Anda di halaman 1dari 16

Paper Akhir Inkulturasi

1. Pengantar
Suku Jawa adalah suku yang memiliki kepercayaan diri yang tinggi. Kepercayaan
diri ini terus berusaha ditunjukkan dengan berbagai upacara/tradisi dalam hidup
harian. Sekalipun tidak jatuh dalam chauvinisme, suku Jawa tidak pernah berhenti
menunjukkan identitas dalam berbagai aspek kehidupan. Ketika berhadapan dengan
suku lain, Suku Jawa tidak pernah mau mengalah begitu saja dengan kehadiran budaya
yang lain.
Sisi lain menunjukkan bahwa Suku Jawa termasuk suku yang inklusif. Orang-orang
Jawa termasuk orang-orang yang mudah menerima kehadiran kebudayaan lain.
Kebudayaan lain tidak hanya dibawa oleh suku tertentu, tetapi juga dibawa oleh
agama lain. Dalam sejarahnya, setidaknya ada lima agama yang diterima oleh orang
Jawa. Meskipun demikian, identitas kesukuan orang Jawa tidak serta-merta dapat
digeser dengan kehadiran tradisi dari ‘agama-agama asing’. Dari sini muncullah
identitas baru orang-orang Jawa.
Rupanya identitas kejawaan dan identitas sebagai penganut agama tertentu tetap
dipegang oleh orang Jawa. Dalam berbagai upacara/kegiatan tradisional, praktek
‘agama asing’ tetap mendapat ruang. Keduanya berjalan beriringan dan memiliki
ruang masing-masing yang saling berkaitan. Hal serupa juga terjadi dalam upacara
kematian. Ketika berhadapan dengan kematian orang Jawa akan melakukan
kewajibannya sebagai penganut agama tertentu, namun tidak meninggalkan tradisi
Jawa yang merupakan identitasnya.

2. Manusia Jawa
Setiap suku di dunia pasti memiliki kekhasan suku tersebut. Kekhasan yang
dimiliki telah membentuk identitas suatu suku. Identitas inilah yang menjadi semakin
jelas ketika berhadapan dengan identitas yang berbeda. Identitas manusia Jawa
ternyata memiliki kekhasan karakter yang berbeda, yang tidak juga untuk
dibandingkan dengan suku-suku yang lain.
2.1 Identitas
Hal pertama dan hal yang perlu selalu dipegang ketika berbicara tentang
orang Jawa adalah hidup orang Jawa tidak bisa dilepaskan dari simbol. Bahkan
sebelum manusia lahir, orang Jawa sudah memiliki simbol/ritual yang perlu
dilakukan. Sebut saja tradisi mitoni. Pada usia kehamilan yang ketujuh bulan,
seorang calon ibu dipersiapkan secara matang supaya siap secara fisik dan spiritual.
Hal yang tidak pernah lepas dari orang Jawa adalah kepercayaan bahwa manusia
selalu membutuhkan pertolongan Sang Ilahi untuk menjalani hidupnya. Hal ini
diungkapkan dengan berbagai cara seperti adanya tradisi kenduri, bersih desa,
ruwatan, dan lain sebagainya. Semua upacara tersebut pasti menggunakan
uborampe tertentu yang dimaknai sebagai simbol atas sesuatu yang diharapkan.
Tumpeng, ingkung, sajen, semua itu adalah simbol yang memiliki makna tertentu.
Simbol adalah bagaian dari hidup orang Jawa.
Bagi orang Jawa kedudukan manusia pertama-tama adalah sebagai ciptaan
Tuhan. Meskipun termasuk dalam ciptaan Tuhan, kedudukan manusia lebih tinggi
dibandingkan dengan ciptaan-ciptaan yang lain seperti hewan dan tumbuhan.
Meskipun demikian, manusia tetap memiliki kewajiban untuk menjaga cosmos.
Selain itu bagi orang Jawa, hal yang membedakan manusia dengan makhluk
ciptaan lain adalah karena manusia memiliki jiwa. Selain memiliki jiwa, kekhasan
manusia terletak pada rasa yang dimiliki.
2.2 Hubungan dengan Yang Ilahi
Relasi antara manusia dan Yang Ilahi dalam pandangan orang Jawa tidak
dapat dilepaskan dari kedudukan manusia itu sendiri. Manusia adalah ciptaan
Tuhan yang memiliki posisi lebih tinggi dari ciptaan lain. Struktur hierarkis dalam
kehidupan sosial orang Jawa juga mempengaruhi pola pikir orang Jawa akan relasi
manusia dengan Yang Ilahi. Ketika manusia menjalin kontak dengan Yang Ilahi
dalam berbagai cara, ia akan menempatkan diri (jauh) lebih rendah dibandingkan
dengan Yang Ilahi. Paradigma semacam ini juga akan berdampak pada cara orang
Jawa berelasi dengan ‘arwah’ leluhur mereka.
Berbicara relasi antara manusia dengan Yang Ilahi, tidak bisa dilepaskan
dari adagium manunggaling kawula Gusti. Secara sederhana adagium tersebut
merupakan konsep mistik bagi orang Jawa. Bahwasanya manusia memiliki dimensi
tertentu yang membuatnya mampu bersatu dengan Yang Ilahi. Dalam
perkembangannya ternyata adagium ini memunculkan bahaya salah penafsiran.
Kalau konsep ini ditafsirkan secara sembarangan/asal-asalan maka akan dibaca
bahwa ketika manusia bersatu dengan Tuhan, maka manusia adalah Tuhan. Bahaya
tafsir yang demikian ini yang sangat dihindari oleh orang (Islam) Jawa, apa lagi
mereka yang sangat menjunjung tinggi kosep tauhid.
Bagi orang Jawa, kematian merupakan suatu peralihan, yaitu peralihan
individu dari alam hidup ke alam gaib.1 Ternyata orang Jawa memiliki paham
kehidupan yang tidak hanya berlangsung di dunia ini saja. Raga bisa rusak dan
mati, tetapi jiwa tetap abadi. Meskipun demikian, untuk sampai kepada keabadian,
ternyata jiwa itu perlu dibantu oleh orang-orang yang masih hidup di dunia ini. Ada
berbagai ungkapan yang menunjukkan hal ini, seperti upacara memule arwah, atau
yang lebih dikenal dengan istilah slametan.
2.3 Rasa Pangrasa
Bagi orang Jawa, rasa (dan juga perasaan) atau sering disebut sebagai rasa
pangrasa itu menjadi penting karena melalui rasa perasaan itulah manusia mampu
menjaga hubungan dan mengusahakan kehidupan yang harmoni dengan siapapun
dan dengan apapun. Rasa perasaan ini juga berlaku untuk membangun relasi
dengan Tuhan. Cara berkomunikasi manusia Jawa dengan Tuhan sangat
mempertimbangkan kaidah sopan santu dan perasaan. Ketika berdoa, manusia Jawa
akan menggunakan bahasa Jawa dalam klasifikasi yang sangat halus dan
memposisikan diri sangat rendah dihadapan Tuhan sebagai bentuk penghormatan
kepada Sang Pencipta.
Dalam kehidupan sosial, rasa pangrasa juga masih sangat berperan. Sebut
saja dalam hal percakapan dengan orang lain. Seseorang akan menentukan diksi
yang paling tepat sesuai dengan lawan bicara yang dihadapi. Orang Jawa akan
merasa tidak pantas, malu, bersalah, ketika dia kurang bisa memilih diksi yang
tepat saat berbicara. Sekali lagi, ini semua ditentukan oleh rasa pangrasa yang juga
menunjukkan penghormatan pada pribadi tertentu.
Rasa pangrasa inilah yang memunculkan ungkapan ora elok dan ora
pantes. Dasar pemlihan suatu tindakan sering kali didasarkan pada perasaan
semata. Bagi orang Jawa konservatif, ora elok jika berbicara dengan orang tua
dengan cara memandang mereka.

3. Berbagai Upacara Seputar Kematian Orang Jawa

1
Makna Uborampe Upacara Kematian...
Ada beberapa rangkaian yang sekiranya perlu untuk dilakukan dalam upacara
kematian. Berbagai kegiatan yang ada semata-mata hanya ditujukan agar dia yang
berpulang mendapat keselamatan. Hal itu diungkapkan dengan berbagai cara dan
bentuk. Berikut ini penulis sampaikan beberapa ritual yang mengelilingi upacara
kematian.
3.1 Uborampe yang Dibutuhkan
Dalam melaksanakan upacara kematian tentu menggunakan uborampe2
yang berbeda dengan upacara adat-upacara adat yang lain. Uborampe tersebut
terdiri dari uborampe pangrukti layon sampai uborampe panguburing layon, yaitu
perlengkapan merawat jenasah sampai perlengkapan penguburan jenasah.
Sebagai bagian dari kebudayaan Jawa, uborampe dapat menjadi sarana atau
wadah yang dapat membawa dan menyampaikan ide-ide atau pandangan hidup
masyarakat yang memiliki kebudayaan itu, yakni Masyarakat Jawa. Dalam
kebudayaan Jawa, perilaku Orang Jawa yang mencerminkan nilai-nilai dan ide-ide
itu selalu terwujud melalui dua tataran yaitu lugas dan simbolis, sedangkan
uborampe berada pada tataran simbolis. Melalui Uborampe yang digunakan dalam
upacara kematian tersebut dapat diketahui bagaimana masyarakat Jawa memahami,
menghayati, serta memandang hal-hal yang berkaitan dengan kematian manusia.
Terdapat tujuh uborampe yang dibutuhakn yaitu :1. Air landha merang
yaitu air dari abu jerami yang disaring, digunakan untuk menyiram jenazah
pertama kali, tetapi sekarang sudah tidak ada yang menggunakan. 2. Air suci yaitu
air yang diambil dari sumur yang digunakan untuk membilas jenazah. 3. Air
kunyit, yaitu air yang diberi campuran kunyit yang dihaluskan. 4. Merang, atau
dapat juga diganti dengan cottonbuds untuk membersihkan kuku. 5. Sabun dan
sampo. 6. Kapur barus. 7. Debog yaitu batang pisang yang dipotong. Tetapi debog
hanya digunakan untuk situasi tertentu seperti jika tidak ada yang dapat dianggap
layak untuk memangku jenazah.
3.2 Ritual Memandikan Jenazah
Upacara memandikan jenazah disebut juga nyuceni atau menyucikan, maka
hampir semua uborampe yang digunakan dalam proses memandikan jenazah
memiliki makna kebersihan dan kesucian. Tidak diperoleh keterangan secara
mendetail atau satu-persatu mengenai makna masing-masing benda yang digunakan

2
Uborampe adalah piranti ataupun perlengkapan yang dibutuhkan untuk medukung acara.
dalam upacara memandikan jenazah. Hal ini dapat dimaklumi sebab penggunaan
benda-benda (uborampe) tersebut tidaklah secara terpisah artinya digunakan secara
bersama-sama dalam proses yang sama dan dengan tujuan yang sama pula, yakni
untuk membersihkan tubuh jenazah.
Air landha merang, air kunyit, kapur barus, merang atau cottonbuds, sabun
dan sampo digunakan untuk membersihkan badan dari ujung kepala sampai ujung
kaki serta kemudian dibilas dengan air suci. Menurut kepercayaan masyarakat,
orang yang meninggal dunia adalah ibarat orang yang hendak pulang atau kembali
kepada Sang Pencipta-Nya sehingga keadaannya harus bersih dari segala kotoran
(dosa) yang mungkin diperoleh saat tinggal (hidup) di dunia sehingga orang
tersebut dianggap suci.
3.3 Doa bagi Jenazah
Doa bagi jenazah sering kali dianggap sebagai upacara inti dari berbagai
rangkaian upacara kematian. Karena merupakan inti, pasti tidak akan pernah
dilewatkan. Berbagai upacara budaya mengitari doa bagi jenazah dalam agama
tertentu ini. Bagi orang Jawa, hal ini dapat dimaklumi sebab orang Jawa saat ini,
hampir sebagian besar, sudah menganut agama tertentu yang menganjurkan untuk
melakukan ritual tertentu ketika jenazah hendak dimakamkan.
Bagi orang Jawa yang beragama Katolik, Misa Pemberkatan Jenazah
adalah inti dari rangkaian upacara seputar kematian. Penghormatan oleh orang
Katolik terhadap jenazah bukan hanya sekadar sebuah praktek kesalehan,
melainkan menjadi salah satu ekspresi penghargaan terhadap keluhuran tubuh
manusia sebagai ciptaan dan gambaran Allah sendiri. Selain itu, dengan
memakamkan secara gerejawi orang Katolik juga memohon bantuan rohani bagi
mereka yang telah meninggal, memberi hiburan bagi keluarga yang ditinggalkan,
menjadi tanda persatuan antara yang masih hidup dengan si mati dan membangun
harapan akan kehidupan baru setelah berakhirnya kehidupan di dunia ini bagi siapa
saja yang hadir.
Penggunaan lilin Paskah, pemercikan air suci dan pendupaan pada tubuh
jenazah merupakan berbagai perlengkapan khas yang digunakan saat Misa
Pemberkatan Jenazah. Berbagai perlengkapan tersebut pada intinya merupakan
ungkapan pengharapan akan kehidupan abadi dan penyucian tubuh yang telah
menjadi bait Roh Kudus. Perayaan Ekaristi maupun doa bagi jenazah tidak
bermaksud untuk mengerdilkan peran berbagai ritus seputar upacara kematian.
3.4 Brobosan
Tradisi brobosan ini bertujuan menunjukkan penghormatan sanak keluarga
kepada orang tua dan leluhur mereka yang telah meninggal dunia. 3 Upacara
brobosan diselenggarakan di halaman rumah orang yang meninggal, yakni sebelum
ia dimakamkan, dan dipimpin oleh anggota keluarga yang tertua.
Dalam perspektif ilmu-ilmu sosial seperti antropologi dan sosiologi dikenal
istilah “pranata sosial”. Salah satu yang menandai pranata sosial adalah kematian
sebagai suatu peristiwa dalam masyarakat yang menandai salah satu fase kehidupan
manusia. Maksud utama praktik sosio-religius orang Jawa tidak lain adalah
mendapatkan keselamatan di dunia ini. Berangkat dari perspektif tersebut, upacara
keagamaan yang pokok adalah slametan (keselamatan). Dalam kerangka mencapai
keselamatan itulah, ritual brobosan pun dilakukan dalam rangkaian adat kematian
Jawa. Bahwa para anggota keluarga yang ditinggalkan itu berupaya menghormati
pribadi yang telah meninggal dengan cara berjalan mengitari bawah peti memuat
nilai filosofis yang dibahasakan dengan mikul dhuwur mendhem jero. Artinya,
menjunjung tinggi, menghormati, mengenang jasa-jasa almarhum semasa hidupnya
dengan memendam hal-hal yang kurang baik dan tidak perlu mengungkit-
ungkitnya. Biasanya, serangkaian ritual kematian dipimpin oleh beberapa orang
saja, yakni tokoh agama (modin) atau orang yang disegani oleh keluarga atau
masyarakat.
3.5 Menyapu Jalan
Upacara menyapu jalan adalah bagaian dari rangkaian upacara seputar
kematian bagi orang Jawa. Upacara menyapu jalan biasa dilakukan dengan
menggunakan sapu lidi sebelum jenazah diusung menuju ke pemakaman ataupun
sebelum jenazah dimasukkan ke mobil ambulans. Upacara menyapu jalan biasa
dilakukan dengan cara melakukan gerakan ke kanan dan ke kiri. Upacara ini
dilakukan oleh perwakilan anggota keluarga yang berduka.
3.6 Memayungi Jenazah
Upacara memayungi jenazah dilakukan saat jenazah hendak dihantar
menuju ke liang lahat. Jika pemakaman berada di dekat rumah duka, maka
3
Wimbodo Purnomo, Ritual Brobosan sebagai Penghormatan Terakhir dalam Liturgi Pemakaman Jawa-
Kristiani, Melintas 33.2.2017, 210-211.
kegiatan memayungi jenazah dilakukan dari rumah duka. Sedangkan jika
pemakaman berada jauh dari rumah duka yang mengharuskan jenazah diangkut
menggunakan mobil jenazah, maka kegiatan memayungi dilakukan ketika jenazah
hendak dikeluarkan dari mobil jenazah hingga sampai ke liang lahat.
Payung yang digunakan untuk memayungi jenazah adalah payung khusus
yang berwarna hijau. Penggunaan warna hijau dalam payung kematian, dalam
tradisi Jawa, merupakan bagian dari pengaruh Islam di tanah Jawa. Hanya saja,
ketika orang yang meninggal beragama Islam, payung yang digunakan terdapat
tulisan Arab. Sedangkan jika yang meninggal adalah dia yang bukan beragama
Islam, maka payung yang digunakan adalah payung polos berwarna hijau.

4. Makna Brobosan, Menyapu Jalan, dan Memayungi


Suatu tindakan yang dilakukan pada upacara kemtian, pasti memiliki makan tertentu
yang diungkapkan secara simbolis. Simbol-simbol yang ada digunakan sebagai
ungkapan pengormatan sekaligus ungkapan relasi yang tidak terpisahkan antara dia
yang meninggal, dengan keluarga yang ditinggalkan. Berikut ini penulis sampaikan
tiga makna mengenai ritual brobosan, menyapu jalan dan memayungi jenazah.
4.1 Merendahkan Diri pada Yang Ilahi
Sesungguhnya tradisi Brobosan merupakan bagian dari pengormatan
anggota keluarga kepada dia yang telah meninggal. Biasanya orang yang
melakukan tradisi brobosan adalah anggota keluarga inti (dan terkadang cucu juga
ikut serta). Ada aspek perasaan yang digunakan dalam upacara brobosan. Brobosan
dilakukan oleh anggota keluarga sebanyak tiga kali. Mengapa tiga kali? Ini
dikaitkan dengan penancapan gunungan dalam pewayangan yang ditancapkan
sebanyak tiga kali yaitu ketika awal, sebelum gara-gara, dan di akhir cerita. Hal ini
melambangkan ketika manusia itu lahir, hidup menjadi dewasa, dan akhirnya
meninggal. Itulah yang digunakan juga dalam upacara brobosan.
4.2 Menghantar Pulang
Upacara menyapu jalan dalam rangkaian uacara kematian memiliki makna
persiapan jalan. Orang-orang yang masih hidup berusaha mempersiapkan jalan
‘masa depan’ bagi orang yang telah meninggal. Hal ini bagian dari usaha untuk
mempersiapkan jalan menuju pada Tuhan supaya perjalan menuju Tuhan menjadi
lapang dan bersih. Hal ini terkait dengan anggapan bahwa jiwa orang yang
meninggal itu tetap ada dan tidak hilang.
Rasa masih berperan dalam upacara menyapu. Ada perasaan kalau
seandainya jaan orang yang meninggal itu menjadi tersendat, makan akan sungguh
merasa iba. Hal ini menunjukkan bahwa keberadaan orang yang meninggal masih
diakui. Kebiasaan ngewongke masih dilakukan bagi mereka yang sudah meninggal.
4.3 Relasi yang Tidak Terputus
Warna payung yang berwarna hijau menunjukkan bahwa warna hijauh
sudah terpengaruh dengan budaya Islam. Di kampung narasumber, payung
kematian hanya berwarna hijau polos saja tanpa ada tulisan arab.
Dalam upacara kematian, penggunaan payung untuk memayungi jenazah
dari rumah duka menuju ke liang lahat. Hal ini dilakukan dalam rangka
perlindungan dan penghormatan bagi jiwa yang meninggal. Secara harafiah,
perlindungan ini diharapkan ketika matahari bersinar terik, maka ‘jenazah’ tidak
akan kepanasan. Dan kalau terjadi hujan, maka tidak akan kehujanan. Sekali lagi,
upacara kematian dengan menggunakan atribut payung, tetap menggunakan rasa
perasaan sebagai bagian dari penghormatan kepada mereka yang telah meninggal.
Seandainya ada yang ditancapkan di pusara (kalau milik pribadi) di bagian
atas (kepala). Hal ini terjadi karena kepercayaan bahwa jiwa manusia keluar
melalui dahi, sehingga ‘jalan keluar’ inilah yang harus mendapat perlindungan.
Proses memayungi itu berlangsung setelah brobosan hingga liang lahat.

5. Daya Kekuatan Simbol


Hidup manusia tidak bisa dilepaskan dari simbol. Simbol telah memainkan peran
penting dalam kehidupan manusia. Simbol tentu saja memiliki makna dibalik sesuatu
yang disimbolkan. Berikut ini penulis sampaikan beberapa gagasan yang mengulas
tentang simbol.
5.1 Apa itu Simbol
Erwin Goodenough dalam telaahnya yang panjang lebar, Jewish Symbol in
Graeco-Roman Period, mendefinisikan simbol sebagai berikut: Simbol adalah
barang atau pola yang, apapun sebabnya, bekerja pada manusia, dan berpengaruh
pada manusia, melampaui pengakuan semata-mata tentang apa yang disajikan
secara harafiah dalam bentuk yang diberikan itu.4 Selanjutnya, ia membedakan
antara bahasa yang bersifat denotatif, yaitu tepat, ilmiah, harafiah, dan bahasa yang
bersifat konotatif, yaitu berasosiasi, tidak persis tepat, memunngkinkan beragam
penafsiran, dan simbol termasuk kategori yang kedua. Simbol memiliki maknanya
sendiri atau nilainya sendiri dan bersama dengan ini daya kekuatannya sendiri
untuk menggerakkan kita. Pendek kata, referensi yang bersifat intelektual semata-
mata tidak diterima. Malahan, daya kekuatan simbol yang bersifat emotif, yang
merangsang orang untuk bertindak dipandang sebagai ciri hakikinya.
5.2 Manusia Membutuhkan Simbol
Hidup manusia itu sarat akan simbol. Jelaslah bahwa simbol memiliki peran
penting bagi hidup manusia. Fungsi simbol ialah merangsang daya imajinasi,
dengan menggunakan sugesti, asosiasi, dan relasi. 5 Berikut ini merupakan
pemaknaan manusia atas simbol yang ada.
Sebuah simbol dapat dipandang sebagai: 1. Sebuah kata atau barang atau
objek atau tindakan atau peristiwa atau pola atau pribadi atau hal yang konkret. 2.
Yang mewakili atau menggambarkan atau mengisyaratkan atau menandakan atau
menyelubungi atau menyampaikan atau menggugah atau mengungkapkan atau
mengingatkan atau merujuk kepada atau berdiri menggantikan atau mecorakkan
atau menunjukkan atau berhubungan dengan atau bersesuaian dengan atau
menerangi atau mengacu kepada atau mengambil bagian dalam atau menggelar
kembali atau berkaitan dengan; 3. Sesuatu yang lebih besar atau transenden atau
tertinggi atau terakhir: sebuah makna, realitas, suatu cita-cita, nilai, prestasi,
kepercayaan, masyarakat, konsep, lembaga, dan suatu keadaan.
5.3 Daya Kekuatan Simbol
Simbol dapat melakukan apa yang tidak dapat dilakukan oleh logika dan
dialektika, terutama karena bentuknya yang biasa ialah bentuk gambaran dan bukan
bentuk pernyataan atau preposisi.6 Menurut pandangan Lonergan, simbol adalah
ungkapan tertinggi atau perekam perasaan. Sehingga, tugas penafsiran tidak pernah
lengkap/selesai.
Makna itu adalah makna yang mempunyai konteks yang semestinya dalam
proses komunikasi internal di mana simbol terjadi dan kepada konteks itulah,
4
F.W. Dillistone, The Power of Simbols, London: SCM Press Ltd, 1986, 19.
5
F.W. Dillistone, The Power of Simbols, 124-125.
6
F.W. Dillistone, The Power of Simbols, 138.
dengan segala gambaran dan perasaan, segala ingatan serta kecenderungannya yang
terkait penafsir harus mengacu jika ia hendak menrangkan simbol.
Untuk dapat menerangkan simbol, perlulah menjangkau lebih jauh daripada
simbol itu sendiri. Menerangkan simbol adalah menciptakan peralihan dari akna
dasar dalam sebuah gamabaran atau perintah kepada makna linguistis. Lebih dari
itu, menerangkan simbol adalah menggunakan konteks makna linguistis sebagai
bangunan pelbagai hubungan, petunjuk, usulan yang memungkinkan dalam
membangun konteks dasar simbol itu.

6. Double Religious Identity (berbagai teori dan gagagasan) (teori)


6.1 Homi Bhabha
Homi Bhabha membahas tentang pertemuan dua kelompok yakni antara penjajah
(colonizer) dan terjajah (colonized) di era pasca-kolonial. Budaya kedua kelompok ini
berada dalam interdependensi dan hubungan timbal balik (global interconnectedness).
Ia menuturkan bahwa budaya dan sistem budaya terbentuk dalam Ruang Ketiga.
Interdependensi itu mengambil wajah dalam hibriditas atau persilangan dua
kebudayaan. Hibriditas memunculkan diri dalam budaya, ras, bahasa, dsb.7
Namun perjumpaan antara dua budaya itu tidaklah saling melenyapkan. Identitas
dalam global interconnectedness memang tidak bisa dicapai dengan pertentangan yang
saling meniadakan. Yang ada justru ambivalensi antara menerima dan menolak, ego
dan the other. Hubungan antara dua budaya selalu berada dalam tegangan.8
Katakanlah, sebuah budaya tidak sepenuhnya puritan (murni) dari masa lalunya,
budaya tersebut juga tidak seharusnya diklaim sebagai pengikut ekstrim kosmopolitan
budaya-budaya yang ditawarkan. Sebuah budaya justru sebaiknya dibiarkan sebagai
hasil proses persilangan akibat dari perjumpaan budaya-budaya lain yang tidak bisa
dihindarkan.
Bhabha berusaha untuk mendekonstruksi hubungan dua kutub penjajah
(colonizer) dan terjajah (colonized). Ia menawarkan sebuah rekonstruksi relasi
keduanya (penjajah-terjajah). Hasil rekonstruksi itu berupa relasi ambivalen yang
menghasilkan mimikri (peniruan dan pembencian; the other dan ego). Mimikri

7
Mudji Sutrisno & Hendar Putranto (Eds.), Hermeneutika Pascakolonial: Soal Identitas, (Yogyakarta:
Kanisius), 2004, Hlm. 145
8
Mudji Sutrisno & Hendar Putranto (Eds.), Hermeneutika Pascakolonial: Soal Identitas, (Yogyakarta:
Kanisius), 2004, Hlm. 151
membuktikan bahwa yang terjajah tidak berada dalam posisi diam, melainkan yang
terjajah meniru dan menikmati tawaran budaya-budaya penjajah dengan me-reform-
nya dalam sebuah ambivalensi. Konsep mimikri Bhabha di satu sisi menunjukkan
bahwa kaum pribumi (terjajah) ingin membangun identitas persamaan dengan kaum
penjajah, sedangkan mereka juga mempertahankan perbedaannya.

6.2 Paper roman inculturation


Inkulturasi merupakan term khas yang digunakan oleh para pemimpin katolik
untuk mendefinisikan perjumpaan antara Injil dan budaya sebuah masyarakat. Yohanes
Paulus II sangat menyukai term tersebut karena menggambarkan sebuah cara
memperkenalkan Injil (Evangelisasi) bagi segala bangsa melalui budaya bangsa itu.
Konsili Vatikan II pun menampilkan tema keterlibatan Gereja dengan dunia, di mana
inkulturasi menjadi elemen kunci baik di dalam dokumen Gaudium et Spes, Lumen
Gentium ataupun Ad Gentes.
Gaudium et Spes berbicara tentang budaya sebagai proses universal yang ideal
dimana manusia mencapai kemajuan, dimana realitas sosial berproses untuk
menghasilkan kebiasaan dan praktik tertentu. Berkaitan dengan budaya, baik Yohanes
Paulus II maupun Karl Rahner menekankan kepekaan Injil berhadapan dengan
keragaman budaya. Rahner lebih memilih menggunakan istilah enkulturasi.
Sedangkan Yohanes Paulus II menyukai kata inkulturasi karena memiliki kemiripan
dengan kata inkarnasi. Bagi Yohanes Paulus II, baik Gereja itu sendiri maupun
kebutuhan akan Firman Allah dalam budaya tertentu harus dipahami secara teologis
dengan cara yang analog dengan inkarnasi. Itulah tujuan penggunaan istilah
inkulturasi.
Setelah Konsili Vatikan II, Robert Schreiter dan Aylward Shorter masing-
masing mengembangkan teologi yang secara radikal lebih sensitif terhadap budaya
lokal daripada pendekatan Yohanes Paulus II. Schreiter lebih suka istilah "kontekstual"
dan "teologi lokal." Dalam rangka membangun teologi lokal-kontekstual ada tiga tiang
penyangga: injil, gereja dan kebudayaan. Injil mengendap di dalam gereja, bahkan
gereja itu hidup dari dan oleh Injil. Lalu, Gereja, di dalam karya pewartaan
misionernya, berjumpa dengan pelbagai macam kebudayaan baru di mana saja Injil itu
diwartakan oleh Gereja. Ketiganya selalu berinteraksi secara dinamis. Dan interaksi
dinamis itu selalu bersifat dialektis, artinya saling berpengaruh secara timbal balik
secara tidak terhindarkan.
Pertanyaannya selanjutnya ialah, siapa yang bisa menjadi agen pewartaan
kristiani berhadapan dengan berbagai ragam budaya umat manusia? Masyarakat lokal
dengan pengalaman riil akan budayanya sendiri, tanpa tekanan dari “orang asing
pembawa warta Injil”, menciptakan situasi yang memungkinkan masyarakat lokal
terbuka akan Yang Transenden.

6.3 Doble identity religious


Gagasan kepemilikan agama ganda tampak telah menjadi figur integral dari
budaya agama di zaman sekarang ini. Tidak lagi mengejutkan mendengar orang
menyebut diri mereka sebagian atau seluruhnya Kristen dan Buddha, dan
hibridisasi identitas agama Yahudi dan Buddha bahkan telah mengarah ke
terminologi baru.

Fenomena ini telah menjadi bagian dari budaya agama Asia selama
berabad-abad, namun hal ini relatif baru bagi Barat, di mana kombinasi kekuatan
politik dan agama telah membentuk identitas agama di sekitar batas – batas yang
relatif kaku dan eksklusif.

Dalam pemaparan mengenai kepemilikan ganda, istilah yang kerap muncul


adalah “Dualisme”. Kata "dualisme" digunakan dalam banyak hal. Ini dapat
merujuk pada pemisahan pikiran dan tubuh dalam filsafat Barat klasik atau
pemisahan ilahi dan manusia dalam beberapa tradisi keagamaan, tetapi dualisme
agama juga digunakan dalam ilmu-ilmu sosial untuk menggambarkan bagaimana
dua sistem keagamaan dapat berhubungan satu sama lain. Dualisme" dalam
penelitian antropologis kadang-kadang digunakan untuk menggambarkan
keterikatan pada dua tradisi agama atau budaya yang berbeda, seperti Buddhisme
dan kekristenan.

"Dualisme" telah membantu karena memungkinkan pengakuan bahwa


orang dapat menjadi bagian dari dua atau lebih tradisi yang berbeda. Baru-baru ini,
"kepemilikan ganda agama" telah digunakan oleh para teolog seperti Paul Knitter
dan Rose Drew. Di masa lalu, Studi Kristen Buddhis telah mencurahkan banyak
ruang untuk topik ini. Langkah teologis adalah langkah lebih jauh dari dualisme
antropologis, tetapi juga tertarik untuk menegaskan "kedekatan" dari memegang
dua tradisi secara bersamaan.

Dualisme atau kepemilikan agama ganda, di satu sisi tidak dapat dipungkiri
bahwa ia memiliki keterbatasan, namun di sisi lain tidak dapat juga dipungkiri
bahwa dualism atau kepemilikan agama ganda ini menawarkan sesuatu yang
menarik bagi mereka yang hidup atau bekerja di antara tradisi.

Aspek dialog antaragama yang memberi kita konteks yang sangat menarik
untuk diskusi tentang kepemilikan agama ganda adalah upaya untuk merumuskan
kembali satu tradisi keagamaan melalui pandangan dunia dan kerangka kerja
filosofis yang lain. Saya merujuk pada apa yang sering disebut proses
"inkulturasi." Hampir setiap tradisi agama harus menghadapi masalah adaptasi
tradisi agama ke konteks budaya yang berbeda dari yang pertama kali muncul
dengan sendirinya. Dalam Kristen, pertanyaan-pertanyaan ini telah ditangani
secara paling sistematis, setidaknya dalam waktu belakangan ini. Sementara
inkulturasi dan dialog antaragama telah sering dibedakan secara eksplisit -
misalnya, dalam dokumen Gereja Katolik Roma - inkulturasi tidak dapat tidak
dianggap sebagai bentuk atau aspek dari dialog antaragama. Untuk mencoba
merumuskan kembali suatu agama dalam kategori dan simbol-simbol milik
konteks budaya yang berbeda menyiratkan keterlibatan dengan agama atau agama
yang secara tradisional telah membentuk budaya itu. Ini dapat terjadi pada tingkat
yang dangkal, melalui adopsi simbol eksternal, arsitektur, pakaian, dan elemen
ritual. Atau mungkin terjadi pada tingkat yang lebih dalam, melalui reformulasi
radikal dari satu agama sesuai dengan pandangan dunia dan kategori filosofis yang
lain. Pada tingkat yang terakhir inilah pertanyaan tentang kepemilikan ganda
muncul. Yang mendasari praktik inkulturasi adalah kesadaran relativitas semua
artikulasi konseptual dan filosofis dari pengalaman religius yang mendasar, dan
yang mendorongnya adalah keinginan untuk memperbesar dan memperkaya tradisi
melalui reformulasi dalam kategori interpretasi yang berbeda.

Dalam beberapa dekade terakhir, beberapa sarjana telah menawarkan


penafsiran kembali tentang agama Kristen, atau setidaknya aspek-aspek tertentu
dari iman Kristen melalui Mahayana, terutama kategori Madhyamika. Dalam
konteks ini, kepemilikan agama ganda dapat dengan demikian memanifestasikan
dirinya dalam bentuk milik kerangka simbolis dan historis dari satu agama dan
kerangka kerja hermeneutis dari agama lain.

7. Pemaknaan baru (Penyempurnaan Pandangan akan Yang Ilahi) (Percampuran


teori dan hasil wawancara)
Pemaknaan Baru (terkait Mat 7:13) tidak selamanya ‘akulah jalan kebenaran
dan hidup’. Bagi orang jawa, keselamatan tidak ditempuh melalui ‘jalan tol’.
Manusia juga bisa turut ambil bagian dalam melengkapi keselamtan dalam diri
seseorang yang telah meninggal.

Jofi (tolong ditambahkan / memang gak cocok ya diganti aja)


Rasa pangrasa (rasa) dalam tradisi orang Jawa menjadi semacam energi yang
menjaga kehangatan relasional antarsesama maupun hubungan dengan Yang Transenden.
Melalui rasa, bangunan relasi horizontal (antarmanusia) dan vertikal (manusia-Tuhan)
tetap harmonis. Bahkan dalam ruang tradisi brobosan pun, rasa-lah yang mendorong
kerabat yang masih hidup untuk menunaikan sebuah ritus penghormatan kepada anggota
keluarga yang telah meninggal sebelum jenasahnya dikuburkan. Melalui ritual tersebut
kerabat yang masih hidup selain memberi penghormatan di satu sisi sekaligus
mempersiapkan sebuah perjalanan yang baik untuk orang yang telah meninggal dunia.
Timbul persoalan ketika tradisi brobosan ini dihidupi oleh orang-orang katolik
sendiri. Kalau brobosan sebagai tradisi yang membantu “keselamatan” orang yang telah
meninggal dunia, lalu dimanakah tempat Kristus sebagai jalan, kebenaran dan hidup? (Mat.
7.13). Sepintas terbaca seolah-olah para pegiat brobosan hidup dalam dualisme, kalau
tidak dikatakan ragu / tidak percaya, antara bayang-bayang kepercayaan lokal dan
kepercayaan kristiani.
Untuk membedah persoalan di atas, kami mengikuti pandangan Austi Farrer yang
menyatakan bahwa manusia senatiasa dan di mana pun juga bergulat dengan bayangan-
banyangan yang tak terbatas, berupaya untuk melihat melampaui bayangan-bayangan itu
melalui realitas yang disimbolkan.9 Tradisi brobosan merupakan realitas simbol yang
membantu manusia untuk mencapai pemahaman akan Yang Transenden. Tradisi ini juga
menyiratkan sebuah pemahaman bahwa manusia Jawa melakukan sebuah perjalanan
keselamatan secara bersama. Aspek komunitas mendapatkan tekanannya di dalam tradisi-
tradisi seperti salah satunya tradisi brobosan. Bahwasannya keselamatan itu disokong
9
F.W. Dillistone, The Power of Simbols ,139.
secara bersama-sama. Berbeda dengan optik katolik yang melihat bahwa keselamatan
dapat ditempuh secara pribadi melalui kepercayaan secara total kepada Kristus, Sang
Juruselamat.

8. Injil dan Alternatif Pemahaman (Mat 7:13-14)


“Masuklah melalui pintu yang sesak itu, karena lebarlah pintu dan luaslah jalan
yang menuju kepada kebinasaan, dan banyak orang yang masuk melaluinya; karena
sesaklah pintu dan sempitlah jalan yang menuju kepada kehidupan, dan sedikit orang
mendapatinya.” Kutipan teks Kitab Suci ini berisi tantangan untuk masuk ke dalam
Kerajaan Surga (ay. 13-14). Gagasan adanya dua jalan terdapat juga dalam perjanjian
lama, umpamanya dalam Yer 21:8; Mzm 1:6; Ams 14:12. Beberapa naskah
menghilangkan kata pintu yang kedua, tapi barangkali kata itu seharusnya tidak
dihilangkan. Ada dua pintu dan ada dua jalan. Pintu yang lebar menuju kepada jalan
yang luas, yang membuatnya disukai orang. Pintu yang sesak menuju kepada jalan
yang sempit, yang dipilih oleh segolongan kecil.
Jika teks ini dibawa ke dalam konteks tradisi Jawa khususnya dalam upacara
kematian, maka tidak akan terjadi hal yang kontradiktif melainkan semakin
meneguhkan. Orang kristiani yang melakukan tradisi-tradisi Jawa seputar kematian
memiliki kesadaran yang sama dengan ajaran yang diberikan dalam teks Matius ini.
Bahwa jalan menuju kepada keselamatan tidaklah mudah seperti jalan tol, tetapi jalan
itu sempit dan susah dilalui.
Oleh karena jalan menuju keselamatan itu adalah sempit dan sulit, keluarga
yang ditinggal berusaha untuk membantu anggota keluarga yang meninggal dengan
berbagai ritual Jawa. Ritual yang dilakukan itu bukan diartiakan sebagi “bantuan”
yang langsung berdaya guna untuk menyelamatkan anggota keluarga yang meninggal
tetapi lebih kepada bagaimana ritual itu merupakan sebuah simbol yang
mengungkapkan dimensi komunal antara keluarga yang ditinggalkan dengan anggota
keluarga yang meninggal. Selanjutnya, ritual ini bisa membawa kepada kepuasan hati
anggota keluarga yang ditinggalkan.

9. Kesimpulan dan Saran pastoral


Sebagian besar orang Jawa beragama Katolik pada saat ini tetap melakukan
berbagai upacara terkait kematian selain misa/pemberkatan jenazah. Akan tetapi yang
menjadi pokok tetap misa itu sendiri. Ada keyakinan sebagai orang Katolik bahwa
dengan dibaptis dan menerima Sakramen Pengurapan Orang Sakit, si sakit sudah
mendapat jaminan keselamatan tanpa harus melakukan berbagai upacara budaya
terkait dengan kematian. Peristiwa budaya terkait dengan kematian, tetap diambil
sebagai penghormatan kepada sesepuh desa dan sebagai bentuk penegasan identitas
kesukuan, sedangkan pemknaan tetap Katolik.
Gereja menyadari bahwa ada dimensi tertentu/kerinduan manusia yang belum
bisa dijawab oleh Misa Requiem. Hal ini terkait karakteristik Gereja Katolik Roma
yang sangat sistematis dan terstruktur, jika dibandingkan dengan Gereja Katolik Ritus
Timur yang memasukkan unsur seni, perasaan, harmoni dengan alam yang
dimasukkan dalam liturgi mereka.
Terkait dengan upacara kematian dalam tradisi Jawa, kiranya Gereja Katolik
perlu menyadari keterbatasan mereka dalam memenuhi kerinduan umat (khususnya
bagi orang Jawa) akan Yang Ilahi saat terjadi (tradisi) kematian. Tradisi seputar
kematian yang dilakukan oleh orang Jawa, selain Misa, adalah sarana untuk menjawab
kerinduan sekaligus harapan pada Yang Ilahi, sebagai ungkapan kasih pada dia yang
telah meninggal.
Pada akhirnya, penulis ingin memberikan saran pastoral, salah satunya yakni
kiranya dalam pemilihan bacaan dalam liturgi kematian kutipan Kitab Suci tidak
melulu diambil dari bacaan-bacaan yang telah ditawarkan oleh komisi liturgi yang ada
dalam buku-buku panduan. Tetapi, bisa juga diambil dari kutipak Kitab Suci seperti
yang ditawarkan oleh penulis dalam paper ini. (Mat 7;13-14).

Anda mungkin juga menyukai