Anda di halaman 1dari 9

Inflasi merupakan salah satu variabel makroekonomi yang sangat ditakuti oleh setiap

perekonomian, Namun eksistensinya masih tetap dibutuhkan bagi pertumbuhan ekonomi suatu
negara, dan yang menjadi pertanyaan adalah seberapa besar inflasi tersebut yang masih dapat
menunjang pertumbuhan ekonomi. Oleh karena itu pemerintah dan bank sentral setiap tahun dalam
setiap menyusun Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) selalu berhati-hati dalam
menetapkan tingkat inflasi, karena setiap penetapan tingkat inflasi maka konsekuensinya adalah
mampukan pemerintah tersebut mencapai tingkat pertumbuhan yang diinginkannya.

Inflasi secara definitif dapat diartikan suatu keadaan dimana meningkatnya hargaharga
secara umum dan terus menerus yang berhubungan dengan mekanisme pasar, artinya konsumsi
masyarakat yang cenderung naik dan kelebihan likuiditas di pasar bahkan dapat sebagai akibat dari
macetnya saluran distribusi. Inflasi dapat juga dikatakan sebagai proses menurunnya nilai mata uang
secara terus menerus, yang dapat menyebabkan meningkatnya persediaan uang, yang sering
dianggap penyebab naiknya harga, hal ini menunjukkan bahwa adanya indikasi mengenai hubungan
fungsional antara jumlah uang beredar dengan tingkat harga.

Dalam teori dan kajian empiris sering muncul perdebatan mengenai keterkaitan hubungan
antara tingkat harga dan jumlah uang beredar. Apakah jumlah uang beredar dipengaruhi oleh harga
atau sebaliknya. Sebagai contoh adalah kebijakan moneter moneter yaitu kebijakan uang ketat atau
Tight Money Policy, yang bertujuan untuk memelihara kestabilan harga, hal ini menunjukkan bahwa
variabel harga adalah target.

Secara umum kita dapat menyatakan bahwa suatu perekonomian dalam keadaan seimbang,
tingkat harga dipengaruhi oleh jumlah uang beredar. Ditegaskan oleh Mankiw (2003), keeratan
hubungan tingkat harga (inflasi) dan jumlah uang beredar tidak dapat dilihat dalam jangka pendek.
Teori inflasi ini bekerja paling baik dalam jangka panjang. Granger (1988) menyatakan bahwa
hubungan kausalitas antara dua variabel dipengaruhi oleh perilaku data dan apakah keduanya
berkointegrasi atau tidak. Fokus dalam penelitian ini adalah pengguanaan dua macam uji, kausalitas
dan pendekatan kointegrasi. Uji kointegrasi digunakan untuk melihat apakah hubungan
keseimbangan atau jangka panjang antar variabel sesuai dengan teori atau tidak.

Berdasarkan uraian di atas, maka penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan
pengaruh yang sebenarnya antara jumlah uang beredar dan tingkat inflasi di Indonesia selama kurun
waktu 2000.1-2014.4. Dengan diketahuinya arah dari hubungan tersebut, diharapkan pemerintah
dapat mengambil kebijakan lebih efisien, disamping pengembangan ilmu dan pengajaran.

A. Inflasi

Inflasi adalah kecenderungan kenaikan harga barang atau jasa secara terus menerus dan
kenaikan tersebut meluas ke seluruh sektor perekonomian yang lain karena ketidakseimbangan arus
uang dan barang yang tersedia. Biasanya angka inflasi ditunjukkan dengan persentase. (Boediono,
2000: 161). Inflasi adalah proses kenaikan harga-harga umum secara terus-menerus selama periode
tertentu, mempengaruhi individu, pengusaha dan pemerintah. Inflasi secara umum dianggap
sebagai masalah penting yang harus diselesaikan dan sering menjadi agenda utama politik dan
pengambil kebijakan (Miskhin, 2010: 13).

Menurut Mankiw (2003), keeratan hubungan inflasi dengan jumlah uang beredar tidak dapat
dilihat dalam jangka pendek. Teori inflasi ini bekerja paling baik dalam jangka panjang, bukan dalam
jangka pendek. Dengan demikian, hubungan antara pertumbuhan uang dan inflasi dalam data
bulanan tidak akan seerat hubungan keduanya jika dilihat selama periode 10 tahun.

Setiap perekonomian pasti mengalami inflasi, yang menjadi pertanyaan kita adalah mengapa
inflasi itu terjadi, berbahayakah inflasi tersebut?. Ada beberapa teori yang membahas tentang inflasi
antara lain: teori kuantitas, Teori Keynes dan teori struktural.

1. Teori Kuantitas dari kaum klasik, berpendapat bahwa tingkat harga ditentukan oleh jumlah uang
beredar, harga akan naik jika ada penambahan jumlah uang beredar, dengan asumsi jumlah barang
yang ditawarkan tetap, sedangkan jumlah uang ditambah menjadi dua kali lipat, maka cepat atau
lambat harga akan naik menjadi dua kali lipat.

2. Teori J. M.Keynes : Keynes melihat bahwa inflasi terjadi karena adanya keserakahan dari suatu
kelompok masyarakat yang ingin memanfaatkan lebih banyak barang dan jasa yang tersedia. Kondisi
ini menyebabkan permintaan agregat meningkat, sedangkan penawaran tetap, yang akan terjadi
adalah harga akan naik.

3. Teori Struktural : Teori ini menyorot penyebab inflasi dari segi struktural ekonomi yang kaku.
Produsen tidak dapat mengantisipasi cepat kenaikan permintaan yang disebabkan oleh
pertambahan penduduk. Permintaan sulit dipenuhi ketika ada kenaikan jumlah penduduk.

Secara grafis mengapa inflasi itu terjadi, dapat kita lihat sebagai berikut:

a. Demand Pull Inflation, yaitu inflasi yang disebabkan oleh meningkatnya jumlah permintaan
akan barang dan jasa.

Pada kurva di atas menunjukkan hubungan antara harga barang (P), jumlah yang diminta
dan ditawarkan (Q), dan keseimbangan harga (E). Terjadinya Demand Pull Inflation ketika
permintaan akan barang dan jasa meningkat, maka kurva permintaan total (D) bergeser dari
D1D1 ke D2D2. Ketika itu para pedagang akan mengambil keuntungan dengan menaikkan
harga barang dari P1 ke P2. Sehingga pada saat itu, terjadi inflasi dan menimbulkan harga
keseimbangan baru dari E1 ke E2

b. Cost Push Inflation, yaitu inflasi yang disebabkan oleh kenaikan biaya produksi.
a

Pada kurva tersebut menunjukkan perilaku produsen ketika menghadapi situasi


dimana harga produksi mengalami peningkatan. Jika terjadi kenaikan harga produksi
maka produsen akan menaikkan harga dari P1 ke P2 tetapi dia justru akan
menurunkan jumlah barang/jasa yang dihasilkan dari Q2 ke Q1 sehingga akan
menggeser kurva penawaran dari S1 menjadi S2. Hal ini dilakukan agar produsen
tidak terus merugi sambil menunggu harga produksi kembali turun.
Namun demikian, menurut Mankiw (2003), keeratan hubungan inflasi dengan
jumlah uang beredar tidak dapat dilihat dalam jangka pendek. Teori inflasi ini
bekerja paling baik dalam jangka panjang, bukan dalam jangka pendek. Dengan
demikian, hubungan antara jumlah uang beredar dan inflasi dalam data bulanan
tidak akan seerat hubungan keduanya jika dilihat selama periode 10-tahun.

B. Jenis-jenis Inflasi
a. Jenis inflasi menurut sifatnya
Inflasi dibagi kedalam tiga kategori, yakni: merayap (creeping inflation), inflasi menengah
(galloping inflation), dan inflasi tinggi (hyper inflation). Sebenarnya pembagian kedalam tiga
kategori tidak ada standar yang pasti. Biasanya creeping inflation ditandai dengan laju inflasi
yang rendah ( kurang dari 10% pertahun). Inflasi menengah ( galloping inflation) ditandai
dengan harga yang cukup besar (biasanya double digit atau bahkan triple digit). Dan kadang
kala berjalan dalam waktu yang relatif pendek serta mempunyai sifat akselerasi. Inflasi tinggi
(hyper inflation) merupakan inflasi yang paling parah akibatnya. Hargaharga naik sampai 5
atau 6 kali. Masyarakat tidak lagi berkeinginan untuk menyimpan uang. Nilai uang merosot
dengan tajam sehingga ingin ditukarkan dengan barang. Perputaran uang semakin cepat,
harga naik secara akselerasi. Biasaya keadaan ini timbul apabila pemerintah mengalami
defisit anggaran belanja ( misalnya ditimbulkan oleh adanya perang) yang dibelanjai atau
ditutup dengan mencetak uang.

b. Jenis inflasi menurut sebabnya


1. Demand full inflation
Inflasi ini bermula dari adanya kenaikan permintaan total (agregate demand), sedangkan
produksi telah berada pada keadaan kesempatan kerja penuh atau hampir mendekati
kesempatan kerja penuh. Dalam inflasi ini, kenaikan permintaan total dapat menaikkan
harga dan dapat juga menaikkan hasil produksi (output). Apabila kesempatan kerja
penuh ( full-employment) telah tercapai; penambahan permintaan selanjutnya hanyalah
akan menaikkan harga saja (sering disebut dengan inflasi murni). Apabila kenaikan
permintaan ini menyebabkan keseimbangan GNP berada diatas atau melebihi GNP pada
kesempatan kerja penuh maka akan terdapat adanya “inflationary gap”. Inflationary gap
inilah yang dapat menimbulkan inflasi.

Penjelasan: kenaikan pengeluaran total dari C+I menjadi C’ + I’ akan menyebabkan


keseimbangan pada titik B berada diatas GNP full-employment (YFE). Jarak A-B atau YFE
– Y1 menunjukkan besarnya inflationary gap. Dengan menggunakan kurva permintaan
dan penawaran total proses terjadinya demand pull inflation dapat dijelaskan secara
grafik digambarkan sebagai berikut:
Bermula dengan harga P1 dan output Q1, kenaikan permintaan total dari AD1 ke AD2
menyebabkan ada sebagian permintaaan yang tidak dapat dipenuhi oleh penawaran
yang ada. Akibatnya, harga naik menjadi P2 dan output naik menjadi QFE. Kenaikan AD2
selanjutnya menjadi AD3 menyebabkan harga naik menjadi P3 sedangkan output tetap
pada QFE. Kenaikan harga ini disebabkan oleh adanya inflationary gap. Proses kenaikan
harga ini akan berjalan terus sepanjang permintaan total terus naik ( misalnya menjadi
AD4).

2. Cost push inflation


Berbeda dengan demand full inflation, cost push inflation biasanya ditandai dengan
kenaikan harga serta turunnya produksi. Jadi, inflasi yang dibarengi dengan resesi.
Keadaan ini timbul dimulai dengan adanya penurunan dalam penawaran total (agregat
supply) sebagai akibat kenaikannya biaya produksi. Kenaikan biasa produksi ini dapat
timbul karena beberapa factor diantaranya:
 Buruh yang menuntut kenaikan upah
 Industri yang sifatnya monopolistis, manager dapat menggunakan
 kekuasaannya dipasar untuk menentukan harga (yang lebih tinggi).
 Kenaikan harga barang baku industri.

Kenaikan biaya produksi pada gilirannya akan menaikkan harga dan turunnya produksi.
Kalau proses ini berjalan terus maka timbullah cost push inflation. Dijelaskan pada gambar
berikut:

Bermula pada harga P1 dan QFE. Kenaikan biaya produksi (disebabkan baik karena
berhasilnya tuntutan kenaikan upah oleh serikat buruh ataupun kenaikan harga barang baku
untuk industri) akan menggeser kurva penawaran total dari AS1 menjadi AS2.
Konsekuensinya harga naik menjadi P2 dan produksi turun menjadi Q1. Kenaikan harga
selanjutnya akan menggeser kurva AS mejadi AS3, harga naik dan roduksi turun menjadi Q2.
Proses ini akan berhenti apabila AS tidak lagi bergeser keatas. Proses kenaikan harga ini
(yang sering juga dibarengi dengan turunnya produksi) disebut dengan cost push inflation.
c. Berdasarkan asal inflasi
a. Domestic inflation
Inflasi yang berasal dari dalam negeri yang timbul misalnya karena deficit anggaran
belanja yang dibiayai dengan pencetakan uang baru, panen yang gagal dan sebagainya.

b. Imported Inflation atau inflasi yang tertular dari luar negeri.


Inflasi ini timbul karena kenaikan harga-harga di luar negeri atau Negaranegara
langganan berdagang kita. Kenaikan harga barang-barang yang kita impor
mengakibatkan:
1. Secara langsung menaikkan indeks biaya hidup karena sebagian dari barang-barang
yang tercakup di dalamnya berasal dari impor.
2. Secara tidak langsung menaikan indeks harga melalui kenaikan ongkos produksi (dan
kemudian, harga jual) dari berbagai barang yang menggunakan bahan mentah atau
mesin-mesin yang harus di impor (cost inflation).
3. Secara tidak langsung menimbulkan kenaikan harga di dalam negeri karena ada
kemungkinan (tetapi ini tidak harus demikian) kenaikan harga barangbarang impor
mengakibatkan kenaikan pengelauaran pemerintah atau swasta yang berusaha
mengimbangi kenaikan harga impor tersebut (demand Pull Inflation).

C. Pengaruh Injeksi Moneter

Sekarang mari kita pertimbangkan efek dari perubahan kebijakan moneter. Untuk
melakukannya, bayangkan ekonomi berada dalam ekuilibrium dan kemudian, tiba-tiba, The Fed
menggandakan pasokan uang dengan mencetak beberapa lembar uang dolar dan menjatuhkannya
di seluruh negeri dari helikopter. (Atau, secara kurang dramatis dan lebih realistis, Fed dapat
menyuntikkan uang ke dalam perekonomian dengan membeli beberapa obligasi pemerintah dari
publik dalam operasi pasar terbuka.) Apa yang terjadi setelah suntikan moneter seperti itu?
Bagaimana keseimbangan baru dibandingkan dengan yang lama?

Gambar 2 menunjukkan apa yang terjadi. Injeksi moneter menggeser kurva penawaran ke kanan
dari MS1 ke MS2, dan keseimbangan bergerak dari titik A ke titik B. Akibatnya, nilai uang
(ditunjukkan pada sumbu kiri) menurun dari ½ ke ¼, dan ekuilibrium tingkat harga (ditampilkan di
sumbu kanan) meningkat dari 2 menjadi 4. Dengan kata lain, ketika peningkatan jumlah uang
beredar membuat dolar lebih banyak, akibatnya adalah kenaikan tingkat harga yang membuat setiap
dolar menjadi kurang berharga.
Penjelasan tentang bagaimana tingkat harga ditentukan dan mengapa bisa berubah seiring
waktu disebut teori kuantitas uang. Menurut teori kuantitas, jumlah uang yang tersedia dalam suatu
perekonomian menentukan nilai uang, dan pertumbuhan jumlah uang adalah penyebab utama
inflasi. Seperti yang pernah dikatakan oleh ekonom Milton Friedman, "Inflasi selalu dan di mana-
mana merupakan fenomena moneter".

D. Sekilas tentang Proses Penyesuaian

Sejauh ini, kita telah membandingkan ekuilibrium lama dan ekuilibrium baru setelah suntikan uang.
Bagaimana perekonomian berpindah dari ekuilibrium lama ke ekuilibrium baru? Jawaban lengkap
untuk pertanyaan ini membutuhkan pemahaman tentang fluktuasi ekonomi jangka pendek, yang
akan kita kaji nanti dalam buku ini. Di sini, kami secara singkat membahas proses penyesuaian yang
terjadi setelah perubahan jumlah uang beredar.

Efek langsung dari suntikan moneter adalah menciptakan kelebihan pasokan uang. Sebelum injeksi,
perekonomian berada dalam kondisi ekuilibrium (titik A pada Gambar 2). Pada tingkat harga yang
berlaku, orang memiliki uang sebanyak yang mereka inginkan. Tetapi setelah helikopter
menjatuhkan uang baru dan orang-orang mengambilnya dari jalanan, orang-orang memiliki lebih
banyak dolar di dompet mereka daripada yang mereka inginkan. Pada tingkat harga yang berlaku,
jumlah uang yang ditawarkan sekarang melebihi jumlah yang diminta.

Orang-orang mencoba menyingkirkan kelebihan pasokan uang ini dengan berbagai cara. Mereka
mungkin menggunakannya untuk membeli barang dan jasa. Atau mereka mungkin menggunakan
kelebihan uang ini untuk memberikan pinjaman kepada orang lain dengan membeli obligasi atau
dengan menyimpan uang tersebut di rekening tabungan bank. Pinjaman ini memungkinkan orang
lain untuk membeli barang dan jasa. Dalam kedua kasus tersebut, suntikan uang meningkatkan
permintaan akan barang dan jasa.
Kemampuan ekonomi untuk memasok barang dan jasa, bagaimanapun, tidak berubah. Seperti yang
kita lihat pada bab produksi dan pertumbuhan, keluaran barang dan jasa perekonomian ditentukan
oleh tenaga kerja yang tersedia, modal fisik, modal manusia, sumber daya alam, dan pengetahuan
teknologi. Tak satu pun dari ini diubah oleh suntikan uang.

Dengan demikian, permintaan barang dan jasa yang semakin besar menyebabkan harga barang dan
jasa meningkat. Kenaikan tingkat harga, pada gilirannya, meningkatkan jumlah uang yang diminta
karena orang menggunakan lebih banyak dolar untuk setiap transaksi. Akhirnya, perekonomian
mencapai ekuilibrium baru (titik B pada Gambar 2) di mana jumlah uang yang diminta kembali sama
dengan jumlah uang yang ditawarkan. Dengan cara ini, tingkat harga keseluruhan untuk barang dan
jasa menyesuaikan untuk menyeimbangkan jumlah uang beredar dan permintaan uang.

E. Dikotomi Klasik dan Netralitas Moneter

Kita telah melihat bagaimana perubahan jumlah uang beredar menyebabkan perubahan tingkat
rata-rata harga barang dan jasa. Bagaimana perubahan moneter mempengaruhi variabel lain, seperti
produksi, lapangan kerja, upah riil, dan tingkat bunga riil? Pertanyaan ini telah lama membuat
penasaran para ekonom, termasuk David Hume di abad ke-18.

Hume dan orang-orang sezamannya menyarankan bahwa variabel ekonomi harus dibagi menjadi
dua kelompok. Kelompok pertama terdiri dari variabel nominal — variabel yang diukur dalam unit
moneter. Kelompok kedua terdiri dari variabel nyata — variabel yang diukur dalam satuan fisik.
Misal, pendapatan petani jagung adalah variabel nominal karena diukur dalam rupiah, sedangkan
kuantitas jagung yang mereka hasilkan merupakan variabel riil karena diukur dalam bushel. PDB
Nominal adalah variabel nominal karena mengukur nilai dolar dari output barang dan jasa
perekonomian; PDB riil adalah variabel riil karena mengukur jumlah total barang dan jasa yang
diproduksi dan tidak dipengaruhi oleh harga barang dan jasa tersebut saat ini. Pemisahan variabel riil
dan nominal sekarang disebut dikotomi klasik. (Dikotomi adalah pembagian menjadi dua kelompok,
dan klasik mengacu pada para pemikir ekonomi sebelumnya.)

Menerapkan dikotomi klasik itu rumit ketika kita beralih ke harga. Sebagian besar harga dikutip
dalam satuan uang dan, oleh karena itu, merupakan variabel nominal. Ketika kita mengatakan
bahwa harga jagung adalah $ 2 per gantang atau bahwa harga gandum adalah $ 1 per gantang,
kedua harga tersebut adalah variabel nominal. Tetapi bagaimana dengan harga relatif — harga satu
hal dalam kaitannya dengan hal lain? Dalam contoh kita, kita dapat mengatakan bahwa harga satu
gantang jagung adalah 2 gantang gandum. Harga relatif ini tidak diukur dalam bentuk uang. Saat
membandingkan harga dua barang, tanda dolar membatalkan, dan angka yang dihasilkan diukur
dalam unit fisik. Jadi, sementara harga dolar adalah variabel nominal, harga relatif adalah variabel
riil. Pelajaran ini memiliki banyak penerapan. Misalnya, upah riil (upah dolar yang disesuaikan
dengan inflasi) adalah variabel riil karena mengukur tingkat di mana orang menukar barang dan jasa
untuk satu unit kerja. Demikian pula, tingkat bunga riil (tingkat bunga nominal yang disesuaikan
dengan inflasi) adalah variabel riil karena mengukur tingkat di mana orang menukar barang dan jasa
saat ini dengan barang dan jasa di masa depan.

Mengapa memisahkan variabel ke dalam kelompok ini? Dikotomi klasik berguna karena gaya yang
berbeda mempengaruhi variabel riil dan nominal. Menurut analisis klasik, variabel nominal
dipengaruhi oleh perkembangan sistem moneter perekonomian, sedangkan variabel riil tidak. Ide ini
tersirat dalam diskusi kita tentang ekonomi riil dalam jangka panjang. Pada bab-bab sebelumnya,
kita memeriksa determinan GDP riil, tabungan, investasi, tingkat bunga riil, dan pengangguran tanpa
menyebutkan keberadaan uang. Dalam analisis tersebut, produksi barang dan jasa perekonomian
bergantung pada teknologi dan pasokan faktor, tingkat bunga riil menyeimbangkan penawaran dan
permintaan dana pinjaman, upah riil menyeimbangkan penawaran dan permintaan

Anda mungkin juga menyukai