1. Pengantar
Suku Jawa adalah suku yang memiliki kepercayaan diri yang tinggi. Kepercayaan
diri ini terus berusaha ditunjukkan dengan berbagai upacara/tradisi dalam hidup
harian. Sekalipun tidak jatuh dalam chauvinisme, suku Jawa tidak pernah berhenti
menunjukkan identitas dalam berbagai aspek kehidupan. Ketika berhadapan dengan
suku lain, Suku Jawa tidak pernah mau mengalah begitu saja dengan kehadiran budaya
yang lain.
Sisi lain menunjukkan bahwa Suku Jawa termasuk suku yang inklusif. Orang-orang
Jawa termasuk orang-orang yang mudah menerima kehadiran kebudayaan lain.
Kebudayaan lain tidak hanya dibawa oleh suku tertentu, tetapi juga dibawa oleh
agama lain. Dalam sejarahnya, setidaknya ada lima agama yang diterima oleh orang
Jawa. Meskipun demikian, identitas kesukuan orang Jawa tidak serta-merta dapat
digeser dengan kehadiran tradisi dari ‘agama-agama asing’. Dari sini muncullah
identitas baru orang-orang Jawa.
Rupanya identitas kejawaan dan identitas sebagai penganut agama tertentu tetap
dipegang oleh orang Jawa. Dalam berbagai upacara/kegiatan tradisional, praktek
‘agama asing’ tetap mendapat ruang. Keduanya berjalan beriringan dan memiliki
ruang masing-masing yang saling berkaitan. Hal serupa juga terjadi dalam upacara
kematian. Ketika berhadapan dengan kematian orang Jawa akan melakukan
kewajibannya sebagai penganut agama tertentu, namun tidak meninggalkan tradisi
Jawa yang merupakan identitasnya.
2. Manusia Jawa
Setiap suku di dunia pasti memiliki kekhasan suku tersebut. Kekhasan yang
dimiliki telah membentuk identitas suatu suku. Identitas inilah yang menjadi semakin
jelas ketika berhadapan dengan identitas yang berbeda. Identitas manusia Jawa
ternyata memiliki kekhasan karakter yang berbeda, yang tidak juga untuk
dibandingkan dengan suku-suku yang lain.
2.1 Identitas
Hal pertama dan hal yang perlu selalu dipegang ketika berbicara tentang
orang Jawa adalah hidup orang Jawa tidak bisa dilepaskan dari simbol. Bahkan
sebelum manusia lahir, orang Jawa sudah memiliki simbol/ritual yang perlu
dilakukan. Sebut saja tradisi mitoni. Pada usia kehamilan yang ketujuh bulan,
seorang calon ibu dipersiapkan secara matang supaya siap secara fisik dan spiritual.
Hal yang tidak pernah lepas dari orang Jawa adalah kepercayaan bahwa manusia
selalu membutuhkan pertolongan Sang Ilahi untuk menjalani hidupnya. Hal ini
diungkapkan dengan berbagai cara seperti adanya tradisi kenduri, bersih desa,
ruwatan, dan lain sebagainya. Semua upacara tersebut pasti menggunakan
uborampe tertentu yang dimaknai sebagai simbol atas sesuatu yang diharapkan.
Tumpeng, ingkung, sajen, semua itu adalah simbol yang memiliki makna tertentu.
Simbol adalah bagaian dari hidup orang Jawa.
Bagi orang Jawa kedudukan manusia pertama-tama adalah sebagai ciptaan
Tuhan. Meskipun termasuk dalam ciptaan Tuhan, kedudukan manusia lebih tinggi
dibandingkan dengan ciptaan-ciptaan yang lain seperti hewan dan tumbuhan.
Meskipun demikian, manusia tetap memiliki kewajiban untuk menjaga cosmos.
Selain itu bagi orang Jawa, hal yang membedakan manusia dengan makhluk
ciptaan lain adalah karena manusia memiliki jiwa. Selain memiliki jiwa, kekhasan
manusia terletak pada rasa yang dimiliki.
2.2 Hubungan dengan Yang Ilahi
Relasi antara manusia dan Yang Ilahi dalam pandangan orang Jawa tidak
dapat dilepaskan dari kedudukan manusia itu sendiri. Manusia adalah ciptaan
Tuhan yang memiliki posisi lebih tinggi dari ciptaan lain. Struktur hierarkis dalam
kehidupan sosial orang Jawa juga mempengaruhi pola pikir orang Jawa akan relasi
manusia dengan Yang Ilahi. Ketika manusia menjalin kontak dengan Yang Ilahi
dalam berbagai cara, ia akan menempatkan diri (jauh) lebih rendah dibandingkan
dengan Yang Ilahi. Paradigma semacam ini juga akan berdampak pada cara orang
Jawa berelasi dengan ‘arwah’ leluhur mereka.
Berbicara relasi antara manusia dengan Yang Ilahi, tidak bisa dilepaskan
dari adagium manunggaling kawula Gusti. Secara sederhana adagium tersebut
merupakan konsep mistik bagi orang Jawa. Bahwasanya manusia memiliki dimensi
tertentu yang membuatnya mampu bersatu dengan Yang Ilahi. Dalam
perkembangannya ternyata adagium ini memunculkan bahaya salah penafsiran.
Kalau konsep ini ditafsirkan secara sembarangan/asal-asalan maka akan dibaca
bahwa ketika manusia bersatu dengan Tuhan, maka manusia adalah Tuhan. Bahaya
tafsir yang demikian ini yang sangat dihindari oleh orang (Islam) Jawa, apa lagi
mereka yang sangat menjunjung tinggi kosep tauhid.
Bagi orang Jawa, kematian merupakan suatu peralihan, yaitu peralihan
individu dari alam hidup ke alam gaib.1 Ternyata orang Jawa memiliki paham
kehidupan yang tidak hanya berlangsung di dunia ini saja. Raga bisa rusak dan
mati, tetapi jiwa tetap abadi. Meskipun demikian, untuk sampai kepada keabadian,
ternyata jiwa itu perlu dibantu oleh orang-orang yang masih hidup di dunia ini. Ada
berbagai ungkapan yang menunjukkan hal ini, seperti upacara memule arwah, atau
yang lebih dikenal dengan istilah slametan.
2.3 Rasa Pangrasa
Bagi orang Jawa, rasa (dan juga perasaan) atau sering disebut sebagai rasa
pangrasa itu menjadi penting karena melalui rasa perasaan itulah manusia mampu
menjaga hubungan dan mengusahakan kehidupan yang harmoni dengan siapapun
dan dengan apapun. Rasa perasaan ini juga berlaku untuk membangun relasi
dengan Tuhan. Cara berkomunikasi manusia Jawa dengan Tuhan sangat
mempertimbangkan kaidah sopan santu dan perasaan. Ketika berdoa, manusia Jawa
akan menggunakan bahasa Jawa dalam klasifikasi yang sangat halus dan
memposisikan diri sangat rendah dihadapan Tuhan sebagai bentuk penghormatan
kepada Sang Pencipta.
Dalam kehidupan sosial, rasa pangrasa juga masih sangat berperan. Sebut
saja dalam hal percakapan dengan orang lain. Seseorang akan menentukan diksi
yang paling tepat sesuai dengan lawan bicara yang dihadapi. Orang Jawa akan
merasa tidak pantas, malu, bersalah, ketika dia kurang bisa memilih diksi yang
tepat saat berbicara. Sekali lagi, ini semua ditentukan oleh rasa pangrasa yang juga
menunjukkan penghormatan pada pribadi tertentu.
Rasa pangrasa inilah yang memunculkan ungkapan ora elok dan ora
pantes. Dasar pemlihan suatu tindakan sering kali didasarkan pada perasaan
semata. Bagi orang Jawa konservatif, ora elok jika berbicara dengan orang tua
dengan cara memandang mereka.
1
Makna Uborampe Upacara Kematian...
Ada beberapa rangkaian yang sekiranya perlu untuk dilakukan dalam upacara
kematian. Berbagai kegiatan yang ada semata-mata hanya ditujukan agar dia yang
berpulang mendapat keselamatan. Hal itu diungkapkan dengan berbagai cara dan
bentuk. Berikut ini penulis sampaikan beberapa ritual yang mengelilingi upacara
kematian.
3.1 Uborampe yang Dibutuhkan
Dalam melaksanakan upacara kematian tentu menggunakan uborampe2
yang berbeda dengan upacara adat-upacara adat yang lain. Uborampe tersebut
terdiri dari uborampe pangrukti layon sampai uborampe panguburing layon, yaitu
perlengkapan merawat jenasah sampai perlengkapan penguburan jenasah.
Sebagai bagian dari kebudayaan Jawa, uborampe dapat menjadi sarana atau
wadah yang dapat membawa dan menyampaikan ide-ide atau pandangan hidup
masyarakat yang memiliki kebudayaan itu, yakni Masyarakat Jawa. Dalam
kebudayaan Jawa, perilaku Orang Jawa yang mencerminkan nilai-nilai dan ide-ide
itu selalu terwujud melalui dua tataran yaitu lugas dan simbolis, sedangkan
uborampe berada pada tataran simbolis. Melalui Uborampe yang digunakan dalam
upacara kematian tersebut dapat diketahui bagaimana masyarakat Jawa memahami,
menghayati, serta memandang hal-hal yang berkaitan dengan kematian manusia.
Terdapat tujuh uborampe yang dibutuhakn yaitu :1. Air landha merang
yaitu air dari abu jerami yang disaring, digunakan untuk menyiram jenazah
pertama kali, tetapi sekarang sudah tidak ada yang menggunakan. 2. Air suci yaitu
air yang diambil dari sumur yang digunakan untuk membilas jenazah. 3. Air
kunyit, yaitu air yang diberi campuran kunyit yang dihaluskan. 4. Merang, atau
dapat juga diganti dengan cottonbuds untuk membersihkan kuku. 5. Sabun dan
sampo. 6. Kapur barus. 7. Debog yaitu batang pisang yang dipotong. Tetapi debog
hanya digunakan untuk situasi tertentu seperti jika tidak ada yang dapat dianggap
layak untuk memangku jenazah.
3.2 Ritual Memandikan Jenazah
Upacara memandikan jenazah disebut juga nyuceni atau menyucikan, maka
hampir semua uborampe yang digunakan dalam proses memandikan jenazah
memiliki makna kebersihan dan kesucian. Tidak diperoleh keterangan secara
mendetail atau satu-persatu mengenai makna masing-masing benda yang digunakan
2
Uborampe adalah piranti ataupun perlengkapan yang dibutuhkan untuk medukung acara.
dalam upacara memandikan jenazah. Hal ini dapat dimaklumi sebab penggunaan
benda-benda (uborampe) tersebut tidaklah secara terpisah artinya digunakan secara
bersama-sama dalam proses yang sama dan dengan tujuan yang sama pula, yakni
untuk membersihkan tubuh jenazah.
Air landha merang, air kunyit, kapur barus, merang atau cottonbuds, sabun
dan sampo digunakan untuk membersihkan badan dari ujung kepala sampai ujung
kaki serta kemudian dibilas dengan air suci. Menurut kepercayaan masyarakat,
orang yang meninggal dunia adalah ibarat orang yang hendak pulang atau kembali
kepada Sang Pencipta-Nya sehingga keadaannya harus bersih dari segala kotoran
(dosa) yang mungkin diperoleh saat tinggal (hidup) di dunia sehingga orang
tersebut dianggap suci.
3.3 Doa bagi Jenazah
Doa bagi jenazah sering kali dianggap sebagai upacara inti dari berbagai
rangkaian upacara kematian. Karena merupakan inti, pasti tidak akan pernah
dilewatkan. Berbagai upacara budaya mengitari doa bagi jenazah dalam agama
tertentu ini. Bagi orang Jawa, hal ini dapat dimaklumi sebab orang Jawa saat ini,
hampir sebagian besar, sudah menganut agama tertentu yang menganjurkan untuk
melakukan ritual tertentu ketika jenazah hendak dimakamkan.
Bagi orang Jawa yang beragama Katolik, Misa Pemberkatan Jenazah
adalah inti dari rangkaian upacara seputar kematian. Penghormatan oleh orang
Katolik terhadap jenazah bukan hanya sekadar sebuah praktek kesalehan,
melainkan menjadi salah satu ekspresi penghargaan terhadap keluhuran tubuh
manusia sebagai ciptaan dan gambaran Allah sendiri. Selain itu, dengan
memakamkan secara gerejawi orang Katolik juga memohon bantuan rohani bagi
mereka yang telah meninggal, memberi hiburan bagi keluarga yang ditinggalkan,
menjadi tanda persatuan antara yang masih hidup dengan si mati dan membangun
harapan akan kehidupan baru setelah berakhirnya kehidupan di dunia ini bagi siapa
saja yang hadir.
Penggunaan lilin Paskah, pemercikan air suci dan pendupaan pada tubuh
jenazah merupakan berbagai perlengkapan khas yang digunakan saat Misa
Pemberkatan Jenazah. Berbagai perlengkapan tersebut pada intinya merupakan
ungkapan pengharapan akan kehidupan abadi dan penyucian tubuh yang telah
menjadi bait Roh Kudus. Perayaan Ekaristi maupun doa bagi jenazah tidak
bermaksud untuk mengerdilkan peran berbagai ritus seputar upacara kematian.
3.4 Brobosan
Tradisi brobosan ini bertujuan menunjukkan penghormatan sanak keluarga
kepada orang tua dan leluhur mereka yang telah meninggal dunia. 3 Upacara
brobosan diselenggarakan di halaman rumah orang yang meninggal, yakni sebelum
ia dimakamkan, dan dipimpin oleh anggota keluarga yang tertua.
Dalam perspektif ilmu-ilmu sosial seperti antropologi dan sosiologi dikenal
istilah “pranata sosial”. Salah satu yang menandai pranata sosial adalah kematian
sebagai suatu peristiwa dalam masyarakat yang menandai salah satu fase kehidupan
manusia. Maksud utama praktik sosio-religius orang Jawa tidak lain adalah
mendapatkan keselamatan di dunia ini. Berangkat dari perspektif tersebut, upacara
keagamaan yang pokok adalah slametan (keselamatan). Dalam kerangka mencapai
keselamatan itulah, ritual brobosan pun dilakukan dalam rangkaian adat kematian
Jawa. Bahwa para anggota keluarga yang ditinggalkan itu berupaya menghormati
pribadi yang telah meninggal dengan cara berjalan mengitari bawah peti memuat
nilai filosofis yang dibahasakan dengan mikul dhuwur mendhem jero. Artinya,
menjunjung tinggi, menghormati, mengenang jasa-jasa almarhum semasa hidupnya
dengan memendam hal-hal yang kurang baik dan tidak perlu mengungkit-
ungkitnya. Biasanya, serangkaian ritual kematian dipimpin oleh beberapa orang
saja, yakni tokoh agama (modin) atau orang yang disegani oleh keluarga atau
masyarakat.
3.5 Menyapu Jalan
Upacara menyapu jalan adalah bagaian dari rangkaian upacara seputar
kematian bagi orang Jawa. Upacara menyapu jalan biasa dilakukan dengan
menggunakan sapu lidi sebelum jenazah diusung menuju ke pemakaman ataupun
sebelum jenazah dimasukkan ke mobil ambulans. Upacara menyapu jalan biasa
dilakukan dengan cara melakukan gerakan ke kanan dan ke kiri. Upacara ini
dilakukan oleh perwakilan anggota keluarga yang berduka.
3.6 Memayungi Jenazah
Upacara memayungi jenazah dilakukan saat jenazah hendak dihantar
menuju ke liang lahat. Jika pemakaman berada di dekat rumah duka, maka
3
Wimbodo Purnomo, Ritual Brobosan sebagai Penghormatan Terakhir dalam Liturgi Pemakaman Jawa-
Kristiani, Melintas 33.2.2017, 210-211.
kegiatan memayungi jenazah dilakukan dari rumah duka. Sedangkan jika
pemakaman berada jauh dari rumah duka yang mengharuskan jenazah diangkut
menggunakan mobil jenazah, maka kegiatan memayungi dilakukan ketika jenazah
hendak dikeluarkan dari mobil jenazah hingga sampai ke liang lahat.
Payung yang digunakan untuk memayungi jenazah adalah payung khusus
yang berwarna hijau. Penggunaan warna hijau dalam payung kematian, dalam
tradisi Jawa, merupakan bagian dari pengaruh Islam di tanah Jawa. Hanya saja,
ketika orang yang meninggal beragama Islam, payung yang digunakan terdapat
tulisan Arab. Sedangkan jika yang meninggal adalah dia yang bukan beragama
Islam, maka payung yang digunakan adalah payung polos berwarna hijau.
7
Mudji Sutrisno & Hendar Putranto (Eds.), Hermeneutika Pascakolonial: Soal Identitas, (Yogyakarta:
Kanisius), 2004, Hlm. 145
8
Mudji Sutrisno & Hendar Putranto (Eds.), Hermeneutika Pascakolonial: Soal Identitas, (Yogyakarta:
Kanisius), 2004, Hlm. 151
membuktikan bahwa yang terjajah tidak berada dalam posisi diam, melainkan yang
terjajah meniru dan menikmati tawaran budaya-budaya penjajah dengan me-reform-
nya dalam sebuah ambivalensi. Konsep mimikri Bhabha di satu sisi menunjukkan
bahwa kaum pribumi (terjajah) ingin membangun identitas persamaan dengan kaum
penjajah, sedangkan mereka juga mempertahankan perbedaannya.
Fenomena ini telah menjadi bagian dari budaya agama Asia selama
berabad-abad, namun hal ini relatif baru bagi Barat, di mana kombinasi kekuatan
politik dan agama telah membentuk identitas agama di sekitar batas – batas yang
relatif kaku dan eksklusif.
Dualisme atau kepemilikan agama ganda, di satu sisi tidak dapat dipungkiri
bahwa ia memiliki keterbatasan, namun di sisi lain tidak dapat juga dipungkiri
bahwa dualism atau kepemilikan agama ganda ini menawarkan sesuatu yang
menarik bagi mereka yang hidup atau bekerja di antara tradisi.
Aspek dialog antaragama yang memberi kita konteks yang sangat menarik
untuk diskusi tentang kepemilikan agama ganda adalah upaya untuk merumuskan
kembali satu tradisi keagamaan melalui pandangan dunia dan kerangka kerja
filosofis yang lain. Saya merujuk pada apa yang sering disebut proses
"inkulturasi." Hampir setiap tradisi agama harus menghadapi masalah adaptasi
tradisi agama ke konteks budaya yang berbeda dari yang pertama kali muncul
dengan sendirinya. Dalam Kristen, pertanyaan-pertanyaan ini telah ditangani
secara paling sistematis, setidaknya dalam waktu belakangan ini. Sementara
inkulturasi dan dialog antaragama telah sering dibedakan secara eksplisit -
misalnya, dalam dokumen Gereja Katolik Roma - inkulturasi tidak dapat tidak
dianggap sebagai bentuk atau aspek dari dialog antaragama. Untuk mencoba
merumuskan kembali suatu agama dalam kategori dan simbol-simbol milik
konteks budaya yang berbeda menyiratkan keterlibatan dengan agama atau agama
yang secara tradisional telah membentuk budaya itu. Ini dapat terjadi pada tingkat
yang dangkal, melalui adopsi simbol eksternal, arsitektur, pakaian, dan elemen
ritual. Atau mungkin terjadi pada tingkat yang lebih dalam, melalui reformulasi
radikal dari satu agama sesuai dengan pandangan dunia dan kategori filosofis yang
lain. Pada tingkat yang terakhir inilah pertanyaan tentang kepemilikan ganda
muncul. Yang mendasari praktik inkulturasi adalah kesadaran relativitas semua
artikulasi konseptual dan filosofis dari pengalaman religius yang mendasar, dan
yang mendorongnya adalah keinginan untuk memperbesar dan memperkaya tradisi
melalui reformulasi dalam kategori interpretasi yang berbeda.