Semen (cement) adalah hasil industri dari paduan bahan baku : batu kapur/gamping
sebagai bahan utama dan lempung/tanah liat atau bahan pengganti lainnya dengan hasil akhir
berupa padatan berbentuk bubuk/bulk, tanpa memandang proses pembuatannya, yang
mengeras atau membatu pada pencampuran dengan air.
Sejarah Semen
Legenda menceritakan bahwa bahan perekat yang digunakan oleh nenek moyang kita
saat membangun bangunan fenomenal seperti Candi Borobudur dan Candi Prambanan di
Indonesia, jembatan di Cina, dll, menggunakan zat putih telur, ketan atau aspal alami.
Legenda tersebut menunjukkan bahwa fungsi semen sudah dikenal sejak zaman dahulu kala.
Lalu, pada abad ke-18 John Smeaton insinyur asal Inggris. Dia membuat adonan
dengan memanfaatkan campuran batu kapur dan tanah liat saat membangun menara suar
Eddystone di lepas pantai Cornwall, Inggris.
Ironisnya, bukan Smeaton yang akhirnya mematenkan proses pembuatan cikal bakal
semen ini. Joseph Aspdin lah yang pada tahun 1824 mengurus hak paten ramuan yang
kemudian dia sebut semen portland. Dinamai begitu karena warna hasil akhir olahannya
mirip seperti tanah liat Pulau Portland, Inggris. Hasil rekayasa Aspdin inilah yang sekarang
banyak dipajang di toko-toko bangunan.
Sebenarnya, adonan Aspdin tak beda jauh dengan Smeaton. Dia tetap mengandalkan
dua bahan utama, yaitu batu kapur dan tanah lempung.Namun bahan-bahan itu ia haluskan
dan dipanaskan pada suhu tinggi sampai terbentuk campuran baru.
Industri Semen
Industri semen dapat dikelompokkan dalam 5 tingkatan yaitu:
1. Weight loosing process industry, karena untuk membuat satu ton semen diperlukan
bahan-bahan baku seperti yang telah disebutkan di atas yang berat totalnya hampir dua
kali lipat dari produk akhir yang dihasilkannya, sehingga industri semen adalah industri
yang padat modal.
2. Selain padat modal industri semen juga padat energi. Energi yang dipakai pada
umumnya adalah listrik dan bahan bakar. Untuk menghasilkan satu ton semen, energi
yang dibutuhkan bisa mencapai 110–120 Kwh energi listrik; sedangkan untuk
menghasilkan satu ton clinker, energi yang dibutuhkan adalah antara 800–900 Kkal
energi bahan bakar.
3. Rentang biaya produksi semen per tonnya adalah antara US $26–US $38. Oleh karena itu
industry semen merupakan industri yang bersifat ekonomi skala besar (economies of
scale) yang artinya semakin besar volume produksinya, semakin kecil biaya rata-rata
(average cost) per ton semen.
4. Proses produksi semen adalah proses produksi yang terpadu (berada pada satu lokasi dan
tidak terpisah-pisah), sehingga kemungkinan melakukan mutasi barang setengah jadi
sangatlah sulit. Proses produksi dalam industri semen dilakukan dengan menggunakan
high technology (teknologi canggih), sehingga industri semen hanya dapat dilakukan
oleh industri besar saja (bukan berbentuk industri rakyat/home industry). Selain itu,
industri semen menghasilkan single product, yaitu produk semen saja dan sangat sulit
untuk memproduksi barang lain selain semen.
5. Sistem distribusi barang jadi hasil produksi semen adalah sederhana, yaitu melalui
Asosiasi Semen Nasional, melalui truk, tangki atau kontainer. Selain itu, tempat
penimbunan barang jadi hasil industri semen juga sederhana, sehingga mudah untuk
diawasi.
Berdasarkan hal-hal yang telah disebutkan di atas, industri semen bukanlah industri
tradisional melainkan industri yang modern yang padat modal, sehingga mengharuskan
memiliki sistem administrasi yang baik. Oleh karena itu, pengawasan terhadap jumlah
produksi maupun penjualan semen dalam rangka perhitungan cukainya tidaklah terlalu sulit.