Anda di halaman 1dari 40

MAKALAH

KEPERAWATAN PALIATIF
” TINJAUAN BIOPSIKOLOGIS, AGAMA DAN SOSIAL BUDAYA PERAWATAN
PALIATIF “

Dosen Pengampu:
Daryanto, S.KP, M.Kep
Disusun Oleh Kelompok 1 :
1. Regina.S.Turnip ( PO.71.20.1.18.0026 )
2. Diah Ayu Anjani ( PO.71.20.1.18.0006 )
3. Aquardo Leovalentino S ( PO.71.20.1.18.0004 )
4. Putrision Simamora ( PO.71.20.1.18.0024 )
5. Yuliana Saputri ( PO.71.20.1.18.0038 )
6. Yuliza ( PO.71.20.1.18.0039 )
7. Syafiva Sunnahwiyah ( PO.71.20.1.18.0033 )
8. Muhammad Rasyid Ridha ( PO.71.20.1.18.0018 )

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES JAMBI


PRODI SARJANA TERAPAN KEPERAWATAN
TAHUN AJARAN 2020/2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa , karena berkat rahmat serta
hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan makalah dengan judul “TINJAUAN
BIOPSIKOLOGIS, AGAMA DAN SOSIAL BUDAYA PERAWATAN PALIATIF” dalam
rangka untuk memenuhi tugas mata kuliah Keperawatan Paliatif. Meskipun banyak hambatan
dan kendala dalam proses pengerjaannya, tetapi kami berhasil menyelesaikan makalah ini tepat
pada waktunya.
Tidak lupa kami sampaikan Terimakasih atas bantuan dari banyak pihak yang telah ikut
serta dalam pengerjaan makalah ini. Kami juga mengucapkan Terimakasih kepada Dosen bidang
study Keperawatan Paliatif yang telah membantu dan membimbing kami dalam mengerjakan
Makalah ini, serta tidak terlepas juga kami mengucapkan Terimakasih kepada orang tua yang
telah memberikan segala fasilitas dan sarana untuk pengerjaan makalah ini.
Kami menyadari bahwa pada makalah ini masih terdapat banyak kekurangan mengingat
keterbatasan kemampuan kami. Oleh sebab itu, kami sangat mengharapkan adanya kritik dan
saran yang membangun dari pembaca sebagai masukan bagi kami. Akhir kata kami berharap
karya tulis ini dapat bermanfaat bagi pembaca pada umumnya dan kami sebagai penulis pada
khususnya. Atas segala perhatiannya kami mengucapkan terima kasih.

Jambi, 11 Agustus 2020

Penulis
DAFTAR ISI
Halaman Judul .........................................................................................................
Kata Pengantar ........................................................................................................
Daftar Isi ...................................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN .........................................................................................
1.1 Latar Belakang .....................................................................................................
1.2 Tujuan Makalah ..................................................................................................
1.3 Rumusan Masalah ...............................................................................................
1.4 Manfaat Makalah .................................................................................................
BAB II TINJAUAN TEORI ....................................................................................
2.1 Pengertian Perawatan Paliatif ..............................................................................
2.2 Pengkajian Fisik dan Psikologis dalam Perawatan Paliatif .................................
2.3 Tinjauan Agama Tentang Perawatan Paliatif ......................................................
2.4 Tinjauan Social Budaya Terhadap Perawatan Paliatif ........................................
2.5 Penerapan Kasus Pada Pasien
Paliatif ............................................................... BABIII
PENUTUP .................................................................................................. 3.1
Kesimpulan ..........................................................................................................
3.2
Saran ....................................................................................................................
DAFTARPUSTAKA ...............................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar belakang


Palliative Care adalah suatu perawatan kesehatan terpadu yang menyeluruh dengan
pendekatan multidisiplin yang terintegrasi. Tujuannya adalah untuk mengurangi penderitaan
pasien, memperpanjang umurnya, meningkatkan kualitas hidupnya, dan juga memberikan
support kepada keluarganya. Dari definisi tersebut didapatkan bahwasannya salah satu tujuan
dasar dari palliative care adalah mengurangi penderitaan pasien yang termasuk didalamnya
adalah menghilangkan nyeri yang diderita oleh pasien tersebut.
Terdapat banyak alasan mengapa pasien dengan penyakit stadium lanjut tidak mendapatkan
perawatan yang memadai, namun semua alasan itu pada akhirnya berakar pada konsep terapi
yang eksklusif dalam menyembuhkan penyakit daripada meningkatkan kualitas hidup dan
mengurangi penderitaan. Itulah mengapa, seringkali keputusan untuk mengambil tindakan
paliatif baru dilakukan setelah segala usaha penyembuhan penyakit ternyata tidak efektif.
Padahal seharusnya, palliative care dilakukan secara integral dengan perawatan kuratif dan
rehabilitasi baik pada fase dini maupun lanjut.
Seiring dengan berkembangnya bidang ilmu ini, ruang lingkup dari palliative care yang
dulunya hanya terfokus pada memberikan kenyamanan bagi penderita, sekarang telah meluas
menjadi perawatan holistik yang mencakup aspek fisik, sosial, psikologis, dan spiritual.
Perubahan perspektif ini dikarenakan semakin hari semakin banyak pasien yang menderita
penyakit kronis sehingga tuntutan untuk suatu perkembangan adalah mutlak adanya. Oleh karena
itu pada kesempatan ini penulis membuat makalah tentang Palliative Care untuk mengulas materi
tersebut lebih dalam.

1.2. Tujuan Makalah


Adapun tujuan dari makalah ini adalah :
1.2.1 Tujuan Umum
Untuk mengetahui Pengkajian Fisik dan Psikologis, Tinjauan Agama tentang perawatan
Paliatif dan Tinjauan sosial budaya tentang perawatan paliatif

1.2.2 Tujuan Khusus


a. Mengetahui pengkajian Fisik Dan Psikologis
b. Memahami Tinjauan Agama Tentang Perawatan Paliatif,
c. Memahami Tinjauan Social Budaya Terhadap Perawatan Paliatif
d. Memahami Penerapan Kasus

1.3. Rumusan masalah


Adapun rumusan masalah pada makalah ini adalah :
a. Bagaimana pengkajian Fisik Dan Psikologis?
b. Bagaimana Tinjauan Agama Tentang Perawatan Paliatif, ?
c. Bagaimana Tinjauan Social Budaya Terhadap Perawatan Paliatif?
d. Bagaimana Penerapan Kasus pada Perawatan Paliatif ?

1.4 Manfaat Makalah


Adapun manfaat dari makalah ini adalah :
1. Bagi Penulis.
Sebagai peningkatan keterampilan dalam mengorganisasi dan menyajikan data dan fakta
secara jelas dan sistematis, juga budaya akademik dipendidikan perkuliahan baik pada
mahasiswa, dosen, dll.
2. Bagi Pembaca.
Sebagai pengetahuan, pemahaman dan penguasaan tentang kajian kepustakaan untuk
mengimplementasikan penulisan makalah tentang ilmu keperawatan paliatif.
3. Bagi Mahasiswa.
Sebagai hasil dari sebuah penelitian yang sangat diharapkan agar bisa mengembangkan
hasil belajar dalam ilmu keperawatan paliatif.
4. Bagi Dosen.
Sebagai sebuah penerapan dari sebuah media papan lembar dalam pembelajaran yang
bisa mencukupi semua kebutuhan materi mahasiswa/i dalam proses belajar dengan lebih
mudah dan bermanfaat.
BAB II
TINJAUAN TEORI

2.1 Pengertian Perawatan Paliatif


Perawatan Paliatif adalah semua tindakan aktif guna meringankan beban pasien terutama
yang tidak dapat disembuhkan. Tindakan aktif yang dimaksud ialah antara lain menghilangkan
nyeri dan keluhan lain,serta perbaikan dalam bidang psikologis, sosial dan spiritual. Perawatan
ini tidak saja diberikan kepada pasien yang tidak dapat disembuhkan tetapi juga pasien yang
mempunyai harapan untuk sembuh bersama-sama dengan tindakan kuratif (Departemen
Kesehatan [Depkes] RI, 1997).

2.2 Pengkajian Fisik dan Psikologis dalam Perawatan Paliatif


Pemeriksaan fisik dilakukan mulai dari kepala sampai kaki dengan melihat segala kelainan
dan ketidaknormalan yang ada pada tubuh pasien adapun tehnik yang digunakan dalam
melakukan pemeriksaan adalah sebagai contoh berikut ini :
Pemeriksaan fisik dan psikologis pasien terminal. Contoh penyakit HIV

1) PEMERIKSAAN FISIK
A. Pengkajian
1. Identitas Klien : Nama, Umur, No Reg, Ruang, Agama, Pekerjaan, Alamat, Suku
Bangsa, Pendidikan, MRS, DX Medis
2. Keluhan Utama :
Saat MRS : Klien dibawa ke rumah sakit dengan keluhan
diare dan demam tinggi.
Saat pengkajian : Klien mengatakan badan terasa lemah, dan
tidak mampu melakukan aktifitas.
3. Riwayat Penyakit Sekarang: Apakah klien mengalami diare, nafsu makan menurun, dan
kesulitan menelan (disfagia), demam, kelelahan dan mengeluhkan badan terasa lemah.
4. Riwayat Penyakit Dahulu: apakah mengalami diare tak terkontrol tanpa merasakan sakit
perut, penyebabnya tidak diketahui, dengan faktor yang memperberat adalah bergerak
sehingga usaha yang dilakukan adalah diam, demam tinggi, diare disertai darah, apakah
pernah mengkonsumsi obat-obatan terlarang.
5. Riwayat Kesehatan Keluarga
6. Riwayat Psikososial
a. Persepsi Klien Terhadap Masalah
Apakah pasien mengatakan bahwa penyakitnya ini merupakan masalah yang
mengkhawatirkan, ekspresi wajah terlihat lemah dan badannya terlihat lemas.
7. Pola Kesehatan Sehari-hari Selama Di Rumah dan RS
a. Pola Nutrisi dan Metabolisme
Di Rumah : makan 3x/hari. Minum air putih 8 gelas/hari
Di Rumah Sakit : saat pengkajian klien menunjukkan gejala anoreksia dan kesulitan
menelan atau tidak, terjadi perubahan nafsu makan Pola Eliminasi
1) Kebiasaan Devekasi Sehari-hari
Di Rumah : jumlah, warna, bau, disertai darah ataupun nanah Di
Rumah Sakit :
2) Kebiasaan Miksi
Di Rumah : warna, bau, adakah kesulitan BAK
Di Rumah Sakit : klien BAK dengan alat bantu atau tidak.
b. Pola Tidur dan Istirahat
Dirumah Klien : jumlah jam tidur, apakah mengalami gangguan tidur
Di Rumah Sakit : jumlah jam tidur, apakah mengalami gangguan tidur c.
Pola Aktivitas
Di rumah : klien beraktifitas secara mandiri tanpa bantuan orang lain apakah
memiliki kebiasaan olah raga
Di rumah sakit : apakah klien mendapatkan bantuan dari orang lein ketika akan
melakukan aktivitas
d. Pola Reproduksi dan Seksual
Usia, anak, riwayat penggunaan kontrasepsi
8. Pemeriksaan Fisik
a. Keadaan umum : apakah klien lemah, terpasang infus atau tidak
Keadaan sakit : Klien sering mengeluh lemas, sakit, tidak nyaman, dll.
Tekanan darah : mengalami penurunan
Nadi : mengalami penurunan
Respirasi : 12-24 x/menit
Bising Usus : 6-12 x/menit
Suhu 37,5-38,5˚C
Tinggi badan :
Berat badan : menurun
b. Review of System (ROS)
(1) Kepala : Posisi kepala, bentuk kepala, warna rambut, distribusi rambut, apakah
terlihat bayangan pembuluh darah, apakah terdapat luka, tumor, edema, ketombe,
dan bau.
• Mata : tidak terdapat vesikel, tidak ada masa, nyeri tekan, dan penurunan
penglihatan, konjungtiva anemis.
• Hidung : apakah terdapat sekret, dan lesi
• Mulut : apakah terdapat lesi, gigi ada yang tanggal, membran mukosa
kering, apakah ada bercak-bercak keputihan pada lidah, dan halitosis.
• Telinga : apakah ada nyeri tekan, dan luka
(2) Leher : apakah trakea simetris, adakah pembesaran kelenjar tiroid dan vena
jugularis, nyeri tekan.
(3) Thoraks : dilihat bentuk, apakah terdapat masa, dan otot bantu napas
• Paru : bentuk dada simetris, tidak terdapat retraksi interkosta, ekspansi
kanan dan kiri sama, perkusi paru didapat suara sonor di seluruh lapang
paru, batas paru hepar dan jantung redup,
• Jantung : ictus cordis terlihat di mid-clavicula line sinistra ICS 5,
(4) Ketiak dan Payudara : apakah didapatkan pembesaran kelenjar limfe dan benjolan,
keadaan puting dan areola
(5) Abdomen : bentuk simetris atau tidak, adakah nyeri tekan, apakah ada benjolan,
tanda pembesaran hepar, tidak didapati asites, dan hasil perkusi didapat suara
timpani,
(6) Genetalia : Tn. T adalah klien laki-laki,
• Penis ; klien di sirkumsisi, gland penis terdapat bercak, pada batang penis
ada tanda jamur, tidak ada tanda herpes, ada lesi.
• Skrotum ; tidak ada lesi, tidak ada tanda jamur, tidak ada tanda herpes
• Uretra ; tidak terdapat kelainan, tidak ada lesi
(7) Anus dan Rektum : tidak ada abses, hemoroid, apakah pada rektum didapati
lendir, darah, atau nanah.
(8) Ekstremitas : kekuatan otot menurun, terdapat oedema, tampak tanda atropi
(9) Integumen : warna, tekstur kering, terdapat kemerahan pada area, turgor
buruk, terdapat tanda sianosis, akral dingin, capillary refill time >3 detik, ada
tanda inflamasi pada kuku
(10) Status Neurologis
a) Tingkat kesadaran : Kompos Mentis
b) Tanda–tanda perangsangan otak
1) Pusing
2) Suhu tubuh 37,8o C
c) Uji saraf kranial
NI : Klien tidak dapat membau dengan baik
N II : Klien dapat melihat dengan jelas
N III : Klien dapat menggerakkan bola mata
N IV : Klien dapat melihat gerakan tangan perawat baik ke samping kiri
ke kanan.
NV : Klien dapat menggerakan rahang
N VI : Klien dapat menggerakan mata kesamping
N VII : Klien dapat merasakan pahit, manis, asam, dan manis
N VIII : Klien dapat mendengarkan degan baik
N IX : Klien dapat berbicara
NX : Klien dapat mengangkat bahu
N XI : Klien dapat berbicara dengan baik
N XII : Klien dapat menggerakan lidah dan dapat berbicara dengan baik
d) Funsi Motorik
Tidak ada gerakan yang tidak disadari klien, klien mampu bergerak tanpa
perintah.
e) Fungsi Sensorik
Klien tidak merasakan usapan kapas pada area maksilaris, dapat merasakan
benda tajam, tidak dapat merasakan hangat, panas, dan dingin.
f) Refleks Pantologis
Reflek babinsky negatif, reflek cadlok negatif, reflek Gordon negatif.
9. Pemeriksaan Penunjang
a) Hasil Test Enzime Linked Sorbent Assay (ELISA) : dari hasil test ELISA yang
dilakukan, menunjukkan hasil bahwa Tn. T Positif dibuktikan dengan antibodi dalam
serum mengikat antigen virus murni di dalam enzyme-linked antihuman globulin.
b) Hasil Test Western Blot : Positif
c) P24 Antigen Test : Positif
d) Kultur HIV : Positif, dengan kadar antigen P24
Meningkat

2) Pengkajian Psikologis
Reaksi Proses psikologis Hal-hal yang biasa di jumpai
Reaksi Proses Psikologis Hal-hal yang biasa
dijumpai

Shock (kaget, goncangan Merasa bersalah, marah, Rasa takut, hilang akal,
batin) tidak berdaya frustasi, rasa sedih,
susahm acting out.

Mengucilkan diri Merasa cacat dan tidak Khawatir


berguna, menutup diri menginfeksi orang
lain, murung
Membuka status secara Ingin tahu reaksi orang Penolakan, stress,
terbatas lain, pengalihan stress,
konfrontasi
ingin dicintai

Mencari orang lain yang Berbagi rasa, pengenalan, Ketergantungan, campur


HIV positif kepercayaan, penguatan, tangan, tidak percaya
dukungan social pada pemegang rahasia
dirinya.

Status khusus Perubahan keterasingan Ketergantungan,


menjadi manfaat khusus, dikotomi kita dan mereka
perbedaan menjadi hal (semua orang dilihat
yang istimewa, sebagai terinfeksi HIV
dibutuhkan oleh dan direspon seperti itu),
yang lainnya. over identification.

Perilaku mementingkan Komitmen dan kesatuan Pemadaman, reaksi dan


orang lain kelompok, kepuasan kompensasi yang
memberi dan berbagi berlebihan
perasaan sebagai
kelompok
Penerimaan Integrasi status positive Apatis, sulit berubah
HIV dengan identitas
diri, keseimbangan antara
kepentingan orang lain
dengan diri sendiri, bisa
menyebutkan kondisi
seseorang

Respon Psikologis (penerimaan diri) terhadap Penyakit ada lima tahap reaksi emosi
seseorang terhadap penyakit, yaitu :
1. Pengingkaran (denial) Pada tahap pertama pasien menunjukkan karakteristik perilaku
pengingkaran, mereka gagal memahami dan mengalami makna rasional dan dampak
emosional dari diagnosa. Pengingkaran ini dapat disebabkan karena ketidaktahuan
pasien terhadap sakitnya atau sudah mengetahuinya dan mengancam dirinya.
Pengingkaran dapat dinilai dari ucapan pasien “saya di sini istirahat.” Pengingkaran
dapat berlalu sesuai dengan kemungkinan memproyeksikan pada apa yang diterima
sebagai alat yang berfungsi sakit, kesalahan laporan laboratorium, atau lebih mungkin
perkiraan dokter dan perawat yang tidak kompeten. Pengingkaran diri yang mencolok
tampak menimbulkan kecemasan, pengingkaran ini merupakan buffer untuk menerima
kenyataan yang sebenarnya. Pengingkaran biasanya bersifat sementara dan segera
berubah menjadi fase lain dalam menghadapi kenyataan (Achir Yani, 1999).
2. Kemarahan (anger) Apabila pengingkaran tidak dapat dipertahankan lagi, maka fase
pertama berubah menjadi kemarahan. Perilaku pasien secara karakteristik dihubungkan
dengan marah dan rasa bersalah. Pasien akan mengalihkan kemarahan pada segala
sesuatu yang ada disekitarnya. Biasanya kemarahan diarahkan pada dirinya sendiri dan
timbul penyesalan. Yang menjadi sasaran utama atas kemarahan adalah perawat, semua
tindakan perawat serba salah, pasien banyak menuntut, cerewet, cemberut, tidak
bersahabat, kasar, menantang, tidak mau bekerja sama, sangat marah, mudah
tersinggung, minta banyak perhatian dan iri hati. Jika keluarga mengunjungi maka
menunjukkan sikap menolak, yang mengakibatkan keluarga segan untuk datang, hal ini
akan menyebabkan bentuk keagresipan (Hudak & Gallo, 1996).
3. Sikap tawar menawar (bargaining) Setelah marah-marah berlalu, pasien akan berfikir
dan merasakan bahwa protesnya tidak ada artinya. Mulai timbul rasa bersalahnya dan
mulai membina hubungan dengan Tuhan, meminta dan berjanji merupakan ciri yang
jelas yaitu pasien menyanggupi akan menjadi lebih baik bila terjadi sesuatu yang
menimpanya atau berjanji lain jika dia dapat sembuh (Achir Yani, 1999).
4. Depresi Selama fase ini pasien sedih/ berkabung mengesampingkan marah dan
pertahanannya serta mulai mengatasi kehilangan secara konstruktif. Pasien mencoba
perilaku baru yang konsisten dengan keterbatasan baru. Tingkat emosional adalah
kesedihan, tidak berdaya, tidak ada harapan, bersalah, penyesalan yang dalam, kesepian
dan waktu untuk menangis berguna pada saat ini. Perilaku fase ini termasuk mengatakan
ketakutan akan masa depan, bertanya peran baru dalam keluarga intensitas depresi
tergantung pada makna dan beratnya penyakit (Netty, 1999). e) Penerimaan dan
partisipasi Sesuai dengan berlalunya waktu dan pasien beradapatasi, kepedihan dari
kesabatan yang menyakitkan berkurang dan bergerak menuju identifikasi sebagai
seseorang yang keterbatasan karena penyakitnya dan sebagai seorang cacat. Pasien
mampu bergantung pada orang lain jika perlu dan tidak membutuhkan dorongan
melebihi daya tahannya atau terlalu memaksakan keterbatasan atau ketidakadekuatan
(Hudak & Gallo, 1996). Proses ingatan jangka panjang yang terjadi pada keadaan stres
yang kronis akan menimbulkan perubahan adaptasi dari jaringan atau sel. Adaptasi dari
jaringan atau sel imun yang memiliki hormon kortisol dapat terbentuk bila dalam waktu
lain menderita stres, dalam teori adaptasi dari Roy dikenal dengan mekanisme regulator.
2.3 Tinjauan Agama Tentang Perawatan Paliatif
Beberapa pandangan tentang kematian menurut beberapa agama
1. Agama Kristen
Dalam ajaran Kristen ada 2 agama utama
a. Katolik
Dalam agama katolik mati itu hanya suatu perpisahan untuk waktu sementara.
Setelah kematian akan muncul kehidupan yang abadai dan tuhan.
Tuhan itu baik hati dan mengampuni semua dosa dan kesalahan. Seorang katolik
yang baik hati tidak usah kawatir menghadapai kematian sebab setelah kematian aka
nada kehidupan yang lebih baik.
Yang penting untuik seorang katolik adalah bahwa ia memperoleh kesempatan
untuk sakramen orang sakit, yang juga dinamakan pembalseman orang sakit.
b. Dalam ajaran protestan
Sebagaimana halnya dengan pandagan katolik, kisten juga memiliki pandangan
bahwa
- Penyakit dan kemaitan adalah swebagai akibat dosa dari adam . seseorang dengan
sadar harus memlilih tuhan dan mengetahui bahwa ia dapat masuk ke kerajaan
allah setelah meninggal.
- Penyakit adaalah suatu penguasaan iblis atas diri kita dan melalui doa diusahakan
agar iblis keluar.
- Penyakit adaalah suatu hukuman yang dijalanimanusia karena kesalahaannya.
c. Agama islam
Kematian bagi agama islam adalah suatu gangguan keseimbangan sebagaimana
yang dimaksud oleh allah.
Sebab dari gangguan ini dapat dicari baik dalam kekuatan yang menguasai alam
semesta maupun yang berasal dari kuasa-kuasa manusia. Kematian bagi orang islam
berarti suatu pemindahan dari kehidupan karena situasi menunggu samapi akhir
jaman. Dan pada saat itu akan tiba masanya pengadilan bagi setiap orang. Orang
islam juga mempercayai bahwa di dalam kuburan akan dating dua malaikat yang
akan menyanyakan masalah kepercayaannya.
d. Agama hindu
Bagi orang orang yang beragama hindu dikatakanbahwa penyakit adalah akibat dari
dewa dewa yang marah atau kuasa kuasa yang lain.
Penyakit harus dihandari dan dilawan dngan cara membawa
persembahanpersembahan atau melalui pembacaan mantra.
Setelah kematian makan manusia akan kembali muncul ke bumi baik dalam
bentuk manusia atau binatang ( reinkarnasi), sampai rohnya menjadi sempurna.
Bagi banyak orang katolik dan protestan agama memainkan peranan yang makin
lama makin berkurang dalam kehidupan mereka. Baginya , seperti orang islam, dan
hindu.
Jading sangat perlu agar perawat juga menggeluti aspek aspek rohani dari
kegiatan perawatan yang diberikan. Sebab bagaimanapun seorang mempunyai
pengalaman hidup tertentu. Ia akan tetap mengharapkan suatu hubungan baik melalui
perawatan perawtan yang diberikan.

2.3.1 Spiritualitas
1. Definisi Spiritualitas
Spiritualitas adalah keyakinan dalam hubungannya dengan Yang Maha Kuasa dan
Maha Pencipta, sebagai contoh seseorang yang percaya kepada Allah sebagai Pencipta
atau sebagai Maha Kuasa. Spiritualitas mengandung pengertian hubungan manusia
dengan Tuhan dengan melakukan sholat, puasa, zakat, haji, doa dan sebagainya.
Spiritualitas merupakan aspek kepribadian manusia yang memberikan kekuatan dan
mempengaruhi individu dalam menjalani hidupnya. Spiritualitas mencakup aspek non
fisik dari keberadaan seorang manusia4.
Spiritualitas sebagai suatu multidimensi yang terdiri dari dimensi eksistensial dan
dimensi agama. Dimensi eksistensial berfokus pada tujuan dan arti kehidupan, sedangkan
dimensi agama lebih berfokus lebih berfokus pada hubungan seseorang dengan Tuhan
(Mickley).
Spiritualitas merupakan suatu konsep dua dimensi yaitu dimensi vertical dan dimensi
horizontal. Dimensi vertical merupakan hubungan individu dengan Tuhan Yang Maha
Esa yang menuntun kehidupan seseorang, sedangkan dimensi horizontal merupakan
hubungan seseorang dengan diri sendiri, orang lain, dan lingkungan (McSherry W).
Spiritualitas merupakan suatu dimensi yang berhubungan dengan menemukan arti
kehidupan dan tujuan hidup, menyadari kemampuan untuk menggunakan sumber dan
kekuatan dalam diri sendiri, mempunyai perasaan yang berkaitan dengan Tuhan, diri
sendiri, orang lain, dan lingkungan (Burkhardt MA). Spiritual merupakan kekuatan yang
menyatukan, memberi makna pada kehidupan dan nilai-nilai individu, persepsi,
kepercayaan dan keterikatan di antara individu.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa spiritualitas adalah kebutuhan dasar
manusia yang berhubungan dengan Tuhan, diri sendiri, orang lain, dan lingkungan untuk
menemukan arti kehidupan dan tujuan hidup agar mendapatkan kekuatan, kedamaian,
dan rasa optimis dalam menjalankan kehidupan. Pada era Order Baru, Agama yang
diakui oleh Pemerintah Indonesia hanya 5 yakni Agama Islam, Kristen, Katolik, Hindu
dan Buddha. Tetapi setelah era reformasi, berdasarkan Keputusan Presiden (Keppres) No.
6/2000, pemerintah mencabut larangan atas agama, kepercayaan dan adat istiadat
Tionghoa. Keppres No.6/2000 yang dikeluarkan oleh Presiden Abdurrahman Wahid ini
kemudian diperkuat dengan Surat Keputusan (SK) Menteri Agama Republik Indonesia
Nomor MA/12/2006 yang menyatakan bahwa pemerintah mengakui keberadaan agama
Kong Hu Cu di Indonesia.
2. Fungsi Spiritualitas
Spiritualitas mempengaruhi kesehatan dan kesejahteraan hidup para individu.
Spiritualitas berperan sebagai sumber dukungan dan kekuatan bagi individu. Pada saat
stress individu akan mencari dukungan dari keyakinan agamanya. Dukungan ini sangat
diperlukan untuk menerima keadaan sakit yang dialami, khususnya jika penyakit tersebut
memerlukan proses penyembuhan yang lama dan hasilnya belum pasti. Melaksanakan
ibadah, berdoa, membaca kitab suci dan praktek keagamaan lainnya sering membantu
memenuhi kebutuhan spiritualitas dan merupakan suatu perlindungan bagi individu.
Penelitian tentang spiritualitas pada tahun 2001menyebutkan bahwa 90 % pasien di
beberapa area Amerikamenyandarkan pada agama sebagai bagian dari aspek spiritual
untuk mendapatkan kenyamanan dan kekuatan ketika merasa mengalami sakit yang
serius. Pendekatan spiritual dapat meningkatkan kekuatan pada pasien secara emosional.
Menurut America Psychological Association21, spiritualitas dapat meningkatkan
kemampuan seseorang dalam mengatasi penderitaan jika seseorang sedang sakit dan
mempercepat penyembuhan selain terapi medis yang diberikan. Hal ini juga didukung
penelitian yang dilakukan oleh Abernethy, menyebutkan bahwa spiritualitas dapat
meningkatkan imunitas yaitu kadar interleukin-6 (IL-6) seseorang terhadap penyakit
sehingga dapat mempercepat penyembuhan bersamaan dengan terapi medis yang
diberikan (Koenig HG)
Penelitian tentang tingkat kecemasan pasien pre operasi pada tahun 2006 menyebutkan
bahwa kecemasan seseorang sangat dipengaruhi oleh aspek spiritualnya, sehingga bagi
pasien yang dirawat di rumah sakit sangat memerlukan kondisi spiritual yang baik agar
tidak cemas terhadap operasi yang akan dijalani. Hal ini juga menjadi salah satu tugas
perawat untuk memenuhi kebutuhan spiritual tersebut (Tauhid dan Raharjo).
Pada individu yang menderita suatu penyakit, spiritualitas merupakan sumber koping
bagi individu. Spiritualitas membuat individu memiliki keyakinan dan harapan terhadap
kesembuhan penyakitnya, mampu menerima kondisinya, sumber kekuatan, dan dapat
membuat hidupindividu menjadi lebih berarti. Pemenuhan kebutuhan spiritual yang
dilakukan perawat dapat membuat pasien menerima kondisinya atau penyakit yang
sedang dialami serta pasien memiliki pandangan hidup yang positif. Pemenuhan
kebutuhan spiritualitas dapat memberikan semangat pada individu dalam menjalani
kehidupan dan menjalani hubungan dengan Tuhan, orang lain, dan lingkungan. Jika
spiritualitas terpenuhi, maka individu menemukan tujuan, makna, kekuatan, dan
bimbingan dalam perjalanan hidup (4. Young C, Koopsen C).
Pemenuhan kebutuhan spiritualitas pada seseorang dapat meningkatkan kepercayaan,
kekuatan, dan keyakinan yang dimiliki seseorang. Spiritualitas dapat mengurangi
kecemasan pasien, membuat pasien menerima kondisinya, dan meningkatkan rasa
optimis pada pasien. Adanya rasa optimis, dukungan, dan motivasi dapat meningkatkan
proses penyembuhan yang dialami pasien.
3. Karakteristik Spiritualitas
Pemenuhan spiritual harus berdasarkan 4 karakteristik spiritual itu sendiri. Ada
beberapa karakteristik yang dimiliki spiritual, adapaun karakteristik itu antara lain :
a. Hubungan dengan diri sendiri
Merupakan kekuatan dari dalam diri seseorang yang meliputi pengetahuan diri
yaitu siapa dirinya, apa yang dapat dilakukannya dan juga sikap yang menyangkut
kepercayaan pada diri sendiri, percaya pada kehidupan atau masa depan, ketenangan
pikiran, serta keselarasan dengan diri sendiri (Young dan Koopsen, 2007). Kekuatan
yang timbul dari diri seseorang membantunya menyadari makna dan tujuan hidupnya,
diantaranya memandang pengalaman hidupnya sebagai pengalaman yang positif,
kepuasan hidup, optimis terhadap masa depan, dan tujuan hidup yang semakin jelas
(Kozier, Erb, Blais & Wilkinson, 1995).
Kepercayaan (Faith). Menurut Fowler dan keen (1985) kepercayaan bersifat
universal, dimana merupakan penerimaan individu terhadap kebenaran yang tidak
dapat dibuktikan dengan pikiran yang logis.Kepercayaan dapat memberikan arti
hidup dan kekuatan bagi individu ketika mengalami kesulitan atau stress.Mempunyai
kepercayaan berarti mempunyai komitmen terhadap sesuatu atau seseorang sehingga
dapat memahami kehidupan manusia dengan wawasan yang lebih luas.
Harapan (Hope). Harapan berhubungan dengan ketidakpastian dalam hidup dan
merupakan suatu proses interpersonal yang terbina melalui hubungan saling percaya
dengan orang lain, termasuk dengan Tuhan. Harapan sangat penting bagi individu
untuk mempertahankan hidup, tanpa harapan banyak orang menjadi depresi dan lebih
cenderung terkena penyakit.
Makna atau arti dalam hidup (Meaning of live). Perasaan mengetahui makna
hidup, yang kadang diidentikkan dengan perasaan dekat dengan Tuhan, merasakan
hidup sebagai suatu pengalaman yang positif seperti membicarakan tentang situasi
yang nyata, membuat hidup lebih terarah, penuh harapan tentang masa depan, merasa
mencintai dan dicintai oleh orang lain (Puchalski, 2004).
b. Hubungan Dengan Orang Lain Atau Sesama
Hubungan seseorang dengan sesama sama pentingnya dengan diri sendiri.
Kebutuhan untuk menjadi anggota masyarakat dan saling keterhubungan telah lama
diakui sebagai bagian pokok dalam pengalaman manusiawi, adanya hubungan antara
manusia satu dengan lainnya yang pada taraf kesadaran spiritual kita tahu bahwa kita
terhubung dengan setiap manusia. Hubungan ini terbagi atas harmonis dan tidak
harmonisnya hubungan dengan orang lain. Keadaan harmonis meliputi pembagian
waktu, ramah dan bersosialisasi, mengasuh anak, mengasuh orang tua dan orang yang
sakit, serta meyakini kehidupan dan kematian. Sedangkan kondisi yang tidak
harmonis mencakup konflik dengan orang lain dan resolusi yang menimbulkan
ketidakharmonisan, serta keterbatasan hubungan (Young dan Koopsen, 2007).
c. Hubungan Dengan Alam
Pemenuhan kebutuhan spiritualitas meliputi hubungan individu dengan
lingkungan. Pemenuhan spiritualitas tersebut melalui kedamaian dan lingkungan atau
suasana yang tenang. Kedamaian merupakan keadilan, empati, dan kesatuan.
Kedamaian membuat individu menjadi tenang dan dapat meningkatkan status
kesehatan (Kozier, et al, 1995). Harmoni merupakan gambaran hubungan
seseorang dengan alam yang meliputi pengetahuan tentang tanaman, pohon,
margasatwa, iklim dan berkomunikasi dengan alam serta melindungi alam tersebut
(Kozier dkk 1995).
Kedamaian (peace), kedamaian merupakan keadilan, rasa kasihan dan kesatuan.
Dengan kedamaian seseorang akan merasa lebih tenang dan dapat meningkatkan
status kesehatan (Puchalski, 2004).
d. Hubungan Dengan Tuhan
Pemahaman tentang Tuhan dan hubungan manusia dengan Tuhan secara
tradisional dipahami dalam kerangka hidup keagamaan.Akan tetapi, dewasa ini telah
dikembangkan secara lebih luas dan tidak terbatas. Tuhan dipahami sebagai daya
yang menyatukan, prinsip hidup atau hakikat hidup. Kodrat tuhan mungkin mngambil
berbagai macam bentuk dan mempunyai makna yang berbeda bagi satu orang dengan
orang lain (Young dan Koopsen, 2009). Secara umum melibatkan keyakinan dalam
hubungan dengan sesuatu yang lebih tinggi, berkuasa, memiliki kekuatan mencipta,
dan bersifat ketuhanan, atau memiliki energi yang tidak terbatas.
4. Faktor yang Mempengaruhi Spiritualitas
Faktor-faktor yang mempengaruhi spiritualitas seseorang terdiri dari tahap
perkembangan, keluarga, latar belakang, etnik dan budaya, pengalaman hidup
sebelumnya, krisis dan perubahan, terpisah dari ikatan spiritual, isu moral terkait dengan
terapi, dan asuhan keperawatan yang kurang tepat. Faktor-faktor tersebut dapat
dijabarkan sebagai berikut :
a. Tahap Perkembangan
Setiap orang memiliki bentuk pemenuhan kebutuhan spiritualitas yang berbeda-
beda bedasarkan usia, jenis kelamin, agama, dan kepribadian individu. Spiritualitas
merupakan bagian dari kehidupan manusia dan berhubungan dengan proses
perubahan dan perkembangan pada manusia. Semakin bertambah usia, seseorang
akan membutuhkan kekuatan, menambah keyakinannya, dan membenarkan
keyakinan spiritualitasnya. Perkembangan spiritualitas berdasarkan usia terdiri dari :
1. Pada masa anak-anak, spiritualitas pada masa ini belum bermakna pada dirinya.
Spitualitas didasarkan pada perilaku yang didapat yaitu melalui interaksi dengan
orang lain sepert keluarga. Pada masa ini, anak-anak belum mempunyai
pemahaman salah atau benar. Kepercayaan atau keyakinan mengikuti ritual atau
meniru orang lain.
2. Pada masa remaja, spiritualitas pada masa ini sudah mulai pada keinginan akan
pencapaian kebutuhan spiritualitas seperti keinginan melalui berdoa kepada
Tuhan, yang berarti sudah mulai membutuhkan pertolongan melalui keyakinan
atau kepercayaan. Bila pemenuhan kebutuhan spiritualitas tidak terpenuhi, akan
menimbulkan kekecewaan.
3. Pada masa dewasa awal, spiritualitas pada masa ini adanya pencarian kepercayaan
diri, diawali dengan proses pernyataan akan keyakinan atau kepercayaan yang
dikaitkan secara kognitif sebagai bentuk yang tepat untuk mempercayainya. Pada
masa ini, pemikiran sudah bersifat rasional. Segala pertanyaan tentang
kepercayaan harus dapat dijawab dan timbul perasaan akan penghargaan terhadap
kepercayaan.
4. Pada masa dewasa pertengahan dan lansia, spiritualitas pada masa ini yaitu
semakin kuatnya kepercayaan diri yang dimiliki dipertahankan walaupun
menghadapi perbedaan keyakinan yang lain dan lebih mengerti akan kepercayaan
dirinya. Perkembangan spiritualitas pada tahap ini lebih matang sehingga
membuat individu mampu untuk mengatasi masalah dan menghadapi kenyataan.
b. Keluarga
Keluarga sangat berperan dalam perkembangan spiritualitas seseorang. Keluarga
merupakan tempat pertama kali seseorang memperoleh pengalaman, pelajaran hidup,
dan pandangan hidup. Dari keluarga, seseorang belajar tentang Tuhan, kehidupan, dan
diri sendiri. Keluarga memiliki peran yang penting dalam memenuhi kebutuhan
spiritualitas karena keluarga memiliki ikatan emosional yang kuat dan selalu
berinteraksi dalam kehidupan sehari-hari dengan individu.
c. Budaya
Pemenuhan spiritualitas budaya berbeda-beda pada setiap budaya. Budaya dan
spiritualitas menjadi dasar seseorang dalam melakukan sesuatu dan menjalani cobaan
atau masalah cobaan atau masalah dalam hidup dengan seimbang.Pada umumnya
seseorang akan mengikuti budaya dan spiritualitas yang dianut oleh keluarga.
Seseorang akan belajar tentang nilai moral serta spiritualitas dari hubungan keluarga.
Apapun tradisi dan sistem kepercayaan yang dianut individu pengalaman spiritualitas
merupakan hal yang unik bagi setiap individu.
d. Agama
Agama sangat mempengaruhi spiritualitas individu. Agama merupakan suatu
sistem keyakinan dan ibadah yang dipraktikkan individu dalam pemenuhan
spiritualitas individu. Agama merupakan cara dalam pemeliharaan hidup terhadap
segala aspek kehidupan. Agama berperan sebagai sumber kekuatan dan kesejahteraan
pada individu. Konsep spiritualitas dalam agama Islam berhubungan langsung dengan
Al Quran dan Sunnah Nabi.59 Al Quran maupun sunnah Nabi mengajarkan beragam
cara untuk meraih kehidupan spiritual. Pengalaman ibadah sebagai bentuk keintiman
antara hamba dan Tuhannya. Menurut Rasulullah SAW, setiap muslim hendaklah
selalu menjalin hubungan yang intim dengan Tuhannya setiap saat. Sebab, bagi
muslim, setiap gerak anggota badan, panca indera dan bahkan hati, adalah rangkaian
pemenuhan kewajiban ibadah kepadaNya 60 Manusia diajarkan untuk terus sadar
bahwa ada kehidupan lain setelah kematian. Manusia seharusnya terus meningkatkan
spiritualitas selama hidup di dunia.
e. Pengalaman Hidup
Pengalaman hidup baik yang positif maupun negatif mempengaruhi spiritualitas
seseorang. Pengalaman hidup dapat mempengaruhi seseorang dalam mengartikan
secara spiritual terhadap kejadian yang dialaminya. Pengalaman hidup yang
menyenangkan dapat menyebabkan seseorang bersyukur atau tidak bersyukur.
Sebagian besar individu bersyukur terhadap pengalaman hidup yang menyenangkan.
f. Krisis dan Perubahan
Krisis dan perubahan dapat menguatkan spiritualitas pada seseorang. Krisis sering
dialami seseorang ketika menghadapi penyakit, penderitaan, proses penuaan,
kehilangan, dan kematian. Perubahan dalam kehidupan dan krisis yang dialami
seseorang merupakan pengalaman spiritualitas yang bersifat fisik dan emosional. Jika
seseorang mengalami penyakit kritis, spiritualitas seseorang akan meningkat.
Seseorang akan membutuhkan kekuatan untuk menghadapi penyakitnya tersebut.
g. Terpisah dari Ikatan Spiritual
Pasien yang mengalami penyakit kritis biasanya ditempatkan di ruang intensif
untuk mendapatkan perawatan yang lebih optimal. Pasien yang ditempatkan di ruang
intensif biasanya merasa terisolasi dan jarang bertemu dengan kelurganya. Kebiasaan
pasien menjadi berubah, seperti tidak dapat mengikuti acara keluarga, kegiatan
keagamaan, dan berkumpul dengan keluarga dan teman dekatnya. Kebiasaan yang
berubah tersebut dapat menganggu emosional pasien dan dapat merubah fungsi
spiritualnya.
h. Isu Moral Terkait dengan Terapi
Beberapa agama menyebutkan bahwa proses penyembuhan dianggap sebagai cara
Tuhan untuk menunjukkan kebesaranNya walaupun ada agama yang menolak
intervensi pengobatan. Pengobatan medik seringkali dapat dipengaruhi oleh
pengajaran agama, misalnya sirkumsisi, transplantasi organ, pencegahan kehamilan,
sterilisasi. Konflik antara jenis terapi dengan keyakinan agama sering dialami oleh
pasien dan tenaga kesehatan.
i. Asuhan Keperawatan yang Kurang Sesuai
Ketika memberikan asuhan keperawatan kepada pasien, perawat diharapkan untuk
peka terhadap kebutuhan spiritualitas pasien, tetapi dengan berbagai alas an ada
kemungkinan perawat menghindar untuk memberikan asuhan keperawatan
spiritualitas. Hal tersebut terjadi karena perawat merasa kurang nyaman dengan
kehidupan spiritualnya, kurang menganggap penting kebutuhan spiritualitas, tidak
mendapatkan pendidikan tentang aspek spiritualitas dalam keperawatan atau merasa
bahwa pemenuhan kebutuhan spiritualitas pasien bukan merupakan tugasnya tetapi
tanggungjawab pemuka agama.Asuhan keperawatan untuk kebutuhan spiritualitas
mengalir dari sumber spiritualitas perawat. Perawat tidak dapat memenuhi kebutuhan
spiritualitas tanpa terlebih dahulu memenuhi kebutuhan spiritualitas mereka sendiri.
Perawat yang bekerja digaris terdepan harus mampu memenuhi semua kebutuhan
manusia termasuk juga kebutuhan spiritualitas pasien. Berbagai cara perawat untuk
memenuhi kebutuhan pasien mulai dari pemenuhan makna dan tujuan spiritualitas
sampai dengan memfasilitasi untuk mengekspresikan agama dan keyakinannya.

2.3.2 Spiritual Care


1. Definisi Spiritual Care
Spiritual care adalah praktek dan prosedur yang dilakukan oleh perawat terhadap
pasien untuk memenuhi kebutuhan spiritual pasien (Cavendish R, Konecny L).
Spiritual care adalah kegiatan dalam keperawatan untuk membantu pasien yang
dilakukan melalui sikap dan tindakan praktek keperawatan berdasarkan nilai-nilai
keperawatan spiritual yaitu mengakui martabat manusia, kebaikan, belas kasih,
ketenangan dan kelemahlembutan (Meehan T). Spiritual care merupakan aspek
perawatan yang integral dan fundamental dimana perawat menunjukkan kepedulian
kepada pasien (Meehan T). Spiritual care berfokus pada menghormati pasien, iteraksi
yang ramah dan simpatik, mendengarkan dengan penuh perhatian dan memberikan
kekuatan pada pasien dalam menghadapi penyakitnya (Chan MF).
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa spiritual care adalah praktek dan prosedur
keperawatan yang dilakukan perawat untuk memenuhi kebutuhan spiritual pasien
berdasarkan nilai-nilai keperawatan spiritual yang berfokus pada menghormati pasien,
interaksi yang ramah dan simpatik, mendengar dengan penuh perhatian, memberi
kesempatan pada pasien untuk mengekspresikan kebutuhan pasien, memberikan kekuatan
pada pasien dan memberdayakan mereka terkait dengan penyakitnya, dan tidak
mempromosikan agama atau praktek untuk meyakinkan pasien tentang agamanya.
2. Peran Perawat Dalam Spiritual Care
Perawat merupakan orang yang selalu hadir ketika seseorang sakit, kelahiran, dan
kematian. Pada peristiwa kehidupan tersebut kebutuhan spiritual sering menonjol, dalam
hal ini perawat berperan untuk memberikan spiritual care. Perawat berperan dalam proses
keperawatan yaitu melakukan pengkajian, merumuskan diagnosa keperawatan, menyusun
rencana dan implementasi keperawatan serta melakukan evaluasi kebutuhan spiritual
pasien, perawat juga berperan dalam komunikasi dengan pasien, tim kesehatan lainnya
dan organisasi klinis/pendidikan, serta menjaga masalah etik dalam keperawatan.
Peran perawat dalam proses keperawatan terkait dengan spiritual care dijelaskan
sebagai berikut :
a. Pengkajian kebutuhan spiritual pasien
Menurut Kozier et al, pengkajian kebutuhan spiritual terdiri dari pengkajian
riwayat keperawatan dan pengkajian klinik. Pada pengkajian riwayat keperawatan
semua pasien diberikan satu atau dua pertanyaan misalnya ‟apakah keyakinan dan
praktek spiritual penting untuk anda sekarang?”, bagaimana perawat dapat
memberikan dukungan spiritual pada anda?”. Pasien yang memperlihatkan beberapa
kebutuhan spiritual yang tidak sehat yang beresiko mengalami distres spiritualharus
dilakukan pengkajian spiritual lebih lanjut.
Kozier menyarankan pengkajian spiritual sebaiknya dilakukan pada akhir proses
pengkajian dengan alasan pada saat tersebut sudah terbangun hubungan saling
percaya antara perawat dan pasien. Untuk itu diharapkan perawat meningkatkan
sensitivitasnya, dapat menciptakan suasana yang menyenangkan dan saling percaya,
hal ini akan meningkatkan keberhasilan pengkajian spiritual pasien. Pertanyaan yang
diajukan pada pasien saat wawancara untuk mengkaji spiritual pasien antara lain :
adakah praktik keagamaan yang penting bagi anda?, dapatkah anda menceritakannya
pada saya?, bagaimana situasi yang dapat mengganggu praktik keagamaan anda?,
bagaimana keyakinan anda bermanfaat bagi anda?, apakah cara-cara itu penting untuk
kebaikan anda sekarang?, dengan cara bagaimana saya dapat memberi dukungan pada
spiritual anda?, apakah anda menginginkan dikunjungi oleh pemuka agama di rumah
sakit?, apa harapan-harapan anda dan sumber-sumber kekuatan anda sekarang?, apa
yang membuat anda merasa nyaman selama masa-masa sulit ini?. Pada pengkajian
klinik menurut meliputi :
1) Lingkungan
Apakah pasien memiliki kitab suci atau dilingkungannya terdapat kitab suci atau
buku doa lainnya, literatur-literatur keagamaan, penghargaan keagamaan, simbol
keagamaan misalnya tasbih, salib dan sebagainya diruangan? Apakah gereja atau
mesjid mengirimkan bunga atau buletin?
2) Perilaku
Apakah pasien berdoa sebelum makan atau pada waktu lainnya atau membaca
literatur keagamaan? Apakah pasien mengalami mimpi buruk dan gangguan
tidur atau mengekspresikan kemarahan pada Tuhan?
3) Verbalisasi
Apakah pasien menyebutkan tentang Tuhan atau kekuatan yang Maha Tinggi,
tentang doa-doa, keyakinan, mesjid, gereja, kuil, pemimpin spiritual, atau
topiktopik keagamaan? Apakah pasien menanyakan tentang kunjungan pemuka
agama?
Apakah pasien mengekspresikan ketakutannya akan kematian?
4) Afek dan sikap
Apakah pasien menunjukkan tanda-tanda kesepian, depresi, marah, cemas, apatis
atau tampak tekun berdoa?
5) Hubungan interpersonal
Siapa yang berkunjung? Apakah pasien berespon terhadap pengunjung? Apakah
ada pemuka agama yang datang? Apakah pasien bersosialisasi dengan pasien
lainnya atau staf perawat?
Pengkajian data objektif dilakukan perawat melalui observasi. Hal-hal yang
perlu diobservasi adalah apakah pasien tampak kesepian, depresi, marah, cemas,
agitasi, atau apatis? Apakah pasien tampak berdoa sebelum makan, membaca
kitab suci, atau buku keagamaan? Apakah pasien sering mengeluh, tidak dapat
tidur, mimpi buruk dan berbagai bentuk gangguan tidur lainnya, atau
mengekspresikan kemarahannya terhadap agama? Apakah pasien menyebut nama
Tuhan, doa, rumah ibadah, atau topik keagamaan lainnya? Apakah pasien pernah
meminta dikunjungi oleh pemuka agama? Apakah pasien mengekspresikan
ketakutannya terhadap kematian, konflik batin tentang keyakinan agama,
kepedulian tentang hubungan dengan Tuhan, pertanyaan tentang arti
keberadaannnya didunia, arti penderitaan? Siapa pengunjung pasien? Bagaimana
pasien berespon terhadap pengunjung? Apakah pemuka agama datang menjenguk
pasien? Bagaimana pasien berhubungan dengan pasien yang lain dan dengan
tenaga keperawatan? Apakah pasien membawa kitab suci atau perlengkapan
sembahyang lainnya? Apakah pasien menerima kiriman tanda simpati dari unsur
keagamaan?. Pengkajian spiritual pasien dimulai dari pasien atau keluarga pasien
dengan cara mendengarkan dan melalui pengamatan termasuk interaksi pasien
dengan perawat, keluarga dan pengunjung lainnya, pola tidur, gangguan fisik, dan
tekanan emosional.
Namun dalam beberapa situasi perawat bertanya lebih mendalam misalnya
tentang pandangan spiritual pasien atau bagaimana pasien mengatasi suatu kondisi
yang sedang dihadapi. Pada pasien tertentu perawat mengakui bahwa pengkajian
spiritual dengan wawancara tidak perlu dilakukan, hanya melalui observasi saja,
perawat berfikir pasien yang sekarat tidak etis untuk dilakukan wawancara.
Perawat dapat mengkaji dan memperoleh kebutuhan spiritual pasien jika
komunikasi yang baik sudah terjalin antara perawat dan pasien, sehingga perawat
dapat mendorong pasien untuk mengungkapkan hal-hal yang terkait kebutuhan
spiritual.

b. Merumuskan Diagnosa Keperawatan


Peran perawat dalam merumuskan diagnosa keperawatan terkait dengan spiritual
pasien mengacu pada distress spiritual. Menurut Carpenito (2006) salah satu masalah
yang sering muncul pada pasien paliatif adalah distress spiritual. Distres spiritual
dapat terjadi karena diagnose penyakit kronis, nyeri, gejala fisik, isolasi dalam
menjalani pengobatan serta ketidakmampuan pasien dalam melakukan ritual
keagamaan yang mana biasanya dapat dilakukan secara mandiri.
Distres spiritual adalah kerusakan kemampuan dalam mengalami dan
mengintegrasikan arti dan tujuan hidup seseorang dengan diri, orang lain, seni, musik,
literature, alam dan kekuatan yang lebih besr dari dirinya (Hamid, 2008).
Definisi lain mengatakan bahwa distres spiritual adalah gangguan dalam prinsip
hidup yang meliputi seluruh kehidupan seseorang dan diintegrasikan biologis dan
psikososial (Keliat dkk, 2011).
Berdasarkan definisi diatas distress spiritual memiliki ciri-ciri diantaranyaspiritual
pain, pengasingan diri (spiritual alienation), kecemasan (spiritual anxiety), rasa
bersalah (spiritual guilt), marah (spiritual anger), kehilangan (spiritual loss), putus asa
(spiritual despair). Distres spiritual selanjutnya dijabarkan dengan lebih spesifik
sebagai berikut :
1. Spiritual Pain Spiritual pain merupakan ekspresi atau ungkapan dari
ketidaknyamanan pasien akan hubungannya dengan Tuhan. Pasien dengan
penyakit terminal atau penyakit kronis mengalami gangguan spiritual dengan
mengatakan bahwa pasien merasa hampa karena selama hidupnya tidak sesuai
dengan yang Tuhan inginkan, ungkapan ini lebih menonjol ketika pasien
menjelang ajal.
2. Pengasingan Diri (spiritual alienation)
Pengasingan diri diekspresikan pasien melalui ungkapan bahwa pasien merasa
kesepian atau merasa Tuhan menjauhi dirinya. Pasien dengan penyakit kronis
merasa frustasi sehingga bertanya : dimana Tuhan ketika saya butuh Dia hadir?
3. Kecemasan (spiritual anxiety)
Dibuktikan dengan ekspresi takut akan siksaan dan hukuman Tuhan, takut Tuhan
tidak peduli, takut Tuhan tidak menyukai tingkahlakunya. Beberapa budaya
meyakini bahwa penyakit merupakan suatu hukuman dari Tuhan karena
kesalahankesalahan yang dilakukan semasa hidupnya.
4. Rasa Bersalah (spiritual guilt)
Pasien mengatakan bahwa dia telah gagal melakukan hal-hal yang seharusnya dia
lakukan dalam hidupnya atau mengakui telah melakukan hal-hal yang tidak
disukai Tuhan.
5. Marah (spiritual anger)
Pasien mengekspresikan frustasi, kesedihan yang mendalam, Tuhan kejam.
Keluarga pasien juga marah dengan mengatakan mengapa Tuhan mengijinkan
orang yang mereka cintai menderita.
6. Kehilangan (spiritual loss)
Pasien mengungkapkan bahwa dirinya kehilangan cinta dari Tuhan, takut bahwa
hubungannya dengan Tuhan terancam, perasaan yang kosong. Kehilangan sering
diartikan dengan depresi, merasa tidak berguna dan tidak berdaya.
7. Putus Asa (spiritual despair)
Pasien mengungkapkan bahwa tidak ada harapan untuk memiliki suatu hubungan
dengan Tuhan, Tuhan tidak merawat dia. Secara umum orang-orang yang
beriman sangat jarang mengalami keputusasaan.

c. Menyusun Rencana Keperawatan


Rencana keperawatan membantu untuk mencapai tujuan yang ditetapkan dalam
diagnosa keperawatan. Rencana keperawatan merupakan kunci untuk memberikan
kebutuhan spiritual pasien dengan menekankan pentingnya komunikasi yang efektif
antara pasien dengan anggota tim kesehatan lainnya, dengan keluarga pasien, atau
orang-orang terdekat pasien. Memperhatikan kebutuhan spiritual pasien memerlukan
waktu yang banyak bagi perawat dan menjadi sebuah tantangan bagi perawat
diselasela kegiatan rutin di ruang rawat inap, sehingga malam hari merupakan waktu
yang disarankan untuk berkomunikasi dengan pasien.
Pada fase rencana keperawatan, perawat membantu pasien untuk mencapai tujuan
yaitu memelihara atau memulihkan kesejahteraan spiritual sehingga kepuasan
spiritual dapat terwujud. Rencanaan keperawatan sesuai dengan diagnosa
keperawatan berdasarkan NANDA meliputi :
1) Mengkaji adanya indikasi ketaatan pasien dalam beragama, mengkaji
sumbersumber harapan dan kekuatan pasien, mendengarkan pendapat pasien
tentang hubungan spiritual dan kesehatan, memberikan privasi, waktu dan tempat
bagi pasien untuk melakukan praktek spiritual, menjelaskan pentingnya hubungan
dengan Tuhan, empati terhadap perasaan pasien, kolaborasi dengan pemuka
agama, meyakinkan pasien bahwa perawat selalu mendukung pasien.
2) Menggunakan pendekatan yang menenangkan pasien, menjelaskan semua
prosedur dan apa yang akan dirasakan pasien selama prosedur, mendampingi
pasien untuk memberikan rasa aman dan mengurangi rasa takut, memberikan
informasi tentang penyakit pasien, melibatkan keluarga untuk mendampingi
pasien, mengajarkan dan menganjurkan pasien untuk menggunakan tehnik
relaksasi, mendengarkan pasien dengan aktif, membantu pasien mengenali situasi
yang menimbulkan kecemasan, mendorong pasien untuk mengungkapkan
perasaan, ketakutan, dan persepsi.
3) Membantu pasien untuk beradaptasi terhadap perubahan atau ancaman dalam
kehidupan, meningkatkan hubungan interpersonal pasien, memberikan rasa aman.

d. Implementasi Keperawatan
Membantu berdoa atau mendoakan pasien juga merupakan salah satu tindakan
keperawatan terkait spiritual Islam pasien. Berdoa melibatkan rasa cinta dan
keterhubungan. Pasien dapat memilih untuk berpartisipasi secara pribadi atau secara
kelompok dengan keluarga, teman atau pemuka agama Islam. Pada situasi ini peran
perawat adalah memastikan ketenangan lingkungan dan privasi pasien terjaga.
Keadaan sakit dapat mempengaruhi kemampuan pasien untuk berdoa. Pada
beberapa rumah sakit pasien dapat meminta perawat untuk berdoa dengan mereka dan
ada yang berdoa dengan pasien hanya bila ada kesepakatan antara pasien dengan
perawat. Karena berdoa melibatkan perasaan yang dalam, perawat perlu menyediakan
waktu bersama pasien setelah selesai berdoa, untuk memberikan kesempatan pada
pasien untuk mengekspresikan perasaannya.
Menurut Kozier et al, perawat perlu juga merujuk pasien kepada pemuka agama.
Rujukan mungkin diperlukan ketika perawat membuat diagnosa distres spiritual,
perawat dan pemuka agama dapat bekerjasama untuk memenuhi kebutuhan spiritual
pasien.
Implementasi perawat harus peduli, penuh kasih, gembira, ramah dalam
berinteraksi, dan menghargai privasi.

e. Evaluasi
Untuk melengkapi siklus proses keperawatan spiritual pasien, perawat harus
melakukan evaluasi yaitu dengan menentukan apakah tujuan telah tercapai. Hal ini
sulit dilakukan karena dimensi spiritual yang bersifat subjektif dan lebih kompleks.
Membahas hasil dengan pasien dari implementasi yang telah dilakukan tampaknya
menjadi cara yang baik untuk mengevaluasi spiritual care pasien.
Respon spiritual pada tahun 2004 pada tahap evaluasi perawat menilai bagaimana
efek pada pasien dan keluarga pasien dimana diharapkan ada efek yang positif
terhadap pasien dan keluarganya, misalnya pasien dan keluarganya mengungkapkan
bahwa kebutuhan spiritual mereka terpenuhi, mengucapkan terimakasih karena sudah
menyediakan pemuka agama.

3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perawat dalam Pemberian Kebutuhan Spiritual


Ada pun faktor-faktor yang mempengaruhi perawat dalam memberikan kebutuhan spiritual
kepada pasien, yaitu :
a. Ketidakmampuan perawat untuk berkomunikasi
Komunikasi yang tidak efektif dapat mengakibatkan pasien tidak mampu
mengungkapkan kebutuhan spiritualnya.
b. Ambigu
Ambigu terjadi ketika adanya perbedaan keyakinan antara perawat dengan pasien.
Perawat akan merasa kebingungan, takut salah, dan menganggap spiritual terlalu
sensitive dan merupakan hak pribadi pasien.
c. Kurangnya pengetahuan tentang spiritual care
Pengetahuan perawat tentang spiritual care juga mempengaruhi perawat dalam
memberikan kebutuhan spiritual pasien. Jika perawat percaya bahwa pemberian
spiritual care adalah ibadah maka persepsi ini akan secara langsung akan
memberikan kebutuhan spirual kepada pasien. Spiritual perawat itu sendiri
mempengaruhi bagaimana mereka berperilaku, bagaimana menangani pasien, dan
bagaimana berkomunikasi dengan pasien pada saat perawat memberikan spiritual
care.
d. Hal yang bersifat pribadi
Perawat berpendapat bahwa spiritual merupakan hal yang bersifat pribadi, sehingga
sulit untuk ditangani perawat.
e. Takut melakukan kesalahan
Adanya perasaan takut jika apa yang dilakukan adalah hal yang salah, dalam situasi
yang sulit hal ini dapat mengakibatkan penolakan dari pasien.
f. Organisasi dan manajemen
Jika profesi perawat memberikan perawatan spiritual yang efektif maka manajemen
harus bertanggungjawab dan mendukung pemberian spiritual care.
g. Hambatan ekonomi berupa kekurangan perawat, kurangnya waktu, masalah
pendidikan
Perawat mengungkapkan bahwa mereka kurang percaya diri dalam memberikan
spiritual care karena kurangnya wawasan dan pengetahuan.
h. Gender
Perawat wanita lebih berempati terhadap perasaan orang lain, penyayang, cepat
merasa iba, dan menghibur orang lain.
i. Pengalaman kerja
Perawat yang berpengalaman lebih dari 3 tahun memiliki kepercayaan yang tinggi
tentang spiritual care daripada perawat yang memiliki pengalaman kurang dari 3
tahun.

2.4 Tinjauan Social Budaya Terhadap Perawatan Paliatif


Pengertian sosial menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah segala sesuatu
yang mengenai masyarakat atau kemasyarakatan.
Kebudayaan atau kultur dapat membentuk kebiasaan dan respons terhadap kesehatan
dan penyakit dalam segala masyarakat tanpa memandang tingkatannya. Karena itulah
penting bagi tenaga kesehatan untuk tidak hanya mempromosikan kesehatan, tapi
juga membuat mereka mengerti tentang proses terjadinya suatu penyakit dan
bagaimana meluruskan keyakinan atau budaya yang dianut hubungannya dengan
kesehatan.
Pengaruh kebudayaan, tanpa disadari kebudayaan telah menanamkan garis
pengaruh sikap terhadap berbagai masalah. Kebudayaan telah mewarnai sikap
anggota masyarakat, karena kebudayaanlah yang memberi corak pengalaman
individu-individu masyarakat.
Green dalam Notoatmodjo (2007) mengatakan bahwa perilaku manusia dari
tingkat kesehatan dipengaruhi oleh 2 faktor pokok yaitu faktor perilaku (behaviour
cause) dan faktor di luar perilaku (non-behaviour cause). Perilaku itu sendiri
terbentuk dari tiga factor, yaitu :

1. Faktor Predisposisi (predisposing factors), yang terwujud dalam pengetahuan,


sikap, kepercayaan, keyakinan, nilai-nilai dan sebagainya
2. Faktor pendukung (enabling factors), yang terwujud dalam lingkungan fisik,
tersedia atau tidak tersedianya fasilitasfasilitas atau sarana-sarana kesehatan,
misalnya puskesmas, obat-obatan, air bersih dan sebagainya
3. Faktor pendorong (reinforcing factors) yang terwujud dalam sikap dan perilaku
petugas kesehatan atau petugas lain, yang merupakan kelompok referensi dari
perilaku masyarakat.
Contoh lain, sosial budaya mempengaruhi kesehatan adalah pandangan suatu
masyarakat terhadap tindakan yang mereka lakukan ketika mereka mengalami sakit,
ini akan sangat dipengaruhi oleh budaya, tradisi, dan kepercayaan yang ada dan
tumbuh dalam masyarakat tersebut. Misalnya masyarakat yang sangat mempercayai
dukun yang memiliki kekuatan gaib sebagai penyembuh ketika mereka sakit, dan bayi
yang menderita demam atau diare berarti pertanda bahwa bayi tersebut akan pintar
berjalan. Jadi, dapat disimpulkan bahwa social budaya sangat mempengaruhi
kesehatan baik itu individu maupun kelompok.
Kebudayaan perilaku kesehatan yang terdapat dimasyarakat beragam dan sudah
melekat dalam kehidupan bermasyarakat. Kebudayaan tersebut seringkali berupa
kepercayaan gaib. Sehingga usaha yang harus dilakukan untuk mengubah kebudayaan
tersebut adalah dengan mempelajari kebudayaan mereka dan menciptakan
kebudayaan yang inovatif sesuai dengan norma, berpola, dan benda hasil karya
manusia.

1. Kajian Sosial Budaya Tentang Perawatan Paliatif


Salah satu faktor yang menentukan kondisi kesehatan masyarakat adalah
perilaku kesehatan masyarakat itu sendiri. Dimana proses terbentuknya perilaku
ini dipengaruhi oleh beberapa faktor. Salah satunya adalah faktor sosial budaya,
bila faktor tersebut telah tertanam dan terinternalisasi dalam kehidupan dan
kegiatan masyarakat ada kecenderungan untuk merubah perilaku yang telah
terbentuk tersebut sulit untuk dilakukan.
Untuk itu, untuk mengatasi dan memahami suatu masalah kesehatan
diperlukan pengetahuan yang memadai mengenai budaya dasar dan budaya suatu
daerah. Sehingga dalam kajian sosial budaya tentang perawatan paliatif bertujuan
untuk mencapai derajat kesehatan yang setinggi-tingginya, meningkatkan kualitas
hidup pasien dan keluarga dalam menghadapi masalah yang berhubungan dengan
penyakit yang mengancam kehidupan.

2. Budaya Masyarakat Tentang Pengobatan Pada Penyakit Paliatif


Kanker payudara merupakan penyakit yang mematikan. Jumlah
penderitanya pun tak sedikit. Sayang, banyak penderita justru memilih ke dukun
alias pengobatan alternatif. Ujung-ujungnya, malah bertambah parah. Banyak
penderita yang baru berobat ke dokter setelah menderita kanker payudara stadium
tinggi.
Selain itu, fenomena dukun Ponari sempat menyita perhatian masyarakat
Indonesia beberapa tahun yang lalu, cerita kemunculan dukun Ponari dengan batu
saktinya sebagai media penyembuhan dengan cara di celupkan ke air.
Kabar tentang kehebatan ponari ini terus meluas hingga menyebabkan
jumlah pasien yang berobat kerumah Ponari dari hari kehari semakin meningkat.
Tindakan masyarakat yang datang ke Dukun Ponari itu tidak terlepas dari peran
budaya yang ada di masyarakat kita terhadap hal-hal yang bersifat mistis. Percaya
terhadap kesaktian batu yang dimiliki Ponari itu merupakan sebuah budaya yang
mengakar dan bertahan dimasyarakat sebagai bagian dari kearifan lokal.
Pemahaman masyarakat terhadap hal-hal yang dipercayai secara
turuntemurun merupakan bagian dari kearifan lokal yang sulit untuk dilepaskan.
Hingga pemahaman magis yang irasional terhadap pengobatan melalui dukun
seperti diatas sangat dipercayai oleh masyarakat. Peranan budaya dan
kepercayaan yang ada dimasyarakat itu diperkuat oleh rendahnya tingkat
pendidikan dan tingkat ekonomi.
2.5 Penerapan Kasus Pada Pasien Paliatif

Permasalahan perawatan paliatif yang sering digambarkan pasien yaitu kejadian-kejadian


yang dapat mengancam diri sendiri dimana masalah yang seringkali di keluhkan pasien yaitu
mengenai masalah seperti nyeri, masalah fisik, psikologi sosial, kultural serta spiritual (IAHPC,
2016).Permasalahan yang muncul pada pasien yang menerima perawatan paliatif dilihat dari
persepktif keperawatan meliputi masalah psikologi, masalah hubungan sosial, konsep diri,
masalah dukungan keluarga serta masalah pada aspek spiritual atau keagamaan (Campbell,
2013).

1. Masalah Fisik
Masalah fisik yang sering dikeluhkan oleh Ny. U adalah nyeri, Ny U mengeluh dirinya
merasakan nyeri dibagian daerah abdomen, namun Ny. U tidak tau berasal dari mana
nyerinya dan Ny.u tidak tau tindakan apa yang harus dilakukan. Kelompok 2
menerapkan teknik napas dalam untuk memanajemen nyeri Ny.U
2. Masalah Psikologi
Masalah psikologi yang dialami Ny.U yang merupakan pasien paliatif adalah
kecemasan. Hal yang menyebabkan terjadinya kecemasan ialah diagnosa penyakit
yang membuat Ny. U takut sehingga menyebabkan kecemasan bagi Ny. U, suami
maupun keluarga. Walaupun kecemasan tidak terlihat jelas dari sikap verbal Ny.U dan
suami, tetapi sikap non verbal Ny.U saat membelakangi pasien dibangsal lain dan
suami yang selalu memperhatikan intake cairan, kebutuhan Ny.U dan senantiasa di
samping Ny.U menunjukan adanya kecemasan dari keluarga Ny.U.
3. Masalah Sosial
Dengan Kondisi Ny.U yang belum membaik tidak dipungkiri kalau kondisi hubungan
sosialnya saat berada disekitar pasien yang lain tidak terjalin dengan baik , namun ia
seringkali menggunkan komunikasi non verbalnya secara baik. Suami Ny.U terlihat akrab
dengan lingkungan pasien dan keluarga pasien yang ada disekitas Ny.U . Mereka sering
kali bertukar pikiran dan saling memperhatikan pasien lain yang ada disekitarnya. 4.
Masalah Spiritual
Menurut Carpenito (2006) salah satu masalah yang sering muncul pada pasien paliatif
adalah distress spiritual. Ny.U sendiri karena diagnose penyakit kronis, nyeri, gejala
fisik, dalam menjalani pengobatan Ny.U merasa tidak mampu melakukan ritual
keagamaan yang mana biasanya dapat dilakukan secara mandiri. Dengan keadaannya
Ny.U membiasakan untuk beribadah ditempat tidurnya dengan fasilitas seadanya
dikarnakan keterbatasan aktivitas. Lain halnya dengan Ny.U, suami Ny.U sendiri
dapat memenuhi kebutuhan spiritualnya dengan mendatangi masjid yang telah ada di
sekitar rumah sakit .

2.5.1 Dukungan Keluarga


1. Definisi keluarga
Keluarga adalah orang yang termasuk dalam ikatan perkawinan, kelahiran dan
adopsi dengan tujuan menciptakan, mempertahankan budaya, meningkatkan
pertahanan fisik, mental, emosional, dan sosial dari setiap anggota keluarga
(Friedman, 2013). Ny.U merupakan seorang istri dan memiliki keluarga yang
saling menjaga hubungan dengan baik.
2. Fungsi keluarga
Secara umum fungsi keluarga adalah sebagai berikut:
a. Fungsi afektif, adalah Ny.U sendiri dengan keterbatasan komunikasinya
masih dapat memenuhi fungsi afektif dengan sikap non verbalnya,
sedangkan suami Ny.U mampu membina anggota keluarganya agar dapat
berhubungan dengan orang lain.
b. Fungsi sosialisasi, adalah didalam lingkungan RS sendiri Suami Ny.U
mencoba untuk berhubungan/bersosialisasi dengan orang lain.
c. Fungsi reproduksi, Tidak Terkaji
d. Fungsi ekonomi, Tidak Terkaji
e. Fungsi perawatan/pemeliharaan kesehatan, Suami Ny. U selalu
memperhatikan kebutuhan dari Ny.U dengan begitu suami Ny.U sangat
mempertahankan keadaan kesehatan Ny.U agar tetap memiliki
produktivitas tinggi.

2.5.2 Pengkajian
Ny. Ulfawani usia 50 thn, agama islam dirawat di rumah sakit Moehammad Husein ruang
THT dengan dx Ca Lidah. Pasien mengeluh terdapat benjolan di dasar lidah sejak ±6 bulan,
merasa nyeri saat menelan, merasa haus yang berlebih. Pasca operasi, pasien mengeluh
bahwa merasakan nyeri seperti di cengkram pada bagian yang di operasi dan masih sulit
untuk makan.  Aspek Psikososial Spiritual Keluarga Pasien a. Persepsi Keluarga Klien
terhadap Penyakit
Suami Ny. U adalah seorang yang setia menjaga Ny. U. Keluarga inti Ny. U hanya
menganggap penyakit nya hanya sariawan dan jamur pada lidah, namun lama kelamaan
semakin parah. Ia menganggap jika penyakit yang diidap oleh istri nya merupakan
sebuah ujian dari Tuhan pada keluarga mereka, sehingga ia mencoba berusaha untuk
mengobati Ny. U hingga sembuh. Suami Ny. U mengatakan jika ia khawatir jika suatu
saat keadaan Ny. U menjadi memburuk. Kekhawatiran itu selalu ada, namun ia tidak
ingin berputus asa dan mencoba melakukan usaha yang terbaik untuk mengobati istri nya.

b. Ekspresi Keluarga Klien saat Interaksi


Ekspresi suami Ny. U nampak murung dan tidak dapat mempertahankan kontak mata.
Sesekali ia memalingkan wajah atau menunduk sambil sesekali melirik. Suami Ny. U
cukup kooperatif saat pengkajian. Begitu pula ekspresi Ny. U yang hanya datar dan
memilih untuk membelakangi Suami Ny. U saat dilakukan pengkajian. Namun, hari
berikutnya sesekali Ny. U juga ikut menjawab dengan beberapa kata. Ny. U masih
memiliki hambatan dalam berkomunikasi, sesekali berbicara dengan suara namun tidak
cukup jelas dan menggunakan suara yang kecil. Sesekali Ny. U berkata sepatah kata lalu
menutup mulutnya.

c. Konsep Diri
Suami Ny. U berperan sebagai suami dan juga ayah dari anak-anaknya, selain itu juga
berperan sebagai kepala keluarga, sedangkan Ny. U berperan sebagai Istri dan Ibu dari
anak-anak nya . Bekerja sebagai petani yang sehari-hari juga dibantu oleh Ny. U, namun
karena Ny. U dalam kondisi fisik lemah maka pekerjaan Ny. U dikerjakan oleh anak nya
yang sudah menikah dan tinggal serumah dengan mereka.

Suami Ny. U memiliki ideal diri untuk berusaha sekuat mungkin dalam mengobati Ny. U
meskipun terkendala biaya. Mengenai citra tubuh, Ny. U sesekali menutup mulut nya
dengan menggunakan kipas atau menggunakan lap yang ada. Ny. U juga hanya sesekali
membuka muut lalu menutupnya dengan cepat

d. Hubungan Sosial
Hubungan antara Ny. U dan suami cukup baik, interaksi diantara kedua nya juga bai.
Terlihat suami Ny. U yang selalu setia menunggui istri nya. Dari ke empat anak Ny. U
hanya anak pertama yang datang berkunjung ke RSMH hal tersebut terkendala biaya,
serta jarak yang jauh karena Ny. U berasal dari bengkulu. Selain itu, Ny. U juga memiliki
keluarga di Palembang yang telah menjenguk sebanyak satu kali. Suami Ny. U mencoba
memahami hal tersebut, karena setiap orang memiliki kesibukan masing-masing. Anak
nya pula hanya sesekali menelpon. Suami Ny. U juga mengatakan jika anak-anak nya
memberikan dukungan berupa nasihat. Suami Ny. U sering bercengkrama dan memiliki
hubungan yang baik dengan keluarga pasien yang lainnya.

e. Spiritual
Ny. U beragama islam, meskipun sakit sesekali ia sholat dengan posisi duduk, serta
wudhu dengan tayamum. Sedangkan suami Ny. U sholat ke masjid terdekat dengan
bangunan RSMH. Ny. U terkadang kesusahan untuk melakukan wudhu karena rentang
aktivitas yang dilakukan terbatas. Tayamum yang dilakukan pula hanya sekali sehari,
sebelum sakit Ny. U ibadah nya selalu lancar. Sudah dianjurkan untuk sholat dengan
berbaring, namun masih kesusahan karena alat-alat yang terpasang di tubuh Ny. U

f. Kultural
Suami Ny. U merupakan dari suku Rejang. Ia mengatakan untuk adat istiadat mereka
sudah tidak terlalu menggunakan nya lagi dan lebih modern. Namun, memang ada
beberapa kepercayaan mengenai penyakit Ny. U jika dioperasi justru akan memperburuk
keadaan, namun karena sudah mencoba ke beberapa pelayanan kesehatan serta herbal
maka Suami Ny. U memutuskan untuk melakukan operasi. Karena melihat kondisi Ny. U
yang semakin membaik maka Suami Ny. U menganggap jika hal tersebut tergantung
kepada pengidap penyakit itu sendiri. Salah satu pengobatan yang mereka coba ialah ke
paranormal, dan pengobatan herbal untuk memakan tanaman herbal yang pahit-pahit.
Namun, tidak membuahkan hasil yang baik bahkan semakin memperburuk keadaan Ny.
U, sehingga di bawa ke RS di Bengkulu lalu di rujuk ke RSMH Palembang.

g. Pengkajian Dukungan keluarga


Dengan Keadaan Ny.U yang terbatas aktivitas dan kondisi yang belum membaik,
dukungan keluarga merupakan sumber kesehatan untuk Ny.U . Ny.U sendiri mempunyai
Suami yang selalu berada didekatnya saat ia sakit, dan anggota keluarganya yang sering
berkunjung agar Ny.U merasa mendapatkan dukungan dari keluarga dan sahabat
terdekat dan merasa diperhatikan,dihargai dan dicintai oleh keluarganya.

Analisa data
Data subjektif Data objektif Etiologi Masalah
 Suami Ny.U  Suami Ny/U selalu Kondisi Ny.U yang Ansietas
mengatakan memperhatikan dan sering merasakan
merasa khawatir memandangi keadaan sakit/nyeri
jika suatu saat infus Ny.U
penyakit Ny.U  Raut muka suami
semakin Ny.U tampak Suami Ny.U selalu
bertambah murung memandangi
parah  Suami Ny.U selalu keadaan istrinya
 Suami Ny.U membantu sang istri
berkata bahwa jika memerlukan
Selalu membantu
penyakit yang apapun dan tidak
setiap apa yang
di derita istrinya pernah marah
dibutuhkan Ny.U
merupakan cobaan ataupun bersikap
dari tuhan kasar
Suami Ny.U takut
dan khawatir jika
suatu saat nanti
keadaan Ny.U
bertambah parah

Diagnosis
Ansietas berhubungan dengan krisis situasional
Intervensi
Diagnosis Tujuan dan kriteria Rencana keperawatan Rasional
hasil
Ansietas Setelah dilakukan Edukasi kesehatan :  Menentukan
berhubungan tindakan keperawatan  Kaji tingkat pendidikan
dengan krisis 3x 24 jam pasien dan pengetahuan kesehatan yang
situasional keluarga mengetahui  Informsikan cocok untuk
mengenai kondisi dan secara factual pasien dan
penyakit yang dialami mengenai keluarga
dengan kriteria hasil : diagnosis,  Meningkatkan
 Tingkat informasi pasien
pengobatan,
pengetahuan dan keluarga
dan prognosis.
membaik
 Tidak
merasakan
kecemasan

BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Perawatan paliatif adalah pendekatan yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas
kehidupan pasien dan keuarganya dalam menghadapi masalah masalah yang berhubungan
dengan penyakit yang mengancam jiwa, dengan mencegah dan meringankan penderitaan
melalui identifikasi awal serta terapi dan masalah lain, fisik, psikososial dan spirittual.
Perilaku merupakan tindakan atau kegiatan yang dilakukan seseorang dan sekelompok orang
untuk kepentingan atau pemenuhan kebutuhan tertentu berdasarkan pengetahuan,
kepercayaan, nilai, dan norma kelompok yang bersangkutan. Kebudayaan kesehatan
masyarakat membentuk, mengatur, dan mempengaruhi tindakan atau kegiatan individu-
individu suatu kelompok sosial dalam memenuhi berbagai kebutuhan kesehatan baik yang
berupa upaya mencegah penyakit maupun menyembuhkan diri dari penyakit. Oleh karena
itu dalam memahami suatu masalah perilaku kesehatan harus dilihat dalam hubungannya
dengan kebudayaan, organisasi sosial, dan kepribadian individu-individunya terutama dalam
paliatif care
3.2 Saran

Diharapkan makalah ini dapat menambah pengetahuan mahasiswa dalam mengikuti proses
pembelajaran dan dapat meningkatkan pelayanan perawatan pasien paliatif dalam tinjauan
pengkajian biopsikologis, sosial budaya dan spiritual. Sebagai petugas kesehatan perlu
mengetahui pengetahuan masyarakat tentang kesehatan. Dengan mengetahui pengetahuan
masyarakat, maka petugas kesehatan akan mengetahui mana yang perlu ditingkatkan, diubah
dan pengetahuan mana yang perlu dilestarikan dalam memperbaiki status kesehatan
DAFTAR PUSTAKA

Pusat Penelitian dan Pengembangan Ekologi dan Status Kesehatan, Jakarta. (diakses tgl 20
februari 2015) Entjang, Indan. 2000.

Ilmu Kesehatan Masyarakat, PT.Citra Aditya Bakti : Bandung. Fitri Nur azizah. 2013.

Aspek Sosial Mempengaruhi Kesehatan,(diakses tgl 23 februari 2015) Lukman Hakim, dkk.,
2013,

Friedman,M.M,. (2013). Keperawatan Keluarga; riset,teori dan praktek. edisi V. Jakarta:


EGC

Menkes RI.(2007). Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor


812/Menkes/Sk/Vii/2007 Tentang Kebijakan Perawatan Paliatif Menteri Kesehatan Republik
Indonesia

Kementerian Kesehatan RI. (2013). Pedoman Teknis Pelayanan Palliatif . Jakarta.

WHO. (2007). WHO guide for effective programmes : Palliative Care. ed.
Geneva, World Health Organization

Anda mungkin juga menyukai