PENDAHULUAN
1.3 Tujuan
1. Mengetahui apa pengertian myasthenia gravis dan epidiomologi
2. Mengetahui bagaimana etiologi dan patogenesis myasthenia gravis
3. Mengetahui bagimana gambaran klinis myasthenia gravis
4. Mengetahui apa diagnosa myasthenia gravis
5. Mengetahui apa terapi yang diberikan
BAB II
PEMBAHASAN
2.7 Diagnosa
Diagnosis MG dapat ditegakkan tanpa kesulitan pada kebanyakan pasien
dari riwayat karekteristik dan pemeriksaan fisik. Perbaikan yang dramatis setelah
injeksi neostigmine bromide (Prostigmin) atau edrophonium (Tensilon) membuat
administrasi obat ini penting untuk MG. Kekuatan otot kembali setelah
adminstrasi neostigmine atau edrophonium; jika tidak ada respon berlaku,
diagnosis MG dapat diragukan. Demonstrasi respon farmakologi terkadang susah
namun jika gejala klinis mengarahkan ke MG, harus dilakukan tes ulang dengan
dosis berbeda atau cara adminstrasi. Pemberian obat antikolinesterase semalaman
dapat membantu menegakkan diagnosis. Respon negatif palsu terhadap
edrophonium adalah terkecualikan jika ada lesi structural, seperti tumor batang
otak. (MG dapat disertai penyakit lain seperti Grave’s ophtalmopati atau
sindroma Lambert-Eaton.
Diagnosis MG dapat juga ditegakkan dengan titer tinggi antibodi terhadap
AChR namun titer yang normal tidak mengeksklusikan diagnosis MG. Respon
terhadap stimulasi yang berulang-ulang dan EMG serabut tunggal juga dapat
menegakkan diagnosis. Jika ada timoma , diagnosis MG adalah lebih mungkin
dibandingkan penyakit neuromuscular yang lain.
Pada tes neostigmin, dosis obat adalah 1.5 mg hingga 2.0 mg dan atrofin
sulfat 0.4 mg diberikan secara intramuskular. Perbaikan objektif pada tenaga otot
telah tercatat pada interval 20 menit hingga 2 jam setelah adminstrasi obat
tersebut. Adminstrasi edrophonium pada dosis 1 mg hingga 10 mg. Dosis insial
adalah 2 mg diikuti dengan 2 mg setelah 30saat jika perlu dan tambahan dosis 5
mg dalam 15 hingga 30 saat hingga dosis maksimum 10 mg. Perbaikan
diperhatikan dalam 30 saat dan bertahan untuk beberapa menit. Kebanyakkan
respon diperhatikan pada dosis kurang dari 5.0 mg. Respon yang sangat cepat
dan dramatik, edrophonium adalah lebih disukai untuk evaluasi kelemahan otot
okular dan otot kranial. Neostigmin umumnya digunakan untuk evaluasi untuk
otot tungkai atau otot pernafasan, yang membutuhkan lebih banyak waktu.
Pemeriksaan laboratorium pada pasien MG adalah berguna untuk
konfirmasi diagnosis gawat darurat myasthenia gravis (MG). Pemeriksaan analisa
gas darah dapat membantu penanganan respiratori. Elevasi PaCO2 dapat
menunjukkan kegagalan respiratori yang progresif dan merupakan indikasi
manajemen saluran napas kegawat daruratan.
Pencitraan diindikasi untuk determinasi apakah adanya pneumonia aspirasi
atau pneumonia tipe lain yang terjadi pada pasien MG. MRI atau CT scan dada
adalah sangat akurat untuk mendeteksi timoma dan harus dilakukan pada setiap
kasus baru MG. Foto toraks adalah tidak sensitif untuk skreening timoma.
Ice pack test adalah salah satu pemeriksaan mudah yang dapat dilakukan
karena dengan mendinginkan otot terutama otot okular dapat memperbaiki
transmisi neuromuskular. Es batu dimasukkan ke dalam sarung tangan bedah atau
dibungkus dalam kain dan diletakkan di atas kelopak mata untuk 2 menit. Tes ini
positif apabila terjadi perbaikan dari ptosis namun tes adalah kurang sensitif dan
jarang dilakukan.
Elektromiografi serabut otot tunggal dan assay untuk antibodi reseptor
asetilkolinerase digunakan untuk mengkonfirmasi diagnosis MG, namun tes ini
jarang dapat dilakukan dalam kondisi gawat darurat.
Pemeriksaan EMG menunjukkan karekteristik yang mirip dengan subyek
normal yang diberikan relaxant otot dosis kecil sewaktu dianastesi. Terjadinya
penurunan aksi potensial kompound otot.
2.8 Terapi
Terapi MG terdapat 5 tipe yaitu obat antikolinesterase dan plasmaperesis
dimana merupakan terapi simptomatik, manakala timektomi, steroid dan obat
imunosuppresif yang lain dapat mengubah haluan penyakit.
Pengobatan antikolinesterase biasanya diberikan setelah diagnosa
ditegakkan. Terdapat 3 tipe obat antikolinesterase yang paling sering digunakan
yaitu neostigmine, pyridostigmine bromide dan ambenonium (Mytelase).
Pyridostigmine bromide adalah obat paling popular antara 3 tipe obat namun
belum pernah dinilai dan dibandingkan secara terkontrol dengan obat-obatan lain.
Efek samping muskarinik adalah kram abdominal dan diare, pyridostigmine
bromide mempunyai efek samping muskarinik yang paling kurang dibandingkan
dengan lain. Pyridostigmine diawali dengan dosis 60 mg secara oral setiap 4 jam
sewaktu pasien sadar. Dosis dinaikkan tergantung pada dosis klinis namun
peningkatan manfaat tidak diharapkan pada jumlah lebih dari 120mg setiap 2
jam. Jika pasien mempunyai kesulitan untuk makan, obat dapat diminum 30
menit sebelum makan.
Simptom muskarinik dapat diperbaiki dengan preparasi atropine (0.4 mg)
dengan setiap dosis pyridostigmine. Dosis atropine yang berlebihan dapat
menyebabkan psikosis tapi jumlah yang diminum pada regimen ini tidak
mempunyai efek psikotik.
Walaupun terapi kolinergik memberikan efek yang impresif namun terapi
mempunyai limitasi. Pada pasien MG generalisata, gejala pasien dapat
menghilang namun terdapat simptom yang masih menetap dan resiko krisis
menetap karena penyakit tidak disembuhkan dengan pemberian obat ini.
Timektomi dulunya hanya dilakukan pada pasien dengan disablitias yang
serious karena timektomi dapat menyebabkan mortalitas tinggi. Namun dengan
kemajuan pada pembedahan dan anestesi , mortalitas sudah berkurang pada
timektomi. Kira-kira 80% pasien tanpa timoma menjadi asimptomatik atau
menjadi remisi komplit setelah timektomi. Makanya timektomi telah
direkomendasi untuk kebanyakkan pasien dengan MG generalisata. Walaupun
timektomi adalah operasi mayor dan tidak direkomendasi untuk pasien dengan
myasthenia okular kecuali pasien mempunyai timoma.
Terapi prednisone digunakan untuk persiapan pasien melakukan timektomi
atau menggunakan plasmapheresis atau terapi IVIG. Penukaran dengan
plasmapheresis kira-kira 5% volume darah dapat diberikan beberapa kali
sebelum hari pembedahan yang bertujuan untuk memperbaiki krisis respiratori
atau mencegah krisis pernafasan pasca operasi. Plasmapheresis digunakan untuk
eksaserbasi lain yang dapat menyebabkan perbaikan pada kebanyakan pasien.
Plasmapheresis adalah aman namun mahal dan tidak mudah untuk kebanyakkan
pasien. Adminstrasi IVIG adalah lebih mudah namun adalah lebih mahal
dibandingkan plasmapheresis dan IVIG adalah lebih disukai dibandingkan
plasmapheresis terutama pada pasien akses vena yang jelek, termasuk pada anak.
Terapi IVIG biasanya diberikan dosis 5 kali dengan jumlah 2g/kg BB.
Efek sampingnya termasuk nyeri kepala, meningitis aseptic. Terapi IVIG dan
plasmapheresis dapat digunakan untuk pasien MG dengan eksaserbasi. Jika
pasien pasca timektomi masih mengalami disablitas, prednisone 60 hingga 100
mg diberikan setiap hari untuk mencapai respon dalam beberapa hari atau
minggu. Setelah sudah ada perbaikan, dosis harus diturunkan 20 hingga 35 mg
setiap hari. Jika pasien tidak sembuh dalam waktu 6 bulan, azathioprine atau
siklofosfamid diberikan dengan dosis 2.5 mg/kgBB setiap hari untuk orang
dewasa. Dosis harus dinaikkan secara gradual dan harus diminum setelah makan
untuk mencegah terasa mual. Prednison 20 hingga 35 mg dapat diberikan selang
hari myasthenia okular.
Pasien dengan timoma sering mempunyai MG lebih parah dan kurang bisa
didefinisikan sebagai kebutuhan ventilasi yang dibantu, dimana ia merupakan
kondisi yang terjadi pada kira-kira 10% pasien MG dengan disarthria, disfagia,
dan kelemahan otot pernafasan yang telah didokumentasi. Pengobatan kolinergik
diberhentikan setelah intubasi dilakukan. Prinsip terapi adalah memerlihara
fungsi vitaldan mengelakkan atau mengobatiinfeksi sehingga pasien pulih dari
krisis tersebut. Terapi kolinergik tidak perlu dimulai sehingga tanda infeksi telah
hilang dan tidak ada komplikasi paru yang yang lain, pasien dapat bernapas
sendiri tanpa bantuan.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Myasthenia gravis merupakan defek transmisi di neuromuskular junction
akibat penyakit autoimun yang dikarekteristik dengan fluktuasi kelemahan yang
patologis dengan remisi dan eksaserbasi melibatkan satu atau beberapa kelompok
otot skeletal, terutama disebabkan oleh antibodi terhadap reseptor acetylcholine
(AChR) pada neuromuskular junction.
3.2 Saran
Sebagai tenaga kesehatan yang profesional selain mengetahui dan melaksanakan
tindakan keperawatan yang sesuai dengan SOP, hendaknya juga dibekali dengan
pengetahuan mengenai Myasthenia. Sehingga sebagai tenaga kesehatan dapat
memperbaiki perihal yang telah terjadi.
DAFTAR PUSTAKA
Skeie G.O., Apostolski A., Evoli A., Gilhus E., Illa I., Harms L., Melms A.,
Horge H.W., Verschuuren J., Guidelines for treatment of autoimmune
neuromuscular transmission disorders. European Journal of Neurology. 2010
February
Chan J.W., Orrison W.W., Ocular myasthenia: a rare presentation with MuSK
antibody and bilateral extraocular muscle atropy. Br J Ophthalmol 2007 February
Caress J.B., Hunt C.H., Batish S.D., Anti-MuSK myasthenia gravis presenting
with purely ocular findings. Arch Neurol 2005 December
Brainin M., Barnes M., Baron J.C., et al. Guidance for the preparation of
neurological management guidelines by EFNS scientific task forces-revised
recommendations 2004. Eur J Neurol 2004 October
Beekman R., Kuks J.B.M., Oostherhius HJGH. Myasthenia gravis: diagnosis and
follow-up of 100 consecutive patients. J Neurol 2007 August