Anda di halaman 1dari 119

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Keanekaragaman hayati yang tersebar di hutan Kalimantan sangat besar dan

memiliki banyak manfaat serta belum tergali secara maksimal. Potensi yang belum

tergali diantaranya adalah potensi jenis tumbuhan yang berhasiat sebagai obat (1).

Pemanfaatan tumbuhan sebagai bahan obat sudah sejak lama dilakukan oleh masyarakat

di Indonesia dengan keanekaragam suku yang ada dan diwariskan secara turun

temurun(2). Indonesia memiliki banyak suku yang menyimpan sejumlah pengetahuan

mengenai pemanfaatan tumbuhan sebagai obat. Terdapat lebih dari 1.000 jenis

tumbuhan yang ada di Kalimantan Barat digunakan sebagai obat dan sekitar 300 jenis

sudah dimanfaatkan untuk pengobatan tradisional(3). Masyarakat suku dayak sampai saat

ini masih tetap mempertahankan pengobatan tradisional dengan cara mengonsumsi

langsung dalam bentuk segar, rebusan atau racikan(4).

Bahan alam yang akan dikembangkan menjadi obat herbal pada kesehatan harus

memenuhi persyaratan aman, bermanfaaat dan sudah terstandarisasi(5). Berdasarkan

hasil dari Riset Kesehatan Dasar pada tahun 2013, dari 300.000 keluarga di Indonesia,

ditemukan 35,2% keluarga menggunakan obat-obatan dan 15,7% diantaranya

menggunakan obat-obatan tradisional(6). Penggunaan obat tradisional dalam

mempertahankan kesehatan masyarakat telah lama kita ketahui, bahkan sampai saat ini

menurut perkiraan badan kesehatan dunia (WHO), 80% penduduk dunia masih

tergantung pada pengobatan tradisional(7). Obat tradisional biasa dikenal sebagai obat

1
2

herbal yang memiliki beberapa keuntungan dibandingkan dengan obat-obat sintetik(8).

Salah satu obat sintetik yaitu parasetamol, penggunaan parasetamol dalam dosis besar

dan jangka waktu lama dapat menyebabkan kerusakan hati (9). Kerusakan hati akibat

parasetamol dapat menyebabkan hepatotoksik(10). Sehingga masyarakat beralih ke

pengobatan tradisional menggunakan herbal yang relatif aman dan mudah didapatkan.

Berdasarkan hasil penelitian Riset Tumbuhan Obat dan Jamu (RISTOJA) pada

tahun 2015 dilaksanakan 24 provinsi salah satunya di provinsi Kalimantan Barat yaitu

di dusun Sekajang, desa Suruh Tembawang Kecamatan Entikong, terdapat tumbuhan

endemik secara empiris digunakan masyarakat sebagai pengobatan penyakit demam dan

obat nyeri dengan menggunakan daun bambu. Daun bambu dikembangkan untuk

pengobatan herbal tradisional dalam menurunkan kadar asam urat, peningkatan asam

urat mengakibatkan gangguan tubuh disertai timbulnya rasa nyeri(11). Berdasarkan hasil

penelitian skrining fitokimia daun bambu mengandung senyawa fenol, tannin, saponin,

terpenoid, alkaloid dan flavonoid(11,12). Golongan-golongan senyawa tersebut diketahui

memiliki potensi dimanfaatkan sebagai analgesik, antiinflamasi dan antipiretik(13,14).

Penggunaan daun bambu (Bambusa vulgaris) sangat beraneka ragam di

masyarakat namun masih belum ada penelitian ilmiah yang memastikan bahwa daun

bambu aman dikonsumsi. Untuk mengetahui tingkat keamanan pada daun bambu maka

diperlukan suatu uji toksisitas. Sehingga diharapkan daun bambu dapat dimanfaatkan

sebagai obat herbal dalam mengatasi rasa nyeri. Untuk itu perlu dilakukannya penelitian

ini agar dapat memberikan informasi ilmiah kepada masyarakat luas khususnya

masyarakat dusun Sekajang, desa Suruh Tembawang Kecamatan Entikong, Kabupaten

Sanggau, Provinsi Kalimantan Barat.


3

1.2. Rumusan Masalah

1. Bagaimana cara pemanfaatan daun bambu (Bambusa vulgaris) di dusun Sekajang,

desa Suruh Tembawang, Kecamatan Entikong Kabupaten Sanggau Provinsi

Kalimantan Barat ?

2. Apa saja golongan senyawa yang terkandung dalam ekstrak etanol daun bambu

(Bambusa vulgaris) ?

3. Berapa nilai LD50 dan gambaran perilaku, psikomotorik dan berat badan tikus

pada toksisitas akut menggunakan ekstrak etanol daun bambu (Bambusa vulgaris)

pada tikus galur Wistar?

4. Berapa dosis efektif ekstrak etanol daun bambu (Bambusa vulgaris) yang dapat

menimbulkan efek analgetik pada mencit galur Swiss yang diinduksi asam asetat?

1.3. Tujuan Penelitian

1. Mengetahui cara pemanfaatan daun bambu (Bambusa vulgaris) di dusun

Sekajang, desa Suruh Tembawang Kecamatan Entikong, Kabupaten Sanggau

Provinsi Kalimantan Barat.

2. Mengetahui golongan senyawa yang terkandung dalam daun bambu (Bambusa

vulgaris).

3. Mengetahui nilai LD50 dan gambaran perilaku, psikomotorik dan berat badan tikus

pada toksisitas akut menggunakan ektsrak etanol daun bambu (Bambusa

vulgaris) pada tikus galur Wistar.

4. Mengetahui dosis efektif ekstrak etanol daun bambu (Bambusa vulgaris) yang

dapat menimbulkan efek analgetik pada mencit galur Swiss yang diinduksi asam

asetat.
4

1.4. Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini adalah memberi informasi ilmiah kepada masyarakat

luas khususnya pada masyarakat di dusun Sekajang, desa Suruh Tembawang,

Kecamatan Entikong Kabupaten Sanggau Provinsi Kalimantan Barat tentang

penggunaan dan manfaat daun bambu (Bambusa vulgaris) sehingga mendorong

masyarakat untuk menggunakan obat tradisional yang telah melalui pengujiaan

toksisitas akut dan uji aktivitas analgetik, sehingga diharapkan dapat digunakan sebagai

salah satu pilihan alternatif terapi obat tradisional yang aman dikonsumsi.
5

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

II.1. Etnofarmakologi

Etnofarmakologi menurut Martin, merupakan ilmu yang terkait dengan beberapa bidang

ilmu seperti ilmu botani (etnobotani), ilmu farmasi (etnofarmasi), dan aspek sosial serta kultur

budaya masyarakat. Etnofarmakologi adalah bagian dari etnobotani yang mempelajari khusus

tentang kegunaan tumbuhan yang memiliki efek farmakologi untuk pengobatan dan

pemeliharaan kesehatan dalam suatu suku bangsa (15). Etnofarmakologi menurut Setyowati,

merupakan studi ilmiah yang menghubungkan suatu kelompok etnis, kesehatan mereka dan

bagaimana kebiasaan ini terkait dengan kondisi fisik dan metode dalam membuat dan

menggunakan obat(16).

Etnofarmakologi merupakan bagian dari etnobotani yang mempelajari khusus tentang

kegunaan tumbuhan yang memiliki efek farmakologi untuk pengobatan dan pemeliharaan

kesehatan dalam suku bangsa(15). Pengobatan tradisional merupakan upaya penyembuhan

terhadap penyakit yang dilakukan berdasarkan kepercayaan turun temurun, baik dengan

menggunakan bahan alami yang tersedia dan diyakini mempunyai khasiat yang dapat

menyembuhkan maupun melalui perantara seseorang (dukun) yang mempunyai kekuatan

tertentu didalam dirinya untuk mengobati penyakit(16).

Penelitian etnofarmakologi meliputi wawancara terhadap penyembuh dengan

menjelaskan pengobatan tradisional menjadi obat modern, menguji pasien yang mengkonsumsi

herbal penyembuh, dan mengindentifikasi penyakit pada herbal yang digunakan (17). Kajian

etnofarmakologi meliputi penggunaan tanaman sebagai obat tradisional secara empiris disuatu

daerah yang dapat diindentifikasi dari nama tumbuhan.

II.2. Profil Dusun Sekajang, Desa Suruh Tembawang, Kecamatan Entikong Kabupaten
Sanggau, Provinsi Kalimantan Barat
6

Wilayah Kecamatan Entikong dibagi menjadi 5 desa, 28 dusun, dan 73 RT yang masih

dalam tahap pengembangan. Salah satunya di Dusun Sekajang, Desa Suruh Tembawang,

Kecamatan Entikong Kabupaten Sanggau provinsi Kalimantan Barat. Jarak tempuh dari Ibukota

ke desa desa di Kecamatan Entikong untuk provinsi Kalimantan Barat memiliki jarak tempuh

yang sangat jauh dan Jumlah penduduk di desa Suruh Tembawang tedapat 582 jumlah Kepala

Keluarga(18).

Tabel 1. Jarak Tempuh Desa ke Kecamatan, Kabupaten dan Provinsi(18)

Jarak Tempuh ke Ibukota


No Desa Kecamatan Kabupaten Provinsi
1. Entikong 0 km 145 km 317 km
2. Semanget 6 km 139 km 311 km
3. Nekan 13,5 km 158,5 km 330,5 km
4. Pala Pasang 30 km 175 km 347 km
5. Suruh Tembawang 42 km 187 359 km

Suku dayak Sekajang adalah suku yang berasal dari dayak Semuh yang berada di

Serawak. Suku Dayak ini tinggal di hulu bantaran Sungai Sekayam yaitu di dusun Sekajang

yang berada di desa Suruh Tembawang, Kecamatan Entikong, Kabupaten Sanggau, Provinsi

Kalimantan Barat yang diketahui bahwa masyarakat dusun Sekajang merupakan masyarakat

yang berasal dari migrasi dayak yang ada di Malaysia. Hal ini mengakibatkan secara bahasa dan

adat istiadat yang berlaku pada dusun Sekajang berbeda dengan wilayah masyarakat adat

didaerah sekitarnya. Bahasa yang digunakan sering disebut sebagai Bahasa Senggau. Desa

Suruh Tembawang banyak yang tidak mengerti bahasa Indonesia dan masyarakat disana

kebanyakan menggunakan bahasa daerah Dayak dan bahasa Malaysia dikarenakan penduduk

setempat sangat terpengeruh dengan budidaya dari negeri Malaysia (19). Kelompok masyarakat

adat yang berada di dusun Sekajang menamakan diri mereka dayak Semuh. Berdasarkan

komposisi jumlah penduduk di desa Suruh Tembawang mayoritas beragama katolik dan

mayarakat di desa Suruh Tembawang mayoritas tidak tamat Sekolah Dasar dikarenakan dengan
7

jumlah sarana dan prasarana pendidikan yang masih berjumlah sedikit dan kesadaran

masyarakat akan pentingnya pendidikan bagi masa depan, maka tingkat pendidikan di Desa

Suruh Tembawang masih tergolong rendah sehingga mata pencaharian masyarakat desa Suruh

Tembawang sebagai seorang petani dengan berfokus pada pertanian padi sawah, tumbuhan

pangan dan perkebunan. Julmlah penduduk di desa Suruh Tembawang mayoritas laki-laki

dibandingkan perempuan(18).

Rumah adat masyarakat Dusun Sekajang, Desa Suruh Tembawang dalam masyarakat

setempat adalah “Blei Bak” yang artinya Pondok Kepala, dengan kata lain pondok penyimpanan

tengkorak manusia hasil “ngayau”. Ngayau adalah budaya memenggal kepala manusia dalam

masyarakat suku dayak pada zaman dahulu dan ngayau dilakukan untuk menaklukan sub suku

dayak atau suku suku lainnya. Blei Blak dalam bahasa masyarakat dusun sekajang disebut

“Panca”. Menurut legenda Blei Blak atau Panca yaitu bangunan yang digunakan untuk

menyimpan benda-benda hasil mengayau, salah satunya adalah tengkorak manusia. Panca yang

ada di dusun Sekajang adalah panca yang paling tua usianya jika dibandingkan dengan panca

yang terdapat di Sontas dan Pengadang(20).

II.3. Deskripsi Tumbuhan Daun Bambu


II.3.1. Klasifikasi Bambu
Klasifikasi bambu kuning menurut Widjaja adalah sebagai berikut (21) :
Kingdom : Plantae
      Divisi : Magnoliophyta
            Kelas : Liliopsida
            Ordo : Poales
            Famili : Poaceae
            Genus : Bambusa
            Spesies : Bambusa vulgaris Schrad. ex J.C.
II.3.2. Morfologi Daun Bambu
8

Daun bambu (Bambusa sp) memiliki bagian daun yang lengkap karena memiliki

bagian-bagian seperti pelepah daun, tangkai daun dan helaian daun. Daun bambu

mempunyai tipe pertulangan yang sejajar seperti rumput dan setiap daun mempunyai

tulang daun utama yang menonjol(21). Ciri-ciri daun bambu (Bambusa sp) adalah bangun

daun berbentuk lanset, bentuk ujung daun meruncing, bentuk pangkal daun tumpul, tepi

daun rata, daging daun seperti kertas, pertulangan daun sejajar yaitu mempunyai satu

tulang di tengah yang besar membujur. Tulang-tulang daun jelas lebih kecil dan

nampak sejajar dengan ibu tulang daun. Permukaan daun bagian atas berbulu dan

permukaan daun bagian bawah berbulu kasar, serta bagian atas daun berwarna hijau

cerah sedangkan permukaan bagian bawahnya berwarna hijau suram (22). Helai daun

dihubungkan dengan pelepah oleh tangkai daun yang panjang atau pendek. Pelepah

dilengkapi dengan kuping pelepah daun. Kuping pelepah daun umumnya besar tetapi

ada juga yang kecil atau tidak tampak. Pada beberapa jenis bambu, kuping pelepah

daunnya mempunyai bulu panjang, dan ada juga yang gundul(21).


9

Gambar 1. Daun Bambu (dokumentasi pribadi)

II.3.3. Kandungan Daun Bambu

Senyawa yang telah diisolasi dari Bambusa vulgaris masih sedikit sehingga

dapat digunakan data tentang kandungan dari tumbuhan lain yang memiliki klasifikasi

(takson) hampir sama. Berdasarkan kemotaksonomi bahwa suatu kelompok tumbuhan

yang terbatas dan terutama mengenai kandungan metabolit sekundernya. Tumbuh-

tumbuhan dari takson yang sama memiliki hubungan kekerabatan yang sangat erat itu

memungkinkan adanya persamaan zat-zat yang terkandung dalam tumbuhan(22).

Berdasarkan hasil penelitian yang pernah dilakukan oleh Novitasari dan Coffie telah

berhasil diisolasi dari tumbuhan genus Bambusa diantaranya mengandung senyawa

triterpenoid, glikosida, tannin, saponin, alkaloid dan flavonoid(11,12).

II.3.4. Manfaat Daun Bambu

Daun Bambu merupakan tumbuhan obat yang merupakan tumbuhan endemik di

Kalimantan Barat yang sering dimanfaatkan secara turun-temurun oleh masyarakat

sebagai obat menghilangkan rasa nyeri salah satunya sebagai obat asam urat(11).

Berdasarkan golongan senyawa metabolit sekunder yang diketahui bahwa daun bambu

memiliki potensi untuk dimanfaatkan sebagai analgesik, antiinflamasi dan

antipiretik(13,14). Flavonoid berperan sebagai aktivitas analgetik dengan menghambat

kerja enzim siklooksigenase yang merupakan mediator nyeri seperti prostaglandin(23,24).

Kandungan senyawa seperti flavonoid, triterpenoid dan minyak atsiri dapat digunakan

sebagai analgesik(25). Terpenoid merupakan senyawa kimia yang memiliki efek

farmakologis dan efek toksik(26). Selain itu daun bambu juga memiliki potensi untuk
10

dimanfaatkan sebagai bioherbisida karena mengandung senyawa yang bersifat alelopat

seperti flavanoid dan tanin(27).

II.4. Simplisia

Simplisia adalah bahan alamiah yang dipergunakan sebagai obat yang belum

mengalami pengolahan apapun juga dan kecuali dikatakan lain, berupa bahan lain yang

telah dikeringkan(28). Istilah simplisia dipakai untuk menyebut bahan-bahan obat alam

yang masih berada dalam wujud aslinya atau belum mengalami perubahan bentuk.

Pembuatan simplisia meliputi beberapa tahapan, adapun tahapan tersebut yaitu

pengumpulan bahan baku, sortasi basah, pencucian, pengubahan bentuk, pengeringan,

sortasi kering, pengepakan dan penyimpanan(29).

II.4.1. Proses Pembuatan Simplisia

Simplisia dapat dibuat dengan beberapa proses. Adapun proses proses tersebut

yaitu sebagai berikut(29):

a. Pengumpulan Bahan Baku

Proses pengumpulan bahan baku sangat menentukan kualitas bahan baku. Faktor

yang paling berperan dalam proses ini adalah masa panen. Berdasarkan garis besar

pedoman panen, pengambilan bahan baku dari daun dilakukan pada saat fotosintesis

berlangsung maksimal yang ditandai dengan saat-saat tumbuhan mulai berbunga atau

buah mulai masak.

b. Sortasi Basah

Sortasi basah adalah proses pemilahan hasil panen ketika tumbuhan masih segar.

Sortasi dilakukan terhadap tanah dan kerikil, rumput-rumputan, bahan tumbuhan lain

atau bagian lain dari tumbuhan yang tidak digunakan dan bagian tumbuhan yang rusak.
11

c. Pencucian

Pencucian simplisia dilakukan untuk membersihkan kotoran yang melekat,

terutama bahan-bahan yang berasal dari dalam tanah dan juga bahan-bahan yang

tercemar pestisida. Pencucian dapat dilakukan dengan menggunakan air yang berasal

dari beberapa sumber yaitu mata air, sumur dan PAM.

d. Pengubahan Bentuk

Pada dasarnya tujuan pengubahan bentuk simplisia adalah untuk memperluas

permukaan bahan baku. Semakin luas permukaan maka bahan baku, maka akan

semakin cepat kering.

e. Pengeringan

Proses pengeringan bahan baku dapat dilakukan dengan menggunakan panas

matahari secara tidak langsung dengan menggunakan kain hitam. Penjemuran tidak

langsung bertujuan untuk menghindari kontak langsung dengan pancaran gelombang

ultra violet yang dapat merusak senyawa-senyawa dalam bahan baku.

f. Sortasi Kering

Sortasi kering adalah proses pemilihan bahan setelah mengalami proses

pengeringan. Pemilihan dilakukan terhadap bahan-bahan yang terlalu gosong, bahan

yang rusak akibat terlindas roda kendaraan atau dibersihkan dari kotoran hewan.

g. Penyimpanan
12

Setelah proses pengeringan dan sortasi selesai maka simplisia perlu ditempatkan

dalam suatu wadah tersendiri agar tidak saling bercampur antara simplisia satu dengan

lainnya.

II.5. Metode Ekstraksi

Ekstraksi adalah kegiatan penarikan kandungan kimia yang dapat larut sehingga

terpisah dari bahan yang tidak dapat larut. Pengetahuan mengenai golongan senyawa

aktif yang dikandung dalam simplisia akan mempermudah proses pemilihan pelarutan

dan cara ekstraksi yang tepat(30). Tumbuhan segar yang telah dihaluskan atau material

tumbuhan yang dikeringkan diproses dengan suatu cairan pengekstraksi. Jenis ekstraksi

dan bahan ekstraksi yang digunakan, terutama tergantung dari kelarutan bahan

kandungan serta dari stabilitasnya. Jumlah dan jenis senyawa yang berpindah masuk ke

dalam ekstraksi tergantung dari jenis dan komposisi cairan pengekstraksi. Untuk

memperoleh sediaan obat yang cocok umumnya berlaku campuran etanol-air sebagai

cairan pengekstraksi(31).

II.5.1. Maserasi

Maserasi adalah proses pengekstraksian simplisia dengan menggunakan pelarut

dengan beberapa kali pengocokan atau pengadukan pada temperature ruangan (kamar).

Maserasi berarti dilakukan pengadukan yang kontinu (terus-menerus). Remaserasi

berarti dilakukan pengulangan penambahan pelarut setelah dilakukan penyarian maserat

pertama dan seterusnya(32). Pengocokan memungkinkan pelarut segar mengalir

berulang-ulang masuk ke seluruh permukaan dari obat yang sudah halus. Maserasi

biasanya dilakukan pada temperatur 15°-20°C selama 3 hari sampai bahan-bahan yang

larut dapat larut dalam pelarut yang digunakan(33).


13

Maserasi merupakan cara penyarian yang sederhana. Maserasi dilakukan dengan

cara merendam serbuk simplisia dalam cairan penyari. Cairan penyari akan menembus

dinding sel dan masuk ke dalam rongga sel yang mengandung zat aktif, zat aktif akan

larut dan karena adanya perbedaan konsentrasi antara larutan zat aktif di dalam dengan

yang di luar sel, maka larutan yang terpekat didesak keluar. Peristiwa tersebut berulang

sehingga terjadi keseimbangan konsentrasi antara larutan di luar sel dan di dalam sel.

Keuntungan cara penyarian dengan maserasi adalah cara pengerjaan dan peralatan yang

digunakan sederhana dan mudah disediakan(34).

II.5.2. Pelarut

Cairan pelarut dalam proses pembuatan ekstrak adalah pelarut yang baik (optimal)

untuk senyawa kandungan yang berkhasiat atau yang aktif, dengan demikian senyawa

tersebut dapat dipisahkan dari bahan dan dari senyawa kandungan lainnya, serta ekstrak

hanya mengandung sebagian besar senyawa kandungan yang diinginkan. Terdapat dua

syarat dalam pemilihan pelarut untuk ekstraksi yaitu pelarut tersebut harus merupakan

pelarut terbaik untuk bahan yang akan diekstraksi dan pelarut tersebut dapat terpisah

dengan cepat setelah pengocokan. Dalam pemilihan pelarut yang harus diperhatikan

adalah toksisitas, ketersediaan, harga, sifat tidak mudah terbakar, rendahnya suhu kritis,

untuk meminimalkan biaya operasi serta reaktivitasnya(35).

II.5.3. Ekstrak

Ekstrak adalah sediaan pekat yang diperoleh dengan mengekstraksi zat aktif dari

simplisia nabati atau hewani menggunakan pelarut yang sesuai, kemudian semua atau

hampir semua pelarut diuapkan dan massa atau serbuk yang tersisa diperlakukan
14

sedemikian hingga memenuhi baku yang telah ditetapkan . Sebagian besar ekstrak dibuat

dengan mengekstraksi bahan baku obat secara perkolasi. Seluruh perkolat biasanya

dipekatkan dengan cara destilasi dengan pengurangan tekanan, agar bahan utama obat

sedikit terkena panas(30).

Penggolongan ekstrak menurut sifat-sifatnya(31) :

a. Ekstrak encer (extractum tenue)

Sediaan ini mempunyai konsistensi seperti madu dan dapat dituang

b. Ekstrak kental (extractum spissum)

Sediaan ini liat pada kondisi dingin dan tidak dapat dituang, kandungan airnya

sekitar 30%.

c. Ekstrak kering (extractum siccum)

Sediaan ini memiliki konsistensi kering dan mudah digosokkan, kandungan

airnya tidak lebih dari 5%.

d. Ekstrak cair (extractum fluidum).

II.6. Uji Toksisitas

Toksisitas didefinisikan sebagai segala hal yang memiliki efek berbahaya dari zat

kimia atau obat pada organisme target. Uji toksisitas terdiri atas dua jenis yaitu

toksisitas umum meliputi akut, subakut atau subkronis, kronis dan toksisitas khusus

meliputi teratogenik, mutagenik dan karsinogenik(37). Banyak tumbuhan dan hewan

menghasilkan zat zat beracun baik untuk tujuan defensif dan ofensif. Racun alami

binatang, tumbuhan dan bakteri terdiri dari berbagai bahan kimia yang dapat

menyebabkan berbagai efek beracun dan dapat menyebabkan keracunan pada

manusia(38).
15

Toksisitas dapat didefinisikan sebagai segala sesuatu yang memiliki efek

berbahaya dari zat kimia atau obat pada organisme target (39). Dalam hakikatnya obat

tradisional diteliti dan dikembangkan untuk dimanfaatkan sebagai obat untuk manusia,

karena uji toksisitas obat tradisional harus mampu mengungkapkan keamannya terkait

dengan maksud penggunannya(40). Sebelum percobaan toksikologi dilakukan sebaiknya

telah ada data mengenai identifikasi, sifat obat dan rencana penggunaanya. Data ini

dapat dipakai untuk mengarahkan percobaan toksisitas yang dilakukan(41.42).

Tujuan akhir dari uji toksikologi dan penelitian lainnya yang berkaitan dalam

menilai keamanan atau resiko toksikan pada manusia, idealnya data dikumpulkan dari

manusia(43). Tetapi karena hambatan etik tidak memungkinkan pengujian langsung

dilakukan pada manusia, maka umumnya uji toksikologi dilakukan pada hewan uji,

hewan sel tunggal atau sel kultur . Uji toksisitas dapat berupa uji ketoksisitas khas dan

tidak khas. Uji ketoksisitas tak khas dilakukan untuk mengevaluasi efek toksik,

subkronik dan kronis. Uji ketoksikan akut digunakan untuk menentukan nilai LD50 dan

dosis maksimal yang masih dapat ditoleransi oleh senyawa yang diuji. Uji ini dilakukan

pengamatan selama 24 jam atau hingga 7-14 hari untuk kasus tertentu(44,45).

II.6.1. Uji Toksisitas Akut

Definisi Toksisitas akut adalah efek berbahaya yang terjadi segera setelah terpapar

suatu zat tunggal atau kombinasi zat sekali atau beberapa kali dalam waktu singkat.

Sedangkan didefinisi lain menyatakan, efek berbahaya yang terjadi segera setelah

terpapar dosis tunggal atau berulang dalam waktu 24 jam. Jumlah paparan mengacu

pada jumlah yang dapat mengancam kehidupan (over dosis) atau untuk pembunuhan

atau bunuh diri(37). Efek berbahaya atau toksisitas ini diartikan juga suatu yang dapat
16

menyebabkan gangguan fungsional, biokimiawi atau fisiologis yang menyebabkan

kesakitan yang menyebabkan menganggu kondisi tubuh secara umum(37).

Uji toksisitas oral akut merupakan salah satu uji praklinik yang bertujuan untuk

melihat efek toksik yang terjadi dalam waktu singkat, melalui pemberian tunggal per

oral ataupun dengan dosis berulang dalam waktu 24 jam. Data kematian hewan coba

yang dinyatakan dengan Dosis Letal 50 (LD 50) yang merupakan parameter pada uji

toksisitas akut. Penentuan LD50 merupakan tahap awal untuk mengetahui keamanan

bahan yang akan digunakan manusia dengan menentukan besarnya dosis yang

menyebabkan kematian 50% pada hewan uji setelah pemberian dosis tunggal(46).

Uji toksisitas akut dirancang untuk menentukan LD50 obat, dan menunjukkan

organ sasaran yang mungkin mengalami kerusakan. Pengamatan hewan uji dilakukan

sejak masa persiapan hewan uji, sebelum diberi perlakuan. Perlakuan berupa pemberian

obat pada masing-masing hewan uji dengan dosis tunggal. Batas dosis harus dipilih

sedemikian rupa dengan harapan dapat menimbulkan respon pada 10 – 90% hewan

uji(47). Uji toksisitas akut merupakan tata cara tertentu yang dirancang untuk menentukan

dosis letal (LD50) suatu zat dan kemungkinan mekanisme kerja.

Definisi LD50 yaitu sebagai dosis atau konsentrasi yang diberikan sekali atau

beberapa kali dalam 24 jam dari suatu cara zat secara statistik dapat mematikan 50%

hewan coba(37). Pengujian toksisitas akut selain bertujuan menentukan dosis letal 50%

juga untuk mengetahui mekanisme dan target organ yang dipengaruhi zat toksik,

menentukan range dosis (interval dosis) untuk pengujian lebih lanjut (uji farmakologi,

toksisitas subakut, subkronis dan toksisitas jangka panjang) untuk mengklasifikasi zat

uji kedalam kelompok-kelompok tertentu seperti supertoksik, tidak toksik atau toksik(37).
17

II.6.2. Pengujian Toksisitas Akut dengan Pedoman OECD (Organization for


Economic Cooperation and Development)
Organisation for economic co-operation and development (OECD) merupakan

suatu organisasi antar negara melipui bidang ekonomi, ilmu pengetahuan, pendidikan

dan pasar keuangan. Tujuan dari organisasi ini adalah menciptakan pedoman atau aturan

yang dapat meningkatkan tingkat kehidupan ekonomi dan sosial seluruh manusia di

dunia(48). Uji toksisitas akut termasuk kedalam kategori efek kesehatan manusia.

Perhatian akhir-akhir ini terfokus pada pengembangan alternatif metode penentuan LD50

tradisional untuk meminimalkan penggunaan jumlah hewan uji atau untuk mengubah

prosedur agar menyebabkan stress yang lebih rendah terhadap hewan uji. OECD

mengadopsi beberapa metode untuk penentuan toksisitas akut oral : limit test untuk

bahan yang diantisipasi memiliki toksisitas rendah, prosedur fixed dose, prosedur acute

toxic class dan prosedur up-and-down(49).

II.6.3. Metode Standar OECD (Organization for Economic Cooperation and


Development) 425 Up-and-Down Prosedure (UDP)

Hewan uji diberi seri dosis dengan faktor pengalian 3,2 dan dosis yang dipilih

harus berada dalam jarak LD50 dari acuan. Pengamatan atas respon hewan uji dan

kematian hewan uji dilakukan hingga 14 hari setelah pemberian dosis (50-52). Hewan uji

yang digunakan adalah tikus atau mencit dengan jenis kelamin betina. Hewan uji jantan

tidak diikutsertakan karena menurut beberapa penelitian. Hewan uji betina lebih sensitif

dalam pengujian(51). Setidaknya menggunakan hewan uji untuk masing-masing dosis.

Pemberian dosis selanjutnya dilakukan berdasarkan status dosis sebelumnya setelah 48

jam. Jika hewan uji hidup, maka dosis selanjutnya di naikan dengan faktor kenaikan 3,2.

Jika hewan uji mati, maka dosis selanjutnya di turunkan dengan faktor penurunan 3,2.
18

Uji dihentikan bila memenuhi salah satu kriteria berikut ini(53):

a. Tiga hewan hidup pada batas atas uji (2000 mg/kgbb).

b. Lima pembalikan muncul pada 6 hewan yang diujikan pada konsentrasi diatas dosis

terendah tersebut.

c. Minimal empat hewan uji telah mengikuti pembalikan dosis pertama dan rasio-

kemiripan melewati nilai kritikal maximum likelihood estimation.

Nilai LD50 ditentukan dengan program AOT425StatPgm. AOT425StatPgm (Acute

Oral Toxicity (Guideline 425) Statistical Program) adalah perangkat lunak untuk

menghitung nilai LD50. Tujuan dari prosedur ini adalah untuk menguji toksisitas jangka

pendek dari suatu senyawa kimia yang diberikan pada hewan penggerat. Informasi yang

dimasukkan kedalam aplikasi AOT425StatPgm adalah dosis dan respon hewan uji

(mati/hidup). Prosedur perhitungan LD50 dengan AOT425StatPgm berlangsung secara

bertahap. Pengguna aplikasi AOT425StatPgm dapat memasukkan hasil uji untuk satu

hewan uji, menyimpan data dan memasukkan data kembali untuk hewan uji kedua pada

hari yang berbeda. Ketika seluruh uji selesai, program AOT425StatPgm menggunakan

hasil tersebut untuk menentukan LD50(53,54). Kelebihan dari AOT425StatPgm dapat

menghitung dosis rekomendasi untuk hewan uji berikutnya, kapan waktu untuk

menghentikan pemberian dosis hewan, dan estimasi statistik LD50(55).

II.7. Nyeri
II.7.1. Definisi

Nyeri adalah perasaan sensoris dan emosional yang menimbulkan rasa tidak

nyaman yang berkaitan dengan kerusakan jaringan. keadaan psikis sangat


19

mempengaruhi nyeri, seperti emosi dapat menimbulkan sakit (kepala) atau

membahayakan, tetapi dapat juga menghindarkan sensasi rangsangan nyeri. Nyeri

merupakan suatu perasaan subjektif pribadi dan ambang toleransi nyeri berbeda-beda

bagi setiap orang. Batas nyeri untuk suhu adalah konstan, yakni pada 44-45°C(56).

Rasa nyeri dalam kebanyakan hal hanya merupakan suatu gejala yang berfungsi

melindungi tubuh. Nyeri harus dianggap sebagai isyarat bahaya tentang adanya

gangguan di jaringan, seperti peradangan, infeksi jasad renik atau kejang otot. Nyeri

yang disebabkan oleh rangsangan mekanis, kimiawi atau fisis dapat menimbulkan

kerusakan pada jaringan. Rangsangan tersebut memicu pelepasan zat-zat tertentu yang

disebut mediator nyeri(56).

Mediator nyeri dapat mengakibatkan reaksi radang dan kejang-kejang yang dapat

mengaktivasi reseptor nyeri di ujung saraf bebas di kulit, mukosa dan jaringan lain. Dari

sini rangsangan di salurkan ke otak melalui jaringan lebat dari tajuk-tajuk neuron

dengan sangat banyak sinaps via sumsum tulang belakang, sumsum lanjutan, dan otak

tengah. Thalamus impuls kemudian diteruskan ke pusat nyeri di otak besar, dimana

impuls dirasakan sebagai nyeri(56).

II.7.2. Klasifikasi Nyeri

a. Nyeri Akut

Nyeri akut adalah nyeri yang terjadi setelah cedera akut, penyakit, atau intervensi

bedah dan memiliki proses yang cepat dengan intensitas yang bervariasi (ringan sampai

berat) berlangsung untuk waktu yang singkat. Nyeri akut berdurasi singkat kurang lebih

6 bulan dan akan menghilang tanpa pengobatan setelah area yang rusak pulih

kembali(57).
20

b. Nyeri kronik

Nyeri kronik adalah nyeri konstan yang intermiten yang menetap sepanjang suatu

periode waktu, Nyeri ini berlangsung lama dengan intensitas yang bervariasi dan

biasanya berlangsung lebih dari 6 bulan(57).

II.7.3. Mekanisme Nyeri

Nyeri berdasarkan mekanismenya melibatkan respon terhadap nyeri tersebut.

Mekanisme timbulnya nyeri melibatkan empat proses yaitu sebagai berikut(58,59) :

1. Transduksi merupakan proses perubahan rangsang nyeri menjadi suatu aktivitas

listrik yang akan diterima ujung-ujung saraf. Proses transduksi dimulai ketika

nosiseptor yaitu reseptor yang berfungsi untuk menerima rangsangan nyeri

teraktivasi. Aktivasi reseptor ini merupakan bentuk respon terhadap stimulus yang

datang seperti kerusakan jaringan.

2. Transmisi adalah proses penyaluran impuls listrik yang dihasilkan oleh proses

transduksi sepanjang jalur nyeri, dimana molekul-molekul di celah sinaptik

mentransmisi informasi dari suatu neuron ke neuron berikutnya.

3. Modulasi adalah proses modifikasi terhadap rangsang. Modifikasi ini dapat terjadi

pada sepanjang titik dari sejak transmisi pertama sampai ke korteks serebri.

4. Persepsi adalah proses terakhir saat stimulasi tersebut telah mencapai korteks

sehingga mencapai tingkat kesadaran, selanjutnya diterjemahkan dan ditindak

lanjuti berupa tanggapan terhadap nyeri tersebut.

II.8. Analgesik
21

Analgetika atau obat penghilang nyeri adalah zat-zat yang mengurangi rasa nyeri

tanpa menghilangkan kesadaran (perbedaan dengan anestetika umum) (56). Analgetika

merupakan senyawa yang pada dosis terapeutik dapat meringankan atau menekan rasa

nyeri, tanpa memiliki kerja anastesi umum. Mekanisme kerja dan efek samping

analgetika berdasarkan potensi kerjanya dibedakan dalam dua kelompok yaitu

analgetika yang berkhasiat kuat dan analgetika yang berkhasiat lemah. Analgetika yang

berkhasiat kuat, bekerja di bagian pusat. Sedangkan analgetika yang bersifat lemah

sampai sedang, bekerja terutama pada perifer dengan sifat antipiretika dan kebanyakan

juga mempunyai sifat antiinflamasi dan antireumatik(60).

II.8.1. Mekanisme Kerja Obat Analgesik


II.8.1.1.  Analgesik Nonopioid/Perifer (Non-Opioid Analgesics)

Obat-obatan dalam kelompok ini memiliki target aksi pada enzim, yaitu enzim

siklooksigenase (COX). COX berperan dalam sintesis mediator nyeri, salah satunya

adalah prostaglandin. Mekanisme umum dari analgetik jenis ini adalah mengeblok

pembentukan prostaglandin dengan jalan menginhibisi enzim COX pada daerah yang

terluka dengan demikian mengurangi pembentukan mediator nyeri. Mekanismenya

tidak berbeda dengan NSAID dan COX-2 inhibitors. Efek samping yang paling umum

dari golongan obat ini adalah gangguan lambung usus, kerusakan darah, kerusakan hati

dan ginjal serta reaksi alergi di kulit. Efek samping biasanya disebabkan oleh

penggunaan dalam jangka waktu lama dan dosis besar(61).

II.9. Parasetamol
22

Parasetamol (asetaminofen) merupakan obat analgetik non narkotik dengan cara

kerja menghambat sintesis prostaglandin terutama di Sistem Syaraf Pusat (SSP).

Parasetamol digunakan secara luas di berbagai negara baik dalam bentuk sediaan

tunggal sebagai analgetik-antipiretik maupun kombinasi dengan obat lain dalam sediaan

obat flu, melalui resep dokter atau yang dijual bebas(62).

Gambar 2. Struktur Parasetamol(60)

Parasetamol mempunyai daya kerja analgetik dan antipiretik sama dengan

asetosal, meskipun secara kimia tidak berkaitan. Tidak seperti Asetosal, Parasetamol

tidak mempunyai daya kerja antiradang, dan tidak menimbulkan iritasi dan pendarahan

lambung. Sebagai obat antipiretika dapat digunakan baik Asetosal, Salsilamid maupun

Parasetamol(62).

Obat ini mampu meringankan atau menghilangkan rasa nyeri, tanpa

mempengaruhi sistem saraf pusat atau menghilangkan kesadaran. Dan tidak

menimbulkan ketagihan (adiktif). Obat anti nyeri parasetamol juga digunakan pada

gangguan demam, infeksi virus atau kuman, pilek dan rematik atau encok walaupun

jarang(56). Dosis Parasetamol untuk dewasa 300mg-1g per kali, maksimum 4g per hari,

untuk anak 150-300 mg/kali, maksimum 1,2g/hari. Parasetamol dosis 140 mg/kg pada

anak-anak dan 6 gram pada orang dewasa berpotensi hepatotoksik. Dosis 4g pada anak-

anak dan 15g pada dewasa dapat menyebabkan hepatotoksitas(62).


23

Efek samping sering terjadi antara lain hipersensitivitas dan kelainan darah.

Penggunaan kronis dari 3-4 gram sehari dapat terjadi kerusakan hati, pada dosis diatas 6

gram mengakibatkan nekrosis hati yang tidak reversibel. Overdose menimbulkan antara

lain mual, muntah dan anorexia. Hanya parasetamol yang dianggap aman bagi wanita

hamil dan menyusui. Efek iritasi, erosi dan pendarahan lambung tidak terlihat, demikian

juga gangguan pernafasan(56).

II.10. Asam Asetat

Gambar 3. Struktur Asam Asetat(36)

Asam asetat merupakan bahan kimia yang sering digunakan sebagai penginduksi

rasa nyeri. Rasa nyeri pada metode geliat akibat induksi asam asetat ditimbulkan oleh

pelepasan asam arakidonat bebas dari jaringan fosfolipid melalui jalur siklooksigenase

dan biosintesis prostaglandin. Peningkatan jumlah prostaglandin dalam rongga

peritoneal kemudian menyebabkan meningkatnya nyeri inflamasi karena peningkatan

permeabilitas kapiler(63).

II.11. Metode Uji Analgesik


II.11.1. Metode Induksi Asam Asetat

Pengujian ini dilakukan densgan menggunakan metode kimia (siegmund test) dan

asam asetat sebagai perangsang terbentuknya prostaglandin dan menimbulkan rasa

nyeri. Metode ini dapat menimbulkan rasa nyeri dengan menggunakan rangsangan,

dimana variasi konsentrasi dari ekstrak tumbuhan diberikan secara oral pada 3

kelompok perlakuan yang berbeda-beda. Obat yang menjadi referensi adalah


24

parasetamol yang diberikan secara oral sebagai kontrol positif . Setelah 30 menit,

larutan asetat diinjeksikan secara intraperitoneal. Respon nyeri dievaluasi 15 menit

setelah injeksi asam asetat dengan menghitung kontraksi perut atau geliat(59,64).

II.11.2. Metode Geliat

Metode ini menggunakan zat kimia sebagai induksi nyeri. Hewan percobaan

diberi asam asetat secara intraperitonial. Manifestasi nyeri akibat pemberian perangsang

nyeri asam asetat intraperitonial akan menimbulkan refleks respon geliat (writhing)

yang berupa tarikan kaki ke belakang, penarikan kembali abdomen (retraksi) dan kejang

tetani dengan membengkokkan kepala dan kaki belakang. Metode ini dikenal sebagai

Writhing Reflex Test atau Abdominal Constriction Test. Frekuensi gerakan ini dalam

waktu tertentu menyatakan derajat nyeri yang dirasakannya. Metode ini tidak hanya

sederhana dan dapat dipercaya tetapi juga memberikan evaluasi yang cepat terhadap

jenis analgesik perifer. Rasa nyeri pada hewan uji dilihat dalam bentuk respon gerakan

geliat yaitu kedua pasang kaki ke depan dan kebelakang serta perut menekan lantai,

yang mucul dalam waktu maksimal lima menit setelah diinduksi(65).


25

II.12. Landasan Teori

Daun Bambu merupakan tumbuhan yang tumbuh liar dan yang diketahui

mempunyai khasiat secara empiris untuk mengobati rasa nyeri. Berdasarkan publikasi

yang mengungkapkan tentang penggunaan daun bambu dalam dunia pengobatan masih

sedikit bila dibandingkan dengan jenis tumbuhan lainnya dan kandungan senyawa kimia

yang terdapat di daun bambu berpotensi sebagai obat(66). Berdasarkan kemotaksonomi

bahwa suatu kelompok tumbuhan yang terbatas terutama mengenai kandungan

metabolit sekundernya. Tumbuh-tumbuhan dari takson yang sama memiliki hubungan

kekerabatan yang sangat erat itu memungkinkan adanya persamaan zat-zat yang

terkandung dalam tumbuhan(12).

Daun bambu tali (Gigantochloa apus) telah digunakan sebagai pakan ternak

namun dalam penggunaannya dilapangan, telah ditemui kasus dimana hewan ternak

bunting yang mengkonsumsi daun bambu tali ternyata mengalami keguguran atau

teratogenik(67). Senyawa aktif bersifat teratogenik diantaranya tanin, saponin,

triterpenoid, alkaloid dan flavonoid(67). Kandungan fitokimia daun bambu diantaranya

fenol 1,56%, fenol merupakan senyawa kimia yang sangat tinggi toksisitasnya (68).

Aktivitas golongan senyawa triterpenoid sangat luas, namun golongan senyawa tersebut

juga dapat bersifat toksik(69).

Daun bambu tali (Gigantochoa apus) diketahui mengandung flavonoid, Flavanoid

bekerja sebagai analgesik menghambat enzim siklooksigenase dengan cara mengurangi

produksi prostaglandin oleh asam arakidonat sehingga daun bambu Tali (Gigantochoa

apus) juga sering digunakan masyarakat sebagai obat nyeri salah satunya sebagai obat

asam urat(11,66). Berdasarkan hasil penelitian yang pernah dilakukan dapat disimpulkan
26

ekstrak daun bambu tali (Gigantochloa apus) berpengaruh terhadap penurunan kadar

asam urat darah mencit jantan, dosis ekstrak yang paling berpengaruh kadar asam urat

mencit adalah dosis 195 mg/kgbb(11). Menurut Kainsa dan Bhoria bahwa ekstrak

metanol daun bambu (Bambusa vulgaris) berpengaruh terhadap uji antiinflmasi dengan

dosis 100, 200 dan 400 mg/kgbb pada tikus(71).

Menurut Sri Rahayu, Kandungan tanin dalam ekstrak daun bambu kuning

dengan ekstrak metanol yaitu 71.15% dan mengandung total senyawa fenol sebesar

1.56%(72). Berdasarkan hasil yang pernah dilakukan Novitasari dan Coffie telah berhasil

diisolasi dari tumbuhan genus Bambusa diantaranya mengandung senyawa triterpenoid,

tannin, saponin, alkaloid dan flavonoid(11,12). Berdasarkan golongan senyawa metabolit

sekunder yang diketahui bahwa senyawa senyawa tersebut memiliki potensi untuk

dimanfaatkan sebagai analgesik, antiinflamasi dan antipiretik (13,14). Kandungan senyawa

senyawa seperti flavonoid, triterpenoid dan minyak atsiri dapat digunakan sebagai

analgesik(25). Terpenoid merupakan senyawa kimia yang memiliki efek farmakologis

dan efek toksik(26). Selain itu daun bambu juga memiliki potensi untuk dimanfaatkan

sebagai bioherbisida karena mengandung senyawa yang bersifat alelopat seperti

flavanoid dan tanin(27).

Penelitian tentang daun bambu yang berbeda spesies telah banyak dilakukan,

namun daun bambu dengan spesies Bambusa vulgaris yang dikonsumsi oleh

masyarakat Dusun Sekajang, Desa Suruh Tembawang, Kecamatan Entikong, Kabupaten

Sanggau Provinsi Kalimantan Barat belum pernah diteliti. Hal ini memunculkan

gagasan perlu dilakukan penelitian ini untuk mengetahui efektifitas keamanan pada uji
27

toksisitas akut dan dilanjutkan uji analgesik dengan hewan uji untuk mengetahui dosis

yang efektif.

II.13. Kerangka Konsep Penelitian

Studi Etnofarmakologi tumbuhan


berkhasiat sebagai obat pada
masyarakat di dusun Sekajang
provinsi Kalimantan Barat

Secara empiris, tumbuhan daun bambu


(Bambusa vulgaris) digunakan sebagai
obat nyeri

Ektrak etanol tumbuhan daun


bambu (Bambusa vulgaris)
a. Nilai LD50
b. Perilaku
Uji Toksisitas Akut c. Psikomotor
d. Berat badan hewan uji

Uji Aktivitas Analgesik Dosis efektif ektsrak etanol


daun bambu (Bambusa
vulgaris) sebagai analgesik

Gambar 4. Kerangka Konsep Penelitian

II.14. Hipotesis Penelitian

Hipotesis dari penelitian ini adalah jika Ho ditolak dan H1 diterima maka

penggunaan daun bambu (Bambusa vulgaris) secara empiris pada masyarakat etnis

Dayak di Dusun Sekajang terbukti aman dan berkhasiat sebagai analgesik pada hewan

uji dan jika H0 diterima dan H1 ditolak maka penggunaan daun bambu (Bambusa

vulgaris) secara empiris pada masyarakat Etnis Dayak di Dusun Sekajang tidak terbukti

aman dan tidak berkhasiat sebagai analgesik pada hewan uji.


28

BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah Studi Etnofarmakologi secara

deskriptif dengan cara menganalisis data dan penelitian eksperimental sungguhan (True

Experimental) dengan menggunakan hewan uji.

III.1. Alat dan Bahan


III.1.1. Alat
Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah beaker (Pyrex®), blender,

timbangan analitik (Ohauss®), ayakan 40 mesh, bejana maserasi, timbangan hewan,

batang pengaduk kaca, tabung reaksi (Pyrex®), rak tabung, labu ukur (Pyrex®), gelas

ukur (Pyrex®), penangas air (Memmert®), kain putih, kertas saring, gunting, penjepit

tabung, pipet tetes, cawan penguap, rotary evaporator, oven (Memmert®), Sonde oral,

corong kaca, chamber, lampu UV 365 nm, pipet tetes, sudip, jarum suntik dan peralatan

bedah.

III.1.2. Bahan

Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah simplisia daun bambu

(Bambusa vulgaris), pelarut ekstraksi yaitu etanol 96%, CMC-Na, reagen skrining

fitokimia (Wagner dan Dragendorff) untuk alkaloid, HCl dan Mg untuk flavonoid,

Lieberman-Burchad untuk triterpenoid atau steroid, FeCl3 untuk polifenol atau fenol

dan gelatin untuk tannin), plat KLT, Silika gel GF254, pakan hewan uji dan akuades.

III.1.3. Hewan Uji


29

Penelitian ini menggunakan hewan uji berupa tikus putih galur Wistar dan mencit

galur Swiss dengan menggunakan sampel hewan uji berupa tikus betina dan mencit

jantan yang sehat. Sampel diperoleh secara random menggunakan tabel acak dan

memenuhi kriteria inklusi yaitu tikus betina galur Wistar yang berumur 2-3 bulan

dengan berat 150-200 gram dan mencit jantan galur Swiss usia 2-3 bulan dengan berat

15-25 gram, aktif dan tidak cacat. Sedangkan kriteria eksklusi adalah tikus

menunjukkan kelainan secara fisiologis meliputi detak jantung dan frekuensi nafas tidak

normal atau penurunan berat badan yang dratis selama adaptasi dan hamil. Kondisi

ruangan tempat percobaan dijaga setiap hari, suhu ruangan, dengan kelembaban ruangan

berada pada rentang 40-70%(40). Sebelum perlakuan hewan diaklimatisasi, hewan uji

dipelihara dengan baik didalam kandang yang terpisah. Setelah proses aklimitisasi,

dilakukan perlakuan hewan uji di sekitar lingkungan laboratorium.

III.2. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di Laboratorium Prodi Farmasi Fakultas Kedokteran Universitas

Tanjungpura Pontianak Kalimantan Barat pada bulan November 2016-Januari 2017.

III.3. Cara Penelitian


III.3.1. Rancangan Penelitian

Rancangan penelitian ini adalah studi etnofarmakologi menggunakan metode

deskriptif dengan teknik menganalisis data dari hasil wawancara yang dilakukan oleh

tim Riset Tanaman Obat dan Jamu (Ristoja) tahun 2015. Sebagai narasumber atau

informan seperti para dukun kampung (Battra), pemimpin adat dan masyarakat

pengguna jenis-jenis tumbuhan sebagai bahan obat tradisional yang terletak di dusun

Sekajang, desa Suruh Tembawang, Kecamatan Entikong, Kabupaten Sanggau Provinsi

Kalimantan Barat.
30

Tahapan penelitian berikutnya yaitu rancangan penelitian uji toksisitas akut

menggunakan tikus betina galur Wistar dan aktivitas analgesik menggunakan mencit

jantan galur Swiss dengan metode eksperimental sungguhan (true experimental).

Tahapan penelitian ini yaitu pengambilan sampel, determinasi sampel, pengumpulan

dan pengolahan sampel menjadi simplisia, ekstrak simplisia, pemekatan simplisia

menjadi ekstrak, skrining fitokimia, analisis kromatografi lapis tipis (KLT), pengujian

karateristik ekstrak meliputi pengamatan identitas ekstrak, organoleptik, penentuan

susut pengeringan, penetapan bobot jenis, penetapan kadar sari larut air, penetapan

kadar sari larut etanol, pengujian uji toksisitas menggunakan metode OECD

(Organization for Economic Co-operation and Development) 425 AOT (Acute Oral

Toxicity) dan dilanjutkan dengan pengujian aktivitas analgesik menggunakan Statistical

Program SPSS (Statistical Product and Service Solutions).

Uji toksisitas akut dilakukan untuk menentukan nilai LD50 yaitu gejala toksik,

perilaku, psikomotorik dan perubahan berat badan. Sedangkan pengujian analgesik

menggunakan asam asetat yang diberikan secara intraperitonial untuk menginduksi

nyeri pada hewan uji. Hewan uji dibagi menjadi ke dalam 5 kelompok dengan kontrol

negatif menggunakan CMC-Na, kontrol positif dengan obat pembanding berupa

parasetamol 65mg/kgbb dan kelompok uji ekstrak daun bambu (Bambusa vulgaris)

dengan 3 dosis yang berbeda yaitu dosis I (300 mg/kgbb), dosis II (600 mg/kgbb), dosis

III (1200 mg/kgbb).


31

Gambar 5. Skema Rancangan Penelitian Uji Toksisitas Akut

Persiapan Hewan uji Diaklimitisasi


25 Ekor Mencit (Diberi makan dan minum)

Timbang berat badan hewan uji

Dikelompokkan hewan uji secara acak


Kelompok1 Kelompok2 Kelompok35 mencit Kelompok4 Kelompok5
5 mencit 5 mencit 5 mencit 5 mencit

32
Diberi tanda penomoran pada tubuh mencit

Diberikan
Diberikan secara secaraCMC-Na
oral suspensi oral suspensi parasetamol Kelompok I, II dan II
Dosis 300 mg/kgbb,
600 mg/kgbb dan 1200 mg/kgbb ekstrak etanol daun bambu (Bambusa vulgaris)

Diinduksi pada masing-masing kelompok dengan asam asetat 0,6% secara intraperitoneal

Dihitung jumlah geliat yang ditunjukkan mencit dalam tiap 5 menit selama 60 menit diamati dan dicatat

Analisis Data

Gambar 6. Skema Rancangan Penelitian Uji Aktivitas Analgesik

III.4.1. Metode Penelitian


III.4.1.1. Pengumpulan Sampel
33

Sampel yang digunakan yaitu daun bambu (Bambusa vulgaris). Pengambilan

sampel daun bambu dilakukan secara acak di Dusun Sekajang, Desa Suruh Tembawang,

Kecamatan Entikong, Kabupaten Sanggau, Provinsi Kalimantan Barat.

III.4.1.2. Determinasi Tumbuhan

Sampel yang telah dikumpul kemudian dideterminasi di Laboratorium Biologi

Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) Universitas Tanjungpura

Pontianak Kalimantan Barat. Determinasi bertujuan untuk menentukan keaslian dari

tumbuhan yang digunakan.

III.4.1.3. Pengolahan Sampel

Pengolahan bahan dilakukan dengan memisahkan daun dari tangkai lalu dibersihkan dari

sisa-sisa kotoran kemudian dicuci dengan air yang bersih dan mengalir. Bagian tumbuhan yang

diambil adalah daun bambu (Bambusa vulgaris) sebelumnya daun dirajang tipis kemudian

ditiriskan. Selanjutnya daun bambu (Bambusa vulgaris) yang telah dirajang kemudian

dikeringkan di suhu kamar kurang lebih antara 20-25°C  hingga 3-4 hari, kemudian simplisia

kering dibuat serbuk kasar ukuran 40 mesh dengan blender, kemudian disimpan dalam wadah

tertutup. Simplisia serbuk daun kering akan digunakan untuk membuat ekstrak (29).

III.4.1.4. Ekstraksi Daun Bambu (Bambusa vulgaris)

Simplisia daun bambu (Bambusa vulgaris) yang telah dihaluskan kemudian

ditimbang beratnya dan dimasukkan ke dalam bejana maserasi. Kemudian diekstraksi

menggunakan metode maserasi dan menggunakan pelarut etanol 96%, pelarut diganti

tiap 24 jam. Hasil maserasi kemudian disaring dan ditampung dalam wadah kaca dan

kemudian dipekatkan dengan menggunakan rotary evaporator sehingga diperoleh

ekstrak kental.

III.4.1.5. Pemeriksaan Karakteristik Ekstrak


34

III.4.1.5.1. Parameter Spesifik


a.Parameter Identitas Ekstrak

Identitas ekstrak yang dicatat meliputi nama ekstrak, nama latin tumbuhan, bagian

tumbuhan yang digunakan dan nama Indonesia tumbuhan(29).

b.Organoleptik

Penetapan organoleptik yaitu dengan pengenalan secara fisik dengan

menggunakan panca indera. Parameter yang diamati pada uji organoleptik yaitu,

pertama uji visualisasi meliputi warna, kekeruhan, bening dan kejernihan sampel.

Kedua uji aroma meliputi harum, wangi, busuk dan asam. Ketiga, uji rasa meliputi

manis, asam, asin, pahit, pedas, kelat dan gurih dan keempat uji tekstur meliputi

lengket, kasar, halus dan licin(28).

c. Penetapan Kadar Sari Larut Dalam Air

Maserasi sejumlah 5,0 gram ekstrak selama 24 jam dengan 100 ml air kloroform

menggunakan labu bersumbat sambil berkali-kali dikocok selama 6 jam pertama dan

kemudian dibiarkan selama 18 jam. Saring, uapkan 20 ml filtrat hingga kering dalam

cawan dangkal berdasar rata yang telah ditara, panaskan residu pada suhu 105oC hingga

bobot tetap. Hitung kadar dalam persen senyawa yang larut dalam air, dihitung terhadap

ekstrak awal(28).

d. Penetapan Kadar Sari Larut Dalam Etanol

Maserasi sejumlah 5,0 gram ekstrak selama 24 jam dengan 100 ml etanol (95%),

menggunakan labu bersumbat sambil berkali-kali dikocok selama 6 jam pertama dan

kemudian dibiarkan selama 18 jam. Saring cepat dengan menghindarkan penguapan

etanol, kemudian uapkan 20 ml filtrat hingga kering dalam cawan dangkal berdasarkan

rata yang telah ditara, panaskan residu pada suhu 105oC hingga bobot tetap. Hitung
35

kadar dalam persen senyawa yang larut dalam etanol (95%), dihitung terhadap ekstrak

awal(28).

III.4.1.5.2 Parameter Non Spesifik


a. Susut Pengeringan

Susut pengeringan adalah kadar bagian yang menguap suatu zat. Kecuali

dinyatakan lain, suhu penetapan adalah 105°C dan susut pengeringan ditetapkan sebagai

berikut: timbang saksama 1-2 g zat dalam botol timbang dangkal tertutup yang

sebelumnya telah dipanaskan pada suhu penetapan selama 30 menit dan telah ditara.

Jika zat berupa hablur besar, sebelum ditimbang digerus dengan cepat hingga ukuran

butiran lebih kurang 2 mm. Ratakan zat dalam botol timbang dengan menggoyangkan

botol hingga merupakan lapisan setebal lebih kurang 5-10 mm, masukkan dalam ruang

pengering, buka tutupnya, keringkan pada suhu penetapan hingga bobot tetap (73).

Sebelum pengeringan, biarkan bobot dalam keadaan tertutup mendingin dalam

deksikator dalam suhu kamar, kemudian suhu penetapan selama waktu yang ditentukan

atau hingga bobot tetap(74).

b. Penetapan Bobot Jenis

Parameter bobot jenis ekstrak merupakan parameter yang mengindikasikan

spesifikasi ekstrak uji. Parameter ini penting, karena bobot jenis ekstrak tergantung pada

jumlah serta jenis komponen atau zat yang larut didalamnya. Ditimbang piknometer

yang bersih dan kering. Kemudian dikalibrasi dengan menetapkan bobot piknometer

dan bobot akuasdest kemudian ditimbang (W1). Ekstrak cair sampel lalu dimasukkan ke

dalam piknometer kosong, kemudian ditimbang bobot piknometer dan ekstrak(W2)(35).


36

III.4.1.5.3. Skrining Fitokimia


III.4.1.5.3.1. Uji Tabung
a. Pemeriksaan Alkaloid

Ekstrak cair 0,5 gram dilarutkan dengan larutan kloroform beramonia di dalam

tabung reaksi, dikocok lalu disaring. Selanjutnya kedalam filtrat ditambahkan 0,5-1 mL

asam sulfat 2 N dan dikocok sampai terbentuk dua lapisan. Lapisan asam (atas) dipipet

dan dimasukkan ke dalam dua buah tabung reaksi. Kedalam tabung reaksi pertama

ditambahkan dua tetes pereaksi Meyer, ke dalam tabung reaksi kedua ditambahkan dua

tetes pereaksi Dragendrorf dan kedalam tabung reaksi ketiga ditambahkan dua tetes

pereaksi Wagner. Adanya senyawa alkaloid ditandai dengan terbentuknya endapan

putih pada tabung reaksi pertama, timbulnya endapan berwarna jingga pada tabung

reaksi kedua dan timbulnya endapan berwarna coklat pada tabung reaksi ketiga(22).

b. Pemeriksaan Fenol

Ekstrak cair 0,5 gram dilarutkan didalam aquades kemudian ditambahkan FeCl3

1%. Diamati perubahan warna yang terjadi. Hasil positif menunjukkan perubahan warna

hijau atau biru kehitaman atau hitam kuat menunjukkan adanya fenolat(75) (87).

c. Pemeriksaan Tanin

Ekstrak cair 0,5 gram ditambah gelatin 1 %, diamati pembentukkan endapan putih dan

dan ekstrak 0,5 gram direaksikan dengan larutan besi (III) klorida 10% jika terjadi warna biru

tua, biru kehitaman atau hitam kehijauan adanya senyawa tanin (76).

d. Pemeriksaan Flavonoid

Larutan ekstrak cair sebanyak 0,5 gram ditambah dengan sedikit serbuk

magnesium sebanyak 1 gram dan larutan HCl pekat. Perubahan warna larutan menjadi
37

warna merah, orange dan hijau tergantung pada struktur flavanoid yang terkandung

dalam sampel tersebut(22).

e. Pemeriksaan Saponin

Ekstrak 0,5 gram dimasukkan dalam tabung reaksi, tambahkan 10 ml air panas,

dinginkan dan kocok kuat-kuat selama 10 detik, terbentuk buih selama tidak kurang dari

10 menit, Pada penambahan 1 tetes HCL 2 N, buih tidak hilang(74).

f. Pemeriksaan Steroid dan Triterpenoid

Ekstrak cair sebanyak 0,5 g diekstraksi dengan pelarut kloroform atau n-heksan

(pelarut non polar), kemudian disaring Filtrat yang diperoleh ditambahkan 1 ml

(CH3COOH glasial dan 1 ml larutan H2SO4 pekat). Jika warna berubah menjadi biru

atau ungu menandakan adanya kelompok senyawa steroid. Jika warna berubah menjadi

coklat kemerahan menunjukkan adanya senyawa triterpenoid(28).

II.4.1.5.3.2. Kromatografi Lapis Tipis (KLT)

Lempeng KLT atau fase diam terlebih dahulu diaktifkan dengan oven pada suhu

1050C selama 10 menit sebelum dilakukan penotolan sampel. Kemudian Ekstrak kental

daun bambu di totolkan pada lempeng KLT, yaitu silika gel GF 254 pada jarak 1 cm

dengan garis batas bawah. Penotolan dilakukan 2-3 kali totolan dan dibiarkan sampai

kering(78). Lempeng silika gel GF254 yang telah di totoli dengan ekstrak kemudian dielusi

dalam chamber pengelusi KLT menggunakan fase gerak yang dapat memisahkan

golongan senyawa kimia tersebut. Jarak elusi 5 cm, setelah dikembangkan sampai batas

pengembangan sampai kering, elusi dihentikan, lalu lempeng diambil dan diangin-

anginkan(22). Selanjutnya pemeriksaan terhadap noda yang terbentuk pada permukaan

lempeng KLT silika gel GF254 dibawah sinar UV pada panjang gelombang 254 nm dan
38

366 nm. Selanjutnta plat disemprot dengan penampak bercak H2SO4 10% dalam

metanol..

III.5.1. Penentuan Uji


III.5.1.1. Penentuan Uji Toksisitas

Uji toksisitas akut dilakukan berdasarkan pedoman OECD 425: Acute Oral Toxicity Up

and Down Procedure(48).

a. Main Test

Uji utama (main test) dilakukan dengan memperhatikan tingkat dosis dimana terjadi

kematian pada uji pendahuluan. Satu hewan uji diberi dosis. Apabila setelah pengamatan 4 jam

hewan tersebut tidak menunjukkan mortalitas, maka dosis untuk hewan berikutnya meningkat

dengan faktor kenaikan 3,2 kali dosis awal. Jika mati, dosis untuk hewan berikutnya menurun

perkembangan dosis yang sama pada satu hewan uji lagi. Setiap hewan harus diamati dengan

hati-hati hingga 48 jam sebelum membuat keputusan berapa banyak dosis hewan yang

digunakan selanjutnya. Apabila hewan uji diberikan dosis dan tidak ada mortalitas, pemberian

dosis dihentikan dan semua hewan uji diamati selama 14 hari (53).

b. Limit Test

Limit test 5000 bertujuan untuk melihat apakah LD 50 sampel berada pada rentang 2000–

5000mg/kgbb atau berada pada rentang diatas 5000 mg/kgbb. Prosedur pengujian yang

dilakukan sama dengan limit test 2000. Hanya saja pada limit test 5000 apabila terdapat tiga

hewan uji tidak menunjukkan mortalitas, maka pemberian dosis dihentikan dan LD 50 berada

diatas 5000 mg/kgbb. Apabila terdapat tiga hewan uji menunjukkan mortalitas, maka dilakukan

main test dengan dosis tertinggi 5000 mg/kgbb(53).

III.5.1.2. Penentuan LD50


39

Nilai LD50 ditentukan dengan menghitung jumlah tikus yang mati dan hidup tiap

pengujian pada maksimal 48 jam setelah perlakuan. Jumlah tikus yang digunakan

sebanyak 1 ekor. Tahapan dari pengujian toksisitas akut oral adalah(50) :

1. Tikus diaklimitisasi beberapa hari dengan memberi makan dan minum, kemudian

bobot tikus ditimbang sebelum dan sesudah diberikan perlakuan.

2. Tikus diberi dosis secara bertahap dalam selang waktu 24 jam. Pemberian pakan 3-4

jam setelah perlakuan. Perlakuan pada tikus selanjutnya menunggu setelah tikus

sebelumnya dipastikan hidup/mati (48 jam).

3. Pengujian pertama, tikus pertama diberikan limit dosis yaitu 2000mg/kgbb ektrak

daun bambu (48 jam). Jika hewan pertama hidup, maka 4 ekor hewan uji diberikan

dosis yang sama. Jika 3 atau lebih mati maka dilanjutkan pada dosis main test. Jika

3 atau lebih hidup dilanjutkan pengamatan hingga 14 hari. Jika seekor hewan tiba-

tiba mati diakhir percobaan dan ada yang bertahan hidup maka pemberian dosis

dihentikan dan mengamati semua hewan uji apakah mati/hidup.

4. Kemudian dievaluasi, apabila jumlah hewan yang mati 3-4 ekor maka dilakukan

main test, apabila jumlah yang mati kurang dari 3 ekor nilai LD 50 >2000 mg/kgbb.

Seluruh dosis dan respon hewan uji dimasukkan kedalam software AOT425StatPgm

untuk menentukan estimasi nilai LD50(50).

III.5.1.3. Pengamatan Hewan Uji


40

Sebelum hewan uji diberikan dosis ekstrak, terlebh dahulu dilakukan uji perilaku pada

hewan uji untuk melihat perbandingan perubahan perilaku yang muncul antara sebelum dan

sesudah pemberian dosis. Setelah diberikan dosis uji, dilakukan pengamatan uji perilaku

terhadap hewan uji mulai dari jam ke 0, 0,5, 1, 2, 24 jam. Apabila hewan tidak menunjukkan

mortalitas, maka pengamatan dilakukan selama 14 hari. Perhatian khusus diberikan apabila

terdapat tremor, kejang, saliva, diare, lemah, tidur dan koma (50).

III.5.1.4. Penentuan Uji Analgesik

Penentuan dosis uji analgetik, terbagi menjadi kelompok kontrol negatif, kontrol positif

dengan obat pembanding parasetamol, kelompok uji tumbuhan daun bambu (Bambusa vulgaris)

yang memiliki aktifitas analgetik dengan 3 dosis yang berbeda menggunakan mencit galur

Swiss jantan. Metode yang digunakan yaitu metode induksi kimia secara intraperitonial dengan

parameter dalam bentuk respon berupa jumlah geliat hewan uji. Senyawa penginduksi rasa nyeri

yang digunakan yaitu asam asetat. Frekuensi gerakan ini dalam waktu tertentu menyatakan

derajat nyeri yang dirasakan. Aktivitas analgesik sampel uji kemudian dibandingkan dengan

kelompok dosis.

III.5.1.5. Pembuatan Suspensi CMC-Na

CMC-Na ditimbang, kemudian ditaburkan diatas air korpus (akuades panas),

dibiarkan hingga mengembang. Setelah mengembang diaduk hingga homogen jika sulit

larut perlu dilakukan pemanasan, CMC-Na sebagai larutan pembawa.

III.5.1.6. Pembuatan Suspensi Parasetamol Dosis 500 mg

500 mg parasetamol dikalikan dengan faktor konversi mencit yaitu 0,0026

sehingga diperoleh 65 mg/kgbb, parasetamol sebagai obat pembanding.

III.5.1.7. Pembuatan Suspensi Ekstrak Etanol Daun Bambu (Bambusa vulgaris)

Ditimbang 3 dosis yang berbeda pada ekstrak etanol daun Bambu (Bambusa

vulgaris). Masing-masing digerus dengan penambahan suspensi CMC-Na sampai


41

homogen, dimasukkan ke dalam labu ukur 100 ml, dicukupkan sampai garis tanda

dengan suspensi CMC(73).

III.5.1.8. Prosedur Uji Analgetik Induksi Asam Asetat

Mencit sebanyak 25 ekor dipuasakan, minum tetap diberikan sebelum dilakukan

pengujian. Mencit ini kemudian dibagi menjadi 5 kelompok sebagai berikut:

1) Kelompok kontrol negatif : diberi pembawa (CMC Na 0,5%) secara oral.

2) Kelompok kontrol positif : diberi obat pembanding (parasetamol) secara oral.

3) Kelompok dosis 1 : pemberian ekstrak etanol daun bambu dosis 300 mg/kgbb

4) Kelompok dosis 2 : pemberian ekstrak etanol daun bambu dosis 600 mg/kgbb

5) Kelompok dosis 3 : pemberian ekstrak etanol daun bambu 1200 mg/kgbb

Setelah 15 menit kemudian pemberian sediaan secara oral pada kelompok uji

maupun kontrol, disuntikkan secara intraperitoneal asam asetat pada mencit dan diamati

dengan masing-masing. Beberapa menit kemudian mencit akan menggeliat. Pengamatan

dimulai setelah pemberian induksi asam asetat. Jumlah geliat yang ditunjukkan mencit

dalam tiap 5 menit selama 60 menit diamati dan dicatat(79).

III.6. Analisis Data


III.6.1. Uji Toksisitas
Seluruh dosis dan respon hewan uji dimasukkan kedalam software AOT425 StatPgm

untuk menentukan estimasi nilai LD50(50).


42

III.6.2. Uji Analgesik

Data yang diperoleh dianalisis menggunakan program SPSS dengan uji analisis

One-Way ANOVA dengan taraf kepercayaan 95%(81). Persentase proteksi diperoleh

dengan membandingkan rata-rata jumlah geliat kelompok bahan uji terhadap induksi

asam asetat dengan rumus(82):

rata−rata jumlah geliat (kelompok kontrolnegatif −kelompok bahan uji)


% Proteksi= x 100 %
rata−rata jumlah geliat kelompok kontrol negatif

BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui khasiat tanaman obat dengan menggunakan

daun bambu (Bambusa vulgaris) secara empiris pada masyarakat di Dusun Sekajang, Desa
43

Suruh Tembawang, Kecamatan Entikong, Kabupaten Sanggau, Provinsi Kalimantan Barat yang

berkhasiat sebagai analgesik. Sebelum dilakukan uji aktifitas analgesik perlu dilakukan uji

toksisitas akut dari ekstrak etanol daun bambu (Bambusa vulgaris) untuk mengetahui tingkat

keamanan dan selanjutnya dilakukan uji efektivitas analgesik terhadap hewan uji. Adapun

langkah-langkah yang dilakukan dalam penelitian ini yaitu Studi etnofarmakologi, determinasi

tanaman, pembuatan ekstrak, skrining fitokimia, pemisahan senyawa secara KLT, pengujian

susut pengeringan, penetapan kadar sari larut etanol, penetapan kadar sari larut air, penentuan

bobot jenis, pengujian toksisitas akut dengan metode OECD 425 dan pengujian efektivitas

analgesik dengan metode geliat yang diinduksi asam asetat.

IV.1. Studi Etnofarmakologi

Rancangan penelitian ini merupakan studi etnofarmakologi yang menggunakan

metode deskriptif dengan teknik menganalisisdata berupa hasil dari wawancara pada

masyarakat yang ada di dusun Sekajang, desa Suruh Tembawang, Kecamatan Entikong,

Kabupaten Sanggau, Provinsi Kalimantan Barat. Terdapat 10 dusun di Desa Suruh

Tembawang diantaranya, Dusun Suruh Tembawang, Dusun Pool, Dusun Gun Jemak,

Dusun Badat lama, Dusun Sekajang, Dusun Senutul, Dusun Badat Baru, Dusun Gun

Tembawang, Dusun Kebak Raya dan Dusun Gita Raya. Jarak dari Desa Suruh

Tembawang dengan ibu Kota Kecamatan sejauh 42 Km, dengan Ibu Kota Kabupaten

sejauh 187 Km dan dengan Ibu Kota Provinsi sejauh 359 Km(18).

Etnis utama di wilayah provinsi Kalimantan Barat adalah Etnis Dayak, Melayu

dan Tionghoa dalam Ristoja 2015 dipilih sub Etnis Dayak berdasarkan sejarah

pengobatan yang kuat dan memiliki sumber daya alam (tanaman obat) yang melimpah.

Karateristik Etnis di wilayah dusun Sekajang, berdasarkan hasil dari wawancara tim

Ristoja 2015 pada kepala dusun dan beberapa tetua adat, diketahui bahwa masyarakat
44

dusun Sekajang merupakan masyarakat yang berasal dari migrasi Dayak yang ada di

Malasyia. Hal ini mengakibatkan secara bahasa dan adat istiadat yang berlaku di khusus

pada dusun Sekajang berbeda dengan wilayah masyarakat adat didaerah sekitarnya.

Kelompok masyarakat adat yang berada di dusun Sekajang menamakan diri mereka

Dayak Sungkung(83). Berdasarkan dari hasil yang diperoleh dilakukan oleh tim Ristoja

tahun 2016, narasumber yang diwawancarai seperti para dukun kampung (Battra),

pemimpin adat dan masyarakat pengguna jenis-jenis tumbuhan sebagai bahan obat

tradisional. Nama battra didusun Sekajang dan wilayah kecamatan Battra dapat dilihat

pada Lampiran 1 Halaman 93.

Informan dalam penelitian ini adalah orang yang mempunyai pengetahuan dan

keahlian dalam penyembuhan dan mengobati penyakit dengan menggunakan tanaman

obat dalam ramuannya. Battra yang dipilih sebagi informan adalah battra yang

memenuhi kriteria, seperti battra yang paling terkenal, paling ampuh (pasien yang

banyak sembuh), jumlah pasien yang paling banyak. Pemilihan pengobatan ramuan

sesuai dengan penggunaan pengobatan yang meliputi beberapa ramuan daun dan

komposisi kegunaannya.

Nama Tempat Tinggal Umur Jenis Jumlah Jumlah Pendidikan


Battra (Thn) Kelamin Ramuan pasien
/bulan
1. Kema Kecamatan: Suruh 54 Laki-laki 4 < 5 orang Tidak Tamat
Tembawang, Pala SD
Pasang dan Entikong
Kabupaten : Sanggau
2. Simin Kecamatan: Suruh 45 Laki-laki 1 5 orang Tidak Tamat
Tembawang, Pala SD
Pasang dan Entikong
Kabupaten : Sanggau
3. Aminus Kecamatan: Suruh 58 Laki-laki 4 10 orang Tidak tamat
Tembawang, SD
Kabupaten : Sanggau
4. Main Kecamatan: Suruh 50 Perempuan 2 3 orang Tidak
Tembawang, Sekolah
Kabupaten : Sanggau
45

5. Thomas Kecamatan: Suruh 42 Laki-laki 8 5 orang SD


Rojoi Tembawang,
Kabupaten : Sanggau
Tabel 2. Data Biografi Battra di Dusun Sekajang

Informan memiliki kemampuan untuk mengobati berbagai macam penyakit

dengan jumlah ramuan. Jumlah ramuan yang dimiliki adalah 5 informan sebanyak 19

ramuan, dimana pada informan (Battra) nomor 5 memiliki jumlah ramuan yang relatif

lebih banyak dibanding battra lainnya yaitu sejumlah 8 ramuan, beliau merupakan battra

yang ramuan tersebut berkaitan dengan penyakit ringan. Sedangkan pada informan

(Battra) nomor 1 dan 3 memiliki jumlah ramuan sebanyak 4. Informan (Battra) nomor 1

itu sendiri merupakan battra spesialis yang hanya mengobati sakit yang berkaitan

dengan patah tulang dan urut bagi pasien, informan (Battra) nomor 1 merupakan battra

spesialis tumor dan Informan (Battra) nomor 4 merupakan battra spesialis dukun

beranak(83). Jumlah ramuan yang digunakan dalam pengobatan oleh informan dapat

dilihat pada Lampiran 2 Halaman 93.

Karateristik informan di Dusun Sekajang, berusia berkisar 40-60 tahun sehingga

perlu dipikirkan generasi berikutnya supaya kearifan yang dimiliki tidak hilang

bersamaan dengan meninggalnya battra yang usianya relatif sudah tua, sehingga hasil

dari Ristoja tersebut dapat mendokumentasikan agar dijadikan acuan dalam

memperkaya tanaman sebagai pengobatan tradisional diIndonesia(83). Sebanyak 60%

battra tidak tamat SD (sekolah dasar) hal ini diakibatkan karena pada saat mereka usia

sekolah tidak tersedia fasilitas pendidikan formal atau adanya kesulitan dalam

menjangkau tempat pendidikan dasar dan faktor ekonomi. Karakteristik Informan atau

usia battra dapat dilihat pada Lampiran 3 halaman 93.


46

Para battra telah menguasai keterampilan pengobatan tradisional dan diakui oleh

pasien. Pasien menganggap battra yang berusia lanjut lebih berpengalaman dalam

praktik pengobatan dan tempat tinggal battra hampir semua tinggal didesa dan

menguatkan dugaan bahwa untuk daerah yang akses terhadap fasilitas kesehatan relatif

sulit maka masyarakat berupaya memanfaatkan kearifan lokal yang ada untuk mengatasi

masalah kesehatan bagi dirinya(84).

Tabel 3. Daftar tanaman endemik di Dusun Sekajang yang secara empiris di


gunakan sebagai Obat Nyeri
No. Nama Lokal Nama Ilmiah Famili Bagian yang
digunakan
1. Bambu Bambusa vulgaris Poaceae Daun
2. Cengkodok/ Sak Melastoma Melastomatacceae Daun
malabathricum L.
3. Langsat Lansium domesticum Meliaceae Kulit Batang
4. Sirih Piper betle L. Piperaceae Daun
5. Empedu Andrographis Acanthaceae Daun
paniculata
6. Kuduk Caladium sp Araceae Daun
7. Saoh - - Daun
8. Peten - - Daun

Menurut data empiris dalam kegiatan Ristoja Tahun 2015 yang diperoleh, terdapat

8 jenis tumbuhan yang diketahui mempunyai manfaat untuk analgesik sebagai bahan

pengobatan tradisional seperti daun Cengkodok, daun Bambu, Kulit batang langsat,

daun Empedu, daun Kuduk, daun Peten, daun Sao dan daun Sirih, dimana 8 jenis

tumbuhan tersebut digunakan pada bagian daun dan batangnya. Daftar tanaman obat di

daerah dusun Sekajang dapat dilihat pada Lampiran 5 Halaman 94.

Tanaman obat digunakan pada daun bambu dengan cara dikonsumsi sebanyak 3

kali sehari dalam waktu 1 minggu. Adapaun cara pembuatan ramuan daun bambu

adalah diambil sebanyak 2 genggam daun pertanaman, dimasukkan kedalam satu wadah

kemudian ditumbuk seluruh bahan hingga halus selanjutnya ditambahkan air


47

secukupnya dan disaring. Air hasil saringan ramuan tumbuhan obat tersebut kemudian

diminum dan ampasnya ditapel pada bagian yang sakit. Air perasan dari ramuan daun

bambu di minum sebanyak 3 kali sehari selama 7 hari.

Berdasarkan uraian diatas bahwa daun Bambu (Bambusa vulgaris) pada Etnis

Dayak di dusun Sekajang dapat dimanfaatkan sebagai obat herbal dalam mengobati rasa

nyeri. Sehingga masyarakat tersebut banyak mengonsumsi daun bambu sebagai obat

tradisional yang efektif sebagai obat nyeri. Namun, penggunaan obat herbal yang

diberikan harus diketahui tingkat keamanan dan efektifitas sebagai analgesik sehingga

perlu dilakukan penelitian mengenai toksisitas akut dan dilanjutkan denganuji aktivitas

analgesik.

IV.2. Hasil Determinasi Tanaman

Tumbuhan daun bambu yang digunakan sebagai sampel pada penelitian ini

diidentifikasi di Laboratorium Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan

Alam (FMIPA), Universitas Tanjungpura Pontianak, Kalimantan Barat. Determinasi

dilakukan untuk memastikan bahwa tanaman merupakan tanaman yang diinginkan. Hal

ini berkaitan dengan senyawa metabolit sekunder yang dikandung pada tanaman,

apabila tanaman yang digunakan berbeda maka metabolit yang terkandung juga akan

berbeda sehingga dapat mempengaruhi hasil dari pengujian. Hasil determinasi

membuktikan bahwa tanaman yang digunakan merupakan daun bambu dengan nama

latin Bambusa vulgaris. Adapun hasil determinasi tanaman dapat dilihat pada

Lampiran 6 Halaman 96.

IV.3. Pengambilan dan Pengolahan Sampel


48

Sampel dalam penelitian ini adalah tanaman bambu yang diambil di Dusun

Sekajang, Desa Suruh Tembawang, Kabupaten Sanggau, Kecamatan Entikong, Provinsi

Kalimantan Barat. Bagian tanaman yang diambil pada penelitian ini adalah daun yang

berwarna hijau dan segar. Pengumpulan bahan baku merupakan tahapan yang sangat

menentukan kualitas bahan baku. Faktor yang paling berperan dalam tahapan ini adalah

masa panen. Tanaman daun bambu diambil pada pagi hari dimana embun pagi sudah

menguap untuk menghindari adanya pertumbuhan mikroba dan pada waktu tersebut

terjadi fotosintesis maksimal. Pada saat fotosintesis maksimal, kandungan senyawa

metabolit sekunder yang terkandung dalam tanaman maksimal dimana senyawa ini akan

digunakan untuk membentuk metabolit sekunder, sehingga kandungan metabolit

sekunder yang terdapat di tanaman daun bambu telah mencapai kadar yang maksimal(29).

Daun yang sudah dipanen mengalami proses sortasi kering, pencucian,

perajangan, pengeringan, sortasi kering dan yang terakhir daun yang kering disortir

selanjutnya diproses untuk diubah menjadi simplisia kering. Tanaman daun bambu yang

diperoleh selanjutnya disortasi basah, Pencucian bahan baku yang dilakukan dengan

mengaliri air secara langsung. Pencucian simplisia dilakukan untuk membersihkan

kotoran yang melekat, terutama bahan-bahan yang berasal dari dalam tanah(29). Daun

yang sudah bersih selanjutnya dilakukan pengubahan bentuk bahan baku dengan

melakukan perajangan kasar. Perajangan ini bertujuan untuk memperluas permukaan

sampel sehingga lebih mudah untuk dikeringkan.

Pengeringan merupakan tahapan selanjutnya dimana pengeringan bertujuan untuk

menurunkan kadar air sehingga bahan tidak mudah ditumbuhi jamur dan bakteri.

Simplisia yang sudah kering selanjutnya diblender agar diperoleh simplisia yang lebih
49

halus dengan luas permukaan yang lebih besar sehingga memudahkan dalam penyarian

simplisia dimana akan memperluas bidang kontak antara simplisia dengan pelarut yang

memungkinkan senyawa yang tersari akan lebih banyak. Setelah diblender simplisia

diayak dengan ayakan ukuran 40 mesh, pengayakan berguna untuk menyeragamakan

ukuran simplisia, dengan ukuran yang seragam sehingga diharapkan luas permukaan

kontak antara larutan penyari dengan simplisia akan semakin luas, sehingga proses

ekstraksi dapat berlangsung sempurna(34).

Luas kontak yang besar menyebabkan penetrasi larutan penyari lebih mudah

menembus vakuola tumbuhan untuk mengekstraksi senyawa metabolit sekunder yang

terdapat didalamnya dan hal ini didasarkan pada literatur bahwa ukuran optimal

simplisia untuk penyarian adalah 30-40 mesh(34). Jika ukuran partikel sampel terlalu

besar akan sulit pelarut berpenetrasi kedalam sel tanaman sehingga penyarian kurang

maksimal, sedangkan jika ukuran partikel terlalu kecil akan sulit dalam penyaringan,

karena simplisia akan ikut tersaring pada hasil ekstraksi sehingga ekstrak tidak murni

lagi. Simplisia yang diperoleh disimpan dalam wadah kedap dan kering dan terhindar

dari sinar matahari langsung untuk menghindari rusaknya simplisia(85).

IV.4. Ekstraksi Simplisia Daun Bambu

Metode ekstraksi yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode maserasi.

Maserasi adalah proses ekstraksi simplisia dengan menggunakan pelarut dengan

beberapa kali pengocokan atau pengadukan pada temperatur ruangan (kamar). Pada

ekstraksi padat cair, proses pemisahan dipengaruhi oleh pelarut dan perpindahan zat

terlarut dari padatan ke larutan. Perpindahan massa dapat terjadi melalui pori pori yang

disebabkan karena perbedaan koefisien difusi zat terlarut dan larutan. Prinsip dari
50

metode maserasi yaitu bahan padat simplisia dilarutkan dalam bahan cair yaitu pelarut,

dimana komponen bahan padat akan berpindahan kedalam massa yang dapat terjadi

melalui pori-pori yang disebabkan karena perbedaan koefisisen difusi zat terlarut dan

larutan. Pelarut akan memasuki dinding sel sehingga sel tanaman akan mengalami

pengembangan, selanjutnya terjadi proses difusi sehingga senyawa yang terekstrak

keluar dari dinding sel tanaman.

Peristiwa tersebut berulang sehingga terjadi keseimbangan konsentrasi antara

larutan di luar sel dan di dalam. Setelah terjadi keseimbangan dilakukan penggantian

pelarut, pada awal ekstraksi dilakukan setiap 1x24 jam dikarenakan metabolit sekunder

dalam sampel kandungannya sangat tinggi, setelah ekstraksi hari ke empat warna

larutan ekstraksi mulai memudar, hal ini menandakan metabolit sekunder yang terdapat

dalam sampelsemakin sedikit sehingga penggantian pelarut dilakukan lebih dari 24

jam(86).Maserasi dilakukan hingga zat aktif tersari secara maksimal yang ditandai dengan

perubahan warna maserat dari hijau pekat hingga hijau yang jernih dan selanjutnya tidak

mengalami perubahan warna.Perbedaan warna ini disebabkan berkurangnya konsentrasi

senyawa yang terlarut dalam maserat dan hal ini dapat diasumsikan juga sudah tidak ada

senyawa yang dapat tersari lagi. Hasil maserat disaring dari ampas dengan

menggunakan kertas saring dan kain berwarna putih. Ampas yang diperoleh dimaserasi

kembali dengan pelarut etanol yang baru.

Selama proses maserasi berlangsung, bejana ditutup menggunakan alumunium

foil untuk mencegah adanya senyawa kimia yang rusak akibat oksidasi cahaya dan hasil

maserasi dikumpulkan dan disaring ke dalam botol kaca. Botol yang digunakan untuk

proses maserasi maupun untuk menyimpan maserat dilapisi dengan kertas alumunium
51

untuk mencegah terjadinya oksidasi karena cahaya. Pada penyarian dengan maserasi

perlu dilakukan pengadukan. Pengadukan diperlukan untuk meratakan konsentrasi

larutan di luar serbuk simplisia, sehingga dengan pengadukan tersebut tetap terjaga

adanya derajat perbedaan konsentrasi yang sekecil-kecilnya antara larutan didalam sel

dengan larutan di luar sel(34).

Metode ekstraksi yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode maserasi.

Metode ini termasuk metode esktraksi dingin karena dalam prosesnya tidak melibatkan

proses pemanasan, sehingga diharapkan tidak ada senyawa yang rusak saat pemanasan

dan diharapkan terdapat banyak senyawa yang terambil. Berdasarkan Yamamoto

kandungan metabolit sekunder flavonoid pada proses ekstraksi dengan suhu yang tinggi

menyebabkan penurunan kadar flavonoid pada hasil ekstraksi(87). Beberapa Keuntungan

metode maserasi yaitu peralatan yang digunakan sederhana, biaya operasional relatif

murah, mudah dilakukan dan tanpa proses pemanasan. Proses maserasi simplisia daun

bambu diperoleh berat simplisia sebanyak 1.1120 gram dengan pelarut etanol 96%.

Pemilihan pelarut etanol dalam proses ekstraksi tersebut karena pelarut etanol

merupakan pelarut universal sehingga dapat melarutkan senyawa baik senyawa polar,

semi polar dan non polar yang dapat menarik senyawa aktif yang diduga berpotensi

dalam uji aktifitas, etanol juga dipilih karena mudah didapatkan, mudah menguap dan

lebih aman dibandingkan pelarut lain seperti metanol dan butanol. Maserasi yang

diperoleh berwarna hijau pekat dan semakin hari warna maserat yang dihasilkan

semakin jernih. Maserat yang dihasilkan disimpan didalam botol kaca yang dilapisi

menggunakan alumunium foil untuk mencegah kerusakan komponen senyawa akibat


52

pengaruh oksidasi oleh cahaya. Hasil maserat yang diperoleh selanjutnya dipekatkan

menggunakan rotary evaporator.

Pemekatan bertujuan untuk meningkatkan jumlah partikel terlarut dengan cara

penguapan pelarut namun tidak sampai pada kondisi kering, ekstrak yang dihasilkan

akan menjadi kental atau pekat. Pemekatan dilakukan dengan rotary evapotor yang

memiliki prinsip kerja berdasarkan diagram fase air, yaitu ketika tekanan udara

diturunkan, maka titikdidih akan turun. Tekanan yang digunakan adalah tekanan

vacuum (500 mmHg), sehingga suhu ±50oC dengan kecepatan putaran 100 rpm dapat

digunakan untuk menguapkan pelarut(88). Ekstrak yang sudah kental selanjutnya

ditampung dalam wadah tertutup. Proses maserasi sampai di peroleh ekstrak kental

dapat dilihat pada Lampiran 7 Halaman 97.

Ekstrak kental yang diperoleh sebanyak 152,94 gram. Adapun rendemen ekstrak

yang didapat yaitu sebesar 13,75%. Nilai rendemen menunjukan nilai ekonomis suatu

produk atau bahan. Semakin tinggi nilai rendemennya, maka semakin tinggi pula nilai

ekonomisnya sehingga pemanfaatannya dapat menjadi lebih efektif(89). Perhitungan nilai

rendemen ekstrak etanol daun bambu dapat dilihat pada Lampiran 8 Halaman 98.

IV.5. Pemeriksaan Karakteristik Ekstrak

Standarisasi merupakan proses yang menjamin bahwa produk akhir (obat, ekstrak,

atau produk ekstrak) mempunyai nilai parameter tertentu yang konstan dan ditetapkan

(dirancang dalam formula) terlebih dahulu. Persyaratan mutu ekstrak terdiri dari

parameter spesifik dan parameter nonspesifik.Penentuan parameter spesifik adalah

aspek kandungan kimia kualitatif danaspek kuantitatif kadar senyawa kimia yang
53

bertanggung jawab terhadapaktivitas farmakologis tertentu. Parameter non spesifik

adalah segala aspek yangtidak terkait dengan aktivitas farmakologis secara langsung

namun mempengaruhiaspek keamanan konsumen dan stabilitas ekstrak dan sediaan

yang dihasilkan(73).

Tabel 4. Hasil Standarisasi Ekstrak


Parameter Hasil
Rendemen (%b/b) 13,75
Organoleptis Kental, warna hijau
kehitaman, bau khas
Kadar Sari Larut Air (%) 16,90 ± 1,74
Kadar Sari Larut Etanol (%) 12,69 ± 1,72
Susut Pengeringan (%) 31,48 ± 1,13
Bobot Jenis ekstrak etanol 1,005
daun bambu 1% (g/ml)
Daun bambu yang sudah dijadikan simplisia diperiksa karakteristik melalui

pemeriksaan makroskopik. Selain determinasi, Pemeriksaan makroskopik merupakan

salah satu cara untuk mengetahui kebenaran bahan yang digunakan. Pemeriksaan

makroskopik merupakan pemeriksaan organoleptik ekstrak yang meliputi warna,bau

dan rasa. Pemeriksaan organoleptik dilakukan dengan panca indra bertujuan sebagai

pengenalan awal yang sederhana dan subjektif mungkin(30). Selanjutnya pemeriksaan

kadar senyawa larutdalam pelarut tertentubertujuan untuk mengetahui jumlah zat dalam

simplisia yangdapat terekstraksi dalam pelarut tertentu seperti air dan etanol.

Penentuan kadarsari larut air dan kadar sari larut etanol dilakukan untuk

mengetahui konsentrasi kandungan kimia yang terlarut dalam ekstrak(73).Hasil parameter

kadar sari larut air dan kadar sari larut etanol menunjukkan bahwa hasil kadar sari larut

air lebih besar dibandingkan dengan kadar sari larut etanol. Hal ini diperkuat oleh

penelitianAnis dkk,bahwa menyatakan bahwa senyawa yang terkandung didalam daun

bambu (Bambusa vulgaris) lebih banyak senyawa polar(90).


54

Selanjutnya dilakukan parameter non spesifik yaitu susut pengeringandan bobot

jenis.Susut pengeringan bertujuan untuk memberikan batasan maksimal (rentang)

tentang besarnya senyawa yang hilang pada proses pengeringan (30).Susut pengeringan

merupakan pengukuran sisa zat setelah pengeringanpada temperatur 105oC selama 30

menit hingga tercapai bobot konstan yangkemudian dinyatakan sebagai persen (31).

Penetapan susut pengeringan digunakan untuk mengetahui kadar air dalam sampel dan

pelarut yang masih tersisa didalam ekstrak sehingga diketahui golongan ekstrak

(kering,kental atau cair). Berdasarkan penelitian hasil persentasemenunjukkan bahwa

ekstrak yang digunakan pada penelitian ini termasuk kedalam golongan ekstrak cair

karena nilai susut pengeringannya lebih dari 30%(31).

Penentuan bobot jenis ekstrak etanol daun bambu dilakukan dengan

menggunakan piknometer. Tujuan dilakukan penentuan bobot jenis adalah untuk

memberikan batasan tentang besarnya massa persatuan volume yang merupakan

parameter khusus ekstrak cair sampai ekstrak kental yang masih dapat dituang (30). Data

bobot jenis juga dapat digunakan sebagai standar dalam penyesuaian dosis untuk

penelitian berikutnya dengan menggunakan tanaman yang sama. Hasil standarisasi

parameter spesifik dan non spesifik dapat dilihat pada lampiran 11,12 dan 13.

IV.6. Skrining Fitokimia

Skrining fitokimia pada penelitian ini dilakukan untuk mengetahui

adanyagolongan senyawa berupa flavonoid, alkaloid, tanin,saponin, fenol dan

sterol/triterpenoid pada ekstrak daun bambu yang diduga berperan dalam menyebabkan

uji farmakologidan merupakan tahapan awal untuk mendeteksi senyawa kimia yang

terdapat pada suatu bahan alam secara kualitatif. Pemeriksaan kandungan dilakukan
55

menggunakan tabung reaksi, mereaksikan sampel dengan larutan pereaksi spesifik

untuk mengetahui senyawa yang terkandung didalam sampel menggunakan tabung

sehingga menunjukkan hasil yang positif.Hasil skrining fitokimia ekstrak etanol daun

bambu dapat dilihat pada Lampiran 14.

Tabel 5. Skrining Fitokimia Ekstrak Etanol Daun Bambu


Senyawa Hasil
Flavanoid (+)
Polifenol (+)
Tanin (-)
Saponin (+)
Triterpenoid (+)
Alkaloid (-)
Keterangan : (+) : Terdeteksi
(-) : Tidak Terdekteksi

Hasil Skrining fitokimia ekstrak daun bambu (Bambusa vulgaris) menunjukkan

bahwa ekstrak mengandung flavonoid, fenol,saponin dan triterpenoid. Hal ini didukung

berdasarkan hasil penelitian yang pernah dilakukan oleh Anis dkk, dari tanaman yang

satu spesies yaitu Bambusa vulgaris Schard pada ekstrak etanol daun bambu bahwa

mengandung flavanoid, saponin, polifenol dan triterpenoid(90).

IV.7. Kromatografi Lapis Tipis (KLT)

Uji kualitatif menggunakan KLT pada penelitian ini dilakukan untuk melihat

pola kromatogram ekstrak tersebut. Pola kromatogram dilakukan sebagai analisis

kromatografi sehingga memberikan gambaran awal komposisi kandungan kimia

berdasarkan pola kromatogram dan dapat menjadi standar untuk penelitian berikutnya

yang menggunakan sampel yang sama(30). Analisis KLT ekstrak etanol daun bambu

menggunakan plat KLT GF254, ekstrak etanol daun bambu menggunakan eluen n-

heksan : etil asetat dengan perbandingan volume yang digunakan adalah 6 : 4. Eluen ini
56

dipilih karena berdasarkan penelitian yang dilakukan sebelumnya menunjukkan bahwa

eluen tersebut dapat memisahkan senyawa-senyawa yang terdapat dalam ekstrak etanol

daun bambu. Sehingga selama elusi, akan terjadi pemisahan antar senyawa yang

ditunjukkan dengan munculnya beberapa bercak noda berwarna pada plat silika gel

GF254. Pemisahan ini terjadi karena perbedaan sifat kepolaran antar senyawa dan

terjadinya pemisahan disebabkan adanya salah satu komponen sampel yang tertahan

oleh fase diam dan yang lain dibawa oleh fase gerak, sehingga ditandai adanya noda

atau bercak. Namun tidak semua bercak noda dapat terlihat secara langsung, ada

beberapa bercak noda yang hanya terlihat di bawah sinar lampu UV 366 nm dan 254

nm. Bercak noda akan terlihat setelah dilakukan penyemprotan dengan penampak

bercak H2SO410% dalam metanol. Penampak bercak ini dipilih karena merupakan

penampak bercak universal.

(A) (B) (C)


(D)
Gambar 7. Pola Kromatogram

Keterangan :
Plat silika gel dibawah lampu UV 254nm(A); Plat dibawah lampu UV
57

366nm (B); Plat sebelum disemprot penampak bercak (C) ; Plat setelah
disemprot penampak bercak H2SO410% dalam methanol (D) .

IV.8. Penentuan Dosis dan Pembuatan Sediaan Uji Toksisitas Akut dan Analgesik

Sediaan uji dibuat dalam bentuk suspensi, suspensi yang digunakan yaitu CMC-

Na. Ekstrak disuspensikan dengan CMC-Na karena ekstrak tidak larut sempurna dalam

air. CMC-Na merupakan senyawa yang tidak toksik, sehingga aman dan dapat

dikatakan bahwa zat pembawa yang tidak berpengaruh pada uji toksisitas dan analgesik.

Selain itu, CMC-Na dapat terlarut dengan baik didalam air dingin maupun air panas (31).

Pemberian sediaan uji dilakukan secara oral dengan menggunakan sonde oral.

Pemilihan rute oral karena secara empiris masyarakat di Dusun Sekajang mengonsumsi

daun bambu sebagai obat nyeri dengan cara diminum air saringan ramuan daun bambu.

Hasil perhitungan dosis sediaan dan dosis empiris daun bambu dapat dilihat pada

Lampiran 15 Halaman 105.

Tabel 6. Data Dosis Secara Empiris Masyarakat di Dusun Sekajang

Dosis Hasil Perhitungan


Rata-rata 2 genggam daun 40 gram (penggunaan 7 hari
dalam 3x sehari)
Simplisia basah 42,90 gram
Simplisia Kering 19,55 gram
Dosis untuk manusia 50 kg 0,8679 gram
Dosis untuk manusia 70 kg 1,250 ~ 1215 mg
Dosis Ekstrak I 305,75 ~ 300 mg/kgbb
Dosis Ekstrak II 607,5 ~ 600 mg/kgbb
Dosis Ekstrak III 1,250 ~ 1215 mg/kgbb
Dosis Parasetamol untuk 65 mg/kgbb
mencit

IV.9. Uji Toksisitas Akut


58

Penelitian uji toksisitas akut daun bambu dilakukan karena daun bambu telah digunakan

secara empiris terbukti aman dan memiliki aktivitas sebagai obat nyeri sehingga dimanfaatkan

sebagai ramuan oleh masyarakat etnis Dayak di dusun Sekajang (83) yang merupakan salah satu

uji praklinik yang bertujuan untuk melihat efek toksik yang terjadi dalam waktu singkat dan

dosis tunggal, melalui pemberian tunggal peroral ataupun dengan dosis berulang dalam waktu

24 jam.Namun, perlunya dilakukan pengujian toksisitas akut bertujuan untuk menentukan suatu

gejala sebagai akibat dari pemberian suatu zat dan untuk menentukan tingkat toksisitas senyawa

tersebut.

Uji toksisitas akut dalam penelitian ini menggunakan metode OECD (Organization for

Economic Cooperation and Development) 425, yaitu menggunakan pengujian toksisitas akut

dengan cara Up and Down Procedur (UDP). Metode ini merupakan metode alternatif dalam

pengujian toksisitas akut. Jika dibandingkan dengan metode penentuan nilai LD 50 konvensional,

Up and Down Procedure menggunakan hewan yang lebih sedikit, bahkan sampai sepertiga

jumlah hewan yang digunakan dalam metode konvensional. Selain itu WHO menyarankan

bahwa metode ini dalam pengujian toksisitas akut, hal ini dikarenakan bahwa metode tersebut

merupakan metode yang fleksibel dan dapat dipertimbangkan secara ekonomis, sains dan

etik(91).

Pengujian awal suatu bahan uji memiliki toksisitas pada dosis tertentu dilakukan dengan

limit test sesuai pedoman OECD 425. Limit test digunakan ketika senyawa yang diuji

diharapkan tidak toksik. Terdapat dua dosis limit test yaitu 2000 mg/kgbb dan 5000 mg/kgbb.

Pengujian toksisitas akut ekstrak etanol daun bambu dengan limit test dosis 2000 mg/kgbb

untuk melihat apakah ekstrak etanol daun bambu memiliki LD50 diatas ataupun dibawah 2000

mg/kgbb, sedangkan pengujian limit test dosis 5000 mg/kgbb untuk melihat apakah ekstrak

etanol daun bambu memiliki LD50diatas atau dibawah 5000 mg/kgbb.


59

Hewan uji yang digunakan adalah tikus putih betina galur Wistar sebagai hewan uji

karena tikus memiliki metabolismeyang mirip seperti manusia dan digunakan tikus betina

dikarenakan ketahanan tubuh dari tikus betina lebih kuat dari jantan dan tikus betina lebih

sensitif daripada tikus jantan sehingga dapat memberikan respon yang cepat (51)serta dipilih tikus

betina galur Wistar juga dikarenakan pertumbuhan yang baik dan galur ini sudah banyak

digunakan dalam penelitian berbagai bidang seperti studi farmakologi dan toksikologi. Tikus

betina yang digunakan dalam keadaan nulipara (belum pernah melahirkan) dan tidak hamil,

karena pada saat kehamilan keseimbangan hormonal terganggu, dimana daur estrus terhenti. Hal

ini menyebabkan kapasitas metabolisme hewan uji sulit diketahui (45).

Hewan uji yang digunakan umur2-3 bulan dan memiliki berat badan minimal 150

gram.Umur tikus sangat mempengaruhi hasil pengujian toksisitas akut, 2-3 bulan dipilih karena

umur tersebut merupakan dimana umur hewan uji tersebut semua organ telah

optimal(45).Sebelum perlakuan, hewan uji diaklimatisasi terlebih dahulu, hal ini dimaksud agar

hewan uji beradaptasi dengan lingkungan baru dan menghindari kondisi stress akibat perubahan

lingkungan. Selama proses aklimatisasi tersebut, tikus diberi makan pellet dan minum (ad

libitum) dan ditempatkan pada kandang dengan suhu ruangan.Kelembaban udara dalam

kandang yang terlalu tinggi mengakibatkan mudah tumbuh dan berkembang bakteri dan jamur

pada kandang hewan uji yang dapat berpengaruh pada kondisi hewan uji tersebut. Hal ini dapat

ditanggulangi dengan mengganti sekam secara berkala. Suhu kelembaban laboratorium sulit

untuk dikendalikan. Namun suhu dan kelembaban dalam penelitian ini tidak menyebabkan

perubahan kondisi tubuh hewan uji.

Hewan uji yang digunakan adalah hewan uji yang sehat dan tidak adanya kecacatan

fisik seperti buta, berjalan tidak sejajar atau mengalami luka-luka. Hal ini bertujuan untuk

menyeragamkan kondisi dari hewan uji sehingga akan meminimalisir kesalahan yang berasal

dari hewan uji. Sebelum dilakukan pengujian sediaan pada hewan uji,dilakukan uji perilaku
60

pada hewan uji. Pengamatan yang dilakukan berupa platform, aktivitas motorik, straub,

piloereksi, ptosis, refleks pineal, refleks kornea, lakrimasi, katalepsi, perubahan sikap tubuh,

menggelantung, retablismen, fleksi, hafner, mortalitas, grooming, defekasi,urinasi, pernapasan,

salivasi, tremor, kejang dan writhing.

IV.10. Penentuan Nilai LD50 Metode OECD 425

Pengujian pertama untuk menentukan nilai LD50 dilakukan dengan limit test

dosis 2000 mg/kgbb. Limit test digunakan untuk mengidentifikasi bahan kimia yang

toksisitas rendah. Hasil pengujian limit test menunjukan LD50 ekstrak etanol daun

bambu lebih besar dari 2000 mg/kgbb hewan uji dikarenakan dosis tersebut merupakan

dosis batas dari main test, maka main test tidak dilakukan dan dilanjutkan dengan limit

test dosis 5000 mg/kgbb hewan uji untuk melihat apakah nilai LD 50 berada pada rentang

2000 mg/kgbb hingga 5000 mg/kgbb atau lebih besar dari 5000 mg/kgbb hewan uji.

Satu hewan uji yaitu tikus nomor 1 diberi dosis 2000 mg/kgbb secara oral,

dimana dosis tersebut dikonversikan sesuai berat badan tikus yang digunakan dengan

volume pemberian 1 ml/100grbb. Pengujian pertama dilakukan pada tikus betina

dengan kelompok dosis 2000 mg/kgbb yang telah dipuasakan selama 3-4 jam dengan

tetap diberikan minum. Tujuan tikus dipuasakan agar nantinya ketika tikus tersebut

diberikan sediaan uji diharapkan sediaan uji tersebut dapat langsung kontak dengan

sistem pencernaan dan tidak terganggu oleh adanya makanan yang ada percernaan tikus.

Setelah diberikan ekstrak secara oral, tikus juga tidak diberi makan dalam

beberapa jam. Hal ini dilakukan untuk memaksimalkan penyerapan ekstrak pada

pencernaan tikus. Tikus diamati selama setiap 30 menit, 1 jam, 2 jam dan 24 jam sampai

48 jam setelah pemberian ekstrak secara oraldan hasilnya tidak terjadi kematian.

Langkah tersebut diulangi hingga maksimal hewan uji yang digunakan adalah 5 ekor.
61

Pengujian dilanjutkan menggunakan 4 ekor tikus, yaitu tikus nomor 2, 3, 4, dan 5.

Keempat ekor tikus diberikan ekstrak dengan dosis yang sama yaitu 2000 mg/kgbb dan

diamati sebelum pemberian dan selama pemberian sediaan ujisetiap 30 menit, 1 jam, 2

jam dan 24 jam sampai 48 jam dan hasilnya tidak terdapat kematian pada semua hewan

uji.

Pengujian dosis 2000 terhadap 5 ekor tikus menunjukkan bahwa hingga

pengamatan 14 hari tidak ditemukan adanya kematian pada hewan uji. Nilai

LD50ekstrak etanol daun bambu selanjutnya diolah menggunakan program

AOT425statPgm. Hasil yang diperoleh, nilai LD50 ekstrak etanol daun bambu lebih dari

2000 mg/kgbb, pengujian dilanjutkan dengan limit test 5000. Pemberiaan sediaan uji

serta pengamatan uji perilaku dapat dilihat Lampiran 16 Halaman 107.

Gambar 8.Hasil Pengujian Limit Test 2000 mg/kgbb Ekstrak Etanol Daun Bambu

Selanjutnya dilakukan prosedur pengujian limit test 5000 yang sama dengan

limit test 2000. Namun, pada limit test 5000 apabila terdapat lima hewan uji tidak

menunjukkan mortalitas, maka pemberian dosis dihentikan dan LD 50 berada diatas 5000
62

mg/kgbb. Satu hewan uji yaitu tikus nomor 6 diberikan ekstrak etanol daun bambu

dengan dosis 5000 mg/kgbb dan volume pemberian 1 ml/100grBB. Tikus enam yang

telah

diberikan dosis diamati selama 48 jam dan tidak menunjukan kematian, sehingga

dilanjutkan pemberian dosis pada tikus nomor 7 hingga pada tikus nomor 10. Data yang

diperoleh selanjutnya menggunakan program AOT425statPgm, dan diamati tanda-tanda

ketoksikan serta perubahan berat badan selama 14 hari.

Gambar 9. Hasil Pengujian Limit Test 5000 mg/kgbb Ekstrak Etanol Daun Bambu
63

Pengamatan dilanjutkan selama 14 hariuntuk melihat adanya kematian dan

terjadinya perubahan berat badan pada tikus. Kelompok dosis 2000mg/kgbb

menunjukkan tidak adanya kematian yang terjadi pada hari ke empat belas, sedangkan

untuk berat badan pemberian sedian tidak berpengaruh terhadap pertumbuhan atau

perkembangan berat badan tikus. Hal ini sama terjadi pada kelompok dosis

5000mg/kgbb. Pada hari ke-14 tidak menunjukkan adanya kematian yang terjadi.

Selanjutnya pada hari ke-15 dilakukan pembedahan untukmengetahui indeks organ dan

mengamati histopatologi organ hati, ginjal,limpa, jantung dan paru-paru.

Berdasarkan hasil pengujian dapat disimpulkan bahwa nilai LD50 ekstrak etanol

daun bambu lebih dari 5000 mg/kgbb. Tingginya nilai LD50 membuktikan bahwa

ekstrak etanol daun bambu dapat menjadi agen terapi yang aman. Dari hasil pengujian

tersebut dapat disimpulkan bahwa dosis yang dapat digunakan untuk pengujian aktivitas

farmakologi dari ekstrak etanol daun Bambu adalah diatas 5000 mg/kgbb sehingga

termasuk dalam kategori praktis tidak toksik .

IV.11. Pengamatan Uji Perilaku, Psikomotorik dan Indeks Organ

Selama interval waktu tersebut dilakukan uji perilaku terhadap hewan setelah

pemberian perlakuan. Pengujian perilaku ini bertujuan untuk melihat apakah ekstrak

daun bambu dapat mempengaruhi perubahan perilaku, perubahan psikomotorik dan

indeks organ pada hewan uji dan untuk melihat aktivitas dan keadaan normal dari

hewan uji sebelum dan setelah pemberian dosis. Tanda-tanda ketoksikan diamati

melalui uji perilaku mulai jam ke 0, 30, 60,120 menit dan 24 jam.

Pengamatan dilakukan berupa platform,straub, piloereksi, ptosis, refleks kornea,

refleks pineal,lakrimasi, katalepsi, sikap tubuh, menggelantung, retablismen, fleksi,


64

hafner, mortalitas, grooming, defekasi, urinasi, pernafasan, salivasi, vokalisasi, tremor,

kejang dan writhing. Apabila terjadi perubahan perilaku pada hewan uji setelah

pemberian sediaan, maka dapat diprediksi adanya efek farmakologi dari ekstrak

tersebut. Hasil pengamatan uji perilaku pada limit test dosis 2000 mg/kgbb dan 5000

mg/kgbbdapat dilihat pada lampiran 17 Halaman 108.

Pengamatan jumlah jengukan (platform) dilakukan untuk mengetahui apakah suatu zat

memiliki efek farmakologi anti depresan pada tikus. Jumlah jengukan diamati selama 2 menit.

Semakin sedikit jumlah jengukan pada tikus, maka tikus semakin depresi atau strees. Apabila

setelah pemberian ekstrak sediaan semakin banyak jengukan maka ekstrak tersebut memiliki

efek farmakologis sebagai anti depresan. Hasil pengamatan perilaku tikus yang diberikan dosis

2000mg/kgbb dan 5000mg/kgbb menunjukan terjadi platform pada kelima tikus. Hasil

pengamatan perilaku tikus menunjukkan pada dosis 2000mg/kgbb terjadi peningkatan jengukan

yang sama pada jam ke 0 ke jam 30 menit dan hal sama dengan jam ke 60menitdan 24 jam.

Namun pada jam ke 30 menit dan jam ke 60 menit jengukan mengalami penurunan.

Berdasarkan hasil tersebut, ekstrak etanol daun bambu tidak menunjukan efek anti depresan

pada kelimahewan uji yaitu normal.

Pengamatan aktivitas motorik pada dosis 2000mg/kgbb dan dosis 5000

mg/kgbbdilakukan untuk melihat aktivitas penenang, depresan saraf pusat, anastesi. Semakin

sedikit gerakan yang dilakukan hewan uji maka diprediksi adanya aktivitas penenang, depresan

saraf pusat, anestesi. Berdasarkan hasil tersebut, ekstrak etanol daun bambu tidak menunjukan

efek anti depresan pada kelimahewan uji yaitu normal. Pengamatan straub pada dosis 2000

mg/kgbb dan dosis 5000 mg/kgbbdiamati dengan memperhatikan ekor tikus, apabila ekor tikus

menunjukkan kearah atas, maka tikus mengalami straub. Pengamatan aktivitas ini bertujuan

untuk mengamati apakah ekstrak mempengaruhi hewan uji.


65

Pengamatan piloereksi pada tikus dilakukan untuk mengetahui adanya aktivitas

simpatomimetik pada obat yang diberikan. Efek ptosis pada hewan dilakukan untuk mengetahui

efek obat depresan, apabila efek ptosis pada hewan terjadi maka kedua kelopak matanya akan

tertutup sebagian atau seluruhnya. Berdasarkan hasil pengamatan pada dosis 2000 mg/kgbb dan

dosis 5000 mg/kgbbyaitu ekstrak etanol daun bambu tidak mengalami straub, tidak adanya

piloereksi dan tidak menunjukkan adanya efek ptiosis,hal ini membuktikan bahwa pemberian

sediaan uji tidak menyebabkan pengaruh pada pengamatan perilaku tersebut, dimana hasil dari

kelima hewan uji tersebut normal.

Pengamatan refleks kornea dan pineal dilakukan untuk mengetahui efek sedatif dari

ekstrak. Berdasarkan hasil pengamatan pada dosis 2000 mg/kgbb dan dosis 5000 mg/kgbb

ekstrak etanol daun bambupada kelima hewan uji memberikan refleks kornea dan pineal.

Selanjutnya hewan uji mampu menggelantung dan retablismen, dilakukan untuk melihat adanya

efek farmakologi adanya efek sedatif dan relaksasi otot. Tikus yang diamati dapat

menggelantung dan dapat dengan cepat untuk membalikkan badan pada alat besi yang

direntangkan untuk bergelantung. Apabila terdapat efek sedatif dan relaksasi otot maka hewan

uji tidak dapat bergelantung dengan cepat dan jatuh.

Uji fleksi (kaki), hafner (ekor), vokalisasi (suara) dilakukan untuk melihat efek

analgesik. Uji ini dilakukan dengan cara kaki dan ekor ditekan dengan penjepit, apabila hewan

tidak mengalami kesakitan dan mengeluarkan suara saat ditekan maka terdapat efek analgesik

pada ekstrak yang diberikan. Berdasarkan hasil pengamatan pada dosis 2000 mg/kgbb dan dosis

5000 mg/kgbb ekstrak etanol daun bambu pada kelima hewan uji mengalami fleksi dan hafner

tetapi kelima hewan uji tidak mengalami vokalisasi dan mortalitas (kematian).

Kelima hewan uji mengalami grooming tetapi dengan waktu dan menit berbeda beda

pada dosis 2000 mg/kgbb pada jam ke 0’, 30’ dan 60 menit mengalami penurunan dan pada

dosis 5000mg/kgbb pada jam ke 0’ dan 60 menit mengalami peningkatan. Berdasarkan hasil
66

pengamatan pada dosis 2000 mg/kgbb dan dosis 5000 mg/kgbb ekstrak etanol daun bambu pada

kelima hewan uji keadaan normal. Beberapa tikus ada yang mengalami defekasi dan tidak, dan

terjadi urinasi pada semua tikus tetapi dengan rentang menit yang berbeda beda.

Kelima hewan uji mengalami pernafasan yang normal, aktivitas motorik, sikap tubuh

yang normal dan tidak menunjukan adanya salivasi, vokalisasi, tremor, kejang dan writhing. Hal

ini membuktikan bahwa pemberian sediaan uji tidak mempengaruhi hewan uji. Urinasi

(pengeluaran urin) dilakukan untuk melihat efek diuretik. Semakin banyak hewan uji

mengalami urinasi maka terdapat efek diuretik. Defekasi (pengeluaran kotoran) dilakukan untuk

mengetahui adanya efek antidiare pada ekstrak. Apabila hewan tidak melakukan defekasi maka

ekstrak terdapat efek antidiare. Hasil pengamatan perilaku tikus yang diberikan dosis 2000

mg/kgbb menunjukkan beberapa kesamaan dengan dosis yang 5000mg/kgbb sehingga tidak

mempengaruhi hewan uji.

Dosis 2000mg/kgbb
210
208
206 Tikus 1
204 Tikus 2
202 Tikus 3
200 Tikus 4
198 Tikus 5
196
194
192
190
H1 H2 H3 H4 H5 H6 H7 H8 H9 H10 H11 H12 H13 H14

Pengamatan yang kedua selanjutnya perubahan berat badan hewan uji pada dosis

2000mg/kgbb dan 5000mg/kgbb. Perubahan berat badan dinilai dengan cara

menimbang berat badan tikus pada hari ke 1 hingga hari ke 14 setelah pemberian dosis

tunggal secara oral. Data berat badan tikus dibuat grafik perubahan berat badan untuk

melihat pengaruh sediaan uji terhadap perkembangan berat badan tikus. Hasil
67

pengamatan data berat badan tikus dengan dosis 2000mg/kgbb dan dosis 5000 mg/kgbb

dapat dilihat pada gambar 10 dan gambar 11.

Gambar 10. Pengamatan perubahan berat badan dosis 2000mg/kgbb

Dosis 5000mg/kgbb
195
193
191
189 tikus 1
187 tikus 2
185 tikus 3
183 tikus 4
181 tikus 5
179
177
175
H1 H2 H3 H4 H5 H6 H7 H8 H9 H10 H11 H12 H13 H14

Gambar 11. Pengamatan perubahan berat badan dosis

5000mg/kgbb

Pengamatan berat badan yang dilakukan selama 14 hari menunjukkan pada tikus

yang diberikan ekstrak etanol daun bambu dosis 2000 mg/kgbb dan 5000 mg/kgbb
68

secara umum menunjukkan terjadinya penurunan dan peningkatan berat badan. Hal

inimenunjukkan bahwa ekstrak daun bambu,secara umum tidak mempengaruh terhadap

ketoksikan pada pertumbuhan hewan uji.

Pengamatan yang ketiga yaitu pengamatan yang dilanjutkan pada hari kelima

belas dengan pengamatan indeks organ yang dilakukan pembedahan terhadap hewan

coba untuk melihat indeks organ tikus yang telah diberi sediaan secara oral. Hal ini

dilakukan untuk mengamati perubahan struktural sel yang terjadi pada organ jantung,

hati, ginjal, limpa dan paru-paru secara makroskopik akibat pemberian ekstrak etanol

daun bambu pada tikus. Dimana zat toksik tersebut yang dapat menyebabkan luka

seluler melalui reaksi langsung pada sel sasaran atau tidak langsung pada lingkungan

ekstra seluler yang dapat menyebabkan perubahan morfologi yang mengakibatkan

kerusakan secara struktural(45).

Hewan uji terlebih dahulu dilakukan dislokasio cervicalis, tujuan dilakukan

dislokasio cervicalis agar hewan uji tidak melawan dan meminimalisir rasa sakit yang

dirasa. Hewan dibedah dan diambil organ hati, ginjal, limpa, jantung dan paru-paru

dilanjutkan dengan pengamatan dan perhitungan indeks organ. Organ hati di ambil dan

di amati karena hati merupakan organ terbesar dan utama untuk detoksifikasi dan

distribusi obat-obatan. Sedangkan limpa diamati karena limpa merupakan salah satu

organ imun. Selain itu ginjal merupakan jalur utama ekskresi(45).


69

Indeks Organ (%)


4.5000
4.0000
3.5000
3.0000
2.5000
2.0000
1.5000
1.0000
0.5000
0.0000
Hati Ginjal Limpa Jantung Paru-paru

Dosis 2000mg/kgBB Dosis 5000mg/kgBB


Kemudian lambung merupakan organ yang berfungsi sebagai alat pencernaan,

adanya senyawa senyawa yang bersifat toksik dapat mempengaruhi lambung.

Pemberian ekstrak tidak mempengaruhi efek terhadap organ hati, jantung, ginjal,

pankreas dan paru-paru, dimana indeks organ tersebut tidak memiliki perbedaan yang

bermakna (p>0,05) terhadap masing-masing kelompok dosis. Proses pembedahan dosis

2000mg/kgbb dan 5000 mg/kgbb dapat dilihat lampiran 18.

Indeks organ (%) adalah nilai (berat organ/berat badan)x 100%. Indeks organ

dilakukan untuk mengetahui apakah bahan uji yang diberikan memiliki efek terhadap

organ hewan uji. Berat organ merupakan penunjuk yang sangat peka dari efek bahan uji

pada organ. Berdasarkan hasil analisis, berat tikus sebelum dan setelah diberikan

ekstrak daun bambu pada dosis 2000 mg/kgbb dan 5000mg/kgbb tidak terjadi

perubahan dan perbedaan. Hasil pengamatan indeks organ jantung, paru-paru, limpa,

hati dan ginjal pada hewan uji menunjukkan bahwa tidak terdapat adanya perbedaan

yang bermakna antara indeks organ tikus pada kelompok perlakuan dosis 2000 mg/kgbb

dan 5000 mg/kgbb.

Tabel 7. Hasil pengamatan indeks organ pada kelompok dosis 2000 mg/kgbb dan
70

5000 mg/kgbb
Kelompok Indeks Organ (%)
Perlakuan
Hati Ginjal Limpa Jantung Paru-paru
2000mg/kgbb 4.27±0,37 0,80±0,05 0,28±0,03 0,29±0,02 0,44 ±0,03
5000mg/kgbb 4,06±0,32 0,77±0,05 0,30±0,03 0,32± 0,04 0,46± 0,04
Berdasarkan hasil penelitian toksisitas akut ekstrak etanol daun bambu dengan

menggunakan pedoman OECD 425 diperoleh LD50 lebih besar 5000 mg/kgbb. Wujud

toksik yang terjadi berupa perubahan berat indeks organ, sedangkan secara perubahan

fisiologi tidak tampak adanya tanda toksik. Hal tersebut menunjukkan bahwa ekstrak

etanol daun bambu (Bambusa vulgaris) relatif aman untuk dikembangkan sebagai obat

terapi sebagai uji analgesik.

IV.12. Uji PendahuluanAnalgesik

Pengujian efek analgesik dari ekstrak daun bambu, sebelumnya dilakukan terlebih

dahulu uji pendahuluan. Tujuan dilakukannya uji pendahuluan untuk menetapkan

sesuatu yang akan dilakukan pada pengujian sebenarnya, agar didapat hasil yang lebih

valid dan akurat. Pada uji pendahuluan ini digunakan subjek hewan uji dengan

ketentuan yang sama dengan subyek hewan uji yang digunakan pada uji yang

sebenarnya yaitu tikus jantan galur Wistar, umur 2-3 bulan, berat badan 180-250 gram.

Hewan uji yang digunakan harus seragam baik jenis kelamin, galur dan umurnya, hal ini

dilakukan karena untuk memperkecil variabilitas antar hewan uji.

Hasil yang diperoleh yaitu hasil kumulatif geliat pada tikus (yang menunjukkan

sebagai wujud respon nyeri) setelah pemberian rangsangan kimia kemudian diamati

selama 60 menit yang dihitung setiap 5 menit, yang bertujuan untuk melihat pengaruh

dari perlakuan terhadap suatu respon yang ditandai dengan adanya geliat.
71

Sampel yang digunakan pada penelitian ini adalah daun bambu yang dibuat

dengan sediaan ekstrak. Dosis yang digunakan pada ekstrak daun bambu yaitu 300; 600;

1200 mg/kgbb berdasarkan empiris masyarakat di dusun Sekajang, desa Suruh

Tembawang.

Tabel 8. Uji pendahuluan jumlah geliat tikus konsentrasi asam asetat

Tikus Konsentrasi Asam asetat (%) Jumlah geliat tikus selama 60 menit
1 Diinduksi asam asetat 0,6 3
2 Diinduksi asam asetat 0,8 3
3 Diinduksi asam asetat 1 3
4 Diinduksi asam asetat 3 3
5 Diinduksi asam asetat 5 3

Penelitian ini menggunakan metode induksi kimia, dimana hewan uji diberi zat

kimia berupa asam asetat yang dapat menimbulkan rasa nyeri. Asam asetat yang

diberikan pada subjek uji secara intraperitonial. Tujuan dari orientasi adalah untuk

mengetahui dosis efektif asam asetat yang mampu menimbulkan geliat yang tidak

terlalu sedikit maupun terlalu banyak. Geliat yang terlalu sedikit tidak mampu

mengukur zat dengan efek analgesik yang lemah, sedangkan geliat yang terlalu banyak

akan menyulitkan dalam pengamatan, sehingga harus dipilih ketepatan dalam pemilihan

konsentrasi asam asetat yang dapat menimbulkan geliat tidak terlalu banyak, tetapi

masih mampu mengukur sampel yang memberikan efek analgesik yang lemah.

Penggunaan asam asetat sebagai zat penginduksi nyeri dalam penelitian ini

karena asam asetat dapat mengiritasi jaringan lokal dengan menurunkan pH jaringan

akibat pelepasan ion H+. Pada penurunan pH di bawah 6 selalu menimbulkan nyeri yang

akan meningkat dengan meningkatnya konsentrasi ion H +(92). Asam asetat memiliki

durasi sekitar satu jam sebagai penginduksi rasa nyeri, sehingga pengamatan ini

berlangsung selama satu jam, terhitung setelah diinduksi asam asetat. Respon nyeri
72

ditandai dengan geliatan kedua pasang kaki kedepan dan kebelakang serta perut

menekan lantai(80).

Larutan asam asetat diberikan setelah 15 menit, ini bertujuan agar obat yang

telah diberikan sebelumnya sudah mengalami fase absorbsi untuk meredakan rasa nyeri.

Selama beberapa menit kemudian, setelah diberi larutan asam asetat mencit akan

menggeliat dengan ditandai perut kejang dan kaki ditarik ke belakang. Jumlah geliat

mencit dihitung setiap 5 menit selama 60 menit. Penggunaan asam asetat sebagai

induktor dikarenakan asam asetat merupakan asam lemah dan pemberian sediaan asetat

akan merangsang prostaglandin untuk menimbulkan rasa nyeri akibat adanya kerusakan

jaringan (inflmasi)(80)(92).

Tabel 9. Uji pendahuluan jumlah geliat mencit konsentrasi asam asetat

Mencit Konsentrasi Asam asetat (%) Jumlah geliat mencit selama 60 menit
1 Diinduksi asam asetat 0,4 35
2 Diinduksi asam asetat 0,6 60
3 Diinduksi asam asetat 0,8 87

Berdasarkan literarur, metode yang sering digunakan dalam uji analgesik adalah

menggunakan rangsangan kimia sebagai penimbul rasa nyeri(93). Sehingga mencit yang

peka adalah mencit yang memberikan respon nyeri berupa geliatan kedua pasang kaki

ke depan dan ke belakang serta perut menyentuh dasar lantai yang muncul dalam waktu

maksimal lima menit setelah diinduksi fenil p-benzokuinon. Dalam penelitian ini,

sebagai penginduksi nyeri tidak menggunakan fenil p-benzokuinon melainkan asam

asetat, asam asetat memilki onset sekitar lima menit(94). Selanjutnya dilakukan

modifikasi syarat uji kepekaan mencit, yaitu mencit dikatakan peka dan dapat

diikutsertakan pada uji selanjutnya apabila mencit memberikan respon nyeri berupa
73

geliat dalam waktu 5-10 menit setelah diinduksi dengan asam asetat secara

intraperitoneal.

Induksi asam asetat dengan konsentrasi 0,6%, 0,8% dan 1%, 3% dan 5% pada

hewan uji tikus belum cukup memberikan respon geliat yang jelas dan mudah

diamati,sedangkan asam asetat dengan konsentrasi 0,6% pada hewan uji mencit dapat

memberikan respon geliat yang jelas dan mudah diamati. Jumlah geliat yang dinduksi

asam asetat 0,6% pada hewan uji mencit memberikan respon geliat yang jelas dan

mudah diamati daripada jumlah geliat pada tikus yang diinduksi asam asetat

0,6%,0,8%,1%,3% dan 5%. Penyimpangan ini dapat disebabkan oleh variasi biologis

dari hewan uji yang digunakan dan dapat disebabkan intensitas nyeri yang dirasakan

oleh mencit kelompok asam asetat 0,8% terlalu besar sehingga mencit terlalu lama

menekan abdomen ke dasar tempat berpijak(80)(95).

Prinsip dari metode ini mengamati penurunan jumlah geliat yang terjadi akibat

pemberian bahan uji pada hewan uji yang terjadi akibat pemberian bahan uji pada

hewan uji yang diberi larutan asam asetat 0,6% secara intraperitonial. Tujuan dari

penggunaan asam asetat 0,6% karena jumlah geliat mencit lebih mudah diamati, jelas

dan geliat yang ditimbulkan juga lebih sedikitdibandingkan dengan pemberian asam

asetat 0,8%, sedangkan konsentrasi asam asetat yang digunakan1%, 3% dan 5% pada

hewan uji tikus setelah 24 jam tikus mengalami kematian dikarenakan pada penelitian

sebelumnya dikatakan bahwa pemberian asam asetat1-5% bersifat mengiritasi jaringan

sehingga adanya jaringan yang rusak mengakibatkan timbulnya rasa sakit(92). Hal

tersebut dapat mempengaruhi hasil pengujian analgesik, karena selain menyakiti hewan

uji dengan konsentrasi asam asetat yang terlalu tinggi, hasil geliat yang terlalu sedikit
74

juga dapat menyebabkan hewan uji mengalami kematian. Oleh karena itu, dilakukan

penelitian menggunakan hewan uji mencit dengan konsentrasi asam asetat 0,6%. Hasil

determinasi hewan uji efek analgesik dapat dilihat pada lampiran 21.

Berdasarkan uji pendahuluan yang telah dilakukan, makapada uji efek analgesik

yang digunakan asam asetat 0,6% sebagai penginduksi rasa sakit. Hewan uji yang

digunakan mencit jantan galur Swiss. Bahan uji yang diberikan yaitu parasetamol

dengan dosis 65mg/kgbbsebagai bahan pembanding aktivitas analgesik. Parasetamol

bekerja sebagai anti nyeri dengan cara menghambat sintesis prostaglandin dalam

jaringan tubuh yaitu dengan cara menghambat enzim siklooksigenase 2 (Cox 2)(95).

Bentuk suspensidenganpenambahan CMC-Na 0,5% untuk kontrol negatif dan

digunakan untuk menghomogenkan ketiga dosis yang berbeda pada ekstrak etanol daun

bambu yang tidak larut sempurna didalam air. Perhitungan dosis empiris daun bambu

dapat dilihat pada lampiran 20.

IV.13. Uji Analgesik

Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah metode geliat yang

dimodifikasi berdasarkan uji pendahuluan. Induksi yang digunakan pada penelitian ini

adalah asam asetat. Metode geliat yang menggunakan asam asetat merupakan metode

yang sensitif untuk mengetahui efek analgesik. Berdasarkan yang telah dilakukan pada

uji pendahuluan maka pada uji efek analgesik ekstrak etanol daun bambu

menggunakanhewan berupa mencit jantan galur Swiss dan asam asetat 0,6% sebagai

penginduksi rasa sakit. Pada uji ini, terdapat lima kelompok uji, yaitu kelompok kontrol

negatif, yang diberi CMC-Na 0,5%, kemudian kontrol positif yang diberi parasetamol

500 mg/kgbb serta kelompok bahan uji dosis ekstrak etanol daun bambu dengan dosis
75

300 mg/kgbb, 600 mg/kgbb dan 1200 mg/kgbb. Setelah 15 menit diberi perlakuan,

masing masing dihitung jumlah geliatnya sampai satu jam dan diamati. Jumlah geliat

rata-rata mencit pada setiap kelompok uji dapat dilihat pada tabel 10.

Tabel 10. Rata-rata Jumlah Geliat Mencit pada setiap Kelompok Uji

Total
Kelompok Rata-rata jumlah geliat mencit ke-±SD Geliat
rata-
rata ±
SD
5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60
K (-) 4.0± 6.6 7.6 9.4 7.2 6.2 5.2 3.2 2.4 3.0 1.8 2,2 58.8#
1.0 ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ±
1.9 1.5 0.5 1.3 0.8 0.8 1.6 0.5 1.4 0.8 1.3 1.30
K (+) 0.6 1.6 2.2 1.6 1.6 1.4 1.4 1.4 1.4 1.4 0.8 0.2 15.6*
± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ±
0,4 0.4 0.7 0.4 0.4 0.4 0.4 0.4 0.4 0.4 0.4 0.4 1.14
Dosis 1 0.6 1 3.2 2.8 1.8 1.4 1.4 1.4 1.4 1.2 0.8 0.2 17*
± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ±
0.5 0.7 0.8 0.5 0.4 0.5 0.5 0.5 0.5 0.4 0.4 0.5 1.00
Dosis 2 1.4 1.6 5.4 5.0 4.6 3.6 3.2 2.4 2.2 1.4 1.6 1.2 33.6 #
± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ±
0.5 0.5 0.8 0.8 0.5 0.8 0.8 0.5 0.5 0.5 0.5 0.4 3.21

Dosis 3 1.6 3.2 6.4 6.2 5.4 4.8 4.6 4 2.4 2 1.2 0.4 42.2#
± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ±
0.5 0.8 0.8 0.4 0.8 1.4 0.5 1.2 0.8 1 0.4 0.5 1.92
Keterangan : Kontrol (-) : Kontrol Negatif : CMC-Na
Kontrol (+) : Kontrol Positif : Parasetamol
Dosis 1 : Dosis Ekstrak Daun Bambu 300 mg/kgbb
Dosis 2 : Dosis Ekstrak Daun Bambu 600 mg/kgbb
Dosis 3 : Dosis Ekstrak Daun Bambu 1200mg/kgbb
(*) : Berbeda bermakna dengan kontrol negatif
(#) : Berbeda bermakna dengan kontrol positif

pengujian pada tiap kelompok perlakuan terlihat hubungan antara dosis dengan

penurunan jumlah geliat mencit yaitu pada kelompok kontrol positif maupun pada

kelompok ekstrak dosis 1,2, dan 3 bila dibandingkan dengan kelompok negatif. Hal ini

menunjukkan bahwa pemberian ekstrak etanol daun bambu dan parasetamol sebagai

kontrol positif dapat mengurangi timbulnya geliat mencit yang memiliki aktivitas
76

analgesik sebagai respon nyeri yang ditimbulkan oleh pemberian asam asetat secara

intraperitoneal pada mencit. Semakin sedikit jumlah geliat rata-rata yang ditimbulkan

oleh kelompok mencit menunjukkan semakin baik aktivitas analgesik sebagai bahan uji.

Jumlah Geliat
10
Rata - Rata Jumlah Geliat

8
6 Negatif
Positif
4
300 mg/kgBB
2
600 mg/kgBB
0 1200
5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55
mg/kgBB 60

Menit

Berdasarkan dari hasil yang tertera pada tabel 7, pengujian efek analgesik

menunjukkan bahwa jumlah geliat mencit pada kelompok dosis 1,2 dan 3 mengalami

peningkatan dibandingkan dengan kelompok positif dan mengalami penurunan

dibandingkan dengan kelompok negatif.Rata-rata jumlah geliat dapat dilihat pada

gambar 13.

Berdasarkan gambar10, dapat dilihat bahwa pada jumlah geliat akan semakin

meningkat sampai pada menit ke-15 dan setelah menit ke-15 jumlah geliat akan

mengalami penurunan. Sedangkan dapat terlihat bahwa kontrol negatif (CMC-Na)

memiliki daya geliat yang paling tinggi, hal ini terjadi karena CMC-Na tidak memiliki

efek analgesik. Jadi dapat disimpulkan bahwa rata rata jumlah geliat tertinggi pada

menit ke-15berarti dapat dikatakan bahwa asam asetat akan menimbulkan efek

maksimal pada menit ke-15. Hal ini juga menunjukkan bahwa pada menit ke 20 obat
77

sudah mencapai onsetnya. Onset adalah waktu saat obat diberikan hingga menimbulkan

efek. Jumlah kumulatif geliat semakin berkurang seiring dengan kurangnya dosis

sediaan ekstrak etanol daun bambu yaitu berturut-turut 300,600,1200 mg/kgbb tetapi

jumlah geliat paling sedikit terjadi pada perlakuan dengan kontrol positif yaitu

parasetamol dosis 65mg/kgbb. Sediaan uji yang menunjukkan jumlah geliat semakin

besar berarti mempunyai daya analgesik yang semakin kecil, karena analgesik mampu

menurunkan rasa sakit pada mencit yang diinduksi asam asetat sehingga geliat yang

dirasakan sakit akan berkurang. Data rata-rata jumlah geliat pada masing-masing

kelompok perlakuan dianalisis secara statistik one way Anova (Analysis of Variance).

Gambar 14. Rata- RataJumlah Geliat Mencit Masing-masing kelompok

Keterangan : (*) : Berbeda bermakna dengan kontrol negatif


(#) : Berbeda bermakna dengan kontrol positif
Berdasarkan penelitian bahwa penggunaan parasetamol pada dosis rendah dan

jangka waktu yang relatif singkat tidak menimbulkan efek samping yang

membahayakan, tetapi apabila parasetamol digunakan dalam dosis besar dan jangka

waktu lama dapat meningkatkan risiko hepatotoksik yang dapat menyebabkan


78

kerusakan hati(9)(10) dan pada hewan atau pada pasien, respon terhadap dosis suatu obat

yang rendah biasanya meningkat dan berbanding langsung dengan meningkatnya dosis,

jadi ada hubungan antara dosis dan efek yang ditimbulkan (96). Sehingga dapat

disimpulkan bahwa semakin kecil dosis ekstrak daun bambu, maka semakin besar daya

tahan atau efek pengurangan rasa nyeri pada mencit terhadap induksi asam asetat.

Semakin sedikit jumlah geliat mencit, semakin baik fungsi analgesik pada bahan uji

yang digunakan.

% Proteksi Geliat
90
80 73.47 71.09
70 Kontrol Negatif
60 Kontrol Positif
% Proteksi geliat

50 Dosis Ekstrak 300 mg/kgBB


42.86 Dosis Ekstrak 600mg/kgBB
40 Dosis Ekstrak 1200 mg/kgBB
28.23
30
20
10
0
0
Kelompok Perlakuan
79

Gambar 15. Persentase Proteksi Geliat Mencit

Keterangan : (*) : Berbeda bermakna dengan kontrol negatif


(#) : Berbeda bermakna dengan kontrol positif
Hal ini menunjukkan bahwa ekstrak etanol daun bambu dapat mengurangi

timbulnya jumlah geliat mencit sebagai respon nyeri yang ditimbulkan oleh pemberian

asam asetat secara intraperitoneal. Berdasarkan data uji analgesik, dihitung persentase

proteksi geliat untuk menggambarkan daya analgesik pada bahan uji. Persentase

proteksi geliat diperoleh dengan membandingkan rata-rata jumlah geliat kelompok

bahan uji terhadap kelompok kontrol negatif, hasil persentase proteksi geliat didapatkan

kelompok parasetamol 65 mg/kgbb memiliki persentase proteksi geliat sebesar 73.47%,

diikuti oleh kelompok ekstrak dosis I 300 mg/kgbb sebesar 71,09%, dosis ekstrak II

600mg/kgbb sebesar 42,86% dan dosis ekstrak III 1200 mg/kgbb sebesar 28,23%.

Hasil yang diperoleh jumlah data kumulatif geliat tersebut, kemudian digunakan

untuk menghitungpersen daya analgetik, yaitu kemampuan penurunan jumlah geliat

terhadap rangsang nyeri yang biasa disebut juga dengan daya analgetika. Persendaya

analgetik berfungsi untuk mengetahui ada tidaknya efek analgetikpada ekstrak etanol

daun bambu dengan dosis 300 mg/kgbb, 600 mg/kgbb, dan 1200mg/kgbb. Data

perhitungan persen proteksi geliat dapat dilihat pada lampiran 22.

Hasil penelitian ini menunjukan bahwa hubungan antara jumlah geliat mencit

berbanding terbalik dengan persentase proteksi geliat. Semakin kecil jumlah geliat

mencit maka semakin besar nilai proteksi analgesik dan sebaliknya semakin besar

jumlah geliat mencit maka semakin kecil nilai persentase proteksi analgesik.Data yang

diperoleh dianalisis secara statistik untuk menyajikan, menentukan, menganalisa dan

menyimpulkan data yang diperoleh. Untuk melihat dan menentukan data telah
80

terdistribusi normal dengan nilai signifikasi (p>0,05) kelompok kontrol negatif sebesar

p=0,421, kontrol positif sebesar p=0,814, dosis ekstrak 1 sebesar p=0,119, dosis ekstrak

II sebesar 0,094 dan dosis ekstrak III sebesar p=0,928. Kemudian dilakukan uji

homogenitas menggunakan uji Levene untuk melihat apakah data yang di dapat telah

homogen atau tidak. Hasil uji Levene menunjukkan data telah homogen dengan nilai

signifikansi diatas 0,05 yaitu sebesar p = 0,068. Setelah diproses data yang terdistribusi

normal dan homogen, maka dapat dinyatakan bahwa data yang didapatkan merupakan

data parametrik yang selanjutnya dapat dianalisa varian menggunakan uji One-Way

ANOVA untuk melihat bermakna pada data yang diperoleh antar kelompok perlakuan.

Hasil Uji Homogenitas dapat pada lampiran 23.

Hasil analisa diperoleh nilai p=0,00 (p ≤ 0,05), terdapat perbedaan bermakna

antar kelompok perlakuan, kemudian dilanjutkan dengan uji Tukey yang bertujuan

untuk menentukan kelompok mana memberikan perbedaan yang berbeda secara

bermakna dengan kelompok lainnya. Hasil uji didapat bahwa kelompok kontrol negatif

berbeda bermakna atau berbeda signifikan dengan kelompok kontrol positif

(parasetamol 65mg/kgbb) dan dosis ekstrak I (300mg/kgbb). Namun jika dibandingkan

kelompok kontrol positif dengan kelompok dosis ekstrak I, tidak terdapat perbedaan

signifikansi (p>0,05) yaitu sebesar p = 257. Hal tersebut dapat disimpulkan bahwa

kelompok dosis ekstrak I (300 mg/kgbb) memiliki efek analgesik yang setara dengan

parasetamol. Hal ini diduga dikarenakan beberapa faktor, seperti kandungan senyawa

dan reseptor. Hasil Uji Statistik One-Way ANOVA dapat pada lampiran 23.

Berdasarkan hasil yang telah dilakukan, pengujian efek analgesik menunjukkan

bahwa jumlah geliat mencit kelompok bahan uji dosis I,II, dan III mengalami penurunan
81

dibandingkan dengan kelompok kontrol negatif. Hal ini menunjukkan bahwa ekstrak

daun bambu dapat mengurangi timbulnya geliat mencit sebagai respon nyeri yang

ditimbulkan oleh pemberian asam asetat secara intraperitoneal. Senyawa aktif yang

terdapat pada ekstrak etanol daun bambu yang berperan penting dalam penyembuhan

analgesik diduga karena adanya peran flavonoid yang terkandung didalam daun bambu.

Hasil penelitian yang dilakukan Owoyele dkk, membuktikan bahwa kandungan

flavonoid pada daun bambu kirinyuh (chromolaena odorata) memiliki efek

analgesik(97). dandiduga senyawa flavonoid berperan sebagai analgesik dengan

mekanisme kerjanya menghambat kerja enzim siklooksigenase dan akan mengurangi

produksi prostaglandin oleh asam arakidonat sehingga mengurangi rasa nyeri(70)(98).

Hal ini didukung oleh banyak penelitian terlebih dahulu yang banyak meneliti

tumbuhan obat yang mengandung flavonoid mempunyai efek analgesik (99).Mekanisme

flavonoid dapat dilihat pada Gambar 16.


82

Gambar 16.Mekanisme flavonoid dalam menghambat pembentukan prostaglandin(100)

Sehingga dapat disimpulkan bahwa ekstrak etanol daun bambu relatif aman

untuk dikembangkan sebagai terapi herbal dengan nilai LD50>5000mg/kgbb pada

jangka waktu singkat, secara dosis tunggal yangtermasuk dalam kategori praktis tidak

toksik dan pemberian ekstrak etanol daun bambu memberikan efek analgesik yang

sebanding dengan parasetamol. Tetapi dalam penelitian ini seharusnya perlu dilakukan

penelitian lebih lanjut mengenai toksisitas subkronik dari ekstrak daun bambu untuk

melihat efek dalam jangka waktu panjang dan perlu dilakukan uji farmakologi lainnya.
83

BAB V
PENUTUP

V.1. Kesimpulan

1. Pemanfaatan daun bambu berdasarkan studi etnofarmakologi menunjukkan


bahwa masyarakat di Dusun Sekajang menggunakan daun bambu secara empiris
dikonsumsi sebagai obat analgesik (obat anti nyeri)
2. Hasil skrining fitokimia menunjukkan bahwa ekstrak etanol daun bambu
(Bambusa vulgaris) positif mengandung flavanoid, saponin, fenol dan terpenoid.
Dan ekstrak daun bambu memiliki bentuk kental, warna hijau kehitaman dan
bau khas, rendemen yang diperoleh sebesar 13,75%, kadar sari larut air dan
etanol berturut-turut adalah 16,90% san 12,69%. Bobot jenis sebesar 1,005
g/mL. Susut pengeringan ekstrak etanol daun bambu adalah 31,48%.
3. Ekstrak etanol daun bambu (Bambusa vulgaris) memiliki LD50 lebih besar dari
5000 mg/kgbb yang termasuk dalam kategori praktis tidak toksik. Pada
pemberian ekstrak etanol daun bambu dosis 2000 mg/kgbb dan 5000mg/kgbb
tidak memberikan perubahan perilaku, psikomotor dan indeks organ pada hewan
tikus sehingga tidak memberikan pengaruh terhadap parameter toksisitas akut.
4. Dosis efektif pada ekstrak etanol daun Bambu (Bambusa vulgaris) yaitu dosis
300 mg/kgbb yang dapat memberikan efek analgesik yang sebanding dengan
kontrol positif yaitu parasetamol 65 mg/kgbb.

V.2. Saran
1. Perlu dilakukan uji toksisitas subkronik pada ekstrak etanol daun bambu
(Bambusa
vulgaris) untuk melihat efek pemberian berulang sehingga dapat digunakan
sebagai
obat herbal.
2. Perlu dilakukan penelitian dengan menggunakan ekstrak etanol daun bambu
untuk
84

menguji efek farmakologi lainnya seperti uji efek antiinflamasi atau antipiretik

DAFTAR PUSTAKA

1. Noorcahyati, Arifin. Z, Ningsih, M.K. Potensi Etnobotani Kalimantan Sebagai


Sumber Penghasil Tumbuhan Berkhasiat Obat. Peneliti Balai Penelitian
Konservasi Sumber daya Alam. Balikpapapan. 2011.

2. Zuhud, E.A.M dan Haryanto. Prosiding Seminar Pelestarian Pemanfaatan


Tumbuhan Obat dan Hutan Tropis Indonesia. Bogor: Jurusan Konservasi
Sumberdaya Hutan. Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. 1994.

3. Wardani, M., Keragaman Tumbuhan Berguna di Cagar Alam Mandor,


Kalimantan Barat, Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam. 2008;5(3): 251-
266.

4. Setyowati. F. M, Riswan. S, dan Susiarti. S. Etnobotani Masyarakat Dayak Ngaju


Di Daerah Timpah Kalimantan Tengah. 2005;1(3):502- 510.

5. Wahyono, Hakim, L., Nurlaila., Sulistio, M., dan Ilyas, R. Uji Toksisitas Akut
Ekstrak Etanolik Terstandar dari Kulit Akar Senggugu (Clerodendru serratum L.
Moon). Majalah Farmasi Indonesia. 2007; (18):1-7.

6. Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas). Pedoman Pewawancara Petugas Pengumpul


Data. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2013.

7. Iwuanyanwu K.C.P., Amadi, U., Charles, I.A., dan Ayalogu, E.O. Evaluation of
Acute and Subchronic Oral Toxicity Studi of Baker Cleanser Bitters A Polyherbal
Drug On Experimental Rat. EXCLI Journal. 2011(1): 632-640.

8. Septiatin. Apotek Hidup dari Rempah–Rempah. Bandung: Pratama Widya; 2008.

9. Meek,I.L, Laar MAF vd, Vonkeman HE. Non-Steroidal Antiinflammatory Drugs:


An Overview of Cardiovascular Risks. Pharmaceuticals. 2010: 2146-2162.

10. Benson GD, Koff RS, Tolman KG. The therapeutic use of acetaminophen in
patiens with liver disease. Am J Ther. 2005; 12: 133-41.

11. Novitasari A. Pengaruh Daun Bambu Tali (Gigantochoa apus (schult.& Shult.f.)
Kurz.) terhadap penurunan kadar asam urat darah mencit jantan Balb (Mus
85

Musculus L.) Hiperurisemia dan pemanfaatannya sebagai karya tulis popular.


Skripsi. Program Studi Pendidikan Biologi. Universitas Jember. 2015.

12. Coffie GY. Antwi BC.Darkwa NA. Phytochemical constituents of the leaves of
three bamboo (Poaceae) species in Ghana. Journal of Pharmacognosy and
Phytochemistry. 2014; 2(6): 34-38.

13. Syamsul ES. Lestiani WA. Sukawaty Y. Supomo. Uji Daya Analgetik Ekstrak
Etanolik Daun Binahong (Anredera Cordifolia (Ten) Steenis) Pada Mencit Putih
(Mus Musculus L.) Jantan. Prosiding Seminar Nasional Kimia. 2014: 1-5.

14. Tone DS. Wuisan J. Mambo C. Uji Efek Analgesik Ekstrak Daun Mahkota Dewa
(Phaleria Macrocarpa). Jurnal e-Biomedik (eBM). 2013; 1(2): 873-878.

15. Martin, GJ. Ethnobotany: A People and Plant Conversation Manual. Chapman
and Hall, London. 2004.

16. Setyowati, FM. Etnofarmakologi dan Pemakaian Tanaman Obat Suku Dayak
Tunjung Kalimantan Timur, LIPI, Bogor. Artikel Media litbang kesehatan. 2010;
20(3): 104-112.

17. Saroya, A.S. Herbalism, Phytochemistry and Ethnopharmacology.Science


Publisher, Punjab. 2011.

18. Badan Pusat Statistik Kabupaten Sanggau. Statistik Daerah Kecamatan Entikong
2015.Sanggau: BPS Kabupaten Sanggau. 2015.

19. Aditiasari, Dana. “Jalan di Perbatasan Kalimantan-Malaysia 1.770 Km Harus


Tersambungdi2018”.16Januari2016.Diaksesdari.http://m.detik.com/finance/read/2
016/01/16/165019/3120081//4/jalandiperbatasan-kalimantanmalaysia-1770-km-
harus-tersambungdi2018,10april2016.

20. Alloy dan Sujarni. Mozaik Dayak Keberagaman Subsuku dan Bahasa Dayak di
Kalimantan Barat. Pontianak: Institut Dayakologi. 2008.

21. Widjaja, E.A. Identifikasi Jenis-jenis bambu di Jawa. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Bilologi: LIPI Bogor. 2001.

22. Kristanti, A.N, Aminah N.S, Tanjung M, Kurniadi B. Buku Ajar Fitokimia
Surabaya: Airlangga University Press. 2010; 48-49, 96,100.

23. Octavianus S. Fatimawali. Lolo WA. Uji Efek Analgetik Ekstrak Etanol Daun
Pepaya (Carica Papaya L) Pada Mencit Putih Jantan (Mus Mucculus). Jurnal
Ilmiah Farmasi. 2014; 3 (2): 87-91.
86

24. Afrianti R. Yenti R dan Meustika D. Uji Aktifitas Analgetik Ekstrak Etanol Daun
Pepaya (Carica papaya L.) pada Mencit Putih Jantan yang di Induksi Asam
Asetat 1%. Jurnal Sains Farmasi & Klinis. 2014; 1(1) :54-60.

25. Puspitasari H. Listyawati S. Widiyani T. Aktivitas Analgetik Ekstrak Umbi Teki


(Cyperus rotundus L.) pada Mencit Putih (Mus musculus L.) Jantan. Biofarmasi.
2003; 1 (2): 50-57.

26. Sari, C.Y. Penggunaan Buah mengkudu (Morinda citrifoliaL) untuk Menurunkan
Tekanan Darah Tinggi. J Majority. 2015; 4 (3): 34-70.

27. Saraswati, N.I. Potensi ektsrak Daun Bambu Apus (Gigantochloa apus Kurz)
Sebagai Bioherbisida Terhadap Perkecambahan dan Pertumbuhan Cyperus iria L
dan Amaranthus spinosus L. Skripsi. Program Studi Biologi. Universitas Islam
Negeri. 2016.

28. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Parameter Standar Umum Ekstrak


Tumbuhan Obat. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2000;11-
13.

29. Gunawan D, Mulyani S. Ilmu Obat Alam (Farmakognosi). Jilid I. Jakarta: Penebit
Swadaya. 2004; 9-14.

30. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Parameter Standar Umum Ekstrak


Tumbuhan Obat. Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan. Jakarta:
2000.

31. Voight R. Buku Pelajaran Teknologi Farmasi. Yogyakarta: UGM Press; 1994;
561-564.

32. Khopkar, SM. Konsep Dasar Kimia Analitik. Jakarta: UI-Press; 2002.

33. Ansel HC. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi. Jakarta: Penerbit UI-Press: 200;
605-606, 608.

34. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Sediaan Galenik. Jakarta: Departemen


Kesehatan Republik Indonesi.1986: 10-11.

35. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Parameter Standar Umum Ekstrak


Tumbuhan Obat. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2000: 7-
11,13.

36. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Farmakope Indonesia. Edisi


Keempat. Jakarta:Departemen Kesehatan Republik Indonesia.1995: 7, 24-46, 43.

37. Priyanto M. Biomed. Toksikologi. Jakarta: Penerbit Leskonfi. 2010.


87

38. Timbrell J. Penghantar Toksikologi Ed3.London: Taylor & Francis. 2002: 163-
167.

39. Hayer AW. Prinsip dan Metode Toksikologi. New York: Gagak Tekan; 1984: 11-
19.

40. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman Uji Toksisitas Nonklinis


Secara in vivo. Jakarta: Direktorat jendral POM. 2014: 1-17.

41. Ganiswara. Farmakologi dan Terapi Ed.4. Jakarta: UI Press; 1995: 755-766.

42. Harmita dan Radji M., Buku Ajar Analisis Hayati. Depok: Departemen Farmasi
FMIPA UI.2004: 47-55, 72-75,77-85.

43. Hodgson, E. A Textbook of Modern Toxicology fourth edition. North: USA.


2010.

44. Gad, S.C. Chengelis CP. Acute Toxicology Testing, Second Edition.New York:
Taylor & Farncis Inc. 1988: 170.

45. Donatus, I.A. Toksikologi Dasar, Edisi 2, 7-8, 107-108, 117-120,187,


Laboratorium Farmakologi dan Toksikologi. Fakultas Farmasi, Yogyakarta:
Universitas Gadjah Mada. 2005.

46. Carolina, A John Wiley & Sons. Inc., Publication, 225 – 236.United State. The
Globally Harmonized System of Classification and Labeling of Chemicals (GHS).
Edisi ke-4. New York dan Ganeva; 2011.

47. Organization for Economic Co-operation and Development. OECD Guidline for
Testing of Chemicals, Acute Toxic Class Method, 423. 2001c.

48. Meyer O, Svendsen O. Animal Models in Pharmacology and Toxicology. Dalam


Hau J, Van Hoosier GL. Jr. Handbook of Laboratory Animal Science. Volume II.
Second Edition. United States of America : CRC Press; 2003: 23.

49. Organization for Economic Co-operation and Development. OECD Guidline for
Testing of Chemicals, Fixed Dose Procedure, 420. 2001.

50. Organization for Economic Co-operation and Development. OECD Guidline for
Testing of Chemicals, Acute Oral Toxicity- Up-and-Down-Procedure (UDP), 425.
2001.

51. Organization for Economic Co-operation and Development. OECD Guidline for
Testing of Chemicals, Acute Toxic Class Method, 423. 2001.
88

52. Barile FA. Principle of toxicology testing. Boca Raton: CRC Press; 2008:75,77-78.

53. Organization for Economic Co-operation and Development. OECD Guidline for
Testing of Chemicals, Acute Oral Toxicity- Up-and-Down-Procedure (UDP), 425.
Adopted 3rd October, 2008.

54. Westat. Acute oral toxicity software program, AOT425StatPgm; AOT425 Stat pgm
Program User’s Manual; and simulation Result fir the AOT425StatPgm Program. 12
Ferbruari 2012. 2001.

55. Rispin, A.,et al. Alternative methods for the median lethal dose (LD 50) test: the up-and-
down procedure for acute oral toxicity. Institute of laboratory animal resource journal.
2002; 43(4): 233-43.

56. Tjay, T.H dan Kirana Rahardja. Obat-Obat: Khasiat, Penggunaan dan Efek Sampinya.
Edisi keenam. Cetakan Pertama. Jakarta: Gramedia. 2007: 251.

57. Diana, H.S. Farmakoterapi Nyeri Punggung Bawah. Dalam: Meliala L, Nyeri
Punggung Bawah, Kelompok Studi Nyeri Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf
Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka: 2005.

58. McGuire, D. B & Sheildler, V. R. Pain. In S. L. Groen, M. H. Fragge, M.


Goodman, and C. H. Yarbro (Edt.). Cancer nursing: Principles and practice (3rd
Ed.) (pp. 499-556). Boston, NA: Jones and Bartlett Publisher; 1993.

59. Turk, D. C. & Flor, H. Chronic pain: A biobehavioral perspective. In R. J. Gatchel


& D. C. Turk (Ed.). Psychosocial factors in pain (pp. 1834). New York: The
Guilford Press. 1999.

60. Ernest, Mutschler. Dinamika Obat. Edisi V. Bandung: Penerbit ITB. 1991: 177-
178, 180, 193-194.

61. Muchtar, A.Monitoring Kadar Terapeutik Obat. Cermin Dunia Kedokteran. 1985:
37 (1): 13-14.

62. Wilmana PF. Analgesik Antipiretik Antiinflamasi Non Steroid dan Obat Dalam
Ganiswarna, Farmakologi dan Terapi. Edisi 4. Jakarta : Penerbit FKUI; 1995.

63. Safitri, A.R. Uji Efek Analgesik Infusa Daun Cocor Bebek (kalanchoe pinnata
(Lam.)Pres.) terhadap mencit Jantan Galur Swiss yang Diinduksi dengan Asam
Asetat.Skripsi; 2013.

64. Hallala, dkk. 2010. Evaluation of The Analgesic and Antipyretic Activities of
Chenopodium Ambrosiodes. ASIAN J. EXP. BIOL. SCI. Vol 1 (4) 2010: 894-
897. Online (http://www.ajebs.com/vol-4/28a.pdf. Februari 2016).
89

65. Gupta, Kumar, Anil dan Rakesh K. Fundamentals of Polymer Engineering. Edisi
kedua. New York : Marcell Dekker. 2003.

66. Sujarwo, W. Arinasa, I.B.K dan Peneng, N. Potensi Bambu Tali (Gigantochloa
apus J.A.& J.H.Schult. Kurz) Sebagai Obat di Bali. Bul.Littro. 2010; 21(2).

67. Widiarso, B.P dan Daryatmo, J. Daun Bambu Sebagai Agen Antifertilasi pada
Ternak. Magelang: Staf Pengajar Sekolah Tinggi Penyuluhan Pertanian. 2014.

68. Alam, N. Aziz, A.A. Cahyanti, L.D. Pemanfaatan Seresah Daun Bambu
(Dendrocalamus Aser) Sebagai Bioherbisida Pengendali Gulma yang Ramah
Lingkungan. Gontor AGROTECH Science Journal. 2015; 2(1):1-18.

69. Gry J, Soborg I, Andersson HC. 2006. Cucurbitacins in Plant Foods [Internet].
Denmark: Nordic Council of Minister; 2006: 50.

70. Gunawan, S.G., Setiabudy, R., Nafrialdi, Elsyabeth, editor. Farmakologi dan
Terapi Edisi 5. FKUI, Jakarta. 2008.

71. Kainsa, S dan Bhoria, R. Medicinal plants as a source of anti-inflammatory agent:


a review. IJOAHM. 2012; 2(3): 499-509.

72. Rahayu, S. Sri, A. Bata, M Dan Marsudi A. Potensi Ekstrak Daun Bambu Sebagai
Antibakteri Dalam Susu Pedet Pfh Lepas Kolostrum: Kerjasama Kemitraan
Penelitian Pertanian Dengan Perguruan Tinggi (Kkp3t). 2011: 217-218.

73. Syaifudin, Aziz, Viesa Rahayu, dan Hilwan Yuda Teruna. Standarisasi Bahan
Obat Alam. Yogyakarta: Penerbit Graha Ilmu. 2011.

74. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Materia Medika. Jilid III. Jakarta:
Departemen Kesehatan Rebublik Indonesia; 1979. Hal. 158-159, 167, 171, 170.

75. Marliana, Soerya Dewi, Venty Suryanti, Suyono. Skrining fitokimia dan analisis
kromatografi lapis tipis komponen kimia buah labu siam (sechium edule Jacq.
Swartz.) dalam ekstrak etanol. Biofarmasi. Surakarta: Jurusan Biologi FMIPA
UNS; 2005. 3(1).

76. Robinson, T. The Organic Constituents of Higher Plants Their Chemistry and
Interrelationships. 5th Ed. North Amherst: Cordus Press; 1983.

77. Sitorus, RMH., Wulur, AC., Yamlean, PYY. Isolasi dan Indentifikasi Senyawa
Flavonoid pada Daun Adam Hawa (Rhoe discolor) PHARMACON Jurnal Ilmiah
Farmasi; 2012;1(1): 53-57.
90

78. Septiana, R.S. Identifikasi dan Uji Aktivitas Antibakteri Fraksi Teraktif Daun
Sirih Merah (Piper crocatum Ruiz & Pau). 2011: 50.

79. Hosen, Z. S.M., Rasel Das, Zahed Bin Rahim, Nipa Chowdhury, Linkon Paul dan
Dibyajyoti Saha. Study of Analgesic Activity of The Methanolic Extract of
(Acorus Calamus L). and (Oroxylum Indicum Vent) by Acetic Induced Writhing
Method. Bulletin of Pharmaceutical Research; 2011; 1(3):63-67 .

80. Marlyne, Riza. Uji Efek Analgetik Ekstrak Etanol 70% Bunga Mawar (Rosa
chinensis Jacq.) pada Mencit yang Diinduksi Asam Asetat. Skripsi. Universitas
Indonesia. 2012.

81. Galani, V.J. & Patel, B.G. Analgesic and Anti-Inflammatory Activity of Argyreia
speciosa and Sphearhantus indiscus in and the Experimental Animals. Global
Jurnal of Pharmacology .2011; 5 (1): 54-59.

82. Wahyuni, T., Astuti, Y. & Nuratmi, B. Uji Perbandingan Efek Analgetik Infus
Temu Putih (Curcuma zedoaria Rosc.) dan Temu Mangga (Curcuma mangga
Val. Et Zipp) pada Mencit. Jurnal Bahan Alam Indonesia. 2003; 2 (3):81-84.

83. Sadeli, S. Riset Khusus Eksplorasi Pengetahuan Lokal Etnomedisin dan


Tumbuhan Obat Berbasis Komunitas di Indonesia. Kementerian Kesehatan RI
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Balai Besar Penelitian dan
Pengembangan Tanaman Obat dan Obat Tradisional tahun 2015 (tidak
dipublikasikan)

84. Kementerian Kesehatan Republik Inodensia. Riset Eksplorasi Pegetahuan Lokal


Etnomedisin dan Tumbuhan Obat di Indonesia Berbasis Komunitas. Laporan
Nasional. 2013.

85. Sukhdev SH, Suman PS, Gennaro L, Dev DR., editor. Extraction Technologies
for Medical and Aromatic Plants. Trieste: Padriciano; 2008.

86. Aguilera, J.M.Microstructural Principles of Food Processing and Engineering. Second


Edition. Gaithersburg: Aspen Publisher Inc:1999.

87. Yamamoto Nami, Kentaro, Mineyo numata, Kazuya koyama and Masahiko
kitayama. Effects of temperature and water regimes On flavonoid contents And
composition in the skin of red-wine grapes. Japan: National Research Institute of
Brewing, 3-7-1; 2011.

88. Orsat,V. Raghavan,G.S.V. Dehydration Technologies to Retain Bioactive


Components. Di dalam: Shi J, editor. Functional Food Ingredients and
Nutraceuticals: Processing Technologies. Boca Raton: CRC Press: 2006.
91

89. Kusumawati R, Tazwir, Wawasto A. Pengaruh rendemen dalam asam klorida


terhadap kualitas gelatin tulang kakap merah (Lutjanus sp.). Jurnal Pascapanen
dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan.2008.(3): 63-68.

90. Khoerunisa A, Lukmayani Y, Syafnir L. Isolasi dan Identifikasi Senyawa


Flavanoid dari Daun Bambu Kuning (Bambusa vulgaris Schard). Prosiding
Farmasi. 2016; 2(2) : 782-787.

91. Erkekoglu, Pinar, Belma Kocer Giray, Nursen Basaran. 3R Principle and
Alternative Toxicity Testing Methods. Vol 36. Turkey: FABAD. Journal of
Pharmaceutical Science; 2011. Pp. 101-117.

92. Tusthi G. Uji Analgesik Ekstrak Etanol Daun Senggani (Melastoma polyanthum
BI) Pada Mencit Putih Betina. Skripsi. Program Studi Ilmu Farmasi. Universitas
Sanata Dharma Yogyakarta. 2007.

93. Natalia, G. Uji Efek Analgesik Ekstrak Etanol Daun Sisik Naga (Pyrrosia
piloselloides (L.) M.G PRICE) pada mencit yang diinduksi Asam Asetat. Skripsi.
Jakarta : program Studi Farmasi. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan
Alam. Universitas Indonesia; 2012.

94. Wahyuni, A.S dan Sujono, T.A. Studi Aktivitas Daya Analgesik Jamu Pegel Linu.
Jurnal Penelitian Sains dan Teknologi. Jakarta. 2004 : 5 (1), 21-32.

95. Novadyanti. Uji aktivitas antiinflamasi dan antipiretik ekstrak etanol daun petai
(Parkia speciosa Hassk) pada tikus putih jantan galur Wistar. Skripsi. Program
Studi Farmasi Fakultas Kedokteran. Universitas Tangjungpura Pontianak. 2015.

96. Susanty, A. Fermando, A. Adelin, I.Efek Analgesik Ekstrak Etanol Daun Tampa
Badak (Voacanga foetida (BI.) K.Schum) pada Mencit Putih (Mus musculus)
Jantan. Jurnal Sains Farmasi dan Klinis. Riau. 2014: 1(1), 1-9.

97. Owoyele BV, Oguntoye SO, Dare K, Ogunbiyi BA, Aruboula EA, Soladoye AO.
Analgesic, Anti-inflammatory and Antipyretic Activities from Flavonoid
Fractions of Chromolaena odorata. Journal of Medicinal Plants Research.2008:
2(9):219-25.

98. Pandey, P.V. Bodhi, W. Yudistira,A. Uji Efek Analgetik Ekstrak Rumput Teki
(Cyperus Rotundus L.) Pada Tikus Putih Jantan Galur Wistar (Rattus Novergicus).
Jurnal Ilmiah Farmasi. Manado. 2013: 2(2): 44-40.

99. Safitri, I.A. dan Hastuti, A. Aktivitas Analgesik Ekstrak Etanol Daun Sligi
(Phyllanthus Buxifolius Muell .Arg ) terhadap Mencit Galur Balb/C. IJMS.
Jakarta. 2015: 2(1) : 1-5.
92

100. Sandhar, H.K., et all. A Review of Phytochemistry and Pharmacology of


Flavonoids. International Pharmaceutica Sciencia. 2011 : 1(1) : 25-41.

LAMPIRAN
93

Lampiran 1. Nama Batra dusun Sekajang Provinsi Kalimantan Barat

Lampiran 2. Jumlah ramuan yang digunakan dalam pengobatan oleh Informan di


dusun Sekajang,

Lampiran 3. Karakteristik Informan di dusun Sekajang


94

Lampiran 4. Titik Pengamatan Ristoja 2015 Provinsi Kalimantan Barat

Lampiran 5. Daftar Tanaman Obat di dusun Sekajang


95
96
97

Lampiran 6. Surat Determinasi Tanaman


98

Lampiran 7. Proses Ektraksi


99

Proses Pengeringan Daun Bambu Proses Ekstraksi dengan Metode Maserasi

Proses Penghalusan dan Pengayakan mesh 40 Proses Penyaringan

Hasil dari ekstraksi metode maserasi Ekstrak Etanol Daun Bambu

Lampiran 8. Perhitungan Rendemen Ekstrak

Penetapan Rendemen Ekstrak Etanol Daun Bambu


Bobot Simplisia yang digunakan = 1.1120 gram
Bobot Ekstrak yang diperoleh = 152,94 gram

Bobot ekstrak 152.94(g)


Rendemen ekstrak = x 100 % = x 100 % = 13,75 %
bobot simplisia 1.1120 (g)

Lampiran 9. Standarisasi Ekstrak


100

Pemanasan dalam oven Pendinginan krusibel dalam desikator


101

Krusibel tanpa ekstrak Krusibel + ekstrak daun bambu

Lampiran 10. Penimbangan Susut Pengeringan

Bobot Susut 1 (gram) Susut 2 (gram) Susut 3 (gram)


Krusibel awal 23,5790 23,6726 25,3298
Penimbangan 30 Menit ke 1 23,5785 23,6780 25,3294
Penimbangan 30 Menit Ke 2 23,5788 23,6765 25,3299
Penimbangan 30 Menit Ke 3 23,5784 23,6778 25,3290
Penimbangan 30 Menit Ke 4 23,5783 23,6782 25,3289
Penimbangan 30 Menit Ke 5 23,5705 23,6781 25,3199
Penimbangan 30 Menit Ke 6 23,5705 23,6780 25,3199
Penimbangan 30 Menit Ke 7 23,5704 25,3198

a. Penimbangan Krusible Kosong + Ekstrak


Bobot Susut 1 (gram) Susut 2 (gram) Susut 3 (gram)
Krusibel awal (Konstan+Ekstrak) 24,5706 24,6795 26,3203
Penimbangan 30 Menit Ke 1 24,5580 24,6776 26,3094
Penimbangan 30 Menit Ke 2 24,5368 24,6780 26,2895
Penimbangan 30 Menit Ke 3 24,5292 24,6784 26,2565
Penimbangan 30 Menit Ke 4 24,5187 25,6756 26,2348
Penimbangan 30 Menit Ke 5 24,4818 24,5753 26,2225
Penimbangan 30 Menit Ke 6 24,4555 24,5768 26,2135
Penimbangan 30 Menit Ke 7 24,4283 24,5767 26,2104
Penimbangan 30 Menit Ke 8 24,3961 24,5780 26,1869
Penimbangan 30 Menit Ke 9 24,2985 24,5771 26,1532
Penimbangan 30 Menit Ke 10 24,2815 24,5766 26,1323
Penimbangan 30 Menit Ke 11 24,2845 24,4756 26,1011
Penimbangan 30 Menit Ke 12 24,2759 24,4766 26,0998
Penimbangan 30 Menit Ke 13 24,2646 24,3358 26,0654
Penimbangan 30 Menit Ke 14 24,2655 24,3761 26,0167
Penimbangan 30 Menit Ke 15 24,2583 24,3760 26,0158
Penimbangan 30 Menit Ke 16 24,2574 24,3758 26,0095
Penimbangan 30 Menit Ke 17 24,2466 26,0094
Penimbangan 30 Menit Ke 18 24,2470 26,0094
Penimbangan 30 Menit Ke 19 24,2444
Penimbangan 30 Menit Ke 20 24,2445
102

Penimbangan 30 Menit Ke 21 24,2445

Tabel Bobot Konstan Krusibel Kosong

Bobot (gram) Krusibel kosong


Keterangan Krusibel Pengeringan 2 Pengeringan 1 Pengeringan
Awal Jam terakhir jam terakhir Terakhir (Konstan)
Susut ke-1 23,5790 23,5705 23,5705 23,5704
Susut ke-2 23,6726 23,6782 23,6781 23,6780
Susut k3-3 25,3298 25,3199 25,3199 25,3198

Tabel Bobot Konstan Krusibel dan Ekstrak

Bobot (gram) Krusibel kosong


Keterangan Krusibel Pengeringan 2 Pengeringan 1 Pengeringan
Awal Jam terakhir jam terakhir Terakhir
(Konstan)
Susut ke-1 24,5706 24,2444 24,2445 24,2445
Susut ke-2 24,6795 24,3761 24,3760 24,3758
Susut k3-3 26,3203 26,0095 26,0094 26,0094
a. Susut pengeringan I
Bobot ekstrak awal = Bobot ( Krus + ekstrak awal) – Bobot Krus (Konstan)
= 24,5706-23,5704
= 1,0002 gr
Bobot ekstrak Pengeringan Konstan
= Bobot Pengeringan konstan (Krus+ekstrak)-Bobot krus (konstan)
= 24,2445 - 23,5704
= 0,6741 gr
Bobot ekstrak awal−bobot ekstrak pengeringan konstan
% Susut Pengeringan ¿ x 100 %
Bobot ekstrak awal
1,0002−0,6741
= x 100 %
1,0002
= 32,6034%
b. Susut pengeringan II
Bobot ekstrak awal = Bobot ( Krus + ekstrak awal) – Bobot Krus (Konstan)
= 24,6795-23,6780
= 1,0015 gr
Bobot ekstrak Pengeringan Konstan
= Bobot Pengeringan konstan (Krus+ekstrak)-Bobot krus (konstan)
= 24,3758-23,6780
= 0,6978 gr
103

Bobot ekstrak awal−bobot ekstrak pengeringan konstan


% Susut Pengeringan ¿ x 100 %
Bobot ekstrak awal
1,0015−0,6978
= x 100 %
1,0015
= 30,3245%
c. Susut pengeringan III
Bobot ekstrak awal = Bobot ( Krus + ekstrak awal) – Bobot Krus (Konstan)
= 26,3203-25,3198
= 1,0005 gr
Bobot ekstrak Pengeringan Konstan
= Bobot Pengeringan konstan (Krus+ekstrak)-Bobot krus (konstan)
= 26,0094 - 25,3198
= 0,6896 gr

Bobot ekstrak awal−bobot ekstrak pengeringan konstan


% Susut Pengeringan ¿ x 100 %
Bobot ekstrak awal
1,0005−0,6896
= x 100 %
1,0005
= 31,5242%

Susut Pengeringan ( I + II+ III )


Rata-rata susut pengeringan = x 100 %
3
32,6034 %+ 30,3245% +31.5242 %
= x 100 %
3
= 31,4840%
Nilai SD ± 1,13

Lampiran 11. Penimbangan Kadar Sari Larut Air Ektrak Etanol Daun Bambu

Waktu Krusibel Kosong (gram) Krusibel dengan Ekstrak (gram)

1 2 3 1 2 3
1 jam ke 1 35,0469 34,4469 36,4562 35,1257 34,5257 36,6749
1 jam ke 2 35,0465 34,4451 36,4543 35,1268 34,5232 36,6846
1 jam ke 3 35,0471 34,4460 36,4535 35,1259 34,5217 36,6572
1 jam ke 4 35,0458 34,4432 36,4543 35,1263 34,5224 36,5562
1 jam ke 5 35,0456 34,4430 36,4540 35,1251 34,5312 36,5578
1 jam ke 6 35,0453 34,4427 36,4538 35,1242 34,5254 36,5532
1 jam ke 7 35,1240 34,5251 36,5531
104

1 jam ke 8 35,1237 34,5248 36,5529

Bobot Konstan Kadar Sari Larut Air


Replikasi 1 2 3
Bobot Konstan Krusibel Berisi Ekstrak (gram) 35,1237 34,5248 36,5529
Bobot Konstan Krusibel Kosong (gram) 35,0453 34,4427 36,4538
Bobot Ekstrak Awal (gram) 2,5163 2,5231 2,5273
Bobot Ekstrak Akhir (gram) 0,0784 0,0821 0,0953

a. Krusibel 1
Bobot Ekstrak Akhir( gram) 10 ml
% Kadar Senyawa yang Larut Air = x 100 %
Bobot Ekstrak awal(gram) 2 ml
0,0784 10 ml
= x x 100 % = 15,5784%
2,5163 2 ml
b. Krusibel 2
Bobot Ekstrak Akhir( gram) 10 ml
% Kadar Senyawa yang Larut Air = x 100 %
Bobot Ekstrak awal(gram) 2 ml
0,821 10 ml
= x x 100 % = 16,2696%
2,5231 2 ml

c. Krusibel 3
Bobot Ekstrak Akhir( gram) 10 ml
% Kadar Senyawa yang Larut Air = x 100 %
Bobot Ekstrak awal(gram) 2 ml
0,0953 10 ml
= x x 100 % = 18,8541%
2,5273 2 ml
Rata-rata % Kadar Senyawa Larut Air
Krusibel 1+ Krusibel 2+ Krusbel 3 15,5784 % +16,2696 %+18,8541 %
= =16.9007%
3 3
Nilai SD ± 1,73

Lampiran 12. Penimbangan Kadar Sari Larut Etanol Ektrak Etanol Daun Bambu

Waktu Krusibel Kosong (gram) Krusibel dengan Ekstrak (gram)

1 2 3 1 2 3
1 jam ke 1 34,2392 35,1562 38,4563 35,2771 36,1859 39,4697
1 jam ke 2 34,2476 35,1532 38,4571 35,2894 36,1582 39,4691
1 jam ke 3 34,2465 35,1571 38,4519 35,2284 35,1949 39,4683
1 jam ke 4 34,2491 35,1573 38,4532 35,2014 35,1535 39,4611
1 jam ke 5 34,2490 35,1553 38,4564 34,2993 35,1462 38,5320
1 jam ke 6 34,2490 35,1587 38,4562 34,2432 35,1938 38,5332
1 jam ke 7 35,1597 38,4562 34,3065 35,1337 38,5338
1 jam ke 8 35,1595 34,3067 35,1232 38,5347
1 jam ke 9 34,3068 35,2438 38,5352
1 jam ke 10 35,2437 38,5253
1 jam ke 11 35,2437 38,5253
105

Bobot Konstan Kadar Sari Larut Etanol

Replikasi 1 2 3
Bobot Konstan Krusibel Berisi Ekstrak (gram) 34,3068 35,2437 38,5253
Bobot Konstan Krusibel Kosong (gram) 34,2490 35,1592 38,4562
Bobot Ekstrak Awal (gram) 2,5741 2,9015 2,8175
Bobot Ekstrak Akhir (gram) 0,0578 0,0847 0,0691

a. Krusibel 1
Bobot Ekstrak Akhir( gram) 25 ml
% Kadar Senyawa Yang Larut Etanol = x 100 %
Bobot Ekstrak awal(gram) 5 ml
0,0578 25 ml
= x x 100 % = 11,2272%
2,5741 5 ml

b. Krusibel 2
Bobot Ekstrak Akhir( gram) 10 ml
% Kadar Senyawa Yang Larut Etanol = x 100 %
Bobot Ekstrak awal(gram) 2 ml
0,0847 25 ml
= x x 100 % = 14,5958%
2,9015 5 ml

c. Krusibel 3
Bobot Ekstrak Akhir( gram) 10 ml
% Kadar Senyawa Yang Larut Etanol = x 100 %
Bobot Ekstrak awal(gram) 2 ml
0,0691 25 ml
= x x 100 % = 12,2626%
2,8175 5 ml
Rata-rata % Kadar Senyawa Larut Etanol
Krusibel 1+ Krusibel 2+ Krusbel 3 11,2272 %+14,5958 % +12,2626 %
= = 12,6952%
3 3
Nilai SD ± 1,72
Lampiran 13. Penimbangan Bobot Jenis Ektrak Etanol Daun Bambu
106

Bobot Piknometer Bobot Bobot


Kosong Piknometer+Akuadest Piknometer + Ekstrak

Bobot A B C
Percobaan 1 15,9782 25,9757 25,9433
Percobaan 2 15,9678 25,9981 25,9176
Percobaan 3 15,9854 25,9943 25,9328
Bobot Konstan 15,9771 25,9894 25,9312
Keterangan : A = bobt piknometer kosong (g)
B = bobot piknometer + Ekstrak Daun Bambu (g)
C = bobot piknometer + Akuadest (g)

B− A 25,9894−15,9771
Bobot Jenis Ektrak = xBj Air = x 1 g / ml
C−A 25,9312−15,9771
= 1,005 g/ml

Lampiran 14. Proses Skrining Fitokimia


Metode Tabung Reaksi

Uji Alkaloid (-) Saponin (+) Flavanoid (+)


Pereaksi Meyer (-)
107

Pereaksi Dragendroff (-)


Pereaksi Wagner (-)

Uji Fenol (+)


Uji Triterpenoid (+) Steroid (-) Uji Tanin (-)

Lampiran 15. Perhitungan Dosis Pemberiaan Hewan Uji


1. Pembuatan Sediaan Uji Toksisitas Akut
Dosis Pemberian :
200 gram berat badan tikus = 2 ml
a. Perhitungan Dosis 2000 mg/kgbb

Dosis ekstrak untuk BB Tikus 200 gram = 2000 mg/kgbb

2000 mg
Dosis ekstrak = x 200 gram = 400 mg/kgbb
1000 gr /kgBB

Jadi Ekstrak Daun Bambu yang ditimbang 400 mg

b. Perhitungan Dosis 5000mg/kgbb


108

Dosis ekstrak untuk BB Tikus 200 gram = 5000 mg/kgbb


5000 mg
Dosis Ekstrak = x 200 gram = 1000mg/kgbb
1000 gr /kgBB

Jadi, ekstrak daun Bambu yang ditimbang 1 gram

2. Pembuatan Sediaan Suspensi Toksisitas Akut


Perhitungan suspensi =
Pembuatan CMC-Na 1% = 1 gram CMC-Na dalam 100 ml Aquadest
Suspensi ekstrak Daun Bambu dibuat dalam 10 ml
a. Dosis 2000 mg/kgbb
Ditimbang 400 mg ekstrak untuk 2 ml (Volume Pemberian Tikus)
Dibuat Larutan Stok 10 ml CMC-Na 1%
400 mg Ekstrak x 10 ml CMC-Na = 4000 mg/ml
Jadi, ditimbang 4 gram ekstrak dibuat dalam 10 ml CMC-Na 1%
b. Dosis 5000 mg/kgbb
Ditimbang 1 gram ekstrak untuk 2 ml (Volume Pemberian tikus)
Dibuat larutan stok 10 ml CMC-Na
1 g ekstrak x 10 ml CMC-Na = 10 gr/ml
Jadi, ditimbang 10 gram ekstrak dibuat dalam 10 ml CMC-Na 1%

3. Pembuatan Sediaan Uji Aktivitas Analgesik


a. Perhitungan Dosis Parasetamol
Dosis Paraseatamol = 500 mg
Konversi manusia ke mencit = 0,0026
Berat badan standar mencit = 20 gram
Maka dosis mencit = 500 mg x 0,0026
= 1,3 mg/ 20 gBB mencit
= 0,65 mg/10 gBB mencit
= 65 mg/kgbb
Volume pemberian mencit adalah 0,1 ml, maka untuk mencit untuk berat badan
10 gr menerima 0,65 mg/0,1 mL.
109

Dibuat larutan stok = 0,65 g/100 mL


0,65 mg 650
= x 100 ml= =0,65 gr /100 mL
0,1 1000
b. Perhitungan Dosis Secara Empiris
Penggunaan Empiris (Bobot rata-rata 2 genggam)
= 40 gram (Untuk Penggunaan selama 7 hari dalam 3x sehari minum)
40
Bobot rata-rata 2 genggam daun bambu = = 1,9047 gr (Untuk penggunaan 1x
21

Pakai)

Bobot Simplisia Basah = 42,90 gram

Bobot Simplisia Kering = 19,55 gram

19,55
Dosis untuk manusia 50 kg = x 1,9047=0,8679 gram
42,90

70
Dosis untuk 70 kg = x 0,8679=1,21 50 gram ≈ 1215 mg
50

Dosis Ekstrak Etanol daun Bambu

I = 1215 mg/kgbb ≈ 1200 mg/kgbb

II = 607,5 mg/kgbb ≈ 600 mg/kgbb

III = 305,75 mg/kgbb ≈ 300 mg/kgbb

Lampiran 16. Proses Pemberian Sediaan dan Pengamatan

Penimbangan Pemberiaan Sediaan Pengamatan Mata


Hewan Uji (Tikus) Uji (Tikus)
110

Pengamatan Uji Perilaku (Platform) Pengamatan Uji Perilaku


(Menggelantung)

Orientasi Asam Asetat Pemberian Sediaaan Uji Geliat Mencit di induksi


Pada Tikus pada Mencit Asam Asetat
111

Lampiran 17. Pengamatan Uji Perilaku


112

Lampiran 18. Proses Pembedahan dan Pengamatan Organ pada Dosis


2000mg/kgbb dan 5000 mg/kgbb

Proses

Pembiusan Proses Pembedahan dosis 2000 mg/kgbb dan 5000 mg/kgbb


Organ hati, jantung, ginjal, paru-paru dan pankreas dosis 2000mg/kgbb dan 5000 mg/kgbb
113

Lampiran 19. Data penimbangan Bobot 2 genggam Daun Bambu

Penimbangan Ke- Bobot (gr)


1 42
2 40
3 39
4 40
5 41
6 40
7 39
8 38
9 40
10 41
11 42
12 42
13 40
14 41
15 39
16 38
17 39
18 38
19 40
20 41
Jumlah 800
Rata-rata 40

Bobot rata-rata 2 genggam daun bambu sebanyak 40 gram


114

Lampiran 20. Perhitungan Dosis Empiris Daun Bambu di Dusun Sekajang


 Penggunaan Empiris (Bobot rata-rata 2 genggam) = 40 gram (Untuk Penggunaan
selama 7 hari dalam 3x sehari minum)

 Jumlah simplisia yang diperlukan setara dosis empiris =

Bobot Simplisia Basah = 42,90 gram

Bobot Simplisia Kering = 19,55 gram

19,55
 Dosis untuk manusia 50 kg = x 1,9047=0,8679 gram
42,90

70
 Dosis untuk 70 kg = x 0,8679=1,250 gram Dosi 1215 mg
50

 Dosis Ekstrak Etanol daun Bambu

I = 1215 mg/kgbb ~ 1200 mg/kgbb

II = 607,5 mg/kgbb ~ 600 mg/kgbb (1/2x)

III = 305,75 mg/kgbb ~ 300 mg/kgbb (2x)


115

Lampiran 21. Hasil determinasi hewan


116

Lampiran 22. Data Perhitungan Persen Proteksi Geliat

Rumus (P
: % Proteksi Geliat = 100 – K x 100 )
Keterangan : P = jumlah kuulatif geliat hewan uji kelompok perlakuan
K = jumlah kumulatif geliat mencit uji kelompok negatif

1. Kontrol Positif
78
( )
% Proteksi Geliat = 100 - 294 x 100 =73,46 %

2. Dosis Ekstrak 300 mg/kgbb


85
( )
% Proteksi Geliat = 100 - 294 x 100 =71,08 %

3. Dosis Ekstrak 600 mg/kgbb


168
( )
% Proteksi Geliat = 100 - 294 x 100 =42,85%

4. Dosis Ekstrak 1200 mg/kgbb


211
( )
% Proteksi Geliat = 100 - 294 x 100 =28,23 %
117

Lampiran 23. Hasil Uji Statistik One-Way ANOVA


a. Uji normalitas terhadap jumlah geliat mencit
Tujuan : Mengetahui distribusi data jumlah geliat mencit

b. Uji Homogenitas varians terhadap jumlah geliat mencit

Tujuan = mengetahui homogenitas data jumlah mencit

c. Hasil uji ANOVA

Tujuan : mengetahui ada tidaknya perbedaan bermakna jumlah geliat mencit antar

kelompok perlakuan
118

d. Hasil Uji Tukey LSD

Tujuan : mengetahui perbedaan bermakna jumlah geliat mencit


119

Anda mungkin juga menyukai