Anda di halaman 1dari 6

TATALAKSANA

1. Umum
Pasien sebaiknya ditempatkan di ruang perawatan yang sunyi dan dihindarkan
dari stimulasi taktil ataupun auditorik.

2. Netralisasi toksin yang tidak terikat


Penatalaksanaan khusus tetanus terdiri dari pemberian ATS atau Human
tetanus Imunoglobulin (HTIG) dan antibiotika. Tujuan pemberian ATS dan HTIG
adalah untuk menetralisasi toksin yang beredar di dalam darah dan dapat juga
diberikan sebagai profilaksis. Antitoksin tetanus intramuskuler (IM) dengan dosis
human tetanus immunoglobulin (TIG) 3.000-10.000 U dibagi tiga dosis yang
sama, diinjeksikan di tiga tempat berbeda. Rekomendasi British National
Formulary ialah 5.000-10.000 unit intravena. Untuk bayi, dosisnya adalah 500 IU
intramuskular dosis tunggal. Sebagian dosis diberikan secara infi ltrasi di tempat
sekitar luka; hanya dibutuhkan sekali pengobatan karena waktu paruhnya 25-30
hari. Makin cepat pengobatan diberikan, makin efektif. Kontraindikasi HTIG
adalah riwayat hipersensitivitas terhadap imunoglobulin atau komponen human
immunoglobulin sebelumnya; trombositopenia berat atau keadaan koagulasi lain
yang dapat merupakan kontraindikasi pemberian intra muskular. Bila tidak
tersedia maka digunakan ATS dengan dosis 100.000- 200.000 unit diberikan
50.000 unit intramuskular dan 50.000 unit intravena pada hari pertama,
kemudian 60.000 unit dan 40.000 unit intramuskuler masing-masing pada hari
kedua dan ketiga. Antitoksin diberikan untuk menginaktivasi toksin tetanus
bebas, sedangkan toksin yang sudah berada di saraf terminal tidak dapat
ditangani dengan antitoksin. Oleh karena itu, gejala otot dapat tetap berkembang
karena toksin tetanus berjalan melalui akson dan trans-sinaps serta memecah
VAMP. Selain itu, dapat ditambahkan vaksin tetanus toksoid (TT) 0,5 ml. IM.
Pasien yang tidak memiliki riwayat vaksinasi sebaiknya mendapat dosis kedua
1-2 bulan setelah dosis pertama dan dosis ketiga 6-12 bulan setelahnya.
3. Antibiotik
Antibiotika diberikan untuk mengeradikasi bakteri, sedangkan efek untuk tujuan
pencegahan tetanus secara klinis adalah minimal. Pada penelitian di Indonesia,
metronidazole telah menjadi terapi pilihan di beberapa pelayanan kesehatan.
Metronidazole diberikan secara iv dengan dosis inisial 15 mg/kgBB dilanjutkan
dosis 30 mg/kgBB/hari setiap 6 jam selama 7-10 hari. Metronidazole efektif
mengurangijumlah kuman C. tetani bentuk vegetatif. Sebagai lini kedua dapat
diberikan penicillin procain 50.000-100.000 U/kgBB/hari selama 7-10 hari, jika
hipersensitif terhadap penicillin dapat diberi tetracycline 50 mg/kgBB/hari (untuk
anak berumur lebih dari 8 tahun). Penicillin membunuh bentuk vegetatif C.
tetani. Sampai saat ini, pemberian penicillin G 100.000 U/kgBB/hari iv, setiap 6
jam selama 10 hari direkomendasikan pada semua kasus tetanus. Sebuah
penelitian menyatakan bahwa penicillin mungkin berperan sebagai agonis
terhadap tetanospasmin dengan menghambat pelepasan asam aminobutirat
gama (GABA).
4. Kontrol Spasme Otot
Spasme otot dan rigiditas diatasi secara efektif dengan sedasi. Pasien tersedasi
lebih sedikit dipengaruhi oleh stimulus perifer dan kecil kemungkinannya
mengalami spasme otot. Diazepam efektif mengatasi spasme dan hipertonisitas
tanpa menekan pusat kortikal. Dosis diazepam yang direkomendasikan adalah
0,1-0,3 mg/kgBB/ kali dengan interval 2-4 jam sesuai gejala klinis, dosis yang
direkomendasikan untuk usia <2 tahun adalah 8 mg/kgBB/hari oral dalam dosis
2-3 mg setiap 3 jam. Spasme harus segera dihentikan dengan diazepam 5 mg
per rektal untuk berat badan <10 kg dan 10 mg per rektal untuk anak dengan
berat badan ≥10 kg, atau diazepam intravena untuk anak 0,3 mg/kgBB/kali.
Setelah spasme berhenti, pemberian diazepam dilanjutkan dengan dosis
rumatan sesuai keadaan klinis. Alternatif lain, untuk bayi (tetanus neonatorum)
diberikan dosis awitan 0,1-0,2 mg/kgBB iv untuk menghilangkan spasme akut,
diikuti infus tetesan tetap 15-40 mg/ kgBB/hari. Setelah 5-7 hari dosis diazepam
diturunkan bertahap 5-10 mg/hari dan dapat diberikan melalui pipa orogastrik.
Dosis maksimal adalah 40 mg/kgBB/hari. Tanda klinis membaik bila tidak
dijumpai spasme spontan, badan masih kaku, kesadaran membaik (tidak koma),
tidak dijumpai gangguan pernapasan. Tambahan efek sedasi bisa didapat dari
barbiturate khususnya phenobarbital dan phenotiazine seperti chlorpromazine,
penggunaannya dapat menguntungkan pasien dengan gangguan otonom.
Phenobarbital diberikan dengan dosis 120-200 mg intravena, dan diazepam
dapat ditambahkan terpisah dengan dosis sampai 120 mg/hari. Chlorpromazine
diberikan setiap 4-8 jam dengan dosis dari 4-12 mg bagi bayi sampai 50-150 mg
bagi dewasa. Morphine bisa memiliki efek sama dan biasanya digunakan
sebagai tambahan sedasi benzodiazepine.
5. Kontrol Instabilitas Otonom
Instabilitas otonom sulit diobati. Fluktuasi tekanan darah membutuhkan obat-
obat dengan waktu paruh singkat. Terapi konvensional terdiri dari sedasi dalam
sebagai terapi lini pertama, menggunakan benzodiazepine dosis besar,
morphine, dan/atau chlorpromazine. Saat ini, magnesium sulfat intravena dicoba
untuk mengendalikan spasme dan disfungsi otonom; dosis loading 5 g (atau 75
mg/kg) IV dilanjutkan 1 sampai 3 g/jam sampai spasme terkontrol telah
digunakan untuk mendapatkan konsentrasi serum 2 sampai 4 mmol/L. Untuk
menghindari overdosis, dimonitor refl ek patella. Beta blocker dapat
menyebabkan hipotensi berat. Episode hipotensi yang tidak membaik dengan
penambahan volume intravaskular membutuhkan inotropik. Atropin dosis tinggi,
lebih dari 100 mg/jam, telah dianjurkan pada keadaan bradikardia. Tidak ada
regimen terapi yang dipercaya efektif secara universal untuk instabilitas otonom.
6. Kontrol Saluran Napas
Penanganan jalan napas merupakan prioritas. Spasme otot, spasme laring,
aspirasi, atau dosis besar sedatif semuanya dapat mengganggu respirasi.
Sekresi bronkus yang berlebihan memerlukan tindakan suctioning yang sering.
Trakeostomi ditujukan untuk menjaga jalan nafas terutama jika ada opistotonus
dan keterlibatan otot-otot punggung, dada, atau distres pernapasan. Kematian
akibat spasme laring mendadak, paralisis diafragma, dan kontraksi otot respirasi
tidak adekuat sering terjadi jika tidak tersedia akses ventilator.
7. Cairan dan nutrisi yang adekuat
Tetanus terbukti secara klinis dan biokimia menyebabkan aktivitas simpatis
berlebihan dan katabolisme protein sehingga pemeliharaan nutrisi sangat
diperlukan. Nutrisi buruk dan penurunan berat badan terjadi cepat karena
disfagia, gangguan fungsi gastrointestinal dan peningkatan metabolisme,
menurunkan daya tahan tubuh sehingga memperburuk prognosis. Nutrisi
parenteral total mengandung glukosa hipertonis dan insulin dalam jumlah cukup
untuk mengendalikan kadar gula darah, dapat menekan katabolisme protein.
Formula asam amino sangat membantu membatasi katabolisme protein. Pada
hari pertama perlu pemberian cairan secara intravena sekaligus pemberian obat-
obatan, dan bila sampai hari ke-3 infus belum dapat dilepas sebaiknya
dipertimbangkan pemberian nutrisi secara parenteral. Setelah spasme mereda
dapat dipasang sonde lambung untuk makanan dan obat-obatan dengan
perhatian khusus pada risiko aspirasi.

Komplikasi
a. Saluran pernapasan
Dapat terjadi asfiksia, aspirasi pneumonia, atelektasis akibat obstruksi oleh
sekret, pneumotoraks dan mediastinal emfisema biasanya terjadi akibat
dilakukannya trakeostomi.
b. Kardiovaskuler
Komplikasi berupa aktivitas simpatis yang meningkat antara lain berupa
takiardia, hipertensi, vasokonstriksi perifer dan rangsangan miokardium.
c. Tulang dan otot
Pada otot karena spasme yang berkepanjangan bisa terjadi perdarahan
dalam otot. Pada tulang dapat terjadi fraktura kolumna vertebralis akibat
kejang yang terus-menerus terutama pada anak dan orang dewasa.
Beberapa peneliti melaporkan juga dapat terjadi miositis ossifikans
sirkumskripta.
d. Komplikasi yang lain
Laserasi lidah akibat kejang, dekubitus karena penderita berbaring dalam
satu posisi saja, panas yang tinggi karena infeksi sekunder atau toksin yang
menyebar luas dan mengganggu pusat pengatur suhu.

Pencegahan
Pencegahan terdiri atas 3 aspek yaitu: imunisasi, perawatan luka, dan pemberian
ATS/HTIG profilaksis. Peranan imunisasi sangatlah penting dalam memberikan
proteksi pada infeksi tetanus. Pencegahan sangat penting, mengingat perawatan
kasus tetanus sulit dan mahal. Untuk pencegahan, perlu dilakukan:
1. Imunisasi aktif
Imunisasi dengan toksoid tetanus (TT) merupakan salah satu pencegahan
yang sangat efektif. Angka kegagalannya relatif rendah. TT pertama kali
diproduksi pada tahun 1924. Imunisasi TT digunakan secara luas pada militer
selama perang dunia II. Terdapat dua jenis TT yang tersedia, adsorbed
(aluminium salt precipitated) toxoid dan fluid toxoid. TT tersedia dalam
kemasan antigen tunggal, atau dikombinasi dengan toksoid difteri sebagai DT
atau dengan toksoid difteri dan vaksin pertusis aselular sebagai DaPT.
Kombinasi toksoid difteri dan tetanus (DT) yang mengandung 10-12 Lf dapat
diberikan pada anak yang memiliki kontraindikasi terhadap vaksin pertusis.
Jenis imunisasi tergantung dari golongan umur dan jenis kelamin. Untuk
mencegah tetanus neonatorum, salah satu pencegahan adalah dengan
pemberian imunisasi TT pada wanita usia subur (WUS). Oleh karena itu,
setiap WUS yang berkunjung ke fasilitas pelayanan kesehatan harus selalu
ditanyakan status imunisasi TT mereka dan bila diketahui yang bersangkutan
belum mendapatkan imunisasi TT harus diberi imunisasi TT minimal 2 kali
dengan jadwal sebagai berikut: dosis pertama diberikan segera pada saat
WUS kontak dengan pelayanan kesehatan atau sendini mungkin saat yang
bersangkutan hamil, dosis kedua diberikan 4 minggu setelah dosis pertama.
Dosis ketiga dapat diberikan 6 - 12 bulan setelah dosis kedua atau setiap saat
pada kehamilan berikutnya. Dosis tambahan sebanyak dua dosis dengan
interval satu tahun dapat diberikan pada saat WUS tersebut kontak dengan
fasilitas pelayanan kesehatan atau diberikan pada saat kehamilan berikutnya.
Total 5 dosis TT yang diterima oleh WUS akan memberi perlindungan seumur
hidup. WUS yang riwayat imunisasinya telah memperoleh 3 - 4 dosis DPT
pada waktu anak-anak, cukup diberikan 2 dosis TT pada saat kehamilan
pertama, ini akan memberi perlindungan terhadap seluruh bayi yang akan
dilahirkan.
2. Perawatan luka
Perawatan luka harus segera dilakukan terutama pada luka tusuk, luka kotor
atau luka yang diduga tercemar dengan spora tetanus. Perawatan luka
dilakukan guna mencegah timbulnya jaringan anaerob. Jaringan nekrotik dan
benda asing harus dibuang. Untuk pencegahan kasus tetanus neonatorum
sangat bergantung pada penghindaran persalinan yang tidak aman, aborsi
serta perawatan tali pusat selain dari imunisasi ibu. Pada perawatan tali
pusat, penting diperhatikan adalah jangan membungkus punting tali
pusat/mengoleskan cairan/bahan apapun ke dalam punting tali pusat,
mengoleskan alkohol/povidon iodine masih diperkenankan tetapi tidak
dikompreskan karena menyebabkan tali pusat lembab.
3. Pemberian ATS dan HTIG profilaksis
Profilaksis dengan pemberian ATS hanya efektif pada luka baru (< 6 jam) dan
harus segera dilanjutkan dengan imunisasi aktif. Dosis ATS profilaksis 3000
IU. HTIG juga dapat diberikan sebagai profilaksis luka. Dosis untuk anak < 7
tahun: 4 IU/kg IM dosis tunggal, sedangkan dosis untuk anak ≥ 7 tahun: 250
IU IM dosis tunggal.

Anda mungkin juga menyukai