Anda di halaman 1dari 16

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Acquired immunodeficiency syndrome (AIDS) pertama kali dikenal pada
tahun 1981 di Amerika Serikat dan disebabkan oleh human immunodeficiency
virus (HIV-1). Aids adalah suatu kumpulan gejala penyakit kerusakan system
kekebalan tubuh, bukan penyakit bawaan tetapi didapat dari hasil penularan.
Penyakit ini merupakan persoalan kesehatan masyarakat yang sangat penting di
beberapa negara dan bahkan mempunyai implikasi yang bersifat internasional
dengan angka moralitas yang angka presentasinya di atas 80, pada penderita 3
tahun setelah timbulnya manifestasi klinik AIDS di seluruh dunia mencapai
angka lebih dari 12.000 orang dengan perincian, lebih dari 10.000 kasus di
Amerika Serikat, 400 kasus di Francis, sisanya di negara Eropa dan lainnya di
negara Amerika Latin dan Afrika. Pada pertengahan tahun 1998, sebanyak
lebih dari 60.000 kasus yang ditegakkan diagnosisnya sebagai AIDS di
Amerika Serikat telah dilaporkan pada communicable disease centre (CDC)
dan lebih dari setengahnya meninggal. Kasus-kasus AIDS baru terus-menerus
di monitor untuk ditetapkan secara pasti diagnosisnya. Ramalan baru-baru ini
dari United States Public Health Service menyatakan, bahwa pada akhir tahun
1991 banyaknya kasus AID secara keseluruhan di Amerika Serikat
diperkirakan akan meningkat paling sedikit menjadi 270.000 dengan 179.000
kematian. Telah dipekirakan juga, bahwa 74.000 kasus baru dapat didiagnosis
dan 54.000 kematian yang berhubungan dengan AIDS yang terjadi tahun 1991.
Sebagai perbandingan dapat dikemukakan, kematiam pasukan Amerika selama
masa perang di Vietnam berjumlah 47.000 korban.
Selain itu, berdasarkan data Departemen Kesehatan (Depkes) pada
periode juli-september 2006 secara kumulatif tercatat pengidap HIV positif di
tanah air telah mencapai 4.617 orang dan AIDS 6.987 orang. Menderita
HIV/AIDS di Indonesia dianggap aib, sehingga dapat menyebabkan tekanan

1|Page
psikologis terutama pada penderitanya maupun pada keluarga dan lingkungan
disekeliling penderita.
Secara fisiologis, HIV menyerang sistem kekebalan tubuh penderitanya.
Jika ditambah dengan stress psikososial-spiritual yang berkepanjangan pada
pasien terinfeksi HIV, maka akan mempercepat terjadinya AIDS, bahkan
meningkatkan angka kematian. Menurut Ross (1997), jika stress mencapai
tahap kelelahan (exhausted stage), maka dapat menimbulkan kegagalan fungsi
system imun yang memperparah keadaan pasien serta mempercepat terjadinya
AIDS. Modulasi respon imun penderita HIV/AIDS akan menurun secara
signifikan, seperti aktifitas APC (makrofag), Thl (CD4), IFN, IL-2,
Immunoglobulin A, G, E dan anti HIV. Penurunan tersebut akan berdampak
terhadap penurunan jumlah CD$ hingga mencapai 180 sel/tahun.
Pada umumnya, penanganan pasien HIV memerlukan tindakan yang
hampir sama. Namun berdasarkan fakta klinis saat pasien control ke rumah skit
menunjukkan adanya perbedaan respon imunitas (CD4). Hal tersebut
menunjukkan terdapat faktor lain yang berpengaruh, dan faktor yang diduga
sangat berpengaruh adalah stress.
Stress yang dialami pasien HIV menurut konsep psikoneuroimunologis,
stimulusnya akan melalui sel astroit pada cortical dan amigdala pada sistem
limbic berefek pada hipotalamus, sedangkan hipofisis akan menimbulkan CRF
(Corticotropin Releasing Factor). CRF memacu pengeluaran ACTH (Adrenal
corticotropic hormone) untuk memengaruhi kelenjar kortekss adrenal agar
menghasilkan kortisol. Kortisol ini bersifat immunosuppressive terutama pada
sel zona fasikulata. Apabila stress yang dialami pasien sangat tinggi, maka
kelenjar adrenal akan menghasilkan kostisol dalam jumlah besar sehingga
dapat menekan system imun (Apasou dan Sitkorsky), yang meliputi aktivitas
APC (makrofag), Th-1 (CD4), sel plasma, IFN, IL-2, IgM-IgG, dan Antibodi-
HIV.
Perawat merupakan faktor yang berperan penting dalam pengelolaan
stress, khususnya dalam memfasilitasi dan mengarahkan koping pasien yang
konstruktif agar pasien dapat beradaptasi dengan sakitnya. Selain itu, perawat

2|Page
juga berperan dalam pemberian dukungan sosial berupa dukungan emosional,
informasi, dan material (Batuman, 1990, Bear, 1996, Folkman dan Lazarus,
1998).
Salah satu metode yang digunakan dalam penerapan tekhnologi ini
adalah model asuhan keperawatan. Pendekatan yang digunakan adalah strategi
koping dan dukungan sosial yang bertujuan untuk mempercepat respon adaptif
pada paisen terinfeksi HIV, meliputi modulasi respon imun (Ader, 1991,
Setyawan, 1996, Putra, 1990), respon psikologis dan respon sosial (Steward,
1997). Dengan demikian, penelitian bidang imunologi memiliki empat variabel
yakni fisik, kimia, psikis, dan sosial dapat membuka nuansa baru untuk bidang
ilmu keperawatan dalam emngembangkan model pendekatan asuhan
keperawatan yang berdasarkan pada paradigma psikoneuroimunologi terhadap
pasien HIV (Nursalam, 2005).

B. Rumusan Masalah
1. Apakah pengertian dari HIV/AIDS ?
2. Bagaimana patofisiologi virus HIV?
3. Bagaimana manifestasi klinik dan pemeriksaan penunjang dalam
penanganan penularan virus HIV/AIDS?

C. Tujuan
1. Mengetahui pengertian HIV/AIDS serta memahami bahayanya.
2. Mengetahui dan memahami patofisiologi virus HIV.
3. Mengetahui dan mendeskripsikan manifestasi klinik dan pemeriksaan
penunjang dalam menangani penularan HIV/AIDS.

3|Page
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian HIV/AIDS
AIDS atau Sindrom kehilangan kekebalan tubuh adalah sekumpulan
gejala penyakit yang menyerang tubuh manusia sesudah system kekebalannya
dirusak oleh virus HIV. Akibat kehilangan kekebalan tubuh, penderita AIDS
mudah terkena berbagai jenis infeksi bakteri, jamur, parasit, dan virus tertentu
yang bersifat oportunistik. Selain itu penderita AIDS sering kali menderita
keganasan, khususnya sarcoma Kaposi dan imfoma yang hanya menyerang
otak. Virus HIV adalah retrovirus yang termasuk dalam family lentivirus.
Retrovirus mempunyai kemampuan menggunakan RNA-nya dan DNA pejamu
untuk membentuk virus DNA dan dikenali selama periode inkubasi yang
panjang. Seperti retrovirus yang lain, HIV menginfeksi tubuh dengan periode
inkubasi yang panjang (klinik-laten), dan utamanya menyebabkan munculnya
tanda dan gejala AIDS. HIV menyebabkan beberapa kerusakan system imun
dan menghancurkannya. Hal tersebut terjadi dengan menggunakan DNA dari
CD4+ dan limfosit untuk mereplikasi diri. Dalam proses tiu, virus tersebut
menghancurkan CD4+ dan limfosit.
Secara struktural morfologinya, bentuk HIV terdiri atas sebuah silinder
yang dikelilingi pembungkus lemak yang melingkar melebar. Pada pusat
lingkaran terdapat untaian RNA. HIV mempunyai 3 gen yang merupakan
komponen fungsional dan struktural. Tiga gen tersebut yaitu gag, pol, dan env.
Gag berarti group antigen, pol mewakili polymerase, dan env adalah
kepanjangan dari envelope (Hoffmann, Rockhstroh, Kamps. 2006). Gen gag
mengode protein inti. Gen pol mengode enzim reserve transcriptase, protease,
integrase. Gen env mengode komponen struktural HIV yang dikenal dengan
glikoprotein. Gen lain yang ada dan juga penting dalam replikasi virus, yaitu:
rev, nef, vif, vpu, dan vpr.

4|Page
B. Etiologi
HIV ialah retrovirus yang disebut lymphadenopathy Associated Virus
(LAV) atau human T-cell leukemia virus 111 (HTLV-111) yang juga disebut
human T-cell lymphotrophic virus (retrovirus) LAV di temukan oleh
montagnier dkk. Pada tahun 1983 di Prancis, sedangkan HTLV-111 di temukan
oleh Gallo di Amerika Serikat pada tahun berikutnya. Virus yang sama ini
ternyata banyak di temukan di Afrika tengah. Sebuah penelitian pada 200
monyet hijau Afrika, 70% dalam darahnya mengandung virus tersebut tanpa
menimbulkan penyakit. Nama lain virus tersebut ialah HIV.
HIV terdiri atas HIV-1 dan HIV-2 terbanyak karena HIV-1 terdiri atas
dua untaian RNA dalam inti protein yang di lindungi envelop lipid asal sel
hospes.
Virus AIDS bersifat limpotropik khas dan mempunyai kemampuan untuk
merusak sel darah putih spesifik yang di sebut limfosit T-helper atau limfosit
pembawa factor T4 (CD4). Virus ini dapat mengakibatkan penurunan jumlah
limfosit T-helper secara progresif dan menimbulkan imunodefisiensi serta
untuk selanjutnya terjadi infeksi sekunder atau oportunistik oleh kuman, jamur,
virus, dan parasit serta neoplasma. Sekali virus AIDS menginfeksi seseorang,
maka virus tersebut akan berada dalam tubuh korban untuk seumur hidup.
Badan penderita akan mengadakan reaksi terhadap invasi virus AIDS dengan
jalan membentuk antibodi spesifik, yaitu antibodi HIV, yang agaknya tidak
dapat menetralisasi virus tersebut dengan cara-cara yang biasa sehingga
penderita tetap akan terinfeksi dan dapat menularkan virusnya pada orang lain
disekelilingnya. Kebanyakan orang yang terinfeksi oleh virus AIDS hanya
sedikit yang menderita sakit atau sama sekali tidak sakit, akan tetapi pada
beberapa orang perjalanan sakit dapat berlangsung dan berkembang menjadi
AIDS yang full-blown.
C. Patofisiologi Virus HIV/AIDS
1. Mekanisme system imun yang normal
Sistem imun melindungi tubuh dengan cara mengenali bakteri atau virus
yang masuk ke dalam tubuh, dan bereaksi terhadapnya. Ketika system imun

5|Page
melemah atau rusak oleh virus seperti virus HIV, tubuh akan lebih mudah
terkena infeksi oportunistik. System imun terdiri atas organ dan jaringan
limphoid, termasuk di dalamnya sumsum tulang, thymus, nodus limfa,
limfa, tonsil, adenoid, appendix, darah, dan limpa.
a. Sel B
Fungsi utama sel B adalah sebagai imunitas antibodi humoral. Masing-
masing sel B mampu mengenali antigen spesifik dan mempunyai
kemampuan untuk mensekresi antibodi spesifik. Antibody bekerja
dengan cara membungkus antigen, membuat antigen lebih mudah untuk
difagositosis (proses penelanan dan pencernaan antigen oleh leukosit dan
makrofag. Atau dengan membungkus antigen dan memicu system
komplemen (yang berhubungan dengan respon inflamasi).
b. Limfosit T
Limfosit T atau sel T mempunyai 2 fungsi utama yaitu:
1) Regulasi sistem imun
2) Membunuh sel yang menghasilkan antigen target khusus.
Masing-masing sel T mempunyai marker permukaan seperti CD4+,
CD8+, dan CD3+, yang membedakannya dengan sel lain. Sel CD4+
adalah sel yang membantu mengaktivasi sel B, killer sel dan makrofag
saat terdapat antigen target khusus. Sel CD8+ membunuh sel yang
terinfeksi oleh virus atau bakteri seperti sel kanker.
3) Fagosit
4) Komplemen
2. Penjelasan dan komponen utama dari siklus hidup virus HIV
Secara struktural morfologinya, bentuk HIV terdiri atas sebuah silinder yang
dikelilingi pembungkus lemak yang melingkar-melebur. Pada pusat
lingkaran terdapat untaian RNA. HIV mempunyai 3 gen yang merupaan
komponen fungsional dan struktural. Tiga gen tersebut yaitu gag, pol, dan
env. Gag berarti grou antigen, pol mewakili polymerase, dan env adalah
kepanjangan dari envelope (Hoffman, Rockhstoh, Kamps, 2006). Gen gag
mengkode protein inti. Gen pol mengode enzim reverse transcriptase,

6|Page
protease, integrase. Gen env mengode komponen structural HIV yang di
kenal dengan glikoprotein. Gen lain yang ada juga penting dalam replikasi
virus yaitu : rev, nef, vif, vpu, dan vpr.
a. Siklus Hidup HIV
Sel pejamu yang terinfeksi oleh HIV memiliki waktu hidup sangat
pendek; hal ini berarti HIV secara terus-menerus menggunakan sel
pejamu baru untuk mereplikasi diri. Sebanyak 10 milyar virus dihasilkan
setiap harinya. Serangan pertama HIV akan tertangkap oleh sel dendrite
pada membrane mukosa dan kulit pada 24 jam pertama setelah paparan.
Sel yang terinfeksi tersebut akan membuat jalur ke nodus limfe dan
kadang-kadang ke pembuluh darah perifer selama 5 hari setelah paparan,
dimana replikasi virus menjadi samakin cepat.
Siklus hidup HIV dapat dibagi menjadi 5 fase, yaitu:
1) masuk dan mengikat
2) Reverse transkripstase
3) Replikasi
4) Budding
5) Maturasi
3. Tipe dan sub-tipe dari virus HIV
Ada 2 tipe HIV yang menyebabkan AIDS: HIV-1 dan HIV-2
HIV-1 bermutasi lebih cepat karena replikasi lebih cepat. Berbagai macam
subtype dari HIV-1 telah ditemukan dalam daerah geografis yang spesifik
dan kelompok spesifik resiko tinggi.Individu dapat terinfeksi oleh subtipe
yang berbeda.
Berikut adalah subtipe HIV-1 dan distribusi geografisnya:
Sub tipe A : Afrika tengah.
Sub tipe B : Amerika selatan, brasil, rusia, Thailand.
Sub tipe C : Brazil, India, Afrika selatan
Sub tipe D : Afrika tengah
Sub tipe E : Thailand, Afrika tengah
Sub tipe F : Brazil, Rumania, Zaire

7|Page
Sub tipe G : Zaire, Gabon, Thailang
Sub tipe H : Zaire, Gabon
Sub tipe O : Kamerun, Gabon
Sub tipe C: Sekarang ini terhitung lebih dari separuh dari semua infeksi HIV
baru di seluruh dunia.
4. Efek dari virus HIV terhadap sistem imun
Infeksi Primer atau Syndrom Retroviral Akut (Kategori Klinis A).
Infeksi primer berkaitan dengan periode waktu dimana HIV pertama
kali masuk kedalam tubuh. Pada waktu terjadi infeksi primer, darah pasien
menunjukkan jumlah virus yang sangat tinggi, ini berarti banyak virus lain
didalam darah.
Sejumlah virus dalam darah atau plasma per milimeter mencapai 1
juta. Orang dewasa yang baru terinfeksi sering menunjukkan syndrome
retroviral akut. Tanda dan gejala dari syndrome retrofiral akut ini meliputi :
panas, nyeri otot, sakit kepala, mual, muntah, diare, berkeringat dimalam
hari, kehilangan berat badan, dan timbul ruam. Tanda dan gejala tersebut
biasanya muncul dan terjadi 2-4 minggu setelah infeksi, kemudian hilang
atau menurun setelah beberapa hari dan sering salah terdeteksi sebagai
influenza atau infeksi mononucleosis.
Selam infeksi primer jumlah limfosit CD4+ dalam darah menurun
dengan cepat. Target virus ini adalah limfosit CD4+ yang ada di nodus limfa
dan thymus. Keadaan tersebut membuat individu yang terinfeksi HIV rentan
terkena infeksi opotunistik dan membatasi kemampuan thymus untuk
memproduksi limfosit T. Tes antibody HIV dengan menggunakan enzyme
linked imunoabsorbent assay (EIA) akan menunjukkan hasil positif.
5. Cara penularan HIV/AIDS
Virus HIV menular melalui enam macam penularan, yaitu:
a. Hubungan seksual dengan pengidap HIV/AIDS
Hubungan seksual secara vaginal, anal, dan oral dengan penderita HIV
tanpa perlindungan bisa menularkan HIV. Selama hubungan seksual
berlangsung, air mani, cairan vagina, dan darah dapat mengenai selaput

8|Page
lendir vagina, penis, dubur, atau mulut sehingga HIV yang terdapat
dalam cairan tersebut masuk ke aliran darah (Pelkesi, 1995). Selama
berhubungan juga bisa terjadi lesi mikro pada dinding vagina, dubur, dan
mulut yang bisa menjadi jalam HIV untuk masuk ke aliran darah
pasangan seksual (Syaiful, 2000).
b. Ibu pada bayinya
Penularan HIV dari ibu pada saat kehamilan (in utero). Berdasarkan
laporan CDC Amerika, prevalensi HIV dari ibu ke bayi adalah 0.01%
sampai 0,7%. Bila ibu baru terinfeksi HIV dan belum ada gejala AIDS,
kemungkinan bayi terinfeksi sebanyak 20% sampai 35%, sedangkan
kalau gejala AIDS sedah jelas pada ibu kemungkinannya mencapai 50%
(Pelkesi, 1995). Penularan juga terjadi selama proses persalinan melalui
transfuse fetomaternal atau kontak anatara kulit atau membrane mukosa
bayi dengan darah atau sekresi maternal saat melahirkan (Lily V, 2004).
c. Darah dan produk darah yang tercemar HIV/AIDS
Sangat cepat menularkan HIV karena virus langsung masuk ke pembuluh
darah dan menyebar ke seluruh tubuh.
d. Pemakaian alat kesehatan yang tida steril
Alat pemeriksaan kandungan seperti speculum, tenakulum, dan alat-alat
lain. Darah, cairan vagina atau air mani yang terinfeksi HIV dan
langsung di gunakan untuk orang lain yang tidak terinfeksi bisa
menularkan. (Pelkesi, 1995).
e. Alat-alat untuk menoreh kulit
alat tajam dan runcing seperti jarum, pisau, silet menyunat seseorang,
membuat tatto, memotong rambut, dsb bisa menularkan HIV sebab alat
tersebut mungkin dipakai tanpa disterilkan terlebih dahulu.
f. Menggunakan jarum suntik secara bergantian
jarum suntik yang digunakan difasilitasi kesehatan maupun yang
digunakan oleh para pengguna narkoba (injecting drug user-IDU) sangat
berpotensi menularkan HIV. Selain jarum suntik, para pemakai IDU juga
menggunakan tempat penyampur, pengaduk, dan gelas pengoplos obat

9|Page
secara bersama-sama sehingga berpotensi tinggi untuk menularkan HIV.
HIV tidak menular melalui peralatan makan,pakaian, handuk, sapu
tangan, toilet yang dipakai bersama-sama, berpelukan di pipi, berjabat
tangan, hidup serumah dengan penderita HIV/AIDS, gigitan nyamuk, dan
hubungan sosial lain.

D. Manifestasi Klinis
Gejala dini yang sering dijumpai berupa eksantem, malaise, demam yang
menyerupai flu biasa sebelum tes serologi positif. Gejala dini lainnya berupa
penurunan BB lebih dari 10% dari BB semula, berkeringat malam, diare
kronik, kelelahan, limfadenopati. Beberapa ahli klinik telah membagi beberapa
fase infeksi yaitu:
1. Infeksi HIV stadium pertama
Pada fase pertama terjadi pembentukan antibodi dan memungkinkan juga
terjadi gejala-gejala yang mirip influenza atau terjadi pembengkakan
kelenjar getah bening.
2. Persisten Generalized Limfadenopati
Terjadi pembengkakan kelenjar limfa di leher, ketiak, inguianal, keringat
pada waktu malam, atau kehilangan BB tanpa penyebab yang jelas, dan
sariawan oleh jamur kandida di mulut.
3. AIDS relative kompleks (ARC)
Virus sudah menimbulkan kemunduran pada sistem kekebalan sehingga
mulai terjadi berbagai jenis infeksi yang seharusnya dapat dicegah oleh
kekebalan tubuh. Disini penderita menunjukkan gejala lemah, lesu, demam,
diare yang tidak dapat dijelaskan penyebabnya dan berlangsung
lama,kadang-kadang lebih dari satu tahun ditambah dengan gejala yang
sudah timbul pada fase kedua.
4. Full Blown AIDS
Pada fase ini sistem kekebalan tubuh sudah rusak, penderita sangat rentan
terhadap infeksi sehingga dapat meninggal sewaktu-waktu. Sering terjadi
radang paru pneumocytik, sarcoma kaposi, herpes yang meluas, tuberculosis

10 | P a g e
olada, kuman opportunistik, gangguan pada sistem saraf pusat, sehingga
penderita pikun sebelum saatnya. Jarang penderita bertahan lebih dari 3-4
tahun, biasanya meninggal sebelum waktunya.

E. Komplikasi
1. Oral Lesi
Karena kandidia, herpes simplek, sarcoma kaposi, HPV oral, gingivitis,
peridonitis Human immunodeficiency Virus (HIV), leukoplakia oral, nutrisi,
dehidrasi, penurunan berat badan, keletihan dan cacat.
2. Neurologik
Kompleks dimensia AIDS karena serangan langsung HIV pada sel saraf
berefek perubahan kepribadian, kerusakan kemampuan motorik, kelemahan,
disfasia, dan isolasi sosial. Enselopathy akut, karena reaksi terapeutik,
hipoksia, hipoglikemia, ketidakseimbangan elektrolit, meningitis/ensefalitis.
Dengan efek: sakit kepala, malaise, demam, paralise, total/parsial. Infark
selebral kornea sifilis meningovaskuler, hipotensi sistemik, dan maranik
endokarditis. Neuropati karena inflamasi demielinasi oleh serangan HIV.
3. Gastrointestinal
Diare karena bakteri dan virus, pertumbuhan cepat flora normal, limpoma,
dan sarcoma kaposi. Dengan efek, penurunan berat badan, anoreksia,
demam, malabsorbsi, dan dehidrasi. Hepatitis karena bakteri dan virus,
limpoma, sarcoma kaposi, obat illegal, alkoholik. Dengan anoreksia, mual
muntah, nyeri abdomen, ikterik, demam atritis. Penyakit anorektal karena
bases dan fistul, ulkus dan inflamasi perianal yang sebagai akibat infeksi,
dengan efek inflamasi sulit dan sakit, nyeri rektal, gatal-gatal dan diare.
4. Respirasi
Infeksi karena pneumocystis carinii, cytomegalovirus, virus influenza,
pneumococcus, dan strongyloides dengan efek nafas pendek, batuk, nyeri,
hipoksia, keletihan dan gagal nafas.

11 | P a g e
5. Dermatologik
Lesi kulit stafilokokus : virus herpes simpleks dan zoster, dermatitis karena
xerosis, reaksi otot, lesi scabies/tuma, dan dekubitus dengan efek nyeri,
gatal, rasa terbakar, infeksi sekunder dan sepsis.
6. Sensorik
Pandangan : sarkoma kaposi pada konjungtiva berefek kebutaan
Pendengaran : otitis eksternal akut dan otitis media, kehilangn pendengaran
dengan berefek nyeri.
F. Pemeriksaan Penunjang
1. Konfirmasi diagnosis dilakukan dengan uji antibody terhadap antigen virus
structural. Hasil positif palsu dan negative palsu jarang terjadi.
2. Untuk transmisi vertical (antibody HIV positif) dan serokonversi ( antibody
HIV negative), srologi tidak berguna dan RNA HIV harus diperiksa.
Diagnosis bedasarkan pada amflikasi asam nukleat.
3. Untuk mamantau progesi penyakit, viral load (VL) dan hitung DC4
diperiksa secara teratur (setiap 8-12 minggu). Pemeriksaan VL sebelum
pengobatan menentukan kecepatan penurunan CD4, dan pemeriksaan
pascapengobatan (didefinisikan sebagai VL <50 kopi/ml). Sel/mm 3
menggambarkan resiko yang terbatas. Adapun pemeriksaan penunjang dasar
yang diindikasikan adalah sebagai berikut:
Semua pasien
Antigen permukaan HBV*
Antibody inti HBV+
Antibody HCV
Antibody IgG HAV
Antibody Toxoplasma
Antibody IgG sitomegalovirus
Serologi Treponema
Rontgen toraks
Skrining GUM
Sitologi servirks (wanita)

12 | P a g e
CD4<200 sel /mm3
Rotgen toraks
RNA HCV
Antigen kriptokukus
OCP tinja
CD4<100 sel/mm3
PCR sitomegalovirus
Funduskopi dilatasi
EKG.
4. ELISA (Enzyme- Linked Immunosorbent Assay) adalah metode yang
digunakan menegakkan diagnosis HIV dengan sensitivitasnya yang tinggi
yaitu sebesar 98,1-100%. Biasanya test ini memberikan hasil positif 2-3
bulan setelah infeksi.
5. WESTERN blot adalah metode yang digunakan menegakkan diagnosis HIV
dengan sensitivitasnya yang tinggi yaitu sebesar 99,6-100%.
Pemeriksaannya cukup sulit, mahal, dan membutuhkan waktu sekitar 24
jam.
6. PCR (Polymerase Chain Reaction), digunakan untuk:
a. Tes HIV pada bayi, karena zat antimaternal masih ada pada bayi yang
dapat menghambat pemeriksaan secara serologis. Seorang ibu yang
menderita HIV akan membentuk zat kekebalan untuk melawan penyakit
tersebut. Zat kekebalan itulah yang diturunkan pada bayi melalui plasenta
yang akan mengaburkan hasil pemeriksaan, seolah-olah sudah ada infeksi
pada bayi tersebut. (catatan : HIV sering merupakan deteksi dari zat anti
HIV bukan HIVnya pada bayi sendiri).
b. Menetapkan status infeksi individu yang seronegatif pada kelompok
beresiko tinggi.
c. Tes pada kelompok beresiko tinggi sebelum terjadi serokonversi .
d. Tes konfirmasi untuk HIV -2 , sebab ELISA mempunyai sensitivitas
rendah untuk HIV-2.

13 | P a g e
7. Serosurvei, untuk mengetahui prevalensi pada kelompok beresiko,
dilaksanakan 2 kali pengujian dengan reagen yang berbeda.
8. Pemeriksaan dengan rapid test (dipstik).

G. Tata laksana HIV


Belum ada penyembuhan untuk AIDS, jadi perlu dilakukan cencegahan
Human Immunodeficiency Virus (HIV) untuk mencegah terpanjangnya Human
Immunodefisincy Virus (HIV), bias dilakukan dengan :
1. Melakukan abstinensi seks / melakukan hubungan kelamin dengan
pasangan yang tidak terinfeksi
2. Memeriksa adanya virus paling lambat 6 bulan setelah hubungan seks
terakhir yang tidak terlindungi
3. Menggunakan pelindung jika berhubungan dengan orang yang tidak jelas
status Human Immunodefisiency Virus (HIV) nya
4. TIdak bertukar jarum suntik, jarum tato dan sebagainya
5. Mencegah infeksi kejadian atau bayi baru lahir.
Apabila Terinfeksi Human immunodeficiency Virus (HIV) maka
pengendaliannya yaitu :
a. Pengendalian infeksi Opurtunistik
Bertujuan menghilangkan, mengendalikan, dan pemulihan infeksi
Opurtunistiuk, Nasokomia atau Sepsis. Tindakan pengendalian infeksi
yang aman untuk mencegah kontaminasi bakteri dan komplikasi
penyebab sepsi harus dipertahankan bagi pasien di lingkungan
perawatan kritis.
b. Terapi AZT ( Azidotimidin )
Disetujui FDA (1987) untuk penggunaan obat antiviral AZT yang
efektif terhadap AIDS, obat ini menghambat replikadsi antiviral
Human Immunodefisiency Virus (HIV) dengan menghambat enzim
pembalik traskriptase. AZT tersedia untuk pasien AIDS yang jumlah sel

14 | P a g e
T4 nya <> 3. Sekarang AZT tersedia untuk pasien dengan HIV positif
asimtomatik dan sel T4 > 500 mm3
c. Terapi antiviral Baru
Beberapa antiviral baru yang meningkatkan aktivitas system imun
dengan menghambat replikasi virus atau memutuskan rantai reproduksi
virus pada prosesnya. Obat-obat ini adalah
1) Didanosine
2) Ribavirin
3) Diedoxycytidine
4) Recombinant CD 4 dapat larut
d. Vaksin dan Rekonstruksi Virus
Upaya rekonstruksi imun dan vaksin dengan agent tersebut seperti
interferon, maka perawat unit khusus perawatan kritis dapat
menggunakan keahlian dibidang proses keperawatan dan penelitian
untuk menunjang pemahaman dan keberhasilanterapi AIDS.
e. Pendidikan untuk menghindari alcohol dan obat terlarang, makan-
makanan sehat,hindari stress, gizi yang kurang, alcohol dan obat-obatan
yang mengganggu fungsi imun.
f. Menghindari infeksi lain, karena infeksi itu dapat mengaktifkan sel T
dan mempercepat reflikasi HIV

15 | P a g e
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Adapun kesimpulan yang dapat penulis simpulkan mengenai makalah
ini adalah:
1. HIV (Human Immuno Devisiensi Virus) adalah virus yang hanya
hidup dala tubuh manusia, yang dapat merusak daya kekebalan
tubuh manusia. AIDS (Acquired Immuno-Devisiensi Syndrome)
adalah kumpulan gejala menurunnya kekebalan tubuh terhadap
serangan penyakit dri luar.
2. Tanda dan gejala penyakit AIDS seseorang yang terkena virus HIV
pada awal permulaan umumnya tidak memberikan tanda dan gejala
yang khas, penderita hanya mengalami demam selama 3 sampai 6
minggu tergantung daya tahan tubuh saat mendapat kontak virus
HIV tersebut.
3. Hingga saat ini penyakit AIDS tidak ada obatnya termasuk serum
maupun vaksin yang dapat menyembuhkan manusia dari virus HIV
penyebab penyakit AIDS yang ada hanyalah pencegahannya saja.

B. Saran
Adapun saran dari penulis makalah ini adalah:
1. Diharapkan penulis dapat mengambangkan dan melanjutkan
penulisan makalah mengenai HIV/AIDS ini.
2. Diharapkan hasil penulisan makalah ini bisa dijadikan sebagai bahan
bacaan.

16 | P a g e

Anda mungkin juga menyukai