Anda di halaman 1dari 44

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/339426658

Akar Historis dalam Fenomena Budaya Korupsi Politik di Pemerintahan


Republik Indonesia pasca Orde Baru - Historical Determinism in Indonesian
Political Corruption after The New Ord...

Preprint · May 2019


DOI: 10.13140/RG.2.2.27340.36489

CITATIONS READS

0 1,173

1 author:

Jorghi Abiansyah
Universitas Gadjah Mada
3 PUBLICATIONS   0 CITATIONS   

SEE PROFILE

All content following this page was uploaded by Jorghi Abiansyah on 22 February 2020.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


AKAR HISTORIS DALAM FENOMENA BUDAYA KORUPSI POLITIK
DI PEMERINTAHAN REPUBLIK INDONESIA PASCA ORDE BARU

Jorghi Abiansyah
Universitas Gadjah Mada

ABSTRAK
Dua dasawarsa era Reformasi, salah satu agenda Reformasi adalah pemberantasan
korupsi politik yang merupakan penyakit Orde Baru sehingga reformasi birokrasi
pun dilaksanakan untuk mewujudkan hal tersebut. Meskipun demikian, walaupun
korupsi politik telah menjadi fenomena sosial tabu dan melanggar hukum, namun
nyatanya praktik tersebut justru semakin marak terjadi di kalangan pemangku
kebijakan dalam Pemerintahan Negara Indonesia pasca Orde Baru (Reformasi).
Korupsi politik mencangkup penyalahgunaan kuasa oleh aktor-aktor
Pemerintahan dengan menggunakan kekayaan negara dalam jumlah besar guna
kepentingan pribadi atau pun untuk mempertahankan kekuasaan. Ada pun korupsi
politik juga mencangkup penyimpangan perilaku secara hukum sehingga
seringkali hukum disalahgunakan dan dimanipulasi. Alhasil, korupsi politik
menjadi budaya yang terus menghantui jalannya dinamika Pemerintahan
Republik Indonesia sehingga upaya perlawanan semakin sulit untuk dilaksanakan.
Akan tetapi, meskipun fenomena ini semakin marak terjadi, korupsi politik dalam
Pemerintahan bukanlah hal baru mengingat terdapat pola historis sejak masa
Kesultanan dan Kolonial
Oleh sebab itu, penelitian ini memiliki tujuan untuk menjawab penyebab
terjadinya fenomena budaya korupsi politik dalam Pemerintahan Republik
Indonesia pasca Orde Baru melalui penjelasan determinisme historis dalam
dimensi struktural dan kultural. Penelitian ini pun menggunakan metode
penelitian historis, melalui studi pustaka dengan mengumpulkan data primer
maupun sekunder yang berkaitan dengan variabel tunggal yakni sejarah praktik
dan budaya korupsi politik dalam pemerintahan yang pernah berkuasa di
Indonesia. Selanjutnya, analisis data menggunakan pendekatan kualitatif.
Terakhir, hasil penelitian pun menyimpulkan bahwasannya budaya korupsi politik
dalam Pemerintahan pasca Orde Baru dipengaruhi oleh sistem yang telah ada
sejak masa feodalisme Jawa dan birokrasi Belanda yang berkaitan erat dengan
budaya patrimonial. Selain didukung oleh warisan feodal/kolonial, minimnya
tindakan pemberantasan ketika Pemerintahan Republik Indonesia pra-Reformasi
juga memperparah perilaku koruptif.

Kata kunci: Reformasi, Sejarah Korupsi, Korupsi Politik, Budaya Korupsi,


Pemerintahan, Indonesia.

1
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Korupsi politik dalam Pemerintahan Republik Indonesia (RI), sampai saat ini,

telah menjadi suatu fenomena budaya mengingat adanya pengulangan aktivitas

tersebut dengan intensitas tertentu. Hal ini dapat dilihat ketika laporan-laporan

mengenai kasus korupsi politik di dalam Pemerintahan RI pasca Orde Baru

(Reformasi) terus bermunculan meskipun rezim sebelumnya yang dianggap

sangat koruptif sudah tidak lagi berkuasa.1 Hal ini menunjukkan bahwa pengaruh

perubahan struktural maupun sosial-budaya yang terjadi di Indonesia pasca tahun

1998 tidak dapat mencegahnya atau pun memberantasnya. Namun apabila

perubahan yang terjadi tidak memiliki dampak namun justru menjadi faktor

pendorong terjadinya hal tersebut, maka dapat dikatakan perubahan tersebut tidak

memiliki dampak yang signifikan atau pun tidak ada perubahan yang diciptakan

karena terdapat nilai yang tertanam dan sulit untuk dihilangkan. Dalam hal ini,

nilai yang tertanam adalah korupsi politik mengingat aktivitas korupsi politik di

Indonesia bukanlah hal baru. Korupsi politik seringkali terjadi di dalam

pemerintahan yang berkuasa di Indonesia sebelumnya dan pemerintahan

setelahnya, seakan-akan korupsi politik merupakan suatu kebiasaan layaknya

fenomena sosial-budaya. Adanya konsepsi mengenai korupsi dalam sebagai suatu

fenomena budaya dapat ditelusuri dari pernyataan Mohammad Hatta pada tahun

1
Winarno, B. (2007) Sistem Politik Indonesia Era Reformasi. Yogyakarta, Medpress, pp.122-124.

2
1970, beliau selaku Wakil Presiden pertama RI dan penasihat pemberantasan

korupsi, menyatakan bahwasannya “korupsi telah membudaya di Indonesia.”2

Pernyataan Hatta telah menggambarkan bahwasannya korupsi telah

menjadi hal yang tertanam di dalam struktur masyarakat Indonesia sehingga dapat

dikatakan sebagai kewajaran yang tidak terbantahkan dalam relasi sosial, politik,

dan ekonomi.3 Selain itu, mengingat adanya anggapan bahwa korupsi telah

menjadi suatu fenomena budaya maka tentunya terdapat suatu basis pola

determinisme historis. Hal ini tidak lain karena konstruksi budaya tentunya

memerlukan pengaruh struktural dan perubahan secara sosiologis yang telah di

bangun dalam rentang waktu yang relatif lama dan pengulangan secara konsisten

sehingga perihal yang menyebabkan munculnya budaya korupsi politik dalam

Pemerintahan RI tentunya dapat ditelusuri melalui sejarah yang berkaitan (pola

determinisme historis membangun anggapan determinisme kultural).4 Sejarah

yang menjadi pola determinisme historis dalam fenomena ini, dapat ditelusuri

melalui catatan-catatan historis mengenai struktur politik yang diterapkan pada

pemerintahan-pemerintahan yang pernah berkuasa, mencangkup hubungan

otoritas, gaya kepemimpinan, birokrasi, hukum, dan hirarki. Hal ini menjadi

pilihan penulis mengingat dalam melihat fenomena budaya politik di Indonesia,

secara historis, struktur politik dapat mempengaruhi budaya politik dalam

pemerintahan di Indonesia.5 Mengikuti pernyaatan Geertz (1981) bahwa dalam

2
Noer, D. (1990) Mohammad Hata: Biografi Politik. Jakarta, Lembaga Penelitian, Pendidikan
dan Penerangan Ekonomi dan Sosial, p. 684.
3
Margana, S. (2016) Akar Historis Korupsi di Indonesia. Dalam: Carey, P. Korupsi dalam Silang
Sejarah Indonesia dari Daendels (1808-1811) sampai Era Reformasi. Yogyakarta, Komunitas
Bambu, p. 105.
4
Ibid, p. 106.
5
Marijan, K. (1999) The Study of Political Culture in Indonesia. Masyarakat Kebudayaan dan
Politik. 9 (2), 59.

3
melihat hubungan politik dan budaya maka budaya perlu disikapi sebagai cara

berpikir dan berperilaku sedangkan politik sebagai struktur di mana budaya

dipraktikan.6 Dalam penelitian ini, penulis memiliki argumen bahwa

struktur/sistem politik yang tidak memiliki perubahan secara drastis dalam

Pemerintahan yang pernah berkuasa, berkontribusi terhadap munculnya atau pun

bertahannya fenomena budaya korupsi politik dalam pemerintahan yang berkuasa

di Indonesia. Oleh karena itu, penelitian ini dilaksanakan dengan tujuan

membuktikan bahwa fenomena budaya korupsi politik dalam Pemerintahan RI

merupakan warisan dan tradisi sejarah, tertanam secara kultural karena pengaruh

transformasi struktur politik dan peran budaya lokal yang ditanamkan oleh

pemerintahan-pemerintahan yang pernah berkuasa di Indonesia.

B. Pertanyaan Penelitian

Bagaimana struktur politik dan budaya politik dalam pemerintahan-pemerintahan

yang pernah berkuasa di Indonesia dapat mempengaruhi fenomena budaya

korupsi politik pada era Reformasi?

C. Landasan Konseptual

Untuk memperjelas apa itu korupsi politik, pertama-tama perlu diketahui definisi

korupsi secara umum terlebih dahulu. Pertama, untuk melihat apa yang

menjadikan suatu tindakan merupakan tindakan korupsi maka dapat

menggunakan dua perspektif yaitu perspektif legal (suatu tindakan tertentu adalah

korupsi apabila melanggar hukum) dan perspektif moral (suatu tindakan korupsi

6
Geertz, C. (1972) The Politics of Meaning. Dalam: Holt, C. (1972). Culture and Politics in
Indonesia. Jakarta, Equinox Publishing, pp. 319-322.

4
apabila tidak sesuai dengan prinsip moral masyarakat). Apabila kita berbicara

mengenai sejarah korupsi maka tindakan korupsi perlu dilihat melalui perspektif

moral masa kini (korupsi sebagai pelanggaran norma dan nilai masyarakat

modern) mengingat pada masa lalu yang belum memiliki prinsip hukum modern,

terdapat kemungkinan tindakan yang sekarang ini dianggap korupsi pada masa itu

bukanlah tindakan korupsi. Ada pun yang bisa disepakati secara moral dan legal,

yakni: “praktik penyalahgunaan kuasa/jabatan yang dilakukan oleh pihak yang

berkuasa (high-contracting parties) entah itu swasta atau pun pemerintahan yang

ditujukan memenuhi kepentingan pribadi.”7 Jenis-jenis berdasarkan sifat, skala,

dan seberapa besar dampak yang ditimbulkan terbagi menjadi tiga kategori.

Pertama, korupsi kecil atau korupsi birokrasi (petty corruption) yang mencangkup

transaksi antara masyarakat dan pegawai publik dengan jumlah nominal kecil

seperti halnya pemberian uang suap untuk mempercepat suatu proses birokrasi.

Kedua, korupsi tingkat tinggi (grand corruption) yang berkaitan dengan praktik

korupsi para pemilik kekuasaan tertinggi yang di mana kebijakan disesuaikan

dengan kepentingan pribadi penguasa.

Terakhir, korupsi politik yang seringkali memiliki sinonim dengan korupsi

tingkat tinggi dan korupsi sistemik, memiliki skala dan nominal tertentu dan

berkaitan dengan praktik penyalahgunaan kuasa oleh penguasa untuk kepentingan

pribadi yang bertujuan untuk mempertahankan kekuasaan atau pun

mengakumulasi kekayaan belaka. Hal ini mencangkup manipulasi hukum

(tindakan korupsi secara tidak langsung dilegalkan oleh hukum yang berlaku) dan

7
Heywood, P. M. (2014) Routledge Handbook of Political Corruption. Abingdon, Routledge.

5
transaksi secara tidak sehat (kolusi) dengan pihak-pihak swasta.8 Ada pun faktor-

faktor yang menjadi penyebab terjadinya korupsi politik seperti halnya kekuasaan

tunggal (absolutisme), monopoli, kurangnya transparansi dan keinginan untuk

meningkatkan kekayaan pribadi.9 Meskipun jenis korupsi bervariasi, namun

biasanya jenis praktiknya relatif homogen yaitu mencangkup praktik suap,

penghindaran pajak, permainan anggaran, dan lainnya. Maka dari itu, definisi

praktik korupsi politik dalam Pemerintahan RI maupun pemerintahan-

pemerintahan sebelumnya mencangkup praktik korupsi dan penyalahgunaan

kuasa untuk kepentingan pribadi pada pihak-pihak yang memiliki

kekuasaan/jabatan politik di dalam pemerintahan. Selebihnya, apabila praktik

korupsi politik dalam pemerintahan di Indonesia terus mengalami pengulangan

secara konsisten dengan dukungan struktur politik dalam jangka waktu panjang

tanpa adanya perubahan atau hal yang menghambatnya maka hal ini dapat

menjadi suatu tradisi dan dapat didefinisikan sebagai budaya layaknya pernyataan

Mohammad Hatta. Meskipun demikian, apabila praktik korupsi politik di

definisikan sebagai hal tertanam dalam sistem, kebiasaan, dan budaya maka hal

ini tentunya berkaitan erat dengan budaya politik yang ada pada suatu peradaban.

Dalam studi yang dilakukan oleh Almond dan (1956), budaya politik merupakan

pola orientasi yang mendorong individu atau pun kelompok untuk melaksanakan

tindakan politik.10

Selain berfokus pada budaya politik dan perilaku, struktur politik memiliki

implikasi terhadap terciptanya suatu budaya politik. Hal ini dapat dilihat dari

8
Heidenheimer, A. J. & Johnston, M. (2002) Political Corruption: Concepts and Contexts.
London, Transaction Publishers, pp. 925-930.
9
Alcazar, L. & Andrade, P. (2001). Diagnosis Corruption. Washington D. C., Inter-American
Development Bank, pp. 135-136.
10
Almond, G. A. (1956) Comparative Political System. Journal of Politics. XVIII, p. 396.

6
pernyataan Pye dan Verba (1986) bahwa struktur politik dan budaya politik saling

berkaitan sehingga struktur politik dapat merefleksikan budaya politik akan tetapi

struktur politik dapat memberikan suatu bentuk budaya politik pula.11 Pernyataan

keduanya tentunya memberikan gambaran hubungan struktur politik dan budaya

politik secara kompleks mengingat terdapat pertentangan ruang lingkup

makropolitik (struktural) dan mikropolitik (psikologis-individual). Namun apabila

ditarik kesimpulan dari pernyataan keduanya, secara teoritis, struktur politik dan

budaya politik saling berkaitan dalam mengkonstruksi satu sama lain

(determinisme kultural terhadap struktur dan determinisme struktural terhadap

budaya). Seperti halnya struktur politik yang demokratis memiliki kemungkinan

untuk memunculkan budaya politik partisipatif dan budaya politik masyarakat

yang bersifat tradisional tidak menutup kemungkinan akan menciptakan struktur

politik feodal dan otoritarian. Meskipun demikian, budaya politik yang di dalam

masyarakat tidak bisa disamakan dengan budaya politik dalam ranah penguasa

mengingat sifat masyarakat sebagai entitas yang dikuasai sedangkan penguasa

merupakan entitas yang menguasai. Hal ini tidak menutup kemungkinan

terjadinya penyalahgunaan kuasa untuk kepentingan pribadi.

Apabila kita menggunakan dimensi determinisme kultural dalam

menganalisis konstruksi struktur politik, seperti halnya penelitian yang dilakukan

oleh Geertz (1960) mengenai sebagian besar pejabat di dalam Pemerintahan RI

memiliki etnisitas Jawa dan dibesarkan di desa yang kental dengan nilai-nilai

budaya politik yang patrimonial, digeneralisasikan dapat mendorong perilaku

koruptif. Dilanjutkan oleh Smith (1971), bahwasannya pernyataan Geertz

11
Pye, L. W. & Verba, S. (1965) Political Culture and Political Development. Princeton,
Princeton University Press, pp. 76.

7
merupakan apologi (pembelaan) terhadap adanya aktivitas korupsi namun

sekaligus menjelaskan dilema yang dihadapi oleh para pejabat negara, terdidik

dengan nilai-nilai pedesaan dan mempraktikkanya di dalam pemerintahan.12 Dari

pernyataan tersebut, secara tidak langsung struktur politik dan pemerintahan

tentunya akan dipengaruhi oleh budaya politik patrimonialisme para pejabat

tersebut, dan apabila regenerasi pejabat publik terus dikuasai oleh etnisitas Jawa

dari pedesaan maka patrimonialisme tertanam di dalam struktur politik. Akan

tetapi, apabila menggunakan dimensi determinisme struktural terhadap konstruksi

budaya politik, hal ini berlaku pada kasus penerapan sistem take home pay pada

masa Orde Baru yang di mana hal ini mendorong para pegawai negeri sipil (PNS)

yang juga terdiri dari birokrat dan pejabat publik untuk melakukan korupsi

melalui dana proyek atau “lahan basah.”13 Alhasil, meskipun terdapat reformasi

birokrasi pada Era Reformasi, birokrat dalam Pemerintahan RI sejak masa Orde

Baru sampai saat ini, dikenal memiliki budaya politik yang menyangkut

penyalahgunaan wewenang karena tidak ada struktur yang menghalangi mereka

untuk melakukan hal tersebut, mengingat penegak hukum seringkali berpihak

pada para pejabat. Melihat penjelasan kedua dimensi tersebut, determinisme

struktural dan kultural tidak dapat digeneralisasikan sebagai satu-kesatuan begitu

saja karena kompleksitas yang ada.

Namun dalam konteks mencari pola determinisme historis budaya korupsi

politik (kultural) dalam pemerintahan di Indonesia (struktural), diperlukan sinergi

antara kedua pendekatan ini mengingat pada periode tertentu determinisme

12
Margana, S. (2016) Akar Historis Korupsi di Indonesia. Dalam: Carey, P. Korupsi dalam Silang
Sejarah Indonesia dari Daendels (1808-1811) sampai Era Reformasi, p. 109.
13
Pradiptyo, R. (2016) Korupsi Struktural. Dalam: Carey, P. Korupsi dalam Silang Sejarah
Indonesia dari Daendels (1808-1811) sampai Era Reformasi, Yogyakarta, Komunitas Bambu, p.
xlix.

8
kultural bersifat dominan namun pada periode lainnya determinisme struktural

yang justru lebih menonjol dibandingkan kultural. Akan tetapi mengingat

keduanya saling berkaitan dalam mengkonstruksi secara bersamaan, maka

penggunaan kedua pendekatan tersebut secara seimbang dapat meminimalisir

bias, ambiguitas, dan kesalahpahaman dalam memahami determinisme historis

yang memunculkan suatu fenomena budaya secara lebih lanjut.

D. Argumentasi Utama

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, penelitian ini memiliki rumusan

masalah sebagai berikut, yakni “Bagaimana struktur politik dan budaya politik

dalam pemerintahan-pemerintahan yang pernah berkuasa di Indonesia dapat

mempengaruhi fenomena budaya korupsi politik pada era Reformasi?” Untuk

menjawab rumusan masalah tersebut, penelitian ini menggunakan metode

penelitian historis yang di mana peneliti menafsirkan kejadian-kejadian masa

lampau dan menghubungkan dengan permasalahan masa kini. Penelitian ini pun

menggunakan menggunakan sumber primer maupun sekunder mengenai variabel

terkait, namun dalam penelitian ini peneliti hanya bergantung pada

dokumentasi/pustaka mengingat keterbatasan sumber dan objek yang dapat

diobservasi secara langsung. Dokumen historis yang digunakan juga akan melalui

proses kritik internal dan eksternal sehingga penulis akan menggunakan tulisan

saksi mata peristiwa, intelektual, dan sejarawan yang memiliki kredibilitas

ternama. Selain itu, analisis data penelitian ini pun akan menggunakan

pendekatan kualitatif. Hasil akhir penelitian ini adalah penulisan sejarah dalam

bentuk karya tulis ilmiah yang di mana akan dipaparkan dalam bentuk deskriptif-

9
naratif dan tidak menutup kemungkinan tulisan ini akan bersifat analitis karena

penulis akan memaparkan interpretasi dan penafsiran kasus yang di dasari oleh

suatu landasan teoritis/konseptual yang mencangkup definisi korupsi politik,

budaya politik, dan teori determinisme struktural dan kultural terhadap konstruksi

budaya politik.

Berhubungan dengan metode yang digunakan untuk penelitian ini, maka

dari itu, penelitian ini memiliki hipotesis bahwa terjadinya fenomena budaya

korupsi politik di Era Reformasi dikarenakan adanya pengaruh struktur politik

yang telah ada sejak lama (feodalisme Jawa dan patrimonialisme Hindia-

Belanda), struktur ini memiliki sifat yang dapat mendorong terjadinya perilaku

korupsi, dan struktur ini tidak mengalami perubahan secara drastis sejak masa

Kesultanan Jawa, Pemerintahan Hindia-Belanda, sampai masa kemerdekaan RI

sehingga korupsi politik telah menjadi suatu budaya politik yang sulit dipisahkan

dalam dinamika pemerintahan di Indonesia. Secara garis besar, peneliti berusaha

untuk menemukan pola determinisme historis yang menyebabkan fenomena

tersebut. Oleh karena itu, variabel bebas dalam penelitian ini adalah sejarah

struktur politik dan budaya politik yang berkaitan dengan korupsi politik dalam

pemerintahan-pemerintahan yang pernah berkuasa di Indonesia dan variabel

terikat adalah fenomena budaya korupsi politik dalam Pemerintahan RI pasca

Orde Baru.

10
BAB II

PEMBAHASAN

A. Feodalisme dalam Kesultanan Jawa

Periode sejarah pada masa kesultanan Jawa pada abad ke-17 sampai dengan abad

ke-19 dapat dijadikan babak awal dari konstruksi budaya korupsi politik dalam

pemerintahan di Indonesia. Alasan penulis memulai pada masa feodalisme Jawa

sebagai awal korupsi politik tidak lain karena pada masa Pemerintahan RI, Jawa

merupakan etnisitas yang mendominasi para pejabat pemerintahan RI sehingga

dalam menjalankan pemerintahan seringkali mengadopsi corak kebudayaan

tradisional Jawa seperti halnya yang ada pada gaya kepemimpinan Presiden

Soekarno dan Soeharto.14 Mengingat pada masa ini pula, peradaban Indonesia,

khususnya Pulau Jawa, telah mengenal struktur politik yang berhubungan dengan

hirarki, pajak, dan sistem kelas yang didasari oleh tradisi feodalisme, hal ini

didukung oleh adanya perbedaan penguasaan modal-modal sosial dan ekonomi

pada masyarakat Jawa masa-masa kerajaan sebelumnya.15 Hal ini dapat ditelusuri

di dalam struktur politik Pemerintahan Kesultanan Mataram Islam pada abad ke-

17 yang di mana segala urusan dan kebutuhan dipusatkan hanya kepada keraton

dan urusan kedaerahan diberikan kepada para bangsawan/bupati. Selain itu,

hubungan antara penguasa dan rakyatnya bersifat predatory (eksploitatif) karena

segala aktivitas ekonomi ditujukan kepada kepentingan para penguasa. Alhasil,

terdapat kecenderungan kepemimpinan yang otoritatif sehingga para penguasa

dan bangsawan seringkali tidak menghargai hak-hak rakyat kecil. Margana (2016)
14
Vickers, A. (2005) A History of Modern Indonesia. Cambridge, Cambridge University Press.
15
Soedarso, B. (2009) Latar Belakang Sejarah dan Kultural Korupsi di Indonesia. Jakarta,
Penerbit Universitas Indonesia, pp. 20-21.

11
pun menyatakan bahwa struktur politik feodal Kesultanan Jawa membentuk suatu

kebudayaan patrimonialisme (penguasa mengatur kekayaan di dasari oleh

kewenangan tradisional) yang di mana ada pada penerapan sistem upeti (pajak)

dan tanah lungguh (petani yang mengurusi tanah penguasa, dibatasi haknya oleh

penguasa dengan imbalan-imbalan tertentu).16

Penerapan sistem mungkin terdengar biasa saja apabila berbicara struktur

yang ada pada suatu kerajaan, namun yang dipermasalahkan adalah tidak adanya

pemisahan antara pemasukan pribadi dan pemasukan kerajaan secara jelas, hal ini

diperparah dengan adanya justifikasi hukum adat.17 Bahkan menurut karya

Thomas Stamford Raffles (1817) yaitu History of Java, terdapat pola

mengkorupsi upeti dalam yang terjadi ketika upeti diserahkan kepada Demang

(Lurah), selanjutnya akan diserahkan kepada Temenggung, selanjutnya

Abdidalem di Katemenggungan setingkat kabupaten atau provinsi mengambil

sebagian harta yang pada akhirnya akan diserahkan kepada Sultan.18 Selain itu,

Raffles (1817) juga menerangkan bahwa para bangsawan dan penguasa memiliki

kegemaran dalam menimbun kekayaan sebagai upaya untuk menunjukkan kuasa

sehingga mengkorupsi pajak merupakan salah satu jalan dan jalan lainnya adalah

membiarkan rakyat biasa agar tetap miskin. Oleh karena itu, perilaku korupsi

politik dalam feodalisme Jawa dapat dikatakan sebagai penyalahgunaan kuasa

para elit yang di mana melanggar aspek-aspek normatif yang ada dalam filosofi

kepemimpinan kebudayaan Jawa yaitu empat keburukan manusia yang harus

16
Margana, S. (2016) Akar Historis Korupsi di Indonesia. Dalam: Carey, P. Korupsi dalam Silang
Sejarah Indonesia dari Daendels (1808-1811) sampai Era Reformasi, pp. 121-122.
17
Ibid, p. 122.
18
Raffles, S. T. (1817) The History of Java: Complete Volume. London, Black Parburry and
Allen.

12
dihindari, salah satunya adalah mencuri.19 Meskipun demikian, tindakan yang

dilakukan oleh para penguasa Jawa tidak dapat dikatakan sebagai korupsi politik

(mencuri) mengingat pada masa itu tidak ada birokrasi modern (menyangkut

pencatatan harta elit politik), absennya rule of law (kekuasaan dan kesetaraan

secara hukum) namun kekuasaan berdasarkan modal yang dimiliki, dan seperti

yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa kuasa para elit terhadap urusan

perekonomian negara merupakan hukum adat selayaknya kewajaran yang perlu

diterima dalam masyarakat, alih-alih struktur yang melegalkan mencuri bagi para

penguasa. Alhasil, struktur politik feodal Jawa mendukung budaya politik yang

kental dengan absolutisme di kalangan elit tanpa adanya pengawasan secara legal

formal maupun kekuatan besar, memberikan kesempatan dan celah bagi para elit

untuk melakukan korupsi politik. Seperti halnya yang dinyatakan oleh Lord

Acton (1887) yakni: “kekuasaan cenderung mengkorupsi dan kekuasaan absolut

akan melakukan korupsi.”20 Struktur politik seperti ini pun dianggap sebagai

bagian dari kebudayaan karena adanya peran adat dan tradisi di dalamnya,

tentunya akan tertanam secara kuat di dalam kebudayaan masyarakat Jawa,

perubahan budaya politik sangat tidak memungkinkan karena elemen budaya

Jawa yang dinamakan sebagai pakewuh mendorong subordinasi atas praktik

korupsi dengan tujuan agar mencegah disharmonisasi sehingga menghambat

terjadinya konflik konstruktif.21 Maka dari itu, struktur ini pun akan terus

dimanfaatkan oleh penguasa selanjutnya yakni Belanda sebagai upaya menguasai

19
Nasruddin, A. (2008) Neo Patriotisme: Etika Kekuasaan dalam Kebudayaan Jawa. Yogyakarta,
LKIS Yogyakarta, p. 80.
20
Acton, J. (1887) Letter to Bishop Mandell Creighton. Dalam: Figgis, J. N. & Laurence, R. V.
Historical Essays and Studies. London, Macmillan.
21
Beittinger-Lee, V. (2009) (Un) Civil Society and Political Change in Indonesia: A Contested
Arena. London, Routledge, pp. 35-36.

13
dengan membangun persekutuan dengan penguasa lokal sehingga tidak ada

perbedaan secara signifikan antara struktur politik feodal-patrimonialistik pada

masa Kesultanan Jawa dengan masa Pemerintahan Kolonial Belanda.

Meskipun demikian, feodalisme Jawa tidak dapat digeneralisasikan

sebagai struktur dan budaya yang mendorong sifat-sifat koruptif karena terdapat

pengecualian bagi pemerintahan penguasa Jawa tertentu. Hal ini dapat dilihat

ketika Pangeran Diponegoro (1785-1855) berkuasa, pada awal tahun 1823,

terdapat catatan yang menggambarkan beliau menampar Patih Danurejo IV di

hadapan keluarga Kesultanan Yogyakarta karena perihal penyewaan tanah

Kesultanan kepada Belanda. Hal ini dilakukan karena idealisme Diponegoro yang

berpihak pada rakyat, berdasarkan pernyataan beliau yakni: “Haruskah kita terus

membebani rakyat kita, yang menderita begitu banyak, dengan menyewakan

tanah mereka sedangkan kita para penguasa diam-diam sepakat dengan mereka

yang menyewanya?” (Carey, 2012).22 Akan tetapi, menurut Carey (2012), alasan

mengapa Diponegoro berbeda dengan penguasa feodal lainnya adalah budaya

politik beliau tidak dipengaruhi oleh struktur politik yang ada karena beliau

dibesarkan di area pedesaan dan sejak dini beliau dikenal sangat hemat

pengeluaran. Sesuai dengan teori Parsons (1951) bahwasannya budaya politik

terkonstruksi dan terinternalisasi melalui sosialisasi politik sejak dini sehingga

struktur politik tidak memiliki pengaruh yang signifikan. 23 Namun patut

disayangkan, budaya politik yang dianut oleh Diponegoro tidak bertahan lama

karena kekalahannya di Perang Jawa (1825-1830) sehingga budaya politik yang

dianut oleh beliau dapat dikatakan sebagai idealisme pribadi sehingga menjadi
22
Carey, P. (2012) Kuasa Ramalan; Pangeran Diponegoro dan Akhir Tatanan Lama di Jawa,
1785-1855. Jakarta, Kepustakaan Populer Gramedia, pp. 542-543.
23
Parsons, T. (1951) The Social System. New York, Free Press, pp. 203-208.

14
suatu pengecualian/istimewa dalam dinamika feodalisme Kesultanan Jawa. Sulit

untuk digeneralisasikan bahkan melalui pendekatan determinisme kultural

sekalipun mengingat penelitian Geertz (1960) menyatakan bahwa pejabat yang

dibesarkan di pedesaan Jawa kental dengan nilai-nilai patrimonialisme dan

seringkali dijadikan sebagai apologi untuk melakukan korupsi politik (Smith,

1971). Pernyataan Smith (1971) terhadap Geertz (1960) ini berkaitan dengan

elemen budaya politik yakni pakewuh yang di mana anggapan bersikap keras

terhadap korupsi akan melahirkan situasi disharmonisasi yang bisa mengancam

organisasi sehingga sikap keras ini perlu dihindari, namun sikap Pangeran

Diponegoro berkata sebaliknya.24

B. Hindia-Belanda, Birokrasi, dan Negara Modern

Struktur politik dan budaya politik feodal-patrimonial yang telah tertanam kuat di

dalam masyarakat Jawa pun menjadi kesempatan bagi para penguasa baru dari

Belanda atau dalam hal ini organisasi swasta yang memiliki yakni Vereenigde

Oostindische Compagnie (VOC) pada abad ke-17 sampai dengan akhir abad ke-

18. Kesempatan ini pun mendorong kesuksesan praktik politik devide et impera

yang dilaksanakan oleh VOC untuk memperlemah kekuasaan Kesultanan yang

ada di Jawa atau pun pulau Nusantara lainnya dan korupsi politik merupakan

salah satu taktik. Hal ini dikarenakan VOC menjalin hubungan kolusi dengan

pihak Kesultanan dengan imbalan berupa perlindungan dari pemberontakan lokal

dan kesepakatan dagang yang dapat menguntungkan kekayaan Kesultanan

(namun hal ini berujung pada monopoli perdagangan VOC), penerimaan

24
Smith, T. M. (1971) Corruption, Tradition, and Change, Indonesia, 11, 21-40.

15
hubungan kolusi berikut ini kental dengan budaya politik patrimonialistik.25

Alhasil, kedaulatan Kesultanan dalam perihal ekonomi-politik semakin menyusut

dan terkadang berujung pada kehancuran Kesultanan besar tertentu yang

seringkali dihadapkan oleh perang atau pun pemberontakan.26 Absennya

Kesultanan memberikan kesempatan bagi VOC untuk berkuasa dalam

mengeksploitasi hasil bumi di Nusantara dan hal ini dilakukan dengan

memanfaatkan kapasitas penguasa lokal. Peara penguasa lokal (aristokrat) yang

tidak lagi berada di bawah loyalitas Kesultanan, tidak menyikapi VOC secara

agresif. Kesultanan dan penguasa-penguasa lokal pun tertarik untuk membangun

kolusi dengan imbalan berupa jaminan kekuasaan feodal atas

pertanahan/pengolahan lahan, memberikan mereka gaji bagian dari pegawai

perusahaan (gaji dalam hal ini adalah pajak dari rakyat sekaligus dengan

keuntungan perusahaan) dan para bupati hanya perlu menyerahkan hasil bumi

yang diperlukan kepada VOC.27 Penerapan sistem tersebut tidak lain merupakan

hak istimewa yang diberikan oleh Belanda kepada VOC yakni menerapkan sistem

administrasi layaknya seperti negara. Maka dari itu VOC telah memperkenalkan

struktur ekonomi-politik merkantilis dan urusan administrasi yang berupa

birokrasi tradisional kepada peradaban Indonesia namun patut disayangkan

karena hal tersebut dicampuradukkan elemen budaya politik patrimonial demi

mendapatkan kuasa atas pribumi lokal dan selebihnya mendorong sistem kelas

yang didasari oleh etnisitas yakni Belanda, Timur-Asing, dan Pribumi.

25
Margana, S. (2016) Akar Historis Korupsi di Indonesia. Dalam: Carey, P. Korupsi dalam Silang
Sejarah Indonesia dari Daendels (1808-1811) sampai Era Reformasi, p. 119.
26
Van Zanden, J. L. & Marks, D. (2012) An Economic History of Indonesia: 1800-2010. London,
Routledge, ch. 3.
27
Soedarso, B. (2009) Latar Belakang Sejarah dan Kultural Korupsi di Indonesia, p. 36.

16
Meskipun demikian, kekuasaan VOC di Nusantara tidak bertahan lama,

hal ini dikarenakan adanya kerusakan yang ditimbulkan oleh perilaku koruptif

yang ada pada dalam internal penguasa VOC. Berdasarkan catatan Wertheim

(1964) mengenai Dirk van Hogendorp (1761-1822) yang merupakan pegawai

VOC, menceritakan bahwa korupsi dalam internal pegawai VOC merupakan hal

yang biasa dan faktor pendorong tindakan tersebut adalah pemberian gaji yang

sedikit, seakan-akan sistem yang disahkan oleh VOC memberikan kerakusan

yang tak terkendali.28 Selain itu, Dirk pun mengakui bahwa ia melakukan

pungutan-pungutan sebagai hak istimewa pegawai VOC dalam jumlah besar dan

pungutan tersebut merupakan denda, penjualan opium, dan hadiah-hadiah dari

pegawai pribumi yang mendapatkan promosi jabatan, hal ini dilakukan dengan

anggapan bahwa hal ini merupakan tradisi di tempat tersebut.29 Maka dari itu,

meskipun VOC telah menerapkan struktur politik di Nusantara yang

diperuntukkan untuk keuntungan mereka, namun karena ditujukan untuk

kepentingan para elit, maka hal ini dianggap tidak dapat menyejahterakan oleh

para pegawainya sehingga mereka pun memanfaatkan budaya politik patrimonial

dalam membuka hubungan kolusi dengan para penguasa pribumi. bahkan seperti

telah dijelaskan sebelumnya, struktur yang tidak mumpuni tersebut seakan-akan

melegalkan praktik korupsi. Alhasil, budaya korupsi politik terletak pada para elit

VOC yang menggunakan kekuasaannya untuk melakukan akumulasi kekayaan

bersamaan dengan struktur politik patrimonial yang ada pada kebudayaan pribumi

memberikan wewenang mereka untuk melakukan hal tersebut.

28
Wertheim, W. F. (1964) East-West Parallels: Sociological Approach to Modern Asia. The
Hague, Van Hoeve, p. 112.
29
Ibid, p. 113.

17
Pada akhir abad ke-18, elit-elit yang melakukan korupsi memperlemah

kekuatan finansial VOC dalam beroperasi di Nusantara sehingga kontribusi

sangat minim untuk kekayaan negara Belanda, dan titik akhir berada pada

momentum invasi Napoleon Bonaparte ke Belanda pada tahun 1796 yang

memunculkan Republik Batavia.30 Alhasil, VOC pun dinasionalisasikan oleh

Republik Batavia pada tahun 1796 sehingga kedaulatan atas tanah jajahan di

Hinda-Belanda diberikan kepada otoritas Pemerintahan Kolonial. Herman

William Daendels selaku Gubernur Jenderal Pemerintahan Kolonial Hindia-

Belanda menawarkan struktur politik yang dinamakan sebagai rechstaat (negara

hukum) sebagai upaya sentralisasi pemerintahan di Batavia agar dapat

menghilangkan struktur politik dan budaya politik feodal-patrimonial yang

dipertahankan oleh VOC sehingga kebijakan beliau dapat dikatakan sebagai

upaya pemberantasan korupsi pertama di Indonesia.31 Salah satu kebijakannya

adalah menghapuskan pemerintahan gubernur di Pantai Timur Laut Jawa yang

dianggap menyaingi Batavia. Menurut Marihandono (2011) hal tersebut

mendorong transformasi praktik korupsi yang hanya dilakukan oleh sang

gubernur melalui bisnis gelapnya menjadi praktik korupsi yang dapat dilakukan di

dalam tubuh-tubuh birokrasi.32 Secara garis besar, tindakan Daendels merupaka

upaya untuk memperkuat legitimasi Belanda di Nusantara melalui struktur politik

yang sentralistik sehingga hubungan antara Belanda dan warga pribumi tidak lagi

berupa monopoli perdagangan dan kolusi dengan tuan tanah melainkan lebih

30
Balk, G. L. (2007) The Archives of the Dutch East India Company (VOC) and the Local
Institutions in Batavia (Jakarta). Brill, Leiden, p. 14.
31
Carey, P. (2016) Daendels dan Ruang Suci Jawa, 1808-1811. Dalam: Dalam: Carey, P.
Korupsi dalam Silang Sejarah Indonesia dari Daendels (1808-1811) sampai Era Reformasi.
Yogyakarta, Komunitas Bambu, pp. 02-04.
32
Marihandono, D. (2011) Daendels, Napoleon Kecil di Tana Jawa. Dalam: Majalah Historia.
Reformasi atas Nama Revolusi. 23 (Tahun II), p. 42.

18
bersifat administratif, formal, dan birokratis sehingga kekuasaan feodal seperti

halnya Keraton Yogyakarta dapat diperlemah kekuasaannya.33 Namun, struktur

politik yang telah dibangun oleh Daendels dapat dikatakan hanya

mentransformasi bagaimana praktik korupsi politik dilakukan yang di mana

menjadi lebih terinstitusionalisasi. Mengingat pula bahwa hal ini membudaya di

kalangan penguasa selama ratusan tahun sehingga setelah Daendels tidak lagi

berkuasa, sistem Daendels masih memiliki celah sehingga celah tersebut

dimanfaatkan agar praktik korupsi politik yang masih didorong oleh budaya

feodal-patrimonial para penguasa-penguasa lokal terus terjadi

Hal ini dapat dilihat ketika terdapat elemen konservasi praktik-praktik

feodal-patrimonial VOC yang kembali namun dalam aturan yang terstruktur, pada

tahun 1835-1870 Belanda menerapkan sistem tanam paksa (cultuurstelsel).

Sistem ini mengembalikan kekuasaan para penguasa lokal terhadap tanah

garapannya namun secara sistematis berhubungan dengan kewajiban memberikan

sebagian hasil bumi kepada Belanda, namun sistem ini tidak menutup

kemungkinan akan terjadi penyalahgunaan kuasa untuk kepentingan pribadi

penguasa lokal. Berdasarkan catatan Multatuli (1860), terdapat penyalahgunaan

kuasa yang diberikan oleh Belanda kepada Bupati Lebak yang di mana sang

Bupati mengambil untung di luar ketentuan yang ditetapkan oleh Belanda

sehingga kerja wajib yang dibebankan kepada para pekerja di Lebak sangatlah

berat sehingga banyak petani yang meninggal dan hasil bumi pun dihisap

semuanya untuk Belanda dan sebagian besar untuk memperkaya sang Bupati.

Alhasil, kekejaman yang diceritakan oleh Multatuli pun secara tidak langsung
33
Carey, P. (2016) Daendels dan Ruang Suci Jawa, 1808-1811. Dalam: Dalam: Carey, P.
Korupsi dalam Silang Sejarah Indonesia dari Daendels (1808-1811) sampai Era Reformasi, pp.
11-15.

19
menggerakkan para politisi liberal dan swasta untuk menuntut Pemerintahan

Belanda agar mereformasi penerapan sistem tidak manusiawi ini karena menurut

mereka tidak bisa menjamin kontinuitas produksi.34 Maka dari itu terciptalah

undang-undang agraria pada tahun 1870 yang berbasiskan pada sistem ekonomi

liberal, dikhususkan meningkatkan modal dan produktivitas sektor agrikultur

guna memenuhi kepentingan ekonomi negeri Belanda. Hal ini berarti pihak

swasta melalui administrasi Pemerintah Kolonial, dapat memanfaatkan

kepemilikan tanah garapan milik para bangsawan feodal dengan menyewanya. 35

Menurut Houben (1998), hal ini secara administratif mengembalikan budaya

korupsi seperti halnya ketika lelang jabatan pengurus kebun, diwarnai dengan

uang suap dan pemberian hadiah.36 Meskipun demikian, pada akhir abad ke-19,

Pemerintah Kolonial Belanda terus berusaha untuk menghapuskan hubungan

feodalistik pada bangsawan lokal dengan mengganti sistem pemilihan bupati yang

tidak lagi didasari dengan keturunan namun diangkat oleh Pemerintah Kolonial.

Selain itu, para bupati dijadikan sebagai bagian dari birokrasi modern Hindia-

Belanda yang di mana Belanda akan menggaji para bupati selakyaknya pegawai

guna memutus hubungan feodal bupati terhadap entitasnya yang selama ini

menjadi sumber penghasilan gelap.37 Namun hal ini tidak luput dari aktivitas

korupsi politik, menurut Kartodirjo (1988), aktivitas penggelapan pajak, suap

jabatan, dan nepotisme terus mewarnai hubungan birokrasi yang dijalankan oleh

34
Dekker, E. D. (Multatuli). (1860) Max Havelaar. Dalam: Soedarso, B. (2009). Latar Belakang
Sejarah dan Kultural Korupsi di Indonesia, pp. 34-39.
35
Sardesai, D. R. (2013) Southeast Asia: Past and Present. New York, Westview Press.
36
Houben, V. J. H. (1998) Keraton dan Kompeni: Surakarta dan Yogyakarta, 1830-1870. Leiden,
KITLV Press, p. 164.
37
Margana, S. (2016) Akar Historis Korupsi di Indonesia. Dalam: Carey, P. Korupsi dalam Silang
Sejarah Indonesia dari Daendels (1808-1811) sampai Era Reformasi, pp. 127-129.

20
para Bupati.38 Oleh karena itu, kembali lagi bahwa kedatangan sistem baru yang

dibangun oleh Pemerintah Hindia-Belanda yang ditujukan untuk menghilangkan

budaya korupsi tidaklah efektif mengingat korupsi politik telah membudaya sejak

masa-masa terdahulu dan terus bertransformasi/beradaptasi.

C. Revolusi 1945 dan Instabilitas Politik Era Soekarno

Invasi secara militer yang dilakukan oleh Kekaisaran Jepang (Dai Nippon) pada

tahun 1942 menandakan berakhirnya kekuasaan Pemerintahan Kolonial Belanda

di Indonesia. Kedatangan Dai Nippon tentunya memiliki dampak secara

signifikan terhadap struktur politik Indonesia pada masa itu karena mereka telah

mentransformasi sistem segregasi kelas, partisipasi politik, hukum, keuangan,

birokrasi, dan militer. Hal ini dapat dilihat ketika Dai Nippon melakukan

penghilangan unsur-unsur Belandapada struktur politik yang ada namun hal ini

justru hanya mentransformasi sistem menjadi sistem dengan hirarki yang di mana

orang-orang Jepang berada di bagian teratas. Alhasil, mengingat pemerintahan

Dai Nippon hanya berlangsung selama tiga tahun lamanya dan memiliki orientasi

untuk memenangkan Perang Asia-Pasifik Raya, tidak banyak hal yang

mempengaruhi budaya korupsi politik para penguasa lokal. Melainkan kejahatan

pemerasan dan eksploitasi sumber daya dalam bentuk aktivitas koersif berupa

pemerintahan militer yang dilakukan oleh Jepang dengan memberlakukan

kebijakan Romusha kepada rakyat Indonesia (kerja paksa untuk memenuhi

38
Kartodirdjo, S. (1988) Beraeucracy and Aristocracy: The Indonesian Experience in Modern
Indonesia in the Nineteenth Century. Dalam: Kartodirdjo S. & Winks, R. W. Modern Indonesia,
Tradition and Transformation. Yogyakarta, Gadjah Mada University Press, p. 33.

21
kebutuhan perang).39 Selanjutnya setelah Jepang mengalami kekalahan, Indonesia

pun mendapatkan kemerdekaannya, lahir sebagai negara-bangsa namun masih

mengalami situasi yang konfliktual selama Perang Mempertahankan

Kemerdekaan/Revolusi 1945 (1945-1949) yang di mana sang tuan lama

(Belanda) berusaha mengambil alih kembali kekuasaan koloninnya. Namun

selama Perang Mempertahankan Kemerdekaan, perilaku korupsi politik penguasa

lokal dapat dilihat ketika terdapat kesepakatan kolusi dengan militer Belanda

yang di mana hal ini dianggap sebagai tindakan pengkhianatan menurut norma

dan perspektif RI yang baru berdiri.40 Alhasil, terjadilah kekacauan dan

kemarahan para pakerja di berbagai daerah yang dinamakan sebagai Revolusi

Sosial, di mana para penguasa lokal yang feodal menjadi target pembunuhan para

pekerja yang sebelum merupakan entitas subordinasi mereka. Namun Revolusi

Sosial pun dapat dikatakan gagal dalam menciptakan struktur baru melainkan

hanya penguasa baru seperti halnya yang dinyatakan oleh Anderson (1983),

bahwasannya revolusi Indonesia berhasil menciptakan masyarakat merdeka akan

tetapi semua tatanan dan struktur politik bekas kolonial masih dipertahankan.41

Bahkan Revolusi Sosial 1945 secara kultural dapat dikatakan tidak berhasil,

seperti halnya yang dikemukakan oleh Margana (2016) bahwasannya dalam

Revolusi Sosial 1945 lebih banyak pejuang kemerdekaan yang meninggal karena

berperang melawan agresi militer Belanda di berbagai daerah dibandingkan

merusak tatanan feodal yang ada pada para penguasa lokal sehingga revolusi ini

39
Sluimers, L. (1996) The Japanese Military and Indonesian Independence. Journal of Southeast
Asian Studies, 27 (1), 19-25.
40
Vickers, A. (2013) A History of Modern Indonesia. Cambridge, Cambridge University Press,
pp. 101-105.
41
Anderson, B. R. O. (1983) Old State New Society: Indonesia’s New Order in Comparative
Perspective. Journal of Asian Studies, 42 (3), 477-496.

22
tidak berhasil menghilangkan tatanan lama dan berdampak pada masa depan

Indonesia, selayaknya bangsa yang baru namun negara yang lama.42

Setelah berakhirnya Revolusi 1945 dan kegagalan struktur politik

Republik Indonesia Serikat (RIS) pada tahun 1949, pada tahun 1950 Indonesia

pun berdiri sebagai negara berdaulat dengan pemerintahan yang berjalan,

menerapkan struktur politik demokrasi liberal/demokrasi parlementer yang di

mana pemberlakuan struktur ini mendorong budaya politik massa yang

demokratis.43 Namun pemberlakuan struktur tersebut tidak bisa menjamin

perilaku/etika baik para elit-elit baru yang menjabat di pemerintahan khususnya

dalam hal ini perilaku tidak etis tersebut berupa korupsi politik. Hal ini dapat

dilihat ketika sebagian besar politisi di parlemen RI memberikan akses terhadap

para pengusaha berupa lisensi impor atas dasar kepentingan pribadi yang serba

mewah dan kepentingan kekuasaan partai politik secara kolektif yang memuncak

pada masa kabinet Ali-Sastroamidjodjo pada tahun 1953-1955, bahkan

kejatuhannya kabinet ini pun dikaitkan dengan skandal korupsi menteri-

menterinya.44 Selain itu, demokrasi parlementer yang cenderung memusatkan

Indonesia di pulau Jawa bersamaan dengan dominasi etnisitas Jawa dalam

pemerintahan yang terkenal koruptif dan proyek-proyek pembangunan ekonomi

hanya ditekankan di wilayah Jawa, mendorong sentimen anti-Jawa yang sehingga

berujung pada pemberontakan militer yakni Pemerintah Revolusioner Republik

42
Margana, S. (2016) Akar Historis Korupsi di Indonesia. Dalam: Carey, P. Korupsi dalam Silang
Sejarah Indonesia dari Daendels (1808-1811) sampai Era Reformasi, pp. 131-132.
43
Nasution, A. D. (2010) Demokrasi konstitusional: pikiran & gagasan. Jakarta, Kompas, p. 95.
44
Febari, R. (2015) Politik Pemberantasan Korupsi. Jakarta, Yayasan Pustaka Obor Indonesia, pp.
104-105.

23
Indonesia (PRRI) pada tahun 1958-1961 di luar Pula Jawa.45 Dari kasus tersebut,

dapat dikatakan bahwa dominasi elit Jawa yang membawa diskriminasi sosial

terhadap selain Jawa pada masa itu. Alhasil, setelah berbagai instabilitas politik

demokrasi parlementer yang salah satunya disebabkan oleh korupsi partai politik

dan para pejabat terkait, pada tahun 1959 dengan dikeluarkannya Dekrit Presiden

oleh Presiden Soekarno, struktur demokrasi terpimpin pun menggantikan

demokrasi parlementer. Hal ini dilakukan oleh Soekarno untuk memperlemah

partai-partai politik sebelumnya yang dituduh sebagai sumber instabilitas negara

sehingga pada masa ini, semua perihal terpusat pada kebijakan Presiden

Soekarno.46 Lantas, pelemahan partai politik tidak berarti korupsi politik

menghilang begitu saja karena dengan terpusatnya kekuasaan pada eksekutif

maka jabatan birokrasi dalam pemerintahan akan menjadi sangat politis sehingga

korupsi jabatan semakin meluas di kalangan para birokrat pada masa itu.

Ditambah lagi, korupsi para birokrat dan pejabat kementerian, menurut Muhaimin

(1990), harga barang tidaklah ditentukan oleh permintaan dan penawaran

melainkan oleh pejabat yang harus dilalui.47

Alhasil, absolutisme Soekarno yang didasari atas idealisme pada masa

demokrasi terpimpin tidak memberikan catatan terjadinya korupsi politik di

kalangan para elit pemerintahan yang memegang peran strategis sehingga tidak

terjadi tindakan korupsi sangat merugikan negara seperti halnya yang terjadi pada

masa demokrasi parlementer. Pada masa ini sudah terdapat upaya memberantas

korupsi secara struktural melalui hukum sebagai upaya pemberantasan seperti

45
Trisulistyono, S. (2013) Pergulatan Ideologi di Seputar Krisis Nasional 1965. Dalam:
Abdullah, T. Malam Bencana 1965: Dalam Belitan Krisis Nasional Bagian 3 Berakhir dan
Bermula. Jakarta, Yayasan Pustaka Obor Indonesia, p. 12.
46
Lindsey, T. & Butt, S. (2018) Indonesian Law. Oxford, Oxford University Press, p. 7.
47
Muhaimin, Y. A. (1990) Bisnis dan Politik. Jakarta, LP3ES, p. 186.

24
halnya yang terjadi di masa demokrasi parlementer. Hal ini dapat dilihat Perppu

24/1960 (dilatarbelakangi oleh Dekrit Presiden 1959), korupsi dapat dihukum

secara pidana dan dalam hal ini ketentuan pidana lainnya dapat digunakan untuk

memberantasanya.48 Namun, rezim Soekarno tidak bertahan lama, instabilitas

ekonomi yang berupa inflasi dan instabilitas politik berupa pemberontakan Partai

Komunis Indonesia (PKI), pada akhir tahun 1965 pun mucul sebagai konsekuensi

pelaksanaan kebijakan politik anti-barat dan perang dengan Malaysia yang

merupakan konsekuensi atas idealisme dan kekuasaan sentralistik Soekarno itu

sendiri.49 Kekacauan pun tidak bisa dikendalikan oleh Soekarno, sehingga beliau

pun mengakhiri kekuasaan era Orde Lama dengan memberikan kekuasaan kepada

pihak militer guna memulihkan keadaan.

D. Orde Baru dan Konservasi Perilaku Koruptif

Berhubung dengan instabilitas politik yang diciptakan oleh Pemerintahan

Soekarno pada tahun 1965, Jenderal Suharto ditunjuk untuk memulihkan

keadaan. Namun beliau justru memanfaatkan keadaan darurat tersebut sebagai

kesempatan untuk berkuasa menjadi Presiden. Berbeda dengan Soekarno yang

cenderung mengambil kebijakan secara spontan dan didasari oleh idealismenya

maka Soeharto cenderung bersifat rasional dan pragmatis ketika berkuasa. Hal ini

dapat dilihat ketika Soeharto melakukan kebijakan ekonomi semi-kapitalis yang

di mana pemerintah menekankan sinergi dengan pihak swasta mau pun asing

dalam mengupayakan peningkatan pertumbuhan ekonomi dan pembangunan

48
Hamzah, C. M. (2017) Kehendak Pemberantasan Korupsi. Dalam: Carey, P. Korupsi dalam
Silang Sejarah Indonesia dari Daendels (1808-1811) sampai Era Reformasi, pp. 246-247.
49
Argenti, G. & Istiningdias, D. S. (2017) Pemikiran Soekarno mengenai Demokrasi Terpimpin.
Jurnal Politikom Indonesiana, 2 (2).

25
negara guna menjaga stabilitas politik Indonesia yang memudar selama Soekarno

menjabat. Oleh karena Soeharto pun menerapkan kerjasama internasional yang

dinamakan sebagai Inter-Governmental Group on Indonesia (IGGI) pada akhir

tahun 1960an sebagai upaya mendorong investasi asing dalam bentuk portofolio

atau pun perusahaan multinasional ke Indonesia.50 Namun karena pengelolaan

hutang luar negeri dan pajak negara dikuasai oleh pemerintah dan pihak militer

(dalam hal ini, pemerintah mendukung kekuasaan atas militer terhadap

perekonomian strategis) sebagai upaya stabilisasi berkelanjutan, membuat

investasi dan hutang luar negeri rentan dikorupsi, entah untuk kepentingan

membangun kekuatan militer atau pun memperkaya diri. Seperti halnya yang

disampaikan oleh Pamungkas (2014), bahwasannya selama Soeharto berkuasa

ketika hutang luar negeri dan pajak digunakan untuk proyek-proyek tidak

bermanfaat dan kepentingan keluarganya sehingga hal ini menurun selayaknya

warisan dan budaya ke rezim-rezim Pemerintahan RI berikutnya, alhasil

berimplikasi pada jutaan masyarakat Indonesia pada masa kini yang terus hidup

di bawah garis kemiskinan.51

Selanjutnya, dunia bisnis pun tidak luput dari korupsi politik. Mengingat

pada masa itu akses terhadap perekonomian dikuasai oleh militer dan pemerintah,

maka hal ini tidak menutup kemungkinan terjadinya kolusi dengan berbagai pihak

swasta. Seperti halnya yang dipaparkan oleh Katoppo (2000) bahwasannya

semenjak tahun 1970an, aktivitas perusahaan-perusahaan besar hanya dapat

berjalan apabila memiliki hubungan dengan kepentingan Presiden Soeharto, hal

50
Higgot, R. & Robinson, R. (2013) Southeast Asia (Routledge Revivals): Essays in the Political
Economy of Structural Change. Abingdon, Routledge, pp. 198-199.
51
Pamungkas, S. (2014) Ganti Rezim Ganti Sistim - Pergulatan Menguasai Nusantara. Jakarta, El
Bisma, p. 02.

26
ini menciptakan struktur ekonomi yang dinamakan ersatz capitalism atau

kapitalisme kroni.52 Maka dari itu, mengingat antara tahun 1970-1990an

merupakan tahun yang di mana Indonesia marak dengan investasi asing dan

bantuan finansial asing mendorong pertumbuhan ekonomi yang mencapai 7-8%

dibandingkan rezim-rezim yang berkuasa pada masa reformasi. Namun hal ini

pun menciptakan ketergantungan negara terhadap modal asing sehingga

melemahkan posisi politik negara sampai pada tahun 1990an yang ditandai

dengan kesepakatan yang memperlemah Indonesia dengan institusi keuangan

global dan perusahaan multinasional pada Krisis Moneter (Krismon) 1998.53

Melihat adanya hubungan kolusi dan investasi dalam jumlah besar yang

dikelola negara tanpa pengawasan dan ketentuan yang jelas, maka tidak aneh

apabila Soeharto dikenal telah mengkorupsi dengan total jumlah sekitar 200

triliun selama beliau berkuasa.54 Lantas, meskipun secara dominan Presiden

Soeharto merupakan individu yang melakukan korupsi politik pada era Orde

Baru, namun budaya korupsi politik yang dimilikinya mempengaruhi struktur

politik yang ia bawahi. Hal ini dapat dilihat ketika unsur patrimonalisme dan

transaksi politik dalam internal Partai Golongan Karya (Golkar) yang merupakan

sumber politik kekuasaan Soeharto secara legal, bermain peran dalam konservasi

kekuasaan Soeharto melalui membangun struktur yang bersifat manipulatif dalam

memutuskan hasil pemilihan umum (pemilu) yang dilakukan secara tidak

langsung (dipilih oleh perwakilan rakyat) sehingga hasilnya selalu memenangkan

52
Katoppo, A. (2000) Sumitro Djojohadikusumo. Jejak Perlawanan Begawan Pejuang. Jakarta,
Pustaka Sinar Harapan, p. 376.
53
Reisenhuber, E. (2001) The International Monetary Fund Under Constraint: Legitimacy of Its
Crisis Management. The Hague, Kluwer Law International, pp. 169-170.
54
Maharso. & Sujarwadi, T. (2018) Fenomena Korupsi dari Sudut Pandang Epidemiologi.
Yogyakarta, Deepublish, p. 95.

27
beliau. Hal ini tidak lain mengingat kebijakan Suharto selalu berkorelasi dengan

kepentingan oknum yang memiliki afiliasi dengan Golkar atau pun pemaksaan

secara struktural terhadap pegawai negeri dan birokrat untuk mendukung Golkar

sehingga secara kuantitas Golkar terus mendominasi suara di Majelis

Permusyawaratan Rakyat RI (MPR).55 Maka dari itu, sudah sewajarnya dewasa

kini internal Golkar dikuasai oleh para pengusaha besar bersamaan dengan

dukungan massa yang berbasis oleh nilai loyalitas feodal/primordial Jawa

terhadap Soeharto sebagai entitas yang dipersepsikan telah berjasa bagi

pembangunan negeri.56 Oleh karena itu, adanya stabilitas politik dalam bentuk

dominasi Golkar, stabilitas keamanan berupa penguatan Angkatan Bersenjata

Republik Indonesia (ABRI), dan stabilitas ekonomi berupa pertumbuhan yang

tinggi, semuanya dapat dikatakan sebagai hanyalah topeng yang menutupi

praktik-praktik korupsi politik dalam internal Pemerintahan RI sehingga budaya

korupsi politik yang telah ada sejak masa kolonial dan pasca-kolonial

mendapatkan status konservasi pada masa Soeharto.

Secara struktural, birokrasi yang tidak direformasi sejak masa Soekarno

mendorong suatu formulasi yang berhubungan dengan membenarkan tindakan

korupsi sebagai suatu pencapaian kerja pegawai negeri. Hal ini didasari oleh

birokrasi dengan sistem take home pay yang di mana hal ini mendorong para

pegawai negeri yang juga terdiri dari birokrat dan pejabat publik, didorong untuk

mencari proyek sebanyak-banyaknya sebagai upaya menambah tunjangan yang

didapatkan. Karena mereka diberikan kuasa dalam perihal ini maka seringkali

55
Wijayanto. & Zachrie, R. (2013) Korupsi Mengorupsi Indonesia. Jakarta, Gramedia Pustaka
Utama, pp. 506-508.
56
Leifer, M. (2001) Dictionary of the Modern Politics of Southeast Asia. London, Routledge, p.
133.

28
terjadi upaya mengkorupsi melalui dana proyek atau istilahnya sebagai “lahan

basah.”57 Meskipun demikian, kesadaran akan bahaya korupsi telah menjadi

permasalahan yang perlu diberantas pada tingkat struktural. Rezim Soeharto pun

dibentuk dalam bentuk Tim Pemberantasan Korupsi (TPK) pada tahun 1967

sebagai kritik langsung Soeharto terhadap maraknya korupsi pada era Orde Lama

mengingat sebelumnya pada tahun 1960an institusi antikorupsi hanya

mempusatkan investigasi korupsi pada tubuh militer saja.58 Salah satu

keberhasilannya adalah ketika TPK berhasil menemukan kasus korupsi sebesar 14

miliar rupiah di PT Jawa Building dan membawa Endang Widjaja selaku

pimpinan perusahaan.59 Namun dalam melaksanakan tugasnya, sikap netralitas

dan komitmen terhadap pemberantasan korupsi TPK tentunya patut dipertanyakan

karena diisi oleh personel ABRI dan pejabat dalam lembaga peradilan maupun

pemerintahan yang dikenal pada masa itu loyal terhadap Soeharto. Selain itu,

TPK tidak mau berusaha menginvestigasi kejanggalan pada bisnis-bisnis dan para

pejabat yang memiliki kedekatan dengan Golkar dan Soeharto.60 Alih-alih TPK

juga merupakan sekedar topeng institusional yang bertujuan untuk

memperlihatkan sikap antikorupsi di rezim Soeharto dan wujud pemerintahan

yang bersih.

Bagaimana pun juga, kekuasaan otoritarianisme yang berbasiskan pada

kepemimpinan militeristik dan monopoli kekuasaan membuat struktur politik

yang bercirikan power above the law (kuasa diatas hukum). Mengingat selama

57
Pradiptyo, R. (2016) Korupsi Struktural. Dalam: Carey, P. Korupsi dalam Silang Sejarah
Indonesia dari Daendels (1808-1811) sampai Era Reformasi, p. xlix.
58
Indrayana, D. (2017) Jangan Bunuh KPK. Sukabumi, Adamssein Media, p. 21.
59
Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan. (1999) Strategi Pemberantasan Korupsi.
Jakarta, BPKP, p. 331.
60
Indrayana, D. (2017) Jangan Bunuh KPK, pp. 23-24.

29
Soeharto berkuasa, pihak-pihak seperti personel ABRI, birokrat tingkat tinggi,

para pengusaha yang berkolusi dan siapapun yang memiliki hubungan baik

dengan Soeharto akan terbebas dari jeratan hukum dan kalau pun hukum

menghambat kepentingan mereka maka terjadilah sinergi kepentingan dengan

MPR yang di mana hukum disesuaikan dengan kepentingan oknum-oknum

tersebut.61 Menilai bagaimana korupsi politik ada pada rezim Soeharto berkuasa,

pemerintahan dan birokrasi dipenuhi oleh praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme

(KKN), hal ini pun menjadi jargon yang muncul di kalangan para aktivis dan

intelektual dalam menggambarkan situasi pada masa itu.62 KKN pun justifikasi

kejatuhan Soeharto sehingga reformasi yang dilakukan karena adanya momentum

Krismon 1998, menjadikan perlawanan dan pemberantasan KKN sebagai pusat

perhatian dalam agenda reformasi. Akan tetapi, karena durasi Soeharto berkuasa

adalah 32 tahun Soeharto dan pada tahun-tahun tersebut terjadi suatu konservasi

budaya politik secara kultural sekaligus strukural, maka hal ini pun menjadi tugas

berat bagi aktivitas pemberantasan struktur politik dan budaya politik koruptif

para elit pada masa kepemimpinan rezim berikutnya (Reformasi).

E. Reformasi: Babak Baru Korupsi Politik

Berakhirnya kekuasaan Presiden Soeharto pada tahun 1998 menunjukkan babak

baru dalam struktur perpolitikan Indonesia yang di mana terjadi amandemen

konstitusi 1945, reformasi birokrasi (yang diusahakan untuk mengakhiri struktur

koruptif birokrasi), desentralisasi, dan demokratisasi.63 Hal ini dikarenakan

61
McLeod, R. H. & Macintyre, A. (2007) Indonesia: Democracy and the Promise of Good
Governance. Singapura, Institute of Southeast Asian Studies (ISEAS), p. 108.
62
Emmerson, D. K. (1999) Indonesia Beyond Suharto. London, East Gate Book, p. 165.
63
Winarno, B. (2007) Sistem Politik Indonesia Era Reformasi, pp. xiii-xiv.

30
adanya tuntutan sebagian besar masyarakat di Indonesia yang menjadikan

momentum krisis moneter (Krismon) 1998 sebagai kesempatan. Ketidakpuasan

dan rasa haus akan pemerintahan yang bersih juga menjadi motivasi utama

mengingat rezim Soeharto yang koruptif dijadikan sebagai acuan moral

pemerintahan. Maka dari itu Pemerintah RI pada era Reformasi melakukan

perubahan struktural yang menjunjung tinggi transparansi anggaran Pemerintahan

dan diperbolehkannya aktivitas pengawasan sipil dari Lembaga Swadaya

Masyarakat (LSM) seperti halnya Indonesia Corruption Watch (ICW) untuk

beroperasi.64 Namun bentuk perubahan struktural yang paling signifikan adalah

pembentukan institusi eksekutif-independen yang dikhususkan untuk

menginvestigasi dan meberantas korupsi baik swasta maupun pemerintahan yakni

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang telah mempertahankan reputasi kerja

yang baik dan kepercayaan publik sejak pertama kali dibentuk pada tahun 2003.65

Namun, apabila secara struktur politik Indonesia telah mengalami perubahan yang

lebih demokratis dan ideal, dilihat dari dimensi determinisme struktural terhadap

budaya maka secara teoritis budaya politik masyarakat Indonesia juga ikut

berubah. Lantas bagaimana dengan kabar situasi budaya politik para elit/penguasa

dalam internal Pemerintahan RI? Perubahan struktur yang secara teoritis dianggap

dapat memberikan perubahan dan mendorong perubahan budaya politik koruptif

menjadi tidak koruptif. Namun berdasarkan data yang dipaparkan oleh ICW pada

tahun 2017 terdapat 1.298 tersangka kasus korupsi dengan nilai total korupsi

64
Indonesia Corruption Watch. Siapa ICW?. Tersedia di: https://antikorupsi.org/id/content/siapa-
icw [Diakses pada 27 September 2018].
65
Siahaan, M. (2014) Perjalanan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Jakarta, Elex Media
Komputindo, p. 223.

31
sebesar 6,5 miliar rupiah, meningkat dibandingkan dengan tahun 2016.66 Jumlah

tersebut mengindikasikan masih maraknya korupsi politik di Indonesia dan kasus

korupsi dalam Pemerintahan RI yang telah diketahui oleh KPK atau ICW

pastinya hanyalah suatu ujung pada gunung es raksasa (banyak kasus yang masih

tersembunyi).

Hal ini membuktikan bahwa perombakan secara struktural tidak memiliki

implikasi, lantas mengapa korupsi politik masih terus terjadi? Apakah benar

korupsi telah membudaya membudaya sejak masa-masa terdahulu, tertanam

secara psikologis dalam kalangan individu maupun kelompok pejabat dan oknum

penguasa di era Reformasi ini? Melalui pola determinisme historis yang

menggunakan argumen berupa sinergi determinisme kultural dan struktural, maka

faktor yang melatarbelakangi bertahannya eksistensi budaya korupsi politik ada

pada institusi politik yang tak tersentuh oleh perubahan struktural namun

mempertahankan aspek kultural, seperti halnya partai politik yang merupakan

entitas utama dalam mendorong regenerasi elit/penguasa untuk jalannya

Pemerintahan RI. Perubahan struktural yang berkaitan dengan partai politik hanya

mencangkup kebebasan berserikat serta tidak dibatasinya hak berpolitik, sehingga

tidak menghalangi upaya konservasi budaya politik bekas Orde Baru yang sudah

tertanam secara kuat mengingat urusan internal partai politik berada di luar

kewenangan pemerintah. Hal ini dapat dilihat ketika unsur budaya kolusi yang

ada sejak masa Kolonial dan Orde Baru, mendominasi aktivitas finansial partai

politik di era Reformasi dengan justifikasi tindakan tersebut hanyalah investasi

dan dibutuhkan untuk kampanye politik padahal hubungan kolusi tersebut


66
Wijaya, L. D. (2018) Kasus Korupsi Tahun 2017, ICW: Kerugian Negara Rp 6,5 Triliun.
Tersedia di: https://nasional.tempo.co/read/1062534/kasus-korupsi-tahun-2017-icw-kerugian-
negara-rp-65-triliun [Diakses pada 27 September 2018].

32
dijalankan dengan kesepakatan yang tidak mewakili publik melainkan untuk

kepentingan politisi internal partai dan para pengusaha-pengusaha besar bahkan

pengusaha di bidang bisnis kotor/ilegal.67 Ada pun struktur politik era Reformasi

yang demokratis, seharusnya dapat membendung otoritarianisme yang

sebelumnya dianggap sebagai sumber korupsi politik, namun kini struktur

tersebut justru mendorong para elit dari berbagai partai politik untuk

mengeluarkan dana kampanye sebesar-besarnya agar mendapatkan suara sampai

mereka pun tidak segan-segan untuk melakukan politik uang.68 Alhasil, cukup

banyak kasus korupsi anggaran dan proyek negara di dalam Parlemen RI yang

dimotivasi untuk mengisi kekosongan kas partai politik setelah besarnya uang

yang dikeluarkan untuk pesta demokrasi setiap tahunnya.

Tidak hanya itu, perubahan struktural berupa desentralisasi (otonomi

daerah) yang diterapkan pada tahun 1999 untuk sebagian besar wilayah di

Indonesia, merupakan kritik terhadap sentralisasi yang korup pada masa Orde

Baru. Berbeda namun serupa seperti halnya yang telah dilakukan oleh Daendels,

maka kebijakan desentralisasi hanyalah mentransformasi praktik korupsi politik.

Memberikan kuasa kembali kepada para penguasa lokal dengan tujuan efisiensi

dan mempercepat pembangunan daerah akan tetapi sekaligus memperluas

kewenangan mereka atas urusan daerahnya sehingga hal ini tidak luput dari

penyalahgunaan anggaran pembangunan dan munculnya hubungan kolusi dengan

oknum mafia daerah. Hal ini dapat dilihat ketika kasus yang diungkap oleh KPK

mengenai korupsi politik Ratu Atut Chosiyah, Gubernur Banten yang

67
Haris, S. (2014) Masalah-Masalah Demokrasi dan Kebangsaan Era Reformasi. Jakarta,
Yayasan Pustaka Obor Indonesia, pp. 14-16.
68
Wijayanto. & Zachrie, R. (2013) Korupsi Mengorupsi Indonesia, pp. 492-494.

33
memanfaatkan perihal otonomi daerah sebagai ladang untuk memperkaya diri.69

Selain itu, praktik kolusi kedaerahan yang dapat dilihat ketika Pemerintah Daerah

dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) seringkali berkolaborasi untuk

menyalahgunakan kewenangan atas anggaran daerah.70 Ada pun praktik korupsi

politik dengan nuansa budaya feodalistik yakni dinastik politik yang

memanfaatkan situasi demokrasi, para elit membentuk basis dukungan dari

masyarkat daerah yang didasari oleh loyalitas tradisional, primordial, dan bahkan

material terhadap keluarga para elit yang telah dipersepsikan mereka merupakan

figur yang tepat untuk menjabat.71 Adanya dinasti politik tentunya memiliki

potensi untuk mendorong korupsi politik dalam bentuk monopoli kekuasaan dan

memanipulasi massa melalui modal kultural maupun material sehingga akses para

politisi baru semakin terbatas. Oleh karena itu kebijakan desentralisasi pada era

Reformasi dapat dinilai hanya sebagai perihal traumatis atas sistem sentralisasi

rezim sebelumnya karena dipersepsikan sebagai koruptif, memandanng korupsi

dapat dibungkam secara struktural namun karena menghiraukan aspek kultural

yang ada maka tidak ada jaminan perubahan struktur dapat mempengaruhi.

Meskipun demikian, elemen pemberantasan korupsi secara struktural di

era Reformasi dapat membedakan secara signifikan dibandingkan pada

pemerintah-pemerintah sebelumnya, melihat keberhasilan KPK dalam

mengungkap kasus-kasus korupsi dan pengawasan LSM yang semakin ketat.

Akan tetapi perubahan struktural pada era Reformasi dalam waktu singkat

69
Putsanra, D. V. (2017) Ratu Atut Divonis 5,5 Tahun Bui dalam Kasus Korupsi Alkes. Tersedia
di: https://tirto.id/ratu-atut-divonis-55-tahun-bui-dalam-kasus-korupsi-alkes-cs7U [Diakses pada
27 September 2018].
70
Haris, S. (2014) Masalah-Masalah Demokrasi dan Kebangsaan Era Reformasi, p. 295.
71
Anwari, P. (2017) Politik Dinasti Mengebiri Demokrasi. Tersedia di:
https://geotimes.co.id/opini/politik-dinasti-telah-mengebiri-demokrasi/ [Diakses pada 27
September 2018].

34
tentunya tidak bisa diharapkan secara instan dalam merubah kebudayaan politik

yang telah ada selama ratusan lamanya mengingat perubahan struktural mungkin

dapat menciptakan nilai dan norma baru namun hal tersebut membutuhkan waktu

yang cukup lama agar dapat tertanam dan mendefinisikan kembali moralitas para

elit/penguasa yang di mana perlu melewati proses sosialisasi politik. Namun, era

Reformasi dapat dikatakan sebagai babak baru dalam mewarisi budaya korupsi

politik Pemerintahan RI karena masih terdapat elemen budaya korupsi seperti

halnya feodalisme dan patrimonialisme, seakan-akan seperti Pemerintahan RI era

Reformasi akan mengalami hal yang sama seperti pada rezim-rezim sebelumnya.

Maka dari itu, seperti halnya yang terjadi pada rezim-rezim sebelumnya. pada era

Reformasi budaya korupsi politik para elit tetap bertransformasi karena

kecerdikan para elit dan dapat menyesuaikan diri secara sosiologis karena masih

banyak celah yang dapat dimanfaatkan dalam struktur politik era Reformasi.

35
BAB III

KESIMPULAN

Penelitian ini secara langsung memaparkan bahwasannya korupsi politik

merupakan budaya dan bahkan dapat dikatakan sebagai tradisi karena ada aspek

berupa warisan sejarah. Hal tersebut dibuktikan dengan adanya pengulangan

praktik korupsi politik secara konsisten dari masa ke masa khususnya pada

kalangan elit/penguasa dalam pemerintahan sehingga korupsi dianggap sebagai

kewajaran yang diterima di dalam pemerintahan. Budaya korupsi politik dapat

bertahan karena tidak ada perihal yang menghalangi secara kultural seperti halnya

budaya tradisional mendukung maupun secara struktural seperti halnya celah

dalam hukum negara.

Meskipun demikian, Pemerintahan RI pada era Reformasi telah berusaha

dengan merubah struktur politik sebagai kunci untuk meredam budaya korupsi

politik pemerintahan yang telah ada selama ratusan tahun, akan tetapi, terbukti

tidak menunjukkan hasil yang signifikan. Maka dari itu, budaya korupsi politik

berakar pada budaya politik para elit itu sendiri, lantas apakah budaya politik

memegang peranan yang lebih kuat dibandingkan struktur politik? Berdasarkan

penjelasan sebelumnya, dapat disepakati bahwasannya akar permasalahan budaya

politik para elit secara historis berada pada dominanya kebudayaan tradisional

feodal-patrimonial Jawa namun benarkah hanya korupsi pada elit di Indonesia

hanya ada pada aspek kebudayaan tradisional saja? Mengingat aspek kebudayaan

korupsi politik masa kini tidak hanya berakar pada elemen budaya tradisional

saja, melainkan juga pada kebudayaan baru yang diperkenalkan oleh Belanda.

36
Kebudayaan baru tersebut adalah budaya politik para penguasa yang

mendorongnya untuk memanipulasi struktur yang telah dirancang untuk meredam

sikap-sikap koruptif seperti halnya birokrasi dan hukum. Hal ini dapat dilihat

ketika pegawai VOC menggunakan wewenangnya untuk memungut harta diluar

ketentuan yang telah ditetapkan perusahaan, para Bupati Hindia-Belanda yang

menggelapkan hasil bumi di luar pengaturan cultuurstelsel, dan anggota legislatif

RI yang merancang undang-undang pelemahan institusi antikorupsi sebagai

bagian dari hak yang diberikan oleh konstitusi, semuanya melakukan

penyalahgunaan kuasa (melanggar kewenangan yang diberikan) dengan

memanipulasi hukum dan struktur untuk kepentingan pribadi. Hal ini tentunya

menarik karena tidak didasari oleh kebudayaan tradisional melainkan didasari

oleh masuknya kebudayaan baru dan masuknya struktur politik baru yang

dianggap dapat meredam sifat feodal-patrimonial lokal.

Selebihnya, kebudayaan baru tersebut tidaklah menghilangkan elemen

dalam budaya lokal melainkan hanya mengakomodasi dan mentransformasi

menjadi sesuatu yang dapat menjaga budaya korupsi politik secara efektif selama

ratusan tahun lamanya. Kebudayaan baru pun muncul bersamaan dengan struktur

politik baru yang di mana memberikan definisi moralitas baru yakni menjadikan

korupsi sebagai tindakan yang tidak bisa ditoleransi secara norma dan hukum.

Akan tetapi, munculnya definisi moralitas baru justru tidak dapat menghilangkan

tatanan budaya korupsi politik karena sifat budaya politik para elit/penguasa yang

tidak mengikuti struktur politik mengingat pola pikir penguasa merupakan entitas

yang ingin terus berkuasa dan pembatasan kuasa adalah hal yang pantas untuk

dihiraukan Maka dari itu dapat dikatakan sifat budaya korupsi politik pada elit di

37
Indonesia dari masa ke masa adalah transformatif dan adaptif terhadap aspek

struktural, yang di mana setiap ada celah dalam struktur maka budaya korupsi

akan terus bertahan dari generasi ke generasi.

Dari interpretasi tersebut, budaya korupsi politik dapat dikatakan tidak

selalu berakar pada kebudayaan politik tradisional melainkan berakar pada

kebudayaan politik dari kolonial. Lantas, pasca era Orde Baru Indonesia

memasuki babak sejarah modern, kebudayaan politik modern bermunculan di

tengah masyarakat Indonesia seperti halnya good governance yang didasari atas

trauma historis atas korupsi pada era Orde Baru yang terus dipersepsikan sebagai

tindakan yang sangat buruk (budaya antikorupsi). Lantas mungkinkah

kebudayaan politik modern ini akan menjaga budaya korupsi politik atau justru

menjaga? Hal ini layak dipertanyakan karena budaya politik modern yang dianut

oleh para elit di era Reformasi kini belum tertanam secara efektif karena elit yang

berkuasa sekarang merupakan elit-elit yang belum menerima atau menolak

kebudayaan politik modern tersebut. Menilai efektivitas pengaruh kebudayaan

politik modern terhadap para elit ini pun juga tidak bisa dilakukan terlalu cepat

dengan melihat tingginya tingkat korupsi di dalam pemerintahan Reformasi

seakan-akan budaya politik modern justru mentransformasi budaya korupsi

politik yang telah ada sebelumnya.

Mengingat pula bahwa proses sosialisasi politik atas nilai budaya

antikorupsi masih berjalan dan 20 tahun Reformasi masih relatif singkat

mengingat budaya bisa tertanam di dalam masyarakat dan kalangan elit apabila

terjadi selama ratusan tahun lamanya. Apabila sosialisasi politik telah dilakukan

sejak dini maka hal ini dapat menjadi kunci dalam membangun efektivitas budaya

38
antikorupsi. Mengutip dari pengecualian Pangeran Diponegoro sebagai entitas

yang antikorupsi, beliau mengalami sosialisasi politik sejak dini bukan bersumber

Keraton melainkan dari pedesaan yang mengajarkan kesederhanaan. Maka dari

itu, dapat dikatakan alasan mengapa bertahannya budaya korupsi politik pada

para elit dari masa ke masa bukan karena bertahannya struktur politik dan tradisi

melainkan berasal dari sosialisasi politik. Hal ini dapat dilihat ketika sosialisasi

politik antikorupsi hanya terjadi pada era Reformasi sedangkan pada masa-masa

sebelumnya tidak ada. Sosialisasi politik berupa penyebaran nilai antikorupsi

tentunya dapat membedakan aspek kebudayaan politik pada era Reformasi

dengan masa-masa sebelumnya yang tidak mengenal nilai-nilai antikorupsi

sebagai aspek penting dalam bermasyarakat.

Sosialisasi politik pun dapat dianggap sebagai pemutus tali warisan

budaya korupsi yang telah tertanam selama ratusan tahun di kalangan elit

mengingat argumen sebelumnya bahwasannya budaya patrimonial-feodal

dibiarkan saja dan diterima sebagai nilai-nilai tradisional maka dengan adanya

sosialisasi politik antikorupsi sejak dini maka akan ada pertentangan nilai dengan

nilai tradisional yang mendorong perilaku koruptif. Meskipun demikian,

sosialisasi politik tidak dapat menjamin hilangnya budaya korupsi politik karena

tatanan korupsi sebagai budaya sudah sangat kuat, seakan-akan telah menjadi

keseluruhan struktur politik Pemerintahan RI secara tidak langsung. Pada

akhirnya, dapat disimpulkan bahwa penelitian ini memberikan interpretasi

bahwasannya sejarah akan terus berulang dalam cangkupan budaya korupsi yang

terus bertransformasi dan beradaptasi di tengah perubahan rezim/pemerintahan.

Pengulangan sejarah tersebut digambarkan dengan kesamaan perilaku seorang

39
pegawai VOC pada abad ke-18 dengan pejabat Pemerintahan Daerah RI pada

tahun 2015, yang di mana keduanya menyalahgunakan wewenang yang diberikan

guna mempertahankan kuasa dan memenuhi keserakahan harta. Walaupun

berbeda secara waktu, namun pada intinya sama-sama melakukan praktik korupsi

politik ketika berada di dalam pemerintahan yang berkuasa di tempat yang sama

sehingga korupsi politik hanya bertransformasi, beradaptasi, dan karena itu pantas

untuk dikatakan sebagai suatu hal yang membudaya. Oleh karena itu,

memberantas budaya korupsi politik akan menjadi suatu tantangan berat karena

pemberantasan tidak bisa hanya bergantung pada perubahan struktural (fisik, atas

ke bawah) seperti halnya yang telah dilakukan oleh pemerintah-pemerintah

sebelumnya melainkan perlu membuat perubahan pada tingkat dimensi kultural

(imajiner, bawah ke atas) yang sebenarnya merupakan sumber utama dari

eksistensi budaya korupsi politik dalam dinamika Pemerintahan RI.

40
BIBLIOGRAFI

Acton, J. (1887) Letter to Bishop Mandell Creighton. Dalam: Figgis, J. N. & Laurence,
R. V. Historical Essays and Studies. London, Macmillan.
Alcazar, L. & Andrade, P. (2001) Diagnosis Corruption. Washington D. C., Inter-
American Development Bank.
Almond, G. A. (1956) Comparative Political System. Journal of Politics. XVIII.
Anderson, B. R. O. (1983) Old State New Society: Indonesia’s New Order in
Comparative Perspective. Journal of Asian Studies, 42 (3).
Anwari, P. (2017) Politik Dinasti Mengebiri Demokrasi. Tersedia di:
https://geotimes.co.id/opini/politik-dinasti-telah-mengebiri-demokrasi/
Argenti, G. & Istiningdias, D. S. (2017) Pemikiran Soekarno mengenai Demokrasi
Terpimpin. Jurnal Politikom Indonesiana, 2 (2).
Beittinger-Lee, V. (2009) (Un) Civil Society and Political Change in Indonesia: A
Contested Arena. London, Routledge.
Carey, P. (2016) Daendels dan Ruang Suci Jawa, 1808-1811. Dalam: Dalam: Carey, P.
Korupsi dalam Silang Sejarah Indonesia dari Daendels (1808-1811) sampai Era
Reformasi. Yogyakarta, Komunitas Bambu.
Carey, P. (2012) Kuasa Ramalan; Pangeran Diponegoro dan Akhir Tatanan Lama di
Jawa, 1785-1855. Jakarta, Kepustakaan Populer Gramedia.
Dekker, E. D. (Multatuli). (1860) Max Havelaar. Dalam: Soedarso, B. Latar Belakang
Sejarah dan Kultural Korupsi di Indonesia.
Emmerson, D. K. (1999) Indonesia Beyond Suharto. London, East Gate Book.
Geertz, C. (1972) The Politics of Meaning. Dalam: Holt, C. (1972). Culture and Politics
in Indonesia. Jakarta, Equinox Publishing.
Febari, R. (2015) Politik Pemberantasan Korupsi. Jakarta, Yayasan Pustaka Obor
Indonesia.
Hamzah, C. M. (2017) Kehendak Pemberantasan Korupsi. Dalam: Carey, P. Korupsi
dalam Silang Sejarah Indonesia dari Daendels (1808-1811) sampai Era
Reformasi.
Haris, S. (2014) Masalah-Masalah Demokrasi dan Kebangsaan Era Reformasi. Jakarta,
Yayasan Pustaka Obor Indonesia.
Heidenheimer, A. J. & Johnston, M. (2002) Political Corruption: Concepts and Contexts.
London, Transaction Publishers.
Heywood, P. M. (2014) Routledge Handbook of Political Corruption. Abingdon,
Routledge.
Higgot, R. & Robinson, R. (2013) Southeast Asia (Routledge Revivals): Essays in the
Political Economy of Structural Change. Abingdon, Routledge.
Houben, V. J. H. (1998) Keraton dan Kompeni: Surakarta dan Yogyakarta, 1830-1870.
Leiden, KITLV Press.
Indonesia Corruption Watch (ICW). Siapa Indonesia Corruption Watch?. Tersedia di:
https://antikorupsi.org/id/content/siapa-icw.
Katoppo, A. (2000) Sumitro Djojohadikusumo. Jejak Perlawanan Begawan Pejuang.
Jakarta, Pustaka Sinar Harapan.
Kartodirdjo, S. (1988) Beraeucracy and Aristocracy: The Indonesian Experience in
Modern Indonesia in the Nineteenth Century. Dalam: Kartodirdjo S. & Winks, R.
W. Modern Indonesia, Tradition and Transformation. Yogyakarta, Gadjah Mada
University Press.
Indrayana, D. (2017) Jangan Bunuh KPK. Sukabumi, Adamssein Media.
Leifer, M. (2001) Dictionary of the Modern Politics of Southeast Asia. London,
Routledge.

41
Lindsey, T. & Butt, S. (2018) Indonesian Law. Oxford, Oxford University Press.
Margana, S. (2016) Akar Historis Korupsi di Indonesia. Dalam: Carey, P. Korupsi dalam
Silang Sejarah Indonesia dari Daendels (1808-1811) sampai Era Reformasi.
Yogyakarta, Komunitas Bambu.
Marihandono, D. (2011) Daendels, Napoleon Kecil di Tana Jawa. Dalam: Majalah
Historia. Reformasi atas Nama Revolusi. 23 (Tahun II).
Marijan, K. (1999) The Study of Political Culture in Indonesia. Masyarakat Kebudayaan
dan Politik. 9 (2).
Maharso. & Sujarwadi, T. (2018) Fenomena Korupsi dari Sudut Pandang Epidemiologi.
Yogyakarta, Deepublish.
McLeod, R. H. & Macintyre, A. (2007) Indonesia: Democracy and the Promise of Good
Governance. Singapura, Institute of Southeast Asian Studies (ISEAS).
Muhaimin, Y. A. (1990) Bisnis dan Politik. Jakarta, LP3ES.
Nasution, A. D. (2010) Demokrasi konstitusional: pikiran & gagasan. Jakarta, Kompas.
Noer, D. (1990) Mohammad Hata: Biografi Politik. Jakarta, Lembaga Penelitian,
Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial.
Nasruddin, A. (2008) Neo Patriotisme: Etika Kekuasaan dalam Kebudayaan Jawa.
Yogyakarta, LKIS Yogyakarta.
Pamungkas, S. (2014) Ganti Rezim Ganti Sistim - Pergulatan Menguasai Nusantara.
Jakarta, El Bisma.
Parsons, T. (1951) The Social System. New York, Free Press.
Pradiptyo, R. (2016) Korupsi Struktural. Dalam: Carey, P. (2016) Korupsi dalam Silang
Sejarah Indonesia dari Daendels (1808-1811) sampai Era Reformasi,
Yogyakarta, Komunitas Bambu.
Putsanra, D. V. (2017) Ratu Atut Divonis 5,5 Tahun Bui dalam Kasus Korupsi Alkes.
Tersedia di: https://tirto.id/ratu-atut-divonis-55-tahun-bui-dalam-kasus-korupsi-
alkes-cs7U.
Pye, L. W. & Verba, S. (1965). Political Culture and Political Development. Princeton,
Princeton University Press.
Raffles, S. T. (1817) The History of Java: Complete Volume. London, Black Parburry
and Allen.
Reisenhuber, E. (2001) The International Monetary Fund Under Constraint: Legitimacy
of Its Crisis Management. The Hague, Kluwer Law International.
Sardesai, D. R. (2013) Southeast Asia: Past and Present. New York, Westview Press.
Siahaan, M. (2014) Perjalanan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Jakarta, Elex
Media Komputindo.
Sluimers, L. (1996) The Japanese Military and Indonesian Independence. Journal of
Southeast Asian Studies, 27 (1).
Smith, T. M. (1971) Corruption, Tradition, and Change, Indonesia, 11.
Soedarso, B. (2009) Latar Belakang Sejarah dan Kultural Korupsi di Indonesia. Jakarta,
Penerbit Universitas Indonesia.
Trisulistyono, S. (2013) Pergulatan Ideologi di Seputar Krisis Nasional 1965. Dalam:
Abdullah, T. Malam Bencana 1965: Dalam Belitan Krisis Nasional Bagian 3
Berakhir dan Bermula. Jakarta, Yayasan Pustaka Obor Indonesia.
Van Zanden, J. L. & Marks, D. (2012) An Economic History of Indonesia: 1800-2010.
London, Routledge.
Vickers, A. (2005) A History of Modern Indonesia. Cambridge, Cambridge University
Press.
Wijaya, L. D. (2018) Kasus Korupsi Tahun 2017, ICW: Kerugian Negara Rp 6,5 Triliun.
Tersedia di: https://nasional.tempo.co/read/1062534/kasus-korupsi-tahun-2017-
icw-kerugian-negara-rp-65-triliun.

42
Wijayanto. & Zachrie, R. (2013) Korupsi Mengorupsi Indonesia. Jakarta, Gramedia
Pustaka Utama.
Winarno, B. (2007) Sistem Politik Indonesia Era Reformasi. Yogyakarta, Medpress.

43

View publication stats

Anda mungkin juga menyukai