Anda di halaman 1dari 27

MAKALAH

PENDIDIKAN INKLUSI
PESERTA DIDIK BERKEBUTUHAN KHUSUS

Dosen Pengampu : Dr. Baskoro Adi Prayitno, M.Pd

KELOMPOK 3
Azmi Shabira (K4320014)
Illiyin Putuhana (K4320040)
Lintang Prima Cahyani (K4320046)
Rahma Eka Kartika (K4320066)
Siva Aisyah Azzuri (K4320077)

KELAS A

PRODI PENDIDIKAN BIOLOGI

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS SEBELAS MARET


KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan nikmat serta hidayah-Nya,
terutama nikmat kesempatan dan kesehatan sehingga kami bisa menyelesaikan makalah mata
kuliah “Pendidikan Inklusi”. Shalawat serta salam kita ucapkan kepada Nabi besar kita
Muhammad SAW yang telah membawa umat islam menuju jaman yang penuh cahaya islam.

Makalah ini disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Pendidikan Inklusi pada
program studi Pendidikan Bologi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas
Sebelas Maret. Penyusun mengucapkan terima kasih yang kepada Bapak Dr. Baskoro Adi
Prayitno, M.Pd. selaku dosen pengampu mata kuliah Pendidikan Inklusi dan kepada segenap
pihak yang sudah memberikan bimbingan serta arahan selama proses penulisan makalah ini.

Penyusun menyadari bahwa terdapat banyak kekurangan dalam penulisan makalah


ini, maka dari itu pnyusun mengharapkan sebuah kritik dan saran yang membangun dari para
pembaca demi kesempurnaan makalah ini.

Klaten, 15 Oktober 2020

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR......................................................................................i

DAFTAR ISI....................................................................................................ii

BAB 1 PENDAHULUAN................................................................................1

1.1 Latar Belakang...................................................................................1

1.2 Rumusan Masalah..............................................................................2

1.3 Tujuan................................................................................................2

BAB 2 PEMBAHASAN...................................................................................2

2.1 Tunarungu..........................................................................................2

2.2 Tunanetra............................................................................................4

2.3 Tunagrahita........................................................................................8

2.4 Tunadaksa..........................................................................................12

2.5 Tunalaras............................................................................................15

BAB 3 PERNUTUP.........................................................................................21

3.1 Kesimpulan........................................................................................21

3..2 Saran.................................................................................................21

DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................22

ii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Anak berkebutuhan khusus, memiliki kebutuhan khusus yang berbeda - beda.
Kebutuhan khusus seseorang dipengaruhi oleh faktor yang berbeda bagi setiap penderitanya.
Penyebab keberbutuhan khusus seseorang, dipengaruhi berbagai faktr. Faktor - faktor tersebut
dapat berasal dari internal atau eksternal dari penderita.
Anak berkebutuhan khusus juga berhak mendapat dan mengenyam pendidikan, oleh
karena itu dibutuhkan metode dan juga media yang bisa diterapkan bagi para anak yang
berkebutuhan khusus. Metode dan mediapembelajaran tersebut perlu dipelajari, karena setiap
anak berkebutuhan khusus memiliki kebutuhan khusus masing-masing.
Motivasi yang diberikan pada setiap anak berkebutuhan khusus berbeda-beda,
tergantung pada kebutuhan khusus yang mereka butuhkan. Penelitian menunjukkan bahwa
motivasi belajar anak berkebutuhan khusus bersifat fluktuatif, tergantung faktor yang
memengaruhinya. Maka dari itu, diperlukan adanya pengetahuan mengenai pengertian, ciri-
ciri,serta bagaimana metode belajar yang dapat menyesuaikan pada setiap anak berkebutuhan
khusus.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa pengertian tunarungu, tunanetra, tunagrahita, tunadaksa, dan tunalaras ?
2. Bagaimana ciri - ciri anak tunarungu, tunanetra, tunagrahita, tunadaksa, dan tunalaras?
3. Apa penyebab anak mengalami tunarungu, tunanetra, tunagrahita, tunadaksa, dan tunalaras ?
4. Bagaimana metode pendidikan bagi anak tunarungu, tunanetra, tunagrahita, tunadaksa, dan
tunalaras ?
1.3 Tujuan
1. Mengetahui pengertian tunarungu, tunanetra, tunagrahita, tunadaksa, dan tunalaras.
2. Mengetahui ciri - ciri anak tunarungu, tunanetra, tunagrahita, tunadaksa, dan tunalaras.
3. Mengetahui penyebab anak mengalami tunarungu, tunanetra, tunagrahita, tunadaksa, dan
tunalaras.

1
4. Mengetahui metode pendidikan bagi anak tunarungu, tunanetra, tunagrahita, tunadaksa,
dan tunalaras.

2
Bab 2

Pembahasan

2. 1. Tunarungu

2.1.1. Pengertian

Anak tunarungu adalah anak yang kehilangan seluruh atau sebagian daya
pendengarannya, sehingga mengalami gangguan berkomunikasi verbal . Secara
fisik, anak tunarungu tidak berbeda dengan anak pada umumnya. Orang akan
mengetahui bahwa anak menyandang ketunaruguan pada saat berbicara, mereka
berbicara tanpa suara atau dengan suara yang kurang atau tidak jelas artikulasinya
bahkan terdapat yang hanya menggunakan Bahasa isyarat.

2.1.2. Klasifikasi

Penderita tunarungu dibedakan berdasarkan tingkat kerusakan/kehilangan


kemampuan mendengar :

1. Sangat ringan : 27-40 dB


2. Ringan : 41-44 dB
3. Sedang : 56-70 dB
4. Berat : 71-90 dB
5. Ekstrim : 91 dB keatas tuli .

2.1.3. Penyebab

Tunarungu bawaan bisa disebabkan oleh mutasi genetik, keturunan dari


orang tua, atau terpapar penyakit ketika masih di dalam kandungan. Sedangkan
tunarungu yang terjadi setelah lahir biasanya disebabkan oleh paparan suara keras
dalam jangka panjang, usia, cedera, dan penyakit tertentu, misalnya infeksi.

2.1.4. Ciri ciri

1. kemampuan bahasanya terlambat

2. tidak bisa mendengar

3
3. lebih sering menggunakan isyarat dalam berkomunikasi

4. perkataan yang diucapkan tidak begitu jelas

2.1.5. Metode Pembelajaran

1. Belajar Bahasa Melalui Membaca Ujaran (Speechreading)

Orang dapat memahami pembicaraan orang lain dengan “membaca”


ujarannya melalui gerakan bibirnya. Akan tetapi, hanya sekitar 50% bunyi ujaran
yang dapat terlihat pada bibir (Berger, 1972). Di antara 50% lainnya, sebagian
dibuat di belakang bibir yang tertutup atau jauh di bagian belakang mulut
sehingga tidak kelihatan, atau ada juga bunyi ujaran yang pada bibir tampak sama
sehingga pembaca bibir tidak dapat memastikan bunyi apa yang dilihatnya. Hal
ini sangat menyulitkan bagi mereka yang ketunarunguannya terjadi pada masa
prabahasa. Orang tunarungu yang bahasanya normal biasanya merupakan
pembaca ujaran yang lebih baik daripada tunarungu prabahasa, dan bahkan
terdapat bukti bahwa orang non-tunarungu tanpa latihan dapat membaca bibir
lebih baik daripada orang tunarungu yang terpaksa harus bergantung pada cara ini
(Ashman & Elkins, 1994).

2. Belajar Bahasa Melalui Pendengaran

Alat bantu dengar yang telah terbukti efektif bagi jenis ketunarunguan
sensorineural dengan tingkat yang berat sekali adalah cochlear implant. Cochlear
implant adalah prostesis alat pendengaran yang terdiri dari dua komponen, yaitu
komponen eksternal (mikropon dan speech processor) yang dipakai oleh
pengguna, dan komponen internal (rangkaian elektroda yang melalui pembedahan
dimasukkan ke dalam cochlea (ujung organ pendengaran) di telinga bagian dalam.
Komponen eksternal dan internal tersebut dihubungkan secara elektrik. Prostesis
cochlear implant dirancang untuk menciptakan rangsangan pendengaran dengan
langsung memberikan stimulasi elektrik pada syaraf pendengaran (Laughton,
1997).

4
3. Belajar Bahasa secara Manual

Secara alami, individu tunarungu cenderung mengembangkan cara


komunikasi manual atau bahasa isyarat. Untuk tujuan universalitas, berbagai
negara telah mengembangkan bahasa isyarat yang dibakukan secara nasional.
Ashman & Elkins (1994) mengemukakan bahwa komunikasi manual dengan
bahasa isyarat yang baku memberikan gambaran lengkap tentang bahasa kepada
tunarungu, sehingga mereka perlu mempelajarinya dengan baik. Kerugian
penggunaan bahasa isyarat ini adalah bahwa para penggunanya cenderung
membentuk masyarakat yang eksklusif

2.1.6. Tujuan Pembelajaran

1. Menyelenggarakan pendidikan sekolah luar biasa bagian B dengan optimal

2. Memberikan pendidikan anak di atas kekurangannya

3. Menyadarkan anak bahwa dengan keterbatasannya mereka tetap mampu


berprestasi

2.2. Tunanetra

2.2.1. Pengertian

Tunanetra adalah individu yang mengalami gangguan pada indra


penglihatan. Karena tunanetra memiliki keterbatasan dalam indra penglihatan,
maka proses pembelajaran menekankan pada alat indra yang lain yaitu indra
peraba dan indra pendengaran.

2.2.2. Klasifikasi

1. Berdasarkan waktu terjadinya ketunanetraan:

a. Tunanetra sebelum dan sejak lahir


b. Tunanetra setelah lahir dan atau pada usia kecil
c. Tunenatra pada usia sekolah atau pada masa remaja

5
d. Tunanetra pada usia dewasa
e. Tunanetra dalam usia lajut.

2. Berdasarkan waktu terjadinya ketunanetraan:

a. Tunanetra sebelum dan sejak lahir


b. Tunanetra setelah lahir dan atau pada usia kecil
c. Tunenatra pada usia sekolah atau pada masa remaja
d. Tunanetra pada usia dewasa
e. Tunanetra dalam usia lajut.

3. Berdasarkan kelainan-kelainan pada mata:

a. Myopia, adalah penglihatan jarak dekat, bayangan tidak terfokus dan


jatuh di belakang retina.
b. Hyperopia, adalah penglihatan jarak jauh, bayangan tidak terfokus dan
jatuh di depan retina.
c. Astigmatisme, adalah penyimpangan atau penglihatan kabur yang
disebabkan karena ketidak beresan pada kornea mata.

2.2.3. Penyebab

1. Faktor endogen 

Faktor endogen atau faktor genetik adalah faktor yang sangat erat
hubungannya dengan masalah keturunan dan pertumbuhan seorang anak dalam
kandungan. Adapun ciri-ciri tunanetra yang disebabkan oleh faktor keturunan
adalah bola mata yang normal tetapi tidak dapat menerima energi positif sinar
atau cahaya, yang kadang-kadang seluruh bola matanya tertutup oleh selaput
putih atau keruh.

2. Faktor eksogen atau faktor luar

a. Penyakit, yaitu virus rubella yang menjadikan seseorang mengalami


campak pada tingkat akut yang lama kelamaan akan mengganggu saraf
penglihatan, dan ada juga yang diakibatkan oleh kuman syphilis,

6
degenerasi atau perapuhan pada lensa mata yang mengakibatkan
pandangan mata menjadi mengeruh. 

b. Kecelakaan, yaitu kecelakaan fisik akibat tabrakan atau jatuh yang


berakibat langsung yang merusak saraf netra, akibat terkena radiasi ultra
violet atau gas beracun yang dapat menyebabkan seseorang kehilangan
fungsi mata untuk melihat, dan dari segi kejiwaan yaitu stress psikis akibat
perasaan tertekan, kesedihan hati yang amat mendalam yang
mengakibatkan seseorang mengalami tunanetra permanen.

b.2.4. Gejala dan Ciri ciri


1. Fisik

Gejala tunanetra yang dapat diamati dari segi fisik antara lain: mata
juling, sering berkedip, menyipitkan mata, kelopak mata merah, gerakan mata
tak beraturan dan cepat, mata selalu berair dan sebagainya.

2. Psikis
a. Mental/Intelektual
Tidak berbeda jauh dengan anak normal. Kecenderungan IQ anak
tunanetra ada pda batas atas sampai batas bawah.
b. Sosial
Kadangkala ada keluarga yang belum siap menerima anggota keluarga
yang tuna netra sehingga menimbulkan ketegangan/gelisah di antara
keluarga. Seorang tunanetra biasanya mengalami hambatan kepribadian
seperti curiga terhadap orang lain, perasaan mudah tersinggung dan
ketergantungan yang berlebihan.
3. Perilaku
Gejala tingkah laku pada anak yang mengalami gangguan penglihatan dini
antara lain; berkedip lebih banyak dari biasanya. menyipitkan mata, tidak
dapat melihat benda-benda yang agak jauh, kemudian mata gatal, panas,
pusing, kabur atau penglihatan ganda.

7
2.2.5. Metode Pembelajaran

1. Prinsip Individual.

Prinsip individual yakni suatu kondisi dimana guru harus memperhatikan


setiap perbedaan yang dimiliki oleh peserta didik tunanetra. Seperti perbedaan
umum, mental, fisik, kesehatan dan tingkat ketunanetraan masing-masing siswa. 

2. Prinsip Pengalaman Pengindraan.

Pengalaman pengindraan siswa tunanetra sangat penting bagi pemahaman


yang akan mereka peroleh sehingga sangat dibutuhkan. Dengan demikian strategi
pembelajaran guru harus memungkinkan adanya pengalaman langsung siswa
tunanetra terkait materi yang mereka pelajari

4. Prinsip Totalitas.

Prinsip totalitas maksudnya pembelajaran yang diterapkan pada siswa


tunanetra hendaknya menggunakan seluruh fungsi indra yang masih berfungsi
dengan baik pada diri mereka.

5. Prinsip Aktivitas Mandiri (Selfactivity).

Dalam proses pembelajaran guru dapat menjadi fasilitator dan motivator


anak untuk dapat belajar secara aktif dan mandiri. Dalam prinsip ini proses
pembelajaran bukan sekedar mendengar dan mencatat, akan tetapi juga ikut
merasakan dan mengalaminya secara langsung

2.2.6. Media Pendukung Pembelajaran

1. Huruf Braille. Huruf braille merupakan kumpulan titik-titik timbul yang


disusun untuk menggantikan huruf biasa. Huruf braille tersusun dari enam
buah titik, dua dalam posisi vertikal, dan tiga dalam posisi horizontal.

2. Kamera Touch Sight. Kamera ini memiliki layar braille fleksibel yang


menampilkan gambar tiga dimensi dengan gambar timbul di bagian

8
permukaan. Kamera diletakkan di kening pengguna untuk merekam suara
selama tiga detik yang menjadi petunjuk user untuk mengatur foto. 

3. Mesin baca Kurzweil. Mesin ini dapat membaca suatu buku yang tercetak,
hasil huruf-hurufnya dikeluarkan dalam bentuk suara.

4. Optacon. Optacon (Optical-to-Tactile converter) berfungsi untuk mengubah


tulisan menjadi getaran. Optacon terdiri dari satu kamera dengan elemen
photosensitive yang dihubungkan ke susunan sandi raba yang sesuai dengan
huruf tertentu.

5. Reglet. Untuk keperluan menulis anak tunanetra memerlukan alat khusus


untuk memudahkannya. Alat khusus ini dikenal dengan sebutan reglet. 

6. Mesin ketik braille. Mesin ketik braille lebih dikenal dengan keyboard khusus
untuk tunanetra.

7. Papan hitung dan sempoa. Untuk belajar menghitung anak tunanetra biasanya
menggunakan papan hitung khusus ataupun sempoa. Bulir-bulir pada sempoa
memudahkan indra anak untuk belajar matematika.

2.3. Tunagrahita
2.3.1. Pengertian

Dari sudut bahasa atau istilah tunagrahita berasal dari kata “Tuna” dan
“Grahita” tuna artinya cacat dan grahita artinya berfikir (Mupunarti, 2007:7).
Tunagrahita adalah istilah yang digunakan untuk menyebut anak atau orang yang
memiliki kemampuan intelektual dibawah rata-rata atau bisa juga disebut dengan
retardasi mental (Aqila Smart, 2001). Tunagrahita juga mempunyai arti kelainan
yang menliputi fungsi intelektual umum dibawah rata-rata yaitu IQ 84 kebawah
berdasarkan tes dan muncul sebelum usia 16 tahun. 

2.3.3. Penyebab

1. Faktor genetik

9
Ketunagrahitaan yang disebabkan oleh faktor genetik yang dikenal
dengan phenylketonuria hal ini merupakan suatu kondisi yang disebabkan oleh
gen orangtua mengalami kurangnya produksi enzim yang memproses protein
dalam tubuh sehingga terjadinya penumpukan asam yang sebut
asam phenylpyruvic.  Penumpukan ini menyebabkan kerusakan otak. Selain itu,
mengakibatkan timbulnya penyakit tay-sochs, yaitu adanya gen yang terpendam
yang diwariskan oleh orangtua yang membawa gen ini.

2. Faktor Prakelahiran

Penyebab pada prakelahiran terjadi ketika pembuahan. Hal yang paling


berbehaya adalah adanya penyakit rubela (campak jerman) pada janin. Selain itu,
adanya infeksi penyakit sifilis. Dalam hal lain yang juga dapat menyebabkan
kerusakan otak adalah racun dari alkohol dan obat-obatan ilegal yang digunakan
oleh wanita hamil. Racun tersebut dapat mengganngu perkembangan janin
sehingga menimbulkan sebuah masalah ketunagrahitaan yang akan terjadi pada
anak-anak keturunannya tersebut.

4. Faktor penyebab pada saat kelahiran

Penyebab ketunagrahitaan pada saat kelahiran adalah kelahiran prematur,


adanya maslaah proses kelahiran seperti kekurangan oksigen, kelahiran yang
dibantu oleh alat-alat kedokteran beriseko terhadap anak yang akan menimbulkan
trauma pada kepala. Terjadinya kelahiran prematur yang tidak tahu atau
kurangnya mendaptkan perawatan dengan baik.

5. Faktor penyebab selama masa perkembangan anak-anak dan remaja


1. Ibu saat mengandung tidak menjaga pola makan.
2. Keracunan sewaktu ibu mengandung.
3. Kerusakan pada otak sewaktu lahir, misalnya, sakit pada anak
seperti demam tinggi hingga kejang, batuk pilek yang tidak
berkesudahan, ataupun lahir prematur.

10
2.3.4. Ciri ciri

1. Duduk, merangkak, atau berjalan lebih lambat dari anak-anak lain seusianya.
2. Mengalami kesulitan berbicara.
3. Memiliki kesulitan memahami aturan sosial.
4. Memiliki kesulitan dalam mengendalikan sikap atau gerakannya.
5. Sulit memecahkan masalah.
6. Sulit berpikir logis
Sebagai contoh, anak usia 10 tahun dengan kondisi tuna grahita biasanya
belum dapat berbicara atau menulis. Padahal, pada anak yang normal, menulis
dan berbicara seharusnya sudah bisa dilakukan.

2.3.5. Metode Pembelajaran

1. Kelas Transisi
Kelas ini diperuntukkan bagi anak yang memerlukan layanan khusus
termasuk anak tunagrahita. Kelas transisi sedapat mungkin berada disekolah
reguler, sehingga pada saat tertentu anak dapat bersosialisasi dengan anak
lain. Kelas transisi merupakan kelas persiapan dan pengenalan pengajaran
dengan acuan kurikulum SD dengan modifikasi sesuai kebutuhan anak.

2. Sekolah Khusus (Sekolah Luar Biasa bagian C dan C1/SLB-C,C1)


Layanan pendidikan untuk anak tunagrahita model ini diberikan pada
Sekolah Luar Biasa. Dalam satu kelas maksimal 10 anak dengan
pembimbing/pengajar guru khusus dan teman sekelas yang dianggap sama
keampuannya (tunagrahita). Kegiatan belajar mengajar sepanjang hari penuh
di kelas khusus. Untuk anak tunagrahita ringan dapat bersekolah di SLB-C,
sedangkan anak tunagrahita sedang dapat bersekolah di SLB-C1.

3. Pendidikan Terpadu
Layanan pendidikan pada model ini diselenggarakan di sekolah
reguler. Anak tunagrahita belajar bersama-sama dengan anak reguler di kelas
yang sama dengan bimbingan guru reguler. Untuk matapelajaran tertentu, jika

11
anak mempunyai kesulitan, anak tunagrahita akan mendapat
bimbingan/remedial dari Guru Pembimbing Khusus (GPK) dari SLB terdekat,
pada ruang khusus atau ruang sumber. Biasanya anak yang belajar di sekolah
terpadu adalah anak yang tergolong tunagrahita ringan.

4. Program Sekolah di Rumah


Progam ini diperuntukkan bagi anak tunagrahita yang tidak mampu
mengkuti pendidikan di sekolah khusus karena keterbatasannya, misalnya:
sakit. Proram dilaksanakan di rumah dengan cara mendatangkan guru PLB
(GPK) atau terapis. Hal ini dilaksanakan atas kerjasama antara orangtua,
sekolah, dan masyarakat.

5. Pendidikan inklusif
Layanan pendidikan inklusif diselenggarakan pada sekolah reguler.
Anak tunagrahita belajar bersama-sama dengan anak reguler, pada kelas dan
guru/pembimbing yang sama. Pada kelas inklusi, siswa dibimbing oleh 2
(dua) orang guru, satu guru reguler dan satu lagu guru khusus. Guna guru
khusus untuk memberikan bantuan kepada siswa tunagrahita jika anak
tersenut mempunyai kesulitan di dalam kelas. Semua anak diberlakukan dan
mempunyai hak serta kewajiban yang sama. Tapi saat ini pelayanan
pendidikan inklusif masih dalam tahap rintisan.

6. Panti (Griya) Rehabilitasi


Panti ini diperuntukkan bagi anak tunagrahita pada tingkat berat, yang
mempunyai kemampuan pada tingkat sangat rendah, dan pada umumnya memiliki
kelainan ganda seperti penglihatan, pendengaran, atau motorik. Program di panti
lebih terfokus pada perawatan. Pengembangan dalam panti ini terbatas dalam hal :
a. Pengenalan diri
b. Sensorimotor dan persepsi
c. Motorik kasar dan ambulasi (pindah dari satu temapt ke tempat lain)
d. Kemampuan berbahasa dan dan komunikasi

12
e. Bina diri dan kemampuan social

2.4. Tunadaksa

2.4.1. Pengertian

Istilah tunadaksa berasal dari kata Tuna yang artinya rugi, kurang dan kata
daksa berarti tubuh. Sehingga tunadaksa merupakan sebutan halus bagi orang-
orang yang memiliki kelainan fisik, khususnya anggota badan, seperti kaki,
tangan atau bentuk tubuh. 

Tunadaksa adalah suatu kondisi dimana terjadi ketidakmampuan anggota


tubuh untuk melaksanakan fungsinya yang disebabkan kelainan atau kecacatan
sistem otot, tulang atau persendian sehingga mengakibatkan gangguan koordinasi,
komunikasi, adaptasi, mobilisasi dan perkembangan keutuhan pribadi. Kelainan
yang terjadi dapat disebabkan oleh penyakit, luka akibat kecelakaan atau
pertumbuhan yang tidak sempurna pembawaan sejak lahir.

2.4.3. Penyebab

Terdapat 3 faktor penyebab Tuna Daksa, yakni Prenatal (sebelum


kelahiran), faktor Neonatal (saat lahir) dan Postnatal (setelah kelahiran).

1. Faktor Prenatal (sebelum kelahiran)


Kelainan ini dikarenakan faktor genetik dan kerusakan pada
sistem saraf pusat. Faktor yang menyebabkan bayi mengalami
kelainan saat dalam kandungan adalah: Anoxia prenatal, hal ini
dapat disebabkan oleh pemisahan bayi dari plasenta, penyakit
anemia, kondisi jantung yang gawat, shock, dan percobaan
pengguguran kandungan atau aborsi, dan juga ibu yang mengalami
trauma (kecelakaan). Trauma ini dapat mempengaruhi sistem
pembentukan syaraf pusat. Misalnya ibu yang jatuh dan mengalami
benturan keras pada perutnya dan mengenai kepala bayi akan
mengganggu sistem syaraf pusat

2. Faktor Neonatal (saat lahir)


Mengalami kendala saat melahirkan, seperti kesulitan
melahirkan karena posisi bayi sungsang atau bentuk pinggul ibu
yang terlalu kecil, pendarahan pada otak saat kelahiran, kelahiran
prematur, penggunaan alat bantu kelahiran berupa tang karena
mengalami kesulitan kelahiran yang mengganggu fungsi otak pada
bayi, gangguan plasenta yang mengakibatkan kekurangan oksigen

13
yang dapat mengakibatkan terjadinya anoxia dan pemakaian anestasi
yang melebihi ketentuan adalah contoh faktor Neonatal penderita
Tuna Daksa.
3. Postnatal (setelah kelahiran)
Faktor penyebab Tundaksa setelah kelahiran bisa terjadi
akibat Penyakit seperti meningitis (radang selaput otak), enchepalitis
(radang otak), influenza, diphteria, dan partusis adalah beberapa
penyakit yang dapat berdampak fatal menyebabkan disfungsi otak.
Selain itu, mengalami benturan keras di bagian kepala, dan terjatuh
dari tempat yang tinggi tanpa menggunakan pengaman kepala juga
merupakan faktor penyebab Tuna Daksa.

2.4.4. Ciri ciri

A. Ciri-ciri fisik :
Anak memiliki keterbatasan atau kekurangan dalam kesempurnaan tubuh.
Misalnya tangannya putus, kakinya lumpuh atau layu, otot atau motoriknya
kurang terkoordinasi dengan baik.
1. Anggota gerak tubuh kaku/lemah/lumpuh 
2. Kesulitan dalam gerakan (tidak sempurna,tidak lentur/tidak terkendali)
3. Terdapat bagian angggota gerak yang tidak lengkap/tidak
sempurna/lebihh kecil dari biasanya 
4. Terdapat cacat pada alat gerak 
5. Jari tangan kaku dan tidak dapat menggenggam 
6. Kesulitan pada saat berdiri/berjalan/duduk, dan menunjukkan sikap
tubuh tidak normal
7. Hiperaktif/tidak dapat tenang 

B. Ciri-ciri mental:
1. Anak memiliki kecerdasan normal bahkan ada yang sangat cerdas.
2. Depresi, kemarahan dan rasa kecewa yang mendalam disertai dengan
kedengkian dan permusuhan.
3. Penyangkalan dan penerimaan. Ada saat-saat di mana individu
tersebut menolak untuk mengakui realita cacat yang telah terjadi
meskipun lambat laun ia akan menerimanya.
4. Meminta dan menolak belas kasihan dari sesama. Ini adalah fase di
mana individu tersebut mencoba menyesuaikan diri untuk dapat hidup
dengan kondisinya yang sekarang. Ada saat-saat ia ingin tidak
bergantung, ada saat-saat ia betul-betul membutuhkan bantuan
sesamanya. Keseimbangan ini kadang-kadang sulit dicapai.
C. Ciri-ciri sosial:

14
Anak kelompok ini kurang memiliki akses pergaulan yang luas karena
keterbatasan aktivitas geraknya. Dan kadang-kadang anak menampakkan
sikap marah-marah (emosi) yang berlebihan tanpa sebab yang jelas. Untuk
kegiatan belajar-mengajar disekolah diperlukan alat-alat khusus penopang
tubuh, misalnya kursi roda, kaki dan tangan buatan.

2.4.5. Metode Pembelajaran

Pendidikan bagi anak tidak selalu harus berlangsung disuatu lembaga


pendidikan khusus, sebab sebagian dari mereka (anak tunadaksa) pendidikannya
dapat berlangsung di sekolah dan kelas reguler/sekolah umum. Hal ini disebabkan
oleh faktor kemampuan dan ketidakmampuan anak tunadaksa dan lingkungannya.
Atas dasar kondisi anak tunadaksa tersebut, maka model pelayanan
pendidikannya dibagi pada “Sekolah Khusus” dan “Sekolah Terpadu/Inklusi”.

A. Sekolah Khusus
Pelayanan pendidikan bagi anak tunadaksa di sekolah
khusus ini diperuntukkan bagi anak yang mempunyai masalah
yang lebih berat , baik dari segi emosional,kemampuan bergerak ,
maupun retradasi mental. Di sekolah khusus ini pelayanan
pendidikannya dibagi menjadi dua unit, yaitu unit sekolah khusus
bagi anak tunadaksa ringan, dan unit sekolah khusus bagi anak
tunadaksa sedang.
B. Sekolah Khusus untuk Anak Tunadaksa Ringan (SLB-D)
Pelayanan pendidikan diunit tunadaksa ringan atau SLB-D
diperlukan bagi anak tunadaksa yang tidak mempunyai masalah
penyerta retardasi mental, yaitu anak tunadaksa yang mempunyai
intelektual rata-rata atau bahkan di atas rata-rata intelektual anak
normal. Namun anak kelompok ini belum ditempatkan di sekolah
terpadu/sekolah umum karena anak masih memerlukan terapi-
terapi, seperti fisio terapi, speech therapy, occuppational therapy
dan atau terapi yang lain. Dapat juga terjadi anak tunadaksa tidak
ditempatkan di sekolah reguler karena derajad kecacatannya terlalu
berat.

15
C. Sekolah Khusus untuk Anak Tunadaksa Sedang (SLB-D1)
Pelayanan pendidikan diunit ini, diperuntukkan bagi anak
tunadaksa yang mempunyai masalah seperti, emosi, persepsi atau
campuran dari ketiganya disertai problema penyerta retardasi
mental. Kelompok anak tunadaksa sedang ini mempunyai
intelektual di bawah rata-rata anak normal.

D. Sekolah Terpadu/Inklusi
Bagi anak tunadaksa dengan problema yang relatif ringan,
dan tidak disertai dengan problema penyerta retardasi mental.Kita
dapat memberikan pelayanan Pendidikan mereka ke sekolah
regular sejak dini .Namun walaupun problem yang dihadapi anak
tunadaksa lebih ringan, sekolah reguler yang ditunjuk untuk
melayani pendidikannya perlu persiapan yang matang terlebih
dahulu, baik persiapan sarana maupun prasarananya agar tidak
timbul masalah baru yang mereka terima kemudian hari.
2.5. Tunalaras

2.5.1. Pengertian

Anak tunalaras termasuk dari anak berkebutuhan khusus. Kebutuhan


khususnya terletak pada hambatan mereka dalam mengontrol emosi dan perilaku,
sehingga menghambat hubungan sosial. Pada istilah internasional, anak tunalaras
disebut sebagai Children with BESD (Behavioral, Emotional, and Social
Disorder) (Cole & Knowless, 2011). Istilah tersebut menggambarkan kondisi
emosi dan perilaku yang bermasalah tampak dalam hubungan interpersonal,
hubungan sosial, dan bahkan menggambarkan masalah mereka dalam mengelola
diri sendiri. (Mahabbati 2014).

Tunalaras Menurut Dewi Pandji (2013: 19), tunalaras adalah seseorang


yang memiliki tingkah laku atau perilaku ekstrim yang bermasalah, kronis, dan
tidak sesuai dengan norma dan aturan yang berlaku di masyarakat. Sedangkan
Menurut Laili S. Cahya (2013:17), tunalaras merupakan anak yang memiliki

16
perilaku yang menyimpang baik pada taraf sedang, berat, maupun sangat berat.
gangguan perilaku ini terjadi pada usia-usia anak dan remaja. Dampak dari
gangguan perilakunya dapat merugikan anak itu sendiri maupun lingkungan
masyarakatnya, sehingga memerlukan layanan pendidikan khusus untuk
mengembangkan potensinya.

2.5.2. Klasifikasi

Quay dan Peterson (Dunn & Leitschuh, 2006, dalam Palupi, 2016: 14-16)
mengklasifikasikan anak tunalaras sebagai berikut:

1) Gangguan Perilaku

a) Undersocialized Aggressive Conduct Disorder. Conduct Disorders,


disebut juga Unsocialized Aggression, yaitu ketidakmampuan
mengendalikan diri. Karakteristik anak dengan conduct disorders
yaitu perilaku anti-sosial termasuk melawan, menyerang,
menghancurkan barang, mencuri, berbohong, dan tindak
kekejaman fisik pada manusia maupun binatang. Selain itu mereka
juga memunculkan perilaku menyalahkan orang lain, mem-bully
teman, bahkan egois.
b) Attention Problems-immaturity, yaitu anak yang memunculkan
beberapa perilaku seperti bertingkah laku lebih muda dari pada
usianya, bahkan kesulitan dalam menentukan tujuan hidup.
c) Motor Excess, yaitu perilaku yang berlebih yang terjadi pada anak
tunalaras. Biasanya ditunjukkan dengan perilaku gelisah, gugup,
bahkan nervous.
d) Socialized Aggressive Conduct Disorder. Socialized Aggresion,
biasanya dimunculkan oleh anak tunalaras dengan perilaku nakal
dalam lingkungan masyarakat, menjadi anggota geng atau
komplotan, mencuri, bahkan berbuat kriminal.

2) Gangguan Emosi

17
a) Anxiety-Withdrawal, yaitu gangguan kecemasan yang terjadi pada
anak tunalaras sehingga sebagian besar dari mereka menarik diri
dari lingkungan sosial. Misalnya cemas, depresi, mengeluh yang
berlebihan, bahkan kesulitan dalam mengambil keputusan.
b) Psychotic Behavior, yaitu seseorang yang mengalami gangguan
kejiwaan. Seseorang tersebut biasanya memiliki halusinasi yang
cukup kuat, bahkan kesulitan dalam membedakan antara kenyataan
dan khayalan.

2.5.3. Penyebab

Anak yang mengalami ketunalarasan memiliki banyak faktor penyebab.


Adapun penyebab ketunalarasan menurut Bambang Putranto (2015: 221) ada dua.
Yang pertama, faktor internal, adalah faktor-faktor yang langsung berkaitan
dengan kondisi seseorang atau individu itu sendiri, seperti halnya keturunan,
kondisi fisik dan psikisnya. Kedua, faktor eksternal, adalah faktor-faktor yang
bersifat diluar diri individu terutama berasal dari lingkungan, baik lingkungan
keluarga, masyarakat dan sekolah.

1. Internal
a. Memiliki kecerdasan rendah atau kurang mampu mengikuti
tuntutan sekolah
b. Adanya gangguan atau kerusakan pada otak (brain damage)
c. Memiliki gangguan kejiwaan bawaan, serta
d. Rasa frustasi yang terus-menerus
2. Faktor Eksternal
a) Kemampuan sosial dan ekonomi rendah
b) Adanya konflik budaya, yaitu perbedaan pandangan antara
kondisi sekolah dengan kebiasaan keluarga
c) Adanya pengaruh negatif dari geng atau kelompok tertentu
d) Kurangnya kasih sayang orang tua karena kehadirannya
tidak diharapkan, serta
e) Kondisi keluarga yang tidak harmonis (broken home)
18
2.5.4. Ciri ciri

Menurut Sumarna dan Sukarija Taska (2013:30), berpendapat bahwa


karakteristik anak tunalaras yang mempunyai perilaku menyimpang adalah
mereka yang menunjukkan lima karakteristik sebagai berikut:

1) Mempunyai masalah belajar yang tidak dapat dikemukakan oleh


faktor-faktor intelektual, sensori, atau faktor kesehatan.
2) Ketidakmampuan seseorang dalam membangun hubungan dengan
orang lain, sehingga mengalami hambatan dalam bersosialisasi.
3) Berperasaan dan berperilaku yang tidak sesuai dengan semestinya.
4) Merasakan depresi dan perasaan tidak bahagia.
5) Terjadinya peningkatan gejala-gejala fisik yang kurang sehat, rasa
sakit dan bersifat psikologis yang berkaitan dengan masalah- masalah
pribadi dan sekolah.

2.5.5. Metode Pembelajaran

1. Metode pembelajaran

Dalam pelaksanaan pembelajaran terhadap siswa terutama siswa


tunalaras, guru membutuhkan penggunaan metode agar pembelajaran
berlangsung dengan efektif dan tujuan pembelajaran dapat tercapai. Pada
dasarnya metode dalam pembelajaran inklusi dapat diadopsi dari metode-
metode pada pembelajaran secara umumnya seperti metode ceramah, diskusi,
simulasi dan pemberian tugas.

2. Materi pembelajaran
Siswa tunalaras mendapatkan materi pembelajaran yang sesuai dengan
kemampuan dan kebutuhannya, Hal ini sesuai dengan yang dikatakan Aini
Mahabbati (2011, hlm.3) yang mengungkapkan salah satu prinsip pembelajaran
anak berkebutuan khusus pada sekolah inklusi yaitu, ketika anak-anak
berkebutuhan khusus belum bisa menerima materi dengan baik, sekolah pun

19
harus siap melaksanakan program pembelajaran individual (PPI) atau IEP
(individual educational program) dengan memodifikasi materi atau kurikulum
yang ada menjadi sesuai dengan kapasitas anak. Bentuk dari PPI atau IEP ini
disesuaikan dengan kebutuhan yang perlu dikembangkan pada anak.

3. Penggunaan sumber dan media pembelajaran

Penggunaan sumber dan media di sekolah ini cukup baik. Selain


pengadaan media, media atau sumber juga harus mudah diadakan atau murah
serta dapat dibuat sendiri oleh pengelola pendidikan. Akan jauh lebih baik jika
media tidak mudah rusak mengingat siswa yang ditangani memiliki berbagai
macam karakteristik dan kebutuhan belajar yang berbeda terutama siswa
tunalaras yang sifatnya cenderung merusak. Pengadaan media dan sarana tidak
harus selalu baru. Guru yang kreatif dapat memanfaatkan lingkungannya
sebagai sumber belajar.

4. Evaluasi pembelajaran

Siswa tunalaras mengikuti ujian di kelas bersama siswa lain tetapi


mengerjakan soal yang dibuat oleh tim guru pendamping khusus. Evaluasi non
akademik tidak dilakukan secara tertulis tetapi melalui observasi selama
mendampingi siswa tunalaras. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh
Lilik Maftuhatin (2010, hlm. 131) menyampaikan bahwa: Dalam setting
pendidikan inklusif, sistem penilaian yang diharapkan di sekolah yaitu sistem
penilaian yang fleksibel. Penilaian yang disesuaikan dengan kompetensi semua
anak termasuk anak tunalaras. Penilaian dapat berupa data kuantitatif dan
kualitatif. Penerapan sistem evaluasi di sekolah penyelenggara pendidikan
inklusi tergantung terhadap kurikulum yang dipakai disekolah itu, artinya jika
sekolah memakai kurikulum duplikasi, maka sistem evaluasinya pun disamakan
dengan yang diberlakukan anak pada umumnya. Dan jika, sekolah itu memakai
kurikulum modifikasi tentunya sistem evaluasinya pun harus dimodifikasi
sesuai dengan kondisi dan kebutuhan siswa berkebutuhan khusus terutama

20
siswa tunalaras. Perubahan tersebut bisa berkaitan dengan soal ujian, waktu
evaluasi, teknik cara

21
BAB 3
Penutup

3.1. Kesimpulan

Dari pembahasan diatas, kita dapat mengerti bagaimana pengertian, ciri-ciri, penyebab,
serta metode pembelajaran yang tepat bagi anak berkebutuhan khusus. Pemahaman ini berfungsi
agar kedepannya, kita dapat memperlakukan atau menyikapi anak berkebutuhan khusus sesuai
apa yang mereka butuhkan. Dalam metode pembelajaran, juga ditemukan media yang dapat
membantu para siswa berkebutuhan khusus dalam proses pembelajaran.
Penyebeb seseorang menjadi berkebutuhan khusus, tidak murni dari kesalahan genetis.
Beberapa kasus juga ditemukan behwa kebutuhan khusus dapat disebabkan oleh faktor
lingkungan dan juga kecelakaan dalam masa hidup penderita. Faktor - faktor yang bukan faktor
genetis dapat kita minimalisasi agar tidak terjadi, sehingga angka anak berkebutuhan khusus
dapat menurun.

3.2. Saran

Dalam perkembangan penemuan media dan metode belajar bagi anak berkebutuhan
khusus, kedepannya juga diperlukan tenaga pengajar yang menguasai ilmu dan bidang tersebut.
Oleh karena itu, Pemerintah seharusnya dapat memfasilitasi dan juga dapat melakukan sosialisasi
secara berkala pada masyarakat. Dan juga pagi para tenaga pengajar yang nantinya menangani
anak berkebutuhan khusus, harus adaptif dan kreatif dalam mempelajari dan mengembangkan
ilmu yang ada.

22
DAFTAR PUSTAKA

Cahya, Laili S. 2013. Buku Anak untuk ABK. Yogyakarta: Familia.

Efendi, Mohammad. 2006. Pengantar Psikopedagogik Anak Berkelainan. Jakarta: Bumi


Aksara.

Ekasetiazh. 2013. "PEMBELAJARAN ANAK TUNALARAS".


https://ekasetiazh.wordpress.com/. Diakses pada 2 Oktober 2020 jam 22.23 WIB.

Ilmi,Arif.”Pendidikan Anak Tunagrahita”,


https://www.academia.edu/27928863/Pendidikan_Anak_Tunagrahita, diakses pada 1 Oktober
2020 pukul 15.25.

Mahabbati, Aini. 2014. "POLA PERILAKU BERMASALAH DAN RANCANGAN


INTERVENSI PADA ANAK TUNALARAS TIPE GANGGUAN PERILAKU (CONDUCT
DISORDER) BERDASARKAN FUNCTIONAL BEHAVIOR ASSESSMENT". Dinamika
Pendidikan. 21(1): 2.

Riadi,Muchlisin.2020. “Tunadaksa (Pengertian, Jenis, Karakteristik, Faktor Penyebab


dan Rehabilitasi)”, https://www.kajianpustaka.com/2020/07/tunadaksa.html, diakses pada 29
September 2020 pukul 15.38.

Rudiyati, Sari. 2002. Pendidikan Anak Tunanetra. Yogyakarta: Universitas Negeri


Yogyakarta

23
24

Anda mungkin juga menyukai