Anda di halaman 1dari 19

Tafsir Asy-Syura 28-35

27. Dan jikalau Allah melapangkan rezeki kepada hamba-hamba-Nya tentulah mereka akan
melampaui batas di muka bumi, tetapi Allah menurunkan apa yang dikehendaki-Nya dengan ukuran.
Sesungguhnya Dia Maha Mengetahui (keadaan) hamba-hamba-Nya lagi Maha Melihat.
28. Dan Dialah Yang menurunkan hujan sesudah mereka berputus asa dan menyebarkan rahmat-
Nya. Dan Dialah Yang Maha Pelindung lagi Maha Terpuji.
29. Di antara (ayat-ayat) tanda-tanda-Nya ialah menciptakan langit dan bumi dan makhluk-makhluk
yang melata Yang Dia sebarkan pada keduanya. Dan Dia Maha Kuasa mengumpulkan semuanya
apabila dikehendaki-Nya.
30. Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu
sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu).
31. Dan kamu tidak dapat melepaskan diri (dari azab Allah) di muka bumi, dan kamu tidak
memperoleh seorang pelindung dan tidak pula penolong selain Allah.
32. Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah kapal-kapal di tengah (yang berlayar) di laut
seperti gunung-gunung.
33. Jika Dia menghendaki, Dia akan menenangkan angin, maka jadilah kapal-kapal itu terhenti di
permukaan laut. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kekuasaannya) bagi
setiap orang yang banyak bersabar dan banyak bersyukur,
34. atau kapal-kapal itu dibinasakan-Nya karena perbuatan mereka atau Dia memberi maaf sebagian
besar (dari mereka).
35. Dan supaya orang-orang yang membantah ayat-ayat (kekuasaan) Kami mengetahui bahwa
mereka sekali-kali tidak akan memperoleh jalan ke luar (dari siksaan).
36. Maka sesuatu yang diberikan kepadamu, itu adalah kenikmatan hidup di dunia; dan yang ada
pada sisi Allah lebih baik dan lebih kekal bagi orang-orang yang beriman, dan hanya kepada Tuhan
mereka, mereka bertawakkal.

Tafsir Asy-Syura 49-51


48. Jika mereka berpaling maka Kami tidak mengutus kamu sebagai pengawas bagi mereka.
Kewajibanmu tidak lain hanyalah menyampaikan (risalah). Sesungguhnya apabila Kami merasakan
kepada manusia sesuatu rahmat dari Kami dia bergembira ria karena rahmat itu. Dan jika mereka
ditimpa kesusahan disebabkan perbuatan tangan mereka sendiri (niscaya mereka ingkar) karena
sesungguhnya manusia itu amat ingkar (kepada nikmat).
49. Kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi, Dia menciptakan apa yang Dia kehendaki. Dia
memberikan anak-anak perempuan kepada siapa yang Dia kehendaki dan memberikan anak-anak
lelaki kepada siapa yang Dia kehendaki,
50. atau Dia menganugerahkan kedua jenis laki-laki dan perempuan (kepada siapa) yang
dikehendaki-Nya, dan Dia menjadikan mandul siapa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dia Maha
Mengetahui lagi Maha Kuasa.
51. Dan tidak mungkin bagi seorang manusiapun bahwa Allah berkata-kata dengan dia kecuali
dengan perantaraan wahyu atau dibelakang tabir atau dengan mengutus seorang utusan (malaikat)
lalu diwahyukan kepadanya dengan seizin-Nya apa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dia Maha
Tinggi lagi Maha Bijaksana.
52. Dan demikianlah Kami wahyukan kepadamu wahyu (Al Quran) dengan perintah Kami.
Sebelumnya kamu tidaklah mengetahui apakah Al Kitab (Al Quran) dan tidak pula mengetahui
apakah iman itu, tetapi Kami menjadikan Al Quran itu cahaya, yang Kami tunjuki dengan dia siapa
yang kami kehendaki di antara hamba-hamba Kami. Dan sesungguhnya kamu benar-benar memberi
petunjuk kepada jalan yang lurus.

Pilar Ibadah
Ahlus Sunnah wal Jama’ah sepakat bahwa manusia diciptakan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk
beribadah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya serta meneladani Sunnah Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam. Maka, setiap Muslim dan Muslimah harus mengetahui hakikat ibadah yang
sebenarnya agar amalan yang dikerjakannya diberikan ganjaran kebaikan oleh Allah Subhanahu wa
Ta’ala.

A. Definisi Ibadah

Ibadah secara bahasa (etimologi) berarti merendahkan diri serta tunduk. Sendangkan menurut
syara’ (terminologi), ibadah mempunyai banyak definisi, tetapi makna dan maksudnya satu. Definisi
itu antara lain adalah:

1. Ibadah adalah taat kepada Allah dengan melaksanakan perintah-Nya melalui lisan para Rasul-Nya.

2. Ibadah adalah merendahkan diri kepada Allah Azza wa Jalla, yaitu tingkatan tunduk yang paling
tinggi disertai dengan rasa mahabbah (kecintaan) yang paling tinggi.

3. Ibadah adalah sebutan yang mencakup seluruh apa yang di-cintai dan diridhai Allah Azza wa Jalla,
baik berupa ucapan atau perbuatan, yang zhahir maupun yang bathin. Inilah definisi yang paling
lengkap.

Ibadah terbagi menjadi ibadah hati, lisan dan anggota badan. Rasa khauf (takut), raja’ (mengharap),
mahabbah (cinta), tawakkal (ketergantungan), raghbah (senang), dan rahbah (takut) adalah ibadah
qalbiyyah (yang berkaitan dengan hati). Sedangkan tasbih, tahlil, takbir, tahmid dan syukur dengan
lisan dan hati adalah ibadah lisaniyyah qalbiyyah (lisan dan hati). Sedangkan shalat, zakat, haji, dan
jihad adalah ibadah badaniyyah qalbiyyah (fisik dan hati). Serta masih banyak lagi macam-macam
ibadah yang berkaitan dengan amalan hati, lisan dan badan.

Ibadah inilah yang menjadi tujuan penciptaan manusia.

Allah Ta’ala berfirman:

ُ‫ق ُذو ْالقُ َّو ِة ْال َمتِين‬ ْ ‫ق َو َما أُ ِري ُد أَ ْن ي‬


ُ ‫ُط ِع ُمو ِن ِإ َّن هَّللا َ هُ َو ال َّر َّزا‬ ٍ ‫ُون َما أُ ِري ُد ِم ْنهُ ْم ِم ْن ِر ْز‬ َ ‫ت ْال ِج َّن َواإْل ِ ْن‬
ِ ‫س إِاَّل لِيَ ْعبُد‬ ُ ‫َو َما َخلَ ْق‬
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku. Aku
tidak menghendaki rizki sedikit pun dari mereka dan Aku tidak menghendaki supaya mereka
memberi makan kepada-Ku. Sesungguhnya Allah Dia-lah Maha Pemberi rizki Yang mempunyai
kekuatan lagi sangat kokoh.” [Adz-Dzaariyaat: 56-58]

Allah Azza wa Jalla memberitahukan bahwa hikmah penciptaan jin dan manusia adalah agar mereka
melaksanakan ibadah hanya kepada Allah Azza wa Jalla. Dan Allah Mahakaya, tidak membutuhkan
ibadah mereka, akan tetapi merekalah yang membutuhkannya; karena ketergantungan mereka
kepada Allah, maka barangsiapa yang menolak beribadah kepada Allah, ia adalah sombong. Barang-
siapa yang beribadah kepada-Nya tetapi dengan selain apa yang disyari’atkan-Nya, maka ia adalah
mubtadi’ (pelaku bid’ah). Dan barangsiapa yang beribadah kepada-Nya hanya dengan apa yang
disyari’atkan-Nya, maka ia adalah mukmin muwahhid (yang mengesakan Allah).

B. Pilar-Pilar ‘Ubudiyyah Yang Benar

Sesungguhnya ibadah itu berlandaskan pada tiga pilar, yaitu: hubb (cinta), khauf (takut), raja’
(harapan).

Rasa cinta harus dibarengi dengan rasa rendah diri, sedangkan khauf harus dibarengi dengan raja’.
Dalam setiap ibadah harus terkumpul unsur-unsur ini. Allah berfirman tentang sifat hamba-hamba-
Nya yang mukmin:

ُ‫يُ ِحبُّهُ ْم َوي ُِحبُّونَه‬

“Dia mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya.” [Al-Maa-idah: 54]

ِ ‫َوالَّ ِذينَ آ َمنُوا أَ َش ُّد ُحبًّا هَّلِل‬

“Sedangkan orang-orang yang beriman mereka sangat besar cintanya kepada Allah.” [Al-Baqarah:
165]

ِ ‫ار ُعونَ فِي ْال َخ ْي َرا‬


ِ ‫ت َويَ ْدعُونَنَا َر َغبًا َو َرهَبًا ۖ َوكَانُوا لَنَا خ‬
َ‫َاش ِعين‬ ِ ‫إِنَّهُ ْم كَانُوا يُ َس‬

“Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang selalu bersegera dalam (mengerjakan) kebaikan
dan mereka berdo’a kepada Kami dengan penuh harap dan cemas. Dan mereka adalah orang-orang
yang khusyu’ kepada Kami.” [Al-Anbiya’: 90]

Sebagian Salaf berkata[1]: “Barangsiapa yang beribadah kepada Allah hanya dengan rasa cinta, maka
ia adalah zindiq [2], barangsiapa yang beribadah kepada-Nya hanya dengan raja’, maka ia adalah
murji’ [3]. Dan barangsiapa yang beribadah kepada-Nya hanya dengan khauf, maka ia adalah haruriy
[4]. Barangsiapa yang beribadah kepada-Nya dengan hubb, khauf, dan raja’, maka ia adalah mukmin
muwahhid.”
C. Syarat Diterimanya Ibadah

Ibadah adalah perkara tauqifiyah, yaitu tidak ada suatu bentuk ibadah yang disyari’atkan kecuali
berdasarkan Al-Qur-an dan As-Sunnah. Apa yang tidak disyari’atkan berarti bid’ah mardudah (bid’ah
yang ditolak) sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

‫ْس َعلَ ْي ِه أَ ْم ُرنَا فَهُ َو َر ٌّد‬


َ ‫ َم ْن َع ِم َل َع َمالً لَي‬.

“Barangsiapa yang beramal tanpa adanya tuntutan dari kami, maka amalan tersebut tertolak.” [5]

Agar bisa diterima, ibadah disyaratkan harus benar. Dan ibadah itu tidak bisa benar kecuali dengan
adanya dua syarat:

1. Ikhlas karena Allah semata, bebas dari syirik besar dan kecil.

2. Ittiba’, sesuai dengan tuntunan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Syarat yang pertama merupakan konsekuensi dari syahadat laa ilaaha illallaah, karena ia
mengharuskan ikhlas dalam beribadah hanya untuk Allah dan jauh dari syirik kepada-Nya.
Sedangkan syarat kedua adalah konsekuensi dari syahadat Muhammad Rasulullah, karena ia
menuntut wajibnya taat kepada Rasul, mengikuti syari’atnya dan meninggalkan bid’ah atau ibadah-
ibadah yang diada-adakan.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

ٌ ْ‫بَلَ ٰى َم ْن أَ ْسلَ َم َوجْ هَهُ هَّلِل ِ َوه َُو ُمحْ ِس ٌن فَلَهُ أَجْ ُرهُ ِع ْن َد َربِّ ِه َواَل َخو‬
َ‫ف َعلَ ْي ِه ْم َواَل هُ ْم يَحْ َزنُون‬

“(Tidak demikian) bahkan barangsiapa yang menyerahkan diri kepada Allah, sedang ia berbuat
kebajikan, maka baginya pahala di sisi Rabb-nya dan pada diri mereka tidak ada rasa takut dan tidak
(pula) mereka bersedih hati.” [Al-Baqarah: 112]

“… ُ‫“ أَ ْسلَ َم َوجْ هَه‬Menyerahkan diri,” artinya memurnikan ibadah kepada Allah  ‫“ َوهُ َو ُمحْ ِس ٌن‬Berbuat
kebajikan,” artinya mengikuti Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah mengatakan: “Inti agama ada dua pilar yaitu kita tidak
beribadah kecuali hanya kepada Allah, dan kita tidak beribadah kecuali dengan apa yang Dia
syari’atkan, tidak dengan bid’ah.”

Sebagaimana Allah berfirman:

‫صالِحًا َواَل يُ ْش ِر ْك بِ ِعبَا َد ِة َربِّ ِه أَ َحدًا‬


َ ‫فَ َم ْن َكانَ يَرْ جُو لِقَا َء َربِّ ِه فَ ْليَ ْع َملْ َع َماًل‬
“… Maka barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Rabb-nya maka hendaknya ia mengerjakan
amal shalih dan janganlah ia mempersekutukan sesuatu pun dalam beribadah kepada Rabb-nya.”
[Al-Kahfi: 110]

Yang demikian adalah manifestasi (perwujudan) dari dua kalimat syahadat Laa ilaaha illallaah,
Muhammad Rasuulullaah.

Pada yang pertama, kita tidak beribadah kecuali kepada-Nya. Pada yang kedua, bahwasanya
Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah utusan-Nya yang menyampaikan ajaran-Nya. Maka
kita wajib membenarkan dan mempercayai beritanya serta mentaati perintahnya. Beliau Shallallahu
‘alaihi wa sallam telah menjelaskan bagaimana cara kita beribadah kepada Allah, dan beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang kita dari hal-hal baru atau bid’ah. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa
sallam mengatakan bahwa semua bid’ah itu sesat.[6]

Ibadah di dalam Islam tidak disyari’atkan untuk mempersempit atau mempersulit manusia, dan tidak
pula untuk menjatuhkan mereka di dalam kesulitan. Akan tetapi ibadah itu disyari’atkan untuk
berbagai hikmah yang agung, kemashlahatan besar yang tidak dapat dihitung jumlahnya.
Pelaksanaan ibadah dalam Islam semua adalah mudah.

Di antara keutamaan ibadah bahwasanya ibadah mensucikan jiwa, membersihkan hati, dan
mengangkatnya ke derajat tertinggi menuju kesempurnaan manusia.

Merealisasikan Ihsan dalam Ibadah


“Ihsan adalah engkau menyembah Allah seakan engkau melihat-Nya, maka bila engkau
tak melihat-Nya maka sesungguhnya Allah melihatmu.

Kualitas bisa menandingi kesekian kuantitas” Demikianlah ungkapan yang banyak


tersebar di media masa. Sebagai seorang yang beriman kepada Allah dan hari akhir, tentu
kita sangat menginginkan amalan-amalan ibadah yang kita lakukan di dunia, mendapat
balasan yang sangat banyak di akhirat kelak. Kita semua berharap dengan amalan ibadah
kita yang sedikit, kita akan mendapat pahala yang berlipat ganda nanti di akhirat. Dengan
apakah hal itu bisa terwujud? Salah satunya adalah dengan meningkatkan kualitas amalan
ibadah kita. Pada pembahasan kami kali ini, kami akan membahas tentang ihsan dalam
beribadah kepada Allah Ta’ala. Semoga Allah memberikan taufik-Nya kepada kita semua
untuk bisa melakukan amalan-amalan yang Dia cintai dan Dia ridhai.

Pembagian Ihsan

Sebelum kami membahas lebih jauh tentang ihsan dalam beribadah, perlu diketahui
sebelumnya bahwa pada dasarnya, ihsan terbagi menjadi dua: (1) ihsan dalam ibadah
kepada Allah; dan (2) ihsan dalam menunaikan hak-hak makhluk. Ihsan dalam beribadah
kepada Allah – jenis yang akan dibahas di sini –  terbagi menjadi dua, yaitu ihsan yang
wajib dan ihsan yang mustahab (sunah), sebagaimana ihsan dalam menunaikan hak-hak
makhluk juga terbagi menjadi dua, yaitu ihsan yang wajib, dan ihsan
yang mustahab (sunah). (Lihat Hushulul Ma-mul karya Syaikh Abdullah al-
Fauzan hafidzahullah)

Ihsan yang Wajib dalam Beribadah

Ihsan yang wajib ialah seseorang beribadah kepada Allah Ta’ala dengan memenuhi dua
syarat diterimanya ibadah, yaitu ikhlas dan ittiba’(mengikuti tuntunan
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam).

Allah Ta’ala berfirman yang artinya, “Dan Dia-lah yang menciptakan langit dan bumi dalam
enam masa, dan adalah singgasana-Nya (sebelum itu) di atas air, agar Dia menguji
siapakah di antara kamu yang lebih baik (lebih ihsan) amalnya.” (QS. Huud: 7)

Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah mengatakan tentang ayat tersebut, “Yaitu amal yang


paling ikhlas dan paling benar (sesuai dengan tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam). Sesungguhnya suata amalan, jika dia ikhlas tetapi tidak benar; maka amalan
tersebut tidak diterima. Demikian juga sebaliknya, jika suatu amalan benar, tetapi tidak
ikhlas; maka amalan tersebut juga tidak diterima. Amalan hanya akan diterima jika dia
ikhlas dan benar.”

Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan dalam tafsirnya terhadap ayat tersebut, “Suatu


amalan tidak dapat dikatakan ihsan, sampai amalan tersebut ikhlas hanya untuk
Allah Ta’ala dan sesuai dengan syariat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (Tafsir al-
Quranil ‘Adzim)

Kenapa Pahalanya Berbeda?

Pahala yang Allah berikan kepada hamba-Nya atas amal ibadah yang telah dia lakukan,
berbeda-beda. Ada diantara mereka yang mendapat pahala sepuluh kali lipat, ada yang
tujuh ratus kali lipat, bahkan ada yang jauh lebih banyak dari itu. Rasulullah  shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang bermaksud berbuat kebaikan, kemudian
dia mengamalkannya; maka Allah akan mencatatnya di sisi-Nya dengan sepuluh kebaikan
sampai tujuh ratus kali lipatnya, bahkan sampai jumlah yang banyak sekali.” (Muttafaqun
‘alaih)

Kenapa demikain? Bukankah amalan yang dilakukan sama? Bukankah ibadahnya sama-
sama diterima di sisi Allah Ta’ala? Kenapa balasan kebaikannya berbeda? Salah satu
alasannya adalah perbedaan tingkatan ihsan seorang hamba ketika melakukan
ibadah tersebut.

Sebagai misal, orang yang shalat ashar dengan khusyuk dari takbiratul ihram sampai
salam, tentu mendapat pahala yang lebih banyak dari orang yang mengamalkan ibadah
serupa, tetapi khusyuknya hanya dua rakaat saja. Orang yang khusyuk pada dua rakaat,
pahalanya lebih banyak dari orang yang khusyuknya hanya satu rakaat saja.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya ada seorang hamba
yang selesai dari shalatnya tetapi tidak ditulis pahala (penuh) baginya, kecuali
setengahnya, atau sepertiganya, atau seperempatnya, hingga beliau shallallahu ‘alaihi
wasallam bersabda, ‘sepersepuluhnya.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, dan selain keduanya)
Ihsan yang Mustahab

Kadar ihsan seorang hamba ketika melaksanakan ibadah berbeda-beda. Pahala yang dia
dapatkan dari ibadah tersebut pun berbeda-beda, sesuai dengan tingkat ihsannya. Setelah
kita menunaikan ihsan yang wajib terkait dengan amalan ibadah (yaitu ikhlas dan  ittiba’),
hendaknya kita melanjutkannya dengan melakukan sunah-sunahnya. Ihsan
yang mustahab (sunah) terbagi menjadi dua tingkatan:

1. Tingkatan Musyahadah

Yaitu seseorang beribadah kepada Allah seolah-oleh dia melihat-Nya. Maksud melihat di
sini bukanlah melihat dzat-Nya, tetapi melihat sifat-sifat-Nya, yaitu dengan melihat bekas-
bekas dari sifat-sifat-Nya yang bisa disaksikan pada ciptaan-Nya.

Ilmu dan keyakinan seorang mukmin dengan nama-nama Allah Ta’ala dan sifat-sifat-Nya


akan menjadikannya mengembalikan segala sesuatu yang dia lihat di alam ini kepada
salah satu nama di antara nama-nama Allah atau sifat diantara sifat-sifat-Nya. Ketika dia
melihat sesuatu yang menyenangkan, maka dia langsung ingat akan keluasan rahmat-
Nya. Ketika dia melihat suatu musibah, maka dia langsung ingat akan kekuasaan Allah
dan dalamnya hikmah-Nya. Dia senantiasa mengembalikan segala sesuatu yang dia lihat
kepada nama diantara nama-nama Allah Ta’ala atau sifat diantara sifat-sifat-Nya. Dengan
demikian, maka nama-nama Allah yang maha indah dan sifat-sifat-Nya yang maha tinggi
akan senantiasa hadir dalam hatinya, khususnya ketika beribadah kepada Allah Ta’ala.

2. Tingkatan Muraqabah

Yaitu seseorang beribadah kepada Allah Ta’ala dengan disertai perasaan bahwasanya


Allah senantiasa mengawasinya. Jika seorang hamba beribadah kepada Allah dengan
perasaan demikian, maka dia akan senantiasa berusaha membaguskan ibadahnya karena
Allah Ta’alasenantiasa mengawasinya. Ketika dia memulai shalat, dia yakin bahwa Allah
mengawasinya dan dia sedang berdiri dihadapan-Nya. Oleh karena itu, dia akan
senantiasa memperhatikan gerakan-gerakan di dalam shalat tersebut, dan
membaguskannya. Allah Ta’ala berfirman yang artinya, “Kamu tidak berada dalam suatu
keadaan dan tidak membaca suatu ayat dari al-Quran dan kamu tidak mengerjakan suatu
pekerjaan, melainkan Kami menjadi saksi atasmu di waktu kamu melakukannya. ” (QS.
Yunus: 61)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda ketika menjelaskan tentang makna


ihsan, “Engkau beribadah kepada Allah seolah-olah engkau melihat-Nya. Namun, jika
engkau tidak bisa melakukannya, maka sesungguhnya Dia melihatmu.” (HR. Muslim)

Tingkatan yang pertama (tingkatan musyahadah) ditunjukkan oleh sabda beliau, “Engkau
beribadah kepada Allah seolah-olah engkau melihat-Nya.” Sedangkan tingkatan
muraqabah, yaitu tingkatan yang lebih rendah dari tingkatan musyahadah, ditunjukkan
oleh sabda beliau, “Namun, jika engkau tidak bisa melakukannya, maka sesungguhnya
Dia melihatmu.”
Demikialah sedikit bahasan tentang ihsan dalam beribadah. Semoga 
Allah Ta’ala senantiasa  memberikan taufik-Nya kepada kita semua untuk dapat ihsan
dalam semua amal ibadah kita kepada-Nya. Semoga Allah menerima semua amalan kita,
dan memberikan balasan yang berlipat ganda nanti di akhirat.

Tadabbur Al Fatihah

Ayat 1 (alhamdulillah) https://tafsirweb.com/46-quran-surat-al-fatihah-ayat-2.html

Ayat 2 https://tafsirweb.com/51-quran-surat-al-fatihah-ayat-3.html

Ayat 3 https://tafsirweb.com/53-quran-surat-al-fatihah-ayat-4.html

Tauhid Rubbubiyah, Uluhiyyah, asma dan sifat: kaidah


mengimaninya
Tauhid Rububiyah atau Rububiyah Allah adalah mengesakan Allah dalam tiga perkara yaitu
penciptaan-Nya, kekuasaan-Nya, dan pengaturan-Nya

Beriman terhadap tauhid rububiyah dan tauhid uluhiyah merupakan salah satu


implementasi dan kosekuensi keimanan kita kepada Allah Ta’ala. Karena di antara
kewajiban kita sebagai seorang manusia adalah meyakini bahwa Allah lah pencipta
segala yang ada di langit dan di bumi. Dan kita juga diharuskan untuk beribadah
hanya kepadaNya.
Para ulama telah menjelaskan tentang makna tauhid rububiyah. Tauhid
rububiyah adalah keyakinan bahwa tidak ada pencipta kecuali Allah, dan Allah lah
satu-satunya yang mencipta, mengatur, menghidupkan, mematikan, memberikan
rezeki kepada makhluk-makhluk yang ada di langit dan di bumi.
Jadi, tatkala seseorang mengaku beriman kepada Allah, berarti dia harus meyakini
bahwa hanya Allah sajalah satu-satunya yang menciptakan, mengatur, dan
memberikan rezeki di alam ini.

Baca Juga:

Aqidah Imam Asy Syafi'i

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

‫هَّللا ُ الَّ ِذي َخلَقَ ُك ْم ثُ َّم َر َزقَ ُك ْم ثُ َّم يُ ِميتُ ُك ْم ثُ َّم يُحْ يِي ُك ْم هَلْ ِمن ُش َر َكائِ ُكم‬
‫َّمن يَ ْف َع ُل ِمن َذلِ ُكم ِّمن َش ْي ٍء ُس ْب َحانَهُ َوتَ َعالَى َع َّما يُ ْش ِر ُك ْو َن‬
“Allahlah yang menciptakan kamu, kemudian memberimu rezki, kemudian
mematikanmu, kemudian menghidupkanmu (kembali). Adakah di antara yang kamu
sekutukan dengan Allah itu yang dapat berbuat sesuatu dari yang demikian itu?
Maha Sucilah Dia dan Maha Tinggi dari apa yang mereka persekutukan.” (QS Ar-
Rum [30]: 40)

Sedangkan tauhid uluhiyah adalah meyakini seyakin-yakinnya bahwa Allah yang


pantas untuk mendapatkan ibadah atau lebih tepatnya adalah keyakinan bahwa
Allah lah satu-satunya yang berhak untuk diibadahi.

Tauhid uluhiyah ini lah yang merupakan tugas utama dan perioritas paling utama
yang dilakukan oleh para rasul. Dan karena tauhid uluhiyah inilah Allah menurunkan
kitab-kitabNya.

Asma dan Sifat Allah: kaidah mengimaninya


Kaidah Umum terkait nama dan sifat Allah

– Kewajiban kita terhadap nash-nash Al Quran dan As Sunnah yang


membahas tentang asma dan sifat Allah.

Dalam memahami nash-nash Al Quran dan As Sunnah kita wajib untuk


menetapkan maknanya apa adanya, berdasar dzahir nash dan tidak
memalingkannya ke makna lain. Karena Allah menurunkan Al Quran dengan
bahasa Arab, yang bahasa tersebut sudah jelas. Disamping itu,
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallamjuga berbicara dengan bahasa Arab,
sehingga wajib bagi kita menetapkan makna kalam Allah dan perkataan
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sesuai dengan apa yang ditunjukkan
secara makna bahasa tersebut. Merubahnya dari makna dzahir merupakan
perbuatan terlarang, karena ini termasuk berkata tentang Allah tanpa dasar
ilmu. Allah berfirman,

‫ي ِب َغي ِْر ْال َح ِّق َوأَنْ ُت ْش ِر ُكوا ِباهَّلل ِ َما لَ ْم ُي َن ِّز ْل ِب ِه‬Xَ ‫اإلث َم َو ْال َب ْغ‬
ْ ‫ِش َما َظ َه َر ِم ْن َها َو َما َب َط َن َو‬
َ ‫ِّي ْال َف َواح‬
َ ‫قُ ْل إِ َّن َما َحرَّ َم َرب‬
)٣٣( ‫ُون‬ ‫هَّللا‬ ُ
Xَ ‫ ال َتعْ لَم‬X‫ ِ َما‬X‫سُلطا ًنا َوأنْ َتقُولوا َعلَى‬ َ َ ْ

“Katakanlah: ‘Rabbku mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang


nampak maupun tersembunyi, perbuatan dosa, melanggar hak manusia
tanpa alasan yang benar, mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang
Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu dan mengatakan tentang Allah apa
yang tidak kamu ketahui” (Al A’raf: 33)

Sebagai contoh, firman Allah ta’ala,

ِ ‫َب ْل َي َداهُ َم ْبسُو َط َت‬


َ ‫ان ُي ْنف ُِق َكي‬
‫ْف َي َشا ُء‬

“(Tidak demikian), tetapi kedua tangan Allah terbentang. Dia menafkahkan


sebagaimana dia kehendaki” ( QS. Al Ma’idah)

Secara dzahir, ayat ini menunjukkan bahwa Allah mempunyai dua tangan
yang hakiki. Maka wajib menetapkan dua tangan Allah tersebut. Jika ada
orang yang mengatakan kedua tangan tersebut maksudnya kekuatan, maka
kita katakan : ini termasuk memalingkan makna Al Quran dari dzahirnya. Kita
tidak boleh bekata demikian karena ini berati kita berkomentar tentang Allah
tanpa dasar ilmu.

Kaidah Dalam Asma Allah

– Asma Allah seluruhnya husna (paling baik)

Dalam kebaikan Allahlah yang paling tinggi karena nama Allah mengandung
sifat yang sempurna, tidak ada kekurangan di dalamnya dari segala sisi.

‫ األسْ َما ُء ْالحُسْ َنى‬Xِ ‫َوهَّلِل‬

“Dan bagi Allah asmaul husna” (Al A’raf: 180)

Contoh:
Ar Rahman adalah salah satu dari nama-nama Allah, menunjukkan atas sifat
yang agung yaitu memiliki rahmat yang luas.

Berdasarkan penjelasan di atas, kita tahu bahwa ad dahr (waktu) bukan


termasuk salah satu dari nama Allah karena tidak mengandung makna yang
terpuji. Adapun sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam

“Janganlah kalian menela dahr (masa) karena Allah adalah Dahr” (HR.
Muslim)

Maka maknanya adalah Allah lah yang menguasai masa. Kita palingkan ke
makna tersebut dengan dalil hadis,

“Di tangan-Ku lah segala urusan, Aku yang membolak-balikkan siang dan
malam” (HR. Bukhari)

– Nama Allah tidak dibatasi pada bilangan tertentu

Kaidah ini didasari doa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang masyhur,

“Ya Allah aku memohon kepada-Mu dengan setiap nama-Mu yang Engkau
gunakan untuk diri-Mu, yang Engkau turunkan dalam kitab-Mu, atau Engkau
ajarkan kepada salah seorang dari makhluk-Mu, atau yang Engkau
rahasiakan untuk diri-Mu dalam ilmu ghaib di sisi-Mu” (HR. Ahmad, HR Ibnu
Hibban)

Lalu bagaimana menggabungkan dengan hadits berikut,

“Sesngguhnya ada 99 nama milik Allah, barang siapa menjaganya akan


masuk syurga” (HR. Bukhari)
Makna hadits ini adalah: Diantara nama Allah ada 99 nama yang jika kita
menjaganya kita akan masuk syurga. Dan tidaklah dimaksudkan disini
membatasi nama Allah hanya 99. Kita bisa melihat hal ini dengan contoh
perkataan “saya mempunyai 100 dirham untuk disedekahkan”. Maka
pernyataan ini tidak menafikan kalau saya mempunyai dirham yang lain yang
saya peruntukkan untuk selain sedekah.

– Nama Allah tidak dapat ditetapkan berdasarkan akal tetapi harus


dengan dalil syar’i

Nama Allah adalah tauqifiyah, yaitu harus ditetapkan berdasarkan dalil


syari’at, tidak boleh menambahnya dan tidak boleh menguranginya karena
akal tidak mungkin mencapai semua yang menjadi hak Allah dari nama-
nama-Nya. Maka dalam hal ini kita wajib untuk mencukupkan diri dengan
dalil syar’i. Hal ini karena menamai Allah dengan nama yang tidak Allah
namakan diri-Nya dengan nama tersebut atau mengingkari nama yang Allah
menamai diri-Nya dengan nama tersebut merupakan pelanggaran terhadap
hak Allah ta’ala. Kita wajib mempunyai adab yang baik kepada Allah ta’ala.

– Seluruh nama dari nama-nama Allah menunjukkan atas dzat Allah,


sifat yang terkandung di dalam nama tersebut, dan adanya pengaruh
yang dihasilkan jika nama tersebut adalah nama yang muta’adi
(membutuhkan objek)

Dan tidak sempurna iman seseorang terhadap asma dan sifat Allah kecuali
dengan menetapkan semua hal tersebut.

Contoh nama Allah yang bukan muta’adi: Al ‘Adzim (Yang Maha Agung)


Tidak sempurna mengimani nama ini sampai mengimani dengan
menetapkan 2 hal:
a. Menetapkan Al Adzim sebagai nama Allah yang menunjukkan pada Dzat
Allah
b. Menetapkan sifat yang terkandung dalam nama tersebut, yaitu Al
‘Udzmah (keagungan)

Contoh nama Allah yang muta’adi: Ar Rahman


Tidak sempurna mengimaninya sampai mengimani dengan menetapkan 3
hal:
a. Menetapkan Ar Rahman sebagai nama Allah yang menunjukkan pada
dzat Allah
b. Menetapkan sifat yang terkandung dalam nama tersebut, yaitu Ar Rahmah
,
c. Menetapkan adanya pengaruh dari nama itu, yaitu merahmati siapa yang
Allah kehendaki.
Kaidah dalam memahami sifat Allah

– Sifat Allah seluruhnya tinggi, sempurna, mengandung pujian, dan


tidak ada kekurangan dari sisi mana pun.
Seperti Al Hayah (hidup), Al’ Ilmu (mengetahui), Al Qudrah (kehendak), As
Sama (mendengar), Al Bashar (melihat), Al Hikmah, Ar Rahmah, Al
Uluw (tinggi), dll. Allah berfirman,

‫َوهَّلِل ِ ْال َم َث ُل األعْ لَى‬

“Dan Allah mempunyai sifat yang maha tinggi” (Qs. An Nahl: 60)

Karena Allah adalah Rabb yang maha sempurna maka sifatnya harus
sempurna.

– Jika suatu sifat menunjukkan kekurangan dan bukan kesempurnaan


sama sekali maka mustahil sifat itu dimiliki Allah, seperti Al
Maut (mati), Al Jahl (bodoh), Al Ajs (lemah), As Samam (tuli), Al ‘Ama
(buta), dll. Oleh karena itu Allah membantah orang yang mensifati diri-Nya
dengan kekurangan dan mensucikan diri-Nya dari kekurangan tersebut.
Allah tidak mungkin mempunyai kekurangan karena hal itu akan mengurangi
keberadaan-Nya sebagai Rab semesta alam.

– Jika sifat tersebut di satu sisi menunjukkan kesempurnaan


sedangkan di sisi lain menunjukkan kekurangan maka sifat ini tidak
dinisbatkan dan tidak dinafikan (ditolak) dari Allah secara mutlak akan
tetapi perlu dirinci. Kita menetapkan sifat tersebut dalam keadaan yang
menunjukkan kesempurnaan dan kita menolak sifat tersebut dalam keadaan
yang menunjukkan kekurangan.
Contohnya sifat Al Makr, Al Kaid, Al Khida’ (makna ketiganya adalah tipu
daya)
Sifat ini merupakan sifat yang sempurna jika dalam rangka menghadapi
semisalnya (membalas orang yang berbuat tipu daya) Karena hal ini
menunjukkan bahwa yang mempunyai sifat ini (Allah) tidak lemah
menghadapi tipu daya musuh-musuh-Nya.
Dan sifat ini menupakan sifat yang kurang dalam keadaan selain diatas.
Maka kita menetapkan sifat tersebut untuk Allah dalam keadaan yang
pertama, bukan yang kedua.

Allah ta’ala berfirman,

َ ‫َو َي ْم ُك ُر هَّللا ُ َوهَّللا ُ َخ ْي ُر ْال َماك ِِر‬


‫ين‬

“Mereka memikirkan tipu daya dan Allah menggagalkan tipu daya itu. Dan
Allah sebaik-baik pembalas tipu daya.” (Qs. Al Anfal: 30)

)١٦( ‫) َوأَكِي ُد َك ْي ًدا‬١٥( ‫ون َك ْي ًدا‬


َ ‫إِ َّن ُه ْم َيكِي ُد‬
“Sesungguhnya orang kafir itu merencanakan tipu daya yang jahat dengan
sebenar-benarnya. Aku pun membuat rencana (pula) dengan sebenar-
benarnya.” (Qs. At Thariq: 15-16)

‫ُون هَّللا َ َوه َُو َخا ِد ُع ُه ْم‬ Xَ ‫إِنَّ ْال ُم َنافِق‬


Xَ ‫ِين ي َُخا ِدع‬

“Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah, dan Allah akan


membalas tipuan mereka.” (Qs. An Nisa: 142)

Jika dikatakan Apakah Allah disifati dengan Al Makr? Maka jangan


menjawab “ya” dan jangan pula menjawab “tidak”, akan tetapi kaakanlah
“Allah berbuat makar terhadap orang yang pantas mendapatkannya” wallahu
a’lam.

– Sifat Allah terbagi menjadi dua, yaitu tsubutiyah dan  salbiyah

Tsubutiyah yaitu sifat yang ditetapkan Allah untuk diri-Nya seperti Al


Hayah, Al Alim, Al Qudrah. Sifat ini wajib kita tetapkan pada Allah sesuai
dengan keagungan-Nya karena Allah sendiri menetapkan sifat tersebut
untuk diri-Nya dan Allah lebih mengetahui tentang sifat diri-Nya.

Salbiyah yaitu sifat yang Allah nafikan (tiadakan) untuk diri-Nya seperti


dzalim. Sifat ini wajib kita nafikan pada Allah karena Allah telah menafikan
sifat tersebut pada diri-Nya. Dan kita wajib untuk menetapkan pada Allah
sifat yang merupakan lawannya yaitu sifat yang menunjukkan sifat
kesempurnaan. Penafian tidak sempurna tanpa menetapkan kebalikannya.

Contohnya, Firman Allah ta’ala,

),٤٩( ‫ك أَ َح ًدا‬
َ ‫َوال َي ْظلِ ُم َر ُّب‬

“Dan Rabmu tidak menganiaya seorang jua pun.” (Qs. Al Kahfi: 49)

Kita wajib menafikan sifat dzalim dari Allah disertai dengan keyakinan
menetapkan sifat adil bagi Allah yang mana sifat adil tersebut dalam bentuk
yang sempurna.

– Sifat tsubutiyah terbagi menjadi dua, yaitu sifat dzatiyah dan


sifat fi’liyah

Sifat dzatiyah yaitu sifat yang terus-menerus ada (selalu melekat) pada diri


Allah seperti sifat As Sama, Al Bashar

Sifat fi’liyah yaitu sifat yang terikat dengan kehendak Allah. Jika Allah


menghendaki maka Dia melakukannya dan jika Allah tidak menghendaki
maka Dia tidak melakukannya. Contohnya sifat istiwa’ di atas arsy,
sifat maji’ (datang)
Dan ada beberapa sifat yang termasuk sifat dzatiyah sekaligus fi’liyah jika
dilihat dari dua sisi. Contohnya sifat kalam (berbicara). Dilihat dari sisi
asalnya sifat tersebut merupakan sifat dzatiyah karena Allah senantiasa
berbicara. Tetapi jika dilihat dari sisi lain, kalam merupakan
sifat fi’liyah karena Allah berbicara tergantung pada kehendak-Nya. Dia
berbicara kapan dan bagaimana Dia kehendaki.

– Seluruh sifat Allah bisa menerima tiga pertayaan

1. Apakah sifat itu hakiki, mengapa?


2. Apakah boleh menanyakan kaifiyahnya (bagaimananya) (takyif)? Dan
mengapa?
3. Apakah boleh menyerupakannya sengan makhluk (tamtsil)? Dan
mengapa?

Jawaban dari pertanyaan tersebut adalah,

1. Benar, sifat Allah hakiki karena asal sebuah perkataan adalah mempunyai
makna hakiki. Maka tidak boleh memalingkannya kecuali dengan dalil yang
shahih.

2. Tidak boleh menanyakan kaifiyahnya karena firman Allah ta’ala,

)١١٠( ‫ون ِب ِه ِع ْلمًا‬ ُ ‫َوال ُيح‬


َ ‫ِيط‬

“Sedang ilmu mereka tidak dapat meliputi ilmu-Nya” (Qs. Thaha: 110)

Dan karena akal tidak mungkin mengetahui kaifiyah sifat Allah

3. Tidak boleh menyerupakan dengan sifat makhluk karena firman


Allah ta’ala

‫ْس َكم ِْثلِ ِه َشيْ ٌء‬


َ ‫ل َي‬

“Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia” (Qs. As Syuura: 11)

Karena Allah sempurna, tidak ada puncak sifat kebaikan yang lebih tingi
dari-Nya sehingga tidak mungkin diserupakan dengan makhluk karena
makhluk itu penuh kekurangan.

Perbedaan antara tamtsil dan takyif yaitu:
Tamtsil berarti menyebutkan kaifiyah sifat Allah dengan mengaitkannya
dengan sifat makhluk sedangkan takyif adalah menyebutkan kaifiyah sifat
Allah tanpa mengaitkannya dengan makhluk.

Contoh tamtsil: Perkataan “tangan Allah itu seperti tangan manusia”


Contoh takyif: Membayangkan kaifiyah (bagaimana) tangan Allah dengan
suatu gambaran tertentu dengan tidak menyerupakannya dengan tangan
makhluk. Maka hal ini tidak boleh.

– Bagaimana membantah Mu’athilah

Mu’athilah adalah orang yang mengingkari atau menolak sebagian asma


Allah atau sifat Allah dan memalingkan nash dari makna dzahirnya. Mereka
jiga disebut muawwilah.

Kaidah umum dalam membantah mereka adalah kita katakan kepada


mereka bahwa pendapat mereka menyelisihi dzahir nash, menyelisihi jalan
para salaf dalam memahami asma dan sifat Allah, penyelisihan mereka tidak
didasari dalil yang shahih dan pada beberapa sifat bisa disertai bantahan-
bantahan khusus yang ke empat, atau lebih.

Adz- Dzariyat: 5 ayat terakhir

‫ون‬ َ ِ ‫ت ْٱل ِجنَّ َوٱإْل‬


ِ ‫نس إِاَّل لِ َيعْ ُب ُد‬ ُ ‫َو َما َخ َل ْق‬
wa mā khalaqtul-jinna wal-insa illā liya'budụ n

56. Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka
mengabdi kepada-Ku.

ُ ُ
ِ ‫َمٓا أ ِري ُد ِم ْنهُم مِّن رِّ ْز ٍق َو َمٓا أ ِري ُد أَن ي ُْط ِعم‬
‫ُون‬
mā urīdu min-hum mir rizqiw wa mā urīdu ay yuṭ'imụ n

57. Aku tidak menghendaki rezeki sedikitpun dari mereka dan Aku tidak
menghendaki supaya mereka memberi-Ku makan.

ُ‫اق ُذو ْٱلقُوَّ ِة ْٱل َمتِين‬


ُ ‫إِنَّ ٱهَّلل َ ه َُو ٱلرَّ َّز‬
innallāha huwar-razzāqu żul-quwwatil-matīn

58. Sesungguhnya Allah Dialah Maha Pemberi rezeki Yang mempunyai


Kekuatan lagi Sangat Kokoh.
‫ون‬ ِ ‫ُوا َذ ُنوبًا م ِّْث َل َذ ُنو‬
ِ ُ‫ب أَصْ ٰ َح ِب ِه ْم َفاَل َيسْ َتعْ ِجل‬ ۟ ‫ِين َظ َلم‬
َ ‫َفإِنَّ لِلَّذ‬
fa inna lillażīna ẓalamụ żanụ bam miṡla żanụ bi aṣ-ḥ ābihim fa lā yasta'jilụ n

59. Maka sesungguhnya untuk orang-orang zalim ada bagian (siksa)


seperti bahagian teman mereka (dahulu); maka janganlah mereka meminta
kepada-Ku untuk menyegerakannya.

۟ ‫ِين َك َفر‬
َ ‫ُوا مِن َي ْوم ِِه ُم ٱلَّذِى ي‬
َ ‫ُوع ُد‬
‫ون‬ َ ‫َف َو ْي ٌل لِّلَّذ‬
fa wailul lillażīna kafarụ miy yaumihimullażī yụ 'adụ n

60. Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang kafir pada hari yang


diancamkan kepada mereka.

Asma dan sifat ALLAH

1. Mengabdi, berhak disembah =

Al Malik =yang berhak merajai

2. Pemberi rizki

Ar Razzaaq = Artinya: Yang Maha Pemberi Rezeki

3. Berdiri sendiri

Qiyamuhu Binafsihi yang artinya adalah berdiri sendiri.

4. Kuat, sangat kokoh

Al Qawiyyu = Yang Maha Kuat

5. maha kuasa= siksa

Al Muqtadir = Yang Maha Berkuasa

Maksud Diciptakannya Manusia

Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka
mengabdi kepada-Ku. (Adz-Dzariyat 56)
Ath-Thalaq: 5 Ayat Terakhir

‫اس ْب ٰ َن َها ح َِسابًا‬


َ ‫ت َعنْ أَمْ ِر َر ِّب َها َو ُر ُسلِهِۦ َف َح‬
ْ ‫َو َكأَيِّن مِّن َقرْ َي ٍة َع َت‬

‫َشدِي ًدا َو َع َّذ ْب ٰ َن َها َع َذابًا ُّن ْكرً ا‬


wa ka`ayyim ming qaryatin 'atat 'an amri rabbihā wa rusulihī fa ḥ āsabnāhā
ḥ isāban syadīdaw wa 'ażżabnāhā 'ażāban nukrā

8. Dan berapalah banyaknya (penduduk) negeri yang mendurhakai


perintah Tuhan mereka dan Rasul-rasul-Nya, maka Kami hisab penduduk
negeri itu dengan hisab yang keras, dan Kami azab mereka dengan azab
yang mengerikan.

‫ان ٰ َع ِق َب ُة أَمْ ِر َها ُخسْ رً ا‬


َ ‫ت َو َبا َل أَمْ ِر َها َو َك‬
ْ ‫َف َذا َق‬
fa żāqat wa bāla amrihā wa kāna 'āqibatu amrihā khusrā

9. Maka mereka merasakan akibat yang buruk dari perbuatannya, dan


adalah akibat perbuatan mereka kerugian yang besar.

۟ ‫ِين َءا َم ُن‬


‫وا ۚ َق ْد‬ ِ ‫وا ٱهَّلل َ ٰ َٓيأ ُ ۟ولِى ٱأْل َ ْل ٰ َب‬
َ ‫ب ٱلَّذ‬ ۟ ُ‫أَ َع َّد ٱهَّلل ُ َل ُه ْم َع َذابًا َشدِي ًدا ۖ َفٱ َّتق‬

َ َ‫أ‬
‫نز َل ٱهَّلل ُ إِ َل ْي ُك ْم ذ ِْكرً ا‬
a'addallāhu lahum 'ażāban syadīdan fattaqullāha yā ulil-albāb, allażīna
āmanụ qad anzalallāhu ilaikum żikrā

10. Allah menyediakan bagi mereka azab yang keras, maka bertakwalah


kepada Allah hai orang-orang yang mempunyai akal; (yaitu) orang-orang
yang beriman. Sesungguhnya Allah telah menurunkan peringatan
kepadamu,
۟ ُ‫وا َو َع ِمل‬
‫وا‬ ۟ ‫ِين َءا َم ُن‬ ٍ ‫ت ٱهَّلل ِ ُم َب ِّي ٰ َن‬
َ ‫ت لِّي ُْخ ِر َج ٱلَّذ‬ ۟ ُ‫رَّ سُواًل َي ْتل‬
ِ ‫وا َع َل ْي ُك ْم َءا ٰ َي‬

َ ٰ ‫ور ۚ َو َمن ي ُْؤم ِۢن ِبٱهَّلل ِ َو َيعْ َم ْل‬


‫صلِحً ا‬ ُّ ‫ت م َِن‬
ِ ‫ٱلظلُ ٰ َم‬
ِ ‫ت إِ َلى ٱل ُّن‬ َّ ٰ ‫ٱل‬
ِ ‫صل ٰ َِح‬

ٍ ‫ي ُْدخ ِْل ُه َج ٰ َّن‬


َ ‫ت َتجْ ِرى مِن َتحْ ِت َها ٱأْل َ ْن ٰ َه ُر ٰ َخلِد‬
ُ ‫ِين فِي َهٓا أَ َب ًدا ۖ َق ْد أَحْ َس َن ٱهَّلل‬

‫َلهُۥ ِر ْز ًقا‬
rasụ lay yatlụ 'alaikum āyātillāhi mubayyinātil liyukhrijallażīna āmanụ wa
'amiluṣ-ṣāliḥ āti minaẓ-ẓulumāti ilan-nụ r, wa may yu`mim billāhi wa ya'mal
ṣāliḥ ay yudkhil-hu jannātin tajrī min taḥ tihal-an-hāru khālidīna fīhā abadā,
qad aḥ sanallāhu lahụ rizqā

11. (Dan mengutus) seorang Rasul yang membacakan kepadamu ayat-


ayat Allah yang menerangkan (bermacam-macam hukum) supaya Dia
mengeluarkan orang-orang yang beriman dan beramal saleh dari
kegelapan kepada cahaya. Dan barangsiapa beriman kepada Allah dan
mengerjakan amal yang saleh niscaya Allah akan memasukkannya ke
dalam surga-surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai; mereka
kekal di dalamnya selama-lamanya. Sesungguhnya Allah memberikan
rezeki yang baik kepadanya.

‫ض م ِْث َلهُنَّ َي َت َن َّز ُل ٱأْل َمْ ُر‬


ِ ْ‫ت َوم َِن ٱأْل َر‬
ٍ ‫ٱهَّلل ُ ٱلَّذِى َخ َل َق َسب َْع َس ٰ َم ٰ َو‬

َ ‫َب ْي َنهُنَّ لِ َتعْ َلم ُٓو ۟ا أَنَّ ٱهَّلل َ َع َل ٰى ُك ِّل َشىْ ٍء َقدِي ٌر َوأَنَّ ٱهَّلل َ َق ْد أَ َح‬
‫اط ِب ُك ِّل‬

‫َشىْ ٍء عِ ْل ۢ ًما‬
allāhullażī khalaqa sab'a samāwātiw wa minal-arḍ i miṡlahunn,
yatanazzalul-amru bainahunna lita'lamū annallāha 'alā kulli syai`ing
qadīruw wa annallāha qad aḥ āṭa bikulli syai`in 'ilmā
12. Allah-lah yang menciptakan tujuh langit dan seperti itu pula bumi.
Perintah Allah berlaku padanya, agar kamu mengetahui bahwasanya Allah
Maha Kuasa atas segala sesuatu, dan sesungguhnya Allah ilmu-Nya
benar-benar meliputi segala sesuatu.

Asma dan Sifat ALLAH

1. Al – Muntaqim (Maha Pembalas)


2. Al ALIIM- Maha mengetahui

3. An nuur= maha bercahaya(menerangi)

4. Al-Qaadir = Maha Berkuasa/ Maha Kuasa / Maha Berupaya.

Maksud Diciptakannya Manusia

10. Allah menyediakan bagi mereka azab yang keras, maka bertakwalah


kepada Allah hai orang-orang yang mempunyai akal; (yaitu) orang-orang
yang beriman. Sesungguhnya Allah telah menurunkan peringatan
kepadamu,

Anda mungkin juga menyukai