A. Latar Belakang.
bentuk dan ragam budaya lokal ke dalam suatu kerangka pengaturan secara Nasional.
untuk menyusun bentuk dan sistim pemerintahan di Negara kita, namun hal ini belum
mampu menunjukkan format yang sesuai bahkan era pemerintahan orde baru menata
lapangan, sehingga menemui kegagalan. Hal ini terlihat dalam ketidak mampuan
negara dan bangsa ini menghadapi berbagai krisis yang melanda negara Indonesia,
*)
Makalah disampaikan pada Simposium Internasional II “Globalisasi dan Kebudayaan Lokal Suatu
Dialektika Menuju Indonesia Baru” di kampus Unand Limau Manis-Padang, tanggal 18 Juli 2001.
**)
Gubernur Sumatera Barat.
1
dalam penyelenggaraan Pemerintahan yakni memberi peluang kepada daerah untuk
mengatur dan mengurus dirinya sendiri termasuk menyesuaikan bentuk dan susunan
kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi telah memberikan pengaruh yang besar
terhadap kehidupan dan perkembangan budaya lokal, sehingga sulit untuk melihat
atau merumuskan bentuk budaya lokal ke dalam sistem pemerintahan yang baru.
berdasarkan atas rasa emosional dari era reformasi, tetapi hal ini merupakan spirit
eksistensi Nagari sebagai unit pemerintahan terendah yang otonom di Sumatera Barat
telah ada semenjak zaman kolonial Hindia Belanda, jadi bukan sebuah fenomena
baru.
1. Pasca Politik etis, muncul tuntutan kepada Pemerintah Kolonial Hindia Belanda
dari elit tradisional atau pribumi untuk menghapuskan keselarasan yang diciptakan
Pemerintahan Nagari yaitu Staatsblad Van Nederlandsch Indie Nomor 774 tahun
1914 jo Staatsblad Nomor 667 tahun 1918 jo Staatblad Nomor 140 1938.
2
2. Setelah Kemerdekaan yaitu pada tahun 1953, konferensi Ninik Mamak Pemangku
diri sendiri atau otonomi beralih menjadi sikap ketergantungan yang kuat kepada
kekuasaan supra lokal. Budaya musyawarah atau demokrasi kerapatan adat yang
Oleh sebab itu keinginan masyarakat Minangkabau untuk kembali ke-Nagari pada
suatu renungan dari berbagai proses yang dialaminya, sehingga mereka mencoba
berkontemplasi mencari formula untuk kembali hidup dengan jati diri yang dihormati.
Kondisi ini berangkat dari suatu asumsi bahwa rakyat bukanlah suatu yang statik yang
oleh suatu tatanan, dan sekaligus mereka adalah subyek yang juga melakukan respon
yang menjadi lambang mikrokosmik dari sebuah tatanan makrokosmik yang lebih
3
luas. Di dalam dirinya terkandung sistem yang memenuhi persyaratan embrional dari
sebuah sistem negara. Nagari adalah negara dalam artian miniatur, dan merupakan
republik kecil yang sifatnya self contained, otonom dan mampu membenahi diri
sendiri.
pemerintah dan sekaligus merupakan lembaga kesatuan sosial utama yang dominan.
Sebagai kesatuan masyarakat otonom, Nagari adalah merupakan republik mini dengan
teritorial yang jelas bagi anggota-anggotanya. Ia punya pemerintah sendiri, punya adat
sendiri yang mengatur tata kehidupan anggotanya. Nagari merupakan daerah dalam
Dari sisi ini, dapat dilihat bahwa lembaga nagari yang berfungsi sebagai lembaga adat
dan pemerintah, saling kait berkait, jalin menjalin dan merupakan kesatuan yang
integral.
dan yudikatif, namun ia juga merupakan kesatuan “holistik” bagi perangkat tatanan
sosial budaya lainnya. Ikatan bernagari bukan saja primodial kongsanguinal sifatnya,
tapi juga struktural fungsional dalam artian teritorial pemerintahan yang efektif.
horizontal antara sesama nagari dengan ikatan emosional dan bukan struktural
fungsional.
diartikan sebagai lembaga pemerintah melalui Kerapatan Adat Nagari (KAN) atau
4
Kerapatan Nagari (KN). KAN/KN dalam menjalankan roda pemerintahan pernah
berfungsi sebagai badan legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Disamping itu, KAN/KN
juga mewakili nagari, baik ketika berhadapan dengan nagari-nagari lain, maupun
dengan kekuasaan yang lebih tinggi. Keputusan yang diambil oleh KAN/KN yang
pemimpin adat, agama dan cendikiawan dalam suku atau kaum yang dikenal dengan
tali tigo sapilin dan tungku tigo sajarangan, dan keduanya bersinergididalam
nagari menjadi fundamental ekonomi yang berbasis kekuatan rakyat yang siap untuk
pemerintahan terendah di Sumatera Barat mengalami pasang naik dan surut seiring
dengan sistem pemerintahan yang ada di republik Indonesia. Pada saat pemerintahan
Orde Lama, Nagari mendapat tempat didalam sistem pemerintahan yang ada, tetapi
pada saat pemerintahan Orde Baru yang bersifat monolitik sentralisitik, terjadi pen-
5
Antara pemerintahan Nagari dan Pemerintah Daerah merupakan bentuk
sistem pemerintahan Otonomi, karena nagari adalah kesatuan masyarakat hukum adat
dalam daerah Propinsi Sumatera Barat, yang terdiri dari himpunan beberapa suku
sendiri, berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya, dan memilih pimpinan
pemerintahannya.
bahkan Otonomi Nagari bukan saja pada aspek pengeluaran tetapi juga pada aspek
penerimaan, jadi keleluasaan nagari dalam mengatur rumah tangganya jauh lebih luas
dari Pemerintah Daerah, karena Pemerintah Nagari memikul tanggung jawab otonomi
Nasional, sesuai konstitusi NKRI. Disamping itu Nagari sebagai institusi lokal
Nagari yang ada, lebih jauh lagi Otonomi daerah juga mengabaikan adanya faktor
relasi Nagari sebagai institusi lokal dengan kekuatan yang berada diluar dirinya
sendiri. Betapapun dan apapun usaha mewujudkan Otonomi Daerah bilamana institusi
6
lokal masih menjadi subordinasi dari kekuatan diatasnya, maka perubahan kearah
kehidupan yang elegan dan demokratis tidak akan pernah dapat direalisasikan.
Sebaiknya, institusi lokal sebagai basis masyarakat mayoritas, apabila tidak bisa
Otonimi Daerah yang sesungguhnya. Dari sini terlihat kaitan yang erat antara
bukan hanya dikalangan intelektual, pemerintahan, dan dunia usaha, melainkan juga
sektor ekonomi, tetapi juga sektor sosial budaya, pemerintahan, dan pendidikan.
Sesungguhnya globalisasi bukan sesuatu yang sama sekali baru bagi umat
manusia, termasuk kita. Jika globalisasi diartikan sebagai semakin terbukanya lalu
lintas manusia, barang, jasa dan informasi antar negara maka yang terjadi sekarang
merupakan lanjutan dalam intensitas dan ekstensitas yang lebih tinggi dari waktu-
waktu sebelumnya.
Cikal bakal globalisasi bahkan telah dimulai ketika Iskandar Zulkarnain yang
di Barat dikenal dengan Alexander Agung dari Mecedonia menjadi Raja Yunani dan
menaklukkan Asia Kecil dan Persia pada abad-abad pertama masehi dan kemudian
melahirkan Helenisme (perkawinan antara budaya Yunani dan Persia) – ketika bangsa
Viking dari Eropa Utara memasuki Inggris, bangsa-bangsa Eropa menjelajahi Asia
dan Afrika untuk mencari sumber daya alam; ketika terbuka jalur perdagangan Cina-
(Muawiyah, Turki Utsmani) menaklukkan wilayah Balkan dan terus ke Eropa Tengah
7
dan Barat; ketika utusan raja Cina bernama Menggi dipotong telinganya oleh raja
Majapahit; atau ketika Syek Ahmad dan Datuk Raja yang berasal dari Minangkabau
Mobilisasi dasar dari terjadinya mobilitas manusia itu adalah mencari ruang
kehidupan di luar yang ada di batas teritorialnya untuk mencari dan mengembangkan
kehidupan, baik yang bersifat ekonomi , budaya maupun nilai-nilai yang spiritual.
Perbedaannya adalah kalau sebelum Perang Dunia II penguasaan itu bersifat fisik
wilayah melalui kolonialisme atau sejenisnya, maka sejak pasca Perang Dunia II
penguasaan itu lebih berorientasi pada ekonomi dan tidak lagi bersifat fisik-wilayah.
Suatu negara tidak lagi perlu hadir dengan kekuatan militernya untuk
menduduki suatu wilayah dan menggali sumber daya ekonomi dari negara yang
didudukinya, melainkan cukup dengan menguasai pasar barang dan jasa (bahkan dan
dielakkan dalam kehidupan manusia dewasa ini. Sesungguhnya globalisasi tidak lain
merupakan sebuah proses dalam kehidupan umat manusia menuju masyarakat yang
meliputi seluruh bola dunia. Hal ini sangat dimungkinkan oleh kemajuan teknologi
penduduk menjadi ‘world society’ dan ‘global society’ sebagaimana disinyalir oleh
idealistic cosmopolitan and universal society that includes all the people living on
8
earth, without regred to cultural and ethical belief’, lambat laun akhirnya akan
menjadi kenyataan.
internal dan struktural menjadi sangat berkurang. Globalisasi dimulai dengan bidang
lainnya.
sepakat bahwa era pasar bebas untuk lingkup ASEAN akan menjadi lebih awal, yaitu
tahun 2003. Ini berarti hanya tinggal beberapa tahun lagi, untuk itulah kita perlu
menyiapkan diri agar dapat mengambil keuntungan dari era dimaksud. Strategi dan
langkah-langkah konkrit perlu kita ambil disamping kondisi ekonomi yang tak
kunjung kondusif kita juga menghadapi tantangan yang berat dari Singapura, Thailand
dan Malaysia yang tingkat kemajuannya dibeberapa hal sudah diatas kita.
Tantangan yang akan kita hadapi akan semakin berat dan kompleks, arus
informasi sudah tidak dapat dibendung lagi, eklusivisme sudah tidak dapat dibenarkan
dan kita juga tidak bisa menjauhkan diri dari keterbukaan dan kesediaan untuk saling
berinteraksi, melaksanakan pertukaran timbale balik, atau kemauan untuk terus belajar
lokal selalu dinamis dalam mengakomodasi dan menyesuaikan diri pada perubahan-
maka kebudayaan daerah tidak akan menemukan karakternya yang produktif jika
mempunyai otonomi. Artinya tanpa ada keleluasaan bagi suatu komunitas dengan
9
cirri-ciri spesifiknya akan mustahil suatu komonitas dapat menemukan jati diri dan
globalisasi.
Terlepas dari dampak positif dan negative yang ditimbulkan oleh globalisasi
Paradoks bahwa era global penuh dengan paradoksal, dimana kecanggihan teknologi
akan diimbangi oleh sifatnya yang kaya sentuhan: disaat ekonomi kapitalis cenderung
memproduksi trend uniform mode, dan pada waktu yang bersamaan terlihat semakin
menguatnya hasrat tampil beda sebagai fashion. Konsekuensi dari arus globalisasi
globalisasi yang berlebihan. Sebagai contoh, dalam bidang budaya misalnya, kita lihat
munculnya semangat etnis dan pluralisme yang kian menguat, akan tetapi pada saat
yang sama, kita dihadapkan pada arus ideologi baru yang berciri trans-nasionalisme
keseimbangan yang berlebihan yang tampil sebagai tantangan baru (Capra, 13:200).
budaya, dari kondisi statis ke aktivitas dinamis. Arnold Toynbee dalam ‘A Study of
History’ melihat bahwa terjadinya perubahan merupakan sebagai suatu pola interaksi
lingkungan alam dan sosial yang kemudian memancing tanggapan kreatif dalam suatu
perubahan peradaban. Dalam proses transisi tersebut, menurut Toynbee (dalam Capra,
10
2000) ada tiga hal yang akan menggoyahkan dasar kehidupan dan mempengaruhi
sistem sosial, ekonomi dan politik secara mendalam. Pertama, runtuhnya sistem
patriarkhat yang enggan dan lambat tapi pasti. Kedua, transisi kedua akan berdampak
pada kehidupan yang dipaksakan, dimana bahan bakar fosil (batu bara, minyak, gas
alam) menjadi sumber energi penting dalam era industri dan pada waktunya bahan
bakar itu habis maka berakhirlah era ini. Ketiga, transisi ketiga berhubungan dengan
nilai-nilai budaya, transisi ini sangat erat kaitannya dengan perubahan paradigma,
yaitu suatu perubahan penting dalam pemikiran, persepsi dan nilai-nilai dikontruk
globalisasi, hal mana nagari merupakan bagian integral dari denyut nadi kultural
masyarakat Sumatera Barat. Seperti yang telah disinggung di bagian awal bahwa
kembalinya Sumatera Barat menjadikan nagari sebagai institusi terendah dari sistem
yang lebih tepat adalah revitalisasi nilai-nilai kultural. Karena secara historikal-
empirik, nagari dalam realitas keseharian orang Minangkabau, telah mampu berperan
11
hidup. Keempat persoalan ini sudah menjadi keniscayaan dan merupakan mainstream
budaya dunia yang mau tak mau harus dilaksanakan oleh semua negara.
sepenuhnya perlu diimani seutuhnya, karena terlalu dicermati lebih jauh dalam
realitas empirik ternyata yang terjadi adalah sebaliknya yaitu proses dimana suatu
‘tribe’, suatu suku bangsa menjadi global. Artinya dunia global akan ditemukan
beberapa suku bangsa besar yang mengglobal dan masing-masing memiliki jati diri
dan identitas, jadi tidak seragam tapi deferensiasi. Oleh karenanya proses globalisasi
bukan proses pengaburan dan penghilangan jati diri dan identitas kultural-tradisional,
justru suku yang mempunyai jati diri dan bersifat fleksibel-lah yang akan eksis dan
bisa mengglobal.
adat dan agama, menjadi kekuatan yang luar biasa menghadapi arus globalisasi. Yang
terpenting adalah bila saja nagari tetap konsisten dengan nilai-nilai universalnya dan
tetap pada akar kulturalnya akan mampu beradaptasi dan mengikuti ritme proses
globalisasi. Nilai-nilai kultural yang terkandung dalam nagari akan menjadi sinergi
adaptasi yang sangat luar biasa, meskipun kemampuan adaptasi dengan nilai-nilai
yang baru harus melalui suatu proses seleksi. Hal ini terbukti dalam pengalaman
sejarah bahwa sebelumnya, ‘adat basandi alua jo patuik, alua jo patuik basandi bana,
bana tagak sandiri. Setelah Islam masuk sebagai sebuah sistem baru, dengan
adat basandi syara’, syara basandi adat’, kemudian menjadi ‘adat basandi syara’,
12
Energisitas yang melahirkan kekuatan bagai nagari terletak pada nilai-nilai
mamangan ‘lamak lauk dikunyah, lamak kato dipakatokan, bulek aia ka pambuluah,
bulek kato ka mufakaik’. Nilai pluralisme dapat dilihat dari syarat sah berdirinya
nagari minimal harus empat suku. Hal ini memperlihatkan bagaimana nagari tumbuh
dan mengakui adanya kemajemukan dalam sistem nagari, ‘basilang kayu dalam
tungku disitu api mangkonyo hiduik’. Nilai empowerment dalam nagari sangat erat
ekstrinsik nagari memiliki hak mengurus diri sendiri tanpa intervensi dari kekuatan di
matrilineal yang komunal orang Minang menganut asas kolektivitas, ini termanifestasi
dari sistem kepemilikan harta, tak dikenal harta-benda dalam kultur orang Minang
milik individu, yang ada hanya milik kaum, suku dan nagari. Akan tetapi melalui
pandangan hidup orang Minang ‘Alam Takambang Jadi Guru’ prinsip kolektivitas
atau kebersamaan tidak serta merta menghilangkan hak individu. Falsafah ‘alam
takambang jadi guru’ memberikan spirit pada individu untuk mandiri, berjuang,
berkompetisi dalam menentukan arah hidupnya. Ini berarti dalam sistem sosial
tesis, hak pengakuan terhadap individualitas sebagai antitesis, dan kepemilikan tetap
diakui sebagai komunal, akan tetapi individu berhak mengambil hasil untuk
individu dengan masyarakat. Di samping itu, dalam struktur sosial yang ada orang
13
kepemimpinan yang dikenal dengan ‘tali tigo sapilin tungku tigo sajarangan’,
penghulu sebagai pewaris dan penjaga nilai-nilai adat, alim ulama menempati posisi
pewaris dan penjaga nilai-nilai agama, cadiak pandai ditempatkan penjaga aturan
Meskipun kelihatannya penempatan posisi ini terlihat sangat fungsional sekali namun
demikian tidak ada yang lebih tinggi dan merasa hebat di antara yang lain,
nagari memiliki greget ‘bargaining position’ dan punya daya resistensi yang kuat
kemudian diinstitusionalisasikan ke dalam nagari yang ditopang oleh adat dan agama
Tentunya prinsip-prinsip yang terdapat dalam nagari itu muncul dan tumbuh dari adat
dan agama yang kemudian dikembangkan oleh nagari sebagai eksekutor. Karenanya
nagari sebagai lembaga pemerintahan harus berdiri di atas adat dan agama yang
memiliki nilai-nilai universal----, nagari dalam ranah adat memberikan peluang untuk
politik yang ada. Peluang ini dapat dilihat bahwa adat menganut asas fleksibelitas
dalam menghadapi dunia, sakali ala gadang, sakali tapian barubah’. Artinya karena
namun substansinya tetap tidak hilang, ‘tak lapuak dek hujan tak lakang dek paneh’.
14
Di samping itu, falsafah ‘alam takambang jadi guru’, sesungguhnya memberikan arah
agar orang membuka diri untuk menerima pembaharuan demi pembaharuan kea rah
yang lebih baik, berarti dan bermakna bagi kehidupan. ‘Alam takambang jadi guru’
bagi orang Minang sangat berarti dalam kehidupan mereka dimana dari dasar filosofi
inilah kemudian mereka membasmi kosmos ini pada dua alur pemikiran yang
kemudian harus diimplemantasikan dalam dunia nyata, yaitu konsep ‘alam’ dan
‘rantau’. ‘Alam’ merupakan tempat bersemayam dan artikulasinya semua ide, tempat
merupakan gerbong pembaharuan ide, visi, dan lain-lain. Antara ‘alam’ dan ‘rantau’
terjadi suatu proses dialektika yang akan melahirkan sebuah sintesa dalam formulasi
baru dan aktual. Memang tak dapat dipungkiri bahwa acapkali tak terelakkan konflik
politik, dan budaya. Ini dapat dimaklumi sebagai konsekuensi logis dari persentuhan
‘alam’ dan ‘rantau’, akan tetapi konflik itu bagi orang Minang tidak membawa
15
NAGARI DALAM ERA GLOBALISASI
Oleh :
H. Zainal Bakar
16
17