ini telah menjadi sebuah arah baru dalam ilmu
rekayasa material yang diantaranya memproduksi dan menghasilkan material
berukuran nanometer. Penggunaan material dengan ukuran nanometer memiliki
keuntungan yang signifikan jika diaplikasikan pada produk-produk berbasis
komposit. Ukuran nanometer akan meningkakan luas permukaan sehingga
memperlebar area yang akan bersentuhan. Disisi lain, ukuran nano akan lebih
efektif menjangkau bagian terdalam sebuah produk dan meminimalisir
penggunaannya secara kuantitas. Salah satu material berukuran nanometer
berbasis alam berasal dari lignoselulosa. Pemanfaatan lignoselulosa dilakukan
dengan pertimbangan lignoselulosa bersifat terbarukan, tersedia dalam jumlah
besar, tersedia sepanjang tahun, mudah diisolasi dan diekstraksi serta bersifat
biodegradable. Tanaman sendiri yang merupakan sumber lignoselulosa
merupakan material alami yang terdiri dari berbagai komponen seperti selulosa,
hemiselulosa, lignin dan zat ekstraktif.
Selulosa sebagai komponen utama kayu merupakan polimer alami yang
terdiri unsur C, H dan O yang berikatan pada atom C1 ke atom C4 pada molekul
ß-D-glucopyranose sehingga membentuk rantai linear. Ikatan hidrogen yang
terdapat pada rantai polimer sakarida pada selulosa akan membentuk mikrofibril.
Selanjutnya ikatan antara mikrofibril akan membentuk jaringan kayu dan begitu
seterusnya sehingga membentuk kayu yang kasat mata. Konsep asosiasi polimer
ini dikenal dengan konsep “building block system” yang mana penyatuan antar
unit-unit terkecil menjadi sebuah sistem yang komplek (Schacht et al., 2008).
Kompleksitas terbentuknya jaringan kayu diilustrasikan pada Gambar 9.1.

111
Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Potensial Bumi Lancang Kuning
Gambar 9.1. Building block system selulosa pada tanaman

Secara umum selulosa ditemukan pada dinding sel tanaman terlepas itu
pada dinding sel primer atau dinding sel sekunder (Gambar 9.2), sehingga proses
pemanenan selulosa dilakukan dengan memisahkannya dari komponen
penyusun kayu lainnya. Fabrikasi material nano berbasis selulosa pada prinsipnya
dilakukan dengan cara pemurnian dan pemisahan selulosa dari komponen
penyusun kayu lainnya tersebut (Kargarzadeh et al., 2017). Dengan keragaman
hayati yang dimiliki oleh Indonesia, beragam spesies tanaman sebagai sumber
selulosa tersedia untuk dipilih. Pemilihan jenis kayu sebagai sumber selulosa
bergantung pada perbandingan antara kandungan selulosa dan non-selulosa.
Dengan demikian, kandungan selulosa diharapkan mendominasi dibandingkan
dengan komponen penyusun jaringan kayu lainnya (Logothetidis, 2011).

Gambar 9.2. Susunan komponen penyusun dinding sel tanaman (Wertz, Bedue,
& Mercier, 2010)
112
Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Poensial Bumi Lancang Kuning
Karakter yang menjadi pertimbangan selanjutnya adalah sifat
pertumbuhan, apakah cepat tumbuh ( fast growing) atau tidak. Karakteristik
pertumbuhan ini akan berkaitan dengan produktifitas suatu jenis kayu pada saat
panen. Junaedi (2018) menyampaikan bahwa geronggang merupakan salah satu
jenis cepat tumbuh dan pada umur 5,5 tahun memiliki riap pertumbuhan
diameter 2,08 cm/tahun, pertumbuhan tinggi 1,96 m/tahun dan menghasilkan
13,1 m³/ha/tahun. Ditambahkan oleh Aprianis et al. (2018), kayu geronggang
yang dikembangkan dengan input silvikultur dalam bentuk demplot tanaman
memiliki kesamaan karakteristik dengan kayu geronggang yang tumbuh secara
alami. Kayu geronggang mengandung selulosa 41% dan memiliki panjang serat
1.134 μm dan diameter serat 25,60 μm.
Tantangan dalam fabrikasi nanomaterial berbahan baku gerunggang,
seperti halnya jenis kayu lainnya, adalah ketika kandungan komponen non-
selulosa menyamai kandungan selulosa di dalam kayu. Meskipun relatif memiliki
kandungan selulosa yang tinggi, namun geronggang juga memiliki kandungan zat
ekstraktif yang tinggi (4,7 – 4,9%) termasuk adanya pembuluh getah (Aprianis et
al., 2018). Dengan komposisi kimia kayu gerunggang seperti itu dan adanya
pembuluh getah tersebut perlu menjadi catatan pada saat fabrikasi. Komponen
non-selulosa tersebut membuat fabrikasi khususnya pada saat pre-treatment
harus dilakukan secara berulang kali untuk menghilangkannya (Wang et al.,
2018) Pengulangan tersebut bertujuan untuk memastikan fase pemurnian dan
pemutusan polimer selulosa berjalan dengan efektif sehingga selulosa berukuran
nanometer yang dihasilkan adalah benar nanomaterial (<100 nm).
Berdasarkan potensi dan karakteristik yang dimiliki, kayu geronggang
sangat mungkin untuk diaplikasikan sebagai bahan baku pembuatan material
nano berbasis lignoselulosa. Peluang kayu geronggang untuk menghasilkan
material nanoselulosa akan menjadi sebuah sumber daya baru lignoselulosa
dengan kekhususan properti produk yang dimilikinya. Perhitungan potensi dan
peluang sebagai bahan baku material nanoselulosa dilakukan melalui pendekatan
kesesuaian dengan aplikasi berbasis komposit.

B. Nanomaterial Berbasis Selulosa


Nanoselulosa merupakan material alam yang berasal dari lignoselulosa
dan berukuran pada skala nanometer. Nanomaterial ini biasanya diekstrak dari
komponen selulosa yang umumnya ditemukan pada dinding sel tanaman. Secara
113
Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Potensial Bumi Lancang Kuning
garis besar nanomaterial yang diproduksi dari dinding sel tanaman ini dibagi
menjadi dua tipe yaitu kristal nanoselulosa (CNC) dan serat nanoselulosa (CNF)
(Moon et al., 2011). Kedua nanomaterial ini dapat dihasilkan dalam sebuah
rangkaian proses fabrikasi yang terintegrasi (Chen et al. 2017). Secara umum,
pada tahap awal fabrikasi akan dihasilkan CNC dan pada proses berikutnya akan
dihasilkan CNF (Bian et al., 2017b). Rangkaian proses terintegrasi tersebut
diilustrasikan pada Gambar 9.3. Berdasarkan struktur selulosa dalam mikrofibril,
akan ditemukan struktur penyusun dalam bentuk amorphous dan crystalline
(Kargarzadeh et al., 2017). Fabrikasi nanoselulosa merupakan implementasi
konsep eliminasi dan konservasi. Eliminasi bermakna menghilangkan struktur
amorphous sedangkan konservasi diasumsikan mempertahankan adanya struktur
amorphous dan crystalline. Selain komposisi penyusunan struktur, fabrikasi
berupaya untuk menurunkan dimensi material hingga berskala nanometer.
Namun pada buku ini hanya akan disampaikan mengenai karakteristik serat
nanoselulosa (CNF) dengan asumsi peluang pemanfaatannya yang lebih banyak.

Gambar 9.3. Teknik integrasi fabrikasi nanoselulosa (Kargarzadeh, Ioelovich, et


al., 2017)

C. Serat Nanoselulosa (CNF)


Serat nanoselulosa atau cellulose nanofiber (CNF) diproduksi dengan
memisahkan ikatan nanoselulosa dari mikrofibril. Biasanya serat nanoselulosa
memiliki diameter 20 – 50 nm dan panjang 500 – 2000 nm dan dapat bervariasi
tergantung teknik fabrikasi yang digunakan (Tabel 9.3). Secara strukturnya, serat
114
Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Poensial Bumi Lancang Kuning
nanoselulosa tetap mengandung bagian amorphous dan bagian crystalline
(Brinchi et al., 2013). Serat nanoselulosa dapat diproduksi dari berbagai material
berbasis lignoselulosa seperti tanaman berkayu, tanaman perdu, limbah panen
pertanian hingga ke bakteri selulosa (Patel, 2009). Dengan demikian, kayu
gerunggang sebagai kayu lokal sangat berpeluang untuk dimanfaatkan sebagai
sumber material baru untuk menghasilkan serat nanoselulosa.

D. Teknik Fabrikasi Serat Nanoselulosa


Selulosa yang terdapat pada dinding sel tanaman adalah bahan baku yang
diperlukan untuk fabrikasi serat nanoselulosa sehingga hal yang pertama
dilakukan adalah mengisolasi selulosa dari komponen lainnya (Zhu et al., 2014).
Selulosa yang kita panen dari mikrofibril yang ada di dinding sel tanaman
biasanya masih berukuran mikrometer. Selanjutnya yang dilakukan adalah
mengurangi ukuran hingga menjadi berskala nanometer. Pemilihan metode pada
fabrikasi nanoselulosa mempertimbangkan jenis material, kemudahan proses dan
efisiensi dari waktu bereaksinya (Patel, 2009). Dengan demikian, prinsip yang
dilakukan pada tahap fabrikasi adalah pemisahan, pemurnian dan penurunan
skala selulosa.
Teknik fabrikasi nanoselulosa secara umum terbagi menjadi tiga yaitu
secara biologi, mekanis dan kimia. Ketiga teknik tersebut memiliki keunggulan
dan kelemahan tersendiri dalam memproduksi serat nanoselulosa. Hal tersebut
mencakup faktor rendemen, kemudahan pengerjaan, lama waktu bereaksi dan
keekonomisannya (Kargarzadeh et al., 2017). Sehingga untuk mengantisipasi
kelemahan dari setiap teknik dilakukan kombinasi diantaranya.
Biasanya sebelum melakukan teknik fabrikasi tahap awal yang dilakukan
adalah pre-treatment. Tahap ini bertujuan untuk memaksimalkan pemisahan
komponen non-selulosa (hemiselulosa, lignin dan zat ekstraktif). Tindakan pre-
treatment ini umumnya mengikuti teknik fabrikasi yang akan dipilih namun
tidak menutup kemungkinan dapat berbeda. Metode pre-treatment yang
dilakukan secara fisik dilaksanakan secara mekanisasi meliputi penghancuran
dan penghalusan. Hal tersebut berguna untuk mengurangi ukuran bahan baku
dan menghancurkan bagian kristal selulosa. Pre-treatment menggunakan bahan
kimia dilakukan dengan pelarutan pada larutan asam ataupun alkali dengan
harapan pelemahan dan pemutusan ikatan polimer selulosa (Neto et al., 2013).
Tahap pre-treatment secara biologis dilakukan dengan penambahan enzim
115
Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Potensial Bumi Lancang Kuning
selulase kedalam larutan material dengan tujuan untuk mendegradasi polimer
selulosa dari komponen lainnya (Tibolla et al., 2014; Tibolla et al., 2016). Setelah
tahap pre-treatment, baru dilakukan fabrikasi serat nanoselulosa yang mana
sebelumnya dilakukan pengaturan pH terhadap material menjadi normal.
Formulasi perlakuan pada setiap tahapan fabrikasi dapat dilakukan dengan
mengkombinasikan beberapa teknik (Tabel 3).
Mempertimbangkan beberapa faktor diatas, terkait keefektifan fabrikasi
serat nanoselulosa maka pada bab ini hanya akan dijelaskan mengenai fabrikasi
dengan mengkombinasikan teknik kimia dan mekanis. Hal ini dengan asumsi
keefektifan larutan kimia dalam memutus ikatan polimer selulosa dan tingginya
rendemen yang diperoleh setelahnya dengan menggunakan perlakuan mekanis
(Chen et al., 2011). Secara singkat teknik fabrikasi serat nanoselulosa dijelaskan
pada sub bab berikut ini.
D.1. Teknik Kimia
Teknik kimia merupakan tahap kedua setelah dilakukannya pre-
treatment dalam fabrikasi serat nanoselulosa. Material yang telah melalui fase
tersebut dan dengan kondisi pH normal selanjutnya diperlakukan secara kimia
melalui hidrolisis asam. Pelarut yang digunakan dapat berupa asam, katalis garam
logam ataupun larutan ion (Kargarzadeh et al., 2012). Hidrolisis sendiri
merupakan reaksi kimia yang memecah molekul air (H 2O) menjadi kation
hidrogen (H+) dan anion hidrosida (OH-). Proses pemutusan rantai polimer ini
biasanya digunakan untuk memutus rantai polisakarida. Prinsipnya adalah
pendekomposisian menggunakan larutan untuk memutus ikatan kimia material
sehingga diperoleh lebih banyak monomer glukosa (Mahecha, Pelissari, Tapia-
Blacido, & Menegalli, 2015).
Larutan asam pada fase hidrolisis ditujukan untuk melepaskan ion atau
proton dari hidrogen yang ada di polimer selulosa. Larutan asam yang umum
digunakan seperti asam sulfat, asam kloric dan asam hidrokloric. Penggunaan
asam dari golongan asam kuat dilakukan untuk mendapatkan monomer glukosa
dari polimer polisakarida. Namun apabila larutan yang digunakan terlalu pekat
konsentrasinya dapat saja menghancurkan monomer glukosa (Valdebenito et al.,
2017). Proses dekomposisi polisakarida menjadi monomer glukosa dengan teknik
hidrolisis asam diilustrasikan pada Gambar 9.4.

116
Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Poensial Bumi Lancang Kuning
Gambar 9.4. Pemisahan rantai selulosa menjadi monomer glukosa
menggunakan hidrolisis asam (Girisuta, Janssen, & Heeres, 2007)

Komposisi hidrolisis asam yang digunakan akan disesuaikan dengan jenis


material atau bahan baku, jenis pelarut asam dan formulasinya (waktu reaksi,
temperatur, tekanan dan kondisi lingkungan sekitarnya). Rangkuman beberapa
kondisi komposisi hidrolisis asam yang digunakan pada teknik kimia untuk
fabrikasi serat nanoselulosa disampaikan pada Tabel 9.1. Setelah tahapan teknik
kimia menggunakan hidrolisis asam, proses dilanjutkan dengan teknik mekanis
untuk fabrikasi serat nanoselulosa.
Komposisi dan perlakukan yang terdapat pada Tabel 9.1 diatas, masih
membuka peluang untuk diperbaiki dan ditingkatkan. Selanjutnya, penambahan
katalis dapat dilakukan untuk meningkatkan rendemen dan kecepatan bereaksi.
Kehadiran katalis akan mempercepat reaksi pada kondisi lingkungan yang sama
pada dengan reaksi tanpa katalis (Girisuta et al., 2007). Korelasi antara material,
reaksi dan hasil akhir digambarkan pada Gambar 9.5. Sedangkan peningkatan
kelarutan selulosa dengan penambahan katalis dalam bentuk larutan ionic dalam
berbagai formulasi disampaikan dalam Tabel 9.2.

117
Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Potensial Bumi Lancang Kuning
Tabel 9.1. Komposisi dan formulasi hidrolisis untuk fabrikasi serat nanoselulosa
Material / Konsentrasi Suhu Waktu Rasio asam Referensi
bahan baku asam (°C) (min) /material
Mikrokristalin HBr, 1.5-2.5 - Lee et al., 2009 (2009)
100 240
selulosa M
Kulit kentang H2SO4, 64% 45 90 17.5 : 1 v/w Chen et al., 2012 (2012)
Batang padi H2SO4, 64% 45 45 8.75 : 1 v/w Lu et al., 2012 (2012)
Rumput ilalang H2SO4, 60% 45 45 15 : 1 v/w Wu et al., 2013 (2013)
Tongkol jagung H2SO4, 9.7 M 45 60 15 : 1 v/w Silvrio et al., 2013 (2013)
Kulit kacang H2SO4, 64% 30 40 30 : 1 v/w Neto et al., 2013 (2013)
Agave H2SO4, 60% 45 45 20 : 1 v/w Rosli et al., 2013 (2013)
Sabut kelapa H2SO4, 30% 8.75 : 1 v/w Nascimento et al., 2014
60 144
v/v (2014)
Batang kelapa H2SO4, 64% - Lamaming et al., 2015
45 60
sawit (2015)
Kulit tomat H2SO4, 64% 45 30 - Jiang et al., 2015 (2015)
Limbah kertas H2SO4, 64% 20 : 1 v/w Danial et al., 2015 (2015)
45 60
v/v
Kulit bawang H2SO4, 45% 60 1800 20 : 1 v/w Rhim et al., 2015 (2015)
Bambu HNO3, - 40- 30 : 1 v/w Lu et al., 2015 (2015)
240
60
Kapas H2SO4, 60% 45 90 20 : 1 v/w Oun et al., 2015 (2015)
Pulp eucalyptus C2H2O4, - Chen et al., 2016 (L. Chen,
100 45 -90
50-70% Zhu, Baez, Kitin, & Elder,
C4H4O4, - 2016)
100 45
50-70%
CH₃C₆H₄S, -
100 45
50%
Ampas tebu H2SO4, 60% 45 75 20 : 1 v/w Lam et al., 2017 (Lam,
Chollakup, Smitthipong,
Nimchua, & Sukyai, 2017)
Pohon birch & C4H4O4, 60% 60 - 10 : 1 w/w Bian et al., 2017a (2017a)
120
maple 120
Pulp eucalyptus C4H4O4, 60% 10 : 1 w/w Bian et al., 2017b (Bian et
120 120
al., 2017b)
Pulp eucalyptus C4H4O4, 15- 60- - Wang et al., 2017 (R. Wang,
5 -300 Chen, Zhu, & Yang, 2017)
75% 120

118
Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Poensial Bumi Lancang Kuning
Tabel 9.2. Formulasi kelarutan pulp selulosa pada larutan elektrolit (Lin et al.,
2014)
Larutan ionic Metode kelarutan
(weight %)
1-n-butyl-3-methylimidazolium chloride Heat (100º C) 10%
[C4mim]Cl
1-n-butyl-3-methylimidazolium chloride 70 ºC 3%
[C4mim]Cl
1-n-butyl-3-methylimidazolium chloride Heat (80º C) + 5%
[C4mim]Cl sonication
1-n-butyl-3-methylimidazolium chloride Microwave heating 25% clear
[C4mim]Cl
1-n-butyl-3-methylimidazolium chloride 3 – 5 s pulses Larutan menjadi
[C4mim]Cl viscous
1-butyl-3-methylimidazolium bromide Microwave 5 – 7%
[C4mim]Br
1-butyl-3-methylimidazolium Microwave 5 – 7%
tetrafluoroborate
[C4mim]SCN Microwave Tidak larut
1-butyl-3-methylimidazolium
tetrafluoroborate Microwave Tidak larut
[C4mim][BF4]
1-butyl-3-methylimidazolium Heat 100º C 5%
hexafluorophosphate [C4mim][PF6]
1-Hexyl-3-methylimidazolium chloride Heat 100º C Cukup terlarut
[C6mim]Cl
1-methyl-3-octylimidazolium
hydrochloride [C8mim]Cl

Gambar 9.5. Reaksi kimia dengan adanya penambahan katalis (Girisuta et al.,
2007)

119
Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Potensial Bumi Lancang Kuning
D.2. Teknik Mekanis
Tabel 9.3. Kombinasi teknik dalam fabrikasi serat nanoselulosa dari berbagai
material
No. Material Metode Karakteristik Referensi
1 Softwood chipping  pulping  high a= - Zhao et al.,
shear homogenizer b= 16.0-28.0 nm 2013 (Zhao et
c= 79.5% al., 2013)
d= 315.16 ± 0.63
°C
2 Kulit 2x alkali treatment (KOH)  a= - Pelissari et
pisang 1x bleaching (NaClO2)  acid b= 10.9-22.6 nm al.,2014
hydrolysis (H2SO4)  c= 58.6-64.9% (Pelissari,
homogenizer d= 371.8 ± 0.7 - Sobral, &
375.0 ± 0.7 °C Menegalli,
2014)
3 Kulit 2x alkali treatment (KOH)  a= 10% Tibolla et al.,
pisang 2x bleaching (NaClO2)  b= 7.6 ± 1.5 nm 2014 (Tibolla et
enzymatic (xylase) c= 49.2% al., 2014)
d= -
4 Achira 1st alkali treatment (KOH)  a= 3.3 - 12.9% Mahecha et
(rhizome) 1st bleaching (H2O2)  2nd b= 13.8 - 37.2 nm al., 2015
bleaching (CH3CO3H)  2nd c= 57.5 - 69.8% (Mahecha et
alkali treatment (KOH)  d= - al., 2015)
acid hydrolysis (HCl)  high
pressure homogenizer
5 Kulit alkali treatment (KOH)  a= 60.0 - 97.0% Tibolla et al.,
pisang enzymatic (xylase) b= 5.2 - 15.8 nm 2016 (Tibolla et
c= 57.2 - 67.0% al., 2016)
d= -
6 Kulit 1st alkali treatment (NaOH) a= 8.9% Khawas et al.,
pisang  1st bleaching (NaClO2)  b= 20 ± 5.2 nm 2016 (Khawas
2nd bleaching (NaClO2)  2nd c= 63.64% & Deka, 2016)
alkali treatment (KOH)  d= 295.33 °C
acid hydrolysis (H2SO4) 
ultrasonication
7 Limbah  1x bleaching (NaClO2) a= 82% Wang et al.,
gergaji  1x alkali treatment (NaOH) b= 15-90 nm 2018 (H. Wang
(Pinus  5x bleaching (NaClO2)  c= - et al., 2018)
sylvestris) 5x alkali treatment (NaOH) d= -

Catatan: a = rendemen, b = diameter, c = indeks kristalinitas, d =


temperatur maksimum selulosa terdekomposisi.

Teknik mekanis dilakukan sebagai langkah akhir dalam fabrikasi serat


nanoselulosa dengan skema kombinasi dua teknik. Teknik mekanis bertujuan
untuk memisahkan ikatan serat nanoselulosa di dalam mikrofibril. Proses ini
dikenal dengan istilah proses defibrilasi atau penguraian serat. Teknik mekanis
ini biasanya menggunakan mesin ultrasonikasi, homogeniser, mikrofluidik dan
grinder (Kargarzadeh et al., 2017). Penggunaan mesin ultrasonikasi saat ini
120
Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Poensial Bumi Lancang Kuning
menjadi pilihan utama dalam fabrikasi serat nanoselulosa. Mesin ini bekerja
dengn spektrum suara dengan rentang 20 kHz hingga 10 Mhz dimana mengubah
energi listrik menjadi energi akustik. Ultrasonikasi menciptakan gelombang yang
dapat memproduksi “oscillation mechanical” sehingga membuat gelembung
udara didalam larutan. Selanjutnya, gelombang ini dapat meletus menjadi
gelombang udara berukuran mikroskopis sehingga energi ulrasonik ini dapat
diserap oleh material. Adanya letusan mikroskopis ini membuat kerusakan pada
bagian amorphous dan beberapa bagian lainnya pada selulosa. Dengan demikian,
ikatan hidrogen polimer selulosa dalam mikrofibril akan terputus hingga terlepas
menjadi bentuk serat selulosa (Nechyporchuk et al., 2016).
Kombinasi antara teknik kimia dan mekanis ini ditujukan untuk
menutupi kelemahan dari masing-masing teknik jika diaplikasikan secara
terpisah, berdasarkan pada peningkatan rendemen yang akan dicapai, keefektifan
mekanisme kerja dan keekonomisan produksi pada fase fabrikasi serat
nanoselulosa. Tabel 9.3 mendeskripsikan hasil serat nanoselulosa yang diperoleh
dengan kombinasi teknik fabrikasi ini.

E. Karakteristik dan Aplikasi Serat Nanoselulosa


Serat nanoselulosa yang dihasilkan melalui fabrikasi selanjutnya
dikarakterisasi untuk memastikan apakah serat yang kita hasilkan adalah material
nano atau hanya sebatas berukuran nano berserta sifat lain yang menyertainya.
Selanjutnya setelah diketahui karakter serat nanoselulosa yang dihasilkan, maka
akan lebih mudah memperlakukannya pada saat pengaplikasian (Logothetidis,
2011). Karakterisasi dapat dilakukan dengan berbagai macam cara yang tentunya
dilakukan dengan penggunaan teknologi maju. Pengukuran dimensi berskala
mikroskopis dapat dilakukan menggunakan Scanning Electron Microscope
(SEM), Transmission Electron Microscope (TEM) dan juga Atomic Force
Microscope (AFM) (Wertz et al., 2010). Selanjutnya akan dikarakterisasi lebih
detail terkait kandungan komponen kimia penyusun, indeks kristalinitas,
temperatur maksimum terdekomposisi dan rendemen arangnya (Patel, 2009).
Pendalaman karakter dari serat nanoselulosa dari kayu gerunggang
dilakukan melalui pendekatan dengan karakterisasi serat nanoselulosa yang
dihasilkan dari kayu sesendok (Endospermum sp). Asumsi persamaan karakter
dikarenakan kemiripan berat jenis (BJ) kayu gerunggang dengan kayu sesendok
yang berada pada nilai 0,4 (Aprianis et al., 2018). Menimbang komposisi kimia
121
Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Potensial Bumi Lancang Kuning
kayu yang dimiliki, maka kayu geronggang sangat layak untuk dijadikan sebagai
sumber lignoselulosa baru untuk fabrikasi serat nanoselulosa. Pemilihan metode
yang tepat pada tahap pre-treatment sebelum fabrikasi akan mempermudah
pemisahan dan penguraian serat selulosa. Keberhasilan ini ditandai dengan
semakin banyaknya komponen non-selulosa yang terpisahkan (Wang et al.,
2018).
Disamping itu, keberhasilan memisahkan dan memurnikan selulosa dari
komponen kimia kayu lainnya menjadi faktor penentu berikutnya (Okamura,
1991). Dimensi serat nanoselulosa dari kayu geronggang nantinya akan
dipengaruhi juga oleh kemampuan larutan kimia untuk melakukan penetrasi
sedalam mungkin dan kemampuannya untuk memutuskan ikatan intra molekul
selulosa (Lengowski et al., 2018). Jika hal tersebut berhasil maka ikatan quinone
methid dengan gugus hidrosil antara hemiselulosa dan lignin juga dapat
didegradasi secara optimal (Nishimura et al., 2018) sehingga rendeman yang
diperoleh pun akan tinggi.
Selanjutnya senyawa kimianya menggunakan Fourier
dianalisis
Transform Infrared Spectroscopy (FTIR) maka akan terlihat terjadinya
pergeseran peak penanda selulosa. Hal tersebut mengindikasikan perubahan
bahan baku dari selulosa tipe I menjadi selulosa tipe II selain terjadi penurunan
dimensi ukuran (Wang et al., 2018). Hasil FTIR kemungkinan masih akan
memperlihatkan terdapatnya peak penanda untuk komponen hemiselulosa dan
lignin (Tanpichai et al., 2018).
Pengamatan indeks kristalinitas pada serat nanoselulosa dilakukan
menggunakan x-ray Diffraction (XRD). Pada analisis menggunakan XRD, peak
yang semakin meruncing akan berkorelasi dengan semakin tingginya derajat
kristalinitas serat nanoselulosa (Chen et al., 2011). Fluktuasi indeks kristalinitas
ini berhubungan dengan ikatan intramolekuler dan intermolekuler hidrogen
yang ada pada rantai selulosa. Sedangkan durasi dan proses pemutusan rantai
hidrogen tersebut bergantung dengan pendekomposisian ikatan kovalen dan
struktur selulosa (Ciolacu et al., 2011).
Aplikasi serat nanoselulosa yang bersinggungan langsung dengan suhu
tinggi mengharuskan karakterisasi menggunakan Thermogravimetric Analysis
(TGA) dan Derivative Thermogravimetric (DTG). Melalui analalisis ini kita dapat
mengetahui suhu dimana serat nanoselulosa melepaskan molekul air dan akan

122
Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Poensial Bumi Lancang Kuning
terdekomposisi. Komposisi kimia yang terkandung pada serat nanoselulosa turut
mempengaruhi proses pendekomposisian ini. Komponen hemiselulosa akan
terdekomposisi pada suhu 200 – 300°C, selulosa akan terdekomposisi pada suhu
275 – 400°C sedangkan lignin akan terdekomposisi pada suhu 600°C (Pelissari et
al., 2014).
Berdasarkan gambaran umum karakterisasi serat nanoselulosa tersebut,
serat nanoselulosa yang dihasilkan dari kayu geronggang akan dapat kita
aplikasikan pada bermacam skema. Komposit adalah salah satu skema yang
umum digunakan untuk memperbaiki dan meningkatkan sifat produk (Wertz et
al., 2010). Serat nanoselulosa dengan derajat kristalinitas dan suhu
terdekomposisi yang tinggi akan sangat potensial digunakan untuk pelapis
(coating) peralatan yang berhubungan dengan suhu tinggi (Phiriyawirut &
Maniaw, 2012). Selanjutnya untuk memperbaiki sifat fisik mekanik melalui
peningkatan MoE dan MoR, serat nanoselulosa dapat diaplikasikan sebagai bahan
pengisi komposit (Yue & Qian, 2018). Selain itu juga dapat memanfaatkan serat
nanoselulosa untuk menghasilkan produk berbasis nanoteknologi di antaranya
kertas transparan untuk pembungkus makanan (Zhu et al., 2014), tinta ataupun
pelapis panel surya dengan sifat konduktor (Nogi et al., 2015), piranti printer
elektronik (Koga et al., 2013), perekat (epoxy) (Kargarzadeh et al., 2017) dan lain
sebagainya. Banyaknya aplikasi serat nanoselulosa dikarenakan sifatnya yang
mudah beradabtasi (Abraham et al., 2011), transparan (Cherian et al., 2011), kuat
(Chun et al., 2012) namun bersifat degradable (George & Sabapathi, 2015).

Daftar Pustaka
Abraham, E., Deepa, B., Pothan, L. A., Jacob, M., Thomas, S., Cvelbar, U., & Anandjiwala,
R. (2011). Extraction of Nanocellulose Fibrils from Lignocellulosic Fibres: A
Novel Approach. Carbohydrate Polymers, 86(01), 1468-1475.
doi:10.1016/j.carbpol.2011.06.034
Aprianis, Y., Akbar, O. T., & Rizqiani, K. D. (2018). Comparison the Properties of Raw
Material and Kraft Pulp from Nature and Plantation of Geronggang Wood
(Cratoxylon arborescens). Ilmu Teknologi Kayu Tropis, 16(2), 177-183.
Bian, H., Chen, L., Dai, H., & Zhu, J. Y. (2017a). Effect of Fiber Drying on Properties of
Lignin Containing Cellulose Nanocrystals and Nanofibrils Produced Through
Maleic Acid Hydrolysis. Cellulose, 24(10), 4205-4216. doi:10.1007/s10570-017-
1430-7.
Bian, H., Chen, L., Dai, H., & Zhu, J. Y. (2017b). Integrated Production of Lignin
Containing Cellulose Nanocrystals (LCNC) and Nanofibrils (LCNF) Using an
123
Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Potensial Bumi Lancang Kuning
Easily Recyclable Di-carboxylic Acid. Carbohydrate Polymers, 167(01), 167-
176. doi:10.1016/j.carbpol.2017.03.050.
Brinchi, L., Cotana, F., Fortunati, E., & Kenny, J. M. (2013). Production of Nanocrystalline
Cellulose from Lignocellulosic Biomass: Technology and Applications.
Carbohydrate Polymers, 94(1), 154-169. doi:10.1016/j.carbpol.2013.01.033.
Chen, D., Lawton, D., Thompson, M. R., & Liu, Q. (2012). Biocomposites Reinforced with
Cellulose Nanocrystals Derived From Potato Peel Waste. Carbohydrate
Polymers, 90(01), 709-716. doi:10.1016/j.carbpol.2012.06.002.
Chen, L., Zhu, J. Y., Baez, C., Kitin, P., & Elder, T. (2016). Highly Thermal-stable and
Functional Cellulose Nanocrystals and Nanofibrils Produced Using Fully
Recyclable Organic Acids. Green Chemistry, 18(13), 3835-3843.
doi:10.1039/c6gc00687f.
Chen, W., Yu, H., Liu, Y., Chen, P., Zhang, M., & Hai, Y. (2011). Individualization of
Cellulose Nanofibers from Wood Using High-intensity Ultrasonication
Combined with Chemical Pretreatments. Carbohydrate Polymers, 83(04),
1804-1811. doi:10.1016/j.carbpol.2010.10.040.
Chen, W., Yu, H., Liu, Y., Hai, Y., Zhang, M., & Chen, P. (2011). Isolation and
Characterization of Cellulose Nanofibers from Four Plant Cellulose Fibers
Using a Chemical-ultrasonic Process. Cellulose, 18(02), 433-442.
doi:10.1007/s10570-011-9497-z.
Chen, Y. W., Tan, T. H., Lee, H. V., & Hamid, S. B. A. (2017). Easy Fabrication of Highly
Thermal-Stable Cellulose Nanocrystals Using Cr(NO3)3 Catalytic Hydrolysis
System: A Feasibility Study from Macroto Nano-Dimensions. Materials, 10(42),
01-24. doi:10.3390/ma10010042.
Cherian, B. M., Leão, A. L., Souza, S. F., Costa, L. M. M., Olyveira, G. M., Kottaisamy, M.,
. . . Thomas, S. (2011). Cellulose Nanocomposites with Nanofibres Isolated
From Pineapple Leaf Fibers for Medical Applications. Carbohydrate Polymers,
86(04), 1790– 1798. doi:10.1016/j.carbpol.2011.07.009.
Chun, S. J., Lee, S. Y., Jeong, G. Y., & Kim, J. H. (2012). Fabrication of Hydrophobic Self-
Assembled Monolayers (SAM) on The Surface of Ultra-Strength Nanocellulose
Film. Journal of Industrial and Engineering Chemistry, 18(03), 1122 - 1127.
doi:10.1016/j.jiec.2012.01.001.
Ciolacu, D., Ciolacu, F., & Popa, V. I. (2011). Amorphous Cellulose - Structure and
Characterization. Cellulose Chemistry and Technology, 45(01), 13-21.
Danial, W. H., Majid, Z. A., Muhid, M. N. M., Triwahyono, S., Bakar, M. B., & Ramli, Z.
(2015). The Reuse of Waste Paper for the Extraction of Cellulose Nanocrystals.
Carbohydrate Polymers, 118(01), 165-169. doi:10.1016/j.carbpol.2014.10.072.
George, J., & Sabapathi, S. N. (2015). Cellulose Nanocrystals: Synthesis, Functional
Properties, and Applications. Nanotechnology Science and Applications, 8(01),
45-54. doi:10.2147/NSA.S64386.

124
Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Poensial Bumi Lancang Kuning
Girisuta, B., Janssen, L. P. B. M., & Heeres, H. J. (2007). Kinetic Study on the Acid-
Catalyzed Hydrolysis of Cellulose to Levulinic Acid. Industrial & Engineering
Chemistry Research, 46(06), 1696-1708. doi:10.1021/ie061186z.
Jiang, F., & Hsieh, Y. L. (2015). Cellulose Nanocrystal Isolation From Tomato Peels and
Assembled Nanofibers. Carbohydrate Polymers, 122(01), 60-68.
doi:10.1016/j.carbpol.2014.12.064.
Junaedi, A. (2018). Growth Performance of Three Native Tree Species for Pulpwood
Plantation in Drained Peatland of Pelalawan District, Riau. Indonesian Journal
of Forestry Research, 5, 119-132.
Kargarzadeh, H., Ahmad, I., Abdullah, I., Dufresne, A., Zainudin, S. Y., & Sheltami, R.
M. (2012). Effects of Hydrolysis Conditions on the Morphology, Crystallinity,
and Thermal Stability of Cellulose Nanocrystals Extracted From Kenaf Bast
Fibers. Cellulose, 19(3), 855-866. doi:10.1007/s10570-012-9684-6.
Kargarzadeh, H., Ioelovich, M., Ahmad, I., Thomas, S., & Dufresne, A. (2017). Methods
for Extraction of Nanocellulose from Various Sources Handbook of
Nanocellulose and Cellulose Nanocomposites (First ed., pp. 1-49). NJ, USA:
John Wiley & Son/Wiley: Hoboken.
Kargarzadeh, H., Mariano, M., Huang, J., Lin, N., Ahmad, I., Dufrense, A., & Thomas, S.
(2017). Recent Developments on Nanocellulose Reinforced Polymer
Nanocomposites: A Review. Polymer, 132(01), 368-393.
doi:10.1016/j.polymer.2017.09.043.
Khawas, P., & Deka, S. C. (2016). Isolation and Characterization of Cellulose Nanofibers
from Culinary Banana Peel Using High-intensity Ultrasonication Combined
with Chemical Treatment. Carbohydrate Polymers, 137(01), 608-616.
doi:10.1016/j.carbpol.2015.11.020.
Koga, H., Saito, T., Kitaoka, T., Nogi, M., Suganuma, K., & Isogai, A. (2013). Transparent,
Conductive, and Printable Composites Consisting of TEMPO-oxidized
Nanocellulose and Carbon Nanotube. Biomacromolecules, 14(04), 1160-1165.
doi:10.1021/bm400075f.
Lam, N. T., Chollakup, R., Smitthipong, W., Nimchua, T., & Sukyai, P. (2017). Utilizing
Cellulose from Sugarcane Bagasse Mixed with Poly (Vinyl Alcohol) for Tissue
Engineering Scaffold Fabrication. Industrial Crops and Products, 100(01), 183–
197. doi:10.1016/j.indcrop.2017.02.031.
Lamaming, J., Hashim, R., Leh, C. P., Sulaiman, O., Sugimoto, T., & Nasir, M. (2015).
Isolation and Characterization of Cellulose Nanocrystals from Parenchyma and
Vascular Bundle of Oil Palm Trunk (Elaeis guineensis). Carbohydrate
Polymers, 134(01), 534-540. doi:10.1016/j.carbpol.2015.08.017.
Lee, S. Y., Mohan, D. J., Kang, I. A., Doh, G. H., Lee, S., & Han, S. O. (2009). Nanocellulose
Reinforced PVA Composite Films: Effects of Acid Treatment and Filler
Loading. Fibers and Polymers, 10(01), 77-82. doi:10.1007/s12221-009-0077-x

125
Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Potensial Bumi Lancang Kuning
Lengowski, E. C., Muñiz, G. I. B., Andrade, A. S., Simon, L. C., & Nisgoski, S. (2018).
Morphological, Physical, and Thermal Characterization of Microfibrillated
Cellulose. Resvita Arvore, 42(01), 1-12. doi:10.1590/1806-90882018000100013
Lin, J., Yu, L., Tian, F., Zhao, N., Li, X., Bian, F., & Wang, J. (2014). Cellulose Nanofibrils
Aerogels Generated from Jute Fibers. Carbohydrate Polymers, 109(01), 35-43.
doi:10.1016/j.carbpol.2014.03.045.
Logothetidis, S. (2011). Nanostructured Materials and Their Applications. London, New
York: Springer.
Lu, P., & Hsieh, Y. L. (2012). Preparation and Characterization of Cellulose Nanocrystals
from Rice Straw. Carbohydrate Polymers, 87(01), 564–573.
doi:10.1016/j.carbpol.2011.08.022.
Lu, Q., Lin, W., Wang, S., Tang, L., Chen, X., & Huang, B. (2015). A Mechanochemical
Approach to Manufacturing Bamboo Cellulose Nanocrystals. Journal of
Materials Science, 50(02), 611–619. doi:10.1007/s10853-014-8620-6.
Mahecha, A. M. M., Pelissari, F. M., Tapia-Blacido, D. R., & Menegalli, F. C. (2015).
Achira as A Source of Biodegradable Materials: Isolation and Characterization
of Nanofibers. Carbohydrate Polymers, 123(01), 406-415.
doi:10.1016/j.carbpol.2015.01.027.
Moon, R. J., Martini, A., Nairn, J., Simonsen, J., & Youngblood, J. (2011). Cellulose
Nanomaterials Review: Structure, Properties and Nanocomposites. Chemical
Society Review, 40(7), 3941-3994. doi:10.1039/c0cs00108b
Nascimento, D. M., Almeida, J. S., Dias, A. F., Figueiredo, M. C. B., Morais, J. P. S., Feitosa,
J. P., & Rosa, M. D. F. (2014). A Novel Green Approach For the Preparation of
Cellulose Nanowhiskers from White Coir. Carbohydrate Polymers, 110(01),
456-463. doi:10.1016/j.carbpol.2014.04.053.
Nechyporchuk, O., Belgacem, M. N., & Bras, J. (2016). Production of Cellulose
Nanofibrils: A Review of Recent Advances. Industrial Crops and Products,
93(01), 2-25. doi:10.1016/j.indcrop.2016.02.016.
Neto, W. P. F., Silvério, H. A., Dantas, N. O., & Pasquini, D. (2013). Extraction and
Characterization of Cellulose Nanocrystals from Agro-Industrial Residue – Soy
Hulls. Industrial Crops and Products, 42(01), 480-488.
doi:10.1016/j.indcrop.2012.06.041.
Nishimura, H., Kamiya, A., Nagata, T., Katahira, M., & Watanabe, T. (2018). Direct
Evidence for Alpha Ether Linkage Between Lignin and Carbohydrates in Wood
Cell Walls. Sciencetific Reports, 8(01), 1-8. doi:10.1038/s41598-018-24328-9.
Nogi, M., Karakawa, M., Komoda, N., Yagyu, H., & Nge, T. T. (2015). Transparent
Conductive Nanofiber Paper for Foldable Solar Cells. Sci Rep, 5(01), 17254.
doi:10.1038/srep17254.
Okamura, K. (1991). Wood and Cellulosic Chemistry. New York: Marcel Dekker Inc.
Oun, A. A., & Rhim, J. W. (2015). Effect of Post-treatments and Concentration of Cotton
Linter Cellulose Nanocrystals on the Properties of Agar-based Nanocomposite
126
Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Poensial Bumi Lancang Kuning
Films. Carbohydrate Polymers, 134(01), 20-29.
doi:10.1016/j.carbpol.2015.07.053.
Patel, M. (2009). Micro and Nano Technology in Paper Manufacturing. India: Industry
Paper Patel Avenue.
Pelissari, F. M., Sobral, P. J. A., & Menegalli, F. C. (2014). Isolation and Characterization
of Cellulose Nanofibers from Banana Peels. Cellulose, 21(01), 417-432.
doi:10.1007/s10570-013-0138-6.
Phiriyawirut, M., & Maniaw, P. (2012). Cellulose Microfibril from Banana Peels as A
Nanoreinforcing Fillers for Zein Films. Journal of Polymer Chemistry, 02(02),
56-62. doi:10.4236/ojpchem.2012.22007.
Rhim, J. W., Reddy, J. P., & Luo, X. (2015). Isolation of Cellulose Nanocrystals from
Onion Skin and Their Utilization for the Preparation of Agar-based Bio-
nanocomposites Film. Cellulose, 22(01), 407-420. doi:10.1007/s10570-014-
0517-7.
Rosli, N. A., Ahmad, I., & Abdullah, I. (2013). Isolation and Characterization of Cellulose
Nanocrystals from Agave Angustifolia Fibre. BioResources, 08(02), 1893-1908.
Schacht, C., Zetzl, C., & Brunner, G. (2008). From Plant Materials to Ethanol by Means
of Supercritical Fluid Technology. The Journal of Supercritical Fluids, 46(03),
299-321. doi:10.1016/j.supflu.2008.01.018.
Silvério, H. A., Neto, W. P. F., Dantas, N. O., & Pasquini, D. (2013). Extraction and
Characterization of Cellulose Nanocrystals from Corncob for Application as
Reinforcing Agent in Nanocomposites. Industrial Crops and Products, 44(01),
427– 436. doi:10.1016/j.indcrop.2012.10.014.
Tanpichai, S., Witayakran, S., & Boonmahitthisud, A. (2018). Study on Structural and
Thermal Properties of Cellulose Microfibers Isolated from Pineapple Leaves
Using Steam Explosion. Journal of Environmental Chemical Engineering,
7(01), 1-25. doi:10.1016/j.jece.2018.102836.
Tibolla, H., Pelissari, F. M., & Menegalli, F. C. (2014). Cellulose Nanofibers Produced
from Banana Peel by Chemical and Enzymatic Treatment. LWT - Food Science
and Technology, 59(02), 1311-1318. doi:10.1016/j.lwt.2014.04.011
Tibolla, H., Pelissari, F. M., Rodrigues, M. I., & Menegalli, F. C. (2016). Cellulose
Nanofibers Produced From Banana Peel by Enzymatic Treatment: Study of
Process Conditions. Industrial Crops and Products, 95(01), 664-674.
doi:10.1016/j.indcrop.2016.11.035.
Valdebenito, F., Pereira, M., Ciudad, G., Azocar, L., Briones, R., & Carrasco, G. C. (2017).
On the Nanofibrillation of Corn Husks and Oat Hulls Fiber. Industrial Crops
and Products, 95(01), 528-534. doi:10.1016/j.indcrop.2016.11.006.
Wang, H., Chen, C., Fang, L., Li, S., Chen, N., Pang, J., & Li, D. (2018). Effect of
Delignification Technique on the Ease of Fibrillation of Cellulose II Nanofibers
from Wood. Cellulose, 25(12), 7003-7015. doi:10.1007/s10570-018-2054-2.

127
Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Potensial Bumi Lancang Kuning
Wang, R., Chen, L., Zhu, J. Y., & Yang, R. (2017). Tailored and Integrated Production of
Carboxylated Cellulose Nanocrystals (CNC) With Nanofibrils (CNF) Through
Maleic Acid Hydrolysis. ChemNanoMat, 3(05), 328-335.
doi:10.1002/cnma.201700015.
Wertz, J. L., Bedue, O., & Mercier, J. P. (2010). Cellulose Science and Technology (First
ed. Vol. 01). Switzerland: EPFL Press.
Wu, Q., Meng, Y., Concha, K., Wang, S., Li, Y., Ma, L., & Fu, S. (2013). Influence of
Temperature and Humidity on Nano-mechanical Properties of Cellulose
Nanocrystal Films Made from Switchgrass and Cotton. Carbohydrate
Polymers, 48(01), 28-35. doi:10.1016/j.indcrop.2013.03.032.
Yue, D., & Qian, X. (2018). Isolation and Rheological Characterization of Cellulose
Nanofibrils (CNFs) from Coir Fibers in Comparison to Wood and Cotton.
Polymers, 10(03), 320. doi:10.3390/polym10030320.
Zhao, J., Zhang, W., Zhang, X., Zhang, X., Lu, C., & Deng, Y. (2013). Extraction of
Cellulose Nanofibrils from Dry Softwood Pulp Using High Shear
Homogenization. Carbohydrate Polymers, 97(02), 695-702.
doi:10.1016/j.carbpol.2013.05.050.
Zhu, H., Fang, Z., Preston, C., Li, Y., & Hu, L. (2014). Transparent Paper: Fabrications,
Properties, and Device Applications. Energy & Environment Science, 7(01),
269-287. doi:10.1039/c3ee43024c.

128
Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Poensial Bumi Lancang Kuning
X.
POTENSI GERONGGANG
SEBAGAI TANAMAN OBAT
(Opik Taupik Akbar)
(Ahmad

Sejak lama masyarakat Indonesia sudah menggunakan tanaman obat


tradisional secara turun temurun untuk mengobati berbagai macam penyakit.
Tanaman obat yang juga dikenal dengan sebutan tanaman herbal di Indonesia
umumnya diramu dalam bentuk jamu. Geronggang (Cratoxylum arborescens)
merupakan salah satu tanaman lokal yang dimanfaatkan sebagai tanaman obat
secara tradisional. Namun pemanfatannya belum dikenal luas di Indonesia, hanya
beberapa wilayah di Sumatera dan Kalimantan saja yang sudah memanfaatkan
tanaman ini sesuai daerah penyebarannya (Nguyen & Harrison, 1998).
Geronggang dimanfaatkan sebagai tanaman biofarmaka dengan
mengambil bagian daun, kulit kayu, dan akar untuk pengobatan. Secara
tradisional tanaman ini digunakan untuk mengobati demam, batuk, diare, gatal,
bisul, dan gangguan perut di Malaysia, Burma Selatan, Sumatera, dan Kalimantan
(Nguyen & Harrison, 1998). Getah kulit batang geronggang juga digunakan untuk
perawatan luka (Jusoh et al., 2013). Di Malaysia, kulit batang geronggang yang
biasanya mengeluarkan resin telah dimanfaatkan dalam pengobatan tradisional
oleh penduduk lokal (Bennett & Harrison, 1993).
Selain sebagai obat, geronggang juga digunakan untuk meningkatkan
sistem kekebalan tubuh. Sistem kekebalan tubuh dapat ditingkatkan oleh
berbagai senyawa dari tanaman ini. Mekanisme tanaman untuk meningkatkan
sistem kekebalan tubuh adalah dengan melawan penyebab penyakit secara
langsung sebagai efektor dan juga bekerja dengan mengatur imunitas (Yusro,
2010).
Pemanfatan geronggang sebagai obat tradisional umumnya dilakukan
berdasarkan resep turun temurun (Bennett & Harrison, 1993; Suhartono et al.,
2012). Namun berdasarkan beberapa manfaat yang tercatat, geronggang juga
memiliki prospek untuk dikembangkan sebagai nanomedicine (Chabib et al.,
2018). Beberapa penelitian mengenai pemanfaatan geronggang sebagai
nanomedisin sudah dilakukan dengan teknologi yang lebih maju dengan
129
Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Potensial Bumi Lancang Kuning
memanfaatkan beberapa senyawa fitokimia yang terkandung dalam geronggang
yang daoat dilihat dalam tabel 2.
Beberapa penelitian kandungan fitokimia menyebutkan bahwa
geronggang kaya akan kandungan flavonoid (Jusoh et al., 2013), xanthone (Sia et
al., 1995) dan triterpenoid (Bennett & Harrison, 1993; Nguyen & Harrison, 1998).
Hasil penelitian juga menyebutkan bahwa beberapa kandungan fitokimia
memiliki sifat antibakteri (Boonsri et al., 2006), cytotocic (Pattanaprateeb et al.,
2005; Ren et al., 2011; Syam et al., 2014; Yahayu et al., 2013) dan anti HIV
(Reutrakul et al., 2006).

A. Fitokimia Geronggang
Hampir semua bagian pohon geronggang dapat dimanfaatkan sebagai
obat. Batang, kulit batang kering, kulit batang basah, akar, dan daunnya bisa
diambil untuk diekstrak. Setiap bagian pohon memiliki kandungan berbeda yang
mempengaruhi perbedaan khasiat dan penggunaannya. Beberapa penelitian
menganalisis perbedaan kandungan zat dalam geronggang yang dapat dilihat
dalam Tabel 10.1.
Tabel 10.1. Bagian tanaman geronggang yang dimanfaatkan sebagai biofarmaka
Nama bagian Sumber
Kulit (Ibrahim et al., 2015), (Mian, 2007), (Sim, Jiang, Ee, &
Sukari, 2011), (Jusoh, Din, & Zakaria, 2015), (Sia et al.,
1995)(Bennett & Harrison, 1993)
Daun (Jusoh et al., 2013; Reutrakul et al., 2006)
Ranting (Reutrakul et al., 2006)
Batang (Sim et al., 2011)(Ren et al., 2011)(Nguyen & Harrison,
1998)
Akar (Jusoh et al., 2015), (Boonsri et al., 2006; Iinuma, Tosa,
Ito, Tanaka, & Madulid, 1996; Jusoh et al., 2015)

Batang dan kulit geronggang dilaporkan mengandung xanthone dan


anthrakuinon (Jusoh et al., 2015). Daun dan ranting geronggang dilaporkan
mengandung dua jenis xanthones 1,3,8-trihydroxy-2,4-dimethoxyanthone, 1,7-
dihydroxy-2,8-dimetho-xyxanthone dan komponen 3-14 (Jusoh et al., 2013).
Meskipun beberapa spesies Cratoxylum dilaporkan memiliki beberapa
khasiat, sangat sedikit yang memberikan perhatian untuk mengidentifikasi
kandungan fitokimianya. Beberapa spesies pada genus Cratoxylum yang diteliti
diantaranya species Cratoxylum chochinchinense (Bennett & Harrison, 1993, Sia
130
Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Poensial Bumi Lancang Kuning
et al., 1995, Nguyen & Harrison, 1998) dan Cratoxylum formosanum, (Iinuma et
al., 1996).
Genus Cratoxylum menghasilkan berbagai jenis metabolit sekunder
seperti xanthones (Jusoh et al., 2015; Pattanaprateeb et al., 2005; Reutrakul et al.,
2006; Sia et al., 1995), triterpenoids (Bennett & Harrison, 1993; Mian, 2007;
Nguyen & Harrison, 1998), kuinon (Mian, 2007), flavonoid (Jusoh et al., 2013),
dan anthraquinon (Ee et al., 2010; Jusoh et al., 2015).
Sebuah xanthone baru (1,3-dihydroxy-6,7-dimethoxy-
2,8,diprenylxanthone) dan 4 xanthone yang sudah dikenal (Fuscaxanthone C,
1,7-dihydroxyxanthone, 3-geranyloxy-6-methyl-1,8-dihydroxyanthrakuinon, 2-
geranylemadin dilaporkan terkandung dalam geronggang (Pattanaprateeb et al.,
2005). Dua jenis xanthone baru (1,3,8-trihydroxy-2,4-dimethoxyanthone dan
1,7-dihydroxy-2,8-dimethoxyxanthone bersamaan dengan dua belas xanthone
yang sudah dikenal (1,3,7-trihydroxy-6-methoxy-4,5-di(3-methylbut-2-
enyl)xanthone, euxanthone, friedelin, friedelinon, methoxyemodin, betulinic
acid, lup-20(29)-ene-3B,30-diol, 3B-hydroxylup20(29)-en-30-oic acid, 3,4-
dihydroxy-benzoic acid, eucryphin, astiblin, dan isoastiblin juga ditemukan
dalam daun dan ranting geronggang (Reutrakul et al., 2006). Tiga jenis
anthraquinon ditemukan dalam kulit batang geronggang, yaitu 1,8-dihydroxy-3-
methoxy-6-methylanthrakuinon, vismiakuinon dan vismione. Kandungan
tersebut diidentifikasi menggunakan 1D dan 2D NMR spectroscopy. Ini adalah
laporan pertama tentang kimia Cratoxylum arborescens (Ee et al., 2010).
Dalam penelitian Mian (2007), kulit batang geronggang juga
mengandung triterpenoid (friedelin) dan tiga jenis kuinon, visimione,
vismiakuinon, dan 1,8-dihydroxy-3-methoxy-6-methyl anthrakuinon. Senyawa
ini diisolasi menggunakan teknik kromatografi umum dan diidentifikasi
menggunakan eksperimen spektroskopi seperti NMR, MS, IR dan UV (Mian,
2007).
Kulit kayu gerunggang juga mengandung beberapa senyawa seperti tanin,
saponin, flavonoid, dan quinon. Flavonoid memiliki sifat anti-virus, anti-
mikroba, anti-inflamasi dan penyembuhan perdarahan kapiler ubkutan.
Sedangkan saponin memiliki fungsi sebagai imunostimulan yang merangsang
sistem kekebalan dalam tubuh (Yusro, 2010).

131
Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Potensial Bumi Lancang Kuning
Cratoxylum spp. adalah sumber alami dari xanthone terprenilasi. Sebagai
kelanjutan dari studi tentang komposisi fitokimia dari tanaman obat Cratoxylum
cochinchinense (Lour.) Bl., Ren et al. (2011) melaporkan komposisi xanthone
yang diprenilasi.
Senyawa fitokimia utama yang ditemukan dalam C. arborescens adalah
xanthones, yang menunjukkan berbagai sifat farmakologis yang signifikan
(Sidahmed et al., 2013). Lateks oranye seperti iodin dari kulit batang geronggang
mengandung senyawa xanthone tersebut (Jusoh et al., 2015).
Xanthone adalah senyawa fitokimia yang ditemukan di sejumlah buah
dan sayuran. Secara karakteristik biologis, biokimia dan farmakologis, xanthone
memiliki sifat yang beragam. Kandungan fitokimia dalam geronggang dapat
dilihat dalam tabel 10.2.
Ekstraksi kulit batang menggunakan pelarut organik yang dilanjutkan
dengan pemurnian menggunakan prosedur pemurnian standar menghasilkan tiga
xanthones yang sudah dikenal, pruniflorone H, cochinchinone C dan
macluraxanthone. Dengan menggunakan prosedur yang sama, antrakuinon,
vismiaquinon diisolasi dari akar tanaman (Jusoh et al., 2015)
Studi fitokimia yang dilakukan pada daun geronggang dengan metode
pemurnian yang sama mengidentifikasi adanya kandungan senyawa astilbin.
Senyawa ini memiliki aktivitas imunosupresif yang unik yang dapat melakukan
penghambatan selektif terhadap limfosit T teraktivasi. Astilbin ini bermanfaat
untuk pengobatan penyakit kekebalan tubuh manusia (Jusoh et al., 2013).
Senyawa astilbin yang merupakan salah satu jenis flavonoid yang ditemukan
dalam daun geronggang diidentifikasi menggunakan Nuclear Magnetic
Resonance (NMR). Spektroskopi NMR ini merupakan metode yang sangat
berguna dalam berbagai bidang ilmu farmasi seperti analisis farmasi, kimia obat,
kimia produk alami, dan teknologi farmasi.

132
Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Poensial Bumi Lancang Kuning
Tabel 10.2. Fitokimia dalam geronggang
Nama Senyawa Golongan Sumber
α-Mangostin
β-mangostin
pruniflorone H
cochinchinone C
Macluraxanthone
1,3,8-trihydroxy-2,4-
dimethoxyxanthone
1,7-dihydroxy-2,8-dimethoxyxanthone
1,3,7-trihydroxy-6-methoxy-4,5-di(3-
methylbut-2-enyl)xanthone
5'-demethoxycadensin G (Sim et al., 2011), (Jusoh
fuscaxanthone C et al., 2015), (Reutrakul
3-geranyloxy-6-methyl-1,8- et al., 2006),
dihydroxyanthrakuinon (Sim et al., 2011),
Vismiakuinon (Pattanaprateeb et al.,
Xanthone
1,8-dihydroxy-3-methoxy-6- 2005)
methylanthrakuinon
stigmasterol
Friedelin
1,3-dihydroxy-6,7-dimethoxy-
2,8,diprenylxanthone
Fuscaxanthone C
1,7-dihydroxyxanthone
3-geranyloxy-6-methyl-1,8-
dihydroxyanthrakuinon
2-geranylemadin
Vismion Kuinon (Mian, 2007)
Vismiakuinon
1,8-dihyroxy-3-methoxy-6-methyl
anthrakuinon
Friedelin Triterpenoid (Mian, 2007)
Vismiaquinon Antrakuinon (Jusoh et al., 2015)
Astilbin Flavanonol (Jusoh et al., 2013)

133
Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Potensial Bumi Lancang Kuning
B. Pemanfaatan Geronggang Sebagai Biofarmaka
Struktur kimia yang beragam dalam obat alami telah menjadi sumber
penting untuk penemuan obat. Tanaman obat yang memiliki banyak keunggulan
dapat dikembangkan sebagai nanomedisin imunomodulator. Ada banyak
tanaman obat yang mengandung senyawa yang memiliki aktivitas
imunomodulator, baik menekan atau merangsang kekebalan yang dapat
digunakan dalam pengobatan sebagian besar penyakit (Habbash et al., 2017).
Pemanfaatan geronggang di bidang kesehatan dapat diketahui dari
beberapa penelitian, diantaranya sebagai obat maag (H. M. A. Sidahmed et al.,
2013), obat kanker (Ibrahim, Hashim, Mohan, Abdulla, Abdelwahab, et al.,
2014), Anti HIV (Reutrakul et al., 2006), obat tumor (Ibrahim, Hashim, Mohan,
Abdulla, Kamalidehghan, et al., 2014), obat leukimia (Mian, 2007) dan anti
inflamasi (Liu et al., 2012). Geronggang juga mengandung antioksidan dengan
efek chelating pada ion ferro, radikal hidroksil, dan scavenging hidrogen
peroksida. (Suhartono et al., 2012)
Pemanfaatan geronggang sebagai biofarmaka yang telah diketahui adalah
α-mangostin (AM) dan β-mangostin (BM). Keduanya merupakan zat yang paling
banyak diteliti kegunaannya karena kedua zat tersebut sudah banyak ditemukan
pada tanaman lain dan terbukti memiliki banyak manfaat. Tes antioksidan yang
dilakukan juga memberikan hasil yang menjanjikan dengan kedua senyawa
mangostin menunjukkan sifat penghambat oksidasi (antioksidan) yang baik.
Hasil Ini ditunjukkan oleh 5'-demethoxycadensin G (1) dan β-mangostin (3) dari
Cratoxylum glaucum (Sim et al., 2011).
B.1. α-Mangostin (AM)
α-Mangostin (AM), adalah xanthone terprenilasi yang diisolasi dari
bagian tanaman geronggang. Senyawa alami ini dilaporkan sebelumnya memiliki
banyak sifat biologis, seperti anti inflamasi, dan aktivitas antioksidan (Liu et al.,
2012). α-Mangostin (AM) berbentuk bubuk kuning dengan struktur inti
xanthone yang merupakan salah satu metabolit sekunder pada tanaman. AM ini
diyakini bermanfaat bagi kesehatan karena menunjukkan spektrum yang luas
untuk aktivitas biologis seperti anti inflamasi (Perez-Rojas et al., 2009; Saleem,
2009), anti tumor (Kaomongkolgit et al., 2011; Wang et al., 2012), anti diabetes
(Nelli et al., 2013), anti bakteri (Koh et al., 2013), antijamur (Kaomongkolgit et
al., 2009), antioksidan (Ngawhirunpat et al., 2010; Perez-Rojas et al., 2009),

134
Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Poensial Bumi Lancang Kuning
antiparasit (Kumar et al., 2010), antiobesitas (Devalaraja et al., 2011) dan
perlindungan kesehatan jantung (Sampath & Kannan, 2009).
AM juga menunjukkan efek apoptosis pada sel kanker serviks manusia
(HeLa). Efek sitotoksik AM terhadap viabilitas HeLa dan garis sel ovarium normal
manusia (SV40) dievaluasi dengan menggunakan uji MTT. Hasilnya
menunjukkan bahwa AM menghambat viabilitas sel HeLa dengan nilai IC50 24,53
± 1,48 µM. AM menginduksi apoptosis mitokondria tergantung pada dosis yang
digunakan. AM memberikan efek antitumor yang luar biasa dan menginduksi
perubahan morfologi apoptogenik yang khas pada sel HeLa, yang ditunjukkan
dengan terjadinya kematian sel. Studi ini mengungkapkan bahwa AM bisa
menjadi senyawa anti tumor potensial pada kanker serviks in vitro dan dapat
dipertimbangkan untuk pengujian praklinis dan in vivo kanker serviks lebih
lanjut (Habbash et al., 2017).
Sebagai agen anti-kanker, AM telah dilaporkan mampu menginduksi
apoptosis dan kematian sel pada berbagai jenis sel kanker (Ibrahim et al., et al.,
2014). AM menginduksi apoptosis dan penangkapan siklus sel pada kanker kolon
manusia sel DLD-1 (Matsumoto et al., 2005), apoptosis pada sel kanker payudara
manusia MCF-7 dengan regulasi modulasi protein NF-κB dan Hsp70 (Ibrahim et
al., 2014), apoptosis pada sel kanker payudara manusia MDA-MB-231 oleh NF-
κB dan jalur pensinyalan HSP70 (Ibrahim et al., 2014), dan disfungsi mitokondria
pada sel HL60 leukemia manusia (Matsumoto et al., 2004). Sejauh ini, efek
sitotoksik AM yang signifikan belum teramati dalam sel kanker serviks, namun
hasil penelitian menemukan efek anti tumor dari senyawa ini pada garis sel
kanker serviks HeLa.
Ibrahim et al. (2014) mengisolasi α-mangostin 4 dari ekstrak kulit batang
geronggang dan secara ekstensif mempelajari mekanisme di balik efek apoptosis
pada garis sel kanker MDA-MB-231 (kanker payudara manusia). Ren et al (2011)
pada awalnya menunjukkan bahwa peningkatan lipofilisitas inti mangostin
berkontribusi terhadap aktivitas penghambatan pertumbuhan keseluruhan sel
kanker MDA-MB-231 ini. Penelitian lebih lanjut harus dilakukan untuk
mengumpulkan informasi lebih dalam mengenai kontribusi penurunan polaritas
α-mangostin dalam aktifitasnya.

135
Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Potensial Bumi Lancang Kuning
AM menunjukkan sitotoksisitas selektif terhadap sel kanker tanpa
memberikan efek toksisitas terhadap sel normal bahkan pada dosis 30 μg/ml.
Lebih lanjut, konsumsi AM pada 30 dan 60 mg/kg secara signifikan mengurangi
ukuran tumor pada hewan model kanker payudara. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa AM adalah agen yang berpotensi untuk pengobatan kanker
payudara (Ibrahim et al., 2014)
Peneltian efek a-mangostin untuk mengobati tukak lambung pada tikus
sudah dilakukan (Sidahmed et al., 2013). AM (10 dan 30 mg/kg) masing-masing
menghambat luka lambung yang diinduksi etanol secara signifikan (P<0,05)
masing-masing sebesar 66,04% dan 74,39%. Senyawa tersebut juga menginduksi
ekspresi Hsp70, mengembalikan kadar GSH, mengurangi peroksidasi lipid, dan
menghambat aktivitas COX-2. AM menunjukkan efektifitas dalam mengobati
tukak labung secara in vitro.
Sidahmed et al (2013) mengisolasi beberapa xanthone yang diprenilasi
dari fraksi terlarut kloroform dari ekstrak metanol batang kering, di antaranya
adalah -mangostin 4 dan 1,3,7-trihy-droxy-2,4-diisoprenylxanthone 5. Hanya
satu senyawa -mangostin dalam uji pendahuluan yang memperlihatkan aktifitas
sebagai agen sitotoksik terhadap garis sel kanker HT-29 (kanker usus manusia).
Senyawa 3,6-Di-O-asetil-a-mangostin 6 dan 6-O-ben-zoyl-a-mangostin 7
ditemukan sebagai agen yang paling aktif, dengan nilai IC 50 masing-masing 1,0
mM dan 1,9 mM. Namun, aktivitas tersebut tidak dapat direproduksi secara in
vivo menggunakan uji serat berlubang pada dosis tertinggi yang diuji (20 mg/kg).
Sehingga, bahan-bahan ini perlu segera diuji secara in vitro dan in vivo lebih
lanjut untuk menggali lebih dalam potensi mereka sebagai agen antikanker.
Peran penting Senyawa -mangostin dalam patogenesis kanker usus juga diteliti
oleh Hassanzadeh (2011), yang melaporkan nilai IC50 untuk -mangostin 4 dan
3,6-di-O-methyl-a-mangostin 8 masing-masing 3,3 mM dan 0,9 mM.
B.2. β-mangostin (BM)
β-mangostin (BM) dari Cratoxylum arborescens menunjukkan berbagai
aktivitas farmakologis seperti antikanker, anti inflamasi dan anti-HIV (Reutrakul
et al., 2006). Sidahmed et al. (2016) melaporkan bahwa BM berpotensi untuk
melindungi mukosa lambung dari kerusakan histolis oleh alkohol. BM secara
signifikan mengurangi pembentukan daerah ulkus, edema submukosa, dan
infiltrasi leukosit. Senyawa ini secara signifikan meningkatkan kandungan

136
Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Poensial Bumi Lancang Kuning
homogenat lambung prostaglandin E2 glutathione, superoksida dismutase,
katalase, dan senyawa sulfhidril nonprotein. BM juga menghambat peroksidasi
lipid yang ditunjukkan oleh berkurangnya kandungan malondialdehida di
lambung. BM memiliki aktivitas gastroprotektif, yang dapat dikaitkan dengan
antisekresi, produksi lendir, antioksidan, HSP70, antiapoptotik, dan anti-H
(Sidahmed et al., 2016).
Mekanisme apoptosis yang diinduksi oleh β-mangostin dalam garis sel
leukemia promyelositik manusia (HL60) in vitro dilaporkan oleh Abdelmutaal et
al. (2017). Hasil pengujian yang dilakukan mengungkapkan bahwa β-mangostin
menghambat pertumbuhan HL60 pada 58 µM dalam 24 jam. Secara keseluruhan,
β-mangostin menunjukkan efek antiproliferasi pada HL60 melalui penghentian
siklus sel pada fase G0/G1 dan mendorong jalur apoptosis intrinsik.

Gambar 10.1. Struktur kimia α-mangostin (kir) (Kaomongkolgit et al., 2011)


dan struktur kimia β-mangpostin (kanan) (Sidahmed et al., 2016)
B.3. Zat Lainnya
Ekstrak kasar klorofom dan metanol menunjukkan aktivitas sitotoksik
yang baik dengan nilai IC50 masing-masing 16 dan 18 μg/ml. Namun begitu,
aktivitas antimikroba pada empat jenis bakteria (Methicilin Resistant
Staphylococcus aures, Pseudomonas aeruginosa, Staphylococcus typhimurium
dan Bacillus subtilis) hanya menunjukkan aktifitas lemah. Uji larva dilakukan
terhadap larva jenis Aedes aegyti menggunakan prosedur WHO (1981) yang
dimodifikasi. Namun hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa ekstrak kasar
heksana, kloroform dan metanol dari geronggang tidak memiliki efektifitas
terhadap larva Aedes aegyti. (Mian, 2007).
Beberapa jenis xanthone dalam daun dan ranting geronggang diketahui
sebagai anti-HIV. (1,3,8-trihydroxy-2,4-dimethoxyanthone (1) euxanthone (4),
betulinic acid (8), lup-20(29)-ene-3B,30-diol (9), 3B-hydroxylup20(29)-en-30-

137
Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Potensial Bumi Lancang Kuning
oic acid (10), 3,4-dihydroxy-benzoic acid (11) menunjukkan aktivitas anti HIV-
1 dalam pegujian syncytium menggunakan virus MC99 dan sistem garis sel 1A2
(IC50 bernilai antara 3.9 dan 32.2 μg/mL dengan jangkauan TI dari 1.5 sampai
11.7) sementara (1,3,7-trihydroxy-6-methoxy-4,5-di(3-methylbut-2-
enyl)xanthone (3), euxanthone (4), betulinic acid (8), lup-20(29)-ene-3B,30-diol
(9), 3B-hydroxylup20(29)-en-30-oic acid (10) menghambat HIV-1 dengan nilai
IC50 8.7 dan 84.9 μg/ml (Reutrakul et al., 2006).

C. Evaluasi Efek Samping dan Bahaya


Untuk mengevaluasi efek samping dan bahaya penggunaan β-mangostin
dari geronggang, Syam et al. (2014) sudah melakukan pengujian pada tikus.
Penelitian tersebut bertujuan untuk menyelidiki sitotoksisitas dan toksisitas akut.
Pengujian terhadap tikus ICR jantan dan betina yang sehat dilakukan untuk
melihat parameter biokimiawi, hematologis dan klinis serta analisis
histopatologis. Hasilnya menunjukkan bahwa tidak ada toksisitas akut terkait
pengobatan pada tikus setelah pemberian oral selama 14 hari sebanyak 250 dan
500mg/kg β-mangostin, sehingga senyawa tersebut dapat dipilih untuk penelitian
kanker payudara in vitro dan in vivo. Tingkat stres oksidatif juga dianalisis
menggunakan pengukuran MDA dan GSH. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
pemberian β-mangostin secara oral tidak menyebabkan penurunan tingkat
pertumbuhan, hematologi dan parameter biokimiawi klinis serta tidak mengubah
biomarker stres oksidatif. Secara histologis juga tidak nampak perubahan
patologis pada hati dan ginjal (Syam et al., 2014).
Efek toksisitas dari penggunaan AM dan BM untuk menyelidiki
sitotoksisitas in vitro pada sel normal WRL-68 dan efek in vivo pada parameter
histobiochemical ginjal dan hati, berat organ relatif, profil lipid, peroksidasi dan
berkurangnya glutathione pada ICR tikus betina dan tikus jantan juga sudah
dilakukan. AM diambil dari kulit batang kering geronggang yang diekstraksi
secara berurutan dengan heksana, kloroform, dan metanol. AM diberikan secara
oral dengan dosis tunggal 0, 100, 500 dan 1000 mg/kg berat badan. Hasil
pengujian menunjukkan bahwa AM tidak menyebabkan efek buruk pada berat
badan, berat organ, biokimia serum, histopatologi dan biomarker stres oksidatif.
Di sisi lain, senyawa alami ini menunjukkan aktivitas sitotoksik yang rendah
terhadap sel-sel hati normal (WRL-68) dengan IC50 = 65 μg/ml (Ibrahim et al.,
2015).
138
Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Poensial Bumi Lancang Kuning
Tidak ada perubahan fisiologis, perilaku yang abnormal atau perubahan
berat badan oleh pemberian AM pada setiap titik waktu pengamatan selama dua
minggu. Pemeriksaan histologis untuk hati dan ginjal dan analisis biokimia serum
juga tidak menunjukkan perbedaan dibandingkan dengan kelompok kontrol.
Dengan kata lain, AM dapat digunakan dengan aman tanpa menimbulkan
masalah toksikologis (H. M. A. Sidahmed et al., 2013).

Daftar Pustaka
Bennett, G. J., & Harrison, L. J. (1993). Triterpenoids, tocotrienols and xanthones from
the bark of Cratoxylum choichinense. Phytochemistry, 32(5), 13–19.
Boonsri, S., Karalai, C., & Ponglimanont, C. (2006). Antibacterial and cytotoxic xanthones
from the roots of Cratoxylum formosum, 67, 723–727.
https://doi.org/10.1016/j.phytochem.2006.01.007
Chabib, L., Muhtadi, W. K., Rizki, M. I., Rahman, R. A., & Rahman, M. (2018). Potential
medicinal plants for improve the immune system from Borneo Island and the
prospect to be developed as nanomedicine. In MATEC Web if Conferences
(Vol. 4006, pp. 1–6). Les Ulis. https://doi.org/10.1051/matecconf/201815404006
Devalaraja, S., Jain, S., & Yadav, H. (2011). Exotic fruits as therapeutic complements for
diabetes , obesity and metabolic syndrome Oxidative stress. Food Research
International, 44(7), 1856–1865. https://doi.org/10.1016/j.foodres.2011.04.008
Ee, G. C. L., Jong, V. Y. M., Sukari, M. A., Lee, T. K., & Tan, A. (2010). Anthraquinones
from Cratoxylum aborescens ( Guttiferae ). Pertanika J. Sci. Technol, 18(April
2008), 77–81.
Habbash, A. I. El, Hashim, N. M., Ibrahim, M. Y., Yahayu, M., Abd, F., Omer, E., &
Rahman, M. A. (2017). In vitro assessment of anti-proliferative effect induced
by α-mangostin from Cratoxylum arborescens on HeLa cells. PeerJ, 5(e), 1–20.
https://doi.org/10.7717/peerj.3460
Ibrahim, M. Y., Hashim, N. M., Mohan, S., Abdulla, M. A., Abdelwahab, S. I., Arbab, I.
A., … Ali, L. Z. (2015). α-Mangostin from Cratoxylum arborescens: An in vitro
and in vivo Toxicological Evaluation. Arabian Journal of Chemistry, 8, 129–
137. https://doi.org/10.1016/j.arabjc.2013.11.017
Ibrahim, M. Y., Hashim, N. M., Mohan, S., Abdulla, M. A., Abdelwahab, S. I.,
Kamalidehghan, B., … Ali, H. M. (2014). Involvement of NF- κ B and HSP70
signaling pathways in the apoptosis of MDA-MB-231 cells induced by a
prenylated xanthone compound , α-angostin , from Cratoxylum arborescens.
Drug Design, Development and Therapy, 8(December), 2193–2211.
https://doi.org/10.2147/DDDT.S66574
Ibrahim, M. Y., Hashim, N. M., Mohan, S., Abdulla, M. A., Kamalidehghan, B.,
Ghaderian, M., … Ali, H. M. (2014). α-Mangostin from Cratoxylum
arborescens demonstrates apoptogenesis in MCF-7 with regulation of NF-κB
139
Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Potensial Bumi Lancang Kuning
and Hsp70 protein modulation in vitro, and tumor reduction in vivo. Drug
Design, Development and Therapy, 8(October), 1629–1647.
https://doi.org/10.2147/DDDT.S66105
Iinuma, M., Tosa, H., Ito, T., Tanaka, T., & Madulid, D. A. (1996). Two xanthones from
roots of cratoxylum formosanum. Phytochemistry, 42(4), 1195–1198.
Jusoh, S., Din, L. B., & Zakaria, Z. (2015). Xanthones and an anthraquinone from stem
bark and roots of Cratoxylum Arborescens. The Malaysian Journal of
Analytical Sciences, 19(4), 745–751.
Jusoh, S., Zakaria, Z., & Din, L. B. (2013). Isolation of astilbin from leaves of Cratoxylum
arborescens. The Malaysian Journal of Analytical Sciences, 17(3), 430–435.
Kaomongkolgit, R., Chaisomboon, N., & Pavasant, P. (2011). Apoptotic effect of alpha-
mangostin on head and neck squamous carcinoma cells. Archives of Oral
Biology, 56(5), 483–490. https://doi.org/10.1016/j.archoralbio.2010.10.023
Kaomongkolgit, R., Jamdee, K., & Chaisomboon, N. (2009). Antifungal activity of alpha-
mangostin against Candida albicans. Journal of Oral Science, 51(3), 401–406.
Koh, J., Qiu, S., Zou, H., Lakshminarayanan, R., Li, J., Zhou, X., … Beuerman, R. W.
(2013). Biochimica et Biophysica Acta Rapid bactericidal action of alpha-
mangostin against MRSA as an outcome of membrane targeting. Biochimia et
Biophysica Acta, 1828(2), 834–844.
https://doi.org/10.1016/j.bbamem.2012.09.004
Kumar, R. B., Shanmugapriya, B., Thiyagesan, K., Kumar, S. R., & Xavier, S. M. (2010). A
search for mosquito larvicidal compounds by blocking the sterol carrying
protein , AeSCP-2 , through computational screening and docking strategies.
Pharmacognosy Research, 2(4), 247–254. https://doi.org/10.4103/0974-
8490.69126
Liu, S., Lee, L., Hu, N., Huange, K., Shih, Y., Munekazu, I., … Chen, T. (2012). Effects of
alpha-mangostin on the expression of anti-inflammatory genes in U937 cells.
Chinese Medicine, 7(19), 1–11.
Mian, V. J. Y. (2007). Chemical Constituents from Bintangor (Calophyllum
inophyllum)and Geronggang (Cratoxylum arborescens) and Their Biological
Activities. Universitu Putra Malaysia.
Nelli, G. B., K, A. S., & Kilari, E. K. (2013). Antidiabetic effect of α -mangostin and its
protective role in sexual dysfunction of streptozotocin induced diabetic male
rats. Informa Healthcare, 59(6), 319–328.
https://doi.org/10.3109/19396368.2013.820369
Ngawhirunpat, T., Opanasopi, P., Sukma, M., Sittisombut, C., & Adachi, I. (2010).
Antioxidant , free radical-scavenging activity and cytotoxicity of different
solvent extracts and their phenolic constituents from the fruit hull of
mangosteen ( Garcinia mangostana ). Pharmaceutical Biology, 48(1), 55–62.
https://doi.org/10.3109/13880200903046138

140
Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Poensial Bumi Lancang Kuning
Nguyen, L. H. D., & Harrison, L. J. (1998). Triterpenoid and xanthone constituents of
Cratoxylum cochinchinense. Phytochemistry, 50, 471–476.
Pattanaprateeb, P., Ruangrungsi, N., & Cordell, G. A. (2005). Cytotoxic Constituents from
Cratoxylum arborescens. Planta Med, 71, 181–183. https://doi.org/10.1055/s-
2005-837788
Perez-Rojas, J. M., Cruz, C., Garcia-Lopez, P., Sanchez-Gonzales, D. J., Martinez-
Martinez, C. M., Ceballos, G., … Pedraza-Cheverri, J. (2009). Renoprotection
by a-mangostin is Related to The Attenuation in Renal Oxidative/Nitrosative
Stress Induced by Cisplatin Nephrotoxicity. Free Radical Research,
43(November), 1122–1132. https://doi.org/10.1080/10715760903214447
Ren, Y., Matthew, S., Lantvit, D. D., Ninh, T. N., Chai, H., Fuchs, J. R., … Kinghorn, A.
D. (2011). Cytotoxic and NF-K B Inhibitory Constituents of the Stems of
Cratoxylum cochinchinense and Their Semisynthetic Analogues. Journal of
Natural Products, 74(5), 1117–1125.
https://doi.org/https://doi.org/10.1021/np200051j
Reutrakul, V., Chanakul, W., & Pohmakotr, M. (2006). Anti-HIV-1 Constituents from
Leaves and Twigs of Cratoxylum arborescens. Planta Med, 72, 1433–1435.
https://doi.org/10.1055/s-2006-951725
Saleem, M. (2009). Lupeol , a Novel Anti-inflammatory and Anti-cancer Dietary
Triterpene. Cancer Letters, 285(2), 109–115.
https://doi.org/10.1016/j.canlet.2009.04.033
Sampath, P. D., & Kannan, V. (2009). Mitigation of Mitochondrial Dysfunction and
Regulation of eNOS Expression During Experimental Myocardial Necrosis by
Alpha-Mangostin , a Xanthonic derivative from Garcinia mangostana. Drug
and Chemical Toxicology, 32(June), 344–352.
https://doi.org/10.1080/01480540903159210
Sia, G., Bennett, G. J., Harrison, L. J., & Sim, K. (1995). MINOR XANTHONES FROM
THE BARK OF C R A T O X Y L U M. Phytochemistry, 38(6), 1521–1528.
Sidahmed, H. M. A., Abdelwahab, S. I., Mohan, S., Abdulla, M. A., Mohamed, M., Taha,
E., … Yahayu, M. (2013). α-Mangostin from Cratoxylum arborescens ( Vahl )
Blume Demonstrates Anti-Ulcerogenic Property : A Mechanistic Study.
Evidence-Based Complementary and AlternativeMedicine, 2013, 1–10.
https://doi.org/http://dx.doi.org/10.1155/2013/450840
Sidahmed, H. M. Al, Mashim, N. M., Mohan, S., Abdelwahab, S. I., Taha, M. M. E.,
Dehghan, F., … Vadivelu, J. (2016). Evidence of the gastroprotective and anti-
Helicobacter pylori activities of β -mangostin isolated from Cratoxylum ...
Evidence of the gastroprotective and anti- Helicobacter pylori activities of β -
mangostin isolated from Cratoxylum arborescens (vahl) bl. Drug Design,
Development and Therapy, 10(January), 297–313.
https://doi.org/10.2147/DDDT.S80625

141
Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Potensial Bumi Lancang Kuning
Sim, W. C., Jiang, L. C., Ee, G. C. L., & Sukari, M. A. (2011). Cratoxylum glaucum and
Cratoxylum arborescens (Guttiferae) - Two Potential Source of Antioxidant
Agents. Asian Journal of Chemistry, 23(2), 569–572.
Suhartono, E., Viani, E., Rahmadhan, M. A., Gultom, I. S., Rakhman, M. F., &
Indrawardhana, D. (2012). Total flavonoid and Antioxidant Activity of Some
Selected Medicinal Plants in South Kalimantan of Indonesian. APCBEE
Procedia, 4, 235–239. https://doi.org/10.1016/j.apcbee.2012.11.039
Syam, S., Bustamam, A., Abdullah, R., Sukari, M. A., Hashim, N. M., Yahayu, M., …
Abdelwahab, S. I. (2014). Cytotoxicity and Oral Acute Toxicity Studies of β -
mangostin Isolated from Cratoxylum arborescens. PHCOG J, 6(1), 47–56.
https://doi.org/10.5530/pj.2014.1.8
Wang, J. J., Sanderson, B. J. S., & Zhang, W. E. I. (2012). Significant Anti-invasive
Activities of α-Mangostin from the Mangosteen Pericarp on two Human Skin
Cancer Cell Lines. Anticancer Research, 32(9), 3805–3816.
Yahayu, M. A., Rahmani, M., Hashim, N. M., Ee, G. C. L., Sukari, M. A., & Akim, A. M.
(2013). Cytotoxic and antimicrobial xanthones from Cratoxylum arborescens (
Guttiferae ). Malaysian Journal of Science, 32(1), 53–60.
Yusro, F. (2010). Rendemen Ekstrak Etanol Dan Uji Fitokimia Tiga Jenis Tumbuhan Obat
Kalimantan Barat. Jurnal Tengkawang Fakultas Kehutanan Universitas
Tanjungpura. 1(1):29-36. Jurnal Tengkawang, 1(1), 29–36.

142
Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Poensial Bumi Lancang Kuning
XI.
HUTAN TANAMAN GERONGGANG
SEBAGAI SUMBER PAKAN LEBAH
(Avry Pribadi)

A. Jenis-jenis Lebah yang dapat Dimanfaatkan di Hutan Tanaman


Geronggang
Lebah madu merupakan salah satu dari kelompok serangga yang seluruh
kegiatannya memberikan dampak positif bagi manusia baik sebagai penghasil
madu maupun sebagai agen penyerbuk. Lebih lanjut, menurut Puslitbang
Perkebunan (2015), terdapat sekitar 95% dari 3 juta koloni lebah madu yang
dibudidayakan di Amerika Serikat digunakan sebagai serangga polinator
dibandingkan sebagai penghasil madu. Kini, tidak kurang dari 30% produk
pangan yang diproduksi di Amerika Serikat membutuhkan jasa lebah madu
sebagai serangga polinatornya.
Sedikitnya terdapat 2 jenis lebah madu ternak yang banyak dan umum
digunakan oleh masyarakat, yaitu Apis cerana dan Apis mellifera. Kedua jenis
lebah ini termasuk ke dalam jenis lebah bersengat. Jenis lebah lain adalah Trigona
itama yang termasuk ke dalam kelompok lebah tidak bersengat (stingless bee).
Apis cerana adalah jenis lebah madu lokal Asia yang menyebar hampir di
seluruh Indonesia kecuali Maluku dan Papua (Hadisoesilo, 2001). A. cerana
merupakan salah satu jenis lebah madu lokal yang banyak diternakkan. Akan
tetapi sekarang populasinya terdesak oleh kedatangan A. mellifera yang berasal
dari Eropa dan Australia. Sebenarnya lebah A. cerana memiliki keunggulan
dalam hal beradaptasi dengan lingkungan tropis dan lebih tahan serangan hama
dan penyakit terutama Varoa sp akan tetapi produktivitas madunya lebih rendah
dibandingkan lebah A. mellifera.
Lebih lanjut, lebah lokal ini umumnya dikenal sebagai lebah unduan,
lebah lalat, tawon laler (bahasa Jawa), lebah gula, lebah sirup atau lebah kecil.
Lebah A. cerana ada yang dipelihara (diternakkan) dan ada juga yang hidup liar.
Lebah A. cerana merupakan lebah asli Asia dan memiliki ukuran tubuh yang
lebih kecil dan relatif lebih galak dibandingkan lebah A. mellifera. Produksi
143
Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Potensial Bumi Lancang Kuning
madunya tidak begitu banyak, yaitu sekitar 6-12 kilogram setiap tahun untuk satu
koloni lebah. Lebah ini cukup banyak dipelihara di desa-desa dengan
menggunakan sistem gelodok yang tempatnya terbuat dari batang pohon kelapa
yang dibelah dua dan biasanya diletakkan di dahan pohon yang ada di sekitar
rumah. Lebah A. cerana yang hidup liar tinggal di rongga- rongga pohon atau di
dahan-dahan pohon besar yang terlindung dari terik sinar matahari dan hujan,
ada juga yang hidup di atap rumah-rumah tua yang sudah tidak dihuni (Warisno.,
1996).
Jenis lebah lain yang berasal dari genus Apis adalah A. mellifera. Jenis ini
menjadi pilihan utama para peternak lebah madu dikarenakan produksi madunya
yang tinggi dan juga tidak terlalu agresif seperti A. cerana. Kemampuan
memproduksi madu yang sangat tinggi menjadikan lebah ini banyak
diperkenalkan ke wilayah baru yang sebelumnya merupakan daerah penyebaran
A. cerana (Free, 1982). Akan tetapi, jenis ini memiliki kelemahan yaitu sangat
rentan terhadap serangan hama dan penyakit terutama Varroa sp. Selain itu,
lebah A. mellifera membutuhkan jumlah pakan yang banyak sehingga kurang
menyukai lokasi yang memiliki sumber pakan sedikit.
A. mellifera sering juga disebut dengan lebah Eropa, namun lebih dikenal
dengan nama lebah Italia ataupun lebah Australia. Ukuran lebah ini lebih besar
bila dibandingkan dengan A. cerana dan sifatnya tidak terlalu ganas meskipun
dapat menyengat. Lebah ini cukup mudah untuk diternakkan karena selain jinak
juga dapat memproduksi madu yang cukup tinggi, yaitu sekitar 30-60 kg/tahun
pada setiap koloni lebah. Lebah ini banyak diternakkan oleh pemerintah (Dinas
Kehutanan/Perum Perhutani) dan perusahaan-perusahaan swasta.
Selain jenis lebah yang berasal dari genus Apis, terdapat juga jenis lebah
dari kelompok tidak bersengat (stingless bees) dari genus Trigona sp. yang sudah
lama dikenal oleh masyarakat Indonesia. Di Jawa, lebah jenis tersebut dikenal
dengan sebutan lanceng, didaerah sunda biasa disebut teuwel, di Riau dan
Sumatera Barat biasa disebut galo-galo atau lebah lilin. Kelebihan lebah Trigona
sp. adalah tidak mempunyai sengat (Stinglees bee). Sebagai kompensasi tidak
adanya sengat pada lebah Trigona sp., koloni tersebut memproduksi propolis
lebih banyak sebagai mekanisme pertahanan diri yang berfungsi mensterilkan
sarang dari organisme pengganggu seperti bakteri, cendawan dan virus. Ukuran
tubuh lebah ini relatif kecil sehingga mampu mengambil nektar di bunga yang

144
Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Poensial Bumi Lancang Kuning
relatif kecil. Dengan demikan lebah Trigona sp. mempunyai variasi makanan
yang lebih banyak dibanding lebah jenis Apis sehingga sangat memungkinkan
diternak secara menetap tanpa harus digembala.
Stingless bees (Apidae: Melliponinae) merupakan lebah sosial yang tidak
memiliki sengat. Lebah T. laeviceps merupakan salah satu spesies dari stingless
bees yang berperan penting dalam penyerbukan tanaman di daerah tropis
(Willms, Imperatriz-Fonseca, & Engels, 1996). Kahono et al. (2012) melaporkan
bahwa ditemukan sebanyak enam jenis lebah (Apidae) yang diduga sebagai
penyerbuk potensial kelapa sawit, salah satunya yaitu T. laeviceps. Di Brazil, T.
spinipes dapat meningkatkan hasil panen pada jambu monyet (cashew) dari rata-
rata 780 g per pohon menjadi 3890 g per pohon (Freitas et al., 2014). Sedangkan
jenis lain, yaitu lebah T. itama memiliki penyebaran di daerah Sumatera,
Kalimantan, dan Semenanjung Malaysia (Purnomo et al., 2012). Ukuran tubuh
lebah T. itama ini lebih besar jika dibandingkan lebah Trigona spp. lainnya,
begitu juga dengan pot-pot madu dan bee bread tepung sari yang dihasilkannya
juga relatif lebih besar dan mencapai ukuran volume 0,01 liter.

B. Kebutuhan pakan lebah madu


B.1. Karbohidrat
Serupa dengan kelompok hewan pada umumnya, lebah madu
membutuhkan karbohidrat sebagai sumber energi. Seluruh bentuk dari
karbohidrat akan dikonversi menjadi glukosa yang akan memasuki siklus Krebs
untuk memproduksi energi dalam bentuk ATP dan karbondioksida serta air
sebagai hasil akhirnya. Seekor lebah madu (A. mellifera) membutuhkan paling
sedikit 11 mg gula per hari. Sehingga sebuah koloni yang memiliki anggota 50.000
lebah akan membutuhkan paling sedikit 1,1 liter air gula 50% per harinya.
Lebah madu merupakan serangga herbivora yang hidup dengan
mengumpulkan makanan berupa nektar dan polen. Bagi lebah madu, nektar
adalah sumber utama karbohidrat. Nektar pada dasarnya terdiri atas dua
kelompok gula, yaitu sukrosa sebagai komponen penyusun utama, monosakarida
yang terdiri atas glukosa, fruktosa, dan bentuk lainnya sebagai komponen
penyusun kedua. Kosentrasi gula pada nektar bervariasi antara 10% s.d. 70%
(Nicolson & Thornburg, 2007). Akan tetapi lebah forager lebih menyukai nektar
dengan kandungan gula 30%-50% dan menghindari nektar dengan kandungan

145
Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Potensial Bumi Lancang Kuning
gula lebih dari 60% karena nektar akan terlalu kental dan sukar untuk diambil
(Wright et al., 2018). Terdapat dua tipe nektar yang diambil oleh lebah forager,
yaitu nektar floral yang disekresikan oleh bunga dan nektar ekstrafloral yang
disekresikan oleh bagian lain selain bunga, seperti ketiak daun tanaman Acacaia
mangium. Sumber nektar lain adalah honey dew yang disekresikan oleh serangga
dari kelompok aphids. Adapun jenis tanaman geronggang menghasilkan nektar
dari bagian bunga.
Di dalam aktivitasnya mengumpulkan nektar, lebah forager lebih
memilih nektar yang didominasi oleh gula sukrosa dibandingkan gula-gula
monosakarida. Pada uji coba yang dilakukan di laboratorium, lebah-lebah forager
menunjukkan perilaku yang lebih sensitif terhadap sukrosa dibandingkan dengan
glukosa yang ditandai dengan aktivitas pemanjangan proboscis dan antena
(Simcock et al., 2017). Sukrosa dipilih oleh lebah forager karena memiliki nilai
rata-rata metabolis per berat unit yang lebih tinggi dibandingkan gula sederhana.
B.1.1. Pengumpulan nektar.
Untuk mengumpulkan nektar, seekor lebah madu menggunakan
proboscis-nya untuk menghisap nektar dari bunga dan menyimpannya dalam
organ yang bernama honey crop yang berlokasi di organ proventrikulus. Honey
crop adalah bagian yang penting dalam sistem pencernaan yang berada pada
lokasi di antara foregut dan midgut dimana aktivitas pencernaan berlangsung
(Wright et al., 2018). Proventrikulus berfungsi melewatkan nektar ke midgut
untuk diproses sebagai energi yang kemudian digunakan ketika lebah pekerja
yang bertugas sebagai pencari nektar untuk menjalankan aktivitasnya (Lee et al.,
2015).
B.1.2 Konversi nektar ke madu.
Lebah pekerja yang bertugas sebagai pencari nektar akan menambahkan
enzim invertase dan glucose oxidase ke nekctar yang disimpan dalam organ
honey crop sebelum mereka terbang kembali ke koloninya untuk kemudian
diserahkan kepada lebah yang bertugas sebagai penerima dan penyimpan nektar.
Enzim invertase mengkonversi sukrosa yang merupakan disakarida menjadi dua
monosakarida, yaitu glukosa dan fruktosa. Selanjutnya beberapa bagian dari
glukosa akan bereaksi dengan enzim glukose oxidase dan akan dikonversi
menjadi asam dan hidrogen peroksida yang berfungsi untuk membunuh mikroba
dan menciptakan kondisi yang tidak menguntungkan bagi pertumbuhan mikroba

146
Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Poensial Bumi Lancang Kuning
tersebut (Lee et al., 2015). Setelah sampai di koloni, nektar tersebut akan
diberikan kepada lebah penerima dan oleh lebah penerima akan disimpan di sel-
sel heksagonal. Proses selanjutnya adalah menurunkan kadar air madu tersebut
menjadi 17% s.d 18% untuk kemudian ditutup dengan lilin lebah sebagai
cadangan makanan (Donkersley et al., 2017).
Pada dasarnya, madu yang tersimpan di dalam sel madu di dalam koloni
lebah memiliki kandungan gula dengan kosentrasi yang tinggi (80%) yang
didominasi oleh kelompok monosakarida seperti glukosa dan fruktosa, sedikit
sukrosa, dan kandungan air yang rendah (<20%). Tingginya kandungan gula
tersebut berakibat pada terbentuknya larutan gula kental yang dapat mencegah
pertumbuhan mikroorganisme (Donkersley et al., 2017). Selain itu, madu juga
mengandung asam amino dalam jumlah yang sedikit sebagai akibat dari aktivitas
lebah pekerja. Jenis asam amino proline merupakan asam amino yang dapat
dikonversi menjadi sumber energi bagi lebah untuk terbang. Kandungan lain
yang terdapat dalam madu adalah enzim diastase yang berfungsi untuk
menghidrolisis senyawa pati dan enzim invertase yang penting dalam
menghidrolisis sukrosa menjadi glukosa dan sukrosa. Lebih lanjut, senyawa fenol
juga merupakan komponen minor yang berkontribusi terhadap aroma, bau, dan
warna.
B.2. Protein
B. 2.1. Nilai pentingnya protein
Seluruh hewan membutuhkan asam amino esensial bagi kehidupannya
yang harus diperoleh dengan cara mencari karena tidak dapat disintesis oleh
mereka sendiri. Jika nektar digunakan lebah sebagai sumber energi, polen
berfungsi sebagai sumber protein, mineral, lipid, dan vitamin (Herbert jr. &
Shimanuki, 1978). Serupa dengan manusia, lebah madu juga membutuhkan 10
asam amino yang hanya dapat diperoleh dari polen. Kebutuhan polen untuk
setiap koloni bervariasi antara 10 kg s.d 26 kg per tahun. Kualitas polen sangat
menentukan kemampuan ratu lebah untuk bertelur, bahkan jumlah telur yang
diproduksi akan turun secara signifikan ketika koloni lebah mendapat diet polen
dengan kualitas rendah (G. J. Kleinschmidt & Kondos, 1976) dan juga
menurunkan umur lebah pekerja (Knox et al., 1971). Sehingga secara tidak
langsung, kekurangan ataupun kualitas polen yang buruk akan mempengaruhi
produktivitas koloni.

147
Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Potensial Bumi Lancang Kuning
Polen sebagai sumber protein disimpan di sel-sel dalam koloni lebah
dalam bentuk bee bread. Kandungan nutrisi bee bread berbeda-beda tergantung
asal sumber bunganya dan bervariasi antara 10%-30% protein, lipid sebanyak
3%-8%, dan karbohidrat yang berkontribusi 25%-30% yang berasal dari netar
atau madu yang sengaja ditambahkan oleh lebah (Susan Wendy Nicolson &
Human, 2013; Somerville, 2005). Komponen lain yang terdapat pada polen adalah
lemak. Lemak memiliki pengaruh yang penting karena berfungsi sebagai
attractant untuk lebah pekerja (Somerville, 2005). Selama masa hidupnya, lebah
madu membutuhkan sedikitnya sepuluh asam amino esensial yang tersedia pada
polen. Asam amino tersebut adalah methionine, threonine, valine, isoleucine,
histidine, leucine, phenylalanine, arginine, lysine, and tryptophan. Komposisi
karbohidrat dan protein pada bee bread sangat tergantung pada musim.
B. 2.2.Pengumpulan polen
Aktivitas pengumpulan polen dilakukan oleh lebah pekerja yang
memiliki tugas khusus sebagai pengumpul polen atau lebah pekerja yang mencari
nektar dan secara tidak sengaja tubuhnya terekspose atau menyentuh polen.
Setelah seluruh polen menempel pada tubuh lebah pekerja, lebah tersebut akan
mulai mengumpulkan polen tersebut dengan menirukan aktivitas seperti
menyisir dengan menggunakan kaki depan dan tengah untuk kemudian
dikumpulkan pada struktur khusus pada bagian kaki belakang yang disebut
cubicula atau pollen basket. Berbeda dengan madu, lebah pekerja pencari polen
akan langsung meletakkan polen yang diperoleh ke dalam sel-sel. Dikarenakan
adanya sekresi oleh beberapa lebah pekerja lainnya, polen yang berada di dalam
sel tersebut akan mengalami fermentasi yang membuat kandungan
karbohidratnya menurun, meningkatkan gula reduksi, dan menurunkan pH.
Terdapat tiga kelompok bakteri yang aktif dalam proses fermentasi ini, yaitu
Pseudomonas, Lactobacillus, and Saccharomyces.
Aktivitas pengumpulan makanan yang dilakukan oleh lebah tidak
semudah yang kita kira. Lebah-lebah pekerja yang bertugas sebagai pencari
makan (foragers) tidak mengumpulkan makanan secara random. Koloni lebah
memiliki mekanisme yang menarik dalam segala aktivitasnya terutama
pengumpulan makanannya. Aktivitas pengumpulan makanan yang dilakukan
lebah forager dimulai oleh lebah-lebah perintis yang memiliki tugas
mengumpulkan dan mencari informasi mengenai lokasi dimana sumber pakan
berada baik jarak dan jumlahnya. Setelah itu, lebah-lebah perintis tersebut akan
148
Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Poensial Bumi Lancang Kuning
kembali ke sarang dan melakukan aktivitas yang disebut tarian lebah ( waggle
dance) dan berusaha untuk menarik lebah-lebah forager (Seeley, 2010). Sehingga
di dalam koloni lebah bisa terdapat lebih dari satu tarian lebah. Beberapa lebah
forager akan datang dan mengevaluasi mengenai lokasi tersebut baik kuantitas
maupun jaraknya dan setelah kembali lebah tersebut akan menjadi “pendukung”
lebah yang menari tersebut. Setelah semua lebah forager bersepakat dengan
lokasi tersebut maka seluruh lebah-lebah foragers tersebut akan pergi dan
memulai aktivitas pengumpulan makanannya.
Tidak seperti nektar atau madu yang disimpan oleh lebah pekerja yang
bekerja di dalam sarang ( nurse bee), polen langsung disimpan di sel-sel dalam
sarang secara acak oleh lebah forager tanpa melalui perantara nurse bees. Proses
selanjutnya adalah pemindahan dan realokasi polen yang berada di sel-sel
tersebut ke sel-sel yang berada di sekeliling sel-sel anakan (brood cells). Hal ini
bertujuan untuk mendekatkan jarak antara polen dan brood cells sehingga
memudahkan proses pemberian makan oleh nurse bees ke larva-larva lebah.
Polen atau bee bread akan langsung dikonsumsi paling lama 3 hari oleh nurse
bees sehingga sangat jarang ditemukan sel bee bread sampai ditutup oleh lilin
seperti halnya pada madu (Anderson et al., 2014). Selanjutnya, beberapa studi
berhipotesa bahwa mikroorganisme anaerobic memberikan pengaruh yang
signifikan terhadap proses fermentasi polen menjadi bee bread. Terutama karena
mikroorganisme anaerobic tersebut seperti bakteri asam laktat yang banyak
ditemukan pada bagian crop perut lebah, ternyata juga ditemukan pada bee
bread. Oleh karena itu, peranan mikroorganisme seperti bakteri asam laktat
memiliki peranan yang penting dalam pembentukkan nektar menjadi madu dan
proses pematangan polen menjadi bee bread.
B.2.3. Proses konversi polen menjadi protein
Polen yang disimpan dalam sel-sel di dalam sarang lebah dicampur
dengan sekresi dari kelenjar glandular yang kemudian mengalami proses
fermentasi dan berubah menjadi bee bread. Bee bread inilah yang kemudian
dikonsumsi oleh lebah muda yang bertugas sebagai “dapur umum” untuk
kemudian didistribusikan ke seluruh anggota lebah. Sebagai contoh seekor larva
lebah membutuhkan 25-37.5 mg protein yang setara dengan 125-187.5 mg polen
(Hrassnigg & Crailsheim, 2005).

149
Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Potensial Bumi Lancang Kuning
Kemampuan lebah untuk menkonsumsi polen berbeda-beda bergantung
pada asal sumber polen tersebut. Hal tersebut diduga disebabkan oleh adanya
perbedaan komponen penyusun lapisan dinding sel polen (Wright et al., 2018).
Bagian terluar polen adalah exine yang tersusun atas sporopollenin. Kemudian
bagian selanjutnya adalah pollen kitt yang tersusun atas karbohidrat, protein, and
lemak. Sedangkan bagian ketiga adalah intine yang terdiri atas pectin dan
selulosa. Ketiga lapisan inilah yang perlu dihancurkan untuk memperoleh nutrisi
yang terdapat pada bagian sitoplasma. Sebagai akibatnya, polen sukar untuk
dicerna oleh lebah sehingga dibutuhkan bantuan dari mikroorganisme lain untuk
mempermudahnya.
Studi tentang peranan mikroorganisme dalam peningkatan kandungan
nutrisi bee bread masih belum banyak dilakukan. Satu studi melaporkan bahwa
dari tiga belas jenis bakteri asam laktat, dua jenis bakteri yang paling
mendominasi adalah Lactobacillus kunkeei and Alpha 2.2 (Acetobacteraceae)
yang hidup pada bagian crop di tubuh lebah dimana nektar disimpan sementara
oleh lebah pekerja dan nektar yang berada di crop inilah yang akan ditambahkan
pada polen. Lebih lanjut, aktivitas mikroba yang ditambahkan ke bee bread dapat
juga memicu pembentukan senyawa yang penting seperti vitamin B (Nicolson &
Human, 2013). Akan tetapi, terdapat hal yang menarik yang menyatakan bahwa
tidak ditemukannya keberadaan bakteri tersebut pada bee bread. Sehingga diduga
telah terbentuk kondisi lingkungan cocok untuk usaha pengawetan bee bread
dari aktivitas pembusukan (Anderson et al., 2014).

C. Pendugaan Jumlah Nektar dan Polen yang Dihasilkan oleh


Geronggang
Berbeda dengan jenis Acacia mangium dan Acacia crassicapa yang
mensekresikan nektar dari ketiak daun (nektar ekstraflora), jenis geronggang
hanya mensekresikan nektar melalui bunga. Perbedaan lainnya adalah jika A.
mangium dan A. crassicarpa sudah dapat mensekresikan nektar pada umur tiga
bulan dan setiap hari dapat mensekresikan nektar setiap hari sampai pada masa
tebang, maka geronggang hanya akan mensekresikan nektar pada masa berbunga
saja. Geronggang memiliki waktu berbunga hingga berbuah selama delapan bulan
(Alimah & Rusmana, 2013) yang meliputi masa berbunga pada bulan Juli hingga
September (Alimah & Rusmana, 2013) atau Agustus hingga November (Harrison
et al., 2013). Sedangkan masa berbuah bulan September hingga Desember
150
Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Poensial Bumi Lancang Kuning
(Alimah & Rusmana, 2013). Bunga geronggang termasuk bunga yang berukuran
kecil dan bertipe malai. Kelompok bunga ini terletak di ujung daun dan berwarna
merah hingga merah tua atau ungu tua dan memiliki panjang tangkai malai
mencapai 15 cm.
Selain itu, bunga geronggang tidak hanya menghasilkan nektar saja tetapi
juga pakan lebah berupa pollen atau tepung sari. Hal ini berbeda dengan A.
mangium dan A. crassicarpa yang meskipun telah menghasilkan nectar extraflora
pada umur tiga bulan, pollen baru akan muncul pada musim berbunga yang
dimulai pada saat umur empat atau lima tahun dimana sudah memasuki masa
tebang. Pribadi dan Purnomo (2013) menyatakan bahwa perkembangan koloni
lebah A. cerana dan A. mellifera yang ditempatkan di bawah tegakan A. mangium
menunjukkan kecenderungan penurunan tingkat kesehatan yang dilihat dari
rendahnya nilai crude protein tubuh lebah pekerja. Hal ini disebabkan oleh tidak
adanya tepung sari yang merupakan sumber protein bagi lebah. Menurut
Mourizio (1975), tepung sari penting bagi koloni lebah untuk menjaga tingkat
kesehatan lebah dan juga tingkat fekunditas ratu lebah. Sehingga hal ini juga
menjadi kelebihan lain yang dimiliki oleh jenis geronggang. Akan tetapi, belum
ada informasi yang lengkap mengenai potensi pollen baik berupa kualitas
maupun kuantitasnya terutama jika dikaitkan sebagai sumber protein bagi lebah
madu.
Sampai saat ini, belum diketahui mengenai potensi nektar sebagai sumber
pakan lebah yang sekaligus sebagai sumber pembuatan madu bagi koloni lebah.
Keterbatasan informasi ini yang menyulitkan untuk melakukan perkiraan jumlah
nektar pada tanaman geronggang. Sebagai pendekatn, maka akan dilakukan
estimasi dengan menggunakan data-data hasil penelitian terdahulu dengan
menggunakan jenis-jenis tanaman yang memiliki sifat yang sama, misalnya
kesamaan jenis tipe bunga, dan lainnya. Berdasarkan hal tersebut, maka pada
tabel 1 menyajikan secara rinci mengenai perhitungan dugaan potensi nektar
pada geronggang.
Pada Tabel 11.1 menunjukkan perkiraan jumlah sekresi nektar pada
bunga tipe malai adalah 0,5 µl/ bunga/hari. Nilai ini diperleh dari bunga jenis
tanaman alpukat yang memiliki tipe bunga malai dan hanya menghasilkan nektar
< 1 µl/ bunga/hari. Jika diasumsikan jumlah bunga dalam satu malai ada 100 dan
dikalikan dengan jumlah cabang yang menghasilkan bunga selama musim

151
Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Potensial Bumi Lancang Kuning
berbunga (empat bulan) (Harrison et al., 2013), maka akan diperoleh jumlah
nektar 0,28 liter/tanaman selama empat bulan. Asumsi selanjutnya adalah,
apabila dalam satu hektar terdapat 833,34 tegakan (Soerianegara & Lemmens,
2001)) maka akan diperoleh jumlah nektar sebanyak 240,25 liter/ha selama empat
bulan. Jika kita berandai-andai bahwa seluruh luasan HTI dan alokasi perhutanan
sosial di Riau digunakan untuk pertanaman geronggang, maka akan diperoleh
nektar sebanyak 792.831.342,60 liter selama empat bulan.
Tabel 11.1. Perkiraan nilai potensi nektar pada jenis geronggang di provinsi Riau
dengan beberapa asumsi
Parameter Asumsi Keterangan Referensi
luas areal HTI mineral dan (Jikalahari,
1,900,000
Luas gambut 2014)
1,400,000 luas alokasi perhutanan sosial
jarak tanam (Soerianegara &
Jumlah tegakan
833.34 (2 x 6 m) Lemmens,
per ha
2001)
Jumlah % Agustus, September, Oktober, (Harrison et al.,
fruiting stem / November (1.82%, 29.61%, 2013)
fruit periode 5766 21.47%, 4,76%)
bulan Agustus
s.d November)
Jumlah bunga Rata-rata Pengamatan
100
per malai (estimasi)
estimasi menggunakan
Jumlah sekresi
parameter sekresi nektar (Dixon &
nektar per 0.0000005
harian bunga tipe malai pada Lamond, 2004)
bunga
umumnya per hari (liter)
Total produksi nektar setiap hari selama musim
240.25 bunga (yang berlangsung selama empat bulan)
Total potensi [per ha/hari (liter)]
nectar Total potensi nektar selama empat bulan untuk
792,831,342.
luasan areal HTI dan perhutanan sosial (liter)
60
yang tercantum pada baris satu tabel ini

D. Perkiraan carrying capacity dan jumlah madu yang diperoleh


Jumlah nektar yang terdapat pada tegakan geronggang memiliki potensi
untuk dimanfaatkan sebagai sumber pakan lebah bagi usaha ternak lebah madu.
Akan tetapi informasi mengenai carrying capacacity atau jumlah koloni yang
mampu ditempatkan pada areal tegakkan geronggang dan berapa potensi madu
152
Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Poensial Bumi Lancang Kuning
yang akan diperoleh belum diketahui karena belum ada informasi mengenai hal
tersebut. Oleh sebab itu, pada bagian ini akan dilakukan perkiraan mengenai
kemampuan carrying capacity geronggang per hektar dan jumlah koloni lebah
jenis A. mellifera yang dapat diusahakan pada areal tersebut.
Untuk menghitung perkiraan jumlah madu yang diperoleh, perlu
diketahui nilai estimasi tentang kemampuan setiap individu lebah pekerja yang
bertugas sebagai lebah pencari nektar untuk kemudian diekstrapolasi ke tingkat
koloni. Selain itu, hal yang perlu diperhatikan adalah berapa kali lebah tersebut
mampu untuk pergi dan pulang mengambil nektar. Berdasarkan hal tersebut,
maka diperoleh jumlah nektar yang berhasil dikumpulkan oleh satu koloni (rata-
rata jumlah lebah pekerja 50000 lebah) per hari sebanyak 12 liter. Akan tetapi
jumlah tersebut masih harus dikurangi oleh aktivitas penurunan kadar air,
kebutuhan untuk membuat sarang, dan konsumsi oleh lebah itu sendiri. Sehingga
diperkirakan akan diperoleh 0,25 liter madu/hari untuk setiap koloninya selama
empat bulan. Sedangkan untuk mengetahui carrying capacity koloni lebah madu
pada areal tegakan geronggang, maka total nektar yang dihasilkan geronggang
dengan luasan satu hektar harus dibagi dengan total produksi nektar sebelum
dikurangi aktivitas penurunan kadar air, kebutuhan untuk membuat sarang, dan
konsumsi oleh lebah itu sendiri. Sehingga diperoleh nilai sebesar 20 koloni.
Dengan kata lain satu hektar geronggang memiliki nilai carrying capacity sebesar
20 koloni lebah jenis A. mellifera. Akan tetapi data perkiraan perhitungan
tersebut tidak dapat digunakan tanpa memperhatikan faktor lain seperti iklim,
kehadiran serangga kompetitor nektar, hama dan penyakit.
Selain nektar dan polen, lebah juga mengumpulkan getah resin dari
tanaman. Resin tanaman mengandung senyawa anti mikroorganisme yang
merupakan salah satu strategi pertahanan koloni (Huang Z, 2012; The ‘Bee’ a
Detective Scavenger Hunt Team, 2019). Resin adalah komponen utama penyusun
propolis yang digunakan oleh lebah untuk menambal bagian sarang yang terbuka
dengan tujuan untuk mencegah potensi hama dan penyakit masuk serta menjaga
kelembaban dan temperature di dalam sarang. Resin tersusun atas campuran
komplek isoprenoid dan phenolic yang merupakan senyawa yang disekresikan
oleh tanaman sebagai mekanisme pertahanan melawan predator dan
mikroorganisme pathogen (Wright et al., 2018). Pada jenis lebah A. mellifera,
resin banyak terakumulasi pada bagian inner cover, pintu masuk, dan sisiran.

153
Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Potensial Bumi Lancang Kuning
Tabel 11.2. Perhitungan carrying capacity dan perkiraan jumlah madu yang
dihasilkan
Parameter Asumsi Keterangan Referensi
Volume 0.00004 Kapasitas maksimal of honey (M. H. Huang &
nectar / lebah crop (liter) Seeley, 2003)
Rata-rata 50000 Jumlah maksimal populasi lebah (Sagili & Burgett,
jumlah lebah per koloni 2011)
per koloni
Populasi yang 0.4 Rata-rata persentase dari seluruh (G. Kleinschmidt,
pencari makan populasi lebah dalam satu koloni 1990)
Pencari nectar 0.75 Rata-rata persentase dari seluruh (G. Kleinschmidt,
populasi lebah dalam satu koloni 1990)
Pembawa 0.8 Rata-rata persentase dari seluruh (G. Kleinschmidt,
nectar populasi lebah dalam satu koloni 1990)
Jumlah nektar 0.48 Liter Diperoleh dari
yg dibawa perhitungan
lebah per jumlah lebah
koloni /hari pembawa nectar
dikalikan dengan
volume nectar/
lebah
Jumlah 25 Kali (Apex Bee
rata-rata trip Company, 2018;
“The ‘ Bee ’ a
Detective
Scavenger Hunt
Team,” 2019)
Total nektar 12 Liter per hari (Z. Huang, 2012)
yang
dihasilkan
lebah
perkoloni
Potensi madu 0.25 Dikurangi kadar air (30% dari (Bogdanov, 2016)
yg dihasilkan total nektar), kebutuhan untuk
perkoloni per pondasi sarang, dan konsumsi
hari (liter) oleh koloni itu sendiri
jumlah koloni lebah Apis
Jumlah koloni 20.0
mellifera per ha

154
Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Poensial Bumi Lancang Kuning
Tidak semua jenis resin disukai oleh lebah. Tanaman geronggang
merupakan salah satu tanaman penghasil resin yang disukai lebah karena bersifat
aromatik sehingga diduga memiliki senyawa antioksidan yang penting untuk
mekanisme pertahanan koloni dari mikroorganisme patogen. Beberapa negara
yang berlokasi di zona temperate seperti Amerika Utara, Eropa utara, dan Asia
barat, lebah banyak mengambil resin yang disekresikan oleh tanaman jenis black
poplar (Populus nigra) pada bagian pucuk daun (Wright et al., 2018). Sedangkan
pada jenis tanaman geronggang, resin banyak dihasilkan pada bagian batang
apabila batang dilukai. Jenis lebah yang banyak berkunjung ke resin yang
dihasilkan oleh geronggang adalah dari kelompok family Meliponine, seperti
Trigona itama dan Trigona laeviceps.
Dalam proses pengumpulan resin, lebah forager menggunakan
mandibula mereka untuk menggali resin dari sumbernya, seperti batang dan
pucuk daun. Setelah resin dikumpulkan dengan menggunakan mandibula, resin
akan diteruskan ke bagian kaki belakang (hind legs) untuk kemudian disimpan
pada bagian yang dinamakan corbiculae atau pollen basket yang merupakan
tempat yang sama dimana polen diletakkan. Ketika lebah forager kembali ke
sarang, resin akan dicampur dengan lilin dan polen yang selanjutnya disebut
sebagai propolis. Propolis didominasi oleh 50% resin, 30% lilin, 10% minyak
aromatis, 5% pollen, dan 5% komponen organik.
Beberapa hasil studi mengungkapkan bahwa bagian batang geronggang
memiliki kandungan senyawa yang memiliki aktivitas farmakologi. Lebih lanjut,
pada bagian batang geronggang memiliki senyawa yang disebut xanton. Salah
satu fraksi dari xanton adalah mangostin yang memiliki sifat antibakterial
antitumor, antidiabetik, antioksidan, antifungal, antiparasitic. Keberadaan
senyawa ini dapat menghambat pertumbuhan bakteri Bacillus subtilis, Bacillus
cereus, Staphylococcus aureus, dan Salmonella typhimurium (“The ‘Bee' a
Detective Scavenger Hunt Team,” 2019) Selain bagian batang, bagian daun
geronggang memiliki banyak senyawa fenolik yang memiliki sifat aktif dalam
menghambat serangan terhadap sel darah putih (Alimah, 2016). Keberadaan
senyawa antioksidan tersebut memiliki potensi yang besar untuk dapat
dimanfaatkan sebagai bahan baku propolis. Lebah madu tidak mengambil semua
jenis getah sebagai bahan baku propolis, melainkan hanya getah yang memiliki
kandungan antioksidan dan bersifat aromatik seperti resin geronggang.

155
Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Potensial Bumi Lancang Kuning
Beberapa permasalahan yang timbul dalam pengelolaan lebah madu di
areal geronggang adalah kelangkaan polen baik dari segi kualitas maupun
kuantitasnya dan tidak adanya produksi nektar di luar musim berbunga. Terlebih
lagi sampai sekarang belum ada studi tentang kandungan protein polen
geronggang. Lebah harus mengkonsumsi sepuluh asam amino esensial yang
berasal dari polen selama hidupnya. Sepuluh asam amino tersebut adalah
arginine, histidine, isoleucine, leucine, lysine, methionine, phenylalanine,
threonine, trypthopan, dan valine. Untuk melihat apakah tegakan geronggang
memiliki polen yang cukup untuk memenuhi kebutuhan minimal asam amino
esensial atau tidak, dapat diketahui dari kadar crude protein tubuh lebah pekerja
atau dengan kata lain kadar crude protein dapat dijadikan indikator apakah
kebutuhan protein lebah tersebut terpenuhi atau tidak.
Namun kalaupun geronggang tidak memiliki cukup polen dan nektar
yang cukup baik secara kualitas maupun kuantitas, maka dapat diatasi dengan
pemberian pakan tambahan. Pakan tambahan tersebut sedikitnya harus memiliki
karakteristik palability, digestibility, dan seimbang (memiliki cukup kandungan
asam amino dalam jumlah yang seimbang). Beberapa contoh yang sering
digunakan adalah tepung kedelai, tepung jagung, dan tepung tempe. Untuk
kekurangan pakan berupa nektar, dapat dilakukan pemberian pakan tambahan
berupa air gula (1:1). Alternatif lain adalah dengan menggembalakan koloni lebah
pada lokasi yang memiliki produksi polen dan nektar sepanjang tahun, terutama
apabila tanaman geronggang tidak berada musim berbunga. Tanaman penghasil
polen tersebut antara lain adalah jagung dan kelapa sawit, sedangkan tanaman
penghasil nektar sepanjang tahun adalah Acacia mangium dan Acacia crassicarpa.
Kondisi koloni yang lemah sebagai akibat dari kurangnya sumber
makanan berupa nektar dan polen dapat mengundang beberapa masalah,
misalnya serangan hama dan penyakit. Beberapa hama yang biasa menyerang
koloni lebah adalah wax moth (ngengat lilin) dan tabuhan. Ngengat lilin adalah
salah satu serangga yang berasal dari ordo Lepidoptera yang menyerang sarang
lebah. Gejalanya adalah koloni lebah yang mengalami kemunduran
pertumbuhan sisiran dan cenderung mengelompok pada satu sisi stup. Akan
tetapi, jenis lebah A. mellifera lebih rentan terhadap serangan hama wax moth
terutama pada kondisi yang lemah. Sedangkan tanda kehadiran hama ini adalah
keberadaan serat-serat kapas yang lengket dan bersifat melengketkan frames.
Kerusakan yang disebabkan oleh ngengat lilin dimulai dengan memakan sisiran
156
Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Poensial Bumi Lancang Kuning
yang terbuat dari lilin. Sedangkan tabuhan merupakan serangga dari ordo
Hymenoptera yang bersifat predator dan memakan lebah dewasa dan anakan
lebah madu. Gejala yang ditimbulkan oleh serangan hama ini adalah
berkurangnya jumlah lebah pekerja akibat dari dimangsa oleh tabuhan sampai
pada merusak sisiran sarang. Pada gejala ringan, tabuhan akan menunggu lebah
pekerja di depan pintu masuk dan bersiap untuk menangkap lebah pekerja A.
cerana dan A. mellifera yang akan pergi mencari makan. Sedangkan pada kondisi
yang berat, tabuhan sudah dapat merusak struktur sarang dan tidak hanya
memakan persedian makanan (madu dan bee bread) akan tetapi juga memangsa
sel anakan. Adapun tanda kehadiran tabuhan adalah keberadaan belasan sampai
puluhan ekor tabuhan yang terbang di sekitar stup terutama terbang dalam posisi
menunggu di depan pintu keluar dan masuk.

Daftar Pustaka
Alimah, D. (2016). Kandungan bahan aktif Gerunggang (Cratoxylon arborescens (Vahl.)
Blume) dan potensi pemanfaatannya. Galam, 2(1), 33–39.
Alimah, D., & Rusmana. (2013). Fenologi berbunga dan berbuah jenis – jenis pohon hutan
rawa gambut. Ekspose Hasil Penelitian BPK Banjarbaru, 136-146. Banjarnbaru:
BPK Banjarbaru.
Anderson, K. E., Carroll, M. J., Sheehan, T., Mott, B. M., Maes, P., & Corby-Harris, V.
(2014). Hive-stored pollen of honey bees: Many lines of evidence are consistent
with pollen preservation, not nutrient conversion. Molecular Ecology, 23(23),
5904–5917. https://doi.org/10.1111/mec.12966
Apex Bee Company. (2018). Honey Bee Facts.
Bogdanov, S. (2016). Beeswax: Production, Properties, Composition, Control. In Bee
Product Science. Switzerland: Bee Product Science.
Borba, R. S., Klyczek, K. K., Mogen, K. L., & Spivak, M. (2015). Seasonal benefits of a
natural propolis envelope to honey bee immunity and colony health. Journal
of Experimental Biology, 218(22), 3689–3699.
https://doi.org/10.1242/jeb.127324
Dixon, J., & Lamond, C. B. (2004). Research note: nectar content of New Zealand “Hass”
avocado flowers at different floral stages: New Zealand avocado growers
association. Annual Research Report, 4, 25–31.
Donkersley, P., Rhodes, G., Pickup, R. W., Jones, K. C., Power, E. F., Wright, G. A., &
Wilson, K. (2017). Nutritional composition of honey bee food stores vary with
floral composition. Oecologia, 185(4), 749–761.
https://doi.org/10.1007/s00442-017-3968-3
Free, B. J. (1982). Bees and Mankind. London: George Allen & Unwin Ltd.

157
Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Potensial Bumi Lancang Kuning
Freitas, B. M., Filho, A. J. S. P., Andrade, P. B., Lemos, C. Q., Rocha, E. E. M., Pereira, N.
O., … Mendonca, K. S. (2014). Forest remnants enhance wild pollinator visits
to cashew flowers and mitigate pollination deficit in NE Brazil. J. Poll. Ecol.,
12, 22–30.
Hadisoesilo, S. (2001). Review: Keanekaragaman Spesies Lebah Madu Asli Indonesia.
Biodiversitas, 2(1), 123–128.
Harrison, M. E., Husson, S. J., Zweifel, N., D’Arcy, L. J., Morrogh-Bernard, H. C., van
Noordwijk, M. A., & van Schaik, C. P. (2013). Trends in fruiting and flowering
phenology with relation to abiotic variables in Bornean peat-swamp forest tree
species suitable for restoration activities. Kalimantan Forests and Climate
Partnership.
Herbert jr., E. ., & Shimanuki, H. (1978). Chemical composition and nutritive value of
bee-collected and bee-stored pollen. Apidologie, 9, 33–40.
https://doi.org/10.1051/apido:19780103
Hrassnigg, N., & Crailsheim, K. (2005). Differences in drone and worker physiology in
honeybees (Apis mellifera). Apidologie, 36, 255–277.
https://doi.org/10.1051/apido:2005015
Huang, M. H., & Seeley, T. . (2003). No TitleM.H. Huang and T.D. Seeley. Multiple
Unloadings by Nectar Foragers in Honey Bees: A Matter of Information
Improvement or Crop Fullness?, 50, 1–10. https://doi.org/10.1007/s00040-003-
0682-4
Huang, Z. (2012). Honey Bee Nutrition [Internet]. Michigan State University. 2012 [cited
2019 Jul 8]. Available from: https://articles.extension.org/pages/28844/honey-
bee-nutrition%0D%0D%0A
Jikalahari. (2014). Fakta Kritis Analisa Tata Kelola Kehutanan di Provinsi Riau.
Kahono, S., Lupiyaningdyah, P., Erniwati, H., & Nugroho. (2012). Potensi dan
pemanfaatan serangga penyerbuk untuk meningkatkan produksi kelapa sawit
di perkebunan kelapa sawit Desa Api-Api, Kecamatan Waru, Kabupaten
Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur. Zoo Indonesia, 21, 23–34.
Kleinschmidt, G. (1990). The parameters of protein in bee biology. Honey Research
Council Nutrition Workshop. Brisbane: The University of Queensland Gatton
College.
Kleinschmidt, G. J., & Kondos, A. C. (1976). The influence of crude protein levels on
colony production. Aust. Beekeep, 78, 36–39.
Knox, D. A., Shimanuki, H., & Herbert, W. (1971). Diet and the longevity of adult honey
bee. Journal of Economic Entomology, 64, 1415–1416.
https://doi.org/10.1093/jee/64.6.1415
Lee, F. J., Rusch, D. B., Stewart, F. J., Mattila, H. R., & Newton, I. L. G. (2015). Saccharide
breakdown and fermentation by the honey bee gut microbiome.
Environmental Microbiology, 17(3), 796–815. https://doi.org/10.1111/1462-
2920.12526
158
Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Poensial Bumi Lancang Kuning
Mourizio, A. (1975). Bienenbotanik. Illonois: Dadant and Sons Hamilton.
Nicolson, S.W., & Thornburg, R. . (2007). Nectar chemistry. In Nectar and Nectaries, ed.
SW Nicolson, M Nepi, E Pacini. Dordrecht,. In Neth.: Springer.
Nicolson, Susan Wendy, & Human, H. (2013). Chemical composition of the “low quality”
pollen of sunflower (Helianthus annuus, Asteraceae). Apidologie, 44(2), 144–
152. https://doi.org/10.1007/s13592-012-0166-5
Pribadi, A., & Purnomo. (2013). Agroforestry Sorghum (Sorghum Spp.) pada HTI Acacia
crassicarpa sebagai Sumber Pakan Lebah Apis cerana di Propinsi Riau untuk
Mendukung Budidaya Lebah Madu. Prosiding Seminar Masyarakat
Agroforestri Indonesia. Malang.
Purnomo, Pribadi, A., Janneta, S., & Suhendar. (2012). Tehnik produksi raw propolis
lebah Trigona itama dengan modifikasi kotak dan lingkungan. Kuok.
Puslitbang Perkebunan. (2015). Lebah Madu (Apis spp.) Sebagai Agens Penyerbuk Pada
Tanaman Kelapa.
Sagili, R. R., & Burgett, D. M. (2011). Evaluating Honey Bee Colonies for Pollination: A
Guide for Commercial Growers and Beekeepers.
Seeley, T. D. D. (2010). Honeybee Democracy. New Jersey: Princeton University Press.
Simcock, N. K., Gray, H., Bouchebti, S., & Wright, G. A. (2017). Appetitive olfactory
learning and memory in the honeybee depend on sugar reward identity.
Journal of Insect Physiology, (August).
https://doi.org/10.1016/j.jinsphys.2017.08.009
Soerianegara, I. ., & Lemmens, R. H. M. J. (2001). Plant Resources of South East Asia
Timber Trees. Major commercial timbers 5(1). Bogor: Prosea.
Somerville, D. (2005). Fat Bees Skinny Bees -a manual on honey bee nutrition for
beekeepers-. Australian Government Rural Industries Research and
Development Corporation, (05), 1–142.
The ‘ Bee ’ a Detective Scavenger Hunt Team. (2019).
Warisno. (1996). Budidaya Lebah Madu. Yogyakarta: Kanisius.
Willms, W., Imperatriz-Fonseca, V. L., & Engels, V. (1996). Resource partitioning
between highly eusocial bees and possible impact of the introduced Africanized
honey bee on native stingless bees in the Brazilian Atlantic Rainforest. Stud.
Neotrop. Fauna Environ, 31, 137–151.
Wilson, M. B., Brinkman, D., Spivak, M., Gardner, G., & Cohen, J. D. (2015). Regional
variation in composition and antimicrobial activity of US propolis against
Paenibacillus larvae and Ascosphaera apis. Journal of Invertebrate Pathology,
124, 44–50. https://doi.org/10.1016/j.jip.2014.10.005
Wright, G. A., Nicolson, S. W., & Shafir, S. (2018). Nutritional Physiology and Ecology
of Honey Bees. Annual Review of Entomology, 63(1), annurev-ento-020117-
043423. https://doi.org/10.1146/annurev-ento-020117-043423

159
Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Potensial Bumi Lancang Kuning
160
Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Poensial Bumi Lancang Kuning
XII.
NILAI HARAPAN LAHAN
PENGUSAHAAN GERONGGANG DI BENGKALIS
(Hery Kurniawan & Michael Daru Enggar W.)
(Ahmad

A. Tanaman Pertanian Prioritas: Sagu, Karet, Geronggang


Kabupaten Bengkalis merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Riau
yang memiliki luas wilayah 7.773,93 km2, terdiri dari pulau-pulau dan lautan,
dengan 17 pulau utama disamping pulau-pulau kecil lainnya. Luas lahan untuk
perkebunan di Kabupaten Bengkalis adalah 133.941,45 ha.
Kabupaten Bengkalis memiliki visi menjadi salah satu pusat perdagangan
di Asia Tenggara dengan dukungan industri yang kuat dan sumber daya manusia
yang unggul guna mewujudkan masyarakat yang sejahtera dan makmur pada
tahun 2020. Jumlah penduduk Kabupaten Bengkalis pada tahun 2017,
berdasarkan penghitungan proyeksi penduduk 2010-2020 mencapai 559.081 jiwa
(BPS Kab. Bengkalis, 2017a). Berbagai sektor turut memacu pertumbuhan
ekonomi di Kabupaten Bengkalis. Salah satunya adalah sektor pertanian termasuk
di dalamnya perkebunan. Persentase tenaga kerja yang bekerja pada sektor
pertanian di Kabupaten Bengkalis masih menempati posisi tertinggi dengan
angkanya mencapai 34,23% (BPS Kab. Bengkalis, 2017b). Sekitar 77 ribu tenaga
kerja usia di atas 15 tahun bekerja di sektor pertanian termasuk perkebunan di
Bengkalis (BPS Kab. Bengkalis, 2018).
Perekonomian Riau pada triwulan IV 2016 mengalami peningkatan, yang
diantaranya disebabkan oleh meningkatnya penawaran di seluruh sektor utama
seperti pertanian, industri, pengolahan, konstruksi, dan perdagangan. Memasuki
triwulan I 2017 indikasi peningkatan ekonomi Riau juga masih cukup kuat. Selain
faktor konsumsi, perbaikan harga komoditas dan kondisi perekonomian negara
mitra dagang juga diperkirakan mampu memberikan dampak terhadap
peningkatan kinerja sektor perkebunan dan industri pengolahan (Perwakilan BI
Prov. Riau, 2017).
Kontribusi sektor perkebunan terhadap PDRB Provinsi Riau pada tahun
2015 mencapai 12,6%, dan sekitar 59% kontribusi perkebunan dalam pertanian.
161
Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Potensial Bumi Lancang Kuning
Saat ini sekitar 65% penduduk Riau menggantungkan hidupnya pada sektor
perkebunan. Pembangunan perkebunan perlu diupayakan dengan baik, secara
sinergis memperhatikan kepentingan lingkungan, ekonomi dan sosial agar tidak
merugikan masyarakat secara umum sehingga dapat berlangsung secara
berkelanjutan, mampu memenuhi kebutuhan generasi saat ini tanpa
mengabaikan hak generasi anak cucu yang akan datang (Kusumawati, 2017).
Analisis profil pertumbuhan menunjukkan, berdasarkan PDRB dengan
atau tanpa migas, sektor pertanian termasuk di dalamnya perkebunan menempati
kuadran IV, yang artinya dikategorikan ke dalam sektor yang berpotensi (Novita
et al., 2015). Komoditas perkebunan seperti kelapa sawit, karet, kelapa, sagu,
pinang dan kopi masih merupakan komoditas andalan di sektor ini.
PDRB Kabupaten Bengkalis pada tahun 2017 mencapai 133,04 triliun
rupiah. Struktur ekonomi Bengkalis masih didominasi oleh tiga sektor utama
yang sering disebut dengan leading sector. Posisi pertama leading sector adalah
sektor pertambangan dan penggalian (66,74%), diikuti oleh sektor industri
pengolahan (12,90%), dan yang ketiga adalah sektor pertanian, kehutanan dan
perikanan (9,01%). Subsektor dari sektor pertanian yang menjadi andalan di
Kabupaten Bengkalis adalah subsektor perkebunan yang didominasi oleh
perkebunan kelapa sawit, karet dan sagu. Produksi sagu pada tahun 2015
meningkat hampir 80 persen menjadi sebanyak 15.124,30 ton dengan
produktivitas sebesar 5,27 ton/ha dibanding tahun sebelumnya (BPS Kab.
Bengkalis, 2017b).
Analisis nilai harapan lahan pada bab ini tidak hanya dilakukan pada
pengusahaan tanaman geronggang, namun dilakukan juga terhadap dua
komoditas lain sebagai pembanding, yakni karet dan sagu. Perbandingan nilai
harapan lahan antar beberapa komoditas biasa dilakukan agar dapat diketahui
keunggulan finansial yang sesungguhnya terhadap pengusahaan komoditas yang
dilakukan dalam masa yang panjang (selama-lamanya).
A.1. Karet
Karet merupakan salah satu komoditi perkebunan yang mempunyai
peran penting dalam perekonomian Indonesia. Karet juga salah satu komoditas
ekspor penghasil devisa selain minyak dan gas. Indonesia merupakan negara
produsen dan eksportir karet terbesar dunia.

162
Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Poensial Bumi Lancang Kuning
Riau merupakan produsen karet kering terbesar ketiga di Indonesia
(10%) setelah Sumatera Selatan (27,5%) dan Sumatera Utara (12,79%). Sekitar
12.608 ha merupakan Perkebunan Besar Negara, 27.585 ha merupakan
Perkebunan Besar Swasta, dan sekitar 310.121 ha merupakan Perkebunan Rakyat
(BPS, 2018). Masih menurut BPS (2018), luas perkebunan karet yang ada di
Provinsi Riau adalah 350,3 ribu ha, dengan produksi totalnya mencapai 362,8
ribu ton. Sehingga produktivitas per hanya adalah 1173 Kg. Sedangkan untuk
Kabupaten Bengkalis, pada tahun 2017 luas perkebunan karet mencapai
21.125,10 ha dengan produksinya mencapai 44.281,9 ton. Sehingga rata-rata
produksi per hanya adalah 2,1 ton (BPS Kabupaten Bengkalis, 2018).
Sisi keberlanjutan keberadaan komoditas karet sebenarnya perlu untuk
diupayakan oleh seluruh pihak. Meskipun harga karet alam mengalami
penurunan sejak tahun 2013 (Anonim, 2017), akan tetapi karet alam merupakan
komoditas yang memiliki kontribusi signifikan terhadap perkonomian
masyarakat di pedesaan. Petani karet alam menghadapi kondisi pasar yang
monopsoni. Ketiadaan lembaga ekonomi formal yang mampu meningkatkan
daya tawar dan pendapatan petani di pedesaan, menjadikan penjualan karet
banyak melalui para tauke (tengkulak yang bertindak sebagai middle-man di
pedesaan)(Syahza et al., 2016). Di sisi lain karet alam pun ramah lingkungan
karena sejalan dengan perlindungan keanekaragaman hayati yang ada di
sekitarnya (Ramdani et al., 2018). Berbeda dengan industri perkebunan kelapa
sawit, sekalipun sawit memberikan sumbangsih yang tidak sedikit terhadap GNP
dan ekspor nasional, akan tetapi risiko lingkungan, berupa kebakaran hutan dan
deforestasi, cukup tinggi (Miettinen et al., 2012).
Industri karet alam Indonesia, khususnya Provinsi Riau, sampai dengan
saat ini, masih “terperangkap” pada pengembangan produk-produk antara,
sedangkan pengembangan industri hilir yang menghasilkan produk-produk
akhir masih terbatas. Lebih dari 90% produk-produk karet yang dihasilkan
(Crump Rubber, SIR, RSS, dan Crepe) diekspor, hanya kurang dari 5% yang
diolah menjadi produk-produk akhir (Bakce, 2014). Kondisi ini semakin
memperlambat perbaikan kondisi pasar karet alam serta perkembangan produk-
produk karet olahan.
Perkembangan komoditi kelapa sawit di satu sisi, menimbulkan
ketimpangan pendapatan antar daerah dan antar petani terutama dengan petani

163
Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Potensial Bumi Lancang Kuning
karet dan kelapa. Pasar komoditi kelapa sawit saat ini cukup terjamin, berbeda
dengan pasar komoditi karet yang cenderung melemah. Perkembangan komoditi
kelapa sawit di Riau telah menggeser usaha tani komoditi karet alam. Perkebunan
karet di Riau masih dikelola secara tradisional, pengelolaannya dilakukan secara
sederhana. Tingkat produktivitasnya rendah, yaitu sekitar 738 kg/ha/tahun
(Syahza et al., 2016).
Pemerintah dapat berperan dalam membantu petani karet berupa
memberikan bantuan bibit unggul dan biaya pupuk sehingga dapat memangkas
operasional, atau mengeluarkan kebijakan lain untuk mengendalikan harga karet.
Produktivitas getah karet masih bisa ditingkatkan dengan cara memakai bibit
unggul dan peremajaan tanaman yang sudah tua/rusak (Ardiansyah et al., 2017).
Pemerintah juga diharapkan dapat membantu memberikan penyuluhan tentang
teknik penanaman dan pemeliharaan kebun karet yang baik agar dapat
meningatkan produksi getah. Selain itu, perlu adanya peningkatan kesadaran
petani karet terhadap pentingnya pendidikan yang lebih baik, karena tingkat
pendidikan dapat berpengaruh pada tinggi rendahnya pendapatan rumah tangga
(Arianto et al., 2014).
A.2. Sagu
Sagu telah menjadi komoditas pertanian unggulan di Riau. Sebarannya
meliputi daerah pesisir, pulau-pulau besar dan kecil di Kabupaten Bengkalis,
Indragiri Hilir, Kampar, Pelalawan dan Siak. Setidaknya terdapat tiga lokasi
utama penghasil sagu di Riau, yakni Kabupaten Meranti, Kabupaten Indragiri
Hilir, dan Kabupaten Bengkalis. Luas lahan pertanian sagu di Riau pada tahun
2018 adalah 82.257 ha, sedangkan produksinya adalah 328.257 ton (Kementerian
Pertanian, 2018).
Luas perkebunan sagu di tingkat nasional pada tahun 2018 mencapai
208.752 ha, dengan produksinya mencapai 390.155. Dari jumlah produksi ini
71,79% dihasilkan oleh perkebunan rakyat dan 28,21% dari perkebunan besar
swasta. Riau memiliki lahan perkebunan sagu seluas 71.004 ha dengan
produksinya mencapai 1.572 ton pada tahun 2018. Di Bengkalis terdapat 2.875 ha
lahan sagu dengan lahan produktifnya mencapai sekitar 1500 ha (Kementan,
2017).
Masyarakat Bengkalis telah lama mengenal sagu sebagai sumber bahan
pangan yang dijadikan tepung sebelum diolah menjadi berbagai macam panganan

164
Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Poensial Bumi Lancang Kuning
seperti mie sagu, kue tradisional, bubur dan sebagainya. Menurut Nusantara et al.
(2014), diversifikasi produk pertanian seperti sagu, akan menjadikan produk
pertanian tersebut lebih terbuka ke pasar yang lebih luas, tidak hanya di pasar
domestik tapi juga pasar luar negeri. Namun demikian masih dijumpai beberapa
kendala pengembangan agroindustri sagu, diantaranya kurangnya strategi
promosi yang mengedepankan sagu sebagai pati serbaguna, pengembangan
produk sagu di segmen pasar tertentu dan ekspansi pasar untuk produk sagu yang
dihasilkan oleh usaha kecil menengah (FAO, 2013).

Gambar 12.1. Tual sagu siap diangkut ke kilang pengolahan (kiri); Kondisi
salah satu hutan sagu di Bengkalis (kanan)

Potensi produksi tepung sagu dapat mencapai 20 – 40 ton pati


kering/ha/tahun apabila dibudidayakan dengan baik. Pati sagu selain dapat
digunakan sebagai makanan pokok yang potensial, dapat pula dijadikan bahan
baku agroindustri misalnya bahan baku penyedap makanan (monosodium
glutamate), asam laktat (bahan baku plastik yang dapat terurai), gula cair (high
fructos syrup) dan bahan baku energi terbarukan. Sagu juga dapat menyerap CO2
dalam jumlah besar sehingga dapat membantu mengatasi ancaman pemanasan
global. Pada lahan gambut yang ditumbuhi sagu akan terjaga dari kerusakan
lingkungan, karena sagu mempunyai anakan yang banyak sebagai mekanisme
peremajaannya, sehingga dapat mencegah penurunan permukaan tanah gambut
(subsiden) (Astuti et al., 2014).
Sagu menempati peringkat I dalam hal kelayakan sebagai bahan baku
agroindustri pedesaan di Kabupaten Bengkalis berdasarkan kriteria utama
165
Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Potensial Bumi Lancang Kuning
penilaian, yaitu aksesibilitas ketersediaan bahan baku, potensi pasar,
keterampilan masyarakat, tingkat produksi bahan baku, daya serap tenaga kerja,
teknologi yang tersedia serta kelembagaan. Berdasarkan analisis SWOT dan
QSPM, strategi pengembangan agroindustri pedesaan unggulan berbasis sagu di
Kabupaten Bengkalis perlu dilakukan melalui penetrasi pasar dan pengembangan
produk agroindustri berbasis sagu. Strategi ini dapat dilakukan melalui program
revitalisasi alat pengolahan agroindustri sagu (Sufandi, 2006).
A.3. Geronggang
Geronggang (Cratoxylon arborescens (Vahl.) Blume) merupakan jenis
tumbuhan asli hutan rawa gambut dari famili Guttiferae (Hypericaceae) yang
banyak dijumpai di Sumatera dan Kalimantan (Alimah, 2016). Tingginya bisa
mencapai > 40 m dengan diameter > 60 cm, statusnya saat ini di Indonesia
menurut IUCN adalah terkikis (lower risk) dan kurang diperhatikan (least
concern) (Wardani et al., 2018). Geronggang kini menjadi tumbuhan komersial
andalan di lahan rawa gambut. Tumbuhan yang dikenal dengan bahasa latin
Cratoxylon arborescens ini sudah mulai banyak dibudidayakan oleh masyarakat
Bengkalis (Widana, 2018). Pemanfaatan geronggang saat ini masih terbatas pada
kayunya, meskipun penelitian tentang kandungan senyawa berkhasiat sudah
cukup banyak. Kayu geronggang banyak digunakan untuk konstruksi ringan,
jembatan, kapal, furnitur, flooring, panel, papan partikel, dan lain-lain
(Soerianegara dan Lemmens, 2001). Kayu geronggang memiliki sifat kelas awet
IV, kelas kuat III-IV dengan berat jenis 0,46 (0,36-0,71), kayu ini banyak
dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai papan dan konstruksi ringan di bawah
atap, peti, kayu lapis, meubel murah dan cetakan beton (Daryono, 2009). Bagian
tanaman gerunggang dapat digunakan sebagai anti mikroorganisme, antioksidan
dan penangkal radikal bebas, dan anti kanker (Alimah, 2016). Selain memiliki
nilai ekonomi, geronggang juga mempunyai fungsi lingkungan yang besar.
Tanaman gerongang sangat berguna untuk mengantisipasi kebakaran lahan,
apabila pohon geronggang ditanam di lahan warga, lahan akan mengandung air
(Hamid, 2018).
Kelengkapan informasi suatu jenis pohon merupakan syarat yang harus
dipenuhi dalam pemilihan jenis yang akan dikembangkan. Selain dari informasi
yang telah tersedia (sifat kayu dan sebaran alam), beberapa informasi lain perlu
diketahui. Penelitian oleh Junaedi (2014) di Pelalawan Riau, menunjukkan
geronggang sebagai jenis pohon lokal mampu memproduksi seresah dan input
166
Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Poensial Bumi Lancang Kuning
hara dari seresah ke lantai hutan, dengan produksi tertingginya adalah pada umur
tegakan dua sampai tiga tahun di lahan gambut yang didrainase. Produktivitas
dan input hara geronggang tersebut sedikit lebih tinggi dibandingkan
krassikarpa.

Gambar 12.2. Tanaman geronggang milik LSM Ikatan Pemuda Melayu Peduli
Lingkungan Bengkalis (atas); Salah satu produk pintu
menggunakan bahan kayu geronggang (bawah)

Hasil penelitian Indriani et al. (2015), jenis pohon geronggang memiliki


nilai rata-rata akumulasi biomassa atas tanah sebesar 135,029kg/ha/tahun, dengan
nilai presentase kelulushidupannya (survival rate) adalah 69% pada lahan gambut
bekas terbakar. Hasil penelitian lainnya oleh Junaedi (2018), menunjukkan
bahwa kemampuan hidup geronggang di lahan gambut yang dikeringkan
mencapai 80% pada umur 5,5 tahun setelah penanaman. Sedangkan hasil
penelitian Mojiol et al. (2014), menyatakan bahwa tingkat kemampuan hidup
geronggang pada lahan gambut bekas terbakar di Klias Forest Reserve, Sabah,
Malaysia mencapai 93,33%.
167
Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Potensial Bumi Lancang Kuning
Kemampuan hidup geronggang yang tinggi diduga karena jenis asli
(native species) ini tidak rentan terhadap serangan hama dan penyakit (Junaedi,
2018). Saat ini jenis tanaman ini dengan beberapa kelebihan dan potensinya,
banyak direkomendasikan sebagai jenis alternatif prioritas dalam pembangunan
hutan tanaman penghasil kayu pulp (Mindawati et al., 2010; Bogidarmanti et al.,
2011). Geronggang termasuk jenis tanaman yang mampu tumbuh kembali pasca
terjadinya kebakaran, sistem perakarannya berada jauh di dalam tanah dan
memiliki jumlah akar lateral yang cukup banyak (Zainun, 2017). Karakteristik
geronggang yang memiliki pertumbuhan yang cepat menjadikan jenis ini cocok
digunakan untuk kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan gambut (Junaedi, 2015).

B. Nilai Harapan Lahan Pengusahaan Sagu, Karet dan Geronggang


Data luas lahan gambut di Indonesia bervariasi dari 13 sampai 26,5 juta
ha. Guna mendukung kebijakan “One Map Policy”, pemutakhiran data dilakukan
oleh Balai Besar Litbang Sumber Daya Lahan Pertanian (BBSDLP), yang
mengeluarkan data paling terpercaya, luas lahan gambut Indonesia adalah 14,9
juta ha (Wahyunto, et al., 2016). Riau merupakan provinsi dengan luas gambut
terbesar di Indonesia yakni 4,044 juta ha atau 56,1 % dari luas total gambut di
Sumatera. Dari tahun 1982-2007 daratan Riau kehilangan 57% dari luas total
yang dimiliki atau tersisa sekitar 1,8 juta Ha (Gunawan et al. 2012). Sedangkan
untuk Kabupaten Bengkalis luas lahan gambutnya adalah 803.891,1Ha (Mubekti
2011).

Gambar 12.3. Geronggang di lahan milik masyarakat Bengkalis


168
Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Poensial Bumi Lancang Kuning
Hasil penelitian Sufandi (2006), bahwa sub sektor perkebunan
menempati peringkat pertama dari empat sub sektor yang dinilai sebagai sub
sektor agroindustri pedesaan di Bengkalis berdasarkan sebelas kriteria yang
digunakan dalam penelitian. Sub sektor perkebunan layak dijadikan sebagai sub
sektor agroindustri pedesaan di Kabupaten Bengkalis dari beberapa kriteria
utama, yaitu kondisi lingkungan/alam, potensi pasar dan produktivitas lahan,
ketersediaan lahan dan aksesibilitas serta kebijakan pemerintah.
Masyarakat Bengkalis saat ini banyak menanam geronggang karena
dianggap sangat cocok dilestarikan di lahan gambut (Hamid, 2019). Beberapa
keunggulan geronggang antara lain adalah jenis tumbuhan asli lahan gambut,
mudah ditanam, tanpa perlu perawatan, dan bernilai ekonomis tinggi. Pohon ini
memiliki kemampuan bertahan dari panas, cepat tumbuh dan dapat hidup di
lahan yang pernah terbakar. Batang kayunya yang keras dan liat mampu
membuat vegetasi ini bertahan dalam kondisi kering dan panas. Menurut Solihin,
salah satu petani geronggang, satu ha lahan bisa ditanam geronggang sebanyak
9500 batang, dengan masa panen sekitar 10 tahun. Satu ha lahan yang ditanam
geronggang saat ini bernilai 3 milyar rupiah (Syamsuar, 2018).
Pengusahaan geronggang tentu mendatangkan keuntungan yang dapat
diukur, demikian juga pengusahaan tanaman perkebunan lainnya. Bagi mereka
yang berminat untuk mengusahakannya tentunya memerlukan analisis tingkat
keuntungan masing-masing komoditas, agar diperoleh gambaran yang setidaknya
tidak berbeda jauh dengan kenyataan. Sebagaimana dijelaskan sebelumnya,
tanaman karet dan sagu juga merupakan jenis prioritas yang banyak diusahakan
oleh masyarakat. Perbandingan nilai harapan lahan perlu dilakukan terhadap tiga
komoditas ini. Analisis finansial tunggal tentu akan mendatangkan pertanyaan
terkait adanya perbedaan daur (lama jangka produksi), sehingga diperlukan
analisis finansial yang secara logis dapat diperbandingkan.
Land Expectation Value merupakan suatu metode yang mampu
memberikan analisis komprehensif dalam mengukur kemampuan petani.
Analisis LEV menuntut adanya data yang detil terkait pembiayaan dan
pendapatan yang muncul selama usaha dalam satu daur. Nilai LEV sangat
dipengaruhi oleh dinamika yang terjadi pada suatu unit pengusahaan komoditas
yang menimbulkan konsekuensi terjadinya perubahan baik pada sisi

169
Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Potensial Bumi Lancang Kuning
pengeluaran/biaya (cost) maupun pendapatan (revenue) (Kurniawan dan Yuniati,
2015).
Analisis nilai harapan lahan (Land Expectation Value) adalah suatu istilah
yang biasa digunakan untuk menerangkan nilai bersih saat ini dari suatu lahan
kosong yang digunakan untuk menghasilkan kayu dihitung selama jangka tak
hingga (perpetual series) atas tanaman kayu yang ditumbuhkan di atas lahan
tersebut (Davis, 1987). LEV juga mencerminkan nilai tambahan maksimum yang
dapat dihasilkan pada permulaan rotasi untuk pembelian aktual lahan dan masih
mampu manghasilkan pengembalian atas total investasinya sebesar discount rate
yang digunakan. Sehingga LEV juga merupakan kesanggupan maksimum untuk
membayar lahan untuk penggunaan kehutanan berdasarkan harapan-harapan
manajemen (Klemperer, 1996).
Formula dasar nilai harapan lahan (LEV/SEV) adalah,
a
LEV =
(1 + i)n − 1
a = pendapatan bersih (NPV) pada umur/daur tertentu (Rp/luas/daur)
i = suku bunga riil (%) per satuan waktu
n = jangka waktu dalam perioda investasi
Rumus di atas, oleh Faustman (1846) dikembangkan menjadi formula
yang penjabarannya sebagai berikut : (disebut dengan formula Faustmann)
𝐿𝑒
(1 + 𝑖)𝑟 − 1 (1 + 𝑖)𝑟 − 1
𝑌𝑟 + 𝑇𝑎(1 + 𝑖)𝑟−𝑎 + 𝑇𝑏(1 + 𝑖)𝑟−𝑏 + 𝐼 − 𝐶𝑎(1 + 𝑖)𝑟−𝑎 + 𝑆𝑏(1 + 𝑖)𝑟−𝑏 − 𝑒
𝑖 𝑖
= 𝑟
(1 + 𝑖) − 1

dimana :

Le = nilai harapan tanah (LEV, Rp./satuan luas/daur)


Yr = pendapatan pada umur daur tertentu (r tahun)
Ta,Tb = pendapatan hasil penjarangan pada umur a dan b
(luas)
I = pendapatan tahunan selama umur r tahun
C = biaya pembuatan tanaman pada umur a
Sa,Sb = biaya-biaya penjarangan pada umur a dan b
170
Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Poensial Bumi Lancang Kuning
e = biaya-biaya rutin (biaya operasional yang dikeluarkan
secara periodik)
i = tingkat bunga (dalam persen)
r = jangka waktu (dalam tahun) antara investasi awal
s/d investasi akhir

Harga yang digunakan adalah harga konstan pada tahun dasar 2019,
sedangkan suku bunga yang digunakan adalah suku bunga riil untuk sepuluh
tahun terakhir berdasarkan suku bunga pasar dan rata-rata inflasinya. Suku
bunga riil didapatkan menggunakan formula Heers dan Lefers,
𝑚−𝑓
𝑖=
1+𝑓
dimana :

I = suku bunga riil (dalam %)


f = angka inflasi rata-rata per tahun (dalam %)
m = suku bunga pasar (dalam %)

Sedangkan untuk penghitungan nilai harapan lahan digunakan


formula Faustman (1849) dengan memanfaatkan data pada cash flow dan
kemudian di-compound pada akhir daur. Sebagai pembanding, digunakan juga
suku bunga riil pembanding untuk perhitungan kelayakan usahanya. Suku bunga
riil lebih mencerminkan kondisi perekonomian yang sesungguhnya pada saat
analisis dilakukan.
B.1. Asumsi-asumsi
Beberapa asumsi perlu digunakan dalam penghitungan LEV ini, asumsi-
asumsi tersebut adalah sebagai berikut :
1. Analisis ini menggunakan tiga komoditas perkebunan yakni geronggang,
sagu dan karet.
2. Jarak tanam yang digunakan adalah 1 x 1(m), dan 1 x 0,5 (m) untuk
geronggang, 10 x 10 (m) untuk sagu, sedangkan karet jarak tanamnya 7 x 3
(m) atau 5 x 4 (m).
3. Estimasi produksi, hasil penjarangan dan tebangan akhir dihitung
berdasarkan hasil wawancara dengan petani dan data sekunder lainnya,
diasumsikan tiap pohon menghasilkan :

171
Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Potensial Bumi Lancang Kuning
a. Pola Usaha 1 = Jarak tanam geronggang 0.5 x 0.5 (m), tebang penjarangan
pertama enam tahun (569 tan), selanjutnya ditanami lagi untuk dipanen
enam tahun kemudian; Jumlah tanaman awal adalah 18.430 batang
dengan hasil akhir yang dipanen adalah 1.488 batang (1081 tan), afkir
sebanyak ±942 btg.
b. Pola Usaha 2 = Jarak tanam geronggang 1 x 0,5 (m), tebang penjarangan
pertama enam tahun (285 tan), selanjutnya ditanami lagi untuk dipanen
enam tahun kemudian (285 tan); Jumlah tanaman awal adalah 9.215
batang dengan hasil akhir yang dipanen adalah 744 batang (541 tan), afkir
sebanyak ±471 btg.
c. Pola Usaha 3 = Untuk kayu cerocok tiga tahunan, dengan jarak tanam 0,5
x 0,5 (m). Jumlah tanaman adalah 18.430 batang.
d. Pola Usaha sagu = Jarak tanam sagu adalah 10 x 10 (m), pada tengah-
tengah ditambah satu tanaman lagi. Panen umur sepuluh tahun, harga
batang sagu adalah Rp. 40.000,-/tual. Harga bibit Rp. 5000,-/bibit, harga
pupuk dolomite Rp. 40.000,-/sak, dan urea Rp. 15.000,-/Kg. Pemupukan
dilakukan dengan alternative 1 kali dan 2 kali pemupukan.
e. Pola Usaha Karet, jumlah tanaman adalah 476-500 tanaman per ha. Data
produksi mengacu pada hasil penelitian produksi karet di Kabupaten
Kampar oleh Utari dkk. (2016), yang dianggap memiliki karakteristik
lahan yang tidak jauh berbeda dengan Kabupaten Bengkalis. Produksi
rata-rata getah karet di Kabupaten Bengkalis pada tahun 2017 menurut
data BPS adalah 2,1 ton/ha, sedangkan rata-rata produksi dalam
penelitian ini adalah 2,4 ton/ha (selama daur 25 tahun).
4. Harga yang digunakan adalah harga konstan pada tahun dasar 2019 (hasil
wawancara), untuk kayu geronggang dengan satuan tan. Tan merupakan
satuan lokal yang setara dengan volume kayu 7200 inchi, harganya pada saat
pengambilan data adalah Rp. 3.500.000,-/tan, dan Rp. 20.000,-/tan untuk
cerocok. Harga sagu per tualnya (ukuran ±40 inchi) adalah Rp. 40.000,-.
Harga karet menggunakan harga Rp. 6000.-/kg, yakni harga pada saat
dilakukan wawancara, yang kemudian di-crosscheck dengan harga rata-rata
lima tahun terakhir. Sedangkan suku bunga yang digunakan adalah suku
bunga riil untuk sepuluh tahun terakhir berdasarkan suku bunga pasar dan
rata-rata inflasinya.

172
Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Poensial Bumi Lancang Kuning
5. Untuk mengukur kelayakan usaha karena perubahan suku bunga, digunakan
suku bunga pembanding di atas dan dibawah suku bunga riil (5,9% dan 7,9%).
6. Harga Jual Dasar dan volume kayu yang dihasilkan pada akhir daur
didasarkan pada perkiraan minimal yang dapat dihasilkan.
7. Daur yang dipakai sebagai dasar perhitungan adalah tiga tahun (kayu
cerocok), sepuluh tahun (jarak tanam 1 x 1 (m)) dan 12 tahun (jarak tanam 1
x 0,5 (m)) untuk geronggang, 12 tahun untuk sagu, dan 25 tahun untuk karet.
Analisis LEV dilakukan untuk ketiga komoditas secara perpetual atau daur
pengelolaan tak terhingga lamanya.
8. Pada pengusahaan sagu, hanya pada daur pertama (12 tahun pertama) muncul
biaya-biaya awal seperti penyiapan lahan, pembelian bibit, pembuatan
lubang tanaman, dsb. Selanjutnya mulai tahun ke-13, pemanenan dilakukan
setiap tahun dengan biaya-biaya tertentu saja seperti pemupukan dan
pemanenan. Sehingga analisis LEV nya adalah penjumlahan NPV daur
pertama ditambah LEV perpetual annual series dari tahun ke-13 dan
seterusnya.
9. Biaya investasi tetap seperti biaya pengadaan jalan, pengadaan bangunan,
pengadaan peralatan kantor diasumsikan tidak ada, biaya pembuatan
bangunan persemaian tidak permanen dimasukkan dalam tahun nol.
10. Biaya sewa lahan (Pajak Bumi dan Bangunan) diasumsikan berdasarkan NJOP
berupa kebun, dengan asumsi harga jual Rp. 100.000,-/m2. Dengan rumus
perhitungan PBB = 0,5% x 40% x (NJOP – NJOPTKP) = Rp. 1.976.000,-
/ha/tahun untuk semua pola usaha.
11. Biaya pemupukan untuk pengusahaan geronggang diasumsikan nol (tidak
memerlukan pemupukan). Biaya pemupukan untuk pengusahaan sagu, pada
awal penanaman dibutuhkan dolomite sebanyak 60 kg, harga per 20 kg/sak
adalah Rp. 40.000,-. Pupuk urea 2 kali setahun, per rumpun memerlukan 300
gram sekali pemupukan.
12. Jumlah kayu afkeer untuk geronggang diperkirakan 942 batang pada
pengusahaan tanaman geronggang dengan jarak tanam 1 x 0,5 (m).
B.2. Nilai Harapan Lahan Pengusahaan Geronggang, Sagu dan Karet
Hasil penghitungan nilai harapan lahan pengusahaan geronggang, sagu
dan karet disajikan pada gambar 12.4. Pada grafik dapat dibaca bahwa nilai
harapan lahan pengusahaan tanaman geronggang terdapat tiga macam pola
pengusahaan, yakni dengan jarak tanam 1 x 0,5 (m); dengan jarak tanam 1 x 1(m);
173
Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Potensial Bumi Lancang Kuning
dan kayu cerocok. Sedangkan pada pengusahaan tanaman sagu terdapat dua pola,
yakni dengan satu kali pemupukan dan dua kali pemupukan. Sementara pada
pengusahaan karet hanya dengan satu pola pengusahaan. Pola-pola ini
merupakan pola atau sistem pertanian yang biasa dilakukan oleh masyarakat di
Bengkalis. Pada kenyataannya pola pertanaman yang ada bisa sangat bervariasi
sesuai dengan kemauan dan potensi lahan yang dimiliki masyarakat.
Penyederhanaan menjadi tiga pola, dua pola dan satu pola penanaman
sebagaimana di atas, dimaksudkan untuk lebih memudahkan dalam memahami
namun tetap tidak keluar dari praktek pertanian sesungguhnya yang dilakukan
oleh masyarakat Bengkalis.

LEV
(Rp)

1mx0,5m 1mx1m Cerocok 1x pupuk 2x pupuk 25 tahun


Geronggang Sagu Karet
Rate Interest 5,9% 5.021.519.97 3.030.266.17 1.302.606.21 595.225.149 564.482.159 120.835.068
Rate Interest 6,9% 4.110.873.36 2.488.976.22 1.091.738.64 490.106.402 479.298.547 99.445.132
Rate Interest 7,9% 3.436.807.70 2.087.434.27 934.413.280 409.354.653 415.746.517 83.476.350

Gambar 12.4. Nilai Harapan Lahan (LEV) pengusahaan tanaman geronggang,


sagu dan karet

Pada grafik di atas (Gambar 12.4.) diketahui pengusahaan tanaman


geronggang memiliki nilai harapan lahan tertinggi. Nilainya mencapai Rp.
4.110.873.368,- pada pengusahaan dengan jarak tanam 1 x 0,5 (m) pada suku
bunga 6,9% dan Rp. 2.488.976.228,- dengan jarak tanam 1 x 1 (m). Pada
pengusahaan tanaman geronggang dengan peruntukan kayu cerocok nilai
harapan lahannya mencapai Rp. 1.091.738.640,-. Pada pengusahaan sagu nilai
harapan lahan tertingginya adalah pada pola pengusahaan dengan satu kali
pemupukan, nilainya mencapai Rp. 490.106.402,- dan Rp. 479.298.547,- untuk
pengusahaan sagu dengan dua kali pemupukan. Sedangkan untuk nilai harapan
174
Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Poensial Bumi Lancang Kuning
lahan terendah adalah pada pengusahaan karet dengan nilai Rp. 99.445.132,-.
Perbedaan nilai harapan lahan berdasarkan hasil perhitungan di atas terlihat
cukup besar nilainya, selisih antara nilai harapan lahan pengusahaan geronggang
dengan sagu mencapai sekitar dua milyar rupiah. Demikian juga bila
dibandingkan dengan pengusahaan karet. Nilai harapan lahan yang tinggi ini
lebih disebabkan oleh komponen harga kayu geronggang yang relatif tinggi. Oleh
karenanya perlu diketahui juga seberapa besar perubahan yang terjadi apabila
muncul perubahan dari sisi harga yang disebabkan oleh kondisi pasar dan
perekonomian yang ada. Sehingga perlu dilakukan analisis sensitivitas atau
kepekaan usaha terhadap perubahan faktor harga. Pada analisis sensitivitas usaha,
dilakukan penghitungan nilai harapan lahan pada dua komoditas yang
menghasilkan nilai harapan lahan tertinggi yakni geronggang dan sagu.
Perubahan harga berupa penurunan harga sebesar 25% dan 50% dari harga
normal sebagaimana di atas, diujikan pada pengusahaan tanaman geronggang dan
sagu dengan beberapa pola tanaman seperti dijelaskan di atas. Hasil dari analisis
sensitivitasnya dapat dilihat pada Gambar 12.5. dan 12.8.
LEV (Rp)
6.000.000.000
Suku Bunga 5,9%

Suku Bunga 6,9%


4.000.000.000
Suku Bunga 7,9%

2.000.000.000

-
harga-25%

harga-50%

harga-25%

harga-50%

harga-25%

harga-50%
normal

normal

normal

1mx0,5m 1mx1m Cerocok


Geronggang

Gambar 12.5. Grafik perubahan LEV geronggang oleh perubahan harga jual
produk pada tiga tingkat suku bunga

Pada Gambar 12.5. di atas, terlihat bahwa penurunan harga jual produk
kayu geronggang akan mengurangi nilai harapan lahannya. Pada analisis
kepekaan usaha, diasumsikan penurunan harga terjadi pada 25% dan 50%.
Penurunan harga sebesar ini apakah berpengaruh kuat terhadap pengusahaan
175
Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Potensial Bumi Lancang Kuning
geronggang? Berdasarkan grafik diatas, penurunan yang cukup besar terjadi pada
nilai harapan lahan pada setiap level penurunan harga yang diujikan pada
komoditas geronggang. Pada pola penanaman geronggang jarak tanam 1 x 0,5 (m),
dengan penurunan harga sebesar 25% maka penurunan atau selisih LEV dengan
harga normal mencapai hingga 40%. Sedangkan pada penurunan harga sebesar
50% maka selisih nilai LEV nya bisa mencapai 85%. Namun demikian, nilai LEV
pada penurunan harga hingga 50% masih bernilai positif, artinya pengusahaan
geronggang pada level harga tersebut masih memberikan keuntungan dan masih
layak dilanjutkan. Nilai nominal LEV pada penurunan harga 25% dan pada tiga
suku bunga berturut turut Rp. 2.913.830; Rp. 2.377.978; Rp. 1.981.000.
100
%
80

60

40

20

-
normal

normal

normal
harga-25%

harga-50%
harga-50%

harga-25%

harga-25%

harga-50%

1mx0,5m 1mx1m Cerocok


Geronggang

Suku Bunga 5,9% Suku Bunga 6,9% Suku Bunga 7,9%

Gambar 12.6. Persentase penurunan nilai LEV pengusahaan geronggang


oleh penurunan harga jual produk kayu geronggang

Pada pengusahaan geronggang dengan jarak tanam 1 x 1 (m) pada suku


bunga riil 6,9%, penurunan harga jual produk geronggang sebesar 25% akan
menurunkan nilai LEV dengan penurunan mencapai 43%, dan pada penurunan
harga 50% akan meng urangi nilai LEV sebesar 86% dari nilai LEV dengan harga
normal yang digunakan. Namun demikian sebagaimana pada pengusahaan
geronggang dengan jarak tanam 1 x 0,5 (m), maka nilai LEV nya masih positif
yakni Rp. 1.417.381,- pada penurunan harga sebesar 25%, dan Rp. 345.787,- pada
penurunan harga 50%. Artinya pengusahaan geronggang dengan jarak tanam 1 x
1 (m) masih layak dijalankan dengan kondisi penurunan harga hingga 50%
176
Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Poensial Bumi Lancang Kuning
bahkan lebih. Demikian pula halnya dengan pengusahaan kayu cerocok
geronggang, penurunan harga sebesar 25% dan 50% masih memberikan nilai
LEV yang positif, namun dengan nominal yang lebih kecil dari pengusahaan
geronggang peruntukan kayu sebagaimana di atas.

Rp
6.000.000.000
5.000.000.000
4.000.000.000
3.000.000.000
2.000.000.000
1.000.000.000
-
normal

normal

normal
harga-25%

harga-50%

harga-25%

harga-50%

harga-25%

harga-50%
1mx0,5m 1mx1m Cerocok
Geronggang

Suku Bunga 5,9% Suku Bunga 6,9% Suku Bunga 7,9%

Gambar 12.7. Penurunan nilai nominal LEV (Rp) oleh penurunan harga jual
produk kayu geronggang

Pada gambar 12.7., di atas dapat kita lihat grafik menunjukkan adanya
penurunan nilai LEV dengan nominal yang berbeda-beda. Secara nominal
penurunan terbesar adalah pada pengusahaan geronggang dengan jarak tanam 1
x 0,5 (m), diikuti jarak tanam 1 x 1 (m) baru kemudian nilai penurunan LEV
terkecil adalah pada kelas pengusahaan cerocok geronggang. Sehingga terlihat
grafiknya untuk pengusahaan kayu cerocok adalah lebih landai dibandingkan
grafik lainnya. Namun demikian pada gambar 12.8, dapat kita pahami pula,
bahwa ternyata perbedaan suku bunga tidak berpengaruh terhadap persentase
(bukan nominal) nilai penurunan LEV oleh penurunan harga jual produk, hal ini
dapat diketahui dari posisi grafiknya yang berhimpit. Namun demikian,
perubahan secara nominal terlihat berbeda berdasarkan gambar 12.7. di atas.
Berdasarkan grafik di atas, dapat dijelaskan pula bahwa resiko pengusahaan
geronggang dengan jarak tanam 1 x 0,5 (m) memiliki tingkat LEV tertinggi,
177
Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Potensial Bumi Lancang Kuning
namun sangat sensitif terhadap perubahan harga, sehingga fluktuasinya lebih
tajam dibandingkan dengan kelas pengusahaan geronggang lainnya.
LEV (Rp)

normal harga-25% harga-50% normal harga-25% harga-50%


1x pupuk 2x pupuk
Sagu
Suku Bunga 5,9% 595.225.149 374.945.095 116.765.136 564.482.159 344.055.545 85.875.586
Suku Bunga 6,9% 490.106.402 304.481.709 81.311.646 479.298.547 274.636.324 51.466.262
Suku Bunga 7,9% 409.354.653 249.515.251 52.478.444 415.746.517 220.093.549 23.056.741

Gambar 12.8. Grafik perubahan LEV sagu oleh perubahan harga jual produk
pada tiga tingkat suku bunga

Pada pengusahaan tanaman sagu, nilai LEV nya juga mengalami


perubahan yang cukup besar terutama pada penurunan harga hingga 50%.
Dengan satu kali pemupukan pada tingkat suku bunga 6,9% dan penurunan harga
sebesar 25%, maka nilai LEV akan berkurang hingga sebesar 38%. Sedangkan
pada penurunan harga 50% maka nilai LEV berkurang sebesar 84%. Demikian
halnya dengan pengusahaan sagu dengan dua kali pemupukan nilai LEV nya akan
berkurang dengan penurunan harga jual produk, dengan besar penurunan
berturut-turut untuk penurunan harga 25% dan 50% adalah sebesar 57% dan
89%. Persentase ini tak akan berubah dengan perbedaan suku bunga yang
digunakan dalam analisis atau perhitungan, sebagaimana yang dijelaskan pada
kelas pengusahaan geronggang di atas. Berdasarkan grafik di atas juga diketahui
bahwa nilai persentase penurunannya untuk pengusahaan sagu dengan dua kali
pemupukan justru lebih besar dibandingkan satu kali pemupukan. Kemungkinan
hal inilah yang menyebabkan mengapa ada kecenderungan para petani sagu
cenderung meminimalkan pemupukan pada tanaman sagu yang sudah besar dan
mampu mereproduksi sendiri.

178
Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Poensial Bumi Lancang Kuning
C. Prospek Pengusahaan Tanaman Geronggang
Geronggang merupakan tanaman asli lokal Riau yang memiliki habitat
utama di lahan gambut dan mampu tumbuh baik juga di lahan mineral. Sifat
kayunya yang mudah dikerjakan, awet serta memiliki tekstur dan warna kayu
yang menarik menjadikannya sebagai kayu primadona di wilayah Riau dan
sekitarnya. Pemanfaatannya banyak digunakan sebagai papan dan kayu
gergajian, serta untuk profil. Saat ini kayu geronggang cukup langka di pasaran
karena semakin menyusutnya potensi geronggang di hutan alam. Hutan alam di
Bengkalis seringkali mengalami kebakaran, kebakaran hebat pada tahun 2014
telah memusnahkan sebagian besar pohon geronggang. Langkanya kayu
geronggang ini menjadi sebab harganya yang tinggi di pasaran. Saat ini banyak
petani geronggang, termasuk LSM yang sangat giat dalam pengusahaan tanaman
geronggang. Puluhan kelompok tani pembudidaya tanaman geronggang telah
terbentuk baik yang diprakarsai oleh LSM maupun yang menanam sendiri. Salah
satu LSM pegiat geronggang adalah Ikatan Pemuda Melayu Peduli Geronggang
(IPMPL).
Tiga komponen penting sebagai pilar pengusahaan geronggang sangat
kondusif dalam mendorong iklim pengusahaan atau budidaya tanaman
geronggang di Kabupaten Bengkalis. Tiga komponen tersebut adalah faktor edafis
dan habitat yang cocok bagi budidaya geronggang, minat masyarakat yang tinggi,
serta potensi pasar yang besar menjadikan geronggang layak untuk diusahakan
dalam bentuk hutan tanaman, sehingga Bengkalis layak menjadi sentra
pengusahaan dan pengembangan kayu beserta produk-produk berbahan kayu
geronggang. Pengalaman masa lalu masyarakat dalam mengeksploitasi dan
mengolah kayu geronggang juga menjadi faktor pendorong lainnya yang
menempatkan geronggang sebagai kayu yang memiliki nilai ekonomi tinggi di
Bengkalis. Informasi yang diperoleh dari para pembalak kayu geronggang di masa
lalu, permintaan pasar dari negara-negara tetangga juga cukup tinggi. Beberapa
komponen yang kondusif ini diperkuat lagi dengan kemauan politik para pejabat
negara, termasuk Bupati Siak, Gubernur Riau serta Menteri Lingkungan Hidup
dan Kehutanan. Pada tahun 2018, harga jual kayu geronggang di Bengkalis
mancapai Rp. 3.000.000,-/tan. Sementara informasi yang didapatkan pada tahun
2019 harganya telah mencapai Rp. 3.500.000,-/tan. Tren kenaikan ini
diperkirakan masih akan terjadi mengingat makin langkanya kayu dari hutan
alam dan makin meningkatnya kebutuhan kayu untuk berbagai keperluan.
179
Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Potensial Bumi Lancang Kuning
Geronggang bukan hanya memiliki nilai jual secara finansial saja, namun
juga memiliki nilai ekonomi dalam arti yang luas, termasuk kemampuannya
dalam mempertahankan air di lahan gambut. Secara alami geronggang mampu
bertahan pada lokasi dengan permukaan air tanah gambut yang lebih tinggi
dibandingkan jenis tanaman lainnya seperti akasia. Sebagaimana akasia,
geronggang juga memiliki potensi untuk dimanfaatkan sebagai kayu penghasil
pulp. Kemampuan bertahan geronggang terhadap genangan akan mampu
mencegah dan mengurangi terjadinya kebakaran hutan dan lahan terutama pada
lokasi berlahan gambut yang banyak tersebar di Pulau Sumatera dan Kalimantan.
Selain itu telah banyak hasil penelitian yang termuat dalam beberapa jurnal
ilmiah, menunjukkan potensi kandungan kimia geronggang memiliki khasiat
sebagai obat beberapa penyakit. Dengan adanya potensi yang beragam dari
geronggang ini yakni manfaat finansial, ekonomi, lingkungan dan medis,
menjadikan geronggang akan tetap menarik untuk dibudidayakan.

Daftar Pustaka
Alimah, D. 2016. Kandungan Bahan Aktif Gerunggang (Cratoxylon arborescens
(Vahl.)Blume) dan Potensi Pemanfaatannya. Galam Volume 2 Nomor 1, Juni
2016. Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan
Banjarbaru.
Anonim. 2017 Natural rubber prices expected to decline. Weibold. the UK.
Ardiansyah, D. Yoza dan Y. Oktorini. 2017. Pengembangan Hutan Rakyat Berbasis
Tanaman Karet (Hevea brasilliensis) di Kecamatan Tanah Putih Kabupaten
Rokan Hilir. JOM Faperta UR Vol.4 No.1 Februari 2017.
Arianto, D., H. Ekwarso dan D. Tampubolon. 2014. Analisis Pendapatan Petani
Karet Kecamatan Bantan Kabupaten Bengkalis.
Astuti, M., Hafiza, E. Yuningsih, A.R. Wasingun, I.M. Nasution dan D. Mustikawati.
2014. Pedoman Budidaya Sagu (Metroxylon spp.) Yang Baik. Direktorat
Jenderal Perkebunan. Kementerian Pertanian.
Bakce, Djaimi. 2014. Supply chain management industri karet di Indonesia. Makalah
disajikan pada Seminar Nasional Ekonomi Pertanian dengan tema: “Mensiasati
ancaman degradasi industri perkebunan di Provinsi Riau” yang
diiselenggarakan oleh UIN SUSKA Riau bekerjasama denganPerhimpunan
Ekonomi Pertanian Indonesia (PERHEPI) Komisariat Daerah Pekanbaru pada
tanggal 1 November 2014 di Pekanbaru.
Bogidarmanti, R., N. Mindawati, dan Suhartati. 2011. Gerunggang ( Cratoxylon
arborescens Blume.) dan Terentang (Campnosperma coriaceum Jack. Dan C.

180
Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Poensial Bumi Lancang Kuning
auriculata Hook.f) : Jenis Alternatif Potensial Sebagai Bahan Baku Kayu Pulp.
Proceeding of the National Seminar of MAPEKI XIV, pp 315-326.
BPS. 2018. Statistik Karet Indonesia 2017. Badan Pusat Statistik Republik Indonesia.
BPS Kabupaten Bengkalis. 2018. Kabupaten Bengkalis Dalam Angka. BPS Kabupaten
Bengkalis.
BPS Kabupaten Bengkalis. 2017a. Indikator Kesejahteraan Rakyat Kabupaten Bengkalis
Tahun 2017. BPS Kabupaten Bengkalis.
BPS Kabupaten Bengkalis. 2017b. Statistik Daerah Kabupaten Bengkalis 2018. BPS
Kabupaten Bengkalis.
Daryono, H. 2009. Potensi, Permasalahan dan Kebijakan yang Diperlukan dalam
Pengelolaan Hutan dan Lahan Rawa Gambut Secara Lestari. Jurnal Analisis
Kebijakan Kehutanan Vol. 6 No. 2, Agustus 2009: 71-101.
FAO. 2013. Expert Consultation on the Establishment of A Sago Network for Asia and
the Pacific. Roundtable Report.
Gunawan H, Kobayashi S, Mizuno K, dan Kono Y. 2012. Peat swamp forest types and
their regeneration in Siak Kecil-Bukit Batu Biosphere Reserve, Riau, East
Sumatra, Indonesia. Mires and Peat 10:1-17
Hamid, A. 2018. Warga Desa Wonosari, Bengkalis Budidayakan Tanaman Geronggang.
m.medialaskar.com. Diakses tanggal 16 Mei 2019.
Hamid, A. 2019. Dianggap Cocok di Lahan Gambut, Warga Bengkalis Budidayakan
Pohon Geronggang di Desa Air Putih. www.medialaskar.com. Diakses tanggal
17 Mei 2019.
Indriani, D., H. Gunawan dan N. Sofiyanti. 2015. Survival Rate dan Total Akumulasi
Biomassa Permukaan Dari Lima Jenis Pohon Yang Digunakan Dalam
Eksperimen Restorasi Pada Lahan Gambut Bekas Terbakar di Area Transisi
Cagar Biosfer Giam Siak Kecil-Bukit Batu Desa Tanjung Leban, Bengkalis, Riau.
JOM FMIPA Volume 2 No 1 Februari 2015.
Junaedi, A. 2014. Pertumbuhan Tegakan dan Produktivitas Serta Laju Dekomposisi
Seresah Beberapa Jenis Pohon Lokal Pada Lahan Gambut di Kabupaten
Pelalawan, Riau. Tesis. Program Pasca Sarjana Fakultas Kehutanan Universitas
Gadjah Mada, Yogyakarta.
Junaedi, A. 2015. Pertumbuhan dan Mutu Bibit Geronggang (Cratoxylon arborescens )
Pada Tiga Wadah Bibit. Prosiding Workshop: promoting appreciation and
awareness on conservation of high value indigeneous wood species of Sumatra.
Balai Penelitian Teknologi Serat Tanaman Hutan Kuok.
Junaedi, A. 2018. Growth Performance of Three Native Tree Species for Pulpwood
Plantation in Drained Peatland of Pelalawan District, Riau. Indonesian Journal
of Forestry Research Vol. 5, No. 2, October 2018, 119-132.
Kemenhut. 2014.Statistik Kementerian KehutananTahun 2013. Jakarta (ID):
Kementerian Kehutanan.

181
Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Potensial Bumi Lancang Kuning
Kementan. 2017. Statistik Perkebunan Indonesia 2016-2018. Direktorat Jenderal
Perkebunan. Kementerian Pertanian.
Kurniawan, H. dan Yuniati, D. 2015. Pengaruh Biaya Pengendalian Hama Kutu Sisik
(Chionaspis sp.) Terhadap Nilai Harapan Lahan Budidaya Cendana (Santalum
album Linn.). Prosiding Diskusi Ilmiah: Sinergitas Peneliti, Widyaswara dan
Penyuluh Kehutanan dalam Diseminasi Informasi Guna Mendukung
Pembangunan Lingkungan Hidup dan Kehutanan NTT. Balai Penelitian dan
Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Kupang.
Kusumawati, S.A. 2017. Kebijakan dan Realita Perkebunan dan Industri Kelapa Sawit di
Provinsi Riau. Dinas Tanaman Pangan, Hortikultura dan Perkebunan. Focus
Working Group “Dampak PP 57-2016 tentang Gambut dan Implementasinya”.
Jakarta, 18 Mei 2017.
Miettinen J, Hooijer A, Shi C, et al. 2012 Extent of industrial plantations on Southeast
Asian peatlands in 2010 with analysis of historical expansion and future
projections. Gcb Bioenergy 4: 908-918.
Mindawati, N., R. Bogidarmanti, H.S. Nuroniah, A.S. Kosasih, Suharti, S. Rahmayanti, A.
Junaedi, E. Rahmat, Y. Rochmayanto. 2010. Silvikultur Jenis Alternatif
Penghasil Kayu Pulp. Sintesa Hasil Penelitian. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Hutan Tanaman. Bogor.
Mojiol, A.R., Wahyudi and N. Nasly. 2014. Growth Performance of Three Indigenous
Tree Species (Cratoxylum arborescensVahl. Blume, Alstonia spathulata Blume,
and Stemonurus scorpioides Becc.) Planted at Burned Area in Klias Peat Swamp
Forest, Beaufort, Sabah, Malaysia. Journal of Wetlands Environmental
Management, Volume 2, Number 1, April 2014.
Mubekti. 2011. Studi pewilayahan dalam rangka pengelolaan lahan gambut berkelanjutan
di Provinsi Riau. Jurnal Sains dan Teknologi Indonesia13(2): 88- 94.
Novita, Y., Rosnita dan Eliza. 2015. Analisis Sektor Ekonomi Unggulan Kabupaten
Bengkalis dengan Pendekatan Sektor Pembentukan Produk Domestik Regional
Bruto. JomFaperta Vol. 2, No.1 Februari 2015.
Nusantara AW, Baheri, dan Tondi L. 2014. Competitiveness analysis and development of
agroindustry in southeast sulawesi. International Journal Business and
Management Invention. 3 (3):80-86.
Ramdani, R., E.P. Purnomo dan R.D.P. Ahsani. 2018. Karet Alam Sebagai Basis
Pembangunan Pedesaan dan Peningkatan Taraf Hidup Masyarakat yang
Berkelanjutan. Jurnal Ilmu Pemerintahan Widya Praja Vol. 44, No. 1, Oktober
2018: 21-36.
Sufandi. 2006. Strategi Pengembangan Agroindustri Perdesaan di Kabupaten Bengkalis.
Tugas Akhir. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
Soerianegara, I. dan R.H.M.J. Lemmens. 2001. Plant Resources of South East Asia Timber
Trees. Major Commercial Timbers, 5(1) : 102-108. Bogor : Prosea.

182
Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Poensial Bumi Lancang Kuning
Syahza, A., Bakce, D., Suarman & Hamlin, N. 2016. Strategi percepatan pembangunan
ekonomi melalui penataan kelembagaan dan industri karet alam di Provinsi
Riau. Penelitian MP3EI tahun II. Universitas Riau Pekanbaru.
Syamsuar. 2018. Geronggang Alternatif Masa Depan Ekonomi Riau. www.madaniy.com.
Diakses tanggal 17 Mei 2019.
Syaufina, L. dan D.A.F. Hafni. 2018. Variabilitas Iklim dan Jejadian Kebakaran Huran dan
Lahan Gambut di Kabupaten Bengkalis Provinsi Riau. Jurnal Silvikultur
Tropika, Vol. 09 No. 1, April 2018, hal 60-68. ISSN: 2086-8227.
Utari, M., Yusmini dan S. Edwina. 2016. Analisis Kelayakan FInansial Usaha Perkebunan
Karet Program Eks UPP TCSDP di Desa Bina Baru Kecamatan Kampar Kiri
Tengah Kabupaten Kampar. Jom Faperta Vol. 3 No. 2 Oktober 2016.
Wahyunto, K. Nugroho dan F. Agus. 2016. Perkembangan Pemetaan dan Distribusi
Lahan Gambut di Indonesia. Buku: Lahan Gambut Indonesia (Edisi Revisi), Bab
2. Ed.: F. Agus, M. Anda, A. Jamil dan Masganti. IAARD Press. Badan Litbang
Pertanian.
Wardani, M., Denny dan Sutiyono. 2018. Spesies Pohon Hutan Rawa Gambut Sumatera.
Prosiding Seminar Nasional. Merawat Asa Restorasi Gambut, Pencegahan
Kebakaran dan Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat. Balai Penelitian dan
Kehutanan Palembang.
Widana, I. 2018. Banyak Nilai Ekonomisnya, Syamsuar Ajak Masyarakat Siak Manfaatkan
Lahan Gambut Tanam Geronggang. www.gonews.co.diakses tanggal 15 Mei
2019.
Zainun, W. Syafii, Y. Fauziah dan L.N. Firdaus. 2017. Morfologi Akar Tumbuhan di
Lahan Gambut Pasca Kebakaran. Handout Pembelajaran Biologi SMP Berbasis
Riset. Program Studi Pendidikan Biologi, Fakultas Keguruan dan Ilmu
Pendidikan Universitas Riau.

183
Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Potensial Bumi Lancang Kuning
184
Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Poensial Bumi Lancang Kuning
XIII.
KEARIFAN LOKAL TERHADAP GERONGGANG
DI KABUPATEN BENGKALIS
(Michael Daru Enggar W. & Hery Kurniawan)
(Ahmad

A. Gambaran Umum Kabupaten Bengkalis


Kabupaten Bengkalis merupakan salah satu Kabupaten terluar di Provinsi
Riau yang berbatasan langsung dengan negara tetangga Malaysia. Kabupaten
Bengkalis berada wilayah dengan tinggi tempat (altitude) 5 – 55 m di atas
permukaan laut. Secara geografis Bengkalis terletak pada 2 0 30’ – 00 30’ Lintang
Utara dan 1020 52’ – 1020 10’ Bujur Timur. Wilayah Bengkalis termasuk dalam
daerah beriklim tropis dengan curah hujan sepanjang tahun. Temperature harian
wilayah di Bengkalis berkisar 26 – 32º C. Dari kondisi lingkungan dan iklim
tersebut Kabupaten Bengkalis menjadi habitat alam tanaman geronggang
(Cratoxylon arborescens).
Batas-batas Kabupaten Bengkalis adalah sebagai berikut :
a. sebelah utara berbatasan dengan Selat Malaka
b. sebelah timur berbatasan dengan Selat Malaka dan Kabupaten Kepulauan
Meranti
c. sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Siak dan Kabupaten Kepulauan
Meranti
d. sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Rokan Hilir, Kabupaten Rokan
Hulu dan Kota Dumai.

Luas wilayah Kabupaten Bengkalis adalah 7.773,93 Km yang terdiri atas


daratan dan lautan. Tercatat ada 33 sungai, 10 danau, dan 17 pulau besar berada
di wilayah Kabupaten Bengkalis. Sungai di wilayah Bengkalis berperan sebagai
sarana penghubung utama dan menyokong perekonomian penduduk,
diantaranya adalah Sungai Siak dengan panjang 300 km, Sungai Siak Kecil dengan
panjang 90 km, dan Sungai Mandau 87 km. Pulau terluar di Bengkalis yaitu Pulau
Bengkalis dan Pulau Rupat merupakan jalur pelayaran internasional yang
melewati Selat Malaka dan sebagai pintu masuk ke Negara Indonesia.

185
Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Potensial Bumi Lancang Kuning
Sumber://id.wikipedia.org/wiki/Berkas:Lokasi_Riau_Kabupaten_Bengkalis.svg
Gambar 13.1. Peta Kabupaten Bengkalis

Wilayah Kabupaten Bengkalis terbagi menjadi 11 Kecamatan yaitu


Mandau, Pinggir, Bathin Solapan, Talang Muandau, Bukit Batu, Siak Kecil,
Bandar Laksamana, Rupat, Rupat Utara, Bengkalis, dan Bantan. Kecamatan
Pinggir menjadi kecamatan terluas dengan luas wilayah 2.503 km dan kecamatan
Bantan menjadi kecamatan terkecil dengan luas wilayah 424,40 km. dari 11
kecamatan tersebut terbagi lagi menjadi 155 Desa/kelurahan, kecamatan
Bengkalis menjadi kecamatan dengan desa/kelurahan paling banyak sebanyak 31
desa/kelurahan dan kecamatan Bandar Laksamana menjadi kecamatan dengan
desa/kelurahan paling sedikit sebanyak tujuh desa/kelurahan.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik Kabupaten Bengkalis tahun 2018
jumlah penduduk pada tahun 2017 berjumlah 559.081 jiwa yang terdiri atas
286.865 jiwa laki-laki dan 272.216 jiwa perempuan. Laju pertambahan penduduk
di bengkalis adalah 1,59%/tahun. Kepadatan Penduduk di Bengkalis rata-rata 72
jiwa/km denagan kepadatan penduduk tertinggi terdapat di kecamatan Mandau
yaitu 263 jiwa/km dan terendah terdapat di Kecamatan Rupat Utara yaitu 23
jiwa/km.
Tingkat pertumbuhan angkatan kerja di Kabupaten Bengkalis termasuk
cukup tinggi, data BPS tahun 2018 menunjukkan jumlah angkatan kerja pada
tahun 2017 sebanyak 385.583 jiwa yang terdiri atas: bekerja sebanyak 225.043
jiwa, belum bekerja sebanyak 21.225 jiwa, dan bukan angkatan kerja (sekolah,
ibu rumah tangga, dan lainnya) sebanyak 139.315 jiwa. Tingkat partisipasi kerja

186
Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Poensial Bumi Lancang Kuning
sebesar 63,67% dengan jumlah penduduk yang bekerja dan tingkat pengangguran
sebesar 8,62%. Sektor yang membuka kesempatan kerja di Kabupaten Bengkalis
dapat disajikan pada grafik berikut :

0,16

4,13 pertanian
4,3
4,94 jasa

5,19 perdagangan
34,23

konstruksi
8,18
industri pengolahan

pertambangan

angkutan dan komunikasi


18,56
keuangan dan asuransi
20,83
listrik, gas, dan air bersih

Gambar 13.2. Persentase penduduk bekerja menurut lapangan kerja utama (BPS
Kab. Bengkalis, 2018)

Upah Minimum (UMK) Kabupaten Bengkalis secara konsisten


mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Pada tahun 2016 UMK Kabupaten
Bengkalis sebesar Rp 2.480.875,- kemudian meningkat menjadi Rp. 2.685.547,-
pada tahun 2017.
Bentang alam di Kabupaten Bengkalis terdiri atas dataran rendah yang
ditumbuhi hutan tropis, kawasan coastal (pantai) dan daerah endapan lumpur
sebagai hasil erosi sungai terutama di Pulau Rupat, Pulau Bengkalis, Pulau Babi
dan Pulau Halang. Daerah perbukitan yang tingginya lebih dari 25 meter di atas
permukaan laut hanya ditemukan di wilayah Kecamatan Mandau. Ekosistem
pesisir di Kabupaten Bengkalis berupa rawa gambut dan mangrove. Rawa gambut
didominasi oleh hutan gambut tropis dan sagu. Sedangkan areal mangrove
didominasi oleh hutan bakau, api-api dan nipah. Pada umumnya kawasan hutan
mangrove (bakau) di Kabupaten Bengkalis sudah banyak mengalami kerusakan,
khususnya yang berada disekitar kawasan pemukiman di bagian utara Pulau
Bengkalis, Rupat, Pesisir Bukit Batu-Sei Pakning dan Pulau Padang.

187
Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Potensial Bumi Lancang Kuning
B. Kearifan Lokal: Konsep dan Fungsinya
Kearifan lokal adalah kumpulan pengetahuan dan cara berpikir yang
berakar dalam kebudayaan suatu kelompok manusia, yang merupakan hasil
pengamatan selama kurun waktu yang lama (Babcock, 1999). Kearifan lokal
tumbuh dan berkembang di masyarakat sebagai adaptasi masyarakat terhadap
kondisi lingkungan tempat tinggalnya. Salah satu aspek kearifan lokal masyarakat
tercermin dalam pengelolaan sumber daya alam hayati. Pendekatan kultural
dalam pengelolaan sumber daya hayati tidak saja ditujukan kepada pemenuhan
nilai-nilai spiritual dan kultural masyarakat, tetapi juga diarahkan untuk
menjamin kesinambungan sumber daya di alam agar tetap mampu dimanfaatkan
masyarakat (Droste 1995). Teknik-teknik pengelolaan ini telah dikenal luas
sebagai indigenous knowledge, local wisdom, ethnoecology, ethnobiology atau
istilah-istilah lain yang merujuk pada dominansi pengetahuan lokal dalam
pengelolaan sumber daya (Grenier 1998).
Menurut hasil penelitian Noor dan Rahman (2015), kearifan lokal
berkembang dalam lingkup lokal, menyesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan
masyarakat yang merupakan hasil kreativitas dan inovasi secara terus-menerus
dengan melibatkan masukan internal dan eksternal. Dengan demikian, kearifan
lokal merupakan kecerdasan manusia yang dimiliki oleh kelompok etnis tertentu
yang diperoleh melalui pengalaman masyarakat (Rahyono 2009). Sumarmi dan
Amirudin (2014) menjelaskan beberapa fungsi kearifan lokal, yaitu:
a. penanda identitas sebuah komunitas,
b. elemen perekat (aspek kohesif) lintas warga, lintas agama dan kepercayaan
c. kearifan lokal memberikan warna kebersamaan bagi sebuah komunitas,
d. mengubah pola pikir dan hubungan timbal balik individu dan kelompok
dengan meletakkannya di atas kebudayaan yang dimiliki, dan
e. mendorong terbangunnya kebersamaan, apresiasi sekaligus sebagai sebuah
mekanisme bersama untuk menepis berbagai kemungkinan yang mereduksi,
bahkan merusak, solidaritas komunal, yang dipercayai berasal dan tumbuh
di atas kesadaran bersama dari sebuah komunitas terintegrasi.

Bagi masyarakat tradisional, alam merupakan gudang persediaan bahan


pangan yang dapat diambil kapan saja guna mempertahankan kelangsungan
hidupnya. Faktor ini menjadi penyebab sebagian flora yang awalnya hidup liar di
alam berubah menjadi tanaman pangan yang dibudidayakan (Sembori dan
188
Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Poensial Bumi Lancang Kuning
Tanjung 2009). Nenek moyang kita sudah sejak dahulu memanfaatkan sumber
daya alam hayati tumbuhan di sekitarnya untuk memenuhi kebutuhan hidup,
baik sebagai obat, pangan, bangunan, sandang, maupun alat rumah tangga
lainnya (Khazara dan Austin 1999).

C. Kearifan Lokal Penanaman Geronggang


Masyarakat Melayu di Pulau Bengkalis memiliki beberapa kearifan lokal
terkait geronggang, yang tercermin sejak proses penanaman sampai dengan
pemanfaatannya. Masyarakat melakukan perbanyakan geronggang melalui biji di
alam. Biji geronggang yang ringan akan tertiup angin dan terbawa oleh aliran air
sehingga akan tumbuh secara alami di tepi parit/kanal. Setelah anakan
geronggang tumbuh, masyarakat kemudian memindahkannya di lahan milik
mereka. Terdapat dua sumber bahan pertanaman geronggang, yaitu
menggunakan anakan alam dan menanam bibit hasil persemaian. Pertanaman
mengandalkan anakan alam biasanya satu rangkaian dengan perbanyakan secara
alam (memelihara anakan geronggang yang tumbuh). Anakan geronggang yang
tumbuh secara alami diseleksi untuk memilih anakan terbaik, anakan yang
kurang baik atau mati akan dicabut. Sedangkan bibit hasil persemaian diperoleh
dengan menyemaikan biji geronggang seperti yang dilakukan oleh masyarakat
penggiat geronggang di Bengkalis. Penanaman bibit hasil persemaian biasanya
dilakukan pada saat umur bibit tiga bulan atau setinggi 30 cm.
Teknik menanam biasanya dilakukan dengan memindahkan anakan alam
untuk ditanam di lahan sendiri. Petani yang memiliki modal akan
mempersiapkan bibit terlebih dulu dengan menyemaikan biji geronggang
ataupun dengan sistem cabutan. Tujuan mereka mempersiapkan bibit adalah
untuk meningkatkan persentase hidup dari anakan geronggang, bersamaan
dengan mempersiapkan lahan untuk penanaman.
Penanaman geronggang di lahan masyarakat biasanya dilakukan dengan
sistem tanam campur. Dalam satu hamparan lahan biasanya ditanam berbagai
tanaman sumber penghidupan seperti karet, pinang, sagu, kelapa sawit dan lain
sebagainya. Luas penanaman tergantung dari kemampuan setiap petani dalam
mengolah lahan, biasanya antara satu hingga dua ha. Sesudah bibit geronggang
ditanam, petani melakukan pemeliharaan dengan membuat tebas piringan di
sekitar tanaman dan melakukan pemupukan. Pemupukan yang utama dilakukan
pada tanaman sumber penghidupan, sedangkan geronggang jarang dipupuk oleh
189
Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Potensial Bumi Lancang Kuning
pemilik lahan. Petani melakukan penyulaman untuk mengganti tanaman yang
mati. Tanaman geronggang akan dibiarkan sampai umur dua tahun dan dilakukan
tebangan penjarangan. Penjarangan bertujuan memberikan ruang tumbuh
sehingga dapat memacu pertumbuhan diameter batang. Kayu hasil penjarangan
sudah dapat dijual untuk dijadikan kayu cerucuk. Tebangan penjarangan
dilakukan secara periodik setiap dua tahun atau tiga tahun sampai dengan
tebangan akhir pada umur tanaman di atas 12 tahun.

a b

Gambar 13.3. (a) Diskusi menggali informasi dengan masyarakat pegiat


geronggang; (b) Bersama Pembina dan praktisi usaha tani
gerongggang dari LSM Ikatan Pemuda Melayu Peduli Lingkungan

D. Kearifan Lokal Pemanfaatan Geronggang


Pemanfaatan kayu geronggang dapat dilihat dalam keseharian
masyarakat di Pulau Bengkalis salah satunya dari rumahnya. Pada rumah
masyarakat Pulau Bengkalis, kayu geronggang dimanfaatkan sebagai bahan piri-
piri, dinding, rangka atap, dan lantai rumah. Hal ini diperkuat juga dari studi pada
salah satu di desa tanah merah, Kabupaten Kepulauan Meranti, terdapat banyak
pohon geronggang yang bisa diolah menjadi kayu atau papan, dan berguna untuk
membuat rumah. Masyarakat desa banyak menggunakan kayu tersebut untuk
membuat rumah dikarenakan potensinya sangat besar dan mudah tumbuh. Selain
itu umur produksi kayu geronggang lebih singkat dibanding kayu jenis lain.
Setiap warga memiliki pohon geronggang di tepian jalan atau kebun, yang umur
kurang lebih puluhan tahun dan sudah bisa memanfaatkan pohonnya untuk
diolah menjadi kayu/papan. Kayu geronggang mudah dibelah atau dipotong
dengan gergaji, baik pada kayu basah maupun kering udara. Kayu geronggang
biasa digunakan untuk papan dan konstruksi ringan di bawah atap, kursi, kayu
lapis dan cetakan beton.
190
Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Poensial Bumi Lancang Kuning
a b

Gambar 13.4. (a) Rumah menggunakan bahan baku kayu geronggang; (b)
Papan kayu geronggang sebagai dinding rumah

Selain pemanfaatan hasil kayu dari geronggang, masyarakat juga


melakukan pemanfaatanbagian non kayu geronggang, antara lain kulit batang
geronggang yang digunakan untuk obat luka dan gatal pada kulit. Bentuk
pemanfaatan lainnya adalah sebagai tanaman sumber pakan lebah madu. Bunga
geronggang disukai lebah madu karena mengandung nektar. Namun bunga
geronggang hanya bersifat musiman sehingga tidak bisa dimanfaatkan untuk
pakan lebah sepanjang tahun. Pemanfaatan lain yang memegang peranan penting
bagi ekologi adalah peranan tanaman geronggang sebagai penyimpan air. Peranan
kayu geronggang secara ekologi ini akan dijabarkan pada sub bab berikut.

E. Kearifan Lokal Perlindungan Geronggang


Masyarakat Bengkalis sudah menerapkan pengetahuan-pengetahuan
lokal dalam perlindungan geronggang. Perlindungan geronggang didorong oleh
kelangkaan kayu yang bisa dimanfaatkan di hutan. Kultur masyarakat Melayu
yang dikenal sebagai tapak lapan (delapan jalan mata pencaharian) terdapat salah
satu aspek yaitu bertukang atau membangun rumah yang sangat bergantung pada
ketersediaan kayu. Pada jaman dahulu waktu hutan masih terjaga dan kayu
melimpah, masyarakat tidak terlalu memikirkan kayu untuk pembuatan rumah
mereka. Namun saat ini seiring pertambahan jumlah penduduk dan
meningkatnya kebutuhan akan kayu, keberadaan kayu di hutan semakin sedikit.
Bahkan kayu geronggang yang sebelumnya dipandang sebelah mata mulai dilirik
oleh masyarakat sehingga jumlahnya pun berkurang drastis di hutan. Ditambah
lagi dengan peristiwa bencana kebakaran lahan dan hutan. Kondisi ini

191
Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Potensial Bumi Lancang Kuning
menyadarkan masyarakat tentang pentingnya konservasi terhadap kayu
geronggang.
Pemanenan kayu geronggang oleh masyarakat Bengkalis dilakukan
dengan sistem tebang habis lorong (jalur). Sistem ini dilakukan dengan menebang
habis satu lorong dan membiarkan lorong sebelahnya. Fungsi dari perlindungan
lorong di sebelahnya adalah untuk konservasi air. Kayu geronggang hidup di
lahan gambut yang rawan terbakar sehingga keberadaannya cukup penting untuk
mengurangi risiko kebakaran lahan. Pohon geronggang secara ekologis mampu
menahan air tanah seperti spons raksasa sehingga apabila terjadi kebakaran lahan
tidak akan meluas karena adanya sekat bakar. Penebangan sistem jalur mampu
menjaga tata air dan mencegah kebakaran dengan geronggang sebagai sekat
bakar.
Salah satu LSM peduli lingkungan di Bengkalis sejak beberapa tahun
terakhir gencar menggalakkan konservasi dan budidaya tanaman geronggang
kepada masyarakat. LSM yang menamakan dirinya “Ikatan Pemuda Melayu
Peduli Lingkungan” telah berhasil membudidayakan tanaman geronggang di
Bengkalis. Budidaya geronggang yang dipelopori oleh LSM ini dilakukan dengan
menyemaikan biji geronggang yang dikumpulkan dari berbagai wilayah di Pulau
Bengkalis. LSM ini mempunyai beberapa persemaian permanen dan kebun
pertanaman yang tersebar di Pulau Bengkalis. Kebun tanaman geronggang yang
sudah dibangun oleh LSM ini kerjasama dengan masyarakat bervariasi mulai
umur tanaman nol sampai dengan siap panen 12 tahun lebih. LSM ini membantu
masyarakat dalam menyediakan bibit dan penyuluhan mengenai budidaya
geronggang serta berharap dapat menjaga kelestarian tanaman geronggang
sebagai tanaman asli dari Pulau Bengkalis.
Konservasi geronggang memang tidak dapat dipisahkan dengan aspek
pemanfaatan kayunya (faktor ekonomi). Adanya keuntungan finansial akan
mendorong masyarakat untuk ikut serta dalam konservasi dan pelestarian
tanaman geronggang. Tetapi perlu diperhatikan juga jangan sampai karena
mengejar finansial sampai mengesampingkan dampak lingkungan yang
ditimbulkan sesudahnya.

192
Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Poensial Bumi Lancang Kuning
Daftar Pustaka
Babcock, TG., 1999. Kearifan Masyarakat Dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Implikasi untuk Penelitian dan Praktis. Bahan Kursus TOT. Kendari : CEPI-
PSL UNHALU: 311 - 325 Sistem Pertanian Di Sulawesi Tenggara
Badan Pusat Statistik Kabupaten Bengkalis. 2018.
Bogidarmanti R., Mindawati N., dan Suhartati. 2011. Geronggang (Cratoxylon
arborescens Blume.) dan Terentang (Campnosperma coriaceum Jack. Dan
C.Auriculata Hook.f) : Jenis Alternatif Potensial Sebagai Bahan Baku Kayu
Pulp. Prosiding Seminar Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
: 315-326.
Droste BV, Plachter H, Rossler M. 1995. Cultural landscapes of universal value:
components of a global strategy. Paris (FR): UNESCO
Grenier L. 1998. Working with indigenous knowledge. International Development
Research Centre, Ottawa, Ontario,Canada.
Khazara N, Agustin V. 1999. Pemanfaatan Tumbuhan oleh Suku Walak di Kecamatan
Kelila Kabupaten Jayawijaya. Jayapura (ID): Laporan Penelitian.
Martawijaya, A. I.Kartasujana, K. Kadir dan S. Prawira. 1981. Atlas Kayu Indonesia .Jilid
I. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan. Bogor.
Martawijaya, A. I.Kartasujana, K. Kadir dan S. Prawira. 2005. Atlas Kayu Indonesia .Jilid
, II dan III. Badan Litbang Kehutanan. Bogor.
Noor M, Rahman A. 2015. Biodiversitas dan kearifan lokal dalam budidaya tanaman
pangan mendukung kedaulatan pangan: kasus di lahan rawa pasang surut.
[Pros Sem Nas Masy Biodiv Indon]. Banjarbaru (ID): Balittra. Vol 1(8): 1861-
1867.
Prawira, R.S.A. 1979. Pengenalan jenis-jenis kayu ekspor. Seri IX. Bagian Botani Hutan,
Lembaga Penelitian Hutan. Bogor
Rahyono FX. 2009. Kearifan Budaya Dalam Kata. Jakarta (ID): Wedatama Widyasastra
Sembori F, Tanjung RHR. 2009. Inventarisasi jenis tumbuhan pangan lokal pada
masyarakat Ambaidiru, Distrik Kasino, Kabupaten Yapen Waropen. [Jurnal
Biologi Papua]. Papua (ID): Universitas Papua. Vol. 1(36-41).
Soerianegara, I dan R.H.M.J Lemmens (eds). 2001. Plant Resources of South East Asia
Timber Trees. Major commercial timbers 5(1): 102-108. Prosea. Bogor.
Sumarmi, Amirudin. 2014. Pengelolaan Lingkungan Berbasis Kearifan Lokal. Malang:
Aditya Median Publishing.
http://tanahmerah-kepulauanmeranti.desa.id/2017/09/20/pokok-gerongang-sebagai-
kayu-pilihan/

193
Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Potensial Bumi Lancang Kuning

Anda mungkin juga menyukai