Anda di halaman 1dari 2

MODEL PENDAMPINGAN ORANG JUALAN

( Studi kasus pengurangan berat timbangan dalam jual beli

Jual beli adalah tukar menukar maal ( barang atau harta) dengan maal yang dilakukan dengan cara
tertentu. Atau tukar barang yang beli dengan semacemnya dengan cara yang sah . Dalam jual beli
penjual haruslah berperilaku jujur , dilandasi keinginan orang lain agar orang lain mendapatkan kebaikan
dan kebahagiaan sebagaimana yang ia menginginkannya.

Di Desa Pitrosari dalam penjualannya terdapat pengurangan timbangan yang dilakukan oleh pembeli,
pengurangan tersebut sudah menjadi kebiasaan, sehingga para petani selaku penjual walaupun merasa
dirugikan terpaksa harus bisa menerima. Namun rasa menerima dari petani diiringi dengan kecurangan
yaitu dengan mencampur gula kedalam tembakau agar berat tembakau bisa bertambah. Jual beli
tembakau tersebut jika dilihat dari segi Hukum Islam sangatlah dilarang, karena terdapat kecurangan
yang bisa mengakibatkan kerugian salah satu pihak. Seharusnya dalam jual beli para pelaku harus
berbuat jujur sehingga bisa menjauhkan dari memakan harta dengan cara yang batil. Hukum
mengurangi timbangan dalam islam termasuk dalam dosa besar atau sama dengan dosa orang yang
melalaikan shalatnya. Allah akan membawa pelakunya ke neraka wayl ( fawaiilul lil mushalin) . Wailul
atau wayl adalah lembah jahannam dimana bukit- bukit apabila dimasukkan ke dalamnya langsung
mencair karena amat panasnya .

Saayidina Ali r.a berkata bahwa janganlah meminta kebutuhanmu dari seseorang yang rezekinya berada
di ujung takaran dan timbangan.

Sungguh kisah-kisah di atas adalah salah satu ancaman untuk orang yang berani mengurangi timbangan
dalam kegiatan jual beli. Bahkan hukum tersebut telah dijelaskan dalam Al-Quran dan Hadits : " jika
kamu menimbang harus ditepati " ( HR.Ibnu Majah)

“Sempurnakan takaran dan jangan menjadi orang yang merugikan. Dan timbanglah menggunakan
timbangan yang lurus.” (QS. Asy-Syu’ara 181-182)

َ‫وي ٌل لِّ ۡل ُمطَفِّفِ ۡين‬


ۡ

ِ َّ‫الَّ ِذ ۡينَ اِ َذا ۡاكتَالُ ۡوا َعلَى الن‬


َ‫اس يَ ۡست َۡوفُ ۡون‬

ؕ َ‫َواِ َذا كَالُ ۡوهُمۡ اَوْ َّوزَ نُ ۡوهُمۡ ي ُۡخ ِسر ُۡون‬

َ -ِ‫ولٓ ِٕٕٮ‬
َ‫ك اَنَّهُمۡ َّم ۡبع ُۡوثُ ۡون‬ ٰ ُ‫اَاَل يَظُ ُّن ا‬

‫َظ ۡي ٍم‬
ِ ‫لِيَ ۡو ٍم ع‬

ؕ َ‫ي َّۡو َم يَقُ ۡو ُم النَّاسُ لِ َربِّ ۡال ٰعلَ ِم ۡين‬

Artinya : “Kecelakaan besar bagi orang yang curang. Yaitu orang yang menerima takaran, harus
dipenuhi. Dan apabila mereka menakar, mereka akan mengurangi. Tidakkah orang-orang yakin mereka
dibangkitakan pada hari yang besar yaitu hari saat manusia menghadap Rabb semesta alam” (QS. Al-
Muthaffifin 1-6).
Allah SWT menafsirkan muthaffifin sebagai perilaku kecurangan. Kegiatan kecurangan tersebut seperti
yang terkandung dalam ayat tersebut adalah, apabila orang tersebut menakar untuk diri sendiri, mereka
meminta agar takarannya penuh bahkan meminta tambahan.

Namun, apabila mereka menakarkan untuk orang lain, mereka akan mengurangi takaran tersebut, baik
dengan alat timbangan yang direkayasa atau dengan cara yang lain. Maka, hukum bagi orang yang
melakukannya adalah siksaan neraka yang dahsyat yaitu neraka Jahannam.

Sebab-sebab seseorang melakukan tindakan kecurangan diantaranya :


1.      Kuranganya ilmu dan pengetahuan tata cara berniaga dan berdagang yang baik menurut
Islam
2.      Tidak mendalami fiqh buyu atau hukum-hukum jual beli dalam muamalah Islam.

Syarat-syarat Taubat-Nya adalah:

1. Ikhlas kepada Allah.


2. Penyesalan atas maksiat yang pernah ia lakukan.
3. Meningglkan dosa tersebut.
4. Bertekad agar tidak kembali lagi berbuat dosa di waktu yang akan datang
5. Taubat dilakukan pada waktu yang tepat, yaitu: Sebelum datangnya Ajal dan Sebelum
Matahri terbit dari barat.

Anda mungkin juga menyukai