EKOLOGI GIZI
DIV-4B
Pertama-tama, penulis ucapkan syukur dan terima kasih kepada Tuhan Yang Maha Esa atas
rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini. Makalah ini kiranya
tak akan selesai tanpa bantuan dari beberapa pihak yang terus mendorong penulis untuk
menyelesaikannya.
Atas berkat rahmat Tuhan Yang Maha Esa, kami dapat menyelesaikan makalah yang membahas
inflamasi usus, stunting, dan STBM stunting. Kami berharap semoga makalah ini bermanfaat
bagi diri kami maupun para pembaca. Kami menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini
masih jauh dari kesempurnaan, maka kami mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari
pembaca agar makalah menjadi lebih baik dan sempurna untuk kedepannya.
Penulis
2
DAFTAR ISI
3
BAB I
PENDAHULUAN
4
BAB II
PEMBAHASAN
Penyakit radang usus (small inflammatory bowel disease) adalah sejumlah peradangan
yang terjadi pada usus kecil maupun besar. Peradangan ini dapat mengganggu kinerja usus
dalam mencerna makanan dan menyerap zat gizinya sehingga besar kemungkinan akan
terjadi malnutrisi pada penderita radang usus. Istilah radang usus ini mengacu pada dua
penyakit yang menyebabkan inflamasi usus yaitu penyakit kolitis ulseratif dan penyakit
Crohn.
Kolitis ulseratif adalah peradangan pada mukosa usus besar (kolon) dan bagian akhir
usus besar yang tersambung dengan anus (rectum). Peradangan ini diawali dengan adanya
luka pada rektum yang nantinya akan menjalar ke kolon. Gejala radang usus yang
disebabkan colitis ulseratif adalah diare, nyeri sebelum buang air besar (BAB), BAB
berdarah, anemia, turunnya berat badan, dan terkadang disertai demam.
Penyakit Crohn adalah penyakit radang usus kronis yang menyebabkan peradangan
pada lapisan saluran cerna mulai dari mulut hingga anus. Peradangan ini terjadi pada lapisan
yang lebih dalam dibandingkan colitis ulseratif. Gejala radang usus yang disebabkan
penyakit Crohn antara lain tidak nafsu makan, nyeri perut, diare, penurunan berat badan,
BAB bercampur darah dan lendir, mual dan muntah, serta lemas akibat anemia.
Sampai saat ini, masih belum diketahui penyebab dasar dan pasti dari radang usus.
Yang diketahui hanya respon peradangan yang terjadi merupakan akibat dari kekeliruan
respon imun yang menyerang sel-sel tubuh, terutama sel-sel sehat pada lapisan saluran
pencernaan. Tetapi ada faktor-faktor resiko yang menyebabkan peluang seseorang terkena
radang usus lebih besar yaitu kebiasaan merokok, orang-orang dengan usia di bawah 30
tahun, adanya riwayat salah satu atau kedua penyakit tersebut dalam keluarga, dan terlalu
5
sering mengonsumsi makanan yang mengiritasi saluran pencernaan seperti makanan yang
tinggi lemak, terlalu pedas, dan makanan olahan. Jika dibiarkan terus menerus, peradangan
yang bersifat kronis ini dapat menimbulkan kanker pada saluran cerna, terutama kanker usus
besar (kolon).
Radang usus pada anak-anak yang sedang dalam masa pertumbuhan dan perkumbang,
terutama pada baduta, berkaitan dengan malabsorpsi zat gizi yang menjadi salah satu faktor
penyebab stunting. Radang usus dapat menghambat kinerja usus dalam menyerap zat gizi
dari makanan dan minuman yang sudah dicerna. Malabsorpsi yang terjadi secara
berkepanjangaan akan mengakibatkan malnutrisi dan stunting pada anak-anak.
Untuk mencegah hal tersebut terjadi, tindak pencegahan yang dapat dilakukan antara
lain :
2.2 Stunting
Stunting adalah kondisi gagal tumbuh pada anak balita (bayi dibawah lima
tahun) akibat dari kekurangan gizi kronis sehingga anak terlalu pendek untuk
usianya. Kekurangan gizi terjadi sejak bayi dalam kandungan dan pada masa awal
setelah bayi lahir akan tetapi, kondisi stunting baru nampak setelah bayi berusia 2
tahun.
Balita dapat dikatakan stunting apabila memiliki nilai Z-score kurang dari
-2SD menurut WHO-MGRS (Multicentre Growth Reference Study) dan jika nilai
Z-score kurang dari -3SD termasuk severe stunting atau sangat pendek.
Masalah gizi terutama stunting pada balita dapat menghambat
perkembangan anak, dengan dampak negatif yang akan berlangsung dalam
6
kehidupan selanjutnya seperti penurunan intelektual, rentan terhadap penyakit
tidak menular, penurunan produktivitas hingga menyebabkan kemiskinan dan
risiko melahirkan bayi dengan berat lahir rendah (UNICEF, 2012; dan WHO,
2010).
1. Faktor Langsung
a. Berat Badan Lahir Rendah
Hasil penelitian ini menemukan bahwa stunting yang dialami anak
usia baduta disebabkan karena anak tersebut memiliki berat lahir yang
rendah ketika lahir (< 2.500 gram). Selain itu, menurut Lin et al,25 berat
badan bayi lahir rendah (BBLR < 2.500 gram) telah diidentifikasi sebagai
faktor risiko penting terkait perkembangan anak selanjutnya. Menurut
penelitian Abenhaim,26 bayi yang disebut lahir rendah adalah bila berat
bayi lahir dengan berat kurang dari 2.500 gram dan empat kali lebih tinggi
mengakibatkan kematian jika dibandingkan dengan berat bayi terlahir
2.500 – 3.000 gram.
b. Pola Asuh
7
Faktor selanjutnya yang menyebabkan pola asuh yang kurang baik
terutama pada perilaku dan praktik pemberian makan kepada anak
menjadi penyebab anak stunting. Pengetahuan ibu tentang gizi akan
menentukan perilaku ibu dalam menyediakan makanan untuk anaknya.
Ibu dengan pengetahuan gizi yang baik dapat menyediakan makanan
dengan jenis dan jumlah yang tepat untuk mendukung pertumbuhan dan
perkembangan anak balita.
Faktor lain dari pengaruh pola asuh yang berpengaruh yaitu
pemberian asupan makanan pada seribu hari pertama kelahiran
penyebabnya karena rendahnya akses terhadap makanan bergizi(yang
memiliki status ekonomi rendah,tinggal di daerah terpencil),rendahnya
asupan vitamin dan mineral dan buruknya keragaman pangan dan sumber
protein.
c. Tidak mendapatkan ASI eksklusif
ASI eksklusif adalah pemberian ASI kepada bayi selama 6 bulan
pertama kehidupannya, tanpa menambahkan atau menggantinya dengan
makanan dan minuman lain, termasuk air putih. ASI adalah makanan
terbaik untuk bayi, karena kandungannya baik bagi pertumbuhan dan
perkembangan bayi, serta mengandung zat untuk kekebalan tubuh dan
perlindungan pada sistem pencernaan. Hasil penelitian di Indonesia
menunjukkan, pemberian ASI eksklusif sangat berkaitan dengan kejadian
stunting pada anak. Sekitar 48 dari 51 anak yang stunting tidak
mendapatkan ASI eksklusif. Pemberian makanan pendamping ASI
(MPASI) dini (sebelum anak berusia 6 bulan) juga berhubungan dengan
kejadian stunting pada anak. Hal ini disebabkan karena pada saat ASI
dihentikan, anak tidak mendapatkan zat kekebalan yang terkandung dalam
ASI. Sedangkan jika MPASI yang diberikan tidak higienis atau anak
belum siap mengonsumsi makanan, ia akan terkena infeksi.
d. Tidak imunisasi
Imunisasi dapat menstimulasi sistem imun untuk membentuk
antibodi yang dapat melawan agen infeksi atau menyediakan perlindungan
8
sementara melalui pemberian antibodi. Pemberian imunisasi pada anak
memiliki tujuan penting, yaitu untuk mengurangi risiko anak terinfeksi
dan mencegah kematian pada anak, misalnya akibat TBC, difteri, tetanus,
pertussis, polio, campak, hepatitis B, dan sebagainya.
Status imunisasi anak ditemukan mempunyai hubungan yang
signifikan terhadap kejadian stunting. Hal ini disebabkan karena ketika
anak terkena penyakit, akan terjadi perubahan dalam asupan zat gizi,
seperti muntah, tidak nafsu makan, dan terjadi peningkatan kebutuhan zat
gizi. Ketika kebutuhan zat gizi anak tidak terpenuhi, akan terjadi gagal
tumbuh yang mengakibatkan stunting. Penyakit infeksi yang banyak
terjadi pada anak adalah diare dan infeksi saluran pernapasan (ISPA).
Diare dapat terjadi karena pembengkakan pada saluran pencernaan,
infeksi, pengaruh obat, makanan, maupun kerusakan pada permukaan
usus. Diare yang terjadi pada anak dapat berbahaya karena menyebabkan
tubuh kehilangan cairan dalam jumlah banyak dan zat gizi tidak dapat
terserap dengan baik.
e. Kehamilan Remaja
Tingginya angka pernikahan dini di Indonesia menyebabkan
kehamilan pertama juga terjadi di usia dini atau saat ibu masih remaja dan
sering disebut kehamilan remaja. Usia ibu ketika pertama kali hamil
sangat berpengaruh terhadap jalannya kehamilan. Jika usia ibu lebih muda
atau lebih tua dari usia tersebut maka akan lebih berisiko mengalami
komplikasi kehamilan. Seorang wanita yang hamil pada usia remaja akan
mendapat early prenatal care lebih sedikit.
Faktor ini yang diprediksi menyebabkan bayi lahir dengan berat
rendah (BBLR) serta kematian pada bayi. Sebagian besar remaja putri
yang hamil memiliki IMT (Indeks Massa Tubuh) dengan kategori
underweight. Hal ini disebabkan oleh kurangnya asupan gizi dikarenakan
kekhawatiran pada bentuk tubuh selama masa remaja dan kurangnya
pendidikan tentang gizi. Kedua hal tersebut kemudian menjadi sebab
rendahnya kenaikan berat badan ibu selama masa kehamilan. Kenaikan
9
berat badan yang tidak sesuai inilah yang kemudian berakibat pada
kenaikan jumlah bayi lahir premature yang menjadi salah satu faktor
terjadinya stunting pada balita. Balita yang lahir dari ibu yang hamil pada
usia remaja 3,86 kali lebih beresiko mengalami stunting dibandingkan
dengan balita yang lahir dari ibu yang menikah di usia normal.
2. Faktor Tidak Langsung
a. Pendidikan Orang Tua
Hasil analisis hubungan tingkat pendidikan ibu dengan
kejadian stunting pada anak balita menunjukkan hubungan, baik yang
berada di daerah pedesaan maupun perkotaan, hasil ini menyatakan
bahwa kecenderungan kejadian stunting pada balita lebih banyak
terjadi pada ibu yang berpendidikan rendah. Hal ini dikarenakan di
masyarakat masih berkembang pemikiran bahwa pendidikan tidak
penting serta terkait dukungan dari keluarga untuk menempuh
pendidikan yang lebih tinggi yang masih belum maksimal. Secara
tidak langsung tingkat pendidikan ibu akan mempengaruhi
kemampuan dan pengetahuan ibu mengenai perawatan kesehatan
terutama dalam memahami pengetahuan mengenai gizi. Pengetahuan
mengenai gizi merupakan proses awal dalam perubahan perilaku
peningkatan status gizi, sehingga pengetahuan merupakan faktor
internal yang mempengaruhi perubahan perilaku.
b. Pendapatan Ekonomi Keluarga
Hubungan yang signifikan antara pendapatan keluarga terhadap
kejadian stunting pada anak balita baik yang berada di daerah
pedesaan maupun di perkotaan. Apabila ditinjau dari karakteristik
pendapatan keluarga bahwa akar masalah dari dampak pertumbuhan
bayi dan berbagai masalah gizi lainnya salah satunya disebabkan dan
berasal dari krisis ekonomi. Anak pada keluarga dengan tingkat
ekonomi rendah lebih berisiko mengalami stunting karena selain
terbatasnya untuk memperoleh akses layanan kesehatan, keluarga juga
10
memiliki kemampuan pemenuhan gizi yang rendah sehingga
meningkatkan risiko terjadinya gizi salah.
Selain itu, status ekonomi yang rendah berhubungan dengan
keterbatasan keluarga dalam memenuhi kebutuhan akan zat gizi baik
makro maupun mikro. Status ekonomi keluarga yang rendah akan
memengaruhi kualitas maupun kuantitas bahan makanan yang
dikonsumsi oleh keluarga. Makanan yang didapat biasanya akan
kurang bervariasi dan sedikit jumlahnya terutama pada bahan pangan
yang berfungsi untuk pertumbuhan anak seperti sumber protein,
vitamin dan mineral sehingga meningkatkan risiko kurang gizi pada
anak.
c. Kualitas Lingkungan
11
e. Kurangnya Memanfaatkan Fasilitas Pelayanan Kesehatan
Kemampuan suatu rumah tangga untuk mengakses pelayanan
kesehatan berkaitan dengan ketersediaan sarana pelayanan kesehatan
serta kemampuan ekonomi untuk membayar biaya pelayanan.
Pelayanan kesehatan sangat sensitif terhadap perubahan situasi
ekonomi. Gangguan situasi ekonomi akan menggangu aksesibilitas
masyarakat dan keluarga terhadap pelayanan kesehatan, contohnya:
pelayanan imunisasi, perawatan berkaitan dengan pertumbuhan,
morbiditas, dan mortalitas anak. Akses ke pelayanan kesehatan dilihat
dari jarak dan waktu tempuh serta biaya yang dikeluarkan untuk
mencapai pelayanan kesehatan. Jarak merupakan ukuran jauh dekatnya
dari rumah/tempat tinggal seseorang ke pelayanan kesehatan terdekat.
Jarak tempat tinggal responden ke pelayanan kesehatan merupakan
salah satu penghambat dalam memanfaatkan pelayanan kesehatan.
2.2.2 Prevalensi Stunting di Indonesia
Situasi Global
Kejadian balita pendek atau biasa disebut dengan stunting merupakan
salah satu masalah gizi yang dialami oleh balita di dunia saat ini. Pada tahun
2017, 22,2% atau sekitar 150,8 juta balita di dunia mengalami stunting. Namun
angka ini sudah mengalami penurunan jika dibandingkan dengan angka stunting
pada tahun 2000 yaitu 32,6%.
Pada tahun 2017, lebih dari setengah balita stunting di dunia berasal dari
Asia (55%) sedangkan lebih dari sepertiganya (39%) tinggal di Afrika. Dari 83,6
12
juta balita stunting di Asia, proporsi terbanyak berasal dari Asia Selatan (58,7%)
dan proporsi paling sedikit di Asia Tengah (0,9%).
Situasi Nasional
13
Gambar 1
Menurut hasil Riskesdas tahun 2013 dan tahun 2018, proporsi status gizi
sangat pendek pada balita mengalami penurunan yang cukup signifikan, yaitu dari
18,0% menjadi 11,5% sedangkan proporsi status gizi pendek pada balita
mengalami kenaikan dari 19,2% menjadi 19,3%. Prevalensi sangat pendek dan
pendek pada balita menurut Riskesdas 2013 adalah 37,2% sedangkan tahun 2018
adalah 30,8%.
Gambar 2
Secara nasional, prevalensi balita stunting pada tahun 2013 yaitu sebesar
30,8% dan pada tahun 2018 sebesar 37,2%. Prevalensi stunting terendah pada
tahun 2013 terdapat di provinsi DKI Jakarta (17,7%) dan prevalensi tertinggi
terdapat di provinsi Nusa Tenggara Timur (42,6%). Prevalensi stunting terendah
pada tahun 2018 terdapat di Kalimantan Timur dan prevalensi tertinggi terdapat di
provinsi Nusa Tenggara Timur (51,7%).
14
Gambar 3
Secara nasional, prevalensi baduta sangat pendek yaitu sebesar 12,8% dan
prevalensi baduta pendek sebesar 17,1%. Prevalensi terendah baduta sangat
pendek yaitu terdapat di provinsi DKI Jakarta sebesar 18% dan prevalensi
terendah baduta pendek terdapat di provinsi DKI Jakarta sebesar 9,2%. Prevalensi
tertinggi baduta sangat pendek terdapat di provinsi Aceh sebesar 18,9% dan
prevalensi tertinggi baduta pendek terdapat di provinsi Aceh sebesar 19%.
2. Intervensi sensitif
● Memberikan edukasi kesehatan seksual dan reproduksi serta gizi pada remaja
● Memberikan pendidikan pengasuhan pada orang tua
● Menyediakan dan memastikan akses pada air bersih dan sanitasi
● Menyediakan akses ke layanan kesehatan dan keluarga berencana (KB)
15
(psychosocial stimulation). Stunting dan kekurangan gizi lainnya yang terjadi pada 1000
Hari Pertama Kehidupan (HPK) dapat menyebabkan hambatan perkembangan kognitif yang
akan berpengaruh pada tingkat kecerdasan dan produktivitas anak di masa depan. Stunting
dan masalah gizi lain diperkirakan menurunkan produk domestik bruto (PDB) sekitar 3%
per tahun. Selain masalah gizi buruk, faktor lingkungan buruk terkait air minum dan sanitasi
dapat menyebabkan risiko stunting.
Melihat dampak tersebut, maka stunting perlu dicegah. Bentuk dukungan program
Penyediaan Air Minum dan Sanitasi Berbasis Masyarakat (Pamsimas) dalam pencegahan
stunting yaitu pendekatan dari sisi intervensi sensitif (pengaruh tidak langsung) yaitu
peningkatan akses air minum yang aman, peningkatan akses sanitasi yang layak dan
perubahan perilaku PHBS melalui implementasi ”5 Pilar STBM” (Sanitasi Total Berbasis
Masyarakat).
Saat ini berdasarkan beberapa survey yang dilakukan, masalah kesehatan lingkungan di
Indonesia masih cukup tinggi. Sekitar 24% masyarakat masih BAB di tempat terbuka dan
14% diantaranya tidak memiliki akses ke sumber air bersih (JMP, 2013) ; padahal ketika
anak-anak tumbuh di lingkungan dengan sanitasi yang buruk, maka risiko mereka terkena
penyakit menjadi lebih besar dan kemungkinan berulang juga tinggi, inilah yang menjadi
salah satu penyebab terhambatnya pertumbuhan mereka.
Apabila dilihat lebih jauh, melalui pemetaan yang dilakukan terhadap wilayah di
seluruh Indonesia dengan melihat wilayah dengan prevalensi stunting dan persentase
keluarga yang tidak memiliki akses jamban sehat, terlihat bahwa memang wilayah dengan
prevalensi stunting yang tinggi juga merupakan wilayah yang persen keluarga tidak
memiliki akses jamban sehatnya tinggi. Artinya, kepemilikan jamban sebagai salah satu
akses untuk pencapaian kesehatan lingkungan memiliki peran yang penting dalam upaya
penanggulangan stunting.
16
dikeluarkannya PERMENKES Nomor 3 Tahun 2014 tentang Sanitasi Total Berbasis
Masyarakat. Dengan demikian, secara otomatis Kepmenkes No.852/Menkes/SK/IX/2008
telah tidak berlaku lagi sejak terbitnya Permenkes Nomor 3 tahun 2014 (PERMENKES
Nomor 3 Tahun 2014).
STBM diatur dalam Permenkes Nomor 3 tahun 2014 tentang sanitasi total berbasis
masyarakat, yang dilakukan melalui 3 strategi, yaitu :
17
Di dalam STBM stunting, pemberdayaan masyarakat dilakukan untuk menyasar 8 pilar
STBM-stunting, yaitu :
Mencuci tangan dengan air saja tidak cukup. Penggunaan sabun selain
membantu singkatnya waktu cuci tangan, dengan menggosok jemari dengan
sabun menghilangkan kuman yang tidak tampak minyak/ lemak/ kotoran di
permukaan kulit, serta meninggalkan bau wangi. Perpaduan kebersihan, bau
wangi dan perasaan segar merupakan hal positif yang di peroleh setelah
menggunakan sabun.
CTPS merupakan perilaku cuci tangan dengan menggunakan sabun dan air
bersih yang mengalir. Langkah-langkah CTPS yang benar :
18
- Basahi kedua tangan dengan air bersih yang mengalir.
- Gosokkan sabun pada kedua telapak tangan sampai berbusa lalu gosok
kedua punggung tangan, jari jemari, kedua jempol, sampai semua permukaan kena
busa sabun.
- Bilas dengan air bersih sambil menggosok-gosok kedua tangan sampai sisa
sabun hilang.
- Keringkan kedua tangan dengan memakai kain, handuk bersih, atau kertas
tisu, atau mengibas-ibaskan kedua tangan sampai kering.
- Sebelum makan
- Sebelum menyusui
19
Masak dengan benar (Rebus sampai mendidih, terutama bahan daging, telur,
dan hasil laut)
Mencuci tangan dengan sabun sebelum mengolah dan menyajikan air minum
Pengolahan air baku, dilakukan apabila air baku keruh dengan cara pengolahan
awal :
Pengolahan air minum. Pengolahan air minum di rumah tangga dilakukan untuk
mendapatkan air dengan kualitas air minum. Air untuk minum harus diolah terlebih
dahulu untuk menghilangkan kuman dan penyakit melalui :
Wadah bertutup, berleher sempit, dan lebih baik dilengkapi dengan kran.
Air minum sebaiknya disimpan di wadah pengolahannya.
20
Air yang sudah diolah sebaiknya disimpan dalam tempat yang bersih dan selalu
tertutup.
Minum air dengan menggunakan gelas yang bersih dan kering atau tidak
minum air langsung mengenai mulut/wadah kran.
Letakkan wadah penyimpanan air minum di tempat yang bersih dan sulit
terjangkau oleh binatang.
Wadah air minum dicuci setelah 3 hari atau saat air habis, gunakan air yang
sudah diolah sebagai air bilasan terakhir.
21
Sampah rumah tangga yang bisa dimanfaatkan seperti koran bekas, kardus
bekas, kaleng susu, wadah sabun lulur, dan sebagainya. Barang-barang
tersebut dapat dimanfaatkan sebaik mungkin misalnya diolah menjadi
tempat untuk menyimpan tusuk gigi, perhiasan, dan sebagainya.
c. Recycle yaitu mendaur ulang kembali barang lama menjadi barang baru.
Contoh:
Sampah anorganik bisa di daur ulang menjadi sesuatu yang bisa digunakan
kembali, contohnya mendaur ulang kertas yang tidak digunakan menjadi
kertas kembali, botol plastik bisa menjadi tempat alat tulis, bungkus plastik
detergen atau susu bisa dijadikan tas, dompet, dan sebagainya.
Merupakan sisa air buangan yang berasal dari kegiatan rumah tangga, seperti
mencuci, memasak, mandi, dan hasil ekskresi manusia.
22
Melakukan pemisahan saluran limbah cair rumah tangga melalui sumur
resapan dan saluran pembuangan air limbah. Namun, jika pada kawasan
pemukiman sudah tersedia sarana IPAL (Instalasi Pengolahan Air Limbah)
dengan sistem pemipaan atau tangki septik yang sesuai standar dilengkapi dengan
bidang resapan, air limbah jamban, dan non jamban dapat diolah secara
tercampur.
Menyediakan dan menggunakan penampungan limbah cair rumah tangga
Memelihara saluran pembuangan dan penampungan limbah cair rumah
tangga
23
Pastikan pemberian ASI eksklusif pada bayi stunting
Pemberian MP ASI yang tepat dan baik mulai anak berumur 6 bulan, dengan
penambahan tabur gizi pada makanan
Pemberian ASI dilanjutkan sampai anak berusia 2 tahun
BAB III
PENUTUP
24
3.3 Kesimpulan
Inflamasi usus adalah salah satu faktor penyumbang terjadinya stunting. Inflamasi
usus dapat menghambat penyerapan zat gizi dari makanan yang dikonsumsi dan
menyebabkan malnutrisi secara berkepanjangan. Malnutrisi pada masa pertumbuhan akan
berujung pada stunting. Untuk mencegah dan menurunkan angka stunting, diterapkan
perbaikan sanitasi melalui prinsip 5 Pilar STBM sebagai intervensi secara tidak langsung.
3.4 Saran
- Pemerintah tidak hanya focus pada intervensi spesifik (langsung) dengan pemberian
PMT atau suplemen saja, tetapi juga berfokus pada intervensi sensitive yang
menyumbang sekitar 70% dalam penyelesaian masalah.
- Pemerintah hendaknya mengedukasikan secara luas kepada masyarakat mengenai 5
Pilar STBM untuk menurunkan angka stunting
- Pemerintah sebaiknya membuat program untuk mengatasi masalah infeksi saluran
pencernaan dan inflamasi usus yang menjadi faktor penyebab stunting, baik melalui
penyuluhan, pemberian obat cacing, dan perbaikan akses air bersih serta sanitasi
DAFTAR PUSTAKA
https://fk.ui.ac.id/infosehat/peran-peradangan-usus-pada-anak-pendek/
25
https://id.wikipedia.org/wiki/Penyakit_radang_usus
https://www.gastrojournal.org/article/S0016-5085(98)70381-6/pdf
http://pamsimas.org/cegah-risiko-stunting-melalui-5-pilar-stbm/
http://repository.usu.ac.id/bitstream/handle/123456789/64713/Chapter%20II.pdf?
sequence=4&isAllowed=y
http://stbm.kemkes.go.id/app/news/11651/stunting-dalam-kacamata-kesehatan-lingkungan
https://www.academia.edu/35515941/Modul_Pelatihan_Fasilitator_STBM-
Stunting_updated_201117.doc
http://www.ampl.or.id/program/sanitasi-total-berbasis-masyarakat-stbm-/4
http://www.bphn.go.id/data/documents/14pmkes003.pdf
http://www.kesmas.kemkes.go.id/assets/upload/dir_60248a365b4ce1e/files/PKTD-STUNTING-
DAN-BENCANA--RAKOR-KESMAS-2018_1188.pdf
https://www.slideshare.net/TriCahyonoPutra/pilar-3-stbm-pengelolaan-makanan-minuman-
rumah-tangga
https://dinkes.gunungkidulkab.go.id/pilar-ketiga-stbm-pengelolaan-air-minum-makanan-rumah-
tangga/
26