27. Dan jikalau Allah melapangkan rezeki kepada hamba-hamba-Nya tentulah mereka akan
melampaui batas di muka bumi, tetapi Allah menurunkan apa yang dikehendaki-Nya dengan ukuran.
Sesungguhnya Dia Maha Mengetahui (keadaan) hamba-hamba-Nya lagi Maha Melihat.
28. Dan Dialah Yang menurunkan hujan sesudah mereka berputus asa dan menyebarkan rahmat-
Nya. Dan Dialah Yang Maha Pelindung lagi Maha Terpuji.
29. Di antara (ayat-ayat) tanda-tanda-Nya ialah menciptakan langit dan bumi dan makhluk-makhluk
yang melata Yang Dia sebarkan pada keduanya. Dan Dia Maha Kuasa mengumpulkan semuanya
apabila dikehendaki-Nya.
30. Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu
sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu).
31. Dan kamu tidak dapat melepaskan diri (dari azab Allah) di muka bumi, dan kamu tidak
memperoleh seorang pelindung dan tidak pula penolong selain Allah.
32. Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah kapal-kapal di tengah (yang berlayar) di laut
seperti gunung-gunung.
33. Jika Dia menghendaki, Dia akan menenangkan angin, maka jadilah kapal-kapal itu terhenti di
permukaan laut. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kekuasaannya) bagi
setiap orang yang banyak bersabar dan banyak bersyukur,
34. atau kapal-kapal itu dibinasakan-Nya karena perbuatan mereka atau Dia memberi maaf sebagian
besar (dari mereka).
35. Dan supaya orang-orang yang membantah ayat-ayat (kekuasaan) Kami mengetahui bahwa
mereka sekali-kali tidak akan memperoleh jalan ke luar (dari siksaan).
36. Maka sesuatu yang diberikan kepadamu, itu adalah kenikmatan hidup di dunia; dan yang ada
pada sisi Allah lebih baik dan lebih kekal bagi orang-orang yang beriman, dan hanya kepada Tuhan
mereka, mereka bertawakkal.
Pilar Ibadah
Ahlus Sunnah wal Jama’ah sepakat bahwa manusia diciptakan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk
beribadah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya serta meneladani Sunnah Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam. Maka, setiap Muslim dan Muslimah harus mengetahui hakikat ibadah yang
sebenarnya agar amalan yang dikerjakannya diberikan ganjaran kebaikan oleh Allah Subhanahu wa
Ta’ala.
A. Definisi Ibadah
Ibadah secara bahasa (etimologi) berarti merendahkan diri serta tunduk. Sendangkan menurut
syara’ (terminologi), ibadah mempunyai banyak definisi, tetapi makna dan maksudnya satu. Definisi
itu antara lain adalah:
1. Ibadah adalah taat kepada Allah dengan melaksanakan perintah-Nya melalui lisan para Rasul-Nya.
2. Ibadah adalah merendahkan diri kepada Allah Azza wa Jalla, yaitu tingkatan tunduk yang paling
tinggi disertai dengan rasa mahabbah (kecintaan) yang paling tinggi.
3. Ibadah adalah sebutan yang mencakup seluruh apa yang di-cintai dan diridhai Allah Azza wa Jalla,
baik berupa ucapan atau perbuatan, yang zhahir maupun yang bathin. Inilah definisi yang paling
lengkap.
Ibadah terbagi menjadi ibadah hati, lisan dan anggota badan. Rasa khauf (takut), raja’ (mengharap),
mahabbah (cinta), tawakkal (ketergantungan), raghbah (senang), dan rahbah (takut) adalah ibadah
qalbiyyah (yang berkaitan dengan hati). Sedangkan tasbih, tahlil, takbir, tahmid dan syukur dengan
lisan dan hati adalah ibadah lisaniyyah qalbiyyah (lisan dan hati). Sedangkan shalat, zakat, haji, dan
jihad adalah ibadah badaniyyah qalbiyyah (fisik dan hati). Serta masih banyak lagi macam-macam
ibadah yang berkaitan dengan amalan hati, lisan dan badan.
Allah Azza wa Jalla memberitahukan bahwa hikmah penciptaan jin dan manusia adalah agar mereka
melaksanakan ibadah hanya kepada Allah Azza wa Jalla. Dan Allah Mahakaya, tidak membutuhkan
ibadah mereka, akan tetapi merekalah yang membutuhkannya; karena ketergantungan mereka
kepada Allah, maka barangsiapa yang menolak beribadah kepada Allah, ia adalah sombong. Barang-
siapa yang beribadah kepada-Nya tetapi dengan selain apa yang disyari’atkan-Nya, maka ia adalah
mubtadi’ (pelaku bid’ah). Dan barangsiapa yang beribadah kepada-Nya hanya dengan apa yang
disyari’atkan-Nya, maka ia adalah mukmin muwahhid (yang mengesakan Allah).
Sesungguhnya ibadah itu berlandaskan pada tiga pilar, yaitu: hubb (cinta), khauf (takut), raja’
(harapan).
Rasa cinta harus dibarengi dengan rasa rendah diri, sedangkan khauf harus dibarengi dengan raja’.
Dalam setiap ibadah harus terkumpul unsur-unsur ini. Allah berfirman tentang sifat hamba-hamba-
Nya yang mukmin:
“Sedangkan orang-orang yang beriman mereka sangat besar cintanya kepada Allah.” [Al-Baqarah:
165]
“Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang selalu bersegera dalam (mengerjakan) kebaikan
dan mereka berdo’a kepada Kami dengan penuh harap dan cemas. Dan mereka adalah orang-orang
yang khusyu’ kepada Kami.” [Al-Anbiya’: 90]
Sebagian Salaf berkata[1]: “Barangsiapa yang beribadah kepada Allah hanya dengan rasa cinta, maka
ia adalah zindiq [2], barangsiapa yang beribadah kepada-Nya hanya dengan raja’, maka ia adalah
murji’ [3]. Dan barangsiapa yang beribadah kepada-Nya hanya dengan khauf, maka ia adalah haruriy
[4]. Barangsiapa yang beribadah kepada-Nya dengan hubb, khauf, dan raja’, maka ia adalah mukmin
muwahhid.”
C. Syarat Diterimanya Ibadah
Ibadah adalah perkara tauqifiyah, yaitu tidak ada suatu bentuk ibadah yang disyari’atkan kecuali
berdasarkan Al-Qur-an dan As-Sunnah. Apa yang tidak disyari’atkan berarti bid’ah mardudah (bid’ah
yang ditolak) sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
“Barangsiapa yang beramal tanpa adanya tuntutan dari kami, maka amalan tersebut tertolak.” [5]
Agar bisa diterima, ibadah disyaratkan harus benar. Dan ibadah itu tidak bisa benar kecuali dengan
adanya dua syarat:
1. Ikhlas karena Allah semata, bebas dari syirik besar dan kecil.
Syarat yang pertama merupakan konsekuensi dari syahadat laa ilaaha illallaah, karena ia
mengharuskan ikhlas dalam beribadah hanya untuk Allah dan jauh dari syirik kepada-Nya.
Sedangkan syarat kedua adalah konsekuensi dari syahadat Muhammad Rasulullah, karena ia
menuntut wajibnya taat kepada Rasul, mengikuti syari’atnya dan meninggalkan bid’ah atau ibadah-
ibadah yang diada-adakan.
ٌ ْبَلَ ٰى َم ْن أَ ْسلَ َم َوجْ هَهُ هَّلِل ِ َوه َُو ُمحْ ِس ٌن فَلَهُ أَجْ ُرهُ ِع ْن َد َربِّ ِه َواَل َخو
َف َعلَ ْي ِه ْم َواَل هُ ْم يَحْ َزنُون
“(Tidak demikian) bahkan barangsiapa yang menyerahkan diri kepada Allah, sedang ia berbuat
kebajikan, maka baginya pahala di sisi Rabb-nya dan pada diri mereka tidak ada rasa takut dan tidak
(pula) mereka bersedih hati.” [Al-Baqarah: 112]
“… ُ“ أَ ْسلَ َم َوجْ هَهMenyerahkan diri,” artinya memurnikan ibadah kepada Allah “ َوهُ َو ُمحْ ِس ٌنBerbuat
kebajikan,” artinya mengikuti Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah mengatakan: “Inti agama ada dua pilar yaitu kita tidak
beribadah kecuali hanya kepada Allah, dan kita tidak beribadah kecuali dengan apa yang Dia
syari’atkan, tidak dengan bid’ah.”
Yang demikian adalah manifestasi (perwujudan) dari dua kalimat syahadat Laa ilaaha illallaah,
Muhammad Rasuulullaah.
Pada yang pertama, kita tidak beribadah kecuali kepada-Nya. Pada yang kedua, bahwasanya
Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah utusan-Nya yang menyampaikan ajaran-Nya. Maka
kita wajib membenarkan dan mempercayai beritanya serta mentaati perintahnya. Beliau Shallallahu
‘alaihi wa sallam telah menjelaskan bagaimana cara kita beribadah kepada Allah, dan beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang kita dari hal-hal baru atau bid’ah. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa
sallam mengatakan bahwa semua bid’ah itu sesat.[6]
Ibadah di dalam Islam tidak disyari’atkan untuk mempersempit atau mempersulit manusia, dan tidak
pula untuk menjatuhkan mereka di dalam kesulitan. Akan tetapi ibadah itu disyari’atkan untuk
berbagai hikmah yang agung, kemashlahatan besar yang tidak dapat dihitung jumlahnya.
Pelaksanaan ibadah dalam Islam semua adalah mudah.
Di antara keutamaan ibadah bahwasanya ibadah mensucikan jiwa, membersihkan hati, dan
mengangkatnya ke derajat tertinggi menuju kesempurnaan manusia.
Pembagian Ihsan
Sebelum kami membahas lebih jauh tentang ihsan dalam beribadah, perlu diketahui
sebelumnya bahwa pada dasarnya, ihsan terbagi menjadi dua: (1) ihsan dalam ibadah
kepada Allah; dan (2) ihsan dalam menunaikan hak-hak makhluk. Ihsan dalam beribadah
kepada Allah – jenis yang akan dibahas di sini – terbagi menjadi dua, yaitu ihsan yang
wajib dan ihsan yang mustahab (sunah), sebagaimana ihsan dalam menunaikan hak-hak
makhluk juga terbagi menjadi dua, yaitu ihsan yang wajib, dan ihsan
yang mustahab (sunah). (Lihat Hushulul Ma-mul karya Syaikh Abdullah al-
Fauzan hafidzahullah)
Ihsan yang wajib ialah seseorang beribadah kepada Allah Ta’ala dengan memenuhi dua
syarat diterimanya ibadah, yaitu ikhlas dan ittiba’(mengikuti tuntunan
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam).
Allah Ta’ala berfirman yang artinya, “Dan Dia-lah yang menciptakan langit dan bumi dalam
enam masa, dan adalah singgasana-Nya (sebelum itu) di atas air, agar Dia menguji
siapakah di antara kamu yang lebih baik (lebih ihsan) amalnya.” (QS. Huud: 7)
Pahala yang Allah berikan kepada hamba-Nya atas amal ibadah yang telah dia lakukan,
berbeda-beda. Ada diantara mereka yang mendapat pahala sepuluh kali lipat, ada yang
tujuh ratus kali lipat, bahkan ada yang jauh lebih banyak dari itu. Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang bermaksud berbuat kebaikan, kemudian
dia mengamalkannya; maka Allah akan mencatatnya di sisi-Nya dengan sepuluh kebaikan
sampai tujuh ratus kali lipatnya, bahkan sampai jumlah yang banyak sekali.” (Muttafaqun
‘alaih)
Kenapa demikain? Bukankah amalan yang dilakukan sama? Bukankah ibadahnya sama-
sama diterima di sisi Allah Ta’ala? Kenapa balasan kebaikannya berbeda? Salah satu
alasannya adalah perbedaan tingkatan ihsan seorang hamba ketika melakukan
ibadah tersebut.
Sebagai misal, orang yang shalat ashar dengan khusyuk dari takbiratul ihram sampai
salam, tentu mendapat pahala yang lebih banyak dari orang yang mengamalkan ibadah
serupa, tetapi khusyuknya hanya dua rakaat saja. Orang yang khusyuk pada dua rakaat,
pahalanya lebih banyak dari orang yang khusyuknya hanya satu rakaat saja.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya ada seorang hamba
yang selesai dari shalatnya tetapi tidak ditulis pahala (penuh) baginya, kecuali
setengahnya, atau sepertiganya, atau seperempatnya, hingga beliau shallallahu ‘alaihi
wasallam bersabda, ‘sepersepuluhnya.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, dan selain keduanya)
Ihsan yang Mustahab
Kadar ihsan seorang hamba ketika melaksanakan ibadah berbeda-beda. Pahala yang dia
dapatkan dari ibadah tersebut pun berbeda-beda, sesuai dengan tingkat ihsannya. Setelah
kita menunaikan ihsan yang wajib terkait dengan amalan ibadah (yaitu ikhlas dan ittiba’),
hendaknya kita melanjutkannya dengan melakukan sunah-sunahnya. Ihsan
yang mustahab (sunah) terbagi menjadi dua tingkatan:
1. Tingkatan Musyahadah
Yaitu seseorang beribadah kepada Allah seolah-oleh dia melihat-Nya. Maksud melihat di
sini bukanlah melihat dzat-Nya, tetapi melihat sifat-sifat-Nya, yaitu dengan melihat bekas-
bekas dari sifat-sifat-Nya yang bisa disaksikan pada ciptaan-Nya.
2. Tingkatan Muraqabah
Tingkatan yang pertama (tingkatan musyahadah) ditunjukkan oleh sabda beliau, “Engkau
beribadah kepada Allah seolah-olah engkau melihat-Nya.” Sedangkan tingkatan
muraqabah, yaitu tingkatan yang lebih rendah dari tingkatan musyahadah, ditunjukkan
oleh sabda beliau, “Namun, jika engkau tidak bisa melakukannya, maka sesungguhnya
Dia melihatmu.”
Demikialah sedikit bahasan tentang ihsan dalam beribadah. Semoga
Allah Ta’ala senantiasa memberikan taufik-Nya kepada kita semua untuk dapat ihsan
dalam semua amal ibadah kita kepada-Nya. Semoga Allah menerima semua amalan kita,
dan memberikan balasan yang berlipat ganda nanti di akhirat.
Tadabbur Al Fatihah
Ayat 2 https://tafsirweb.com/51-quran-surat-al-fatihah-ayat-3.html
Ayat 3 https://tafsirweb.com/53-quran-surat-al-fatihah-ayat-4.html
Baca Juga:
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
هَّللا ُ الَّ ِذي َخلَقَ ُك ْم ثُ َّم َر َزقَ ُك ْم ثُ َّم يُ ِميتُ ُك ْم ثُ َّم يُحْ يِي ُك ْم هَلْ ِمن ُش َر َكائِ ُكم
َّمن يَ ْف َع ُل ِمن َذلِ ُكم ِّمن َش ْي ٍء ُس ْب َحانَهُ َوتَ َعالَى َع َّما يُ ْش ِر ُك ْو َن
“Allahlah yang menciptakan kamu, kemudian memberimu rezki, kemudian
mematikanmu, kemudian menghidupkanmu (kembali). Adakah di antara yang kamu
sekutukan dengan Allah itu yang dapat berbuat sesuatu dari yang demikian itu?
Maha Sucilah Dia dan Maha Tinggi dari apa yang mereka persekutukan.” (QS Ar-
Rum [30]: 40)
Tauhid uluhiyah ini lah yang merupakan tugas utama dan perioritas paling utama
yang dilakukan oleh para rasul. Dan karena tauhid uluhiyah inilah Allah menurunkan
kitab-kitabNya.
ي ِب َغي ِْر ْال َح ِّق َوأَنْ ُت ْش ِر ُكوا ِباهَّلل ِ َما لَ ْم ُي َن ِّز ْل ِب ِهXَ اإلث َم َو ْال َب ْغ
ْ ِش َما َظ َه َر ِم ْن َها َو َما َب َط َن َو
َ ِّي ْال َف َواح
َ قُ ْل إِ َّن َما َحرَّ َم َرب
)٣٣( ُون هَّللا ُ
Xَ ال َتعْ لَمX ِ َماXسُلطا ًنا َوأنْ َتقُولوا َعلَى َ َ ْ
Secara dzahir, ayat ini menunjukkan bahwa Allah mempunyai dua tangan
yang hakiki. Maka wajib menetapkan dua tangan Allah tersebut. Jika ada
orang yang mengatakan kedua tangan tersebut maksudnya kekuatan, maka
kita katakan : ini termasuk memalingkan makna Al Quran dari dzahirnya. Kita
tidak boleh bekata demikian karena ini berati kita berkomentar tentang Allah
tanpa dasar ilmu.
Dalam kebaikan Allahlah yang paling tinggi karena nama Allah mengandung
sifat yang sempurna, tidak ada kekurangan di dalamnya dari segala sisi.
Contoh:
Ar Rahman adalah salah satu dari nama-nama Allah, menunjukkan atas sifat
yang agung yaitu memiliki rahmat yang luas.
“Janganlah kalian menela dahr (masa) karena Allah adalah Dahr” (HR.
Muslim)
Maka maknanya adalah Allah lah yang menguasai masa. Kita palingkan ke
makna tersebut dengan dalil hadis,
“Di tangan-Ku lah segala urusan, Aku yang membolak-balikkan siang dan
malam” (HR. Bukhari)
“Ya Allah aku memohon kepada-Mu dengan setiap nama-Mu yang Engkau
gunakan untuk diri-Mu, yang Engkau turunkan dalam kitab-Mu, atau Engkau
ajarkan kepada salah seorang dari makhluk-Mu, atau yang Engkau
rahasiakan untuk diri-Mu dalam ilmu ghaib di sisi-Mu” (HR. Ahmad, HR Ibnu
Hibban)
Dan tidak sempurna iman seseorang terhadap asma dan sifat Allah kecuali
dengan menetapkan semua hal tersebut.
“Dan Allah mempunyai sifat yang maha tinggi” (Qs. An Nahl: 60)
Karena Allah adalah Rabb yang maha sempurna maka sifatnya harus
sempurna.
“Mereka memikirkan tipu daya dan Allah menggagalkan tipu daya itu. Dan
Allah sebaik-baik pembalas tipu daya.” (Qs. Al Anfal: 30)
),٤٩( ك أَ َح ًدا
َ َوال َي ْظلِ ُم َر ُّب
“Dan Rabmu tidak menganiaya seorang jua pun.” (Qs. Al Kahfi: 49)
Kita wajib menafikan sifat dzalim dari Allah disertai dengan keyakinan
menetapkan sifat adil bagi Allah yang mana sifat adil tersebut dalam bentuk
yang sempurna.
1. Benar, sifat Allah hakiki karena asal sebuah perkataan adalah mempunyai
makna hakiki. Maka tidak boleh memalingkannya kecuali dengan dalil yang
shahih.
Karena Allah sempurna, tidak ada puncak sifat kebaikan yang lebih tingi
dari-Nya sehingga tidak mungkin diserupakan dengan makhluk karena
makhluk itu penuh kekurangan.
Perbedaan antara tamtsil dan takyif yaitu:
Tamtsil berarti menyebutkan kaifiyah sifat Allah dengan mengaitkannya
dengan sifat makhluk sedangkan takyif adalah menyebutkan kaifiyah sifat
Allah tanpa mengaitkannya dengan makhluk.
– Bagaimana membantah Mu’athilah
56. Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka
mengabdi kepada-Ku.
ُ ُ
ِ َمٓا أ ِري ُد ِم ْنهُم مِّن رِّ ْز ٍق َو َمٓا أ ِري ُد أَن ي ُْط ِعم
ُون
mā urīdu min-hum mir rizqiw wa mā urīdu ay yuṭ'imụ n
57. Aku tidak menghendaki rezeki sedikitpun dari mereka dan Aku tidak
menghendaki supaya mereka memberi-Ku makan.
۟ ِين َك َفر
َ ُوا مِن َي ْوم ِِه ُم ٱلَّذِى ي
َ ُوع ُد
ون َ َف َو ْي ٌل لِّلَّذ
fa wailul lillażīna kafarụ miy yaumihimullażī yụ 'adụ n
2. Pemberi rizki
3. Berdiri sendiri
Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka
mengabdi kepada-Ku. (Adz-Dzariyat 56)
Ath-Thalaq: 5 Ayat Terakhir
َ َأ
نز َل ٱهَّلل ُ إِ َل ْي ُك ْم ذ ِْكرً ا
a'addallāhu lahum 'ażāban syadīdan fattaqullāha yā ulil-albāb, allażīna
āmanụ qad anzalallāhu ilaikum żikrā
َلهُۥ ِر ْز ًقا
rasụ lay yatlụ 'alaikum āyātillāhi mubayyinātil liyukhrijallażīna āmanụ wa
'amiluṣ-ṣāliḥ āti minaẓ-ẓulumāti ilan-nụ r, wa may yu`mim billāhi wa ya'mal
ṣāliḥ ay yudkhil-hu jannātin tajrī min taḥ tihal-an-hāru khālidīna fīhā abadā,
qad aḥ sanallāhu lahụ rizqā
َ َب ْي َنهُنَّ لِ َتعْ َلم ُٓو ۟ا أَنَّ ٱهَّلل َ َع َل ٰى ُك ِّل َشىْ ٍء َقدِي ٌر َوأَنَّ ٱهَّلل َ َق ْد أَ َح
اط ِب ُك ِّل
َشىْ ٍء عِ ْل ۢ ًما
allāhullażī khalaqa sab'a samāwātiw wa minal-arḍ i miṡlahunn,
yatanazzalul-amru bainahunna lita'lamū annallāha 'alā kulli syai`ing
qadīruw wa annallāha qad aḥ āṭa bikulli syai`in 'ilmā
12. Allah-lah yang menciptakan tujuh langit dan seperti itu pula bumi.
Perintah Allah berlaku padanya, agar kamu mengetahui bahwasanya Allah
Maha Kuasa atas segala sesuatu, dan sesungguhnya Allah ilmu-Nya
benar-benar meliputi segala sesuatu.