Anda di halaman 1dari 33

PRESENTASI KASUS

EPILEPSI SEKUNDER

Disusun Untuk Memenuhi Syarat Kelulusan Kepaniteraan Klinik Bagian Ilmu


Penyakit Saraf di RSUD Kota Salatiga

Sea Nabilah Wijayanti


NIPP. 1913020043

Pembimbing:
dr. Dony Ardianto., Sp.S

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT SARAF


PENDIDIKAN PROFESI DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PURWOKERTO
RSUD KOTA SALATIGA
2019

1
HALAMAN PENGESAHAN

Telah disetujui dan disahkan presentasi kasus dengan judul


EPILEPSI SEKUNDER

Disusun Oleh:
Sea Nabilah Wijayanti
1913020043

Telah dipresentasikan
Hari/Tanggal:

Disahkan oleh:
Dosen Pembimbing,

dr. Dony Ardianto., Sp.S

2
BAB I

LAPORAN KASUS

A. Identitas Pasien
Nama : Ny.JS
Usia : 67 tahun
Alamat : Jl.Umbulrejo RT 02 RW 02 Gendongan, Tingkir, Salatiga
Agama : Kristen Protestan
Masuk RS : 02-01-2020

B. Anamnesis
1. Keluhan Utama
Kejang 3 kali SMRS
2. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke IGD RSUD Salatiga dengan keluhan kejang
sebanyak 3 kali SMRS dan 1 kali di IGD RSUD Salatiga. Selama kejang
dan setelah kejang pasien tidak sadarkan diri. Pasien mengatakan merasa
seperti bingung setelah sadar. Sesaat sebelum kejang pasien mengatakan
selalu merasakan pusing berputar. Kejang berulang dialami pasien sejak
1.5 tahun terakhir dan pasien rutin kontrol ke poli saraf. Pada saat kejang
tangan dan kaki kelojotan, mulut mengecap. Pagi hari SMRS pasien
terjatuh di halaman dan kepalanya terbentur. Setelah terjatuh pasien tidak
sadarkan diri sekitar 20 menit dan merasa nyeri kepala setelah tersadar.
Mual dan muntah setelah terjatuh di sangkal.
3. Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien memiliki riwayat terkena stroke pada tahun 2014 dan saat
ini rutin kontrol ke poli saraf. Pasien menderita hipertensi dan rutin
kontrol. Riwayat kejang sebelum stroke disangkal. Riwayat Diabetes
melitus, asma dan jantung disangkal.
4. Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak ada yang mengeluh hal serupa di keluarga pasien. Riwayat
penyakit seperti asma, hipertensi, penyakit jantung, stroke, diabetes pada
keluarga pasien disangkal.

3
5. Riwayat Personal Sosial
Ny.SR saat ini sehari hari tidak bekerja. Pasien tidak merokok
maupun minum alkohol. Tidak ada makanan atau minuman tertentu yang
sering pasien konsumsi sebelum sakit.

C. Pemeriksaan Fisik
1. Head to Toe

Kesan Umum Baik


Kesadaran Compos Mentis (GCS E4V5M6)
IGD
Tekanan Darah : 160/100 mmhg
Vital Signs /
Nadi : 80 x/menit
Tanda-Tanda
Respirasi : 20x/menit
Vital
Suhu :37.10C
SpO2: 96%
Kepala dan Leher
Inspeksi Conjungtiva anemis (x/-), Sklera Ikterik (x/-), deviasi
trakea (-)
Palpasi Pembesaran Limfonodi (-), Trakea teraba di garis tengah,
JVP 5±3 (tidak meningkat)
Pulmo
Inspeksi Bentuk dada simetris, tidak terdapat jejas dan kelainan
bentuk
Palpasi Tidak ada ketertinggalan gerak dan vokal fremitus tidak
ada peningkatan maupun penurunan
Perkusi Sonor
Auskultasi Suara vesikular dasar (SDV) : +/+
Suara ronkhi: -/-
Wheezing : -/-
Cor
Inspeksi Pulsasi tidak terlihat
Palpasi Teraba ictus cordis di SIC V linea midclavicularis sinistra
Perkusi Batas kanan atas : SIC III linea sternalis dextra
Batas kiri atas : SIC III linea sternalis sinistra
Batas kanan bawah : SIC V linea sternalis dextra
Batas kiri bawah : SIC V linea midclavicularis sinistra
Auskultasi Suara S1 dan S2 tidak terdengar suara murmur (-) irama
reguler
Abdomen
Inspeksi Tidak ada kelainan bentuk abdomen
Auskultasi Bising usus (+)

4
Palpasi Defens muscular (-), nyeri tekan epigastrik (-)
Perkusi Timpani pada semua kuadran abdomen
Ekstremitas
Inspeksi Edema (-) Hiperemis (-)
Palpasi Pitting edema (-), akral pada kaki teraba hangat, CRT < 2

Kekuatan Motorik
555/555 , 555/555

2. Status Neurologis
a. Pemeriksaan Saraf Kranialis
Pemeriksaan Saraf Kranialis Dextra Sinistra
Olfaktorius (I)
 Subjektif Normal Normal
 Objektif Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Optikus (II)
 Daya Penglihatan (Subjektif) (+) (+)
 Lapangan pandang (Subjektif) (+) (+)
 Melihat warna (+) (+)
Okulomotorius (III)
 Pergerakan mata kearah superior,
medial, inferior, torsi inferior (+) (+)
 Strabismus (-) (-)
 Nystagmus (-) (-)
 Exoptalmus (-) (-)
 Refleks pupil terhadap sinar (+) (+)
 Pupil besarnya 3 mm 3 mm
Troklearis (IV)
 Pergerakan mata (ke bawah-keluar) (+) (+)
Trigeminus (V)
 Membuka mulut (+)
 Mengunyah (+)
 Menggigit (+)
 Sensibilitas muka (+)
Abdusens (VI)
 Pergerakan mata ke lateral (+) (+)
Fasialis (VII)
 Mengerutkan dahi (+) (+)
 Menutup mata (+) (+)
 Memperlihatkan gigi (+) (+)
 Sudut bibir (+) (+)
Vestibulokoklearis (VIII)
 Fungsi pendengaran (objektif : arloji (+) (+)
dan suara tangan)

5
 Tes rinne, weber, swabach Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Glossofaringeus (IX)
 Refleks muntah Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Vagus (X)
 Bicara (+)
 Menelan (+)
Assesorius (XI)
 Mengangkat bahu Sulit dinilai
 Memalingkan kepala (+)
Hipoglossus (XII)
 Pergerakan lidah (+)
 Artikulasi (+)

b. Reflek Fisiologis
Reflek Dextra Sinistra
Bisep (N) (N)
Trisep (N) (N)
Brachioradialis (N) (N)
Ulnaris (N) (N)
Radialis (N) (N)
Patella (N) (N)
Achilles (N) (N)
Dinding perut (N)

c. Reflek Patologis
Reflek Dextra Sinistra
Hoffman Tromer (-) (-)
Babinski (-) (-)
Chaddock (-) (-)
Schaefer (-) (-)
Oppenheim (-) (-)
Rossolimo (-) (-)
Mendel-Bechterew (-) (-)

d. Gerakan Involunter
Gerakan Dextra Sinistra
Tremor (-) (-)
Chorea (-) (-)
Atetosis (-) (-)
Mioklonik (-) (-)
Tics (-) (-)
e. Meningeal sign
Kernig Sign Negatif
Kaku Kuduk Negatif
Brudzinski 1 Negatif

6
Brudzinski 2 Negatif
Brudzinski 3 Negatif
Brudzinski 4 Negatif

Pemeriksaan Penunjang

1. Pemeriksaan Laboratorium
Hasil pemeriksaan laboratorium Ny.JS pada 3 Januari 2020
Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan Satuan
Hematologi
Leukosit 8.73 4.5 – 11 ribu/ul
Eritrosit 4.49 3.8 – 5.8 juta/ul
Hemoglobin 12.9 11.5 – 16.5 gr/dL
Hematokrit 38.3 40 – 54 vol%
MCV 85.2 85 – 100 Fl
MCH 28.7 28 – 31 Pg
MCHC 33.7 30 – 35 gr/dL
Trombosit 256 150 – 450 ribu/ul

Hitung Jenis
Eosinophil 0.9 1–6 %
Basophil 0.5 0–1 %
Limfosit 12.0 20 – 45 %
Monosit 1.9 2–8 %
Neutrofil 84.7 40 – 75 %
Kimia
GDP 115 < 100 mg/dL
Ureum 44 10 – 50 mg/dL
Creatinin 1.4 1,0 – 1,3 mg/dL
SGOT 16 < 37 U/L
SGPT 13 < 42 U/L
2. CT-Scan Kepala

a. Kamis, 02 Januari 2020 (CT-scan kepala)

Hasil:

7
- Tampak soft tissue swelling extracranial region fascialis dextra
dan occipitalis sinistra
- Sistema tulang yang tervisualisasi tampak intact
- Gyri, sulci dan fissura sylvii tak tampak prominent
- Batas white matter dan grey matter relatif tegas
- Midline erdeviasi ke sinistra 10mm
- Tampak lesi hipodens 4-7 HU pada cortex lobus
parietooccipitalis dextra dan lesi hipodens (13-18 HU) di corona
radiate sinistra dan crus anterior et posterior capsula interna
dextra et sinistra
- Tampak lesi hiperdens (46-60 HU) di peritentorium dextra,
perifalk posterior dan region occipitalis dextra
- Sistema ventrikel dan sistema relatif melebar
- Air cellulae mastoidea dan sinus paranasal normodens
- Tak tampak deviasi struktur mediana
- Tampak lesi hipodens (15-23 HU) yang mengisi sinus maxillaris

Kesan:
- Gambaran SAH di peritentorium dextra, perifalk posterior dan
region occipitalis dextra.
- Gambaran cortical infark kronik di lobus parietooccipitalis
dextra dd/ encephalomalacia dan multiple infark pada corona
radiata sinistra dan crus anterior et posterior capsula interna
dextra et sinistra
- Tak tampak fracture ossa cranialis
- Tak tampak gambaran brain edema maupun herniasi subfalcin
dan transtentorial
- Gambaran sinusitis maxilaris dextra, tak tampak gambaran
hematosinus

D. Assessment
1. Diagnosis klinis : Post traumatic seizure
2. Diagnosis topis : lobus parietooccipitalis dextra, corona radiata,

8
capsula interna dextra et sinistra
3. Diagnosis Kerja : Epilepsi sekunder dengan SAH

E. Planning
IGD (2 Januari 2020)
 Infus Asering 20 tpm + drip NB
 Inj Phenitoin 100mg
 P.O lanjut :
Piracetam 2x1 tab
Ketoprofen 2x1 tab
Flunarizin 2x1 tab
Candesartan 1x1
 Cek lab darah lengkap, SGOT, SGPT, Ur, Cr
Follow Up

Tanggal Subyektif Obyektif Rencana Terapi


03/01/2020 Kejang 1 kali pagi GCS E4V1 M6 Inf Manitol 6x100cc
tadi, mual (-), muntah TD 150/100 mmHg Inj. Citicolin
(-), setelah kejang N 96 x/menit 2x500mg
tertidur. RR 20 x/menit Inj piracetam 4x3gr
Pusing sedikit (+) SpO2 98% Depacot 2x250mg
Lemas (-) T 36.50C CT-scan polos
Komunikasi baik KM (5 / 5 ), (5 / 5) Cek profil lipid
Nafsu makan baik RP (-/-) ,(-/-) Cek GD I/II
RF (+/+), (+/+)
04 /01/2020 Sulit tidur (+) GCS E4V1M6 BLPL
Nyeri kepala membaik TD 140/90 mmHg
Kejang (-) N 80 x/menit
Mual (-) RR 20 x/menit
Muntah (-) SpO2 96%
Nafsu makan baik T 36.60C
KM (5 / 5 ), (5 / 5)
RP (-/-) ,(-/-)
RF (+/+), (+/+)

F. Prognosis

Ad Vitam : Bonam
Ad Sanationam : Dubia ad malam
Ad Fungsionam : Dubia ad malam

9
10
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Anatomi dan Fisiologi


Otak terletak dalam rongga kranium (tengkorak), terdiri atas semua
bagian Sistem Saraf Pusat (SSP) diatas korda spinalis. Secara anatomis terdiri
dari cerebrum (otak besar), cerebellum (otak kecil), brainstem ( batang otak)
dan limbic system (sistem limbik). Cerebrum merupakan bagian terbesar dan
teratas dari otak yang terdiri dari dua bagian, yaitu hemisfer kiri dan hemisfer
kanan. Otak besar terdiri atas corteks (permukaan otak), ganglia basalis, dan
sistem limbik. Kedua hemisfer kiri dan kanan dihubungkan oleh serabut padat
yang disebut dengan corpus calosum. Setiap hemisfer dibagi atas 4 lobus,
yaitu lobus frontalis (daerah dahi), lobus oksipitialis (terletak paling
belakang), lobus parietalis dan lobus temporalis.

Cerebellum berada pada bagian bawah dan belakang tengkorak dan


melekat pada otak tengah. Hipotalamus mempunyai beberapa pusat (nuklei)
dan Thalamus suatu struktur kompleks tempat integrasi sinyal sensori dan
memancarkannya ke struktur otak diatasnya, terutama ke korteks serebri.
Brainsteam (batang otak) terletak diujung atas korda spinalis, berhubungan
banyak dengan korda spinalis. Batang otak terdiri atas diensefalon (bagian
batang otak paling atas terdapat diantara cerebellum dengan mesencephalon,

11
mesencephalon (otak tengah), pons varoli (terletak di depan cerebellum
diantara otak tengah dan medulla oblongata), dan medulla oblongata (bagian
dari batang otak yang paling bawah yang menghubungkan pons varoli dengan
medula spinalis. Sistem limbik terletak di bagian tengah otak yang bekerja
dalam kaitan ekspresi perilaku instinktif, emosi dan hasrat-hasrat dan
merupakan bagian otak yang paling sensitif terhadap serangan (Baehr &
Frotscher, 2014).

Rata-rata berat otak manusia sekitar 1400 g, sekitar 2 % dari berat


badan total. Volume glialsekitar 700-900 ml dan neuron-neuron 500-700 ml.
Volume cairan ekstraselular (ECF) sangat sedikit. Sebagai perkiraan, glia dan
neuron mengisi 70 % kandung intrakranial, dimana masing masing 10%
untuk CSS, darah dan cairan ekstraselular. Perubahan otak sendiri mungkin
bertanggung-jawab dalam peninggian kandung intrakranial. Contoh paling
jelas adalah pada tumor otak seperti glioma. Disamping itu, penambahan
volume otak sering secara dangkal dikatakan sebagai edema otak dimana
maksudnya adalah pembengkakan otak sederhana. Penggunaan kata edema
otak harus dibatasi pada penambahan kandung air otak. Otak mengandung
kandung air yang tinggi: 70 % pada substansi putih dan 80% pada substansi
kelabu yang lebih seluler. Kebanyakan air otak adalah (80%) intraseluler.
Volume normal cairan ekstraseluler kurang dari 75 ml, namun bertambah

12
hingga mencapai 10% volume intra- kranial. Rongga ekstraseluler
berhubungan dengan CSS via ependima. Air otak berasal dari darah dan
akhirnya kembali kesana juga. Relatif sedikit air otak yang berjalan melalui
jalur lain, yaitu melalui CSS.

B. Sirkulasi Cairan Serebrospinal


1. Produksi
CSS diproduksi terutama oleh pleksus khoroid ventrikel lateral, tiga dan
empat, dimana ventrikel lateral merupakan bagian terpenting. 70 % CSS
diproduksi disini dan 30 % sisanya berasal dari struktur ekstrakhoroidal
seperti ependima dan parenkhima otak. Pleksus khoroid dibentuk oleh
invaginasi piamatervaskuler (tela khoroidea) yang membawa lapisan
epitel pembungkus dari lapis ependima ventrikel. Pleksus khoroid
mempunyai permukaan yang berupa lipatan-lipatan halus hingga kedua
ventrikel lateral memiliki permukaan 40 m2. Mereka terdiri dari jaringan
ikat pada pusatnya yang mengandung beberapa jaringan kapiler yang luas
dengan lapisan epitel permukaan sel kuboid atau kolumner pendek.
Produksi CSS merupakan proses yang kompleks. Beberapa komponen
plasma darah melewati dinding kapiler dan epitel khoroid dengan susah
payah, lainnya masuk CSS secara difusi dan lainnya melalui bantuan
aktifitas metabolik pada sel epitel khoroid. Transport aktif ion ion tertentu
(terutama ion sodium) melalui sel epitel, diikuti gerakan pasif air untuk
mempertahankan keseimbangan osmotik antara CSS dan plasma darah.
2. Sirkulasi Ventrikuler
Setelah dibentuk oleh pleksus khoroid, cairan bersirkulasi pada sistem
ventrikuler, dari ventrikel lateral melalui foramen Monro (foramen
interventrikuler) keventrikel tiga, akuaduktus dan ventrikel keempat. Dari
sini keluar melalui foramina diatap ventrikel keempat kesisterna magna.
3. Sirkulasi Subarakhnoid
Sebagian cairan menuju rongga subarakhnoid spinal, namun kebanyakan
melalui pintu tentorial (pada sisterna ambien) sekeliling otak tengah untuk
mencapai rongga subarakhnoid diatas konveksitas hemisfer serebral.

13
4. Absorpsi
Cairan selanjutnya diabsorpsi kesistem vena melalui villi arakhnoid. Villi
merupakan katup yang sensitif tekanan hingga aliran padanya adalah satu
arah. Bila tekanan CSS melebihi tekanan vena, katup terbuka, sedang bila
lebih rendah dari tekanan vena maka katup akan menutup sehingga
mencegah berbaliknya darah dari sinus kerongga subarakhnoid. Secara
keseluruhan, kebanyakan CSS dibentuk di ventrikel lateral dan ventrikel
keempat dan kebanyakan diabsorpsi di sinus sagittal. Dalam keadaan
normal, terdapat keseimbangan antara pembentukan dan absorpsi CSS.
Derajat absorpsi adalah tergantung tekanan dan bertambah bila tekanan
CSS meningkat. Sebagai tambahan, tahanan terhadap aliran tampaknya
berkurang pada tekanan CSS yang lebih tinggi dibanding tekanan normal.
Ini membantu untuk mengkompensasi peninggian TIK dengan
meningkatkan aliran dan absorpsi CSS. Hampir dapat dipastikan bahwa
jalur absorptif adalah bagian dari villi arakhnoid, seperti juga lapisan
ependima ventrikel dan selaput saraf spinal; dan kepentingan relatifnya
mungkin bervariasi tergantung pada TIK dan patensi dari jalur CSS secara
keseluruhan. Sebagai tambahan atas jalur utama aliran CSS, terdapat aliran
CSS melalui otak, mirip dengan cara cairan limfe. Cara ini kompleks dan
mungkin berperan dalam pergerakan dan pembuangan cairan edem
serebral pada keadaan patologis.

C. Epilepsi
1. Definisi
Epilepsi didefinisikan sebagai suatu keadaan yang ditandai oleh
bangkitan (seizure) berulang sebagai akibat dari adanya gangguan fungsi
otak secara intermiten, yang disebabkan oleh lepas muatan listrik
abnormal dan berlebihan di neuron-neuron secara paroksismal, dan
disebabkan oleh berbagai etiologi.1 Epilepsi menurut World Health
Organization (WHO) merupakan gangguan kronik otak yang
menunjukkan gelaja-gejala berupa serangan mendadak dan berulang-ulang
yang terjadi akibat adanya ketidaknormalan kerja sementara sebagian atau

14
seluruh jaringan otak karena cetusan listrik pada sel saraf yang berlebihan
sehingga dapat mengakibatkan kelainan motorik, sensorik atau psikis
secara tiba-tiba dan sesaat.
Bangkitan epilepsi (epileptic seizure) adalah manifestasi klinis dari
bangkitan serupa (streotipik), berlangsung secara mendadak dan sementara
dengan atau tanpa perubahan kesadaran, disebabkan oleh hiperaktivitas
listrik sekelompok sel saraf di otak, bukan disebabkan oleh suatu penyakit
otak aku (unprovoked).1
Sindrom epilepsi adalah sekumpulan gejala dan tanda klinik
epilepsi yang terjadi secara bersama-sama yang berhubungan dengan
etiologi, umur, awitan (onset), jenis bangkitan, factor pencetus, dan
kronisitas.1
2. Epidemiologi
Epilepsi merupakan salah satu kelainan otak yang serius dan umum
terjadi, sekitar lima puluh juta orang di seluruh dunia mengalami kelainan
ini. Angka epilepsi lebih tinggi di negara berkembang. Insiden epilepsi di
negara maju ditemukan sekitar 50/100,000 sementara di negara
berkembang mencapai 100/100,000. Penderita laki-laki umumnya sedikit
lebih banyak dibandingkan dengan perempuan. Insiden tertinggi terjadi
pada uisa lanjut di atas 65 tahun (81/100.000 kasus).2
3. Klasifikasi
Dalam mendiagnosis penyakit epilepsi perlu adanya suatu
klasifikasi mengingat tatalaksana tiap bangkitan berbeda. Klasifikasi yang
digunakan adalah klasifikasi yang telah ditetapkan oleh International
League Againts Epilepsy (ILAE) yang terdiri dari dua jenis, yaitu
klasifikasi untuk jenis bangkitan epilepsi dan klasifikasi untuk sindrom
epilepsi.1 Berikut ini adalah klasifikasi untuk jenis bangkitan epilepsi.

Tabel 1. ILAE Classification of Epileptic Seizures


I. Partial (focal) seizures / Bangkitan parsial
Bangkitan parsial sederhana
a Motorik
b Sensorik
c Otonom
d Psikis

15
Bangkitan parsial kompleks
a Bangkitan parsial sederhana yang diikuti dengan gangguan
kesadaran
b Bangkitan parsial sederhana yang disertai gangguan kesadaran saat
awal bangkitan
Bangkitan parsial yang menjadi umum sekunder
a Parsial sederhana yang menjadi umum tonik klonik
b Parsial kompleks menjadi umum tonik klonik
c Parsial sederhana menjadi parsial kompleks kemudian menjadi
umum tonik
II. Generalized seizures of nonfocal origin (convulsive or nonconvulsive)
a Lena (absence)
b Mioklonik
c Klonik
d Tonik
e Tonik-klonik
f Atonik
g Klonik
h Tonik
i Tonik-klonik
j Atonik
III. Unclassified epileptic seizures3

Dalam mendiagnosis pasien epilepsi, klasifikasi jenis epilepsi pada


seorang pasien justru lebih penting daripada mendeskripsikan kejangnya
(kejang parsial atau kejang general), karena informasi klinis pada pasien
ternyata juga memiliki makna klinis yang relevan pada penyakit
epilepsinya. Seperti pada anamnesis, terdapatnya riwayat trauma kepala,
atau riwayat keluarga yang pernah mengalami kejang), kelainan pada
pemeriksaan neurologis, serta hasil electroencephalography (EEG) dan
laboratorium.3
ILAE kemudian mengklasifikasikan kembali epilepsi menurut
penyebabnya (idiopatik, simptomatik, ataukah kriptogenik). Tiap
penyebab kemudian dikelompokkan kembali menurut usia pasien serta
kemungkinan anatomi otak yang terkena. Klasifikasi sindrom epilepsi ini
kurang berhasil, bahkan menjadi kontroversial daripada klasifikasi
serangan. Hal ini dikarenakan pembagian sindrom epilepsi tersebut masih
empiris. Pengelompokkan hanya berdasarkan data klinis dan hasil EEG
yang mencakup informasi anatomi, patologik atau etilogi spesifik lainnya.
Namun klasifikasi ini berguna untuk beberapa sindrom yang mudah

16
dikenali seperti infantile spasms dan benign partial childhood with
central-midtemporal spikes, dimana keduanya memiliki tatalaksana serta
prognosis yang berbeda.3
Selain itu terdapat beberapa sindrom epilepsi yang tergolong
idiopatik namun memiliki kesamaan gejala klinis dengan golongan
kriptogenik. Pada akhirnya penggolongan sindrom epilepsi ini tetap
penting, dalam usaha tatalaksana pasien epilesi secara tepat dan maksimal.
Tabel. 2 Modified Classification of Epileptic Syndromes

I. Idiopathic epilepsy syndromes (focal or generalized)


a. Benign neonatal convulsions
      1. Familial
      2. Nonfamilial
b. Benign childhood epilepsy
      1. With central midtemporal spikes
      2. With occipital spikes
c. Childhood/juvenile absence epilepsy
d. Juvenile myoclonic epilepsy (including generalized tonic-clonic seizures
on awakening)
e. Idiopathic epilepsy, otherwise unspecified

II. Symptomatic epilepsy syndromes (focal or generalized)


a. West syndrome (infantile spasms)
b. Lennox-Gastaut syndrome
c. Early myoclonic encephalopathy
d. Epilepsia partialis continua
      1. Rasmussen syndrome (encephalitic form)
      2. Restricted form
e. Acquired epileptic aphasia (Landau-Kleffner syndrome)
f. Temporal lobe epilepsy
g. Frontal lobe epilepsy
h. Post-traumatic epilepsy
i. Other symptomatic epilepsy, focal or generalized, not specifie

III. Other epilepsy syndromes of uncertain or mixed classification


a. Neonatal seizures
b. Febrile seizure
c. Reflex epilepsy
d. Other unspecified

4. Etiologi

17
Epilepsi dibagi menjadi tiga golongan, yaitu idiopatik, kriptogenik
dan simptomatik.1
a. Idiopatik  Tidak terdapat lesi structural di otak atau deficit
neurologis. Diperkirakan mempunyai predisposisi genetik dan
umumnya berhubungan dengan usia.
b. Kriptogenik  Dianggap simtomatis tetapi penyebabnya belum
diketahui. Termasuk di sini adalah sindrom West, sindrom Lennox-
Gastaut, dan epilepsi mioklonik. Gambaran klinis sesuai dengan
ensefalopati difus.
c. Simtomatis  Bangkitan epilepsi disebabkan oleh kelainan/lesi
structural pada otak, misalnya; cedera kepala, infeksi SSP, kelainan
congenital, lesi desak ruang, gangguan peredaran darah otak,
toksik (alkohol,obat), metabolic, kelainan neurodegeneratif.
5. Patogenesis
Kemajuan yang pesat dalam pengobatan epilepsi menjadi tanda
bahwa pengetahuan tentang kejadian dan kendali terhadap kejang-kejang
epileptik telah sangat maju. Meskipun demikian pengetahuan tentang
patogenesis pada epilepsi berkembang pesat jauh sesudah obat-obat anti
epilepsi ditemukan.
Mc.Namara dan peneliti lainnya6 mengajukan konsep-konsep baru
mengenai patofisiologi yang terjadi pada proses epileptik, yaitu adanya
gangguan di tingkat seluler/neuronal dalam keseimbangan antara faktor-
faktor eksitasi dan inhibisi neuronal, baik yang bersifat seluler tunggal
maupun dalam bentuk network. Dengan demikian konsep pengobatan
dalam tahap eksperimental ini, melangkah kepada tingkat intervensi
farmakologik dalam meredam hipereksitabilitas dan hipersinkronisasi
neuronal atau meningkatkan inhibisi merupakan sasaran pengendalian
proses epileptik.
Dalam hal ini, pada patogenesis epilepsi, peran neurotransmitter
GABA, glutamat dan kainat serta reseptor-reseptornya dapat
diungkapkan. Selain itu mungkin patofisiologi serangan epileptik dapat
melibatkan juga gangguan pada saluran ion (channelopathy) atau proses

18
remodelling dari jaringan-jaringan (network) neuron-neuron tersebut,
sebagai bagian dari proses biologi molekuler yang mendasari serangan
epileptik tersebut.
Dari hasil penelitian klinis dan juga dari binatang percobaan dapat
disimpulkan bahwa proses epileptogenesis pada manusia bersifat
kompleks dan multifaktorial serta dapat berlangsung dalam kurun waktu
beberapa hari sampai beberapa tahun. Proses dapat dimulai oleh suatu
‘’Precipitative event’’. Melihat bahwa epilepsi merupakan suatu spektrum
penyakit yang tidak homogen, tapi terdiri dari berbagai jenis, maka
faktor-faktor presipitatif yang berperan pada masing-masing jenis
mungkin berbeda. Faktor-faktor pencetus dapat bermacam-macam;
trauma waktu kecil, antenatal hipoksia, radang terutama infeksi virus.
Lado dan Mosche mengatakan bahwa peningkatan frekuensi
kejang demam pada usia 1 sampai usia 5 tahun merupakan faktor risiko
yang penting pada genesis epilepsi lobus temporalis.

6. Mekanisme Dasar Epilepsi


Epilepsi adalah penyakit paroksismal yang disebabkan karena
cetusan listrik neuronal yang abnormal yang ditimbulkan oleh cetusan
yang sinkron dari segolongan neuron (synchoronous discharge of
neuronal network).
Dengan demikian epilepsi dapat disebabkan oleh letupan listrik
karena gangguan membran dari neuron atau ketidakseimbangan antara
pengaruh eksitatorik dan inhibitorik. Peningkatan faktor eksitatorik dan
menurunnya faktor inhibitorik ini akan mengakibatkan
ketidakseimbangan aktivitas potensial listrik di tingkat neuronal.
Berdasarkan penelitian klinis timbulnya kejang epileptik pada
model percobaan binatang adalah didahului oleh depolarisasi membran
sewaktu periode interiktal, yaitu membran sel neuron yang berdekatan
dengan badan sel mengalami kenaikan potensial listrik sebesar 10-15 mV
dengan masa depolarisasi yang relatif memanjang (100-200 msec) yang
disertai dengan aktivitas gelombang-gelombang paku lambat. Pada
keadaan depolarisasi yang panjang ini menimbulkan beberapa potensial

19
aksi yang timbul pada akson, beriringan menjauhi badan sel. Depolarisasi
yang cukup kuat ini disebut sebagai “paroxysmal depolarization shift”
(PDS). Keadaan ini sesuai dengan patofisiologi epilepsi kronik pada
manusia, dimana sering ditemukan gelombang-gelombang paku pada
EEG pada periode interiktal.4
Sesuai dengan mekanisme dasar epilepsi, PDS timbul akibat
gangguan fungsi membran sel pada segolongan neuron atau karena input
eksitatorik yang meningkat tajam atau sebaliknya, fungsi inhibitorik yang
menurun tajam. Selama periode interiktal pada fokus tertentu diamati
pada studi epilepsi eksperimental pada neokorteks kucing, melalui
aplikasi penicillin secara fokal, terjadi proses depolarisasi yang
berkepanjangan yang disertai letupan-letupan potensial aksi pada fase
tonik, diikuti osilasi membran potensial dan letupan-letupan potensial aksi
yang diselingi dengan “silent periode” yang khas untuk fase klonik. Silent
periode ini menandakan hyperpolarisasi temporer yang memblok PDS.4
Perubahan patofisiologi yang mendasari proses interiktal menjadi
proses iktal dengan manifestasi kejang epilepsi tidak diketahui dengan
pasti. Gangguan stabilitas membran sel neuron dan pengaruh dari
neurotransmitter eksiatatorik atau inhibitorik. Perubahan ini tidak terjadi
hanya pada satu neuron saja tapi melibatkan neuron yang lebih jauh
jaraknya melalui mekanisme sinaps hingga timbullah aktivitas epilepsi
pada segolongan neuron (neuronal network) atau kemudian menyebar ke
seluruh permukaan kortek melalui serabut talamokortikal.4
Sebagaimana proses epilepsi dari saat interiktal menjadi proses
iktal yang masih belum jelas semikian juga pada proses berhentinya suatu
aktivitas epilepsi. Kejang akan berhenti sendiri sesuai dengan aktivitas
yang meningkat dari proses inibisi serta bokade depolarisasi yang ditandai
dengan supresi aktivitas EEG postiktal.4

7. Pathogenesis Kejang Umum


Pada epilepsi bangkitan kejang umum, kenaikan depalorisasi
membran berasal dari neuron neuron yang berada di daerah garis tengah
otak. Secara bersamaan dan dalam waktu yang singkat keadaan

20
depolarisasi yang panjang ini akan menimbulkan beberapa potensial aksi
yang timbul pada akson, beriringan menjauhi badan sel dan menyebar ke
seluruh bagian korteks lainnya.3

Gambar 1. Gambaran EEG kejang umum.3

Kejang umum ini terbagi menjadi :

a) Kejang umum tonik klonik


Pada jenis bangkitan ini terjadi gangguan kesadaran dan terjadi
kekakuan pada dada dan tungkai (fase tonik), pada fase ini sering
disertai dengan adanya suara yang keras akibat dorongan kuat dari
udara yang melewati pita suara (epilepsi cry). Fase tonik ini akan
diikuti gerakan berulang pada seluruh otot (fase klonik). Pada fase
postiktal, kebanyakan pasien akan merasa lelah, letargi dan bingung
bahkan sampai tertidur. Pada beberapa pasien sering terdapat gejala
sindrom epilepsi yang muncul sebelum terjadinya bangkitan. Gejala
gejala tersebut dapat berupa rasa cemas, mudah tersinggung,
penurunan konsentrasi, sakit kepala, atau perasaan yang tidak
nyaman.5
Penurunan kesadaran yang terjadi pada fase post iktal ini
diperkirakan karena peningkatan metabolisme otak pada fase iktal.
Metabolisme yang meningkat ini membutuhkan oksigen yang tinggi
dan tidak mampu dipenuhi oleh sistem respirasi sehingga terjadi
penimbunan laktat dan asam piruvat pada bangkitan yang lama dan
menimbulkan keadaan hipoksik pada otak.3
b) Bangkitan Lena

21
Pada bangkitan lena (petit mal seizure) terjadi kehilangan
kesadaran dalam waktu yang singkat dan terjadi penghentian gerakan
dan seluruh aktivitas. Bangkitan lena ini terjadi secara tiba-tiba tanpa
adanya periode postiktal. Pada bangkitan lena ini sering juga dijumpai
kejang mioklonik pada mata dan otot muka, beberapa tonus otot yang
hilang serta automatisme. Jika fase awal dan akhir dari bangkitan ini
tidak dapat dibedakan atau pada saat fase kejang terdapat kejang tonik
serta gejala otonom, maka digunakan terminology kejang atipikal.
Kejang atipikal ini biasanya terjadi pada anak dengan retradasi mental
seperti sindrom Lennox-Gastaut.5

c) Bangkitan umum klonik


Bangkitan umum klonik ini ditandai dengan adanya gerakan
berulang pada otot, dapat bilateral ataupun unilateral. Gerakan otot ini
juga dapat terjadi sinkron ataupun asinkron. Kejang mioklonik ini
dapat bervariasi mulai dari gerakan kecil pada otot muka, lengan atau
tungkai sampai gerakan masif bilateral pada kepala, extremitas dan
dada.5

d) Bangkitan umum atonik


Pada bangkitan atonik ini ditandai dengan hilangnya tonus otot
yang terjadi secara tiba-tiba Karena hilangnya seluruh tonus otot, para
penderita akan jatuh sehingga sering terjadi cedera.5

8. Patogenesis Kerja Parsial


Pada kejang parsial ini cetusan listrik yang abnormal berasal dari
area tertentu pada korteks.3 Secara experimental telah dipastikan bahwa
timbulnnya fokus epilepsi disebabkan oleh proses “kindling” yaitu akibat
dari stimulus yang subkonvusif pada beberapa struktur otak dan
menyebabkan struktur tersebut menjadi bersifat elektroensefalografi
seizure yang berarti sel neuron yang tadinya normal menjadi bersifat
epilepsi dan jika terus menerus dilakukan perangsangan berulang akan
menimbulkan kejang.

22
Gambar 2. Gambaran EEG kejang parsial.

Pada bangkitan parsial yang menjadi kejang umum sekunder,


kejang fokal ditimbulkan dari cetusan listrik berasal dari dari satu area dari
korteks lalu menyebar ke seluruh korteks serebri yang menghasilkan
kejang tonik klonik.
Fenomena yang terjadi pada kejang parsial kompleks tergantung
dari lokasi lesi epileptogenic, gejala yang sangat jelas terlihat terjadi
apabila lesi yang mengalami gangguan adalah gyrus presentral. Gangguan
yang mungkin terjadi jika lesi epileptogenik berada di daerah gyrus
presentral dapat berupa kejang motorik fokal, yang terjadi pada wajah dan
tungkai kontralateral dari lesi serta kejang sensori fokal berupa perasaan
tidak menyenangkan, nyeri ringan samapai rasa panas pada wajah dan
extremitas kontralateral dari lesi. Pada lesi epileptogenik yang terjadi pada
lobus frontal dapat menimbulkan kejang pada mata, kepala dan leher
kontralateral serta gerakan fleksi dan ekstensi pada bahu. Lesi epiletogenik
yang terjadi di daerah temporal dapat menimbulkan gangguan pada fungsi
lobus temporal seperti memori, daya pembau dan mengecap.3

9. Diagnosis
Diagnosis epilepsi ditegakkan atas dasar adanya gejala dan tanda
klinik dalam bentuk bangkitan epilepsi berulang (minimum 2 kali) yang
ditunjang oleh gambaran epileptiform pada EEG. Secara lengkap urutan
pemeriksaan untuk menuju ke diagnosis adalah sebagai berikut: 1

23
1. Anamnesis (auto dan alo-anamnesis)
a. Pola/bentuk bangkitan
b. Lama bangkitan
c. Gejala sebelum, selama, dan pasca bangkitan
d. Frekuensi bangkitan
e. Faktor pencetus
f. Ada/tidak adanya penyakit lain yang diderita sekarang
g. Usia pada saat terjadinya bangkitan pertama
h. Riwayat pada saat dalam kandungan, persalinan/kelahiran dan
perkembangan bayi/anak
i. Riwayat terapi epilepsi sebelumnya
j. Riwayat penyakit epilepsi dalam keluarga
2. Pemeriksaan fisik umum dan neurologik
Hal-hal yang perlu diperiksa antara lain adanya tanda-tanda dari gangguan
yang berhubungan dengan epilepsi, misalnya trauma kepala, infeksi
telinga atau sinus, gangguan kongenital, gangguan neurologik fokal atau
difus, kecanduan alcohol atau obat terlarang, dan kanker.

3. Pemeriksaan penunjang dilakukan sesuai dengan bukti-bukti klinik


dan/atau indikasi, serta bila keadaan memungkinkan untuk pemeriksaan
penunjang.
a. Pemeriksaan elektroensefalografi (EEG)
Rekaman EEG sebaiknya dilakukan pada saat bangun, tidur, dengan
stimulasi fotik, hiperventilasi, stimulasi tertentu sesuai pencetus
bangkitan (pada epilepsi reflex). Bila EEG pertama menunjukkan hasil
normal sedangkan persangkaan epilepsi sangat tinggi, maka dapat
dilakukan EEG ulangan dalam 24-48 jam setelah bangkitan atau
dilakukan dengan persyaratan khusus.

Indikasi pemeriksaan EEG:


- Membantu menegakkan diagnosis epilepsi
- Menentukan prognosis pada kasus tertentu
- Pertimbangan dalam penghentian obat anti epilepsi

24
- Membantu dalam menentukan letak fokus
- Bila ada perubahan bentuk bangkitan (berbeda dengan bangkitan
sebelumnya)
b. Pemeriksaan pencitraan otak
Indikasi:

- Semua kasus bangkitan pertama yang diduga ada kelainan


struktural
- Adanya perubahan bentuk bangkitan
- Terdapat defisit neurologik fokal
- Epilepsi dengan bangkitan parsial
- Bangkitan pertama di atas usia 25 tahun
- Untuk persiapan tindakan pembedahan
Magnetic Resonance Imaging (MRI) merupakan prosedur pencitraan
pilihan untuk epilepsi dengan sensitivitas tinggi dan lebih spesifik
dibanding dengan Computed Tomography Scan (CT-scan). MRI dapat
mendeteksi sklerosis hipokampus, disgenesis kortikal, tumor dan
hemangioma kavernosa. Pemeriksaan MRI diindikasikan untuk
epilepsi yang sangat mungkin memerlukan terapi pembedahan.

c. Pemeriksaan laboratorium
- Pemeriksaan darah, meliputi hemoglobin, leukosit, hematokrit,
trombosit, apus darah tepi, elektrolit (natrium, kalium, kalsium,
magnesium), kadar gula, fungsi hati (SGOT, SGPT, gamma GT,
alkali fosfatase), ureum, kreatinin, dan lain-lain atas indikasi.
- Pemeriksaan cairan serebrospinal, bila dicurigai adanya infeksi
SSP.
- Pemeriksaan lain dilakukan atas indikasi misalnya ada kelainan
metabolik bawaan.
10. Diagnosis Banding
Diagnosis banding pada kasus peilepsi dewas adapat berupa
sinkope serangan iskemik sepintas, vertigo, transient global amnesia,
narkolepsi, bangkitan panic, psikogenik, dan sindrom Menier.

25
Gambar 3. Diagnosis banding

11. Penatalaksanaan
Tujuan utama terapi epilepsi adalah tercapainya kualitas hidup
optimal untuk pasien, sesuai dengan perjalanan penyakit epilepsi dan
disabilitas fisik maupun mental yang dimilikinya. Prinsip terapi
farmakologi: 1
1. OAE mulai diberikan bila:
b. Diagnosis epilepsi telah ditentukan
c. Setelah pasien atau keluarganya menerima penjelasan tujuan
pengobatan
d. Pasien dan keluarganya telah diberitahu tentang kemungkinan
efek samping yang timbul

26
2. Terapi dimulai dengan monoterapi, menggunakan OAE pilihan sesuai
dengan jenis bangkitan dan sindrom epilepsi.
3. Pemberian obat dimulai dengan dosis rendah dan dinaikkan bertahap
sampai dosis efektif tercapai atau timbul efek samping, kadar obat
plasma ditentukan bila bangkitan tidak terkontrol dengan dosis efektif.
4. Bila dengan penggunaan dosis maksimum obat pertama tidak dapat
mengontrol bangkitan, maka perlu ditambahkan OAE kedua. Bila OAE
telah mencapai kadar terapi, maka OAE pertama diturunkan bertahap
perlahan-lahan
5. Penambahan obat ketiga baru dilakukan setelah terbukti bangkitan tidak
dapat diatasi dengan penggunaan dosis maksimal kedua OAE pertama.
Pemilihan OAE didasarkan atas jenis bangkitan epilepsi, efek
samping OAE, interaksi antarobat epilepsi. 1

Tabel 3. Pemilihan OAE berdasarkan jenis bangkitan


Jenis OAE Lini OAE Lini OAE Lain yang OAE yang
Bangkitan Pertama Kedua dapat sebaiknya
dipertimbangkan dihindari
Bangkitan Sodium Clobazam Clonazepam
umum tonik Valproate Levetiracetam Phenobarbital
klonik Lamotrigine Oxcarbazepin Phenytoin
Topiramate e Acetazolamide
Carbamazepin
e
Bangkitan Sodium Clobazam Carbamazepine
lena Valproate Topiramate Gabapentin
Lamotrigine Oxcarbazepine
Bangkitan Sodium Clobazam Carbamazepine
mioklonik Valproate Topiramate Gabapentin
Topiramate Levetiracetam Oxcarbazepine
Lamotrigine
Piracetam
Bangkitan Sodium Clobazam Phenobarbital Carbamazepine
tonik Valproate Levetiracetam Phenytoin Oxcarbazepine
Lamotrigine Topiramate
Bangkitan Sodium Clobazam Phenobarbital Carbamazepine
atonik Valproate Levetiracetam Acetazolamide Oxcarbazepine
Lamotrigine Topiramate Phenytoin
Bangkitan Carbamazepin Clobazam Clonazepam
fokal e Gabapentin Phenobarbital
dengan/tanp Oxcarbazepine Levetiracetam Acetazolamide
a umum Sodium Phenytoin
sekunder Valproate Tiagabine
Topiramate

27
Lamotrigine

Tabel 4. Dosis obat anti epilepsi untuk orang dewasa


Obat Dosis Awal Dosis Jumlah Waktu Waktu
(mg/hari) Rumatan Dosis Per Paruh Tercapainy
(mg/hari) Hari Plasma Steady State
(Jam) (Hari)
Carbamazepine 400-600 400-1600 2-3x 15-35 2-7
Phenytoin 200-300 200-400 1-2x 10-80 3-15
Asam valproat 500-1000 500-2500 2-3x 12-18 2-4
Phenobarbital 50-100 50-200 1 50-170
Clonazepam 1 4 1 atau 2 20-60 2-10
Clobazam 10 10-30 2-3x 10-30 2-6
Oxcarbazepine 600-900 600-3000 2-3x 8-15
Levatiracetam 1000-2000 1000-3000 2x 6-8 2
Topiramate 100 100-400 2x 20-30 2-5
Gabapentin 900-1800 900-3600 2-3x 5-7 2
Lamotrigine 50-100 20-200 1-2x 15-35 2-6

Tabel 5. Efek samping obat anti epilepsi klasik


Obat Efek Samping
Terkait Dosis Idiosinkrasi
Carbamazepin Diplopia, dizziness, nyeri Ruam morbiliform,
e kepala, mual, mengantuk, agranulositosis, anemia aplastik,
netropenia, hiponatremia hepatotoksik, SSJ, teratogenik
Phenytoin Nistagmus, ataksia, mual, Jerawat, coarse facies,
muntah, hipertropi gusi, depresi, Hirsutism, lupus like syndrome,
mengantuk, paradoxical ruam, SSJ,
increase in seizure, anemia Dupuytren’s contracture,
megaloblastik Hepatotoksik, teratogenik
Asam valproat Tremor, berat badan naik, Pankreatitis akut, hepatotoksik,
dyspepsia, mual, muntah, trombositopenia, ensefalopati,
kebotakan, teratogenik udem perifer
Phenobarbital Kelelahan, restlegless, depresi, Ruam makulopapular,
insomnia (anak), distracatibility eksfoliasi, NET, hepatotoksik,
(anak), hiperkinesia (anak), arthritic changes, Dupuytren’s
irritability (anak) contracture, teratogenik
Clonazepam Kelelahan, sedasi, mengantuk, Ruam, trombositopenia
dizziness, agresi (anak),
hiperkinesia (anak)

28
Gambar 4. Algoritma Tatalaksanan kejang
Untuk menghentikan pemberian OAE pada penderita yang sudah
lama mengkonsumsi OAE ada beberapa syarat yang harus dipenuhi.1
1. Syarat umum untuk menghentikan pemberian OAE adalah sebagai
berikut:
a. Penghentian OAE dapat didiskusikan dengan pasien atau
keluarganya setelah bebas bangkitan selama minimal 2 tahun
b. Gambaran EEG normal
c. Harus dilakukan secara bertahap, umumnya 25% dosis semula,
setiap bulan dalam jangka waktu 3-6 bulan.
d. Penghentian dimulai dari satu OAE yang bukan utama.
2. Kekambuhan setelah penghentian OAE lebih besar kemungkinannya pada
keadaan sebagai berikut:
a. Semakin tua usia

29
b. Epilepsi simtomatik
c. Gambaran EEG abnormal
d. Semakin lama adanya bangkitan sebelum dapat dikendalikan
e. Tergantung bentuk sindrom epilepsi yang diderita
f. Penggunaan lebih dari satu OAE
g. Masih mendapatkan satu atau lebih bangkitan setelah memulai terapi
h. Mendapat terapi 10 tahun atau lebih
3. Kemungkinan untuk kambuh lebih kecil pada pasien yang telah bebas
dari bangkitan selama 3-5 tahun, atau lebih dari 5 tahun. Bila bangkitan
timbul kembali maka gunakan dosis efektif terakhir (sebelum
pengurangan dosis OAE), kemudian dievaluasi kembali.

30
BAB III

KESIMPULAN

A. Kesimpulan
Pasien datang ke IGD RSUD Salatiga dengan keluhan kejang
sebanyak 3 kali SMRS dan 1 kali di IGD RSUD Salatiga. Selama kejang dan
setelah kejang pasien tidak sadarkan diri. Pasien mengatakan merasa seperti
bingung setelah sadar. Sesaat sebelum kejang pasien mengatakan selalu
merasakan pusing berputar. Kejang berulang dialami pasien sejak 1.5 tahun
terakhir dan pasien rutin kontrol ke poli saraf. Pada saat kejang tangan dan
kaki kelojotan, mulut mengecap. Pagi hari SMRS pasien terjatuh di halaman
dan kepalanya terbentur. Setelah terjatuh pasien tidak sadarkan diri sekitar 20
menit dan merasa nyeri kepala setelah tersadar. Mual dan muntah setelah
terjatuh di sangkal. Pasien memiliki riwayat terkena stroke pada tahun 2014
dan saat ini rutin kontrol ke poli saraf. Pasien menderita hipertensi dan rutin
kontrol. Riwayat kejang sebelum stroke disangkal. Riwayat Diabetes melitus,
asma dan jantung disangkal. Tidak ada yang mengeluh hal serupa di keluarga
pasien. Riwayat penyakit keturunan seperti asma, hipertensi, penyakit
jantung, stroke, diabetes pada keluarga pasien disangkal.
Pada pemeriksaan fisik generalisata dalam batas normal. Pada
pemeriksaan neurologistidak didapatkan adanya kelainan pada pemeriksaan
nervus kranialis. Berdasarkan hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik maka
pasien didiagnosis klinis post traumatic seizure dikarenakan kejang muncul
setelah pasien terjatuh dan kepala pasien terbentur.
Berdasarkan temuan ini pasien dirawat inap, dan dilakukan
pemeriksaan lebih lanjut yang lebih spesifik untuk mengetahui penyebab
keluhan pasien. Setelah dilakukan pemeriksaan CT-Scan didapatkan hasil
gambaran SAH di peritentorium dextra, perifalk posterior dan region
occipitalis dextra.disertai gambaran cortical infark kronik di lobus
parietooccipitalis dextra dd/ encephalomalacia dan multiple infark pada
corona radiata sinistra dan crus anterior et posterior capsula interna dextra et
sinistra. Berdasarkan hasil anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang maka pasien didiagnosis epilepsi sekunder dengan SAH

31
dikarenakan adanya riwayat stroke, kejang berulang setelah stroke, gambaran
infark kronik dan perdarahan subarachnoid. Terapi yang diberikan selama
rawat inap di RSUD Kota Salatiga bertujuan untuk mengatasi perdarahan
subarachnoid yang dialami yaitu dengan pemberian manitol 6x100cc. Terapi
untuk kejang diberikan inj. Phenytoin 100mg dilanjutkan dengan obat peroral
yang rutin di konsumsi oleh pasien. Obat anti epilepsi dapat dihentikan
setelah pasien bebas bangkitan selama minimal 2 tahun, gambaran EEG
normal, Harus dilakukan secara bertahap, dan dimulai dari satu OAE yang
bukan utama.

32
DAFTAR PUSTAKA

1. Harsono, Kustiowati E, Gunadharma S, editors. Pedoman tatalaksana


epilepsi. Edisi 3. Jakarta: Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia;
2008.
2. Octaviana F. Epilepsi. In: Medicinus Scientific Journal of pharmaceutical
development and medical application. Vol.21 Nov-Des 2008. p.121-2.
3. Bazil CW, Morrell MJ, Pedley TA. Epilepsy. In : Rowland LP, editor.
Merritt’s neurology. 11th ed. New York : Lippincott Williams&Wilkins,
2005.
4. Lumbantobing SM. Epilepsi (ayan). Edisi ke-5. Jakarta: Balai Penerbit
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006; p.1-3.
5. Ginsberg L. Lecture notes neurologi. Edisi ke-8. Jakarta: Penerbit Erlangga,
2005; p.79-88.
6. McNamara JO. Pharmacotherapy of the Epilepsies dalam Goodman and
Gilmans The Pharmacological Basic of Therapeutics. 12 th Edition. New
York, USA: Mc Graw Hill Medical; 2011.

33

Anda mungkin juga menyukai