Anda di halaman 1dari 18

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG


PERSETUJUAN TINDAKAN MEDIS (INFORMED CONSENT), BIDAN,
DAN KLINIK CITRA ASRI YOGYAKARTA

2.1. Persetujuan Tindakan Medis (Informed Consent)

2.1.1. Pengertian Persetujuan Tindakan Medis (Informed Consent)

dan Dasar Hukumnya

Persetujuan Tindakan Medis (Informed Consent) pada dasarnya

merupakan persetujuan yang harus diperoleh dari pasien atau keluarga

terdekat sebelum melakukan suatu tindakan medis yang akan dilakukan.

John M. Echols dalam kamus Inggris – Indonesia, informed berarti telah

medapat penjelasan atau keterangan, telah disampaikan, telah

diinformasikan. Sedangkan consent berarti persetujuan yang diberikan

kepada seseorang untuk berbuat sesuatu.18 Jadi informed consent

mengandung pengetian suatu persetujuan yang diberikan pasien kepada

dokter setelah diberi penjelasan.19

Menurut Appelbaum, informed consent bukan sekedar formulir

persetujuan yang didapat dari pasien, tetapi merupakan suatu proses

komunikasi. Tercapainya kesepakatan antara dokter-pasien merupakan

dasar dari seluruh proses tentang informed consent. Formulir itu hanya

18
John M, Echols & Hassan Sadhily, 2003, Kamusi Inggris-Indonesia, Gramedia,
Jakarta, h.205.
19
M Jusuf Hanafiah dan Amri Amir. 1999. Etika Kedokteran dan Hukum Kesehatan.
Edisi 3. BGG, Jakarta, h.68

20
21

merupakan pengukuhan atau pendokumentasian dari apa yang telah

disepakati.20 Dalam buku Informed Consent: Patient Autonomy and

Clinician Beneficence within Health Care dikatakan bahwa:

“a legally valid informed consent should instruct the patient

regarding (1) the problem or diagosis for which further investigation or

intervention is proposed, (2) the recommended intervention coupled with

the significant benefits and risks attendant to it, (3) the results or prognosis

if no intervention is attempted, and (4) any significant alternative modalities

with their attendat risks and benefits.”21

Kadang-kadang orang menekankan pentingnya penandatanganan

formulir informed consent. Meskipun formulir tersebut penting dan sangat

menolong (dan kadang-kadang diperlukan secara hukum), tetapi

penandatanganan formulir itu sendiri tidak mencukupi. Yang lebih penting

adalah mengadakan diskusi yang rinci dengan pasien, dan

didokumentasikan di dalam rekam medis pasien.22

Mengenai informed consent lebih jelas diatur di dalam Pasal 45

Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran.

Dinyatakan bahwa setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang

akan dilakukan oleh dokter atau dokter gigi terhadap pasien harus mendapat

20
Ibid h.74
21
Stephen Wear, 1998, Informed Consent: Patient Autonomy and Clinician Beneficence
within Health Care, Georgetown University Press, Washington, h.10.
22
Tim Penyusun Konsil Kedokteran Indonesia, 2006, Manual Persetujuan Tindakan
Kedokteran, Konsil Kedokteran Indonesia, Jakarta, h.4.
22

persetujuan. Persetujuan sebagaimana yang dimaksud diberikan setelah

pasien mendapat penjelasan secara lengkap. Penjelasan tersebut sekurang-

kurangnya mencakup diagnosis dan tata cara tindakan medis, tujuan

tindakan medis yang dilakukan, alternatif tindakan lain dan risikonya,

risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi, dan prognosis terhadap

tindakan yang dilakukan. Persetujuan sebagaimana dimaksud dapat

diberikan secara tertulis maupun lisan. Namun, setiap tindakan kedokteran

atau kedokteran gigi yang mengandung risiko tinggi harus diberikan dengan

persetujuan tertulis yang ditandatangani oleh yang berhak memberikan

persetujuan. Ketentuan mengenai tata cara persetujuan tindakan kedokteran

atau kedokteran gigi diatur dengan Peraturan Menteri.

2.1.2. Latar Belakang Persetujuan Tindakan Medis (Informed

Consent)

Dalam hukum Inggris (common law), telah lama dikenal hak

perorangan untuk bebas dari bahaya atau serangan yang menyentuhnya.

Bahaya yang disengaja atau serangan dari orang lain yang menyentuhnya

tanpa hak disebut battery23, yaitu kejahatan atau perbuatan melawan

hukum yang menggunakan kekeraan atau paksaan terhadap orang lain.

Pada abad XVIII, di Inggris terjadi peristiwa penuntutan terhadap

pembedahan atau operasi yang dilakukan tanpa persetujuan atau hak lain

23
Veronica Komalawati, 2002, Peranan Informed Consent dalam Transaksi Terapeutik,
PT Cipta Aditya Bhakti, Bandung, h.108.
23

yang oleh pengadilan Inggris diputuskan ahli bedah bertanggung jawab

atas battery.24

Setelah muncul kasus tersebut maka ditetapkan suatu aturan bahwa

jika tidak terdapat persetujuan atau hak lain atas suatu prosedur medis

dapat memutuskan dokter beranggung jwab untuk battery. Dokter juga

mempunyai tugas hukum untuk memberi informasi yang cukup kepada

pasin. Saat ini, bila suatu prosedur dilaksanakan tanpa suatu informasi yang

memadai merupakan suatu kesalahan yang dapat dipertanggungjawabkan

atas kelalaian atau kealpaan (Komalawati:2002).25

Perkembangan informed consent di Indonesia tidak lepas dari

perkembangan masalah serupa di Negara lain. Declaration of Lisbon

(1981) dan Patient bill of Right (American Hospital Association, 1972)

pada intinya menyatakan bahwa pasien mempunyai hak menerima dan

menolak pengobatan dan hak menerima informasi dari dokternya sebelum

memberikan persetujuan atas tindakan medis. 26 Lebih jauh hal ini dapat

menghindarkan atau mencegah terjadinya penipuan atau paksaan atau dari

pandangan lain dapat pula dikatakan bahwa informed consent merupakan

pembatasan otoritas dokter terhadap kepentingan pasien.27

24
Anny Isfandyarie, 2006, Tanggung Jawab Hukum dan Sanksi bagi Dokter Buku I,
Prestasi Pustaka, Jakarta, h. 117.
25
Ibid, h. 118.
26
Realita, Agnes Widanti, dan Daniel Budi Wibowo, 2016, “Implementasi Persetujuan
Tindakan Medis (Informed Consent) pada Kegiatan Bakti Sosial Kesehatan di Rumah Sakit Islam
Sultan Agung Semarang”, SOEPRA Jurnal Hukum Kesehatan, Vol.2, h.32.
27
Jusuf Hanafiah, 2009, Etika Kedokteran dan Hukum Kesehatan, EGC, Jakarta, h.74.
24

2.1.3. Bentuk Persetujuan Tindakan Medis (Informed Consent)

1. Implied Constructive Consent (keadaan normal)

Persetujuan yang diberikan kepada pasien secara tersirat

dan tanpa pernyataan tegas. Isyarat persetujuan ini ditangkap

dokter dari sikap dan tindakan pasien. Umumnya tindakan

dokter disini adalah tindakan yang biasa dilakukan atau sudah

diketahui umum.28 Misalnya pengambilan darah untuk

pemeriksaan laboratorium, memberikan suntikan pada pasien,

menjahit luka, dan lain sebagainya.

2. Implied Emergency Consent (keadan gawat)

Apabila pasien dalam keadaan gawat darurat

(emergency) sedang dokter memerlukan tindakan segera,

sementara pasien dalam keadaan tidak bisa memberikan

persetujuan dan keluarganya pun tidak ditempat. Maka dokter

dapat melakukan tindakan medik terbaik menurut dokter.29

Misalnya kasus pada pasien yang mengalami sesak nafas atau

gagal jantung.

28
M. Jusuf Hanafiah dan Amri Amir, op.cit, h. 69.
29
Ibid
25

3. Expressed Consent

Persetujuan yang dinyatakan secara lisan atau tulisan,

bila yang akan dilakukan lebih dari prosedur pemeriksaan dan

tindakan yang biasa. Dalam keadaan demikian sebaiknya kepada

pasien disampaikan terlebih dahulu tindakan apa yang akan

dilakukan supaya tidak sampai terjadi salah pengertian.30

2.1.4. Tujuan Persetujuan Tindakan Medis (Informed Consent)

1. Memberikan perlindungan hukum kepada pasien sebagai

pengguna jasa medis dari segala tindakan dokter yang dilakukan

tanpa sepengetahuan pasien dan melindungi pasien dari

malpraktek yang disebabkan karena adanya kesalahan yang

dilakukan oleh dokter dalam tindakan kedokteran yang

mengakibatkan kerugian bagi pasien.

2. Memberikan pelindungan hukum kepada dokter yang telah

menjalankan tindakan medis sesuai dengan standar pelayanan

kedokteran apabila terjadi suatu kegagalan medis. Hal tersebut

dikarenakan pada setiap tindakan medis melekat suatu risiko.

Tidak mungkin dokter menjamin upaya pengobatan yang

diberikan akan selalu berhasil sesuai keinginan pasien/keluarga.

Dokter hanya dapat memberikan upaya maksimal untuk

kesembuhan pasien (inspanningsverbintenis).

30
Ibid
26

2.1.5. Persetujuan Tindakan Medis (Informed Consent) pada Bidan

Undang-Undang No. 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan

pada Pasal 11 angka 5 dikatakan bahwa bidan merupakan tenaga kesehatan

yang termasuk dalam kelompok kebidanan. Sedangkan pada Pasal 68

dikatakan bahwa setiap tindakan pelayanan kesehatan perseorangan yang

dilakukan tenaga kesehatan harus mendapat persetujuan. Persetujuan yang

dimaksud diberikan setelah pasien mendapat penjelasan secara cukup dan

patut.

Persetujuan sebagaimana dimaksud berupa persetujuan tertulis

maupun lisan. Dan setiap tindakan tenaga kesehatan yang mengandung

risiko tinggi harus diberikan dengan persetujuan tertulis yang

ditandatangani oleh yang berhak memberikan persetujuan. Ditegaskan juga

pada Peraturan Menteri Kesehatan No. 28 Tahun 2017 tentang Izin dan

Penyelenggaraan Praktik Bidan pada Pasal 28 huruf d, dalam melaksanakan

praktik kebidanannya, Bidan berkewajiban untuk meminta persetujuan

tindakan yang akan dilakukan.

Peraturan tersebut mewajibkan bidan untuk meminta persetujuan

tindakan yang akan dilakukan tanpa menjelaskan prosedur pelaksanaan bagi

bidan dalam meminta persetujuan tindakan yang akan dilakukan. Hal ini

berbeda sekali dengan persetujuan tindakan medis pada dokter dan dokter

gigi yang diatur secara khusus dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor
27

290/MenKes/Per/III/2008 tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran. Pada

Ketentuan Umum Pasal 1 angka 1, pengertian persetujuan tindakan

kedokteran adalah persetujuan yang diberikan oleh pasien atau keluarga

terdekat setelah mendapat penjelasan secara lengkap mengenai tindakan

kedokteran atau kedokteran gigi yang akan dilakukan terhadap pasien. Pada

angka 2 dikatakan bahwa tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang

selanjutnya disebut tindakan kedokteran adalah suatu tindakan medis

berupa preventif, diagnostik, terapeutik atau rehabilitatif yang dilakukan

oleh dokter atau dokter gigi terhadap pasien.

Padahal dalam praktiknya bidan juga menangani tindakan medis

yang berupa preventif, diagnostik, terapeutik atau rehabilitatif khsusunya

pada saat menangani persalinan. Walaupun bidan hanya berwenang

menangani persalinan normal, tetapi tetap saja tindakan medis yang

dilakukan pada saat persalinan normal tersebut memiliki risiko yang tinggi

bagi kesehatan dan keselamatan pasien.

2.2. Bidan

2.2.1 Pengertian Bidan

Pengertian bidan dan bidang praktiknya secara internasional telah

diakui oleh International Confederation of Midwives (ICM) tahun 1972 dan


28

International Federation of Gynaecologist and Obstetritian tahun 1973

WHO, serta badan lainnya sebagai berikut,31

“A midwife is a person who, having been regulary admitted to a

midwifery educational program fully recognized in the country in which is

located, has succesfully completed the prescribed course of studies in

midwifery and has acquired the requiste qualification to be registered and

or legally licensed to practice midwifery”

Bidan adalah seseorang yang telah diakui secara reguler dalam

program pendidikan bidan, diakui oleh negara di mana dia ditempatkan,

telah menyelesaikan pendidikan kebidanan dan mendapatkan kualifikasi

untuk didaftarkan dan atau diizinkan secara hukum/sah untuk

melaksanakan praktik.

Seorang bidan harus mampu mengawasi, memelihara, dan memberi

saran kepada wanita sejak hamil sampai melahirkan, serta perawatan lanjut

pada bayi dan anak-anak. Bidan memiliki tugas penting dalam konseling

dan pendidikan kesehatan, tidak hanya pada perempuan tetapi juga pada

keluarga dan masyarakat. Kegiatan ini harus mencakup pendidikan

antenatal dan persiapan menjadi orang tua serta dapat meluas kepada

kesehatan perempuan, kesehatan seksual atau kesehatan reproduksi dan

perawatan anak.32

31
Sudarwan Danim Darwis, 2003, Metode Penelitian Kebidanan: Prosedur, Kebijakan &
Etik, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta, h.17.
32
Dudi Zulvadi, 2010, Etika dan Manajemen Kebidanan, Cahaya Ilmu, Yogyakarta, h.22.
29

Definisi bidan juga secara jelas diatur dalam Pasal 1 angka 6

Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 369/MENKES/SK/III/2007 tentang

Standar Profesi Bidan yaitu: Bidan adalah seorang perempuan yang lulus

dari pendidikan bidan yang diakui pemerintah dan organisasi profesi di

wilayah Negara Republik Indonesia serta memiliki kompetensi dan

kualifikasi untuk diregister, sertifikasi dan atau secara sah mendapat lisensi

untuk menjalankan praktik kebidanan. Pada pasal 1 anga 1 Peraturan

Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 28 tahun 2017 tentang Izin

dan Penyelenggaraan Praktik Bidan, menyatakan bahwa bidan adalah

seorang perempuan yang lulus dari pendidikan bidan yang telah teregistrasi

sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

2.2.2 Kode Etik Bidan

Secara garis besar, kode etik adalah norma-norma yang harus

dipatuhi dan dilaksanakan oleh tiap-tiap profesi dalam melaksanakan

tugasnya. Kode etik memberikan tuntunan bagi anggotanya dalam

melaksanakan pengabdian profesi.

Kemajuan IPETEK dalam hal kesehatan semakin konsisten

mewujudkan derajat kesehatan masyarakat yang dicita-citakan bangsa.

Perkembangan ini tentunya diikuti dengan perkembangan hukum di bidang

kesehtan juga. Namun secara bersamaan tenaga kesehatan menghadapi

masalah hukum terkait dengan aktivitas, perilaku, sikap, dan

kemampuannya dalam menjalankan tugasnya. Sehingga kode etik profesi


30

penting diterapkan karena semakin meningkatnya tuntutan terhadap

pelayanan kesehatan dan pengetahuan serta kesadaran hukum tentang

prinsip dan nilai moral yang terkadnung dalam pelayanan profesional.

Kode etik profesi megandung karakteristik khusus suatu profesi. Hal ini

berarti bahwa standar profesi harus dipertahankan dan mencerminkan

kepercayaan serta tanggung jawab yang diterima oleh profesi dalam

kontrak hubungan profesional antara tenaga kesehatan dan masyarakat. 33

Kode etik bidan Indonesia pertama kali disusun pada tahun 1986 dan

disyahkan dalam Kongres Nasional Ikatan Bidan Indonesia X tahun 1988,

sedang petunjuk pelaksanaannya disyahkan dalam Rapat Kerja Nasional

(Rakernas) IBI di Denpasar, Bali tahun 1991.34 Kode etik bidan Indonesia

terdiri atas 7 bab, yang terdiri dari:

Bagian I: Kewajiban bidan terhadap klien dan masyarakat

1. Setiap bidan senantiasa menjunjung tinggi, menghayati dan

mengamalkan sumpah jabatannya dalam melaksanakan tugas

pengabdiannya.

2. Setiap bidan dalam menjalankan tugas profesinya menjunjung

tinggi harkat dan martabat kemanusiaan yang utuh dan

memelihara citra bidan.

33 Gita Farelya dan Nurrobikha, 2018, Etikolegal dalam Pelayanan Kebidanan,


Deepublish, Yogyakarta, h.7.
34
Eryati Darwin dan Hardisman, 2014, Etika Profesi Kesehatan, Deepublish (Grup
Penerbitan CV Budi Utama, Yogyakarta, h.40
31

3. Setiap bidan dalam menjalankan tugasnya senantiasa

berpedoman pada peran tugas dan tanggung jawab sesuai dengan

kebutuhan klien, keluarga dan masyarakat.

4. Setiap bidan dalam menjalankan tugasnya mendahulukan

kepentingan klien, menghormati hak klien, dan menghormati

nilai-nilai yang berlaku di masyarakat.

5. Setiap bidan dalam menjalankan tugasnya senantiasa

mendahulukan kepentingan klien, keluarga dan masyarakat

dengan indentitas yang sama sesuai kebutuhan berdasarkan

kemampuan yang dimilikinya.

6. Setiap bidan senantiasa menciptakan suasana yang serasi dalam

hubungan pelaksanaan tugasnya, dengan mendorong partisipasi

masyarakat untuk meningkatkan derajat kesehatannya secara

optimal.

Bagian II: Kewajiban bidan terhadap tugasnya

1. Setiap bidan senantiasa memberikan pelayanan paripurna

terhadap klien, keluarga dan masyarakat sesuai dengan

kemampuan profesi yang dimilikinya berdasarkan kebutuhan

klien, keluarga dan masyarakat.

2. Setiap bidan berhak memberikan pertolongan dan mempunyai

kewenangan dalam mengambil keputusan mengadakan

konsultasi dan atau rujukan.


32

3. Setiap bidan harus menjamin kerahasiaan keterangan yang dapat

dan atau dipercayakan kepadanya, kecuali bila diminta oleh

pengadilan atau diperlukan sehubungan kepentingan klien.

Bagian III: Kewajiban bidan terhadap sejawat dan tenaga kesehatan

lainnya

1. Setiap bidan harus menjalin hubungan dengan teman sejawatnya

untuk menciptakan susanan kerja yang serasi.

2. Setiap bidan dalam melaksanakan tugasnya harus saling

menghormati baik terhadap sejawatnya maupun tenaga

kesehatan lainnnya.

Bagian IV: Kewajiban bidan terhadap profesinya

1. Setiap bidan harus menjaga nama baik dan menjunjung tinggi

citra profesinya dengan menampilkan kepribadian yang tinggi

dan memberikan pelayanan yang bermutu kepada masyarakat.

2. Setiap bidan wajib senantiasa mengembangkan diri dan

meningkatkan kemampuan profesinya sesuai dengan

perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

3. Setip bidan senantiasa berperan serta dalam kegiatan penelitian

dan kegiatan sejenisnya yang dapat meningkatkan mutu dan citra

profesinya.
33

Bagian V: Kewajiban bidan terhadap diri sendiri

1. Setiap bidan harus memelihara kesehatannya agar dapat

melaksanakan tugas profesinya dengan baik.

2. Setiap bidan harus berusaha secara terus menerus untuk

meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan sesuai dengan

perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

3. Setiap bidan wajib memelihara kepribadian dan penampialn diri.

Bagian VI: Kewajiban bidan terhadap pemerintah, nusa bangsa, dan

tanah air

1. Setiap bidan dalam menjalankan tugasnya, senantiasa

melaksanakan ketentuan-ketentuan pemerintah dalam bidang

kesehatan, khususnya dalam pelayanan KIA/KB dan kesehatan

keluarga dan masyarakat.

2. Setiap bidan melalui profesinya berpartisipasi dan

menyumbangkan pemikirannya kepada pemerintah untuk

meningkatkan mutu jangkauan pelayanan kesehatan terutama

pelayanan KIA/KB dan kesehatan keluarga.

Bagian VII: Penutup

Setiap bidan dalam melaksanakan tugasnya sehari-hari senantiasa

menghayati dan mengamalkan Kode Etik Bidan Indonesia.

Sesuai Keputusan Menteri Kesehatan Nomor

369/Menkes/SK/III/2007 tentang Standar Profesi Bidan, deskripsi


34

Kode Etik Bidan Indonesia adalah merupakan suatu ciri profesi

yang bersumber dari nilai-nilai internal dan eksternal suatu disiplin

ilmu dan merupakan pernyataan komprehensif suatu profesi yang

memberikan tuntuntan bagi anggota dalam melaksanakan

pengabdian profesi.

2.2.3 Hubungan Hukum Bidan dan Pasien

Dasar dari perikatan antara bidan dengan pasien dikenal dengan

istilah perjanjian terapeutik, yaitu perjanjian bidan sebagai bagian dari

tenaga kesehatan dan pasien berupa hubungan hukum yang melahirkan hak

dan kewajiban bagi kedua belah pihak. Pasien mempunyai hak dan

kewajibannya, demikian juga sebaliknya dengan bidan.

Dalam hukum perikatan dikenal adanya dua macam perjanjian35,

yaitu:

1. Inspanningverbintenis, yaitu perjanjian upaya, artinya kedua

belah pihak berjanji atau sepakat untuk berdaya upaya secara

maksimal untuk mewujudkan apa yang diperjanjikan.

2. Resultaatverbintenis, yaitu suatu perjanjian yang akan

memberikan resultaat atau hasil yang nyata sesuai dengan apa

yang diperjanjikan.

35
Anny Isfandyarie, op.cit, h. 62.
35

Perjanjian terapeutik atau transaksi terapeutik oleh bidan dan pasien

termasuk dalam inspanningverbintenis atau perjanjian upaya, karena bidan

tidak mungkin menjanjikan kesembuhan kepada pasien, yang dapat

dilakukan bidan sebagai tenaga kesehatan adalah melakukan pelayanan

kesehatan sebagai upaya untuk menyembuhkan pasien. Dalam melakukan

upaya ini, bidan harus melakukan dengan penuh kesungguhan,

mengerahkan seluruh kemampuan dan keterampilan dengan berpedoman

pada standar profesi dan menghormati hak-hak pasien.

2.3. Klinik Citra Asri Yogyakarta

2.3.1. Lokasi Klinik Citra Asri Yogyakarta

Menurut penjelasan dr. M. Indriyanto selaku dokter umum di Klinik

Citra Asri, lokasi Klinik ini beralamat di Ponosaran Lor, Rt 04, Rw 22,

Girikierto, Turi, Sleman, Yogyakarta. Sebelum menjadi sebuah klinik,

tempat ini merupakan praktik bidan mandiri dan praktik dokter umum yang

memberikan pelayanan kesehatan bagi masyarakat Kecamatan Turi dan

sekitarnya.

Melihat potensi yang ada di wilayah Kecamatan Turi baik potensi

Sumber Daya Manusia (SDM), potensi lingkungan maupun potensi

penduduk yang kurang lebih mencapai 36.356 (statistik jumlah penduduk

Kecamatan Turi 2017), belum ada suatu lembaga kesehatan swasta yang

memberikan pelayanan di bidang kesehatan terutama pada pelayanan


36

pengobatan pratama dan pelayanan persalinan. Dalam rangka memenuhi

tuntutan pelayanan kesehatan yang optimal di wilayah Kecamatan Turi

maka CV Citra Asri memandang perlu mendirikan suatu lembaga kesehatan

yang memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat di wilayah

kecamatan Turi dan sekitarnya.

Oleh karena itu pada tahun 2017 terbentuklah suatu lembaga

pelayanan kesehatan swasta sebagai Kliik Pratama yang memberikan

pelayanan pengobatan pratama dan persalinan yang mudah dijangkau oleh

warga, diselaraskan dengan program pemerintah, sehingga terwujud derajat

kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya, sebagai investasi bagi

pembangunan sumber daya manusia yang produktif secara sosial dan

ekonomis.

2.3.2. Pelayanan di Klinik Citra Asri Yogyakarta

Klinik Citra Asri Yogyakarta sebagai lembaga pelayanan kesehatan

swasta klinik pratama memiliki beberapa tenaga kesehatan. Tenaga

kesehatan tersebut adalah dokter umum, dokter gigi, bidan profesional,

perawat profesional, dan apoteker. Pelayanan kesehatan yang tersedia di

Klinik Citra Asri ini yaitu:

1. Pemeriksaan kehamilan;

2. Persalinan normal;

3. Imunisasi;

4. KB;

5. Dokter umum;
37

6. Dokter gigi.

Klinik Citra Asri Yogyakarta memiliki visi, misi, dan tujuan berupa:

a. Visi: Menjadi Klinik dengan cipta, rasa, karsa, dan karya dalam

menolong sesama

b. Misi:

1. Sebagai tempat masyarakat untuk mengkonsultasikan masalah

kesehatan yang mereka alami.

2. Sebagai mitra pemerintah dalam memberikan pelayanan

prefentif, kuratif, serta rehabilitatif.

3. Sebagai wujud pengabdian pada masyarakat dengan ikut serta

dalam usaha warga untuk meningkatkan derajat kesejahteraan

melalui peningkatan kesehatan.

4. Menjalankann pengobatan sesuai prosedur, berkualitas, dan

dapat terjangkau oleh semua kalangan masyarakat.

5. Memberikan pelayanan medis dasar yang berbasis murah

terjangkau.

c. Maksud dan Tujuan

1. Meningkatkan derajat kesehatan jasmani dan rohani.

2. Meningkatkan dan memberdayakan potensi Sumber Daya

Manusia (SDM) dalam bidang paramedik.

3. Meningkatkan kehidupan sosial ekonomi.

4. Memberikan pelayanan kepada masyarakat dalam bidang

kesehatan.

Anda mungkin juga menyukai