Anda di halaman 1dari 17

NAGARI DALAM ERA GLOBALISASI*)

“Tantangan dan Prospeknya”


Oleh : H. Zainal Bakar**)

A. Latar Belakang.

Para founding father Negara Republik Indonesia menyadari pentingnya

peranan budaya lokal dalam mendukung penyelenggaraan Pemerintahan,

pembangunan dan pembinaan kehidupan masyarakat. Hal mana terlihat dalam

rumusan Pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945 berikut dengan penjelasannya.

Namun kemudian timbul permasalahan bagaimana membuat atau menyusun

format bentuk dan sistim pemerintahan yang mampu mengakomodasikan berbagai

bentuk dan ragam budaya lokal ke dalam suatu kerangka pengaturan secara Nasional.

Sejak Zaman kemerdekaan telah dikeluarkan beberapa Undang-Undang

untuk menyusun bentuk dan sistim pemerintahan di Negara kita, namun hal ini belum

mampu menunjukkan format yang sesuai bahkan era pemerintahan orde baru menata

dan membangun sistim pemerintahan secara sentralistik dan cenderung mengabaikan

budaya lokal sebagaimana terlihat dalam rumusan Undang-Undang Nomor 5 Tahun

1979 tentang Pemerintahan Desa yang memisahkan penyelenggaraan urusan

pemerintahan dengan adat istiadat pada akhirnya menimbulkan berbagai persoalan di

lapangan, sehingga menemui kegagalan. Hal ini terlihat dalam ketidak mampuan

negara dan bangsa ini menghadapi berbagai krisis yang melanda negara Indonesia,

sehingga menimbulkan lahirnya tuntutan reformasi pemerintahan oleh masyarakat.

Tuntutan tersebut melahirkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999

tentang Pemerintahan Daerah yang didalamnya menyususn suatu paradigma baru

*)
Makalah disampaikan pada Simposium Internasional II “Globalisasi dan Kebudayaan Lokal Suatu
Dialektika Menuju Indonesia Baru” di kampus Unand Limau Manis-Padang, tanggal 18 Juli 2001.
**)
Gubernur Sumatera Barat.

1
dalam penyelenggaraan Pemerintahan yakni memberi peluang kepada daerah untuk

mengatur dan mengurus dirinya sendiri termasuk menyesuaikan bentuk dan susunan

pemerintahan sesuai dengan kondisi dan sosial budaya.

Peluang tersebut tidak mudah oleh karena perkembangan pembangunan dan

kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi telah memberikan pengaruh yang besar

terhadap kehidupan dan perkembangan budaya lokal, sehingga sulit untuk melihat

atau merumuskan bentuk budaya lokal ke dalam sistem pemerintahan yang baru.

Bagi Sumatera Barat keinginan untuk mempergunakan kembali kebudayaan

lokal (Nagari) sebagai kerangka pengaturan kehidupan masyarakat bukanlah

berdasarkan atas rasa emosional dari era reformasi, tetapi hal ini merupakan spirit

untuk kembali ke alam demokrasi dan kedaulatan rakyat.

Sejarah memperlihatkan bahwa keinginan untuk selalu mempertahankan

eksistensi Nagari sebagai unit pemerintahan terendah yang otonom di Sumatera Barat

telah ada semenjak zaman kolonial Hindia Belanda, jadi bukan sebuah fenomena

baru.

Secara historis dapat dikemukakan tiga periode munculnya keinginan untuk

kembali ke Nagari yang otonom di Sumatera Barat (Minangkabau) yaitu:

1. Pasca Politik etis, muncul tuntutan kepada Pemerintah Kolonial Hindia Belanda

dari elit tradisional atau pribumi untuk menghapuskan keselarasan yang diciptakan

Belanda dan menuntut dikembalikannya sistem Nagari yang otonom sebagai

badan hukum. Ini yang melatarbelakangi keluarnya ordonasi tentang

Pemerintahan Nagari yaitu Staatsblad Van Nederlandsch Indie Nomor 774 tahun

1914 jo Staatsblad Nomor 667 tahun 1918 jo Staatblad Nomor 140 1938.

2
2. Setelah Kemerdekaan yaitu pada tahun 1953, konferensi Ninik Mamak Pemangku

Adat se-Sumatera Tengahmenuntut dibubarkannya sistem otonomi Wilayah dan

menuntut untuk kembali ke sistem Nagari yang otonom.

3. Pasca Undang-Undang 22 Tahun 1999, bahwa sistem pemerintahan orde baru

(Pasca UU 5/74 dan 5/79) telah menaklukan kekuatan tradisi masyarakat

Minangkabau di bawah kekuasaan Negara. Nilai-nilai tradisional seperti semangat

pluralitas dan heterogenitas diganti dengan semangat sentarlistik dan homogenitas.

Nilai-nilai kebersamaan berubah menjadi kesamaan, spirit kebebasan mengurus

diri sendiri atau otonomi beralih menjadi sikap ketergantungan yang kuat kepada

kekuasaan supra lokal. Budaya musyawarah atau demokrasi kerapatan adat yang

terlembaga melalui institusi nagari dipasung dalam kamp-kamp institusi Desa.

Oleh sebab itu keinginan masyarakat Minangkabau untuk kembali ke-Nagari pada

masa reformasi merupakan tuntutan dari aspirasi masyarakat setempat terutama

datang dari elit tradisional, cendikiawan dan perantau Sumatera Barat.

Keinginan masyarakat Minangkabau untuk kembali ke Nagari merupakan

suatu renungan dari berbagai proses yang dialaminya, sehingga mereka mencoba

berkontemplasi mencari formula untuk kembali hidup dengan jati diri yang dihormati.

Kondisi ini berangkat dari suatu asumsi bahwa rakyat bukanlah suatu yang statik yang

tak dapat mengkonstruksi dunianya. Mereka adalah individu-individu yang diproduk

oleh suatu tatanan, dan sekaligus mereka adalah subyek yang juga melakukan respon

dan memberi makna terhadap dunia, Bahrain (Ritzer.1988;394).

B. Nagari dan Otonomi Daerah.

Nagari dalam tradisi masyarakat Minangkabau merupakan identitas kultural

yang menjadi lambang mikrokosmik dari sebuah tatanan makrokosmik yang lebih

3
luas. Di dalam dirinya terkandung sistem yang memenuhi persyaratan embrional dari

sebuah sistem negara. Nagari adalah negara dalam artian miniatur, dan merupakan

republik kecil yang sifatnya self contained, otonom dan mampu membenahi diri

sendiri.

Sebagai suatu lembaga, nagari bukan saja dipahami sebagai kualitas

teritorial, tapi juga merupakan kualitas geneologis. Nagari merupakan lembaga

pemerintah dan sekaligus merupakan lembaga kesatuan sosial utama yang dominan.

Sebagai kesatuan masyarakat otonom, Nagari adalah merupakan republik mini dengan

teritorial yang jelas bagi anggota-anggotanya. Ia punya pemerintah sendiri, punya adat

sendiri yang mengatur tata kehidupan anggotanya. Nagari merupakan daerah dalam

lingkungan konfederasi pemerintah Minangkabau dan berhak mengurus diri sendiri.

Dari sisi ini, dapat dilihat bahwa lembaga nagari yang berfungsi sebagai lembaga adat

dan pemerintah, saling kait berkait, jalin menjalin dan merupakan kesatuan yang

integral.

Nagari dalam sistem pemerintahannya mempunyai unsus legislatif, eksekutif,

dan yudikatif, namun ia juga merupakan kesatuan “holistik” bagi perangkat tatanan

sosial budaya lainnya. Ikatan bernagari bukan saja primodial kongsanguinal sifatnya,

tapi juga struktural fungsional dalam artian teritorial pemerintahan yang efektif.

Secara vertikal, ia berkaitan dengan Luhak dan Pemerintahan, sedangkan secara

horizontal antara sesama nagari dengan ikatan emosional dan bukan struktural

fungsional.

Dari perspektif lembaga adat, nagari adalah sebagian kesatuan masyarakat

dan hukum adat. Lembaga adat disusun berdasarkan prinsip-prinsip sistem

kekerabatan matrilineal dan teritorial jauh sebelum kemerdekaan. Nagari pernah

diartikan sebagai lembaga pemerintah melalui Kerapatan Adat Nagari (KAN) atau

4
Kerapatan Nagari (KN). KAN/KN dalam menjalankan roda pemerintahan pernah

berfungsi sebagai badan legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Disamping itu, KAN/KN

juga mewakili nagari, baik ketika berhadapan dengan nagari-nagari lain, maupun

dengan kekuasaan yang lebih tinggi. Keputusan yang diambil oleh KAN/KN yang

terdiri dari penghulu suku, penghulu kaum, penghulu tungganai berdasarkan

kebersamaan melalui musyawarah mufakat. Di dalam anggota KAN/KN terdapat dua

jabatan sekaligus, pertama pemimpin formal sebagai Pemerintah Nagari, kedua

pemimpin adat, agama dan cendikiawan dalam suku atau kaum yang dikenal dengan

tali tigo sapilin dan tungku tigo sajarangan, dan keduanya bersinergididalam

menjalankan roda pemerintahandan pembangunan sehingga menjadi satu kekuatan

dalam memberdayakan masyarakat dengan memanfaatkan setiap jengkal potensi

nagari menjadi fundamental ekonomi yang berbasis kekuatan rakyat yang siap untuk

berkompetitif. Jadi di dalam kehidupan bernagari ditanah minang terdapat prinsip-

prinsip nilai yang substantif, seperti nilai-nilai otonomi, demokrasi, egalitier,

partisipatif, dan kebersamaan.

Otonomi yang dijembatani oleh nagari tidak bernasib mujur seperti

pengalaman Kanada dalam menjalani otonomi, sehingga nasib sebagai suatu

pemerintahan terendah di Sumatera Barat mengalami pasang naik dan surut seiring

dengan sistem pemerintahan yang ada di republik Indonesia. Pada saat pemerintahan

Orde Lama, Nagari mendapat tempat didalam sistem pemerintahan yang ada, tetapi

pada saat pemerintahan Orde Baru yang bersifat monolitik sentralisitik, terjadi pen-

desa-sisasian seluruh sistem pemerintahan terendah di Republik ini, sehingga UU 5/79

menaklukkan kekuatan kondisi masyarakat Minangkabau di bawah kekuasaan

Negara, Kondisi tersebut telah membuldoser semangat kegotong-royongan dan

partisipasi masyarakat Minangkabau dalam membangun nagarinya.

5
Antara pemerintahan Nagari dan Pemerintah Daerah merupakan bentuk

sistem pemerintahan Otonomi, karena nagari adalah kesatuan masyarakat hukum adat

dalam daerah Propinsi Sumatera Barat, yang terdiri dari himpunan beberapa suku

yang mempunyai wilayah yang tertentu batas-batasnya, mempunyai harta kekayaan

sendiri, berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya, dan memilih pimpinan

pemerintahannya.

Sedangkan Daerah Otonom yang disebut daerah adalah kesatuan hukum

yang mempunyai batas daerah tertentu berwenang mengatur dan mengurus

kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi

masyarakat dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Dengan demikian Nagari mempunyai kewenangan untuk mengatur dan

mengurus kepentingan masyarakatnya menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi

masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Sehingga nagari

merupakan suatu bentuk pemerintahan terendah yang otonomi di Sumatera Barat,

bahkan Otonomi Nagari bukan saja pada aspek pengeluaran tetapi juga pada aspek

penerimaan, jadi keleluasaan nagari dalam mengatur rumah tangganya jauh lebih luas

dari Pemerintah Daerah, karena Pemerintah Nagari memikul tanggung jawab otonomi

sebagai “daerah otonomi” yang mandiri dalam penyelenggaraan pemerintahan dan

pembangunan yang mengacu kepada kepentingan Nagari, Daerah, dan kepentingan

Nasional, sesuai konstitusi NKRI. Disamping itu Nagari sebagai institusi lokal

merupakan instrumen dalam membangun demokrasi yang sesungguhnya.

Otonomi Daerah di Sumetera Barat bukanlah sepenuhnya bertumpu pada

Nagari yang ada, lebih jauh lagi Otonomi daerah juga mengabaikan adanya faktor

relasi Nagari sebagai institusi lokal dengan kekuatan yang berada diluar dirinya

sendiri. Betapapun dan apapun usaha mewujudkan Otonomi Daerah bilamana institusi

6
lokal masih menjadi subordinasi dari kekuatan diatasnya, maka perubahan kearah

kehidupan yang elegan dan demokratis tidak akan pernah dapat direalisasikan.

Sebaiknya, institusi lokal sebagai basis masyarakat mayoritas, apabila tidak bisa

ditransformasikan menjadi kekuatan demokrasi, maka sangat sulit untuk membangun

Otonimi Daerah yang sesungguhnya. Dari sini terlihat kaitan yang erat antara

Otonomi Daerah dengan Nagari di Sumatera Barat dalam proses demokratisasi.

C. Tantangan dan Prospek Nagari dalam Era Globalisasi.

Globalisasi adalah suatu ungkapan yang semakin hari semakin populer,

bukan hanya dikalangan intelektual, pemerintahan, dan dunia usaha, melainkan juga

dikalangan masyarakat pada umumnya. Banyak orang mengaitkan globalisasi dengan

perubahan-perubahan yang terjadi pada berbagai sektor pembangunan, bukan hanya

sektor ekonomi, tetapi juga sektor sosial budaya, pemerintahan, dan pendidikan.

Sesungguhnya globalisasi bukan sesuatu yang sama sekali baru bagi umat

manusia, termasuk kita. Jika globalisasi diartikan sebagai semakin terbukanya lalu

lintas manusia, barang, jasa dan informasi antar negara maka yang terjadi sekarang

merupakan lanjutan dalam intensitas dan ekstensitas yang lebih tinggi dari waktu-

waktu sebelumnya.

Cikal bakal globalisasi bahkan telah dimulai ketika Iskandar Zulkarnain yang

di Barat dikenal dengan Alexander Agung dari Mecedonia menjadi Raja Yunani dan

menaklukkan Asia Kecil dan Persia pada abad-abad pertama masehi dan kemudian

melahirkan Helenisme (perkawinan antara budaya Yunani dan Persia) – ketika bangsa

Viking dari Eropa Utara memasuki Inggris, bangsa-bangsa Eropa menjelajahi Asia

dan Afrika untuk mencari sumber daya alam; ketika terbuka jalur perdagangan Cina-

India-Arab yang dikenal dengan jalur Sutera; ketika kerajaan-kerajaan Islam

(Muawiyah, Turki Utsmani) menaklukkan wilayah Balkan dan terus ke Eropa Tengah

7
dan Barat; ketika utusan raja Cina bernama Menggi dipotong telinganya oleh raja

Majapahit; atau ketika Syek Ahmad dan Datuk Raja yang berasal dari Minangkabau

(1467 M) pergi ke Malaka dan menetap disana – sesungguhnya perkembangan dunia

menuju apa yang sekarang dikenal dengan globalisasi mulai berkembang.

Mobilisasi dasar dari terjadinya mobilitas manusia itu adalah mencari ruang

kehidupan di luar yang ada di batas teritorialnya untuk mencari dan mengembangkan

kehidupan, baik yang bersifat ekonomi , budaya maupun nilai-nilai yang spiritual.

Perbedaannya adalah kalau sebelum Perang Dunia II penguasaan itu bersifat fisik

wilayah melalui kolonialisme atau sejenisnya, maka sejak pasca Perang Dunia II

penguasaan itu lebih berorientasi pada ekonomi dan tidak lagi bersifat fisik-wilayah.

Suatu negara tidak lagi perlu hadir dengan kekuatan militernya untuk

menduduki suatu wilayah dan menggali sumber daya ekonomi dari negara yang

didudukinya, melainkan cukup dengan menguasai pasar barang dan jasa (bahkan dan

budaya dan cara berpikir) di negara yang menjadi sasarannya. Instrumen-instrumen

informasi dan hubungan kebudayaan digunakan untuk tujuan kebudayaan.

Globalisasi merupakan sebuah fenomena multidimensional yang tak dapat

dielakkan dalam kehidupan manusia dewasa ini. Sesungguhnya globalisasi tidak lain

merupakan sebuah proses dalam kehidupan umat manusia menuju masyarakat yang

meliputi seluruh bola dunia. Hal ini sangat dimungkinkan oleh kemajuan teknologi

komunikasi dan transportasi.

Sebagai sebuah proses globalisasi pada akhirnya akan membawa seluruh

penduduk menjadi ‘world society’ dan ‘global society’ sebagaimana disinyalir oleh

Miriam L. Campanella dalam ‘Transition to a Global Society’ diartikan sebagai ‘an

idealistic cosmopolitan and universal society that includes all the people living on

8
earth, without regred to cultural and ethical belief’, lambat laun akhirnya akan

menjadi kenyataan.

Dalam pengertian umum menurut Ahmadi (1999) globalisasi adalah suatu

tatanan dimana dunia menjadi begitu terbuka, transparan, sementara batasan-batasan

internal dan struktural menjadi sangat berkurang. Globalisasi dimulai dengan bidang

informasi dan ekonomi yang kemudian mempunyai implikasi terhadap bidang-bidang

lainnya.

Kalau dikutip dari deklarasi APEC bahwa negara-negara ASEAN sudah

sepakat bahwa era pasar bebas untuk lingkup ASEAN akan menjadi lebih awal, yaitu

tahun 2003. Ini berarti hanya tinggal beberapa tahun lagi, untuk itulah kita perlu

menyiapkan diri agar dapat mengambil keuntungan dari era dimaksud. Strategi dan

langkah-langkah konkrit perlu kita ambil disamping kondisi ekonomi yang tak

kunjung kondusif kita juga menghadapi tantangan yang berat dari Singapura, Thailand

dan Malaysia yang tingkat kemajuannya dibeberapa hal sudah diatas kita.

Tantangan yang akan kita hadapi akan semakin berat dan kompleks, arus

informasi sudah tidak dapat dibendung lagi, eklusivisme sudah tidak dapat dibenarkan

dan kita juga tidak bisa menjauhkan diri dari keterbukaan dan kesediaan untuk saling

berinteraksi, melaksanakan pertukaran timbale balik, atau kemauan untuk terus belajar

dari pihak-pihak yang berbeda. Untuk itu sudah saatnya kebudayaan-kebudayaan

lokal selalu dinamis dalam mengakomodasi dan menyesuaikan diri pada perubahan-

perubahan tanpa mengurangi eksistensi kebudayaan itu sendiri.

Untuk menghadapi perubahan tatanan dunia yang menglobal ini dengan

globalisasi menjadi sebuah ideology dalam keseluruhan proses sosial di Indonesia,

maka kebudayaan daerah tidak akan menemukan karakternya yang produktif jika

mempunyai otonomi. Artinya tanpa ada keleluasaan bagi suatu komunitas dengan

9
cirri-ciri spesifiknya akan mustahil suatu komonitas dapat menemukan jati diri dan

kekuatannya dalam menciptakan keunggulan kompetitif yang siap menantang arus

globalisasi.

Terlepas dari dampak positif dan negative yang ditimbulkan oleh globalisasi

(baca: globalisasi), yang perlu dicermati adalah, bahwa globalisasi mempunyai

kecenderungan paradoksal. Seperti yang dilegitimasi oleh Naisbitt dalam Global

Paradoks bahwa era global penuh dengan paradoksal, dimana kecanggihan teknologi

akan diimbangi oleh sifatnya yang kaya sentuhan: disaat ekonomi kapitalis cenderung

memproduksi trend uniform mode, dan pada waktu yang bersamaan terlihat semakin

menguatnya hasrat tampil beda sebagai fashion. Konsekuensi dari arus globalisasi

mendorong munculnya pusat-pusat budaya tandingan sebagai sebuah reaksi terhadap

globalisasi yang berlebihan. Sebagai contoh, dalam bidang budaya misalnya, kita lihat

munculnya semangat etnis dan pluralisme yang kian menguat, akan tetapi pada saat

yang sama, kita dihadapkan pada arus ideologi baru yang berciri trans-nasionalisme

dan globalisasi-sekuralisme. Proses peradaban ini terus tumbuh, manakala respon

terhadap tantangan awal berhasil membangkitkan momentum budaya yang membawa

masyarakat keluar dari kondisi equilibrium memasuki ‘over balance’, suatu

keseimbangan yang berlebihan yang tampil sebagai tantangan baru (Capra, 13:200).

Peralihan zaman ke arah globalisasi dapat dimaknai sebagai sebuah transisi

budaya, dari kondisi statis ke aktivitas dinamis. Arnold Toynbee dalam ‘A Study of

History’ melihat bahwa terjadinya perubahan merupakan sebagai suatu pola interaksi

yang disebutnya sebagai tantangan dan tanggapan’. Tantangan muncul dari

lingkungan alam dan sosial yang kemudian memancing tanggapan kreatif dalam suatu

masyarakat atau kelompok sosial yang mendorong masyarakat memasuki proses

perubahan peradaban. Dalam proses transisi tersebut, menurut Toynbee (dalam Capra,

10
2000) ada tiga hal yang akan menggoyahkan dasar kehidupan dan mempengaruhi

sistem sosial, ekonomi dan politik secara mendalam. Pertama, runtuhnya sistem

patriarkhat yang enggan dan lambat tapi pasti. Kedua, transisi kedua akan berdampak

pada kehidupan yang dipaksakan, dimana bahan bakar fosil (batu bara, minyak, gas

alam) menjadi sumber energi penting dalam era industri dan pada waktunya bahan

bakar itu habis maka berakhirlah era ini. Ketiga, transisi ketiga berhubungan dengan

nilai-nilai budaya, transisi ini sangat erat kaitannya dengan perubahan paradigma,

yaitu suatu perubahan penting dalam pemikiran, persepsi dan nilai-nilai dikontruk

oleh visi realitas.

Dari perspektif di atas, sangat menarik mengapungkan nagari dalam wacana

globalisasi, hal mana nagari merupakan bagian integral dari denyut nadi kultural

masyarakat Sumatera Barat. Seperti yang telah disinggung di bagian awal bahwa

kembalinya Sumatera Barat menjadikan nagari sebagai institusi terendah dari sistem

pemerintahan, bukan hanya sekedar romatisasi-ke Minangkabau-an belaka, mungkin

yang lebih tepat adalah revitalisasi nilai-nilai kultural. Karena secara historikal-

empirik, nagari dalam realitas keseharian orang Minangkabau, telah mampu berperan

sebagai satu-satunya institusi yang representatif dan akomodatif terhadap kepentingan

dan prefensi rakyatnya, Persoalannya adalah mungkinkan nagari dengan segala

kompleksitasnya sebagai basis identitas kultural-tradisional orang Minangkabau akan

mampu bertahan sekaligus menyesuaikan dengan arus globalisasi…?

Berbicara tentang globalisasi dengan nagari, tentunya terlebih dahulu

dikemukakan issue yang digelindingkan oleh globalisasi, yaitu, pertama, mengenai

Hak Asasi Manusia, kedua, seputar keharusan Demokrasi-Demokratisasi, ketiga,

keniscayaan Equality Gender, keempat, masalah-masalah kepedulian lingkungan

11
hidup. Keempat persoalan ini sudah menjadi keniscayaan dan merupakan mainstream

budaya dunia yang mau tak mau harus dilaksanakan oleh semua negara.

Dalam menyikapi arus globalisasi, yang seringkali diasosiasikan akan

membawa ke arah terjadinya sentralisasi dan penyeragaman. Hal ini tidak

sepenuhnya perlu diimani seutuhnya, karena terlalu dicermati lebih jauh dalam

realitas empirik ternyata yang terjadi adalah sebaliknya yaitu proses dimana suatu

‘tribe’, suatu suku bangsa menjadi global. Artinya dunia global akan ditemukan

beberapa suku bangsa besar yang mengglobal dan masing-masing memiliki jati diri

dan identitas, jadi tidak seragam tapi deferensiasi. Oleh karenanya proses globalisasi

bukan proses pengaburan dan penghilangan jati diri dan identitas kultural-tradisional,

justru suku yang mempunyai jati diri dan bersifat fleksibel-lah yang akan eksis dan

bisa mengglobal.

Karateristik nagari yang berbasis pada kekuatan geneologis dan territorial,

adat dan agama, menjadi kekuatan yang luar biasa menghadapi arus globalisasi. Yang

terpenting adalah bila saja nagari tetap konsisten dengan nilai-nilai universalnya dan

tetap pada akar kulturalnya akan mampu beradaptasi dan mengikuti ritme proses

globalisasi. Nilai-nilai kultural yang terkandung dalam nagari akan menjadi sinergi

adaptasi yang sangat luar biasa, meskipun kemampuan adaptasi dengan nilai-nilai

yang baru harus melalui suatu proses seleksi. Hal ini terbukti dalam pengalaman

sejarah bahwa sebelumnya, ‘adat basandi alua jo patuik, alua jo patuik basandi bana,

bana tagak sandiri. Setelah Islam masuk sebagai sebuah sistem baru, dengan

kemampuan adaptasinya ‘bana’ kemudian menjadi ‘syara’, kitabullah. Dari ‘dari

adat basandi syara’, syara basandi adat’, kemudian menjadi ‘adat basandi syara’,

syara ‘ basandi kitabullah’.

12
Energisitas yang melahirkan kekuatan bagai nagari terletak pada nilai-nilai

universalnya. Secara intrinsik nagari memiliki nilai demokrasi kerapatan, nilai-nilai

pluralisme, nilai-nilai empowerment. Nilai demokrasinya dapat dilihat melalui

mamangan ‘lamak lauk dikunyah, lamak kato dipakatokan, bulek aia ka pambuluah,

bulek kato ka mufakaik’. Nilai pluralisme dapat dilihat dari syarat sah berdirinya

nagari minimal harus empat suku. Hal ini memperlihatkan bagaimana nagari tumbuh

dan mengakui adanya kemajemukan dalam sistem nagari, ‘basilang kayu dalam

tungku disitu api mangkonyo hiduik’. Nilai empowerment dalam nagari sangat erat

kaitannya dengan struktur masyarakat nagari secara kultural. Dimana secara

ekstrinsik nagari memiliki hak mengurus diri sendiri tanpa intervensi dari kekuatan di

atasnya. Artinya nagari memiliki independensi atau otonomi. Sebagai masyarakat

matrilineal yang komunal orang Minang menganut asas kolektivitas, ini termanifestasi

dari sistem kepemilikan harta, tak dikenal harta-benda dalam kultur orang Minang

milik individu, yang ada hanya milik kaum, suku dan nagari. Akan tetapi melalui

pandangan hidup orang Minang ‘Alam Takambang Jadi Guru’ prinsip kolektivitas

atau kebersamaan tidak serta merta menghilangkan hak individu. Falsafah ‘alam

takambang jadi guru’ memberikan spirit pada individu untuk mandiri, berjuang,

berkompetisi dalam menentukan arah hidupnya. Ini berarti dalam sistem sosial

masyarakat Minang terjadi dialektika, kepemilikan secara komunal-kolektif sebagai

tesis, hak pengakuan terhadap individualitas sebagai antitesis, dan kepemilikan tetap

diakui sebagai komunal, akan tetapi individu berhak mengambil hasil untuk

kepentingan survivalnya terhadap milik komunal sebagai sintesis. Artinya dalam

kultur orang Minang terdapat individual-kolektivisme sebagai kompromi antara hak

individu dengan masyarakat. Di samping itu, dalam struktur sosial yang ada orang

Minang menganut prinsip egaliterianisme. Hal ini tercermin dari struktur

13
kepemimpinan yang dikenal dengan ‘tali tigo sapilin tungku tigo sajarangan’,

penghulu sebagai pewaris dan penjaga nilai-nilai adat, alim ulama menempati posisi

pewaris dan penjaga nilai-nilai agama, cadiak pandai ditempatkan penjaga aturan

administrasi-pemerintahan, sekaligus pembawa ide dan aktor pembaharuan.

Meskipun kelihatannya penempatan posisi ini terlihat sangat fungsional sekali namun

demikian tidak ada yang lebih tinggi dan merasa hebat di antara yang lain,

‘duduaknyo samo randah, tagaknya samo tinggi’.

Nilai-nilai instrinsik dan ekstrinsik inilah yang kemudian mengantarkan

nagari memiliki greget ‘bargaining position’ dan punya daya resistensi yang kuat

secara cultural. Semangat demokrasi pluralisme, empowerment, independensi

(otonomi), individual kolektivisme (kebersamaan), partisipatif, dan egaliterianisme

kemudian diinstitusionalisasikan ke dalam nagari yang ditopang oleh adat dan agama

sebagai koridor beroperasinya pemerintahan nagari dalam masyarakat Minangkabau.

Tentunya prinsip-prinsip yang terdapat dalam nagari itu muncul dan tumbuh dari adat

dan agama yang kemudian dikembangkan oleh nagari sebagai eksekutor. Karenanya

nagari sebagai lembaga pemerintahan harus berdiri di atas adat dan agama yang

dijiwai oleh roh demokrasi, pluralitas, empowerment, otonomi, individual-

kolektivisme, partisipatif dan egalitarian.

Akan halnya nagari dalam menghadapi globalisasi, ----di samping nagari

memiliki nilai-nilai universal----, nagari dalam ranah adat memberikan peluang untuk

mengalami perubahan sesuai dengan dinamika perkembangan sosial-kultural dan

politik yang ada. Peluang ini dapat dilihat bahwa adat menganut asas fleksibelitas

dalam menghadapi dunia, sakali ala gadang, sakali tapian barubah’. Artinya karena

sifat alam mengalami dinamika yang menyebabkan terjadinya perubahan bentuk,

namun substansinya tetap tidak hilang, ‘tak lapuak dek hujan tak lakang dek paneh’.

14
Di samping itu, falsafah ‘alam takambang jadi guru’, sesungguhnya memberikan arah

agar orang membuka diri untuk menerima pembaharuan demi pembaharuan kea rah

yang lebih baik, berarti dan bermakna bagi kehidupan. ‘Alam takambang jadi guru’

bagi orang Minang sangat berarti dalam kehidupan mereka dimana dari dasar filosofi

inilah kemudian mereka membasmi kosmos ini pada dua alur pemikiran yang

kemudian harus diimplemantasikan dalam dunia nyata, yaitu konsep ‘alam’ dan

‘rantau’. ‘Alam’ merupakan tempat bersemayam dan artikulasinya semua ide, tempat

tumbuh dan berkembangnya semua kebudayaan dan kehidupan. Sementara ‘rantau’

merupakan gerbong pembaharuan ide, visi, dan lain-lain. Antara ‘alam’ dan ‘rantau’

terjadi suatu proses dialektika yang akan melahirkan sebuah sintesa dalam formulasi

baru dan aktual. Memang tak dapat dipungkiri bahwa acapkali tak terelakkan konflik

yang bersifat kultural-horizontal dan struktural-vertikal dalam tataran sosio-ekonomi,

politik, dan budaya. Ini dapat dimaklumi sebagai konsekuensi logis dari persentuhan

‘alam’ dan ‘rantau’, akan tetapi konflik itu bagi orang Minang tidak membawa

kepada perpecahan sosial.

15
NAGARI DALAM ERA GLOBALISASI

(Tantangan dan Prospek)

Oleh :

H. Zainal Bakar

Gubernur Sumatera Barat

Disampaikan pada Simposium Internasional II “ Globalisasi dan

Kebudayaan Lokal Suatu Dialektika Menuju Indonesia Baru “

Di Kampus Unand Limau Manis – Padang

Tanggal 18 Juli 2001

16
17

Anda mungkin juga menyukai