EPILEPSI SEKUNDER
Pembimbing:
dr. Dony Ardianto., Sp.S
1
HALAMAN PENGESAHAN
Disusun Oleh:
Sea Nabilah Wijayanti
1913020043
Telah dipresentasikan
Hari/Tanggal:
Disahkan oleh:
Dosen Pembimbing,
2
BAB I
LAPORAN KASUS
A. Identitas Pasien
Nama : Ny.JS
Usia : 67 tahun
Alamat : Jl.Umbulrejo RT 02 RW 02 Gendongan, Tingkir, Salatiga
Agama : Kristen Protestan
Masuk RS : 02-01-2020
B. Anamnesis
1. Keluhan Utama
Kejang 3 kali SMRS
2. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke IGD RSUD Salatiga dengan keluhan kejang
sebanyak 3 kali SMRS dan 1 kali di IGD RSUD Salatiga. Selama kejang
dan setelah kejang pasien tidak sadarkan diri. Pasien mengatakan merasa
seperti bingung setelah sadar. Sesaat sebelum kejang pasien mengatakan
selalu merasakan pusing berputar. Kejang berulang dialami pasien sejak
1.5 tahun terakhir dan pasien rutin kontrol ke poli saraf. Pada saat kejang
tangan dan kaki kelojotan, mulut mengecap. Pagi hari SMRS pasien
terjatuh di halaman dan kepalanya terbentur. Setelah terjatuh pasien tidak
sadarkan diri sekitar 20 menit dan merasa nyeri kepala setelah tersadar.
Mual dan muntah setelah terjatuh di sangkal.
3. Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien memiliki riwayat terkena stroke pada tahun 2014 dan saat
ini rutin kontrol ke poli saraf. Pasien menderita hipertensi dan rutin
kontrol. Riwayat kejang sebelum stroke disangkal. Riwayat Diabetes
melitus, asma dan jantung disangkal.
4. Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak ada yang mengeluh hal serupa di keluarga pasien. Riwayat
penyakit seperti asma, hipertensi, penyakit jantung, stroke, diabetes pada
keluarga pasien disangkal.
3
5. Riwayat Personal Sosial
Ny.SR saat ini sehari hari tidak bekerja. Pasien tidak merokok
maupun minum alkohol. Tidak ada makanan atau minuman tertentu yang
sering pasien konsumsi sebelum sakit.
C. Pemeriksaan Fisik
1. Head to Toe
4
Palpasi Defens muscular (-), nyeri tekan epigastrik (-)
Perkusi Timpani pada semua kuadran abdomen
Ekstremitas
Inspeksi Edema (-) Hiperemis (-)
Palpasi Pitting edema (-), akral pada kaki teraba hangat, CRT < 2
Kekuatan Motorik
555/555 , 555/555
2. Status Neurologis
a. Pemeriksaan Saraf Kranialis
Pemeriksaan Saraf Kranialis Dextra Sinistra
Olfaktorius (I)
Subjektif Normal Normal
Objektif Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Optikus (II)
Daya Penglihatan (Subjektif) (+) (+)
Lapangan pandang (Subjektif) (+) (+)
Melihat warna (+) (+)
Okulomotorius (III)
Pergerakan mata kearah superior,
medial, inferior, torsi inferior (+) (+)
Strabismus (-) (-)
Nystagmus (-) (-)
Exoptalmus (-) (-)
Refleks pupil terhadap sinar (+) (+)
Pupil besarnya 3 mm 3 mm
Troklearis (IV)
Pergerakan mata (ke bawah-keluar) (+) (+)
Trigeminus (V)
Membuka mulut (+)
Mengunyah (+)
Menggigit (+)
Sensibilitas muka (+)
Abdusens (VI)
Pergerakan mata ke lateral (+) (+)
Fasialis (VII)
Mengerutkan dahi (+) (+)
Menutup mata (+) (+)
Memperlihatkan gigi (+) (+)
Sudut bibir (+) (+)
Vestibulokoklearis (VIII)
Fungsi pendengaran (objektif : arloji (+) (+)
dan suara tangan)
5
Tes rinne, weber, swabach Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Glossofaringeus (IX)
Refleks muntah Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Vagus (X)
Bicara (+)
Menelan (+)
Assesorius (XI)
Mengangkat bahu Sulit dinilai
Memalingkan kepala (+)
Hipoglossus (XII)
Pergerakan lidah (+)
Artikulasi (+)
b. Reflek Fisiologis
Reflek Dextra Sinistra
Bisep (N) (N)
Trisep (N) (N)
Brachioradialis (N) (N)
Ulnaris (N) (N)
Radialis (N) (N)
Patella (N) (N)
Achilles (N) (N)
Dinding perut (N)
c. Reflek Patologis
Reflek Dextra Sinistra
Hoffman Tromer (-) (-)
Babinski (-) (-)
Chaddock (-) (-)
Schaefer (-) (-)
Oppenheim (-) (-)
Rossolimo (-) (-)
Mendel-Bechterew (-) (-)
d. Gerakan Involunter
Gerakan Dextra Sinistra
Tremor (-) (-)
Chorea (-) (-)
Atetosis (-) (-)
Mioklonik (-) (-)
Tics (-) (-)
e. Meningeal sign
Kernig Sign Negatif
Kaku Kuduk Negatif
Brudzinski 1 Negatif
6
Brudzinski 2 Negatif
Brudzinski 3 Negatif
Brudzinski 4 Negatif
Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan Laboratorium
Hasil pemeriksaan laboratorium Ny.JS pada 3 Januari 2020
Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan Satuan
Hematologi
Leukosit 8.73 4.5 – 11 ribu/ul
Eritrosit 4.49 3.8 – 5.8 juta/ul
Hemoglobin 12.9 11.5 – 16.5 gr/dL
Hematokrit 38.3 40 – 54 vol%
MCV 85.2 85 – 100 Fl
MCH 28.7 28 – 31 Pg
MCHC 33.7 30 – 35 gr/dL
Trombosit 256 150 – 450 ribu/ul
Hitung Jenis
Eosinophil 0.9 1–6 %
Basophil 0.5 0–1 %
Limfosit 12.0 20 – 45 %
Monosit 1.9 2–8 %
Neutrofil 84.7 40 – 75 %
Kimia
GDP 115 < 100 mg/dL
Ureum 44 10 – 50 mg/dL
Creatinin 1.4 1,0 – 1,3 mg/dL
SGOT 16 < 37 U/L
SGPT 13 < 42 U/L
2. CT-Scan Kepala
Hasil:
7
- Tampak soft tissue swelling extracranial region fascialis dextra
dan occipitalis sinistra
- Sistema tulang yang tervisualisasi tampak intact
- Gyri, sulci dan fissura sylvii tak tampak prominent
- Batas white matter dan grey matter relatif tegas
- Midline erdeviasi ke sinistra 10mm
- Tampak lesi hipodens 4-7 HU pada cortex lobus
parietooccipitalis dextra dan lesi hipodens (13-18 HU) di corona
radiate sinistra dan crus anterior et posterior capsula interna
dextra et sinistra
- Tampak lesi hiperdens (46-60 HU) di peritentorium dextra,
perifalk posterior dan region occipitalis dextra
- Sistema ventrikel dan sistema relatif melebar
- Air cellulae mastoidea dan sinus paranasal normodens
- Tak tampak deviasi struktur mediana
- Tampak lesi hipodens (15-23 HU) yang mengisi sinus maxillaris
Kesan:
- Gambaran SAH di peritentorium dextra, perifalk posterior dan
region occipitalis dextra.
- Gambaran cortical infark kronik di lobus parietooccipitalis
dextra dd/ encephalomalacia dan multiple infark pada corona
radiata sinistra dan crus anterior et posterior capsula interna
dextra et sinistra
- Tak tampak fracture ossa cranialis
- Tak tampak gambaran brain edema maupun herniasi subfalcin
dan transtentorial
- Gambaran sinusitis maxilaris dextra, tak tampak gambaran
hematosinus
D. Assessment
1. Diagnosis klinis : Post traumatic seizure
2. Diagnosis topis : lobus parietooccipitalis dextra, corona radiata,
8
capsula interna dextra et sinistra
3. Diagnosis Kerja : Epilepsi sekunder dengan SAH
E. Planning
IGD (2 Januari 2020)
Infus Asering 20 tpm + drip NB
Inj Phenitoin 100mg
P.O lanjut :
Piracetam 2x1 tab
Ketoprofen 2x1 tab
Flunarizin 2x1 tab
Candesartan 1x1
Cek lab darah lengkap, SGOT, SGPT, Ur, Cr
Follow Up
F. Prognosis
Ad Vitam : Bonam
Ad Sanationam : Dubia ad malam
Ad Fungsionam : Dubia ad malam
9
10
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
11
mesencephalon (otak tengah), pons varoli (terletak di depan cerebellum
diantara otak tengah dan medulla oblongata), dan medulla oblongata (bagian
dari batang otak yang paling bawah yang menghubungkan pons varoli dengan
medula spinalis. Sistem limbik terletak di bagian tengah otak yang bekerja
dalam kaitan ekspresi perilaku instinktif, emosi dan hasrat-hasrat dan
merupakan bagian otak yang paling sensitif terhadap serangan (Baehr &
Frotscher, 2014).
12
hingga mencapai 10% volume intra- kranial. Rongga ekstraseluler
berhubungan dengan CSS via ependima. Air otak berasal dari darah dan
akhirnya kembali kesana juga. Relatif sedikit air otak yang berjalan melalui
jalur lain, yaitu melalui CSS.
13
4. Absorpsi
Cairan selanjutnya diabsorpsi kesistem vena melalui villi arakhnoid. Villi
merupakan katup yang sensitif tekanan hingga aliran padanya adalah satu
arah. Bila tekanan CSS melebihi tekanan vena, katup terbuka, sedang bila
lebih rendah dari tekanan vena maka katup akan menutup sehingga
mencegah berbaliknya darah dari sinus kerongga subarakhnoid. Secara
keseluruhan, kebanyakan CSS dibentuk di ventrikel lateral dan ventrikel
keempat dan kebanyakan diabsorpsi di sinus sagittal. Dalam keadaan
normal, terdapat keseimbangan antara pembentukan dan absorpsi CSS.
Derajat absorpsi adalah tergantung tekanan dan bertambah bila tekanan
CSS meningkat. Sebagai tambahan, tahanan terhadap aliran tampaknya
berkurang pada tekanan CSS yang lebih tinggi dibanding tekanan normal.
Ini membantu untuk mengkompensasi peninggian TIK dengan
meningkatkan aliran dan absorpsi CSS. Hampir dapat dipastikan bahwa
jalur absorptif adalah bagian dari villi arakhnoid, seperti juga lapisan
ependima ventrikel dan selaput saraf spinal; dan kepentingan relatifnya
mungkin bervariasi tergantung pada TIK dan patensi dari jalur CSS secara
keseluruhan. Sebagai tambahan atas jalur utama aliran CSS, terdapat aliran
CSS melalui otak, mirip dengan cara cairan limfe. Cara ini kompleks dan
mungkin berperan dalam pergerakan dan pembuangan cairan edem
serebral pada keadaan patologis.
C. Epilepsi
1. Definisi
Epilepsi didefinisikan sebagai suatu keadaan yang ditandai oleh
bangkitan (seizure) berulang sebagai akibat dari adanya gangguan fungsi
otak secara intermiten, yang disebabkan oleh lepas muatan listrik
abnormal dan berlebihan di neuron-neuron secara paroksismal, dan
disebabkan oleh berbagai etiologi.1 Epilepsi menurut World Health
Organization (WHO) merupakan gangguan kronik otak yang
menunjukkan gelaja-gejala berupa serangan mendadak dan berulang-ulang
yang terjadi akibat adanya ketidaknormalan kerja sementara sebagian atau
14
seluruh jaringan otak karena cetusan listrik pada sel saraf yang berlebihan
sehingga dapat mengakibatkan kelainan motorik, sensorik atau psikis
secara tiba-tiba dan sesaat.
Bangkitan epilepsi (epileptic seizure) adalah manifestasi klinis dari
bangkitan serupa (streotipik), berlangsung secara mendadak dan sementara
dengan atau tanpa perubahan kesadaran, disebabkan oleh hiperaktivitas
listrik sekelompok sel saraf di otak, bukan disebabkan oleh suatu penyakit
otak aku (unprovoked).1
Sindrom epilepsi adalah sekumpulan gejala dan tanda klinik
epilepsi yang terjadi secara bersama-sama yang berhubungan dengan
etiologi, umur, awitan (onset), jenis bangkitan, factor pencetus, dan
kronisitas.1
2. Epidemiologi
Epilepsi merupakan salah satu kelainan otak yang serius dan umum
terjadi, sekitar lima puluh juta orang di seluruh dunia mengalami kelainan
ini. Angka epilepsi lebih tinggi di negara berkembang. Insiden epilepsi di
negara maju ditemukan sekitar 50/100,000 sementara di negara
berkembang mencapai 100/100,000. Penderita laki-laki umumnya sedikit
lebih banyak dibandingkan dengan perempuan. Insiden tertinggi terjadi
pada uisa lanjut di atas 65 tahun (81/100.000 kasus).2
3. Klasifikasi
Dalam mendiagnosis penyakit epilepsi perlu adanya suatu
klasifikasi mengingat tatalaksana tiap bangkitan berbeda. Klasifikasi yang
digunakan adalah klasifikasi yang telah ditetapkan oleh International
League Againts Epilepsy (ILAE) yang terdiri dari dua jenis, yaitu
klasifikasi untuk jenis bangkitan epilepsi dan klasifikasi untuk sindrom
epilepsi.1 Berikut ini adalah klasifikasi untuk jenis bangkitan epilepsi.
15
Bangkitan parsial kompleks
a Bangkitan parsial sederhana yang diikuti dengan gangguan
kesadaran
b Bangkitan parsial sederhana yang disertai gangguan kesadaran saat
awal bangkitan
Bangkitan parsial yang menjadi umum sekunder
a Parsial sederhana yang menjadi umum tonik klonik
b Parsial kompleks menjadi umum tonik klonik
c Parsial sederhana menjadi parsial kompleks kemudian menjadi
umum tonik
II. Generalized seizures of nonfocal origin (convulsive or nonconvulsive)
a Lena (absence)
b Mioklonik
c Klonik
d Tonik
e Tonik-klonik
f Atonik
g Klonik
h Tonik
i Tonik-klonik
j Atonik
III. Unclassified epileptic seizures3
16
dikenali seperti infantile spasms dan benign partial childhood with
central-midtemporal spikes, dimana keduanya memiliki tatalaksana serta
prognosis yang berbeda.3
Selain itu terdapat beberapa sindrom epilepsi yang tergolong
idiopatik namun memiliki kesamaan gejala klinis dengan golongan
kriptogenik. Pada akhirnya penggolongan sindrom epilepsi ini tetap
penting, dalam usaha tatalaksana pasien epilesi secara tepat dan maksimal.
Tabel. 2 Modified Classification of Epileptic Syndromes
4. Etiologi
17
Epilepsi dibagi menjadi tiga golongan, yaitu idiopatik, kriptogenik
dan simptomatik.1
a. Idiopatik Tidak terdapat lesi structural di otak atau deficit
neurologis. Diperkirakan mempunyai predisposisi genetik dan
umumnya berhubungan dengan usia.
b. Kriptogenik Dianggap simtomatis tetapi penyebabnya belum
diketahui. Termasuk di sini adalah sindrom West, sindrom Lennox-
Gastaut, dan epilepsi mioklonik. Gambaran klinis sesuai dengan
ensefalopati difus.
c. Simtomatis Bangkitan epilepsi disebabkan oleh kelainan/lesi
structural pada otak, misalnya; cedera kepala, infeksi SSP, kelainan
congenital, lesi desak ruang, gangguan peredaran darah otak,
toksik (alkohol,obat), metabolic, kelainan neurodegeneratif.
5. Patogenesis
Kemajuan yang pesat dalam pengobatan epilepsi menjadi tanda
bahwa pengetahuan tentang kejadian dan kendali terhadap kejang-kejang
epileptik telah sangat maju. Meskipun demikian pengetahuan tentang
patogenesis pada epilepsi berkembang pesat jauh sesudah obat-obat anti
epilepsi ditemukan.
Mc.Namara dan peneliti lainnya6 mengajukan konsep-konsep baru
mengenai patofisiologi yang terjadi pada proses epileptik, yaitu adanya
gangguan di tingkat seluler/neuronal dalam keseimbangan antara faktor-
faktor eksitasi dan inhibisi neuronal, baik yang bersifat seluler tunggal
maupun dalam bentuk network. Dengan demikian konsep pengobatan
dalam tahap eksperimental ini, melangkah kepada tingkat intervensi
farmakologik dalam meredam hipereksitabilitas dan hipersinkronisasi
neuronal atau meningkatkan inhibisi merupakan sasaran pengendalian
proses epileptik.
Dalam hal ini, pada patogenesis epilepsi, peran neurotransmitter
GABA, glutamat dan kainat serta reseptor-reseptornya dapat
diungkapkan. Selain itu mungkin patofisiologi serangan epileptik dapat
melibatkan juga gangguan pada saluran ion (channelopathy) atau proses
18
remodelling dari jaringan-jaringan (network) neuron-neuron tersebut,
sebagai bagian dari proses biologi molekuler yang mendasari serangan
epileptik tersebut.
Dari hasil penelitian klinis dan juga dari binatang percobaan dapat
disimpulkan bahwa proses epileptogenesis pada manusia bersifat
kompleks dan multifaktorial serta dapat berlangsung dalam kurun waktu
beberapa hari sampai beberapa tahun. Proses dapat dimulai oleh suatu
‘’Precipitative event’’. Melihat bahwa epilepsi merupakan suatu spektrum
penyakit yang tidak homogen, tapi terdiri dari berbagai jenis, maka
faktor-faktor presipitatif yang berperan pada masing-masing jenis
mungkin berbeda. Faktor-faktor pencetus dapat bermacam-macam;
trauma waktu kecil, antenatal hipoksia, radang terutama infeksi virus.
Lado dan Mosche mengatakan bahwa peningkatan frekuensi
kejang demam pada usia 1 sampai usia 5 tahun merupakan faktor risiko
yang penting pada genesis epilepsi lobus temporalis.
19
aksi yang timbul pada akson, beriringan menjauhi badan sel. Depolarisasi
yang cukup kuat ini disebut sebagai “paroxysmal depolarization shift”
(PDS). Keadaan ini sesuai dengan patofisiologi epilepsi kronik pada
manusia, dimana sering ditemukan gelombang-gelombang paku pada
EEG pada periode interiktal.4
Sesuai dengan mekanisme dasar epilepsi, PDS timbul akibat
gangguan fungsi membran sel pada segolongan neuron atau karena input
eksitatorik yang meningkat tajam atau sebaliknya, fungsi inhibitorik yang
menurun tajam. Selama periode interiktal pada fokus tertentu diamati
pada studi epilepsi eksperimental pada neokorteks kucing, melalui
aplikasi penicillin secara fokal, terjadi proses depolarisasi yang
berkepanjangan yang disertai letupan-letupan potensial aksi pada fase
tonik, diikuti osilasi membran potensial dan letupan-letupan potensial aksi
yang diselingi dengan “silent periode” yang khas untuk fase klonik. Silent
periode ini menandakan hyperpolarisasi temporer yang memblok PDS.4
Perubahan patofisiologi yang mendasari proses interiktal menjadi
proses iktal dengan manifestasi kejang epilepsi tidak diketahui dengan
pasti. Gangguan stabilitas membran sel neuron dan pengaruh dari
neurotransmitter eksiatatorik atau inhibitorik. Perubahan ini tidak terjadi
hanya pada satu neuron saja tapi melibatkan neuron yang lebih jauh
jaraknya melalui mekanisme sinaps hingga timbullah aktivitas epilepsi
pada segolongan neuron (neuronal network) atau kemudian menyebar ke
seluruh permukaan kortek melalui serabut talamokortikal.4
Sebagaimana proses epilepsi dari saat interiktal menjadi proses
iktal yang masih belum jelas semikian juga pada proses berhentinya suatu
aktivitas epilepsi. Kejang akan berhenti sendiri sesuai dengan aktivitas
yang meningkat dari proses inibisi serta bokade depolarisasi yang ditandai
dengan supresi aktivitas EEG postiktal.4
20
depolarisasi yang panjang ini akan menimbulkan beberapa potensial aksi
yang timbul pada akson, beriringan menjauhi badan sel dan menyebar ke
seluruh bagian korteks lainnya.3
21
Pada bangkitan lena (petit mal seizure) terjadi kehilangan
kesadaran dalam waktu yang singkat dan terjadi penghentian gerakan
dan seluruh aktivitas. Bangkitan lena ini terjadi secara tiba-tiba tanpa
adanya periode postiktal. Pada bangkitan lena ini sering juga dijumpai
kejang mioklonik pada mata dan otot muka, beberapa tonus otot yang
hilang serta automatisme. Jika fase awal dan akhir dari bangkitan ini
tidak dapat dibedakan atau pada saat fase kejang terdapat kejang tonik
serta gejala otonom, maka digunakan terminology kejang atipikal.
Kejang atipikal ini biasanya terjadi pada anak dengan retradasi mental
seperti sindrom Lennox-Gastaut.5
22
Gambar 2. Gambaran EEG kejang parsial.
9. Diagnosis
Diagnosis epilepsi ditegakkan atas dasar adanya gejala dan tanda
klinik dalam bentuk bangkitan epilepsi berulang (minimum 2 kali) yang
ditunjang oleh gambaran epileptiform pada EEG. Secara lengkap urutan
pemeriksaan untuk menuju ke diagnosis adalah sebagai berikut: 1
23
1. Anamnesis (auto dan alo-anamnesis)
a. Pola/bentuk bangkitan
b. Lama bangkitan
c. Gejala sebelum, selama, dan pasca bangkitan
d. Frekuensi bangkitan
e. Faktor pencetus
f. Ada/tidak adanya penyakit lain yang diderita sekarang
g. Usia pada saat terjadinya bangkitan pertama
h. Riwayat pada saat dalam kandungan, persalinan/kelahiran dan
perkembangan bayi/anak
i. Riwayat terapi epilepsi sebelumnya
j. Riwayat penyakit epilepsi dalam keluarga
2. Pemeriksaan fisik umum dan neurologik
Hal-hal yang perlu diperiksa antara lain adanya tanda-tanda dari gangguan
yang berhubungan dengan epilepsi, misalnya trauma kepala, infeksi
telinga atau sinus, gangguan kongenital, gangguan neurologik fokal atau
difus, kecanduan alcohol atau obat terlarang, dan kanker.
24
- Membantu dalam menentukan letak fokus
- Bila ada perubahan bentuk bangkitan (berbeda dengan bangkitan
sebelumnya)
b. Pemeriksaan pencitraan otak
Indikasi:
c. Pemeriksaan laboratorium
- Pemeriksaan darah, meliputi hemoglobin, leukosit, hematokrit,
trombosit, apus darah tepi, elektrolit (natrium, kalium, kalsium,
magnesium), kadar gula, fungsi hati (SGOT, SGPT, gamma GT,
alkali fosfatase), ureum, kreatinin, dan lain-lain atas indikasi.
- Pemeriksaan cairan serebrospinal, bila dicurigai adanya infeksi
SSP.
- Pemeriksaan lain dilakukan atas indikasi misalnya ada kelainan
metabolik bawaan.
10. Diagnosis Banding
Diagnosis banding pada kasus peilepsi dewas adapat berupa
sinkope serangan iskemik sepintas, vertigo, transient global amnesia,
narkolepsi, bangkitan panic, psikogenik, dan sindrom Menier.
25
Gambar 3. Diagnosis banding
11. Penatalaksanaan
Tujuan utama terapi epilepsi adalah tercapainya kualitas hidup
optimal untuk pasien, sesuai dengan perjalanan penyakit epilepsi dan
disabilitas fisik maupun mental yang dimilikinya. Prinsip terapi
farmakologi: 1
1. OAE mulai diberikan bila:
b. Diagnosis epilepsi telah ditentukan
c. Setelah pasien atau keluarganya menerima penjelasan tujuan
pengobatan
d. Pasien dan keluarganya telah diberitahu tentang kemungkinan
efek samping yang timbul
26
2. Terapi dimulai dengan monoterapi, menggunakan OAE pilihan sesuai
dengan jenis bangkitan dan sindrom epilepsi.
3. Pemberian obat dimulai dengan dosis rendah dan dinaikkan bertahap
sampai dosis efektif tercapai atau timbul efek samping, kadar obat
plasma ditentukan bila bangkitan tidak terkontrol dengan dosis efektif.
4. Bila dengan penggunaan dosis maksimum obat pertama tidak dapat
mengontrol bangkitan, maka perlu ditambahkan OAE kedua. Bila OAE
telah mencapai kadar terapi, maka OAE pertama diturunkan bertahap
perlahan-lahan
5. Penambahan obat ketiga baru dilakukan setelah terbukti bangkitan tidak
dapat diatasi dengan penggunaan dosis maksimal kedua OAE pertama.
Pemilihan OAE didasarkan atas jenis bangkitan epilepsi, efek
samping OAE, interaksi antarobat epilepsi. 1
27
Lamotrigine
28
Gambar 4. Algoritma Tatalaksanan kejang
Untuk menghentikan pemberian OAE pada penderita yang sudah
lama mengkonsumsi OAE ada beberapa syarat yang harus dipenuhi.1
1. Syarat umum untuk menghentikan pemberian OAE adalah sebagai
berikut:
a. Penghentian OAE dapat didiskusikan dengan pasien atau
keluarganya setelah bebas bangkitan selama minimal 2 tahun
b. Gambaran EEG normal
c. Harus dilakukan secara bertahap, umumnya 25% dosis semula,
setiap bulan dalam jangka waktu 3-6 bulan.
d. Penghentian dimulai dari satu OAE yang bukan utama.
2. Kekambuhan setelah penghentian OAE lebih besar kemungkinannya pada
keadaan sebagai berikut:
a. Semakin tua usia
29
b. Epilepsi simtomatik
c. Gambaran EEG abnormal
d. Semakin lama adanya bangkitan sebelum dapat dikendalikan
e. Tergantung bentuk sindrom epilepsi yang diderita
f. Penggunaan lebih dari satu OAE
g. Masih mendapatkan satu atau lebih bangkitan setelah memulai terapi
h. Mendapat terapi 10 tahun atau lebih
3. Kemungkinan untuk kambuh lebih kecil pada pasien yang telah bebas
dari bangkitan selama 3-5 tahun, atau lebih dari 5 tahun. Bila bangkitan
timbul kembali maka gunakan dosis efektif terakhir (sebelum
pengurangan dosis OAE), kemudian dievaluasi kembali.
30
BAB III
KESIMPULAN
A. Kesimpulan
Pasien datang ke IGD RSUD Salatiga dengan keluhan kejang
sebanyak 3 kali SMRS dan 1 kali di IGD RSUD Salatiga. Selama kejang dan
setelah kejang pasien tidak sadarkan diri. Pasien mengatakan merasa seperti
bingung setelah sadar. Sesaat sebelum kejang pasien mengatakan selalu
merasakan pusing berputar. Kejang berulang dialami pasien sejak 1.5 tahun
terakhir dan pasien rutin kontrol ke poli saraf. Pada saat kejang tangan dan
kaki kelojotan, mulut mengecap. Pagi hari SMRS pasien terjatuh di halaman
dan kepalanya terbentur. Setelah terjatuh pasien tidak sadarkan diri sekitar 20
menit dan merasa nyeri kepala setelah tersadar. Mual dan muntah setelah
terjatuh di sangkal. Pasien memiliki riwayat terkena stroke pada tahun 2014
dan saat ini rutin kontrol ke poli saraf. Pasien menderita hipertensi dan rutin
kontrol. Riwayat kejang sebelum stroke disangkal. Riwayat Diabetes melitus,
asma dan jantung disangkal. Tidak ada yang mengeluh hal serupa di keluarga
pasien. Riwayat penyakit keturunan seperti asma, hipertensi, penyakit
jantung, stroke, diabetes pada keluarga pasien disangkal.
Pada pemeriksaan fisik generalisata dalam batas normal. Pada
pemeriksaan neurologistidak didapatkan adanya kelainan pada pemeriksaan
nervus kranialis. Berdasarkan hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik maka
pasien didiagnosis klinis post traumatic seizure dikarenakan kejang muncul
setelah pasien terjatuh dan kepala pasien terbentur.
Berdasarkan temuan ini pasien dirawat inap, dan dilakukan
pemeriksaan lebih lanjut yang lebih spesifik untuk mengetahui penyebab
keluhan pasien. Setelah dilakukan pemeriksaan CT-Scan didapatkan hasil
gambaran SAH di peritentorium dextra, perifalk posterior dan region
occipitalis dextra.disertai gambaran cortical infark kronik di lobus
parietooccipitalis dextra dd/ encephalomalacia dan multiple infark pada
corona radiata sinistra dan crus anterior et posterior capsula interna dextra et
sinistra. Berdasarkan hasil anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang maka pasien didiagnosis epilepsi sekunder dengan SAH
31
dikarenakan adanya riwayat stroke, kejang berulang setelah stroke, gambaran
infark kronik dan perdarahan subarachnoid. Terapi yang diberikan selama
rawat inap di RSUD Kota Salatiga bertujuan untuk mengatasi perdarahan
subarachnoid yang dialami yaitu dengan pemberian manitol 6x100cc. Terapi
untuk kejang diberikan inj. Phenytoin 100mg dilanjutkan dengan obat peroral
yang rutin di konsumsi oleh pasien. Obat anti epilepsi dapat dihentikan
setelah pasien bebas bangkitan selama minimal 2 tahun, gambaran EEG
normal, Harus dilakukan secara bertahap, dan dimulai dari satu OAE yang
bukan utama.
32
DAFTAR PUSTAKA
33