net/publication/339426658
CITATIONS READS
0 1,173
1 author:
Jorghi Abiansyah
Universitas Gadjah Mada
3 PUBLICATIONS 0 CITATIONS
SEE PROFILE
All content following this page was uploaded by Jorghi Abiansyah on 22 February 2020.
Jorghi Abiansyah
Universitas Gadjah Mada
ABSTRAK
Dua dasawarsa era Reformasi, salah satu agenda Reformasi adalah pemberantasan
korupsi politik yang merupakan penyakit Orde Baru sehingga reformasi birokrasi
pun dilaksanakan untuk mewujudkan hal tersebut. Meskipun demikian, walaupun
korupsi politik telah menjadi fenomena sosial tabu dan melanggar hukum, namun
nyatanya praktik tersebut justru semakin marak terjadi di kalangan pemangku
kebijakan dalam Pemerintahan Negara Indonesia pasca Orde Baru (Reformasi).
Korupsi politik mencangkup penyalahgunaan kuasa oleh aktor-aktor
Pemerintahan dengan menggunakan kekayaan negara dalam jumlah besar guna
kepentingan pribadi atau pun untuk mempertahankan kekuasaan. Ada pun korupsi
politik juga mencangkup penyimpangan perilaku secara hukum sehingga
seringkali hukum disalahgunakan dan dimanipulasi. Alhasil, korupsi politik
menjadi budaya yang terus menghantui jalannya dinamika Pemerintahan
Republik Indonesia sehingga upaya perlawanan semakin sulit untuk dilaksanakan.
Akan tetapi, meskipun fenomena ini semakin marak terjadi, korupsi politik dalam
Pemerintahan bukanlah hal baru mengingat terdapat pola historis sejak masa
Kesultanan dan Kolonial
Oleh sebab itu, penelitian ini memiliki tujuan untuk menjawab penyebab
terjadinya fenomena budaya korupsi politik dalam Pemerintahan Republik
Indonesia pasca Orde Baru melalui penjelasan determinisme historis dalam
dimensi struktural dan kultural. Penelitian ini pun menggunakan metode
penelitian historis, melalui studi pustaka dengan mengumpulkan data primer
maupun sekunder yang berkaitan dengan variabel tunggal yakni sejarah praktik
dan budaya korupsi politik dalam pemerintahan yang pernah berkuasa di
Indonesia. Selanjutnya, analisis data menggunakan pendekatan kualitatif.
Terakhir, hasil penelitian pun menyimpulkan bahwasannya budaya korupsi politik
dalam Pemerintahan pasca Orde Baru dipengaruhi oleh sistem yang telah ada
sejak masa feodalisme Jawa dan birokrasi Belanda yang berkaitan erat dengan
budaya patrimonial. Selain didukung oleh warisan feodal/kolonial, minimnya
tindakan pemberantasan ketika Pemerintahan Republik Indonesia pra-Reformasi
juga memperparah perilaku koruptif.
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Korupsi politik dalam Pemerintahan Republik Indonesia (RI), sampai saat ini,
tersebut dengan intensitas tertentu. Hal ini dapat dilihat ketika laporan-laporan
sangat koruptif sudah tidak lagi berkuasa.1 Hal ini menunjukkan bahwa pengaruh
perubahan yang terjadi tidak memiliki dampak namun justru menjadi faktor
pendorong terjadinya hal tersebut, maka dapat dikatakan perubahan tersebut tidak
memiliki dampak yang signifikan atau pun tidak ada perubahan yang diciptakan
karena terdapat nilai yang tertanam dan sulit untuk dihilangkan. Dalam hal ini,
nilai yang tertanam adalah korupsi politik mengingat aktivitas korupsi politik di
fenomena budaya dapat ditelusuri dari pernyataan Mohammad Hatta pada tahun
1
Winarno, B. (2007) Sistem Politik Indonesia Era Reformasi. Yogyakarta, Medpress, pp.122-124.
2
1970, beliau selaku Wakil Presiden pertama RI dan penasihat pemberantasan
menjadi hal yang tertanam di dalam struktur masyarakat Indonesia sehingga dapat
dikatakan sebagai kewajaran yang tidak terbantahkan dalam relasi sosial, politik,
dan ekonomi.3 Selain itu, mengingat adanya anggapan bahwa korupsi telah
menjadi suatu fenomena budaya maka tentunya terdapat suatu basis pola
determinisme historis. Hal ini tidak lain karena konstruksi budaya tentunya
bangun dalam rentang waktu yang relatif lama dan pengulangan secara konsisten
yang menjadi pola determinisme historis dalam fenomena ini, dapat ditelusuri
otoritas, gaya kepemimpinan, birokrasi, hukum, dan hirarki. Hal ini menjadi
2
Noer, D. (1990) Mohammad Hata: Biografi Politik. Jakarta, Lembaga Penelitian, Pendidikan
dan Penerangan Ekonomi dan Sosial, p. 684.
3
Margana, S. (2016) Akar Historis Korupsi di Indonesia. Dalam: Carey, P. Korupsi dalam Silang
Sejarah Indonesia dari Daendels (1808-1811) sampai Era Reformasi. Yogyakarta, Komunitas
Bambu, p. 105.
4
Ibid, p. 106.
5
Marijan, K. (1999) The Study of Political Culture in Indonesia. Masyarakat Kebudayaan dan
Politik. 9 (2), 59.
3
melihat hubungan politik dan budaya maka budaya perlu disikapi sebagai cara
merupakan warisan dan tradisi sejarah, tertanam secara kultural karena pengaruh
transformasi struktur politik dan peran budaya lokal yang ditanamkan oleh
B. Pertanyaan Penelitian
C. Landasan Konseptual
Untuk memperjelas apa itu korupsi politik, pertama-tama perlu diketahui definisi
korupsi secara umum terlebih dahulu. Pertama, untuk melihat apa yang
menggunakan dua perspektif yaitu perspektif legal (suatu tindakan tertentu adalah
korupsi apabila melanggar hukum) dan perspektif moral (suatu tindakan korupsi
6
Geertz, C. (1972) The Politics of Meaning. Dalam: Holt, C. (1972). Culture and Politics in
Indonesia. Jakarta, Equinox Publishing, pp. 319-322.
4
apabila tidak sesuai dengan prinsip moral masyarakat). Apabila kita berbicara
mengenai sejarah korupsi maka tindakan korupsi perlu dilihat melalui perspektif
moral masa kini (korupsi sebagai pelanggaran norma dan nilai masyarakat
modern) mengingat pada masa lalu yang belum memiliki prinsip hukum modern,
terdapat kemungkinan tindakan yang sekarang ini dianggap korupsi pada masa itu
bukanlah tindakan korupsi. Ada pun yang bisa disepakati secara moral dan legal,
berkuasa (high-contracting parties) entah itu swasta atau pun pemerintahan yang
dan seberapa besar dampak yang ditimbulkan terbagi menjadi tiga kategori.
Pertama, korupsi kecil atau korupsi birokrasi (petty corruption) yang mencangkup
transaksi antara masyarakat dan pegawai publik dengan jumlah nominal kecil
seperti halnya pemberian uang suap untuk mempercepat suatu proses birokrasi.
Kedua, korupsi tingkat tinggi (grand corruption) yang berkaitan dengan praktik
tingkat tinggi dan korupsi sistemik, memiliki skala dan nominal tertentu dan
(tindakan korupsi secara tidak langsung dilegalkan oleh hukum yang berlaku) dan
7
Heywood, P. M. (2014) Routledge Handbook of Political Corruption. Abingdon, Routledge.
5
transaksi secara tidak sehat (kolusi) dengan pihak-pihak swasta.8 Ada pun faktor-
faktor yang menjadi penyebab terjadinya korupsi politik seperti halnya kekuasaan
penghindaran pajak, permainan anggaran, dan lainnya. Maka dari itu, definisi
secara konsisten dengan dukungan struktur politik dalam jangka waktu panjang
tanpa adanya perubahan atau hal yang menghambatnya maka hal ini dapat
menjadi suatu tradisi dan dapat didefinisikan sebagai budaya layaknya pernyataan
definisikan sebagai hal tertanam dalam sistem, kebiasaan, dan budaya maka hal
ini tentunya berkaitan erat dengan budaya politik yang ada pada suatu peradaban.
Dalam studi yang dilakukan oleh Almond dan (1956), budaya politik merupakan
pola orientasi yang mendorong individu atau pun kelompok untuk melaksanakan
tindakan politik.10
Selain berfokus pada budaya politik dan perilaku, struktur politik memiliki
implikasi terhadap terciptanya suatu budaya politik. Hal ini dapat dilihat dari
8
Heidenheimer, A. J. & Johnston, M. (2002) Political Corruption: Concepts and Contexts.
London, Transaction Publishers, pp. 925-930.
9
Alcazar, L. & Andrade, P. (2001). Diagnosis Corruption. Washington D. C., Inter-American
Development Bank, pp. 135-136.
10
Almond, G. A. (1956) Comparative Political System. Journal of Politics. XVIII, p. 396.
6
pernyataan Pye dan Verba (1986) bahwa struktur politik dan budaya politik saling
berkaitan sehingga struktur politik dapat merefleksikan budaya politik akan tetapi
struktur politik dapat memberikan suatu bentuk budaya politik pula.11 Pernyataan
ditarik kesimpulan dari pernyataan keduanya, secara teoritis, struktur politik dan
politik feodal dan otoritarian. Meskipun demikian, budaya politik yang di dalam
masyarakat tidak bisa disamakan dengan budaya politik dalam ranah penguasa
memiliki etnisitas Jawa dan dibesarkan di desa yang kental dengan nilai-nilai
11
Pye, L. W. & Verba, S. (1965) Political Culture and Political Development. Princeton,
Princeton University Press, pp. 76.
7
merupakan apologi (pembelaan) terhadap adanya aktivitas korupsi namun
sekaligus menjelaskan dilema yang dihadapi oleh para pejabat negara, terdidik
tersebut, dan apabila regenerasi pejabat publik terus dikuasai oleh etnisitas Jawa
budaya politik, hal ini berlaku pada kasus penerapan sistem take home pay pada
masa Orde Baru yang di mana hal ini mendorong para pegawai negeri sipil (PNS)
yang juga terdiri dari birokrat dan pejabat publik untuk melakukan korupsi
melalui dana proyek atau “lahan basah.”13 Alhasil, meskipun terdapat reformasi
birokrasi pada Era Reformasi, birokrat dalam Pemerintahan RI sejak masa Orde
Baru sampai saat ini, dikenal memiliki budaya politik yang menyangkut
12
Margana, S. (2016) Akar Historis Korupsi di Indonesia. Dalam: Carey, P. Korupsi dalam Silang
Sejarah Indonesia dari Daendels (1808-1811) sampai Era Reformasi, p. 109.
13
Pradiptyo, R. (2016) Korupsi Struktural. Dalam: Carey, P. Korupsi dalam Silang Sejarah
Indonesia dari Daendels (1808-1811) sampai Era Reformasi, Yogyakarta, Komunitas Bambu, p.
xlix.
8
kultural bersifat dominan namun pada periode lainnya determinisme struktural
D. Argumentasi Utama
masalah sebagai berikut, yakni “Bagaimana struktur politik dan budaya politik
lampau dan menghubungkan dengan permasalahan masa kini. Penelitian ini pun
diobservasi secara langsung. Dokumen historis yang digunakan juga akan melalui
proses kritik internal dan eksternal sehingga penulis akan menggunakan tulisan
ternama. Selain itu, analisis data penelitian ini pun akan menggunakan
pendekatan kualitatif. Hasil akhir penelitian ini adalah penulisan sejarah dalam
bentuk karya tulis ilmiah yang di mana akan dipaparkan dalam bentuk deskriptif-
9
naratif dan tidak menutup kemungkinan tulisan ini akan bersifat analitis karena
penulis akan memaparkan interpretasi dan penafsiran kasus yang di dasari oleh
budaya politik, dan teori determinisme struktural dan kultural terhadap konstruksi
budaya politik.
dari itu, penelitian ini memiliki hipotesis bahwa terjadinya fenomena budaya
yang telah ada sejak lama (feodalisme Jawa dan patrimonialisme Hindia-
Belanda), struktur ini memiliki sifat yang dapat mendorong terjadinya perilaku
korupsi, dan struktur ini tidak mengalami perubahan secara drastis sejak masa
sehingga korupsi politik telah menjadi suatu budaya politik yang sulit dipisahkan
tersebut. Oleh karena itu, variabel bebas dalam penelitian ini adalah sejarah
struktur politik dan budaya politik yang berkaitan dengan korupsi politik dalam
Orde Baru.
10
BAB II
PEMBAHASAN
Periode sejarah pada masa kesultanan Jawa pada abad ke-17 sampai dengan abad
ke-19 dapat dijadikan babak awal dari konstruksi budaya korupsi politik dalam
sebagai awal korupsi politik tidak lain karena pada masa Pemerintahan RI, Jawa
tradisional Jawa seperti halnya yang ada pada gaya kepemimpinan Presiden
Soekarno dan Soeharto.14 Mengingat pada masa ini pula, peradaban Indonesia,
khususnya Pulau Jawa, telah mengenal struktur politik yang berhubungan dengan
hirarki, pajak, dan sistem kelas yang didasari oleh tradisi feodalisme, hal ini
pada masyarakat Jawa masa-masa kerajaan sebelumnya.15 Hal ini dapat ditelusuri
di dalam struktur politik Pemerintahan Kesultanan Mataram Islam pada abad ke-
17 yang di mana segala urusan dan kebutuhan dipusatkan hanya kepada keraton
dan bangsawan seringkali tidak menghargai hak-hak rakyat kecil. Margana (2016)
14
Vickers, A. (2005) A History of Modern Indonesia. Cambridge, Cambridge University Press.
15
Soedarso, B. (2009) Latar Belakang Sejarah dan Kultural Korupsi di Indonesia. Jakarta,
Penerbit Universitas Indonesia, pp. 20-21.
11
pun menyatakan bahwa struktur politik feodal Kesultanan Jawa membentuk suatu
kewenangan tradisional) yang di mana ada pada penerapan sistem upeti (pajak)
dan tanah lungguh (petani yang mengurusi tanah penguasa, dibatasi haknya oleh
yang ada pada suatu kerajaan, namun yang dipermasalahkan adalah tidak adanya
pemisahan antara pemasukan pribadi dan pemasukan kerajaan secara jelas, hal ini
mengkorupsi upeti dalam yang terjadi ketika upeti diserahkan kepada Demang
sebagian harta yang pada akhirnya akan diserahkan kepada Sultan.18 Selain itu,
Raffles (1817) juga menerangkan bahwa para bangsawan dan penguasa memiliki
sehingga mengkorupsi pajak merupakan salah satu jalan dan jalan lainnya adalah
membiarkan rakyat biasa agar tetap miskin. Oleh karena itu, perilaku korupsi
para elit yang di mana melanggar aspek-aspek normatif yang ada dalam filosofi
16
Margana, S. (2016) Akar Historis Korupsi di Indonesia. Dalam: Carey, P. Korupsi dalam Silang
Sejarah Indonesia dari Daendels (1808-1811) sampai Era Reformasi, pp. 121-122.
17
Ibid, p. 122.
18
Raffles, S. T. (1817) The History of Java: Complete Volume. London, Black Parburry and
Allen.
12
dihindari, salah satunya adalah mencuri.19 Meskipun demikian, tindakan yang
dilakukan oleh para penguasa Jawa tidak dapat dikatakan sebagai korupsi politik
(mencuri) mengingat pada masa itu tidak ada birokrasi modern (menyangkut
pencatatan harta elit politik), absennya rule of law (kekuasaan dan kesetaraan
secara hukum) namun kekuasaan berdasarkan modal yang dimiliki, dan seperti
yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa kuasa para elit terhadap urusan
diterima dalam masyarakat, alih-alih struktur yang melegalkan mencuri bagi para
penguasa. Alhasil, struktur politik feodal Jawa mendukung budaya politik yang
kental dengan absolutisme di kalangan elit tanpa adanya pengawasan secara legal
formal maupun kekuatan besar, memberikan kesempatan dan celah bagi para elit
untuk melakukan korupsi politik. Seperti halnya yang dinyatakan oleh Lord
akan melakukan korupsi.”20 Struktur politik seperti ini pun dianggap sebagai
bagian dari kebudayaan karena adanya peran adat dan tradisi di dalamnya,
terjadinya konflik konstruktif.21 Maka dari itu, struktur ini pun akan terus
19
Nasruddin, A. (2008) Neo Patriotisme: Etika Kekuasaan dalam Kebudayaan Jawa. Yogyakarta,
LKIS Yogyakarta, p. 80.
20
Acton, J. (1887) Letter to Bishop Mandell Creighton. Dalam: Figgis, J. N. & Laurence, R. V.
Historical Essays and Studies. London, Macmillan.
21
Beittinger-Lee, V. (2009) (Un) Civil Society and Political Change in Indonesia: A Contested
Arena. London, Routledge, pp. 35-36.
13
dengan membangun persekutuan dengan penguasa lokal sehingga tidak ada
sebagai struktur dan budaya yang mendorong sifat-sifat koruptif karena terdapat
pengecualian bagi pemerintahan penguasa Jawa tertentu. Hal ini dapat dilihat
Kesultanan kepada Belanda. Hal ini dilakukan karena idealisme Diponegoro yang
berpihak pada rakyat, berdasarkan pernyataan beliau yakni: “Haruskah kita terus
tanah mereka sedangkan kita para penguasa diam-diam sepakat dengan mereka
yang menyewanya?” (Carey, 2012).22 Akan tetapi, menurut Carey (2012), alasan
politik beliau tidak dipengaruhi oleh struktur politik yang ada karena beliau
dibesarkan di area pedesaan dan sejak dini beliau dikenal sangat hemat
disayangkan, budaya politik yang dianut oleh Diponegoro tidak bertahan lama
dianut oleh beliau dapat dikatakan sebagai idealisme pribadi sehingga menjadi
22
Carey, P. (2012) Kuasa Ramalan; Pangeran Diponegoro dan Akhir Tatanan Lama di Jawa,
1785-1855. Jakarta, Kepustakaan Populer Gramedia, pp. 542-543.
23
Parsons, T. (1951) The Social System. New York, Free Press, pp. 203-208.
14
suatu pengecualian/istimewa dalam dinamika feodalisme Kesultanan Jawa. Sulit
1971). Pernyataan Smith (1971) terhadap Geertz (1960) ini berkaitan dengan
elemen budaya politik yakni pakewuh yang di mana anggapan bersikap keras
organisasi sehingga sikap keras ini perlu dihindari, namun sikap Pangeran
Struktur politik dan budaya politik feodal-patrimonial yang telah tertanam kuat di
dalam masyarakat Jawa pun menjadi kesempatan bagi para penguasa baru dari
Belanda atau dalam hal ini organisasi swasta yang memiliki yakni Vereenigde
Oostindische Compagnie (VOC) pada abad ke-17 sampai dengan akhir abad ke-
18. Kesempatan ini pun mendorong kesuksesan praktik politik devide et impera
ada di Jawa atau pun pulau Nusantara lainnya dan korupsi politik merupakan
salah satu taktik. Hal ini dikarenakan VOC menjalin hubungan kolusi dengan
24
Smith, T. M. (1971) Corruption, Tradition, and Change, Indonesia, 11, 21-40.
15
hubungan kolusi berikut ini kental dengan budaya politik patrimonialistik.25
tidak lagi berada di bawah loyalitas Kesultanan, tidak menyikapi VOC secara
perusahaan (gaji dalam hal ini adalah pajak dari rakyat sekaligus dengan
keuntungan perusahaan) dan para bupati hanya perlu menyerahkan hasil bumi
yang diperlukan kepada VOC.27 Penerapan sistem tersebut tidak lain merupakan
hak istimewa yang diberikan oleh Belanda kepada VOC yakni menerapkan sistem
administrasi layaknya seperti negara. Maka dari itu VOC telah memperkenalkan
mendapatkan kuasa atas pribumi lokal dan selebihnya mendorong sistem kelas
25
Margana, S. (2016) Akar Historis Korupsi di Indonesia. Dalam: Carey, P. Korupsi dalam Silang
Sejarah Indonesia dari Daendels (1808-1811) sampai Era Reformasi, p. 119.
26
Van Zanden, J. L. & Marks, D. (2012) An Economic History of Indonesia: 1800-2010. London,
Routledge, ch. 3.
27
Soedarso, B. (2009) Latar Belakang Sejarah dan Kultural Korupsi di Indonesia, p. 36.
16
Meskipun demikian, kekuasaan VOC di Nusantara tidak bertahan lama,
hal ini dikarenakan adanya kerusakan yang ditimbulkan oleh perilaku koruptif
yang ada pada dalam internal penguasa VOC. Berdasarkan catatan Wertheim
VOC, menceritakan bahwa korupsi dalam internal pegawai VOC merupakan hal
yang biasa dan faktor pendorong tindakan tersebut adalah pemberian gaji yang
yang tak terkendali.28 Selain itu, Dirk pun mengakui bahwa ia melakukan
pungutan-pungutan sebagai hak istimewa pegawai VOC dalam jumlah besar dan
pegawai pribumi yang mendapatkan promosi jabatan, hal ini dilakukan dengan
anggapan bahwa hal ini merupakan tradisi di tempat tersebut.29 Maka dari itu,
kepentingan para elit, maka hal ini dianggap tidak dapat menyejahterakan oleh
dalam membuka hubungan kolusi dengan para penguasa pribumi. bahkan seperti
melegalkan praktik korupsi. Alhasil, budaya korupsi politik terletak pada para elit
bersamaan dengan struktur politik patrimonial yang ada pada kebudayaan pribumi
28
Wertheim, W. F. (1964) East-West Parallels: Sociological Approach to Modern Asia. The
Hague, Van Hoeve, p. 112.
29
Ibid, p. 113.
17
Pada akhir abad ke-18, elit-elit yang melakukan korupsi memperlemah
sangat minim untuk kekayaan negara Belanda, dan titik akhir berada pada
Republik Batavia pada tahun 1796 sehingga kedaulatan atas tanah jajahan di
gubernur melalui bisnis gelapnya menjadi praktik korupsi yang dapat dilakukan di
yang sentralistik sehingga hubungan antara Belanda dan warga pribumi tidak lagi
berupa monopoli perdagangan dan kolusi dengan tuan tanah melainkan lebih
30
Balk, G. L. (2007) The Archives of the Dutch East India Company (VOC) and the Local
Institutions in Batavia (Jakarta). Brill, Leiden, p. 14.
31
Carey, P. (2016) Daendels dan Ruang Suci Jawa, 1808-1811. Dalam: Dalam: Carey, P.
Korupsi dalam Silang Sejarah Indonesia dari Daendels (1808-1811) sampai Era Reformasi.
Yogyakarta, Komunitas Bambu, pp. 02-04.
32
Marihandono, D. (2011) Daendels, Napoleon Kecil di Tana Jawa. Dalam: Majalah Historia.
Reformasi atas Nama Revolusi. 23 (Tahun II), p. 42.
18
bersifat administratif, formal, dan birokratis sehingga kekuasaan feodal seperti
kalangan penguasa selama ratusan tahun sehingga setelah Daendels tidak lagi
dimanfaatkan agar praktik korupsi politik yang masih didorong oleh budaya
feodal-patrimonial VOC yang kembali namun dalam aturan yang terstruktur, pada
sebagian hasil bumi kepada Belanda, namun sistem ini tidak menutup
kuasa yang diberikan oleh Belanda kepada Bupati Lebak yang di mana sang
sehingga kerja wajib yang dibebankan kepada para pekerja di Lebak sangatlah
berat sehingga banyak petani yang meninggal dan hasil bumi pun dihisap
semuanya untuk Belanda dan sebagian besar untuk memperkaya sang Bupati.
Alhasil, kekejaman yang diceritakan oleh Multatuli pun secara tidak langsung
33
Carey, P. (2016) Daendels dan Ruang Suci Jawa, 1808-1811. Dalam: Dalam: Carey, P.
Korupsi dalam Silang Sejarah Indonesia dari Daendels (1808-1811) sampai Era Reformasi, pp.
11-15.
19
menggerakkan para politisi liberal dan swasta untuk menuntut Pemerintahan
Belanda agar mereformasi penerapan sistem tidak manusiawi ini karena menurut
mereka tidak bisa menjamin kontinuitas produksi.34 Maka dari itu terciptalah
undang-undang agraria pada tahun 1870 yang berbasiskan pada sistem ekonomi
guna memenuhi kepentingan ekonomi negeri Belanda. Hal ini berarti pihak
korupsi seperti halnya ketika lelang jabatan pengurus kebun, diwarnai dengan
uang suap dan pemberian hadiah.36 Meskipun demikian, pada akhir abad ke-19,
feodalistik pada bangsawan lokal dengan mengganti sistem pemilihan bupati yang
tidak lagi didasari dengan keturunan namun diangkat oleh Pemerintah Kolonial.
Selain itu, para bupati dijadikan sebagai bagian dari birokrasi modern Hindia-
Belanda yang di mana Belanda akan menggaji para bupati selakyaknya pegawai
guna memutus hubungan feodal bupati terhadap entitasnya yang selama ini
menjadi sumber penghasilan gelap.37 Namun hal ini tidak luput dari aktivitas
jabatan, dan nepotisme terus mewarnai hubungan birokrasi yang dijalankan oleh
34
Dekker, E. D. (Multatuli). (1860) Max Havelaar. Dalam: Soedarso, B. (2009). Latar Belakang
Sejarah dan Kultural Korupsi di Indonesia, pp. 34-39.
35
Sardesai, D. R. (2013) Southeast Asia: Past and Present. New York, Westview Press.
36
Houben, V. J. H. (1998) Keraton dan Kompeni: Surakarta dan Yogyakarta, 1830-1870. Leiden,
KITLV Press, p. 164.
37
Margana, S. (2016) Akar Historis Korupsi di Indonesia. Dalam: Carey, P. Korupsi dalam Silang
Sejarah Indonesia dari Daendels (1808-1811) sampai Era Reformasi, pp. 127-129.
20
para Bupati.38 Oleh karena itu, kembali lagi bahwa kedatangan sistem baru yang
budaya korupsi tidaklah efektif mengingat korupsi politik telah membudaya sejak
Invasi secara militer yang dilakukan oleh Kekaisaran Jepang (Dai Nippon) pada
signifikan terhadap struktur politik Indonesia pada masa itu karena mereka telah
birokrasi, dan militer. Hal ini dapat dilihat ketika Dai Nippon melakukan
penghilangan unsur-unsur Belandapada struktur politik yang ada namun hal ini
justru hanya mentransformasi sistem menjadi sistem dengan hirarki yang di mana
Dai Nippon hanya berlangsung selama tiga tahun lamanya dan memiliki orientasi
pemerasan dan eksploitasi sumber daya dalam bentuk aktivitas koersif berupa
38
Kartodirdjo, S. (1988) Beraeucracy and Aristocracy: The Indonesian Experience in Modern
Indonesia in the Nineteenth Century. Dalam: Kartodirdjo S. & Winks, R. W. Modern Indonesia,
Tradition and Transformation. Yogyakarta, Gadjah Mada University Press, p. 33.
21
kebutuhan perang).39 Selanjutnya setelah Jepang mengalami kekalahan, Indonesia
lokal dapat dilihat ketika terdapat kesepakatan kolusi dengan militer Belanda
yang di mana hal ini dianggap sebagai tindakan pengkhianatan menurut norma
Sosial, di mana para penguasa lokal yang feodal menjadi target pembunuhan para
Sosial pun dapat dikatakan gagal dalam menciptakan struktur baru melainkan
hanya penguasa baru seperti halnya yang dinyatakan oleh Anderson (1983),
tetapi semua tatanan dan struktur politik bekas kolonial masih dipertahankan.41
Bahkan Revolusi Sosial 1945 secara kultural dapat dikatakan tidak berhasil,
Revolusi Sosial 1945 lebih banyak pejuang kemerdekaan yang meninggal karena
merusak tatanan feodal yang ada pada para penguasa lokal sehingga revolusi ini
39
Sluimers, L. (1996) The Japanese Military and Indonesian Independence. Journal of Southeast
Asian Studies, 27 (1), 19-25.
40
Vickers, A. (2013) A History of Modern Indonesia. Cambridge, Cambridge University Press,
pp. 101-105.
41
Anderson, B. R. O. (1983) Old State New Society: Indonesia’s New Order in Comparative
Perspective. Journal of Asian Studies, 42 (3), 477-496.
22
tidak berhasil menghilangkan tatanan lama dan berdampak pada masa depan
Republik Indonesia Serikat (RIS) pada tahun 1949, pada tahun 1950 Indonesia
dalam hal ini perilaku tidak etis tersebut berupa korupsi politik. Hal ini dapat
para pengusaha berupa lisensi impor atas dasar kepentingan pribadi yang serba
mewah dan kepentingan kekuasaan partai politik secara kolektif yang memuncak
42
Margana, S. (2016) Akar Historis Korupsi di Indonesia. Dalam: Carey, P. Korupsi dalam Silang
Sejarah Indonesia dari Daendels (1808-1811) sampai Era Reformasi, pp. 131-132.
43
Nasution, A. D. (2010) Demokrasi konstitusional: pikiran & gagasan. Jakarta, Kompas, p. 95.
44
Febari, R. (2015) Politik Pemberantasan Korupsi. Jakarta, Yayasan Pustaka Obor Indonesia, pp.
104-105.
23
Indonesia (PRRI) pada tahun 1958-1961 di luar Pula Jawa.45 Dari kasus tersebut,
dapat dikatakan bahwa dominasi elit Jawa yang membawa diskriminasi sosial
terhadap selain Jawa pada masa itu. Alhasil, setelah berbagai instabilitas politik
demokrasi parlementer yang salah satunya disebabkan oleh korupsi partai politik
dan para pejabat terkait, pada tahun 1959 dengan dikeluarkannya Dekrit Presiden
sehingga pada masa ini, semua perihal terpusat pada kebijakan Presiden
maka jabatan birokrasi dalam pemerintahan akan menjadi sangat politis sehingga
korupsi jabatan semakin meluas di kalangan para birokrat pada masa itu.
Ditambah lagi, korupsi para birokrat dan pejabat kementerian, menurut Muhaimin
kalangan para elit pemerintahan yang memegang peran strategis sehingga tidak
terjadi tindakan korupsi sangat merugikan negara seperti halnya yang terjadi pada
masa demokrasi parlementer. Pada masa ini sudah terdapat upaya memberantas
45
Trisulistyono, S. (2013) Pergulatan Ideologi di Seputar Krisis Nasional 1965. Dalam:
Abdullah, T. Malam Bencana 1965: Dalam Belitan Krisis Nasional Bagian 3 Berakhir dan
Bermula. Jakarta, Yayasan Pustaka Obor Indonesia, p. 12.
46
Lindsey, T. & Butt, S. (2018) Indonesian Law. Oxford, Oxford University Press, p. 7.
47
Muhaimin, Y. A. (1990) Bisnis dan Politik. Jakarta, LP3ES, p. 186.
24
halnya yang terjadi di masa demokrasi parlementer. Hal ini dapat dilihat Perppu
secara pidana dan dalam hal ini ketentuan pidana lainnya dapat digunakan untuk
ekonomi yang berupa inflasi dan instabilitas politik berupa pemberontakan Partai
Komunis Indonesia (PKI), pada akhir tahun 1965 pun mucul sebagai konsekuensi
sendiri.49 Kekacauan pun tidak bisa dikendalikan oleh Soekarno, sehingga beliau
pun mengakhiri kekuasaan era Orde Lama dengan memberikan kekuasaan kepada
maka Soeharto cenderung bersifat rasional dan pragmatis ketika berkuasa. Hal ini
di mana pemerintah menekankan sinergi dengan pihak swasta mau pun asing
48
Hamzah, C. M. (2017) Kehendak Pemberantasan Korupsi. Dalam: Carey, P. Korupsi dalam
Silang Sejarah Indonesia dari Daendels (1808-1811) sampai Era Reformasi, pp. 246-247.
49
Argenti, G. & Istiningdias, D. S. (2017) Pemikiran Soekarno mengenai Demokrasi Terpimpin.
Jurnal Politikom Indonesiana, 2 (2).
25
negara guna menjaga stabilitas politik Indonesia yang memudar selama Soekarno
tahun 1960an sebagai upaya mendorong investasi asing dalam bentuk portofolio
hutang luar negeri dan pajak negara dikuasai oleh pemerintah dan pihak militer
investasi dan hutang luar negeri rentan dikorupsi, entah untuk kepentingan
membangun kekuatan militer atau pun memperkaya diri. Seperti halnya yang
ketika hutang luar negeri dan pajak digunakan untuk proyek-proyek tidak
berimplikasi pada jutaan masyarakat Indonesia pada masa kini yang terus hidup
Selanjutnya, dunia bisnis pun tidak luput dari korupsi politik. Mengingat
pada masa itu akses terhadap perekonomian dikuasai oleh militer dan pemerintah,
maka hal ini tidak menutup kemungkinan terjadinya kolusi dengan berbagai pihak
50
Higgot, R. & Robinson, R. (2013) Southeast Asia (Routledge Revivals): Essays in the Political
Economy of Structural Change. Abingdon, Routledge, pp. 198-199.
51
Pamungkas, S. (2014) Ganti Rezim Ganti Sistim - Pergulatan Menguasai Nusantara. Jakarta, El
Bisma, p. 02.
26
ini menciptakan struktur ekonomi yang dinamakan ersatz capitalism atau
merupakan tahun yang di mana Indonesia marak dengan investasi asing dan
dibandingkan rezim-rezim yang berkuasa pada masa reformasi. Namun hal ini
melemahkan posisi politik negara sampai pada tahun 1990an yang ditandai
Melihat adanya hubungan kolusi dan investasi dalam jumlah besar yang
dikelola negara tanpa pengawasan dan ketentuan yang jelas, maka tidak aneh
apabila Soeharto dikenal telah mengkorupsi dengan total jumlah sekitar 200
Soeharto merupakan individu yang melakukan korupsi politik pada era Orde
politik yang ia bawahi. Hal ini dapat dilihat ketika unsur patrimonalisme dan
transaksi politik dalam internal Partai Golongan Karya (Golkar) yang merupakan
sumber politik kekuasaan Soeharto secara legal, bermain peran dalam konservasi
52
Katoppo, A. (2000) Sumitro Djojohadikusumo. Jejak Perlawanan Begawan Pejuang. Jakarta,
Pustaka Sinar Harapan, p. 376.
53
Reisenhuber, E. (2001) The International Monetary Fund Under Constraint: Legitimacy of Its
Crisis Management. The Hague, Kluwer Law International, pp. 169-170.
54
Maharso. & Sujarwadi, T. (2018) Fenomena Korupsi dari Sudut Pandang Epidemiologi.
Yogyakarta, Deepublish, p. 95.
27
beliau. Hal ini tidak lain mengingat kebijakan Suharto selalu berkorelasi dengan
kepentingan oknum yang memiliki afiliasi dengan Golkar atau pun pemaksaan
secara struktural terhadap pegawai negeri dan birokrat untuk mendukung Golkar
kini internal Golkar dikuasai oleh para pengusaha besar bersamaan dengan
pembangunan negeri.56 Oleh karena itu, adanya stabilitas politik dalam bentuk
korupsi politik yang telah ada sejak masa kolonial dan pasca-kolonial
korupsi sebagai suatu pencapaian kerja pegawai negeri. Hal ini didasari oleh
birokrasi dengan sistem take home pay yang di mana hal ini mendorong para
pegawai negeri yang juga terdiri dari birokrat dan pejabat publik, didorong untuk
didapatkan. Karena mereka diberikan kuasa dalam perihal ini maka seringkali
55
Wijayanto. & Zachrie, R. (2013) Korupsi Mengorupsi Indonesia. Jakarta, Gramedia Pustaka
Utama, pp. 506-508.
56
Leifer, M. (2001) Dictionary of the Modern Politics of Southeast Asia. London, Routledge, p.
133.
28
terjadi upaya mengkorupsi melalui dana proyek atau istilahnya sebagai “lahan
permasalahan yang perlu diberantas pada tingkat struktural. Rezim Soeharto pun
dibentuk dalam bentuk Tim Pemberantasan Korupsi (TPK) pada tahun 1967
sebagai kritik langsung Soeharto terhadap maraknya korupsi pada era Orde Lama
karena diisi oleh personel ABRI dan pejabat dalam lembaga peradilan maupun
pemerintahan yang dikenal pada masa itu loyal terhadap Soeharto. Selain itu,
TPK tidak mau berusaha menginvestigasi kejanggalan pada bisnis-bisnis dan para
pejabat yang memiliki kedekatan dengan Golkar dan Soeharto.60 Alih-alih TPK
yang bersih.
yang bercirikan power above the law (kuasa diatas hukum). Mengingat selama
57
Pradiptyo, R. (2016) Korupsi Struktural. Dalam: Carey, P. Korupsi dalam Silang Sejarah
Indonesia dari Daendels (1808-1811) sampai Era Reformasi, p. xlix.
58
Indrayana, D. (2017) Jangan Bunuh KPK. Sukabumi, Adamssein Media, p. 21.
59
Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan. (1999) Strategi Pemberantasan Korupsi.
Jakarta, BPKP, p. 331.
60
Indrayana, D. (2017) Jangan Bunuh KPK, pp. 23-24.
29
Soeharto berkuasa, pihak-pihak seperti personel ABRI, birokrat tingkat tinggi,
para pengusaha yang berkolusi dan siapapun yang memiliki hubungan baik
dengan Soeharto akan terbebas dari jeratan hukum dan kalau pun hukum
tersebut.61 Menilai bagaimana korupsi politik ada pada rezim Soeharto berkuasa,
pemerintahan dan birokrasi dipenuhi oleh praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme
(KKN), hal ini pun menjadi jargon yang muncul di kalangan para aktivis dan
intelektual dalam menggambarkan situasi pada masa itu.62 KKN pun justifikasi
perhatian dalam agenda reformasi. Akan tetapi, karena durasi Soeharto berkuasa
adalah 32 tahun Soeharto dan pada tahun-tahun tersebut terjadi suatu konservasi
budaya politik secara kultural sekaligus strukural, maka hal ini pun menjadi tugas
berat bagi aktivitas pemberantasan struktur politik dan budaya politik koruptif
61
McLeod, R. H. & Macintyre, A. (2007) Indonesia: Democracy and the Promise of Good
Governance. Singapura, Institute of Southeast Asian Studies (ISEAS), p. 108.
62
Emmerson, D. K. (1999) Indonesia Beyond Suharto. London, East Gate Book, p. 165.
63
Winarno, B. (2007) Sistem Politik Indonesia Era Reformasi, pp. xiii-xiv.
30
adanya tuntutan sebagian besar masyarakat di Indonesia yang menjadikan
dan rasa haus akan pemerintahan yang bersih juga menjadi motivasi utama
yang baik dan kepercayaan publik sejak pertama kali dibentuk pada tahun 2003.65
Namun, apabila secara struktur politik Indonesia telah mengalami perubahan yang
lebih demokratis dan ideal, dilihat dari dimensi determinisme struktural terhadap
budaya maka secara teoritis budaya politik masyarakat Indonesia juga ikut
berubah. Lantas bagaimana dengan kabar situasi budaya politik para elit/penguasa
dalam internal Pemerintahan RI? Perubahan struktur yang secara teoritis dianggap
menjadi tidak koruptif. Namun berdasarkan data yang dipaparkan oleh ICW pada
tahun 2017 terdapat 1.298 tersangka kasus korupsi dengan nilai total korupsi
64
Indonesia Corruption Watch. Siapa ICW?. Tersedia di: https://antikorupsi.org/id/content/siapa-
icw [Diakses pada 27 September 2018].
65
Siahaan, M. (2014) Perjalanan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Jakarta, Elex Media
Komputindo, p. 223.
31
sebesar 6,5 miliar rupiah, meningkat dibandingkan dengan tahun 2016.66 Jumlah
korupsi dalam Pemerintahan RI yang telah diketahui oleh KPK atau ICW
pastinya hanyalah suatu ujung pada gunung es raksasa (banyak kasus yang masih
tersembunyi).
implikasi, lantas mengapa korupsi politik masih terus terjadi? Apakah benar
secara psikologis dalam kalangan individu maupun kelompok pejabat dan oknum
pada institusi politik yang tak tersentuh oleh perubahan struktural namun
Pemerintahan RI. Perubahan struktural yang berkaitan dengan partai politik hanya
tidak menghalangi upaya konservasi budaya politik bekas Orde Baru yang sudah
tertanam secara kuat mengingat urusan internal partai politik berada di luar
kewenangan pemerintah. Hal ini dapat dilihat ketika unsur budaya kolusi yang
ada sejak masa Kolonial dan Orde Baru, mendominasi aktivitas finansial partai
32
dijalankan dengan kesepakatan yang tidak mewakili publik melainkan untuk
pengusaha di bidang bisnis kotor/ilegal.67 Ada pun struktur politik era Reformasi
tersebut justru mendorong para elit dari berbagai partai politik untuk
mereka pun tidak segan-segan untuk melakukan politik uang.68 Alhasil, cukup
banyak kasus korupsi anggaran dan proyek negara di dalam Parlemen RI yang
dimotivasi untuk mengisi kekosongan kas partai politik setelah besarnya uang
daerah) yang diterapkan pada tahun 1999 untuk sebagian besar wilayah di
Indonesia, merupakan kritik terhadap sentralisasi yang korup pada masa Orde
Baru. Berbeda namun serupa seperti halnya yang telah dilakukan oleh Daendels,
Memberikan kuasa kembali kepada para penguasa lokal dengan tujuan efisiensi
kewenangan mereka atas urusan daerahnya sehingga hal ini tidak luput dari
oknum mafia daerah. Hal ini dapat dilihat ketika kasus yang diungkap oleh KPK
67
Haris, S. (2014) Masalah-Masalah Demokrasi dan Kebangsaan Era Reformasi. Jakarta,
Yayasan Pustaka Obor Indonesia, pp. 14-16.
68
Wijayanto. & Zachrie, R. (2013) Korupsi Mengorupsi Indonesia, pp. 492-494.
33
memanfaatkan perihal otonomi daerah sebagai ladang untuk memperkaya diri.69
Selain itu, praktik kolusi kedaerahan yang dapat dilihat ketika Pemerintah Daerah
masyarkat daerah yang didasari oleh loyalitas tradisional, primordial, dan bahkan
material terhadap keluarga para elit yang telah dipersepsikan mereka merupakan
figur yang tepat untuk menjabat.71 Adanya dinasti politik tentunya memiliki
potensi untuk mendorong korupsi politik dalam bentuk monopoli kekuasaan dan
memanipulasi massa melalui modal kultural maupun material sehingga akses para
politisi baru semakin terbatas. Oleh karena itu kebijakan desentralisasi pada era
Reformasi dapat dinilai hanya sebagai perihal traumatis atas sistem sentralisasi
yang ada maka tidak ada jaminan perubahan struktur dapat mempengaruhi.
Akan tetapi perubahan struktural pada era Reformasi dalam waktu singkat
69
Putsanra, D. V. (2017) Ratu Atut Divonis 5,5 Tahun Bui dalam Kasus Korupsi Alkes. Tersedia
di: https://tirto.id/ratu-atut-divonis-55-tahun-bui-dalam-kasus-korupsi-alkes-cs7U [Diakses pada
27 September 2018].
70
Haris, S. (2014) Masalah-Masalah Demokrasi dan Kebangsaan Era Reformasi, p. 295.
71
Anwari, P. (2017) Politik Dinasti Mengebiri Demokrasi. Tersedia di:
https://geotimes.co.id/opini/politik-dinasti-telah-mengebiri-demokrasi/ [Diakses pada 27
September 2018].
34
tentunya tidak bisa diharapkan secara instan dalam merubah kebudayaan politik
yang telah ada selama ratusan lamanya mengingat perubahan struktural mungkin
dapat menciptakan nilai dan norma baru namun hal tersebut membutuhkan waktu
yang cukup lama agar dapat tertanam dan mendefinisikan kembali moralitas para
elit/penguasa yang di mana perlu melewati proses sosialisasi politik. Namun, era
Reformasi dapat dikatakan sebagai babak baru dalam mewarisi budaya korupsi
Reformasi akan mengalami hal yang sama seperti pada rezim-rezim sebelumnya.
Maka dari itu, seperti halnya yang terjadi pada rezim-rezim sebelumnya. pada era
kecerdikan para elit dan dapat menyesuaikan diri secara sosiologis karena masih
banyak celah yang dapat dimanfaatkan dalam struktur politik era Reformasi.
35
BAB III
KESIMPULAN
merupakan budaya dan bahkan dapat dikatakan sebagai tradisi karena ada aspek
praktik korupsi politik secara konsisten dari masa ke masa khususnya pada
bertahan karena tidak ada perihal yang menghalangi secara kultural seperti halnya
dengan merubah struktur politik sebagai kunci untuk meredam budaya korupsi
politik pemerintahan yang telah ada selama ratusan tahun, akan tetapi, terbukti
tidak menunjukkan hasil yang signifikan. Maka dari itu, budaya korupsi politik
berakar pada budaya politik para elit itu sendiri, lantas apakah budaya politik
politik para elit secara historis berada pada dominanya kebudayaan tradisional
hanya ada pada aspek kebudayaan tradisional saja? Mengingat aspek kebudayaan
korupsi politik masa kini tidak hanya berakar pada elemen budaya tradisional
saja, melainkan juga pada kebudayaan baru yang diperkenalkan oleh Belanda.
36
Kebudayaan baru tersebut adalah budaya politik para penguasa yang
sikap-sikap koruptif seperti halnya birokrasi dan hukum. Hal ini dapat dilihat
memanipulasi hukum dan struktur untuk kepentingan pribadi. Hal ini tentunya
oleh masuknya kebudayaan baru dan masuknya struktur politik baru yang
menjadi sesuatu yang dapat menjaga budaya korupsi politik secara efektif selama
ratusan tahun lamanya. Kebudayaan baru pun muncul bersamaan dengan struktur
politik baru yang di mana memberikan definisi moralitas baru yakni menjadikan
korupsi sebagai tindakan yang tidak bisa ditoleransi secara norma dan hukum.
Akan tetapi, munculnya definisi moralitas baru justru tidak dapat menghilangkan
tatanan budaya korupsi politik karena sifat budaya politik para elit/penguasa yang
tidak mengikuti struktur politik mengingat pola pikir penguasa merupakan entitas
yang ingin terus berkuasa dan pembatasan kuasa adalah hal yang pantas untuk
dihiraukan Maka dari itu dapat dikatakan sifat budaya korupsi politik pada elit di
37
Indonesia dari masa ke masa adalah transformatif dan adaptif terhadap aspek
struktural, yang di mana setiap ada celah dalam struktur maka budaya korupsi
kebudayaan politik dari kolonial. Lantas, pasca era Orde Baru Indonesia
tengah masyarakat Indonesia seperti halnya good governance yang didasari atas
trauma historis atas korupsi pada era Orde Baru yang terus dipersepsikan sebagai
kebudayaan politik modern ini akan menjaga budaya korupsi politik atau justru
menjaga? Hal ini layak dipertanyakan karena budaya politik modern yang dianut
oleh para elit di era Reformasi kini belum tertanam secara efektif karena elit yang
politik modern terhadap para elit ini pun juga tidak bisa dilakukan terlalu cepat
mengingat budaya bisa tertanam di dalam masyarakat dan kalangan elit apabila
terjadi selama ratusan tahun lamanya. Apabila sosialisasi politik telah dilakukan
sejak dini maka hal ini dapat menjadi kunci dalam membangun efektivitas budaya
38
antikorupsi. Mengutip dari pengecualian Pangeran Diponegoro sebagai entitas
yang antikorupsi, beliau mengalami sosialisasi politik sejak dini bukan bersumber
itu, dapat dikatakan alasan mengapa bertahannya budaya korupsi politik pada
para elit dari masa ke masa bukan karena bertahannya struktur politik dan tradisi
melainkan berasal dari sosialisasi politik. Hal ini dapat dilihat ketika sosialisasi
politik antikorupsi hanya terjadi pada era Reformasi sedangkan pada masa-masa
budaya korupsi yang telah tertanam selama ratusan tahun di kalangan elit
dibiarkan saja dan diterima sebagai nilai-nilai tradisional maka dengan adanya
sosialisasi politik antikorupsi sejak dini maka akan ada pertentangan nilai dengan
sosialisasi politik tidak dapat menjamin hilangnya budaya korupsi politik karena
tatanan korupsi sebagai budaya sudah sangat kuat, seakan-akan telah menjadi
bahwasannya sejarah akan terus berulang dalam cangkupan budaya korupsi yang
39
pegawai VOC pada abad ke-18 dengan pejabat Pemerintahan Daerah RI pada
berbeda secara waktu, namun pada intinya sama-sama melakukan praktik korupsi
politik ketika berada di dalam pemerintahan yang berkuasa di tempat yang sama
sehingga korupsi politik hanya bertransformasi, beradaptasi, dan karena itu pantas
untuk dikatakan sebagai suatu hal yang membudaya. Oleh karena itu,
memberantas budaya korupsi politik akan menjadi suatu tantangan berat karena
pemberantasan tidak bisa hanya bergantung pada perubahan struktural (fisik, atas
40
BIBLIOGRAFI
Acton, J. (1887) Letter to Bishop Mandell Creighton. Dalam: Figgis, J. N. & Laurence,
R. V. Historical Essays and Studies. London, Macmillan.
Alcazar, L. & Andrade, P. (2001) Diagnosis Corruption. Washington D. C., Inter-
American Development Bank.
Almond, G. A. (1956) Comparative Political System. Journal of Politics. XVIII.
Anderson, B. R. O. (1983) Old State New Society: Indonesia’s New Order in
Comparative Perspective. Journal of Asian Studies, 42 (3).
Anwari, P. (2017) Politik Dinasti Mengebiri Demokrasi. Tersedia di:
https://geotimes.co.id/opini/politik-dinasti-telah-mengebiri-demokrasi/
Argenti, G. & Istiningdias, D. S. (2017) Pemikiran Soekarno mengenai Demokrasi
Terpimpin. Jurnal Politikom Indonesiana, 2 (2).
Beittinger-Lee, V. (2009) (Un) Civil Society and Political Change in Indonesia: A
Contested Arena. London, Routledge.
Carey, P. (2016) Daendels dan Ruang Suci Jawa, 1808-1811. Dalam: Dalam: Carey, P.
Korupsi dalam Silang Sejarah Indonesia dari Daendels (1808-1811) sampai Era
Reformasi. Yogyakarta, Komunitas Bambu.
Carey, P. (2012) Kuasa Ramalan; Pangeran Diponegoro dan Akhir Tatanan Lama di
Jawa, 1785-1855. Jakarta, Kepustakaan Populer Gramedia.
Dekker, E. D. (Multatuli). (1860) Max Havelaar. Dalam: Soedarso, B. Latar Belakang
Sejarah dan Kultural Korupsi di Indonesia.
Emmerson, D. K. (1999) Indonesia Beyond Suharto. London, East Gate Book.
Geertz, C. (1972) The Politics of Meaning. Dalam: Holt, C. (1972). Culture and Politics
in Indonesia. Jakarta, Equinox Publishing.
Febari, R. (2015) Politik Pemberantasan Korupsi. Jakarta, Yayasan Pustaka Obor
Indonesia.
Hamzah, C. M. (2017) Kehendak Pemberantasan Korupsi. Dalam: Carey, P. Korupsi
dalam Silang Sejarah Indonesia dari Daendels (1808-1811) sampai Era
Reformasi.
Haris, S. (2014) Masalah-Masalah Demokrasi dan Kebangsaan Era Reformasi. Jakarta,
Yayasan Pustaka Obor Indonesia.
Heidenheimer, A. J. & Johnston, M. (2002) Political Corruption: Concepts and Contexts.
London, Transaction Publishers.
Heywood, P. M. (2014) Routledge Handbook of Political Corruption. Abingdon,
Routledge.
Higgot, R. & Robinson, R. (2013) Southeast Asia (Routledge Revivals): Essays in the
Political Economy of Structural Change. Abingdon, Routledge.
Houben, V. J. H. (1998) Keraton dan Kompeni: Surakarta dan Yogyakarta, 1830-1870.
Leiden, KITLV Press.
Indonesia Corruption Watch (ICW). Siapa Indonesia Corruption Watch?. Tersedia di:
https://antikorupsi.org/id/content/siapa-icw.
Katoppo, A. (2000) Sumitro Djojohadikusumo. Jejak Perlawanan Begawan Pejuang.
Jakarta, Pustaka Sinar Harapan.
Kartodirdjo, S. (1988) Beraeucracy and Aristocracy: The Indonesian Experience in
Modern Indonesia in the Nineteenth Century. Dalam: Kartodirdjo S. & Winks, R.
W. Modern Indonesia, Tradition and Transformation. Yogyakarta, Gadjah Mada
University Press.
Indrayana, D. (2017) Jangan Bunuh KPK. Sukabumi, Adamssein Media.
Leifer, M. (2001) Dictionary of the Modern Politics of Southeast Asia. London,
Routledge.
41
Lindsey, T. & Butt, S. (2018) Indonesian Law. Oxford, Oxford University Press.
Margana, S. (2016) Akar Historis Korupsi di Indonesia. Dalam: Carey, P. Korupsi dalam
Silang Sejarah Indonesia dari Daendels (1808-1811) sampai Era Reformasi.
Yogyakarta, Komunitas Bambu.
Marihandono, D. (2011) Daendels, Napoleon Kecil di Tana Jawa. Dalam: Majalah
Historia. Reformasi atas Nama Revolusi. 23 (Tahun II).
Marijan, K. (1999) The Study of Political Culture in Indonesia. Masyarakat Kebudayaan
dan Politik. 9 (2).
Maharso. & Sujarwadi, T. (2018) Fenomena Korupsi dari Sudut Pandang Epidemiologi.
Yogyakarta, Deepublish.
McLeod, R. H. & Macintyre, A. (2007) Indonesia: Democracy and the Promise of Good
Governance. Singapura, Institute of Southeast Asian Studies (ISEAS).
Muhaimin, Y. A. (1990) Bisnis dan Politik. Jakarta, LP3ES.
Nasution, A. D. (2010) Demokrasi konstitusional: pikiran & gagasan. Jakarta, Kompas.
Noer, D. (1990) Mohammad Hata: Biografi Politik. Jakarta, Lembaga Penelitian,
Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial.
Nasruddin, A. (2008) Neo Patriotisme: Etika Kekuasaan dalam Kebudayaan Jawa.
Yogyakarta, LKIS Yogyakarta.
Pamungkas, S. (2014) Ganti Rezim Ganti Sistim - Pergulatan Menguasai Nusantara.
Jakarta, El Bisma.
Parsons, T. (1951) The Social System. New York, Free Press.
Pradiptyo, R. (2016) Korupsi Struktural. Dalam: Carey, P. (2016) Korupsi dalam Silang
Sejarah Indonesia dari Daendels (1808-1811) sampai Era Reformasi,
Yogyakarta, Komunitas Bambu.
Putsanra, D. V. (2017) Ratu Atut Divonis 5,5 Tahun Bui dalam Kasus Korupsi Alkes.
Tersedia di: https://tirto.id/ratu-atut-divonis-55-tahun-bui-dalam-kasus-korupsi-
alkes-cs7U.
Pye, L. W. & Verba, S. (1965). Political Culture and Political Development. Princeton,
Princeton University Press.
Raffles, S. T. (1817) The History of Java: Complete Volume. London, Black Parburry
and Allen.
Reisenhuber, E. (2001) The International Monetary Fund Under Constraint: Legitimacy
of Its Crisis Management. The Hague, Kluwer Law International.
Sardesai, D. R. (2013) Southeast Asia: Past and Present. New York, Westview Press.
Siahaan, M. (2014) Perjalanan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Jakarta, Elex
Media Komputindo.
Sluimers, L. (1996) The Japanese Military and Indonesian Independence. Journal of
Southeast Asian Studies, 27 (1).
Smith, T. M. (1971) Corruption, Tradition, and Change, Indonesia, 11.
Soedarso, B. (2009) Latar Belakang Sejarah dan Kultural Korupsi di Indonesia. Jakarta,
Penerbit Universitas Indonesia.
Trisulistyono, S. (2013) Pergulatan Ideologi di Seputar Krisis Nasional 1965. Dalam:
Abdullah, T. Malam Bencana 1965: Dalam Belitan Krisis Nasional Bagian 3
Berakhir dan Bermula. Jakarta, Yayasan Pustaka Obor Indonesia.
Van Zanden, J. L. & Marks, D. (2012) An Economic History of Indonesia: 1800-2010.
London, Routledge.
Vickers, A. (2005) A History of Modern Indonesia. Cambridge, Cambridge University
Press.
Wijaya, L. D. (2018) Kasus Korupsi Tahun 2017, ICW: Kerugian Negara Rp 6,5 Triliun.
Tersedia di: https://nasional.tempo.co/read/1062534/kasus-korupsi-tahun-2017-
icw-kerugian-negara-rp-65-triliun.
42
Wijayanto. & Zachrie, R. (2013) Korupsi Mengorupsi Indonesia. Jakarta, Gramedia
Pustaka Utama.
Winarno, B. (2007) Sistem Politik Indonesia Era Reformasi. Yogyakarta, Medpress.
43