Anda di halaman 1dari 80

BUKU AJAR

MATA KULIAH:

KETERAMPILAN DASAR KONSELING

Oleh:

Dr. Retno Tri Hariastuti, M.Pd., Kons.


Evi Winingsih, S.Pd., M.Pd.

JURUSAN BIMBINGAN DAN KONSELING


FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS NEGERI SURABAYA
2020

0
BAB I

KONSELING :
HUBUNGAN YANG MEMBANTU

1
BAB I
KONSELING: HUBUNGAN YANG MEMBANTU

Banyak ragam hubungan antar manusia yang mengandung unsur-unsur


pemberian bantuan. Akan tetapi, tidak semua pemberian bantuan dapat dikatakan
profesional. Upaya pemberian bantuan (helping) profesional dilakukan oleh
seseorang yang didasarkan pada pengetahuan yang khas, dengan menerapkan
teknik-teknik intelektual dalam suatu pertemuan khusus dengan maksud agar
orang yang dibantu memungkinkan lebih efektif menghadapi permasalahannya.
Konseling adalah suatu layanan profesional, terjadi atas dasar hubungan konselor
dan klien. Konseling pada dasarnya merupakan suatu hubungan yang membantu
(helping relationship) karena upaya bantuan dari konselor tidak semata-mata
diberikan seacara langsung melainkan melalui terbentuknya hubungan konseling
yang memfasilitasi klien dalam menemukan penyelesaian masalahnya.
Proses konseling melibatkan lima tahapan utama, yakni mengembangkan
hubungan terapeutik yang kondusif dengan klien, asesmen masalah klien,
menetapkan dan mengimplementasikan strategi bantuan atau mengambil
keputusan berkenaan dengan teknik, metode, strategi, atau pendekatan apa yang
digunakan untuk membantu klien memecahkan masalahnya, kemudian tahap
evaluasi dan tindak lanjut.
Ada kalanya klien menganggap konseling akan menghasilkan pemecahan
masalah pribadinya. Klien yang diliputi rasa tertekan mengharapkan agar
konseling dapat memberikan rasa lega, bebas dari rasa tertekan. Klien yang
bimbang membuat keputusan berharap konseling dapat menghasilkan pilihan
tepat; klien yang tidak populer berharap dengan konseling ia bisa menjadi orang
populer; klien yang melakukan konseling karier mengharap bisa cepat diterima
kerja. Sering kali klien menganggap bahwa proses konseling akan berlangsung
singkat. Klien terdorong melakukan konseling agar dapat mengatasi masalahnya
dengan segera, layaknya kegiatan kepenasihatan. Tampaknya, pemahaman klien

2
terhadap konseling sebagai suatu bentuk hubungan yang membantu perlu
perhatian khusus bagi seorang konselor.
Hubungan yang kondusif perlu dikembangkan dengan tujuan untuk
mendorong klien mengeksplorasi diri dan kemudian memperoleh pemahaman
yang utuh (insight) tentang masalah yang sedang dialaminya, baik secara
emosional, kognitif, maupun perilaku dan dalam hubungannya dengan kondisi-
kondisi pribadi dan lingkungan yang menyebabkan atau mempertahankan
masalahnya. Perlunya mengembangkan hubungan itu didasarkan pada model
konseling berpusat pribadi (person-centered counseling). Pendekatan konseling
berpusat pada pribadi dikembangkan oleh kelompok Rogerian, yakni para
pengikut pendekatan konseling berpusat pada klien (client-centered counseling)
yang dikembangkan oleh seorang ahli psikologi humanistik, yaitu Car Roger
(1951). Pendekatan ini meyakini bahwa hubungan konseling merupakan suatu
proses interpersonal antara konselor dan klien, dan kualitas hubungan
interpersonal tersebut menjadi kondisi yang penting dan mencukupi untuk
menimbulkan perubahan perilaku klien.
Untuk dapat mengembangkan hubungan konseling yang efektif, konselor
perlu menguasai penerapan beberapa bentuk keterampilan dasar konseling, yang
dapat dikelompokkan ke dalam keterampilan attending, keterampilan
mendengarkan, keterampilan mengarahkan, dan keterampilan untuk mendorong
pertumbuhan klien.
Pribadi konselor merupakan unsur yang menentukan berhasilnya proses
konseling. Kondisi ini akan didukung oleh keterampilan konselor mewujudkan
sikap dasar dalam berkomunikasi dengan klien. Perpaduan antara pribadi dan
keterampilan yang dimiliki konselor akan memperbesar peluang keefektifan kerja
konselor.

A. Karakteristik Hubungan Konseling

Seperti dikemukakan sebelumnya bahwa konseling merupakan hubungan


yang bersifat membantu. Maksud hubungan tersebut adalah untuk peningkatan

3
pertumbuhan, kematangan, fungsi, cara penanganan kehidupan dengan
memanfaatkan sumber-sumber internal pada klien.
Shertzer dan Stone (1981) megemukakan karakteristik suatu helping
relationship sebagai berikut.
1. Merupakan suatu hubungan yang berarti bagi kedua belah pihak, yaitu
konselor dan klien.
2. Adanya relasi yang bersifat afektif.
3. Diperlukan integritas pribadi.
4. Terjadi atas kebutuhan dan persetujuan bersama antara konselor dan klien.
5. Klien membutuhkan informasi, instruksi, nasihat, bantuan, pemahaman dari
konselor.
6. Terjadi melalui komunikasi dan interaksi konselor dan klien.
7. Mempunyai struktur khusus.
8. Ada kerjasama antara konselor dan klien.
9. Konselor mudah akrab dan membuat klien merasa aman
10. Bertujuan untuk perubahan tingkah laku klien.

Dibandingkan dengan hubungan interpersonal yang biasa, maka hubungan


konseling merupakan hubungan interpersonal yang khusus. Berkaitan dengan
hubungan yang terjadi dalam konseling, secara khusus George dan Cristiani (1990)
mengemukakan enam karakteristik dinamika dan hubungan konseling
dibandingkan dengan hubungan membantu yang lain. Karakteristik hubungan
konseling tersebut adalah:
1. Afeksi
Dalam konseling, hubungan antara konselor dan klien cenderung merupakan
hubungan afektif dari pada hubungan kognitif. Hubungan yang demikian akan
mengurangi kecemasan dan ketakutan dalam diri klien.
2. Intensitas
Hubungan yang kuat (intens) antara konselor dan klien akan mengarahkan
munculnya keterbukaan. Intensitas hubungan senantiasa diupayakan agar
dapat berlangsung secara mendalam.

4
3. Pertumbuhan dan perubahan
Hubungan konseling bersifat dinamis, artinya terus berkembang selaras
dengan perubahan dan pertumbuhan yang terjadi pada konselor dan klien.
kedinamisan hubungan konseling meliputi perkembangan dalam pengalaman
dan tanggung jawab klien karena ada proses belajar untuk memahami diri
serta mengembangkan dirinya.
4. Privasi
Dalam konseling dibutuhkan adanya keterbukaan. Namun keterbukaan
tersebut bersifat konfidensial, artinya kerahasiaan informasi dalam konseling
harus terjaga. Konselor tidak dibenarkan menyampaikan informasi tentang
atau dari klien kepada siapa pun tanpa seijin klien.
5. Dorongan
Selama konseling, konselor harus memberikan dorongan kepada klien untuk
meningkatkan diri. Klien memperoleh dorongan untuk melakukan perubahan
perilaku serta termotivasi untuk berani mengambil keputusan. Di samping itu,
konselor juga mendorong dirinya sendiri untuk melakukan perbaikan.
6. Kejujuran
Hubungan konseling didasarkan pada kejujuran. Aspek kejujuran ini akan
mempengaruhi timbulnya keterbukaan dan terciptanya komunikasi yang
terarah antar konselor dan klien.

B. Proses Konseling

Konseling merupakan suatu hubungan bantuan yang tidak bersifat “hanya


sekali” atau “sekali jadi” tetapi merupakan suatu proses. Sebagai suatu proses,
maka hubungan konseling berjalan atau berkembang secara progresif melalui
tahapan-tahapan tertentu, dari tahap awal hingga tahap akhir. Bagaimana tahapan-
tahapan konseling tersebut berkembang akan dipengaruhi oleh orientasi teoterik
yang digunakan oleh konselor. Setiap orientasi teoretik mempreskripsikan tahapan
yang berbeda. Oleh karena itu, perbedaan dalam orientasi teoretik yang digunakan
oleh konselor menyebabkan konseling dilaksanakan secara berbeda pula. Namun

5
demikian, berdasarkan beberapa literatur (Cormier & Cormier, 1985; Hackney &
Cormier, 2001; Okun, 1988), secara umum konseling berjalan melalui tahapan-
tahapan berikut: (1) pengembangan hubungan, (2) asesmen, (3) perumusan tujuan,
(4) pemilihan dan implementasi teknik/strategi intervensi, dan (5) evaluasi,
terminasi dan tindak lanjut. Tahapan ini dapat diilustrasikan melalui gambar
brikut:

Evaluasi, terminasi,
& tindak lanjut
Pemilihan &
implementasi strategi
Perumusan
tujuan
Asesmen
masalah
Pengembangan
hubungan

Gambar 1.1.
Tahapan Konseling

Berikut adalah uraian singkat dari masing-masing tahapan tersebut.

1. Pengembangan hubungan

Pengembangan hubungan merupakan tahap paling awal dalam proses


konseling. Meskipun demikian, di sepanjang tahapan berikutnya hubungan antara
konselor dan klien harus tetap berkembang dan terjaga dengan baik.
Pengembangan hubungan dimulai setelah konselor menerima klien yang pertama
kali tanpa memperhatikan apakah datang secara sukarela pada konselor, datang
atas undangan konselor, atau datang atas rujukan pihak ketiga. Beberapa ahli dan
penulis lain menyebut pengembangan hubungan sebagai suatu “aliansi terapeutik”
atau “pengembangan rapport. Kedua istilah ini menyiratkan suatu pengertian

6
bahwa hubungan akan berkembang dengan baik jika konselor dapat membangun
suatu aliansi terapeutik dengan klien atau mengkomunikasikan rapport pada klien.

Aliansi terapeutik dan rapport mengimplikasikan suatu bentuk hubungan


yang kondusif atau fasilitatif bagi proses pemecahan masalah dalam konseling.
Aliansi terapeutik akan terjadi jika konselor mampu mengkomuniksikan rapport,
dan ini ditandai oleh kesediaan klien untuk membuka diri. Klien akan bersedia
membuka diri jika secara psikologis ia merasa aman, dihargai/diterima oleh
konselor dan percaya bahwa konselor akan dapat membantunya. Itu semua dapat
dicapai jika konselor mampu mendengarkan klien dengan sungguh-sungguh
tentang apa yang dikatakan klien, dapat berpikir dan merasa seperti apa yang
dipikir dan dirasakan oleh klien, dan mengakui bahwa klien adalah individu yang
unik. Konselor juga perlu mengkomunikasikan kejujuran dan kesungguhan atau
ketulusannya untuk menolong klien. Hubungan yang berkembang dengan baik
ditandai oleh kesediaan klien untuk membuka diri, dalam arti mau berbicara
tentang masalahnya dan menerima konselor untuk memasuki dunia (prasaan dan
pikiran) pribadinya.

Selama tahap pengembangan hubungan, konsistensi sikap dan perilaku


konselor merupakan kualitas yang penting. Dalam semua sesi dalam tahap
pengembangan hubungan, klien akan mencatat (mengingat) semua sikap dan
perilaku konselor. Jika konselor memperlihatkan sikap dan perilaku yang
berubah-ubah, akan menunjukkan bahwa konselor memiliki pribadi yang sulit
diduga dan ini akan menyebabkan klien merasa tidak aman bersama konselor. Hal
lain yang sama pentingnya adalah kepekaan konselor terhadap kesamaan dan
perbedaan budaya klien. Tahap pengembangan hubungan dikatakan sebagai waktu
bagi konselor untuk menjadi sangat sensitif terhadap perbedaan atau keunikan
orang lain (Hakcney, 2001). Jelas bahwa untuk dapat mengembangkan hubungan
yang kondusif dengan klien, konselor perlu memiliki seperangkat kompetensi
interpersonal, yakni kualitas pribadi dan keterampilan komunikasi interpersonal,
yang juga disebut dengan keterampilan dasar konseling.

7
2. Asesmen

Tahap kedua dalam proses konseling adalah melakukan asesmen terhadap


masalah klien. Pada tahap ini konselor mengumpulkan dan mengolah informasi
dengan menggunakan berbagai prosedur dan alat sebagai dasar untuk memahami
masalah klien. Oleh karena itu proses ini sering juga disebut sebagai tahap
“identifikasi masalah.” Goldenberg (1983) mendefinisikan asesmen masalah
sebagai suatu upaya untuk memperoleh gambaran tentang kekuatan, aset, dan
kemampuan adaptif, di samping kelemahan, kekurangan, dan perilaku
menyimpang klien agar diperoleh suatu pemahaman yang memadai tentang
masalah klien baik dalam hubungannya dengan dirinya sendiri maupun dalam
hubungannya dengan konteks sosial yang lebih luas. Sedangkan Sundberg (1977)
mendefinisikan asesmen sebagai suatu proses untuk mengembangkan kesan dan
citra tentang klien, membuat keputusan, dan mengembangkan hipotesis tentang
pola dan karakteristik perilaku klien dan interaksinya dengan orang lain.

Hakcney & Cormier (2001) mengemukakan beberapa definisi tentang


masalah klien, yakni sebagai suatu kebutuhan (sesuatu yang hilang dalam
kehidupan klien dan ketiadaanya dapat menyebabkan klien tidak bisa berfungsi
normal atau tak berdaya), sebagai sumber tekanan (sesuatu yang tidak
menyenangkan dan keberadaanya menyebabkan beban/tekanan psikologis dan
distraksi atau kebingungan), sebagai kondisi kehidupan (kondisi-kondisi
lingkungan yang tak dapat dikendalikan oleh klien dan merintangi klien untuk
mencapai keberhasilan dan kebahagiaan dalam hidupnya), sebagai kesalahan
interpretasi (klien mengalami kesulitan karena menerapkan cara berpikir dan
merasa yang salah tentang situasi atau kondisi yang dihadapi), sebagai pola-pola
sosial yang yang tidak sehat (klien memiliki pandangan bahwa dirinya adalah
pribadi yang buruk dan jika ia bersama dengan orang lain itu akan menjadi
sumber distres dan ketidakbahagiaan bagi dirinya), dan sebagai hasil interaksi atau
kombinasi dari faktor-faktor tersebut. Pada umumnya, teori-teori konseling
cenderung mengklasifikasikan masalah klien ke dalam satu ranah atau domain
tertentu, seperti afektif, kognitif, perilaku, atau sistemik (lihat Corey, 2005;

8
Corsini & Wedding, 1995; Rudolph & Thompson, 2001). Dengan kata lain,
masalah klien dapat bersumber dari hambatan emosional, kontingensi perilaku,
kesalahan dalam mempersepsi realitas, atau kontingensi kontekstual/sistemik.

Untuk dapat melaksanakan proses asesmen dengan berhasil, konselor perlu


memiliki beberapa kompetensi untuk mengumpulkan dan mengolah
data/informasi, yang meliputi teknik dan prosedur pengumpulan data tes dan non
tes serta teknik analisis statistik dan kualitatif. Di samping itu konselor juga perlu
memiliki pengetahuan yang baik tentang berbagai perspektif teoretis tentang
perilaku dan gangguan perilaku agar dapat mengembangkan hipotesis masalah
klien dengan tepat. Hackney & Cormier (2001) mengemukakan bahwa proses
asesmen melibatkan beberapa keterampilan khusus, termasuk di dalamnya
observasi, inkuiri, menghubungkan antara fakta-fakta, merekam informasi, dan
mengembangkan hipotesis.

3. Menetapkan dan merumuskan tujuan

Menetapkan tujuan konseling merupakan bagian yang penting dari proses


konseling. Mengapa? Tujuan merepresentasikan apa yang diharapkan oleh klien
dari proses konseling sekaligus menjadi arah proses konseling. Tujuan juga dapat
dijadikan sebagai tolok ukur untuk menetapkan keefektifan atau keberhasilan
konseling. Para konselor kontemporer dari berbagai aliran umumnya menyatakan
bahwa tujuan konseling ditetapkan bersama-sama oleh konselor dan klien. Dalam
hal ini, klien adalah pihak yang mengambil manfaat dari proses konseling dan
mengetahui apa yang ia butuhkan (ingin dicapai melalui konseling). Namun,
dalam kenyataannya tidak semua klien mampu memilih atau menetapkan tujuan.
Dalam situasi ini konselor perlu membantu klien dengan cara menyodorkan
berbagai alternatif. Selanjutnya klien memiliki tanggung jawab untuk
memutuskan sendiri manakah di antara alternatif yang disodorkan oleh konselor
yang harus ia pilih.

Hackney & Cormier (2001) mengemukakan tiga macam keterampilan


yang perlu dimiliki oleh konselor agar dapat memfasilitasi klien menetapkan

9
tujuan. Pertama, konselor perlu memiliki keterampilan inferensial, yakni
kemampuan untuk dapat menangkap dengan jelas pesan-pesan klien dan
kemudian memikirkan sikap dan perilaku-perilaku alternatif bahkan meskipun
konselor sedang mendengarkan klien. Keetrampilan yang kedua adalah
kemampuan untuk mendeferensiasikan, yakni kemampuan untuk membedakan
antara tujuan jangka panjang (ultimate goal), tujuan jangka menengah
(intermediate goal), dan tujuan jangka pendek (immediate goal). Salah satu
contoh tujuan jangka panjang misalnya berkenaan dengan apa yang diinginkan
atau ingin dilakukan setelah lulus dari suatu sekolah (Jika saya lulus nanti, saya
akan ..........). Untuk dapat mencapai tujuan jangka panjang, klien harus mampu
untuk memikirkan tujuan jangka menengah (dalam enam bulan ke depan saya
merencanakan untuk ..........), dan tujuan jangka pendek (Saya ingin agar mulai
besok pagi saya dapat melakukan hal-hal berikut ini).

Keterampilan yang ketiga atau terakhir adalah kemampuan untuk


membantu klien agar dapat berpikir secara realistik dalam menetapkan tujuan-
tujuan. Kata realistik di sini mengandung makna bahwa tujuan harus dapat dicapai
oleh klien. Klien harus memiliki sumber-sumber internal dan eksternal yang
memungkinkannya untuk mencapai tujuan tersebut. Di samping itu agar tujuan
dapat dicapai maka tujuan tersebut juga perlu dinyatakan secara spesifik dalam
bentuk perilaku operasional. Contoh, jika klien menyatakan bahwa ia ingin
menjadi lebih baik – atau menjadi orang yang berbeda – setelah melalui konseling,
konselor daopat membantu klien untuk mengoperasionalkan kondisi lebih baik
tersebut. Misalnya, menjadi tidak cemas setiap kali menerima tugas rumah atau
dapat berbicara di depan kelas dengan santai dan tidak gugup.

4. Memilih dan mengimplementasikan teknik atau strategi intervensi

Setelah tujuan dirumuskan, langkah selanjutnya adalah memilih atau


menetapkan teknik atau strategi intervensi untuk mencapai tujuan tersebut. Dalam
konteks konseling, strategi merupakan suatu rencana tindakan untuk membantu

10
klien mencapai tujuan atau perubahan perilaku yang diinginkannya (Hackney &
Cormier, dalam Cormier & Cormier, 1985).

Terdapat pandangan yang berbeda berkenaan strategi apa yang sebaiknya


dipilih oleh konselor dalam rangka membantu klien, dan ini berkaitan dengan
perbedaan teori yang digunakan oleh konselor. Perbedaan dalam orientasi teoretik
yang digunakan oleh konselor menyebabkan konseling dipraktekkan secara
berbeda. Idealnya, karena konseling dimaksudkan untuk membantu klien, maka
konselor perlu berpikir secara obyektif guna menemukan strategi yang paling
efektif dan bukan terikat secara kaku – bahkan memaksakan - dengan preferensi
teoretiknya. Agar dapat bertindak secara obyektif pemilihan strategi sebaiknya
didasarkan pada karakteristik masalah klien. Sebagai contoh, jika masalah klien
tampak bersumber dari cara klien memandang situasi kehidupannya, masalah
tersebut dapat dikonseptualisasikan secara kognitif dan intervensi dapat diarahkan
pada pengubahan kognisi klien. Jika masalah tampak berhubungan dengan
lingkungan sosial klien (keluarga, teman, atau masyarakat) maka intervensi dapat
diarahkan pada pengubahan sistem sosial klien tersebut. Jika masalah klien
tampak bernuansa afektif (seperti sakit hati, sedih, atau marah) maka intervensi
dapat didasarkan pada pendekatan afektif. Atau, jika masalah klien tampak
berkaitan dengan tindakan-tindakan klien maka intervensi dapat menggunakan
kerangka kerja behavioral dan memusatkan perhatian pada upaya membantu klien
mencapai perilaku yang lebih efektif. Berdasarkan hal tersebut maka strategi
intervensi dapat dirancang atas dasar pendekatan afektif (strategi-strategi yang
berorientasi afektif), pendekatan kognitif (strategi-strategi yang berorientasi
kognitif), pendekatan perilaku (strategi-strategi yang berorientasi perilaku), dan
pendekatan sistem (strategi yang dirancang berdasarkan pendekatan sistem).
Terdapat satu model pendekatan lain yang tidak berorientasi kepada salah satu
pendekatan tetapi menggabungkan beberapa pendekatan ke dalam satu program
perlakuan, yang disebut eklektik dan integratif (lihat Corey, 2005; Seligman,
1995).

11
Untuk dapat memilih strategi dengan tepat, konselor perlu memiliki
pengetahuan yang memadai tentang gangguan perilaku beserta gejala-gejalanya
dan berbagai orientasi teoretik konseling. Setelah teknik atau strategi intervensi
dipilih, maka strategi tersebut perlu segera dilaksanakan atau diimpelementasikan
oleh konselor. Dalam mengimplementasikan strategi, konselor perlu
memperhatikan langkah-langkah prosedural yang telah dipreskripsikan oleh
strategi yang dipilih tersebut.

5. Evaluasi, terminasi, dan tindak lanjut

Tahap terakhir dari proses bantuan adalah melakukan evaluasi, yakni


melakukan asesmen terhadap kefektifan intervensi, baik dalam arti proses maupun
hasil. Evaluasi ini akan membantu konselor untuk menentukan kapan konseling
dapat diakhiri dan kapan rencana tindakan (strategi) perlu untuk diubah atau
dimodifikasi. Hasil evaluasi selalu memberikan informasi yang dapat digunakan
oleh konselor untuk menimbang keterlaksanaan dari komponen-komponen
strategi dan hasil-hasil yang dicapai.

Melalui evaluasi proses, konselor dapat memperoleh data tentang apakah


komponen-komponen strategi dapat berjalan sebagiamana diharapkan. Melalui
evaluasi hasil, konselor memperoleh informasi untuk menetapkan hasil-hasil atau
keefektifan strategi. Jika komponen atau fungsi-fungsi strategi tidak berjalan
seperti yang diharapkan, maka konselor perlu melakukan modifikasi. Demikian
pula, jika strategi konseling tidak mampu membawa perubahan yang diharapkan
padahal komponen-komponen strategi telah dilaksanakan sesuai dengan langkah-
langkah prosedural yang dipreskripsikan, maka konselor perlu membuat
pertimbangan guna menetapkan langkah-langkah tindak lanjutannya.

Beberapa bentuk tindak lanjut ini antara lain berupa pertimbangan tentang
apakah konseling dihentikan, apakah konseling dilanjutkan dengan menggunakan
strategi yang lain, atau apakah klien dirujuk ke konselor atau pihak lain yang
dipandang lebih ahli. Sebaliknya, jika konseling telah membawa perubahan yang
diinginkan, maka hubungan konseling dapat diakhiri. Dalam hal ini, konselor

12
dapat langsung menghentikan program konseling atau membuat kondisi-kondisi
tertentu untuk dijaga atau dilaksanakan oleh klien agar perubahan yang terjadi
tetap terpelihara bahkan semakin baik.

Agar dapat melaksanakan tahapan-tahapan konseling tersebut dengan


berhasil, konselor perlu memiliki keterampilan konseptual (penguasaan teori-
teori), keterampilan interpersonal, dan keterampilan teknis. Dari masing-masing
keterampilan tersebut – khususnya keterampilan interpersonal dan keterampilan
teknis - terdapat beberapa bentuk keterampilan yang sifatnya esensial atau
fundamental, yang disebut “keterampilan dasar” atau lengkapnya “keterampilan
dasar konseling.” Keterampilan ini disebut fundamental karena memiliki peran
yang sangat krusial untuk memfasilitasi berjalannya tahapan-tahapan konseling,
khususnya pada tahap pengembangan hubungan. Jika dikaji dari beberapa literatur
konseling, keterampilan ini banyak ragamnya tetapi dapat diklasifikasikan ke
dalam empat kelas besar, yakni: keterampilan attending¸ keterampilan
mengkominikasikan sikap-sikap fasilitatif, keterampilan mendengarkan dan
merespon, serta keterampilan mengarahkan. Keterampilan-keterampilan ini akan
dibahas lebih detil pada bab-bab selanjutnya.

C. Karakteristik Konselor

Karakteristik konselor sangat mempengaruhi proses konseling karena


konselor menjadi dasar bagi klien untuk melakukan atau melanjutkan hubungan
konseling. Kualitas pribadi maupun keterampilan merupakan prasyarat untuk
menjadi konselor yang efektif. Secara luas, keefektifan konselor mencakup
kualitas kepribadian, sikap dan persepsi terhadap klien, orang lain, lingkungan,
ilmu pengetahuan, profesi, serta persepsi terhadap diri sendiri. Shertzer dan Stone
menyebutkan tiga kelompok faktor umum untuk melihat keefektifan konselor,
yaitu pengalaman, tipe hubungan konseling, dan faktor non intelektual.
1. Pengalaman
Pengalaman merupakan variabel penting dalam keefektifan konselor.
Pengalaman konselor yang banyak dan luas akan membantu kelancaran proses

13
konseling. Semakin banyak pengalaman, biasanya konselor makin baik dalam
kongruensi, empati, dan respek atau penghargaan positif. Dengan demikian
konselor akan lebih berhasil mengkomunikasikan kondisi-kondisi tersebut
kepada klien.
2. Tipe hubungan konseling
Keefektifan konseling juga bergantung pada tipe hubungan yang diciptakan
oleh konselor dengan klien. Konselor yang berhasil tidak hanya menjalin
hubungan obyektif atau rasional-kognitif semata, tetapi dapat menciptakan
hubungan perasaan, artinya mampu mengeksplorasi perasaan klien.
3. Faktor non intelektual
Penelitian tentang hubungan antara keefektifan konseling dengan kepribadian
konselor menunjukkan bahwa konselor yang efektif dapat dibedakan dengan
yang tidak efektif dalam aspek citra diri, motivasi, nilai-nilai, perasaan
terhadap orang lain, unjuk kerja dalam penggunaan instrumen psikologis. Di
samping itu, konselor yang efektif mempunyai sikap toleran terhadap
pertentangan, penuh pemahaman terhadap klien, dan mampu menciptakan
hubungan sosial dengan orang lain.

Berbeda dengan pengelompokan faktor keefektifan konselor di atas,


Eisenberg dan Delaney (1977) mengemukakan ciri-ciri konselor yang efektif
sebagai berikut.
1. Terampil mendapatkan keterbukaan.
2. Dapat membangkitkan rasa percaya, kredibilitas, dan keyakinan dari klien.
3. Mampu menjangkau wawasan yang lebih luas.
4. Berkomunikasi dengan hati dan menghargai orang yang dibantu (klien).
5. Memiliki penghargaan terhadap dirinya sendiri dan tidak menyalahgunakan
klien untuk memuaskan kebutuhan pribadinya.
6. Mempunyai pengetahuan dalam bidang keahlian yang dimiliki klien.
7. Senantiasa berusaha memahami tingkah laku klien, bukan menghakimi.
8. Memiliki penalaran dan pola pikir yang sistematis.

14
9. Berpandangan mutakhir dan mempunyai wawasan tentang peristiwa
kehidupan.
10. Mampu mengidentifikasi pola tingkah laku yang merusak diri dan membantu
klien merubahnya menjadi pola tingkah laku yang memuaskan.
11. Terampil membantu klien agar dapat memahami diri.

Sebelas ciri konselor efektif tersebut berhubungan dengan kemampuan


dalam diri konselor. Sedangkan McLeod (2003) mengemukakan tujuh kompetensi
yang harus dimiliki seorang konselor yang efektif, yaitu:
1. Keterampilan interpersonal; yang ditunjukkan oleh perilaku konselor dalam
mendengarkan, berkomunikasi, empati, menunjukkan kehadiran atau
keberadaannya, menggunakan komunikasi non verbal, ssensitivitas terhadap
kualitas suara, responsivitas terhadap ekspresi emosi, pengambilalihan,
menstruktur waktu, serta menggunakan bahasa.
2. Keyakinan dan sikap personal; mencakup kapasitas untuk menerima yang lain,
yakin adanya potensi untuk berubah, pemahaman terhadap pilihan etika dan
moral, sensitivitas terhadap nilai yang dipegang oleh klien dan dirinya sendiri.
3. Kemampuan konseptual; yaitu kemampuan untuk memahami dan menilai
masalah klien, mengantisipasi konsekuensi tindakan di masa yang akan datang,
memahami proses yang lebih cepat dalam kerangka konseptual yang lebih luas,
mengingat informasi yang berkenaan dengan klien, fleksiblitas kognitif, dan
keterampilan dalam memecahkan masalah.
4. Ketegaran personal; ditunjukkan oleh adanya keutuhan pribadi atau
keyakinan irasional yang dapat merusak hubungan konseling. Kompetensi ini
mencakup percaya diri dan kemampuan untuk mentoleransi perasaan konselor
yang kuat atau tidak nyaman dalam hubungan dengan klien, batasan pribadi
yang aman, serta tidak mempunyai prasangka sosial (prejudice).
5. Menguasai teknik; yang meliputi pengetahuan tentang kapan dan bagaimana
melaksanakan intervensi tertentu serta kemampuan untuk menilai efektivitas
intervensi.

15
6. Kemampuan untuk paham dan bekerja dalam sistem sosial; yang mencakup
kesadaran akan keluarga dan hubungan kerja dengan klien, termasuk juga
sensitivitas terhadap dunia sosial klien yang mungkin bersumber dari
perbedaan gender, etnis, orientasi jenis kelamin, atau kelompok umur.
7. Terbuka untuk belajar dan bertanya; meliputi kemampuan untuk waspada
terhadap latar belakang masalah klien, terbuka terhadap pengetahuan baru, dan
dapat menggunakan hasil riset untuk kegiatab praktik.

Cormier dan Cormier (1985) mengemukakan karakteristik konselor yang


meliputi keahlian atau kompetensi (expertness), keatraktifan (attractiveness) atau
penampilan yang menarik, dan bisa dipercaya (trustworthiness).
Kompetensi atau keahlian konselor menunjukkan pendidikan dan pelatihan,
sertifikasi dan lisensi, gelar atau kedudukan/jabatan, reputasi dan peran yang
diperoleh atau dimilikinya. Konselor yang memiliki kompetensi biasanya tampak
dari tingkah lakunya baik verbal maupun non verbal, seperti pernyatan-pernyataan
yang diungkapkan, perhatian yang ditunjukkan secara verbal dan non verbal,
sserta penyampaian pertanyaan dan interpretasi yang tepat.
Keatraktifan konselor digambarkan dalam penampilan fisik yang menarik
sserta sikap atau cara bertindaknya. Keatraktifan biasanya ditunjukkan dalam
respon-respon non verbal. Penampilan fisik dan interpersonal yang menarik
mempengaruhi kesan awal klien terhadap konselor. Aspek ini sangat bermanfaat
terutama pada tahap-tahap awal konseling, dimana konselor berusaha untuk
membina hubungan konseling dan memotivasi klien untuk terus aktif dalam
proses konseling. Sedangkan karakteristik konselor yang menunjukkan bahwa ia
dapat dipercaya (trustworthiness) didasarkan pada peran dan kejujurannya, seperti
tingkah laku non verbal yang menunjukkan kongruensi, kedinamisan, dan
penerimaan terhadap keterbukaan klien. Ciri konselor yang dipercaya ini juga
berkaitan dengan ketepatan pemberian informasi, ketepatan parafrase, memelihara
kepercayaan , keterbukaan dan kejujuran.

16
D. Kondisi Yang Memfasilitasi Hubungan Konseling

Hubungan yang terjadi antara konselor dan klien sangat menentukan


tercapainya tujuan konseling yang diharapkan. Apa pun teori dan pendekatan yang
digunakan, interaksi antara konselor dan klien merupakan hal penting yang akan
membawa perubahan perilaku. Untuk memperoleh hasil yang maksimal, dalam
hubungan konseling diperlukan kondisi yang yang harus diciptakan konselor
untuk memungkinkan klien dapat berkembang.
Tanpa memperhatikan preferensi orientasi teori yang digunakan oleh
konselor, banyak ahli dan praktisi dalam konseling saat ini yang mengakui bahwa
aliansi terapeutik (hubungan konselor dan klien dalam konseling) sering juga
disebut hubungan konseling atau rapport, sangat esensial untuk mempengaruhi
hasil-hasil konseling. Eksplorasi atau keterbukaan diri klien akan memungkinkan
konselor untuk dapat sepenuhnya memahami klien beserta masalah dan latar
belakangnya, sehingga dapat memberi informasi penting untuk mengembangkan
rencana perlakuan yang efektif.
Ada beberapa kondisi yang akan memudahkan terciptanya hubungan
konseling yang efektif. Banyak ahli dalam beberapa literatur yang membahas
kondisi-kondisi yang memfasilitasi hubungan konseling. Menurut Brammer (1979)
ada lima kondisi yang dapat diciptakan konselor dalam hubungan konseling yakni
(1) empati (empathy), (2) kehangatan dan perhatian (warmth and caring),
(3) keterbukaan (openess), (4) penerimaan dan penghargaan positif (positive
regard and rrespect), (5) kekonkritan dan kekhususan (concretteness and
specificity). Sedangkan Shertzer dan Stone (1981) mengemukakan empat kondisi
yang mempengaruhi konseling yaitu hubungan konselor-klien (rapport), empati
(empathy), ketulusan (genuineness), dan perhatian yang sungguh-sungguh
(attentiveness).
Seperti yang dikemukakan, hubungan konseling yang efektif ditandai oleh
banyak kualitas. Namun, banyak ahli dan praktisi dalam konseling dan psikoterapi
yang mengadopsi tiga kondisi pertumbuhan dari Carl Rogers, yaitu empati
(empathy), keaslian atau ketulusan (genuineness), dan respek atau penghargaan

17
positif (positive regard) sebagai kualitas-kualitas yang harus dikomunikasikan
oleh konselor kepada klien untuk mengembangkan hubunga yang kondusif.
Ketiga kondisi pertumbuhan tersebut sering disebut sebagai kondisi inti atau
kondisi fasilitatif hubungan dan dapat dikomunikasikan oleh konselor melalui
ucapan-ucapan (verbal) maupun melalui isyarat tubuh (nonverbal).

1. Empati (Empathy)

Empati dapat digambarkan sebagai kemampuan untuk memahami individu


dari kerangka acuan {frame of reference}individu tersebut. Memahami secara
empati menuntut kemampuan seseorang untuk memahami cara pandang dan
perasaan orang lain.
Untuk dapat berempati, konselor harus dapat memasuki kerangka acuan
klien, yakni konselor berusaha untuk menempatkan dirinya ke dalam dunia klien.
Respon konselor yang menunjukkan empati terhadap klien, lebih cenderung
menunjukkan bahwa konselor berpikir bersama klien bukan berpikir tentang atau
untuk klien. Misalnya, jika klien menyatakan, “saya telah berusaha untuk bisa
lebih dekat dengan papa, tapi usaha saya tidak berhasil. Beliau sulit sekali saya
pahami.” Respon konselor yang empati terhadap pernyataan klien tersebut,
misalnya “Anda merasa kecewa atas kegagalan anda mendekati papa.”
Sebaliknya, bila konselor mengatakan “Anda harus berusaha lebih keras lagi,”
maka konselor memberikan respon berdasarkan kerangka acuannya sendiri, bukan
kerangka acuan klien.
Menurut Cormier dan Cormier (1985), empati konselor kepada klien dapat
ditunjukkan melalui refleksi dari pesan-pesan verbal maupun non verbal serta
kemampuan konselor memadukan berbagai pengalaman klien.

Empati melalui pesan verbal


Beberapa hal yang perlu diperhatikan untuk menunjukkan empati secara verbal
yaitu:
 Menunjukkan keinginan untuk memahami.
 Membicarakan apa yang penting bagi klien.

18
 Menggunakan respon verbal yang berkenaan dengan perasaan klien.
 Menggunakan respon verbal untuk menyatakan pesan klien secara implisit.
Egan (1987) mengemukakan lima tataran (tingkatan) dalam mengkomunikasikan
empati secara verbal sebagai berikut.
Tataran 1 : Dikomunikasikan dalam bentuk pertanyaan, penentraman,
penyangkalan, dan nasihat.
Tataran 2 : Hanya memusatkan pada isi atau bagiab kognisi pesan,
perasaan/emosi diabaikan.
Tataran 3 : Memahami tetapi tidak ada arahan; merefleksikan perasaan dan
makna/situasi.
Tataran 4 : Memahami dan memberikan arahan; mengidentifikasi perasaan
dan kekurangan klien.
Tataran 5 : Mengandung semua isi tataran 4 ditambah dengan sekurang-
kurangnya satu langkah tindakan yang dapat diambil klien untuk
menangani kelemahan dan mencapai tujuan.
Berikut ini contoh respon empati verbal dari tataran 1 sampai 5 terhadap satu
pesan (pernyataan) klien.
Klien : “Saya telah minta maaf dan berusaha untuk memperbaiki kembali
hubungan kami yang tampak mulai renggang. Tetapi tampaknya
tak akan berhasil. Sepertinya hatinya telah membeku bagaikan es.”
Respon empati konselor:
Tataran 1 : “Saya yakin, suatu saat nanti Anda akan berhasil”
(penentraman dan penyangkalan)
“Anda seharusnya mencoba lebih keras lagi untuk mencairkannya”
(nasihat)
“Mengapa Anda ingin memperbaiki hubungan dengan dia?”
(pertanyaan)
Tataran 2 : “Anda mengalami kesulitan untuk mengajaknya berbaikan
kembali.”
Tataran 3 : “Anda merasa putus asa karena usaha Anda untuk emngajaknya
berbaikan kembali tampaknya tidak berhasil.”

19
Tataran 4 : “Anda merasa putus asa karena Anda merasa tak sanggup lagi
untuk membujuknya. Anda ingin dia melunak.”
Tataran 5 “Anda merasa putus asa karena Anda tak berhasil membujuknya.
Anda ingin dia melunak hatinya. Bagaimanapun ini merupakan
satu langkah maju untuk memperbaiki hubungan Anda
dengannya.”

Empati melalui pesan non verbal


Di samping menggunakan pesan verbal, biasanya empati juga disampaikan
melalui perilaku non verbal seperti kontak mata, gesture maupun posisi atau sikap
konselor yang menunjukkan keterbukaan dan kehangatan.

Memadukan pesan-pesan klien


Individu memiliki berbagai cara untuk menggambarkan pengalaman-
pengalamannya. Untuk dapat memahami apa yang disampaikan klien, maka
konselor hendaknya dapat menangkap pesan-pesan klien yang dinyatakan melalui
kata-kata, gerakan mata, nada suara, dan cerita tentang dirinya. Empati konselor
terhadap klien dapat ditunjukkan oleh ketepatan konselor dalam memadukan
pesan-pesan yang disampaikan klien tersebut.

2. Keaslian atau ketulusan (Genuineness)

Genuineness yang diterjemahkan menjadi keaslian atau ketulusan berarti


menjadi diri sendiri atau tidak berpura-pura. Ketulusan sangat mempengaruhi
terbentuknya hubungan konseling yang efektif karena melibatkan emosi antara
konselor dan klien. Konselor menolong klien bukan karena keterpaksaan atau
karena mengharapkan pamrih tertentu, melainkan karena ia senang menolong dan
menikmatinya. Dengan kata lain, konselor menolong dengan motif intrinsik. Ada
lima komponen dalam ketulusan yaitu perilaku non verbal, perilaku nyata,
kongruensi, spontanitas, dan keterbukaan.

20
Perilaku non verbal
Keaslian atau ketulusan konselor dapat dikomunikasikan melalui ketepatan
perilaku-perilaku non verbal, seperti kontak mata, senyuman, dan posisi duduk
antara konselor dan klien. Klien dapat merasakan kesungguhan dan ketulusan
konselor dari cara konselor memandangnya. Demikian pula senyuman yang
kontinyu, tidak cemberut, dapat dirasakan klien sebagai ketulusan konselor dalam
membantunya. Ketulusan konselor juga akan terlihat ketika ia duduk dengan
posisi badan sedikit condong kepada klien. Konselor yang duduknya selalu
bersandar dapat dipersepsi oleh klien bahwa ia tidak sungguh-sungguh dalam
melaksanakan konseling.

Tindakan yang berkaitan dengan peran/kedudukan


Konselor tidak boleh mengutamakan peran, kekuasaan, atau kedudukannya
dibandingkan klien. Konselor yang tulus (genuine) akan merasa nyaman dengan
dirinya sendiri dan juga dengan berbagai orang dan situasi.

Kongruensi
Kongruensi menunjukkan kekonsistenan antara kata-kata, tindakan, dan perasaan-
perasaan. Kongruensi sangat penting dilakukan konselor untuk menunjukkan
kesungguhan dan ketulusan dalam membantu klien sehingga dapat menumbuhkan
kepercayaan klien kepada konselor. Kongruensi yang ditunjukkan konselor dapat
mendorong klien bersikap kongruen juga dalam konseling maupun di luar
konseling.

Spontanitas
Spontanitas merupakan kemampuan mengekspresikan diri secara natural tanpa
perilaku yang dibuat-buat atau direncanakan. Spontanitas juga berarti bisa
menjadi bijaksana tanpa pertimbangan tentang apa yang akan dikatakan atau
dilakukan. Namun demikian, bukan berarti bahwa konselor harus mengutarakan
setiap pikiran dan perasaannya kepada klien, terutama perasaan-perasaan
negatifnya.

21
Keterbukaan
Bagian dari ketulusan adalah kemampuan untuk bersikap terbuka, mau berbagi
dan membuka diri (self-disclose). Keterbukaan konselor diperlukan untuk
mendorong klien agar secara terbuka mengungkapkan pikiran dan perasaannya.
Keterbukaan antara konselor dan klien dapat mempermudah munculnya
kepercayaan yang akan memperlancar proses konseling.
Membuka diri dapat bersifat positif dan negatif. Membuka diri bersifat positif jika
ia menyatakan kekuatan pribadi, pengalaman keberhasilan, dan pengalaman-
pengalaman lain yang sama dengan klien. Sebaliknya, membuka diri negatif
menyatakan informasi tentang keterbatasan pribadi, kegagalan, perilaku tidak
tepat, dan pengalaman-pengalaman yang tidak sama dengan klien. Membuka diri
juga dapat bersifat sejajar dan tidak sejajar dengan kedalaman isi pesan klien.
Membuka diri dikatakan sejajar jika respon konselor memiliki kaitan yang erat
dengan pernyataan klien. Sebaliknya membuka diri yang tidak sejajar jika respon
konselor tidak berkaitan dengan pesan klien.

3. Respek atau penghargaan positif (Positive regard)

Penghargaan positif, yang juga disebut dengan respek, merupakan


kemampuan untuk menghargai klien sebagai individu yang berharga dan
bermartabat. Konselor dapat menerima klien apa adanya, dengan segenap
kelebihan dan kekurangan yang dimilikinya. Respek atau penghargaan positif
dapat mengandung apresiasi terhadap klien sebagai pribadi yang unik dan berguna.
Konselor hendaknya dapat menghargai dan mendorong klien agar menjadi
dirinya sendiri. Sebaliknya, klien dapat memahami dan merasakan kondisi
tersebut sehingga ia bebas mengekspresikan diri. Dengan penghargaan positif
diharapkan agar klien dapat belajar bahwa dirinya dapat diterima orang lain
sehingga ia dapat menerima dirinya sendiri sekaligus mau meningkatkan diri
sesuai dengan keadaan dirinya.
Cormier dan Cormier (1985) menyajikan empat komponen dalam
penghargaan positif yaitu komitmen kepada klian, pemahaman (understanding)

22
terhadap klien, sikap untuk tidak memberikan pertimbangan kritis (mencela), dan
mengekspresikan kehangatan secara tepat.

Komitmen
Komitmen berarti bahwa konselor berniat untuk bekerja dengan klien dan tertarik
untuk melakukan konseling. Komitmen konselor ditunjukkan oleh tindakan
seperti memenuhi janji tepat waktu, menjamin kerahasiaan, menjaga kepercayaan,
dan menggunakan keterampilan-keterampilan untuk membantu klien.

Pemahaman
Klien akan respek dalam proses konseling bila klien merasa bahwa konselor
memahaminya dan konsern (memperhatikan dengan sungguh-sungguh) dalam
membantu menyelesaikan masalahnya. Konselor dapat menunjukkan usaha
memahami klien dengan berempati, atau bertanya untuk memperoleh informasi
penting dari klien. Konselor juga dapat menyampaikan pemahamannya melalui
respon-respon mendengarkan seperti memprafrase dan merefleksi pesan-pesan
klien.

Sikap yang tidak menghakimi


Sikap yang tidak menghakimi merupakan kemampuan konselor untuk
memberikan pertimbangan terhadap motif-motif dan tindakan klien dan mencegah
untuk menyalahkan atau memaafkan pikiran, perasaan atau tindakan klien.
Konselor menyampaikan sikap tersebut melalui penerimaan yang hangat terhadap
ekspresi dan pengalaman-pengalaman klien tanpa celaan atau kecaman. Misalnya,
bila klien menyatakan “Saya tidak dapat menipu istri saya. Saya mencintainya,
tapi saya membutuhkan wanita lain.” Konselor yang menghargai dan respek akan
memberikan respon seperti ini “Anda merasa terjebak diantara perasaan Anda
kepada istri dan kebutuhan Anda pada wanita lain.” Respon konselor tersebut
tidak mengecam dan tidak mengkritik perasaan dan perilaku klien.

23
Kehangatan
Kehangatan merupakan suatu kedekatan psikologis antara konselor dan klien yang
ditandai adanya kontak mata, perasaan bersahabat, ramah, mudah senyum. Di
dalam kehangatan ada sikap konselor yang menjadi landasan perilaku yaitu
kepedulian yang menunjukkan adanya perhatian yang mendalam terhadap klien.
Kehangatan juga dapat diekspresikan melalui respon-respon verbal. Cara untuk
menunjukkan kehangatan yakni menggunakan pernyataan yang menghargai
aspek-aspek positif dari klien. Contoh pernyataan yang menunjukkan kehangatan
adalah “Anda benar-benar dapat mengekspresikan diri Anda dengan baik,” atau
“Anda telah melakukan tugas dengan baik dalam perencanaan tindakan ini.”
Ekspresi fisik yang perlu dilakukan sebagai ungkapan kehangatan adalah gesture,
kontak mata, ekspresi wajah, dan sentuhan.
Tabel berikut menyajikan beberapa dimensi dan indikator perilaku nonverbal yang
dapat digunakan untuk mengkomunikasikan kehangatan.
Tabel 1.1.
Dimensi dan indikator perilaku nonverbal
untuk mengkomunikasikan kehangatan

Indikator
Dimensi
Hangat Dingin
Suara Lembut, layak didengar Keras, tak berperasaan
Ekspresi wajah Tersenyum, berminat Tak berperasaan, mengkerut,
tak berminat
Kontak mata Melihat langsung ke mata klien Menghindari kontak mata
dengan sorot mata lembut
Postur tubuh Rileks, condong ke arah klien Tegang, condong ke
belakang
Sentuhan Memegang, menepuk pelan Menghindari semua bentuk
sentuhan
Gesture Tangan terbuka, tidak sedeku Tangan sedeku
Jarak fisik Dekat, layak Menjauh

24
Soal dan Latihan

I. Jawablah soal-soal berikut ini.


1. Jelaskan bahwa konseling merupakan helping relationship.
2. Kemukakan dan jelaskan karakteristik hubungan konseling.
3. Kemukakan dan jelaskan karakteristik konselor yang efektif.
4. Jelaskan kondisi-kondisi yang memfasilitasi hubungan konseling.

II. Kerjakan sesuai dengan petunjuk dalam soal latihan berikut ini.
1. Dari pesan klien berikut, buatlah respon konselor yang menunjukkan
empati verbal dalam lima tataran/tingkatan.
Klien: “Saya benar-benar bosan dengan kegiatan kuliah yang hampir tiada
habisnya ini. Siang hari kuliah, sore mengerjakan tugas, malam
belajar. Itu terjadi rutin setiap hari. Saya ingin istirahat dan butuh
rekreasi. Tapi Anda tahu, jika itu tidak mungkin saya peroleh
sebelum liburan semester nanti.”Lakukan komunikasi dengan
beberapa orang. Tunjukkan empati, ketulusan, dan respek terhadap
mereka, kemusian catatlah reaksi-reaksi mereka.
2. Lakukan komunikasi dengan beberapa orang. Tunjukkan empati, ketulusan,
dan respek atau penghargaan positif terhadap mereka, kemudian catatlah
reaksi-reaksi mereka.

25
BAB II

KETERAMPILAN ATTENDING

26
BAB II
KETERAMPILAN ATTENDING

Attending adalah metode yang biasanya digunakan untuk membuka suatu


wawancara konseling karena dapat mengembangkan tujuan klien untuk
mengadakan eksplorasi dan penjajagan diri. Attending merupakan kemampuan
konselor dalam menunjukkan perhatian secara penuh kepada klien sehingga klien
dapat terlibat dalam proses konseling. Fungsi utama dari attending yaitu untuk
medorong klien agar mau berbicara dengan bebas dan terbuka. Attending sangat
diperlukan selama proses konseling berlangsung, terutama sekali pada tahap awal
konseling. Keberhasilan konselor untuk mengajak klien terlibat secara penuh
dalam konseling akan mempengaruhi proses konseling selanjutnya. Attending
terjadi dalam konteks inti kondisi-kondisi yang mempengaruhi hubungan dalam
konseling, seperti empati, keaslian atau ketulusan, serta respek atau penghargaan
positif.
Menurut Carkhuff (1983) attending adalah cara yang menunjukkan
bagaimana konselor menyiapkan diri, bersikap atau berperilaku, mendengarkan,
memberikan perhatian kepada klien sehingga klien merasa aman, nyaman,
diperhatikan oleh konselor. Attending meliputi menyiapkan tempat, menyiapkan
klien, menyiapkan diri (konselor), attending secara personal, mengamati, dan
mendengarkan.
Sebelum kegiatan konseling, konselor perlu menata tempat yang
memberikan kesan nyaman dan menyenangkan. Tempat konseling hendaknya
cukup luas, terang dan cukup cahaya, tenang dan tidak terganggu lalu lalang, ada
dekorasi dengan warna teduh yang tidak mencolok mata dan menakutkan klien,
kursi ditata menyamping sebaiknya tanpa meja, namun jika ada meja diusahakan
tidak mengganggu keeratan hubungan. Selanjutnya attending untuk menyiapkan
klien. Di awal proses konseling, konselor harus dapat mempersiapkan klien untuk
terlibat dalam konseling. Kesediaan klien untuk terlibat sangat ditentukan oleh
kesan pertama tentang konselor. Menyiapkan klien meliputi menyapa secara

27
ramah, menjelaskan tujuan relasi, memberikan informasi tentang hal-hal yang
diperlukan klien selama mendapatkan bantuan, konselor menyatakan kesiapan
untuk membantu, serta mengungkapkan alasan klien akan perlunya bantuan.
Bukan hanya klien yang disiapkan, melainkan konselor perlu menyiapkan
diri sebelum konseling dimulai. Persiapan diri konselor meliputi menenangkan
diri agar tidak tegang atau merasa tidak enak, mempelajari kembali tujuan
pertemuan dengan klien, dan mempelajari informasi awal tentang klien dari
catatan yang ada atau sumber-sumber lain. Jangan sampai ada kesan pada klien
bahwa konselor tidak tahu sama sekali tentang klien karena dapat memberikan
kesan tidaksungguhan konselor.
Selanjutnya, apa yang disebut Carkhuff dengan attending personally atau
attending secara personal, yakni attending yang berkaitan dengan kemampuan
konselor dalam menampilkan dan menempatkan keberadaan dirinya. Konselor
menunjukkan perhatian yang sungguh-sungguh kepada klien sehingga klien
terundang untuk memberikan respon-respon yang wajar. Attending ini dinyatakan
dalam perilaku konselor, yaitu menghadapkan badab kepada klien dengan sedikit
agak membungkuk, posisi tangan berada di pangkuan secara rileks, dan mata
menatap klien (kontak mata). Kontak mata hendaknya terpelihara agar suasana
kedekatan, kehangatan, dan persahabatan tetap terjaga. Kontak mata harus
dipertahankan dan dipelihara dengan menggunakan pandangan spontan yang
mengekspresikan minat dan keinginan mendengarkan serta merespon klien.
Dengan cara ini, konselor dapat mengamati klien.
Attending berikutnya adalah keterampilan dalam mengamati atau
observasi. Konselor dapat memahami klien dengan mengamati profilnya. Karena
itu, keterampilan mengamati sangat penting bagi konselor. Yang perlu diamati
dari klien adalah fisik, emosional, dan intelektual. Obsevasi fisik dimaksudkan
untuk energi fisik klien, misalnya proporsi tubuh, postur tubuh, kerapihan atau
kebersihan klien. Observasi emosional dilakukan untuk mengetahui perasaan-
persaan klien, dari mimik muka, tindak tanduk, dan nada suara. Sedangkan
observasi intelektual bertujuan untuk mempelajari kesiapan klien untuk terlibat
dalam proses konseling. Misalnya, dari ekspresi muka serta respon verbal dan

28
nonverbal. Dalam mengamati klien perlu diperhatikan apakah ucapannya sesuai
dengan tingkah laku dan mimik mukanya, atau terdapat inkronguensi antara
ucapan dan perbuatan (mimik). Contohnya, klien menyatakan “Saya bahagia”
tetapi mukanya kusam sambil menundukkan kepala. Inkronguensi menunjukkan
klien ada dalam situasi yang gawat (tidak baik) dan merupakan pertanda bahwa
ada sesuatu yang tidak beres pada dirinya sehingga ia tidak jujur.
Selanjutnya attending dalam mendengarkan. Dengan mendengarkan apa
yang dikatakan klien, konselor dapat memahami klien lebih dalam. Mendengarkan
dalam konseling bukan hanya menangkap isinya, melainkan memperhatikan
ucapan atau kata-katanya untuk mengetahui isi atau pesan; nada atau tekanan
suara untuk memahami perasaannya; cara bicaranya apakah tegas atau lemah
lembut, untuk mengetahui energi dan suasana hatinya. Beberapa hal yang perlu
diperhatikan konselor dalam mendengarkan adalah:
° memiliki alasan untuk mendengarkan
° menghindari penilaian pribadi
° memusatkan pada apa yang ada dalam diri klien
° memperhatikan isi pernyataan klien (apa, siapa, mengapa, kapan, dimana,
bagaimana)
° mengungkapkan kembali pernyataan klien
° mendengarkan/memperhatikan tema pembicaraan
° mendengarkan secara seksama sampai pada inti pesan klien
Secara khusus, keterampilan mendengarkan akan dibahas dalam bab berikutnya
dalam buku ini.

Selain Carkhuff, banyak pula ahli konseling yang membahas tentang


attending, seperti Ivey (1983) dan Brammer (1979). Pada umumnya, attending
ditampikan dalam tingkah laku verbal dan nonverbal. Tingkah laku verbal
ditunjukkan oleh respon-respon konselor terhadap kata-kata atau pernyataan klien,
sedangkan tingkah laku nonverbal meliputi kontak mata, postur tubuh, dan gerak
tubuh (gesture). Berikut ini uraian tentang komponen-komponen attending
tersebut.

29
A. Kontak Mata

Ketika sedang berkomunikasi, biasanya pandangan tertuju pada mata. Hal


ini adalah cara untuk menunjukkan adanya perhatian yang sungguh-sungguh
terhadap lawan bicara, karena kontak mata adalah alat pokok untuk
berkomunikasi. Namun, tidak berarti bahwa kontak mata merupakan tatapan yang
terus menerus. Jika konselor senang dan tulus terhadap klien, maka ia akan
melihat atau memandang secara wajar ketika klien berbicara.
Ada kalanya klien merasa tidak senang dengan kontak mata yang terlalu
dekat, sehingga jarak tempat duduk perlu disesuaikan untuk kenyamanan klien.
Tingkah laku non verbal klien hendaknya diamati untuk mendapatkan petunjuk
adanya ketidaksenangan klien ketika dilakukan kontak mata. Kontak mata
menunjukkan bahwa konselor menaruh perhatian terhadap klien. Konselor
diharapkan tidak memandang hampa atau melamun.

B. Postur Tubuh

Postur tubuh yang dimaksudkan adalah sikap badan konselor ketika


berhadapan dengan klien. Postur tubuh atau disebut pula penampilan fisik
konselor memberikan kesan tertentu pada klien. Biasanya konselor duduk dengan
tubuh sedikit condong ke depan dan rileks. Posisi duduk konselor sebaiknya tidak
bersandar atau membungkuk, karena dapat mencerminkan kesan enggan, malas
atau tidak tulus. Konselor hendaknya tidak bersikap tegang. Ketegangan yang
ditunjukkan konselor dapat mengalihkan perhatian klien pada konselor dan
menimbulkan respon ketegangan pada klien.
Dahlan (1987) mengemukakan dua fungsi penampilan fisik yang membina
hubungan, yaitu: (a) sebagai tanda bahwa konselor aktif melibatkan diri dalam
percakapan dan bekerja sama dengan klien; (b) membantu konselor untuk menjadi
pendengar yang aktif. Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan sehubungan
dengan penampilan fisik konselor, yaitu:

30
1. Menghadapkan muka pada klien dengan cerah, tulus, dan terus terang, bahwa
konselor dapat bekerja sama.
2. Menunjukkan sikap terbuka dan tidak bersikap defensif. Posisi tangan di atas
pangkuan, tapi tidak kaku.
3. Miring, condong kepada klien di saat mendengarkan atau merespon berbicara,
sehingga menampakkan diri sebagai orang yang ada bersama dengan klien.
4. Memperlihatkan sikap santai sehingga klien pun terpengaruh untuk santai pula.
5. Ekspresi muka yang responsif, dihiasi senyum secara spontan.
6. Mendengarkan ungkapan klien dengan penuh perhatian.

Mungkin ungkapan yang dikemukakan kepada klien cukup memberikan


kesan baik pada klien, namun sikap badan yang tidak pada tempatnya akan
merusak hubungan dalam konseling. Untuk itu, konselor diharapkan dapat
memperlihatkan penampilan yang memperkuat ucapannya.

C. Gerak Tubuh (Gesture)

Dalam berkomunikasi senantiasa tidak hanya menggunakan bahasa lisan


(ucapan langsung), namun juga disertai gerakan-gerakan tubuh, seperti tangan,
kaki, atau kepala. Gerakan tubuh dapat mengkomunikasikan maksud atau makna
tertentu. Misalnya, anggukan kepala menunjukkan tanda mengerti atau setuju,
atau sebaliknya menggelengkan kepala untuk menunjukkan ketidaktahuan atau
tidak setuju. Sebaiknya konselor tidak melipat kedua tangan (bersedekap) karena
menimbulkan kesan yang kurang baik.
Konselor dapat menggunakan gerakan tubuh untuk menyampaikan pesan
tertentu kepada klien. Untuk itu, perlu disadari pesan apa yang akan disampaikan
melalui gerakan tubuh agar klien dapat memahami pesan yang dimaksud.

D. Tingkah Laku Verbal

Komponen atending ini merupakan respon-respon konselor yang


disampaikan secara lisan (diucapkan) berhubungan dengan apa yang dikatakan

31
klien. Dalam hal ini, konselor tidak mengajukan pertanyaan, tidak memunculkan
topik baru atau memantulkan suatu frase untuk memusatkan pada suatu ide.
Tingkah laku verbal di sini dimaksudkan sebagai isyarat bahwa konselor
memperhatikan dan memahami klien. Pernyataan-pernyataan yang dikemukakan
menjadi dukungan minimal bagi klien sehingga ia merasa tidak diabaikan.
Respon konselor yang merupakan attending dapat berupa kata-kata yang
menunjukkan dukungan, seperti “Ya” atau “Hm...” atau pernyataan singkat yang
menunjukkan bahwa konselor mengerti apa yang dikatakan klien, misalnya “Saya
tahu apa yang Anda maksudkan,” atau “Saya menghargai apa yang Anda
lakukan.” Pernyataan-pernyataan seperti itu seringkali membantu klien untuk
tetap bercerita dan memberi keyakinan bahwa konselor mendengarkan. Ada
kalanya, konselor memberikan respon verbal disertai dengan respon non verbal,
misalnya konselor mengatakan “Ya, saya tahu maksud Anda” sambil
menganggukkan kepala.
Konselor dapat melihat bagaimana perhatian dapat mengontrol tingkah
laku klien. Demikian pula, klien juga mengontrol dengan memberikan komentar
terhadap hal-hal yang menarik perhatiannya. Beberapa petunjuk untuk melakukan
attending yang efektif, yaitu:
a. Bentuk kontak mata dengan jalan melihat klien ketika ia berbicara
b. Mempertahankan sikap rileks yang wajar untuk menunjukkan
minat/ketertarikan
c. Menggunakan gerakan tubuh yang wajar untuk menunjukkan pesan yang
dimaksudkan
d. menggunakan pernyatan-pernyataan verbal yang berhubungan dengan
pernyataan klien tanpa interupsi, tanpa bertanya, dan tanpa mengemukakan
topik-topik baru.

Perhatian yang efektif dari konselor dapat mendorong klien untuk


mengadakan penjajagan lebih jauh tentang suatu topik. Misalnya, ketika klien
selalu berulang-ulang memberikan gambaran suatu peristiwa, maka akan lebih

32
baik bila konselor meminta klien untuk memusatkan pada perasaannya terhadap
peristiwa tersebut.
Menurut pengalaman para ahli, klien sangat menyukai attending yang
dilakukan konselor karena dapat mendorong klien untuk menyatakan ide-ide dan
perasaan-perasaannya secara bebas. Hal ini dapat membantu klien untuk
mengadakan penjajagan dengan caranya sendiri dan cenderung membentuk
tanggung jawab klien dalam wawancara konseling. Bahkan, ketika klien terdiam,
konselor dapat memberitahukan kepada klien apa yang baru saja ia katakan atau
menunjuk pada pernyataan klien sebelumnnya. Yang perlu diperhatikan adalah
sikap tenang dari konselor. Jika konselor rileks, maka klien cenderung untuk lebih
tenang. Kadangkala, konselor (pemula) dengan sikap tegang membiarkan klien
bercerita secara menggebu-gebu dan melompat dari satu topik ke topik lain.
Deskripsi attending yang dikemukakan, pada umumnya didasarkan pada
pengalaman-pengalaman masyarakat di negara-negara Barat (Amerika), sehingga
dalam aplikasinya perlu disesuaikan dengan budaya yang ada.

Soal Latihan

I. Jawablah soal-soal berikut ini.


1. Jelaskan apa yang harus dipersiapkan konselor ketika akan
menyelenggarakan konseling.
2. Kapan diperlukan attending dalam suatu proses konseling? Jelaskan tujuan
dilakukannya attending oleh konselor.

II. Buatlah dialog konseling yang menggambarkan adanya attending.

33
BAB III

RESPON MENDENGARKAN

34
BAB III
RESPON MENDENGARKAN

Dalam berkomunikasi terdapat dua kegiatan yaitu mendengarkan dan


berbicara. Mendengarkan dengan baik tidak kalah penting dengan berbicara yang
baik, bahkan mungkin lebih sulit. Sekilas, istilah mendengarkan merupakan suatu
tindakan pasif. Sebenarnya, mendengarkan adalah suatu proses yang sangat aktif
untuk merespon pada keseluruhan pesan. Mendengarkan merupakan prasyarat
bagi konselor untuk dapat memberikan respon atau strategi secara tepat dalam
suatu konseling. Jika konselor gagal dalam mendengarkan, kemungkinan klien
tidak akan dapat melakukan eksplorasi diri, masalah yang dibicarakan tidak tepat,
bahkan strategi yang digunakan tidak sesuai.
Menurut Cormier dan Cormier (1985), ada tiga proses dalam
mendengarkan, yaitu penerimaan pesan, pengolahan pesan, dan penyampaian
pesan. Setiap pesan dari klien, baik yang verbal maupun non verbal, merupakan
stimulus yang akan diterima dan diproses konselor. Ketiga proses dalam
mendengarkan dapat dilihat dalam gambar berikut.
(1) (2) (3)
Pesan Penerimaan Pengolahan Pengiriman
Klien Pesan Pesan Pesan
(covert) (covert) (overt)
Verbal
Nonverbal

Gambar 1. Tiga proses mendengarkan

Penangkapan pesan merupakan proses yang tersembunyi (covert) sehingga tidak


dapat lihat bagaimana dan apa yang diterima oleh konselor. Kegagalan
penerimaan pesan akan terjadi apabila konselor tidak melakukan attending.
Pengolahan pesan juga merupakan proses yang tak terlihat (covert) karena terjadi
di dalam pikiran. Pengolahan pesan sangat bergantung kognisi konselor. Proses
yang ketiga, yaitu penyampaian pesan, meliputi pesan verbal dan non verbal yang

35
diberikan oleh konselor. Penyampaian pesan ini merupakan proses yang tampak
(overt) karena bisa diamati.
Banyak literatur yang mengemukakan berbagai respon mendengarkan.
Namun dalam bab ini hanya akan disajikan empat respon mendengarkan yang
dikemukakan oleh Cormier dan Cormier (1985), yaitu: klarifikasi, parafrase,
refleksi dan rangkuman.
Klarifikasi merupakan pertanyaan yang diajukan ketika muncul pesan
klien yang tidak jelas. Disamping klarifikasi terhadap ketepatan pesan klien,
konselor perlu mendengarkan informasi tentang situasi atau kejadian yang penting
dalam hidup klien, termasuk perasaan klien terhadap kejadian itu. Pesan atau
pernyataan-pernyataan klien, baik secara langsung maupun tidak, mengungkapkan
situasi atau perasaan klien. Bagian pesan yang menyatakan atau menggambarkan
situasi atau kejadian disebut content (konten/isi) atau bagian kognisi dari suatu
pesan. Bagian kognisi tersebut memberikan informasi tentang situasi atau
kejadian, orang, obyek, atau ide. Sedangkan bagian pesan yang lain, disebut
dengan bagian afektif, menyatakan bagaimana perasaan klien tentang konten.
Respon konselor terhadap konten disebut parafrase, sedangkan respon terhadap
afeksi disebut refleksi. Jadi, parafrase menyatakan pesan yang menggambarkan
situasi, kejadian, orang, atau ide. Sebaliknya, refleksi menyatakan pesan yang
memuat perasaan klien terhadap konten tersebut. Sedangkan rangkuman
merupakan pengembangan dari respon parafrase dan refleksi terhadap beberapa
pesan sekaligus. Deskripsi tentang batasan dan tujuan penggunaan dari keempat
respon mendengarkan disajikan dalam tabel berikut ini.

36
Tabel 3.1.
Batasan dan tujuan dari respon mendengarkan:
klarifikasi, parafrase, refleksi, dan rangkuman
(Dikutip dari Cormier & Cormier, 1985:91)

RESPON BATASAN TUJUAN


Klarifikasi Pertanyaan yang dimulai, misalnya 1. Untuk mendorong
“Apakah yang Anda maksud?” elaborasi klien
atau “Apakah Anda mengatakan 2. Untuk memeriksa
bahwa” dilanjutkan dengan ketepatan mendengarkan
menyatakan kembali pesan klien perkataan klien
3. Untuk memperjelas pesan
yang samar-samar atau
membingungkan
Parafrase Menyatakan konten/isi dari pesan 1. Untuk membantu klien
(respon terhadap konten) klien memusatkan isi pesan
2. Untuk menangkap konten
(isi pesan) sebelum
memahami perasaan-
perasaan klien
Refleksi Menyatakan bagain afeksi dari 1. Untuk mendorong klien
(respon terhadap perasaan) pesan klien mengekspresikan
perasaannya
2. Untuk membicarakan
perasaan-perasaan yang
dialami klien secara lebih
intensif
3. Untuk membantu klien
menyadari perasaan yang
mempengaruhinya
4. Untuk membantu klien
menyadari dan menata
perasaannya
5. Untuk membantu klien
agar dapat membedakan
perasaan-perasaan yang
ada dalam dirinya
Rangkuman Dua atau lebih parafrase atau 1. Untuk menyatukan
refleksi yang meringkas beberapa berbagai unsur dalam pesan
pesan klien klien
2. Untuk mengidentifikasi
tema atau pola umum dari
pesan-pesan klien
3. Untuk mengiterupsi cerita
klien yang bertele-tele
4. Untuk mereview
pernyataan atau pesan-
pesan klien

Pembahasan lebih jauh tentang empat respon mendengarkan tersebut dapat dikaji
dalam uraian selanjutnya dalam bab ini.

37
A. Klarifikasi

Klarifikasi merupakan suatu pertanyaan yang sering digunakan karena ada


pesan klien yang ambigu. Pada umumnya, pesan-pesan klien diekspresikan
berdasarkan kerangka acuan internalnya, sehingga tidak begitu jelas atau bahkan
membingungkan. Jika konselor tidak yakin dengan makna pesan yang
dikemukakan klien, maka perlu dilakukan klarifikasi. Pertanyaan klarifikasi
kepada klien dimaksudkan untuk menguraikan pernyataan klien yang samar-
samar, ambigu atau tidak jelas. Klarifikasi biasanya berupa pertanyaan yang
dimulai dengan “Apakah Anda mengatakan bahwa . . .” atau “Dapatkah anda
jelaskan tentang . . .”
Adapun tujuan klarifikasi adalah:
1. Mendorong klien untuk melakukan elaborasi
2. Memeriksa ketepatan apa yang didengar konselor terhadap pesan-pesan klien
3. Memperjelas pesan-pesan yang samar atau membingungkan
Ada kalanya, tanpa memeriksa ketepatan pesan yang didengar, konselor
membuat asumsi dan kesimpulan tentang klien. Hal ini sering terjadi di tahap-
tahap awal konseling dimana konselor belum memiliki gambaran yang jelas
tentang klien, sehingga kesimpulan konselor terkesan tergesa-gesa. Perlu diingat,
kejelasan pesan-pesan klien sangat penting bagi konselor sebelum melakukan
kesimpulan, terutama pada tahap awal konseling.
Perhatikan contoh berikut ini.
Klien :
“Kadang-kadang saya ingin lari dari semuanya.”
Konselor :
“Tampaknya Anda ingin memisahkan diri dan bekerja sendiri.”
Klien :
“Tidak seperti itu. Saya tidak mau sendiri. Saya hanya berharap agar saya
dapat membereskan semua pekerjaan ini.”
Pada contoh di atas, konselor tergesa-gesa membuat kesimpulan tentang pesan
awal klien sehingga kesimpulan yang dibuat tidak tepat. Akan lebih baik bila

38
konselor memberikan pertanyaan klarifikasi sebelum membuat asumsi tentang
klien.

Perhatikan contoh berikut ini.


Klien :
“Kadang-kadang saya ingin lari dari semuanya.”
Konselor :
“Dapatkah Anda jelaskan, apa yang Anda maksud lari dari semuanya?”
Klien :
“Begini...., banyak sekali pekerjaan yang harus saya selesaikan. Saya selalu
merasa keteteran dan overload. Saya ingin menyelesaikannya dengan senang
hati tanpa perasaan tertekan.”

Pada contoh tersebut, klarifikasi akan membantu memperjelas apa yang terjadi
dan apa yang dirasakan klien. Keterampilan konselor menggunakan respon
klarifikasi akan menentukan ketepatan pesan yang diterima dan diprosesnya.

Ada empat langkah dalam klarifikasi, yaitu:


1. Mengidentifikasi isi pesan klien, baik verbal maupun non verbal, untuk
mengetahui apa yang telah dikatakan oleh klien.
2. Mengidentifikasi adanya pesan-pesan klien yang samar-samar atau
membingungkan, yang perlu diperikasa ketepatannya atau perlu dielaborasi.
3. Menentukan kalimat atau kata-kata yang tepat untuk klarifikasi, seperti
“Dapatkah Anda jelaskan” atau “Apakah Anda mengatakan.” Perlu diingat
bahwa ketika melakukan klarifikasi, nada suara konselor sebaiknya lebih
menunjukkan nada bertanya dari pada memberikan suatu pernyataan.
4. Memeriksa keefektifan klarifikasi dengan mendengar dan memperhatikan
respon klien. Dari respon klien, konselor dapat menentukan bahwa
klarifikasinya efektif bila klien mau menjelaskan dan menambahkan pesan-
pesannya yang hilang atau tidak jelas.

39
Jika klarifikasi dilakukan dengan baik akan berguna untuk mengajak klien
mengelaborasi bagian-bagian pesan yang ambigu atau membingungkan.
Sebaliknya, jika klarifikasi yang diberikan tidak tepat akan menyebabkan klien
bungkam. Bila hal ini terjadi, maka konselor berusaha memberikan klarifikasi
kembali atau mengganti dengan alternatif respon yang lain.
Beberapa pedoman yang perlu diperhatikan agar dapat memberikan
klarifikasi yang efektif, yaitu:
1. Apa yang telah klien katakan?
2. Apakah ada bagian pesan klien yang tidak jelas yang perlu diperiksa? Jika ada,
pesan apakah itu? Jika tidak ada, tentukan respon lain yang sesuai.
3. Bagaimana konselor dapat mendengar, melihat, atau mengerti cara memulai
respon ini?
4. Bagaimana konselor dapat mengetahui apakah klarifikasinya berguna?

B. Parafrase

Parafrase yaitu menyatakan kembali kata-kata atau pikiran-pikiran pokok


klien. Parafrase lebih memperhatikan bagian kognitif dari pesan klien. Dalam
parafrase, konselor menyatakan ide pokok klien dengan kata-kata sendiri, tidak
sekedar menirukan kata-kata yang diucapkan klien. Konselor hendaknya
menggunakan pilihan kata yang tepat sehingga membantu menekankan kata atau
ide penting yang diungkapkan klien.
Perhatikan contoh berikut ini.
Klien :
“Saya tahu, jika hanya duduk atau tidur sepanjang hari tidak akan membantu
depresi yang saya alami.”
Konselor :
“Anda tahu bahwa Anda perlu menghindari duduk atau tidur sepanjang hari
untuk membantu depresi yang Anda alami.”

Dalam contoh tersebut, konselor hanya meniri kata-kata klien. Kemungkinan


besar, klien akan merespon dengan jawaban singkat saja, seperti “Ya” atau

40
“Benar” sehingga tidak dapat mengelaborasi lebih jauh lagi. Parafrase yang efektif
dari pernyataan klien seperti contoh di atas, misalnya “Anda menyadari bahwa
Anda perlu melakukan sesuatu untuk mengurangi depresi.”
Beberapa tujuan digunakannya parafrase yang akan mempengaruhi klien,
yaitu:
1. Menyatakan pada klien bahwa konselor memahami pembicaraan.
2. Mendorong klien untuk megelaborasi ide atau pikiran-pikirannya.
3. Membantu klien memusatkan pembicaraan pada situasi, kejadian, ide atau
tingkah laku tertentu.
4. Membantu klien yang membutuhkan kesimpulan.
5. Untuk lebih menekankan isi pesan dibandingkan afeksi

Adapun langkah-langkah dalam melakukan parafrase adalah sebagai


berikut.
1. Berusaha mengingat kembali pesan-pesan klien (Apa yang telah dikatakan
klien?)
2. Mengidentifikasi isi pesan klien dengan menanyakan dalam diri “Situasi,
orang, obyek, atau ide apa yang dibicarakan?”
3. Memilih kata-kata yang sesuai dengan apa yang dikemukakan klien.
4. Memeriksa keefektifan parafrase berdasarkan respon klien. Bila parafrase
yang diberikan tepat maka klien akan memberikan tanda persetujuan, baik
verbal maupun non verbal, yang mengisyaratkan bahwa pernyataan konselor
tepat dan bermanfaat.

Perlu diingat bahwa nada suara untuk parafrase cenderung menyampaikan


pernyataan, bukan mengajukan pertanyaan. Parafrase terutama sangat berguna
dalam mengungkapkan dan menjelaskan pesan klien yang bersifat ganda. Bila
seseorang tidak ingin secara langsung menyampaikan pesan-pesannya, maka ia
akan menyatakannya secara samar-samar. Berdasarkan petunjuk klien, baik yang
verbal maupun non verbal, maka tugas konselor adalah menangkap pesan ganda
tersebut dan menyatakan kembali dalam bentuk kalimat yang jelas.

41
C. Refleksi

Pada bagian sebelumnya telah dibahas tentang respon parafrase yang


digunakan untuk mengemukakan kembali bagian kognitif (isi) dari pesan klien.
Meskipun parafrase dan refleksi perasaan bukanlah respon yang terpisah satu
sama lain, refleksi perasaan dapat digunakan untuk menyatakan bagian efektif dari
pesan, atau aspek emosional klien. Refleksi hampir sama dengan parafrase, namun
dalam refleksi memuat aspek emosional atau komponen pesan yang tak terungkap
dalam parafrase.
Ada beberapa tujuan dari refleksi perasaan, yaitu:
1. Membantu klien memahami perasaannya
2. Mendorong klien agar lebih banyak mengekspresikan perasaannya, baik
positif maupun negatif, tentang situasi, orang, atau hal-hal khusus lainnya.
3. Membantu klien menata atau mengatur perasaan-perasaannya.
4. Memberitahukan pada klien bahwa konselor memahami perasaan klien yang
tidak suka atau marah kepada konselor, sehingga perasaan tersebut dapat
berkurang.
5. Membantu klien membedakan intentsitas berbagai perasaan yang ada dalam
dirinya.

Refleksi perasaan bisa menjadi keterampilan yang sulit dipelajari karena


sering kali perasaan-perasaan tersebut diabaikan atau tidak dipahami. Cormier &
Cormier (1985) mengemukakan enam langkah dalam membuat refleksi perasaan,
yaitu:
1. Dengarkan kata-kata yang digunakan klien untuk menyatakan perasaan-
perasaannya, atau kata-kata afektif dalam pesan atau pernyataan klien.
2. Perhatikan tingkah laku non verbal klien ketika ia mengemukakan
pernyataan/pesan-pesan secara verbal. Nada suara dan ekspresi wajah dapat
memberi tanda atau petunjuk mengenai perasaan dalam diri klien. Sering kali,
perilaku non verbal menjadi petunjuk yang lebih sesuai dengan emosi klien
karena perilaku non verbal lebih sulit dikontrol dibandingkan dengan kata-
kata.

42
3. Menyatakan kembali perasaan-perasaan klien dengan menggunakan kata-kata
yang berbeda dari yang diucapkan klien. Perlu diperhatikan dalam memilih
kata yang tepat untuk menggambarkan intensitas perasaan klien. Untuk
membedakan intensitas perasaan dapat dibuat daftar kata-kata perasaan
(feeling words). Daftar ini akan membantu konselor dalam memilih kata-kata
yang sesuai dengan emosi atau perasaan klien yang akan direfleksikan.
4. Mengemukakan pernyataan refleksi dengan awalan kata yang sesuai dengan
petunjuk dari klien, apakah disampaikan secara visual, auditori atau kinestetik.
Contoh respon refleksi berdasarkan penyampaian visual:
“Nampaknya Anda marah saat ini.”
“Sepertinya Anda marah saat ini”
Contoh respon refleksi yang auditori:
“Kedengarannya Anda marah saat nini”
“Saya mendengar bahwa Anda marah saat ini”
Contoh respon refleksi yang kinestetik:
“Saya dapat memahami kemarahan Anda”
“Anda sedang marah saat ini”
5. Menambahkan konteks atau situasi dimana perasaan itu muncul.
6. Memeriksa keefektifan refleksi berdasarkan respon klien terhadap pernyataan
refleksi yang disampaikan konselor. Jika identifikasi perasaan klien dalam
refleksi itu tepat, klien akan menyatakan “Ya, benar.” Atau “Ya, itulah yang
saya rasakan”

D. Rangkuman

Biasanya, berbagai pesan atau pembicaraan yang disampaikan klien


merupakan serangkaian pola yang mengarah pada tema pokok atau motif tertentu.
Tema dalam pesan-pesan klien diekspresikan dalam pokok-pokok pembicaraan
yang secara terus-menerus dinyatakan dalam berbagai cara. Konselor dapat
mengidentifikasi tema pesan klien dengan jalan mendengarkan dan
memperhatikan apa yang dikatakan klien secara berulang-ulang. Tema

43
menunjukkan pada apa yang ingin disampaikan klien kepada konselor dan ingin
difokuskan dalam konseling. Konselor dapat merespon tema dengan cara
merangkum.
Seperti dalam tabal 3.1 tujuan dari merangkum adalah sebagai berikut.
1. Menyatukan berbagai unsur dalam pesan-pesan klien. Rangkuman ini dapat
menjadi umpan balik bagi klien terhadap pesan-pesannya yang ambigu atau
tidak jelas.
2. Mengidentifikasi tema atau pola umum, yang baru jelas setelah beberapa
pesan dikemukakan atau setelah beberapa kali pertemuan konseling.
3. Kadang-kadang, konselor merangkum untuk mengiterupsi klien yang bercerita
secara bertele-tele atau “mendongeng”. Rangkuman ini penting untuk
mengarahkan pembicaraan dalam konseling.
4. Mencegah langkah yang terburu-buru dalam suatu sesi konseling. Rangkuman
akan memberikan nuansa psikologis selama sesi konseling.
5. Mereview kemajuan yang diperoleh selama satu atau beberapa kali wawancara.

Rangkuman dapat dinyatakan sebagai kumpulan dari dua atau lebih


parafrase atau refleksi yang meringkas berbagai pesan atau sesi. Rangkuman
merupakan pernyataan kembali yang menyangkut data kognitif atau afektif.
Merangkum memerlukan perhatian yang teliti dan konsentrasi terhadap pesan-
pesan klien yang disampaikan se cara verbal maupun non verbal. Ketepatan
menggunakan respon ini bergantung pada ingatan yang tepat tentang tingkah laku
klien, tidak hanya dalam satu sesi konseling tapi lebih dari itu, yakni meliputi
kejadian dalam beberapa sesi atau beberapa bulan proses konseling berlangsung.
Adapun langkah-langkah dalam membuat rangkuman adalah sebagai
berikut.
1. Memperhatikan dan mengingat pesan atau serangkaian pesan klien dengan
cara menyatakan kembali dalam hati. Hal ini dapat dilakukan dengan bertanya
dalam diri “Apa yang telah dikatakan atau dilakukan klien?”

44
2. Mengidentifikasi beberapa pola, tema atau unsur ganda yang tampak jelas
dalam pesan-pesan klien. hal ini bisa dilakukan dengan menanyakan dalam
diri sendiri “Apa yang selalu diulang-ulang klien?”
3. Memilih kata pembuka rangkuman yang tepat, apakah menggunakan kata
“Anda” atau nama klien dan menyesuaikan dengan kata-kata yang diucapkan
klien.
4. Gunakan pilihan kata yang menggambarkan tema atau gabungan unsur-unsur
pesan, lalu ungkapkan sebagai respon rangkuman. Gunakan nada suara seperti
memberikan pernyataan, bukan nada bertanya.
5. Memeriksa keefektifan rangkuman dengan cara mendengarkan atau
mengamati respon klien, apakah ia memperkuat atau menyangkal tema yang
dinyatakan konselor dalam rangkuman.

Cormier & Cormier (1985) merekomendasikan strategi belajar kognitif


dalam membuat rangkuman. Untuk memahami bagaimana strategi tersebut
digunakan, perhatikan contoh berikut.

Klien:
Seorang laki-laki tengah baya bernama Jimy, sedang berjuang melawan
kecanduan alkohol dan telah menceritakannya kepada konselor dalam tiga
sesi konseling bahwa kecanduannya itu telah menghancurkan kehidupan
rumah tangganya tapi ia tidak dapat menghentikan karena dapat
membuatnya merasa lebih baik dan membantu mengurangi stres.
“Saya tahu mabuk-mabukan tidak membantu saya untuk lari dari
permasalahan dalam waktu yang lama. Dan hal itu juga tidak membantu
keluarga saya. Istri saya mengancam akan meninggalkan saya. Saya tahu
semua ini. Terlalu sulit untuk menghindari minuman keras. Menikmati
minuman membuat saya merasa bebas.” [Klien mengatakan dengan suara
pelan, lirih, pandangan mata sedih, bahunya membungkuk]
Konselor:
Pertanyaan dalam diri 1):
Apa yang telah dikatakan klien hari ini dan beberapa waktu yang lalu?

45
Kunci konten: hasil dari mabuk tidak baik untuk dirinya dan keluarganya.
Kunci afektif: mabuk membuatnya merasa lebih baik, mengurangi
kegelisahannya.
Pertanyaan dalam diri 2):
Apa yang sering diulang klien saat ini dan beberapa waktu lalu atau apa pola
atau temanya?
Meskipun berakibat merugikan dan keluarganya berantakan, dia tetap
mabuk-mabukan untuk mengurangi stres, sehingga pengurangan stres lewat
alkohol nampaknya lebih baik dari pada kehingan keluarga.
Pertanyaan dalam diri 3):
Pilihan kata apa yang sesuai dengan kata-kata yang ditunjukkan klien?
Cobalah dengan “Anda merasa,” “Saya mengerti hal itu” lalu padukan
dengan kata-kata klien “tahu” dan “merasa”
Dari petunjuk di atas, maka konselor mengemukakan salah satu dari beberapa
rangkuman berikut ini.
° “Jimy, saya mengerti bahwa Anda merasa mabuk lebih baik dari
pertengkaran keluarga karena Anda menjadi lebih enak dan merasa tenang
saat mabuk.”
° “Jimy, Anda merasa bahwa kebiasaan mabuk Anda menimbulkan berbagai
kesulitan dalam diri dan keluarga Anda, dan saya mengerti keengganan
Anda untuk berhenti mabuk meskipun hal itu berakibat buruk.”
° “Jimy, saya mengerti, alkohol lebih memberikan kepuasan pada Anda dari
pada keluarga Anda sendiri.”
Jika klien menegaskan tema tentang alkohol lebih penting saat ini dari pada
keluarga, maka konselor dapat menyimpulkan bahwa rangkuman bermanfaat. Jika
klien menyangkal tema atau isu rangkuman, maka konselor dapat menanyakan
pada klien untuk menjelaskan ketidaktepatan rangkuman. Apabila ini terjadi, perlu
diperhatikan apakah memang rangkuman yang tidak tepat atau klien yang belum
siap untuk membicarakan isu tersebut pada saat ini.

46
Soal Latihan

I. Jawablah soal-soal berikut ini.


1. Jelaskan tiga proses dalam mendengarkan.
2. Mengapa konselor perlu melakukan klarifikasi?
3. Kapan konselor perlu melakukan parafrase?
4. Jelaskan perbedaan antara parafrase dan refleksi.
5. Jelaskan tujuan konselor memberikan rangkuman.

II. Kerjakan sesuai dengan petunjuk dalam soal latihan di bawah ini.
1. Berikut akan diberikan ilustrasi dari seorang klien dengan pernyataan atau
pesan-pesan yang dikemukakannya. Buatlah respon konselor yang
menunjukkan klarifikasi, parafrase, refleksi, dan merangkum.
Klien: “Sebagian hidup saya telah hilang ketika suami saya meninggal.
Saya merasa tidak mampu untuk menjaga diri saya sendiri, apalagi
anak-anak. Dulu, suami saya yang selalu mengambil keputusan.
Sekarang saya tidak bisa tidur lama dan saya suka minum
minuman keras. Saya tidak bisa berpikir jernih. Berat badan saya
turun 8 kg. Saya tampak kurus. Siapa yang mau memperhatikan
saya saat ini?
2. Lakukan komunikasi dengan beberapa orang. Identifikasi dan catat respon-
respon yang merupakan klarifikasi, parafrase, refleksi, atau rangkuman
dan catat pula tanggapan atau reaksi yang menunjukkan apakah respon-
respon tersebut tepat atau tidak.

47
BAB IV

RESPON TINDAKAN

48
BAB IV

RESPON TINDAKAN

Dalam respon mendengarkan, konselor merespon pesan-pesan klien


terutama dari kerangkan acuan internal klien. Meskipun penggunaan respon ini
sangat efektif untuk mendorong eksplorasi klien, tetapi tidak mencukupi untuk
memperoleh data dan mengarahkan klien, khususnya untuk klien-klien yang pasif.
Dengan kata lain, dalam situasi atau saat yang tepat konselor perlu menggunakan
bentuk respon lain yang lebih aktif dan terarah (counselor-directed). Jenis respon
ini disebut respon tindakan (action responses). Jika respon mendengarkan
mempengaruhi klien secara tidak langsung, maka respon tindakan dapat
memberikan pengaruh langsung pada klien.

Respon mendengarkan berakar pada konseling nondirective atau Rogerian,


sedangkan respon tindakan direkomendasikan oleh model-model pendekatan lain
yang lebih menekankan peran aktif konselor. Jika kaji dari berbagai literatur
konseling, dapat ditemukan banyak model respon konselor yang dapat
diidentifikasikan sebagai respon tindakan. Namun dalam buku ini hanya akan
diberikan empat bentuk respon tindakan yang dikemukakan oleh Cormier &
Cormier (1985), yakni: probe atau menggali informasi (untuk bahasan selanjutnya
disebut saja dengan “probe”), konfrontasi (confrontation), interpretasi
(interpretatiton), dan memberi informasi (giving information).

Probe adalah suatu bentuk respon yang dinyatakan dalam bentuyk


pertanyaan-pertanyaan untuk menggali informasi lebih banyak dari klien.
Pertanyaan dapat disampaikan dalam bentuk pertanyaan terrtutup atau terbuka,
tetapi jenis yang kedua lebih dianjurtkan karena dapat mendatangkan informasi
lebih luas. Konfrontasi adalah suatu bentuk respon yang menyatakan adanya
kesenjangan atau ketidakkonsistenan antara pesan kognitif, afektif, dan perilaku
klien. Interpretasi menunjuk pada respon konselor yang menyatakan
kemungkinan-kemungkinan penjelasan dari pesan atau perilaku klien. Sedangkan

49
pemberian informasi, sesuai dengan namanya, adalah pengkomunikasian data atau
fakta-fakta tentang pengalaman, peristiwa-peristiwa, alternatif-alternatif, atao
orang. Deskripsi lebih detil tentang batasan dan tujuan keempat respon tindakan
tersebut disajikan dalam tabel berikut ini.

Tabel 4.1.
Batasan dan tujuan dari empat respon tindakan:
probe, konfrontasi, interpretasi, dan pemberian informasi
(Dikutip dari Cormier & Cormier, 1985:115).

RESPON BATASAN TUJUAN


Probe Suatu pertanyaan Pertanyaan terbuka:
terbuka atau  Untuk memulai wawancara
tertutup  Untuk mendorong klien mengelaborasikan atau memperoleh
informasi
 Untuk memperoleh contoh-contoh khusus tentang perasaan,
pikiran, dan perilaku klien
 Untuk mendorong klien berceritera atau membuka
komunikasi

Pertanyaan tertutup:
 Untuk mendekatkan topik diskusi
 Untuk memperoleh informasi khusus
 Untuk mengidentifikasi parameter masalah atau isu
 Untuk menginterupsi klien yang bicara melantur (nggladrah)
– mengembalikan ke fokus/topik

Konfrontasi Deskripsi  Mengenali pesan-pesan klien yang campur aduk atau tidak
kesenjangan antara konsisten
pesan-pesan klien  Mengekplorasi cara-cara lain untuk memahami situasi atau
diri klien

Interpretasi Penjelasan  Mengidentifikasi hubungan antara pernyataan klien dan


kemungkinan- perilakunya
kemungkinan atau  Untuk memeriksa perilaku klien dari berbagai sudut pandang
kaitan antara  Untuk membantu klien memahami masalah atau perilakunya
berbagai macam
perilaku klien
Pemberian Pengkomunikasian  Mengidentifikasi alternatif-alternatif
informasi secara verbal fakta-  Mengevaluasi alternatif-alternatif
fakta klien  Untuk membuang pikiran-pikiran yang bersifat mitos
 Untuk memotivasi klien memeriksa aspek-aspek dirinya yang
dihindari
Pembahasan lebih jauh tentang empat respon tindakan tersebut dapat dikaji dalam
uraian selanjutnya pada bab ini.

50
A. Probe

Probe atau pertanyaan untuk menggali informasi merupakan bagian yang


tak dapat dihindari dalam suatu proses wawancara konseling. Keefektifan respon
ini sangat tergantung pada bentuk pertanyaan yang digunakan dan frekuensi
penggunaannya. Ada dua bentuk pertanyaan yang dapat digunakan, yakni
pertanyaan terbuka dan pertanyaan tertutup.

Pertanyaan terbuka

Banyak ahli dan praktisi konseling menyatakan bahwa pertanyaan terbuka


merupakan bentuk probe yang paling efektif. Pertanyaan ini dimulai dengan kata:
apa, bagaimana, kapan, dimana, atau siapa. Suatu pertanyaan terbuka lebih
berdaya guna karena jenis pertanyaan ini tidak bisa dijawab hanya dengan “ya”
atau “tidak” tetapi akan mendatangkan suatu penjelasan. Sebagai contoh,
pertanyaan “apa” akan mendatangkan fakta dan informasi, pertanyaan
“bagaimana” akan mendatangkan informasi tentang urutan dan proses atau emosi,
dan pertanyaan “mengapa” akan mendatangkan penjelasan tentang alasan dan
logika klien. Demikian pula, pertanyaan “kapan” dan “dimana” akan
mendatangkan informasi tentang waktu dan tempat; sedangkan pertanyaan “siapa”
akan memberikan informasi tentang orang.

Penggunaan kata-kata yang berbeda dalam merumuskan pertanyaan


terbuka adalah penting, dan hendaknya konselor tidak hanya menggunakan satu
bentuk kata dalam mengajukan pertanyan terbuka karena tidak akan memperoleh
informasi yang lebih luas tentang dimensi-dimensi pengalaman klien.

Perhatian contoh-contoh berikut:

1. “Apa yang Anda inginkan untuk kita diskusikan hari ini?” (membuka
wawancara).

51
2. “Hal lain apalagi yang dapat Anda ceriterakan pada saya berkenaan dengan
hal ini?” (mendorong klien untuk memberikan lebih banyak informasi).

3. “Apa yang Anda lakukan dalam situasi seperti itu?” Atau, “Apa yang anda
pikirkan ketika Anda dimarahi ayah Anda saat itu?” Atau, “Bagaimana
perasaan Anda waktu Anda dimarahi ayah Anda waktu itu?” (pertanyaan-
pertanyaan untuk memperoleh contoh-contoh perilaku, pikiran, dan perasaan
khusus sehingga konselor dapat lebih memahami kondisi-kondisi yang
menyebabkan masalah klien).

Pertanyaan tertutup

Berbeda dengan pertanyaan terbuka, pertanyaan tertutup atau pertanyaan


terfokus dapat digunakan jika konselor membutuhkan fakta atau informasi khusus.
Berikut adalah beberapa contoh dari pertanyaan tertutup:

1. “Dari empat masalah yang kita identifikasi tadi, manakah yang paling
mengganggu Anda?”

2. “Apakah di antara keluarga Anda ada yang pernah mengalami depresi?”

3. “Apakah Anda akan menemui saya lagi minggu depan?”

Pertanyaan tertutup hendaknya tidak terlalu sering digunakan dalam


wawancara konseling, sebab tidak mendorong klien untuk mengeksplorasi
perasaan, pikiran, dan perilakunya secara lebih mendalam di samping tidak
mengajak klien untuk mengarah pada isu-isu penting yang menjadi bagian dari
masalahnya.

Beberapa pedoman yang perlu diperhatikan agar probe dapat digunakan


dengan efektif dan efisien, yaitu:

1. Gunakan pertanyaan yang memusatkan perhatian pada masalah atau tema


pesan klien. Pertanyaan yang efektif muncul dari apa yang baru saja dikatakan
klien, bukan dari keingintahuan konselor.

52
2. Setelah mengajukan pertanyaan, gunakan waktu jeda sejenak (pause) untuk
memberikan waktu yang cukup pada klien untuk menjawab/merespon. Jika
klien diberi waktu yang singkat untuk merespon ada kemungkinan ia merasa
terancam atau memberikan jawaban yang hanya sekedar untuk menyenangkan
konselor.

3. Ajukan hanya satu pertanyaan untuk memudahkan menemukan jawaban. Jika


konselor mengajukan beberapa pertanyaan dalam waktu yang bersamaan
maka akan membingungkan klien sehingga klien akan menjawab sekenanya.

4. Hindari menggunakan pertanyaan-pertanyaan yang mengandung tuduhan atau


pertanyaan-pertanyaan antagonis. Pertanyaan antagonis diawali dengan
penggunaan frase “mengapa.” Pertanyaan tuduhan dapat membuat klien
menjadi defensif. Sebetulnya, dengan pertanyaan “mengapa” akan diperoleh
informasi yang sama dengan menggunakan pertanyaan “apa.”

5. Hindari menggunakan pertanyan sebagai model respon utama dalam


wawancara (perkecualian pada sesi wawancara awal, wawancara histori, dan
asesmen). Khususnya untuk klien-klien dari latar belakang budaya Timur,
pertanyaan mungkin dirasakan cenderung menyerang (offensive) dan
mengganggu (intrusive). Demikian pula, secara umum penggunaan pertanyaan
yang berlebihan dapat menimbulkan sejumlah masalah dalam hubungan
terapeutik seperti menimbulkan ketergantungan, mempromosikan konselor
sebagai ahli, menurunkan tanggung jawab dan keterlibatan klien dan dapat
membuat klien merasa kesal atau sebal (Gazda et ail., 1984).

Untuk dapat membuat probe dengan efektif digunakan juga strategi belajar
kognitif seperti yang direkomendasikan oleh Cormier & Cormier (1985). Untuk
memahami bagaimana strategi belajar ini digunakan, perhatikan contoh berikut:

Klien :

“Saya benar-benar tidak tahu darimana harus memulainya. Pacar saya pergi
meninggalkan saya, ibu saya meninggal tahun ini, dan prestasi belajar saya
semakin buruk dalam dua semester ini.”

53
Konselor:

1. Apakah tujuan saya membuat respon probe; apakah probe yang diajukan
memiliki nilai terapeutik?

Tujuannya adalah untuk mengarahkan klien agar menjadi lebih fokus pada
salah satu isu dari banyak isu yang dikemukakannya.

2. Dapatkah saya mengantisipasi jawabannya?

Jawabannya: tidak.

3. Dengan tujuan tersebut, kata efektif apa yang harus saya gunakan untuk
memulai membuat probe?

Misalnya, “Apakah Anda ingin membahas ...?”

4. Bagaimana saya akan dapat mengetahui jika probe saya efektif?

Yaitu dengan jalan memeriksa respon verbal dan nonverbal klien di


samping melihat apakah tujuan tercapai.

Dari rambu-rambu tersebut, maka konselor dapat membuat respon probe sebagai
berikut.

Probe konselor:

“Sepertinya Anda merasa terbebani banyak masalah saat ini (refleksi). Dari
tiga masalah yang Anda kemukakan tadi, manakah yang paling mengganggu
Anda?”

Respon klien :

“Pacar yang meninggalkan saya. Saya sangat menginginkan dia menjadi isteri
saya kelak, dan saya begitu syok ketika menyadari bahwa dia telah bersama
orang lain” [disertai dengan muka muram dan badan yang tampak tegang].

Dari respon verbal dan non verbal klien tersebut konsleor dapat menyimpulkan
jika respon probe yang diajukan efektif karena dapat mengarahkan klien dalam
membuat memilih fokus masalah dan tidak merasa terancam.

54
B. Konfrontasi

Konfrontasi merupakan suatu respon verbal yang digunakan oleh konselor


untuk menyatakan adanya diskrepansi atau kesenjangan antara perasaan, pikiran,
dan perilaku klien seperti yang tampak pada pesan-pesan yang dinyatakannya.
Konfrontasi juga dapat digunakan sebagai alat untuk membawa klien memusatkan
perhatian pada bagian atau aspek-aspek perilakunya yang, jika diubah, dapat
membuatnya menjadi orang yang dapat bertindak lebih efektif.

Seperti yang dikemukakan dalam tabel 4.1., konfrontasi memiliki beberapa


tujuan yaitu untuk mengenali pesan-pesan klien yang campur aduk atau tidak
konsisten, serta bertujuan pula untuk mengeksplorasi cara-cara lain dalam upaya
memahami situasi atau diri klien.

Cormier & Cormier (1985) mengemukakan enam bentuk kemungkinan


diskrepansi anatra pesan-pesan klien, sebagai berikut:

1. Diskrepansi antara pesan verbal dan nonverbal.

CONTOH:

 Klien mengatakan: “Saya baik-baik saja” (pesan verbal), tap pada saat yang
sama ia tampak gelisah dan ragu-ragu (pesan nonverbal).

Konfrontasi konselor:

“Anda mengatakan baik-baik saja tetapi pada saat yang sama Anda tampak
gelisah.”

 Klien mengatakan: “Saya selalu merasa berbahagia dengan kehidupan saya


selama ini” (pesan verbal) dengan suara yang berat dan serak (nonverbal).

Konfrontasi konselor:

“Anda mengatakan jika Anda selalu berbahagia, tapi pada saat yang sama
suara Anda menyatakan perasaan Anda yang lain.”

2. Diskrepansi antara langkah-langkah tindakan dan perilaku.

CONTOH:

55
 Klien mengatakan: “Saya akan segera menemuinya” (verbal), tapi seminggu
kemudian ia mengatakan jika belum menghubunginya (langkah tindakan).

Konfrontasi konselor:

“Anda mengatakan jika Anda ingin segera menemuinya, tetapi sampai saat
ini ada belum melakukannya.”

 Klien mengatakan: “Konseling sangat penting untuk saya” (verbal), tetapi


berikutnya absen dua kali dalam janji konseling dengan konselor.

Konfrontasi konselor:

“Beberapa minggu yang lalu Anda mengatakan jika konseling sangat


penting buat Anda, tetapi saya lihat ternyata Anda telah mengabaikan janji
pertemuan sebanyak dua kali berturut-turut.”

3. Diskrepani antara dua pesan verbal

CONTOH:

 Klien mengatakan: “Ia senang tidur ramai-ramai dengan teman-temannya.


Dan itu tidak membuat saya terganggu (pesan verbal 1). Tetapi saya pikir
hubungan kami akan lebih baik jika dia menghentikan klebiasaannya
tersebut (pesan verbal 2).”

Konfrontasi konselor:

“Ungkapan Anda yang pertama menyatakan jika Anda OK saja dengan


perilakunya. Tetapi ungkapan Anda yang kedua menyatakan jika Anda
merasa lebih senang jika dia menghentikan kebiasaannya senang tidur
ramai-ramai dengan teman-temannya.”

 Klien mengatakan: “Saya benar-benar menyayangi status identitas kecil Joni


(verbal 1), meskipun ia seringkali mengganggu dan membuat saya menjadi
jengkel (verbal 2).”

Konfrontasi konselor:

56
“Anda menyayangi si kecil Joni, tetapi di waktu yang lain Anda sering
jengkel dengan ulahnya yang senang mangganggu.”

4. Diskrepansi antara dua pesan nonverbal

CONTOH:

 Klien tersenyum (nonverbal 1) dan menangis (nonverbal 2) pada waktu yang


berbarengan.

Konfrontasi konselor:

“Anda tersenyum dan menangis pada waktu yang sama.”

 Klien menatap langsung ke arah konselor (nonverbal 1) dan menjauhinya


(nonverbal 2).

Konfrontasi konselor:

“Anda menatap ke saya ketika membahas hal ini, tetapi Anda juga menjauhi
saya.”

5. Diskrepansi antara dua pribadi (konselor/klien, orang tua/anak, guru/siswa)

CONTOH:

 Suami klien kehilangan pekerjaannya pada dua tahun yang lalu. Klien ingin
mengajaknya pindah, tetapi suaminya ingin tetap tinggal tidak jauh dengan
keluarganya.

Konfrontasi konselor:

“Ani, kau ingin pindah. Hendra, kau merasa sangat dekat dengan keluarga
dan tak ingin berada jauh dari mereka.”

 Seorang wanita memperlihatkan perasaan cemas, depresi, dan kehilangan


ingatan. Konselor merekomendasikan untuk dilakukan pemeriksaan medis
guna menangani kesalahan organik, dan klien menolak.

Konfrontasi konselor:

57
“Mary, pemeriksaan medis ini sangat penting dilakukan agar kita bisa tahu
apa yang seharusnya dilakukan untuk menangani kesulitanmu. Kau tampak
begitu enggan untuk melakukan pemeriksaan. Bagiamana kami akan dapat
membantumu?”

6. Diskrepansi antara pesan verbal dan konteks/lingkungan

CONTOH:

 Seorang anak menyesalkan perceraian orang tuanya dan menyatakan bahwa


ia ingin berusaha agar kedua orang tuanya rujuk kembali.

Konfrontasi konselor:

“Juanita, kamu menyatakan jika kamu ingin membantu orang tuamu untuk
rujuk kembali. Tetapi kamu bukan orang yang menyebabkan terjadinya
perceraian orang tuamu. Bagaimana caramu akan membuat mereka bisa
bersama kembali?”

 Sepasang suami isteri yang masih muda menyatakan mengalami konflik


selama tiga tahun terakhir ini, dan mereka ingin memiliki seorang anak (bayi)
guna memelihara perkawinan mereka.

Konfrontasi konselor:

“Kalian telah melakukan pisah rumah sebanyak tiga kali sejak melakukan
konseling dengan saya. Sekarang kalian ingin menggunakan anak sebagai
alat untuk mempertahankan perkawinan. Banyak pasangan menyatakan
bahwa memiliki anak dan menjadi orang tua cenderung mengalami tekanan
yang meningkat. Bagiamana jalan pikiran kalian?”

Untuk dapat membuat respon konfrontasi dengan efektif perlu


diperhatikan beberapa hal. Konfrontasi perlu dikomunikasikan dalam suatu cara
yang dapat membantu klien untuk menyadari konsekuensi-konsekuensi
perilakunya sendiri (Johnson, 1981). Dengan kata lain, konfrontasi harus
digunakan dengan cara yang hati-hati untuk tujuan mengurangi atau

58
mengeliminasi rate perilaku yang ingin dimodifikasi atau tidak produktif. Berikut
ini ada beberapa pedoman yang perlu diperhatikan untuk membuat respon
konfrontasi yang efektif.

1. Menyadari motivasi ketika akan mengajukan respon konfrontasi. Meskipun


kata konfrontasi itu sendiri kedengaran seperti menyalahkan atau emosional,
dalam proses hubungan konseling penggunaan konfrontasi bukan untuk
menyerang klien, dan tidak digunakan sebagai alat untuk menyalurkan
perasaan frustrasi konselor. Dilihat dari konteks dan tujuannya, konfrontasi
merupakan suatu alat untuk memberikan umpan balik yang positif dan
konstruktif yang bersifat growth-directed dan bukan suatu bentuk kritik
(Patterson & Eisenberg, 1983). Untuk menghindari kesalahan, konfrontasi
senantiasa dipusatkan atau diarahkan pada ketidakkonsistenan klien, dan
bukan pada pribadi klien.

2. Sebelum menggunakan respon konfrontasi, harus diyakini jika hubungan


(rapport dan kepercayan) sudah berkembang dengan sangat baik. Konfrontasi
tidak direkomendasikan kecuali konselor mampu memelihara atau
meningkatkan keterlibatan dalam hubungan konseling (Johnson, 1981). Jika
aliansi terapeutik yang dikembangkan bersama klien belum terbangun dengan
baik, penggunaan konfrontasi dapat merusak hubungan konseling dan klien
akan meninggalkan konselor. Suatu hasil penelitian (Berenson, 1977)
menyatakan bahwa konfrontasi banyak digunakan oleh konselor-konselor
yang sudah berpengalaman; konselor yang belum berpengalaman atau
konselor pemula, pada umumnya tidak atau jarang menggunakan konfrontasi.

3. Perhatikan waktu ketika akan membuat respon konfrontasi. Karena tujuan


konselor adalah untuk membantu klien menyadari perilaku-perilakunya, maka
respon konfrontasi dibuat ketika klien memang sudah siap untuk menerimanya.
Untuk ini konselor harus mengembangkan kepekaan terhadap klien untuk
dapat memutuskan kapan konfrontasi sudah atau belum tepat untuk digunakan.
Dengan kata lain, sebelum respon konfrontasi diajukan, pastikan lebih dulu

59
tingkat perhatian, kecemasan, kemampuan mendengarkan, dan keinginan
untuk berubah pada diri klien.

4. Menyadari batas-batas konfrontasi. Konfrontasi selalu membawa pada


kesadaran klien tentang adanya ketidakkonsistenan dalam perilakunya.
Kesadaran akan diskrepansi ini merupakan satu langkah awal dalam
memecahkan kesulitan. Konfrontasi, sebagai suatu respon tunggal, mungkin
tidak membawa pada resolusi diskrepansi jika tidak dikombinasikan dengan
strategi lain seperti bermain peran dalam konseling Gestalt atau pengambilan
keputusan ulang dalam konseling Analisis Transaksional (AT).

Hal lain yang perlu disadari adalah bahwa kadang-kadang klien tampak
dapat menerima respon konfrontasi. Penerimaan itu tampak tulus jika klien
memperlihatkan keinginan untuk memeriksa perilakunya yang dikonfrontasi.
Klien-klien seperti ini pada akhirnya akan mampu untuk mengkonfrontasi dirinya
sendiri. Namun demikian, Egan (1987) mengingatkan jika klien sering kali salah
mengerti dengan respon konfrontasi konselor dan bermain game. Dalam kasus ini,
secara verbal klien setuju dengan konselor. Namun persetujuan ini sebenarnya
hanya untuk menyenangkan konselor atau untuk mencapai tujuan lain.

Terdapat beberapa cara untuk menangani reaksi negatif klien terhadap


konfrontasi. Namun, pada umumnya kembali pada respon-respon mendengarkan.
Konselor dapat menggunakan respon-respon tersebut untuk membuat landasan
sebelum konfrontasi diberikan dan kembali kepada landasan ini setelah
konfrontasi. Perhatikan contoh berikut:

Konselor:

“Anda tampak merasa tidak puas dengan hasil-hasil ujian Anda.”

Klien:

“Buat saya sebenarnya itu tidak masalah. Saya bisa memperbaikinya pada
semester yang akan datang.” [mengatakannya dengan suara serak dan berat]

Konselor:

60
“Anda mengatakan anda baik-aik saja, dan pada waktu yang sama, dari suara
Anda saya dapat menangkap jika Anda kecewa dengan hasil-hasil ujian Anda”
(konfrontasi)

Klien:

“Ah, Bapak tidak mengerti, dan saya juga tidak mengerti bagaimana Bapak
bisa mengatakan itu” (ingkar)

Konselor:

“Saya merasa bahwa apa yang saya katakan membuat Anda merasa tidak
nyaman” (refleksi).

C. Interpretasi

Interpretasi merupakan suatu keterampilan yang melibatkan pemahaman


dan pengkomunikasian makna pesan-pesan klien. Konselor dapat membuat
interpretasi dengan cara memberi klien suatu pandangan yang segar tentang
dirinya atau penjelasan-penjelasan tentang sikap, perilaku, dan kesulitan-
kesulitannya. Brammer & Shostrom (1982) mendefinisikan interpretasi sebagai
suatu bentuk respon yang menyatakan hipotesis tentang hubungan atau makna
antara perilaku-perilakunya. Interpretasi ini sangat bermanfaat bagi klien karena
interpretasi dapat mengarahkan pada pemerolehan insight. Insight memainkan
peran penting dalam kehidupan psikologis individu dan menjadi landasan untuk
terjadinya perubahan perilaku.

Respon-respon interpretasi dapat didefinisikan dalam beberapa cara dan


dapat bervariasi untuk beberapa tingkat menurut perspektif, orientasi teoretis yang
digunakan oleh konselor untuk menetapkan kesulitan yang dialami klien.
Cormier & Cormier (1985) mendefinisikan interpretasi sebagai suatu pernyataan
konselor tentang hubungan antara berbagai macam perilaku klien, peristiwa, atau
ide-ide; atau menyajikan suatu kemungkinan penjelasan tentang perilaku klien

61
(termasuk perasaan, pikiran, dan perilaku yang dapat diamati). Suatu interpretasi
berbeda dengan respon mendengarkan (klarifikasi, parafrase, refleksi, rangkuman).
Respon interpretasi memiliki beberapa tujuan seperti dikemukakan pada tabel 4.1.

Interpretasi dapat disepadankan dengan suatu hipotesis tentang perilaku


klien. Oleh karena itu interpretasi tidak dibuat berdasarkan pemikiran spekulatif
tetapi harus didasarkan pada suatu kerangka pikir tertentu. Kerangka pikir ini
biasanya didasarkan pada suatu teori, konsep, atau proposisi sebagai suatu
kerangka kerja. Konselor dapat memilih atau menggunakan kerangka kerja yang
konsisten dengan preferensi orientasi teoretisnya. Sebagai contoh, konselor
psikoanalisis mungkin memusatkan perhatian pada konflik-konflik atau
kecemasan yang tak terpecahkan; konselor Adlerian menyoroti kesalahan logika
klien; konselor AT memusatkan pada game dan ego state yang dimainkan klien;
konselor kognitif menekankan pada pikiran-pikiran irasional klien, dan konselor
perilaku memusatkan perhatian pada pola-pola perilaku maladaptif klien. Para
konselor Rogerian tradisional umumnya menolak penggunaaan interpretasi, tetapi
para konselor Rogerian saat ini menggunakan interpretasi dan seringkali
menekankan pada tema-tema seperti citra diri dan intimacy dalam interpretasinya
(Egan, 1991). Sedangkan para konselor Gestalt memandang interpretasi sebagai
suatu bentuk “kesalahan terapeutik” karena mengambil tanggung jawab klien
padahal klienlah yang seharusnya membuat insight tentang perilakunya sendiri.

Berikut ini adalah contoh-contoh tentang bagaimana konselor dari


berbagai orientasi teoretis menginterpretasikan pesan-pesan klien:

Klien:

“Semuanya tampak membosankan. Tak ada perubahan, tak menggairahkan.


Semua teman saya pada kabur. Seandainya saya jadi orang kaya pasti saya
bisa melakukan banyak hal membuat ini menjadi lebnih baik.”

Interpretasi dari konselor Adlerian:

“Sepertinya anda begitu yakin jika anda memiliki banyak teman dan banyak
uang maka Anda dapat membuat hidup Anda menjadi lebih baik.

62
Interpretasi dari konselor AT:

“Tampak jika Anda menganggap bahwa Anda dapat hidup senang hanya jika
Anda dapat melakukan banyak rekreasi dan banyak uang. Itu memperlihatkan
jika Anda sangat dikendalikan oleh ego anak.”

Interpretasi dari konselor kognitif:

“Sepertinya Anda memandang diri Anda sedang mengalami bencana hanya


karena Anda sekarang tak memiliki teman dan tak memiliki uang. Apa
dasarnya Anda bisa memiliki pemikiran seperti itu? Saya kira perasaan jemu
Anda bisa berubah jika Anda dapat membuat kesimpulan yang lebih logis
tentang tidak punya uang dan tidak punya teman.”

Interpretasi dari konselor perilaku:

“Tampak bahwa Anda tidak mengerti tentang bagaimana caranya memperoleh


teman dan memperoleh kesenangan tanpa harus punya teman. Saya pikir, jika
Anda dapat mengakui hal ini maka Anda akan termotivasi untuk mempelajari
perilaku yang lebih ditentukan oleh diri sendiri.”

Dari scontoh-contoh di atas, tampak bahwa konselor menggunakan


interpretasi untuk menunjukkan bahwa klien lebih tergantung pada hal-hal atau
orang lain daripada tergantung pada dirinya sendiri untuk membuat hidupnya
menjadi lebih bermakna. Dengan kata lain, konselor menggambarkan suatu
kemungkinan asosiasi atau hubungan antara pesan klien yang menyatakan
kejemuan dan pesan klien yang lain yang menyatakan seolah-seolah kejemuan
dapat diatasi melalui keberadaan orang lain. Konselor berharap jika penjelasan
tersebut dapat membuat klien menjadi lebih memahami dirinya bahwa ia dapat
menciptakan kesenangan dan kebermaknaan dalam hidupnya sendiri.

Di samping penguasaan orienetasi teoretis, keefektifan respon interpretasi


untuk membantu klien menghadapi kesulitannya banyak tergantung pada
kemampuan konselor untuk menggunakan respon-respon tersebut pada waktu
yang tepat. Terdapat beberapa aturan yang perlu diperhatikan agar dapat
menggunakan interpretasi secara efektif, yaitu:

63
1. Perhatikanlah dengan cermat kesiapan klien. Konselor harus yakin bahwa
klien telah siap untuk mengeksplorasi dirinya sebelum menggunakan
interpretasi. Pada umumnya respon interpretasi diberikan pada akhir sesi dan
bukan pada awal sesi, karena konselor harus terlebih dahulu memperoleh
banyak data sebagai dasar untuk membuat interpretasi dan klien membutuhkan
beberapa sesi pertemuan untuk mempersiapkan dirinya mengambil resiko
dalam proses bantuan. Seperti dikemukakan oleh Brammer & Shostrom
(1882), konselor tidak akan menggunakan interpretasi kecuali telah mencapai
kesiapan untuk merumuskan interpretasi bagi dirinya sendiri.

2. Interpretasi hendaknya didasarkan pada pesan-pesan aktual klien dan bukan


bias dan nilai-nilai konselor sendiri yang diproyeksikan kepada klien. Jangan
memproyeksikan pengalaman diri pada klien sebagai dasar untuk membuat
materi interpretasi. Bekerjalah atas dasar kerangka kerja yang dapat
dipertanggungjawabkan (menggunakan landasan ilmiah – teori).

3. Gunakan kata-kata atau frase yang tepat dalam respon interpretasi. Meskipun
telah terdapat beberapa bukti penelitian yang menyatakan bahwa tidak ada
perbedaan antara respon interpretasi yang dinyatakan dengan prase yang
absolut dan tentatif (Milne & Dowd, 1983), menurut Cormier & Cormier
(1985), banyak kasus dalam interpretasi perlu dinyatakan secara tentatif
dengan menggunakan frase seperti “barangkali,” “sepertinya,” “saya ingin
tahu apakah..,” “mungkin....,” atau “tampak seolah-olah...” Penggunakan frase
tentatif dapat membantu konselor untuk menghindari menempatkan dirinya
dalam posisi atas (one-up) yang cenderung menyebabkan klien
mengembangkan sikap resistant dan defensive terhadap interpretasi. Setelah
memberikan respon interpretasi, periksalah keefektifan respon tersebut dengan
cara menanyakanya kepada klien. Kembali ke respon klarifikasi senantiasa
dapat membantu untuk memastikan apakah respon interpretasi tersebut akurat
atau tidak.

64
D. Pemberian informasi

Pemberian informasi merupakan bagian penting dalam proses bantuan


psikologis. Seperti telah dipahami bahwa orang yang memiliki lebih banyak
informasi akan lebih mungkin dapat membuat pilihan dan keputusan yanhg tepat
dibandingkan orang yang kurang memiliki informasi. Pemberian informasi
didefinisikan sebagai suatu bentuk komunikasi verbal tentang pengetahuan, data,
fakta, pengalaman, peristiwa, alternatif, atau orang sehingga individu memperoleh
pengetahuan dan alternatif-alternatif dan kemudian dapat membuat pilihan dan
keputusan secara tepat (Cormier & Cormier, 1985). Menyampaikan informasi-
informasi tentang perubahan-perubahan psikologis dan sosial yang menyertai
suatu peristiwa khusus (misalnya suatu tahapan perkembangan) atau masalah
khusus (misalnya tidak lulus atau perceraian orang tua) dapat menjadi prosedur
tambahan untuk meningkatkan nilai terapeutik dalam suatu proses bantuan
psikologis. Meskipun demikian, masih terdapat banyak pihak yang menolak
pemberian informasi sebagai suatu bagian penting dari suatu proses perlakuan
(bantuan) meskipun telah banyak bukti yang menyatakan nilai terapeutik dari
pemberian informasi (Selby & Calhoun, 1980).

Materi informasi yang diberikan sesuai dengan kebutuhan individu yang


dibantu atau tujuan konseling yang akan dicapai. Sebagai contoh, seorang
mahasiswa yang menyatakan bahwa ia tidak tahu tentang bagaimana seharusnya
ia belajar, dapat diberikan informasi tentang cara-cara belajar yang efektif;
seorang mahasiswa yang mengalami kesulitan ekonomi dan menyatakan ingin
bekerja sambil kuliah, dapat diberikan informasi tentang pekerjaan-pekerjaan
yang ada dan cocok untuk dirinya. Jika ada seorang mahasiswi yang hamil di luar
nikah dan menyatakan ingin menggugurkan kandungannya karena hanya itulah
pilihannya, maka dapat diberikan informasi tentang hukum negara atau hukum
agama yang mengatur aborsi, dampak psikososial yang mungkin akan dialaminya
jika ia melaksanakan pilihannya, serta pilihan-pilihan lain yang mungkin bisa
diambil. Meskipun mahasiswa tersebut mungkin memutuskan untuk tetap

65
melakukan aborsi, ia telah memiliki pilihan-pilihan lain sebelum membuat
keputusan final.

Pemberian informasi juga dapat digunakan untuk tujuan pencegahan


problem. Sebagai contoh, memberikan informasi tentang jenis dan bahaya
narkoba dapat memiliki nilai terapeutik untuk mencegah anak didik dari
kemungkinan mendekati dan terlibat dalam penyalahgunaan narkoba. Pemberian
informasi tentang berbagai hal yang berhubungan dengan program perkuliahan
dapat menghindarkan mahasiswa dari kemungkinan mengalami hambatan kuliah.
Demikian pula pemberian informasi tentang proses dan tugas-tugas
perkembangan dapat menghindarkan mahasiswa dari mengalami hambatan dalam
pekerkembangan aspek-aspek dirinya. Program-program pemberian informasi
untuk tujuan preventif sering juga disebut sebagai pendidikan psikologis.

Pemberian informasi berbeda dengan nasihat (advise). Dalam pemberian


nasihat, pemberi nasihat selalu merekomendasikan atau mempreskripsikan suatu
cara pemecahan tertentu atau serangkaian tindakan-tindakan tertentu pada orang
yang diberi nasihat. Sebaliknya, dalam pemberian informasi konselor menyajikan
informasi-informasi yang relevan tentang isu-isu atau masalah klien, dan
keputusan tentang tindakan akhir ditentukan oleh klien sendiri. Berikut adalah
suatu contoh tentang perbedaan antara pemberia informasi dan pemberina nasihat.

Klien:

“Saya sungguh mengalami kesulitan untuk menolak permintaan anak saya,


untuk mengatakan tidak padanya, bahkan meskipun saya tahu ia meminta
sesuatu yang tidak layak bahkan membahayakan dirinya.”

Pemberian nasihat:

“Mengapa anda tidak mulai mencoba untuk menolak atau mengatakan tidak
ketika anak Anda mengajukan permintaan dan kemudian melihat apa yang
akan terjadi kemudian?”

Pemberian informasi:

66
“Saya kira terdapat dua hal yang perlu kita diskusikan yang membuat Anda
mengalami kesulitan dalam menangani situasi Anda tersebut. Pertama, kita
dapat mendiskusikan tentang apa yang mungkin akan terjadi jika Anda
mengatakan tidak. Kita juga akan memeriksa bagaimana keluarga Anda
menangani permintaan anda ketika Anda masih anak-anak dulu. Seringkali,
sebagai orang tua kita akan memperlakukan anak kita seperti halnya ortang tua
kita dulu memperlakukan kita, dan bahkan kita tidak menyadarinya.”

Pada contoh pertama konselor memberikan suatu rekomendasi tentang


suatu tindakan yang mungkin berhasil dan mungkin tidak berhasil. Jika berhasil,
klien akan mengembangkan suatu persepsi bahwa konselor adalah orang yang
sangat cakap dan mungkin memiliki beberapa bentuk pemecahan yang lain untuk
maslah yang lain. Jika gagal, klien menjadi tidak termotivasi dan bertanya-tanya
apakah konseling dapat membantunya memecahkan kesulitan yang sedang
dihadapinya. Sedangkan pemberian informasi menyajikan sesuatu yang dapat
dilakukan klien, dan bukan apa yang harus klien lakukan; dan disajikan apa yang
dapat dipertimbangkan oleh klien, bukan apa yang harus dipertimbangkan klien
(D’augelli et al., 1981).

Ada beberapa hal lain yang perlu diperhatikan agar dapat membuat respon
ini dengan efektif. Seperti dikemukakan oleh Lewis (1970), informasi hanyalah
salah satu alat dalam konseling dan bukan konseling itu sendiri. Pemberian
informasi dipandang tepat jika kebutuhan akan informasi berkaitan secara
langsung dengan masalah dan tujuan klien, dan informasi dimaksudkan untuk
membantu klien mencapai tujuan tersebut. Untuk dapat memberikan informasi
dengan efektif, menurut Cormier & Cormier (1985), perlu diperhatikan tiga hal
berikut: (1) kapan informasi perlu diberikan; (2) informasi apa yang harus atau
perlu diberikan; dan (3) bagaimana informasi akan diberikan.

67
Soal Latihan

I. Jawablah soal-soal berikut ini.


1. Apa yang dimaksud dengan respon tindakan?
2. Jelaskan penggunaan probe dalam konseling.
3. Bilamana diperlukan konfrontasi dalam konseling?
4. Bagaimana cara konselor memberikan interpretasi?
5. Jelaskan perbedaan antara pemberian nasihat dan pemberian informasi.

II. Kerjakan sesuai dengan petunjuk dalam soal latihan di bawah ini.
1. Berikut akan diberikan ilustrasi dari seorang klien dengan pernyataan atau
pesan-pesan yang dikemukakannya. Buatlah respon konselor yang
menunjukkan probe, konfrontasi, interpretasi dan pemberian informasi.
Klien: “Sebagian hidup saya telah hilang ketika suami saya meninggal.
Saya merasa tidak mampu untuk menjaga diri saya sendiri, apalagi
anak-anak. Dulu, suami saya yang selalu mengambil keputusan.
Sekarang saya tidak bisa tidur lama dan saya suka minum
minuman keras. Saya tidak bisa berpikir jernih. Berat badan saya
turun 8 kg. Saya tampak kurus. Siapa yang mau memperhatikan
saya saat ini?

2. Lakukan komunikasi dengan beberapa orang. Identifikasi dan catat respon-


respon yang menunjukkan probe, konfrontasi, interpretasi dan pemberian
informasi dan catat pula tanggapan atau reaksi yang menunjukkan apakah
respon-respon tersebut tepat atau tidak.

68
BAB V

TEKNIK STRUKTURING

(STRUCTURING)

69
BAB V
TEKNIK STRUKTURING

Terdapat bentuk keterampilan lain yang tidak dimasukkan ke dalam


kelompok keterampilan dasar konseling tetapi perannya sangat penting dalam
memfasilitasi proses konseling, yakni keterampilan untuk menerapkan teknik
structuring. Untuk menghindari terjadinya bias karena penerjemahan, dalam
bahasan selanjutnya akan digunakan teknik “strukturing” untuk menggantikan
“structuring”

A. Pengertian

Dalam proses konseling kata strukturing berasal dari kata “struktur” yang
artinya suatu pemahaman bersama antara konselor dan klien berkenaan
karakteristik, kondisi, dan parameter konseling. Sedangkan strukturing menunjuk
pada proses-proses interaksional antara konselor dan klien guna mencapai struktur.
Strukturing merupakan teknik atau alat yang digunakan oleh konselor untuk
membatasi aturan-aturan dan arahan dalam proses konseling yang di dalamnya
dapat meliputi beberapa kegiatan seperti: informing, proposing, suggesting,
recommending, negotiating, stipulating, contracting, dan compromising (Day &
Sparacio, 1980).

Strukturing berisikan pembatasan-pembatasan konselor berkenan dengan


sifat, kondisi, batas-batas, dan tujuan dari proses konseling (Brammer & Shostrom,
1982). Dalam nada yang sama, Jones (1990) menyatakan bahwa strukturing
merupakan suatu istilah yang digunakan untuk menggambarkan perilaku-perilaku
yang digunakan oleh konselor untuk membawa kliennya mengetahui peran
konselor dan klien pada setiap tahapan hubungan atau proses konseling. Menurut
Jones, strukturing dapat dikomunikasikan melalui pesan verbal dan non verbal.
Strukturing dapat diterapkan di sepanjang proses konseling, meskipun tahap-

70
tahap awal menjadi penting, khususnya untuk mendorong keterlibatan dan
tanggung jawab klien.

B. Rasional

Meskipun sebenarnya struktur merupakan aspek yang fundamental dalam


proses konseling, tapi seringkali dilupakan. Semua konseling pada dasarnya
merupakan proses yang terstruktur. Setiap proses konseling dapat digambarkan
melalui parameter, prosedur, kondisi, dan karakteristiknya. Penggunaan struktur
dalam suatu proses konseling sebenarnya hampir tak bisa dihindari, sebab jika
struktur tidak dikembangkan oleh konselor, maka tanpa disadari struktur dapat
berkembang sendiri.

Suatu struktur dapat dipersepsi secara sama atau berbeda oleh klien dan
konselor, yakni apakah struktur itu akan menghalangi atau dapat meningkatkan
proses dan hasil-hasil konseling. Alasan penggunaan struktur dalam konseling
didasarkan pada dasar pikiran berikut: (1) struktur dapat dikembangkan oleh
konselor, (2) konselor dan klien dapat membentuk persepsi yang sama tentang
struktur konseling, dan (3) struktur dapat digunakan untuk membantu pencapaian
tujuan-tujuan konseling dan bukan menghambatnya.

Day dan Sparacio (1980) mengemukakan beberapa rasional yang lebih


spesifik berkenaan dengan penggunaan struktur dalam konseling, antara lain:

1. Banyak interaksi yang bermakna akan terjadi sesuai dengan aturan yang telah
disepakati, diadopsi, atau dikembangkan oleh pihak-pihak yang terlibat dalam
interaksi. Oleh karena itu, semua bentuk hubungan (termasuk di dalamnya
hubungan suami-isteri, orang tua-anak, guru-siswa, dan konselor-klien) dapat
dibentuk dan dipertahankan melalui struktur. Meskipun demikian, hubungan
konselor-klien memiliki karakteristik yang berbeda dengan bentuk hubungan
yang lain dilihat dari dua hal, yaitu: tujuan (apa yang akan dicapai dari
hubungan, yakni perkembangan pribadi/pemecahan masalah klien), dan sifat
hubungan (relasi profesional).

71
2. Banyak ahli dalam bidang konseling (Lorion, 1974; Sue & Sue, 1977; Vontrss,
1971) menyatakan bahwa struktur merupakan suatu teknik yang diperlukan
karena dapat lebih mengefektifkan proses konseling, khususnya untuk klien-
klien tertentu.

C. Fungsi Struktur dalam Konseling

Day & Sparacio (1980) mengemukakan tiga fungsi penting dari


penggunaan struktur dalam proses konseling, yakni: fungsi fasilitatif, fungsi
terapeutik, dan fungsi protektif. Namun demikian, pada umumnya penggunan
struktur dalam suatu proses konseling lebih banyak menekankan pada fungsi
fasilitatif, yakni dimaksudkan untuk memfasilitasi munculnya rasa tanggung
jawab, komitmen, dan keterlibatan atau partisipasi aktif klien dalam proses
konseling. Dalam hal ini, Day & Sparacio (1980) mengemukakan tiga cara
strukturing dalam memfasilitasi proses konseling sebagai berikut:

1. Melalui struktur konselor dapat mengkomunikasikan kepada klien tentang


peran dan tanggung jawab dirinya dan diri klien dalam proses konseling serta
arah dari proses konseling yang akan dilaksanakan.

2. Struktur dapat menurunkan atau mengurangi jumlah, intensitas, atau dampak


dari kesalahan pengertian antara konselor dan klien. Kesalahpahaman antara
konselor dan klien berpotensi merusak hubungan konseling karena dapat
menimbulkan kebingungan (ambiguitas) dan konflik. Jika konflik tak
terpecahkan dan klien tidak memperoleh kejelasan tentang proses yang
diikutinya, maka pada gilirannya ia akan membentuk sikap resistan.

3. Struktur dapat digunakan oleh konselor sebagai alat untuk menangani


perbedaan-perbedaan, khususnya perbedaan dalam asumsi dan harapan
konselor dan klien. Konselor dapat menggunakan struktur untuk membuat
harapan dan prosedur perlakuan yang tidak jelas menjadi jelas, abstrak
menjadi konkrit, implisit menjadi eksplisit.

72
4. Struktur juga dapat digunakan oleh konselor untuk menangani munculnya
perasaan tidak pasti dan kecemasan klien berkenaan dengan hubungan atau
proses konseling yang akan dilaksanakan.

5. Adanya struktur dapat membuat proses konseling menjadi lebih efisien,


karena struktur memformulasikan komponen-komponen dan/atau variabel-
variabel prosedur perlakuan dirumuskan dengan jelas dan spesifik.

6. Struktur dapat membuat konselor merasa lebih comfortable dan percaya diri
(Pietrofesa, et al., 1978). Jika konselor telah mencurahkan pemikirannya untuk
menemukan pendekatan yang memadai untuk memecahkan masalah klien,
maka dengan adanya struktur konselor dapat segera memusatkan perhatian
pada klien dan masalahnya.

Ahli lain, Brammer & Shostrom (1982) menyatakan bahwa penggunaan


struktur dalam suatu proses konseling dapat memfasilitasi hubungan dan
pencapaian tujuan-tujuan konseling melalui beberapa cara. Pertama, adanya
struktur dalam hubungan konseling memungkinkan klien memperoleh kejelasan
tentang kerangka kerja atau orientasi program perlakuan/konseling. Klien dapat
mempersepsi bahwa proses konseling yang dijalaninya didasarkan pada suatu
rencana yang rasional, memiliki road map yang jelas (tidak ambigu). Klien dapat
mengetahui dimana dirinya berada, siapa yang mewawancarainya, dan mengapa ia
ada di sana (terlibat dengan konselor).

Kedua, struktur dalam konseling memiliki nilai untuk mencegah


timbulnya kesalahan konsepsi bahwa konseling merupakan suatu bentuk
pengobatan/penyembuhan yang besifat magis, cepat, simpel, pemberian nasehat,
menyenangkan, dan menjadi tanggung jawab konselor. Dengan memusatkan pada
peran konselor dan klien, dan harapan-harapan yang logis tentang proses
konseling, berbagai kesalahan konsepsi tersebut dapat dihindari. Bahkan, Carl
Rogers, yang terkenal sebagai ahli dari konseling humanistik (non direktif) juga
mengakui peran struktur dalam memfasilitasi hubungan. Namun, dalam bahasa
Rogers, struktur dapat diberikan untuk klien pada level non verbal, yakni: klien
akan menemukan ide (solusi/alternatif) jika ia terklibat aktif dalam proses. Hal ini

73
biasanya terjadi untuk klien-klien yang pandai/pintar tetapi sulit terjadi untuk
klien-klien dengan kemampuan rata-rata.

Ketiga, tidak adanya struktur dalam konseling berpotensi menimbulkan


rasa cemas pada diri klien sehingga dapat menggagalkan hubungan konseling.
Oleh karena itu, struktur perlu dibuat sebagai suatu alat untuk meningkatkan rasa
aman dalam hubungan dan bukan akhir dari hubungan itu sendiri. Namun, pada
fase-fase awal proses konseling struktur perlu dimasukkan dengan cara yang hati-
hati, karena ketika konselor memperkenalkan struktur ada kemungkinan dia
menyampaikan kesan (impresi) tentang bagaimana seharusnya klien merasa, alih-
alih mendorong mereka untuk merasa menurut caranya sendiri. Jika ini terjadi,
tentunya akan sangat membahayakan karena dapat merusak hubungan. Perlu
dipahami bahwa pada fase-fase awal klien seringkali masih melakukan coba-coba
dan menguji konselor.

D. Bentuk-Bentuk Struktur

Telah dikemukakan bahwa strukturing merupakan suatu teknik untuk


menetapkan batas-batas dan potensi hubungan. Dalam penerapannya, strukturing
dapat berkembang menjadi suatu kontrak, yakni suatu bentuk persetujuan antara
konselor dan klien tentang bagaimana dan kapan tujuan konseling dicapai.

1. Kontrak (contract)

Beberapa teori konseling menggunakan istilah “kontrak” (contract) untuk


menggambarkan persetujuan strukturing. Beberapa bentuk kontrak, khususnya
untuk klien-klien yang cenderung bersifat formal. Dalam kontrak ini berisikan
daftar tentang hak, tanggung jawab, bonus dan sanksi, bagaimana dan oleh siapa
kontrak dimonitor. Kontrak memiliki karakter spesifik, artinya di dalam kontrak
berisikan batasan-batasan (limitations) yang tegas sehingga klien dapat
mengetahui dengan jelas tentang apa yang diharapkan dari dirinya dalam proses
yang berlangsung. Kontrak juga memiliki sifat fisibel, artinya batasan-batasan

74
yang dinyatakan di dalam kontrak ada di dalam batas-batas kemampuan klien
untuk melaksanakannya. Kontrak akan memberikan efek yang positif jika klien
memperoleh deskripsi tentang perilaku khusus, seperti merokok atau makan
berlebihan. Nilai utama dari struktur yang berbentuk kontrak adalah bahwa
konselor akan dapat mengetahui kapan ia telah berhasil, yakni ketika klien
mencapai tujuan yang telah disepakati dalam kontrak.

2. Batasan waktu (time limits)

Batasan waktu barangkali merupakan sesuatu yang penting untuk


konseling yang dilakukan di sekolah-sekolah. Dalam hal ini, hanya ada sejumlah
waktu tertentu yang dapat diberikan untuk setiap sesi wawancara konseling. Oleh
karena itu, konselor perlu menjelaskan kepada klien tentang berapa jumlah waktu
yang mereka miliki setiap kali sesi wawancara. Brammer & Shostrom (1982)
menyatakan bahwa jika batasan waktu diberikan maka klien seringkali akan
berusaha mempercepat proses terapeutik agar dapat memanfaatkan waktu yang
tersedia. Misalnya, konselor mengatakan:

“Joni, kita punya waktu 45 menit untuk berbincang. Saya ingin agar kita dapat
mengggunakan waktu yang terbatas tersebut sebaik mungkin. Nah, apakah kamu
bisa mulai berceritera?”

Atau, jika situasinya adalah pada pertemuan pertama:

“Hallo Jon, saya Dewi, konselor yang akan berusaha membantumu. Kita punya
waktu 45 menit untuk berbincang-bincang tentang masalah yang sedang kamu
alami. OK, kamu bisa mulai sekarang?”

Aspek kedua dari batasan waktu berkenaan dengan waktu yang diperlukan
untuk menyelesaikan proses secara keseluruhan. Sebagai contoh, konselor
mengatakan kepada klien bahwa untuk mencapai tujuan yang telah disepakati,
diperlukan beberapa kali sesi (pertemuan) dan jumlah waktu tertentu.

75
Contoh:

“Jon, kita perlu waktu untuk mengumpulkan data tes dan data-data lain tentang
diri dan kehidupanmu. Setelah itu kita juga perlu melakukan pertemuan antara
satu hingga dua kali untuk membantumu menemukan beberapa alternatif untuk
memecahkan masalahmu. Kita juga perlu melakukan beberapa kali pertemuan
untuk mengevaluasi hasil-hasil dari pemecahan masalah tersebut. Secara
keseluruhan, mungkin kita akan melakukan pertemuan sebanyak delapan hingga
sepuluh kali dan setiap pertemuan itu kita akan berdiskusi selama 60 hingga 90
menit. Nah, apakah kamu mengerti?”

Dalam menangani malah-masalah emosional, menurut Brammer &


Shostrom (1982), konselor mungkin merasa bahwa mereka tidak ingin terikat
dengan hubungan terapeutik yang terlalu panjang. Dengan menggunakan
strukturing maka konselor dapat menghindari interaksi yang berlebihan, buang-
buang waktu atau tidak efisien, dan bertele-tele.

3. Batasan tindakan (action limits)

Konselor tidak perlu membatasi ekspresi verbal klien, betapapun ekspresi


tersebut tidak fair atau bahkan menyinggung perasaan konselor. Namun, konselor
perlu membuat batasan-bataan ekspresi perasaan klien dalam bentuk tindakan.
Khususnya untuk klien anak-anak, misalnya jika terjadi klien frustrasi dan
menjadi tidak senang pada konselor, mereka tidak diijinkan untuk membanting
pintu, atau merusak perabotan. Klien boleh mengatakan apa saja sebagai
ungkapan ketidakpuasannya, tetapi ia tidak boleh menyerang secara fisik pada
konselor. Jika itu terjadi, klien bertanggung jawab untuk menggantinya. Di
samping itu, klien mungkin akan dilanda perasaan bersalah dan menjadi cemas.
Perasaan cemas tersebut akan membuat klien menarik diri dan ini dapat
menggagalkan proses bantuan.

76
Contoh:

“Kita akan berbicara banyak hal tentang masalah yang sedang kamu alami serta
bagaimana memecahkannya. Dalam proses ini mungkin pada suatu saat nanti
kamu merasa tidak puas, kecewa, dan frustrasi. Jika itu terjadi, kamu boleh
mengatakan apa saja untuk mengungkapkan ketidakpuasanmu itu tetapi jangan
merusak benda-benda yang ada di ruang ini dan di tempat lain. Kamu juga tidak
boleh menyerang atau melukai saya secara fisik. Jika itu terjadi, di samping
hubungan kita akan menjadi rusak, kamu juga harus bertanggung jawab untuk
menggantinya...”

4. Batasan peran (role limits)

Dalam berbagai setting konseling, konselor mungkin memiliki peran


ganda. Sebagai contoh, dalam setting sekolah, konselor mungkin memilki peran
sebagai konselor (seorang pendengar yang penuh respek) dan sebagai seorang
guru (orang yang memiliki otoritas pada kehidupan klien di sekolah). Jika
kebetulan konselor memang juga seorang guru, peran ini harus distruktur oleh
konselor dan dikomunikasikan kepada klien (siswa) ketika berada di ruang
konseling. Struktur peran tidak hanya dimaksudkan untuk membatasi siapa diri
konselor pada saat ini (di ruang konseling tetapi juga apa yang harus diperankan
oleh konselor (dan oleh klien) dalam proses yang akan berlangsung.

Contoh:

“Baik Jon, sebelum kita mulai saya ingin memperjelas peran saya dalam
hubungan kita saat ini agar kamu tidak canggung. Kamu mungkin melihat saya
memakai dua baju di sekolah ini, sebagai seorang guru dan sebagai seorang
konselor. Ketika di kelas, saya memakai baju guru yang mungkin harus menilai
aktivitasmu dalam belajar. Di sini, sekarang ini, saya mengenakan baju konselor
dan saya akan menerimamu secara pribadi. Artinya, dalam hubungan kita
sekarang ini, kamu boleh berbicara apa saja secara bebas dan tidak perlu takut
akan mendapat sanksi dari saya. Dalam hubungan ini, peran saya adalah
mendengarkan apa saja yang akan kamu katakan, berusaha memahami apa

77
sebenarnya yang menjadi masalahmu, dan kemudian berusaha membantumu
memecahkan masalah tersebut. Saya dapat membantumu hanya jika kamu mau
membicarakan secara terbuka dan jujur tentang apa yang menjadi masalahmu.
Saya juga menjamin bahwa apa saja yang kamu bicarakan dengan saya akan
dijaga kerahasiaannya. Nah, apakah kamu mengerti apa yang saya katakan?”

5. Batasan proses atau prosedur (procedural or process limits)

Untuk keberhasilan konseling, klien harus menerima atau mengikuti


proses konseling dengan sukarela, khususnya menerima tanggung jawab untuk
melaksanakan peran dalam setiap tahapan proses konseling yang akan berjalan.
Proses atau prosedur ini seharusnya konsisten dengan strategi intrvensi yang akan
digunakan oleh konselor.

Setiap strategi intervensi memiliki proses atau langkah-langkah prosedural


yang berbeda. Penerapan strukturing dalam strategi dapat berisikan pemberian
informasi atau penjelasan tentang masalah klien beserta faktor-faktor yang
membentuk atau mempertahankannya, dan program perlakuan yang akan
diterapkan dengan deskripsi langkah-langkah proseduralnya.

Contoh:

“Jon, masalahmu yang pertama yang ingin kita pecahkan adalah kamu mengalami
kesulitan untuk menyatakan perasaanmu ketika kamu merasa tersinggung oleh
ucapan teman-temanmu. Kamu ingin memiliki kemampuan untuk
mengungkapkan perasaanmu itu. OK, saya akan membantumu dengan
menggunakan suatu strategi yang disebut “latihan asertif.” Melalui strategi ini
saya akan membantumu belajar cara-cara yang efektif untuk menyatakan
perasaan-perasanmu dan pikiranmu pada orang lain. Mula-mula saya akan
menjelaskan sehingga kamu dapat memahami dan dapat membedakan antara
prilaku asertif dan tidak asertif. Kemudian saya akan memodelkan bentuk-bentuk
perilaku asertif verbal maupun non verbal dan memintamu untuk menirukannya
hingga benar, lalu melatihmu tentang keterampilan tersebut hingga kamu dapat
benar-benar mempraktekkannya baik di sini maupun di hadapan teman-temanmu

78
atau dimanapun ketika kamu ingin merespon ucapan-ucapan orang lain yang
menyinggung perasaanmu. Nah, apakah kamu mengerti?”

Soal dan Latihan

I. Jawablah soal-soal berikut ini.


5. Apa yang dimaksud dengan strukturing?
6. Mengapa struktur diperlukan dalam konseling?
7. Seabutkan bentuk-bentuk struktur yang dapat dikemukakan konselor.
8. Jelaskan struktur batasan tindakan yang perlu disampaikan oleh konselor.

II. Kerjakan sesuai dengan petunjuk dalam soal latihan berikut ini.

1. Tuliskan beberapa bentuk struktur (dalam bentuk batasan waktu, batasan,


tujuan, batasan peran, batasan tindakan, dan batasan proses/prosedur)
masing-masing satu buah dan kemudian hafalkan!

2. Bekerjalah dengan satu orang teman untuk mengkomunikasikan struktur


yang telah dibuat pada nomor 1 di atas. Ulangi beberapa kali hingga dapat
disampaikan dengan lancar dan terdengar natural.

3. Bekerjalah bertiga, dengan berbagi peran sebagai konselor, klien dan


pengamat. Lakukan secara bergantian.

79

Anda mungkin juga menyukai