TINJAUAN PUSTAKA
A. Penelitian Terdahulu
ini, terdapat beberapa penelitian yang berkaitan dengan perceraian, asas, dan asas
Syariah UIN Maulana Malik Ibrahim Malang, NIM 062100047 tahun 2010
dengan judul penelitian Pandangan Hakim Terhadap Gugat Ceari Seorang Isteri
13
14
adalah mengenai cerai gugat yang diajukan oleh seorang istri yang sedang dalam
yang digunakan dalam memutus perkara cerai gugat yang diajukan oleh isteri
dalam keadaan hamil. Hasil penelitian ini mengatakan bahwa gugat cerai seorang
dikabulkan. Hal tersebut tidak lepas dari pertimbangan hakim yang mengatakan
karena sudah tidak ada keharmonisan lagi dari kedua belah pihak maupun
penelitian penulis adalah sama-sama berada dalam tema besar tentang perceraian.
Syariah UIN Maulana Malik Ibrahim Malang, NIM 06210050 tahun 2010 dengan
judul penelitian asas forum domisili dalam perkara perceraian (relevansi antara
pasal 118 ayat (1) HIR/ Pasal 142 (1) R.Bg dengan Pasal 66 dan Pasal 73 Undang-
mengenai kompetensi relatif Pengadilan Agama yang didasarkan pada HIR dan
RBg serta Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989. Fokus penelitian ini adalah
Persamaan penelitian ini dengan penelitian penulis adalah sama-sama berada pada
17
Farhatul Muwahidah, Pandangan Hakim Terhadap Gugat Ceari Seorang Isteri Dalam Keadaan
Hamil (Studi Perkara Pengadilan Agama Malang Nomor. 789/pdt.g/2008/PA. Malang), Skripsi
Sarjana, (Malang: Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang, 2010).
15
tema besar yang sama yakni tentang perceraian. perbedaannya, peneliti lebih
mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. NIM
perceraian di Pengadilan Agama Wates (studi kasus 2013). Dalam penelitian ini
yang berakibat pada efektif atau tidaknya penerapan asas tersebut dalam
penelitian ini memiliki perbedaan dengan penelitian penulis, yakni penulis lebih
penyelesaian perkara cerai baik cerai talak maupun cerai gugat dalam Pengadilan
Agama di Jawa Timur. Dengan demikian, maka hasil yang ingin dicapai bukanlah
18
Iva Kurniyatin Nuroini, Asas Forum Domisili Dalam Perkara Perceraian (Relevansi Antara
Pasal 118 ayat (1) HIR/ Pasal 142 (1) R.Bg dengan Pasal 66 dan Pasal 73 Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1989), Skripsi Sarjana, (Malang: Universitas Islam Negeri Maulana Malik
Ibrahim Malang, 2010).
16
B. Kerangka Teori
lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan
tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal
sebuah konflik yang sulit untuk ditemukan jalan keluarnya sehingga membuat
perkawinan karena kematian, talak, fasakh, li‟an, nusyuz dan syiqaq.21 Putusnya
meninggalnya salah seorang suami atau isteri. Dengan adanya kematian tersebut,
perkawinan karena talak, yaitu melepas tali perkawinan dan mengakhiri hubungan
19
Erza Mufti Umam, Penerapan Asas Mempersulit Terjadinya Perceraian di Pengadilan Agama
Wates (Studi Kasus 2013), Skripsi Sarjana, (Yogyakarta: Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga,
2014).
20
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Pasal 1
21
Ahmad Azhar Basyir, Hukum Perkawinan Islam, (Yogyakarta: UII Press, 1999), h. 69
22
Amir syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2007), h. 197
17
membatalkan ikatan hubungan antara suami dan isteri. Fasakh bisa terjadi karena
kandung antara suami isteri dan juga fasakh dapat terjadi karena hal-hal yang
datang setelah akad, seperti apabila salah satu dari suami atau isteri murtad dan
tidak mau lagi kembali pada agama Islam atau salah satu suami atau isteri menjadi
karena li‟an yaitu suami menuduh isteri berbuat zina dan atau mengingkari anak
dalam kandungan atau yang sudah lahir dari isterinya, sedangkan isteri menolak
Putusnya perkawinan karena nusyuz adalah antara suami atau isteri dengan
syiqaq, yaitu tahap perselisihan antara suami isteri setalah terjadinya nusyuz yang
hukum Islam juga memiliki dasar hukum, yakni dalam QS. Al-Baqarah (2): 229
yang berbunyi :
23
H.M.A. Tihami, Sohari Sahrani, Fikih Munakahat, (Jakarta: Rajawali Pers, 2009), h. 229
24
H.M.A. Tihami, Sohari Sahrani, Fikih Munakahat, h. 196
25
KHI Pasal 126
26
Ahmad Azhar Basyir, Hukum Perkawinan Islam, h. 88
27
Ahmad Azhar Basyir, Hukum Perkawinan Islam, h. 90
18
Artinya: Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. setelah itu boleh rujuk lagi
dengan cara yang ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. tidak
halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang telah kamu berikan
kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat
menjalankan hukum-hukum Allah. jika kamu khawatir bahwa keduanya
(suami isteri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, Maka tidak ada
dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk
menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, Maka janganlah kamu
melanggarnya. Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka
Itulah orang-orang yang zalim.28
Selain dalam surat Al-Baqarah (2) ayat 229, dasar hukum dalam Al-Qur‟an
mengenai cerai terdapat dalam Al-Baqarah (2) ayat 230 yang berbunyi :
28
Qs. al-Baqarah (2): 229
29
Qs. al-Baqarah (2): 230
19
Menurut fiqh, hanya suami yang berhak menceraikan isterinya yaitu dengan
talak dan cukup secara lisan tanpa melalui penguasa. Isteri dapat mohon cerai
dipengaruhi oleh beberapa hal, seperti yang disebutkan dalam Pasal 113 KHI dan
1), Kematian;
kematian bukanlah kematian perdata (le mort civile), akan tetapi kematian
kematian salah satu pihak, apakah sang suami ataukah sang isteri.32 Putusnya
perkawinan karena kematian merupakan takdir dari Tuhan Yang Maha Esa yang
30
Andi Tahir Hamid, Peradilan Agama dan Bidangnya, (Jakarta: Sinar Grafika, 1996), h. 28
31
Inpres Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam, Pasal 112
32
R. Soetojo Prawirohamidjojo, Pluralisme dalam Perundang-Undangan Perkawinan di
Indonesia, (Surabaya: Airlangga University Press, 2006), h. 123
20
tidak dapat dielakkan manusia. Nampaknya, baik dalam KUH Perdata maupun
yakni dalam KHI, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan dan
1974.
Putusnya perkawinan karena perceraian memiliki dua istilah atau dua sebutan
yakni “cerai talak” dan “cerai gugat”. Sedangkan putusnya perkawinan karena
alasan. Penyebutan “cerai mati” dan “cerai batal” tidak menunjukkan adanya
perselisihan antara suami dan isteri. Sedangkan dalam penyebutan “cerai gugat”
dan “cerai talak” menunjukkan kesan adanya perselisihan antara suami dan isteri.
sebagai “cerai batal” yang menunjukkan kesan tidak adanya perselisihan antara
suami isteri, maka akan lebih tepat jika putusnya perkawinan atas keputusan
33
Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia menurut Perundangan, Hukum Adat,
Hukum Agama, (Bandung: CV. Mandar Maju, 2007), h. 149
21
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, hukum tentang perceraian bagi umat
dilakukan berdasarkan madzhab syafi‟i. Hal tersebut sesuai dengan Surat Edaran
yang dikeluarkan oleh Biro Peradilan Agama tanggal 18 Februari 1958 No. E/1/35
Pejabat Pencatat Nikah, Talak, Rujuk, dan Saksi-saksi, tidak dibatasi dengan
alasan-alasan tertentu seperti yang terdapat dalam Pasal 116 KHI dan Pasal 19 PP
tentang Perkawinan. kemudian, talak dapat dilakukan dengan lisan, tertulis, baik
dengan kata-kata yang jelas atau sindiran, dan tidak harus dihadiri oleh isteri.
berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 adalah hak mutlak dari suami
untuk menceraikan isterinya tnpa ada pembatasan dari pengadilan atau penguasa
34
Abdulkadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia. h. 108
22
pihak isteri, anak-anak, keluarga dan masyarakat.35 Dalam fikih klasik, jumhur
ulama berpendapat bahwa hak mutlak untuk menjatuhkan talak ada pada suami.
Oleh karena itu, kapan saja dan dimana saja seorang suami ingin menjatuhkan
talak terhadap isterinya, baik ada saksi atau tidak, baik ada alasan atau tidak, talak
yang dijatuhkan itu hukumnya sah. Bahkan jumhur ulama mengatakan bahwa
talak yang dijatuhkan seorang suami dalam keadaan mabuk pun dihukumi sah.
Tetapi, jumhur ulama berpendapat pula meskipun hak mutlak talak berada pada
suami, Islam juga memberik hak kepada isteri untuk menuntut cerai melalui
khulu‟ terhadap suami yang telah keluar dari tabiatnya. Memberikan hak talak
bagi suami adalah ketentuan dari Al-Qur‟an. Dalam membicarakan hak mutlak
talak, para ulama hampir selalu membicarakan masalah hak-hak seorang isteri
tersebut tidak hanya diperuntukkan bagi golongan penduduk yang beraga Islam,
tetapi juga bagi golongan penduduk yang tidak beragama Islam. Tetapi, khusus
bagi golongan penduduk yang beragama Islam, pada tahun 1991 telah dikeluarkan
Inpres Nomor 1 Tahun 1991 tentang KHI, yang isinya disamping terdapat
35
R. Soetojo Prawirohamidjojo, Pluralisme dalam Perundang-undangan Perkawinan di Indonesia,
h. 124
36
M. Anshari MK, Hukum Perkawinan di Indonesia. Masalah-masalah krusial, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2010), h. 77
23
perceraian harus ada cukup alasan bahwa suami isteri sudah tidak dapat hidup
rukun lagi sebagai suami isteri.39 Alasan-alasan tersebut terdapat dalam KHI Pasal
oleh suami, termasuk suka bermain cabul dengan wanita pelacur dan peminum
serta penjudi dapat menjadi alasan bagi isteri untuk meminta cerai kepada
pria dengan wanita yang bersetubuh tidak dalam ikatan perkawinan yang sah,
baik hal itu dilakukan antara pria dan wanita yang sudah atau sedang dalam
ikatan perkawinan, maupun antara pria dan wanita yang tidak atau belum ada
ikatan perkawinan.
b. Tidak Memberi Nafkah. Apabila suami tidak memberi nafkah dzahir batin
dalam waktu yang lama , artinya suami tidak memberi biaya hidup dan tidak
37
M. Anshari MK, Hukum Perkawinan di Indonesia. Masalah-masalah krusial, h. 76
38
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, Pasal 39 ayat 1
39
Sudarsono, Hukum Perkawinan Nasional, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2005), h. 116
40
Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Adat, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1995), h.
172-173
24
menggauli isterinya sebagai isteri, sedangkan isteri sudah cukup sabar menanti-
nanti, maka keadaan demikian dapat dijadikan alasan bagi isteri untuk meminta
memberi nasehat, berpisah tidur atau memukulnya. Kemudian dalam QS. Al-
Baqarah : 228, dinyatakan bahwa “hak isteri yang patut diterima dari
Berdasarkan ayat ini, maka sebagai akibat durhaka isteri terhadap suami, si
agama itu merupakan pedoman hidup berumah tangga suami isteri. Oleh
karenanya memukul isteri yang durhaka (melawan suami) adalah hak bagi
bersama anggota kerabat, isteri harus berpisah tempat dengan suami dan
sebaliknya jika suami yang merasa terancam kehidupannya terhadap isteri dan
di hadapan pengadilan.
25
d.Cacat tubuh/ kesehatan. Cacat tubuh atau terganggunya kesehatan suami isteri
adalah isteri mandul, suami lemah syahwat (impoten), berpenyakit berat yang
sulit disembuhkan, kurang akal, bisu, tuli, buta dan penyakit yang
terjadinya perceraian.
damaikan lagi, dapat menjadi alasan untuk bercerai. Diantara perselisihan itu
dalam mengurus rumah tangga, bertolak belakang dalam berfikir dan bertindak
sebagai suami isteri karena tidak sekufu, dan mungkin juga sebagai akibat
kedudukan martabat, harta pusaka, harta perkawinan atau mungkin juga karena
1), Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut
tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar
kemampuannya;
2), Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman
41
Inpres Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam, Pasal 116 dan PP Nomor 9 Tahun
1975 tentang pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 19
26
yaitu cerai talak dan cerai gugat. Pertama, cerai talak adalah khusus bagi yang
Pengadilan Agama. Berdasarkan agama Islam, cerai dapat dilakukan oleh suami
dengan mengikrarkan talak kepada isteri. Namun, agar sah secara hukum, suami
berkekuatan hukum tetap. Kedua, cerai gugat adalah gugatan perceraian yang
1), Suami ditinggal mati oleh isterinya dapat secara langsung melakukan
perkawinan dengan wanita lain karena tidak ada „iddah bagi suami
4), Sebaliknya, isteri yang ditinggal mati oleh suaminya baru boleh kawin
42
Yayasan bantuan hukum indonesia dan AusAID, Panduan Bantuan Hukum Di Indonesia,
(Jakarta: Yayasan Obor Indonesia,2014), h. 42-43
27
1), Ikatan perkawinan menjadi putus, maka putus pula hak dan kewajiban
2), Bila isterinya dalam keadaan hamil, maka ia berhak atas tempat tinggal
3), Jika isteri dalam keadaan tidak hamil, maka mantan isteri berhak atas
masa berikutnya
4), Hak memperoleh keperluan hidup selama dalam masa hamil menjadi
5), Jika mantan isteri menjalani masa „„iddah nya akibat talak ba‟in yang
diduga tidak hamil, sehingga tidak ditetapkan hak keperluan hidup dan
43
R. Soetojo Prawirohamidjojo, Pluralisme dalam Perundang-undangan Perkawinan di
Indonesia, h.143
28
6), Atas hak keperluan hidup dan tempat tinggal mantan isteri, jika
7), Melunasi hutang keperluan hidup dan mahar yang belum dibayar oleh
mantan suami
8), Mantan suami dan mantan isteri tidak dapat mewaris, meskipun saat
1), Mantan suami diperbolehkan untuk menikahi mantan isteri dengan syarat
mantan isteri pernah menikah dengan orang lain dan ba‟da dukhul.
Kemudian bercerai secara wajar dan telah selesai masa „iddah dari suami
kedua
2), Jika terjadi karena li‟an, maka mantan suami iateri tersebut tidak
3), Mantan isteri tidak memperoleh keperluan hidup maupun tempat tinggal
mantan suaminya, sebab dalam kasus ini tidak ada kemungkinan untuk
2. Menurut Perundangan
44
R. Soetojo Prawirohamidjojo, Pluralisme dalam Perundang-undangan Perkawinan di
Indonesia, h. 143-144
45
R. Soetojo Prawirohamidjojo, Pluralisme dalam Perundang-undangan Perkawinan di
Indonesia, h.144
29
mengenai waktu tunggu atau masa „iddah yang disebabkan oleh putusnya
putusnya perkawinan baik cerai mati ataupun cerai talak dan cerai gugat. Serta
130 hari
2), Apabila perkawinan putus karena perceraian, waktu tunggu bagi yang
ditetapkan 90 hari
3), Apabila perkawinan putus sedang janda tersebut dalam keadaan hamil,
4), Tidak ada waktu tunggu bagi janda yang putus perkawinan karena
5), Bagi perkawinan yang putud karena perceraian, tenggang waktu tunggu
46
PP Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan, Pasal 39
30
memuat tentang akibat dari putusnya perkawinan yang dibagi menjadi dua
bagian, yaitu akibat talak yang diatur dalam pasal 149, 150, 151, dan 152.
Pengaturan ini juga memuat pengaturan tentang waktu tunggu seperti halnya
dalam PP nomor 9 Tahun 1975 yang terdapat dalam bagian kedua, yaitu waktu
D. Akibat Perceraian
Perceraian yang terjadi antara dua belah pihak yang pernah melakukan
Perkawinan dan dalam Inpres Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum
a. Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-
keputusan.
47
Inpres Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam, Pasal 149, 150, 151, 152, 153,
154, 155
31
isteri.48
Seperti yang telah diuraikan sebelumnya bahwa dalam KHI tidal hanya
memuat tentang akibat dari perceraian saja, tetapi juga memuat akibat dari
terdapat dalam Pasal 156, 157, 158, 159, 160, 161, dan 162.49
Selain akibat perceraian yang ada karena cerai talak maupun cerai gugat,
terdapat akibat perceraian yang terjadi karena perceraian dengan alasan zina.
Akibat perceraian dengan alasan zina tersebut adalah perkawinan putus untuk
selama-lamanya, anak yang dikandung dinasabkan kepada isteri atau ibu, dan
pengadilan agama pun juga ada beberapa tahapan-tahapan atau prosedur yang
48
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, Pasal 41
49
Inpres Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam, Pasal 156,157,158,159,160,161,
dan 162
50
Sulaikin Lubis, Wismar „Ain Marzuki, Gemala Dewi, Hukum Acara Perdata Peradilan Agama
Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2005), h. 132
32
tercapainya suatu produk hukum peradilan agama oleh hakim. Produk hukum
yang dimaksud adalah yang meliputi produk hukum yang berupa putusan untuk
perkara yang bersifat gugatan dan penetapan untuk perkara yang bersifat
permohonan.51
sebagai berikut:
1. Sidang I
a. Pada sidang pertama, bila pemohon dan termohon hadir, maka akan ada
tiga kemungkinan:
1), para pihak berdamai dan sidang tidak jadi dilaksanakan, atau
Berdasarkan hal ini, hakim dapat menunda sidang dan menyarankan agar
1), pemohon hadir sedang termohon tidak hadir, sidang ditunda untuk
51
Erfaniah Zuhriah, Peradilan Agama Indonesia, (Malang: UIN-MALANG PRESS, 2009), h.
266
33
kembali untuk memanggil pemohon. Bila telah dipanggil sekali lagi dan
pemohon tidak hadir dalam sidang, maka hakim dapat menetapkan bahwa
termohon. Hal ini diatur dalam Pasal 124 HIR/148 RB.g. bila pemohon
(gaib).
Jika pemohon dan termohon hadir di depan sidang, mejelis hakim dapat
Pada kesempatan ini, termohon atau kuasanya dapat mengajukan gugatan balik
(rekonvensi). Jawaban atau rekonvensi dapat diajukan secara tertulis atau lisan
(Pasal 121 ayat (2) HIR/ Pasal 145 (2) RB.g. jo Pasal 132 ayat (1) HIR/Pasal 158
ayat (1) RB.g. Bila termohon atau kuasa hukumnya tidak hadir dalam sidang
meskipun mengirimkan surat jawaban, tetap dinilai tidak hadir dan jawaban itu
tidak diperhatikan, kecuali jawaban yang berupa eksepsi atau tangkisan bahwa
52
Sulaikin Lubis, Wismar „Ain Marzuki, Gemala Dewi, Hukum Acara Perdata Peradilan Agama
Indonesia, h. 121
34
Selain rekonvensi dan eksepsi terdapat beberapa hal yang dapat diajukan oleh
lisan adalah menjadi kewajiban panitera untuk mencatatnya dalam berita acara
persidangan.53
dalil-dalilnya pada surat permohonannya atau dapat juga merubah sikap dengan
duplik yang pada pokoknya mengulangi dan menegaskan kembali jawaban serta
diulangi sampai pada titik temu antara pemohon dan termohon dan atau dianggap
cukup oleh hakim. Bila acara jawab-menjawab dianggap telah cukup. Namun,
masih ada hal-hal yang tidak disepakati oleh pemohon atau termohon sehingga
53
Sulaikin Lubis, Wismar „Ain Marzuki, Gemala Dewi, Hukum Acara Perdata Peradilan Agama
Indonesia, h. 122
54
Sulaikin Lubis, Wismar „Ain Marzuki, Gemala Dewi, Hukum Acara Perdata Peradilan Agama
Indonesia, h. 122
55
Sulaikin Lubis, Wismar „Ain Marzuki, Gemala Dewi, Hukum Acara Perdata Peradilan Agama
Indonesia, h. 123
35
5. Sidang V, Pembuktian
Pada tahap ini, baik pemohon atau termohon diberi kesempatan yang sama
untuk mengajukan bukti-bukti baik berupa saksi-saksi, alat bukti surat, maupun
pengadilan agama, tidak hanya untuk cerai talak, melainkan untuk cerai gugat dan
Tata cara mengenai perceraian sebenarnya sudah sangat rinci diatur dalam
1974 tentang Perkawinan, yakni dalam Pasal 14 sampai Pasal 18 dan dalam
Secara garis besar, prosedur gugatan perceraian dibagi ke dalam dua jenis,
56
Sulaikin Lubis, Wismar „Ain Marzuki, Gemala Dewi, Hukum Acara Perdata Peradilan Agama
Indonesia, h. 123
57
Sulaikin Lubis, Wismar „Ain Marzuki, Gemala Dewi, Hukum Acara Perdata Peradilan Agama
Indonesia, h. 124
58
Sulaikin Lubis, Wismar „Ain Marzuki, Gemala Dewi, Hukum Acara Perdata Peradilan Agama
Indonesia, h. 124
59
PP Nomor 9 Tahun 1975 tentang pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
36
perceraian yang diajukan oleh pihak suami (disebut cerai talak). Kedua, gugatan
Mengenai tata cara cerai talak, diatur dalam Pasal 14 sampai dengan Pasal
pula bahwa suami isteri yang bersangkutan tidak mungkin lagi didamaikan
untuk hidup rukun lagi dalam rumah tangga, maka pengadilan akan
melanjutkan proses perceraian antara kedua belah pihak hingga mencapai izin
4. Kemudian setelah terjadi suatu perceraian atau setelah jatuh talak suami kepada
60
Budi Susilo, Prosedur Gugatan Cerai, (Yogyakarta: Pustaka Yustisia, 2008), h. 17
37
perceraian.61
Kemudian, mengenai tata cara cerai gugat secara rinci diatur dalam Pasal 19
sampai dengan Pasal 36 PP Nomor 9 Tahun 1975 yang secara umum diuraikan
sebagai berikut:
a. Pengajuan gugatan
2), Dalam hal termpat kediaman tergugat tidak jelas atau tidak diketahui
3), Demikian juga gugatan perceraian dengan alasan salah satu pihak
pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau hal lain diluar
penggugat.62
b. Pemanggilan
2), Pemanggilan dilakukan oleh juru sita untuk pengadilan negeri dan
3), Panggilan tersebut harus dilakukan dengan cara yang patut dan
kabar atau media masa lain yang ditetapkan oleh pengadilan yang
c. Persidangan
63
Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam Dan Undang-Undang Perkawinan, h. 132
39
3), Apabila tergugat tidak hadir dan sudah dipanggil sepatutnya, maka
tertutup.64
d. Perdamaian
dicapainya perdamaian.
meminta bantuan kepada orang lain atau badan lain yang dianggap
perlu.65
e. Putusan
terbuka.
64
Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam Dan Undang-Undang Perkawinan, h. 133
65
Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam Dan Undang-Undang Perkawinan, h. 133
40
Akan tetapi, disamping terdapat cerai talak dan cerai gugat, dikaitkan dengan
1989 diatur secara khusus, yaitu terdapat juga cerai dengan alasan zina yang
terdapat dalam Pasal 87 hingga Pasal 88.67 Pasal 87 terdiri dari dua pasal dengan
bunyi pasal :
a) Apabila permohonan atau gugatan cerai diajukan atas alasan salah satu
tersebut, dan hakim berpendapat bahwa permohonan atau gugatn itu bukan
tiada pembuktian sama sekali serta penangguhan alat bukti tidak mungkin
lagi diperoleh baik dari pemohon atau penggugat maupun dari termohon
66
Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam Dan Undang-Undang Perkawinan, h. 134
67
Sulaikin Lubis, Wismar „Ain Marzuki, Gemala Dewi, Hukum Acara Perdata Peradilan Agama
Indonesia, h. 119
68
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Pasal 87
41
pasal:
li‟an.
Hal ini diatur dalam KHI Pasal 127 yang pada intinya menyatakan bahwa:
a) Suami bersumpah empat kali dengan kata tuduhan zina dan atau
kata “laknat Allah atas dirinya apabila tuduhan dan atau pengingkaran
tersebut “dusta”.
kelima dengan kata-kata “murka Allah atas dirinya (isteri) bila tuduhan
c) Tata cara dalam huruf a dan b diatas merupakan satu kesatuan yang tak
terpisahkan
d) Apabila tata cara pada huruf a tidak diikuti dengan tata cara pada huruf b,
69
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Pasal 88
70
Inpres Nomor 1 Tahun 1991 Pasal 127
42
Pasal 128 dalam Kompilasi Hukum Islam dikatakan bahwa li‟an hanya sah
Ada beberapa asas yang terdapat dalam hukum acara peradilan agama.
Asas-asas tersebut meliputi asas umum peradilan agama, asas khusus peradilan
agama, asas penyelesaian perkara perdata agama dan asas kedudukan pejabat
berikut:72
datang dari pihak ekstra yudisial, kecuali dalam hal yang diizinkan
undang-undang.
71
Sulaikin Lubis, Wismar „Ain Marzuki, Gemala Dewi, Hukum Acara Perdata Peradilan Agama
Indonesia, h. 131-132
72
Ahmad Mujahidin, Pembaharuan Hukum Acara Peradilan Agama, (Bogor: Ghalia Indonesia,
2012), h. 31
43
maha esa”.
f. Asas legalitas, asas ini dapat dimaknai sebagai hak perlindungan hukum
dan hak persamaan hukum. untuk itu, segala kegiatan yang berkenaan
berperkara.
pihak yang berperkara di muka persidangan. Dalam hal ini hakim harus
j. Asas unus testis nulus testis, seorang saksi tanpa disertai oleh alat bukti
hak tergugat berempat tinggal, sebagaimana diatur dalam Pasal 118 HIR
agama.
atau jika hakim dengan alasan penting yang dicatatdalam berita acar
didasarkan atas status sosial, ras, suku, budaya, dan jenis kelamin.
e. Asas aktif memberi bantuan, dalam pasal 119 HIR dan Pasal 143 RBg
posisi yang “aktif” juga dalam Pasal 58 ayat (2) UU Nomor 50 Tahun
selain harus memuat alasan dan dasar putusan, juga memuat pasal
sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili dan
pada alasan-alasan penilaian (basic reason) dan dasar hukum yang tepat
dak benar. Dasar basic reason dalam sebuah putusan secara yuridis
normatif mengacu pada Pasal 184 ayat (1) HIR jo. Pasal 195 ayat (1)
dan kepatutan.
yang diminta.
4), para pihak memiliki hak ingkar (menolak) terhadap hakim yang
menjadi perkaranya
6), hakim pasif. Ruang lingkup pokok sengketa ditentukan oleh pihak
yang bersangkutan, bukan oleh hakim, yakni jika tidak ada tuntutan hak,
7), hakim berkuasa untuk memberikan perintah kepada para pihak yang
8), tidak harus lewat pengacara. Para pihak dapat langsung menghadap
secara langsung (in persona). Dalam perkara perceraian, maka para pihak
wajib hadir secara pribadi dalam usaha damai, karena hukum acara
hukum tetap
13), hakim tidak boleh menolak perkara yang diajukan kepadanya, hakim
menentukan lain. Dalam hal perceraian, hakim boleh memutus lebih dari
15), penetapan hakim hanya sah dan memiliki kekuatan hukum apabila
Nomor 7 Tahun 19789 jo Pasal 90 UU Nomor 50 Tahun 2009 jo. Pasal 121
(4) HIR jo. Pasal 145 (4) RBg, pada dasarnya setiap orang yang mengajukan
berperkara secara prodeo, yakni dengan seizin hakim dapat dibebaskan dari
biaya perkara dengan membawa surat keterangan tidak mampu dari lurah
c. Asas hakim aktif falam pemeriksaan. Asas ini memiliki pengertian yang
sama dengan asas aktif memberikan bantuan yakni majelis hakim harus
berkepentingan), atau asas nemo, yudex sine actor (tidak ada tuntutan hak,
maka tidak asa hakim). Hakim bersifat pasif untuk menunggu tuntutan yang
e. Asas inter partes dan atau erga omnes. Inter partes adalah putusan hanya
berlaku pada perkara-perkara yang diputus, untuk perkara lain yang hampir
sebelumnya. Erga omnes adalah putusan yang berlaku bagi semua perkara
maka secara doktriner akan berlaku sistem inter partes. Kalau pun terdapat
erga omnes, hanya terjadi karena otoritas yurisprudensi yang diikuti dalam
praktik peradilan.
Asas proaktif bersifat ax nunc atau pro futuro, putusan prospektif hanya
apakah yang akan dianut sistem retroaktif atau prospektif. Tetapi, baik
tidak sah, berarti mengandung makna sebagai sesuatu yang tidak memenugi
syarat untuk ada, kareana dianggap tidak pernaha ada, sehingga ungkapan
Tahun 2009 semestinya akan berkaitan dengan sistem retroaktif dan bukan
sistem proaktif.
h. Asas lex specialis derogat legi generalis. Aturan hukum yang khusus
i. Asas lex posterior derogat legi priori. Aturan hukum yang baru
pengertian lain, aturan hukum yang lama dan serupa tidak berlaku lagi pada
b. Asas ius curita novit. Hakim secara mutlak dianggap tahu hukum.
dan segala campur tangan dalam urusan peradilan oleh pihak lain.
apabila dilakukan di depan pengadilan, baik itu karena suami telah menjatuhkan
cerai (talak) ataupun karena isteri yang menggugat cerai atau memohonkan hal
talak sebab sighat taklik talak.74Hal ini untuk menghindari perceraian yang
lebih melindungi segala hak dan kewajiban yang timbul sebagai akibat hukum
anak, dan pembagian harta bersama.78 Disamping untuk melindungi hak-hak isteri
73
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Pasal 39
74
Budi Susilo, Prosedur Gugatan Cerai,(Yogyakarta: Pustaka Yustisia, 2008), h. 17
75
Soedharyo Soimin, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), h. 49
76
Soedharyo Soimin, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, 52
77
Budi Susilo, Prosedur Gugatan Cerai, h. 17
78
Yayasan Bantuan Lembaga Hukum, Panduan Bantuan Hukum di Indoenesia, h. 43
53
dan anak, syarat perceraian yang harus dilakukan di hadapan pengadilan juga
alasan tertentu yang telah dijelaskan dalam KHI dan Undang-Undang Perkawinan.
sehubungan dengan hal diatas, maka para pihak yang akan mengajukan gugatan
ke Pengadilan harus memiliki dasar hukum atau alasan yang dibenarkan oleh
hukum. gugatan yang tidak didasari oleh dasar hukum sudah pasti akan ditolak
oleh pengadilan, karena dasar hukum inilah yang akan menjadi pertimbangan
hakim dalam membuat putusan.79 Dasar hukum dalam melakukan gugatan juga
diperlukan untuk meyakinkan para pihak yang terkait dengan gugatan tersebut
bahwa peristiwa kejadian dan peristiwa hukum benar-benar terjadi, tidak hanya
pengadilan adalah untuk mencegah agar setiap orang tidak dengan mudahnya
sebelumnya telah berusaha untuk mendamaikan kedua belah pihak namum tidak
bahwa otoritas mutlak menceraikan berapa pada suami, sehingga suami dapat
79
Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata Di Lingkungan Peradilan Agama, (Jakarta:
Kencana, 2012), h. 17
80
Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata Di Lingkungan Peradilan Agama, h. 18
54
Undang perkawinan, meskipun otoritas mutak perceraian tetap ada pada suami,
namun, perceraian hanya dapat terjadi jika dilakukan di hadapan pengadilan yang
perlindungan bagi hak-hak perempuan dan anak. Dalam proses di perngadilan pun
perceraian tidak dapat dilakukan dengan mudah. Dalam hal ini, hakim wajib
agar dapat hidup rukun kembali. Upaya mendamaikan ini wajib karena hukum
acara menghendaki adanya suatu perdamaian, seperti yang terdapat dalam Pasal
Disamping telah diatur dalam HIR dan Rbg upaya pendamaian yang harus
dilakukan oleh hakim juga diatur dalam Pasal 82 tentang upaya pendamaian oleh
hakim, Pasal 130 HIR dan Pasal 154 Rbg yang menjadi dasar dari dilakukannya
upaya pendamaian, Pasal 31 ayat (1) dan (2) PP Nomor 9 Tahun 1975 tentang
para pihak yang akan bercerai serta upaya pendamaian tersebut dapat terus
4. Mediasi
yang tidak memihak bekerja sama dengan pihak yang bersengketa untuk mencari
kesepakatan bersama. Pihak luar tersebut disebut dengan mediator, yang tidak
81
M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013), h. 238
55
berwenang untuk memutus sengketa, tetapi hanya membantu para pihak untuk
pihak-pihak yang bersengketa. Hal tersebut karena tujuan mediasi adalah agar
tanpa ada yang merasa terkalahkan (win-win solution). Dalam mediasi, mediator
harus bersikap imparsial (tidak memihak) dan netral. Karena dengan kedudukan
tentang mediasi, proses pendamaian para pihak yang berkonflik dengan mediator
atau orang ketiga yang imparsial telah diterapkan dalam lingkungan peradilan
terjadi di pengadilan agama, maka mediasi dianggap sebagai salah satu upaya
yang dapat membantu para pihak yang bersengketa khususnya dalam sengketa
cerai untuk berfikir ulang dan matang dalam memutuskan apa yang akan
dilakukannya.
82
Khotibul Umam, Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan, (Yogyakarta : Penerbit Pustaka
Yustisia,2010) h.10
83
Syahrial Abbas, Mediasi Dalam Hukum Syariah, Hukum Adat, dan Hukum Nasional, (Jakarta:
Kencana Prenada Media Group, 2011), 3-7
56
di hadapan pengadilan dan telah dilakukan upaya damai namun tidak berhasil.
Disamping itu, upaya perdamaian melalui mediasi juga telah dijamin dengan
Perma Nomor 1 Tahun 2008, juga dalam Pasal 130 dan Pasal 154 Rbg. Sehingga
hukum.84
peradilan yang sederhana, cepat dan dengan biaya yang ringan. Adanya mediasi
dalam hal perceraian dan asas mempersulit perceraian, dengan bantuan pihak
pihak yang akan bercerai agar benar-benar matang mengenai langkah bercerai
pengadilan Pasal 7 ayat (1), yang masuk dalam tahapan proses penyelesaian
Nomor 1 Tahun 1974 angka 4 huruf e, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan
untuk bercerai, melainkan harus melalui pemikiran yang matang mengenai akibat-
akibat yang akan dihadapai setelah terjadi perceraian. Dengan demikian, maka
upaya untuk membuat para pihak berfikir ulang merupakan upaya untuk tidak
membuat perceraian dapat dilakukan secara mudah. Karena, masih perlu banyak
Oleh karenanya, sudah menjadi suatu jeharusan dalam ketentuan Pasal 130
perdata dijalankan.86
asas hukum perkawinan Islam, diantaranya terdapat satu asas yang berbunyi “asas
untuk selama-lamanya”. Hal ini berarti bahwa perkawinan bukanlah yang yang
86
Edi As‟adi, Hukum Acara Perdata dalam Perspektif Mediasi (ADR) di Indonesia, (Yogyakarta:
Graha Ilmu, 2012), h. 69
58
kecil dan patut untuk dianggap remeh, sehingga bisa dengan mudah untuk
waktu dan hanya untuk bersenang-senang saja. Meskipun perceraian adalah hal
yang diperbolehkan, namun perceraian merupakan suatu perkara halal yang paling
dibenci oleh Allah swt (diriwayatkan oleh Abu Daud dan Ibnu Majah dari Ibnu
Umar). Maka dari itu, perceraian tidak boleh dilakukan secara sewenang-wenang.
230 tentang larangan untuk menikah kembali setelah suami menjatuhkan talak
Tidak hanya dalam peraturan Normatif Islam saja, dalam hukum nasional
pengadilan dan akan jatuh talak setelah mendapatkan putusan dari hakim
pengadilan.
87
Neng Djubaidah, Pencatatan Perkawinan dan Perkawinan Tidak Dicatat. Menurut Hukum
Tertulis di Indonesia dan Hukum Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), h. 105
88
UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Pasal 1