Anda di halaman 1dari 19

NAMA : NOFIA DWI SARTIKA

NIM : 121811014

LAPORAN PENDAHULUAN ISOLASI SOSIAL

A. Definisi

Isolasi sosial adalah keadaan dimana individu mengalami penurunan atau

bahkan sama sekali tidak mampu berinteaksi dengan orang lain disekitarnya

(Damaiyanti, 2012). Klien mungkin merasa ditolak, tidak diterima, kesepian, dan

tidak mampu membina hubungan yang berarti dengan orang lain (Keliat, 2011).

Isolasi sosial juga merupakan kesepian yang dialami individu dan dirasakan saat

didorong oleh keberadaan orang lain sebagai pernyataan negatif atau mengancam

(NANDA-I dalam Damaiyanti, 2012).

Isolasi sosial merupakan suatu gangguan interpersonal yang terjadi akibat

adanya kepribadian yang tidak fleksibel menimbulkan perilaku maladaptif dan

mengganggu fungsi seseorang dalam hubungan sosial (DepKes, 2000 dalam Direja,

2011). Isolasi sosial merupakan upaya Klien untuk menghindari interaksi dengan

orang lain, menghindari hubungan dengan orang lain maupun komunikasi dengan

orang lain (Trimelia, 2011).

Jadi, dapat disimpulkan bahwa isolasi sosial merupakan keaadaan seseorang

yang mengalami penurunan bahkan sama sekali tidak mampu berinteraksi dengan

orang lain karena mungkin merasa ditolak, kesepian dan tidak mampu menjalin

hubungan yang baik antar sesama.


B. Etiologi

Terjadinya Gangguan ini dipengaruhi oleh faktor predisposisi di antaranya

perkembangan dan sosial budaya. Kegagalan dapat mengakibatkan individu tidak

percaya pada diri, tidak percaya pada orang lain, ragu, takut salah, pesimis, putus

asa terhadap orang lain, tidak mampu merumuskan keinginan, dan merasa tertekan.

Kedaan ini menimbulkan perilaku tidak ingin berkomunikasi dengan orang lain,

lebih suka berdiam diri, menghindar dari orang lain, dan kegiatan sehari-hari

(Direja, 2011).

a. Faktor Predisposisi

Menurut Direja (2011) faktor predisposisi yang mempengaruhi masalah isolasi

sosial yaitu:

1. Faktor tumbuh kembang

Pada setiap tahapan tumbuh kembang individu ada tugas

perkembangan yang harus dipenuhi agar tidak terjadi gangguan dalam

hubungan sosial. Apabila tugas-tugas dalam setiap perkembangan tidak

terpenuhi maka akan menghambat fase perkembangan sosial selanjutnya.

Tugas Perkembangan Berhubungan Dengan Pertumbuhan Interpesonal.


Tahap Tugas
Perkembangan
Menetapkan rasa percaya.
Masa Bayi
Mengambangkan otonomi dan awal perilaku
Masa Bermain mandiri.
Belajar menunjukan inisiatif , rasa tanggung
Masa Pra Sekolah jawab, dan hati nurani.
Belajar berkompetisi, bekerja sama, dan
Masa Sekolah berkompromi.
Menjalin hubungan intim dengan teman sesama
Masa Pra Remaja jenis kelamin.
Menjadi intim dengan teman lawan jenis atau
Masa Remaja bergantung.
Menjadi saling bergantung antara orang tua dan
Masa Dewasa teman, mencari pasangan, menikah dan
Muda
mempunyai anak.

Belajar menerima hasil kehidupan yang sudah


Masa Tengah dilalui.
Baya
Berduka karena kehilangan dan
Masa Dewasa mengembangkan
Tua perasaan keterikatan dengan budaya.
Sumber: Direja (2011)

Menurut Yosep (2009), hidup manusia dibagi menjadi 7 masa dan pada

keadaan tertentu dapat mendukung terjadinya gangguan jiwa.

a) Masa Bayi
Masa bayi adalah menjelang usia 2-3 tahun, dasar perkembangan

yang dibentuk pada masa tersebut adalah sosialisasi dan pada masa ini

timbul dua masalah yang penting yaitu:

1) Cara mengasuh bayi

Cinta dan kasih sayang ibu akan memberikan rasa

hangat/aman bagi bayi dan di kemudian hari menyebabkan

kepribadian yang hangat, terbuka dan bersahabat. Sebaliknya, sikap

ibu yang dingin acuh tak acuh bahkan menolak di kemudian hari

akan berkembang kepribadian yang bersifat menolak dan menentang

terhadap lingkungan.

2) Cara memberi makan

Sebaiknya dilakukan dengan tenang, hangat yang akan

memberikan rasa aman dan dilindungi, sebaliknya,pemberian yang

kaku, keras, dan tergesa -gesa akan menimbulkan rasa cemas dan

tekanan.

b) Masa Anak Prasekolah


Pada usia ini sosialisasi mulai dijalankan dan tumbuh disiplin dan

otoritas. Hal-hal yang penting pada fase ini adalah:

 Hubungan orangtua-anak
 Perlindungan yang berlebihan
 Otoritas dan disiplin
 Perkembangan seksual
 Agresi dan cara permusuhan
 Hubungan kakak-adik
 Kekecewaan dan pengalaman yang menyakitkan

c) Masa Anak Sekolah

Masa ini ditandai oleh pertumbuhan jasmani dan intelektual yang

pesat. Pada masa ini anak akan mulai memperluas pergaulan, keluar dari

batas-batas keluarga. Masalah- masalah penting yang timbul adalah:

 Perkembangan jasmani

 Penyesuaian diri di sekolah dan sosialisasi

d) Masa Remaja

Secara jasmaniah, pada masa ini terjadi perubahn-perubahan yang

penting yaitu timbulnya tanda-tanda sekunder (ciri-ciri kewanitaan atau

kelaki-lakian). Secara kejiwaan, pada masa ini terjadi pergolakan yang

hebat. Pada masa ini, seorang remaja mulai dewasa mencoba

kemampuannya, di satu pihak ia merasa sudah dewasa, sedangkan di

pihak lain belum sanggup dan belum ingin menerima tanggung jawab

atas semua perbuatannya.

e) Masa Dewasa Muda

Seseorang yang melalui masa-masa sebelumnya dengan aman dan

bahagia akan cukup memiliki kesanggupan dan kepercayaan diri dan

umumnya ia akan berhasil mengatasi kesulitan-kesulitan pada masa ini.


Bila mengalami masalah pada masa ini mungkin akan mengalami

gangguan-gangguan jiwa.

f) Masa Dewasa Tua

Sebagai patokan, pada masa ini dicapai apabila status pekerjaan dan

sosial seseorang sudah mantap. Masalah-masalah yang mungkin timbul

adalah:

 Menurunnya keadaan jasmani


 Perubahan susunan keluarga
 Terbatasnya kemungkinan perubahan-perubahan yang baru
dalam bidang pekerjaan atau perbaiki kesalahan yang lalu.

g) Masa Tua

Ada dua hal penting yang perlu diperhatikan pada masa ini yaitu

berkurangnya daya tangkap, daya ingat, berkurangnya daya belajar,

kemampuan jasmani dan kemampuan sosial ekonomi menimbulkan rasa

cemas dan rasa tidak aman serta sering mengakibatkan kesalah pahaman

orangtua terhadap orang sekitarnya. Perasaan terasingkan karena

kehilangan teman sebaya, keterbatasan gerak, dapat menimbulkan

kesulitan emosional yang cukup berat.

2. Faktor Komunikasi Dalam Keluarga

Gangguan komunikasi dalam keluarga merupakan faktor pendukung

untuk terjadinya gangguan hubungan sosial, seperti adanya komunikasi

yang tidak jelas (double bind) yaitu suatu keadaan dimana individu

menerima pesan yang saling bertentangan dalam waktu bersamaan, dan

ekspresi emosi yang tinggi di setiap berkomunikasi.


3. Faktor Sosial Budaya

Isolasi sosial atau mengasingkan diri dari lingkungan sosial

merupakan suatu faktor pendukung terjadinya gangguan dalam hubungan

sosial. Hal ini disebabkan oleh norma- norma yang salah dianut oleh

keluarga, dimana setiap anggota keluarga yang tidak produktif seperti lanjut

usia, berpenyakitan kronis, dan penyandang cacat diasingkan dari

lingkungan sosial.

4. Faktor Biologis

Faktor biologis juga merupakan salah satu faktor pendukung yang

menyebabkan terjadinya gangguan dalam hubungan sosial. Organ tubuh

yang jelas mempengaruhi adalah otak. Klien skizofrenia yang mengalami

masalah dalam hubungan sosial terdapat struktur yang abnormal pada otak,

seperti atropi otak, perubahan ukuran dan bentuk sel-sel dalam limbik dan

kortikal (Sutejo, 2017). Klien yang mengalami gangguan jiwa memiliki ciri-

ciri biologis yang khas terutama susunan dan struktur syaraf pusat, biasanya

klien dengan skizofrenia mengalami pembesaran ventrikel ke-3 sebeah

kirinya. Ciri lainnya yaitu memiliki lobus frontalis yang lebih kecil dari

rata-rata orang normal (Yosep, 2009).

Menurut Candel dalam Yosep (2009), pada Klienskizofrenia

memiliki lesi pada area Wernick’s dan area Brocha biasanya disertai dengan

Aphasia serta disorganisasi dalam proses bicara. Adanya hiperaktivitas

Dopamine pada Kliendengan gangguan jiwa seringkali menimbulkan gejala

skizofrenia. Menurut hasil penelitian, Neurotransmitter tertentu seperti

Norepinephrine pada Klien dengan gangguan jiwa memegang peranan

dalam proses learning, memory reinforcement, siklus tidur dan bangun,


kecemasan, pengaturan aliran darah dan metabolisme.

Menurut Singgih dalam Yosep (2009), gangguan mental dan emosi

juga bisa disebabkan oleh perkembangan jaringan otak yang tidak cocok

(Aphasia). Kadang-kadang seseorang dilahirkan dengan perkembangan

cortex cerebry yang kurang sekali, atau disebut sebagai otak yang

rudimenter. Contoh gangguan tersebut terlihat pada Microcephaly yang

ditandai oleh kecilnya tempurung otak. Adanya trauma pada waktu

kelahiran, tumor, infeksi otak seperti Enchepahlitis Letargica, gangguan

kelenjer endokrin seperti tiroid, keracunan CO (Carbon Monocide) serta

perubahan-perubahan karena degenerasi yang mempergaruhi sistem

persyarafan pusat (Yosep, 2009).

b. Faktor prediposisi

Menurut Herman Ade (2011) terjadinya gangguan hubungan sosial juga

dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal seseorang. Faktor stressor

presipitasi dapat dikelompokan sebagai berikut:

1. Stressor Sosial Budaya

Stress dapat ditimbulkan oleh beberapa faktor antara faktor lain dan

faktor keluarga seperti menurunnya stabilitas unit keluarga dan berpisah dari

orang yang berarti dalam kehidupannya, misalnya karena dirawat dirumah

sakit.

2. Stressor Psikologi

Tingkat kecemasan berat yang berkepanjangan terjadi bersamaan

dengan keterbatasan kemampuan untuk mengatasinya. Tuntutan untuk

berpisah dengan orang dekat atau kegagalan orang lain untuk memenuhi

kebutuhan ketergantungan dapat menimbulkan kecemasan tingkat tinggi.


C. Patopsikologi

Menurut Stuart and Sundeen (2007) dalam Ernawati (2009). Salah satu

gangguan berhubungan sosial diantaranya perilaku menarik diri atau isolasi sosial

yang disebabkan oleh perasaan tidak berharga, yang bisa di alami klien dengan latar

belakang yang penuh dengan permasalahan, ketegangan, kekecewan, dan

kecemasan.

Perasaan tidak berharga menyebabkan klien semakin sulit dalam

mengembangkan hubungan dengan orang lain. Akibatnya klien menjadi regresi atau

mundur, mengalami penurunan dalam aktifitas dan kurangnya perhatian terhadap

penampilan dan kebersihan diri. Klien semakin tenggelam dalam perjalanan dan

tingkah laku masa lalu serta tingkah laku primitive antara lain pembicaraan yang

austistic dan tingkah laku yang tidak sesuai dengan kenyataan, sehingga berakibat

lanjut menjadi halusinasi (Ernawati, 2009).

Menurut Stuart Sundeen dalam Sutejo tentang respon klien ditinjau dari

interaksinya dengan lingkungan sosial merupakan suatu kontinum yang terbentang

antara respon adaptif dengan maladaptive sebagai berikut:

Adaptif Maladaptif

Manipulasi,
Menyendiri, Otonomi, Kesepian, menarik
impulsif,
kebersamaan, saling diri,
narsisme
ketergantungan ketergantungan

Skema Rentang respon isolasi sosial

(sumber: Sutejo, 2017)


a. Respon Adaptif

Menurut Sutejo (2017) respon adaptif adalah respon yang masih dapat

diterima oleh norma-norma sosial dan kebudayan secara umum yang berlaku.

Dengan kata lain individu tersebut masih dalam batas normal ketika

menyelesaikan masalah. Berikut adalah sikap yang termasuk respon adaptif:

 Menyendiri, respon yang dibutuhkan seseorang untuk merenungkan apa

yang telah terjadi di lingkungan sosialnya,

 Otonomi, kemampuan individu untuk menentukan dan menyampaikan ide,

pikiran, dan perasaan dalam hubungan sosial.

 Kebersamaan, kemampuan individu dalam hubungan interpersonal yang

saling membutuhkan satu sama lain.

 Saling ketergantungan (Interdependen), suatu hubungan saling

ketergantungan antara individu dengan orang lain

b. Respon Maladaptif

Menurut Sutejo (2017) respon maladaptif adalah respon yang menyimpang

dari norma sosial dan kehidupan di suatu tempat. Berikut ini adalah perilaku

yang termasuk respon maladaptif:

 Manipulasi, kondisi dimana individu cenderung berorientasi pada diri sendiri.


 Impulsif merupakan respon sosial yang ditandai dengan individu sebagai
subjek yang tidak dapat diduga, tidak dapat dipercaya dan tidak mampu
melakukan penilaian secara objektif.
 Narsisisme, kondisi dimana individu merasa harga diri rapuh, dan mudah
marah.
D. Pohon Masalah Isolasi Sosial

Daftar masalah isolasi sosial menurut Sutejo, 2017 adalah:


1) Resiko Gangguan Persepsi Sensori: Halusinasi
2) Isolasi Sosial
3) Gangguan konsep diri: Harga diri rendah

Resiko Gangguan Persepsi Sensori: Halusinasi (effect)

ISOLASI SOSIAL
(core problem)

Gangguan konsep diri: Harga diri rendah (causa)

Skema Pohon Masalah Diagnosa Isolasi Sosial


(Sumber: Sutejo, 2017

E. Manifestasi Klinis

Menurut Yosep (2009)tanda dan gejala klien isolasi sosial bisa dilihat dari

dua cara yaitu secara objektif dan subjektif. Berikut ini tanda dan gejala klien

dengan isolasi sosial:

a. Gejala subjektif

1. Klienmenceritakan perasaan kesepian atau ditolak oleh orang lain.


2. Klienmerasa tidak aman berada dengan orang lain.
3. Respons verbal kurang dan sangat singkat.
4. Klienmengatakan hubungan yang tidak berarti dengan orang lain.
5. Klienmerasa bosan dan lambat menghabiskan waktu.
6. Klientidak mampu berkonsentrasi dan membuat keputusan.
7. Klienmerasa tidak berguna.

b. Gejala objektif

1. Klienbanyak diam dan tidak mau bicara.


2. Tidak mengikuti kegiatan.
3. Klienberdiam diri di kamar.
4. Klienmenyendiri dan tidak mau berinteraksi dengan orang yang terdekat.
5. Klientampak sedih, ekspresi datar dan dangkal.
6. Kontak mata kurang.
7. Kurang spontan.
8. Apatis
9. Ekspresi wajah kurang berseri.
10. Mengisolasi diri
11. Tidak atau kurang sadar terhadap lingkungan sekitar.
12. Aktivitas menurun.

Perilaku ini biasanya disebabkan karena seseorang menilai dirinya rendah,

segera timbul perasaan malu untuk berinteraksi dengan orang lain. Bila tidak

dilakukan intervensi lebih lanjut, maka akan menyebabkan perubahan persepsi

sensori: halusinasi dan resiko mencederai diri, orang lain, bahkan lingkungan

(Herman Ade, 2011)

F. Mekanisme Koping

Mekanisme koping digunakan klien sebagai usaha mengatasi kecemasan

yang merupakan suatu kesepian nyata yang mengancam dirinya. Mekanisme

koping yang sering digunakan adalah proyeksi, splitting (memisah) dan isolasi.

Proyeksi merupakan keinginan yang tidak mampu ditoleransi dan klien

mencurahkan emosi kepada orang lain karena kesalahan sendiri. Splitting

merupakan kegagalan individu dalam menginterpretasikan dirinya dalam menilai

baik buruk. Sementara itu, isolasi adalah perilaku mengasingkan diri dari orang lain

maupun lingkungan (Sutejo, 2017).


STRATEGI PELAKSANAAN ISOLASI SOSIAL

SP 1 Pasien
Membina hubungan saling percaya, membantu pasien mengenal penyebab isolasi sosial,
membantu pasien mengenal penyebab isolasi sosial, membantu pasien mengenal
keuntungan berhubungan dan kerugian tidak berhubungan dengan orang lain, dan
mengajarkan pasien berkenalan.

Fase Orientasi
Assalamualaikum …. ”Selamat siang bpk/ibu.... Perkenalkan nama saya…., saya senang
dipanggil …. Saya mahasiswa ….. yang bertugas di…. . Perawat penanggung jawab Ibu
adalah.....
namun saya juga akan merawat Ibu disini selama.... dari jam...sampai jam... Nama Ibu
siapa? Senang dipanggil siapa? Tanggal lahir Ibu?”
“Bagaimana perasaan Ibu hari ini ? Kemarin waktu dibawa kesini, apa yang terjadi di
rumah ya bu? dan apakah sekarang masih dirasakan? Apa yang sudah ibu lakukan untuk
mengatasinya? Dan apa yang ibu rasakan ? apakah bermanfaat yang sudah ibu lakukan
itu?.
”Bagaimana kalau sekarang kita membicarakan tentang perasaan ibu yang tadi katanya
merasa malas ngobrol dengan teman yang lainnya. Namun saya akan periksa ibu dan
bertanya beberapa hal supaya tahu kondisi kesehatan ibu dan kita akan membahas cara-cara
untuk mengatasi masalah ibu. Waktunya selama 30 menit. Apakah bpk/ibu bersedia?
Dimana kita akan berbincang-bincang? Bagaimana kalau di sini saja.”
Fase Kerja
Menurut bpk/ibu, untuk mengatasi hal tersebut bpk/ibu akan tidur-tiduran saja di kamar,
tidak berbicara dengan orang lain karena bpk/ibu takut mereka akan merendahkan bpk/ibu
lagi kalau
bpk/ibu hanya duduk saja sendiri di kamar bagaimana perasaannya?”
”Ya...benar sekali, bpk/ibu akan merasa sepi, bosan karena tidak ada teman. Jadi supaya
tidak
merasa sedih dan punya teman kita harus berkenalan dan berteman dengan yang lain. Di
sini bpk/ibu punya teman untuk ngobrol?”
”Menurut bpk/ibu apa kira-kira penyebab bpk/ibu tidak punya teman? Ya penyebab yang
lain?”
”Menurut bpk/ibu apa manfaat bila kita punya teman? Apa kerugiannya bila bpk/ibu tidak
punya teman?”

”Ya...betul sekali bpk/ibu, kita harus punya teman. Sekarang menurut bpk/ibu apa yang
harus kita lakukan agar mempunyai teman? Ya...bagus, kita harus berkenalan terlebih
dahulu”.
”Menurut bpk/ibu apa yang harus kita lakukan saat kita berkenalan? Ya, benar sekali...yang
pertama kita harus berjabat tangan sambil mengucapkan salam, bisa selamat pagi/siang/sore
atau assalamualaikum. Setelah itu baru kemudian kita sebutkan nama lengkap, nama
panggilan, asal dan hobi bpk/ibu. Baru setelah itu bpk/ibu menanyakan nama lengkap, nama
panggilan, alamat dan hobi orang yang kita ajak berkenalan”
”Ayo coba sekarang bpk/ibu praktekkan ..anggap bpk/ibu belum berkenalan dengan
saya”. ”Coba bpk/ibu sekarang berkenalan dengan saya”.
”Ya bagus sekali bpk/ibu. Ternyata bpk/ibu mampu berkenalan dengan baik”.
Fase Terminasi
”Baiklah bpk/ibu, setelah kita berbincang-bincang tadi bagaimana perasan bpk/ibu
sekarang?” ”Dapatkah bpk/ibu menyebutkan kembali apa manfaat yang bpk/ibu rasakan
berkenalan dengan orang lain. Bagus sekali bpk/ibu, bpk/ibu sudah mengikuti apa yang kita
bicarakan tadi dengan baik”.
”Setelah kegiatan ini selesai coba bpk/ibu ingat-ingat lagi apa yang kita bicarakan dari
penyebab bpk/ibu menyendiri, manfaat punya teman, dan kerugiannya jika tidak punya
teman, dan cara berkenalan tadi?”
”Baik bpk/ibu, kita telah berbicara selam 15 menit, bagaimana kalau besok jam 16.00 kita
coba praktekkan cara berkenalan. Sekarang bpk/ibu bisa beristirahat dan besok ketemu
disini jam 16.00. Selamat sore bpk/ibu.”

SP 2 Pasien
Mengajarkan pasien berinteraksi secara bertahap (berkenalan dengan orang pertama-
seorang perawat)

Fase Orientasi
”Assalamualaikum bapak/ibu”
”Bagaimana perasaan bapak/ibu hari
ini”
”Sudah diingat-ingat pelajaran kita tentang berkenalan. Coba sebutkan lagi sambil bersalama
dengan perawat”

”Bagus sekali, bapak/ibu masih ingat. Nah sekarang seperti janji saya, saya aka mengajak
bapak/ibu mencoba berkenalan dengan teman saya perawat Nita. Tidak lama kok, sekitar 10
menit. Ayo kita temui perawat Nita di sana”
Fase Kerja
”Selamat pagi perawat Nita, ini ada yang ingin berkenalan dengan Perawat Nita”
”Baiklah pak/bu, bapak/ibu bisa berkenalan dengan perawat Nita seperti yang kita praktikkan
kemaren” (pasien mendemonstrasikan cara berkenalan)
”Ada lagi yang Bapak/Ibu ingin tanyakan kepada perawat Nita, coba tanyakan tentang
keluarga perawat Nita”
”Kalau sudah tidak ada lagi yang ingin dibicarakan, bapak/ibu bisa sudahi perkenalan ini.
Lalu Bapak/Ibu bisa buat janji bertemu lagi dengan perawat Nita, misalnya jam 1 siang
nanti” ”Baiklah perawat Nita, karena bapak/ibu sudah selesai berkenalan, saya dan
bapak/ibu akan kembali ke ruangan. Selamat pagi”
Fase Terminasi
”Bagaimana perasaan Bapak/Ibu setelah berkenalan dengan perawat
Nita” ”Bapak/Ibu tampak bagus sekali saat berkenalan tadi”
”Pertahankan terus apa yang sudah Bapak/Ibu lakuan tadi. Jangan lupa untuk menanyakan
topik lain supaya perkenalan berjalan lancar. Misalnya menanyakan keluarga, hobi, dan
sebagainya. Bagaimana, mau coba dengan perawat lain. Mari kita masukkan pada
jadwalnya. Mau berapa kali sehari? Bagaimana kalau 2 kali. Baik nanti Bapak/Ibu coba
sendiri. Besok kita latihan lagi ya, mau jam berapa? Jam 10? Sampai besok”

SP 3 Pasien
Melatih pasien berinteraksi secara bertahap (berkenalan dengan kedua-seorang pasien)
Fase Orientasi
”Assalamualaikum bapak/ibu, bagaimana perasaan hari ini?”
”Apakah bapak/ibu bercakap-cakap dengan perawat Nita kemarin siang?”
”Bagaimana perasaan Bapak/Ibu setelah bercakap-cakap dengan perawat Nita kemarin
siang” ”Bagus sekali Bapak/Ibu menjadi senang karena punya teman lagi”
”Kalau begitu Bapak/Ibu ingin punya banyak teman lagi?”
”Bagaimana kalau sekarang kita berkenalan lagi dengan orang lain, yaitu pasien Opik”
”Seperti biasa kira-kira 10 menit”
”Mari kita temui dia di ruang
makan”
Fase Kerja
”Selamat pagi, ini ada pasien saya yang ingin berkenalan”
”Baiklah Pak/Bu, sekarang kita bisa berkenalan dengannya seperti yang Susi lakukan
sebelumnya. ”Ada lagi yang Bapak/Ibu ingin tanyakan kepada Opik? Kalau tidak ada lagi
yang ingin dibicarakan, Bapak/Ibu bisa sudahi pembicaraan ini. Lalu Bapak/Ibu bisa buat
janji bertemu lagi, misalnya jam 4 sore nanti”
”Baiklah Opik, karena bapak/ibu sudah selesai berkenalan, maka kami akan kembal ke
ruangan. Selamat pagi”
Fase Terminasi
”Bagaimana perasaan Bapak/Ibu setelah berkenalan dengan Opik? Dibandingkan kemarin
pagi, Bapak/Ibu tampak lebih baik saat berkenalan dengan Opik. Pertahankan apa yang
Bapak/Ibu lakukan tadi. Jangan lupa untuk bertemu kembali dengan Opik jam 4 sore nanti.
Selanjutnya bagaimana jika kegiatan berkenalan dan bercakap-cakap dengan orang lain kita
tambahkan lagi di jadwal harian. Jadi satu hari Bapak dapat berbincang-bincang dengan
orang lain sebanyak tiga kali, jam 10 pagi, jam 1 siang, dan jam 8 malam. Bapak/Ibu bisa
bertemu dengan Opik, dan tambah dengan pasien yang baru dikenal. Selanjunya Bapak/Ibu
bisa berkenalan dengan orang lain secara bertahap. Bagaimana? Setuju kan?
”Baiklah, besok kita ketemu lagi untuk membicarakan pengalaman Bapak/Ibu. Pada jam
yang sama dan tempat yang sama. Assalamualaikum”
KASUS

A. Contoh kasus
Tn. K, 37 tahun, klien masuk RSJD dr. Arif Zainudin Surakarta karena klien dirumah
sering mengurung diri, tidak mau makan dan kurang bersosialisasi baik dengan orang
yang berada dirumahnya dan tetangga sekitar. Klien tidak mau bicara, tidak mau
makan, tidak mau mandi karena temannya telah merebut pacarnya.
B. Diagnosa Keperawatan
Isolasi Sosial
C. Tujuan
Pasien dapat berinteraksi dengan orang lain
D. Tindakan Keperawatan
1. Diskusikan keuntungan berinteraksi dengan orang lain
2. Diskusikan keuntungan melakukan kegiatan bersama orang lain
3. Latih klien berkenalan
4. Latih klien bercakap-cakap saat melakukan kegiatan sehari-hari
5. Latih klien kegiatan sosial : berbelanja, ke rumah ibadah, ke arisan, ke bank dll
ASUHAN KEPERAWATAN

A. Pengkajian
1. Factor prediposisi
Klien sudah 2 kali masuk rumah jiwa pada tahun 2015 dan 2017. Pengobatan
klien sebelumnya berhasil dan klien sempat bekerja sebagai penjual tissue galon.
Klien pernah di aniaya fisik pada saat klien berumur 35 tahun. Klien juga pernah
pukul tetangganya pada saat klien berumur 36 tahun. Keluarga klien tidak ada
yang mengalami gangguan jiwa.
2. Faktor presipitasi
Faktor pancetus terjadinya gangguan jiwa yaitu karena temannya telah merebut
pacarnya.
3. Psikososial
a. Hubungan social
Klien mengatakan orang yang paling dekat adalah ibu. Klien klien tidak
mempunyai peran serta dalam kegiatan kelompok masyarakat karena klien
malu dan minder jika dirinya dianggap orang stress sehingga klien tidak mau
bergaul.
b. Harga diri
Klien mengatakan malu kepada tetangga karena pasien di bawa ke rumah sakit
jiwa
4. Status mental
a. Penampilan
Penampilan klien rapi, pakaian bersih dan diganti setiap hari dan berpakaian
sesuai.
b. Pembicaraan
Klien berbicara pelan dan lambat, cenderung diam saja dan menjawab
pertanyaan dengfan singkat.
c. Aktivitas motoric
Pasien tampak lesu, malas beraktivitas pasien kebih sering berdiam diri dan
sering menghabiskan waktunya di tempat tidur
d. Alam perasaan
Pasien merasa putus asa, berdiam diri, dan tampak ekspresi wajah sedih
e. Afek
Datar, karena selama interaksi pasien lebih banyak diam
f. Interaksi selama wawancara
Saart berinteraksi dengan klien, klien lebih banyak diam dan kontak mata
kurang karena klien selalu menunduk
g. Persepsi
Klien mengatakan mendengarkan bisikan dan melihat bayangan hitam
5. Mekanisme Koping
a. Maladaptif
Pasien masih sering menghindar dari orang lain. Tidak mau mengungkapkan
perasaannya. Kalua dirumah punya masalah, pasien memendam dan tidak
maumenceritakan dengan orang lain.
6. Pohon masalah
Resiko Gangguan Persepsi Sensori: Halusinasi (effect)

ISOLASI SOSIAL
(core problem)

Gangguan konsep diri: Harga diri rendah (causa)

B. Diagnosa Keperawatan
Isolasi sosial, halusinasi pendengaran dan penglihatan dan harga diri rendah

C. Intervensi keperaewatan
Tujuan Umum:
Pasien dapat berinteraksi dengan orang lain.
Tujuan Khusus:
1. Klien dapat membina hubunagn saling percaya.
2. Pasien mampu menyebutkan penyebab menarik diri.
3. Pasien dapat menyebutkan keuntungan berhubungan sosial dan kerugian menarik
diri.
4. Pasien dapat melaksanakan hubungan sosial secara bertahap.
5. Pasien mampu menjelaskan perasaannya setelah berhubungan sosial.
6. Pasien dapat dukungan keluarga, dalam memperluas sosial.
7. Pasien dapat memanfaatkan obat dengan baik

DAFTAR PUSTAKA

http://repository.pkr.ac.id/474/7/BAB%202.pdf

http://digilib.ukh.ac.id/repo/disk1/31/01-gdl-chandragil-1502-1-ktichan-a.pdf

Anda mungkin juga menyukai