GERONGGANG
Jenis Lokal Potensial
Bumi Lancang Kuning
Bunga Rampai Geronggang
Jenis Lokal Potensial
Bumi Lancang Kuning
Ahmad Junaedi, Danu, Avry Pribadi, Yeni Aprianis, Eka
Novriyanti, Eko Sutrisno, Opik Taupik Akbar, Michael Daru
Enggar W dan Hery Kurniawan
Editor :
Yanto Rochmayanto
Rochmayanto
Eka Novriyanti
Copyright@2019
Hak cipta dilindungi oleh Undang-undang. Dilarang
memperbanyak atau memindahkan sebagian atau seluruh isi
buku dalam bentuk apapun, secara elekteronik atau mekanis,
termasuk memfotokopi, merekam atau dengan teknik
perekaman lain, tanpa seizin tertulis dari penerbit.
Bunga Rampai Geronggang
Jenis Lokal Potensial
Bumi Lancang Kuning
Editor
YANTO ROCHMAYANTO
EKA NOVRIYANTI
Diandra Kreatif
ii
Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Poensial Bumi Lancang Kuning
SAMBUTAN GUBERNUR RIAU
Puji syukur atas karunia Allah untuk nikmat kesempatan dan keilmuan
sehingga terbitlah buku “Geronggang: Jenis Lokal Potensial Bumi Lancang
Kuning” ini. Penerbitan buku ini tentunya bentuk apresiasi atas berbagai hasil
penelitian dan pengembangan terkait kayu geronggang yang telah dilakukan oleh
Balai Litbang Teknologi Serat Tanaman Hutan (BP2TSTH), Kementerian
Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Adanya buku ini dapat dianalogikan sebagai
oase di tengah kebutuhan informasi dan teknis pemanfaatan kayu geronggang di
Indonesia khususnya di Provinsi Riau. Melalui buku ini kita dapat memahami
mengenai karakteristik pertumbuhan kayu geronggang hingga skema
pemanfaatannya yang tuntas dari segi keekonomiannya.
Pemerintah Provinsi Riau melalui program “Riau Hijau” sudah tidak
asing lagi dengan komoditi ini, terlebih masyarakat di Kabupaten Bengkalis. Kayu
geronggang telah memberikan kontribusi ekonomis pada pendapatan masyarakat
dan berdampak pada kondisi ekologis. Karakteristiknya yang memiliki nilai kalor
yang rendah dapat dijadikan sebagai teknis pengendalian dari perspektif
penanganan kebakaran hutan dan lahan. Di samping itu kemampuannya yang
adaptif pada suksesi sekunder, tentunya kayu geronggang ini dapat berperan
sebagai penyangga hutan payau guna mengatasi abrasi di kawasan pantai.
Kontribusi lembaga litbang melalui penerbitan buku ini patut diapresiasi
dan hendaknya terus bergulir setiap tahunnya. Buah pikir dan gagasan yang
tertuang melalui tulisan di buku ini merupakan warisan tak ternilai untuk
generasi mendatang dan Insya Allah bernilai jariyyah bagi penulisnya.
Kebanggaan saya atas karya ini juga ditujukan kepada penulis yang telah
berkontribusi atas penuangan idenya di atas kertas. Mari terus berkarya dan
berinovasi untuk membangun sinergitas antar lini pemerintah guna mewujudkan
SDM Unggul – Indonesia Maju.
iii
Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Potensial Bumi Lancang Kuning
Tuan berpetuah kata terangkai
Puanpun duduk senyum mengembang
Buku yang terbit bertajuk bunga rampai
Sampaikan potensi kayu geronggang
iv
Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Poensial Bumi Lancang Kuning
PENGANTAR KEPALA BALAI
Segala puji teruntuk Allah SWT dan syukur atas karunia dan ridhaNya
dalam penerbitan buku “Geronggang: Jenis Lokal Potensial Bumi Lancang
Kuning” ini. Komoditi geronggang yang telah menjadi trendsetter perbanyakan
massal berbasis native species menjadi sebuah fenomena di bidang kehutanan
saat ini. Kemampuannya mencekam air dan nilai kalor yang rendah dapat
dijadikan sebagai alternatif pencegahan kebakaran hutan dan lahan. Selanjutnya,
dengan potensi nektar yang dimilikinya dapat pula dimanfaatkan sebagai sumber
pakan lebah penghasil madu. Banyaknya manfaat dari komoditi ini namun belum
dibarengi dengan penguasaan iptek dan teknis perbanyakan di kalangan umum.
Peluang potensi yang dimiliki oleh kayu geronggang dapat
direkomendasikan kepada masyarakat dalam konsep hutan kemasyarakatan dan
perhutanan sosial. Hadirnya buku ini tentunya mengangkat dan
mempublikasikan nilai tambah kayu geronggang kepada khalayak umum.
Hadirnya buku ini dirasa tepat dan sangat bermanfaat dalam konteks diseminasi
hasil kajian yang telah kami lakukan. Hal ini tentunya sejalan dengan amanat
Undang-undang Nomor 11 Tahun 2019 tentang Sistem Nasional Ilmu
Pengetahuan dan Teknologi. Kepada para pembaca, besar harapan kami
kontribusi ini dapat dimanfaatkan secara maksimal terkhusus kepada peminat
dan penggiat kayu.
Keberhasilan penulis dalam mengemas hasil kegiatan litbang dalam
tulisan buku ini sangat saya apresiasi dan berharap akan selalu ada dengan tema
baru secara periodik. Dengan terbitnya buku ini diharapkan dapat menciptakan
atmosfer menulis dan ekosistem riset lingkup BP2TSTH. Melalui buku ini juga,
kerja nyata dan berdampak itu dapat terealisasi hingga ke stakeholder. Insan
litbang berkarya, generasi ilmiah berkader.
Kepala Balai,
v
Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Potensial Bumi Lancang Kuning
vi
Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Poensial Bumi Lancang Kuning
Daftar Isi
I Pendahuluan ............................................................................ 1
Ahmad Junaedi
II Mengenal Geronggang …………………….……………………. 15
Ahmad Junaedi
III Informasi Awal Teknik Budidaya Geronggang …… 31
Ahmad Junaedi
IV Perbanyakan Tanaman Geronggang ………...…………. 45
Danu & Ahmad Junaedi
V Status Kesehatan Tanaman Jenis Geronggang (Studi
Tahun 2012-2014) ………………………………………………… 57
Avry Pribadi
VI Sifat Dasar Kayu Geronggang ………………………………... 71
Yeni Aprianis
VII Kualitas Kayu dan Serat Geronggang …………………… 83
Eka Novriyanti
VIII Pengolahan Pulp dan Kertas Kayu Geronggang …… 101
Yeni Aprianis & Eka Novriyanti
IX Konsep Pikir: Peluang Kayu Geronggang Sebagai
Material Maju Berbasis Nanoteknologi ……………….. 111
Eko Sutrisno
X Potensi Geronggang Sebagai Tanaman Obat …………. 129
Opik Taupik Akbar
XI Hutan Tanaman Geronggang Sebagai Sumber Pakan
Lebah ……………………………………… 143
Avry Pribadi
XII Nilai Harapan Lahan Pengusahaan Geronggang
di Kabupaten Bengkalis ……………………………………….. 161
Hery Kurniawan & Michael Daru Enggar W
XIII Kearifan Lokal Terhadap Geronggang
di Kabupaten Bengkalis ……………………………………….. 185
Michael Daru Enggar W & Hery Kurniawan
vii
Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Potensial Bumi Lancang Kuning
Daftar Gambar
Gambar 1.1. Hamparan hutan tanaman Acacia mangium dan Eucalyptus
pellita di riau (Ahmad Junaedi, 2018)
Gambar 1.2. Distribusi luasan hutan tanaman di Dunia (FAO, 2006 dalam
Anonim, 2009)
Gambar 1.3. Kondisi Hutan Acacia crassicarpa di Riau (a: tegakan tinggal
yang sudah banyak mati, b: salah satu pohon mati diduga
karena penyakit
Gambar 1.4 Distribusi jenis pohon yang dikembangkan pada hutan
tanaman di dunia (Carle et al., 2002)
Gambar 2.1 Bentuk helai (a) jorong, (b) memanjang dan (c) lanset); tangkai
daun geronggang (d) lurus , (e) bengkok); dan adanya buku
berupa garis lengkung(ditunjukkan anak panah)
Gambar 2.2 Pertulangan daun geronggang (a) menyirip dan membentuk
tulang pinggir (ditunjukkan anak panah) dan (b) tulang utama
yang melengkung/cekung
Gambar 2.3 Permukaan kulit batang geronggang (a) warna coklat
kemerahan, (b) warna abu-abu, (c) lichen pada permukaan
kulit batang geronggang
Gambar 2.4 Bagian dalam kulit batang geronggang (a) berwarna coklat
kemerahan dan mengandung resin berwarna coklat
kemerahan (tanda panah), (b) berlapis-lapis dan (c) bagian
kayu dibawah kulit berwarna putih/kuning terang
Gambar 2.5 Bentuk tajuk dan percabangan geronggang (a) rauh, (b)
scarrone, (c) percabangan geronggang yang mengalami self
pruning)
Gambar 2.6 Bunga (a) bunga kuncup, (b) bunga mekar); buah (c) buah
muda/mentah, (d) buah tua/kering
Gambar 2.7 Rambut akar geronggang yang berada di permukaan/bawah
serasah
Gambar 2.8 Contoh pemanfaatan kayu geronggang untuk cerocok dan
papan/dinding rumah
Gambar 2.9 Lebah penghasil madu dan propolis dari jenis Trigona sp yang
mengambil nektar dan serbuk sari di bunga geronggang
Gambar 2.10 Kehadiran beberapa binatang di tegakan geronggang seperti
burung dan serangga
viii
Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Poensial Bumi Lancang Kuning
Gambar 3.1 Kondisi lahan gambut terdegradasi yang didominasi alang-
alang dan paku-pakuan
Gambar 3.2 Penyiapan lahan secara manual dan kondisi lahan yang sudah
disiapkan (dibabat)
Gambar 3.3 Salah satu contoh program pemuliaan yang bisa dilakukan
untuk mendapatkan bibit unggul geronggang (Junaedi, 2014)
Gambar 3.4 Pohon geronggang berfenotipe relatif baik di Desa Wonosari,
Bengkalis, Riau
Gambar 3.5 Bibit geronggang yang sudah layak ditanam
Gambar 3.6 Pembuatan lubang tanam geronggang di lahan gambut
Gambar 3.7 Kondisi tajuk dan bawah tegakan geronggang berumur satu
dan tiga tahun
Gambar 3.8 Serangan ulat pada daun geronggang
Gambar 3.9 Contoh penggunan kurva MAI dan CAI untuk menentukkan
daur optimal pada jenis Acacia crassicarpa yang diperoleh
pada umur sekitar lima tahun (Suhartati et al., 2013)
Gambar 4.1 Bunga dan biji/benih geronggang
Gambar 4.2 Ektraksi benih geronggang dengan sistem kering (a) dan
basah (b dan c)
Gambar 4.3 Pengadaan bibit geronggang dengan sistem cabutan alam
untuk jarak jauh (a) anakan alam, (b) pengambilan anakan
alam, (c) cabutan alam dan (d) anakan alam yang sudah
disapih)
Gambar 4.4 Pembibitan geronggang dengan sistem cabutan alam untuk
jarak dekat (a) mencabut anakan alam, (b) cabutan alam, (c)
pemotongan daun dan akar dan (d) bibit asal cabutan alam
yang sudah stabil
Gambar 4.5 Pembibitan geronggang sistem generative dengan
menggunakan benih yang disemaikan (a) penyemaian benih,
(b) kecambah , (c) semai yang sudah bisa disapih dan (d) bibit
yang dihasilkan)
Gambar 4.6 Pembibitan gerunggang sistem vegetativ stek pucuk (a) bahan
stek, (b) stek ditanam pada media dengan rumah tumbuh
sisten KOFCO, (c) stek gerunggang umur tiga bulan setelah
tanam
Gambar 5.1 Kerusakan yang ditimbulkan akibat serangan hama ulat
pemakan daun
ix
Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Potensial Bumi Lancang Kuning
Gambar 5.2 Tanda kehadiran lichen ataupun penyakit karat daun pada
permukaan daun geronggang yang menutupi permukaan daun
sehingga menghalangi proses fotosintesa
Gambar 5.3 Potongan melintang lichen Lobaria pulmonaria yang
merupakan simbiosis antara fungus, algae, dan cyanobacteria.
Fungi berada pada bagian atas (upper cells/UC), medulla (M),
dan lapisan kortex bawah (LC). Fotosintesa terjadi pada
lapisan algae (A) and cyanobacteria akan memfikasasi
nitrogen menjadi bentuk yang dapat dimanfaatkan oleh
tanaman (CB) (Jovan, 2008). Photo: Eric Peterson from
www.crustose.net
Gambar 5.4 Kerusakan yang disebabkan oleh aktivitas rusa atau babi
(terlihat kulit batang seperti terkelupas)
Gambar 5.5 Diagram persentase penyebab kerusakan (tipe kerusakan)
pada jenis geronggang 2012 s.d 2014
Gambar 5.6 Diagram persentase kerusakan (severity level) pada jenis
geronggang tahun 2012 s.d 2014
Gambar 5.7 Kepik penghisap ujung daun (Hemiptera) di pohon
geronggang
Gambar 6.1 Kayu gerunggang diameter 15 cm (a) penampang lintang
makro, (b) penampang lintang mikro, (c) penampang radial
mikro, (d) penampang tangensial mikro (d)
Gambar 6.2 Kayu gerunggang diameter 20 cm (a) penampang lintang
makro, (b) penampang lintang mikro, (c) penampang radial
mikro, (d) penampang tangensial mikro
Gambar 6.3 Kayu gerunggang diameter 25 cm (a) penampang lintang
makro, (b) penampang lintang mikro, (c) penampang radial
mikro, (d) penampang tangensial mikro
Gambar 6.4 Grafik sifat fisika dan mekanik geronggang (Paradis et al.,
2012)
Gambar 7.1 Beberapa contoh produk komposit kayu (Stark et al., 2010)
Gambar 8.1 Tipe pemisahan serat (Sumber: Johansson et al., 2011)
Gambar 8.2 Pohon industri pulp dan kertas
Gambar 9.1 Building block system selulosa pada tanaman
Gambar 9.2 Susunan komponen penyusun dinding sel tanaman (Wertz,
Bedue, & Mercier, 2010)
Gambar 9.3 Teknik integrasi fabrikasi nanoselulosa (Kargarzadeh,
Ioelovich, et al., 2017)
x
Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Poensial Bumi Lancang Kuning
Gambar 9.4 Pemisahan rantai selulosa menjadi monomer glukosa
menggunakan hidrolisis asam (Girisuta, Janssen, & Heeres,
2007)
Gambar 9.5 Reaksi kimia dengan adanya penambahan katalis (Girisuta
et al., 2007)
Gambar 10.1 Struktur kimia α-mangostin (kiri) (Kaomongkolgit et al.,
2011) dan struktur kimia β-mangpostin (kanan) (Sidahmed et
al., 2016)
Gambar 12.1 Tual sagu siap diangkut ke kilang pengolahan (kiri); kondisi
salah satu hutan sagu di Bengkalis (kanan)
Gambar 12.2 Tanaman geronggang milik LSM Ikatan Pemuda Melayu
Peduli Lingkungan Bengkalis (kiri); Salah satu produk pintu
menggunakan bahan kayu geronggang (kanan)
Gambar 12.3 Geronggang di lahan milik masyarakat Bengkalis
Gambar 12.4 Nilai Harapan Lahan (LEV) pengusahaan tanaman
geronggang, sagu dan karet
Gambar 12.5 Grafik perubahan LEV geronggang oleh perubahan harga jual
produk pada tiga tingkat suku bunga
Gambar 12.6 Persentase penurunan nilai LEV pengusahaan geronggang
oleh penurunan harga jual produk kayu geronggang
Gambar 12.7 Penurunan nilai nominal LEV (Rp) oleh penurunan harga jual
produk kayu geronggang
Gambar 12.8 Grafik perubahan LEV sagu oleh perubahan harga jual produk
pada tiga tingkat suku bunga
Gambar 13.1 Peta Kabupaten Bengkalis
Gambar 13.2 Persentase penduduk bekerja menurut lapangan kerja utama
(BPS Kab. Bengkalis, 2018)
Gambar 13.3 (a) Diskusi menggali informasi dengan masyarakat pegiat
geronggang, (b) Bersama Pembina dan praktisi usaha tani
gerongggang dari LSM Ikatan Pemuda Melayu Peduli
Lingkungan
Gambar 13.4 (a) Rumah menggunakan bahan baku kayu geronggang, (b)
Papan kayu geronggang sebagai dinding rumah
xi
Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Potensial Bumi Lancang Kuning
Daftar Tabel
Tabel 2.1 Lokasi sebaran alam geronggang di Indonesia
Tabel 5.1 Kodefikasi tentang lokasi atau bagian tanaman dimana terjadinya
kerusakan
Tabel 5.2 Kodefikasi mengenai jenis-jenis kerusakan yang dialami oleh tanaman
Tabel 5.3 Kodefikasi untuk penentuan tingkat keparahan (severity level)
Tabel 5.4 Rekapitulasi tingkat kesehatan tegakan geronggang tahun 2012
Tabel 5.5 Rekapitulasi tingkat kesehatan tegakan Geronggang tahun 2013
Tabel 5.6 Rekapitulasi tingkat kesehatan tanaman jenis geronggang tahun 2014
Tabel 6.1 Dimensi serat dan diameter geronggang
Tabel 6.2 Nilai kualitas kayu geronggang dari beberapa diameter
Tabel 6.3 Sifat kimia kayu geronggang
Tabel 7.1 Rangkuman atribut kayu dan serat geronggang
Tabel 7.2 Dimensi serat yang digunakan sebagai bahan baku pulp
Tabel 7.3 Kriteria kualitas serat kayu untuk bahan baku pulp dan kertas dan
kualitas serat geronggang
Tabel 7.4 Kriteria karakter kayu sebagai bahan baku pulp dan karakter kayu
geronggang
Tabel 7.5 Klasifikasi produk komposit kayu
Tabel 8.1 Revolusi kertas
Tabel 8.2 Pengaruh diameter setinggi dada (dbh) dan konsentrasi NaOH terhadap
rendemen pulp putih
Tabel 8.3 Sifat pulp kraft geronggang dan hasil analisis uji-T serta konsumsi kayu
Tabel 8.4 Sifat fisik pulp geronggang yang diolah secara mekanis
Tabel 9.1 Komposisi dan formulasi hidrolisis untuk fabrikasi serat nanoselulosa
Tabel 9.2 Formulasi kelarutan pulp selulosa pada larutan elektrolit (Lin et al., 2014)
Tabel 9.3 Kombinasi teknik dalam fabrikasi serat nanoselulosa dari berbagai
material
Tabel 10.1 Bagian tanaman geronggang yang dimanfaatkan sebagai biofarmaka
Tabel 10.2 Fitokimia dalam geronggang
Tabel 11.1 Perkiraan nilai potensi nektar pada jenis geronggang di provinsi Riau
dengan beberapa asumsi
Tabel 11.2 Perhitungan carrying capacity dan perkiraan jumlah madu yang
dihasilkan
xii
Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Poensial Bumi Lancang Kuning
I.
PENDAHULUAN
(Ahmad Junaedi)
(Ahmad
1
Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Potensial Bumi Lancang Kuning
meninggalkan pemanfaatan hutan secara paripurna, dikarenakan masih adanya
kebutuhan masyarakat terhadap sumber daya yang ada di dalam hutan, baik
terhadap kayu maupun non-kayu. Peningkatan jumlah penduduk berikut ragam
kebutuhannya berimplikasi terhadap peningkatan kebutuhan sumber daya yang
ada di dalam hutan dan bahkan lahan hutan itu sendiri.
Hutan menyediakan ragam kebutuhan hidup manusia yang cukup
lengkap dan beragam seperti kayu (sumber papan), sumber serat (sandang, kertas
dll), obat–obatan, beraneka sumber makanan (pangan), minyak atsiri, jasa
lingkungan, ecosystem services dll. Hasil sensus Badan Pusat Statistik (BPS) pada
tahun 2010 menunjukkan jumlah penduduk Indonesia sebesar 237,6 juta jiwa
dengan laju pertumbuhan 1,49 %/tahun (BPS, 2019). Untuk itu, pengelolaan
hutan melalui pemanfaatan sumber daya hutan yang berkelanjutan perlu
diterapkan dengan sebenar-benarnya. Pengelolaan hutan ini pun diharapkan
dapat juga berperan dalam upaya penurunan deforestasi dan degradasi hutan.
Pembangunan hutan tanaman muncul sebagai salah satu metode
pengelolaan hutan yang memungkinkan dapat dicapainya kelestarian hutan.
Walaupun metode ini masih menimbulkan pro kontra di antara pihak yang
berkepentingan dalam pengelolaan hutan dan lingkungan hidup, tetapi
nampaknya cara lain yang paling ideal dalam rangka pemanfaatan hutan dengan
paling bijak masih belum ditemukan.
Gambar 1.1. Hamparan hutan tanaman Acacia mangium dan Eucalyptus pellita
di Riau
4
Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Poensial Bumi Lancang Kuning
pembangunan hutan tanaman diarahkan pada kawasan hutan produksi yang
terdegradasi, sehingga pembangunan hutan tanaman sekaligus merupakan
kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan. Hal ini menunjukkan bahwa jika dilakukan
secara benar, pembangunan hutan tanaman setidaknya akan menghasilkan dua
dampak positif. Dampak positif yang pertama adalah akan tetap terpenuhi
kebutuhan terhadap sumber daya yang ada di dalam hutan baik berupa kayu
maupun non kayu. Kalaupun tidak terpenuhi sepenuhnya untuk kebutuhan
kayu, tetapi gap antara permintaan dengan pasokannya bisa diperkecil. Dampak
positif yang kedua adalah semakin bekurangnya tekanan terhadap hutan alam
yang tersisa.
Pembangunan hutan tanaman di beberapa negara telah menunjukkan
hasil yang menggembirakan dalam hal menghutankan kembali hutan yang rusak
dan sekaligus memasok kebutuhan bahan baku untuk industri. Beberapa di
antaranya adalah Amerika Serikat, Brazil, Jepang, China dll yang memiliki luasan
hutan tanaman cukup signifikan di dunia (Gambar 1.2). Indonesia secara luasan
termasuk sepuluh besar di dunia (Gambar 1.2). Namun, secara presentase belum
optimal, jika ditinjau relatif terhadap luas daratan, terutama terhadap luasan
kawasan hutan yang terdegradasi dan terdeforestasi, sehingga kegiatan
pembangunan hutan tanaman ini harus semakin digalakkan.
Gambar 1.2. Distribusi luasan hutan tanaman di Dunia (FAO, 2006 dalam
Anonim, 2009)
( (
a) b)
Gambar 1.3. Kondisi Hutan Acacia crassicarpa di Riau (a = tegakan tinggal yang
sudah banyak mati, b = salah satu pohon mati diduga karena
penyakit
Gambar 1.4. Distribusi jenis pohon yang dikembangkan pada hutan tanaman di
dunia (Carle et al., 2002)
9
Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Potensial Bumi Lancang Kuning
arang. Beberapa penelitian yang relatif baru menunjukkan bahwa kulit kayu jenis
ini memiliki bahan kimia yang diduga bisa digunakan sebagai bahan baku obat-
obatan (Sidahmed et al., 2013; Omer et al., 2017). Beberapa bagian geronggnag,
seperti kulit batang, daun, akar dan resin secara tradisional telah digunakan
sebagai obat untuk mengatasi gatal, luka dan sakit perut (Soerinegara &
Lemmens, 2001).
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2009. Ten countries with the largest area of productive forest plantation.
www.grida.no. Diakses 2 September 2019
Aprianis, Y. 2016. Peluang beberapa jenis kayu alternatif untuk pulp. Dalam A. Hidayat,
Sudarmalik, E. Novriyanti, H. H. Rachmat, & A. Wahyudi (Editor.). Prosiding
Hasil Penelitian : Peluang dan tantangan pembangunan LHK di Riau (Hal. 1 -
12). Kuok: Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Serat Tanaman
Hutan.
Asosiasi Pulp dan Kertas Indonesia. 2017. Dampak penerapan regulasi gambut terhadap
kinerja industri pulp dan kertas. APKI. Jakarta.
Awang, S.A. 2000. Dinamika proses RUU kehutanan (disparitas cita-cita dan fakta).
Jurnal PSDA 1(1) : 13 – 17.
Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. 2005. Atlas kayu Indonesia, Jilid I.
Badan Penelitian dan Kehutanan. Bogor.
Badan Pusat Statistik. 2019. Jumlah dan Distribusi Penduduk. BPS.
https://sp2010.bps.go.id/index.php/site/index. Diakses 12 Agustus 2019.
BEM Fahutan-IPB. 2013. Profesi Kehutanan (Part III).
https://bemfahutanlkipb.wordpress.com/2013/06/15/profesi-kehutanan-part-
iii/. Diakses 12 Agustus 2019.
Carle, J,P. Vuorinen, & A.D. Lungo. 2002. Status and Trends in Global Forest Plantation
Development. Journal Forest Products 52(7) : 1 – 13
FAO. 2015. Global forest resources assessment 2015. FAO. Rome.
FWI. 2011. Potret keadaan hutan Indonesia periode tahun 2000 – 2009. Forest Watch
Indonesia. Bogor.
Harris, N.L., S. Brown, S. C. Hagen, S. S. Saatchi, S. Petrova, etal. 2012. Baseline map of
carbon emissions from deforestation in tropical regions. Science 336: (1573-
1575). doi:10.1126/science.1217962
Harrison, S., T.J. Venn, R. Sales, E.O. Mangaoang & J.F. Herbohn. 2005. Estimated
financial performances of exotic and indigenous tree species in smallholder
plantations in Leyte Province. Annals of Tropical Research 27(1): 67 – 80.
10
Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Poensial Bumi Lancang Kuning
Hidayat, H. 2016. Forestry Industry (Logging, HTI, Plywood, Pulp, and Paper) in Forest
Resources Management in Indonesia (1968–2004). Springer Science+Business
Media .Singapore.
Hung, T.D.,J.T. Brawner, R. Meder, D.J. Lee, S. Southerton, H.H. Thinh & M.J. Dieters .
2015. Estimates og genetic parameters for growth and wood properties in
Eucayptus pellita F. Muell. To support tree breeding in Vietnam. Annals of
Forest Science, 72, 2015 – 217.
Jhonson, H & Stawell. 2001. The benefits of usig indigenous Plants. Landcare Note. State
of of Victoria Department of Natural Resources and Environment, Australia.
Junaedi & Aprianis. 2010. Sifat kayu gerunggang sebagai jenis pulpable alternatif pada
lahan gambut. Buletin Hasil Hutan 6(1).
Junaedi, A. 2018. Growth performance of three native tree species for pulpwood
plantation in drained peatland of Pelalawan District, Riau. Indonesian Journal
of Forestry Research 5(2), 119-132.
Junaedi, A. 2007. Kontribusi hutan sebagai rosot karbon dioksida. Info Hutan 5(1) : 1-7.
Kartikawati, N.K., A. Rimbawanto, M. Susanto, L. Baskorowati & Prastyono. 2014.
Budidaya dan prospek pengembangan kayu putih (Melaleuca cajuputi). IPB
Press. Bogor.
Kartodihardjo, H., Supriono, A. 2000. The Impact of sectoral development on natural
forest conversion and degradation: the case of timber and tree crop plantations
in Indonesia. CIFOR Occasional Paper No.26 (E). Bogor, Indonesia, CIFOR.
14p.
Keenan, R.J., G.A. Reams, F. Achard, J.V. de Freitas, A. Grainger, E. Lindquist. 2015.
Dynamics of global forest area: Results from the FAO Global Forest Resources
Assessment 2015. Forest Ecology and Management 352: 9–20.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Status Hutan dan Kehutanan Indonesia
2018. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Jakarta.
Kurniawan, A. 2009. Serangan awal kera ekor panjang (Macaca fascicularis) pada HTI
Acacia mangium di PT. Musi Hutan Persada Sumatera Selatan. Tekno Hutan
Tanaman 2(2):77 – 82.
Morse, L.E., J.M. Swearingen & J.M. Randall. 2007. Defining what is native- what is
native plant www.fhwa.dot.gov/environment/rdsduse. Diakses Tanggal 9
Oktober 2013.
Nurcan, Refdanil, Sribudiani, E., & Sudarmalik. 2014. Analisi harga jual kayu akasia
berdasarkan pendekatan biaya produksi pembangunan hutan tanaman
industri.
https://jom.unri.ac.id/index.php/JOMFAPERTA/article/viewFile/1873/1836
Omer, F.A.A , N.B.M Hashim,M.Y. Ibrahim, F. Dehghan, M. Yahayu, H. Karimian, L.Z.A
Salim & S. Mohan. Beta-mangostin from Cratoxylumarborescens activates the
intrinsic apoptosis pathway through reactive oxygen species with
11
Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Potensial Bumi Lancang Kuning
downregulation of the HSP70 gene in the HL60 cells associated with a G0/G1
cell-cycle arrest. Tumor Biology : 1– 12
Payn, T, J.M. Carnus, P.F. Smith, M. Kimberley, W. Kollert, S. Liu, C. Orazio, L.
Rodriguez, L.N. Silva & M.J. Wingfield. Changes in planted forests and future
global implications. Forest Ecology and Management 352 : 57–67
Pratiwi & N. Lust. 1994. Teak (Tectona grandis L.f.) Forests in Java, Indonesia plantations,
management and policy. Silva Gandavensis 59 : 97 – 118.
PT. Inhutani II. 2014. Hasil kunjungan pakar hama penyakit di Pulau Laut.
www.bumn.go.id. Diakses 3 September 2019.
Rafael, E.C. 2019. APR menyasar industry fesyen global. Dikutip
dariamp.kontan.co.id/news/apr-menyasar-industri-fesyen-global. E.C. Rafael.
Diakses 1 Nopember 2019.
Rimbawanto, A. (2014). Managing root rot diseases in Acacia mangium. In Seminar
Nasional. Retrieved from http://www.forda-
mof.org/files/Mengelola_Penyakit_ Busuk_Akar_-_Anto_R.pdf. on 16 March
2018 Yogyakarta.
Sein, C.C & R. Mitlöhner. 2011. Acacia mangium Willd: Ecology and silviculture in
Vietnam. Bogor : Center for International Forestry Research.
Sidahmed, Heyam & Abdelwahab, Siddig & Mohan, Syam & Abdulla, Mahmood & Taha,
Manal & Mohd Hashim, Najihah & Hamid A Hadi, A & Vadivelu, Jamuna &
Loke, Mun Fai & Rahmani, Mawardi & Yahayu, Maizatulakmal. (2013). α-
Mangostin from Cratoxylum arborescens (Vahl) Blume Demonstrates Anti-
Ulcerogenic Property: A Mechanistic Study. Evidence-based complementary
and alternative medicine : eCAM. 2013. 450840. 10.1155/2013/450840.
Srihardiono, U. 2005. Hutan tanaman industry : skenario masa depan kehutanan
Indonesia. PT. Musi Hutan Persada & Wana Aksara.
Soerinegara, I. & R.H.M.J. Lemmens. (Eds). (2001). Plant resources of South-East, Timber
trees : Major commercial timbers. Bogor : Prosea.
Suhartati, Y. Aprianis, A. Pribadi & Y. Rochmayanto. 2013. Kajian dampak penurunan
daur tanaman Acacia crassicarpa A. Cunn terhadap nilai produksi dan sosial.
Jurnal Penelitian Hutan Tanaman 10(2): 109 – 118.
Suhartati, Y. Rochmayanto & Y. Daeng. 2014. Dampak penurunan daur tanaman Acacia
terhadap kelestarian Produksi, Ekologis dan Sosial. Buletin Eboni 11(2):103 –
116.
Suparna, N. tanpa tahun. Peran HPH dalam menjaga keberlanjutan hutan alam. Lestari
Paper No.3. USAID.
Tarigan, M., Roux, J., Wyk, M. Van, Tjahjono, B., & Wingfield, M. J. (2011). A new wilt
and dieback disease of Acacia mangium associated with Ceratocystis
manginecans and C. acaciivora sp. In Indonesia. South African Journal of
Botany, 77(2), 292–304.doi:10.1016/j.sajb.2010.08.006.
12
Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Poensial Bumi Lancang Kuning
Wardani, M., Denny & Sutiyono. 2018. Spesies pohon hutan rawa gambut Sumatera.
Dalam E. Martin,H.L. Tata, L. Syaufina & M. Rachmat (Editor.). Prosiding
Seminar Merawar Asa Restorasi Gambut, Pencegahan Kebakaran dan
Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat (Hal. 1 - 10). Palembang: Balai
Penelitian dan Pengembangan LHK Palembang.
Yasman, I., R. Benyamin, H. Siswoyo, N. Suparna, B. Widyantoro, I. Kusuma, I. Harmain,
Sugijanto, A. Wahyudi, S. Karim & B. Prayitno. 2016. Roadmap pembangunan
hutan produksi Tahun 2016 – 2024. Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia.
Jakarta.
13
Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Potensial Bumi Lancang Kuning
14
Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Poensial Bumi Lancang Kuning
II.
MENGENAL GERONGGANG
(Ahmad Junaedi)
(Ahmad
15
Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Potensial Bumi Lancang Kuning
Berita mengenai potensi geronggang ini pun semakin booming ketika
berbagai komponen masyarakat di Bengkalis, Riau yang dimotori LSM Ikatan
Pemuda Melayu Peduli Lingkungan mulai mengembangkan jenis ini. Gubernur
Riau pun telah terjun langsung untuk melihat geronggang yang ditanam
masyarakat tersebut dan memberikan apresiasi, hingga mempromosikan
penanaman jenis geronggang ini sebagai salah satu upaya antisipasi/mencegah
kebakaran hutan dan lahan (karhutla) (“Antisipasi Karhutla”, 2019). Informasi
mengenai pohon geronggang dan bagaimana status budi dayanya
(silvikulturnya), akan diuraikan pada bab ini.
16
Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Poensial Bumi Lancang Kuning
(Tabel 2.1). Sebaran alami geronggang pada lokasi yang lebih spesifik di
Burma/Myanmar belum ditemukan laporannya.
Tabel 2.1. Lokasi sebaran alam geronggang di Indonesia
No. Lokasi Pulau/Propinsi Tipe Lahan Referensi
1 HL. Gunung Tarak Kalimantan/Kalimantan Barat Mineral Desi et al. , 2017
2 TN. Sebangau Kalimantan/Kalimantan Tengah Gambut Istomo et al., 2010;Lestariningsih, et al, 2018
3 Eks Mega Rice Project Area Kalimantan/Kalimantan Tengah Gambut Blackham et al. , 2014
4 Cagar Alam Muara Kendawangan Kalimantan/Kalimantan Barat Gambut Siregar & Ruskandi, 2006
5 KHDTK Tumbang Nusa Kalimantan/Kalimantan Tengah Gambut Tata & Pradjadinata (2013)
6 Kelampangan Canal , Palangkaraya Kalimantan/Kalimantan Tengah Gambut Saito et al. (2005) ; Simbolon (2004)
7 Hutan Sungai Berpasir-Sungai Siduung, Tanjung Redeb Kalimantan/Kalimantan Timur Heriyanto & Subiandono (2007)
8 Hutan kerangas sekitar Danau Tahai Kalimantan/Kalimantan Tengah Mineral Sigit , 2014
9 HL. Gambut Lahai, Kuala Kapuas Kalimantan/Kalimantan Tengah Gambut Nugraha, 2014
10 TN. Tanjung Putting, Kotawaringin Barat Kalimantan/Kalimantan Tengah Gambut Mirmanto et al., 2000
11 Hutan WisataRawa Gambut Baning, Sintang Kalimantan/Kalimantan Barat Gambut Syukur et al., 2007
12 Cagar Alam Kersik Luway, Kutai Barat Kalimantan/Kalimantan Timur Mineral Budiman et al. (2016)
13 HL. Lahai Kalimantan/Kalimantan Tengah Gambut Istomo et al. (2010)
14 Hutan Rawa Gambut Tripa Sumatera/NAD Gambut Universitas Syiah Kuala,
15 TN. Berbak Sumatera/Jambi Gambut Istomo et al. (2010)
16 HLG. Tanjung Jabung Barat Sumatera/Jambi Gambut Istomo et al. (2010)
17 Cagar Alam Durian Luncuk I, Sarolangon Sumatera/Jambi Mineral Ariyanto (2017)
18 PT. Putra Duta Indah Wood , Muaro Jambi Sumatera/Jambi Gambut Mawazin (2013)
19 Kubah gambut merang, Bayung Lencir, Musi Banyuasin Sumatera/Sumatera Selatan Gambut Pemerintah Prov. Sumsel (2017); Barkah, 2009
20 TN. Zamrud, Siak Sumatera/Riau Gambut Suhartati et al (2012)
21 HL. Bukit Betabuh, Kuantan Singingi Sumatera/Riau Mineral Suhartati et al (2012)
22 PT. Diamond Raya Timber, Dumai Sumatera/Riau Gambut Mawazin & Subiakto (2013); Sufaidah (2016)
PT. Mutiara Sabuk Khatulistiwa & PT. Sumatera Riang
23 Sumatera/Riau Gambut
Lestari, Inderagiri Hilir
24 Kecamatan Bangko, Rokan Hilir Sumatera/Riau Gambut
Suhartati et al (2012)
Mineral &
25 Tahura Sutan Syarif Hasyim II & TN. Zamrud, Siak Sumatera/Riau
Gambut
26 Kecamatan Bengkalis, Bengkalis Bengkalis/Riau Gambut
27 Tanah Merah, Rangsang Pesisir, Kep. Meranti Sumatera/Riau Gambut Pemerintah Desa Tanah Merah, 2017
28 Tanjung Sari, Tebing Tinggi Timur, Kep. Meranti Sumatera/Riau Gambut Sepka et al., 2017
17
Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Potensial Bumi Lancang Kuning
Geronggang secara alami dapat ditemukan di hutan rawa gambut maupun
di lahan mineral. Seperti yang dilaporkan oleh Sabah Forestry Department (2007)
bahwa geronggang secara alami tumbuh pada hutan pegunungan (ketinggian
1.400 m dpl). Bahkan, geronggang juga ditemukan secara alami mampu hidup dan
bertahan pada lahan mineral yang marginal seperti lahan bersubstrat pasir silika
dan podsol (merah kuning) serta lahan yang berjenis gley soil (Sigit, 2014; Karyati
et al., 2017). Bukti-bukti ini sesuai dengan syarat tumbuh yang dilaporkan
Soerinegara & Lemmens (2001) bahwa geronggang dapat tumbuh pada rentang
ketinggian tempat yang lebar yakni 0 – 1800 m dpl. Kemudian, Wahyuningtyas
& Ariani (2015) melaporkan bahwa pada tingkat semai jenis ini relatif tidak tahan
genangan. Penelitiannya di Kalimantan menunjukkan bahwa sebanyak 68%
semai mati saat kondisi tergenang.
Gambar 2.1. Bentuk helai (a) jorong, (b) memanjang dan (c) lanset);
D tangkai
E
daun geronggang (d) lurus, (e) bengkok, dan adanya buku berupa
garis lengkung (ditunjukkan anak panah)
Gambar 2.2. Pertulangan daun geronggang (a) menyirip dan membentuk tulang
pinggir (ditunjukkan anak panah) dan (b) tulang utama yang
melengkung/cekung
B.2. Batang
Batang geronggang relatif silindris dan tumbuh lurus ke atas (erectus).
Kulit batang geronggang dapat ditemukan dalam berbagai variasi warna yakni
abu-abu, coklat dan coklat kemerahan; walaupun ada dugaan bahwa warna asli
kulit batang geronggang adalah merah atau merah kecoklatan. Adapun warna
kulitnya yang berwarna abu-abu diduga karena adanya pengaruh asosiasi jamur
dengan lumut (lichen) yang menempel menyelimuti permukaan kulit batang
geronggang (Gambar 2.3). Permukaan kulit batang geronggang termasuk kasar
dan beralur (lebar alur 1- 2 cm). Kulit batang geronggang memiliki tebal yang
relatif sedang (sekitar 2 mm pada tanaman muda). Dalam kondisi basah, kulitnya
berwarna merah kecoklatan pada bagian luar serta kuning pada bagian dalamnya.
19
Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Potensial Bumi Lancang Kuning
Kulit geronggang berlapis-lapis dan apabila dilihat penampang melintangnya,
nampak seperti lapisan kertas yang bertumpukan (Gambar 2.4). Apabila bagian
kayu disayat, beberapa jam kemudian akan mengeluarkan resin yang berwarna
merah kecoklatan. Pada saat basah, permukaan kayu berwarna putih/kuning
muda.
Gambar 2.4. Bagian dalam kulit batang geronggang (a) berwarna coklat
( ( (
kemerahan dan mengandung resin berwarna coklat kemerahan
a) b) c) C
(tanda panah), (b) berlapis-lapis dan (c) bagian kayu dibawah kulit
berwarna putih/kuning terang
B.3. Arsitektur pohon (tajuk)
Setidaknya ada dua model pertajukan geronggang yang umum ditemukan
di lapangan, yakni rauh dan scarrone (Gambar 2.5). Percabangan umumnya
monopodial, walaupun pada kondisi tertentu dapat ditemukan yang simpodial.
Di dalam tegakan, percabangan geronggang dapat memangkas sendiri ( self
pruning) (Gambar 2.5), walaupun memerlukan waktu yang relatif lama (tahunan)
untuk mengeringkan dan “menggugurkan” percabangannya. Namun,
pemangkasan sendiri ini nampaknya relatif sulit ditemukan untuk pohon yang
tumbuh soliter.
20
Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Poensial Bumi Lancang Kuning
Gambar 2.5. Bentuk tajuk dan percabangan geronggang (a) rauh, (b) scarrone,
(
(c) percabangan geronggang( yang mengalami self (pruning)
a) b) c)
B.4. Bunga dan buah
C. Pemanfaatan
Sudah sejak lama pohon geronggang banyak dimanfaatkan untuk
berbagai tujuan. Kayu geronggang berukuran besar dimanfaatkan untuk bahan
22
Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Poensial Bumi Lancang Kuning
bangunan rumah (papan, kayu broti, kayu lapis dll), sedangkan yang berukuran
kecil untuk cerocok (Gambar 2.8). Kayu geronggang dapat digunakan sebagai
bahan baku kayu energi, yakni untuk arang (Prosea, 2001). Selain itu, penelitian
telah menunjukkan bahwa kayu geronggang ternyata mempunyai sifat yang
cocok sebagai bahan baku kayu akustik seperti untuk pembuatan biola dan gitar
(Sedik et al., 2010). Masyarakat pun sudah mengenal pemanfaatan daun dan kulit
geronggang sebagai obat tradisional untuk sariawan, gatal, luka, obat sakit perut
dan lain lain (Prosea, 2001). Beberapa penelitian di tingkat laboratorium telah
menunjukkan potensi bagian kulit batang geronggang untuk bahan obat–obatan
karena mengandung senyawa kimia yang bermanfaat bagi kesehatan (Sim et al.,
2011; Ibrahim et al., 2017; Omer et al., 2017). Kemudian, serat kayu geronggang
mempunyai sifat yang baik jika akan digunakan untuk bahan baku pulp (kelas II),
dimana untuk menghasilkan 1 ton pulp maka dibutuhkan kayu sekitar 4,83 m3
(Aprianis, 2015: Junaedi & Aprianis, 2010). Bagian bunga geronggang pun dapat
dimanfaatkan sebagai pakan lebah dalam usaha budidaya lebah madu karena
mengandung nektar yang disukai jenis-jenis lebah penghasil madu seperti jenis
Triogona spp (Gambar 2.9). Selain itu, getah dan resinnya juga berpotensi untuk
dimanfaatkan sebagai pakan bagi jenis lebah penghasil propolis.
Peluang lain dalam pemanfaatan bagian tanaman geronggang adalah pada
bagian daunnya. Daun geronggang kemungkinan dapat dimanfaatkan sebagai
bioreduktor dalam sintesis nanopartikel (green synthesis). Hal ini didasarkan
pada keberhasilan species Cratoxylum lainnya yakni Cratoxylum glaucum yang
mana ekstrak daunnya bisa digunakan sebagai bioreduktur nanopartikel perak
(Fabiani et al., 2018; Sutanti et al., 2018).
Geronggang mempunyai manfaat ekologi yang besar. Kaitannya dengan
keanekaragaman hayati (biodiversitas), jenis ini mempunyai nilai yang tinggi
karena merupakan jenis asli ekosistem hutan rawa gambut. Selain itu, tegakan
geronggang merupakan tempat yang mendukung bagi kehadiran beberapa satwa
seperti burung dan beberapa serangga (Gambar 2.10). Kemudian kaitannya
dengan upaya pencegahan kebakaran lahan dan hutan, geronggang termasuk
jenis pohon dengan tingkat kerentanan terhadap kebakaran yang relatif lebih
rendah dibandingkan jenis pohon lainnya karena mempunyai nilai kalor
terendah yakni sekitar 16 kJ/g (Usup, 2004 dalam Yulianti, 2018). Penelitan
Junaedi (2014) pun menunjukkan bahwa pada kondisi tegakan yang terjaga (jarak
tanam 2 x 3 m), tegakan geronggang mampu menjaga kelembaban lahan gambut.
23
Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Potensial Bumi Lancang Kuning
Penelitiannya pada lahan gambut didrainase di Pelalawan Riau menunjukkan
bahwa pada musim kemarau tahun 2015 kelembaban serasah dan tanah di bawah
tegakan geronggang mampu dipertahankan pada angka 89%. Toriyama et al.
(2014) menyatakan bahwa bersama tumih (C. rotundatus), geronggang adalah
jenis pohon yang tergolong relatif tahan kebakaran dibandingkan jenis pohon
lainnya. Untuk itu, pohon lokal ini dibandingkan jenis pohon lainnya lebih
direkomendasikan untuk dimanfaatkan sebagai pohon rehabilitasi pencegah
kebakaran hutan dan lahan gambut.
Gambar 2. 9. Lebah penghasil madu dan propolis dari jenis Trigona sp yang
mengambil nektar dan serbuk sari di bunga geronggang
24
Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Poensial Bumi Lancang Kuning
Gambar 2.10. Kehadiran beberapa binatang di tegakan geronggang seperti
burung dan serangga
Daftar Pustaka
25
Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Potensial Bumi Lancang Kuning
Blackham, G.V., E.L. Webb & RT. Corlett. 2014. Natural regeneration in a degraded
tropical peatland, Central Kalimantan, Indonesia: Implications for forest
restoration. Forest Ecology and Management 324 : 8–15.
Budiman, F. Kristianto & Sumarso. 2016. Diversitas dan Karakter Kulit Batang
Pohon Inang Anggrek Hitam (Coelogyne pandurata Lind.) di Kawasan
Cagar Alam Kersik Luway. J-PAL, Vol. 7, No. 1, 2016.
Cratoxylum arborescens (Vahl) Blume. Tanpa tahun. Dikutip dari
http://www.asianplant.net/
Desi, R. Linda & I. Winarti. 2017. Struktur dan Profil Vegetasi Habitat Kukang
Kalimantan (Nycticebus menagensis) Pelepasliaran Yayasan IAR Indonesia Di
Hutan Lindung Gunung TarakProtobiont, 6 (1) : 1-9
Fabiani, V.A., F. Sutanti, D. Silvia & M.A. Putri. 2018. Green symthesis nanopartikel
perak menggunakan ekstrak daun pucuk idat (Cratoxylum glaucum) sebagai
bioreduktor. Indo. J. Pure App. Chem. 1 (2) : 68-76.
GBIF Secretariat. 2017. Cratoxylum arborescens Blume.
https://www.gbif.org/species/7330035. Diakses 12 Agustus 2019.
Giesen, W., E.N. Sari. 2018. Tropical Peatland Restoration Report: The Indonesian Case.
Euroconsult Mott MacDonald in association with: Universitas’ Jambi, Mitra
Aksi Foundation. Perkumpulan Gita Buana, Perkumpulan Walestra.
Heriyanto, N.M & E. Subiandono. 2003. Status Kelangkaan Jenis Pohon di Kelompok
HutanSungai Lekawai-Sungai Jengonoi, Sintang, Kalimantan Barat Buletin
Plasma Nutfah Vol.9 No.2 Th.2003
Heriyanto, N.M & E. Subiandono. 2007. Studi Ekologi dan Potensi Geronggang
(Cratoxylon arborescens Bl.) di Kelompok Hutan Sungai Bepasir-Sungai
Siduung, Kabupaten Tanjung Redeb, Kalimantan Timur. Buletin Plasma
Nutfah Vol.13 No.2 Th.2007
Ibrahim, M.Y, N.M. Hashim, S.Mohan, M.A. Abdulla, S.I. Abdelwahab, I.A. Arbab,
Istomo, T. E. Komar, S.I. Suryaman, B. A. Marpaung B.M. Purba. 2010. Disain
dan pembuatan plot pengamatan ekologi dan dinamika populasi ramin dan
jenis-jenis lain di Hutan Rawa Gambut Sumatera dan Kalimantan. ITTO CITES
Project bekerjasama dengan Pusat Litbang Konservasi Alam.
Junaedi, A. 2014. Pertumbuhan tegakan dan produktivitas serta laju dekomposisi seresah
beberapa jenis pohon lokal pada lahan gambut di Kabupaten Pelalawan, Riau.
Tesis. Program Pasca Sarjana, Fahutan-UGM. Yogyakarta.
Junaedi, A., Y. Aprianis. 2010. Sifat kayu geronggang sebagai jenis pulpable alternative
pada lahan gambut. Bulletin Hasil Hutan Vol.16 (1). Pusat Litbang Teknologi
Hasil Hutan. Bogor.
Karyati, I.B. Ipor, I. Jusoh, M.E. Wasli. 2017. The diameter increment of selected tree
species in a secondary tropical forest in Sarawak, Malaysia. BIODIVERSITAS
18 (1) : 304 - 311
26
Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Poensial Bumi Lancang Kuning
Lestariningsih, F. Handayani & Salasiah. 2018. Karakteristik tanah gambut dan
keanekaragaman tumbuhan tinggi di Taman Nasional Sebangau Kalimantan
Tengah. BIOSFER Jurnal Tadris Pendidikan Biologi 9(1): 114-139
M. Yahayu, L.Z. Ali, O.E. Ishag. 2015. a-Mangostin from Cratoxylum arborescens: An in
vitro and in vivo toxicological evaluation. Arabian Journal of Chemistry 8, 129–
137
Mawazin & A. Subiakto. 2013. Keanekaragaman dan Komposisi Jenis Permudaan Alam
Hutan Rawa Gambut Bekas Tebangan di Riau. Jurnal Rehabilitasi Hutan1(1) :
59 – 73.
Mawazin. 2013. Tingkat kerusakan tegakan tinggal di hutan rawa gambut Sungai
Kumpeh-Suangai Air Hitam Laut Jambi. Indonesian Forest Rehabilitation
Journal Vol. 1 No. 1, September 2013: 39-50
Mirmanto, R. Polosakan & H. Simbolon. 2000. Ekologi hutan gambut di Taman Nasional
Tanjung Putting, Kalimantan Tengah. Berita Biologi, Volume 5, Nomor 3,
Desember 2000
Neo, L. , K. Y. Chong, S. Y. Tan, C. Y. Koh, R. C. J. Lim, J. W. Loh, W. Q. Ng, W.
W. Seah, A.T. K. Yee & H. T. W. Tan. 2016. Towards a field guide to
the trees of the Nee Soon Swamp Forest (II): Cratoxylum
(Hypericaceae). Nature In Singapore 2016 9: 29–39
Nugraha, A. 2014. Struktur tegakan dan sebaran jenis jelutung (Dyera costulata Hook. f.)
dan tumih (Combretocarpus rotundatus (Miq.) Danser) di hutan rawa gambut
(studi kasus di kawasan lindung gambut Lahai, Kalteng). Skripsi. Departemen
Silvikultur Fahutan-IPB. Bogor.
Omer, F.A.A, N.B.M Hashim, M.Y. Ibrahim, F. Dehghan, M. Yahayu, H. Karimian, L.Z.A.
Salim, S. Mohan. 2017. Beta-mangostin from Cratoxylum arborescens activates
the intrinsic apoptosispathway through reactive oxygen specieswith
downregulation of the HSP70 genein the HL60 cells associated with a
G0/G1cell-cycle arrest. Tumor Biology November 2017: 1–12.
Pemerintah Desa Tanah Merah. 2017. Pohon Geronggang Kayu Pilihan di Desa Tanah
Merah Meranti. https://desariau.com/2017/09/23/pohon-geronggang-kayu-
pilihan-di-desa-tanah-merah-meranti/. Diakses 12 Agustus 2019.
Pemerintah Prov. Sumsel. 2017. Strategi dan rencana aksi keanekaragaman hayati
Provinsi Sumatera Selatan/SeHati Sumsel (2017 – 2021). Pemerintah Prov.
Sumsel. Palembang
Sabah Forestry Department. 2007. Serungan/geronggang tree species. Sabah Forestry
Department. Sabah, Malasyia
Saito , H., M. Shibuya., S.J. Tuah., M. Turjaman., K. Takahashi., Y. Jamal., H. Segah., P.E.
Putir & S.H. Limin. 2005. Initial screening of fast growing tree species being
tolerant of dry tropical peatland in Central Kalimantan, Indonesia. Journal of
Forestry Research. 2 (2): 1 – 10.
27
Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Potensial Bumi Lancang Kuning
Sedik, Y., S. Hamdan, I. Jusoh, M. Hasan. 2010. Acoustic Properties of Selected Tropical
Wood Species. J Nondestruct Eval 29: 38–42
Sepka, M.S., Andriko & R. Syahputra. 2017. Profil Desa Tanjungsari Kecamatan
Tebing Tinggi Timur Kabupaten Kepulauan Meranti Tahun 2017. Badan
Restorasi Gambut. Jakarta.
Sigit, R.R. 2014. Sains: Hutan Kerangas, Ekosistem Rapuh di Atas Lahan Kritis.
Mongabay, situs berita lingkungan.
https://www.mongabay.co.id/2014/05/10/sains-hutan-kerangas-ekosistem-
rapuh-di-atas-lahan-kritis/. Diakses 12 Agustus 2019.
Sim, W.C, G.C.L. Ee, C.J. Lim & M.A. Sukari. 2011. Cratoxylum glaucum and Cratoxylum
arborescens (Guttiferae Two Potential Source of Antioxidant Agents. Asian
Journal of Chemistry 23 (2):569-572.
Simbolon, H. 2004. Proses awal pemulihan hutan gambut Kelampangan – Kalimantan
Tengah pasca kebakaran hutan Desember 1997 dan September 2002. Berita
Biologi Volume 7, Nomor 3, Desember 2004
Siregar, M & A. Ruskandi. 2000. Studi ekologi hutan Cagar Alam Muara Kendawangan,
Kalimantan Barat. Laporan Teknik Tahun 2000, Hal 39 - 58. Pusat Litbang
Biologi-LIPI. Bogor.
Soerinegara, I. & R.H.M.J. Lemmens. (Eds). (2001). Plant resources of South-East, Timber
trees : Major commercial timbers. Bogor : Prosea.
Sufaidah. 2016. Asosiasi ramin (Gonystylus bancanus (Miq.) Kurz) dengan jenis dominan
di IUPHHK-HA PT Diamond Raya Timber, Riau. Skripsi. Departemen
Silvikultur Fahutan-IPB. Bogor.
Suhartati, S. Rahmayanti, A. Junaedi & E. Nurrohman. 2012. Sebaran dan persyaratan
tumbuh jenis alternatif penghasil pulp di wilayah Riau. Badan Litbang
Kehutanan. Jakarta.
Sutanti, F, D. Silvia, M.A. Putri & F.A. Fabiani. 2018. Pengaruh konsentrasi AgNO 3 pada
sintesis nanopartikel perak menggunakan bioreduktor ekstrak pucuk idat
(Cratoxylum glaucum KORTH). Prosiding Seminar Nasional Penelitian dan
Pengabdian pada Masyarakat.
Syukur, M., A.A. Bratawinata & M. Sumaryono. 2007. Komposisi dan asosiasi vegetasi
hutan gambut berdasarkan ketebalan lapisan gambut di Hutan Wisata Rawa
Gambut Baning, Kabupaten Sintang, Kalimantan Barat. Jurnal Kehutanan
UNMUL 3 (2), 163 – 173.
Tata, M.H.L & S. Pradjadinata. 2013. Regenerasi alami hutan rawa gambut terbakar dan
lahan gambut terbakar di Tumbang Nusa, Kalimantan Tengah dan implikasinya
terhadap konsevasi. Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam Vol. 10 No.
3, Desember 2013 : 327-342
Tawaraya, K. , Y. Takaya, M. Turjaman, S.J. Tuah, S.H. Limin, Y. Tamai, J.Y. Cha, T.
Wagatsuma, M. Osaki. 2003. Arbuscular mycorrhizal colonization of tree
28
Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Poensial Bumi Lancang Kuning
species grown in peat swamp forests of Central Kalimantan, Indonesia. Forest
Ecology and Management 182: 381–386.
Toriyama, J., T. Takahash., S. Nishimura., T. Sato., Y.Monda., H. Saito., Y. Awaya., S.H.
Limin., A.R. Susan.t, F. Darma., Krisyoyo & Y.Kiyono. 2014. Estimation of fuel
mass and its loss during a forest fire in peat swamp forests of Central
Kalimantan, Indonesia. Forest Ecology and Management 314 (2014) 1–8
Universitas Syiah Kuala. Tanpa tahun. Biodiversitas. Project Implementation Unit – Studi
Eksosistem Rawa Tripa. http://cs.unsyiah.ac.id/tpsf/images/pdf/03-
Biodiversity-B.pdf. Diakses 5 September 2019.
Wahyuningtyas, R.S., & R. Ariani. 2015. Pengaruh gundukan terhadap pertumbuhan
tanaman gerunggang (Cratoxylon arborescens) di lahan rawa gambut. Leaflet.
Balai Penelitian Kehutanan Banjarbaru.
Yulianti, N. 2018. Pengenalan bencana kebakaran dan kabut asap lintas batas (studi kasus
eks proyek lahan gambut sejuta hektar). IPB Press. Bogor.
29
Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Potensial Bumi Lancang Kuning
30
Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Poensial Bumi Lancang Kuning
III.
INFORMASI AWAL
TEKNIK BUDIDAYA GERONGGANG
(Ahmad Junaedi)
(Ahmad
A. Penyiapan lahan
Kondisi optimal untuk pertumbuhan geronggang adalah di lahan terbuka
karena geronggang merupakan jenis pioneer. Untuk itu, metode persiapan lahan
yang paling tepat adalah dengan pembersihan total. Namun, jika ada kendala
untuk melakukan pembersihan total karena adanya keterbatasan biaya atau
tenaga, pembersihan lahan sebagian dapat dilakukan dengan catatatan tetap
berupaya agar titik tanam memperoleh pencahayaan yang optimal.
31
Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Potensial Bumi Lancang Kuning
Penanaman geronggang sebaiknya diarahkan pada lahan tidak produktif
seperti di lahan marginal atau kritis, khususnya yang berada di Sumatera dan
Kalimantan yang merupakan wilayah sebaran alami jenis ini. Karakteristik lahan
kritis secara umumnya dicirikan oleh: vegetasi yang didominasi oleh rumput-
rumputan, alang-alang, paku-pakuan dan jenis semak belukar lainnya; kesuburan
tanah rendah dan kondisi iklim mikro yang relatif ektrim dan tidak stabil
(Gambar 3.1). Di beberapa lokasi bahkan ditemukan pohon eksotik dari jenis
Acacia spp yang diduga sudah masuk kategori invasive alien species pada berbagai
strata (semai, pancang, tiang dan pohon).
32
Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Poensial Bumi Lancang Kuning
Pembersihan secara total bisa dilakukan dengan alat berat (eskavator)
atau secara manual dengan pembabatan menggunakan parang atau sejenisnya
(Gambar 3.2). Lahan yang dibuka dengan eskavator tidak memerlukan
pembersihan lanjutan, tetapi jika pembersihannya manual maka harus
dilanjutkan dengan penyemprotan herbisida terhadap sisa-sisa tebasan, sebelum
dilakukan penanaman.
Kegiatan pembersihan sebaiknya tidak dilakukan pada musim kering,
agar terhindar dari bahaya kebakaran. Sisa tebasan dari pembersihan hendaknya
tidak dibakar tetapi dibiarkan di lapangan karena nantinya jika terdekomposisi
akan menjadi sumber hara bagi tanaman, selain akan berperan sebagai mulsa yang
akan mengurangi penguapan dan juga menjaga stabilitas iklim mikro.
Gambar 3.2. Penyiapan lahan secara manual dan kondisi lahan yang sudah
disiapkan (dibabat)
33
Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Potensial Bumi Lancang Kuning
kategori ini akan lebih bisa diharapkan hidup dan tumbuh dengan baik di
lapangan.
Saat ini, secara genetik bibit unggul jenis geronggang belum diperoleh.
Hal ini masih menjadi kendala tersendiri, mengingat tanpa menggunakan bibit
yang berkualitas, Junaedi (2018) melaporkan bahwa produktivitas geronggang
relatif belum optimal. Untuk mendapatkan bibit dengan kualitas genetik yang
baik bisa dilakukan dengan program pemuliaan (Gambar 3.3). Saat ini program
pemuliaan pada geronggang masih berada pada tahap awal. Sambil menunggu
dihasilkannya bibit unggul, yang bisa dilakukan saat ini setidaknya adalah
memilih bibit yang berasal dari pohon induk yang fenotipenya baik. Hal ini
dicirikan oleh penampilan fenotip (tinggi dan diameter) yang menonjol di
lapangan. Salah satu lokasi dengan kondisi pohon geronggang berfenotip cukup
baik bisa didapatkan di Desa Wonosari, Bengkalis, Riau (Gambar 3.4).
Gambar 3.3. Salah satu contoh program pemuliaan yang bisa dilakukan untuk
mendapatkan bibit unggul geronggang (Junaedi, 2014)
Secara fisik, dimensi bibit geronggang yang akan ditanam bisa mengacu
pada standar fisik bibit jenis tanaman HTI yang selama ini ditanam yakni yang
tingginya lebih dari 17 cm (Christianus, 2006). Selanjutnya, jika mengacu pada
hasil penelitian sementara Wahyuningtyas di Banjarbaru yang dilaporkan oleh
Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan
Banjarbaru (2019) batas atas tinggi geronggang yang disarankan ditanam adalah
34
Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Poensial Bumi Lancang Kuning
40 cm, sehingga kisaran tinggi geronggang yang disarankan layak tanam adalah
17 - 40 cm. Untuk variabel mutu fisik bibit lainnya dapat mengikuti kaedah
umum pada bibit tanaman hutan yakni diameter pangkal lebih dari 2 cm, Rasio
Pucuk Akar (RPA) 2 – 5 dan Indeks Mutu Bibit (IMB) lebih dari 0,09 (Omon,
2009; Alrasyid, 1972 dalam Mindawati & Susilo, 2005; Lackey & Alm, 1982 dalam
Durahim & Hendromono, 2006).
C. Penanaman
Kegiatan penanaman sangat terkait dengan jarak tanam yang dipilih.
Jarak tanam geronggang dapat disesuaikan dengan tujuan pengembangannya.
Jarak tanam sempit seperti 1 x 1 (m) atau 1,5 X 1,5 (m) bisa dipilih untuk tujuan
produksi kayu cerocok. Untuk tujuan bahan baku serat dan pertukangan, sebagai
acauan awal jarak tanam bisa dipilih 2 x 2 (m), 2 x 3 (m), 2,5 x 3 (m) dan 3 x 3
(m). Jarak tanam tersebut adalah jarak tanam yang biasa digunakan untuk jenis
pohon penghasil serat maupun pertukangan antara lain Acacia spp., Eucalyptus
spp., jati dan meranti (Wahyudi et al., 2014; Mawazin & Suhaendi, 2008; Xu et
al., 2008 & Sankaran et al., 2008). Penelitian dalam rangka memastikan jarak
tanam terbaik untuk geronggang masih perlu dilakukan untuk ke depannya.
Bibit ditanam pada lubang tanam yang sudah disiapkan sebelumnya,
sesuai jarak tanam yang telah ditentukan. Di lahan gambut, lubang tanam relatif
mudah dibuat yakni cukup dengan menugalnya menggunakan kayu berdiameter
sekitar 15 cm atau menggunakan alat dodos kelapa sawit. Pembuatan lubang
tanam dapat juga menggunakan dodos (alat panen kelapa sawit). Adapun
kedalaman lubang tanam yang dibuat adalah sekitar 15 – 20 cm (Gambar 3.6).
Sementara itu, lubang tanam berukuran 20 x 20 x 20 (cm) di lahan mineral dibuat
dengan menggunakan cangkul atau alat sejenisnya.
Penanaman geronggang baik di lahan gambut maupun mineral,
sebaiknya tidak dilakukan pada musim kering. Hal ini dikarenakan umumnya
kondisi lahan gambut yang mengalami drainase sudah rusak yang dicirikan oleh
menurun drastisnya kemampuan menyerap lengas pada bagian atas tanah.
Akibatnya, zona lembab pada bagian atas tanah relatif sudah hilang. Padahal,
zona ini adalah daerah sekitar perakaran bibit yang ditanam, sehingga jika kering
akan membahayakan bibit yang ditanam. Akan tetapi, jika kondisi kelembaban
tanah gambutnya relatif masih terjaga yang dicirikan dengan masih lembabnya
zona perakaran bibit (kedalaman 0 – 20 cm dari permukaan), maka penanaman
pada musim kering pun masih bisa dilakukan. Waktu yang relatif paling tepat
36
Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Poensial Bumi Lancang Kuning
untuk penanaman adalah pada awal musim hujan, walaupun penanaman bisa
dilakukan di sepanjang musim hujan kecuali pada kondisi lahan gambut yang
mengalami genangan temporal. Penanaman di lahan gambut tergenang temporal
sebaiknya tidak dilakukan menjelang dan saat puncak musim hujan, karena ada
potensi terjadinya genangan. Adanya genangan bukan hanya menyulitkan proses
penanaman, juga akan menyebabkan kematian bibit. Hal ini dikarenakan
umumnya bibit geronggang yang baru ditanam belum mampu beradaptasi
dengan genangan.
D. Pemeliharaan
Fokus utama pemeliharaan adalah pada tahun pertama setelah
penanaman yang meliputi pemberian pupuk, pengendalian organisme
pengganggu tanaman (OPT) dan pemangkasan cabang. Namun, akan lebih baik
jika pemeliharaan bisa dilanjutkan sampai tiga tahun setelah penanaman.
Pupuk bisa berupa pupuk awal yakni pupuk yang diberikan sebelum atau
bersamaan penanaman dan dapat dilanjutkan dengan pemupukan susulan. Akan
tetapi, berhubung belum tersedianya informasi mengenai teknik pemupukan
untuk geronggang maka beberapa pendekatan alternatif pemupukan bisa dipilih.
Alternatif pemupukan ini didasarkan kepada hasil penelitian teknik pemupukan
pada jenis pohon lain dengan karakter dan tujuan penggunaan mirip dengan
37
Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Potensial Bumi Lancang Kuning
geronggang yakni pada jenis Eucalyptus, Acacia dan jelutung rawa. Teknik
pemupukan ini pun relatif bisa digunakan untuk pengembangan geronggang di
lahan gambut dan mineral, berhubung secara umum permasalahan terkait
kondisi tanah di kedua lahan tersebut adalah mirip yakni rendahnya kandungan
hara makro (N,P,K) tingginya kemasaman tanah serta kandungan Fe dan Al.
Berikut adalah alternatif pemupukan yang salah satunya bisa dipilih dalam
pengembangan geronggang :
1. Pupuk awal berupa rockphosphat 250 g/tanaman, Ertibor 10 g/tanaman,
Zincop 10 g/tanaman (Junaedi, 2014)
2. Pupuk awal yang diberikan pada tiap tanaman berupa 100 g NPK
(16:16:8) dan 403 g superphospat yang diberikan sebelum penanaman di
berikan pada lubang tanam (Bon & Hardwood, 2016)
3. Pupuk awal diberikan saat tanam berupa 70 g TSP/tanaman dan 40 g
KCl/tanaman; kemudian pupuk susulan 40 KCl/tanaman diberikan pada
umur empat bulan dan 200 g ZA/tanaman pada umur delapan bulan
(Halomoan et al., 2015)
4. Pupuk diberikan pada saat tanam berupa campuran 100 g NPK dan 200 g
kompos/tanaman (Van Do et al., 2017)
5. Pupuk NPK tablet sebanyal 20–30 g/tanaman yang diberikan rutin dua
kali setahun (awal dan akhir musim hujan) sampai umur tiga tahun
(Bastoni, 2014).
Pengendalian OPT terutama diarahkan untuk mengurangi kompetitor
tanaman utama (gulma). Pengendalian gulma dilakukan tiap empat bulan pada
tahun pertama, namun tergantung kondisi lahan penanaman. Pengendalian
gulma dilanjutkan pada tahun kedua dengan intensitas tiap enam bulan. Namun,
kemungkinan tajuk geronggang pada jarak tanam yang rapat sudah menutupi
permukaan tanah sehingga tidak diperlukan lagi pengendalian gulma pada tahun
kedua dan seterusnya (Gambar 3.7). Gulma dikendalikan dengan cara gabungan
sistem fisik dan kimia. Beberapa gulma yang berkayu dan relatif tingi dibabat
dengan parang lalu disemprot herbisida, sedangkan gulma yang relatif lebih kecil
dan sukulen seperti paku-pakuan dan rumput–rumputan bisa langsung disemprot
denga herbisida. Pengendalian OPT lainnya adalah dengan penyemprotan
insektisida pada daun geronggang yang terkena serangan ulat. Pengamatan
menunjukkan bahwa pada awal tanam dan terutama pada musim yang lebih
kering, ulat menyerang pucuk tanaman muda geronggang (Gambar 3.8).
38
Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Poensial Bumi Lancang Kuning
Gambar 3.7. Kondisi tajuk dan bawah tegakan geronggang berumur satu dan
tiga tahun
e
Gambar 3.8 . Serangan ulat pada daun geronggang
39
Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Potensial Bumi Lancang Kuning
E. Pemanenan
Geronggang dapat dipanen pada berbagai umur sesuai peruntukan dan
karakteristik pertumbuhannya, terutama pertumbuhan diameter batang setinggi
dada (DBH). Untuk kayu cerocok, geronggang bisa dipanen apabila memiliki
batang yang berdiameter lebih dari delapan cm (Departemen Pekerjaan umum,
1999). Kemudian untuk kayu serat, diameter kayu lebih dari lima cm sudah bisa
dimanfaatkan. Sementara itu, untuk pertukangan memerlukan kayu berdiameter
lebih besar yakni di atas 20 cm (Leksono, 2010 ). Akan tetapi, untuk kayu
pertukangan ternyata hutan rakyat di Pulau Jawa sudah ditebang/dipanen pada
diameter yang lebih kecil dari 20 cm yakni diameter lebih dari 10 cm
(Sukadaryati et al., 2018).
Belum banyak penelitian yang melaporkan performa pertumbuhan
geronggang terutama kaitannya dengan teknik silvikultur yang diterapkan. Ada
empat publikasi yang dapat diperoleh terkait hal tersebut yakni dari Saito et al.
(2005), Daryono (2009), Karyati et al. (2017) dan Junaedi (2018). Kisaran riap
tinggi dan diameter berdasarkan hasil penelitian tersebut adalah 1,18 – 2,89
m/tahun dan 0,96 – 2,08 cm/tahun. Jika mengacu pada pertumbuhan terbaik yang
dilaporkan maka untuk cerocok kemungkinan geronggang baru mulai dapat
dipanen pada umur empat tahun. Sedangkan pemanenan kayu untuk serat baru
bisa dilakukan pada umur lebih dari tiga tahun, dan untuk pertukangan baru bisa
dipanen pada umur lebih dari sepuluh tahun.
Dalam prakteknya, waktu panen yang paling tepat tidak hanya
didasarkan pada batas minimal diameter yang bisa dipanen, tapi juga harus
mengacu kepada daur optimal tegakan. Informasi daur optimal ini akan diperoleh
dari hasil pengamatan dan analisa data pertumbuhan yang dilakukan secara
series/tiap tahun (kontinu) sampai pada umur tertentu. Daur optimal dihitung
berdasarkan hasil perpaduan dua kurva yakni kurva rerata riap tahunan (MAI)
dan rerata riap berjalan (CAI). Titik di mana kedua kurva tersebut berpotongan
merupakan umur/waktu yang paling optimal untuk melakukan pemanenan
(Gambar 3.9).
40
Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Poensial Bumi Lancang Kuning
Gambar 3.9. Contoh penggunan kurva MAI dan CAI untuk menentukkan daur
optimal pada jenis Acacia crassicarpa yang diperoleh pada umur
sekitar lima tahun (Suhartati et al., 2013)
Daftar Pustaka
Alrasyid, H. 1972. Teknik Persemaian dan Penanaman di Jepang. Laporan No.142.
Lembaga Penelitian Hutan, Bogor. hal 21-23. Dikutip dari : Mindawati, N & Y.
Susilo. 2005. Pengaruh macam media terhadap pertumbuhan semai Acacia
mangium Willd. Jurnal Penelitian Hutan & Konservasi Alam 2(1): 53-59.
Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Banjarbaru. 2019.
Ukuran bibit gerunggang (Cratoxylum arborescens (Vahl) Blume.) kurang dari
40 cm lebih adaptif menghadapi kondisi ekstrim di lahan gambut.
www.foreinanjarbaru.or.id. Diakses 8 Oktober 2019.
Bastoni. 2014. Budidaya jelutung rawa (Dyera lowii Hook.F). Balai Kehutanan
Palembang. Palembang.
Bon, P.V., Hardwood, C.E. 2016. Effects of stock plant age and fertilizer
application at planting on growth and form of clonal Acacia hybrid.
Journal of Tropical Forest Science 28(2): 182–189
Christianus, A.P. 2006. Pengalaman pembangunan hutan tanaman industri di lahan
gambut oleh PT.RAPP. www.wetland.com. Diakses 31 Maret 2010.
Daryono, H. 2009. Potensi, permasalahan dan kebijakan yang diperlukan dalam
pengelolaan hutan dan lahan rawa gambut secara lestari. Jurnal Analisis
Kebijakan Kehutanan 6(2): 71-101.
Departemen Pekerjaan umum. 1999. Tata cara pelaksanaan pondasi cerucuk kayu di atas
tanah lembek dan tanah gambut. Pedoman Teknik. PT. Mediatama Saptakarya.
41
Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Potensial Bumi Lancang Kuning
Halomoan, S.S.T, Wawan, Adiwirman. 2015. Effect of Fertilization on the Growth and
Biomass of Acacia mangiumand Eucalyptus hybrid (E. grandis x E. pellita). J
Trop Soils 20(3): 157-166.
Junaedi, A. 2014. Pertumbuhan tegakan dan produktivitas serta laju dekomposisi seresah
beberapa jenis pohon lokal pada lahan gambut di Kabupaten Pelalawan, Riau.
Tesis. Universitas Gadjah Mada.
Junaedi, A. 2014. Strategi pemuliaan geronggang (Cratoxylum arborescens) untuk
penghasil kayu pulp. Mitra Hutan Tanaman 9(1).
Junaedi, A. 2018. Growth performance of three native tree species for pulpwood
plantation in drained peatland of Pelalawan District, Riau. Indonesian Journal
of Forestry Research 5(2): 119-132.
Karyati, I.B. Ipor, I. Jusoh, Wasli, M.E. 2017. The diameter increment of selected tree
species in a secondary tropical forest in Sarawak, Malaysia. Biodiversitas 18(1):
304-311.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. 2018. Status hutan dan kehutanan
Indonesia 2018. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Jakarta.
Lackey, M. & A. Alm. 1982. Evaluation of growing media for culturing containerized Red
Pini and White Spruce. Tree Planterrs’ Notes 33(1) : 3 – 7. Dikutip dari :
Durahim & Hendromono. 2006. Pengaruh media dan pupuk NPK terhadap
pertumbuhan dan mutu bibit eboni. Jurnal Penelitian Hutan & Konservasi
Alam 3(1): 9 - 17.
Leksono, B. 2010. Efisiensi seleksi awal pada kebun benih semai Eucalyptus pellita. Jurnal
Penelitian Hutan Tanaman 7(1): 1 – 13.
Mawazin, Suhaendi, H. 2008. Pengaruh jarak tanam terhadap pertumbuhan
diameterShorea parvifolia Dyer. Jurnal Penelitian Hutan & Konservasi Alam
5(4): 381-388.
Mindawati, N & Y. Susilo. 2005. Pengaruh macam media terhadap pertumbuhan semai
Acacia mangium Willd. Jurnal Penelitian Hutan & Konservasi Alam 2(1): 53-
59.
Nurjanah, S., Octavia, D., Kusumadewi, F. 2013. Identifikasi lokasi penanaman kembali
ramin (Gonystylus bancanus Kurz) di hutan rawa gambut Sumatera dan
Kalimantan. Forda Press. Bogor.
Omon, R.M. 2009. Uji coba indikator mutu bibit meranti merah di HPH PT. Sari Bumi
Kusuma dan PT. Ikani Kalimantan. Jurnal Standarisasi 11(2): 119–125.
Saito, H., M. Shibuya, S.J. Tuah, M. Turjaman, K. Takashi, YT. Jamal, P.E. Putir & S.H.
Limin. 2005. Initial Screening of fast growing tree species being tolerant of dry
peatland in Central Kalimantan, Indonesia. Journal of Forestry Research 2(2),
1 – 10.
Sankaran, K.V., Mendham, D.S., Chacko, K.C., Pandalai, R.C., Pillai, P.K.C, Grove, T.S.,
O’Connell, A.M. 2008. Impact of Site Management Practices on Growth of
Eucalypt Plantations in the Monsoonal Tropics in Kerala, India. Proceedings of
42
Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Poensial Bumi Lancang Kuning
Workshops in Piracicaba (Brazil) 22-26 November 2004 and Bogor (Indonesia)
6-9 November 2006. CIFOR. Bogor.
Suhartati, Y. Aprianis, A. Pribadi & Y. Rochmayanto. 2013. Kajian dampak penurunan
daur tanaman Acacia crassicarpa A. Cunn terhadap nilai produksi dan sosial.
Jurnal Penelitian Hutan Tanaman 10(2): 109-118.
Sukadaryati, Yuniawati, & Dulsalam. 2018. Pemanenan Kayu Hutan Rakyat (Studi Kasus
di Ciamis, Jawa Barat). Jurnal Ilmu Kehutanan 12: 142-155.
Wahyudi, I., Dinata, D.K.S., Muhran, Jasni, L.B. 2014. Pengaruh Jarak Tanam Terhadap
Pertumbuhan Pohon dan Beberapa Sifat Fisis-Mekanis Kayu Jati Cepat
Tumbuh. Jurnal Ilmu Pertanian 19(3): 204 – 210.
Xu, D.P., Yang, Z.N., Zhang, N.N. 2008. Effects of Site Management on Tree Growth,
Above ground Biomass Production and Nutrient Accumulation of a Second-
rotation Plantation of Eucalyptus urophylla in Guangdong Province, China.
Proceedings of Workshops in Piracicaba (Brazil) 22-26 November 2004 and
Bogor (Indonesia) 6-9 November 2006. CIFOR. Bogor.
43
Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Potensial Bumi Lancang Kuning
44
Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Poensial Bumi Lancang Kuning
IV.
PERBANYAKAN TANAMAN GERONGGANG
(Danu & Ahmad Junaedi)
A. Pengumpulan Benih
Buah geronggang memiliki tipe buah kering indehicent (benih lepas
ketika buah mekar) (Smith, 2000). Untuk mengumpulkan benih gerongang dapat
dilakukan dengan pemanjatan atau perontokan sebagian dahan dengan
menggunakan galah berkait ketika benih sudah masak fisiologis, karena bila
terlambat tidak akan dapat benih. Buah masak akan mekar di atas pohon
sehingga benih sulit dikumpulkan. Bila diunduh terlalu awal benih yang
diperoleh masih muda dan jadinya bermutu rendah. Buah yang sudah terkumpul
kemudian dikemas dalam kantong plastik dan diberi label yang berisi lokasi dan
tanggal pengunduhan.
Berdasarkan penelitian Alimah dan Rusmana (2013) serta Dharmawati,
et al. (2013), tanaman geronggang mulai berbunga serentak pada bulan Mei dan
Oktober, setelah 4-8 bulan kemudian bunga berkembang menjadi buah masak
(Februari-Maret dan September-Oktober). Bunga geronggang berukuran kecil
berbentuk malai, berwarna merah hingga merah tua dengan panjang malai 10 –
15 cm. Setiap malai memiliki 120-198 kuntum bunga/buah. Buah geronggang
berbentuk oval dan ujung bagian luar meruncing berukuran ± 0,5 cm berwarna
keungu-unguan, mempunyai tiga ruang yang berisi benih. Buah masak dicirikan
dengan warna kulit buah coklat. Biji geronggang memiliki panjang sekitar 6 – 7
mm dan tebal 0,3 – 0,5 mm.
47
Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Potensial Bumi Lancang Kuning
tersebut memiliki keragaman genetik minimal antara 0,10 - 0,20 pada tingkat
kepercayaan 95%.
B. Ekstraksi Benih
Ekstraksi benih adalah kegiatan mendapatkan biji/benih dari dalam buah
geronggang. Kegiatan ini dilakukan untuk biji unduhan langsung dari pohon.
Sementara itu, umumnya benih yang jatuh atau berada di sekitar pohon sudah
dalam bentuk biji yang siap disemai. Ekstraksi benih bisa dilakukan dengan cara
dijemur sinar matahari selama tiga hari, buah geronggang akan terbuka (sistem
kering). Buah geronggang yang telah kering dapat juga dibuka secara manual
dengan cara membuka satu persatu buah dengan tangan hingga biji/benihnya
keluar. Biji yang keluar ditampung di wadah, sedangkan kulit dan bagian lainnya
bisa dibuang. Kemudian campuran biji dan bagian buah lainnya ditampung di
wadah, kemudian untuk mensortasi benihnya bisa dilakukan dengan cara
penampian. Buah/benih yang telah berhasil dipisahkan dari kotoran (kulit buah
dan serasah), kemudian diambil untuk dikemas atau langsung disiapkan untuk
disemai. Ekstraksi benih geronggang bisa juga dilakukan dengan sistem basah
yakni dengan menghancurkan atau menggosok-gosokan buah dengan kedua
belah tangan hingga hancur atau benih/bijinya keluar. Dengan cara ini sebagian
besar biji akan keluar dan mengapung di permukaan. Untuk memisahkan antara
benih dengan bagian buah lain yang tidak dikehendaki, bisa dilakukan dengan
penyaringan (Gambar 4.2).
Biji/benih yang sudah diekstrakasi bisa langsung disemai atau disimpan.
Sampai saat ini belum ada penelitian yang melaporkan kondisi penyimpanan
terbaik untuk geronggang dan batas waktu penyimpanan benih geronggang.
Akan tetapi, jika mengacu pada penyimpanan beberapa benih rekalsitran yang
hampir sejenis seperti benih suren. Benih suren dengan kadar air 6,1% - 10,8%
dikemas dalam wadah alumunium disimpan dalam dry cold storage selama empat
minggu memiliki daya kecambah 71% (Suryanto, 2013). Biji geronggang diduga
termasuk golongan biji intermediate yang memiliki karakter antara biji ortodoks
dan rekalsitran. Daya simpan diperkirakan selama maksimal tiga bulan karena
cadangan makanan untuk embrio dalam biji sangat sedikit. Viabilitas biji akan
meurun setelah masa simpan maksimal terlewati.
48
Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Poensial Bumi Lancang Kuning
a b c
Gambar 4.2. Ektraksi benih geronggang dengan sistem kering (a) dan basah (b)
dan (c)
C. Pembibitan
Setidaknya ada tiga cara dalam pembibitan geronggang. Cara pertama
adalah dengan memanfaatkan cabutan alam, sistem generatif (menyemai biji) dan
cara vegetatif dengan stek pucuk.
C.1. Sistem cabutan alam
Sistem cabutan alam bisa dilakukan dengan dua cara yakni pemanfaatan
cabutan alam untuk dibibitkan lebih lanjut di persemaian yang letaknya relatif
jauh dari lokasi sumber cabutan alam dan cabutan yang letaknya tidak terlampau
jauh. Teknik cabutan maupun perlakuan terhadap cabutan alam yang diperoleh
akan berbeda untuk dua kondisi tersebut.
C.1.1. Sistem cabutan alam yang berjarak jauh
Cara puteran nampaknya cara terbaik untuk membibitan geronggang
yang sumber anakan alamnya cukup jauh dari persemiaan. Inti dari teknik ini
adalah terletak pada cara pengambilan anakan yakni dengan cara sebisa mungkin
anakan alam bersama media tumbuhnya/tanah gambut secara kompak ikut
terbawa. Pengambilan anakan alam dengan sistem puteran pada jenis geronggang
ini sedikit berbeda dengan yang biasa dilakukan di lahan mineral (kering) karena
umumnya jenis tanah gambut ini lebih lunak. Akibatnya, pengambilan anakan
alam beserta tanahnya tidak selalu dilakukan dengan membuat semacam lubang
yang mengitari anakan alam. Anakan alam geronggang di lahan gambut cukup
mudah diambil dengan cara mencongkelnya dengan golok atau tangan pun sudah
bisa terambil berikut dengan tanahnya. Bahkan, seringkali ditemukan jumlah
anakan alam yang berdekatan dan melimpah di lapangan, sehingga satu
congkelan golok/tangan bisa mendapat beberapa anakan sekaligus (Gambar 4.3).
49
Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Potensial Bumi Lancang Kuning
Anakan alam yang telah diambil berserta tanahnya kemudian
dikumpulkan dan dikemas ke dalam wadah. Wadah yang dipakai bisa berupa
ember, baskom atau semacamnya yang penting intinya mudah dibawa dan dapat
memuat anakan dalam jumlah yang banyak. Kemudian diangkut ke mobil untuk
dibawa ke persemaian. Jika anakan tersebut dibawa dengan jenis mobil bak
terbuka, untuk menghindari transpirasi berlebihan dan juga stres panas dan
tekanan angin yang berlebihan maka harus ditutup dengan dua lapis paranet, dan
kemudian disiram dengan air.
Ketika anakan alam sampai ke persemaian jika waktnya memungkinkan
sebaiknya segera disapih ke wadah bibit atau polibag. Wadah berikut medianya
tersebut sudah disiapkan sebelumnya sehingga mempercepat pengerjaaan
pemindahan bibit. Junaedi (2015) melaporkan salah jenis satu wadah dan media
terbaik yang bisa dipilih adalah polibag volume 200 m3 dengan media campuran
kompos dan tanah (1:1, v/v). Akan tetapi jika tanahnya relatif subur, cukup
menggunakan tanah saja. Naungan yang disarankan untuk bibit geronggang
adalah sebesar 25%. Hal ini sebagaimana yang dilaporkan Danu & Kurniati
(2013b) bahwa penggunaan media tanah dengan naungan 25 % pada pembibitan
geronggang memberikan pertumbuhan dan kualitas bibit terbaik. Adapun sifat
tanah yang digunakan sebagai media pembibitan mengandung N 0,56%, P 0,11
ppm, dan K 2,1 cmol/kg (Danu & Kurniaty, 2013a).
a b c d
Gambar 4.3. Pengadaan bibit geronggang dengan sistem cabutan alam untuk
jarak jauh (a) anakan alam, (b) pengambilan anakan alam, (c)
cabutan alam dan (d) anakan alam yang sudah disapih)
C. 1.2. Sistem cabutan alam jarak dekat
Pembibitan geronggang dapat dilakukan dengan cara mengumpulkan
anakan alam yang jumlahnya melimpah di hutan alam dengan cara cabutan.
Pengumpulan cabutan dapat dilakukan sekitar bulan Juli – bulan Desember.
Anakan dicabut tidak perlu dengan tanahnya kemudian di bawa ke lokasi
persemaian. Sebelum disapih atau ditanam di polibag, cabutan alam digunting
50
Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Poensial Bumi Lancang Kuning
sebagian daun dan akarnya (Gambar 4.4). Anakan alam yang dipilih sebaiknya
yang tingginya lebih dari 10 cm. Jenis wadah, media dan naungan yang
digunakan sama dengan untuk teknik pembibitan untuk cabutan alam jarak jauh.
Dengan cara ini, bibit sudah stabil setelah dua bulan, dan mencapai persen hidup
sekitar 90%.
Pemberian atau inokulasi mikoriza disarankan untuk meningkatkan
performa bibit dan juga kemampuan hidup dan tumbuh bibit saat ditanam di
lapangan. Yuwati et al. (2008) melaporkan bahwa inokulasi mikoriza arbuskula
(isolat Gigaspora sp.4) memberikan pengaruh nyata terhadap pertumbuhan
tinggi, penambahan jumlah daun dan persen kolonisasi akar geronggang setelah
tiga bulan di persemaian.
(a ( b ( c ( d
a)
Gambar 4.4. Pembibitan b)
geronggang denganc)sistem cabutan
d) alam untuk jarak
dekat (a) mencabut anakan alam, (b) cabutan alam, (c)
pemotongan daun dan akar dan (d) bibit asal cabutan alam yang
sudah stabil
C.2. Sistem penyemaian benih/generatif (dari benih/biji)
Biji geronggang termasuk memiliki perkecambahan epigeal yaitu keping
lembaganya (cotyledon) terangkat ke atas tanah. Sehingga dalam proses
penaburan benih tidak terlalu dalam. Benih ditabur pada media tabur pasir: tanah
(1:1,v/v) kemudian benih ditutup media tipis-tipis, setebal 2/3 tebal benih
(panjang benih). Setelah benih berkecambah kemudian disapih ke dalam media
sapih. Media sapih yang bisa digunakan antara lain adalah campuran arang sekam
padi dan serbuk sabut kelapa (1 : 2, v/v) dengan naungan 25% menghasilkan
pertumbuhan bibit geronggang tertinggi dibandingkan dengan media lainnya
pada umur tiga bulan, yaitu tinggi 11,1 cm, diameter 1,51 mm, persen hidup
99,04% dan jumlah daun 11 (Danu & Kurniaty, 2013b). Media sapih lain yang
bisa digunakan adalah campuran kompos degan top soil (1:1, v/v) (Junaedi, 2015).
51
Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Potensial Bumi Lancang Kuning
a b
c d
Gambar 4.5. Pembibitan geronggang sistem generative dengan menggunakan
benih yang disemaikan (a) penyemaian benih, (b) kecambah , (c)
semai yang sudah bisa disapih dan (d) bibit yang dihasilkan)
C.3. Sistem vegetatif dengan stek pucuk
Teknik perbanyakan vegetatif tanaman geronggang dengan stek dapat
menggunakan media pasir dengan tambahan zat pengatur tumbuh IBA 1500
ppm. Perlakuan ini dapat menghasilkan persen berakar 66,67% dan panjang tunas
enam cm. Media zeolite, media campuran sabut kelapa dan arang sekam padi
(2:1,v/v), dan media campuran serbuk sabut kelapa dan sekam padi (2:1,v/v)
dengan tambahan zat pengatur tumbuh IBA 1500 ppm dapat menghasilkan
persentase berakar stek geronggang masing-masing sebesar 43,33%, 60% dan
53,33% (Danu & Putri, 2014). Prosedur penyetekan dilakukan dengan cara bahan
stek pucuk dipotong dengan ukuran minimal dua ruas daun atau tiga nodul.
Daun-daun pada bahan stek dipotong separuhnya, bila ada tunas atau daun muda
(shoot tip) sebaiknya dibuang. Bagian dasar bahan stek kemudian direndam
dalam larutan IBA 1500 ppm selama sepuluh menit, kemudian ditanam pada
media stek dalam pot tray yang telah disterilkan. Selanjutnya pot tray diletakan
di rumah kaca yang dilengkapi dengan sistem pendingin (cooling sistem) (Sakai
&Subiakto, 2007) atau sungkup plastik yang memiliki suhu 25 °C - 30°C dengan
kelembaban ≥ 90%.
52
Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Poensial Bumi Lancang Kuning
Media pasir dan zeolit serta campuran serbuk sabut kelapa + sekam padi
(2:1, v/v) dapat digunakan sebagai media perakaran stek geronggang, karena
media pasir dan zeolit memiliki kerapatan lindak yang tinggi (0,98 g/cc dan 0,85
g/cc) dengan drainase yang baik (16,52% dan 25,08%). Namun kemampuan
kedua media ini untuk mempertahankan ketersediaan air dalam media sangat
rendah (7,34% dan 3,21%) sehinga perlu dilakukan menyiraman lebih intesif
(setiap hari). Media campuran serbuk sabut kelapa + sekam padi (2:1, v/v)
memiliki bulk density yang rendah (0,46 g/cc dan 0,34 g/cc), drainasi yang baik
(8,71% dan 9,05%) dan daya simpan air yang cukup (13,24% dan 15,50%) (Danu
& Putri, 2014).
Hasil penelitian Wahyuningtyas (2016) menunjukkan penggunaan media
pasir sungai, campuran gambut+sekam padi (3:1), campuran top soil+sekam padi
(3:1), campuran sabut kelapa+sekam (2:1) mampu menghasilkan persen stek
berakar geronggang 56,25-80%. Untuk meningkatkan pertumbuhan akar stek
dapat menggunakan hormon perangsang akar (Rootone F). Stek geronggang
mulai berakar setelah empat minggu. Bibit dapat disapih dengan media top
soil+sekam (3:1) atau gambut+sekam (3:1). Pertumbuhan tinggi bibit dengan
kedua media tersebut berkisar satu cm/minggu dan pertambahan daun dua
lembar per tiga minggu. Bibit geronggang umumnya siap tanam setelah umur
enam bulan di persemaian.
a b c
Gambar 4.6. Pembibitan gerunggang sistem vegetative stek pucuk (a) bahan
stek, (b) stek ditanam pada media dengan rumah tumbuh sisten
KOFCO, (c) stek gerunggang umur( tiga bulan setelah tanam)
b)
D. Penutup
Pembangunan hutan tanaman geronggang dapat menggunakan bibit
yang bermutu secara genetik dan fisiologis. Hal ini dapat dilakukan dengan cara
53
Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Potensial Bumi Lancang Kuning
menggunakan benih yang dikumpulkan dari tegakan yang unggul dan memiliki
keragaman genetik yang luas serta pembibitan yang tepat. Pengadaan bibit juga
dapat dilakukan melalui pengumpulan anakan alam maupun bibit yang
dihasilkan dari perbanyakan vegetatif.
Daftar Pustaka
Alimah, D. & Rusmana. 2013. Fenologi berbunga dan berbuah jenis-jenis pohon hutan
rawa gambut. Prosiding Ekpose Hasil Penelitian. 30 tahun BPK Banjarbaru
dalam pembangunan Kehutanan. BPK banjarbaru, 19 September 2013. 100 -
106. Editor: Tjuk Sasmito, Yudi Firmanl Arifin, Hamdani Fauzi.
Danu & Putri, K.P. (2014). Teknik perbanyakan tanaman geronggang (Cratoxylem
arborescens (Vahl) Blume dengan stek pucuk. Prosiding Seminar Nasional
Silvikultur II. Pembaruan Silvikultur untuk mendukung pemulihan fungsi
hutan menuju ekonomi hijau. Yogyakarta 28-29 Agustus 2014. Editor:
Daryono Prehaten, Atus Syahbudin, Roma Dian Andiyani. Fakultas Kehutanan
Universitas Gajah Mada, Masyarakat Silvikultur Indonesia (MASSI) dan DITjen
BPDAS PS Kementerian Kehutanan.
Danu & R. Kurniaty (2013a). Pengaruh media dan naungan terhadap pertumbuhan
pembibitan geronggang (Cratoxylom arborescens (Vahl) Blume). Jurnal
Perbenihan Tanaman Hutan Volume 1 (1). 43-50.
Danu & R. Kurniaty (2013b). Penggunaan beberapa macam media dan naungan dalam
pembibitan geronggang (Cratoxylom arborescens (Vahl) Blume). Prosiding
Seminar Nasional Silvikultur I & Pertemuan Ilmiah Masyarakat Silvikultur
Indonesia. Optimalisasi Peran Silvikultur intuk menjawab tantangan
Kehutanan masa depan. Makasar, 29-30 Agustus 2013. Editor: Baharuddin
Nurkin, H.M. Restu, Samuel A. Paembonan, Syamsuddin Millang, Mukrimin.
Fakultas Kehutanan UNHAS dan Masagena Press dan Masyarakat Silvikultur
Indonesia.
Dharmawati F.D., Danu, Yulianti, Mindawati, N., & Wahyuningtyas, R.S. (2013). Potensi
pengembangan sumber benih jenis geronggang (Cratoxylem arborescens
(Vahl) Blume di lahan gambut Kalimantan. Prosiding Seminar Nasional
Agroforsstri IV.Banjarbaru, 26-27 Oktober 2013. Editor: Mahrus Aryadi,
Hamdan Fauzi, Trisnu Satriadi. (Fakultas Kehutanan Univ Lambung
Mangkurat, Pemkab Banjar, Indonesia Network For Agroforstry Education).
Dharmawati, F.D. (2015). Metode Rumpang mempengruhi produktivitas tanaman
geronggang (Cratoxylom arborescens (Vahl) Blume). Di dalam KHDTK
Tumbang Nusa-Kalimantan Tengah. Buletin Penelitian Hutan Lestari
Produktif. Volume 18 Eds Oktober 2015. Perhutani.
Graudal, L. and E.D. Kjaer. 1998. Priorities and strategies for tree improvemen. Danida
Forest Seed Centre. Humlebaek. Denmark.
54
Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Poensial Bumi Lancang Kuning
IFSP (Indonesia Forest Seed Project). 2000. Pengaruh dari kegiatan penanganan benih
dan persemaian terhadap mutu benih. Bahan Kursus Biologi Benih, 7-18
Februari 2000 di Bogor.
Junaedi, A. 2015. Pertumbuhan dan mutu bibit geronggang (Cratoxylum arborescens)
pada tiga wadah bibit. Prosiding Workshop ITTO Project PD. 710/13 Rev.1 (F)
“Improving appreciation and awareness on conservation of high value
indigenous wood species of Sumatra” pada Tanggal 23 April 2015 di Pekanbaru.
Balai Penelitian Teknologi Serat Tanaman Hutan. Kuok.
Lauridsen, E.B. 2000. Monitoring seed quality in seed production. Lecture note for course
in seed biology. Bogor 12-24 June 2000. Indonesia Forest Seed Project.
Bandung.
Mulawarman, JM Roshetko, SM Sasongko and D Irianto. 2003. Tree Seed Management –
Seed Sources, Seed Collection and Seed Handling: A Field Manual for Field
Workers and Farmers. International Centre for Research in Agroforestry
(ICRAF) and Winrock International. Bogor, Indonesia. 54
National Research Council. 1991. Managing global genetic resources, forest trees.
National Academy Press, Washington D.C.
Nurhasybi & D.J. Sudrajat. 2008. Optimalisasi pengumpulan benih tanaman hutan sebagai
salah satu upaya memperbaiki mutu benih. Info Benih (in press). Balai
Penelitian Teknologi Perbenihan Bogor. Bogor.
Peraturan Menteri Kehutanan No:P.1/Menhut-II/2009 tentang Penyelenggaraan
Perbenihan Tanaman Hutan. Jakarta
Sakai, C. & Subiakto A. (2007). Manajemen Persemaian KOFFCO Sistem. Bogor:
Kerjasama Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan - Komatsu-JICA.
Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam.
Spiegel, M.R. 1972. Theori and problems of statistics. S1 (Metric) edition. Schaum’s
Outline Series. McGraw-Hill Book Company. New York.
Suryanto, H. 2013. Pengaruh beberapa perlakuan penyimpanan terhadap perkecambahan
benih suren (Toona sureni). Jurnla Penelitian Kehutanan Wallcea. Volme 2 (1):
26-40
Wahyuningtyas, R & A. Susianto. 2016. The Effect Of Rooting Media On The Success Of
Cratoxylum arborescens Cuttings. Proceeding International Seminar “The 1st
International Conference on Innovation and Commercialization of Forest
Product”. Lambung Mangkurat University.
Wright, J.W. 1962. Genetics of Forest Tree Improvement. Food and Agriculture
Organization of The United Nations (FAO). Rome.
Yuwati, T.W., Hakim, S.H., & Alimah, D. (2008). Pengaruh aplikasi mikoriza arbuskula
terhadap pertumbuhan geronggang (Cratoxylon arborescens) di persemaian.
Jurnal Hutan Trofis. Volume 6 (2). 170 – 176
55
Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Potensial Bumi Lancang Kuning
56
Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Poensial Bumi Lancang Kuning
V.
STATUS KESEHATAN GERONGGANG
(Studi Tahun 2012 – 2014)
(Avry Pribadi)
(Ahmad
57
Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Potensial Bumi Lancang Kuning
Kerusakan pada tingkat tegakan dapat disebabkan oleh serangan
serangga, patogen, maupun aktivitas manusia. Kerusakan yang ditimbulkan oleh
ketiga faktor tersebut dapat terjadi secara sinergitas ataupun berdiri sendiri-
sendiri. Kegiatan identifikasi terhadap tanda dan gejala dari kerusakan yang
terjadi merupakan informasi yang penting agar dapat diketahui seluruh
kemungkinan penyimpangan dari kondisi yang telah stabil. Untuk itu diperlukan
kegiatan untuk memonitor tingkat kesehatan hutan pada tingkat tegakan yang
akan berkaitan dengan survey untuk produktivitas tegakan. Beberapa hal yang
perlu diperhatikan antara lain adalah mengetahui tanda dan gejala kerusakan,
kemungkinan tegakan menjadi mati sebagai akibat dari kerusakan yang terjadi,
penentuan kategori tingkat kerusakan, dan meminimalisasi terjadinya double
interpretation terhadap satu obyek yang sama.
Salah satu pedoman dalam melakukan monitoring adalah dengan
menggunakan Forest Health Monitoring Field Methods Guide. Pada pedoman ini
terdapat tujuh indikator pokok yang digunakan untuk menilai kesehatan hutan,
yaitu klasifikasi kondisi tajuk, nilai hutan, radiasi aktif, penentuan kerusakan dan
kematian, struktur vegetasi, laju fotosintesis, keberadaan lichen, dan tanaman
bioindikator keberadaan ozon. Akan tetapi menurut Supriyanto et al. (2001)
terdapat empat indikator dari tujuh indikator pada FHM Methods Guide yang
memiliki kesesuaian untuk hutan tropis seperti Indonesia. Empat faktor tersebut
adalah produksi, keragaman (biodiversitas), kesehatan, dan kualitas tapak. Untuk
memperoleh informasi yang lengkap mengenai keempat faktor tersebut,
dibutuhkan beberapa parameter pendekatan seperti tingkat pertumbuhan pohon,
periode permudaan dan kematian, keadaan tajuk dan strukturnya, struktur
vegetasi, biodiversitas, kerusakan tegakan yang disebabkan oleh faktor biotik dan
abiotik, hama dan penyakit, dan kondisi sosial ekonomi.
Dalam kasus tegakan geronggang ini, indikator tingkat kesehatan hutan
hanya dibatasi pada tingkat kerusakan dan kematian tegakan geronggang yang
ditanam di lahan gambut pada tahun 2012 s.d 2014. Konsep penilaian kesehatan
hutan berdasarkan pada tingkat kerusakannya ini menilai kesehatan hutan
dengan berdasar pada kesehatan pohon penyusunnya dan kesehatan pohon itu
sendiri dipengaruhi oleh keberadaan dan level kerusakan yang ada pada pohon
tersebut (Mangold, 2000).
58
Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Poensial Bumi Lancang Kuning
Berikut beberapa parameter tentang kriteria tingkat kesehatan hutan
yang hanya menggunakan parameter tingkat kerusakan dan kematian tegakan
kesehatan tegakan berdasarkan Irwanto (2006), yaitu:
1. Kematian Pohon
Setiap pohon sampel diamati penampilan fisik pada seluruh bagiannya dan
seluruh parameter yang ditemukan diuraikan singkat. Kodefikasi untuk
parameter yang menyebabkan tegakan mati ini dimulai dari angka 001 hingga
999 berdasar perkiraan tingkat penyebab kematiannya.
2. Kerusakan Pohon
Pada parameter ini, tingkat kerusakan pohon didasarkan pada beberapa
faktor penentu, yaitu
a. Gejala dan tanda kerusakan pada setiap pohon sampel
b. Penampakan kemunculan perakaran di permukaan tanah
c. Kerusakan diklasifikasikan menurut lokasi tempat terjadinya kerusakan
d. Penilaian tingkat keparahan (severity level).
59
Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Potensial Bumi Lancang Kuning
Tabel 5.2. Kodefikasi mengenai jenis-jenis kerusakan yang dialami oleh tanaman
No. Kode Jenis Kerusakan
01 Kanker
02 Terdapat jamur yang terlihat dari adanya fruiting body
03 Luka terbuka
04 Gumosis
11 Akar atau batang patah
12 Tunas berair
13 Akar patah > 0,91 m
21 Die back
22 Patah dan mati
24 Kerusakan pada daun dan tunas
25 Warna daun berubah
31 Kerusakan lain
Sedangkan untuk tingkat keparahan dari masing-masing tipe kerusakan
menggunakan klasifikasi yang sedikit dimodifikasi untuk memperlebar kisaran
sebagai berikut:
Tabel 5.3. Kodefikasi untuk penentuan tingkat keparahan (severity level)
Kode Kisaran Keparahan (%) Keterangan
1 0 – 20 Sangat ringan
2 21 – 40 Ringan
3 41 – 60 Sedang
4 61 – 80 Berat
5 81 – 100 Sangat Berat
60
Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Poensial Bumi Lancang Kuning
Pengamatan tingkat kesehatan geronggang di tahun 2012 menunjukkan
bahwa jenis atau tipe kerusakan oleh organisme pengganggu tanaman (OPT)
tertinggi adalah jenis ulat pemakan daun (defoliator) yang termasuk dalam ordo
Lepidoptera. Serangan ulat tertinggi terjadi pada bulan Juni dan Agustus yang
menyerang hampir 50% dari seluruh tegakan Geronggang. Akan tetapi, infestasi
ulat pemakan daun ini memiliki kecenderungan menurun di akhir pengamatan
pada bulan November 2012 yang hanya mencapai nilai 31,28%. Berbeda dengan
ulat pemakan daun, jenis kerusakan yang disebabkan oleh jenis kepik penghisap
daun muda (ordo Hemiptera) menunjukkan kecenderungan meningkat pada
akhir pengamatan di bulan November. Hama ini cenderung menyerang daun
muda dan pucuk-pucuk daun sehingga menyebabkan berkurangnya jumlah daun
jika serangan hama ini mewabah dan menyebabkan munculnya terubusan. Tipe
kerusakan lainnya adalah luka terbuka yang diduga disebabkan oleh rusa ataupun
babi. Bagian batang yang diserang akan tampak seperti terkelupas dan apabila
kerusakan ini terjadi pada hampir seluruh keliling batang, maka dapat
menimbulkan kematian.
Salah satu hama pemakan daun adalah jenis ulat yang berasal dari ordo
Lepidoptera. Ordo Lepidoptera merupakan kelompok kupu-kupu dan ngengat.
Pada fase dewasa hama ini memiliki ciri-ciri seperti kupu-kupu pada umumnya
yaitu memiliki (i) dua pasang sayap bersisik halus, (ii) bermetamorfosis secara
sempurna, (iii) tipe mulut menghisap, dan (iv) memiliki mata faset besar.
Sedangkan pada fase ulat atau larva memiliki tipe mulut menggigit dan nafsu
makan yang sangat besar. Hama ulat yang ditemukan di tanaman geronggang
memiliki kecenderungan untuk menempelkan dua daun dengan menggunakan
jalinan benang halus terutama jika mendekati fase pupa (Gambar 5.1). Pada fase
awalnya, ulat akan memakan jaringan yang ada pada daun berawal dari bagian
dalam daun sehingga akan tampak semacam terowongan-terowongan nekrosis di
permukaan daun. Fase pupa atau kepompong memiliki ukuran tidak lebih dari
satu cm dengan warna kecoklatan.
61
Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Potensial Bumi Lancang Kuning
Gambar 5.1. Kerusakan yang ditimbulkan akibat serangan hama ulat pemakan
daun
Gambar 5.2. Tanda kehadiran lichen ataupun penyakit karat daun pada
permukaan daun geronggang yang menutupi permukaan daun
sehingga menghalangi proses fotosintesa
62
Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Poensial Bumi Lancang Kuning
Pada pengamatan tahun 2013, hama ulat pemakan daun masih menjadi
hama yang dominan sama seperti yang terjadi pada tahun 2012. Meskipun sempat
turun pada pengamatan bulan Juni, persentase serangan jenis hama ini kembali
mengalami peningkatan pada bulan Agustus. Sedangkan pada kelompok hama
kedua yang mendominasi adalah kepik (Hemiptera) yang menunjukkan
kecenderungan menurun. Lebih lanjut, pada tahun 2013 muncul jenis kerusakan
lain yaitu nekrosis yang disebabkan oleh keberadaan lichen ataupun penyakit
jarat daun yang menutup permukaan daun. Sampai saat ini penulis belum
mengetahui secara pasti organisme penyebab penyakit ini (Gambar 5.2). Infestasi
jenis penyakit ini menjadi yang paling mendominasi pada akhir pengamatan di
bulan Agustus dibandingkan dengan ulat.
Lichen adalah suatu bentuk symbiosis antara kelompok fungi dengan satu
atau lebih organisme yang memiliki kemampuan berfotosintesa seperti alga
ataupun cyanobacterium (Jovan, 2008). Dari potongan secara melintang, dapat
dilihat bahwa bagian organisme yang berfotosintesis berada di tengah atau
diselimuti oleh fungi. Fungi memiliki fungsi untuk menyediakan air yang
diperlukan oleh proses fotosintesa yang akan dilakukan oleh algae sedangkan
algae akan menghasilkan produk fotosintesa yang akan dimanfaatkan oleh fungi.
63
Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Potensial Bumi Lancang Kuning
Adapun fungsi cyanobacteria adalah memfiksasi nitrogen di alam untuk dapat
digunakan oleh algae sebagai sumber nitrogen (Gambar 5.3). Sebenarnya lichen
jika tumbuh pada bagian tanaman tidak bersifat parasit, melainkan
memanfaatkan bagian tanaman tersebut sebagai substrat. Terhalangnya bagian
daun oleh lichen dapat mengurangi luas permukaan daun yang terekspose oleh
matahari dan dapat menjadikannya lembab sehingga dapat memicu terjadinya
nekrosis sebagai akibat dari kehadiran mikroorganisme pathogen.
Kemungkinan kedua adalah disebabkan oleh penyakit karat daun. Pada
umumnya, penyakit karat yang menyerang daun ditandai dengan kemunculan
bercak nekrosis kecil yang tidak beraturan pada permukaan dorsal daun.
Sedangkan pada fase awal serangan biasanya muncul gejala karat pada bagian
ventral daun (Sumartini, 2010). Lama kelamaan, bercak tersebut akan berubah
warna menjadi kuning tua hingga kecoklatan dan membentuk suatu bentuk yang
disebut pustule. Pustule merupakan sekumpulan uredium yang berbentuk seperti
tepung yang memiliki warna orange atau jingga menyerupai karat besi (Sugiarti,
2017). Tepung ini sebenarnya merupakan spora-spora jamur (urediospora).
Untuk menginfeksi, urediospora harus masuk ke dalam tumbuhan melalui
stomata. Ketika mencapai mulut stomata, spora akan mulai berkecambah
kemudian membesar dan membentuk apresorium yang merupakan alat untuk
mempenetrasi masuk ke dalam lubang stomata. Lama kelamaan, akan terbentuk
substansi yang berbentuk seperti gelembung yang kemudian tumbuh menjadi
hifa yang kemudian akan membentuk alat yang bernama haustorium yang
berfungsi untuk menghisap makanan dari sel induk (Semangun, 1996).
Tingkat keparahan (severity level) selama pengamatan tahun 2013
menunjukkan kecenderungan peningkatan sampai akhir pengamatan. Tingkat
keparahan dari seluruh bagian tanaman yang diobservasi seperti daun, batang,
ujung tunas, dan akar yang berada pada kategori 4 (berat) pada akhir pengamatan
mengalami peningkatan menjadi 4,14% dari hanya 0,25% pada awal pengamatan
di bulan Maret sedangkan tingkat keparahan 1 (sangat ringan) mengalami
penurunan dari 68,96% menjadi 50,83% pada akhir pengamatan. Hal ini
memperlihatkan bahwa tingkat kesehatan tegakan Geronggang terus menurun
memasuki umur dua tahun, meski begitu, secara umum tegakan geronggang
masih berada pada kategori tingkat keparahan yang ringan dan sangat ringan.
64
Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Poensial Bumi Lancang Kuning
Gambar 5.4. Kerusakan yang disebabkan oleh aktivitas rusa atau babi (terlihat
kulit batang seperti terkelupas)
Salah satu jenis kerusakan yang dominan pada tegakan geronggang pada
tahun 2013 adalah luka terbuka. Luka ini terlihat seperti disebabkan oleh
aktivitas hewan liar karena terlihat tidak beraturan. Di beberapa pengamatan,
luka yang disebabkan hanya berupa gesekan kecil tetapi terdapat juga beberapa
tegakan yang terluka hampir di seluruh keliling bagian batang (Gambar 5.4) yang
disebabkan oleh gesekan babi ataupun rusa hutan terhadap batang. Rusa
merupakan jenis hewan nocturnal yang hanya aktif pada malam hari. Rusa jantan
memiliki tanduk yang akan terus tumbuh dan harus terus menggosokkan
tanduknya agar menjaga tetap tumbuh. Aktivitas menggosok inilah yang
mengakibatkan kerusakan pada batang tanaman. Kulit pohon yang terkelupas
dapat membuat pohon rentan akan serangan hama dan penyakit. Selain itu,
apabila aktivitas menggosok tanduk ini menyebabkan kerusakan hingga
mencapai lapisan kambium maka akan dapat berakibat lebih fatal bagi tanaman.
Jaringan pengangkut seperti floem dan xylem akan rusak yang lama kelamaan
tenaman akan mati karena kekurangan nutrisi sebagai akibat rusaknya jaringan
pengangkut. Sedangkan babi, lebih banyak menyerang batang tanaman yang
masih muda.
65
Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Potensial Bumi Lancang Kuning
Tabel 5.4. Rekapitulasi tingkat kesehatan tegakan geronggang tahun 2012
Rangking
No Parameter
1 2 3 4 5
Ulat Kepik Luka Leaf
1 Tipe kerusakan Lichen
(Lepidoptera) (Hemiptera) terbuka spot
% Maret 46.11 4.66 3.37 3.89 41.97
% Agustus 31.70 9.81 0.00 5.66 52.83
% November 45.31 4.74 0.00 8.55 40.31
2 Lokasi kerusakan Daun Batang Akar
% Maret 91.46 8.04 0.50
% Agustus 94.21 5.03 0.50
% November 81.92 4.37 0.44
3 Tingkat keparahan 1 2 3 4 5
% Maret 48.58 23.58 20.17 7.67 0.00
% Agustus 94.21 5.03 0.50 5.64 0.23
% November 96.12 1.71 0.17 1.92 0.08
Tabel 5.5. Rekapitulasi tingkat kesehatan tanaman jenis geronggang tahun 2014
Rangking
No Parameter
1 2 3 4 5
Ulat Kepik Luka Leaf
1 Tipe kerusakan Lichen
(Lepidoptera) (Hemiptera) terbuka spot
% Maret 46.11 4.66 3.37 3.89 41.97
% Agustus 31.70 9.81 0.00 5.66 52.83
% November 45.31 4.74 0.00 8.55 40.31
2 Lokasi kerusakan Daun Batang Akar
% Maret 91.46 8.04 0.50
% Agustus 94.21 5.03 0.50
% November 81.92 4.37 0.44
3 Tingkat keparahan 1 2 3 4 5
% Maret 48.58 23.58 20.17 7.67 0.00
% Agustus 94.21 5.03 0.50 5.64 0.23
% November 96.12 1.71 0.17 1.92 0.08
50 Kepik
penghisap (32)
Luka terbuka (3)
40
Die back (21)
30
20
10
0
Juni 2012 Agustus 2012
November 2012Maret 2013 Juni 2013 Agustus 2013 Maret 2014 Agustus 2014
November 2014
100
80
sangat
60 ringan
ringan
40
sedang
20
0
Juni 2012 Agustus November Maret 2013 Juni 2013 Agustus Maret 2014 Agustus November
2012 2012 2013 2014 2014
69
Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Potensial Bumi Lancang Kuning
Daftar Pustaka
Grabow, B. (2016). Enviromental Conditions Associated with Stripe Rust and Leaf Rust.
Kansas State university.
Irwanto. (2006). Penilaian kesehatan hutan tanaman tegakan Jati (Tectona grandis) dan
Eucalyptus (Eucalyptus pellita) pada kawasan hutan Wanagama i. Yogyakarta.
Jovan, S. (2008). Lichen Bioindication of Biodiversity , Air Quality, and Climate : Baseline
Results From Monitoring in Washington, Oregon, and California. Washington.
Mangold, R. D. (1998). Overview of the Forest Health Monitoring Program. Integrated
Tools Proceedings, 129–140.
Mangold, R. D. (2000). Overview of the Forest Health Monitoring Program; In Hansen,
Mark; Burk, Thomas, eds. Integrated tools for natural resources inventories in
the 21st century. An International Conference on the Inventory and
Monitoring of Forested Ecosystems, 129–140. Idaho: U.S. Department of
Agriculture.
Pan, H., Liu, B., Lu, Y., & Wyckhuys, K. A. G. (2015). Seasonal Alterations in Host Range
and Fidelity in the Polyphagous Mirid Bug, Apolygus lucorum (Heteroptera :
Miridae ) 1–17. https://doi.org/10.1371/journal.pone.0117153
Petzoldt, C., & Seaman, A. (2010). Climate Change Effect on Insects and Pathogens.
Reddy, P. P. (2013). Impact of climate change on insect pests, pathogens and nematodes.
Pest Management in Horticultural Ecosystems, 19(2), 225–233.
Salisbury, J. W., & Ross, C. W. (1995). Fisiologi Tumbuhan. Bandung: Institut Teknologi
Bandung.
Semangun, H. (1996). Pengantar Ilmu Penyakit Tumbuhan. Yogyakarta: Gadjah mada
University Press.
Smith, R. (1997). Phisiology of Tree Resistance to Insect. Annual Review of Entomology,
20, 75–91.
Sugiarti, L. (2017). Analisis Tingkat Keparahan Penyakit Karat Daun pada Tanaman Kopi
Arabika di Kebun Percobaan Fakultas Pertanian Universitas Winaya Mukti
Tanjungsari. JAGROS, 1(2), 80–89.
Sumartini. (2010). Penyakit karat pada kedelai dan cara pengendaliannya yang ramah
lingkungan. Jurnal Litbang Pertanian, 29(3), 107–112.
Supriyanto, Soektjo, & Justianto, A. (2001). Assessment of Production Indicator in Forest
Health Monitoring to Monitor the Sustainability of Indonesian Tropical Rain
Forest (I. C. Stuckle, C. A. Siregar, Supriyanto, & J. Kartana, Eds.). Bogor: ITTO
and SEAMEO-BIOTROP.
70
Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Poensial Bumi Lancang Kuning
VI.
SIFAT DASAR KAYU GERONGGANG
(Yeni Aprianis)
(Ahmad
72
Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Poensial Bumi Lancang Kuning
a b c d
Gambar 6.1. Penampang lintang makro (a), penampang lintang mikro (b),
penampang radial mikro (c), penampang tangensial mikro (d) kayu
gerunggang diameter 15 cm
a b c d
Gambar 6.2. Penampang lintang makro (a), penampang lintang mikro (b),
penampang radial mikro (c), penampang tangensial mikro (d)
kayu gerunggang diameter 20 cm
a b c d
Gambar 6.3. Penampang lintang makro (a), penampang lintang mikro (b),
penampang radial mikro (c), penampang tangensial mikro (d) kayu
gerunggang diameter 25 cm
Dimensi serat geronggang yang telah dilaporkan pada Jurnal Ilmu Kayu
Tropis Indonesia adalah dimensi serat kayu geronggang yang diperoleh dari alam
yaitu dari Kabupaten Bengkalis yang tidak diketahui umurnya, sedangkan yang
73
Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Potensial Bumi Lancang Kuning
dari Lubuok Ogung, Kab. Pelalawan berumur 4,5 tahun. Dimensi serat
geronggang dapat dilihat pada Tabel 6.1. Bila geronggang dibandingkan dengan
A. crassicarpa, terlihat bahwa A. crassicarpa memiliki serat yang lebih panjang.
Perbedaan panjang serat ini disebabkan oleh perbedaan jenis kayu namun
ditenggarai juga disebabkan oleh sumber benih A. crassicarpa yang telah melalui
kegiatan pemuliaan.
Tabel 6.1. Dimensi serat dan diameter geronggang
Geronggang
A.
Dimensi serat Alam (Bengkalis) 4,5
crassicarpac
G1a G2a G3a G4b tahunb
Panjang serat (µm) 1230 1327 1257 1156 1134 1306
Diameter serat (µm) 28,09 31,18 28,85 24,63 25,60 34,24
Tebal dinding sel (µm) 2,10 2,07 2,00 7,17 7,43 -
Diameter setinggi dada (cm) 15 20 25 24,30 11,04 18
a) Rinanda et al (2012); b) Aprianis, et al (2018); c) Suhartati, et al (2014)
75
Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Potensial Bumi Lancang Kuning
serat lebih luas, akan menghasilkan lembaran pulp dengan kekuatan jebol, tarik
dan lipat yang tinggi. Serat dengan bilangan Runkel yang rendah juga memiliki
dinding sel yang tipis dan diameter lumen lebar sehingga serat dalam lembaran
dapat menggepeng seluruhnya dan ikatan antar serat dapat terjadi lebih baik.
Nilai daya tenun merupakan perbandingan panjang serat dengan
diameter serat. Semakin besar perbandingan tersebut maka semakin tinggi
kekuatan sobek dan semakin baik daya tenun seratnya. Semakin panjang serat
maka semakin tinggi kekuatan sobek karena serat yang panjang menyebabkan
jalinan antara serat yang juga semakin panjang dan gaya sobek akan terbagi dalam
luasan yang lebih besar (Syafii & Siregar, 2006). Nilai daya tenun serat
geronggang berkisar 42-44. Nilai daya tenun geronggang yang berasal dari
Bengkalis ini tidak terlalu berbeda dengan daya tenun kayu Macaranga hypoleuca
dari Jambi, yaitu 40 (Aprianis dan Rahmayanti, 2009).
Muhlsteph ratio adalah perbandingan antara luas penampang dinding
serat terhadap luas penampang melintang serat. Muhlsteph ratio geronggang
berkisar 24-27% (Tabel 6.2) yang berdasarkan klasifikasi termasuk pada golongan
II, karena berada dalam range 20-30% (Haroen, 2016). Namun menurut Anonim
(1976) bahwa Muhlsteph ratio kecil atau dibawah 30% termasuk dalam klasifikasi
kualitas kelas I. Sedangkan Rasio flexibilitas (kelemasan) adalah perbandingan
diameter lumen dengan diameter serat. Pada Tabel 6.2 terlihat bahwa rasio
felxibilitas geronggang adalah 0,85.
76
Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Poensial Bumi Lancang Kuning
selnya. Umumnya kayu berberat jenis tinggi akan menghasilkan pulp yang sulit
digiling, tebal, kekuatan sobek tinggi, kekuatan tarik, jebol dan lipatnya rendah.
(Haroen, 2016). Kayu dengan berat jenis tinggi biasanya digunakan untuk
konstruksi. Menurut Paradis et al. (2012) bahwa berat jenis geronggang adalah
0,45 dimana tergolong kayu dengan berat jenis ringan. Rerata berat jenis untuk
kayu pulp berkisar 0,4-0,6 sehingga geronggang berada dalam kategori kayu
dengan berat jenis yang sesuai untuk tujuan produk pulp.
Sifat mekanika kayu adalah perilaku kayu terhadap beban luar yang
mengenainya. Sehingga sifat mekanika dikenal dengan kekuatan tekan, kekuatan
tarik, kekuatan geser, kekuatan lengkung, kekuatan belah, kekerasan dan
lainnya. Mengetahui sifat mekanika lebih diperuntukan untuk kayu konstruksi.
Kekuatan kayu tergantung kerapatannya. Semakin tinggi kerapatannya maka
semakin tinggi pula kekuatannya (Desch, 1996). Pada Gambar 6.4 terlihat bahwa
sifat mekanik geronggang seperti kekuatan kayu, kekuatan pukul, kekuatan
lentur statis dan modulus elastis tergolong rendah, sedangkan penyusutan
koefisien volumetrik dan total penyusustan tangensial tergolong medium. Dari
data ini geronggang dapat dimanfaatkan untuk konstruksi ringan, seperti selama
ini yang sudah dilakukan oleh masyarakat Bengkalis, Riau yang menggunakan
kayu geronggang sebagai kayu pancang.
Gambar 6.4. Grafik sifat fisika dan mekanik geronggang (Paradis et al., 2012)
77
Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Potensial Bumi Lancang Kuning
C. Sifat Kimia Kayu
Sifat kimia kayu adalah perilaku kayu berdasarkan sifat kimia penyusun
kayu. Kayu tersusun atas bahan penyusun dinding sel dan bahan di luar dinding
sel kayu. Bahan kimia yang menyusun dinding sel kayu adalah selulosa, lignin
dan hemiselulosa, serta zat ekstraktif. Seringkali kegagalan pengolahan kayu
menjadi pulp disebabkan oleh adanya lignin atau ekstraktif kayu. Penggunaan
kayu untuk tujuan konstruksi lebih banyak berhubungan dengan berat jenis
kayu, kekuatan, kekerasan dan bukan karena adanya zat ekstraktif. Bahan kimia
yang terkandung dalam kayu berhubungan dengan sifat keawetan atau
ketahanan kayu. Selulosa memiliki persentase yang tinggi dari penyususn kayu,
diiikuti oleh lignin dan hemiselulosa. Ketiga penyususun kayu tersebut bersifat
higroskopis atau sangat suka air. Kemudian bahan kimia yang ada diluar dinding
sel adalah zat ekstraktif yang dapat diekstrak keluar dengan mudah (Prayitno,
2007).
Pada kajian ini penulis lebih banyak membahas mengenai sifat dasar kayu
geronggang sebagai bahan baku pulp. Komponen kimia kayu sangat
mempengaruhi kualitas dan kuantitas pulp yang dihasilkan. Seperti yang
disampaikan sebelumnya, secara umum komponen kimia penyusun kayu adalah
selulosa, hemiselulosa, lignin, dan ekstraktif.
C.1. Selulosa
Selulosa merupakan komponen terbanyak dalam kayu lunak dan kayu
keras dengan jumlah mencapai hampir setengahnya yaitu 40–50% (Fengel dan
Wegener, 1995). Kadar selulosa geronggang berkisar 39,71–40,72% (Tabel 6.3).
Selulosa adalah polimer rantai lurus yang tersusun oleh monomer unit β (1-4)
glukosa (Pettersen, 1984). Ikatan hidrogen antara molekul selulosa
mengakibatkan kekuatan serat selulosa yang tinggi (kekuatan tarik) dan tidak
mudah larut dalam kebanyakan pelarut (Sjӧstrӧm, 1995). Kandungan selulosa
pada kayu mempengaruhi kekuatan tarik pada pulp (Casey, 1980).
C.2. Hemiselulosa
Pada kayu, hemiselulosa hadir berdampingan dengan selulosa dan sangat
penting dalam proses pembuatan kertas karena dapat meningkatkan ikatan antar
serat. Hemiselulosa adalah campuran polisakarida yang rantainya bercabang
terdiri dari glukosa, mannosa, galaktosa, xylosa, arabinosa, asam glukoronik, dan
asam galaktoronik (Pettersen, 1984). Fengel dan Wegener (1995) menyatakan
78
Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Poensial Bumi Lancang Kuning
hemiselulosa dapat meningkatkan kekuatan kertas (khususnya kekuatan tarik,
jebol, dan lipat) dan rendemen pulp. Kandungan hemiselulosa terbukti
berhubungan dengan hidrasi pulp yang cepat, pembentukan ikatan antar serat
yang lebih banyak dan lebih baik, dan pembentukan lembaran yang rapat
(Bowyer et al., 2007).
Komposisi hemiselulosa pada kayu keras antara 20–30% (Sjӧstrӧm, 1995).
Kandungan hemiselulosa geronggang berada pada kisaran tersebut yaitu 29,97–
30,68% (Tabel 6.3). Sebagai perbandingan, kandungan hemiselulosa pada kayu
Eucalyptus hibrid umur 4, 5, 6, dan 10 tahun berturut-turut sebesar 29,86%,
29,33%, 28,55%, dan 31,09% (Roliadi et al., 2010). Peningkatan kadar
hemiselulosa memberikan hasil kekuatan tarik lembaran pulp yang cenderung
meningkat mengikuti komposisi hemiselulosa (Roliadi et al., 2010).
C.3. Lignin
Keberadaan lignin dalam dinding sel berfungsi untuk memberikan
ketegaran pada sel. Lignin berpengaruh dalam memperkecil perubahan dimensi
dan mengurangi degradasi pada sel. Konsentrasi lignin tertinggi terdapat dalam
lamela tengah dan akan semakin mengecil pada lapisan dinding sekunder
(Bowyer et al., 2007). Menurut Fengel dan Wegener (1995) lignin adalah struktur
makromolekul berbentuk amorf yang terdiri atas sistem aromatik yang tersusun
atas unit-unit fenil propana. Di dalam sel kayu tidak diendapkan begitu saja
antara polisakarida dinding sel, tetapi terikat dan terasosiasi dengan polisakarida.
Bahkan polisakarida (karbohidrat) merupakan prasyarat untuk membentuk
makromolekul lignin dalam dinding sel tumbuhan. Ikatan antara polisakarida
dan lignin dinamakan komplek lignin-polisakarida.
Kandungan lignin pada kayu keras di daerah sub tropis bekisar antara 20–
25%, sedangkan pada kayu tropis kandungannya bisa lebih besar dari 30%
(Sjӧstrӧm, 1995). Kadar lignin geronggang berada pada kisaran 21,71-23,70%
(Tabel 6.3). Nilai ini masuk dalam kisaran yang dinyatakan oleh Sjostrom (1995).
Sedangkan kandungan lignin pada kayu A. mangium berkisar 27,30% (Marsoem,
2004).
Keberadaan lignin di dalam serat akan mengganggu ikatan gugus-gugus
hidroksil dari selulosa dan hemiselulosa sehingga akan menurunkan indeks jebol
lembaran kertas yang dihasilkan (Biermann, 1996). Selain itu keberadaan lignin
dalam kertas juga dapat menyebabkan kertas berubah warna menjadi kekuningan
79
Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Potensial Bumi Lancang Kuning
apabila dibiarkan dalam udara terbuka dan terkena sinar matahari (Bowyer et al.,
2007). Dari itulah, untuk kayu pulp lebih diinginkan kandungan lignin yang
rendah atau sebisa mungkin untuk menghilangkan kandungan lignin yang
dikandung oleh kayu tersebut.
C.4. Ekstraktif
Ekstraktif merupakan komponen kayu yang dapat larut dalam pelarut
polar dan nonpolar. Sejumlah kayu mengandung senyawa-senyawa ekstraktif
bersifat racun yang dapat mencegah bakteri, jamur, dan rayap (Fengel dan
Wegener, 1995). Keberadaan ekstraktif dalam kayu ini dapat menurunkan
rendemen pulp, meningkatkan konsumsi bahan kimia, dan jika tidak dihilangkan
akan menimbulkan masalah seperti munculnya busa selama proses pembuatan
kertas (Marsoem, 2012). Kadar ekstraktif kayu di daerah subtropis berkisar 4-
10%, sedangkan ekstraktif kayu tropis dapat melebihi 20% (Pettersen, 1984).
Pada Tabel 6.3 terlihat bahwa ekstraktif etanol-toluena kayu geronggang berkisar
4,74 –4,89%.
Tabel 6.3. Sifat kimia kayu geronggang
Geronggang
Sifat kimia
Alam Umur 4,5 tahun
Ekstraktif (%) 4,89 ± 1,44 4,74 ± 1,14
Lignin (%) 21,71 ± 1,79 23,70 ± 1,45
Selulosa (%) 40,72 ± 1,79 39,71 ± 0,76
Hemiselulosa (%) 29,97 ± 1,51 30,68 ± 0,93
Sumber : Aprianis et al (2018)
80
Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Poensial Bumi Lancang Kuning
Daftar Pustaka
Anonim. (1976). Vademecum Kehutanan Indonesia. Departemen Pertanian. Direktorat
Jenderal Kehutanan, Jakarta.
Aprianis, Y & Rahmayanti. S. (2009). Dimensi serat dan nilai turunannya dari tujuh jenis
kayu asal Propinsi Jambi. Jurnal Penelitian Hasil Hutan. Vol. 27 (1), 11-20.
Aprianis, Y., Akbar, O.T & Rizqiani, K.D. (2018). Perbandingan sifat bahan baku dan pulp
kraft geronggang (Cratoxylon arborescen) alam dan tanaman. Jurnal Ilmu dan
Teknologi Kayu Tropis. Vol 16 (2), 177-183.
Bierman, C.J. 1(996). Handbook of pulping and papermaking second edition. Academic
Press, California.
Bowyer, J.L., R. Shmulsky & J.G Haygreen. (2007). Forest product and wood science an
intoduction fifth edition. Blackwell Publishing, Oxford.
Casey JP. 1980. Pulp and paper chemistry and chemical technology vol.II . Interscience
Publishing Inc., New York.
Desch, H.E. (1996). Timber: Structure, Properties, Conversion and Use, 7thedition. Food
Products Press, New York.
Fengel. D dan G. Wegener. (1995). Kimia, ultrastruktur, reaksi-reaksi kayu. Gadjah Mada
University Press. Yogyakarta.
Haroen, W.K. (2016). Teknologi serat bahan baku pulp kertas. CV. Agung Ilmu, Bandung.
Ibrahim, M & Abdelazim (2015). Effect of Growth Rate on Fiber Characteristics of
Eucalyptus camaldulensis Wood of Coppice Origin Grown in White Nile State,
Sudan. Journal of Natural Resource and Enviromental, 6456(3), 14–23.
Kacik, F., Durkociv, J., & Kacikova, D. (2012). Chemical Profiles of Wood Components
of Poplar Clones for Their Energy Utilization. Energies, 5:5243–5256.
http://doi.org/10.3390/en5125243.
Marsoem, S.N. (2004). Pemanfaatan hasil hutan tanaman Acacia mangium. Pembangunan
Hutan Tanaman Acacia mangium : Pengalaman di PT. Musi Hutan Persada.
Hardiyanto E.B dan H. Arisman (Ed). Palembang PT. Musi Hutan Persada,
Sumatera Selatan.
Marsoem, S.N. (2011). Sifat-sifat dasar kayu. Buku Ajar Fakultas Kehutanan, Universitas
Gadjah Mada.
Marsoem, S.N. (2012). Pulp dan kertas. Bahan Kuliah Mahasiswa Jurusan Teknologi Hasil
Hutan. Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada. (Tidak dipublikasikan).
Yogyakarta.
Martawiajaya, A., Kartasujana, I., Kadir, K & Prawira, S.A. (2005). Atlas Kayu Indonesia
Jilid I. Departemen Kehutanan Badan Penelitian dan Pengembangan
Kehutanan.
Osman, S.O., Ahmed, A.A & Yaseen, A.A. (2015). Study the effect of age wood chemical
compound of Eucalyptus camaldulensis and Populus nigra growing in erbil
governorates. International Journal of Life Sciences Research. Vol 3 (4), 61-66.
81
Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Potensial Bumi Lancang Kuning
Paradis, S., Thevenon, M.F., Brancheriau, L & Langbour, P. (2012). Tropix 7: The main
technological characteristics of 245 tropical wood species. Conference: IUFRO
Conference-Division 5: forest products. At Estoril, Portugal.
DOI:10.5281/zenodo.44995.
Pettersen, R.C. (1984). The chemical composition of wood. The Chemistry of Solid Wood.
Rowell. R (Ed). American Chemical Society. Washington.
Pratiwi, B.H. Narendra, G.M.E. Hartoyo, T. Kalima & S. Pradjadinata. (2014) Atlas jenis-
jenis pohon andalan setempat untuk rehabilitasi hutan dan lahan di Indonesia.
A. Ngaloken Gintings (Ed). Forda Press, Bogor.
Prayitno. (2007). Teknologi Hasil Hutan. Program Studi Ilmu Kehutanan, Fakultas
Kehutanan, Universitas Gadjah Mada.
Prosea. (1994). Soerianegara, I & Lemmens, R. H. M. J (eds). Plant Resources of South-
East Asia No 5 (1). Timber trees : minor commercial timber. Genus:
Cratoxylum. Backhuys Publishers, Leiden.
Rinanda, R., Suhartati, Rahmayanti, S., Winarsih, A., Sutrisno, E., & Putra., A.M. (2012).
Kajian Sifat Dasar dan Kegunaan Kayu Jabon (Anthocephalus cadamba Miq.)
dan gerunggang (Cratoxylon arborescens BI.) Laporan Hasil Penelitian. Balai
Penelitian Teknologi Serat Tanaman Hutan. Kuok-Riau.
Roliadi, H., Dulsalam, dan D. Anggraini. (2010). Penentuan Daur Teknis Optimal dan
Faktor Eksploitasi kayu Hutan Tanaman Jenis Eucalyptus Hybrid sebagai
Bahan Baku Pulp. Pusat Penelitian dan Pengembangan Keteknikan Kehutanan
dan Pengolahan Hasil Hutan. Jurnal Penelitian Hutan .Vol 28 (4): 332-357.
Roque, R. M. & Fo, M. T. (2007). Wood Density and Fiber Dimensions of Gmelina arborea
in Fast Growth Trees in Costa Rica : Relation to the Growth Rate. Investigacion
Agraria : Sistemas y Recurcos Forestales, 6(3), 267–276.
Saito, H., Shibuya, M., Tuah, S. J., Turjaman, M., Takahashi, K., Jamal, Y., Segah, H., Putir,
P. E., & Limin, S. H. (2005). Initial Screening of Fast-Growing Tree Species
Being Tolerant of Dry Tropical Peatlands in Central Kalimantan, Indonesia.
Journal of Forestry Research, 2, 1–10.
Sjöström, E. 1995. Kimia Kayu, Dasar-Dasar dan Penggunaan. Terjemahan Gadjah Mada
University Press, Yogyakarta.
Suhartati, S. Rahmayanti, A. Junaedi & E. Nurrohman. 2012. Sebaran dan Persyaratan
Tumbuh Jenis Alternatif Penghasil Pulp di Wilayah Riau. Kementerian
Kehutanan. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Jakarta.
Suhartati, Rochmayanto, Y., & Daeng, Y. (2014). Dampak penurunan daur tanaman HTI
acacia terhadap kelestarian produksi, ekologis dan sosial. Info Teknis Eboni, 11
(2):103–116.
Syafii, W & Siregar, I.Z. (2006). Sifat kimia dan dimensi serat kayu mangium (Acacia
mangium Willd) dari tiga provenans. Jurnal Ilmu dan Teknologi Kayu Tropis.
Vol. 4 (1): 29-32.
Zobel, B.J. (1998). Juvenil wood in forest tress. Springer-Verlag Berlin Heidelberg.
82
Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Poensial Bumi Lancang Kuning
VII.
KUALITAS KAYU DAN SERAT GERONGGANG:
DAMPAKNYA PADA POTENSI PEMANFAATAN
(Eka Novriyanti)
(Ahmad
Ringkasan
83
Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Potensial Bumi Lancang Kuning
Geronggang merupakan salah satu jenis lokal di Riau yang saat ini sedang
bergaung terutama karena potensinya untuk dikembangkan sebagai tanaman HTI
pulp (Akbar et al., 2016; Aprianis et al., 2018). Jenis ini juga memiliki kandungan
kimiawi yang juga dapat dimanfaatkan untuk pengobatan dan kayunya memiliki
potensi untuk bahan baku pulp. Saat ini kayu dari jenis ini sudah dimanfaatkan
secara lokal oleh masyarakat Riau untuk cerocok dan bahan bangunan (Lumy,
2019). Di belahan bumi yang lain, kayu geronggang dimanfaatkan untuk
konstruksi ringan, kotak dan crate yang tidak membutuhkan kekuatan tinggi,
cement-board, papan partikel, wool kayu, pulp dan kayu energi (arang dan kayu
bakar), paneling untuk interior, furnitur, blockboard, fiberboard, veneer
plywood, bahkan instrumen musik (CIRAD, 2012; Fern, 2019; ITTO, 2012;
PlantUse, 2017). Pengembangan pemanfaatan kayu dan serat geronggang masih
sangat terbuka lebar dengan semakin beragamnya kebutuhan manusia dan
semakin mutakhirnya perkembangan di bidang teknologi produk hasil hutan,
tentunya dengan memperhatikan atribut yang dimiliki oleh kayu geronggang
sendiri.
Di Malaysia, hanya dalam jumlah kecil kayu geronggang yang ditemukan
di pasaran. Meskipun begitu, perdagangan komersial kayu geronggang di
Malaysia sudah tercatat sejak tahun 1983 dalam bentuk kayu bulat maupun kayu
gergajian yang pada umumnya diekspor ke Singapura. Ekspor kayu geronggang
dari Malaysia ini mencapai nilai hingga 1,5 juta dolar Amerika dari volume ekspor
8500 m3 log dan 5000 m3 kayu gergajian pada tahun 1992 (PlantUse, 2017).
Nilai dan volume ekspor kayu geronggang Indonesia belum tersedia
laporannya. Nilai komersil geronggang di Indonesia tercatat di Bengkalis, Riau.
Di lokasi tersebut, geronggang sudah diusahakan dalam bentuk tanaman rakyat
dengan jarak tanam 1 x 1 (m) sehingga dalam 1 ha bisa menghasilkan setidaknya
9500 batang geronggang (Syamsuar, 2018). Jika batang geronggang dijual untuk
tujuan cerocok saja (tujuan penggunaan yang paling sederhana) dan dianggap
nilai jualnya sama dengan harga saat ini (tahun 2019) di Riau yaitu Rp
10.000/batang, maka dalam tiga hingga empat tahun saat dipanen dari areal seluas
satu ha akan diperoleh Rp 95.000.000. Namun agar diperoleh tujuan
pembangunan yang lestari maka pengusahaan geronggang haruslah dalam bentuk
hutan tanaman, baik yang diusahakan oleh rakyat maupun oleh perusahaan.
Pengusahaan dalam bentuk hutan tanaman ini direkomendasikan karena potensi
alami geronggang yang tercatat saat ini tidaklah besar. Secara alami, geronggang
84
Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Poensial Bumi Lancang Kuning
bukan merupakan tumbuhan dominan di habitatnya. Laporan Heriyanto dan
Subiandono (2007) menyebutkan bahwa INP geronggang pada tingkat pohon
hanya 8,8% di kelompok hutan Sungai Bepasir - Sungai Sidung (Kabupaten
Tanjung Redep, Kalimantan Timur).
Geronggang, Cratoxylon arborescens (Vahl) Blume, secara alami tersebar
di Asia Tenggara seperti di Indonesia, Malaysia, Myanmar dan Filipina (Aprianis
et al, 2018; Barri et al., 2018; CIRAD, 2012;). Di Indonesia, geronggang ditemukan
di Sumatera, Kalimantan, Jawa dan Sulawesi (PlantUse, 2017). Jenis ini biasanya
ditemukan tumbuh tersebar berasosiasi dengan dipterokarpa di hutan rawa, rawa
gambut mulai dari pesisir pantai hingga hutan sub-pegunungan (ketinggian > 900
m dpl) (Fern, 2019; Heriyanto & Subiandono, 2007; ITTO, 2012).
Geronggang dapat berupa perdu hingga pohon yang jika tempat
tumbuhnya sesuai tingginya dapat mencapai 50 m dengan diameter hingga 120
cm yang terkadang menggugurkan daun namun biasanya merupakan evergreen
(PlantUse, 2017; ITTO, 2012). Jenis ini diklasifikasikan sebagai ‘less concern’
dalam The IUCN Red List (Fern, 2019). Perbanyakan geronggang dapat
diilakukan melalui biji yang prosedurnya tidak terlalu rumit untuk dilakukan.
Batang geronggang lurus dan jarang berbanir dengan bebas cabang yang cukup
tinggi. Junaedi (Junaedi, 2018) melaporkan bahwa riap pertumbuhan tinggi dan
diameter geronggang adalah 1,18-2,89 m/tahun dan 0,96-2,08 cm/tahun.
Informasi yang lebih lengkap mengenai budidaya geronggang dapat disimak pada
bab sebelumnya mengenai informasi awal budidaya geronggang. Pada bagian ini
pembahasan akan lebih ditekankan kepada potensi pemanfaatan kayu dan serat
geronggang untuk berbagai produk akhir berdasarkan karakteristik kayu dan
seratnya.
86
Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Poensial Bumi Lancang Kuning
Tabel 7.1. Rangkuman atribut kayu dan serat geronggang
Sifat yang
dipengaruhi Potensi Nilai atribut kayu
Atribut kayu Sumber
terkait end- penggunaan geronggang
product
Anatomi
Micro Fibril Kekakuan dan Konstruksi, n/a (Zhang, 2003)
Angle penyusutan; komposit
stabilitas
dimensi
Dimensi serat Kekuatan pulp Pulp,kertas, Panjang serat 1250 (Rinanda et al.,
komposit µm 2012)
Fisis mekanis
kerapatan/ Kekuatan 0,45 (CIRAD, 2012;
berat jenis produk, pulp ITTO, 2012;
yield Rinanda et al.,
2012)
Warna n/a Putih pink hingga (CIRAD, 2012;
coklat merah (color ITTO, 2012;
index 5 dengan 1-7 PlantUse, 2017)
= gelap-terang)
Tekstur Mempengaruhi Kekasaran sedang (CIRAD, 2012;
sifat permesinan ITTO, 2012;
PlantUse, 2017)
Grain Sifat Lurus, interlocked (CIRAD, 2012;
permesinan dan ITTO, 2012;
stabilitas PlantUse, 2017)
dimensi
Permeabilitas Mempengaruhi Konstruksi, Relative tinggi (CIRAD, 2012;
keterawetan, komposit PlantUse, 2017)
assembling,
impregnasi,
stabilitas
dimensi
Penyusutan Stabilitas Furniture, 2,2-2,6 (PlantUse,
radial, % dimensi papan, 2017)
konstruksi
Penyusutan Stabilitas Furniture, 4,2-4,7 (PlantUse,
tangensial, % dimensi papan, 2017)
konstruksi
Modulus of Kekuatan konstruksi 67,520.5 (Rinanda et al.,
elasticity (MOE), 2012)
kg/cm2
Modulus of Kekuatan konstruksi 600.6 (Rinanda et al.,
rupture (MOR), 2012)
kg/cm2
87
Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Potensial Bumi Lancang Kuning
Keteguhan tekan Kekuatan konstruksi 288.1 (Rinanda et al.,
// serat, kg/cm2 2012)
Keteguhan tekan Kekuatan konstruksi 96.8 (Rinanda et al.,
//serat, kg/cm2 2012)
Keteguhan geser Kekuatan konstruksi 83.2 (Rinanda et al.,
(R), kg/cm2 2012)
Keteguhan geser Kekuatan konstruksi 96.3 (Rinanda et al.,
(T), kg/cm2 2012)
Keteguhan pukul Kekuatan konstruksi 17.4 (Rinanda et al.,
(R), kg m/dm3 2012)
Keteguhan pukul Kekuatan konstruksi 16.8 (Rinanda et al.,
(T), kg m/dm3 2012)
Keteguhan belah Kekuatan konstruksi 21.9 (Rinanda et al.,
(R), kg/cm 2012)
Keteguhan belah Kekuatan konstruksi 27.4 (Rinanda et al.,
(T), kg/cm 2012)
Keteguhan Kekuatan konstruksi 20.9 (Rinanda et al.,
tarik//(R), 2012)
kg/cm2
Keteguhan Kekuatan konstruksi 32.8 (Rinanda et al.,
tarik//(T), kg/cm2 2012)
Keteguhan tarik Kekuatan konstruksi 507.0 (Rinanda et al.,
sejajar // (R), 2012)
kg/cm2
Keteguhan tarik Kekuatan konstruksi 592.9 (Rinanda et al.,
sejajar // (T), 2012)
kg/cm2
Kekerasan ujung, Kekuatan konstruksi 354.1 (Rinanda et al.,
kg/cm2 2012)
Kekerasan sisi, Kekuatan konstruksi 240.5 (Rinanda et al.,
kg/cm2 2012)
Kimia
Titik jenuh air Kekuatan, Furniture, 31 (CIRAD, 2012)
(%) keawetan, konstruksi
proses
pengerjaan
Kadar abu (%) Proses pulping Pulp, kertas, 0,64 (Rinanda et al.,
selulosa dan 2012)
turunan
Kadar silika (%) Proses pulping, Pulp, kertas, 0,21 (Rinanda et al.,
proses selulosa dan 2012)
permesinan turunan
kayu
Ekstraktif dalam Pulping dan Pulp, kertas, 1,65 (Rinanda et al.,
air dingin pengerjaan kayu selulosa dan 2012)
turunan
88
Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Poensial Bumi Lancang Kuning
Ekstraktif dalam Pulping dan Pulp, kertas, 5,77 (Rinanda et al.,
air panas pengerjaan kayu selulosa dan 2012)
turunan
Ekstraktif dalam Pulping dan Pulp, kertas, 1,87 (Rinanda et al.,
alkohol – pengerjaan kayu selulosa dan 2012)
benzene turunan
Ekstraktif dalam Pulping dan Pulp, kertas, 11,21 (Rinanda et al.,
NaOH 1% pengerjaan kayu selulosa dan 2012)
turunan
Kadar lignin (%) Pulping dan Pulp, kertas, 22,7 (Aprianis et al.,
rendemen pulp selulosa dan 2018)
turunan
Kadar pentosan Pulping dan Pulp, kertas, 14,98 (Rinanda et al.,
(%) rendemen pulp selulosa dan 2012)
turunan
Kadar selulosa Pulping dan Pulp, kertas, 51,87 (Rinanda et al.,
(%) rendemen pulp selulosa dan 2012)
turunan
Hemiselulosa Pulping dan Pulp, kertas, 30,32 (Aprianis et al.,
rendemen pulp selulosa dan 2018)
turunan
Nilai kalor Fire safety n/a 4,29 (Rinanda et al.,
(kal/gr) 2012)
Keawetan Serviceability Konstruksi, Non-durable (CIRAD, 2012;
papan, ITTO, 2012;
furniture PlantUse, 2017)
Keterawetan Serviceability Konstruksi, Mudah (CIRAD, 2012;
papan, PlantUse, 2017)
furniture
89
Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Potensial Bumi Lancang Kuning
Paku/sekrup n/a Komposit, mudah (CIRAD, 2012;
engineered ITTO, 2012)
wood
Adhesive n/a Komposit, UF baik, PF tidak (PlantUse,
engineered direkomendasikan 2017)
wood
Faktor kualitas n/a Alat musik 101,6 pada 2589 hz (CIRAD, 2012)
musical
90
Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Poensial Bumi Lancang Kuning
Tabel 7.3. Kriteria kualitas serat kayu untuk bahan baku pulp dan kertas dan
kualitas serat geronggang
91
Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Potensial Bumi Lancang Kuning
sobek yang tinggi pada lembaran (Casey et al., 1980; Ververis et al., 2004). Serat
geronggang memiliki Runkle, Muhlsteph dan fleksibilitas yang sangat baik,
walaupun felting power atau daya tenunnya rendah, namun secara umum serat
geronggang akan menghasilkan lembaran dengan kekuatan mekanis yang cukup
baik dengan kekuatan sobek dan tarik yang tinggi. Lembaran dengan kekuatan
mekanis tinggi cocok sebagai bahan baku pembuatan kertas tulis, print dan
kemasan (Ververis et al., 2004).
B.2. Konstruksi
Penggunaan kayu sebagai material konstruksi suatu struktur memiliki
nilai lebih dari sisi estetika, lebih ramah lingkungan (Kuzman & Grošelj, 2012)
juga toleransi terhadap gempa apabila desainnya sesuai. Namun begitu sifat-sifat
alami kayu menyebabkan keterbatasan pemanfaatannya sebagai kayu konstruksi,
hanya kayu yang memiliki kekuatan tinggi dan awet yang bisa dipilih. Karena
itulah struktur bangunan yang dikonstruksi dari kayu solid bernilai luxurius yang
tinggi karena hanya menggunakan kayu berkualitas tinggi yang mahal. Biasanya
kayu dengan kekuatan yang tinggi tersebut memiliki sifat pertumbuhan yang
lambat sehingga ketersediaan kayu tersebut biasanya terbatas. Pemanfaatan
keteknikan kayu dapat dilakukan untuk meningkatkan kekuatan dan keawetan
jenis-jenis kayu yang kurang kuat dan awet sehingga memberikan alternatif
produk di pasaran.
Penggunaan kayu untuk peruntukan konstruksi tidak hanya dapat
ditutupi dari kayu solid namun juga dari produk komposit kayu dan engineered
wood. Tiang yang terbuat dari laminated timber dan laminated veneer lumber
(LVL) seringkali memiliki kekuatan yang jauh lebih tinggi dari kayu aslinya.
Walaupun begitu, pada bagian ini hanya dibahas mengenai karakter kayu
geronggang dalam penggunaannya sebagai kayu konstruksi secara konvensional
dalam bentuk kayu solid.
Kayu solid akan berkualitas tinggi jika memilliki bentuk yang lurus, bebas
cacat, kestabilan dimensi yang tinggi, awet, kuat dan kaku. Sifat fisis mekanis
merupakan karakter atribut kayu yang menentukan kualtasnya. Kayu
geronggang sudah dimanfaatkan sebagai kayu konstruksi ringan di Malaysia dan
di Indonesia tercatat di Riau (Lumy, 2019; PlantUse, 2017). Secara umum,
geronggang tidak memiliki sifat fisik dan mekanikal yang tinggi dan juga
termasuk dalam kelompok kayu tidak awet yang memerlukan perlakuan
92
Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Poensial Bumi Lancang Kuning
pengawetan untuk meningkatkan masa pakainya (Tabel 7.1) sehingga
pemanfaatannya untuk konstruksi hanya direkomendasikan untuk penggunaan
konstruksi ringan di dalam ruangan. Pemanfaatan kayu solid sebagai cerocok
tidak menuntut kekuatan yang tinggi dan masa pakai yang panjang karena
penggunaannya hanya bersifat sementara atau tidak lama, karena itulah
geronggang yang tidak memiliki kekuatan tinggi dan tidak awet dimanfaatkan
sebagai kayu cerocok di Riau.
Seperti yang disampaikan sebelumnya, kayu konstruksi eksterior
menuntut kekuatan dan keawetan yang tinggi dari kayu bahan bakunya agar
service yang diperoleh maksimal dan masa penggunaanya panjang. Dalam
meningkatkan nilai pemanfaatan kayu geronggang untuk tujuan konstruksi,
diperlukan aplikasi keteknikan kayu dan proses pengawetan. Namun belum
tersedia data mengenai performa peningkatan kualitas geronggang melalui wood
engineering sehingga masih diperlukan penelitian dan kajian terkait hal tersebut.
B.3. Komposit/wood engineering
Kayu komposit didefinisikan sebagai material yang merupakan campuran
dari kayu dan turunannya (serat, chip, blok, dan sebagainya) dengan material lain
yang digabung melalui suatu agen pengikat/penghubung tertentu. Barbu et al.
(Barbu et al., 2014) menyatakan bahwa kayu komposit dibuat dari bahan kayu
dan non kayu berlignoselulosa yang diikat/disatukan dengan perekat alami
ataupun sintetis. Sedangkan Stark et al. (Stark et al., 2010) menggunakan
terminologi komposit untuk semua material kayu yang digabung menggunakan
perekat.
Komposit kayu berkembang karena semakin sulitnya didapatkan kayu
berkualitas tinggi dengan ukuran yang diperlukan. Tujuan utama pengembangan
komposit kayu adalah untuk mengefisienkan penggunaan kayu (Barbu et al.,
2014) dan memperoleh produk dengan kekuatan dan derajat ekselensi yang
tinggi. Kayu komposit tidak dipengaruhi oleh karakter yang disebabkan oleh
pertumbuhan alami kayu sehingga kualitas alami kayu dapat dikesampingkan dan
kayu dengan kekuatan rendah dapat digunakan dalam fabrikasinya. Lebih lanjut,
seperti halnya kayu solid grade rendah, ekselensi kayu komposit bahkan dapat
lebih ditingkatkan dengan penambahan keawetan dan daya tahan bakarnya (fire
resistant).
93
Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Potensial Bumi Lancang Kuning
Komposit kayu dan produk keteknikan kayu (wood engineering)
memiliki kelebihan daripada kayu solid dalam hal: keseragaman yang tinggi,
karakter kinerja yang didefinisikan dengan baik, membutuhkan lebih sedikit
bahan kayu untuk mendapatkan karakter kekuatan yang sama, memiliki sumber
bahan baku yang sangat luas, dan dapat menggunakan kayu berkualitas rendah
(de la Roche et al., 2003) yang kekuatanya rendah secara alami maupun yang
disebabkan cacat. Di balik kelebihan produk komposit kayu, tidak semua produk
komposit memiliki karakter yang lebih baik dari kayu solid, beberapa produk
papan serat dan papan partikel tidak sesuai untuk penggunaan eksterior karena
daya adsorbsi airnya lebih tinggi sehingga mudah mengalami perubahan bentuk
(melengkung) atau mengembang, kadang dibutuhkan energi pemrosesan yang
besar, dan yang paling krusial adalah masalah emisi bahan beracun formaldehid
yang berasal dari perekat UF dan PF yang umum digunakan dalam produk
komposit kayu. Kekurangan ini dapat ditutupi dengan investasi penambahan
bahan lain untuk mengurangi daya adsorbsi air dan menggunakan perekat alami
atau perekat lain yang ramah lingkungan.
Komposit kayu menggunakan bahan dasar kayu dan turunannya dalam
berbagai bentuk dan ukuran, yaitu serat, partikel, serbuk kayu, serpih, vinir,
papan lamina dan kayu gergajian (Stark et al., 2010). Komposit kayu bahkan dapat
menggunakan limbah prosesing kayu atau limbah pertanian sebagai bahan
bakunya (Maloney, 1996). Dengan pengembangan komposit kayu maka
pemanfaatan kayu dapat lebih efisien menuju zero waste production. Klasifikasi
produk komposit kayu dapat dilihat pada Tabel 7.5.
Gambar 7.1. Beberapa contoh produk komposit kayu (Stark et al., 2010)
94
Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Poensial Bumi Lancang Kuning
Tabel 7.5. Klasifikasi produk komposit kayu
Sumber Kelompok produk Jenis produk
Maloney Produk panel Kayu lapis, blokboard, papan serat
(1996) (insulation dan hardboard), medium
density fiberboard (MDF), papan
partikel, waferboard, oriented strand
board (OSB), com-ply panel
Produk lumber dan timber Laminated veneer lumber (LVL), com-
ply lumber, parallel strand lumber
(parallam), oriented strand lumber
(OSL), railroad ties
Produk molding Panel automobile, door skins
Produk inorganic-bonded Wood-cement, wood gypsum
Stark et al. Produk berbasis vinir Kayu lapis, LVL, parallam (PSL),
(2010) Laminates Glue laminated timber, overlayed
materials, laminated wood-nonwood
komposit, multiwood komposit (com-
ply)
Material komposit Papan serat (low, medium, high
density), cellulosic fiberboard,
hardboard, papan partikel, waferboard,
flakeboard, OSB, laminated strand
lumber (LSL), OSL
Wood-nonwood komposit Wood fiber-polimer komposit,
Inorganic-bonded komposit
Produk komposit kayu dapat digunakan pada aplikasi non struktural dan
struktural baik untuk penggunaan interior maupun eksterior. Dalam hal ini,
komposit kayu harus memiliki sifat fisik mekanik yang baik. Geronggang dapat
dimanfaatkan menjadi produk komposit kayu untuk meningkatkan
penggunaannya hingga tujuan struktural eksterior yang sebelumnya tidak
memungkinkan dengan sifat alami kayunya. Kayu geronggang dapat dibuat vinir
dengan rotary peeling dan juga dengan metode slicing (ITTO, 2012) dan
selanjutnya dapat dikembangkan menjadi kayu lapis atau Laminated Veneer
Lumber (LVL). Kajian mengenai hal tersebut sejauh ini memang belum tersedia
untuk kayu geronggang dan perlu dilakukan, namun potensi pengembangan
geronggang sebagai produk komposit sangatlah besar. Potensi pengembangan
kayu geronggang untuk wood dan non-wood dan plastik komposit juga sangat
terbuka dikaji dan dikembangkan.
95
Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Potensial Bumi Lancang Kuning
B.4. Nanomaterial dan nanoteknologi
Berbicara tentang ukuran nano berarti berbicara tentang material
berukuran < 100 nanometer. Keterlibatan kayu geronggang dalam bahasan bisa
ditinjau dari dua sisi, sebagai bahan baku produk nano dan sebagai objek
peningkatan mutu dengan teknologi nano. Tentu saja prospek pengembangan
tersebut perlu dipertimbangkan dengan memperhatikan atribut dari kayu
geronggang sendiri. Kayu sebagai bahan berlignoselulosa dan interaksinya
dengan nanomaterial lain masih sangat terbuka luas untuk dikaji dan
dikembangkan (Anonymous, 2005).
Baik sebagai bahan baku produk nano (misalnya serat nanoselulosa dan
kristal nanoselulosa) maupun sebagai objek teknologi nano, karakter kayu
geronggang sangat memungkinkan untuk hal tersebut. Kayu geronggang
termasuk dalam kelas kayu tidak awet dengan kekuatan fisis mekanis yang
rendah (Tabel 7.1) sehingga perlu dilakukan peningkatan kualitas kayunya untuk
memperluas bidang pemanfaatannya. Kemudahan kayu geronggang untuk
diimpregnasi dengan suatu bahan (CIRAD, 2012; ITTO, 2012; PlantUse, 2017)
membuat hal ini dimungkinkan melalui aplikakasi teknologi nano. Kandungan
kimia kayu geronggang (Tabel 7.1 dan 7.4) juga membuka peluang bagi kayu ini
untuk dijadikan bahan baku produk nano karena memiliki kandungan selulosa
yang baik, kandungan lignin dan ekstaktif yang tolerable.
Kayu pada umumnya, termasuk geronggang, merupakan materi
biopolymer berlignoselulosa yang memiliki keunikan sifat dan karakteristik
sehingga merupakan area yang sangat potensial dalam hal nanoteknologi. Kayu
memiliki ketersedian yang melimpah di alam, renewable, memiliki struktur
nanofibril, memiliki potensi multifungsional dan dapat dikontrol dalam proses
assemblingnya (Anonymous, 2005; Beecher, 2007) Selulosa nanofibril memiliki
kekuatan yang tinggi dan juga fleksibilitas sehingga sangat berpotensi untuk
menghasilkan bahan yang kuat namun ringan dan awet (Anonymous, 2005).
Pada skala nano, sifat mekanis, elektris, optis, magnetis dan berbagai atribut
lainnya akan menunjukkan perilaku yang berbeda dari ukuran bulk-nya sehingga
dapat diperoleh bahan dengan kekuatan lebih tinggi, opasitas lebih besar, serta
kinerja elektris magnetis yang lebih baik (Anonymous, 2005).
96
Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Poensial Bumi Lancang Kuning
Lebih dari dua per tiga biomasa kayu dapat dirubah menjadi biofuel cair
dan monomer melalui fermentasi dan gasifikasi. Sisanya merupakan daerah dari
selulosa kristalin, yaitu polimer berbasis glukosa yang tersedia melimpah di alam.
Selulosa kristalin tersusun dari selulosa nanofibril yang berukuran kurang lebih
diameter 5-20 nm dan panjang 100-an nm, yang memerlukan teknologi tertentu
untuk dipecah dari bahan bulknya namun merupakan sumber potensial bagi
nanomaterial (Beecher, 2007). Sebuah matrik polimer yang melibatkan berbagai
tipe selulosa nanofibril – nanokristal, selulosa whiskers dan nanoselulosa dibuat
untuk menghasilkan komposit reinforced yang memiliki kekakuan 145 GPa dan
tensile strength 7,5 GPa. Nilai tersebut menyerupai nilai karbon nanotubes yang
saat ini digunakan untuk reinforcement pada berbagai material. Produksi
reinforcement dari nanomaterial kayu tentu saja akan lebih murah untuk
dilakukan jika dibandingkan karbon nanotubes (Beecher, 2007).
Beecher (2007) melaporkan bahwa penelitian di Amerika yang dimotori
oleh John Simonsen yang menggabungkan 10% selulosa nanofibril dalam poly-
(vinyl alcohol) dan matriknya ditautkan secara silang dengan poly-(acrylic acid)
menghasilkan bahan yang memiliki ekselensi tinggi. Bahan ini memiliki tensile
strength, keteguhan dan kestabilan thermal yang tinggi, serta karakter pelapisan
yang mendekati difusi molekul hidrofobik. Ini hanya salah satu contoh yang luar
biasa dari kajian produk nano dari kayu/selulosa.
Nanoteknologi juga dapat melibatkan kayu dan komposit kayu sebagai
objek dalam tujuan untuk meningkatkan proteksi terhadap kayu,
memperpanjang masa pakai dan meningkatkan kinerjanya. Taghiyari (2014)
menyampaikan berbagai peningkatan kualitas kayu dan kayu komposit dengan
nanoteknologi, diantaranya:
metal nano-partikel untuk memperbaiki konduktifitas termal.
Impregnasi kayu dengan metal nanopartikel, perak dan tembaga,
meningkatkan konduktifitas termalnya, mempercepat transfer panas dari
permukaan ke bagian dalam sehingga mengurangi over-heated dan
penurunan sifat mekanis oleh panas.
mineral dan metal nano-material untuk meningkatkan resistensi terhadap
serangan biologis dan api.
97
Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Potensial Bumi Lancang Kuning
Wollastonite nano-fiber dilaporkan dapat meningkatkan ketahanan kayu
poplar. NS, NC dan nao-zinc oxide juga meningkatkan resistensi kayu
terhadap serangan jamur pelapuk putih.
nanoteknologi untuk mengurangi waktu produksi dari panel komposit kayu,
Mineral dan metal nano-material yang memiliki koefisien konduktifitas
panas yang baik dilaporkan dapat mengurangi waktu pengempaan dan juga
memperbaiki sifat mekanis papan partikel.
nano-teknologi untuk meningkatkan water-resistant.
Nano-zycosil secara signifikan dapat mengurangi permeabilitas MDF
terhadap cairan dan gas, sehingga lebih memiliki kestabilan dimensi yang
baik.
Daftar Pustaka
Akbar, O. T., Aprianis, Y., & Novriyanti, E. (2016). Performance of geronggang
(Cratoxylon arborescens) at 4.5 years old as potential substitute for Acacia
crassicarpa in peat land. In H. Ohi, T. Ryohei, H. Liu, H. Zhang, Z. Lv, R. Daik,
… et al. (Eds.), Proceedings International Symposium on 2nd Resource
Efficiency in Pulp and Paper Technology (pp. 59–65). Bandung: Center for
Pulp and Paper.
Anonymous. (2005). Nanotechnology for the forest product industry. Wood and Fiber
Science, 37(4), 549–551.
Aprianis, Y., Akbar, O. T., & Rizqiani, K. D. (2018). Perbandingan sifat bahan baku dan
pulp kraft geronggang (Cratoxilum arborescen) alam dan tanaman. Jurnal Ilmu
Dan Teknologi Kayu Tropis, 16(2177–183).
Barbu, M. C., Reh, R., & Irle, M. (2014). Wood-based composites. In A. Aguilera & J. P.
Davim (Eds.), Research developments in wood engineering and technology
(pp. 1–45). https://doi.org/10.4018/978-1-4666-4554-7
Bayne, K. (2015). Wood quality considerations for radiata pine in international markets.
NZ Journal of Forestry, 59(4), 23–31.
Beecher, J. F. (2007). Organic materials: wood, trees, and nanotechnology. Nature, 2, 466–
467.
CIRAD. (2012). Tropix 7: Geronggang’s datasheet. Montpelleir: Tropical and
Mediterranean Forest Products Research Unit .
de la Roche, I. A., O’Connor, J., & Tetu, P. (2003). Wood products and sustainable
construction. Proceedings of the XII World Forestry Congress. Quebec.
Fengel, D., & Wegener, G. (1995). Kimia, ultrastruktur, reaksi-reaksi kayu. Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press.
Fern, K. (2019). Tropical plants database, Cratoxylum arborescens.
98
Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Poensial Bumi Lancang Kuning
Heriyanto, N. & Subiandono, H. (2007). Studi ekologi dan potensi geronggang
(Cratoxylon arborescens Bl.) di kelompok hutan Sungai Bepasir-Sungai
Siduung, Kabupaten Tanjung Redeb, Kalimantan Timur. Buletin Plasma
Nutfah, 13(2), 82–87.
ITTO. (2012). ITTO Lesser use species: geronggang. Yokohama.
Junaedi, A. (2018). Growth performance of three native tree species for pulpwood
plantation in drained peatland of Pelalawan District, Riau. Indonesian Journal
of Forestry Research, 5(2), 119–132.
Kuzman, M. K., & Grošelj, P. (2012). Wood as a construction material: Comparison of
Different construction types for residential Building using the analytic
hierarchy process. Wood Research, 57(4), 591–600.
Lumy, F. E. (2019, March). Hari Ini Gubri Syamsuar meninjau budidaya udang vaname
dan pohon geronggang di Pulau Bengkalis. GoRiau.
Maloney, T. M. (1996). The family of wood composite materials. Forest Product Journal,
46(2), 19–25.
Mitchell, H. L. (1961). A concept of intrinsic wood quality and nondestructive methods
for deermining quality in standing timber. Madison, Wisconsin.
MoEF. (2014). The fifth national report of Indonesia submitted to the Convention on
Biological Diversity (1st ed.; A. Suseno, V. S. Nalang, & L. Agustina, Eds.).
Jakarta: Deputy Minister of Environmental Degradation Control and Climate
Change Ministry of Environment and Forestry.
Perez, D. D. S., & Fauchon, T. (2003). Wood quality for pulp and paper. In J. R. Bartnett
& G. Jeronimidis (Eds.), Wood quality and its biological basis (pp. 157–186).
Boca Raton: Blackwell Publlishing.
PlantUse. (2017). Cratoxylum (PROSEA) -.
Rachman, A. N., & Siagian, R. M. (1976). Laporan LPHH No. 75: Dimensi serat jenis kayu
Indonesia Bagian III. Bogor.
Rinanda, R., Suhartati, Rahmayanti, S., Winarsih, A., Sutrisno, E., & Putra, A. (2012).
Laporan Hasil Penelitian: Sifat dasar dan kegunaan kayu jabon (Anthocephalus
cadamba Miq.) dan gerunggang (Cratoxylon arborescens BI.). Kuok, Riau.
Savidge, R. A. (2003). Tree growth and wood quality. In J. R. Bartnett & G. Jeronimidis
(Eds.), Wood quality and its biological basis (pp. 1–26). Boca Raton: Blackwell
Publlishing.
Stark, N. M., Cai, Z., & Carli, C. (2010). Wood-based composite materials panel products,
glued-laminated timber, structural composite lumber, and wood–nonwood
composite materials. In R. J. Ross (Ed.), Wood Handbook, wood as engineering
material (Centennial, pp. 11.2-11.26). Madison, Wisconsin: Forest Product
Laboratory, USDA.
Syamsuar. (2018). Geronggang, alternatif masa depan ekonomi Riau.
99
Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Potensial Bumi Lancang Kuning
Taghiyari, H. R. (2014). Nanotechnology in wood and wood-composite materials. Journal
of Nanomaterials & Nanotechnology, 3(1), 1–2.
https://doi.org/:http://dx.doi.org/10.4172/2324-8777.1000e106
Ververis, C., Georghiou, K., Christodoulakis, N., Santas, P., & Santas, R. (2004). Fiber
dimensions, lignin and cellulose content of various plant materials and their
suitability for paper production. Industrial Crops and Products, 19, 245–254.
https://doi.org/10.1016/j.indcrop.2003.10.006
Wardany, H. . (2002). Analisis sifat kimia dan sifat anatomi kayu mangium (Acacia
mangium Wild) pada berbagai provenansi. Institut Pertanian Bogor.
Zhang, S. Y. (2003). Wood quality attributes and their impacts on wood utilization.
Proceedings of the XII World Forestry Congress. Quebec.
100
Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Poensial Bumi Lancang Kuning
VIII.
PENGOLAHAN PULP DAN KERTAS
KAYU GERONGGANG
(Yeni Aprianis & Eka Novriyanti)
(Ahmad
101
Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Potensial Bumi Lancang Kuning
Pengolahan pulp secara bio-semi mekanis telah diteliti untuk jenis kayu yang
lebih ringan dibandingkan dengan kayu geronggang, yaitu pada jenis kayu
terentang (Camnosperma auriculta Blume Hook.F). Inkubasi kayu terentang
dengan jamur Phanerochaete chrysosporium dapat menghemat energi refening
sekitar 22,7% (Aprianis et al., 2016). Pengolahan pulp biologi ini mengharuskan
kondisi yang steril, memerlukan waktu yang lebih lama dan tempat inkubasi yang
luas. Batasan-batasan tersebut menyebabkan proses biologi ini belum dapat
digunakan secara luas.
A. Pengolahan Pulp
Seperti yang sudah disampaikan sebelumnya, pulp dapat diperoleh
melalui berbagai proses tergantung pada peruntukkannya. Pada bagian ini akan
disampaikan mengenai pengolahan pulp dari kayu geronggang secara semi
mekanis dan kraft.
A.1. Pengolahan pulp semi mekanis
Pengolahan pulp semi mekanis sudah mulai diterapkan semenjak tahun
1970-an. Walaupun saat ini pengolahan pulp kayu lebih banyak dilakukan secara
kimia karena memprioritaskan kekuatan atau sifat fisik pulp, namun pembuatan
pulp melalui proses mekanis/semi mekanis masih dilakukan dan terus mengalami
perkembangan teknologi. Pulp mekanis/semi mekanis merupakan bahan untuk
pembuatan kertas koran, majalah, kalender dan kertas gelombang yang
kebutuhannya mencapai 20-25% dari total kebutuhan pulp dunia (Yang et al.,
2008). Beberapa jenis proses pembuatan pulp mekanis dan semi mekanis yaitu:
RMP (Refiner Mechanical Pulping), TMP (Thermo mechanical Pulping) dan
CTMP (Chemo thermo mechanical Pulping) (Cameron, 2004).
Proses semi mekanis merupakan kombinasi pengolahan pulp melalui aksi
kimia dan mekanis. Tujuan utama dari proses mekanis adalah menguraikan serat
(refining) dengan memisahkan serat dari matrik kayu sebagai bahan kertas
dengan mempertahankan rendemen yang tinggi. Idealnya proses mekanis dapat
menghasilkan kondisi sebagai berikut: serat terpisahkan dari matrik kayu,
panjang serat dipertahankan, kumpulan serat harus diikuti dengan pengupasan
lapisan terluar lamela tengah, lapisan dinding primer, dan terakhir penguraian
permukaan dinding sekunder (Ilikainen, 2008).
102
Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Poensial Bumi Lancang Kuning
Tabel 8.1. Revolusi kertas
No Tahun Penemu /bangsa Keterangan
1 Tidak Bangsa sumeria Informasi ditulis di batu, kayu, bambu, kulit,
diketahui daun lontar dan tulang binatang
Menggunakan papirus sebagai media tulis pada
Tidak Peradaban mesir
2 zaman Firaun, kemudian menyebar ke Timur
diketahui kuno
Tengah, Romawi dan Eropa
3 101 M Tsai Lun (Cina) Membuat kertas dari bambu
Masa Abbasiyah Didirikan industri kertas di Baghdad, Samarkand
4 751 M
(Arab) dan kota industri lainnya
Abad ke- Gutenberg
5 Menemukan mesin cetak kertas
12 (Eropa)
Nicholas Louis
Menemukan screen wire yang digunakan untuk
6 1799 Robert
pembuatan kertas
(Perancis)
Membuat kertas lebih tipis menggunakan
7 1809 John Dickinson
fourdrinier
Friedrich gottlob Menemukan proses mekanis untuk pembuatan
8 1814
keller pulp dari kayu
Ditemukan steam cylinder untuk pengeringan
9 1826 Tidak diketahui
pembuatan kertas
Mengoptimalkan penggunaan fourdinier
10 1827 Amerika serikat sehingga kertas dari kain bekas menjadi
berkurang
Charles watt dan
11 1853-1854 Menemukan proses kimia soda
Hugh Burgess
Benjamin Chew
12 1857 Tilghman Menemukan proses sulfit
(Amerika)
Menemukan proses kraft yang berkembang &
13 1884 Carl Dahl merupakan proses yang paling banyak
digunakan saat ini.
Sumber : disimpulkan dari buku (Haroen, 2016)
103
Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Potensial Bumi Lancang Kuning
diilustrasikan secara sistematik oleh Franzen (Johansson et al., 2011) pada
Gambar 8.1.
garis perkiraan pemisahan
serat
Salah satu faktor yang penting pada proses pulping semi mekanis adalah
konsentrasi bahan kimia pemasak. Menurut Bierman (1996) variabel pada proses
pulp semi mekanis diantaranya adalah: jenis kayu, pola pisau refiner (disk dan
conical refiner), jarak antara plat refiner (0,005-0,1 inci), kecepatan refiner (800-
2000 rpm), suhu pemasakan (110-130 oC), dan jenis bahan kimia yang digunakan
(NaOH atau Na2SO3).
Pengolahan pulp semi mekanis kayu geronggang dilakukan dengan
menggunakan NaOH pada konsentrasi 6, 8 dan 10%, sedangkan variasi diameter
kayu geronggang yang digunakan adalah 10, 15 dan 20 cm. Rendemen pulp putih
yang diperoleh disampaikan pada Tabel 8.2. Rendemen terendah 73,76%
dihasilkan oleh geronggang berdiameter 15 cm dan perlakuan kondisi 10%,
sedangkan yang tertinggi sebesar 81,99% dari kayu geronggang berdiameter 10
cm dan perlakuan 6%. Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa diameter
dan konsentrasi NaOH serta interaksi keduanya berpengaruh sangat nyata
terhadap rendemen pulp putih (Aprianis & Sugesty, 2013).
Pada Tabel 8.2 terlihat bahwa semakin tinggi konsentrasi NaOH maka
rendemen yang dihasilkan semakin sedikit, artinya NaOH yang terlalu tinggi
akan ikut mendegradasi lapisan dinding sel kayu berupa selulosa dan
hemiselulosa. Perbedaan diameter kayu menyebabkan fluktuasi rendemen yang
dihasilkan, namun dari hasil penelitian ini terlihat kecenderungan bahwa
104
Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Poensial Bumi Lancang Kuning
semakin besar diameter maka semakin kecil rendemennya. Meski begitu, perlu
dilakukan kajian dengan menggunakan sampel yang jauh lebih banyak untuk
menghasilkan suatu pernyataan yang ideal terkait faktor diameter ini. Rendemen
pulp putih kayu geronggang melalui proses ini rata-rata sebesar 77,86%.
Tabel 8.2. Pengaruh diameter setinggi dada (dbh) dan konsentrasi NaOH
terhadap rendemen pulp putih
Konsentrasi dbh (cm)
NaOH 10 15 20
6% 81.99i 77.54e 80.69h
8% 77.67f 77.37d 78.12g
10% 77.02c 73.76a 76.6b
Keterangan: Angka-angka pada masing-masing kolom diikuti dengan huruf kecil yang
sama dan baris yang diikuti dengan huruf kecil kedua yang sama tidak berbeda nyata
dengan uji Tukey
Sumber : (Aprianis & Sugesty, 2013)
A.2. Pengolahan pulp secara kimia (kraft)
Pengolahan pulp secara kimia lebih banyak dilakukan oleh industri. Dua
proses kimia yang dominan digunakan adalah proses sulfit dan proses kraft.
Kedua proses tersebut sama-sama menggunakan tabung pemasak bertekanan atau
digester, namun proses sulfit yang ditemukan lebih dulu menggunakan berbagai
garam dari asam sulfur (SO3-2 atau HSO3-) untuk mengekstrak lignin dalam
menghasilkan selulosa. Kata kraft diambil dari bahasa jerman yang berarti kuat.
Ada juga yang mengistilahkan proses kimia ini sebagai proses alkali dan proses
sulfat, padahal larutan yang digunakan tidak menggunakan sulfat namun
menggunakan natrium hidroksida (NaOH) dan natrium sulfida (Na2S). Proses
sulfat memiliki keunggulan dibandingkan dengan proses sulfit, yaitu (Marsoem,
2012):
dapat menggunakan segala macam jenis kayu, sehingga pasokan
kayunya memiliki fleksibilitas yang tinggi (termasuk kayu residu)
memiliki toleransi terhadap serpih yang mengandung kulit cukup
banyak
waktu pemasakannya singkat
tidak ada masalah peresinan
pulp yang dihasilkan memiliki kekuatan tinggi
dari beberapa jenis kayu dapat dihasilkan produk berharga dalam
bentuk tall oil dan terpentin
pemulihan (recovery) bahan kimia yang digunakan relatif murah
105
Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Potensial Bumi Lancang Kuning
Dengan berbagai keunggulannya, namun untuk membangun pabrik
untuk proses kraft diperlukan investasi modal yang tinggi. Kelemahan lainnya
adanya masalah bau yang ditimbulkan oleh limbah gasnya, warna yang jelek dari
pulp yang tidak diputihkan, biaya pemutihan yang tinggi, kesulitan dalam
penghalusan kembali (refenning) dengan alkali untuk menghasilkan pulp
larut/encer dan kualitas penggilingan pulp yang lamban (Marsoem, 2012).
Kayu geronggang juga telah dipelajari pembuatan pulpnya melalui proses
kraft. Dalam kajian tersebut digunakan kayu geronggang yang tumbuh alami dan
geronggang tanaman berumur 4,5 tahun. Sifat pengolahan pulp geronggang yang
dihasilkan melalui proses kraft tersebut dapat dilihat pada Tabel 8.3.
Tabel 8.3. Sifat pulp kraft geronggang dan hasil analisis uji-T serta konsumsi
kayu
Geronggang
Sifat pulp kraft t Probabilitas
alam umur 4,5 tahun
Rendemen, % 46,75±0,92 48,15±0,83 -1,604 0,250
Bilangan kappa 20,05±0,30 16,09±2,17 2,558 0,125
Lignin pulp, % 7,21±0,26 4,28±0,10 14,788 0,005*
Konsumsi kayu, m3t-1 4,55 4,83 - -
Keterangan: * berbeda nyata pada taraf uji 95%
- = data tidak tersedia
Sumber : (Aprianis et al., 2018)
106
Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Poensial Bumi Lancang Kuning
rendemen pulp yang tinggi juga (Casey, 1980). Pada penelitian ini berat jenis
geronggang alam dan tanaman masing-masing 0,47 dan 0,43, sedangkan berat
jenis A. crassicarpa 0,49 (Suhartati et al., 2014) sehingga rendemen pulp yang
dihasilkan A. crassicarpa lebih tinggi. Konsumsi kayu geronggang alam dan
tanaman untuk memproduksi satu ton pulp berturut-turut adalah 4,55 dan 4,83
m3ton-1, sedangkan A. crassicarpa hasil pemuliaan sebesar 4 m3ton-1. Geronggang
tanaman membutuhkan bahan baku yang lebih banyak dibandingkan dengan
geronggang alam untuk menghasilkan satu ton pulp. Konsumsi kayu geronggang
memang masih di bawah konsumsi kayu krasikarpa, namun perlu diperhatikan
bahwa tanaman krasikarpa di sini telah melewati proses pemulian sehingga tidak
menutup kemungkinan geronggang akan menyamai bahkan melebihi
keunggulan krasikarpa jika dilakukan pemuliaan pada tanaman ini.
Bilangan kappa pulp geronggang yang dihasilkan berkisar 16,09-20,05
(Tabel 8.3). Bilangan kappa menunjukkan residual lignin yang masih terdapat di
dalam pulp setelah proses pulping. Bilangan kappa yang terlalu rendah berakibat
pada terjadinya disolusi karbohidrat pada saat proses pulping yang akhirnya
berefek pada berkurangnya rendemen pulp. Namun bilangan kappa yang tinggi
menyebabkan konsumsi bahan kimia yang tinggi pula saat pemutihan sehingga
meningkatkan biaya produksi (Correia et al. 2018; Segura et al., 2016). Namun,
dewasa ini industri cenderung lebih mementingkan aspek rendemen sehingga
terjadi kecenderungan untuk menghasilkan pulp dengan bilangan kappa yang
tinggi (Correia et al., 2018) sehingga diperoleh rendemen pulp yang tinggi dan
peningkatan kapasitas pemulihan bahan kimia tanpa mempengaruhi kualitas
pulp (Patrick, 2005).
Jika dilihat dari sisi rendemen geronggang mempunyai peluang besar bila
dibandingkan dengan mangium (Tabel 8.4). Nilai indeks tarik dan sobek pulp
geronggang juga lebih baik daripada mangium. Sedangkan ekaliptus yang diolah
secara semikimia menggunakan larutan pemasak NaOH dan Na2SO3 memberikan
hasil rendemen, brightness dan opasitas yang lebih tinggi bila dibandingkan
dengan geronggang dan mangium. Untuk pemakaian sebagai kertas koran, maka
pulp geronggang masih memerlukan perbaikan dalam hal gramatur yaitu berat
perluas lembaran pulp, brightness dan penentuan opasitas cetak.
108
Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Poensial Bumi Lancang Kuning
terakhir ini dimana bahan bakunya diperoleh dari akasia. Bila dilihat dari sifat
bahan bakunya, geronggang juga berpotensi sebagai bahan baku pulp rayon dari
serat pendek.
Gambar 8.2. Pohon industri pulp dan kertas (Kementrian Perindustrian, 2018)
Daftar Pustaka
Aprianis, Y., Akbar, O. T., & Rizqiani, K. D. (2018). Perbandingan sifat bahan baku dan
pulp kraft geronggang (Cratoxilum arborescen) alam dan tanaman. Jurnal Ilmu
Dan Teknologi Kayu Tropis, 16(2177–183).
Aprianis, Y., Irawati, D., & Marsoem, S. . (2016). Penggunaan Phanerochaete auriculata
pada pengolahan pulp bio-semi-mekanis kayu terentang (Camnosperma
auriculata Hook.f). Jurnal Penelitian Hasil Hutan, 34(3), 231–239.
Aprianis, Y., & Sugesty, S. (2013). Sifat pulp semimekanis kayu geronggang (Cratoxylum
arborescen). In Prosiding Seminar Teknologi Pulp dan Kertas 2013. Bandung.
Bierman, C. . (1996). handbook of pulping and papermaking (Second Edi). California:
Academic Press.
Cameron, J. (2004). Mechanical pulping. USA: Elsevier.
Casey, J. P. (1980). Pulp and paper chemistry and chemical technology (Volume II). New
York: Interscience Publishing Inc.
Correia, F. M., Hallak D’angelo, J. V., Almeida, G. M., & Mingoti, S. A. (2018). Predicting
kappa number in a kraft pulp continuous digester: a comparison of forecasting
methods. Brazilian Journal of Chemical Engineering, 35(03), 1081–1094.
https://doi.org/10.1590/0104-6632.20180353s20160678
Fengel, D., & Wegener, G. (1995). Kimia, ultrastruktur, reaksi-reaksi kayu. Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press.
109
Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Potensial Bumi Lancang Kuning
Haroen, W. K. (2016). Teknologi serat bahan baku pulp kertas. Bandung: CV. Agung
Ilmu.
Ilikainen, M. (2008). Mechanism of thermo-mechanical pulp refining. University of
Oulu.
Johansson, L., Hill, J., Gorski, D., & Axelson, P. (2011). Improvement of energy efficiency
in TMP refining by selective wood disintegration and targeted application of
chemical. Nordic Pulp and Paper Research Journal, 26(1), 31–46.
Kementrian Perindustrian. (2018). Perkembangan regulasi terbaru mengenai industri
pulp dan kertas termasuk sertifikasi dan pemasaran hasil hutan serta potensi
bisnis hasil hutan lestari. Jakarta.
Marsoem, S. (2012). Pulp dan kertas, bahan kuliah mahasiswa Jurusan Teknologi Hasil
Hutan. Yogyakarta: Fakultas Kehutanan, Universitas Gadjah Mada.
Patrick, K. (2005, March). Mills boost production, cut fiber cost by cooking to optimum
kappa levels. Paper Age. Cohasset.
Roliadi, H., Dulsalam, & Anggraini, D. (2010). Penentuan daur teknis optimal dan faktor
eksploitasi kayu hutan tanaman jenis eucalyptus hibrid sebagai bahan baku
pulp. Jurnal Penelitian Hutan, 28(4), 332357.
Segura, T. E. S., dos Santos, J. R. S., Sarto, C., & da Silva Jr, F. G. (2016). Kappa number
& pulping. BioResources, 11(4), 9842–9855. Retrieved from
https://bioresources.cnr.ncsu.edu/wp-
content/uploads/2016/10/BioRes_11_4_9842_Segure_SSg_Effect_Kappa_No_
Variation_Mod_Pulping_Eucalyptus_10052.pdf
Suhartati, Rochmayanto, Y., & Daeng, Y. (2014). Dampak penurunan daur tanaman HTI
acacia terhadap kelestarian produksi, ekologis dan sosial. Info Teknis Eboni,
11(2), 103–116.
110
Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Poensial Bumi Lancang Kuning
IX.
KONSEP PIKIR:
Peluang Kayu Geronggang
Sebagai Material Maju Berbasis Nanoteknologi
(Eko Sutrisno)
(Ahmad
A. Tinjauan Historis
Material maju saat ini telah menjadi sebuah arah baru dalam ilmu
rekayasa material yang diantaranya memproduksi dan menghasilkan material
berukuran nanometer. Penggunaan material dengan ukuran nanometer memiliki
keuntungan yang signifikan jika diaplikasikan pada produk-produk berbasis
komposit. Ukuran nanometer akan meningkakan luas permukaan sehingga
memperlebar area yang akan bersentuhan. Disisi lain, ukuran nano akan lebih
efektif menjangkau bagian terdalam sebuah produk dan meminimalisir
penggunaannya secara kuantitas. Salah satu material berukuran nanometer
berbasis alam berasal dari lignoselulosa. Pemanfaatan lignoselulosa dilakukan
dengan pertimbangan lignoselulosa bersifat terbarukan, tersedia dalam jumlah
besar, tersedia sepanjang tahun, mudah diisolasi dan diekstraksi serta bersifat
biodegradable. Tanaman sendiri yang merupakan sumber lignoselulosa
merupakan material alami yang terdiri dari berbagai komponen seperti selulosa,
hemiselulosa, lignin dan zat ekstraktif.
Selulosa sebagai komponen utama kayu merupakan polimer alami yang
terdiri unsur C, H dan O yang berikatan pada atom C1 ke atom C4 pada molekul
ß-D-glucopyranose sehingga membentuk rantai linear. Ikatan hidrogen yang
terdapat pada rantai polimer sakarida pada selulosa akan membentuk mikrofibril.
Selanjutnya ikatan antara mikrofibril akan membentuk jaringan kayu dan begitu
seterusnya sehingga membentuk kayu yang kasat mata. Konsep asosiasi polimer
ini dikenal dengan konsep “building block system” yang mana penyatuan antar
unit-unit terkecil menjadi sebuah sistem yang komplek (Schacht et al., 2008).
Kompleksitas terbentuknya jaringan kayu diilustrasikan pada Gambar 9.1.
111
Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Potensial Bumi Lancang Kuning
Gambar 9.1. Building block system selulosa pada tanaman
Secara umum selulosa ditemukan pada dinding sel tanaman terlepas itu
pada dinding sel primer atau dinding sel sekunder (Gambar 9.2), sehingga proses
pemanenan selulosa dilakukan dengan memisahkannya dari komponen
penyusun kayu lainnya. Fabrikasi material nano berbasis selulosa pada prinsipnya
dilakukan dengan cara pemurnian dan pemisahan selulosa dari komponen
penyusun kayu lainnya tersebut (Kargarzadeh et al., 2017). Dengan keragaman
hayati yang dimiliki oleh Indonesia, beragam spesies tanaman sebagai sumber
selulosa tersedia untuk dipilih. Pemilihan jenis kayu sebagai sumber selulosa
bergantung pada perbandingan antara kandungan selulosa dan non-selulosa.
Dengan demikian, kandungan selulosa diharapkan mendominasi dibandingkan
dengan komponen penyusun jaringan kayu lainnya (Logothetidis, 2011).
Gambar 9.2. Susunan komponen penyusun dinding sel tanaman (Wertz, Bedue,
& Mercier, 2010)
112
Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Poensial Bumi Lancang Kuning
Karakter yang menjadi pertimbangan selanjutnya adalah sifat
pertumbuhan, apakah cepat tumbuh ( fast growing) atau tidak. Karakteristik
pertumbuhan ini akan berkaitan dengan produktifitas suatu jenis kayu pada saat
panen. Junaedi (2018) menyampaikan bahwa geronggang merupakan salah satu
jenis cepat tumbuh dan pada umur 5,5 tahun memiliki riap pertumbuhan
diameter 2,08 cm/tahun, pertumbuhan tinggi 1,96 m/tahun dan menghasilkan
13,1 m³/ha/tahun. Ditambahkan oleh Aprianis et al. (2018), kayu geronggang
yang dikembangkan dengan input silvikultur dalam bentuk demplot tanaman
memiliki kesamaan karakteristik dengan kayu geronggang yang tumbuh secara
alami. Kayu geronggang mengandung selulosa 41% dan memiliki panjang serat
1.134 μm dan diameter serat 25,60 μm.
Tantangan dalam fabrikasi nanomaterial berbahan baku gerunggang,
seperti halnya jenis kayu lainnya, adalah ketika kandungan komponen non-
selulosa menyamai kandungan selulosa di dalam kayu. Meskipun relatif memiliki
kandungan selulosa yang tinggi, namun geronggang juga memiliki kandungan zat
ekstraktif yang tinggi (4,7 – 4,9%) termasuk adanya pembuluh getah (Aprianis et
al., 2018). Dengan komposisi kimia kayu gerunggang seperti itu dan adanya
pembuluh getah tersebut perlu menjadi catatan pada saat fabrikasi. Komponen
non-selulosa tersebut membuat fabrikasi khususnya pada saat pre-treatment
harus dilakukan secara berulang kali untuk menghilangkannya (Wang et al.,
2018) Pengulangan tersebut bertujuan untuk memastikan fase pemurnian dan
pemutusan polimer selulosa berjalan dengan efektif sehingga selulosa berukuran
nanometer yang dihasilkan adalah benar nanomaterial (<100 nm).
Berdasarkan potensi dan karakteristik yang dimiliki, kayu geronggang
sangat mungkin untuk diaplikasikan sebagai bahan baku pembuatan material
nano berbasis lignoselulosa. Peluang kayu geronggang untuk menghasilkan
material nanoselulosa akan menjadi sebuah sumber daya baru lignoselulosa
dengan kekhususan properti produk yang dimilikinya. Perhitungan potensi dan
peluang sebagai bahan baku material nanoselulosa dilakukan melalui pendekatan
kesesuaian dengan aplikasi berbasis komposit.
116
Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Poensial Bumi Lancang Kuning
Gambar 9.4. Pemisahan rantai selulosa menjadi monomer glukosa
menggunakan hidrolisis asam (Girisuta, Janssen, & Heeres, 2007)
117
Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Potensial Bumi Lancang Kuning
Tabel 9.1. Komposisi dan formulasi hidrolisis untuk fabrikasi serat nanoselulosa
Material / Konsentrasi Suhu Waktu Rasio asam Referensi
bahan baku asam (°C) (min) /material
Mikrokristalin HBr, 1.5-2.5 - Lee et al., 2009 (2009)
100 240
selulosa M
Kulit kentang H2SO4, 64% 45 90 17.5 : 1 v/w Chen et al., 2012 (2012)
Batang padi H2SO4, 64% 45 45 8.75 : 1 v/w Lu et al., 2012 (2012)
Rumput ilalang H2SO4, 60% 45 45 15 : 1 v/w Wu et al., 2013 (2013)
Tongkol jagung H2SO4, 9.7 M 45 60 15 : 1 v/w Silvrio et al., 2013 (2013)
Kulit kacang H2SO4, 64% 30 40 30 : 1 v/w Neto et al., 2013 (2013)
Agave H2SO4, 60% 45 45 20 : 1 v/w Rosli et al., 2013 (2013)
Sabut kelapa H2SO4, 30% 8.75 : 1 v/w Nascimento et al., 2014
60 144
v/v (2014)
Batang kelapa H2SO4, 64% - Lamaming et al., 2015
45 60
sawit (2015)
Kulit tomat H2SO4, 64% 45 30 - Jiang et al., 2015 (2015)
Limbah kertas H2SO4, 64% 20 : 1 v/w Danial et al., 2015 (2015)
45 60
v/v
Kulit bawang H2SO4, 45% 60 1800 20 : 1 v/w Rhim et al., 2015 (2015)
Bambu HNO3, - 40- 30 : 1 v/w Lu et al., 2015 (2015)
240
60
Kapas H2SO4, 60% 45 90 20 : 1 v/w Oun et al., 2015 (2015)
Pulp eucalyptus C2H2O4, - Chen et al., 2016 (L. Chen,
100 45 -90
50-70% Zhu, Baez, Kitin, & Elder,
C4H4O4, - 2016)
100 45
50-70%
CH₃C₆H₄S, -
100 45
50%
Ampas tebu H2SO4, 60% 45 75 20 : 1 v/w Lam et al., 2017 (Lam,
Chollakup, Smitthipong,
Nimchua, & Sukyai, 2017)
Pohon birch & C4H4O4, 60% 60 - 10 : 1 w/w Bian et al., 2017a (2017a)
120
maple 120
Pulp eucalyptus C4H4O4, 60% 10 : 1 w/w Bian et al., 2017b (Bian et
120 120
al., 2017b)
Pulp eucalyptus C4H4O4, 15- 60- - Wang et al., 2017 (R. Wang,
5 -300 Chen, Zhu, & Yang, 2017)
75% 120
118
Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Poensial Bumi Lancang Kuning
Tabel 9.2. Formulasi kelarutan pulp selulosa pada larutan elektrolit (Lin et al.,
2014)
Larutan ionic Metode kelarutan
(weight %)
1-n-butyl-3-methylimidazolium chloride Heat (100º C) 10%
[C4mim]Cl
1-n-butyl-3-methylimidazolium chloride 70 ºC 3%
[C4mim]Cl
1-n-butyl-3-methylimidazolium chloride Heat (80º C) + 5%
[C4mim]Cl sonication
1-n-butyl-3-methylimidazolium chloride Microwave heating 25% clear
[C4mim]Cl
1-n-butyl-3-methylimidazolium chloride 3 – 5 s pulses Larutan menjadi
[C4mim]Cl viscous
1-butyl-3-methylimidazolium bromide Microwave 5 – 7%
[C4mim]Br
1-butyl-3-methylimidazolium Microwave 5 – 7%
tetrafluoroborate
[C4mim]SCN Microwave Tidak larut
1-butyl-3-methylimidazolium
tetrafluoroborate Microwave Tidak larut
[C4mim][BF4]
1-butyl-3-methylimidazolium Heat 100º C 5%
hexafluorophosphate [C4mim][PF6]
1-Hexyl-3-methylimidazolium chloride Heat 100º C Cukup terlarut
[C6mim]Cl
1-methyl-3-octylimidazolium
hydrochloride [C8mim]Cl
Gambar 9.5. Reaksi kimia dengan adanya penambahan katalis (Girisuta et al.,
2007)
119
Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Potensial Bumi Lancang Kuning
D.2. Teknik Mekanis
Tabel 9.3. Kombinasi teknik dalam fabrikasi serat nanoselulosa dari berbagai
material
No. Material Metode Karakteristik Referensi
1 Softwood chipping pulping high a= - Zhao et al.,
shear homogenizer b= 16.0-28.0 nm 2013 (Zhao et
c= 79.5% al., 2013)
d= 315.16 ± 0.63
°C
2 Kulit 2x alkali treatment (KOH) a= - Pelissari et
pisang 1x bleaching (NaClO2) acid b= 10.9-22.6 nm al.,2014
hydrolysis (H2SO4) c= 58.6-64.9% (Pelissari,
homogenizer d= 371.8 ± 0.7 - Sobral, &
375.0 ± 0.7 °C Menegalli,
2014)
3 Kulit 2x alkali treatment (KOH) a= 10% Tibolla et al.,
pisang 2x bleaching (NaClO2) b= 7.6 ± 1.5 nm 2014 (Tibolla et
enzymatic (xylase) c= 49.2% al., 2014)
d= -
4 Achira 1st alkali treatment (KOH) a= 3.3 - 12.9% Mahecha et
(rhizome) 1st bleaching (H2O2) 2nd b= 13.8 - 37.2 nm al., 2015
bleaching (CH3CO3H) 2nd c= 57.5 - 69.8% (Mahecha et
alkali treatment (KOH) d= - al., 2015)
acid hydrolysis (HCl) high
pressure homogenizer
5 Kulit alkali treatment (KOH) a= 60.0 - 97.0% Tibolla et al.,
pisang enzymatic (xylase) b= 5.2 - 15.8 nm 2016 (Tibolla et
c= 57.2 - 67.0% al., 2016)
d= -
6 Kulit 1st alkali treatment (NaOH) a= 8.9% Khawas et al.,
pisang 1st bleaching (NaClO2) b= 20 ± 5.2 nm 2016 (Khawas
2nd bleaching (NaClO2) 2nd c= 63.64% & Deka, 2016)
alkali treatment (KOH) d= 295.33 °C
acid hydrolysis (H2SO4)
ultrasonication
7 Limbah 1x bleaching (NaClO2) a= 82% Wang et al.,
gergaji 1x alkali treatment (NaOH) b= 15-90 nm 2018 (H. Wang
(Pinus 5x bleaching (NaClO2) c= - et al., 2018)
sylvestris) 5x alkali treatment (NaOH) d= -
122
Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Poensial Bumi Lancang Kuning
terdekomposisi. Komposisi kimia yang terkandung pada serat nanoselulosa turut
mempengaruhi proses pendekomposisian ini. Komponen hemiselulosa akan
terdekomposisi pada suhu 200 – 300°C, selulosa akan terdekomposisi pada suhu
275 – 400°C sedangkan lignin akan terdekomposisi pada suhu 600°C (Pelissari et
al., 2014).
Berdasarkan gambaran umum karakterisasi serat nanoselulosa tersebut,
serat nanoselulosa yang dihasilkan dari kayu geronggang akan dapat kita
aplikasikan pada bermacam skema. Komposit adalah salah satu skema yang
umum digunakan untuk memperbaiki dan meningkatkan sifat produk (Wertz et
al., 2010). Serat nanoselulosa dengan derajat kristalinitas dan suhu
terdekomposisi yang tinggi akan sangat potensial digunakan untuk pelapis
(coating) peralatan yang berhubungan dengan suhu tinggi (Phiriyawirut &
Maniaw, 2012). Selanjutnya untuk memperbaiki sifat fisik mekanik melalui
peningkatan MoE dan MoR, serat nanoselulosa dapat diaplikasikan sebagai bahan
pengisi komposit (Yue & Qian, 2018). Selain itu juga dapat memanfaatkan serat
nanoselulosa untuk menghasilkan produk berbasis nanoteknologi di antaranya
kertas transparan untuk pembungkus makanan (Zhu et al., 2014), tinta ataupun
pelapis panel surya dengan sifat konduktor (Nogi et al., 2015), piranti printer
elektronik (Koga et al., 2013), perekat (epoxy) (Kargarzadeh et al., 2017) dan lain
sebagainya. Banyaknya aplikasi serat nanoselulosa dikarenakan sifatnya yang
mudah beradabtasi (Abraham et al., 2011), transparan (Cherian et al., 2011), kuat
(Chun et al., 2012) namun bersifat degradable (George & Sabapathi, 2015).
Daftar Pustaka
Abraham, E., Deepa, B., Pothan, L. A., Jacob, M., Thomas, S., Cvelbar, U., & Anandjiwala,
R. (2011). Extraction of Nanocellulose Fibrils from Lignocellulosic Fibres: A
Novel Approach. Carbohydrate Polymers, 86(01), 1468-1475.
doi:10.1016/j.carbpol.2011.06.034
Aprianis, Y., Akbar, O. T., & Rizqiani, K. D. (2018). Comparison the Properties of Raw
Material and Kraft Pulp from Nature and Plantation of Geronggang Wood
(Cratoxylon arborescens). Ilmu Teknologi Kayu Tropis, 16(2), 177-183.
Bian, H., Chen, L., Dai, H., & Zhu, J. Y. (2017a). Effect of Fiber Drying on Properties of
Lignin Containing Cellulose Nanocrystals and Nanofibrils Produced Through
Maleic Acid Hydrolysis. Cellulose, 24(10), 4205-4216. doi:10.1007/s10570-017-
1430-7.
Bian, H., Chen, L., Dai, H., & Zhu, J. Y. (2017b). Integrated Production of Lignin
Containing Cellulose Nanocrystals (LCNC) and Nanofibrils (LCNF) Using an
123
Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Potensial Bumi Lancang Kuning
Easily Recyclable Di-carboxylic Acid. Carbohydrate Polymers, 167(01), 167-
176. doi:10.1016/j.carbpol.2017.03.050.
Brinchi, L., Cotana, F., Fortunati, E., & Kenny, J. M. (2013). Production of Nanocrystalline
Cellulose from Lignocellulosic Biomass: Technology and Applications.
Carbohydrate Polymers, 94(1), 154-169. doi:10.1016/j.carbpol.2013.01.033.
Chen, D., Lawton, D., Thompson, M. R., & Liu, Q. (2012). Biocomposites Reinforced with
Cellulose Nanocrystals Derived From Potato Peel Waste. Carbohydrate
Polymers, 90(01), 709-716. doi:10.1016/j.carbpol.2012.06.002.
Chen, L., Zhu, J. Y., Baez, C., Kitin, P., & Elder, T. (2016). Highly Thermal-stable and
Functional Cellulose Nanocrystals and Nanofibrils Produced Using Fully
Recyclable Organic Acids. Green Chemistry, 18(13), 3835-3843.
doi:10.1039/c6gc00687f.
Chen, W., Yu, H., Liu, Y., Chen, P., Zhang, M., & Hai, Y. (2011). Individualization of
Cellulose Nanofibers from Wood Using High-intensity Ultrasonication
Combined with Chemical Pretreatments. Carbohydrate Polymers, 83(04),
1804-1811. doi:10.1016/j.carbpol.2010.10.040.
Chen, W., Yu, H., Liu, Y., Hai, Y., Zhang, M., & Chen, P. (2011). Isolation and
Characterization of Cellulose Nanofibers from Four Plant Cellulose Fibers
Using a Chemical-ultrasonic Process. Cellulose, 18(02), 433-442.
doi:10.1007/s10570-011-9497-z.
Chen, Y. W., Tan, T. H., Lee, H. V., & Hamid, S. B. A. (2017). Easy Fabrication of Highly
Thermal-Stable Cellulose Nanocrystals Using Cr(NO3)3 Catalytic Hydrolysis
System: A Feasibility Study from Macroto Nano-Dimensions. Materials, 10(42),
01-24. doi:10.3390/ma10010042.
Cherian, B. M., Leão, A. L., Souza, S. F., Costa, L. M. M., Olyveira, G. M., Kottaisamy, M.,
. . . Thomas, S. (2011). Cellulose Nanocomposites with Nanofibres Isolated
From Pineapple Leaf Fibers for Medical Applications. Carbohydrate Polymers,
86(04), 1790– 1798. doi:10.1016/j.carbpol.2011.07.009.
Chun, S. J., Lee, S. Y., Jeong, G. Y., & Kim, J. H. (2012). Fabrication of Hydrophobic Self-
Assembled Monolayers (SAM) on The Surface of Ultra-Strength Nanocellulose
Film. Journal of Industrial and Engineering Chemistry, 18(03), 1122 - 1127.
doi:10.1016/j.jiec.2012.01.001.
Ciolacu, D., Ciolacu, F., & Popa, V. I. (2011). Amorphous Cellulose - Structure and
Characterization. Cellulose Chemistry and Technology, 45(01), 13-21.
Danial, W. H., Majid, Z. A., Muhid, M. N. M., Triwahyono, S., Bakar, M. B., & Ramli, Z.
(2015). The Reuse of Waste Paper for the Extraction of Cellulose Nanocrystals.
Carbohydrate Polymers, 118(01), 165-169. doi:10.1016/j.carbpol.2014.10.072.
George, J., & Sabapathi, S. N. (2015). Cellulose Nanocrystals: Synthesis, Functional
Properties, and Applications. Nanotechnology Science and Applications, 8(01),
45-54. doi:10.2147/NSA.S64386.
124
Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Poensial Bumi Lancang Kuning
Girisuta, B., Janssen, L. P. B. M., & Heeres, H. J. (2007). Kinetic Study on the Acid-
Catalyzed Hydrolysis of Cellulose to Levulinic Acid. Industrial & Engineering
Chemistry Research, 46(06), 1696-1708. doi:10.1021/ie061186z.
Jiang, F., & Hsieh, Y. L. (2015). Cellulose Nanocrystal Isolation From Tomato Peels and
Assembled Nanofibers. Carbohydrate Polymers, 122(01), 60-68.
doi:10.1016/j.carbpol.2014.12.064.
Junaedi, A. (2018). Growth Performance of Three Native Tree Species for Pulpwood
Plantation in Drained Peatland of Pelalawan District, Riau. Indonesian Journal
of Forestry Research, 5, 119-132.
Kargarzadeh, H., Ahmad, I., Abdullah, I., Dufresne, A., Zainudin, S. Y., & Sheltami, R.
M. (2012). Effects of Hydrolysis Conditions on the Morphology, Crystallinity,
and Thermal Stability of Cellulose Nanocrystals Extracted From Kenaf Bast
Fibers. Cellulose, 19(3), 855-866. doi:10.1007/s10570-012-9684-6.
Kargarzadeh, H., Ioelovich, M., Ahmad, I., Thomas, S., & Dufresne, A. (2017). Methods
for Extraction of Nanocellulose from Various Sources Handbook of
Nanocellulose and Cellulose Nanocomposites (First ed., pp. 1-49). NJ, USA:
John Wiley & Son/Wiley: Hoboken.
Kargarzadeh, H., Mariano, M., Huang, J., Lin, N., Ahmad, I., Dufrense, A., & Thomas, S.
(2017). Recent Developments on Nanocellulose Reinforced Polymer
Nanocomposites: A Review. Polymer, 132(01), 368-393.
doi:10.1016/j.polymer.2017.09.043.
Khawas, P., & Deka, S. C. (2016). Isolation and Characterization of Cellulose Nanofibers
from Culinary Banana Peel Using High-intensity Ultrasonication Combined
with Chemical Treatment. Carbohydrate Polymers, 137(01), 608-616.
doi:10.1016/j.carbpol.2015.11.020.
Koga, H., Saito, T., Kitaoka, T., Nogi, M., Suganuma, K., & Isogai, A. (2013). Transparent,
Conductive, and Printable Composites Consisting of TEMPO-oxidized
Nanocellulose and Carbon Nanotube. Biomacromolecules, 14(04), 1160-1165.
doi:10.1021/bm400075f.
Lam, N. T., Chollakup, R., Smitthipong, W., Nimchua, T., & Sukyai, P. (2017). Utilizing
Cellulose from Sugarcane Bagasse Mixed with Poly (Vinyl Alcohol) for Tissue
Engineering Scaffold Fabrication. Industrial Crops and Products, 100(01), 183–
197. doi:10.1016/j.indcrop.2017.02.031.
Lamaming, J., Hashim, R., Leh, C. P., Sulaiman, O., Sugimoto, T., & Nasir, M. (2015).
Isolation and Characterization of Cellulose Nanocrystals from Parenchyma and
Vascular Bundle of Oil Palm Trunk (Elaeis guineensis). Carbohydrate
Polymers, 134(01), 534-540. doi:10.1016/j.carbpol.2015.08.017.
Lee, S. Y., Mohan, D. J., Kang, I. A., Doh, G. H., Lee, S., & Han, S. O. (2009). Nanocellulose
Reinforced PVA Composite Films: Effects of Acid Treatment and Filler
Loading. Fibers and Polymers, 10(01), 77-82. doi:10.1007/s12221-009-0077-x
125
Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Potensial Bumi Lancang Kuning
Lengowski, E. C., Muñiz, G. I. B., Andrade, A. S., Simon, L. C., & Nisgoski, S. (2018).
Morphological, Physical, and Thermal Characterization of Microfibrillated
Cellulose. Resvita Arvore, 42(01), 1-12. doi:10.1590/1806-90882018000100013
Lin, J., Yu, L., Tian, F., Zhao, N., Li, X., Bian, F., & Wang, J. (2014). Cellulose Nanofibrils
Aerogels Generated from Jute Fibers. Carbohydrate Polymers, 109(01), 35-43.
doi:10.1016/j.carbpol.2014.03.045.
Logothetidis, S. (2011). Nanostructured Materials and Their Applications. London, New
York: Springer.
Lu, P., & Hsieh, Y. L. (2012). Preparation and Characterization of Cellulose Nanocrystals
from Rice Straw. Carbohydrate Polymers, 87(01), 564–573.
doi:10.1016/j.carbpol.2011.08.022.
Lu, Q., Lin, W., Wang, S., Tang, L., Chen, X., & Huang, B. (2015). A Mechanochemical
Approach to Manufacturing Bamboo Cellulose Nanocrystals. Journal of
Materials Science, 50(02), 611–619. doi:10.1007/s10853-014-8620-6.
Mahecha, A. M. M., Pelissari, F. M., Tapia-Blacido, D. R., & Menegalli, F. C. (2015).
Achira as A Source of Biodegradable Materials: Isolation and Characterization
of Nanofibers. Carbohydrate Polymers, 123(01), 406-415.
doi:10.1016/j.carbpol.2015.01.027.
Moon, R. J., Martini, A., Nairn, J., Simonsen, J., & Youngblood, J. (2011). Cellulose
Nanomaterials Review: Structure, Properties and Nanocomposites. Chemical
Society Review, 40(7), 3941-3994. doi:10.1039/c0cs00108b
Nascimento, D. M., Almeida, J. S., Dias, A. F., Figueiredo, M. C. B., Morais, J. P. S., Feitosa,
J. P., & Rosa, M. D. F. (2014). A Novel Green Approach For the Preparation of
Cellulose Nanowhiskers from White Coir. Carbohydrate Polymers, 110(01),
456-463. doi:10.1016/j.carbpol.2014.04.053.
Nechyporchuk, O., Belgacem, M. N., & Bras, J. (2016). Production of Cellulose
Nanofibrils: A Review of Recent Advances. Industrial Crops and Products,
93(01), 2-25. doi:10.1016/j.indcrop.2016.02.016.
Neto, W. P. F., Silvério, H. A., Dantas, N. O., & Pasquini, D. (2013). Extraction and
Characterization of Cellulose Nanocrystals from Agro-Industrial Residue – Soy
Hulls. Industrial Crops and Products, 42(01), 480-488.
doi:10.1016/j.indcrop.2012.06.041.
Nishimura, H., Kamiya, A., Nagata, T., Katahira, M., & Watanabe, T. (2018). Direct
Evidence for Alpha Ether Linkage Between Lignin and Carbohydrates in Wood
Cell Walls. Sciencetific Reports, 8(01), 1-8. doi:10.1038/s41598-018-24328-9.
Nogi, M., Karakawa, M., Komoda, N., Yagyu, H., & Nge, T. T. (2015). Transparent
Conductive Nanofiber Paper for Foldable Solar Cells. Sci Rep, 5(01), 17254.
doi:10.1038/srep17254.
Okamura, K. (1991). Wood and Cellulosic Chemistry. New York: Marcel Dekker Inc.
Oun, A. A., & Rhim, J. W. (2015). Effect of Post-treatments and Concentration of Cotton
Linter Cellulose Nanocrystals on the Properties of Agar-based Nanocomposite
126
Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Poensial Bumi Lancang Kuning
Films. Carbohydrate Polymers, 134(01), 20-29.
doi:10.1016/j.carbpol.2015.07.053.
Patel, M. (2009). Micro and Nano Technology in Paper Manufacturing. India: Industry
Paper Patel Avenue.
Pelissari, F. M., Sobral, P. J. A., & Menegalli, F. C. (2014). Isolation and Characterization
of Cellulose Nanofibers from Banana Peels. Cellulose, 21(01), 417-432.
doi:10.1007/s10570-013-0138-6.
Phiriyawirut, M., & Maniaw, P. (2012). Cellulose Microfibril from Banana Peels as A
Nanoreinforcing Fillers for Zein Films. Journal of Polymer Chemistry, 02(02),
56-62. doi:10.4236/ojpchem.2012.22007.
Rhim, J. W., Reddy, J. P., & Luo, X. (2015). Isolation of Cellulose Nanocrystals from
Onion Skin and Their Utilization for the Preparation of Agar-based Bio-
nanocomposites Film. Cellulose, 22(01), 407-420. doi:10.1007/s10570-014-
0517-7.
Rosli, N. A., Ahmad, I., & Abdullah, I. (2013). Isolation and Characterization of Cellulose
Nanocrystals from Agave Angustifolia Fibre. BioResources, 08(02), 1893-1908.
Schacht, C., Zetzl, C., & Brunner, G. (2008). From Plant Materials to Ethanol by Means
of Supercritical Fluid Technology. The Journal of Supercritical Fluids, 46(03),
299-321. doi:10.1016/j.supflu.2008.01.018.
Silvério, H. A., Neto, W. P. F., Dantas, N. O., & Pasquini, D. (2013). Extraction and
Characterization of Cellulose Nanocrystals from Corncob for Application as
Reinforcing Agent in Nanocomposites. Industrial Crops and Products, 44(01),
427– 436. doi:10.1016/j.indcrop.2012.10.014.
Tanpichai, S., Witayakran, S., & Boonmahitthisud, A. (2018). Study on Structural and
Thermal Properties of Cellulose Microfibers Isolated from Pineapple Leaves
Using Steam Explosion. Journal of Environmental Chemical Engineering,
7(01), 1-25. doi:10.1016/j.jece.2018.102836.
Tibolla, H., Pelissari, F. M., & Menegalli, F. C. (2014). Cellulose Nanofibers Produced
from Banana Peel by Chemical and Enzymatic Treatment. LWT - Food Science
and Technology, 59(02), 1311-1318. doi:10.1016/j.lwt.2014.04.011
Tibolla, H., Pelissari, F. M., Rodrigues, M. I., & Menegalli, F. C. (2016). Cellulose
Nanofibers Produced From Banana Peel by Enzymatic Treatment: Study of
Process Conditions. Industrial Crops and Products, 95(01), 664-674.
doi:10.1016/j.indcrop.2016.11.035.
Valdebenito, F., Pereira, M., Ciudad, G., Azocar, L., Briones, R., & Carrasco, G. C. (2017).
On the Nanofibrillation of Corn Husks and Oat Hulls Fiber. Industrial Crops
and Products, 95(01), 528-534. doi:10.1016/j.indcrop.2016.11.006.
Wang, H., Chen, C., Fang, L., Li, S., Chen, N., Pang, J., & Li, D. (2018). Effect of
Delignification Technique on the Ease of Fibrillation of Cellulose II Nanofibers
from Wood. Cellulose, 25(12), 7003-7015. doi:10.1007/s10570-018-2054-2.
127
Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Potensial Bumi Lancang Kuning
Wang, R., Chen, L., Zhu, J. Y., & Yang, R. (2017). Tailored and Integrated Production of
Carboxylated Cellulose Nanocrystals (CNC) With Nanofibrils (CNF) Through
Maleic Acid Hydrolysis. ChemNanoMat, 3(05), 328-335.
doi:10.1002/cnma.201700015.
Wertz, J. L., Bedue, O., & Mercier, J. P. (2010). Cellulose Science and Technology (First
ed. Vol. 01). Switzerland: EPFL Press.
Wu, Q., Meng, Y., Concha, K., Wang, S., Li, Y., Ma, L., & Fu, S. (2013). Influence of
Temperature and Humidity on Nano-mechanical Properties of Cellulose
Nanocrystal Films Made from Switchgrass and Cotton. Carbohydrate
Polymers, 48(01), 28-35. doi:10.1016/j.indcrop.2013.03.032.
Yue, D., & Qian, X. (2018). Isolation and Rheological Characterization of Cellulose
Nanofibrils (CNFs) from Coir Fibers in Comparison to Wood and Cotton.
Polymers, 10(03), 320. doi:10.3390/polym10030320.
Zhao, J., Zhang, W., Zhang, X., Zhang, X., Lu, C., & Deng, Y. (2013). Extraction of
Cellulose Nanofibrils from Dry Softwood Pulp Using High Shear
Homogenization. Carbohydrate Polymers, 97(02), 695-702.
doi:10.1016/j.carbpol.2013.05.050.
Zhu, H., Fang, Z., Preston, C., Li, Y., & Hu, L. (2014). Transparent Paper: Fabrications,
Properties, and Device Applications. Energy & Environment Science, 7(01),
269-287. doi:10.1039/c3ee43024c.
128
Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Poensial Bumi Lancang Kuning
X.
POTENSI GERONGGANG
SEBAGAI TANAMAN OBAT
(Opik Taupik Akbar)
(Ahmad
A. Fitokimia Geronggang
Hampir semua bagian pohon geronggang dapat dimanfaatkan sebagai
obat. Batang, kulit batang kering, kulit batang basah, akar, dan daunnya bisa
diambil untuk diekstrak. Setiap bagian pohon memiliki kandungan berbeda yang
mempengaruhi perbedaan khasiat dan penggunaannya. Beberapa penelitian
menganalisis perbedaan kandungan zat dalam geronggang yang dapat dilihat
dalam Tabel 10.1.
Tabel 10.1. Bagian tanaman geronggang yang dimanfaatkan sebagai biofarmaka
Nama bagian Sumber
Kulit (Ibrahim et al., 2015), (Mian, 2007), (Sim, Jiang, Ee, &
Sukari, 2011), (Jusoh, Din, & Zakaria, 2015), (Sia et al.,
1995)(Bennett & Harrison, 1993)
Daun (Jusoh et al., 2013; Reutrakul et al., 2006)
Ranting (Reutrakul et al., 2006)
Batang (Sim et al., 2011)(Ren et al., 2011)(Nguyen & Harrison,
1998)
Akar (Jusoh et al., 2015), (Boonsri et al., 2006; Iinuma, Tosa,
Ito, Tanaka, & Madulid, 1996; Jusoh et al., 2015)
131
Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Potensial Bumi Lancang Kuning
Cratoxylum spp. adalah sumber alami dari xanthone terprenilasi. Sebagai
kelanjutan dari studi tentang komposisi fitokimia dari tanaman obat Cratoxylum
cochinchinense (Lour.) Bl., Ren et al. (2011) melaporkan komposisi xanthone
yang diprenilasi.
Senyawa fitokimia utama yang ditemukan dalam C. arborescens adalah
xanthones, yang menunjukkan berbagai sifat farmakologis yang signifikan
(Sidahmed et al., 2013). Lateks oranye seperti iodin dari kulit batang geronggang
mengandung senyawa xanthone tersebut (Jusoh et al., 2015).
Xanthone adalah senyawa fitokimia yang ditemukan di sejumlah buah
dan sayuran. Secara karakteristik biologis, biokimia dan farmakologis, xanthone
memiliki sifat yang beragam. Kandungan fitokimia dalam geronggang dapat
dilihat dalam tabel 10.2.
Ekstraksi kulit batang menggunakan pelarut organik yang dilanjutkan
dengan pemurnian menggunakan prosedur pemurnian standar menghasilkan tiga
xanthones yang sudah dikenal, pruniflorone H, cochinchinone C dan
macluraxanthone. Dengan menggunakan prosedur yang sama, antrakuinon,
vismiaquinon diisolasi dari akar tanaman (Jusoh et al., 2015)
Studi fitokimia yang dilakukan pada daun geronggang dengan metode
pemurnian yang sama mengidentifikasi adanya kandungan senyawa astilbin.
Senyawa ini memiliki aktivitas imunosupresif yang unik yang dapat melakukan
penghambatan selektif terhadap limfosit T teraktivasi. Astilbin ini bermanfaat
untuk pengobatan penyakit kekebalan tubuh manusia (Jusoh et al., 2013).
Senyawa astilbin yang merupakan salah satu jenis flavonoid yang ditemukan
dalam daun geronggang diidentifikasi menggunakan Nuclear Magnetic
Resonance (NMR). Spektroskopi NMR ini merupakan metode yang sangat
berguna dalam berbagai bidang ilmu farmasi seperti analisis farmasi, kimia obat,
kimia produk alami, dan teknologi farmasi.
132
Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Poensial Bumi Lancang Kuning
Tabel 10.2. Fitokimia dalam geronggang
Nama Senyawa Golongan Sumber
α-Mangostin
β-mangostin
pruniflorone H
cochinchinone C
Macluraxanthone
1,3,8-trihydroxy-2,4-
dimethoxyxanthone
1,7-dihydroxy-2,8-dimethoxyxanthone
1,3,7-trihydroxy-6-methoxy-4,5-di(3-
methylbut-2-enyl)xanthone
5'-demethoxycadensin G (Sim et al., 2011), (Jusoh
fuscaxanthone C et al., 2015), (Reutrakul
3-geranyloxy-6-methyl-1,8- et al., 2006),
dihydroxyanthrakuinon (Sim et al., 2011),
Vismiakuinon (Pattanaprateeb et al.,
Xanthone
1,8-dihydroxy-3-methoxy-6- 2005)
methylanthrakuinon
stigmasterol
Friedelin
1,3-dihydroxy-6,7-dimethoxy-
2,8,diprenylxanthone
Fuscaxanthone C
1,7-dihydroxyxanthone
3-geranyloxy-6-methyl-1,8-
dihydroxyanthrakuinon
2-geranylemadin
Vismion Kuinon (Mian, 2007)
Vismiakuinon
1,8-dihyroxy-3-methoxy-6-methyl
anthrakuinon
Friedelin Triterpenoid (Mian, 2007)
Vismiaquinon Antrakuinon (Jusoh et al., 2015)
Astilbin Flavanonol (Jusoh et al., 2013)
133
Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Potensial Bumi Lancang Kuning
B. Pemanfaatan Geronggang Sebagai Biofarmaka
Struktur kimia yang beragam dalam obat alami telah menjadi sumber
penting untuk penemuan obat. Tanaman obat yang memiliki banyak keunggulan
dapat dikembangkan sebagai nanomedisin imunomodulator. Ada banyak
tanaman obat yang mengandung senyawa yang memiliki aktivitas
imunomodulator, baik menekan atau merangsang kekebalan yang dapat
digunakan dalam pengobatan sebagian besar penyakit (Habbash et al., 2017).
Pemanfaatan geronggang di bidang kesehatan dapat diketahui dari
beberapa penelitian, diantaranya sebagai obat maag (H. M. A. Sidahmed et al.,
2013), obat kanker (Ibrahim, Hashim, Mohan, Abdulla, Abdelwahab, et al.,
2014), Anti HIV (Reutrakul et al., 2006), obat tumor (Ibrahim, Hashim, Mohan,
Abdulla, Kamalidehghan, et al., 2014), obat leukimia (Mian, 2007) dan anti
inflamasi (Liu et al., 2012). Geronggang juga mengandung antioksidan dengan
efek chelating pada ion ferro, radikal hidroksil, dan scavenging hidrogen
peroksida. (Suhartono et al., 2012)
Pemanfaatan geronggang sebagai biofarmaka yang telah diketahui adalah
α-mangostin (AM) dan β-mangostin (BM). Keduanya merupakan zat yang paling
banyak diteliti kegunaannya karena kedua zat tersebut sudah banyak ditemukan
pada tanaman lain dan terbukti memiliki banyak manfaat. Tes antioksidan yang
dilakukan juga memberikan hasil yang menjanjikan dengan kedua senyawa
mangostin menunjukkan sifat penghambat oksidasi (antioksidan) yang baik.
Hasil Ini ditunjukkan oleh 5'-demethoxycadensin G (1) dan β-mangostin (3) dari
Cratoxylum glaucum (Sim et al., 2011).
B.1. α-Mangostin (AM)
α-Mangostin (AM), adalah xanthone terprenilasi yang diisolasi dari
bagian tanaman geronggang. Senyawa alami ini dilaporkan sebelumnya memiliki
banyak sifat biologis, seperti anti inflamasi, dan aktivitas antioksidan (Liu et al.,
2012). α-Mangostin (AM) berbentuk bubuk kuning dengan struktur inti
xanthone yang merupakan salah satu metabolit sekunder pada tanaman. AM ini
diyakini bermanfaat bagi kesehatan karena menunjukkan spektrum yang luas
untuk aktivitas biologis seperti anti inflamasi (Perez-Rojas et al., 2009; Saleem,
2009), anti tumor (Kaomongkolgit et al., 2011; Wang et al., 2012), anti diabetes
(Nelli et al., 2013), anti bakteri (Koh et al., 2013), antijamur (Kaomongkolgit et
al., 2009), antioksidan (Ngawhirunpat et al., 2010; Perez-Rojas et al., 2009),
134
Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Poensial Bumi Lancang Kuning
antiparasit (Kumar et al., 2010), antiobesitas (Devalaraja et al., 2011) dan
perlindungan kesehatan jantung (Sampath & Kannan, 2009).
AM juga menunjukkan efek apoptosis pada sel kanker serviks manusia
(HeLa). Efek sitotoksik AM terhadap viabilitas HeLa dan garis sel ovarium normal
manusia (SV40) dievaluasi dengan menggunakan uji MTT. Hasilnya
menunjukkan bahwa AM menghambat viabilitas sel HeLa dengan nilai IC50 24,53
± 1,48 µM. AM menginduksi apoptosis mitokondria tergantung pada dosis yang
digunakan. AM memberikan efek antitumor yang luar biasa dan menginduksi
perubahan morfologi apoptogenik yang khas pada sel HeLa, yang ditunjukkan
dengan terjadinya kematian sel. Studi ini mengungkapkan bahwa AM bisa
menjadi senyawa anti tumor potensial pada kanker serviks in vitro dan dapat
dipertimbangkan untuk pengujian praklinis dan in vivo kanker serviks lebih
lanjut (Habbash et al., 2017).
Sebagai agen anti-kanker, AM telah dilaporkan mampu menginduksi
apoptosis dan kematian sel pada berbagai jenis sel kanker (Ibrahim et al., et al.,
2014). AM menginduksi apoptosis dan penangkapan siklus sel pada kanker kolon
manusia sel DLD-1 (Matsumoto et al., 2005), apoptosis pada sel kanker payudara
manusia MCF-7 dengan regulasi modulasi protein NF-κB dan Hsp70 (Ibrahim et
al., 2014), apoptosis pada sel kanker payudara manusia MDA-MB-231 oleh NF-
κB dan jalur pensinyalan HSP70 (Ibrahim et al., 2014), dan disfungsi mitokondria
pada sel HL60 leukemia manusia (Matsumoto et al., 2004). Sejauh ini, efek
sitotoksik AM yang signifikan belum teramati dalam sel kanker serviks, namun
hasil penelitian menemukan efek anti tumor dari senyawa ini pada garis sel
kanker serviks HeLa.
Ibrahim et al. (2014) mengisolasi α-mangostin 4 dari ekstrak kulit batang
geronggang dan secara ekstensif mempelajari mekanisme di balik efek apoptosis
pada garis sel kanker MDA-MB-231 (kanker payudara manusia). Ren et al (2011)
pada awalnya menunjukkan bahwa peningkatan lipofilisitas inti mangostin
berkontribusi terhadap aktivitas penghambatan pertumbuhan keseluruhan sel
kanker MDA-MB-231 ini. Penelitian lebih lanjut harus dilakukan untuk
mengumpulkan informasi lebih dalam mengenai kontribusi penurunan polaritas
α-mangostin dalam aktifitasnya.
135
Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Potensial Bumi Lancang Kuning
AM menunjukkan sitotoksisitas selektif terhadap sel kanker tanpa
memberikan efek toksisitas terhadap sel normal bahkan pada dosis 30 μg/ml.
Lebih lanjut, konsumsi AM pada 30 dan 60 mg/kg secara signifikan mengurangi
ukuran tumor pada hewan model kanker payudara. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa AM adalah agen yang berpotensi untuk pengobatan kanker
payudara (Ibrahim et al., 2014)
Peneltian efek a-mangostin untuk mengobati tukak lambung pada tikus
sudah dilakukan (Sidahmed et al., 2013). AM (10 dan 30 mg/kg) masing-masing
menghambat luka lambung yang diinduksi etanol secara signifikan (P<0,05)
masing-masing sebesar 66,04% dan 74,39%. Senyawa tersebut juga menginduksi
ekspresi Hsp70, mengembalikan kadar GSH, mengurangi peroksidasi lipid, dan
menghambat aktivitas COX-2. AM menunjukkan efektifitas dalam mengobati
tukak labung secara in vitro.
Sidahmed et al (2013) mengisolasi beberapa xanthone yang diprenilasi
dari fraksi terlarut kloroform dari ekstrak metanol batang kering, di antaranya
adalah -mangostin 4 dan 1,3,7-trihy-droxy-2,4-diisoprenylxanthone 5. Hanya
satu senyawa -mangostin dalam uji pendahuluan yang memperlihatkan aktifitas
sebagai agen sitotoksik terhadap garis sel kanker HT-29 (kanker usus manusia).
Senyawa 3,6-Di-O-asetil-a-mangostin 6 dan 6-O-ben-zoyl-a-mangostin 7
ditemukan sebagai agen yang paling aktif, dengan nilai IC 50 masing-masing 1,0
mM dan 1,9 mM. Namun, aktivitas tersebut tidak dapat direproduksi secara in
vivo menggunakan uji serat berlubang pada dosis tertinggi yang diuji (20 mg/kg).
Sehingga, bahan-bahan ini perlu segera diuji secara in vitro dan in vivo lebih
lanjut untuk menggali lebih dalam potensi mereka sebagai agen antikanker.
Peran penting Senyawa -mangostin dalam patogenesis kanker usus juga diteliti
oleh Hassanzadeh (2011), yang melaporkan nilai IC50 untuk -mangostin 4 dan
3,6-di-O-methyl-a-mangostin 8 masing-masing 3,3 mM dan 0,9 mM.
B.2. β-mangostin (BM)
β-mangostin (BM) dari Cratoxylum arborescens menunjukkan berbagai
aktivitas farmakologis seperti antikanker, anti inflamasi dan anti-HIV (Reutrakul
et al., 2006). Sidahmed et al. (2016) melaporkan bahwa BM berpotensi untuk
melindungi mukosa lambung dari kerusakan histolis oleh alkohol. BM secara
signifikan mengurangi pembentukan daerah ulkus, edema submukosa, dan
infiltrasi leukosit. Senyawa ini secara signifikan meningkatkan kandungan
136
Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Poensial Bumi Lancang Kuning
homogenat lambung prostaglandin E2 glutathione, superoksida dismutase,
katalase, dan senyawa sulfhidril nonprotein. BM juga menghambat peroksidasi
lipid yang ditunjukkan oleh berkurangnya kandungan malondialdehida di
lambung. BM memiliki aktivitas gastroprotektif, yang dapat dikaitkan dengan
antisekresi, produksi lendir, antioksidan, HSP70, antiapoptotik, dan anti-H
(Sidahmed et al., 2016).
Mekanisme apoptosis yang diinduksi oleh β-mangostin dalam garis sel
leukemia promyelositik manusia (HL60) in vitro dilaporkan oleh Abdelmutaal et
al. (2017). Hasil pengujian yang dilakukan mengungkapkan bahwa β-mangostin
menghambat pertumbuhan HL60 pada 58 µM dalam 24 jam. Secara keseluruhan,
β-mangostin menunjukkan efek antiproliferasi pada HL60 melalui penghentian
siklus sel pada fase G0/G1 dan mendorong jalur apoptosis intrinsik.
137
Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Potensial Bumi Lancang Kuning
oic acid (10), 3,4-dihydroxy-benzoic acid (11) menunjukkan aktivitas anti HIV-
1 dalam pegujian syncytium menggunakan virus MC99 dan sistem garis sel 1A2
(IC50 bernilai antara 3.9 dan 32.2 μg/mL dengan jangkauan TI dari 1.5 sampai
11.7) sementara (1,3,7-trihydroxy-6-methoxy-4,5-di(3-methylbut-2-
enyl)xanthone (3), euxanthone (4), betulinic acid (8), lup-20(29)-ene-3B,30-diol
(9), 3B-hydroxylup20(29)-en-30-oic acid (10) menghambat HIV-1 dengan nilai
IC50 8.7 dan 84.9 μg/ml (Reutrakul et al., 2006).
Daftar Pustaka
Bennett, G. J., & Harrison, L. J. (1993). Triterpenoids, tocotrienols and xanthones from
the bark of Cratoxylum choichinense. Phytochemistry, 32(5), 13–19.
Boonsri, S., Karalai, C., & Ponglimanont, C. (2006). Antibacterial and cytotoxic xanthones
from the roots of Cratoxylum formosum, 67, 723–727.
https://doi.org/10.1016/j.phytochem.2006.01.007
Chabib, L., Muhtadi, W. K., Rizki, M. I., Rahman, R. A., & Rahman, M. (2018). Potential
medicinal plants for improve the immune system from Borneo Island and the
prospect to be developed as nanomedicine. In MATEC Web if Conferences
(Vol. 4006, pp. 1–6). Les Ulis. https://doi.org/10.1051/matecconf/201815404006
Devalaraja, S., Jain, S., & Yadav, H. (2011). Exotic fruits as therapeutic complements for
diabetes , obesity and metabolic syndrome Oxidative stress. Food Research
International, 44(7), 1856–1865. https://doi.org/10.1016/j.foodres.2011.04.008
Ee, G. C. L., Jong, V. Y. M., Sukari, M. A., Lee, T. K., & Tan, A. (2010). Anthraquinones
from Cratoxylum aborescens ( Guttiferae ). Pertanika J. Sci. Technol, 18(April
2008), 77–81.
Habbash, A. I. El, Hashim, N. M., Ibrahim, M. Y., Yahayu, M., Abd, F., Omer, E., &
Rahman, M. A. (2017). In vitro assessment of anti-proliferative effect induced
by α-mangostin from Cratoxylum arborescens on HeLa cells. PeerJ, 5(e), 1–20.
https://doi.org/10.7717/peerj.3460
Ibrahim, M. Y., Hashim, N. M., Mohan, S., Abdulla, M. A., Abdelwahab, S. I., Arbab, I.
A., … Ali, L. Z. (2015). α-Mangostin from Cratoxylum arborescens: An in vitro
and in vivo Toxicological Evaluation. Arabian Journal of Chemistry, 8, 129–
137. https://doi.org/10.1016/j.arabjc.2013.11.017
Ibrahim, M. Y., Hashim, N. M., Mohan, S., Abdulla, M. A., Abdelwahab, S. I.,
Kamalidehghan, B., … Ali, H. M. (2014). Involvement of NF- κ B and HSP70
signaling pathways in the apoptosis of MDA-MB-231 cells induced by a
prenylated xanthone compound , α-angostin , from Cratoxylum arborescens.
Drug Design, Development and Therapy, 8(December), 2193–2211.
https://doi.org/10.2147/DDDT.S66574
Ibrahim, M. Y., Hashim, N. M., Mohan, S., Abdulla, M. A., Kamalidehghan, B.,
Ghaderian, M., … Ali, H. M. (2014). α-Mangostin from Cratoxylum
arborescens demonstrates apoptogenesis in MCF-7 with regulation of NF-κB
139
Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Potensial Bumi Lancang Kuning
and Hsp70 protein modulation in vitro, and tumor reduction in vivo. Drug
Design, Development and Therapy, 8(October), 1629–1647.
https://doi.org/10.2147/DDDT.S66105
Iinuma, M., Tosa, H., Ito, T., Tanaka, T., & Madulid, D. A. (1996). Two xanthones from
roots of cratoxylum formosanum. Phytochemistry, 42(4), 1195–1198.
Jusoh, S., Din, L. B., & Zakaria, Z. (2015). Xanthones and an anthraquinone from stem
bark and roots of Cratoxylum Arborescens. The Malaysian Journal of
Analytical Sciences, 19(4), 745–751.
Jusoh, S., Zakaria, Z., & Din, L. B. (2013). Isolation of astilbin from leaves of Cratoxylum
arborescens. The Malaysian Journal of Analytical Sciences, 17(3), 430–435.
Kaomongkolgit, R., Chaisomboon, N., & Pavasant, P. (2011). Apoptotic effect of alpha-
mangostin on head and neck squamous carcinoma cells. Archives of Oral
Biology, 56(5), 483–490. https://doi.org/10.1016/j.archoralbio.2010.10.023
Kaomongkolgit, R., Jamdee, K., & Chaisomboon, N. (2009). Antifungal activity of alpha-
mangostin against Candida albicans. Journal of Oral Science, 51(3), 401–406.
Koh, J., Qiu, S., Zou, H., Lakshminarayanan, R., Li, J., Zhou, X., … Beuerman, R. W.
(2013). Biochimica et Biophysica Acta Rapid bactericidal action of alpha-
mangostin against MRSA as an outcome of membrane targeting. Biochimia et
Biophysica Acta, 1828(2), 834–844.
https://doi.org/10.1016/j.bbamem.2012.09.004
Kumar, R. B., Shanmugapriya, B., Thiyagesan, K., Kumar, S. R., & Xavier, S. M. (2010). A
search for mosquito larvicidal compounds by blocking the sterol carrying
protein , AeSCP-2 , through computational screening and docking strategies.
Pharmacognosy Research, 2(4), 247–254. https://doi.org/10.4103/0974-
8490.69126
Liu, S., Lee, L., Hu, N., Huange, K., Shih, Y., Munekazu, I., … Chen, T. (2012). Effects of
alpha-mangostin on the expression of anti-inflammatory genes in U937 cells.
Chinese Medicine, 7(19), 1–11.
Mian, V. J. Y. (2007). Chemical Constituents from Bintangor (Calophyllum
inophyllum)and Geronggang (Cratoxylum arborescens) and Their Biological
Activities. Universitu Putra Malaysia.
Nelli, G. B., K, A. S., & Kilari, E. K. (2013). Antidiabetic effect of α -mangostin and its
protective role in sexual dysfunction of streptozotocin induced diabetic male
rats. Informa Healthcare, 59(6), 319–328.
https://doi.org/10.3109/19396368.2013.820369
Ngawhirunpat, T., Opanasopi, P., Sukma, M., Sittisombut, C., & Adachi, I. (2010).
Antioxidant , free radical-scavenging activity and cytotoxicity of different
solvent extracts and their phenolic constituents from the fruit hull of
mangosteen ( Garcinia mangostana ). Pharmaceutical Biology, 48(1), 55–62.
https://doi.org/10.3109/13880200903046138
140
Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Poensial Bumi Lancang Kuning
Nguyen, L. H. D., & Harrison, L. J. (1998). Triterpenoid and xanthone constituents of
Cratoxylum cochinchinense. Phytochemistry, 50, 471–476.
Pattanaprateeb, P., Ruangrungsi, N., & Cordell, G. A. (2005). Cytotoxic Constituents from
Cratoxylum arborescens. Planta Med, 71, 181–183. https://doi.org/10.1055/s-
2005-837788
Perez-Rojas, J. M., Cruz, C., Garcia-Lopez, P., Sanchez-Gonzales, D. J., Martinez-
Martinez, C. M., Ceballos, G., … Pedraza-Cheverri, J. (2009). Renoprotection
by a-mangostin is Related to The Attenuation in Renal Oxidative/Nitrosative
Stress Induced by Cisplatin Nephrotoxicity. Free Radical Research,
43(November), 1122–1132. https://doi.org/10.1080/10715760903214447
Ren, Y., Matthew, S., Lantvit, D. D., Ninh, T. N., Chai, H., Fuchs, J. R., … Kinghorn, A.
D. (2011). Cytotoxic and NF-K B Inhibitory Constituents of the Stems of
Cratoxylum cochinchinense and Their Semisynthetic Analogues. Journal of
Natural Products, 74(5), 1117–1125.
https://doi.org/https://doi.org/10.1021/np200051j
Reutrakul, V., Chanakul, W., & Pohmakotr, M. (2006). Anti-HIV-1 Constituents from
Leaves and Twigs of Cratoxylum arborescens. Planta Med, 72, 1433–1435.
https://doi.org/10.1055/s-2006-951725
Saleem, M. (2009). Lupeol , a Novel Anti-inflammatory and Anti-cancer Dietary
Triterpene. Cancer Letters, 285(2), 109–115.
https://doi.org/10.1016/j.canlet.2009.04.033
Sampath, P. D., & Kannan, V. (2009). Mitigation of Mitochondrial Dysfunction and
Regulation of eNOS Expression During Experimental Myocardial Necrosis by
Alpha-Mangostin , a Xanthonic derivative from Garcinia mangostana. Drug
and Chemical Toxicology, 32(June), 344–352.
https://doi.org/10.1080/01480540903159210
Sia, G., Bennett, G. J., Harrison, L. J., & Sim, K. (1995). MINOR XANTHONES FROM
THE BARK OF C R A T O X Y L U M. Phytochemistry, 38(6), 1521–1528.
Sidahmed, H. M. A., Abdelwahab, S. I., Mohan, S., Abdulla, M. A., Mohamed, M., Taha,
E., … Yahayu, M. (2013). α-Mangostin from Cratoxylum arborescens ( Vahl )
Blume Demonstrates Anti-Ulcerogenic Property : A Mechanistic Study.
Evidence-Based Complementary and AlternativeMedicine, 2013, 1–10.
https://doi.org/http://dx.doi.org/10.1155/2013/450840
Sidahmed, H. M. Al, Mashim, N. M., Mohan, S., Abdelwahab, S. I., Taha, M. M. E.,
Dehghan, F., … Vadivelu, J. (2016). Evidence of the gastroprotective and anti-
Helicobacter pylori activities of β -mangostin isolated from Cratoxylum ...
Evidence of the gastroprotective and anti- Helicobacter pylori activities of β -
mangostin isolated from Cratoxylum arborescens (vahl) bl. Drug Design,
Development and Therapy, 10(January), 297–313.
https://doi.org/10.2147/DDDT.S80625
141
Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Potensial Bumi Lancang Kuning
Sim, W. C., Jiang, L. C., Ee, G. C. L., & Sukari, M. A. (2011). Cratoxylum glaucum and
Cratoxylum arborescens (Guttiferae) - Two Potential Source of Antioxidant
Agents. Asian Journal of Chemistry, 23(2), 569–572.
Suhartono, E., Viani, E., Rahmadhan, M. A., Gultom, I. S., Rakhman, M. F., &
Indrawardhana, D. (2012). Total flavonoid and Antioxidant Activity of Some
Selected Medicinal Plants in South Kalimantan of Indonesian. APCBEE
Procedia, 4, 235–239. https://doi.org/10.1016/j.apcbee.2012.11.039
Syam, S., Bustamam, A., Abdullah, R., Sukari, M. A., Hashim, N. M., Yahayu, M., …
Abdelwahab, S. I. (2014). Cytotoxicity and Oral Acute Toxicity Studies of β -
mangostin Isolated from Cratoxylum arborescens. PHCOG J, 6(1), 47–56.
https://doi.org/10.5530/pj.2014.1.8
Wang, J. J., Sanderson, B. J. S., & Zhang, W. E. I. (2012). Significant Anti-invasive
Activities of α-Mangostin from the Mangosteen Pericarp on two Human Skin
Cancer Cell Lines. Anticancer Research, 32(9), 3805–3816.
Yahayu, M. A., Rahmani, M., Hashim, N. M., Ee, G. C. L., Sukari, M. A., & Akim, A. M.
(2013). Cytotoxic and antimicrobial xanthones from Cratoxylum arborescens (
Guttiferae ). Malaysian Journal of Science, 32(1), 53–60.
Yusro, F. (2010). Rendemen Ekstrak Etanol Dan Uji Fitokimia Tiga Jenis Tumbuhan Obat
Kalimantan Barat. Jurnal Tengkawang Fakultas Kehutanan Universitas
Tanjungpura. 1(1):29-36. Jurnal Tengkawang, 1(1), 29–36.
142
Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Poensial Bumi Lancang Kuning
XI.
HUTAN TANAMAN GERONGGANG
SEBAGAI SUMBER PAKAN LEBAH
(Avry Pribadi)
144
Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Poensial Bumi Lancang Kuning
relatif kecil. Dengan demikan lebah Trigona sp. mempunyai variasi makanan
yang lebih banyak dibanding lebah jenis Apis sehingga sangat memungkinkan
diternak secara menetap tanpa harus digembala.
Stingless bees (Apidae: Melliponinae) merupakan lebah sosial yang tidak
memiliki sengat. Lebah T. laeviceps merupakan salah satu spesies dari stingless
bees yang berperan penting dalam penyerbukan tanaman di daerah tropis
(Willms, Imperatriz-Fonseca, & Engels, 1996). Kahono et al. (2012) melaporkan
bahwa ditemukan sebanyak enam jenis lebah (Apidae) yang diduga sebagai
penyerbuk potensial kelapa sawit, salah satunya yaitu T. laeviceps. Di Brazil, T.
spinipes dapat meningkatkan hasil panen pada jambu monyet (cashew) dari rata-
rata 780 g per pohon menjadi 3890 g per pohon (Freitas et al., 2014). Sedangkan
jenis lain, yaitu lebah T. itama memiliki penyebaran di daerah Sumatera,
Kalimantan, dan Semenanjung Malaysia (Purnomo et al., 2012). Ukuran tubuh
lebah T. itama ini lebih besar jika dibandingkan lebah Trigona spp. lainnya,
begitu juga dengan pot-pot madu dan bee bread tepung sari yang dihasilkannya
juga relatif lebih besar dan mencapai ukuran volume 0,01 liter.
145
Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Potensial Bumi Lancang Kuning
gula lebih dari 60% karena nektar akan terlalu kental dan sukar untuk diambil
(Wright et al., 2018). Terdapat dua tipe nektar yang diambil oleh lebah forager,
yaitu nektar floral yang disekresikan oleh bunga dan nektar ekstrafloral yang
disekresikan oleh bagian lain selain bunga, seperti ketiak daun tanaman Acacaia
mangium. Sumber nektar lain adalah honey dew yang disekresikan oleh serangga
dari kelompok aphids. Adapun jenis tanaman geronggang menghasilkan nektar
dari bagian bunga.
Di dalam aktivitasnya mengumpulkan nektar, lebah forager lebih
memilih nektar yang didominasi oleh gula sukrosa dibandingkan gula-gula
monosakarida. Pada uji coba yang dilakukan di laboratorium, lebah-lebah forager
menunjukkan perilaku yang lebih sensitif terhadap sukrosa dibandingkan dengan
glukosa yang ditandai dengan aktivitas pemanjangan proboscis dan antena
(Simcock et al., 2017). Sukrosa dipilih oleh lebah forager karena memiliki nilai
rata-rata metabolis per berat unit yang lebih tinggi dibandingkan gula sederhana.
B.1.1. Pengumpulan nektar.
Untuk mengumpulkan nektar, seekor lebah madu menggunakan
proboscis-nya untuk menghisap nektar dari bunga dan menyimpannya dalam
organ yang bernama honey crop yang berlokasi di organ proventrikulus. Honey
crop adalah bagian yang penting dalam sistem pencernaan yang berada pada
lokasi di antara foregut dan midgut dimana aktivitas pencernaan berlangsung
(Wright et al., 2018). Proventrikulus berfungsi melewatkan nektar ke midgut
untuk diproses sebagai energi yang kemudian digunakan ketika lebah pekerja
yang bertugas sebagai pencari nektar untuk menjalankan aktivitasnya (Lee et al.,
2015).
B.1.2 Konversi nektar ke madu.
Lebah pekerja yang bertugas sebagai pencari nektar akan menambahkan
enzim invertase dan glucose oxidase ke nekctar yang disimpan dalam organ
honey crop sebelum mereka terbang kembali ke koloninya untuk kemudian
diserahkan kepada lebah yang bertugas sebagai penerima dan penyimpan nektar.
Enzim invertase mengkonversi sukrosa yang merupakan disakarida menjadi dua
monosakarida, yaitu glukosa dan fruktosa. Selanjutnya beberapa bagian dari
glukosa akan bereaksi dengan enzim glukose oxidase dan akan dikonversi
menjadi asam dan hidrogen peroksida yang berfungsi untuk membunuh mikroba
dan menciptakan kondisi yang tidak menguntungkan bagi pertumbuhan mikroba
146
Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Poensial Bumi Lancang Kuning
tersebut (Lee et al., 2015). Setelah sampai di koloni, nektar tersebut akan
diberikan kepada lebah penerima dan oleh lebah penerima akan disimpan di sel-
sel heksagonal. Proses selanjutnya adalah menurunkan kadar air madu tersebut
menjadi 17% s.d 18% untuk kemudian ditutup dengan lilin lebah sebagai
cadangan makanan (Donkersley et al., 2017).
Pada dasarnya, madu yang tersimpan di dalam sel madu di dalam koloni
lebah memiliki kandungan gula dengan kosentrasi yang tinggi (80%) yang
didominasi oleh kelompok monosakarida seperti glukosa dan fruktosa, sedikit
sukrosa, dan kandungan air yang rendah (<20%). Tingginya kandungan gula
tersebut berakibat pada terbentuknya larutan gula kental yang dapat mencegah
pertumbuhan mikroorganisme (Donkersley et al., 2017). Selain itu, madu juga
mengandung asam amino dalam jumlah yang sedikit sebagai akibat dari aktivitas
lebah pekerja. Jenis asam amino proline merupakan asam amino yang dapat
dikonversi menjadi sumber energi bagi lebah untuk terbang. Kandungan lain
yang terdapat dalam madu adalah enzim diastase yang berfungsi untuk
menghidrolisis senyawa pati dan enzim invertase yang penting dalam
menghidrolisis sukrosa menjadi glukosa dan sukrosa. Lebih lanjut, senyawa fenol
juga merupakan komponen minor yang berkontribusi terhadap aroma, bau, dan
warna.
B.2. Protein
B. 2.1. Nilai pentingnya protein
Seluruh hewan membutuhkan asam amino esensial bagi kehidupannya
yang harus diperoleh dengan cara mencari karena tidak dapat disintesis oleh
mereka sendiri. Jika nektar digunakan lebah sebagai sumber energi, polen
berfungsi sebagai sumber protein, mineral, lipid, dan vitamin (Herbert jr. &
Shimanuki, 1978). Serupa dengan manusia, lebah madu juga membutuhkan 10
asam amino yang hanya dapat diperoleh dari polen. Kebutuhan polen untuk
setiap koloni bervariasi antara 10 kg s.d 26 kg per tahun. Kualitas polen sangat
menentukan kemampuan ratu lebah untuk bertelur, bahkan jumlah telur yang
diproduksi akan turun secara signifikan ketika koloni lebah mendapat diet polen
dengan kualitas rendah (G. J. Kleinschmidt & Kondos, 1976) dan juga
menurunkan umur lebah pekerja (Knox et al., 1971). Sehingga secara tidak
langsung, kekurangan ataupun kualitas polen yang buruk akan mempengaruhi
produktivitas koloni.
147
Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Potensial Bumi Lancang Kuning
Polen sebagai sumber protein disimpan di sel-sel dalam koloni lebah
dalam bentuk bee bread. Kandungan nutrisi bee bread berbeda-beda tergantung
asal sumber bunganya dan bervariasi antara 10%-30% protein, lipid sebanyak
3%-8%, dan karbohidrat yang berkontribusi 25%-30% yang berasal dari netar
atau madu yang sengaja ditambahkan oleh lebah (Susan Wendy Nicolson &
Human, 2013; Somerville, 2005). Komponen lain yang terdapat pada polen adalah
lemak. Lemak memiliki pengaruh yang penting karena berfungsi sebagai
attractant untuk lebah pekerja (Somerville, 2005). Selama masa hidupnya, lebah
madu membutuhkan sedikitnya sepuluh asam amino esensial yang tersedia pada
polen. Asam amino tersebut adalah methionine, threonine, valine, isoleucine,
histidine, leucine, phenylalanine, arginine, lysine, and tryptophan. Komposisi
karbohidrat dan protein pada bee bread sangat tergantung pada musim.
B. 2.2.Pengumpulan polen
Aktivitas pengumpulan polen dilakukan oleh lebah pekerja yang
memiliki tugas khusus sebagai pengumpul polen atau lebah pekerja yang mencari
nektar dan secara tidak sengaja tubuhnya terekspose atau menyentuh polen.
Setelah seluruh polen menempel pada tubuh lebah pekerja, lebah tersebut akan
mulai mengumpulkan polen tersebut dengan menirukan aktivitas seperti
menyisir dengan menggunakan kaki depan dan tengah untuk kemudian
dikumpulkan pada struktur khusus pada bagian kaki belakang yang disebut
cubicula atau pollen basket. Berbeda dengan madu, lebah pekerja pencari polen
akan langsung meletakkan polen yang diperoleh ke dalam sel-sel. Dikarenakan
adanya sekresi oleh beberapa lebah pekerja lainnya, polen yang berada di dalam
sel tersebut akan mengalami fermentasi yang membuat kandungan
karbohidratnya menurun, meningkatkan gula reduksi, dan menurunkan pH.
Terdapat tiga kelompok bakteri yang aktif dalam proses fermentasi ini, yaitu
Pseudomonas, Lactobacillus, and Saccharomyces.
Aktivitas pengumpulan makanan yang dilakukan oleh lebah tidak
semudah yang kita kira. Lebah-lebah pekerja yang bertugas sebagai pencari
makan (foragers) tidak mengumpulkan makanan secara random. Koloni lebah
memiliki mekanisme yang menarik dalam segala aktivitasnya terutama
pengumpulan makanannya. Aktivitas pengumpulan makanan yang dilakukan
lebah forager dimulai oleh lebah-lebah perintis yang memiliki tugas
mengumpulkan dan mencari informasi mengenai lokasi dimana sumber pakan
berada baik jarak dan jumlahnya. Setelah itu, lebah-lebah perintis tersebut akan
148
Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Poensial Bumi Lancang Kuning
kembali ke sarang dan melakukan aktivitas yang disebut tarian lebah ( waggle
dance) dan berusaha untuk menarik lebah-lebah forager (Seeley, 2010). Sehingga
di dalam koloni lebah bisa terdapat lebih dari satu tarian lebah. Beberapa lebah
forager akan datang dan mengevaluasi mengenai lokasi tersebut baik kuantitas
maupun jaraknya dan setelah kembali lebah tersebut akan menjadi “pendukung”
lebah yang menari tersebut. Setelah semua lebah forager bersepakat dengan
lokasi tersebut maka seluruh lebah-lebah foragers tersebut akan pergi dan
memulai aktivitas pengumpulan makanannya.
Tidak seperti nektar atau madu yang disimpan oleh lebah pekerja yang
bekerja di dalam sarang ( nurse bee), polen langsung disimpan di sel-sel dalam
sarang secara acak oleh lebah forager tanpa melalui perantara nurse bees. Proses
selanjutnya adalah pemindahan dan realokasi polen yang berada di sel-sel
tersebut ke sel-sel yang berada di sekeliling sel-sel anakan (brood cells). Hal ini
bertujuan untuk mendekatkan jarak antara polen dan brood cells sehingga
memudahkan proses pemberian makan oleh nurse bees ke larva-larva lebah.
Polen atau bee bread akan langsung dikonsumsi paling lama 3 hari oleh nurse
bees sehingga sangat jarang ditemukan sel bee bread sampai ditutup oleh lilin
seperti halnya pada madu (Anderson et al., 2014). Selanjutnya, beberapa studi
berhipotesa bahwa mikroorganisme anaerobic memberikan pengaruh yang
signifikan terhadap proses fermentasi polen menjadi bee bread. Terutama karena
mikroorganisme anaerobic tersebut seperti bakteri asam laktat yang banyak
ditemukan pada bagian crop perut lebah, ternyata juga ditemukan pada bee
bread. Oleh karena itu, peranan mikroorganisme seperti bakteri asam laktat
memiliki peranan yang penting dalam pembentukkan nektar menjadi madu dan
proses pematangan polen menjadi bee bread.
B.2.3. Proses konversi polen menjadi protein
Polen yang disimpan dalam sel-sel di dalam sarang lebah dicampur
dengan sekresi dari kelenjar glandular yang kemudian mengalami proses
fermentasi dan berubah menjadi bee bread. Bee bread inilah yang kemudian
dikonsumsi oleh lebah muda yang bertugas sebagai “dapur umum” untuk
kemudian didistribusikan ke seluruh anggota lebah. Sebagai contoh seekor larva
lebah membutuhkan 25-37.5 mg protein yang setara dengan 125-187.5 mg polen
(Hrassnigg & Crailsheim, 2005).
149
Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Potensial Bumi Lancang Kuning
Kemampuan lebah untuk menkonsumsi polen berbeda-beda bergantung
pada asal sumber polen tersebut. Hal tersebut diduga disebabkan oleh adanya
perbedaan komponen penyusun lapisan dinding sel polen (Wright et al., 2018).
Bagian terluar polen adalah exine yang tersusun atas sporopollenin. Kemudian
bagian selanjutnya adalah pollen kitt yang tersusun atas karbohidrat, protein, and
lemak. Sedangkan bagian ketiga adalah intine yang terdiri atas pectin dan
selulosa. Ketiga lapisan inilah yang perlu dihancurkan untuk memperoleh nutrisi
yang terdapat pada bagian sitoplasma. Sebagai akibatnya, polen sukar untuk
dicerna oleh lebah sehingga dibutuhkan bantuan dari mikroorganisme lain untuk
mempermudahnya.
Studi tentang peranan mikroorganisme dalam peningkatan kandungan
nutrisi bee bread masih belum banyak dilakukan. Satu studi melaporkan bahwa
dari tiga belas jenis bakteri asam laktat, dua jenis bakteri yang paling
mendominasi adalah Lactobacillus kunkeei and Alpha 2.2 (Acetobacteraceae)
yang hidup pada bagian crop di tubuh lebah dimana nektar disimpan sementara
oleh lebah pekerja dan nektar yang berada di crop inilah yang akan ditambahkan
pada polen. Lebih lanjut, aktivitas mikroba yang ditambahkan ke bee bread dapat
juga memicu pembentukan senyawa yang penting seperti vitamin B (Nicolson &
Human, 2013). Akan tetapi, terdapat hal yang menarik yang menyatakan bahwa
tidak ditemukannya keberadaan bakteri tersebut pada bee bread. Sehingga diduga
telah terbentuk kondisi lingkungan cocok untuk usaha pengawetan bee bread
dari aktivitas pembusukan (Anderson et al., 2014).
151
Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Potensial Bumi Lancang Kuning
berbunga (empat bulan) (Harrison et al., 2013), maka akan diperoleh jumlah
nektar 0,28 liter/tanaman selama empat bulan. Asumsi selanjutnya adalah,
apabila dalam satu hektar terdapat 833,34 tegakan (Soerianegara & Lemmens,
2001)) maka akan diperoleh jumlah nektar sebanyak 240,25 liter/ha selama empat
bulan. Jika kita berandai-andai bahwa seluruh luasan HTI dan alokasi perhutanan
sosial di Riau digunakan untuk pertanaman geronggang, maka akan diperoleh
nektar sebanyak 792.831.342,60 liter selama empat bulan.
Tabel 11.1. Perkiraan nilai potensi nektar pada jenis geronggang di provinsi Riau
dengan beberapa asumsi
Parameter Asumsi Keterangan Referensi
luas areal HTI mineral dan (Jikalahari,
1,900,000
Luas gambut 2014)
1,400,000 luas alokasi perhutanan sosial
jarak tanam (Soerianegara &
Jumlah tegakan
833.34 (2 x 6 m) Lemmens,
per ha
2001)
Jumlah % Agustus, September, Oktober, (Harrison et al.,
fruiting stem / November (1.82%, 29.61%, 2013)
fruit periode 5766 21.47%, 4,76%)
bulan Agustus
s.d November)
Jumlah bunga Rata-rata Pengamatan
100
per malai (estimasi)
estimasi menggunakan
Jumlah sekresi
parameter sekresi nektar (Dixon &
nektar per 0.0000005
harian bunga tipe malai pada Lamond, 2004)
bunga
umumnya per hari (liter)
Total produksi nektar setiap hari selama musim
240.25 bunga (yang berlangsung selama empat bulan)
Total potensi [per ha/hari (liter)]
nectar Total potensi nektar selama empat bulan untuk
792,831,342.
luasan areal HTI dan perhutanan sosial (liter)
60
yang tercantum pada baris satu tabel ini
153
Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Potensial Bumi Lancang Kuning
Tabel 11.2. Perhitungan carrying capacity dan perkiraan jumlah madu yang
dihasilkan
Parameter Asumsi Keterangan Referensi
Volume 0.00004 Kapasitas maksimal of honey (M. H. Huang &
nectar / lebah crop (liter) Seeley, 2003)
Rata-rata 50000 Jumlah maksimal populasi lebah (Sagili & Burgett,
jumlah lebah per koloni 2011)
per koloni
Populasi yang 0.4 Rata-rata persentase dari seluruh (G. Kleinschmidt,
pencari makan populasi lebah dalam satu koloni 1990)
Pencari nectar 0.75 Rata-rata persentase dari seluruh (G. Kleinschmidt,
populasi lebah dalam satu koloni 1990)
Pembawa 0.8 Rata-rata persentase dari seluruh (G. Kleinschmidt,
nectar populasi lebah dalam satu koloni 1990)
Jumlah nektar 0.48 Liter Diperoleh dari
yg dibawa perhitungan
lebah per jumlah lebah
koloni /hari pembawa nectar
dikalikan dengan
volume nectar/
lebah
Jumlah 25 Kali (Apex Bee
rata-rata trip Company, 2018;
“The ‘ Bee ’ a
Detective
Scavenger Hunt
Team,” 2019)
Total nektar 12 Liter per hari (Z. Huang, 2012)
yang
dihasilkan
lebah
perkoloni
Potensi madu 0.25 Dikurangi kadar air (30% dari (Bogdanov, 2016)
yg dihasilkan total nektar), kebutuhan untuk
perkoloni per pondasi sarang, dan konsumsi
hari (liter) oleh koloni itu sendiri
jumlah koloni lebah Apis
Jumlah koloni 20.0
mellifera per ha
154
Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Poensial Bumi Lancang Kuning
Tidak semua jenis resin disukai oleh lebah. Tanaman geronggang
merupakan salah satu tanaman penghasil resin yang disukai lebah karena bersifat
aromatik sehingga diduga memiliki senyawa antioksidan yang penting untuk
mekanisme pertahanan koloni dari mikroorganisme patogen. Beberapa negara
yang berlokasi di zona temperate seperti Amerika Utara, Eropa utara, dan Asia
barat, lebah banyak mengambil resin yang disekresikan oleh tanaman jenis black
poplar (Populus nigra) pada bagian pucuk daun (Wright et al., 2018). Sedangkan
pada jenis tanaman geronggang, resin banyak dihasilkan pada bagian batang
apabila batang dilukai. Jenis lebah yang banyak berkunjung ke resin yang
dihasilkan oleh geronggang adalah dari kelompok family Meliponine, seperti
Trigona itama dan Trigona laeviceps.
Dalam proses pengumpulan resin, lebah forager menggunakan
mandibula mereka untuk menggali resin dari sumbernya, seperti batang dan
pucuk daun. Setelah resin dikumpulkan dengan menggunakan mandibula, resin
akan diteruskan ke bagian kaki belakang (hind legs) untuk kemudian disimpan
pada bagian yang dinamakan corbiculae atau pollen basket yang merupakan
tempat yang sama dimana polen diletakkan. Ketika lebah forager kembali ke
sarang, resin akan dicampur dengan lilin dan polen yang selanjutnya disebut
sebagai propolis. Propolis didominasi oleh 50% resin, 30% lilin, 10% minyak
aromatis, 5% pollen, dan 5% komponen organik.
Beberapa hasil studi mengungkapkan bahwa bagian batang geronggang
memiliki kandungan senyawa yang memiliki aktivitas farmakologi. Lebih lanjut,
pada bagian batang geronggang memiliki senyawa yang disebut xanton. Salah
satu fraksi dari xanton adalah mangostin yang memiliki sifat antibakterial
antitumor, antidiabetik, antioksidan, antifungal, antiparasitic. Keberadaan
senyawa ini dapat menghambat pertumbuhan bakteri Bacillus subtilis, Bacillus
cereus, Staphylococcus aureus, dan Salmonella typhimurium (“The ‘Bee' a
Detective Scavenger Hunt Team,” 2019) Selain bagian batang, bagian daun
geronggang memiliki banyak senyawa fenolik yang memiliki sifat aktif dalam
menghambat serangan terhadap sel darah putih (Alimah, 2016). Keberadaan
senyawa antioksidan tersebut memiliki potensi yang besar untuk dapat
dimanfaatkan sebagai bahan baku propolis. Lebah madu tidak mengambil semua
jenis getah sebagai bahan baku propolis, melainkan hanya getah yang memiliki
kandungan antioksidan dan bersifat aromatik seperti resin geronggang.
155
Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Potensial Bumi Lancang Kuning
Beberapa permasalahan yang timbul dalam pengelolaan lebah madu di
areal geronggang adalah kelangkaan polen baik dari segi kualitas maupun
kuantitasnya dan tidak adanya produksi nektar di luar musim berbunga. Terlebih
lagi sampai sekarang belum ada studi tentang kandungan protein polen
geronggang. Lebah harus mengkonsumsi sepuluh asam amino esensial yang
berasal dari polen selama hidupnya. Sepuluh asam amino tersebut adalah
arginine, histidine, isoleucine, leucine, lysine, methionine, phenylalanine,
threonine, trypthopan, dan valine. Untuk melihat apakah tegakan geronggang
memiliki polen yang cukup untuk memenuhi kebutuhan minimal asam amino
esensial atau tidak, dapat diketahui dari kadar crude protein tubuh lebah pekerja
atau dengan kata lain kadar crude protein dapat dijadikan indikator apakah
kebutuhan protein lebah tersebut terpenuhi atau tidak.
Namun kalaupun geronggang tidak memiliki cukup polen dan nektar
yang cukup baik secara kualitas maupun kuantitas, maka dapat diatasi dengan
pemberian pakan tambahan. Pakan tambahan tersebut sedikitnya harus memiliki
karakteristik palability, digestibility, dan seimbang (memiliki cukup kandungan
asam amino dalam jumlah yang seimbang). Beberapa contoh yang sering
digunakan adalah tepung kedelai, tepung jagung, dan tepung tempe. Untuk
kekurangan pakan berupa nektar, dapat dilakukan pemberian pakan tambahan
berupa air gula (1:1). Alternatif lain adalah dengan menggembalakan koloni lebah
pada lokasi yang memiliki produksi polen dan nektar sepanjang tahun, terutama
apabila tanaman geronggang tidak berada musim berbunga. Tanaman penghasil
polen tersebut antara lain adalah jagung dan kelapa sawit, sedangkan tanaman
penghasil nektar sepanjang tahun adalah Acacia mangium dan Acacia crassicarpa.
Kondisi koloni yang lemah sebagai akibat dari kurangnya sumber
makanan berupa nektar dan polen dapat mengundang beberapa masalah,
misalnya serangan hama dan penyakit. Beberapa hama yang biasa menyerang
koloni lebah adalah wax moth (ngengat lilin) dan tabuhan. Ngengat lilin adalah
salah satu serangga yang berasal dari ordo Lepidoptera yang menyerang sarang
lebah. Gejalanya adalah koloni lebah yang mengalami kemunduran
pertumbuhan sisiran dan cenderung mengelompok pada satu sisi stup. Akan
tetapi, jenis lebah A. mellifera lebih rentan terhadap serangan hama wax moth
terutama pada kondisi yang lemah. Sedangkan tanda kehadiran hama ini adalah
keberadaan serat-serat kapas yang lengket dan bersifat melengketkan frames.
Kerusakan yang disebabkan oleh ngengat lilin dimulai dengan memakan sisiran
156
Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Poensial Bumi Lancang Kuning
yang terbuat dari lilin. Sedangkan tabuhan merupakan serangga dari ordo
Hymenoptera yang bersifat predator dan memakan lebah dewasa dan anakan
lebah madu. Gejala yang ditimbulkan oleh serangan hama ini adalah
berkurangnya jumlah lebah pekerja akibat dari dimangsa oleh tabuhan sampai
pada merusak sisiran sarang. Pada gejala ringan, tabuhan akan menunggu lebah
pekerja di depan pintu masuk dan bersiap untuk menangkap lebah pekerja A.
cerana dan A. mellifera yang akan pergi mencari makan. Sedangkan pada kondisi
yang berat, tabuhan sudah dapat merusak struktur sarang dan tidak hanya
memakan persedian makanan (madu dan bee bread) akan tetapi juga memangsa
sel anakan. Adapun tanda kehadiran tabuhan adalah keberadaan belasan sampai
puluhan ekor tabuhan yang terbang di sekitar stup terutama terbang dalam posisi
menunggu di depan pintu keluar dan masuk.
Daftar Pustaka
Alimah, D. (2016). Kandungan bahan aktif Gerunggang (Cratoxylon arborescens (Vahl.)
Blume) dan potensi pemanfaatannya. Galam, 2(1), 33–39.
Alimah, D., & Rusmana. (2013). Fenologi berbunga dan berbuah jenis – jenis pohon hutan
rawa gambut. Ekspose Hasil Penelitian BPK Banjarbaru, 136-146. Banjarnbaru:
BPK Banjarbaru.
Anderson, K. E., Carroll, M. J., Sheehan, T., Mott, B. M., Maes, P., & Corby-Harris, V.
(2014). Hive-stored pollen of honey bees: Many lines of evidence are consistent
with pollen preservation, not nutrient conversion. Molecular Ecology, 23(23),
5904–5917. https://doi.org/10.1111/mec.12966
Apex Bee Company. (2018). Honey Bee Facts.
Bogdanov, S. (2016). Beeswax: Production, Properties, Composition, Control. In Bee
Product Science. Switzerland: Bee Product Science.
Borba, R. S., Klyczek, K. K., Mogen, K. L., & Spivak, M. (2015). Seasonal benefits of a
natural propolis envelope to honey bee immunity and colony health. Journal
of Experimental Biology, 218(22), 3689–3699.
https://doi.org/10.1242/jeb.127324
Dixon, J., & Lamond, C. B. (2004). Research note: nectar content of New Zealand “Hass”
avocado flowers at different floral stages: New Zealand avocado growers
association. Annual Research Report, 4, 25–31.
Donkersley, P., Rhodes, G., Pickup, R. W., Jones, K. C., Power, E. F., Wright, G. A., &
Wilson, K. (2017). Nutritional composition of honey bee food stores vary with
floral composition. Oecologia, 185(4), 749–761.
https://doi.org/10.1007/s00442-017-3968-3
Free, B. J. (1982). Bees and Mankind. London: George Allen & Unwin Ltd.
157
Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Potensial Bumi Lancang Kuning
Freitas, B. M., Filho, A. J. S. P., Andrade, P. B., Lemos, C. Q., Rocha, E. E. M., Pereira, N.
O., … Mendonca, K. S. (2014). Forest remnants enhance wild pollinator visits
to cashew flowers and mitigate pollination deficit in NE Brazil. J. Poll. Ecol.,
12, 22–30.
Hadisoesilo, S. (2001). Review: Keanekaragaman Spesies Lebah Madu Asli Indonesia.
Biodiversitas, 2(1), 123–128.
Harrison, M. E., Husson, S. J., Zweifel, N., D’Arcy, L. J., Morrogh-Bernard, H. C., van
Noordwijk, M. A., & van Schaik, C. P. (2013). Trends in fruiting and flowering
phenology with relation to abiotic variables in Bornean peat-swamp forest tree
species suitable for restoration activities. Kalimantan Forests and Climate
Partnership.
Herbert jr., E. ., & Shimanuki, H. (1978). Chemical composition and nutritive value of
bee-collected and bee-stored pollen. Apidologie, 9, 33–40.
https://doi.org/10.1051/apido:19780103
Hrassnigg, N., & Crailsheim, K. (2005). Differences in drone and worker physiology in
honeybees (Apis mellifera). Apidologie, 36, 255–277.
https://doi.org/10.1051/apido:2005015
Huang, M. H., & Seeley, T. . (2003). No TitleM.H. Huang and T.D. Seeley. Multiple
Unloadings by Nectar Foragers in Honey Bees: A Matter of Information
Improvement or Crop Fullness?, 50, 1–10. https://doi.org/10.1007/s00040-003-
0682-4
Huang, Z. (2012). Honey Bee Nutrition [Internet]. Michigan State University. 2012 [cited
2019 Jul 8]. Available from: https://articles.extension.org/pages/28844/honey-
bee-nutrition%0D%0D%0A
Jikalahari. (2014). Fakta Kritis Analisa Tata Kelola Kehutanan di Provinsi Riau.
Kahono, S., Lupiyaningdyah, P., Erniwati, H., & Nugroho. (2012). Potensi dan
pemanfaatan serangga penyerbuk untuk meningkatkan produksi kelapa sawit
di perkebunan kelapa sawit Desa Api-Api, Kecamatan Waru, Kabupaten
Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur. Zoo Indonesia, 21, 23–34.
Kleinschmidt, G. (1990). The parameters of protein in bee biology. Honey Research
Council Nutrition Workshop. Brisbane: The University of Queensland Gatton
College.
Kleinschmidt, G. J., & Kondos, A. C. (1976). The influence of crude protein levels on
colony production. Aust. Beekeep, 78, 36–39.
Knox, D. A., Shimanuki, H., & Herbert, W. (1971). Diet and the longevity of adult honey
bee. Journal of Economic Entomology, 64, 1415–1416.
https://doi.org/10.1093/jee/64.6.1415
Lee, F. J., Rusch, D. B., Stewart, F. J., Mattila, H. R., & Newton, I. L. G. (2015). Saccharide
breakdown and fermentation by the honey bee gut microbiome.
Environmental Microbiology, 17(3), 796–815. https://doi.org/10.1111/1462-
2920.12526
158
Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Poensial Bumi Lancang Kuning
Mourizio, A. (1975). Bienenbotanik. Illonois: Dadant and Sons Hamilton.
Nicolson, S.W., & Thornburg, R. . (2007). Nectar chemistry. In Nectar and Nectaries, ed.
SW Nicolson, M Nepi, E Pacini. Dordrecht,. In Neth.: Springer.
Nicolson, Susan Wendy, & Human, H. (2013). Chemical composition of the “low quality”
pollen of sunflower (Helianthus annuus, Asteraceae). Apidologie, 44(2), 144–
152. https://doi.org/10.1007/s13592-012-0166-5
Pribadi, A., & Purnomo. (2013). Agroforestry Sorghum (Sorghum Spp.) pada HTI Acacia
crassicarpa sebagai Sumber Pakan Lebah Apis cerana di Propinsi Riau untuk
Mendukung Budidaya Lebah Madu. Prosiding Seminar Masyarakat
Agroforestri Indonesia. Malang.
Purnomo, Pribadi, A., Janneta, S., & Suhendar. (2012). Tehnik produksi raw propolis
lebah Trigona itama dengan modifikasi kotak dan lingkungan. Kuok.
Puslitbang Perkebunan. (2015). Lebah Madu (Apis spp.) Sebagai Agens Penyerbuk Pada
Tanaman Kelapa.
Sagili, R. R., & Burgett, D. M. (2011). Evaluating Honey Bee Colonies for Pollination: A
Guide for Commercial Growers and Beekeepers.
Seeley, T. D. D. (2010). Honeybee Democracy. New Jersey: Princeton University Press.
Simcock, N. K., Gray, H., Bouchebti, S., & Wright, G. A. (2017). Appetitive olfactory
learning and memory in the honeybee depend on sugar reward identity.
Journal of Insect Physiology, (August).
https://doi.org/10.1016/j.jinsphys.2017.08.009
Soerianegara, I. ., & Lemmens, R. H. M. J. (2001). Plant Resources of South East Asia
Timber Trees. Major commercial timbers 5(1). Bogor: Prosea.
Somerville, D. (2005). Fat Bees Skinny Bees -a manual on honey bee nutrition for
beekeepers-. Australian Government Rural Industries Research and
Development Corporation, (05), 1–142.
The ‘ Bee ’ a Detective Scavenger Hunt Team. (2019).
Warisno. (1996). Budidaya Lebah Madu. Yogyakarta: Kanisius.
Willms, W., Imperatriz-Fonseca, V. L., & Engels, V. (1996). Resource partitioning
between highly eusocial bees and possible impact of the introduced Africanized
honey bee on native stingless bees in the Brazilian Atlantic Rainforest. Stud.
Neotrop. Fauna Environ, 31, 137–151.
Wilson, M. B., Brinkman, D., Spivak, M., Gardner, G., & Cohen, J. D. (2015). Regional
variation in composition and antimicrobial activity of US propolis against
Paenibacillus larvae and Ascosphaera apis. Journal of Invertebrate Pathology,
124, 44–50. https://doi.org/10.1016/j.jip.2014.10.005
Wright, G. A., Nicolson, S. W., & Shafir, S. (2018). Nutritional Physiology and Ecology
of Honey Bees. Annual Review of Entomology, 63(1), annurev-ento-020117-
043423. https://doi.org/10.1146/annurev-ento-020117-043423
159
Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Potensial Bumi Lancang Kuning
160
Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Poensial Bumi Lancang Kuning
XII.
NILAI HARAPAN LAHAN
PENGUSAHAAN GERONGGANG DI BENGKALIS
(Hery Kurniawan & Michael Daru Enggar W.)
(Ahmad
162
Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Poensial Bumi Lancang Kuning
Riau merupakan produsen karet kering terbesar ketiga di Indonesia
(10%) setelah Sumatera Selatan (27,5%) dan Sumatera Utara (12,79%). Sekitar
12.608 ha merupakan Perkebunan Besar Negara, 27.585 ha merupakan
Perkebunan Besar Swasta, dan sekitar 310.121 ha merupakan Perkebunan Rakyat
(BPS, 2018). Masih menurut BPS (2018), luas perkebunan karet yang ada di
Provinsi Riau adalah 350,3 ribu ha, dengan produksi totalnya mencapai 362,8
ribu ton. Sehingga produktivitas per hanya adalah 1173 Kg. Sedangkan untuk
Kabupaten Bengkalis, pada tahun 2017 luas perkebunan karet mencapai
21.125,10 ha dengan produksinya mencapai 44.281,9 ton. Sehingga rata-rata
produksi per hanya adalah 2,1 ton (BPS Kabupaten Bengkalis, 2018).
Sisi keberlanjutan keberadaan komoditas karet sebenarnya perlu untuk
diupayakan oleh seluruh pihak. Meskipun harga karet alam mengalami
penurunan sejak tahun 2013 (Anonim, 2017), akan tetapi karet alam merupakan
komoditas yang memiliki kontribusi signifikan terhadap perkonomian
masyarakat di pedesaan. Petani karet alam menghadapi kondisi pasar yang
monopsoni. Ketiadaan lembaga ekonomi formal yang mampu meningkatkan
daya tawar dan pendapatan petani di pedesaan, menjadikan penjualan karet
banyak melalui para tauke (tengkulak yang bertindak sebagai middle-man di
pedesaan)(Syahza et al., 2016). Di sisi lain karet alam pun ramah lingkungan
karena sejalan dengan perlindungan keanekaragaman hayati yang ada di
sekitarnya (Ramdani et al., 2018). Berbeda dengan industri perkebunan kelapa
sawit, sekalipun sawit memberikan sumbangsih yang tidak sedikit terhadap GNP
dan ekspor nasional, akan tetapi risiko lingkungan, berupa kebakaran hutan dan
deforestasi, cukup tinggi (Miettinen et al., 2012).
Industri karet alam Indonesia, khususnya Provinsi Riau, sampai dengan
saat ini, masih “terperangkap” pada pengembangan produk-produk antara,
sedangkan pengembangan industri hilir yang menghasilkan produk-produk
akhir masih terbatas. Lebih dari 90% produk-produk karet yang dihasilkan
(Crump Rubber, SIR, RSS, dan Crepe) diekspor, hanya kurang dari 5% yang
diolah menjadi produk-produk akhir (Bakce, 2014). Kondisi ini semakin
memperlambat perbaikan kondisi pasar karet alam serta perkembangan produk-
produk karet olahan.
Perkembangan komoditi kelapa sawit di satu sisi, menimbulkan
ketimpangan pendapatan antar daerah dan antar petani terutama dengan petani
163
Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Potensial Bumi Lancang Kuning
karet dan kelapa. Pasar komoditi kelapa sawit saat ini cukup terjamin, berbeda
dengan pasar komoditi karet yang cenderung melemah. Perkembangan komoditi
kelapa sawit di Riau telah menggeser usaha tani komoditi karet alam. Perkebunan
karet di Riau masih dikelola secara tradisional, pengelolaannya dilakukan secara
sederhana. Tingkat produktivitasnya rendah, yaitu sekitar 738 kg/ha/tahun
(Syahza et al., 2016).
Pemerintah dapat berperan dalam membantu petani karet berupa
memberikan bantuan bibit unggul dan biaya pupuk sehingga dapat memangkas
operasional, atau mengeluarkan kebijakan lain untuk mengendalikan harga karet.
Produktivitas getah karet masih bisa ditingkatkan dengan cara memakai bibit
unggul dan peremajaan tanaman yang sudah tua/rusak (Ardiansyah et al., 2017).
Pemerintah juga diharapkan dapat membantu memberikan penyuluhan tentang
teknik penanaman dan pemeliharaan kebun karet yang baik agar dapat
meningatkan produksi getah. Selain itu, perlu adanya peningkatan kesadaran
petani karet terhadap pentingnya pendidikan yang lebih baik, karena tingkat
pendidikan dapat berpengaruh pada tinggi rendahnya pendapatan rumah tangga
(Arianto et al., 2014).
A.2. Sagu
Sagu telah menjadi komoditas pertanian unggulan di Riau. Sebarannya
meliputi daerah pesisir, pulau-pulau besar dan kecil di Kabupaten Bengkalis,
Indragiri Hilir, Kampar, Pelalawan dan Siak. Setidaknya terdapat tiga lokasi
utama penghasil sagu di Riau, yakni Kabupaten Meranti, Kabupaten Indragiri
Hilir, dan Kabupaten Bengkalis. Luas lahan pertanian sagu di Riau pada tahun
2018 adalah 82.257 ha, sedangkan produksinya adalah 328.257 ton (Kementerian
Pertanian, 2018).
Luas perkebunan sagu di tingkat nasional pada tahun 2018 mencapai
208.752 ha, dengan produksinya mencapai 390.155. Dari jumlah produksi ini
71,79% dihasilkan oleh perkebunan rakyat dan 28,21% dari perkebunan besar
swasta. Riau memiliki lahan perkebunan sagu seluas 71.004 ha dengan
produksinya mencapai 1.572 ton pada tahun 2018. Di Bengkalis terdapat 2.875 ha
lahan sagu dengan lahan produktifnya mencapai sekitar 1500 ha (Kementan,
2017).
Masyarakat Bengkalis telah lama mengenal sagu sebagai sumber bahan
pangan yang dijadikan tepung sebelum diolah menjadi berbagai macam panganan
164
Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Poensial Bumi Lancang Kuning
seperti mie sagu, kue tradisional, bubur dan sebagainya. Menurut Nusantara et al.
(2014), diversifikasi produk pertanian seperti sagu, akan menjadikan produk
pertanian tersebut lebih terbuka ke pasar yang lebih luas, tidak hanya di pasar
domestik tapi juga pasar luar negeri. Namun demikian masih dijumpai beberapa
kendala pengembangan agroindustri sagu, diantaranya kurangnya strategi
promosi yang mengedepankan sagu sebagai pati serbaguna, pengembangan
produk sagu di segmen pasar tertentu dan ekspansi pasar untuk produk sagu yang
dihasilkan oleh usaha kecil menengah (FAO, 2013).
Gambar 12.1. Tual sagu siap diangkut ke kilang pengolahan (kiri); Kondisi
salah satu hutan sagu di Bengkalis (kanan)
Gambar 12.2. Tanaman geronggang milik LSM Ikatan Pemuda Melayu Peduli
Lingkungan Bengkalis (atas); Salah satu produk pintu
menggunakan bahan kayu geronggang (bawah)
169
Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Potensial Bumi Lancang Kuning
pengeluaran/biaya (cost) maupun pendapatan (revenue) (Kurniawan dan Yuniati,
2015).
Analisis nilai harapan lahan (Land Expectation Value) adalah suatu istilah
yang biasa digunakan untuk menerangkan nilai bersih saat ini dari suatu lahan
kosong yang digunakan untuk menghasilkan kayu dihitung selama jangka tak
hingga (perpetual series) atas tanaman kayu yang ditumbuhkan di atas lahan
tersebut (Davis, 1987). LEV juga mencerminkan nilai tambahan maksimum yang
dapat dihasilkan pada permulaan rotasi untuk pembelian aktual lahan dan masih
mampu manghasilkan pengembalian atas total investasinya sebesar discount rate
yang digunakan. Sehingga LEV juga merupakan kesanggupan maksimum untuk
membayar lahan untuk penggunaan kehutanan berdasarkan harapan-harapan
manajemen (Klemperer, 1996).
Formula dasar nilai harapan lahan (LEV/SEV) adalah,
a
LEV =
(1 + i)n − 1
a = pendapatan bersih (NPV) pada umur/daur tertentu (Rp/luas/daur)
i = suku bunga riil (%) per satuan waktu
n = jangka waktu dalam perioda investasi
Rumus di atas, oleh Faustman (1846) dikembangkan menjadi formula
yang penjabarannya sebagai berikut : (disebut dengan formula Faustmann)
𝐿𝑒
(1 + 𝑖)𝑟 − 1 (1 + 𝑖)𝑟 − 1
𝑌𝑟 + 𝑇𝑎(1 + 𝑖)𝑟−𝑎 + 𝑇𝑏(1 + 𝑖)𝑟−𝑏 + 𝐼 − 𝐶𝑎(1 + 𝑖)𝑟−𝑎 + 𝑆𝑏(1 + 𝑖)𝑟−𝑏 − 𝑒
𝑖 𝑖
= 𝑟
(1 + 𝑖) − 1
dimana :
Harga yang digunakan adalah harga konstan pada tahun dasar 2019,
sedangkan suku bunga yang digunakan adalah suku bunga riil untuk sepuluh
tahun terakhir berdasarkan suku bunga pasar dan rata-rata inflasinya. Suku
bunga riil didapatkan menggunakan formula Heers dan Lefers,
𝑚−𝑓
𝑖=
1+𝑓
dimana :
171
Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Potensial Bumi Lancang Kuning
a. Pola Usaha 1 = Jarak tanam geronggang 0.5 x 0.5 (m), tebang penjarangan
pertama enam tahun (569 tan), selanjutnya ditanami lagi untuk dipanen
enam tahun kemudian; Jumlah tanaman awal adalah 18.430 batang
dengan hasil akhir yang dipanen adalah 1.488 batang (1081 tan), afkir
sebanyak ±942 btg.
b. Pola Usaha 2 = Jarak tanam geronggang 1 x 0,5 (m), tebang penjarangan
pertama enam tahun (285 tan), selanjutnya ditanami lagi untuk dipanen
enam tahun kemudian (285 tan); Jumlah tanaman awal adalah 9.215
batang dengan hasil akhir yang dipanen adalah 744 batang (541 tan), afkir
sebanyak ±471 btg.
c. Pola Usaha 3 = Untuk kayu cerocok tiga tahunan, dengan jarak tanam 0,5
x 0,5 (m). Jumlah tanaman adalah 18.430 batang.
d. Pola Usaha sagu = Jarak tanam sagu adalah 10 x 10 (m), pada tengah-
tengah ditambah satu tanaman lagi. Panen umur sepuluh tahun, harga
batang sagu adalah Rp. 40.000,-/tual. Harga bibit Rp. 5000,-/bibit, harga
pupuk dolomite Rp. 40.000,-/sak, dan urea Rp. 15.000,-/Kg. Pemupukan
dilakukan dengan alternative 1 kali dan 2 kali pemupukan.
e. Pola Usaha Karet, jumlah tanaman adalah 476-500 tanaman per ha. Data
produksi mengacu pada hasil penelitian produksi karet di Kabupaten
Kampar oleh Utari dkk. (2016), yang dianggap memiliki karakteristik
lahan yang tidak jauh berbeda dengan Kabupaten Bengkalis. Produksi
rata-rata getah karet di Kabupaten Bengkalis pada tahun 2017 menurut
data BPS adalah 2,1 ton/ha, sedangkan rata-rata produksi dalam
penelitian ini adalah 2,4 ton/ha (selama daur 25 tahun).
4. Harga yang digunakan adalah harga konstan pada tahun dasar 2019 (hasil
wawancara), untuk kayu geronggang dengan satuan tan. Tan merupakan
satuan lokal yang setara dengan volume kayu 7200 inchi, harganya pada saat
pengambilan data adalah Rp. 3.500.000,-/tan, dan Rp. 20.000,-/tan untuk
cerocok. Harga sagu per tualnya (ukuran ±40 inchi) adalah Rp. 40.000,-.
Harga karet menggunakan harga Rp. 6000.-/kg, yakni harga pada saat
dilakukan wawancara, yang kemudian di-crosscheck dengan harga rata-rata
lima tahun terakhir. Sedangkan suku bunga yang digunakan adalah suku
bunga riil untuk sepuluh tahun terakhir berdasarkan suku bunga pasar dan
rata-rata inflasinya.
172
Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Poensial Bumi Lancang Kuning
5. Untuk mengukur kelayakan usaha karena perubahan suku bunga, digunakan
suku bunga pembanding di atas dan dibawah suku bunga riil (5,9% dan 7,9%).
6. Harga Jual Dasar dan volume kayu yang dihasilkan pada akhir daur
didasarkan pada perkiraan minimal yang dapat dihasilkan.
7. Daur yang dipakai sebagai dasar perhitungan adalah tiga tahun (kayu
cerocok), sepuluh tahun (jarak tanam 1 x 1 (m)) dan 12 tahun (jarak tanam 1
x 0,5 (m)) untuk geronggang, 12 tahun untuk sagu, dan 25 tahun untuk karet.
Analisis LEV dilakukan untuk ketiga komoditas secara perpetual atau daur
pengelolaan tak terhingga lamanya.
8. Pada pengusahaan sagu, hanya pada daur pertama (12 tahun pertama) muncul
biaya-biaya awal seperti penyiapan lahan, pembelian bibit, pembuatan
lubang tanaman, dsb. Selanjutnya mulai tahun ke-13, pemanenan dilakukan
setiap tahun dengan biaya-biaya tertentu saja seperti pemupukan dan
pemanenan. Sehingga analisis LEV nya adalah penjumlahan NPV daur
pertama ditambah LEV perpetual annual series dari tahun ke-13 dan
seterusnya.
9. Biaya investasi tetap seperti biaya pengadaan jalan, pengadaan bangunan,
pengadaan peralatan kantor diasumsikan tidak ada, biaya pembuatan
bangunan persemaian tidak permanen dimasukkan dalam tahun nol.
10. Biaya sewa lahan (Pajak Bumi dan Bangunan) diasumsikan berdasarkan NJOP
berupa kebun, dengan asumsi harga jual Rp. 100.000,-/m2. Dengan rumus
perhitungan PBB = 0,5% x 40% x (NJOP – NJOPTKP) = Rp. 1.976.000,-
/ha/tahun untuk semua pola usaha.
11. Biaya pemupukan untuk pengusahaan geronggang diasumsikan nol (tidak
memerlukan pemupukan). Biaya pemupukan untuk pengusahaan sagu, pada
awal penanaman dibutuhkan dolomite sebanyak 60 kg, harga per 20 kg/sak
adalah Rp. 40.000,-. Pupuk urea 2 kali setahun, per rumpun memerlukan 300
gram sekali pemupukan.
12. Jumlah kayu afkeer untuk geronggang diperkirakan 942 batang pada
pengusahaan tanaman geronggang dengan jarak tanam 1 x 0,5 (m).
B.2. Nilai Harapan Lahan Pengusahaan Geronggang, Sagu dan Karet
Hasil penghitungan nilai harapan lahan pengusahaan geronggang, sagu
dan karet disajikan pada gambar 12.4. Pada grafik dapat dibaca bahwa nilai
harapan lahan pengusahaan tanaman geronggang terdapat tiga macam pola
pengusahaan, yakni dengan jarak tanam 1 x 0,5 (m); dengan jarak tanam 1 x 1(m);
173
Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Potensial Bumi Lancang Kuning
dan kayu cerocok. Sedangkan pada pengusahaan tanaman sagu terdapat dua pola,
yakni dengan satu kali pemupukan dan dua kali pemupukan. Sementara pada
pengusahaan karet hanya dengan satu pola pengusahaan. Pola-pola ini
merupakan pola atau sistem pertanian yang biasa dilakukan oleh masyarakat di
Bengkalis. Pada kenyataannya pola pertanaman yang ada bisa sangat bervariasi
sesuai dengan kemauan dan potensi lahan yang dimiliki masyarakat.
Penyederhanaan menjadi tiga pola, dua pola dan satu pola penanaman
sebagaimana di atas, dimaksudkan untuk lebih memudahkan dalam memahami
namun tetap tidak keluar dari praktek pertanian sesungguhnya yang dilakukan
oleh masyarakat Bengkalis.
LEV
(Rp)
2.000.000.000
-
harga-25%
harga-50%
harga-25%
harga-50%
harga-25%
harga-50%
normal
normal
normal
Gambar 12.5. Grafik perubahan LEV geronggang oleh perubahan harga jual
produk pada tiga tingkat suku bunga
Pada Gambar 12.5. di atas, terlihat bahwa penurunan harga jual produk
kayu geronggang akan mengurangi nilai harapan lahannya. Pada analisis
kepekaan usaha, diasumsikan penurunan harga terjadi pada 25% dan 50%.
Penurunan harga sebesar ini apakah berpengaruh kuat terhadap pengusahaan
175
Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Potensial Bumi Lancang Kuning
geronggang? Berdasarkan grafik diatas, penurunan yang cukup besar terjadi pada
nilai harapan lahan pada setiap level penurunan harga yang diujikan pada
komoditas geronggang. Pada pola penanaman geronggang jarak tanam 1 x 0,5 (m),
dengan penurunan harga sebesar 25% maka penurunan atau selisih LEV dengan
harga normal mencapai hingga 40%. Sedangkan pada penurunan harga sebesar
50% maka selisih nilai LEV nya bisa mencapai 85%. Namun demikian, nilai LEV
pada penurunan harga hingga 50% masih bernilai positif, artinya pengusahaan
geronggang pada level harga tersebut masih memberikan keuntungan dan masih
layak dilanjutkan. Nilai nominal LEV pada penurunan harga 25% dan pada tiga
suku bunga berturut turut Rp. 2.913.830; Rp. 2.377.978; Rp. 1.981.000.
100
%
80
60
40
20
-
normal
normal
normal
harga-25%
harga-50%
harga-50%
harga-25%
harga-25%
harga-50%
Rp
6.000.000.000
5.000.000.000
4.000.000.000
3.000.000.000
2.000.000.000
1.000.000.000
-
normal
normal
normal
harga-25%
harga-50%
harga-25%
harga-50%
harga-25%
harga-50%
1mx0,5m 1mx1m Cerocok
Geronggang
Gambar 12.7. Penurunan nilai nominal LEV (Rp) oleh penurunan harga jual
produk kayu geronggang
Pada gambar 12.7., di atas dapat kita lihat grafik menunjukkan adanya
penurunan nilai LEV dengan nominal yang berbeda-beda. Secara nominal
penurunan terbesar adalah pada pengusahaan geronggang dengan jarak tanam 1
x 0,5 (m), diikuti jarak tanam 1 x 1 (m) baru kemudian nilai penurunan LEV
terkecil adalah pada kelas pengusahaan cerocok geronggang. Sehingga terlihat
grafiknya untuk pengusahaan kayu cerocok adalah lebih landai dibandingkan
grafik lainnya. Namun demikian pada gambar 12.8, dapat kita pahami pula,
bahwa ternyata perbedaan suku bunga tidak berpengaruh terhadap persentase
(bukan nominal) nilai penurunan LEV oleh penurunan harga jual produk, hal ini
dapat diketahui dari posisi grafiknya yang berhimpit. Namun demikian,
perubahan secara nominal terlihat berbeda berdasarkan gambar 12.7. di atas.
Berdasarkan grafik di atas, dapat dijelaskan pula bahwa resiko pengusahaan
geronggang dengan jarak tanam 1 x 0,5 (m) memiliki tingkat LEV tertinggi,
177
Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Potensial Bumi Lancang Kuning
namun sangat sensitif terhadap perubahan harga, sehingga fluktuasinya lebih
tajam dibandingkan dengan kelas pengusahaan geronggang lainnya.
LEV (Rp)
Gambar 12.8. Grafik perubahan LEV sagu oleh perubahan harga jual produk
pada tiga tingkat suku bunga
178
Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Poensial Bumi Lancang Kuning
C. Prospek Pengusahaan Tanaman Geronggang
Geronggang merupakan tanaman asli lokal Riau yang memiliki habitat
utama di lahan gambut dan mampu tumbuh baik juga di lahan mineral. Sifat
kayunya yang mudah dikerjakan, awet serta memiliki tekstur dan warna kayu
yang menarik menjadikannya sebagai kayu primadona di wilayah Riau dan
sekitarnya. Pemanfaatannya banyak digunakan sebagai papan dan kayu
gergajian, serta untuk profil. Saat ini kayu geronggang cukup langka di pasaran
karena semakin menyusutnya potensi geronggang di hutan alam. Hutan alam di
Bengkalis seringkali mengalami kebakaran, kebakaran hebat pada tahun 2014
telah memusnahkan sebagian besar pohon geronggang. Langkanya kayu
geronggang ini menjadi sebab harganya yang tinggi di pasaran. Saat ini banyak
petani geronggang, termasuk LSM yang sangat giat dalam pengusahaan tanaman
geronggang. Puluhan kelompok tani pembudidaya tanaman geronggang telah
terbentuk baik yang diprakarsai oleh LSM maupun yang menanam sendiri. Salah
satu LSM pegiat geronggang adalah Ikatan Pemuda Melayu Peduli Geronggang
(IPMPL).
Tiga komponen penting sebagai pilar pengusahaan geronggang sangat
kondusif dalam mendorong iklim pengusahaan atau budidaya tanaman
geronggang di Kabupaten Bengkalis. Tiga komponen tersebut adalah faktor edafis
dan habitat yang cocok bagi budidaya geronggang, minat masyarakat yang tinggi,
serta potensi pasar yang besar menjadikan geronggang layak untuk diusahakan
dalam bentuk hutan tanaman, sehingga Bengkalis layak menjadi sentra
pengusahaan dan pengembangan kayu beserta produk-produk berbahan kayu
geronggang. Pengalaman masa lalu masyarakat dalam mengeksploitasi dan
mengolah kayu geronggang juga menjadi faktor pendorong lainnya yang
menempatkan geronggang sebagai kayu yang memiliki nilai ekonomi tinggi di
Bengkalis. Informasi yang diperoleh dari para pembalak kayu geronggang di masa
lalu, permintaan pasar dari negara-negara tetangga juga cukup tinggi. Beberapa
komponen yang kondusif ini diperkuat lagi dengan kemauan politik para pejabat
negara, termasuk Bupati Siak, Gubernur Riau serta Menteri Lingkungan Hidup
dan Kehutanan. Pada tahun 2018, harga jual kayu geronggang di Bengkalis
mancapai Rp. 3.000.000,-/tan. Sementara informasi yang didapatkan pada tahun
2019 harganya telah mencapai Rp. 3.500.000,-/tan. Tren kenaikan ini
diperkirakan masih akan terjadi mengingat makin langkanya kayu dari hutan
alam dan makin meningkatnya kebutuhan kayu untuk berbagai keperluan.
179
Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Potensial Bumi Lancang Kuning
Geronggang bukan hanya memiliki nilai jual secara finansial saja, namun
juga memiliki nilai ekonomi dalam arti yang luas, termasuk kemampuannya
dalam mempertahankan air di lahan gambut. Secara alami geronggang mampu
bertahan pada lokasi dengan permukaan air tanah gambut yang lebih tinggi
dibandingkan jenis tanaman lainnya seperti akasia. Sebagaimana akasia,
geronggang juga memiliki potensi untuk dimanfaatkan sebagai kayu penghasil
pulp. Kemampuan bertahan geronggang terhadap genangan akan mampu
mencegah dan mengurangi terjadinya kebakaran hutan dan lahan terutama pada
lokasi berlahan gambut yang banyak tersebar di Pulau Sumatera dan Kalimantan.
Selain itu telah banyak hasil penelitian yang termuat dalam beberapa jurnal
ilmiah, menunjukkan potensi kandungan kimia geronggang memiliki khasiat
sebagai obat beberapa penyakit. Dengan adanya potensi yang beragam dari
geronggang ini yakni manfaat finansial, ekonomi, lingkungan dan medis,
menjadikan geronggang akan tetap menarik untuk dibudidayakan.
Daftar Pustaka
Alimah, D. 2016. Kandungan Bahan Aktif Gerunggang (Cratoxylon arborescens
(Vahl.)Blume) dan Potensi Pemanfaatannya. Galam Volume 2 Nomor 1, Juni
2016. Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan
Banjarbaru.
Anonim. 2017 Natural rubber prices expected to decline. Weibold. the UK.
Ardiansyah, D. Yoza dan Y. Oktorini. 2017. Pengembangan Hutan Rakyat Berbasis
Tanaman Karet (Hevea brasilliensis) di Kecamatan Tanah Putih Kabupaten
Rokan Hilir. JOM Faperta UR Vol.4 No.1 Februari 2017.
Arianto, D., H. Ekwarso dan D. Tampubolon. 2014. Analisis Pendapatan Petani
Karet Kecamatan Bantan Kabupaten Bengkalis.
Astuti, M., Hafiza, E. Yuningsih, A.R. Wasingun, I.M. Nasution dan D. Mustikawati.
2014. Pedoman Budidaya Sagu (Metroxylon spp.) Yang Baik. Direktorat
Jenderal Perkebunan. Kementerian Pertanian.
Bakce, Djaimi. 2014. Supply chain management industri karet di Indonesia. Makalah
disajikan pada Seminar Nasional Ekonomi Pertanian dengan tema: “Mensiasati
ancaman degradasi industri perkebunan di Provinsi Riau” yang
diiselenggarakan oleh UIN SUSKA Riau bekerjasama denganPerhimpunan
Ekonomi Pertanian Indonesia (PERHEPI) Komisariat Daerah Pekanbaru pada
tanggal 1 November 2014 di Pekanbaru.
Bogidarmanti, R., N. Mindawati, dan Suhartati. 2011. Gerunggang ( Cratoxylon
arborescens Blume.) dan Terentang (Campnosperma coriaceum Jack. Dan C.
180
Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Poensial Bumi Lancang Kuning
auriculata Hook.f) : Jenis Alternatif Potensial Sebagai Bahan Baku Kayu Pulp.
Proceeding of the National Seminar of MAPEKI XIV, pp 315-326.
BPS. 2018. Statistik Karet Indonesia 2017. Badan Pusat Statistik Republik Indonesia.
BPS Kabupaten Bengkalis. 2018. Kabupaten Bengkalis Dalam Angka. BPS Kabupaten
Bengkalis.
BPS Kabupaten Bengkalis. 2017a. Indikator Kesejahteraan Rakyat Kabupaten Bengkalis
Tahun 2017. BPS Kabupaten Bengkalis.
BPS Kabupaten Bengkalis. 2017b. Statistik Daerah Kabupaten Bengkalis 2018. BPS
Kabupaten Bengkalis.
Daryono, H. 2009. Potensi, Permasalahan dan Kebijakan yang Diperlukan dalam
Pengelolaan Hutan dan Lahan Rawa Gambut Secara Lestari. Jurnal Analisis
Kebijakan Kehutanan Vol. 6 No. 2, Agustus 2009: 71-101.
FAO. 2013. Expert Consultation on the Establishment of A Sago Network for Asia and
the Pacific. Roundtable Report.
Gunawan H, Kobayashi S, Mizuno K, dan Kono Y. 2012. Peat swamp forest types and
their regeneration in Siak Kecil-Bukit Batu Biosphere Reserve, Riau, East
Sumatra, Indonesia. Mires and Peat 10:1-17
Hamid, A. 2018. Warga Desa Wonosari, Bengkalis Budidayakan Tanaman Geronggang.
m.medialaskar.com. Diakses tanggal 16 Mei 2019.
Hamid, A. 2019. Dianggap Cocok di Lahan Gambut, Warga Bengkalis Budidayakan
Pohon Geronggang di Desa Air Putih. www.medialaskar.com. Diakses tanggal
17 Mei 2019.
Indriani, D., H. Gunawan dan N. Sofiyanti. 2015. Survival Rate dan Total Akumulasi
Biomassa Permukaan Dari Lima Jenis Pohon Yang Digunakan Dalam
Eksperimen Restorasi Pada Lahan Gambut Bekas Terbakar di Area Transisi
Cagar Biosfer Giam Siak Kecil-Bukit Batu Desa Tanjung Leban, Bengkalis, Riau.
JOM FMIPA Volume 2 No 1 Februari 2015.
Junaedi, A. 2014. Pertumbuhan Tegakan dan Produktivitas Serta Laju Dekomposisi
Seresah Beberapa Jenis Pohon Lokal Pada Lahan Gambut di Kabupaten
Pelalawan, Riau. Tesis. Program Pasca Sarjana Fakultas Kehutanan Universitas
Gadjah Mada, Yogyakarta.
Junaedi, A. 2015. Pertumbuhan dan Mutu Bibit Geronggang (Cratoxylon arborescens )
Pada Tiga Wadah Bibit. Prosiding Workshop: promoting appreciation and
awareness on conservation of high value indigeneous wood species of Sumatra.
Balai Penelitian Teknologi Serat Tanaman Hutan Kuok.
Junaedi, A. 2018. Growth Performance of Three Native Tree Species for Pulpwood
Plantation in Drained Peatland of Pelalawan District, Riau. Indonesian Journal
of Forestry Research Vol. 5, No. 2, October 2018, 119-132.
Kemenhut. 2014.Statistik Kementerian KehutananTahun 2013. Jakarta (ID):
Kementerian Kehutanan.
181
Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Potensial Bumi Lancang Kuning
Kementan. 2017. Statistik Perkebunan Indonesia 2016-2018. Direktorat Jenderal
Perkebunan. Kementerian Pertanian.
Kurniawan, H. dan Yuniati, D. 2015. Pengaruh Biaya Pengendalian Hama Kutu Sisik
(Chionaspis sp.) Terhadap Nilai Harapan Lahan Budidaya Cendana (Santalum
album Linn.). Prosiding Diskusi Ilmiah: Sinergitas Peneliti, Widyaswara dan
Penyuluh Kehutanan dalam Diseminasi Informasi Guna Mendukung
Pembangunan Lingkungan Hidup dan Kehutanan NTT. Balai Penelitian dan
Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Kupang.
Kusumawati, S.A. 2017. Kebijakan dan Realita Perkebunan dan Industri Kelapa Sawit di
Provinsi Riau. Dinas Tanaman Pangan, Hortikultura dan Perkebunan. Focus
Working Group “Dampak PP 57-2016 tentang Gambut dan Implementasinya”.
Jakarta, 18 Mei 2017.
Miettinen J, Hooijer A, Shi C, et al. 2012 Extent of industrial plantations on Southeast
Asian peatlands in 2010 with analysis of historical expansion and future
projections. Gcb Bioenergy 4: 908-918.
Mindawati, N., R. Bogidarmanti, H.S. Nuroniah, A.S. Kosasih, Suharti, S. Rahmayanti, A.
Junaedi, E. Rahmat, Y. Rochmayanto. 2010. Silvikultur Jenis Alternatif
Penghasil Kayu Pulp. Sintesa Hasil Penelitian. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Hutan Tanaman. Bogor.
Mojiol, A.R., Wahyudi and N. Nasly. 2014. Growth Performance of Three Indigenous
Tree Species (Cratoxylum arborescensVahl. Blume, Alstonia spathulata Blume,
and Stemonurus scorpioides Becc.) Planted at Burned Area in Klias Peat Swamp
Forest, Beaufort, Sabah, Malaysia. Journal of Wetlands Environmental
Management, Volume 2, Number 1, April 2014.
Mubekti. 2011. Studi pewilayahan dalam rangka pengelolaan lahan gambut berkelanjutan
di Provinsi Riau. Jurnal Sains dan Teknologi Indonesia13(2): 88- 94.
Novita, Y., Rosnita dan Eliza. 2015. Analisis Sektor Ekonomi Unggulan Kabupaten
Bengkalis dengan Pendekatan Sektor Pembentukan Produk Domestik Regional
Bruto. JomFaperta Vol. 2, No.1 Februari 2015.
Nusantara AW, Baheri, dan Tondi L. 2014. Competitiveness analysis and development of
agroindustry in southeast sulawesi. International Journal Business and
Management Invention. 3 (3):80-86.
Ramdani, R., E.P. Purnomo dan R.D.P. Ahsani. 2018. Karet Alam Sebagai Basis
Pembangunan Pedesaan dan Peningkatan Taraf Hidup Masyarakat yang
Berkelanjutan. Jurnal Ilmu Pemerintahan Widya Praja Vol. 44, No. 1, Oktober
2018: 21-36.
Sufandi. 2006. Strategi Pengembangan Agroindustri Perdesaan di Kabupaten Bengkalis.
Tugas Akhir. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
Soerianegara, I. dan R.H.M.J. Lemmens. 2001. Plant Resources of South East Asia Timber
Trees. Major Commercial Timbers, 5(1) : 102-108. Bogor : Prosea.
182
Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Poensial Bumi Lancang Kuning
Syahza, A., Bakce, D., Suarman & Hamlin, N. 2016. Strategi percepatan pembangunan
ekonomi melalui penataan kelembagaan dan industri karet alam di Provinsi
Riau. Penelitian MP3EI tahun II. Universitas Riau Pekanbaru.
Syamsuar. 2018. Geronggang Alternatif Masa Depan Ekonomi Riau. www.madaniy.com.
Diakses tanggal 17 Mei 2019.
Syaufina, L. dan D.A.F. Hafni. 2018. Variabilitas Iklim dan Jejadian Kebakaran Huran dan
Lahan Gambut di Kabupaten Bengkalis Provinsi Riau. Jurnal Silvikultur
Tropika, Vol. 09 No. 1, April 2018, hal 60-68. ISSN: 2086-8227.
Utari, M., Yusmini dan S. Edwina. 2016. Analisis Kelayakan FInansial Usaha Perkebunan
Karet Program Eks UPP TCSDP di Desa Bina Baru Kecamatan Kampar Kiri
Tengah Kabupaten Kampar. Jom Faperta Vol. 3 No. 2 Oktober 2016.
Wahyunto, K. Nugroho dan F. Agus. 2016. Perkembangan Pemetaan dan Distribusi
Lahan Gambut di Indonesia. Buku: Lahan Gambut Indonesia (Edisi Revisi), Bab
2. Ed.: F. Agus, M. Anda, A. Jamil dan Masganti. IAARD Press. Badan Litbang
Pertanian.
Wardani, M., Denny dan Sutiyono. 2018. Spesies Pohon Hutan Rawa Gambut Sumatera.
Prosiding Seminar Nasional. Merawat Asa Restorasi Gambut, Pencegahan
Kebakaran dan Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat. Balai Penelitian dan
Kehutanan Palembang.
Widana, I. 2018. Banyak Nilai Ekonomisnya, Syamsuar Ajak Masyarakat Siak Manfaatkan
Lahan Gambut Tanam Geronggang. www.gonews.co.diakses tanggal 15 Mei
2019.
Zainun, W. Syafii, Y. Fauziah dan L.N. Firdaus. 2017. Morfologi Akar Tumbuhan di
Lahan Gambut Pasca Kebakaran. Handout Pembelajaran Biologi SMP Berbasis
Riset. Program Studi Pendidikan Biologi, Fakultas Keguruan dan Ilmu
Pendidikan Universitas Riau.
183
Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Potensial Bumi Lancang Kuning
184
Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Poensial Bumi Lancang Kuning
XIII.
KEARIFAN LOKAL TERHADAP GERONGGANG
DI KABUPATEN BENGKALIS
(Michael Daru Enggar W. & Hery Kurniawan)
(Ahmad
185
Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Potensial Bumi Lancang Kuning
Sumber://id.wikipedia.org/wiki/Berkas:Lokasi_Riau_Kabupaten_Bengkalis.svg
Gambar 13.1. Peta Kabupaten Bengkalis
186
Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Poensial Bumi Lancang Kuning
sebesar 63,67% dengan jumlah penduduk yang bekerja dan tingkat pengangguran
sebesar 8,62%. Sektor yang membuka kesempatan kerja di Kabupaten Bengkalis
dapat disajikan pada grafik berikut :
0,16
4,13 pertanian
4,3
4,94 jasa
5,19 perdagangan
34,23
konstruksi
8,18
industri pengolahan
pertambangan
Gambar 13.2. Persentase penduduk bekerja menurut lapangan kerja utama (BPS
Kab. Bengkalis, 2018)
187
Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Potensial Bumi Lancang Kuning
B. Kearifan Lokal: Konsep dan Fungsinya
Kearifan lokal adalah kumpulan pengetahuan dan cara berpikir yang
berakar dalam kebudayaan suatu kelompok manusia, yang merupakan hasil
pengamatan selama kurun waktu yang lama (Babcock, 1999). Kearifan lokal
tumbuh dan berkembang di masyarakat sebagai adaptasi masyarakat terhadap
kondisi lingkungan tempat tinggalnya. Salah satu aspek kearifan lokal masyarakat
tercermin dalam pengelolaan sumber daya alam hayati. Pendekatan kultural
dalam pengelolaan sumber daya hayati tidak saja ditujukan kepada pemenuhan
nilai-nilai spiritual dan kultural masyarakat, tetapi juga diarahkan untuk
menjamin kesinambungan sumber daya di alam agar tetap mampu dimanfaatkan
masyarakat (Droste 1995). Teknik-teknik pengelolaan ini telah dikenal luas
sebagai indigenous knowledge, local wisdom, ethnoecology, ethnobiology atau
istilah-istilah lain yang merujuk pada dominansi pengetahuan lokal dalam
pengelolaan sumber daya (Grenier 1998).
Menurut hasil penelitian Noor dan Rahman (2015), kearifan lokal
berkembang dalam lingkup lokal, menyesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan
masyarakat yang merupakan hasil kreativitas dan inovasi secara terus-menerus
dengan melibatkan masukan internal dan eksternal. Dengan demikian, kearifan
lokal merupakan kecerdasan manusia yang dimiliki oleh kelompok etnis tertentu
yang diperoleh melalui pengalaman masyarakat (Rahyono 2009). Sumarmi dan
Amirudin (2014) menjelaskan beberapa fungsi kearifan lokal, yaitu:
a. penanda identitas sebuah komunitas,
b. elemen perekat (aspek kohesif) lintas warga, lintas agama dan kepercayaan
c. kearifan lokal memberikan warna kebersamaan bagi sebuah komunitas,
d. mengubah pola pikir dan hubungan timbal balik individu dan kelompok
dengan meletakkannya di atas kebudayaan yang dimiliki, dan
e. mendorong terbangunnya kebersamaan, apresiasi sekaligus sebagai sebuah
mekanisme bersama untuk menepis berbagai kemungkinan yang mereduksi,
bahkan merusak, solidaritas komunal, yang dipercayai berasal dan tumbuh
di atas kesadaran bersama dari sebuah komunitas terintegrasi.
a b
Gambar 13.4. (a) Rumah menggunakan bahan baku kayu geronggang; (b)
Papan kayu geronggang sebagai dinding rumah
191
Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Potensial Bumi Lancang Kuning
menyadarkan masyarakat tentang pentingnya konservasi terhadap kayu
geronggang.
Pemanenan kayu geronggang oleh masyarakat Bengkalis dilakukan
dengan sistem tebang habis lorong (jalur). Sistem ini dilakukan dengan menebang
habis satu lorong dan membiarkan lorong sebelahnya. Fungsi dari perlindungan
lorong di sebelahnya adalah untuk konservasi air. Kayu geronggang hidup di
lahan gambut yang rawan terbakar sehingga keberadaannya cukup penting untuk
mengurangi risiko kebakaran lahan. Pohon geronggang secara ekologis mampu
menahan air tanah seperti spons raksasa sehingga apabila terjadi kebakaran lahan
tidak akan meluas karena adanya sekat bakar. Penebangan sistem jalur mampu
menjaga tata air dan mencegah kebakaran dengan geronggang sebagai sekat
bakar.
Salah satu LSM peduli lingkungan di Bengkalis sejak beberapa tahun
terakhir gencar menggalakkan konservasi dan budidaya tanaman geronggang
kepada masyarakat. LSM yang menamakan dirinya “Ikatan Pemuda Melayu
Peduli Lingkungan” telah berhasil membudidayakan tanaman geronggang di
Bengkalis. Budidaya geronggang yang dipelopori oleh LSM ini dilakukan dengan
menyemaikan biji geronggang yang dikumpulkan dari berbagai wilayah di Pulau
Bengkalis. LSM ini mempunyai beberapa persemaian permanen dan kebun
pertanaman yang tersebar di Pulau Bengkalis. Kebun tanaman geronggang yang
sudah dibangun oleh LSM ini kerjasama dengan masyarakat bervariasi mulai
umur tanaman nol sampai dengan siap panen 12 tahun lebih. LSM ini membantu
masyarakat dalam menyediakan bibit dan penyuluhan mengenai budidaya
geronggang serta berharap dapat menjaga kelestarian tanaman geronggang
sebagai tanaman asli dari Pulau Bengkalis.
Konservasi geronggang memang tidak dapat dipisahkan dengan aspek
pemanfaatan kayunya (faktor ekonomi). Adanya keuntungan finansial akan
mendorong masyarakat untuk ikut serta dalam konservasi dan pelestarian
tanaman geronggang. Tetapi perlu diperhatikan juga jangan sampai karena
mengejar finansial sampai mengesampingkan dampak lingkungan yang
ditimbulkan sesudahnya.
192
Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Poensial Bumi Lancang Kuning
Daftar Pustaka
Babcock, TG., 1999. Kearifan Masyarakat Dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Implikasi untuk Penelitian dan Praktis. Bahan Kursus TOT. Kendari : CEPI-
PSL UNHALU: 311 - 325 Sistem Pertanian Di Sulawesi Tenggara
Badan Pusat Statistik Kabupaten Bengkalis. 2018.
Bogidarmanti R., Mindawati N., dan Suhartati. 2011. Geronggang (Cratoxylon
arborescens Blume.) dan Terentang (Campnosperma coriaceum Jack. Dan
C.Auriculata Hook.f) : Jenis Alternatif Potensial Sebagai Bahan Baku Kayu
Pulp. Prosiding Seminar Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) XIV
: 315-326.
Droste BV, Plachter H, Rossler M. 1995. Cultural landscapes of universal value:
components of a global strategy. Paris (FR): UNESCO
Grenier L. 1998. Working with indigenous knowledge. International Development
Research Centre, Ottawa, Ontario,Canada.
Khazara N, Agustin V. 1999. Pemanfaatan Tumbuhan oleh Suku Walak di Kecamatan
Kelila Kabupaten Jayawijaya. Jayapura (ID): Laporan Penelitian.
Martawijaya, A. I.Kartasujana, K. Kadir dan S. Prawira. 1981. Atlas Kayu Indonesia .Jilid
I. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan. Bogor.
Martawijaya, A. I.Kartasujana, K. Kadir dan S. Prawira. 2005. Atlas Kayu Indonesia .Jilid
, II dan III. Badan Litbang Kehutanan. Bogor.
Noor M, Rahman A. 2015. Biodiversitas dan kearifan lokal dalam budidaya tanaman
pangan mendukung kedaulatan pangan: kasus di lahan rawa pasang surut.
[Pros Sem Nas Masy Biodiv Indon]. Banjarbaru (ID): Balittra. Vol 1(8): 1861-
1867.
Prawira, R.S.A. 1979. Pengenalan jenis-jenis kayu ekspor. Seri IX. Bagian Botani Hutan,
Lembaga Penelitian Hutan. Bogor
Rahyono FX. 2009. Kearifan Budaya Dalam Kata. Jakarta (ID): Wedatama Widyasastra
Sembori F, Tanjung RHR. 2009. Inventarisasi jenis tumbuhan pangan lokal pada
masyarakat Ambaidiru, Distrik Kasino, Kabupaten Yapen Waropen. [Jurnal
Biologi Papua]. Papua (ID): Universitas Papua. Vol. 1(36-41).
Soerianegara, I dan R.H.M.J Lemmens (eds). 2001. Plant Resources of South East Asia
Timber Trees. Major commercial timbers 5(1): 102-108. Prosea. Bogor.
Sumarmi, Amirudin. 2014. Pengelolaan Lingkungan Berbasis Kearifan Lokal. Malang:
Aditya Median Publishing.
http://tanahmerah-kepulauanmeranti.desa.id/2017/09/20/pokok-gerongang-sebagai-
kayu-pilihan/
193
Bunga Rampai Geronggang, Jenis Lokal Potensial Bumi Lancang Kuning