Anda di halaman 1dari 5

1.

A
Korupsi harus diberantas karena korupsi bisa berdampak kerugian di segala segi kehidupan,
mulai dari kemiskinan hingga hancurnya perekonomian negara.Peran serta masyarakat dalam
pemberantasan korupsi adalah mencegah, melaporkan dan menolak ikut serta dalam praktik
korupsi.

1.B
Tipologi Korupsi
Dalam realitas ruang lingkup prototype atau bentuk dan jenis korupsi begitu luas sehingga
tidak mudah dihadapi sarana hukum semata. Menurut Prof Dr Syet Husein Alatas, guru besar
Universitas Singapura yang banyak menulis dan pakar perihal korupsi menyebutkan terdapat
7 (tujuh) tipologi atau bentuk dan jenis korupsi yaitu :
Korupsi Transaktif (transactive corruption), jenis korupsi yang menunjuk adannya kesepakatan
timbal balik antara pihak pemberi dan pihak penerima demi keuntungan kepda kedua belah
pihak dan dengan aktif diusahakan tercapainya keuntungan kepada kedua belah pihak dan
dengan aktif diusahakan tercapainya keuntungan yang biasnnya melibatkan dunia usaha atau
bisnis dengan pemerintah.
Korupsi perkerabatan (nepotistic corruption) yang menyangkut penyalahgunaan kekuasaan dan
wewenang untuk berbagai keuntungan bagi teman atau sanak saudara dan krooni-
kroninya.Korupsi yang memeras (extortive corruption) adalah korupsi yang dipaksakan kepada
suatu pihak yang biasannya disertai ancaman, terror, penekanan (presur) terhadap kepentingan
orang-orang dan hal-hal yang dimilikinya.
Korupsi Investif (investive corruption), adalah memberikan suatu jasa atau barang tertentu
kepada pihaklain demi keuntungan dimasa depan.
Korupsi defensive (devensive corruption), adalah pihak yang akan dirugikan terpaksa ikut
terlibat didalamnya atau bentuk ini membuat terjebak bahkan menjadi korban perbuatan
korupsi.
Korupsi Otegenik (outogenic corruption), adalah korupsi yang dilakukan seorang diri (single
fighter), tidak ada orang lain atau pihak lain yang terlibat.
Korupsi Suportif (supportive corruption), adalah korupsi dukungan (support) dan taka da orang
atau pihak lain yang terlibat.
Jenis dan tipologi korupsi menurut bentuk-bentuk tindak pidana korupsi yang dibuat dalam
pasal-pasal UU Nomor 31 tahun 1999 yang diubah dengan Undang-undang nomor 20 tahun
2001 sebagai berikut :
Tindak pidana korupsi dengan memperkaya diri sendiri, orang lain atau suatu korporasi (pasal
2)
Tindak pidana korupsi dengan menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, sarana jabatan
atau kedudukan (pasal 3)
Tindak pidana korupsi Suap dengan memberikan atau menjanjikan sesuatu (pasal 5)
Tindak pidana korupsi dengan suap pada hakim dan advokad (pasal 6)
Tindak pidana korupsi dalam hal membuat bangunan dan menjual bahan bangunan dan korupsi
dalam hal menyerahkan alat keperluan TNI dan KNRI (pasal 7)
Tindak pidana korupsi oleh Pegawai negeri mengelapkan uang dan surat berharga (pasal 8)
Tindak pidana korupsi pegawai negeri memalsu buku-buku dan daftar-daftar (pasal 9)
Tindak pidana korupsi Pegawai negeri merusakan barang, akta, surat atau daftar (pasal 10)
Tindak pidana korupsi oleh Pegawai Negeri menerima hadiah atau janji yang berhubungan
dengan kewenangan jabatan (pasal 11)
Tindak pidana korupsi oleh Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara atau hakim dan
advokat menerima hadiah atau janji; pegawai negeri memaksa membayar, memotong
pembayaran, meminta pekerjaan, menggunakan tanah Negara dan turut serta dalam
pemborongan (pasal 12)
Tindak pidana korupsi Suap Pegawai Negeri menerima gratifikasi (pasal 12b)
Tindak pidana korupsi suap pada pegawai negeri dengan mengingat kekuasaan jabatan
(pasal13)
Tindak pidana korupsi yang berhubungan dengan hukum acara pemberantasan korupsi
Tindak pidana pelanggaran terhdapa pasal 220, 231, 421, 429 dan 430 KUHP (pasal 23).
1.C
Karena korupsi tidak terbatas pada kerugian keuangan saja namun, korupsi juga berdampak
pada aspek sosial dikarenakan melambatnya pertumbuhan ekonomi sehingga, secara tidak
langsung meningkatkan kemiskinan disuatu negara. Selain itu juga korupsi juga dapat
menurunkan tingkat kebahagiaan masyarakat.

2.A
Karena pengembangan ajaran sifat melawan hukum materiil dalam fungsinya yang negatif
menegaskan bahwa hukum tidak tertulis dapat digunakan sebagai dasar untukmenghapus sifat
melawan hukumnya suatu perbuatan yang sudah memenuhi rumusan dalam perundang-
undangan atau dengan kata lain hukum tidak tertulis dapat berfungsi sebagai alasan pembenar.
Ajaran ini tidak bertentangan dengan asas legalitas atau Pasal 1 ayat (1) KUHP karena yang
dilarang pada Pasal 1 ayat (1) KUHP adalah menggunakan hukum tidak tertulis sebagai dasar
pemidanaan, sedangkan ajaran sifat melawan hukum materiil dalam fungsinya yang negatif,
hukum tidak tertulis hanya digunakan sebagai dasar untuk menghapus pidana. Oleh karena itu
hukum pidana kita hanya menganut ajaran sifat melawan hukum materiil dalam fungsinya yang
negatif.Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
sebagaimana telah diubah dengan Undang�undang Nomor 20 Tahun 2001, dibentuk dengan
harapan agar pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi dapat berjalan secara
efektif. Salah satu cara untuk mengefektifkan pencegahan dan pemberantasan tindak pidana
korupsi yang dipandang mempuni adalah dengan memperluas pengertian sifat melawan hukum
tindak pidana korupsi yakni baik dalam pengertian formil maupun materil, sebagaimana
disebutkan dalam Penjelasanpasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999.
Penjelasan pasal tersebut menyebutkan, meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam
peraturan perundang�undangan namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena
tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat, maka
perbuatan itu dapat dipidana.
2.B
Secara teoritis, sifat melawan hukum dalam hukum pidana dikenal dua ajaran, yaitu ajaran sifat
melawan hukum formil dan ajaran sifat melawan hukum materiil. Ajaran sifat melawan hukum
formil menegaskan, suatu perbuatan dikualifikasi sebagai melawan hukum apabila perbuatan
itu bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan sifat melawan
hukum perbuatan tersebut hanya dapat dihapus dengan alasan pembenar yang telah dirumuskan
dalam peraturan perundang�undangan. Oleh karena itu, hukum tidak tertulis tidak diakui
dalam ajaran ini. Sedangkan dalam ajaran sifat melawan hukum materiil mengakui hukum
tidak tertulis sebagai bagian dari hukum pidana disamping peraturan perundang�undangan
yang berlaku. Ajaran sifat melawan hukum materiil dalam fungsinya yang positif menegaskan,
hukum tidak tertulis dapat digunakan sebagai dasar mengaktualisasikan suatu perbuatan
sebagai melawan hukum jika suatu perbuatan tersebut oleh masyarakat dipandang tidak patut
atau bertentangan dengan rasa keadilan masyarakat dan oleh karenanya dapat dipidana. Ajaran
ini tidak dianut di Indonesia karena dipandang bertentangan dengan asas legalitas sebagaimana
dirumuskan dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP.
2.C
1. Sifat Melawan Hukum Formil
Sifat melawan hukum formil atau Formeel wederrechtelijkheid mengandung arti semua bagian
(unsur-unsur) dari rumusan delik telah di penuhi. Demikian pendapat Jonkers yang
menyatakan “Melawan hukum formil jelas adalah karena bertentangan dengan undang-undang
tetapi tidak selaras dengan melawan hukum formil, juga melawan hukum materil, diantara
pengertian sesungguhnya dari melawan hukum, tidak hanya didasarkan pada hukum positif
tertulis, tetapi juga berdasar pada asas-asas umum hukum, pula berakar pada norma-norma
yang tidak tertulis. Sebagaimana yang diatur dengan Pasal 1 ayat (1) KUHP, untuk dipidananya
setiap perbuatan menganut sifat melawan hukum formil”. Para penganut sifat melawan hukum
formil mengatakan, bahwa pada setiap pelanggaran delik sudah dengan sendirinya terdapat
sifat melawan hukum dari tindakan pelanggaran tersebut.
2. Sifat Melawan Hukum Materil
Sifat melawan hukum materil atau materiel wederrechtelijkheid terdapat dua pandangan.
Pertama. Sifat melawan hukum materiil dilihat dari sudut perbuatanya. Hal ini mengandung
arti perbuatan yang melanggar atau membahayakan kepentingan hukum yang hendak
dilindungi oleh pembuat undang-undang dalam rumusan delik tertentu. Biasanya sifat
melawan hukum materil ini dengan sendirinya melekat pada delik-delik yang dirumuskan
secara materil. Kedua. Sifat melawan hukum materil dilihat dari sudut sumber hukumnya. Hal
ini mengandung makna bertentangan dengan hukum tidak tertulis atau hukum yang hidup
dalam masyarakat, asas-asas kepatutan atau nilai-nilai keadilan dan kehidupan sosial dalam
masyarakat.
Dengan demikian, bahwa pandangan sifat melawan hukum formilmengatakan bahwa setiap
pelanggaran delik sudah dengan sendirinya terdapat sifat melawan hukum dari pelanggaran
tersebut. Berbeda dengan pandangan sifat melawan hukum materil yang menyatakan bahwa
“melawan hukum” merupakan unsur mutlak dalam perbuatan pidanaserta melekat pada delik-
delik yang dirumuskan secara materil sehingga membawa konsekuensi harus dibuktikan oleh
penuntut umum.

3.A
Pembuktian Pidana dimulai sejak tahap penyelidikan guna menemukan dapat tidaknya
dilakukan penyidikan dalam rangka membuat terang suatu tindak pidana dan menemukan
tersangka dari tindak pidana tersebut.
3.B
Peran penting pembuktian dalam sistem peradilan hukum di Indonesia yakni demi mewujudkan
keadilan dan kepastian hukum bagi masyarakat dilakukan melalui mekanisme sistem peradilan
pidana.
3.C
Pengaturan alat bukti tindak pidana korupsi
a. Alat bukti keterangan saksi
b. Alat bukti keterangan ahli
c. Alat bukti surat
d. Alat bukti petunjuk
f. Alat bukti keterangan terdakwa
g. Alat bukti

4.A
Pengembalian aset negara hasil dari tindak pidana korupsi masih sangat jauh dari harapan
bangsa Indonesia, sehingga upaya pengungkapan harus betul-betul di jadikan sebagai tolok
ukur dalam kesuksesan. Pengembalian aset negara hanya sebagai angan-angan belaka masih
banyak aset negara yang belum terdeteksi oleh aparat penegak hukum, mengingat bahwa
pengembalian keuangan negara hasil dari tindak pidana korupsi dapat memunculkan berbagai
perbuatan tindak pidana korupsi, seperti adanyapenimbunan kekayaan hasil korupsi di
beberapa daerah atau cara lain yang dilakukan pelaku untuk dapat mengaburkan asal usul aset
dan masih banyak belum diketahui keberadanya.
4.B
Pengembalian aset korupsi melalui instrumen hukum perdata dalam tindak pidana korupsi,
secara umum mengikuti ketentuan yang diatur dalam UU PTPK maupun hukum acara perdata
dan BW. Pengembalian kerugian keuangan negara, mensyaratkan adanya proses pidana
terlebih dahulu. gugatan perdata secara filosofis mengandung maksud untuk memenuhi rasa
keadilan masyarakat. Syarat diajukannya gugatan perdata di atur dalam pasal 32, pasal 33,
pasal 34 dan pasal 38C UU PTPK yaitu berkaitan dengan Kondisi hukum tertentu tersebut
meliputi: Dalam penyidikan ditemukan tidak cukup bukti , Terdakwa diputus bebas atau lepas
dari segala tuntuan, Tersangka meninggal dunia pada saat penyidikan dilakukan, Terdakwa
meninggal dunia pada saat pemeriksaan sidang di pengadilan, ditemukan aset hasil korupsi
yang belum dirampas untuk negara walaupun putusan pengadilan telah berkekuatan hukum
tetap, ditujukan kepada Terpidana/Terdakwa atau ahli warisnya dan negara diwakili oleh
kuasanya, jaksa pengacara negara atau instansi yang dirugikan. Gugatan perdata pengembalian
kerugian keuangan negara dalam tindak pidana korupsi di pengadilan, mensyaratkan adanya
hubungan hukum antara penggugat dan tergugat (legal standing), Secara nyata telah ada
kerugian negara , akibat atau berhubungan dengan perbuatan melanggar hukum tersangka /
terdakwa / terpidana, Adanya harta benda milik tersangka / terdakwa / terpidana yang dapat
digunakan untuk pengembalian keuanagan negara, perbuatan melanggar hukum berkaitan
dengan perbuatan melanggar hak orang lain dan perbuatan yang bertentangan dengan
kewajiban, untuk pembuktiannya menganut asas pembalikan beban pembuktian mengingat
korupsi sebagai kejahatan yang luar biasa. Penyelesaian Sengketa melalui Pengadilan dalam
gugatan perdata tindak pidana korupsi dianggap kurang efektif Sehingga orang yang
bersengketa lebih memilih penyelesaian secara administrasi, bernegoisasi atau Plea bargaining
dalam pengertian.
4.C
Menurut saya lebih efektif menggunakan instrumen hukum pidana karena sedari awal
prosesnya sudah menggunakan instrumen hukum pidana, maka dari itu pengembalian aset
negara dari korupsi lebih efektif jika menggunakan instrumen hukum pidana.

Anda mungkin juga menyukai