PENDAHULUAN
memiliki banyak manfaat serta belum tergali secara maksimal. Potensi yang belum
tergali diantaranya adalah potensi jenis tumbuhan yang berhasiat sebagai obat (1).
Pemanfaatan tumbuhan sebagai bahan obat sudah sejak lama dilakukan oleh masyarakat
di Indonesia dengan keanekaragam suku yang ada dan diwariskan secara turun
mengenai pemanfaatan tumbuhan sebagai obat. Terdapat lebih dari 1.000 jenis
tumbuhan yang ada di Kalimantan Barat digunakan sebagai obat dan sekitar 300 jenis
sudah dimanfaatkan untuk pengobatan tradisional(3). Masyarakat suku dayak sampai saat
Bahan alam yang akan dikembangkan menjadi obat herbal pada kesehatan harus
hasil dari Riset Kesehatan Dasar pada tahun 2013, dari 300.000 keluarga di Indonesia,
mempertahankan kesehatan masyarakat telah lama kita ketahui, bahkan sampai saat ini
menurut perkiraan badan kesehatan dunia (WHO), 80% penduduk dunia masih
tergantung pada pengobatan tradisional(7). Obat tradisional biasa dikenal sebagai obat
1
2
Salah satu obat sintetik yaitu parasetamol, penggunaan parasetamol dalam dosis besar
dan jangka waktu lama dapat menyebabkan kerusakan hati (9). Kerusakan hati akibat
pengobatan tradisional menggunakan herbal yang relatif aman dan mudah didapatkan.
Berdasarkan hasil penelitian Riset Tumbuhan Obat dan Jamu (RISTOJA) pada
tahun 2015 dilaksanakan 24 provinsi salah satunya di provinsi Kalimantan Barat yaitu
endemik secara empiris digunakan masyarakat sebagai pengobatan penyakit demam dan
obat nyeri dengan menggunakan daun bambu. Daun bambu dikembangkan untuk
pengobatan herbal tradisional dalam menurunkan kadar asam urat, peningkatan asam
urat mengakibatkan gangguan tubuh disertai timbulnya rasa nyeri(11). Berdasarkan hasil
penelitian skrining fitokimia daun bambu mengandung senyawa fenol, tannin, saponin,
masyarakat namun masih belum ada penelitian ilmiah yang memastikan bahwa daun
bambu aman dikonsumsi. Untuk mengetahui tingkat keamanan pada daun bambu maka
diperlukan suatu uji toksisitas. Sehingga diharapkan daun bambu dapat dimanfaatkan
sebagai obat herbal dalam mengatasi rasa nyeri. Untuk itu perlu dilakukannya penelitian
ini agar dapat memberikan informasi ilmiah kepada masyarakat luas khususnya
Kalimantan Barat ?
2. Apa saja golongan senyawa yang terkandung dalam ekstrak etanol daun bambu
(Bambusa vulgaris) ?
3. Berapa nilai LD50 dan gambaran perilaku, psikomotorik dan berat badan tikus
pada toksisitas akut menggunakan ekstrak etanol daun bambu (Bambusa vulgaris)
4. Berapa dosis efektif ekstrak etanol daun bambu (Bambusa vulgaris) yang dapat
menimbulkan efek analgetik pada mencit galur Swiss yang diinduksi asam asetat?
vulgaris).
3. Mengetahui nilai LD50 dan gambaran perilaku, psikomotorik dan berat badan tikus
4. Mengetahui dosis efektif ekstrak etanol daun bambu (Bambusa vulgaris) yang
dapat menimbulkan efek analgetik pada mencit galur Swiss yang diinduksi asam
asetat.
4
Manfaat dari penelitian ini adalah memberi informasi ilmiah kepada masyarakat
toksisitas akut dan uji aktivitas analgetik, sehingga diharapkan dapat digunakan sebagai
salah satu pilihan alternatif terapi obat tradisional yang aman dikonsumsi.
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1. Etnofarmakologi
Etnofarmakologi menurut Martin, merupakan ilmu yang terkait dengan beberapa bidang
ilmu seperti ilmu botani (etnobotani), ilmu farmasi (etnofarmasi), dan aspek sosial serta kultur
budaya masyarakat. Etnofarmakologi adalah bagian dari etnobotani yang mempelajari khusus
tentang kegunaan tumbuhan yang memiliki efek farmakologi untuk pengobatan dan
pemeliharaan kesehatan dalam suatu suku bangsa (15). Etnofarmakologi menurut Setyowati,
merupakan studi ilmiah yang menghubungkan suatu kelompok etnis, kesehatan mereka dan
bagaimana kebiasaan ini terkait dengan kondisi fisik dan metode dalam membuat dan
menggunakan obat(16).
kegunaan tumbuhan yang memiliki efek farmakologi untuk pengobatan dan pemeliharaan
terhadap penyakit yang dilakukan berdasarkan kepercayaan turun temurun, baik dengan
menggunakan bahan alami yang tersedia dan diyakini mempunyai khasiat yang dapat
menjelaskan pengobatan tradisional menjadi obat modern, menguji pasien yang mengkonsumsi
herbal penyembuh, dan mengindentifikasi penyakit pada herbal yang digunakan (17). Kajian
etnofarmakologi meliputi penggunaan tanaman sebagai obat tradisional secara empiris disuatu
II.2. Profil Dusun Sekajang, Desa Suruh Tembawang, Kecamatan Entikong Kabupaten
Sanggau, Provinsi Kalimantan Barat
6
Wilayah Kecamatan Entikong dibagi menjadi 5 desa, 28 dusun, dan 73 RT yang masih
dalam tahap pengembangan. Salah satunya di Dusun Sekajang, Desa Suruh Tembawang,
Kecamatan Entikong Kabupaten Sanggau provinsi Kalimantan Barat. Jarak tempuh dari Ibukota
ke desa desa di Kecamatan Entikong untuk provinsi Kalimantan Barat memiliki jarak tempuh
yang sangat jauh dan Jumlah penduduk di desa Suruh Tembawang tedapat 582 jumlah Kepala
Keluarga(18).
Suku dayak Sekajang adalah suku yang berasal dari dayak Semuh yang berada di
Serawak. Suku Dayak ini tinggal di hulu bantaran Sungai Sekayam yaitu di dusun Sekajang
yang berada di desa Suruh Tembawang, Kecamatan Entikong, Kabupaten Sanggau, Provinsi
Kalimantan Barat yang diketahui bahwa masyarakat dusun Sekajang merupakan masyarakat
yang berasal dari migrasi dayak yang ada di Malaysia. Hal ini mengakibatkan secara bahasa dan
adat istiadat yang berlaku pada dusun Sekajang berbeda dengan wilayah masyarakat adat
didaerah sekitarnya. Bahasa yang digunakan sering disebut sebagai Bahasa Senggau. Desa
Suruh Tembawang banyak yang tidak mengerti bahasa Indonesia dan masyarakat disana
kebanyakan menggunakan bahasa daerah Dayak dan bahasa Malaysia dikarenakan penduduk
setempat sangat terpengeruh dengan budidaya dari negeri Malaysia (19). Kelompok masyarakat
adat yang berada di dusun Sekajang menamakan diri mereka dayak Semuh. Berdasarkan
komposisi jumlah penduduk di desa Suruh Tembawang mayoritas beragama katolik dan
mayarakat di desa Suruh Tembawang mayoritas tidak tamat Sekolah Dasar dikarenakan dengan
7
jumlah sarana dan prasarana pendidikan yang masih berjumlah sedikit dan kesadaran
masyarakat akan pentingnya pendidikan bagi masa depan, maka tingkat pendidikan di Desa
Suruh Tembawang masih tergolong rendah sehingga mata pencaharian masyarakat desa Suruh
Tembawang sebagai seorang petani dengan berfokus pada pertanian padi sawah, tumbuhan
pangan dan perkebunan. Julmlah penduduk di desa Suruh Tembawang mayoritas laki-laki
dibandingkan perempuan(18).
Rumah adat masyarakat Dusun Sekajang, Desa Suruh Tembawang dalam masyarakat
setempat adalah “Blei Bak” yang artinya Pondok Kepala, dengan kata lain pondok penyimpanan
tengkorak manusia hasil “ngayau”. Ngayau adalah budaya memenggal kepala manusia dalam
masyarakat suku dayak pada zaman dahulu dan ngayau dilakukan untuk menaklukan sub suku
dayak atau suku suku lainnya. Blei Blak dalam bahasa masyarakat dusun sekajang disebut
“Panca”. Menurut legenda Blei Blak atau Panca yaitu bangunan yang digunakan untuk
menyimpan benda-benda hasil mengayau, salah satunya adalah tengkorak manusia. Panca yang
ada di dusun Sekajang adalah panca yang paling tua usianya jika dibandingkan dengan panca
Daun bambu (Bambusa sp) memiliki bagian daun yang lengkap karena memiliki
bagian-bagian seperti pelepah daun, tangkai daun dan helaian daun. Daun bambu
mempunyai tipe pertulangan yang sejajar seperti rumput dan setiap daun mempunyai
tulang daun utama yang menonjol(21). Ciri-ciri daun bambu (Bambusa sp) adalah bangun
daun berbentuk lanset, bentuk ujung daun meruncing, bentuk pangkal daun tumpul, tepi
daun rata, daging daun seperti kertas, pertulangan daun sejajar yaitu mempunyai satu
tulang di tengah yang besar membujur. Tulang-tulang daun jelas lebih kecil dan
nampak sejajar dengan ibu tulang daun. Permukaan daun bagian atas berbulu dan
permukaan daun bagian bawah berbulu kasar, serta bagian atas daun berwarna hijau
cerah sedangkan permukaan bagian bawahnya berwarna hijau suram (22). Helai daun
dihubungkan dengan pelepah oleh tangkai daun yang panjang atau pendek. Pelepah
dilengkapi dengan kuping pelepah daun. Kuping pelepah daun umumnya besar tetapi
ada juga yang kecil atau tidak tampak. Pada beberapa jenis bambu, kuping pelepah
Senyawa yang telah diisolasi dari Bambusa vulgaris masih sedikit sehingga
dapat digunakan data tentang kandungan dari tumbuhan lain yang memiliki klasifikasi
tumbuhan dari takson yang sama memiliki hubungan kekerabatan yang sangat erat itu
Berdasarkan hasil penelitian yang pernah dilakukan oleh Novitasari dan Coffie telah
sebagai obat menghilangkan rasa nyeri salah satunya sebagai obat asam urat(11).
Berdasarkan golongan senyawa metabolit sekunder yang diketahui bahwa daun bambu
Kandungan senyawa seperti flavonoid, triterpenoid dan minyak atsiri dapat digunakan
farmakologis dan efek toksik(26). Selain itu daun bambu juga memiliki potensi untuk
10
II.4. Simplisia
Simplisia adalah bahan alamiah yang dipergunakan sebagai obat yang belum
mengalami pengolahan apapun juga dan kecuali dikatakan lain, berupa bahan lain yang
telah dikeringkan(28). Istilah simplisia dipakai untuk menyebut bahan-bahan obat alam
yang masih berada dalam wujud aslinya atau belum mengalami perubahan bentuk.
Simplisia dapat dibuat dengan beberapa proses. Adapun proses proses tersebut
Proses pengumpulan bahan baku sangat menentukan kualitas bahan baku. Faktor
yang paling berperan dalam proses ini adalah masa panen. Berdasarkan garis besar
pedoman panen, pengambilan bahan baku dari daun dilakukan pada saat fotosintesis
berlangsung maksimal yang ditandai dengan saat-saat tumbuhan mulai berbunga atau
b. Sortasi Basah
Sortasi basah adalah proses pemilahan hasil panen ketika tumbuhan masih segar.
Sortasi dilakukan terhadap tanah dan kerikil, rumput-rumputan, bahan tumbuhan lain
atau bagian lain dari tumbuhan yang tidak digunakan dan bagian tumbuhan yang rusak.
11
c. Pencucian
terutama bahan-bahan yang berasal dari dalam tanah dan juga bahan-bahan yang
tercemar pestisida. Pencucian dapat dilakukan dengan menggunakan air yang berasal
d. Pengubahan Bentuk
permukaan bahan baku. Semakin luas permukaan maka bahan baku, maka akan
e. Pengeringan
matahari secara tidak langsung dengan menggunakan kain hitam. Penjemuran tidak
f. Sortasi Kering
yang rusak akibat terlindas roda kendaraan atau dibersihkan dari kotoran hewan.
g. Penyimpanan
12
Setelah proses pengeringan dan sortasi selesai maka simplisia perlu ditempatkan
dalam suatu wadah tersendiri agar tidak saling bercampur antara simplisia satu dengan
lainnya.
Ekstraksi adalah kegiatan penarikan kandungan kimia yang dapat larut sehingga
terpisah dari bahan yang tidak dapat larut. Pengetahuan mengenai golongan senyawa
aktif yang dikandung dalam simplisia akan mempermudah proses pemilihan pelarutan
dan cara ekstraksi yang tepat(30). Tumbuhan segar yang telah dihaluskan atau material
tumbuhan yang dikeringkan diproses dengan suatu cairan pengekstraksi. Jenis ekstraksi
dan bahan ekstraksi yang digunakan, terutama tergantung dari kelarutan bahan
kandungan serta dari stabilitasnya. Jumlah dan jenis senyawa yang berpindah masuk ke
dalam ekstraksi tergantung dari jenis dan komposisi cairan pengekstraksi. Untuk
memperoleh sediaan obat yang cocok umumnya berlaku campuran etanol-air sebagai
cairan pengekstraksi(31).
II.5.1. Maserasi
dengan beberapa kali pengocokan atau pengadukan pada temperature ruangan (kamar).
berulang-ulang masuk ke seluruh permukaan dari obat yang sudah halus. Maserasi
biasanya dilakukan pada temperatur 15°-20°C selama 3 hari sampai bahan-bahan yang
cara merendam serbuk simplisia dalam cairan penyari. Cairan penyari akan menembus
dinding sel dan masuk ke dalam rongga sel yang mengandung zat aktif, zat aktif akan
larut dan karena adanya perbedaan konsentrasi antara larutan zat aktif di dalam dengan
yang di luar sel, maka larutan yang terpekat didesak keluar. Peristiwa tersebut berulang
sehingga terjadi keseimbangan konsentrasi antara larutan di luar sel dan di dalam sel.
Keuntungan cara penyarian dengan maserasi adalah cara pengerjaan dan peralatan yang
II.5.2. Pelarut
Cairan pelarut dalam proses pembuatan ekstrak adalah pelarut yang baik (optimal)
untuk senyawa kandungan yang berkhasiat atau yang aktif, dengan demikian senyawa
tersebut dapat dipisahkan dari bahan dan dari senyawa kandungan lainnya, serta ekstrak
hanya mengandung sebagian besar senyawa kandungan yang diinginkan. Terdapat dua
syarat dalam pemilihan pelarut untuk ekstraksi yaitu pelarut tersebut harus merupakan
pelarut terbaik untuk bahan yang akan diekstraksi dan pelarut tersebut dapat terpisah
dengan cepat setelah pengocokan. Dalam pemilihan pelarut yang harus diperhatikan
adalah toksisitas, ketersediaan, harga, sifat tidak mudah terbakar, rendahnya suhu kritis,
II.5.3. Ekstrak
Ekstrak adalah sediaan pekat yang diperoleh dengan mengekstraksi zat aktif dari
simplisia nabati atau hewani menggunakan pelarut yang sesuai, kemudian semua atau
hampir semua pelarut diuapkan dan massa atau serbuk yang tersisa diperlakukan
14
sedemikian hingga memenuhi baku yang telah ditetapkan . Sebagian besar ekstrak dibuat
dengan mengekstraksi bahan baku obat secara perkolasi. Seluruh perkolat biasanya
dipekatkan dengan cara destilasi dengan pengurangan tekanan, agar bahan utama obat
Sediaan ini liat pada kondisi dingin dan tidak dapat dituang, kandungan airnya
sekitar 30%.
Toksisitas didefinisikan sebagai segala hal yang memiliki efek berbahaya dari zat
kimia atau obat pada organisme target. Uji toksisitas terdiri atas dua jenis yaitu
toksisitas umum meliputi akut, subakut atau subkronis, kronis dan toksisitas khusus
menghasilkan zat zat beracun baik untuk tujuan defensif dan ofensif. Racun alami
binatang, tumbuhan dan bakteri terdiri dari berbagai bahan kimia yang dapat
manusia(38).
15
berbahaya dari zat kimia atau obat pada organisme target (39). Dalam hakikatnya obat
tradisional diteliti dan dikembangkan untuk dimanfaatkan sebagai obat untuk manusia,
karena uji toksisitas obat tradisional harus mampu mengungkapkan keamannya terkait
telah ada data mengenai identifikasi, sifat obat dan rencana penggunaanya. Data ini
Tujuan akhir dari uji toksikologi dan penelitian lainnya yang berkaitan dalam
menilai keamanan atau resiko toksikan pada manusia, idealnya data dikumpulkan dari
dilakukan pada manusia, maka umumnya uji toksikologi dilakukan pada hewan uji,
hewan sel tunggal atau sel kultur . Uji toksisitas dapat berupa uji ketoksisitas khas dan
tidak khas. Uji ketoksisitas tak khas dilakukan untuk mengevaluasi efek toksik,
subkronik dan kronis. Uji ketoksikan akut digunakan untuk menentukan nilai LD50 dan
dosis maksimal yang masih dapat ditoleransi oleh senyawa yang diuji. Uji ini dilakukan
pengamatan selama 24 jam atau hingga 7-14 hari untuk kasus tertentu(44,45).
Definisi Toksisitas akut adalah efek berbahaya yang terjadi segera setelah terpapar
suatu zat tunggal atau kombinasi zat sekali atau beberapa kali dalam waktu singkat.
Sedangkan didefinisi lain menyatakan, efek berbahaya yang terjadi segera setelah
terpapar dosis tunggal atau berulang dalam waktu 24 jam. Jumlah paparan mengacu
pada jumlah yang dapat mengancam kehidupan (over dosis) atau untuk pembunuhan
atau bunuh diri(37). Efek berbahaya atau toksisitas ini diartikan juga suatu yang dapat
16
Uji toksisitas oral akut merupakan salah satu uji praklinik yang bertujuan untuk
melihat efek toksik yang terjadi dalam waktu singkat, melalui pemberian tunggal per
oral ataupun dengan dosis berulang dalam waktu 24 jam. Data kematian hewan coba
yang dinyatakan dengan Dosis Letal 50 (LD 50) yang merupakan parameter pada uji
toksisitas akut. Penentuan LD50 merupakan tahap awal untuk mengetahui keamanan
bahan yang akan digunakan manusia dengan menentukan besarnya dosis yang
menyebabkan kematian 50% pada hewan uji setelah pemberian dosis tunggal(46).
Uji toksisitas akut dirancang untuk menentukan LD50 obat, dan menunjukkan
organ sasaran yang mungkin mengalami kerusakan. Pengamatan hewan uji dilakukan
sejak masa persiapan hewan uji, sebelum diberi perlakuan. Perlakuan berupa pemberian
obat pada masing-masing hewan uji dengan dosis tunggal. Batas dosis harus dipilih
sedemikian rupa dengan harapan dapat menimbulkan respon pada 10 – 90% hewan
uji(47). Uji toksisitas akut merupakan tata cara tertentu yang dirancang untuk menentukan
Definisi LD50 yaitu sebagai dosis atau konsentrasi yang diberikan sekali atau
beberapa kali dalam 24 jam dari suatu cara zat secara statistik dapat mematikan 50%
hewan coba(37). Pengujian toksisitas akut selain bertujuan menentukan dosis letal 50%
juga untuk mengetahui mekanisme dan target organ yang dipengaruhi zat toksik,
menentukan range dosis (interval dosis) untuk pengujian lebih lanjut (uji farmakologi,
toksisitas subakut, subkronis dan toksisitas jangka panjang) untuk mengklasifikasi zat
uji kedalam kelompok-kelompok tertentu seperti supertoksik, tidak toksik atau toksik(37).
17
suatu organisasi antar negara melipui bidang ekonomi, ilmu pengetahuan, pendidikan
dan pasar keuangan. Tujuan dari organisasi ini adalah menciptakan pedoman atau aturan
yang dapat meningkatkan tingkat kehidupan ekonomi dan sosial seluruh manusia di
dunia(48). Uji toksisitas akut termasuk kedalam kategori efek kesehatan manusia.
Perhatian akhir-akhir ini terfokus pada pengembangan alternatif metode penentuan LD50
tradisional untuk meminimalkan penggunaan jumlah hewan uji atau untuk mengubah
prosedur agar menyebabkan stress yang lebih rendah terhadap hewan uji. OECD
mengadopsi beberapa metode untuk penentuan toksisitas akut oral : limit test untuk
bahan yang diantisipasi memiliki toksisitas rendah, prosedur fixed dose, prosedur acute
Hewan uji diberi seri dosis dengan faktor pengalian 3,2 dan dosis yang dipilih
harus berada dalam jarak LD50 dari acuan. Pengamatan atas respon hewan uji dan
kematian hewan uji dilakukan hingga 14 hari setelah pemberian dosis (50-52). Hewan uji
yang digunakan adalah tikus atau mencit dengan jenis kelamin betina. Hewan uji jantan
tidak diikutsertakan karena menurut beberapa penelitian. Hewan uji betina lebih sensitif
jam. Jika hewan uji hidup, maka dosis selanjutnya di naikan dengan faktor kenaikan 3,2.
Jika hewan uji mati, maka dosis selanjutnya di turunkan dengan faktor penurunan 3,2.
18
b. Lima pembalikan muncul pada 6 hewan yang diujikan pada konsentrasi diatas dosis
terendah tersebut.
c. Minimal empat hewan uji telah mengikuti pembalikan dosis pertama dan rasio-
Oral Toxicity (Guideline 425) Statistical Program) adalah perangkat lunak untuk
menghitung nilai LD50. Tujuan dari prosedur ini adalah untuk menguji toksisitas jangka
pendek dari suatu senyawa kimia yang diberikan pada hewan penggerat. Informasi yang
dimasukkan kedalam aplikasi AOT425StatPgm adalah dosis dan respon hewan uji
bertahap. Pengguna aplikasi AOT425StatPgm dapat memasukkan hasil uji untuk satu
hewan uji, menyimpan data dan memasukkan data kembali untuk hewan uji kedua pada
hari yang berbeda. Ketika seluruh uji selesai, program AOT425StatPgm menggunakan
menghitung dosis rekomendasi untuk hewan uji berikutnya, kapan waktu untuk
II.7. Nyeri
II.7.1. Definisi
Nyeri adalah perasaan sensoris dan emosional yang menimbulkan rasa tidak
merupakan suatu perasaan subjektif pribadi dan ambang toleransi nyeri berbeda-beda
bagi setiap orang. Batas nyeri untuk suhu adalah konstan, yakni pada 44-45°C(56).
Rasa nyeri dalam kebanyakan hal hanya merupakan suatu gejala yang berfungsi
melindungi tubuh. Nyeri harus dianggap sebagai isyarat bahaya tentang adanya
gangguan di jaringan, seperti peradangan, infeksi jasad renik atau kejang otot. Nyeri
yang disebabkan oleh rangsangan mekanis, kimiawi atau fisis dapat menimbulkan
kerusakan pada jaringan. Rangsangan tersebut memicu pelepasan zat-zat tertentu yang
Mediator nyeri dapat mengakibatkan reaksi radang dan kejang-kejang yang dapat
mengaktivasi reseptor nyeri di ujung saraf bebas di kulit, mukosa dan jaringan lain. Dari
sini rangsangan di salurkan ke otak melalui jaringan lebat dari tajuk-tajuk neuron
dengan sangat banyak sinaps via sumsum tulang belakang, sumsum lanjutan, dan otak
tengah. Thalamus impuls kemudian diteruskan ke pusat nyeri di otak besar, dimana
a. Nyeri Akut
Nyeri akut adalah nyeri yang terjadi setelah cedera akut, penyakit, atau intervensi
bedah dan memiliki proses yang cepat dengan intensitas yang bervariasi (ringan sampai
berat) berlangsung untuk waktu yang singkat. Nyeri akut berdurasi singkat kurang lebih
6 bulan dan akan menghilang tanpa pengobatan setelah area yang rusak pulih
kembali(57).
20
b. Nyeri kronik
Nyeri kronik adalah nyeri konstan yang intermiten yang menetap sepanjang suatu
periode waktu, Nyeri ini berlangsung lama dengan intensitas yang bervariasi dan
listrik yang akan diterima ujung-ujung saraf. Proses transduksi dimulai ketika
teraktivasi. Aktivasi reseptor ini merupakan bentuk respon terhadap stimulus yang
2. Transmisi adalah proses penyaluran impuls listrik yang dihasilkan oleh proses
3. Modulasi adalah proses modifikasi terhadap rangsang. Modifikasi ini dapat terjadi
pada sepanjang titik dari sejak transmisi pertama sampai ke korteks serebri.
4. Persepsi adalah proses terakhir saat stimulasi tersebut telah mencapai korteks
II.8. Analgesik
21
Analgetika atau obat penghilang nyeri adalah zat-zat yang mengurangi rasa nyeri
merupakan senyawa yang pada dosis terapeutik dapat meringankan atau menekan rasa
nyeri, tanpa memiliki kerja anastesi umum. Mekanisme kerja dan efek samping
analgetika yang berkhasiat kuat dan analgetika yang berkhasiat lemah. Analgetika yang
berkhasiat kuat, bekerja di bagian pusat. Sedangkan analgetika yang bersifat lemah
sampai sedang, bekerja terutama pada perifer dengan sifat antipiretika dan kebanyakan
Obat-obatan dalam kelompok ini memiliki target aksi pada enzim, yaitu enzim
siklooksigenase (COX). COX berperan dalam sintesis mediator nyeri, salah satunya
adalah prostaglandin. Mekanisme umum dari analgetik jenis ini adalah mengeblok
pembentukan prostaglandin dengan jalan menginhibisi enzim COX pada daerah yang
tidak berbeda dengan NSAID dan COX-2 inhibitors. Efek samping yang paling umum
dari golongan obat ini adalah gangguan lambung usus, kerusakan darah, kerusakan hati
dan ginjal serta reaksi alergi di kulit. Efek samping biasanya disebabkan oleh
II.9. Parasetamol
22
Parasetamol digunakan secara luas di berbagai negara baik dalam bentuk sediaan
tunggal sebagai analgetik-antipiretik maupun kombinasi dengan obat lain dalam sediaan
asetosal, meskipun secara kimia tidak berkaitan. Tidak seperti Asetosal, Parasetamol
tidak mempunyai daya kerja antiradang, dan tidak menimbulkan iritasi dan pendarahan
lambung. Sebagai obat antipiretika dapat digunakan baik Asetosal, Salsilamid maupun
Parasetamol(62).
menimbulkan ketagihan (adiktif). Obat anti nyeri parasetamol juga digunakan pada
gangguan demam, infeksi virus atau kuman, pilek dan rematik atau encok walaupun
jarang(56). Dosis Parasetamol untuk dewasa 300mg-1g per kali, maksimum 4g per hari,
untuk anak 150-300 mg/kali, maksimum 1,2g/hari. Parasetamol dosis 140 mg/kg pada
anak-anak dan 6 gram pada orang dewasa berpotensi hepatotoksik. Dosis 4g pada anak-
Efek samping sering terjadi antara lain hipersensitivitas dan kelainan darah.
Penggunaan kronis dari 3-4 gram sehari dapat terjadi kerusakan hati, pada dosis diatas 6
gram mengakibatkan nekrosis hati yang tidak reversibel. Overdose menimbulkan antara
lain mual, muntah dan anorexia. Hanya parasetamol yang dianggap aman bagi wanita
hamil dan menyusui. Efek iritasi, erosi dan pendarahan lambung tidak terlihat, demikian
Asam asetat merupakan bahan kimia yang sering digunakan sebagai penginduksi
rasa nyeri. Rasa nyeri pada metode geliat akibat induksi asam asetat ditimbulkan oleh
pelepasan asam arakidonat bebas dari jaringan fosfolipid melalui jalur siklooksigenase
permeabilitas kapiler(63).
Pengujian ini dilakukan densgan menggunakan metode kimia (siegmund test) dan
nyeri. Metode ini dapat menimbulkan rasa nyeri dengan menggunakan rangsangan,
dimana variasi konsentrasi dari ekstrak tumbuhan diberikan secara oral pada 3
parasetamol yang diberikan secara oral sebagai kontrol positif . Setelah 30 menit,
setelah injeksi asam asetat dengan menghitung kontraksi perut atau geliat(59,64).
Metode ini menggunakan zat kimia sebagai induksi nyeri. Hewan percobaan
diberi asam asetat secara intraperitonial. Manifestasi nyeri akibat pemberian perangsang
nyeri asam asetat intraperitonial akan menimbulkan refleks respon geliat (writhing)
yang berupa tarikan kaki ke belakang, penarikan kembali abdomen (retraksi) dan kejang
tetani dengan membengkokkan kepala dan kaki belakang. Metode ini dikenal sebagai
Writhing Reflex Test atau Abdominal Constriction Test. Frekuensi gerakan ini dalam
waktu tertentu menyatakan derajat nyeri yang dirasakannya. Metode ini tidak hanya
sederhana dan dapat dipercaya tetapi juga memberikan evaluasi yang cepat terhadap
jenis analgesik perifer. Rasa nyeri pada hewan uji dilihat dalam bentuk respon gerakan
geliat yaitu kedua pasang kaki ke depan dan kebelakang serta perut menekan lantai,
Daun Bambu merupakan tumbuhan yang tumbuh liar dan yang diketahui
mempunyai khasiat secara empiris untuk mengobati rasa nyeri. Berdasarkan publikasi
yang mengungkapkan tentang penggunaan daun bambu dalam dunia pengobatan masih
sedikit bila dibandingkan dengan jenis tumbuhan lainnya dan kandungan senyawa kimia
kekerabatan yang sangat erat itu memungkinkan adanya persamaan zat-zat yang
Daun bambu tali (Gigantochloa apus) telah digunakan sebagai pakan ternak
namun dalam penggunaannya dilapangan, telah ditemui kasus dimana hewan ternak
bunting yang mengkonsumsi daun bambu tali ternyata mengalami keguguran atau
fenol 1,56%, fenol merupakan senyawa kimia yang sangat tinggi toksisitasnya (68).
Aktivitas golongan senyawa triterpenoid sangat luas, namun golongan senyawa tersebut
produksi prostaglandin oleh asam arakidonat sehingga daun bambu Tali (Gigantochoa
apus) juga sering digunakan masyarakat sebagai obat nyeri salah satunya sebagai obat
asam urat(11,66). Berdasarkan hasil penelitian yang pernah dilakukan dapat disimpulkan
26
ekstrak daun bambu tali (Gigantochloa apus) berpengaruh terhadap penurunan kadar
asam urat darah mencit jantan, dosis ekstrak yang paling berpengaruh kadar asam urat
mencit adalah dosis 195 mg/kgbb(11). Menurut Kainsa dan Bhoria bahwa ekstrak
metanol daun bambu (Bambusa vulgaris) berpengaruh terhadap uji antiinflmasi dengan
Menurut Sri Rahayu, Kandungan tanin dalam ekstrak daun bambu kuning
dengan ekstrak metanol yaitu 71.15% dan mengandung total senyawa fenol sebesar
1.56%(72). Berdasarkan hasil yang pernah dilakukan Novitasari dan Coffie telah berhasil
sekunder yang diketahui bahwa senyawa senyawa tersebut memiliki potensi untuk
senyawa seperti flavonoid, triterpenoid dan minyak atsiri dapat digunakan sebagai
dan efek toksik(26). Selain itu daun bambu juga memiliki potensi untuk dimanfaatkan
Penelitian tentang daun bambu yang berbeda spesies telah banyak dilakukan,
namun daun bambu dengan spesies Bambusa vulgaris yang dikonsumsi oleh
Sanggau Provinsi Kalimantan Barat belum pernah diteliti. Hal ini memunculkan
gagasan perlu dilakukan penelitian ini untuk mengetahui efektifitas keamanan pada uji
27
toksisitas akut dan dilanjutkan uji analgesik dengan hewan uji untuk mengetahui dosis
yang efektif.
Hipotesis dari penelitian ini adalah jika Ho ditolak dan H1 diterima maka
penggunaan daun bambu (Bambusa vulgaris) secara empiris pada masyarakat etnis
Dayak di Dusun Sekajang terbukti aman dan berkhasiat sebagai analgesik pada hewan
uji dan jika H0 diterima dan H1 ditolak maka penggunaan daun bambu (Bambusa
vulgaris) secara empiris pada masyarakat Etnis Dayak di Dusun Sekajang tidak terbukti
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah Studi Etnofarmakologi secara
deskriptif dengan cara menganalisis data dan penelitian eksperimental sungguhan (True
batang pengaduk kaca, tabung reaksi (Pyrex®), rak tabung, labu ukur (Pyrex®), gelas
ukur (Pyrex®), penangas air (Memmert®), kain putih, kertas saring, gunting, penjepit
tabung, pipet tetes, cawan penguap, rotary evaporator, oven (Memmert®), Sonde oral,
corong kaca, chamber, lampu UV 365 nm, pipet tetes, sudip, jarum suntik dan peralatan
bedah.
III.1.2. Bahan
Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah simplisia daun bambu
(Bambusa vulgaris), pelarut ekstraksi yaitu etanol 96%, CMC-Na, reagen skrining
fitokimia (Wagner dan Dragendorff) untuk alkaloid, HCl dan Mg untuk flavonoid,
Lieberman-Burchad untuk triterpenoid atau steroid, FeCl3 untuk polifenol atau fenol
dan gelatin untuk tannin), plat KLT, Silika gel GF254, pakan hewan uji dan akuades.
Penelitian ini menggunakan hewan uji berupa tikus putih galur Wistar dan mencit
galur Swiss dengan menggunakan sampel hewan uji berupa tikus betina dan mencit
jantan yang sehat. Sampel diperoleh secara random menggunakan tabel acak dan
memenuhi kriteria inklusi yaitu tikus betina galur Wistar yang berumur 2-3 bulan
dengan berat 150-200 gram dan mencit jantan galur Swiss usia 2-3 bulan dengan berat
15-25 gram, aktif dan tidak cacat. Sedangkan kriteria eksklusi adalah tikus
menunjukkan kelainan secara fisiologis meliputi detak jantung dan frekuensi nafas tidak
normal atau penurunan berat badan yang dratis selama adaptasi dan hamil. Kondisi
ruangan tempat percobaan dijaga setiap hari, suhu ruangan, dengan kelembaban ruangan
berada pada rentang 40-70%(40). Sebelum perlakuan hewan diaklimatisasi, hewan uji
dipelihara dengan baik didalam kandang yang terpisah. Setelah proses aklimitisasi,
deskriptif dengan teknik menganalisis data dari hasil wawancara yang dilakukan oleh
tim Riset Tanaman Obat dan Jamu (Ristoja) tahun 2015. Sebagai narasumber atau
informan seperti para dukun kampung (Battra), pemimpin adat dan masyarakat
pengguna jenis-jenis tumbuhan sebagai bahan obat tradisional yang terletak di dusun
Kalimantan Barat.
30
menggunakan tikus betina galur Wistar dan aktivitas analgesik menggunakan mencit
menjadi ekstrak, skrining fitokimia, analisis kromatografi lapis tipis (KLT), pengujian
susut pengeringan, penetapan bobot jenis, penetapan kadar sari larut air, penetapan
kadar sari larut etanol, pengujian uji toksisitas menggunakan metode OECD
(Organization for Economic Co-operation and Development) 425 AOT (Acute Oral
Uji toksisitas akut dilakukan untuk menentukan nilai LD50 yaitu gejala toksik,
nyeri pada hewan uji. Hewan uji dibagi menjadi ke dalam 5 kelompok dengan kontrol
parasetamol 65mg/kgbb dan kelompok uji ekstrak daun bambu (Bambusa vulgaris)
dengan 3 dosis yang berbeda yaitu dosis I (300 mg/kgbb), dosis II (600 mg/kgbb), dosis
32
Diberi tanda penomoran pada tubuh mencit
Diberikan
Diberikan secara secaraCMC-Na
oral suspensi oral suspensi parasetamol Kelompok I, II dan II
Dosis 300 mg/kgbb,
600 mg/kgbb dan 1200 mg/kgbb ekstrak etanol daun bambu (Bambusa vulgaris)
Diinduksi pada masing-masing kelompok dengan asam asetat 0,6% secara intraperitoneal
Dihitung jumlah geliat yang ditunjukkan mencit dalam tiap 5 menit selama 60 menit diamati dan dicatat
Analisis Data
sampel daun bambu dilakukan secara acak di Dusun Sekajang, Desa Suruh Tembawang,
Pengolahan bahan dilakukan dengan memisahkan daun dari tangkai lalu dibersihkan dari
sisa-sisa kotoran kemudian dicuci dengan air yang bersih dan mengalir. Bagian tumbuhan yang
diambil adalah daun bambu (Bambusa vulgaris) sebelumnya daun dirajang tipis kemudian
ditiriskan. Selanjutnya daun bambu (Bambusa vulgaris) yang telah dirajang kemudian
dikeringkan di suhu kamar kurang lebih antara 20-25°C hingga 3-4 hari, kemudian simplisia
kering dibuat serbuk kasar ukuran 40 mesh dengan blender, kemudian disimpan dalam wadah
tertutup. Simplisia serbuk daun kering akan digunakan untuk membuat ekstrak (29).
menggunakan metode maserasi dan menggunakan pelarut etanol 96%, pelarut diganti
tiap 24 jam. Hasil maserasi kemudian disaring dan ditampung dalam wadah kaca dan
ekstrak kental.
Identitas ekstrak yang dicatat meliputi nama ekstrak, nama latin tumbuhan, bagian
b.Organoleptik
menggunakan panca indera. Parameter yang diamati pada uji organoleptik yaitu,
pertama uji visualisasi meliputi warna, kekeruhan, bening dan kejernihan sampel.
Kedua uji aroma meliputi harum, wangi, busuk dan asam. Ketiga, uji rasa meliputi
manis, asam, asin, pahit, pedas, kelat dan gurih dan keempat uji tekstur meliputi
Maserasi sejumlah 5,0 gram ekstrak selama 24 jam dengan 100 ml air kloroform
menggunakan labu bersumbat sambil berkali-kali dikocok selama 6 jam pertama dan
kemudian dibiarkan selama 18 jam. Saring, uapkan 20 ml filtrat hingga kering dalam
cawan dangkal berdasar rata yang telah ditara, panaskan residu pada suhu 105oC hingga
bobot tetap. Hitung kadar dalam persen senyawa yang larut dalam air, dihitung terhadap
ekstrak awal(28).
Maserasi sejumlah 5,0 gram ekstrak selama 24 jam dengan 100 ml etanol (95%),
menggunakan labu bersumbat sambil berkali-kali dikocok selama 6 jam pertama dan
etanol, kemudian uapkan 20 ml filtrat hingga kering dalam cawan dangkal berdasarkan
rata yang telah ditara, panaskan residu pada suhu 105oC hingga bobot tetap. Hitung
35
kadar dalam persen senyawa yang larut dalam etanol (95%), dihitung terhadap ekstrak
awal(28).
Susut pengeringan adalah kadar bagian yang menguap suatu zat. Kecuali
dinyatakan lain, suhu penetapan adalah 105°C dan susut pengeringan ditetapkan sebagai
berikut: timbang saksama 1-2 g zat dalam botol timbang dangkal tertutup yang
sebelumnya telah dipanaskan pada suhu penetapan selama 30 menit dan telah ditara.
Jika zat berupa hablur besar, sebelum ditimbang digerus dengan cepat hingga ukuran
butiran lebih kurang 2 mm. Ratakan zat dalam botol timbang dengan menggoyangkan
botol hingga merupakan lapisan setebal lebih kurang 5-10 mm, masukkan dalam ruang
pengering, buka tutupnya, keringkan pada suhu penetapan hingga bobot tetap (73).
deksikator dalam suhu kamar, kemudian suhu penetapan selama waktu yang ditentukan
spesifikasi ekstrak uji. Parameter ini penting, karena bobot jenis ekstrak tergantung pada
jumlah serta jenis komponen atau zat yang larut didalamnya. Ditimbang piknometer
yang bersih dan kering. Kemudian dikalibrasi dengan menetapkan bobot piknometer
dan bobot akuasdest kemudian ditimbang (W1). Ekstrak cair sampel lalu dimasukkan ke
Ekstrak cair 0,5 gram dilarutkan dengan larutan kloroform beramonia di dalam
tabung reaksi, dikocok lalu disaring. Selanjutnya kedalam filtrat ditambahkan 0,5-1 mL
asam sulfat 2 N dan dikocok sampai terbentuk dua lapisan. Lapisan asam (atas) dipipet
dan dimasukkan ke dalam dua buah tabung reaksi. Kedalam tabung reaksi pertama
ditambahkan dua tetes pereaksi Meyer, ke dalam tabung reaksi kedua ditambahkan dua
tetes pereaksi Dragendrorf dan kedalam tabung reaksi ketiga ditambahkan dua tetes
putih pada tabung reaksi pertama, timbulnya endapan berwarna jingga pada tabung
reaksi kedua dan timbulnya endapan berwarna coklat pada tabung reaksi ketiga(22).
b. Pemeriksaan Fenol
Ekstrak cair 0,5 gram dilarutkan didalam aquades kemudian ditambahkan FeCl3
1%. Diamati perubahan warna yang terjadi. Hasil positif menunjukkan perubahan warna
hijau atau biru kehitaman atau hitam kuat menunjukkan adanya fenolat(75) (87).
c. Pemeriksaan Tanin
Ekstrak cair 0,5 gram ditambah gelatin 1 %, diamati pembentukkan endapan putih dan
dan ekstrak 0,5 gram direaksikan dengan larutan besi (III) klorida 10% jika terjadi warna biru
tua, biru kehitaman atau hitam kehijauan adanya senyawa tanin (76).
d. Pemeriksaan Flavonoid
Larutan ekstrak cair sebanyak 0,5 gram ditambah dengan sedikit serbuk
magnesium sebanyak 1 gram dan larutan HCl pekat. Perubahan warna larutan menjadi
37
warna merah, orange dan hijau tergantung pada struktur flavanoid yang terkandung
e. Pemeriksaan Saponin
Ekstrak 0,5 gram dimasukkan dalam tabung reaksi, tambahkan 10 ml air panas,
dinginkan dan kocok kuat-kuat selama 10 detik, terbentuk buih selama tidak kurang dari
Ekstrak cair sebanyak 0,5 g diekstraksi dengan pelarut kloroform atau n-heksan
(CH3COOH glasial dan 1 ml larutan H2SO4 pekat). Jika warna berubah menjadi biru
atau ungu menandakan adanya kelompok senyawa steroid. Jika warna berubah menjadi
Lempeng KLT atau fase diam terlebih dahulu diaktifkan dengan oven pada suhu
1050C selama 10 menit sebelum dilakukan penotolan sampel. Kemudian Ekstrak kental
daun bambu di totolkan pada lempeng KLT, yaitu silika gel GF 254 pada jarak 1 cm
dengan garis batas bawah. Penotolan dilakukan 2-3 kali totolan dan dibiarkan sampai
kering(78). Lempeng silika gel GF254 yang telah di totoli dengan ekstrak kemudian dielusi
dalam chamber pengelusi KLT menggunakan fase gerak yang dapat memisahkan
golongan senyawa kimia tersebut. Jarak elusi 5 cm, setelah dikembangkan sampai batas
pengembangan sampai kering, elusi dihentikan, lalu lempeng diambil dan diangin-
lempeng KLT silika gel GF254 dibawah sinar UV pada panjang gelombang 254 nm dan
38
366 nm. Selanjutnta plat disemprot dengan penampak bercak H2SO4 10% dalam
metanol..
Uji toksisitas akut dilakukan berdasarkan pedoman OECD 425: Acute Oral Toxicity Up
a. Main Test
Uji utama (main test) dilakukan dengan memperhatikan tingkat dosis dimana terjadi
kematian pada uji pendahuluan. Satu hewan uji diberi dosis. Apabila setelah pengamatan 4 jam
hewan tersebut tidak menunjukkan mortalitas, maka dosis untuk hewan berikutnya meningkat
dengan faktor kenaikan 3,2 kali dosis awal. Jika mati, dosis untuk hewan berikutnya menurun
perkembangan dosis yang sama pada satu hewan uji lagi. Setiap hewan harus diamati dengan
hati-hati hingga 48 jam sebelum membuat keputusan berapa banyak dosis hewan yang
digunakan selanjutnya. Apabila hewan uji diberikan dosis dan tidak ada mortalitas, pemberian
dosis dihentikan dan semua hewan uji diamati selama 14 hari (53).
b. Limit Test
Limit test 5000 bertujuan untuk melihat apakah LD 50 sampel berada pada rentang 2000–
5000mg/kgbb atau berada pada rentang diatas 5000 mg/kgbb. Prosedur pengujian yang
dilakukan sama dengan limit test 2000. Hanya saja pada limit test 5000 apabila terdapat tiga
hewan uji tidak menunjukkan mortalitas, maka pemberian dosis dihentikan dan LD 50 berada
diatas 5000 mg/kgbb. Apabila terdapat tiga hewan uji menunjukkan mortalitas, maka dilakukan
Nilai LD50 ditentukan dengan menghitung jumlah tikus yang mati dan hidup tiap
pengujian pada maksimal 48 jam setelah perlakuan. Jumlah tikus yang digunakan
1. Tikus diaklimitisasi beberapa hari dengan memberi makan dan minum, kemudian
2. Tikus diberi dosis secara bertahap dalam selang waktu 24 jam. Pemberian pakan 3-4
jam setelah perlakuan. Perlakuan pada tikus selanjutnya menunggu setelah tikus
3. Pengujian pertama, tikus pertama diberikan limit dosis yaitu 2000mg/kgbb ektrak
daun bambu (48 jam). Jika hewan pertama hidup, maka 4 ekor hewan uji diberikan
dosis yang sama. Jika 3 atau lebih mati maka dilanjutkan pada dosis main test. Jika
3 atau lebih hidup dilanjutkan pengamatan hingga 14 hari. Jika seekor hewan tiba-
tiba mati diakhir percobaan dan ada yang bertahan hidup maka pemberian dosis
4. Kemudian dievaluasi, apabila jumlah hewan yang mati 3-4 ekor maka dilakukan
main test, apabila jumlah yang mati kurang dari 3 ekor nilai LD 50 >2000 mg/kgbb.
Seluruh dosis dan respon hewan uji dimasukkan kedalam software AOT425StatPgm
Sebelum hewan uji diberikan dosis ekstrak, terlebh dahulu dilakukan uji perilaku pada
hewan uji untuk melihat perbandingan perubahan perilaku yang muncul antara sebelum dan
sesudah pemberian dosis. Setelah diberikan dosis uji, dilakukan pengamatan uji perilaku
terhadap hewan uji mulai dari jam ke 0, 0,5, 1, 2, 24 jam. Apabila hewan tidak menunjukkan
mortalitas, maka pengamatan dilakukan selama 14 hari. Perhatian khusus diberikan apabila
terdapat tremor, kejang, saliva, diare, lemah, tidur dan koma (50).
Penentuan dosis uji analgetik, terbagi menjadi kelompok kontrol negatif, kontrol positif
dengan obat pembanding parasetamol, kelompok uji tumbuhan daun bambu (Bambusa vulgaris)
yang memiliki aktifitas analgetik dengan 3 dosis yang berbeda menggunakan mencit galur
Swiss jantan. Metode yang digunakan yaitu metode induksi kimia secara intraperitonial dengan
parameter dalam bentuk respon berupa jumlah geliat hewan uji. Senyawa penginduksi rasa nyeri
yang digunakan yaitu asam asetat. Frekuensi gerakan ini dalam waktu tertentu menyatakan
derajat nyeri yang dirasakan. Aktivitas analgesik sampel uji kemudian dibandingkan dengan
kelompok dosis.
dibiarkan hingga mengembang. Setelah mengembang diaduk hingga homogen jika sulit
Ditimbang 3 dosis yang berbeda pada ekstrak etanol daun Bambu (Bambusa
homogen, dimasukkan ke dalam labu ukur 100 ml, dicukupkan sampai garis tanda
3) Kelompok dosis 1 : pemberian ekstrak etanol daun bambu dosis 300 mg/kgbb
4) Kelompok dosis 2 : pemberian ekstrak etanol daun bambu dosis 600 mg/kgbb
Setelah 15 menit kemudian pemberian sediaan secara oral pada kelompok uji
maupun kontrol, disuntikkan secara intraperitoneal asam asetat pada mencit dan diamati
dimulai setelah pemberian induksi asam asetat. Jumlah geliat yang ditunjukkan mencit
Data yang diperoleh dianalisis menggunakan program SPSS dengan uji analisis
dengan membandingkan rata-rata jumlah geliat kelompok bahan uji terhadap induksi
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui khasiat tanaman obat dengan menggunakan
daun bambu (Bambusa vulgaris) secara empiris pada masyarakat di Dusun Sekajang, Desa
43
Suruh Tembawang, Kecamatan Entikong, Kabupaten Sanggau, Provinsi Kalimantan Barat yang
berkhasiat sebagai analgesik. Sebelum dilakukan uji aktifitas analgesik perlu dilakukan uji
toksisitas akut dari ekstrak etanol daun bambu (Bambusa vulgaris) untuk mengetahui tingkat
keamanan dan selanjutnya dilakukan uji efektivitas analgesik terhadap hewan uji. Adapun
langkah-langkah yang dilakukan dalam penelitian ini yaitu Studi etnofarmakologi, determinasi
tanaman, pembuatan ekstrak, skrining fitokimia, pemisahan senyawa secara KLT, pengujian
susut pengeringan, penetapan kadar sari larut etanol, penetapan kadar sari larut air, penentuan
bobot jenis, pengujian toksisitas akut dengan metode OECD 425 dan pengujian efektivitas
metode deskriptif dengan teknik menganalisisdata berupa hasil dari wawancara pada
masyarakat yang ada di dusun Sekajang, desa Suruh Tembawang, Kecamatan Entikong,
Tembawang diantaranya, Dusun Suruh Tembawang, Dusun Pool, Dusun Gun Jemak,
Dusun Badat lama, Dusun Sekajang, Dusun Senutul, Dusun Badat Baru, Dusun Gun
Tembawang, Dusun Kebak Raya dan Dusun Gita Raya. Jarak dari Desa Suruh
Tembawang dengan ibu Kota Kecamatan sejauh 42 Km, dengan Ibu Kota Kabupaten
sejauh 187 Km dan dengan Ibu Kota Provinsi sejauh 359 Km(18).
Etnis utama di wilayah provinsi Kalimantan Barat adalah Etnis Dayak, Melayu
dan Tionghoa dalam Ristoja 2015 dipilih sub Etnis Dayak berdasarkan sejarah
pengobatan yang kuat dan memiliki sumber daya alam (tanaman obat) yang melimpah.
Karateristik Etnis di wilayah dusun Sekajang, berdasarkan hasil dari wawancara tim
Ristoja 2015 pada kepala dusun dan beberapa tetua adat, diketahui bahwa masyarakat
44
dusun Sekajang merupakan masyarakat yang berasal dari migrasi Dayak yang ada di
Malasyia. Hal ini mengakibatkan secara bahasa dan adat istiadat yang berlaku di khusus
pada dusun Sekajang berbeda dengan wilayah masyarakat adat didaerah sekitarnya.
Kelompok masyarakat adat yang berada di dusun Sekajang menamakan diri mereka
Dayak Sungkung(83). Berdasarkan dari hasil yang diperoleh dilakukan oleh tim Ristoja
tahun 2016, narasumber yang diwawancarai seperti para dukun kampung (Battra),
pemimpin adat dan masyarakat pengguna jenis-jenis tumbuhan sebagai bahan obat
tradisional. Nama battra didusun Sekajang dan wilayah kecamatan Battra dapat dilihat
Informan dalam penelitian ini adalah orang yang mempunyai pengetahuan dan
obat dalam ramuannya. Battra yang dipilih sebagi informan adalah battra yang
memenuhi kriteria, seperti battra yang paling terkenal, paling ampuh (pasien yang
banyak sembuh), jumlah pasien yang paling banyak. Pemilihan pengobatan ramuan
sesuai dengan penggunaan pengobatan yang meliputi beberapa ramuan daun dan
komposisi kegunaannya.
dengan jumlah ramuan. Jumlah ramuan yang dimiliki adalah 5 informan sebanyak 19
ramuan, dimana pada informan (Battra) nomor 5 memiliki jumlah ramuan yang relatif
lebih banyak dibanding battra lainnya yaitu sejumlah 8 ramuan, beliau merupakan battra
yang ramuan tersebut berkaitan dengan penyakit ringan. Sedangkan pada informan
(Battra) nomor 1 dan 3 memiliki jumlah ramuan sebanyak 4. Informan (Battra) nomor 1
itu sendiri merupakan battra spesialis yang hanya mengobati sakit yang berkaitan
dengan patah tulang dan urut bagi pasien, informan (Battra) nomor 1 merupakan battra
spesialis tumor dan Informan (Battra) nomor 4 merupakan battra spesialis dukun
beranak(83). Jumlah ramuan yang digunakan dalam pengobatan oleh informan dapat
perlu dipikirkan generasi berikutnya supaya kearifan yang dimiliki tidak hilang
bersamaan dengan meninggalnya battra yang usianya relatif sudah tua, sehingga hasil
battra tidak tamat SD (sekolah dasar) hal ini diakibatkan karena pada saat mereka usia
sekolah tidak tersedia fasilitas pendidikan formal atau adanya kesulitan dalam
menjangkau tempat pendidikan dasar dan faktor ekonomi. Karakteristik Informan atau
Para battra telah menguasai keterampilan pengobatan tradisional dan diakui oleh
pasien. Pasien menganggap battra yang berusia lanjut lebih berpengalaman dalam
praktik pengobatan dan tempat tinggal battra hampir semua tinggal didesa dan
menguatkan dugaan bahwa untuk daerah yang akses terhadap fasilitas kesehatan relatif
sulit maka masyarakat berupaya memanfaatkan kearifan lokal yang ada untuk mengatasi
Menurut data empiris dalam kegiatan Ristoja Tahun 2015 yang diperoleh, terdapat
8 jenis tumbuhan yang diketahui mempunyai manfaat untuk analgesik sebagai bahan
pengobatan tradisional seperti daun Cengkodok, daun Bambu, Kulit batang langsat,
daun Empedu, daun Kuduk, daun Peten, daun Sao dan daun Sirih, dimana 8 jenis
tumbuhan tersebut digunakan pada bagian daun dan batangnya. Daftar tanaman obat di
Tanaman obat digunakan pada daun bambu dengan cara dikonsumsi sebanyak 3
kali sehari dalam waktu 1 minggu. Adapaun cara pembuatan ramuan daun bambu
adalah diambil sebanyak 2 genggam daun pertanaman, dimasukkan kedalam satu wadah
secukupnya dan disaring. Air hasil saringan ramuan tumbuhan obat tersebut kemudian
diminum dan ampasnya ditapel pada bagian yang sakit. Air perasan dari ramuan daun
Berdasarkan uraian diatas bahwa daun Bambu (Bambusa vulgaris) pada Etnis
Dayak di dusun Sekajang dapat dimanfaatkan sebagai obat herbal dalam mengobati rasa
nyeri. Sehingga masyarakat tersebut banyak mengonsumsi daun bambu sebagai obat
tradisional yang efektif sebagai obat nyeri. Namun, penggunaan obat herbal yang
diberikan harus diketahui tingkat keamanan dan efektifitas sebagai analgesik sehingga
perlu dilakukan penelitian mengenai toksisitas akut dan dilanjutkan denganuji aktivitas
analgesik.
Tumbuhan daun bambu yang digunakan sebagai sampel pada penelitian ini
dilakukan untuk memastikan bahwa tanaman merupakan tanaman yang diinginkan. Hal
ini berkaitan dengan senyawa metabolit sekunder yang dikandung pada tanaman,
apabila tanaman yang digunakan berbeda maka metabolit yang terkandung juga akan
membuktikan bahwa tanaman yang digunakan merupakan daun bambu dengan nama
latin Bambusa vulgaris. Adapun hasil determinasi tanaman dapat dilihat pada
Sampel dalam penelitian ini adalah tanaman bambu yang diambil di Dusun
Kalimantan Barat. Bagian tanaman yang diambil pada penelitian ini adalah daun yang
berwarna hijau dan segar. Pengumpulan bahan baku merupakan tahapan yang sangat
menentukan kualitas bahan baku. Faktor yang paling berperan dalam tahapan ini adalah
masa panen. Tanaman daun bambu diambil pada pagi hari dimana embun pagi sudah
menguap untuk menghindari adanya pertumbuhan mikroba dan pada waktu tersebut
metabolit sekunder yang terkandung dalam tanaman maksimal dimana senyawa ini akan
sekunder yang terdapat di tanaman daun bambu telah mencapai kadar yang maksimal(29).
perajangan, pengeringan, sortasi kering dan yang terakhir daun yang kering disortir
selanjutnya diproses untuk diubah menjadi simplisia kering. Tanaman daun bambu yang
diperoleh selanjutnya disortasi basah, Pencucian bahan baku yang dilakukan dengan
kotoran yang melekat, terutama bahan-bahan yang berasal dari dalam tanah(29). Daun
yang sudah bersih selanjutnya dilakukan pengubahan bentuk bahan baku dengan
menurunkan kadar air sehingga bahan tidak mudah ditumbuhi jamur dan bakteri.
Simplisia yang sudah kering selanjutnya diblender agar diperoleh simplisia yang lebih
49
halus dengan luas permukaan yang lebih besar sehingga memudahkan dalam penyarian
simplisia dimana akan memperluas bidang kontak antara simplisia dengan pelarut yang
memungkinkan senyawa yang tersari akan lebih banyak. Setelah diblender simplisia
ukuran simplisia, dengan ukuran yang seragam sehingga diharapkan luas permukaan
kontak antara larutan penyari dengan simplisia akan semakin luas, sehingga proses
Luas kontak yang besar menyebabkan penetrasi larutan penyari lebih mudah
terdapat didalamnya dan hal ini didasarkan pada literatur bahwa ukuran optimal
simplisia untuk penyarian adalah 30-40 mesh(34). Jika ukuran partikel sampel terlalu
besar akan sulit pelarut berpenetrasi kedalam sel tanaman sehingga penyarian kurang
maksimal, sedangkan jika ukuran partikel terlalu kecil akan sulit dalam penyaringan,
karena simplisia akan ikut tersaring pada hasil ekstraksi sehingga ekstrak tidak murni
lagi. Simplisia yang diperoleh disimpan dalam wadah kedap dan kering dan terhindar
Metode ekstraksi yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode maserasi.
beberapa kali pengocokan atau pengadukan pada temperatur ruangan (kamar). Pada
ekstraksi padat cair, proses pemisahan dipengaruhi oleh pelarut dan perpindahan zat
terlarut dari padatan ke larutan. Perpindahan massa dapat terjadi melalui pori pori yang
disebabkan karena perbedaan koefisien difusi zat terlarut dan larutan. Prinsip dari
50
metode maserasi yaitu bahan padat simplisia dilarutkan dalam bahan cair yaitu pelarut,
dimana komponen bahan padat akan berpindahan kedalam massa yang dapat terjadi
melalui pori-pori yang disebabkan karena perbedaan koefisisen difusi zat terlarut dan
larutan. Pelarut akan memasuki dinding sel sehingga sel tanaman akan mengalami
larutan di luar sel dan di dalam. Setelah terjadi keseimbangan dilakukan penggantian
pelarut, pada awal ekstraksi dilakukan setiap 1x24 jam dikarenakan metabolit sekunder
dalam sampel kandungannya sangat tinggi, setelah ekstraksi hari ke empat warna
larutan ekstraksi mulai memudar, hal ini menandakan metabolit sekunder yang terdapat
jam(86).Maserasi dilakukan hingga zat aktif tersari secara maksimal yang ditandai dengan
perubahan warna maserat dari hijau pekat hingga hijau yang jernih dan selanjutnya tidak
senyawa yang terlarut dalam maserat dan hal ini dapat diasumsikan juga sudah tidak ada
senyawa yang dapat tersari lagi. Hasil maserat disaring dari ampas dengan
menggunakan kertas saring dan kain berwarna putih. Ampas yang diperoleh dimaserasi
foil untuk mencegah adanya senyawa kimia yang rusak akibat oksidasi cahaya dan hasil
maserasi dikumpulkan dan disaring ke dalam botol kaca. Botol yang digunakan untuk
proses maserasi maupun untuk menyimpan maserat dilapisi dengan kertas alumunium
51
untuk mencegah terjadinya oksidasi karena cahaya. Pada penyarian dengan maserasi
larutan di luar serbuk simplisia, sehingga dengan pengadukan tersebut tetap terjaga
adanya derajat perbedaan konsentrasi yang sekecil-kecilnya antara larutan didalam sel
Metode ekstraksi yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode maserasi.
Metode ini termasuk metode esktraksi dingin karena dalam prosesnya tidak melibatkan
proses pemanasan, sehingga diharapkan tidak ada senyawa yang rusak saat pemanasan
kandungan metabolit sekunder flavonoid pada proses ekstraksi dengan suhu yang tinggi
metode maserasi yaitu peralatan yang digunakan sederhana, biaya operasional relatif
murah, mudah dilakukan dan tanpa proses pemanasan. Proses maserasi simplisia daun
bambu diperoleh berat simplisia sebanyak 1.1120 gram dengan pelarut etanol 96%.
Pemilihan pelarut etanol dalam proses ekstraksi tersebut karena pelarut etanol
merupakan pelarut universal sehingga dapat melarutkan senyawa baik senyawa polar,
semi polar dan non polar yang dapat menarik senyawa aktif yang diduga berpotensi
dalam uji aktifitas, etanol juga dipilih karena mudah didapatkan, mudah menguap dan
lebih aman dibandingkan pelarut lain seperti metanol dan butanol. Maserasi yang
diperoleh berwarna hijau pekat dan semakin hari warna maserat yang dihasilkan
semakin jernih. Maserat yang dihasilkan disimpan didalam botol kaca yang dilapisi
pengaruh oksidasi oleh cahaya. Hasil maserat yang diperoleh selanjutnya dipekatkan
penguapan pelarut namun tidak sampai pada kondisi kering, ekstrak yang dihasilkan
akan menjadi kental atau pekat. Pemekatan dilakukan dengan rotary evapotor yang
memiliki prinsip kerja berdasarkan diagram fase air, yaitu ketika tekanan udara
diturunkan, maka titikdidih akan turun. Tekanan yang digunakan adalah tekanan
vacuum (500 mmHg), sehingga suhu ±50oC dengan kecepatan putaran 100 rpm dapat
ditampung dalam wadah tertutup. Proses maserasi sampai di peroleh ekstrak kental
Ekstrak kental yang diperoleh sebanyak 152,94 gram. Adapun rendemen ekstrak
yang didapat yaitu sebesar 13,75%. Nilai rendemen menunjukan nilai ekonomis suatu
produk atau bahan. Semakin tinggi nilai rendemennya, maka semakin tinggi pula nilai
rendemen ekstrak etanol daun bambu dapat dilihat pada Lampiran 8 Halaman 98.
Standarisasi merupakan proses yang menjamin bahwa produk akhir (obat, ekstrak,
atau produk ekstrak) mempunyai nilai parameter tertentu yang konstan dan ditetapkan
(dirancang dalam formula) terlebih dahulu. Persyaratan mutu ekstrak terdiri dari
aspek kandungan kimia kualitatif danaspek kuantitatif kadar senyawa kimia yang
53
adalah segala aspek yangtidak terkait dengan aktivitas farmakologis secara langsung
yang dihasilkan(73).
salah satu cara untuk mengetahui kebenaran bahan yang digunakan. Pemeriksaan
dan rasa. Pemeriksaan organoleptik dilakukan dengan panca indra bertujuan sebagai
kadar senyawa larutdalam pelarut tertentubertujuan untuk mengetahui jumlah zat dalam
simplisia yangdapat terekstraksi dalam pelarut tertentu seperti air dan etanol.
Penentuan kadarsari larut air dan kadar sari larut etanol dilakukan untuk
kadar sari larut air dan kadar sari larut etanol menunjukkan bahwa hasil kadar sari larut
air lebih besar dibandingkan dengan kadar sari larut etanol. Hal ini diperkuat oleh
tentang besarnya senyawa yang hilang pada proses pengeringan (30).Susut pengeringan
menit hingga tercapai bobot konstan yangkemudian dinyatakan sebagai persen (31).
Penetapan susut pengeringan digunakan untuk mengetahui kadar air dalam sampel dan
pelarut yang masih tersisa didalam ekstrak sehingga diketahui golongan ekstrak
ekstrak yang digunakan pada penelitian ini termasuk kedalam golongan ekstrak cair
parameter khusus ekstrak cair sampai ekstrak kental yang masih dapat dituang (30). Data
bobot jenis juga dapat digunakan sebagai standar dalam penyesuaian dosis untuk
parameter spesifik dan non spesifik dapat dilihat pada lampiran 11,12 dan 13.
sterol/triterpenoid pada ekstrak daun bambu yang diduga berperan dalam menyebabkan
uji farmakologidan merupakan tahapan awal untuk mendeteksi senyawa kimia yang
terdapat pada suatu bahan alam secara kualitatif. Pemeriksaan kandungan dilakukan
55
sehingga menunjukkan hasil yang positif.Hasil skrining fitokimia ekstrak etanol daun
bahwa ekstrak mengandung flavonoid, fenol,saponin dan triterpenoid. Hal ini didukung
berdasarkan hasil penelitian yang pernah dilakukan oleh Anis dkk, dari tanaman yang
satu spesies yaitu Bambusa vulgaris Schard pada ekstrak etanol daun bambu bahwa
Uji kualitatif menggunakan KLT pada penelitian ini dilakukan untuk melihat
berdasarkan pola kromatogram dan dapat menjadi standar untuk penelitian berikutnya
yang menggunakan sampel yang sama(30). Analisis KLT ekstrak etanol daun bambu
menggunakan plat KLT GF254, ekstrak etanol daun bambu menggunakan eluen n-
heksan : etil asetat dengan perbandingan volume yang digunakan adalah 6 : 4. Eluen ini
56
eluen tersebut dapat memisahkan senyawa-senyawa yang terdapat dalam ekstrak etanol
daun bambu. Sehingga selama elusi, akan terjadi pemisahan antar senyawa yang
ditunjukkan dengan munculnya beberapa bercak noda berwarna pada plat silika gel
GF254. Pemisahan ini terjadi karena perbedaan sifat kepolaran antar senyawa dan
terjadinya pemisahan disebabkan adanya salah satu komponen sampel yang tertahan
oleh fase diam dan yang lain dibawa oleh fase gerak, sehingga ditandai adanya noda
atau bercak. Namun tidak semua bercak noda dapat terlihat secara langsung, ada
beberapa bercak noda yang hanya terlihat di bawah sinar lampu UV 366 nm dan 254
nm. Bercak noda akan terlihat setelah dilakukan penyemprotan dengan penampak
bercak H2SO410% dalam metanol. Penampak bercak ini dipilih karena merupakan
Keterangan :
Plat silika gel dibawah lampu UV 254nm(A); Plat dibawah lampu UV
57
366nm (B); Plat sebelum disemprot penampak bercak (C) ; Plat setelah
disemprot penampak bercak H2SO410% dalam methanol (D) .
IV.8. Penentuan Dosis dan Pembuatan Sediaan Uji Toksisitas Akut dan Analgesik
Sediaan uji dibuat dalam bentuk suspensi, suspensi yang digunakan yaitu CMC-
Na. Ekstrak disuspensikan dengan CMC-Na karena ekstrak tidak larut sempurna dalam
air. CMC-Na merupakan senyawa yang tidak toksik, sehingga aman dan dapat
dikatakan bahwa zat pembawa yang tidak berpengaruh pada uji toksisitas dan analgesik.
Selain itu, CMC-Na dapat terlarut dengan baik didalam air dingin maupun air panas (31).
Pemberian sediaan uji dilakukan secara oral dengan menggunakan sonde oral.
Pemilihan rute oral karena secara empiris masyarakat di Dusun Sekajang mengonsumsi
daun bambu sebagai obat nyeri dengan cara diminum air saringan ramuan daun bambu.
Hasil perhitungan dosis sediaan dan dosis empiris daun bambu dapat dilihat pada
Penelitian uji toksisitas akut daun bambu dilakukan karena daun bambu telah digunakan
secara empiris terbukti aman dan memiliki aktivitas sebagai obat nyeri sehingga dimanfaatkan
sebagai ramuan oleh masyarakat etnis Dayak di dusun Sekajang (83) yang merupakan salah satu
uji praklinik yang bertujuan untuk melihat efek toksik yang terjadi dalam waktu singkat dan
dosis tunggal, melalui pemberian tunggal peroral ataupun dengan dosis berulang dalam waktu
24 jam.Namun, perlunya dilakukan pengujian toksisitas akut bertujuan untuk menentukan suatu
gejala sebagai akibat dari pemberian suatu zat dan untuk menentukan tingkat toksisitas senyawa
tersebut.
Uji toksisitas akut dalam penelitian ini menggunakan metode OECD (Organization for
Economic Cooperation and Development) 425, yaitu menggunakan pengujian toksisitas akut
dengan cara Up and Down Procedur (UDP). Metode ini merupakan metode alternatif dalam
pengujian toksisitas akut. Jika dibandingkan dengan metode penentuan nilai LD 50 konvensional,
Up and Down Procedure menggunakan hewan yang lebih sedikit, bahkan sampai sepertiga
jumlah hewan yang digunakan dalam metode konvensional. Selain itu WHO menyarankan
bahwa metode ini dalam pengujian toksisitas akut, hal ini dikarenakan bahwa metode tersebut
merupakan metode yang fleksibel dan dapat dipertimbangkan secara ekonomis, sains dan
etik(91).
Pengujian awal suatu bahan uji memiliki toksisitas pada dosis tertentu dilakukan dengan
limit test sesuai pedoman OECD 425. Limit test digunakan ketika senyawa yang diuji
diharapkan tidak toksik. Terdapat dua dosis limit test yaitu 2000 mg/kgbb dan 5000 mg/kgbb.
Pengujian toksisitas akut ekstrak etanol daun bambu dengan limit test dosis 2000 mg/kgbb
untuk melihat apakah ekstrak etanol daun bambu memiliki LD50 diatas ataupun dibawah 2000
mg/kgbb, sedangkan pengujian limit test dosis 5000 mg/kgbb untuk melihat apakah ekstrak
Hewan uji yang digunakan adalah tikus putih betina galur Wistar sebagai hewan uji
karena tikus memiliki metabolismeyang mirip seperti manusia dan digunakan tikus betina
dikarenakan ketahanan tubuh dari tikus betina lebih kuat dari jantan dan tikus betina lebih
sensitif daripada tikus jantan sehingga dapat memberikan respon yang cepat (51)serta dipilih tikus
betina galur Wistar juga dikarenakan pertumbuhan yang baik dan galur ini sudah banyak
digunakan dalam penelitian berbagai bidang seperti studi farmakologi dan toksikologi. Tikus
betina yang digunakan dalam keadaan nulipara (belum pernah melahirkan) dan tidak hamil,
karena pada saat kehamilan keseimbangan hormonal terganggu, dimana daur estrus terhenti. Hal
Hewan uji yang digunakan umur2-3 bulan dan memiliki berat badan minimal 150
gram.Umur tikus sangat mempengaruhi hasil pengujian toksisitas akut, 2-3 bulan dipilih karena
umur tersebut merupakan dimana umur hewan uji tersebut semua organ telah
optimal(45).Sebelum perlakuan, hewan uji diaklimatisasi terlebih dahulu, hal ini dimaksud agar
hewan uji beradaptasi dengan lingkungan baru dan menghindari kondisi stress akibat perubahan
lingkungan. Selama proses aklimatisasi tersebut, tikus diberi makan pellet dan minum (ad
libitum) dan ditempatkan pada kandang dengan suhu ruangan.Kelembaban udara dalam
kandang yang terlalu tinggi mengakibatkan mudah tumbuh dan berkembang bakteri dan jamur
pada kandang hewan uji yang dapat berpengaruh pada kondisi hewan uji tersebut. Hal ini dapat
ditanggulangi dengan mengganti sekam secara berkala. Suhu kelembaban laboratorium sulit
untuk dikendalikan. Namun suhu dan kelembaban dalam penelitian ini tidak menyebabkan
Hewan uji yang digunakan adalah hewan uji yang sehat dan tidak adanya kecacatan
fisik seperti buta, berjalan tidak sejajar atau mengalami luka-luka. Hal ini bertujuan untuk
menyeragamkan kondisi dari hewan uji sehingga akan meminimalisir kesalahan yang berasal
dari hewan uji. Sebelum dilakukan pengujian sediaan pada hewan uji,dilakukan uji perilaku
60
pada hewan uji. Pengamatan yang dilakukan berupa platform, aktivitas motorik, straub,
piloereksi, ptosis, refleks pineal, refleks kornea, lakrimasi, katalepsi, perubahan sikap tubuh,
Pengujian pertama untuk menentukan nilai LD50 dilakukan dengan limit test
dosis 2000 mg/kgbb. Limit test digunakan untuk mengidentifikasi bahan kimia yang
toksisitas rendah. Hasil pengujian limit test menunjukan LD50 ekstrak etanol daun
bambu lebih besar dari 2000 mg/kgbb hewan uji dikarenakan dosis tersebut merupakan
dosis batas dari main test, maka main test tidak dilakukan dan dilanjutkan dengan limit
test dosis 5000 mg/kgbb hewan uji untuk melihat apakah nilai LD 50 berada pada rentang
2000 mg/kgbb hingga 5000 mg/kgbb atau lebih besar dari 5000 mg/kgbb hewan uji.
Satu hewan uji yaitu tikus nomor 1 diberi dosis 2000 mg/kgbb secara oral,
dimana dosis tersebut dikonversikan sesuai berat badan tikus yang digunakan dengan
dengan kelompok dosis 2000 mg/kgbb yang telah dipuasakan selama 3-4 jam dengan
tetap diberikan minum. Tujuan tikus dipuasakan agar nantinya ketika tikus tersebut
diberikan sediaan uji diharapkan sediaan uji tersebut dapat langsung kontak dengan
sistem pencernaan dan tidak terganggu oleh adanya makanan yang ada percernaan tikus.
Setelah diberikan ekstrak secara oral, tikus juga tidak diberi makan dalam
beberapa jam. Hal ini dilakukan untuk memaksimalkan penyerapan ekstrak pada
pencernaan tikus. Tikus diamati selama setiap 30 menit, 1 jam, 2 jam dan 24 jam sampai
48 jam setelah pemberian ekstrak secara oraldan hasilnya tidak terjadi kematian.
Langkah tersebut diulangi hingga maksimal hewan uji yang digunakan adalah 5 ekor.
61
Keempat ekor tikus diberikan ekstrak dengan dosis yang sama yaitu 2000 mg/kgbb dan
diamati sebelum pemberian dan selama pemberian sediaan ujisetiap 30 menit, 1 jam, 2
jam dan 24 jam sampai 48 jam dan hasilnya tidak terdapat kematian pada semua hewan
uji.
pengamatan 14 hari tidak ditemukan adanya kematian pada hewan uji. Nilai
AOT425statPgm. Hasil yang diperoleh, nilai LD50 ekstrak etanol daun bambu lebih dari
2000 mg/kgbb, pengujian dilanjutkan dengan limit test 5000. Pemberiaan sediaan uji
Gambar 8.Hasil Pengujian Limit Test 2000 mg/kgbb Ekstrak Etanol Daun Bambu
Selanjutnya dilakukan prosedur pengujian limit test 5000 yang sama dengan
limit test 2000. Namun, pada limit test 5000 apabila terdapat lima hewan uji tidak
menunjukkan mortalitas, maka pemberian dosis dihentikan dan LD 50 berada diatas 5000
62
mg/kgbb. Satu hewan uji yaitu tikus nomor 6 diberikan ekstrak etanol daun bambu
dengan dosis 5000 mg/kgbb dan volume pemberian 1 ml/100grBB. Tikus enam yang
telah
diberikan dosis diamati selama 48 jam dan tidak menunjukan kematian, sehingga
dilanjutkan pemberian dosis pada tikus nomor 7 hingga pada tikus nomor 10. Data yang
Gambar 9. Hasil Pengujian Limit Test 5000 mg/kgbb Ekstrak Etanol Daun Bambu
63
menunjukkan tidak adanya kematian yang terjadi pada hari ke empat belas, sedangkan
untuk berat badan pemberian sedian tidak berpengaruh terhadap pertumbuhan atau
perkembangan berat badan tikus. Hal ini sama terjadi pada kelompok dosis
5000mg/kgbb. Pada hari ke-14 tidak menunjukkan adanya kematian yang terjadi.
Selanjutnya pada hari ke-15 dilakukan pembedahan untukmengetahui indeks organ dan
Berdasarkan hasil pengujian dapat disimpulkan bahwa nilai LD50 ekstrak etanol
daun bambu lebih dari 5000 mg/kgbb. Tingginya nilai LD50 membuktikan bahwa
ekstrak etanol daun bambu dapat menjadi agen terapi yang aman. Dari hasil pengujian
tersebut dapat disimpulkan bahwa dosis yang dapat digunakan untuk pengujian aktivitas
farmakologi dari ekstrak etanol daun Bambu adalah diatas 5000 mg/kgbb sehingga
Selama interval waktu tersebut dilakukan uji perilaku terhadap hewan setelah
pemberian perlakuan. Pengujian perilaku ini bertujuan untuk melihat apakah ekstrak
indeks organ pada hewan uji dan untuk melihat aktivitas dan keadaan normal dari
hewan uji sebelum dan setelah pemberian dosis. Tanda-tanda ketoksikan diamati
melalui uji perilaku mulai jam ke 0, 30, 60,120 menit dan 24 jam.
kejang dan writhing. Apabila terjadi perubahan perilaku pada hewan uji setelah
pemberian sediaan, maka dapat diprediksi adanya efek farmakologi dari ekstrak
tersebut. Hasil pengamatan uji perilaku pada limit test dosis 2000 mg/kgbb dan 5000
Pengamatan jumlah jengukan (platform) dilakukan untuk mengetahui apakah suatu zat
memiliki efek farmakologi anti depresan pada tikus. Jumlah jengukan diamati selama 2 menit.
Semakin sedikit jumlah jengukan pada tikus, maka tikus semakin depresi atau strees. Apabila
setelah pemberian ekstrak sediaan semakin banyak jengukan maka ekstrak tersebut memiliki
efek farmakologis sebagai anti depresan. Hasil pengamatan perilaku tikus yang diberikan dosis
2000mg/kgbb dan 5000mg/kgbb menunjukan terjadi platform pada kelima tikus. Hasil
pengamatan perilaku tikus menunjukkan pada dosis 2000mg/kgbb terjadi peningkatan jengukan
yang sama pada jam ke 0 ke jam 30 menit dan hal sama dengan jam ke 60menitdan 24 jam.
Namun pada jam ke 30 menit dan jam ke 60 menit jengukan mengalami penurunan.
Berdasarkan hasil tersebut, ekstrak etanol daun bambu tidak menunjukan efek anti depresan
mg/kgbbdilakukan untuk melihat aktivitas penenang, depresan saraf pusat, anastesi. Semakin
sedikit gerakan yang dilakukan hewan uji maka diprediksi adanya aktivitas penenang, depresan
saraf pusat, anestesi. Berdasarkan hasil tersebut, ekstrak etanol daun bambu tidak menunjukan
efek anti depresan pada kelimahewan uji yaitu normal. Pengamatan straub pada dosis 2000
mg/kgbb dan dosis 5000 mg/kgbbdiamati dengan memperhatikan ekor tikus, apabila ekor tikus
menunjukkan kearah atas, maka tikus mengalami straub. Pengamatan aktivitas ini bertujuan
simpatomimetik pada obat yang diberikan. Efek ptosis pada hewan dilakukan untuk mengetahui
efek obat depresan, apabila efek ptosis pada hewan terjadi maka kedua kelopak matanya akan
tertutup sebagian atau seluruhnya. Berdasarkan hasil pengamatan pada dosis 2000 mg/kgbb dan
dosis 5000 mg/kgbbyaitu ekstrak etanol daun bambu tidak mengalami straub, tidak adanya
piloereksi dan tidak menunjukkan adanya efek ptiosis,hal ini membuktikan bahwa pemberian
sediaan uji tidak menyebabkan pengaruh pada pengamatan perilaku tersebut, dimana hasil dari
Pengamatan refleks kornea dan pineal dilakukan untuk mengetahui efek sedatif dari
ekstrak. Berdasarkan hasil pengamatan pada dosis 2000 mg/kgbb dan dosis 5000 mg/kgbb
ekstrak etanol daun bambupada kelima hewan uji memberikan refleks kornea dan pineal.
Selanjutnya hewan uji mampu menggelantung dan retablismen, dilakukan untuk melihat adanya
efek farmakologi adanya efek sedatif dan relaksasi otot. Tikus yang diamati dapat
menggelantung dan dapat dengan cepat untuk membalikkan badan pada alat besi yang
direntangkan untuk bergelantung. Apabila terdapat efek sedatif dan relaksasi otot maka hewan
Uji fleksi (kaki), hafner (ekor), vokalisasi (suara) dilakukan untuk melihat efek
analgesik. Uji ini dilakukan dengan cara kaki dan ekor ditekan dengan penjepit, apabila hewan
tidak mengalami kesakitan dan mengeluarkan suara saat ditekan maka terdapat efek analgesik
pada ekstrak yang diberikan. Berdasarkan hasil pengamatan pada dosis 2000 mg/kgbb dan dosis
5000 mg/kgbb ekstrak etanol daun bambu pada kelima hewan uji mengalami fleksi dan hafner
tetapi kelima hewan uji tidak mengalami vokalisasi dan mortalitas (kematian).
Kelima hewan uji mengalami grooming tetapi dengan waktu dan menit berbeda beda
pada dosis 2000 mg/kgbb pada jam ke 0’, 30’ dan 60 menit mengalami penurunan dan pada
dosis 5000mg/kgbb pada jam ke 0’ dan 60 menit mengalami peningkatan. Berdasarkan hasil
66
pengamatan pada dosis 2000 mg/kgbb dan dosis 5000 mg/kgbb ekstrak etanol daun bambu pada
kelima hewan uji keadaan normal. Beberapa tikus ada yang mengalami defekasi dan tidak, dan
terjadi urinasi pada semua tikus tetapi dengan rentang menit yang berbeda beda.
Kelima hewan uji mengalami pernafasan yang normal, aktivitas motorik, sikap tubuh
yang normal dan tidak menunjukan adanya salivasi, vokalisasi, tremor, kejang dan writhing. Hal
ini membuktikan bahwa pemberian sediaan uji tidak mempengaruhi hewan uji. Urinasi
(pengeluaran urin) dilakukan untuk melihat efek diuretik. Semakin banyak hewan uji
mengalami urinasi maka terdapat efek diuretik. Defekasi (pengeluaran kotoran) dilakukan untuk
mengetahui adanya efek antidiare pada ekstrak. Apabila hewan tidak melakukan defekasi maka
ekstrak terdapat efek antidiare. Hasil pengamatan perilaku tikus yang diberikan dosis 2000
mg/kgbb menunjukkan beberapa kesamaan dengan dosis yang 5000mg/kgbb sehingga tidak
Dosis 2000mg/kgbb
210
208
206 Tikus 1
204 Tikus 2
202 Tikus 3
200 Tikus 4
198 Tikus 5
196
194
192
190
H1 H2 H3 H4 H5 H6 H7 H8 H9 H10 H11 H12 H13 H14
Pengamatan yang kedua selanjutnya perubahan berat badan hewan uji pada dosis
menimbang berat badan tikus pada hari ke 1 hingga hari ke 14 setelah pemberian dosis
tunggal secara oral. Data berat badan tikus dibuat grafik perubahan berat badan untuk
melihat pengaruh sediaan uji terhadap perkembangan berat badan tikus. Hasil
67
pengamatan data berat badan tikus dengan dosis 2000mg/kgbb dan dosis 5000 mg/kgbb
Dosis 5000mg/kgbb
195
193
191
189 tikus 1
187 tikus 2
185 tikus 3
183 tikus 4
181 tikus 5
179
177
175
H1 H2 H3 H4 H5 H6 H7 H8 H9 H10 H11 H12 H13 H14
5000mg/kgbb
Pengamatan berat badan yang dilakukan selama 14 hari menunjukkan pada tikus
yang diberikan ekstrak etanol daun bambu dosis 2000 mg/kgbb dan 5000 mg/kgbb
68
secara umum menunjukkan terjadinya penurunan dan peningkatan berat badan. Hal
Pengamatan yang ketiga yaitu pengamatan yang dilanjutkan pada hari kelima
belas dengan pengamatan indeks organ yang dilakukan pembedahan terhadap hewan
coba untuk melihat indeks organ tikus yang telah diberi sediaan secara oral. Hal ini
dilakukan untuk mengamati perubahan struktural sel yang terjadi pada organ jantung,
hati, ginjal, limpa dan paru-paru secara makroskopik akibat pemberian ekstrak etanol
daun bambu pada tikus. Dimana zat toksik tersebut yang dapat menyebabkan luka
seluler melalui reaksi langsung pada sel sasaran atau tidak langsung pada lingkungan
dislokasio cervicalis agar hewan uji tidak melawan dan meminimalisir rasa sakit yang
dirasa. Hewan dibedah dan diambil organ hati, ginjal, limpa, jantung dan paru-paru
dilanjutkan dengan pengamatan dan perhitungan indeks organ. Organ hati di ambil dan
di amati karena hati merupakan organ terbesar dan utama untuk detoksifikasi dan
distribusi obat-obatan. Sedangkan limpa diamati karena limpa merupakan salah satu
Pemberian ekstrak tidak mempengaruhi efek terhadap organ hati, jantung, ginjal,
pankreas dan paru-paru, dimana indeks organ tersebut tidak memiliki perbedaan yang
Indeks organ (%) adalah nilai (berat organ/berat badan)x 100%. Indeks organ
dilakukan untuk mengetahui apakah bahan uji yang diberikan memiliki efek terhadap
organ hewan uji. Berat organ merupakan penunjuk yang sangat peka dari efek bahan uji
pada organ. Berdasarkan hasil analisis, berat tikus sebelum dan setelah diberikan
ekstrak daun bambu pada dosis 2000 mg/kgbb dan 5000mg/kgbb tidak terjadi
perubahan dan perbedaan. Hasil pengamatan indeks organ jantung, paru-paru, limpa,
hati dan ginjal pada hewan uji menunjukkan bahwa tidak terdapat adanya perbedaan
yang bermakna antara indeks organ tikus pada kelompok perlakuan dosis 2000 mg/kgbb
Tabel 7. Hasil pengamatan indeks organ pada kelompok dosis 2000 mg/kgbb dan
70
5000 mg/kgbb
Kelompok Indeks Organ (%)
Perlakuan
Hati Ginjal Limpa Jantung Paru-paru
2000mg/kgbb 4.27±0,37 0,80±0,05 0,28±0,03 0,29±0,02 0,44 ±0,03
5000mg/kgbb 4,06±0,32 0,77±0,05 0,30±0,03 0,32± 0,04 0,46± 0,04
Berdasarkan hasil penelitian toksisitas akut ekstrak etanol daun bambu dengan
menggunakan pedoman OECD 425 diperoleh LD50 lebih besar 5000 mg/kgbb. Wujud
toksik yang terjadi berupa perubahan berat indeks organ, sedangkan secara perubahan
fisiologi tidak tampak adanya tanda toksik. Hal tersebut menunjukkan bahwa ekstrak
etanol daun bambu (Bambusa vulgaris) relatif aman untuk dikembangkan sebagai obat
Pengujian efek analgesik dari ekstrak daun bambu, sebelumnya dilakukan terlebih
sesuatu yang akan dilakukan pada pengujian sebenarnya, agar didapat hasil yang lebih
valid dan akurat. Pada uji pendahuluan ini digunakan subjek hewan uji dengan
ketentuan yang sama dengan subyek hewan uji yang digunakan pada uji yang
sebenarnya yaitu tikus jantan galur Wistar, umur 2-3 bulan, berat badan 180-250 gram.
Hewan uji yang digunakan harus seragam baik jenis kelamin, galur dan umurnya, hal ini
Hasil yang diperoleh yaitu hasil kumulatif geliat pada tikus (yang menunjukkan
sebagai wujud respon nyeri) setelah pemberian rangsangan kimia kemudian diamati
selama 60 menit yang dihitung setiap 5 menit, yang bertujuan untuk melihat pengaruh
dari perlakuan terhadap suatu respon yang ditandai dengan adanya geliat.
71
Sampel yang digunakan pada penelitian ini adalah daun bambu yang dibuat
dengan sediaan ekstrak. Dosis yang digunakan pada ekstrak daun bambu yaitu 300; 600;
Tembawang.
Tikus Konsentrasi Asam asetat (%) Jumlah geliat tikus selama 60 menit
1 Diinduksi asam asetat 0,6 3
2 Diinduksi asam asetat 0,8 3
3 Diinduksi asam asetat 1 3
4 Diinduksi asam asetat 3 3
5 Diinduksi asam asetat 5 3
Penelitian ini menggunakan metode induksi kimia, dimana hewan uji diberi zat
kimia berupa asam asetat yang dapat menimbulkan rasa nyeri. Asam asetat yang
diberikan pada subjek uji secara intraperitonial. Tujuan dari orientasi adalah untuk
mengetahui dosis efektif asam asetat yang mampu menimbulkan geliat yang tidak
terlalu sedikit maupun terlalu banyak. Geliat yang terlalu sedikit tidak mampu
mengukur zat dengan efek analgesik yang lemah, sedangkan geliat yang terlalu banyak
akan menyulitkan dalam pengamatan, sehingga harus dipilih ketepatan dalam pemilihan
konsentrasi asam asetat yang dapat menimbulkan geliat tidak terlalu banyak, tetapi
masih mampu mengukur sampel yang memberikan efek analgesik yang lemah.
Penggunaan asam asetat sebagai zat penginduksi nyeri dalam penelitian ini
karena asam asetat dapat mengiritasi jaringan lokal dengan menurunkan pH jaringan
akibat pelepasan ion H+. Pada penurunan pH di bawah 6 selalu menimbulkan nyeri yang
akan meningkat dengan meningkatnya konsentrasi ion H +(92). Asam asetat memiliki
durasi sekitar satu jam sebagai penginduksi rasa nyeri, sehingga pengamatan ini
berlangsung selama satu jam, terhitung setelah diinduksi asam asetat. Respon nyeri
72
ditandai dengan geliatan kedua pasang kaki kedepan dan kebelakang serta perut
menekan lantai(80).
Larutan asam asetat diberikan setelah 15 menit, ini bertujuan agar obat yang
telah diberikan sebelumnya sudah mengalami fase absorbsi untuk meredakan rasa nyeri.
Selama beberapa menit kemudian, setelah diberi larutan asam asetat mencit akan
menggeliat dengan ditandai perut kejang dan kaki ditarik ke belakang. Jumlah geliat
mencit dihitung setiap 5 menit selama 60 menit. Penggunaan asam asetat sebagai
induktor dikarenakan asam asetat merupakan asam lemah dan pemberian sediaan asetat
akan merangsang prostaglandin untuk menimbulkan rasa nyeri akibat adanya kerusakan
jaringan (inflmasi)(80)(92).
Mencit Konsentrasi Asam asetat (%) Jumlah geliat mencit selama 60 menit
1 Diinduksi asam asetat 0,4 35
2 Diinduksi asam asetat 0,6 60
3 Diinduksi asam asetat 0,8 87
Berdasarkan literarur, metode yang sering digunakan dalam uji analgesik adalah
menggunakan rangsangan kimia sebagai penimbul rasa nyeri(93). Sehingga mencit yang
peka adalah mencit yang memberikan respon nyeri berupa geliatan kedua pasang kaki
ke depan dan ke belakang serta perut menyentuh dasar lantai yang muncul dalam waktu
maksimal lima menit setelah diinduksi fenil p-benzokuinon. Dalam penelitian ini,
asetat, asam asetat memilki onset sekitar lima menit(94). Selanjutnya dilakukan
modifikasi syarat uji kepekaan mencit, yaitu mencit dikatakan peka dan dapat
diikutsertakan pada uji selanjutnya apabila mencit memberikan respon nyeri berupa
73
geliat dalam waktu 5-10 menit setelah diinduksi dengan asam asetat secara
intraperitoneal.
Induksi asam asetat dengan konsentrasi 0,6%, 0,8% dan 1%, 3% dan 5% pada
hewan uji tikus belum cukup memberikan respon geliat yang jelas dan mudah
diamati,sedangkan asam asetat dengan konsentrasi 0,6% pada hewan uji mencit dapat
memberikan respon geliat yang jelas dan mudah diamati. Jumlah geliat yang dinduksi
asam asetat 0,6% pada hewan uji mencit memberikan respon geliat yang jelas dan
mudah diamati daripada jumlah geliat pada tikus yang diinduksi asam asetat
0,6%,0,8%,1%,3% dan 5%. Penyimpangan ini dapat disebabkan oleh variasi biologis
dari hewan uji yang digunakan dan dapat disebabkan intensitas nyeri yang dirasakan
oleh mencit kelompok asam asetat 0,8% terlalu besar sehingga mencit terlalu lama
Prinsip dari metode ini mengamati penurunan jumlah geliat yang terjadi akibat
pemberian bahan uji pada hewan uji yang terjadi akibat pemberian bahan uji pada
hewan uji yang diberi larutan asam asetat 0,6% secara intraperitonial. Tujuan dari
penggunaan asam asetat 0,6% karena jumlah geliat mencit lebih mudah diamati, jelas
dan geliat yang ditimbulkan juga lebih sedikitdibandingkan dengan pemberian asam
asetat 0,8%, sedangkan konsentrasi asam asetat yang digunakan1%, 3% dan 5% pada
hewan uji tikus setelah 24 jam tikus mengalami kematian dikarenakan pada penelitian
sehingga adanya jaringan yang rusak mengakibatkan timbulnya rasa sakit(92). Hal
tersebut dapat mempengaruhi hasil pengujian analgesik, karena selain menyakiti hewan
uji dengan konsentrasi asam asetat yang terlalu tinggi, hasil geliat yang terlalu sedikit
74
juga dapat menyebabkan hewan uji mengalami kematian. Oleh karena itu, dilakukan
penelitian menggunakan hewan uji mencit dengan konsentrasi asam asetat 0,6%. Hasil
determinasi hewan uji efek analgesik dapat dilihat pada lampiran 21.
Berdasarkan uji pendahuluan yang telah dilakukan, makapada uji efek analgesik
yang digunakan asam asetat 0,6% sebagai penginduksi rasa sakit. Hewan uji yang
digunakan mencit jantan galur Swiss. Bahan uji yang diberikan yaitu parasetamol
bekerja sebagai anti nyeri dengan cara menghambat sintesis prostaglandin dalam
jaringan tubuh yaitu dengan cara menghambat enzim siklooksigenase 2 (Cox 2)(95).
digunakan untuk menghomogenkan ketiga dosis yang berbeda pada ekstrak etanol daun
bambu yang tidak larut sempurna didalam air. Perhitungan dosis empiris daun bambu
Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah metode geliat yang
dimodifikasi berdasarkan uji pendahuluan. Induksi yang digunakan pada penelitian ini
adalah asam asetat. Metode geliat yang menggunakan asam asetat merupakan metode
yang sensitif untuk mengetahui efek analgesik. Berdasarkan yang telah dilakukan pada
uji pendahuluan maka pada uji efek analgesik ekstrak etanol daun bambu
menggunakanhewan berupa mencit jantan galur Swiss dan asam asetat 0,6% sebagai
penginduksi rasa sakit. Pada uji ini, terdapat lima kelompok uji, yaitu kelompok kontrol
negatif, yang diberi CMC-Na 0,5%, kemudian kontrol positif yang diberi parasetamol
500 mg/kgbb serta kelompok bahan uji dosis ekstrak etanol daun bambu dengan dosis
75
300 mg/kgbb, 600 mg/kgbb dan 1200 mg/kgbb. Setelah 15 menit diberi perlakuan,
masing masing dihitung jumlah geliatnya sampai satu jam dan diamati. Jumlah geliat
rata-rata mencit pada setiap kelompok uji dapat dilihat pada tabel 10.
Tabel 10. Rata-rata Jumlah Geliat Mencit pada setiap Kelompok Uji
Total
Kelompok Rata-rata jumlah geliat mencit ke-±SD Geliat
rata-
rata ±
SD
5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60
K (-) 4.0± 6.6 7.6 9.4 7.2 6.2 5.2 3.2 2.4 3.0 1.8 2,2 58.8#
1.0 ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ±
1.9 1.5 0.5 1.3 0.8 0.8 1.6 0.5 1.4 0.8 1.3 1.30
K (+) 0.6 1.6 2.2 1.6 1.6 1.4 1.4 1.4 1.4 1.4 0.8 0.2 15.6*
± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ±
0,4 0.4 0.7 0.4 0.4 0.4 0.4 0.4 0.4 0.4 0.4 0.4 1.14
Dosis 1 0.6 1 3.2 2.8 1.8 1.4 1.4 1.4 1.4 1.2 0.8 0.2 17*
± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ±
0.5 0.7 0.8 0.5 0.4 0.5 0.5 0.5 0.5 0.4 0.4 0.5 1.00
Dosis 2 1.4 1.6 5.4 5.0 4.6 3.6 3.2 2.4 2.2 1.4 1.6 1.2 33.6 #
± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ±
0.5 0.5 0.8 0.8 0.5 0.8 0.8 0.5 0.5 0.5 0.5 0.4 3.21
Dosis 3 1.6 3.2 6.4 6.2 5.4 4.8 4.6 4 2.4 2 1.2 0.4 42.2#
± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ±
0.5 0.8 0.8 0.4 0.8 1.4 0.5 1.2 0.8 1 0.4 0.5 1.92
Keterangan : Kontrol (-) : Kontrol Negatif : CMC-Na
Kontrol (+) : Kontrol Positif : Parasetamol
Dosis 1 : Dosis Ekstrak Daun Bambu 300 mg/kgbb
Dosis 2 : Dosis Ekstrak Daun Bambu 600 mg/kgbb
Dosis 3 : Dosis Ekstrak Daun Bambu 1200mg/kgbb
(*) : Berbeda bermakna dengan kontrol negatif
(#) : Berbeda bermakna dengan kontrol positif
pengujian pada tiap kelompok perlakuan terlihat hubungan antara dosis dengan
penurunan jumlah geliat mencit yaitu pada kelompok kontrol positif maupun pada
kelompok ekstrak dosis 1,2, dan 3 bila dibandingkan dengan kelompok negatif. Hal ini
menunjukkan bahwa pemberian ekstrak etanol daun bambu dan parasetamol sebagai
kontrol positif dapat mengurangi timbulnya geliat mencit yang memiliki aktivitas
76
analgesik sebagai respon nyeri yang ditimbulkan oleh pemberian asam asetat secara
intraperitoneal pada mencit. Semakin sedikit jumlah geliat rata-rata yang ditimbulkan
oleh kelompok mencit menunjukkan semakin baik aktivitas analgesik sebagai bahan uji.
Jumlah Geliat
10
Rata - Rata Jumlah Geliat
8
6 Negatif
Positif
4
300 mg/kgBB
2
600 mg/kgBB
0 1200
5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55
mg/kgBB 60
Menit
Berdasarkan dari hasil yang tertera pada tabel 7, pengujian efek analgesik
menunjukkan bahwa jumlah geliat mencit pada kelompok dosis 1,2 dan 3 mengalami
gambar 13.
Berdasarkan gambar10, dapat dilihat bahwa pada jumlah geliat akan semakin
meningkat sampai pada menit ke-15 dan setelah menit ke-15 jumlah geliat akan
memiliki daya geliat yang paling tinggi, hal ini terjadi karena CMC-Na tidak memiliki
efek analgesik. Jadi dapat disimpulkan bahwa rata rata jumlah geliat tertinggi pada
menit ke-15berarti dapat dikatakan bahwa asam asetat akan menimbulkan efek
maksimal pada menit ke-15. Hal ini juga menunjukkan bahwa pada menit ke 20 obat
77
sudah mencapai onsetnya. Onset adalah waktu saat obat diberikan hingga menimbulkan
efek. Jumlah kumulatif geliat semakin berkurang seiring dengan kurangnya dosis
sediaan ekstrak etanol daun bambu yaitu berturut-turut 300,600,1200 mg/kgbb tetapi
jumlah geliat paling sedikit terjadi pada perlakuan dengan kontrol positif yaitu
parasetamol dosis 65mg/kgbb. Sediaan uji yang menunjukkan jumlah geliat semakin
besar berarti mempunyai daya analgesik yang semakin kecil, karena analgesik mampu
menurunkan rasa sakit pada mencit yang diinduksi asam asetat sehingga geliat yang
dirasakan sakit akan berkurang. Data rata-rata jumlah geliat pada masing-masing
kelompok perlakuan dianalisis secara statistik one way Anova (Analysis of Variance).
jangka waktu yang relatif singkat tidak menimbulkan efek samping yang
membahayakan, tetapi apabila parasetamol digunakan dalam dosis besar dan jangka
kerusakan hati(9)(10) dan pada hewan atau pada pasien, respon terhadap dosis suatu obat
yang rendah biasanya meningkat dan berbanding langsung dengan meningkatnya dosis,
jadi ada hubungan antara dosis dan efek yang ditimbulkan (96). Sehingga dapat
disimpulkan bahwa semakin kecil dosis ekstrak daun bambu, maka semakin besar daya
tahan atau efek pengurangan rasa nyeri pada mencit terhadap induksi asam asetat.
Semakin sedikit jumlah geliat mencit, semakin baik fungsi analgesik pada bahan uji
yang digunakan.
% Proteksi Geliat
90
80 73.47 71.09
70 Kontrol Negatif
60 Kontrol Positif
% Proteksi geliat
timbulnya jumlah geliat mencit sebagai respon nyeri yang ditimbulkan oleh pemberian
asam asetat secara intraperitoneal. Berdasarkan data uji analgesik, dihitung persentase
proteksi geliat untuk menggambarkan daya analgesik pada bahan uji. Persentase
bahan uji terhadap kelompok kontrol negatif, hasil persentase proteksi geliat didapatkan
diikuti oleh kelompok ekstrak dosis I 300 mg/kgbb sebesar 71,09%, dosis ekstrak II
600mg/kgbb sebesar 42,86% dan dosis ekstrak III 1200 mg/kgbb sebesar 28,23%.
Hasil yang diperoleh jumlah data kumulatif geliat tersebut, kemudian digunakan
terhadap rangsang nyeri yang biasa disebut juga dengan daya analgetika. Persendaya
analgetik berfungsi untuk mengetahui ada tidaknya efek analgetikpada ekstrak etanol
daun bambu dengan dosis 300 mg/kgbb, 600 mg/kgbb, dan 1200mg/kgbb. Data
Hasil penelitian ini menunjukan bahwa hubungan antara jumlah geliat mencit
berbanding terbalik dengan persentase proteksi geliat. Semakin kecil jumlah geliat
mencit maka semakin besar nilai proteksi analgesik dan sebaliknya semakin besar
jumlah geliat mencit maka semakin kecil nilai persentase proteksi analgesik.Data yang
menyimpulkan data yang diperoleh. Untuk melihat dan menentukan data telah
80
terdistribusi normal dengan nilai signifikasi (p>0,05) kelompok kontrol negatif sebesar
p=0,421, kontrol positif sebesar p=0,814, dosis ekstrak 1 sebesar p=0,119, dosis ekstrak
II sebesar 0,094 dan dosis ekstrak III sebesar p=0,928. Kemudian dilakukan uji
homogenitas menggunakan uji Levene untuk melihat apakah data yang di dapat telah
homogen atau tidak. Hasil uji Levene menunjukkan data telah homogen dengan nilai
signifikansi diatas 0,05 yaitu sebesar p = 0,068. Setelah diproses data yang terdistribusi
normal dan homogen, maka dapat dinyatakan bahwa data yang didapatkan merupakan
data parametrik yang selanjutnya dapat dianalisa varian menggunakan uji One-Way
ANOVA untuk melihat bermakna pada data yang diperoleh antar kelompok perlakuan.
antar kelompok perlakuan, kemudian dilanjutkan dengan uji Tukey yang bertujuan
bermakna dengan kelompok lainnya. Hasil uji didapat bahwa kelompok kontrol negatif
kelompok kontrol positif dengan kelompok dosis ekstrak I, tidak terdapat perbedaan
signifikansi (p>0,05) yaitu sebesar p = 257. Hal tersebut dapat disimpulkan bahwa
kelompok dosis ekstrak I (300 mg/kgbb) memiliki efek analgesik yang setara dengan
parasetamol. Hal ini diduga dikarenakan beberapa faktor, seperti kandungan senyawa
dan reseptor. Hasil Uji Statistik One-Way ANOVA dapat pada lampiran 23.
bahwa jumlah geliat mencit kelompok bahan uji dosis I,II, dan III mengalami penurunan
81
dibandingkan dengan kelompok kontrol negatif. Hal ini menunjukkan bahwa ekstrak
daun bambu dapat mengurangi timbulnya geliat mencit sebagai respon nyeri yang
ditimbulkan oleh pemberian asam asetat secara intraperitoneal. Senyawa aktif yang
terdapat pada ekstrak etanol daun bambu yang berperan penting dalam penyembuhan
analgesik diduga karena adanya peran flavonoid yang terkandung didalam daun bambu.
Hal ini didukung oleh banyak penelitian terlebih dahulu yang banyak meneliti
Sehingga dapat disimpulkan bahwa ekstrak etanol daun bambu relatif aman
jangka waktu singkat, secara dosis tunggal yangtermasuk dalam kategori praktis tidak
toksik dan pemberian ekstrak etanol daun bambu memberikan efek analgesik yang
sebanding dengan parasetamol. Tetapi dalam penelitian ini seharusnya perlu dilakukan
penelitian lebih lanjut mengenai toksisitas subkronik dari ekstrak daun bambu untuk
melihat efek dalam jangka waktu panjang dan perlu dilakukan uji farmakologi lainnya.
83
BAB V
PENUTUP
V.1. Kesimpulan
V.2. Saran
1. Perlu dilakukan uji toksisitas subkronik pada ekstrak etanol daun bambu
(Bambusa
vulgaris) untuk melihat efek pemberian berulang sehingga dapat digunakan
sebagai
obat herbal.
2. Perlu dilakukan penelitian dengan menggunakan ekstrak etanol daun bambu
untuk
84
menguji efek farmakologi lainnya seperti uji efek antiinflamasi atau antipiretik
DAFTAR PUSTAKA
5. Wahyono, Hakim, L., Nurlaila., Sulistio, M., dan Ilyas, R. Uji Toksisitas Akut
Ekstrak Etanolik Terstandar dari Kulit Akar Senggugu (Clerodendru serratum L.
Moon). Majalah Farmasi Indonesia. 2007; (18):1-7.
7. Iwuanyanwu K.C.P., Amadi, U., Charles, I.A., dan Ayalogu, E.O. Evaluation of
Acute and Subchronic Oral Toxicity Studi of Baker Cleanser Bitters A Polyherbal
Drug On Experimental Rat. EXCLI Journal. 2011(1): 632-640.
10. Benson GD, Koff RS, Tolman KG. The therapeutic use of acetaminophen in
patiens with liver disease. Am J Ther. 2005; 12: 133-41.
11. Novitasari A. Pengaruh Daun Bambu Tali (Gigantochoa apus (schult.& Shult.f.)
Kurz.) terhadap penurunan kadar asam urat darah mencit jantan Balb (Mus
85
12. Coffie GY. Antwi BC.Darkwa NA. Phytochemical constituents of the leaves of
three bamboo (Poaceae) species in Ghana. Journal of Pharmacognosy and
Phytochemistry. 2014; 2(6): 34-38.
13. Syamsul ES. Lestiani WA. Sukawaty Y. Supomo. Uji Daya Analgetik Ekstrak
Etanolik Daun Binahong (Anredera Cordifolia (Ten) Steenis) Pada Mencit Putih
(Mus Musculus L.) Jantan. Prosiding Seminar Nasional Kimia. 2014: 1-5.
14. Tone DS. Wuisan J. Mambo C. Uji Efek Analgesik Ekstrak Daun Mahkota Dewa
(Phaleria Macrocarpa). Jurnal e-Biomedik (eBM). 2013; 1(2): 873-878.
15. Martin, GJ. Ethnobotany: A People and Plant Conversation Manual. Chapman
and Hall, London. 2004.
16. Setyowati, FM. Etnofarmakologi dan Pemakaian Tanaman Obat Suku Dayak
Tunjung Kalimantan Timur, LIPI, Bogor. Artikel Media litbang kesehatan. 2010;
20(3): 104-112.
18. Badan Pusat Statistik Kabupaten Sanggau. Statistik Daerah Kecamatan Entikong
2015.Sanggau: BPS Kabupaten Sanggau. 2015.
20. Alloy dan Sujarni. Mozaik Dayak Keberagaman Subsuku dan Bahasa Dayak di
Kalimantan Barat. Pontianak: Institut Dayakologi. 2008.
21. Widjaja, E.A. Identifikasi Jenis-jenis bambu di Jawa. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Bilologi: LIPI Bogor. 2001.
22. Kristanti, A.N, Aminah N.S, Tanjung M, Kurniadi B. Buku Ajar Fitokimia
Surabaya: Airlangga University Press. 2010; 48-49, 96,100.
23. Octavianus S. Fatimawali. Lolo WA. Uji Efek Analgetik Ekstrak Etanol Daun
Pepaya (Carica Papaya L) Pada Mencit Putih Jantan (Mus Mucculus). Jurnal
Ilmiah Farmasi. 2014; 3 (2): 87-91.
86
24. Afrianti R. Yenti R dan Meustika D. Uji Aktifitas Analgetik Ekstrak Etanol Daun
Pepaya (Carica papaya L.) pada Mencit Putih Jantan yang di Induksi Asam
Asetat 1%. Jurnal Sains Farmasi & Klinis. 2014; 1(1) :54-60.
26. Sari, C.Y. Penggunaan Buah mengkudu (Morinda citrifoliaL) untuk Menurunkan
Tekanan Darah Tinggi. J Majority. 2015; 4 (3): 34-70.
27. Saraswati, N.I. Potensi ektsrak Daun Bambu Apus (Gigantochloa apus Kurz)
Sebagai Bioherbisida Terhadap Perkecambahan dan Pertumbuhan Cyperus iria L
dan Amaranthus spinosus L. Skripsi. Program Studi Biologi. Universitas Islam
Negeri. 2016.
29. Gunawan D, Mulyani S. Ilmu Obat Alam (Farmakognosi). Jilid I. Jakarta: Penebit
Swadaya. 2004; 9-14.
31. Voight R. Buku Pelajaran Teknologi Farmasi. Yogyakarta: UGM Press; 1994;
561-564.
32. Khopkar, SM. Konsep Dasar Kimia Analitik. Jakarta: UI-Press; 2002.
33. Ansel HC. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi. Jakarta: Penerbit UI-Press: 200;
605-606, 608.
38. Timbrell J. Penghantar Toksikologi Ed3.London: Taylor & Francis. 2002: 163-
167.
39. Hayer AW. Prinsip dan Metode Toksikologi. New York: Gagak Tekan; 1984: 11-
19.
41. Ganiswara. Farmakologi dan Terapi Ed.4. Jakarta: UI Press; 1995: 755-766.
42. Harmita dan Radji M., Buku Ajar Analisis Hayati. Depok: Departemen Farmasi
FMIPA UI.2004: 47-55, 72-75,77-85.
44. Gad, S.C. Chengelis CP. Acute Toxicology Testing, Second Edition.New York:
Taylor & Farncis Inc. 1988: 170.
46. Carolina, A John Wiley & Sons. Inc., Publication, 225 – 236.United State. The
Globally Harmonized System of Classification and Labeling of Chemicals (GHS).
Edisi ke-4. New York dan Ganeva; 2011.
47. Organization for Economic Co-operation and Development. OECD Guidline for
Testing of Chemicals, Acute Toxic Class Method, 423. 2001c.
49. Organization for Economic Co-operation and Development. OECD Guidline for
Testing of Chemicals, Fixed Dose Procedure, 420. 2001.
50. Organization for Economic Co-operation and Development. OECD Guidline for
Testing of Chemicals, Acute Oral Toxicity- Up-and-Down-Procedure (UDP), 425.
2001.
51. Organization for Economic Co-operation and Development. OECD Guidline for
Testing of Chemicals, Acute Toxic Class Method, 423. 2001.
88
52. Barile FA. Principle of toxicology testing. Boca Raton: CRC Press; 2008:75,77-78.
53. Organization for Economic Co-operation and Development. OECD Guidline for
Testing of Chemicals, Acute Oral Toxicity- Up-and-Down-Procedure (UDP), 425.
Adopted 3rd October, 2008.
54. Westat. Acute oral toxicity software program, AOT425StatPgm; AOT425 Stat pgm
Program User’s Manual; and simulation Result fir the AOT425StatPgm Program. 12
Ferbruari 2012. 2001.
55. Rispin, A.,et al. Alternative methods for the median lethal dose (LD 50) test: the up-and-
down procedure for acute oral toxicity. Institute of laboratory animal resource journal.
2002; 43(4): 233-43.
56. Tjay, T.H dan Kirana Rahardja. Obat-Obat: Khasiat, Penggunaan dan Efek Sampinya.
Edisi keenam. Cetakan Pertama. Jakarta: Gramedia. 2007: 251.
57. Diana, H.S. Farmakoterapi Nyeri Punggung Bawah. Dalam: Meliala L, Nyeri
Punggung Bawah, Kelompok Studi Nyeri Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf
Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka: 2005.
60. Ernest, Mutschler. Dinamika Obat. Edisi V. Bandung: Penerbit ITB. 1991: 177-
178, 180, 193-194.
61. Muchtar, A.Monitoring Kadar Terapeutik Obat. Cermin Dunia Kedokteran. 1985:
37 (1): 13-14.
62. Wilmana PF. Analgesik Antipiretik Antiinflamasi Non Steroid dan Obat Dalam
Ganiswarna, Farmakologi dan Terapi. Edisi 4. Jakarta : Penerbit FKUI; 1995.
63. Safitri, A.R. Uji Efek Analgesik Infusa Daun Cocor Bebek (kalanchoe pinnata
(Lam.)Pres.) terhadap mencit Jantan Galur Swiss yang Diinduksi dengan Asam
Asetat.Skripsi; 2013.
64. Hallala, dkk. 2010. Evaluation of The Analgesic and Antipyretic Activities of
Chenopodium Ambrosiodes. ASIAN J. EXP. BIOL. SCI. Vol 1 (4) 2010: 894-
897. Online (http://www.ajebs.com/vol-4/28a.pdf. Februari 2016).
89
65. Gupta, Kumar, Anil dan Rakesh K. Fundamentals of Polymer Engineering. Edisi
kedua. New York : Marcell Dekker. 2003.
66. Sujarwo, W. Arinasa, I.B.K dan Peneng, N. Potensi Bambu Tali (Gigantochloa
apus J.A.& J.H.Schult. Kurz) Sebagai Obat di Bali. Bul.Littro. 2010; 21(2).
67. Widiarso, B.P dan Daryatmo, J. Daun Bambu Sebagai Agen Antifertilasi pada
Ternak. Magelang: Staf Pengajar Sekolah Tinggi Penyuluhan Pertanian. 2014.
68. Alam, N. Aziz, A.A. Cahyanti, L.D. Pemanfaatan Seresah Daun Bambu
(Dendrocalamus Aser) Sebagai Bioherbisida Pengendali Gulma yang Ramah
Lingkungan. Gontor AGROTECH Science Journal. 2015; 2(1):1-18.
69. Gry J, Soborg I, Andersson HC. 2006. Cucurbitacins in Plant Foods [Internet].
Denmark: Nordic Council of Minister; 2006: 50.
70. Gunawan, S.G., Setiabudy, R., Nafrialdi, Elsyabeth, editor. Farmakologi dan
Terapi Edisi 5. FKUI, Jakarta. 2008.
72. Rahayu, S. Sri, A. Bata, M Dan Marsudi A. Potensi Ekstrak Daun Bambu Sebagai
Antibakteri Dalam Susu Pedet Pfh Lepas Kolostrum: Kerjasama Kemitraan
Penelitian Pertanian Dengan Perguruan Tinggi (Kkp3t). 2011: 217-218.
73. Syaifudin, Aziz, Viesa Rahayu, dan Hilwan Yuda Teruna. Standarisasi Bahan
Obat Alam. Yogyakarta: Penerbit Graha Ilmu. 2011.
74. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Materia Medika. Jilid III. Jakarta:
Departemen Kesehatan Rebublik Indonesia; 1979. Hal. 158-159, 167, 171, 170.
75. Marliana, Soerya Dewi, Venty Suryanti, Suyono. Skrining fitokimia dan analisis
kromatografi lapis tipis komponen kimia buah labu siam (sechium edule Jacq.
Swartz.) dalam ekstrak etanol. Biofarmasi. Surakarta: Jurusan Biologi FMIPA
UNS; 2005. 3(1).
76. Robinson, T. The Organic Constituents of Higher Plants Their Chemistry and
Interrelationships. 5th Ed. North Amherst: Cordus Press; 1983.
77. Sitorus, RMH., Wulur, AC., Yamlean, PYY. Isolasi dan Indentifikasi Senyawa
Flavonoid pada Daun Adam Hawa (Rhoe discolor) PHARMACON Jurnal Ilmiah
Farmasi; 2012;1(1): 53-57.
90
78. Septiana, R.S. Identifikasi dan Uji Aktivitas Antibakteri Fraksi Teraktif Daun
Sirih Merah (Piper crocatum Ruiz & Pau). 2011: 50.
79. Hosen, Z. S.M., Rasel Das, Zahed Bin Rahim, Nipa Chowdhury, Linkon Paul dan
Dibyajyoti Saha. Study of Analgesic Activity of The Methanolic Extract of
(Acorus Calamus L). and (Oroxylum Indicum Vent) by Acetic Induced Writhing
Method. Bulletin of Pharmaceutical Research; 2011; 1(3):63-67 .
80. Marlyne, Riza. Uji Efek Analgetik Ekstrak Etanol 70% Bunga Mawar (Rosa
chinensis Jacq.) pada Mencit yang Diinduksi Asam Asetat. Skripsi. Universitas
Indonesia. 2012.
81. Galani, V.J. & Patel, B.G. Analgesic and Anti-Inflammatory Activity of Argyreia
speciosa and Sphearhantus indiscus in and the Experimental Animals. Global
Jurnal of Pharmacology .2011; 5 (1): 54-59.
82. Wahyuni, T., Astuti, Y. & Nuratmi, B. Uji Perbandingan Efek Analgetik Infus
Temu Putih (Curcuma zedoaria Rosc.) dan Temu Mangga (Curcuma mangga
Val. Et Zipp) pada Mencit. Jurnal Bahan Alam Indonesia. 2003; 2 (3):81-84.
85. Sukhdev SH, Suman PS, Gennaro L, Dev DR., editor. Extraction Technologies
for Medical and Aromatic Plants. Trieste: Padriciano; 2008.
87. Yamamoto Nami, Kentaro, Mineyo numata, Kazuya koyama and Masahiko
kitayama. Effects of temperature and water regimes On flavonoid contents And
composition in the skin of red-wine grapes. Japan: National Research Institute of
Brewing, 3-7-1; 2011.
91. Erkekoglu, Pinar, Belma Kocer Giray, Nursen Basaran. 3R Principle and
Alternative Toxicity Testing Methods. Vol 36. Turkey: FABAD. Journal of
Pharmaceutical Science; 2011. Pp. 101-117.
92. Tusthi G. Uji Analgesik Ekstrak Etanol Daun Senggani (Melastoma polyanthum
BI) Pada Mencit Putih Betina. Skripsi. Program Studi Ilmu Farmasi. Universitas
Sanata Dharma Yogyakarta. 2007.
93. Natalia, G. Uji Efek Analgesik Ekstrak Etanol Daun Sisik Naga (Pyrrosia
piloselloides (L.) M.G PRICE) pada mencit yang diinduksi Asam Asetat. Skripsi.
Jakarta : program Studi Farmasi. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan
Alam. Universitas Indonesia; 2012.
94. Wahyuni, A.S dan Sujono, T.A. Studi Aktivitas Daya Analgesik Jamu Pegel Linu.
Jurnal Penelitian Sains dan Teknologi. Jakarta. 2004 : 5 (1), 21-32.
95. Novadyanti. Uji aktivitas antiinflamasi dan antipiretik ekstrak etanol daun petai
(Parkia speciosa Hassk) pada tikus putih jantan galur Wistar. Skripsi. Program
Studi Farmasi Fakultas Kedokteran. Universitas Tangjungpura Pontianak. 2015.
96. Susanty, A. Fermando, A. Adelin, I.Efek Analgesik Ekstrak Etanol Daun Tampa
Badak (Voacanga foetida (BI.) K.Schum) pada Mencit Putih (Mus musculus)
Jantan. Jurnal Sains Farmasi dan Klinis. Riau. 2014: 1(1), 1-9.
97. Owoyele BV, Oguntoye SO, Dare K, Ogunbiyi BA, Aruboula EA, Soladoye AO.
Analgesic, Anti-inflammatory and Antipyretic Activities from Flavonoid
Fractions of Chromolaena odorata. Journal of Medicinal Plants Research.2008:
2(9):219-25.
98. Pandey, P.V. Bodhi, W. Yudistira,A. Uji Efek Analgetik Ekstrak Rumput Teki
(Cyperus Rotundus L.) Pada Tikus Putih Jantan Galur Wistar (Rattus Novergicus).
Jurnal Ilmiah Farmasi. Manado. 2013: 2(2): 44-40.
99. Safitri, I.A. dan Hastuti, A. Aktivitas Analgesik Ekstrak Etanol Daun Sligi
(Phyllanthus Buxifolius Muell .Arg ) terhadap Mencit Galur Balb/C. IJMS.
Jakarta. 2015: 2(1) : 1-5.
92
LAMPIRAN
93
Lampiran 11. Penimbangan Kadar Sari Larut Air Ektrak Etanol Daun Bambu
1 2 3 1 2 3
1 jam ke 1 35,0469 34,4469 36,4562 35,1257 34,5257 36,6749
1 jam ke 2 35,0465 34,4451 36,4543 35,1268 34,5232 36,6846
1 jam ke 3 35,0471 34,4460 36,4535 35,1259 34,5217 36,6572
1 jam ke 4 35,0458 34,4432 36,4543 35,1263 34,5224 36,5562
1 jam ke 5 35,0456 34,4430 36,4540 35,1251 34,5312 36,5578
1 jam ke 6 35,0453 34,4427 36,4538 35,1242 34,5254 36,5532
1 jam ke 7 35,1240 34,5251 36,5531
104
a. Krusibel 1
Bobot Ekstrak Akhir( gram) 10 ml
% Kadar Senyawa yang Larut Air = x 100 %
Bobot Ekstrak awal(gram) 2 ml
0,0784 10 ml
= x x 100 % = 15,5784%
2,5163 2 ml
b. Krusibel 2
Bobot Ekstrak Akhir( gram) 10 ml
% Kadar Senyawa yang Larut Air = x 100 %
Bobot Ekstrak awal(gram) 2 ml
0,821 10 ml
= x x 100 % = 16,2696%
2,5231 2 ml
c. Krusibel 3
Bobot Ekstrak Akhir( gram) 10 ml
% Kadar Senyawa yang Larut Air = x 100 %
Bobot Ekstrak awal(gram) 2 ml
0,0953 10 ml
= x x 100 % = 18,8541%
2,5273 2 ml
Rata-rata % Kadar Senyawa Larut Air
Krusibel 1+ Krusibel 2+ Krusbel 3 15,5784 % +16,2696 %+18,8541 %
= =16.9007%
3 3
Nilai SD ± 1,73
Lampiran 12. Penimbangan Kadar Sari Larut Etanol Ektrak Etanol Daun Bambu
1 2 3 1 2 3
1 jam ke 1 34,2392 35,1562 38,4563 35,2771 36,1859 39,4697
1 jam ke 2 34,2476 35,1532 38,4571 35,2894 36,1582 39,4691
1 jam ke 3 34,2465 35,1571 38,4519 35,2284 35,1949 39,4683
1 jam ke 4 34,2491 35,1573 38,4532 35,2014 35,1535 39,4611
1 jam ke 5 34,2490 35,1553 38,4564 34,2993 35,1462 38,5320
1 jam ke 6 34,2490 35,1587 38,4562 34,2432 35,1938 38,5332
1 jam ke 7 35,1597 38,4562 34,3065 35,1337 38,5338
1 jam ke 8 35,1595 34,3067 35,1232 38,5347
1 jam ke 9 34,3068 35,2438 38,5352
1 jam ke 10 35,2437 38,5253
1 jam ke 11 35,2437 38,5253
105
Replikasi 1 2 3
Bobot Konstan Krusibel Berisi Ekstrak (gram) 34,3068 35,2437 38,5253
Bobot Konstan Krusibel Kosong (gram) 34,2490 35,1592 38,4562
Bobot Ekstrak Awal (gram) 2,5741 2,9015 2,8175
Bobot Ekstrak Akhir (gram) 0,0578 0,0847 0,0691
a. Krusibel 1
Bobot Ekstrak Akhir( gram) 25 ml
% Kadar Senyawa Yang Larut Etanol = x 100 %
Bobot Ekstrak awal(gram) 5 ml
0,0578 25 ml
= x x 100 % = 11,2272%
2,5741 5 ml
b. Krusibel 2
Bobot Ekstrak Akhir( gram) 10 ml
% Kadar Senyawa Yang Larut Etanol = x 100 %
Bobot Ekstrak awal(gram) 2 ml
0,0847 25 ml
= x x 100 % = 14,5958%
2,9015 5 ml
c. Krusibel 3
Bobot Ekstrak Akhir( gram) 10 ml
% Kadar Senyawa Yang Larut Etanol = x 100 %
Bobot Ekstrak awal(gram) 2 ml
0,0691 25 ml
= x x 100 % = 12,2626%
2,8175 5 ml
Rata-rata % Kadar Senyawa Larut Etanol
Krusibel 1+ Krusibel 2+ Krusbel 3 11,2272 %+14,5958 % +12,2626 %
= = 12,6952%
3 3
Nilai SD ± 1,72
Lampiran 13. Penimbangan Bobot Jenis Ektrak Etanol Daun Bambu
106
Bobot A B C
Percobaan 1 15,9782 25,9757 25,9433
Percobaan 2 15,9678 25,9981 25,9176
Percobaan 3 15,9854 25,9943 25,9328
Bobot Konstan 15,9771 25,9894 25,9312
Keterangan : A = bobt piknometer kosong (g)
B = bobot piknometer + Ekstrak Daun Bambu (g)
C = bobot piknometer + Akuadest (g)
B− A 25,9894−15,9771
Bobot Jenis Ektrak = xBj Air = x 1 g / ml
C−A 25,9312−15,9771
= 1,005 g/ml
2000 mg
Dosis ekstrak = x 200 gram = 400 mg/kgbb
1000 gr /kgBB
Pakai)
19,55
Dosis untuk manusia 50 kg = x 1,9047=0,8679 gram
42,90
70
Dosis untuk 70 kg = x 0,8679=1,21 50 gram ≈ 1215 mg
50
Proses
19,55
Dosis untuk manusia 50 kg = x 1,9047=0,8679 gram
42,90
70
Dosis untuk 70 kg = x 0,8679=1,250 gram Dosi 1215 mg
50
Rumus (P
: % Proteksi Geliat = 100 – K x 100 )
Keterangan : P = jumlah kuulatif geliat hewan uji kelompok perlakuan
K = jumlah kumulatif geliat mencit uji kelompok negatif
1. Kontrol Positif
78
( )
% Proteksi Geliat = 100 - 294 x 100 =73,46 %
Tujuan : mengetahui ada tidaknya perbedaan bermakna jumlah geliat mencit antar
kelompok perlakuan
118