Anda di halaman 1dari 13

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Myasthenia gravis merupakan defek transmisi di neuromuskular junction
akibat penyakit autoimun yang dikarekteristik dengan fluktuasi kelemahan yang
patologis dengan remisi dan eksaserbasi melibatkan satu atau beberapa kelompok
otot skeletal, terutama disebabkan oleh antibodi terhadap reseptor acetylcholine
(AChR) pada neuromuskular junction. Myasthenia gravis mempunyai prevalensi
85-125 per juta, dan insidensi per tahun 2-4 per juta.
Puncak insidensi penyakit ini dijumpai pada usia 20 tahun hingga 40 tahun
yang didominasi oleh wanita; dan pada usia 60 tahun hingga 80 tahun yang sama
antara wanita dan pria. Myasthenia gravis merupakan penyakit yang jarang,
namun prevelansi telah meningkat mengikut waktu dengan estimasi terbaru
mencapai 20 per 100000 orang di populasi Amerika. Peningkatan prevalensi ini
kemungkinan disebabkan perbaikan dari diagnosis dan penatalaksanaan
myasthenia gravis serta peningkatan usia rata-rata yang hidup di populasi secara
umum.
Gejala klinis khas pada myasthenia gravis adalah kelemahan yang
melelahkan, dan sering berkait dengan kelompok otot yang rentan dan spesifik.
Pasien sering mengeluhkan kelemahan otot mereka fluktuasi dari hari ke hari atau
dari jam ke jam, memburuk dengan aktivitas, dan membaik dengan istirehat.
Pasien dapat mempunyai gejala seperti ptosis, diplopia, disarthria, disfagia,
dispnea, kelemahan otot wajah, atau tungkai yang lelah atau kelemahan aksial
dengan berbeda-beda tingkat keparahan bergantung terhadap kuantitas
neuromuskular yang terlibat.
Kelemahan otot okular menyebabkan ptosis dan ini merupakan gejala
paling sering dan paling awal terjadi pada pasien myasthenia gravis, kelemahan
otot okular ini berfluktuasi dan penyakit biasanya berkembang menjadi
kelemahan seluruh tubuh dalam waktu 2 tahun setelah onset penyakit.
Penyebabnya diduga karena serangan autoimun terhadap reseptor
asetilkolin pada neuro-muscular junction. Antibodi terhadap reseptor asetilkolin
atau receptor-decamethonium complex (anti-AchR) ditemukan dalam serum dari
tigaperempat penderita myasthenia gravis (MG). Abnormalitas thymus juga
ditemukan pada sebagian besar penderita MG, sekitar 75% dengan hiperplasia
folikel kelenjar dan 10-15% dengan tumor thymic jenis lymphoblastic atau
epithelial. Tindakan thymectomy menyebabkan remisi dan perbaikan pada
masing-masing 35% dan 50% penderita sehingga diduga MG berhubungan
dengan serangan autoimun terhadap antigen pada thymus dan motor endplate
atau abnormal clone dari sel-sel imun di thymus.
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala klinis, pemeriksaan fisis dan
prosedur konfirmasi diagnostik, dengan pemberian antikolinesterase kerja pendek
(endrophonium) 210 mg intravena maka kekuatan otot secara dramatis dapat
dipulihkan. Tes lain yang lebih canggih dengan elektromyografi serabut tunggal
dan pemeriksaan rangsangan saraf berulang.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa pengertian myasthenia gravis dan epidiomologi ?
2. Bagaimana etiologi dan patogenesis myasthenia gravis ?
3. Bagimana gambaran klinis myasthenia gravis?
4. Apa diagnosa myasthenia gravis
5. Apa terapi yang diberikan ?

1.3 Tujuan
1. Mengetahui apa pengertian myasthenia gravis dan epidiomologi
2. Mengetahui bagaimana etiologi dan patogenesis myasthenia gravis
3. Mengetahui bagimana gambaran klinis myasthenia gravis
4. Mengetahui apa diagnosa myasthenia gravis
5. Mengetahui apa terapi yang diberikan
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Myasthenia Gravis


Myasthenia gravis adalah penyakit neuromuskular junction yang disebabkan
oleh penyakit autoimun yang didapat dan dikarekteristik dengan fluktuasi
kelemahan patologis dengan remisi dan eksaserbasi berkait dengan satu atau
beberap kelompok otot, terutamnya disebabkan oleh antibodi terhdapa reseptor
asetilkolin (AChR) pada post sinaps neuromuscular junction.
2.2 Epidemiologi
Prevelansi MG adalah 14 per 100000 populasi ( kira-kira 17,000 kasus) di
Amerika. Sebelum umur 40 tahun, penyakit ini adalah 3 kali lipat lebih banyak di
wanita dibandingkan pria, namun pada usia lebih tua kedua-dua jenis kelamin
bisa terkena MG.
2.3 Etiologi
Terdapat predisposisi genetik untuk MG. Namun, MG tidak hanya
diwarisi karena genetic 30% pasien MG mempunyai satu saudara kandung
dengan diagnosa MG juga atau gangguan autoimun yang lain, dan kejadian
penyakit autoimun yang lain di MG pasien sangat tinggi. Predisposisi genetik
untuk pasien MG termasuk region MHC kelas I dan II, subunit-α AChR, rantai
IgG yang berat dan ringan dan gen TCR.
Walaupun infeksi dapat menginisiasi kebanyakkan penyakit autoimun
dengan meengakibatkan kerusakkan jaringan, pemamparan antigen tubuh sendiri,
dan aktivasi sel T yang mengenali urutan homologous microorganism melalui
mimikri molekul. Reaksi silang antibodi dengan bakteri dan virus herpes simplex
dapat menginduksi penyakit MG. Pada kasus MG yang diassosiasi dengan
timoma, terdapat neurofilament yang bersaiz sederhana NF-M yang mempunyai
AChR-like epitope yang disangka merupakan etiologi terjadinya MG. Terdapat
peningkatan jumlah reseptor NF-M pada sel T di pasien MG dengan timoma.
2.4 Patogenesis
Patogenesis MG berkaitan dengan efek destruksi dari autoantibodi
terhadap AChR. Respon autoimun seluler adalah tahap awal terjadinya MG.
AChR merupakan target utama untuk reaksi autoimun di MG. Respon autoimun
seluler yang terjadi yaitu respon autoimun humoral yang melibatkan antibodi
AChR dan antibodi bukan AChR. Miopati inflammatory dapat terjadi pada pasien
MG dan diassumsi disebabkan oleh polimiositis. Antibodi poliklonal IgG
terhadap AChR diproduksi oleh sel plasma di organ limfoid perifer, sum-sum
tulang dan timus. Sel ini berasal dari sel B yang telah diaktivasi oleh sel T yang
antigen spesifik. Sel T juga telah diaktivasikan, pada kasus ini dengan berikatan
dengan urutan peptide antigen AChR (epitop) yang terdapat di dalam
histocompatibility antigen pada permukaan sel antigen-presenting.
AChR merupakan glikoprotein transmembran yang lokasinya pada
postsinaps neuromuscular junction, melibatkan 5 subunit (α-ε). Region
immunogenic yang utama adalah antibodi AChR yang dilokasi pada subunit α.
Antibodi AChR menggangu transmisi neuromuscular dengan kerusakan
membrane otot fokal yang disebabkan oleh komplemen, terjadi peningkatan
akselerasi degradasi AChR, dan terjadi blockade ikatan ligand AChR secara
direk. Konsentrasi serum komponen complement C3 dan C4 adalah rendah pada
pasien MG dengan konsentrasi antibodi AChR tinggi. Antibodi AChR terdapat
lebih dari 85% pasien MG yang generalisata dan 70% pada pasien MG okular.
Antibodi AChR adalah poliklonal yaitu paling banyak IgG dengan subkelas IgG1
dan IgG3. Konsentrasi antibodi AChR tidak berkolerasi terhadap tingkat
keparahan MG.
Titin merupakan protein yang sangat besar (3000kDa) dan merupakan
protein paling banyak di otot skeletal dan sacromere jantung. Region
immunogenik yang utama pada MG adalah myasthenia gravis titin-30 (MGT-30)
dan protein ini terletak dekat A/I band junction. Manakala, RyR adalah kanal
yang membebaskan kalsium yang dilokasi di sarcoplasmic reticulum. Terdapat
dua jenis RyR, skeletal (RyR1) dan jantung (RyR2). Antibodi RyR dari pasien
MG bereaksi terhadap kedua-dua jenis protein RyR ini. Antibodi Titin dan RyR
lebih sering pada MG berat dan dapat mengaktivasi komplemen in vitro.
Antibodi kinase spesifik otot diekspresi pada neuromuscular junction. Kira-kira
41% antibodi AChR negatif pada MG generalisata mempunyai antibodi serum
terhadap kinase spesifik otot dan dan adanya antibodi kinase spesifik otot dapat
berkolerasi terhadap tingkat keparahan MG.
Antibodi AChR bereaksi dengan determinant yang multiple, dan antibodi
yang cukup banyak bersirkulasi sehingga mencapai saturasi hingga 80 % dari
semua AChR pada otot. Persentase yang kecil molekul anti AChR mengganggu
ikatan dengan Ach secara direk, namun kerusakkan yang mayor pada end plates
menyebabkan reseptor berkurang pada neuromuscular junction di otot. Lisis
komplemen mediasi membrane dan proses degradasi yang cepat (internalisasi,
endositosis, hidrolisis lisosom) dengan penggantiaan sintesa baru yang tidak
adekuat. Akibat pengurangan AChR dan erosin serta potensial simplication end
plate, pasien biasanya menjadi tidak sensitif lagi terhadap curare antagonist yang
kompetitif. Selain itu, terjadi juga penurunan respon stimulasi berulang-ulang
saraf motorik karena kegagalan potensial end plate untuk mencapai threshold
sehingga secara progressif lebih sedikit serat otot yang respon terhadap impuls
saraf.
Bagaimana penyakit autoimun terjadi masih belum diketahui namun
mengikut penelitian yang terbaru, autoimun terjadi diawali dari infeksi. MG
adalah penyakit heterogeneous, diklasifikasi pada beberapa tipe subgroup.
Subgroup okular MG termasuk antibodi AChR positif, pada subgroup ini tidak
terdapat timoma dengan gejala pada okular (tidak generalisata). MG okular bisa
terjadi pada setiap umur namun lebih sering pada anak dan pria onset lambat.
HLA-DQ6 menunjukkan assosiasi dengan MG okular pada anak balita di Asia.
Subgroup MG onset awal termasuk antibodi AChR positif, dan subgroup
tidak ada timoma serta MG generalisata dengan onset MG sebelum umur 50
tahun. Hiperplasia timus sering pada subgroup ini dan merupakan subgroup
terbesar terdiri dari 65% semua pasien MG. Subgroup ini pasien lebih banyak
wanita dengan rasio wanita ke pria 1:4 dan biasanya usia 20 tahun hingga 30
tahun. Konsentrasi serum antibodi AChR biasanya tinggi.
Subgroup MG dengan onset lambat termasuk antibodi AChR positif, juga
tidak ada timoma serta pada subgroup ini adalah generalisata MG dengan onset
pada umur 50 tahun atau lebih. Atrofi timus lebih sering pada subgroup ini.
Kejadian MG onset lambat adalah sama di wanita dan pria dan biasanya di usia
70 tahun hingga 80 tahun. Konsentrasi antibodi AChR biasanya rendah pada
subgroup ini. Satu setengah pasien MG subgroup mempunyai antibodi titin dan
RyR.
Subgroup MG dengan timoma biasanya mempunyai antibodi AChR dan
biasanya subgroup ini banyak pada tipe kortikal. MG timoma terjadi pada setiap
umur dan paling sering onset pada usia 50 tahun, subgroup sama banyak pada
wanita dan pria serta adanya antibodi titin dan RyR pada pasien MG dengan
timoma. Adanya timoma tidak memperburukan kondisi MG. Menurut penelitian
Romi F (2005), pasien MG dengan timoma dan tanpa timoma dibandingkan
prognosis jangka panjang dan didapati prognosisnya adalah hampir sama.
Mengikut laporan terdapat perbedaan patogenesis diantara antibodi AChR
positif dan negatif tanpa bukti timoma, termasuk adanya antibodi kinase spesifik
otot pada 10-40% pasien MG dengan antibodi AChR negatif. Pasien seronegatif
yaitu pasien antibodi AChR negatif tanpa bukti adanya timoma yang tidak
mempunyai antibodi kinase spesifik otot mempunyai gejala klinis MG yang lebih
ringan dibandingkan pasien MG seropositif. Pasien MG seronegatif yang tidak
mempunyai antibodi kinase spesifik otot namun mempunyai antibodi patogenik
terhadap otot yang bersirkulasi dan antibodi ini masih belum diidentifikasi.

2.5 Gambaran klinis


Gambaran klinis MG mempunyai 3 karekteristik utama yang dapat
menegakkan diagnosa. Diagnosis yang dilakukan untuk pasien MG bergantung
terhadapa demonstrasi respon terhadap obat kolinergik, ada bukti kelainan
trasmisi neuromuscular elektrofisiologi dan demonstrasi antibodi AChR yang
bersirkulasi.
Kelemahan pada myasthenia yang berfluktuasi adalah khas karena penyakit
lain tidak mempunyai kelemahan berfluktuasi. Kelemahan ini bervariasi dalam
seharian, terkadang kelemahan terjadi dalam beberapa menit dan bervariasi dari
hari ke hari atau period yang lebih panjang. Variasi yang berpanjangan dikenali
sebagai remisi atau eksaserbasi; eksaserbasi melibatkan otot pernafasan sehingga
menyebabkan ventilasi yang tidak adekuat yang merupakan krisis. Variasi
terkadang dikaitkan dengan olahraga, kelainan fisiologi ini disebutkan sebagai
kelelahan yang berlebihan, excessive fatigability. Simptom MG adalah
kelemahan namun tidak menyebabkan kelelahan yang sangat cepat.
Karekteristik kedua MG adalah distribusi kelemahan. Otot okular biasanya
yang paling pertama terkena dan menyebabkan gejala ptosis dan diplopia.
Simptom lain yang sering juga melibatkan otot facial dan orofaringel sehingga
menyebabkan disartia, disgfagia, dan limitasi pergerakan otot facial. Kelemahan
leher dan ekstremitas adalah sering dan biasanya disertai kelemahan nervus
kranial. Hampir tidak pernah ada kasus MG dengan kelemahan tungkai sahaja.
Krisis MG sering terjadi pada pasien pasien dengan kelemahan
orofaringeal atau otot pernafasan. Stress emosional dan penyakit sistemik dapat
memperberatkan kelemahan pada myasthenia untuk sebab yang tidak jelas pada
pasien dengan kelemahan orofaringeal, aspirasi sekresi dapat menyumbat saluran
paru sehingga menyebabkan kesulitan bernapas. Kelemahan respiratori dapat
terjadi setelah operasi yang mayor tanpa aspirasi. Krisis yang terjadi secara
spontan adalah jarang terjadi pada waktu sekarang dibandingkan dulu.
Karekteristik ketiga kelemahan myasthenia adalah respon klinis terhadap
obatan kolinergik. Progresifitas penyakit MG biasanya terjadi setelah beberapa
minggu atau beberapa bulan dari gejala pertama. Jika gejala myasthenia cuman
direstriksi pada otot okular untuk 2 tahun, maka gejalanya cuman pada otot
okular dan sangat jarang menjadi generalisata. MG okular mempunyai antibodi
AChR lebih rendah. MG generalisata dikatakan dapat dicegah dengan pemberian
immunosuppresi awal namun belum ada laporan menyatakan adanya remisi
komplit. Remisi spontan terjadi kira-kira pada 25% pasien MG dan sering remisi
spontan ini terjadi pada 2 tahun pertama setelah muncul gejala MG yang pertama.
Tanda vital dan pemeriksaan fisik biasanya dalam kondisi normal, kecuali
pasien adalah dalam kondisi krisis. Pada pemeriksaan neurologis tergantung pada
distribusi kelemahan yang disebabkan oleh MG. Kelemahan pada otot facial dan
otot levator palpebrae menyebabkan muka tanpa mimik dan palpebra yang jatuh.
Kelemahan pada otot okular dapat menyebabkan paralisis atau kelemahan otot
yang diisolasi, ophtalmoplegia pada satu atau dua mata menyerupai
ophtalmoplegia internuklear. Kelemahan orofaringeal atau otot tungkai dapat
dideteksi dengan beberapa tes. Kelemahan otot respiratori dapat dideteksi dengan
pemeriksaan faal paru yaitu kapaitas vital, tekanan inspirasi dan tekanan ekspirasi
sehingga dapat mendeteksi kelainan sebelum timbul gejala. Atrofi otot dijumpai
pada 10% pasien MG dengan malnutrisi akibat disfagia berat. Fasikulasi lidah
tidak pernah terjadi kecuali dosis obat kolinergik berlebihan. Sensasi dan refleks
adalah normal pada pasien MG walaupun dengan kondisi ototnya yang lemah.
Terdapat klasifikasi baru untuk tingkat keparahan dan respon terhadap terapi
mengikut Medical Advisory Board of Myasthenia Gravis Foundation.

2.6 Diagnosa banding


Diagnosa banding termasuk semua penyakit termasuk yang disertai
kelemahan orofaringeal, atau kelemahan tungkai seperti distrofi muskular, bulbar
palsy yang progresif, ophtalmopelgia. Biasanya tidak ada kesulitan dalam
membedakan kondisi penyakit-penyakit ini dari MG dengan temuan pemeriksaan
fisik dan pemeriksaan saraf dan kegagalan simptom pada kondisi ini untuk
memperbaiki setelah injeksi parenteral neostigmin atau edrophonium. Kadang-
kadang, blepharospasm disangka mirip myasthenia okular, namun pada
penutupan mata secara kuat di blepharospasm yang melibatkan palpebra atas dan
bawah; fissura palpebra yang sempit menunjukkan aktivitas otot yang aktif .
Pada kondisi lain yang mempunyai perbaikan klinis yang telah
didokumentasi setelah penggunaan edrophonium adalah gangguan transmisi
neuromuscular yang lain seperti botulinum intoksikasi , gigitan ular, intoksikasi
organofosfat dan sindroma Lambert-Eaton.

2.7 Diagnosa
Diagnosis MG dapat ditegakkan tanpa kesulitan pada kebanyakan pasien
dari riwayat karekteristik dan pemeriksaan fisik. Perbaikan yang dramatis setelah
injeksi neostigmine bromide (Prostigmin) atau edrophonium (Tensilon) membuat
administrasi obat ini penting untuk MG. Kekuatan otot kembali setelah
adminstrasi neostigmine atau edrophonium; jika tidak ada respon berlaku,
diagnosis MG dapat diragukan. Demonstrasi respon farmakologi terkadang susah
namun jika gejala klinis mengarahkan ke MG, harus dilakukan tes ulang dengan
dosis berbeda atau cara adminstrasi. Pemberian obat antikolinesterase semalaman
dapat membantu menegakkan diagnosis. Respon negatif palsu terhadap
edrophonium adalah terkecualikan jika ada lesi structural, seperti tumor batang
otak. (MG dapat disertai penyakit lain seperti Grave’s ophtalmopati atau
sindroma Lambert-Eaton.
Diagnosis MG dapat juga ditegakkan dengan titer tinggi antibodi terhadap
AChR namun titer yang normal tidak mengeksklusikan diagnosis MG. Respon
terhadap stimulasi yang berulang-ulang dan EMG serabut tunggal juga dapat
menegakkan diagnosis. Jika ada timoma , diagnosis MG adalah lebih mungkin
dibandingkan penyakit neuromuscular yang lain.
Pada tes neostigmin, dosis obat adalah 1.5 mg hingga 2.0 mg dan atrofin
sulfat 0.4 mg diberikan secara intramuskular. Perbaikan objektif pada tenaga otot
telah tercatat pada interval 20 menit hingga 2 jam setelah adminstrasi obat
tersebut. Adminstrasi edrophonium pada dosis 1 mg hingga 10 mg. Dosis insial
adalah 2 mg diikuti dengan 2 mg setelah 30saat jika perlu dan tambahan dosis 5
mg dalam 15 hingga 30 saat hingga dosis maksimum 10 mg. Perbaikan
diperhatikan dalam 30 saat dan bertahan untuk beberapa menit. Kebanyakkan
respon diperhatikan pada dosis kurang dari 5.0 mg. Respon yang sangat cepat
dan dramatik, edrophonium adalah lebih disukai untuk evaluasi kelemahan otot
okular dan otot kranial. Neostigmin umumnya digunakan untuk evaluasi untuk
otot tungkai atau otot pernafasan, yang membutuhkan lebih banyak waktu.
Pemeriksaan laboratorium pada pasien MG adalah berguna untuk
konfirmasi diagnosis gawat darurat myasthenia gravis (MG). Pemeriksaan analisa
gas darah dapat membantu penanganan respiratori. Elevasi PaCO2 dapat
menunjukkan kegagalan respiratori yang progresif dan merupakan indikasi
manajemen saluran napas kegawat daruratan.
Pencitraan diindikasi untuk determinasi apakah adanya pneumonia aspirasi
atau pneumonia tipe lain yang terjadi pada pasien MG. MRI atau CT scan dada
adalah sangat akurat untuk mendeteksi timoma dan harus dilakukan pada setiap
kasus baru MG. Foto toraks adalah tidak sensitif untuk skreening timoma.
Ice pack test adalah salah satu pemeriksaan mudah yang dapat dilakukan
karena dengan mendinginkan otot terutama otot okular dapat memperbaiki
transmisi neuromuskular. Es batu dimasukkan ke dalam sarung tangan bedah atau
dibungkus dalam kain dan diletakkan di atas kelopak mata untuk 2 menit. Tes ini
positif apabila terjadi perbaikan dari ptosis namun tes adalah kurang sensitif dan
jarang dilakukan.
Elektromiografi serabut otot tunggal dan assay untuk antibodi reseptor
asetilkolinerase digunakan untuk mengkonfirmasi diagnosis MG, namun tes ini
jarang dapat dilakukan dalam kondisi gawat darurat.
Pemeriksaan EMG menunjukkan karekteristik yang mirip dengan subyek
normal yang diberikan relaxant otot dosis kecil sewaktu dianastesi. Terjadinya
penurunan aksi potensial kompound otot.

2.8 Terapi
Terapi MG terdapat 5 tipe yaitu obat antikolinesterase dan plasmaperesis
dimana merupakan terapi simptomatik, manakala timektomi, steroid dan obat
imunosuppresif yang lain dapat mengubah haluan penyakit.
Pengobatan antikolinesterase biasanya diberikan setelah diagnosa
ditegakkan. Terdapat 3 tipe obat antikolinesterase yang paling sering digunakan
yaitu neostigmine, pyridostigmine bromide dan ambenonium (Mytelase).
Pyridostigmine bromide adalah obat paling popular antara 3 tipe obat namun
belum pernah dinilai dan dibandingkan secara terkontrol dengan obat-obatan lain.
Efek samping muskarinik adalah kram abdominal dan diare, pyridostigmine
bromide mempunyai efek samping muskarinik yang paling kurang dibandingkan
dengan lain. Pyridostigmine diawali dengan dosis 60 mg secara oral setiap 4 jam
sewaktu pasien sadar. Dosis dinaikkan tergantung pada dosis klinis namun
peningkatan manfaat tidak diharapkan pada jumlah lebih dari 120mg setiap 2
jam. Jika pasien mempunyai kesulitan untuk makan, obat dapat diminum 30
menit sebelum makan.
Simptom muskarinik dapat diperbaiki dengan preparasi atropine (0.4 mg)
dengan setiap dosis pyridostigmine. Dosis atropine yang berlebihan dapat
menyebabkan psikosis tapi jumlah yang diminum pada regimen ini tidak
mempunyai efek psikotik.
Walaupun terapi kolinergik memberikan efek yang impresif namun terapi
mempunyai limitasi. Pada pasien MG generalisata, gejala pasien dapat
menghilang namun terdapat simptom yang masih menetap dan resiko krisis
menetap karena penyakit tidak disembuhkan dengan pemberian obat ini.
Timektomi dulunya hanya dilakukan pada pasien dengan disablitias yang
serious karena timektomi dapat menyebabkan mortalitas tinggi. Namun dengan
kemajuan pada pembedahan dan anestesi , mortalitas sudah berkurang pada
timektomi. Kira-kira 80% pasien tanpa timoma menjadi asimptomatik atau
menjadi remisi komplit setelah timektomi. Makanya timektomi telah
direkomendasi untuk kebanyakkan pasien dengan MG generalisata. Walaupun
timektomi adalah operasi mayor dan tidak direkomendasi untuk pasien dengan
myasthenia okular kecuali pasien mempunyai timoma.
Terapi prednisone digunakan untuk persiapan pasien melakukan timektomi
atau menggunakan plasmapheresis atau terapi IVIG. Penukaran dengan
plasmapheresis kira-kira 5% volume darah dapat diberikan beberapa kali
sebelum hari pembedahan yang bertujuan untuk memperbaiki krisis respiratori
atau mencegah krisis pernafasan pasca operasi. Plasmapheresis digunakan untuk
eksaserbasi lain yang dapat menyebabkan perbaikan pada kebanyakan pasien.
Plasmapheresis adalah aman namun mahal dan tidak mudah untuk kebanyakkan
pasien. Adminstrasi IVIG adalah lebih mudah namun adalah lebih mahal
dibandingkan plasmapheresis dan IVIG adalah lebih disukai dibandingkan
plasmapheresis terutama pada pasien akses vena yang jelek, termasuk pada anak.
Terapi IVIG biasanya diberikan dosis 5 kali dengan jumlah 2g/kg BB.
Efek sampingnya termasuk nyeri kepala, meningitis aseptic. Terapi IVIG dan
plasmapheresis dapat digunakan untuk pasien MG dengan eksaserbasi. Jika
pasien pasca timektomi masih mengalami disablitas, prednisone 60 hingga 100
mg diberikan setiap hari untuk mencapai respon dalam beberapa hari atau
minggu. Setelah sudah ada perbaikan, dosis harus diturunkan 20 hingga 35 mg
setiap hari. Jika pasien tidak sembuh dalam waktu 6 bulan, azathioprine atau
siklofosfamid diberikan dengan dosis 2.5 mg/kgBB setiap hari untuk orang
dewasa. Dosis harus dinaikkan secara gradual dan harus diminum setelah makan
untuk mencegah terasa mual. Prednison 20 hingga 35 mg dapat diberikan selang
hari myasthenia okular.
Pasien dengan timoma sering mempunyai MG lebih parah dan kurang bisa
didefinisikan sebagai kebutuhan ventilasi yang dibantu, dimana ia merupakan
kondisi yang terjadi pada kira-kira 10% pasien MG dengan disarthria, disfagia,
dan kelemahan otot pernafasan yang telah didokumentasi. Pengobatan kolinergik
diberhentikan setelah intubasi dilakukan. Prinsip terapi adalah memerlihara
fungsi vitaldan mengelakkan atau mengobatiinfeksi sehingga pasien pulih dari
krisis tersebut. Terapi kolinergik tidak perlu dimulai sehingga tanda infeksi telah
hilang dan tidak ada komplikasi paru yang yang lain, pasien dapat bernapas
sendiri tanpa bantuan.
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Myasthenia gravis merupakan defek transmisi di neuromuskular junction
akibat penyakit autoimun yang dikarekteristik dengan fluktuasi kelemahan yang
patologis dengan remisi dan eksaserbasi melibatkan satu atau beberapa kelompok
otot skeletal, terutama disebabkan oleh antibodi terhadap reseptor acetylcholine
(AChR) pada neuromuskular junction.

3.2 Saran
Sebagai tenaga kesehatan yang profesional selain mengetahui dan melaksanakan
tindakan keperawatan yang sesuai dengan SOP, hendaknya juga dibekali dengan
pengetahuan mengenai Myasthenia. Sehingga sebagai tenaga kesehatan dapat
memperbaiki perihal yang telah terjadi.
DAFTAR PUSTAKA

Skeie G.O., Apostolski A., Evoli A., Gilhus E., Illa I., Harms L., Melms A.,
Horge H.W., Verschuuren J., Guidelines for treatment of autoimmune
neuromuscular transmission disorders. European Journal of Neurology. 2010
February

Chan J.W., Orrison W.W., Ocular myasthenia: a rare presentation with MuSK
antibody and bilateral extraocular muscle atropy. Br J Ophthalmol 2007 February

Caress J.B., Hunt C.H., Batish S.D., Anti-MuSK myasthenia gravis presenting
with purely ocular findings. Arch Neurol 2005 December

Brainin M., Barnes M., Baron J.C., et al. Guidance for the preparation of
neurological management guidelines by EFNS scientific task forces-revised
recommendations 2004. Eur J Neurol 2004 October

Vincent A., Unravelling the pathogenesis of myasthenia gravis. Nat Rev


Immunol 2002

Beekman R., Kuks J.B.M., Oostherhius HJGH. Myasthenia gravis: diagnosis and
follow-up of 100 consecutive patients. J Neurol 2007 August

Anda mungkin juga menyukai