Anda di halaman 1dari 29

1. Sipermetrin (Cypermethrin).

a. Adsorbsi

Baik piretroid tipe I dan II diserap dari saluran pencernaan. Piretroid adalah

senyawa lipofilik, mereka menyeberangi sel-sel usus dan masuk ke sirkulasi oleh

difusi melintasi membran lipid sel. Diduga bahwa sebagian besar penyerapan

terjadi di usus karena area permukaan yang besar. Paparan sipermetrin oral pada

sukarelawan pria, dengan perkiraan penyerapan antara 36 sampai 63% dari dosis

yang diberikan. Penyerapan beberapa piretroid tipe II pada pemberian oral telah

ditunjukkan oleh adanya senyawa piretroid dalam plasma, urin, dan susu

(ATSDR, 2003). Bradberry et al. (2005) menyatakan bahwa 19-57% dari

sipermetrin per oral dapat diserap.(1)

b. Distribusi

Mengingat sifat lipofilik piretroid, piretroid didistribusikan secara luas dan

menjalani distribusi cepat untuk jaringan dengan kandungan lipid tinggi, termasuk

lemak dan jaringan saraf pusat dan perifer. Studi pada beberapa spesies mamalia

mengkonfirmasi bahwa piretroid secara luas dan cepat didistribusikan ke banyak

jaringan, termasuk hati dan ginjal, dan terkonsentrasi di jaringan saraf pusat dan

perifer. Konsentrasi dalam jaringan saraf yang tertinggi di saraf sciatic, diikuti

oleh hipotalamus, korteks frontal, hippocampus, otak kecil, dan medulla oblongata

(ATSDR, 2003).(1)

c. Metabolisme

Sipermetrin dimetabolisme di hati melalui pembelahan hidrolitik ester dan jalur

oksidatif oleh enzim CYP-450 (Sankar et al., 2010). Metabolisme sipermetrin

sangat mirip dalam semua spesies dan melibatkanpembelahan ikatan ester untuk

membentuk asam phenoxybenzoic dan derifatasam cyclopropanecarboxylicyang

1
diekskresikan sebagai konjugat (EMEA, 2002). Pembelahan hidrolitik dari ikatan

ester diikuti oleh oksidasi untuk menghasilkan turunan asam karboksilat dan

turunan asam phenoxybenzoic. Metabolit ini kemudian umumnya dimetabolisme

lebih lanjut dan membentuk produk terkonjugasi dengan senyawa seperti glisin,

sulfat, dan asam glukuronat (ATSDR, 2003). (1)

d. Ekskresi

Metabolisme hasil piretroid dalam produk yang larut dalam air, oleh karena itu

lebih mudah dihilangkan dari tubuh oleh ekskresi ginjal dan empedu. Pada

manusia yang terpapar dosis oral tunggal piretroid tipe II, ekskresi berdasarkan

metabolit dalam urintelah diperkirakan antara 6 dan 13 jam. Sekitar 35-50% dari

dosis diekskresikan dalam urin sebagai metabolit selama 5 hari pertama setelah

pemberian dosis, dengan puncak ekskresi urin diamati selama 24 jam pertama

setelah pemberian dosis (ATSDR, 2003). Setelah pemberian oral sipermetrin

untuk relawan, ekskresi puncak dalam urin yang terlihat antara 8 dan 24 jam, dan

sekitar 24% dari dosis yang diekskresikan sebagai metabolit. Pemberian

sipermetrin oral 1:1 (cis:trans)dalam minyak jagung dalam kapsul gelatin

mengakibatkan ekskresi rata-rata 78% dari isomer trans dan 49% dari cis isomer

sebagai cyclopropanecarboxylic acidbebas atau terkonjugasi (Bradberry et al.,

2005). Pada mamalia, beberapa metabolit piretroid telah diidentifikasi. 3-

16phenoxybenzoic acid (3PBA)merupakan yang paling umum dibentuk dari

oksidasi dari piretroid. Cis-3-(2,2dichlorovinyl)-2,2-dimethylcyclopropane

carboxyilic acid (cis-DCCA) dantrans-3-(2,2dichlorovinyl) -2,2-

dimethylcyclopropane carboxyilic acid (trans-DCCA) keduanya merupakan

metabolit piretroid seperti permetrin, sipermetrin, dan siflutrin (Dewailly et al.,

2
2. Cadmium

1. Absorpsi Cadmium

Menurut Widowati 2008, cadmium dapat masuk ke dalam tubuh hewan

atau manusia melalui berbagai cara, yaitu:

a. Dari udara yang tercemar, misalnya asap rokok dan asap pembakaran

batu bara

b. Melalui wadah tempat berlapis cadmium yang digunakan untuk tempat

makanan atau minuman

c. Melalui kontaminasi perairan dan hasil perairan yang tercemar cadmium

d. Melalui rantai makanan

e. Melalui konsumsi daging yang diberi obat anthelminthes yang

mengandung cadmium.

Absorpsi cadmium melalui gastrointestinal lebih rendah dibandingkan

absorpsi melalui respirasi, yaitu sekitar 5-8%. Absorpsi cadmium meningkat

bila terjadi defisiensi kalsium Ca, besi Fe dan rendah protein dalam

makanan. Defisiensi kalsium akan merangsang sintesis ikatan Ca-protein

sehingga akan meningkatkan absorpsi cadmium, sedangkan kecukupan seng

dalam makanan dapat menurunkan absorpsi cadmium. Hal ini diduga karena

seng merangsang produksi

metalotionin.(2)

2. Distribusi Cadmium

Hati dan ginjal memiliki kapasitas yang lebih tinggi untuk mengikat zat kimia

3
(toksikan Cd). Pengikatan Toksikan bisa meningkatkan kadarnya dalam

organ. Cadmium memiliki afinitas yang kuat terhadap hati dan ginjal. Pada

umumnya sekitar 50-75% dari beban Cd dalam tubuh terdapat pada kedua

organ tersebut (Gupta, 2009). Kadar Cd dalam hati dan ginjal bervariasi

tergantung pada kadar total Cd dalam tubuh. Apabila MT hati dan ginjal

tidak mampu lagi melakukan detoksifikasi maka akan menjadi kerusakan sel

hati dan Ren (Gupta, 2009). (2)

3. Metabolisme Cadmium

Cadmium ditransportasikan dalam darah yang berikatan dengan sel darah

merah dan protein berat molekul tinggi dalam plasma, khususnya oleh

albumin. Sejumlah kecil cadmium dalam darah mungkin ditransportasikan

oleh metalotionin . Kadar cadmium dalam darah orang dewasa yang terpapar

cadmium secara berlebihan biasanya 1μgdL, sedangkan bayi yang baru lahir

mengandung cadmium yang cukup rendah yaitu kurang dari 1 mg dari beban

total tubuh. Sistem hayati memiliki peluang untuk mengikat unsur logam

berat sebagai fungsi detoksifikasi, yaitu mengikat logam berat dalam

lingkaran metabolisme tanpa mengeliminasinya. Metalotionin dapat

terinduksi dan ditemukan di semua golongan makhluk hidup misalnya

mamalia, ikan, maluska, zooplankton dan pitoplankton dan berbagai tingkat

jaringanorgan misalnya hati, ginjal, insang, testis, otot, eritrosit. Konsentrasi

metalonionin dalam jaringan meningkat ketika organisme terkontaminasi

unsur logam berat. Cadmium ditransportasikan dalam darah yang berikatan

dengan sel darah merah dan protein berat molekul tinggi dalam plasma,

khususnya oleh albumin. Sejumlah kecil cadmium dalam darah mungkin

ditransportasikan oleh metalotionin. (2)

4
Hati dan ginjal memiliki kapasitas yang lebih tinggi untuk mengikat zat kimia

(toksikan Cd). Pengikatan Toksikan bisa meningkatkan kadarnya dalam

organ. Cadmium memiliki afinitas yang kuat terhadap hati dan ginjal. Pada

umumnya sekitar 50-75% dari beban Cd dalam tubuh terdapat pada kedua

organ tersebut (Gupta, 2009). Kadar Cd dalam hati dan ginjal bervariasi

tergantung pada kadar total Cd dalam tubuh. Apabila MT hati dan ginjal

tidak mampu lagi melakukan detoksifikasi maka akan menjadi kerusakan sel

hati dan Ren (Gupta, 2009). (2)

4. Ekskresi Cadmium

Proses pengeluaran logam Cadmium melalui proses pembentukan granuka

yang dibuang oleh ginjal. Dalam konsentrasi kecil cadmium dibuang oleh

tubuh melalui urin dan feses. Pembuangan cadmium melalui saluran

pencernaan hanya sebesar

5% sisanya disimpan dan terakumulasi dalam ginjal dan hati.(2)

3. Dieldrin

a) Absorbsi

Absorbsi adalah proses masuknya xenobiotik ke dalam tubuh organisme dan

menimbulkan efek secara efektif. Absorbsi sangat ditentukan oleh portal entri, daya

larut, sifat fisika kimia zat, konsentrasi, luas area kontak dan kondisi sirkulasi pada

organisme. Absorbsi dapat terjadi karena adanya berbagai mekanisme dalam tubuh,

yang memungkinkan terjadinya transpor racun dari satu tempat ke tempat yang lain,

yaitu mekanisme: difusi (transpor pasif), difusi katalis dan transpor aktif.

5
Berbeda dengan piretrin dan piretroid, kebanyakan insektisida organoklorin

seperti dieldrin terserap dengan baik dari kulit serta saluran pencernaan dan paru-paru.

Mereka di distribusikan ke dalam lemak, di mana mereka dapat menumpuk dan

bertahan dalam jangka waktu yang lama. Variabilitas di antara organoklorin mengenai

akumulasi dalam lemak sebagian besar disebabkan oleh tingkat metabolisme dan

ekskresi yang berbeda. Senyawa seperti DDT dan dieldrin disimpan dalam jumlah

besar, sedangkan methoxychlor dan endrin memiliki akumulasi lebih sedikit(3)

Absorpsi dieldrin melalui kulit dapat menyebabkan rangsangan pada susunan

syaraf pusat dengan gejala berupa sakit kepala, pusing, gangguan penglihatan, rasa

tidak enak badan yang tidak jelas pengeluaran keringat secara berlebihan, sentakan

mioklonik ringan, mual, dan muntah. Kejang dalam salah satu atau lebih bentuk

epileptik (ayan) dapat terjadi disertai kemungkinan kehilangan kesadaran dan koma.

Terkadang, kejang dapat terjadi tanpa didahului gejala apapun. Gejala tertunda dan

gejala yang timbul secara mendadak kadang-kadang dapat terjadi pada waktu

beberapa minggu atau bulan setelah paparan terakhir. Dalam beberapa kasus

keracunan, dapat berkembang gejala-gejala lain seperti kehilangan koordinasi,

hiperiritabilitas, perubahan perilaku, nistagmus dan takikardia. Penyakit kulit seperti

skleroderma dapat mempermudah terjadinya absorpsi dieldrin melalui kulit.(3)

b) Distribusi

Dieldrin merupakan jenis pestisida organoklorin. Penggunaan pestisida

organoklorin ini menimbulkan pencemaan terhadap lingkungan udara, tanah dan air.

Interaksi pestisida organoklorin di udara terjadi melalui proses penguapan oleh

fotodekomposisi sinar matahari terhadap badan air dan tumbuhan. Selain itu

masuknya pestisida ini di udara disebabkan oleh driff yaitu proses penyebaran

6
pestisida ke udara melalui penyemprotan oleh pertani yang terbawa angin. Akumulasi

pestisida yang terlalu berat di udara pada akhirnya akan menambah parah pencemaran

udara dan dapat menimbulkan bahaya kesehatan pada petani maupun orang-orang di

sekitar wilayah tersebut apabila terkena paparan pestisida melalui udara.(3)

c) Metabolisme

Dieldrin mudah terserap melalui pernafasan, tertelan, atau kulit di dalam

tubuh, sebagian besar dieldrin dimetabolisme, dan di reversikan dalam feses dan

sisanya di

dalam sel lemak. Memerlukan beberapa mimggu dan tahun untuk meninggalkan

tubuh

d) Ekskresi

Ekskresi senyawa organoklorin seperti dieldrin tidak mengikuti kinetika orde

pertama. Sebagai timbunan dalam tubuh semakin rendah, waktu paruh untuk

timbunan yang tersisa meningkat secara dramatis. Hal ini mungkin disebabkan oleh

ikatan lipoprotein yang kompleks, dimana bentuk ikatan yang berbeda menunjukkan

karakteristik disosiasi yang berbeda. Eksresi dieldrin membutuhkan waktu beberapa

minggu hingga bulan sama seperti aldrin, heptachor dan hexachlorobenzene(3)

Setelah terpapar, senyawa organoklorin diklorinasi dan dikonjugasikan di hati

di mana ekskresi empedu merupakan mekanisme utama untuk eliminasi. Namun,

senyawa organoklorin diserap kembali pada tingkat tertentu dalam sirkulasi

enterohepatik dan fenomena daur ulang ini menyebabkan persistensi dalam tubuh

manusia. Sebagai akibat dari persistensi dan sifat lipofilik organoklorin, zat kimia ini

cenderung tersimpan dan terjadi bioakumulasi pada jaringan adiposa (Genuis, 2016).

4.Malathion
7
1. Absorbsi

Absorbsi secara klasik didefinisikan sebagai suatu fenomena yang

memungkinkan suatu zat aktif melalui jalur pemberian zat melalui sistem peredaran

darah, dan penyerapan zat terjadi secara langsung dengan mekanis me perlintasan

membran. Fenomena ini bukan satu-satunya faktor penentu masuknya zat aktif

kedalam tubuh, pentingnya juga memperhatikan bentuk sediaan, perlunya zat aktif

yangberada dalam bentuk yang sesuai agar dapat menembus membran dan pentingnya

kelarutan atau keterlarutan zat aktif padat. Jadi kelarutan merupakan faktor yang dapat

mengubah pH ditempat penyerapan serta konsentrasi zat aktif juga merupakan faktor

penentu laju penyerapan (Leon Sharger dan Andew B, 2005). (4)

Pada umumnya pestisida masuk ke tubuh melalui saluran pernafasan, absorpsi

kulit, dan melalui makanan yang berasal dari produk pertanian yang mengandung

residu pestisida. Malathion adalah jenis pestisida organosfosfat yang memiliki nilai

Lethal Dose -50 (LD50) 1,400 mg/kg sehingga banyak digunakan pada sektor

pertanian. Malathion masuk ke tubuh melalui saluran pernafasan, absorbsi melalui

kulit, dan melalui makanan yang terkontaminasi. (4)

Zat masuk ke dalam tubuh melalui berbagai cara yaitu:

a. Ditelan (per oral; ingesti): Portal entri ini sering dan mudah terjadi namun

bahan asing yang masuk tidak akan mudah mencapai peredaran darah karena

beberapa hal penting yang terkait pada fungsi saluran gastro intestinal. Di

mulut xenobiotik bercampur dengan ludah yang mengandung enzim, di dalam

lambung xenobiotik yang tidak tahan asam akan dihancurkan oleh asam

lambung, di usus halus akan bertemu dengan enzim usus halus yang bersifat

basa sehingga xenobiotik asam akan ternetralisir, dan seterusnya hingga

8
terbuang melalui usus besar. Proses absorpsi terjadi melalui mukosa usus,

yang selanjutnya mengalir melalui sistem sirkulasi darah.

b. Terhisap bersama udara pernafasan (inhalasi): Bukti mengenai efek yang

serius akibat pajanan melalui udara terhadap kesehatan manusia masih sangat

sedikit.

c. Melalui penyuntikan (parenteral; injeksi)

d. Penyerapan melalui kulit (absorpsi): Pajanan xenobiotik melalui kulit terjadi

ketika xenobiotik mengenai kulit atau terbawa angin hingga menempel di

kulit. Semakin luas area kulit yang terkena dan semakin lama durasi kontak

maka semakin serius dampak yang akan terjadi. Toksisitas melalui kulit (acute

dermal toxicity) dapat terjadi jika xenobiotik diabsorpsi kulit, menembus

epidermis, kemudian memasuki kapiler darah dalam kulit, sehingga terbawa

sampai paru-paru dan organ vital lainnya seperti otak dan otot. Xenobiotik

akan segera diabsorpsi jika kontak melalui kulit atau mata. Absorpsi ini akan

terus berlangsung selama pestisida masih ada pada kulit. Kecepatan absorpsi

berbeda pada tiap bagian tubuh. Perpindahan residu pestisida akan menambah

potensi keracunan.

e. Melalui anus atau vagina (perektal; pervaginam).(4)

2. Distribusi

Distribusi zat adalah proses-proses yang berhubungan dengan transfer

senyawa zat dari satu lokasike lokasi lain di dalam tubuh. Setelah melalui proses

absorpsi, senyawa zat akan didistribusikan keseluruh tubuh melalui sirkulasi darah.

9
Molekul zat dibawa oleh darah ke satu target (reseptor) untuk aksi obat dan ke

jaringan lain (non-reseptor), di mana dapat terjadi efek samping yang merugikan. (4)

Setelah zat mencapai sistem peredahan darah, bersama darah akan terdistribusi

ke seluruh tubuh. Weiss (1990) membagi distribusi ke dalam konveksi (transport zar

bersama peredaran darah) dan difusi (difusi xenobiotik di dalam sel atau jaringan).

Transport zat intra dan inter organ di dalam tubuh diprasaranai oleh sistem peredaran

darah. Difusi berperan penting dalam transport zat diantara ekstra dan intra selular.

Difusi zat melalui membran biologi dapat berlangsung melalui berbagai proses difusi,

seperti: difusi pasif, difusi aktif (melalui sistem transport tertentu. ”carrier”, melalui

pinocitosis, atau fagositosis) atau melalui poren. Laju difusi zat sangat ditentukan oleh

sifat fisikokimianya (lipofilik, ukuran melekul, derajat ionisasi, ikatan dengan protein

plasma). Sirkulasi sistemik sangat memegang peranan penting dalam transport zat

antar organ dan jaringan di dalam tubuh. Sehingga laju peredaran darah di dalam

organ atau jaringan juga akan menentukan kecepatan distribusi zat di dalam tubuh.

Organ tubuh seperti ginjal, hati, otak, paru-paru, jantung, lambung dan usus, adalah

organ-organ yang memiliki laju aliran darah (perfusi) yang baik. Karena laju aliran

darah dalam organ-organ inisangat baik, maka zat akan sangat cepat terdistribusi

homogen di dalam organ tersebut, jika dibandingkan pada organ-organ yang memiliki

laju aliran darah relatif lambat. (4)

3. Metabolisme

Metabolisme zat ialah proses perubahan struktur kimia obat yang terjadi di

dalam tubuh dan dikatalis oleh enzim (Hinz, 2005). (8) Metabolisme terjadi terutama

oleh oksidasi, dan hidrolisis oleh esterase dan oleh reaksi dengan glutathione.

Demetilasi dan glukuronidasi juga dapat terjadi. Oksidasi pestisida organofospat dapat

10
menyebabkan produk beracun. Secara umum fosforotioat tidak beracun secara

langsung namun membutuhkan metabolisme oksidatif padaracun proksimal. Reaksi

glutathione transferase menghasilkan produk yang, dalam banyak kasus,

rendahtoksisitasnya. Reaksi hidrolis dan transferase mempengaruhi kedua thioate

tersebut dan turunannya. Berbagai reaksi konjugasi mengikuti proses metabolisme

primer, dan eliminasi.Residu mengandung fosfor bisa melalui urine atau kotoran. (4)

Dalam tubuh, Malathion akan dimetabolisme oleh enzym sitokrom p450

menjadi malaoxon dan produk samping Reactive Oxygen Species(ROS) yang bersifat

radikal. Malaoxon memiliki efek seperti senyawa induknya yaitu Malathion,

sedangkan ROS akan menimbulkan kondisi stress dan kerusakan oksidatif pada sel

tubuh. Kondisi stress oksidatif akan menimbulkan peroksidasi lipid dari membrane sel

yang ditandai dengan peningkatan kadar Malondialdehyde(MDA) jaringan.

Kerusakan struktur pada sel otak akan mempengaruhi fungsinya yang penting untuk

pengendalian aktivitas sensorik maupun motorik. Gangguan aktivitas motorik

biasanya ditandai dengan perubahan motilitas atau aktivitas fisik. (4)

4. Eksresi

Ekskresi merupakan proses pengeluaran zat sisa metabolisme tubuh Zat hasil

metabolisme yang tidak diperlukan oleh tubuh akan dikeluarkan melalui alat ekskresi.

Sistem ekskresi merupakan salah satu hal yang penting dalam homeostatis tubuh

karena selain berperan dalam pembuangan limbah hasil metabolisme sistem ekskresi

juga dapat merespon terhadap ketidakseimbangan cairan tubuh(Shargel,2012).

Fungsi dari sistem ekskresi yaitu :

a. Membuanglimbah yang tidak berguna dari dalam tubuh

b. Mengatur konsentrasi dan volume cairan tubuh (osmoregulasi).

11
c. Mempertahankan temperatur tubuh dalam kisaran normal (termoregulasi). (4)

Setelah diabsorpsi dan didistribusikan di dalam tubuh, xenobiotika/xenobiotik

dapat dikeluarkan dengan cepat atau perlahan. Xenobiotika dikeluarkan baik dalam

bentuk asalnya maupun sebagai metabolitnya. Jalur ekskresi utama adalah melalui

ginjal bersama urin, tetapi hati dan paru-paru juga merupakan alat ekskresi penting

bagi xenobiotik tertentu. Disamping itu ada juga jalur ekskresi lain yang kurang

penting seperti, kelenjar keringat, kelenjar ludah, dan kelenjar mamae.

Ginjal sangat memegang peranan penting dalam mengekskresi Proses utama

ekskresi renal dari xenobiotika adalah: filtrasi glumerulus, sekresi aktif tubular, dan

resorpsi pasif tubular. Hati juga merupakan alat tubuh yang penting untuk ekskresi zat

malathion begitu senyawa tersebut terdapat dalam empedu, mereka tidak akan diserap

kembali ke dalam darah dan dikeluarkan lewat feses. (4)

5.Silika

a. Absorbsi

Masuknya zat silika debu yang berasal dari sekam padi didalam tubuh

manusia umumnya saluran pernafasan (inhalasi)

Paparan zat Silika pada manusia dapat dibedakan menjadi :

 Silikosis Kronik

Silikosis kronik Silikosis kronis merupakan bentuk silikosis yang

paling umum terjadi. Silikosis kronis terjadi akibat paparan sejumlah kecil

debu silika dalam jangka panjang (lebih dari 10 tahun). Nodul-nodul

12
peradangan kronis dan jaringan parut akibat silika terbentuk di paru-paru

dan kelenjar getah bening dada.(5)

 Silikosis Terakselerasi

Silikosis akselerata terjadi setelah terpapar oleh sejumlah silika yang

lebih banyak selama waktu yang lebih pendek (5-15 tahun). Peradangan,

pembentukan jaringan parut dan gejala-gejalanya terjadi lebih cepat.

Silikosis akselerata berhubungan dengan berbagai macam gangguan

autoimun.

 Silikosis Akut

Silikosis akut jarang terjadi tetapi bersifat sangat fatal yang terjadi

akibat paparan silikosis dalam jumlah yang sangat besar, dalam waktu

yang lebih pendek terutama partikel debu yang mengandung konsisteni

tinggi quartz. Paru-paru sangat meradang dan terisi oleh cairan, sehingga

timbul sesak nafas yang hebat dan kadar oksigen darah yang rendah.(5)

b. Distribusi

Adapun distribusi penimbunan debu silika dalam paru-paru dapat terjadi

pada saat menarik nafas, dimana udara yang mengandung debu masuk kedalam

paru-paru. Debu yang berukuran antara 5-10 mikron akan ditahan oleh saluran

pernafasan bagian atas, sedangkan yang berukuran 3-5 mikron ditahan oleh bagian

tengan jalan pernafasan. Partikel-partikel yang besarnya antara 1 dan 3 mikron

akan ditempatkan langsung dipermukaan alveoli paru. Partikel-partikel yang

berukuran 0,1 mikron tidak begitu mudah hinggap pada permukaan alveoli atau

akan ikut keluar saat nafas dihembuskan, oleh karena partikel dengan ukuran yang

13
demikian tidak mengendap di permukaan. Debu yang yang partikel-partikelnya

berukuran kurang dari 0,1 mikron bermassa terlalu kecil, sehingga tidak

mengendap di permukaan alveoli atau selaput lendir, oleh karena gerakan brown

yang menyebabkan debu demikian bergerak ke luar masuk ke alveoli.

Beberapa mekanisme tertimbunnya debu dalam paru menurut Suma’mur antara

lain :

a) Inertia

Inertia terjadi pada waktu udara membelok ketika melalui jalan

pernafasan yang tidak lurus, maka partikel-partikel debu yang yang

bermassa cukup besar tidak dapat membelok mengikuti aliran udara,

melainkan terus dan akhirnya menumbuk selaput lendir dan mengendap

disana.

b) Sendimentasi

Sendimentasi merupakan penimbunan debu yang terjadi di bronkhi dan

bronkhioli, sebab di tempat itu kecepatan udara sangat kurang kira-kira 1

cm/detik sehingga gaya tarik dapat bekerja terhadap partikel-partikel debu

dan mengendapkannya.

c). Gerakan Brown

Gerak Brown merupakan penimbunan bagi partikel – partikel yang

berukuran sekitar atau kurang dari 0,1 mikron. Partikel-partikel yang kecil ini

digerakkan oleh gerakan Brown sehingga ada kemungkinan membentur

permukaan alveoli dan hinggap di sana.(5)

c. Metabolisme

14
Paru merupakan salah satu organ vital yang berfungsi sebagai tempat

pertukaran gas oksigen (O2) yang digunakan sebagai bahan dasar metabolisme

dalam tubuh. Proses metabolisme akan menghasilkan energi dalam bentuk ATP

(Adenosin Tri Phospat) dan karbon dioksida (CO2) sebagai zat sisa hasil

metabolisme. Jika terdapat gangguan pada paru-paru, metabolisme tubuh akan

terganggu dan secara langsung akan menurunkan kualitas hidup manusia6. Proses

pertukaran gas oksigen ( O2 ) dari udara oleh organism hidup yang digunakan

untuk serangkaian metabolism yang akan menghasilkan karbondioksida (CO2 )

yang harus dikeluarkan, karena tidak dibutuhkan oleh tubuh.(5)

Debu silika dapat terhirup dan mengendap pada paru-paru sehingga dapat

mengganggu manusia serta mengurangi kapasitas paru-paru. Debu silika masuk

bersama dengan udara yang dihirup. Setelah masuk debu akan mengendap pada

ujung akhir saluran pernapasan bronkiolus, saluran alveolus, dan alveoli paru-paru.

Setelah mengendap pada paru-paru, debu silika akan di cerna oleh sel pembersih

(makrofag). Enzim yang dihasilkan sel pembersih menyebabkan terbentuknya

jaringan parut pada paru-paru4. Awalnya daerah parut ini hanya merupakan

bongkahan bulat yang tipis hingga akhirnya bergabung menjadi massa yang besar

(silikiosis konglomerat). Daerah parut ini tidak dapat mengalirkan oksigen ke

dalam darah secara normal. Paru-paru menjadi kurang lentur dan akan mengalami

gangguan pernapasan.(5)

d. Ekskresi

Faktor utama yang berperan pada patogenesis silikosis adalah partikel debu

dan respons tubuh khususnya saluran napas terhadap partikel debu tersebut.

Komposisi kimia, sifat fisis, dosis dan lama pajanan menentukan dapat atau mudah

tidaknya terjadi silikosis. Patogenesis silikosis dimulai dari respons makrofag

15
alveolar terhadap debu yang masuk ke unit respirasi paru. Terjadi fagositosis debu

oleh makrofag dan proses selanjutnya sangat tergantung pada sifat toksisitas

partikel debu. Reaksi jaringan terhadap debu bervariasi menurut aktivitas biologi

debu. Jika pajanan terhadap debu anorganik cukup lama maka timbul reaksi

inflamasi awal. Gambaran utama inflamasi ini adalah pengumpulan sel di saluran

napas bawah. Alveolitis dapat melibatkan bronkiolus bahkan saluran napas besar

karena dapat menimbulkan luka dan fibrosis pada unit alveolar yang secara klinis

tidak diketahui. Sebagian debu seperti debu batubara tampak relatif inert dan

menumpuk dalam jumlah relatif banyak di paru dengan reaksi jaringan yang

minimal. Debu inert akan tetap berada di makrofag sampai terjadi kematian oleh

makrofag karena umurnya, selanjutnya debu akan keluar dan difagositosis lagi oleh

makrofag lainnya, makrofag dengan debu didalamnya dapat bermigrasi ke jaringan

limfoid atau kebronkiolus dan dikeluarkan melalui saluran napas. Pada debu yang

bersifat sitoktoksik, partikel debu yang difagositosis makrofag akan menyebabkan

kehancuran makrofag tersebut yang diikuti dengan fibrositosis. Menurut Lipscomb,

partikel debu akan merangsang makrofag alveolar untuk mengeluarkan produk

yang merupakan mediator suatu respons peradangan dan memulai proses

proliferasi fibroblast dan deposisi kolagen.(5)

Paru-paru merupakan organ pernafasan tetapi memiliki peranan dalam

sistem eksresi sisa-sisa hasil metabolism berupa karbon dioksida dan air dalam

bentuk uap air. Sisa metabolism dari jaringan diangkut oleh darah menuju ke paru-

paru untuk dibuang. Proses pembuangan diawali dengan berdiskusinya karbon

dioksida dari sel-sel ke dalam darah, melalui cairan jaringan dan akhirnya masuk

ke dalam alveolus. Dari alveolus, karbon oksidasi akan dikeluarkan melalui udara

yang dihembuskan pada saat ekspirasi.

16
Sitokin telah terbukti berperan dalam patogenesis silikosis. sitokin yang

dihasilkan oleh makrofag alveolar dalam merespons partikel debu yang masuk ke

paru yang selanjutnya menyebabkan fibrosis pada jaringan interstitial paru. Bila

partikel debu telah difagositosis oleh makrofag dan ditransferke sistem mukosilier

maka proses pembersihan debu yang masuk dalam saluran napas dikategorikan

berhasil.(5)

6.Timbal

1. Absorbsi

Timbal (Pb) masuk dan diabsorbsi ke dalam tubuh manusia melalui saluran

pencernaan, saluran pernafasan, dan penetrasi lapisan kulit. Timbal yang terhirup saat

bernafas sebagian besar akan masuk ke pembuluh darah dan paru-paru, sebanyak 30-

40 % timbal yang diabsorbsi melalui saluran nafas akan masuk ke dalam aliran darah

tergantung pada ukuran partikel, volume nafas, daya larut, variasi faal antar individu

dan akan berikatan dengan darah paru-paru untuk diedarkan ke seluruh organ dan

jaringan tubuh. Absorbsi timbal yang melalui saluran pernafasan dipengaruhi oleh

tiga proses yaitu deposisi, pembersihan mukosiliar dan pembersihan alveolar. Rata-

rata 10-30% timbal yang terinhalasi diabsorbsi melalui saluran cerna dan uap timbal

tetra etil diabsorbsi dengan baik melalui paru-paru. Peningkatan absorbsi timbal

menyebabkan penurunan kadar hemoglobin, penurunan jumlah dan pemendekan

masa hidup eritrosit, peningkatan jumlah eritrosit berbintik basofilik, dan peningkatan

jumlah eritrosit muda (retikulosit) (Joko S, dalam Suciani S 2008).(6)

2. Distribusi

Timbal yang diabsorbsi dari saluran pernafasan, pencernaan atau kulit akan diangkut

oleh darah ke organ-organ tubuh yang lain. Sebanyak 95% timbal diikat oleh eritrosit

17
dan 5% oleh plasma darah. Sebagian timbal plasma dapat berdifusi serta diperkirakan

dalam keseimbangan pool timbal lainnya, yang dapat dibagi menjadi 2 yaitu jaringan

lunak (sistim saraf, paru-paru, sumsum tulang, otot, otak, ginjal, jantung, limpa, hati)

serta jaringan keras (rambut, tulang, gigi). Mengeliminasi separuh kadar timbal yang

terakumulasi dalam darah diperlukan waktu 2-3 tahun (Anies, 2005).(6)

3. Ekskresi

Proses ekskresi timbal dapat dilakukan melalui beberapa cara yaitu melalui saluran

cerna dan ginjal. Proses ekskresi timbal melalui urin sekitar 75-80%, dan melalui

feses 15% serta lainnya melalui keringat, empedu, kuku, dan rambut (Palar, 2004).

Waktu paruh timbal didalam darah sekitar 36 hari, pada jaringan lunak sekitar 40 hari

dan pada tulang sekitar 25 tahun. Sekresi timbal pada umumnya berjalan lambat,

sehingga menyebabkan timbal mudah terakumulasi didalam tubuh (Adnan, 2001).(6)

7. Merkuri

1. Proses Absorbsi

Hg dapat masuk ke tubuh manusia melalui tiga cara, yaitu melalui

pencenaan, yaitu dengan mengkonsumsi ikan, kerang, cumi dan ikan laut

lainnya yang mengandung MeHg, Senyawa merkuri organik, khususnya

MeHg adalah logam berat yang terbanyak dalam rantai makanan. Ikan

mengkonsumsi tumbuhan yang terkontaminasi dan menjadikan merkuri

terakumulasi ditubuhnya. Protein di dalam ikan tersebut akan mengikat

dengan kuat lebih dari 90% MeHg yang terkonsumsi. Cara kedua adalah

melalui pernapasan, yaitu dengan menghirup Hg yang diperoleh dari

berbagai sumber, seperti uap merkuri dari hasil pembakaran amalgam,

amalgam gigi dan udara. MeHg dapat diserap secara langsung melalui

18
pernafasan manusia dengan nilai kadar penyerapan 80%.Cara yang ketiga

melalui penyerapan melalui kulit. beberapa senyawa merkuri organik dan

anorganik dapat diabsorbsi melalui kulit.(7)

2. Proses Distribusi

Pada saat terpapar oleh logam merkuri dan diabsorbsi dalam

jaringan, logam merkuri akan ditransfer ke dalam darah, seperti uap logam

merkuri akan terserap oleh alveoli dan diteruskan ke dalam darah. Merkuri

mempunyai afinitas yang tinggi terhadap eritrosit, sekitar 95% terikat dalam

eritrosit darah. Merkuri mempunyai waktu paruh dalam darah yang sangat

lambat sekitar 25 hari, pada jaringan lunak 40 hari dan pada tulang 25

tahun. Mengingat sifatnya yang sangat lambat ini merkuri mudah

terakumulasi dalam tubuh. Merkuri mengendap dalam eritrosit dan

menimbulkan kerusakan pada sel tersebut. 95% menempel pada eritrosit

dan 5% berada pada plasma darah (Aryani dkk., 2013). Merkuri dalam

darah akan mengalami proses oksidasi dengan bantuan enzim hidrogen

peroksida katalase sehingga berubah menjadi ion Hg2+, selanjutnya dibawa

ke seluruh tubuh bersama peredaran darah dan

terakumulasi di hati dan ginjal. Sebagian merkuri dikeluarkan bersama

urin. Di dalam darah, merkuri terdapat pada plasma dan sel dalam darah

merah. Sebagian masuk ke jaringan otak tanpa teroksidasi, dan sebagian

lagi mengalami oksidasi dalam bentuk ion dan terakumulasi di ginjal

(Junita, 2013). Merkuri elemental dan organik cenderung terakumulasi di

syaraf, sedangkan merkuri anorganik di ginjal. Merkuri elemental memiliki

sifat larut dalam lemak yang tinggi. Oleh karena sifatnya tersebut, maka

19
merkuri elemental dengan mudah dapat melewati sawar otak dan plasenta.

Selain menumpuk, ternyata merkuri dapat menembus membran plasenta

pada wanita hamil. Senyawa merkuri tersebut masuk bersama makanan

melewati plasenta karena dibawa oleh peredaran darah ke janin, sehingga

dapat merusak otak janin dan memungkinkan bayi lahir cacat (Dewi, 2013)

(7).

Dari segi toksisitas, konsentrasi dalam darah merupakan indikator

yang sesuai dari dosis yang diserap dan jumlah yang ada secara sistemik.

Metilmerkuri terikat pada hemoglobin, dan daya ikatnya yang tinggi pada

hemoglobin janin berakibat pada tingginya kadar merkuri pada darah uri

dibandingkan dengan darah ibunya. Dari analisis, konsentrasi total merkuri

termasuk bentuk merkuri anorganik, merkuri pada darah tali uri hampir

seluruhnya dalam bentuk termetilasi yang mudah masuk ke plasenta

Metilmerkuri sangat mudah melintas batas sawar darah-otak maupun

plasenta.

3. Proses Metabolisme

20
Metil merkuri dapat dimetabolisme menjadi merkuri anorganik oleh hati dan ginjal.

Metil merkuri dimetabolisme sebagai bentuk Hg2+. Metil merkuri yang ada dalam

saluran cerna akan dikonversi menjadi merkuri anorganik oleh flora usus. Merkuri

anorganik dan organik akan sangat mudah berikatan dengan protein dan berbagai

jenis enzim seperti enzim katalase. Sebagian dari senyawa merkuri organik seperti

alkil merkuri akan diubah menjadi senyawa merkuri anorganik (Dewi, 2013).

Waktu paruh merkuri yakni berkisar 60 hari atau antara 35-90 hari. Setelah lewat

waktu paruh senyawa merkuri akan dikeluarkan dari dalam 27 tubuh sebagai hasil

samping metabolisme. Hanya sebagian kecil yang dikeluarkan jika dibandingkan

dengan jumlah uap atau senyawa merkuri yang masuk ke dalam tubuh. Sebagian

besar senyawa atau uap merkuri akan ditransformasikan melalui sel darah merah

selanjutnya akan terakumulasi dalam berbagai organ bagian dalam tubuh seperti

hati, ginjal dan otak (Suramas, 2016)

4. Proses Ekskresi

Metilmerkuri dikeluarkan dari tubuh terutama melalui tinja sebagai

merkuri anorganik. Proses ini sebagai hasil dari ekskresi empedu dari

senyawa dan konversi menjadi bentuk anorganik oleh flora usus. Sementara

unsur merkuri dan senyawa anorganiknya dieliminasi lebih banyak melalui

kemih daripada faeses, senyawa merkuri anorganik terutama diekskresi

melalui faeses (sampai 90 %). Waktu paruh biologis merkuri anorganik

mendekati 6 minggu (7). Kebanyakan metilmerkuri yang diekskresi empedu

diserap kembali melalui sirkulasi enterohepatik dalam bentuk organiknya.

Kurang dari 1% metilmerkuri dapat dikeluarkan dari tubuh setiap harinya,

hal ini karena waktu paruh biologisnya yang kira-kira 70 hari. Metilmerkuri

juga dikeluarkan melalui ASI dengan kadar kira-kira 5% dari kadar dalam

21
darah. Pengeluaran merkuri anorganik melalui ekshalasi, ludah, dan

keringat yang berasal dari metabolisme merkuri organik (7).

Merkuri ionik utamanya diekskresikan melalui urin dan tinja, tetapi

dapat pula melalui ASI. Sedangkan, untuk metal merkuri, ekskresi utama

melalui feses, rambut dan kurang dari sepertiga dari total ekskresi melalui

urin, tetapi dapat pula melalui ASI dengan kadar yang lebih rendah. Proses

ekskresi sangat dipengaruhi dengan waktu paruhnya, yaitu waktu yang

dibutuhkan untuk ekskresi sehingga mencapai separuh kadar yang ada di

dalam tubuh.

Waktu paruh merkuri secara biologik sekitar 60 hari atau antara 35-90 hari.

Pengeluaran merkuri terutama dalam bentuk urin dan feses melalui waktu

paruh 40-60 hari. Empedu dan feses merupakan jalur utama ekskresi metal

merkuri yang memiliki waktu paruh sekitar 70 hari (Aryani dkk., 2013) .(7)

8. Arsen

a. Absorbsi

Masuknya arsen dalam tubuh manusia umumnya melalui oral, yaitu melalui

makanan/minuman, saluran pernafasan serta melalui kulit walaupun jumlahnya sangat

terbatas. Paparan arsen pada manusia dapat dibedakan menjadi :

- Paparan akut

Paparan akut dapat terjadi jika tertelan (ingestion) sejumlah 100 mg As. Gejala

yang dapat timbul akibat paparan akut adalah mual, muntah, nyeri perut, diarrhae,

kedinginan,kram otot serta oedeme dibagian muka (facial). Paparan dengan dosis

22
besar dapat menyebabkan koma dan kolapsnya peredaran darah. Dosis fatal

adalah jika sebanyak 120mg arsenik trioksid masuk ke dalam tubuh.

- Paparan kronis

Gejala klinis yang nampak pada paparan kronis dari arsen adalah peripheral

neuropathy (rasa kesemutan atau mati rasa), lelah, hilangnya refleks, anemia, gangguan

jantung, gangguan hati, gangguan ginjal, keratosis telapak tangan maupun kaki,

hiperpigmentasikulit dan dermatitis. Gejala khusus yang dapat terjadi akibat terpapar

debu yangmengandung arsen adalah nyeri tenggorokan serta batuk yang dapat

mengeluarkan darahakibat terjadinya iritasi. Seperti halnya akibat terpapar asap rokok,

terpapar arsen secaramenahun dapat menyebabkan terjadinya kanker paru. (8)

b. Distribusi

Target utama arsen dalam tubuh adalah hati, meski arsen juga dapat mempengaruhi

mekanisme kerja paru-paru dan ginjal melalui peredaran darah. Arsen yang tertelan

secara cepat akan diserap lambung dan usus halus kemudian masuk ke peredaran

darah (Wijanto, 2005). Itulah sebabnya pemeriksaan kandungan arsen juga dilakukan

melalui darah. Pada keracunan akut maupun kronis dapat terjadinya anemia,

leukopenia, hiperbilirubinemia.

Arsenik yang terabsorbsi akan terakumulasi di kuku, rambut dan kulit. Kadar

As dalam rambut merupakan indikator yang cukup baik untuk menilai terjadinya

karacunan arsen. Normal kadar As dalam rambut kurang dari 1mug/kg. Namun,

kandungan arsen dalamrambut belum dapat dipastikan akibat paparan langsung atau

melalui metobolisme danakhirnya terakumulasi di rambut seperti penyimpanan arsen

pada kuku. Arsenik yang terakumulasi sampai pada kuku dan rambut ini tersimpan dalam

bentuk arsenic trioksid.

23
c. Metabolisme

Arsenik trioksid yang dapat disimpan di kuku dan rambut dapat mempengaruhi enzim

yang berperan dalam rantai respirasi, metabolisme glutation ataupun enzim yang

berperan dalam proses perbaikan DNA yang rusak. Dalam tubuh, arsenik organik

diubah monometil arsenic acid (MMA) dan akhirnya diubah menjadi dimetilarsenic

acid (DMA)dengan donor metal, S-adenosymetionin (SAM) dikatalisis oleh

metiltransferase dalam glutation yang ada. DNA metiltransferase membutuhkan SAM

dan hasil paparan arsen akan menyebabkanDNA hipometilasi melakukan penipisan

metal. Hipometilasi ini akan terjadi bersamaan dengan transformasi berbahaya dalam

level SAM sangat rendah sehingga dapat menimbulkan kelainan ekskresi gen yang

dihasilkan akibat

karsinogenesis.

Sebelum diekskresikan arsen akan mengalami fase toksodinamik (interaksi

antara toksin dengan reseptor pada tubuh) melalui interaksi dengan system enzim.

Cara arsen berinteraksi dengan system enzim adalah dengan inhibisi secara bolak-

balik (reversible/terpulihkan). Arsen merupakan toksik polar inhibitor enzim, dimana

terjadi ikatan non kovalen (ikatan yang lemah) antara arsen dengan enzim sehingga

arsen bisa keluar dari enzim dengan mudah. Ikatan kovalen antara arsen tadi dengan

gugus SH pada enzim, sehingga enzim tidak dapat berfungsi.

d. Ekskresi

Hasil metabolisme dari arsenik bervalensi 3 adalah asam dimetil arsenik dan asam

monometil arsenik yang keduanya dapat diekskresi melalui urine. Gas arsin terbentuk

dari reaksi antara hidrogen dan arsen yang merupakan hasil samping dari proses

refining (pemurnian logam) non besi (non ferrous metal). Keracunan gas arsin
24
biasanya bersifat akut dengan gejala mual, muntah, nafas pendek, dan sakit kepala.

Jika paparan terus berlanjut dapat menimbulkan gejala hemoglobinuria dan anemia,

gagal ginjal dan ikterus (gangguan hati). Menurut Casarett dan Doull’s (1986),

menentukan indikator biologi dari keracunan arsen merupakan hal yang sangat

penting. Arsen mempunyai waktu paruh yang singkat (hanya beberapa hari), sehingga

dapat ditemukan dalam darah hanya pada saat terjadinya paparan akut. Untuk paparan

kronis dari arsen tidak lazim dilakukan penilaian. Keracunan arsen dapat dideteksi

dengan pemeriksaan Uji Marsh dan Uji NAA (Neutron Activation Analysis).(8)

9. Diazinon

Diazinon merupakan salah satu dari sekian banyak pestisida yang bersifat toksik

atau racun. Pada umumnya akan segera diabsorpsi melewati kulit, paruparu, dan saluran

cerna. Diazinon merupakan jenis insektisida argonofosfat yaitu cairan coklat muda yang

berbau menyengat serta dapat larut dalam air. Apabila diazinon sudah masuk kedalam

tubuh dan terjadi kontak maka zat racun ini bekerja cepat dan mudah terabsorpsi dalam

tubuh (Djumadi, hariyatmi dan sugiono. 2008).(9)

a. Proses Absobsi

Diazinon masuk ke dalam tubuh melalui pernafasan, absorpsi melalui kulit dan melalui

mulut. Diazinon yang masuk melalui mulut akan bercampur dengan ludah yang

mengandung enzim, masuk ke lambung, kemudian ke usus halus dan seterusnya sampai

terbuang melalui usus besar; proses absorpsi melalui mukosa usus, kemudian mengalir

mengikuti sistem sirkulasi darah. Absorpsi Daizinon melalui kulit akan menembus

epidermis, masuk ke dalam kapiler darah dan terbawa ke paru-paru dan organ vital lain

seperti otot dan otak. Diazinon yang masuk ke dalam tubuh mengakibatkan aksi antara

25
molekul yang terdapat dalam pestisida dengan sel dalam tubuh yang bereaksi secara

spesifik maupunnon

spesifik.[Anonim].(9)

b. Distribusi

Distribusi secara pajanan inhalasi, masih belum ditemukan pengkajian distribusi setelah

pajanan diazinon pada manusia atau hewan. Distribusi secara pejanan oran, menemukan

bahwa ditemukan pestisida diazinon dalam isi perut, darah, empedu, jaringan lemak,

hati otak dan ginjal. Distribusi pejanan dermal, masih jarang ditemukan (ATSDR,

1996).(9)

c. Metabolisme

Diazinon secara cepat diserap dari saluran pencernaan dan distribusikan secara

luas pada tubuh manusia. Metabolisme diazinon pada fase hidrolisis pada hepar

menghasilkan senyawa dialkilfosfat dan senyawa radikal berupa diethyl. Diethyl

ini memiliki gugus radikal hidroksil (OH) yang cenderung membentuk molekul

stabil dengan mengambil atom H pada ikatan Poly-unsaturated Fatty Acid (PUFA)

(Singh,

2014).(9)

d. Eksresi

Tidak ditemukan penelitian bahwa diazinon diekskresikan dalam urin tanpa ada

perubahan. Adapun diazinon yang dieksresikan dengan fosrilat menghasilkan parathion,

malathion dan tetra Ethyl Pyro Phosphat (TEPP)

26
27
DAFTAR PUSTAKA

1. Dirgayana IW, Sumiartha IK, Adnyana IMM. Efikasi Insektisida Berbahan Aktif

( Klorpirifos 540 G / L Dan Sipermetrin 60 G / L ) Terhadap Perkembangan Populasi

Dan Serangan Hama Penggulung Daun Lamprosema Indicata Fabricius (Lepidoptera :

Pyralidae) Pada Tanaman Kedelai. J Agroekoteknologi Trop. 2017;6(4):378–88.

Available from: Https://Ojs.Unud.Ac.Id/Index.Php/Jat/Article/Download/35600/21457

2. Purnomo A, Purwana R. Dampak Cadmium Dalam Ikan Terhadap Kesehatan

Masyarakat. Kesmas: National Public Health J.2014; 3(2): 89-96.

Available from : Http://Journal.Fkm.Ui.Ac.Id/Kesmas/Article/View/235

3. Patel TB, Rao VN. Dieldrin Poisoning In Man. British Medical J. 1958; 1(5076): 919

Available from : Https://Www.Ncbi.Nlm.Nih.Gov/Pmc/Articles/PMC2028357/

4. Christopher JT, Preston C, Powles SB. Malathion Antagonizes Metabolism-Based

Chlorsulfuron Resistance In Lolium Rigidum. Pesticide Biochemistry And Physiology.

1994; 49(3): 172-182.

Available from :

Https://Www.Sciencedirect.Com/Science/Article/Pii/S0048357584710455

5. Latif C, Triwikantoro T, Munasir M. Pengaruh Variasi Temperatur Kalsinasi Pada

Struktur Silika. J SainsSeni ITS. 2014; 3(1): B4-B7.

Available from : Http://Www.Ejurnal.Its.Ac.Id/Index.Php/Sains_Seni/Article/View/5563

6. Arifiyana D. Identifikasi Cemaran Logam Berat Timbal (Pb) Pada Lipstik Yang Beredar

Di Pasar Darmo Trade Center (DTC) Surabaya Dengan Reagen Sederhana. J

PharmacyScience. 2018; 3(1): 13-16.

Available from : Http://Ejournal.Akfarsurabaya.Ac.Id/Index.Php/Jps/Article/View/68

28
7. Budlyanto F. Siklus Biogeokimia Merkuri Dan Metil Merkuri Dilingkungan

Laut.Oseana.2012; Xxx(3): Pp. 51–61.

Available from: Http://Oseanografi.Lipi.Go.Id/Dokumen/Os_Xxxvii_3_2012-6.Pdf

8. Afifah NA, Notodarmojo S. Identifikasi Sebaran Logam Berat Arsen (As) Dari Sistem

Panas Bumi Pada Air Tanah Dangkal Dengan Metode Kriging. J TekLing. 2018; 24(1):

27-40.

Available from : Http://Journals.Itb.Ac.Id/Index.Php/Jtl/Article/View/13254

9. Svoboda M, Luskova V, Drastichova J, Žlabek V. The Effect Of Diazinon On

Haematological Indices Of Common Carp (Cyprinus Carpio L.). Acta Veterinaria Brno.

2001; 70(4): 457-465.

Available from : Https://Actavet.Vfu.Cz/Media/Pdf/Avb_2001070040457.Pdf

29

Anda mungkin juga menyukai