Anda di halaman 1dari 3

Siklus Kemiskinan yang Berkepanjangan di Indonesia, Salah Siapa?

Membicarakan kemiskinan di Indonesia seperti tak pernah habis, rasa-rasanya sudah hampir seperti
melekat sebagai identitas bangsa ini. Menurut data hingga maret 2016, jumlah penduduk miskin
(penduduk dengan pengeluaran per kapita per bulan di bawah Garis Kemiskinan) di Indonesia mencapai
28,01 juta orang (10,86 persen), berkurang sebesar 0,50 juta orang dibandingkan dengan kondisi
September 2015 yang sebesar 28,51 juta orang (11,13 persen). Meski berkurang tetapi tetap saja masih
menunjukkan angka yang cukup besar jika dibandingkan dengan negara-negara lain.

Kemiskinan dan pengemis selalu diasosiasikan dengan orang-orang malas yang tak mau berusaha;
mereka yang hanya berharap dikasihani tanpa tahu diri dan bahkan menggunakan rasa iba dari
masyarakat untuk 'menumpuk' kekayaan. Ironis memang, dan hal inilah yang terlihat di permukaan yang
membuat stigma mereka menjadi lebih buruk. Ya, apa yang mereka lakukan adalah salah dan
kenyataan-kenyataan ini benar adanya, tapi pertanyaan nya adalah apakah benar mereka melakukannya
dengan sengaja dan suka rela?

Kita semua mengamini bahwa tidak ada orang yang ingin terlahir dan hidup dalam keadaan miskin
begitu pun dengan mereka para pengemis dan peminta-minta sehingga yang harus dilihat dari siklus dan
rantai kemiskinan ini bukanlah pada subjek kemiskinan nya (pengemis) melainkan pola-pola yang
menyebabkan kemiskinan itu sendiri.

Banyak sudut pandang yang bisa digunakan dalam melihat masalah kemiskinan ini dan salah satu
diantaranya adalah dari perspektif ilmu sosial dan ilmu politik.

Pembahasan kemiskinan dilihat dari perspektif ilmu sosial dan ilmu politik selalu berangkat dari
keterbatasan dan tidak merata nya sumber-sumber sosial sehingga mengakibatkan adanya golongan
masyarakat yang terpinggirkan dan menerima dampak buruk dari tidak merata nya sumber-sumber
sosial ini yang selanjutnya memunculkan pertanyaan yang paling mendasar tentang kemiskinan ini yaitu
siapa bertanggung jawab atas keberadaan dan kondisi mereka (orang-orang miskin)?

Perlu ditekankan bahwa tulisan ini tidak bermaksud untuk memberikan tendensi terkait siapa pihak yang
paling bersalah dalam masalah kemiskinan di negeri ini karena kemiskinan terjadi tidak disebabkan oleh
satu pihak dan faktor sekali pun rasanya kita bisa menunjuk pemerintah sebagai satu-satunya pemeran
utama dalam kasus kemiskinan.

Jika kita berbicara tentang perspektif ilmu sosial dan ilmu politik maka pemangku kepentingan di dalam
nya tidak hanya melibatkan pemerintah, melainkan juga masyarakat dan kita sebagai bagian utuh dari
satu negara sehingga untuk mengkaji masalah kemiskinan ini kita harus mengevaluasi semua pemangku
kepentingan terkait; dengan kata lain kemiskinan menjadi tanggung jawab kita bersama dan dalam
tulisan ini, agar tidak terlalu meluas, pembahasan terkait sebab-sebab kemiskinan dibatasi pada peran
pemerintah dan masyarakat umum.

Pemerintah dalam hal ini bertanggung jawab untuk merealisasikan syarat terwujudnya negara
kesejahteraan yaitu terjamin nya tiga kebutuhan dasar untuk semua rakyat tanpa terkecuali yaitu
pangan, kesehatan dan pendidikan yang telah diamanahkan dalam undang-undang; memberikan akses
pada sumber-sumber sosial yang tidak merata kepada masyarakat yang membutuhkannya agar
setidaknya tiga kebutuhan dasar rakyat terpenuhi.

Begitu pun juga kita sebagai masyarakat. Selain berfungsi untuk mengawal program-program
kesejahteraan yang diberikan pemerintah, kita juga bertanggung jawab atas pemberian, penyaluran dan
distribusi sumber-sumber sosial yang tidak terjangkau itu kepada masyarakat yang membutuhkannya
dengan tujuan yang sama yaitu terpenuhi nya tiga kebutuhan dasar hidup rakyat.

Terlepas dari penilaian apakah program yang digalangkan oleh pemerintah dan masyarakat dalam
menekan angka kemiskinan ini telah tepat sasaran, ada satu hal yang lebih penting yang harus dievaluasi
dari program yang dibuat yaitu terkait sifat pemberiannya.

Sebagian besar program kesejahteraan yang digalangkan oleh pemerintah dan masyarakat masih
bersifat residual-karitatif atau dengan kata lain bersifat hanya diberikan ketika keadaan darurat dan
mengasihani dengan contoh yang paling kita ketahui adalah bantuan yang diberikan dalam bentuk tunai.
Pemberian bantuan dengan cara seperti ini memang memiliki kelebihan dalam mekanisme penyaluran
yang cepat namun memiliki dampak negatif yang luar biasa yaitu ketergantungan penerima terhadap
pemberi bantuan sehingga menghilangkan nilai-nilai pemberdayaan yang sebenarnya menjadi tujuan
utama digalangkannya program kesejahteraan sosial.
Sampai disini pertanyaan nya bukan lagi seputar sudah berapa banyak program dan bantuan
kesejahteraan yang telah diberikan melainkan seberapa memberdayakan kah program bantuan yang
digalangkan?

Hal ini adalah salah satu dari sebab mengapa banyak pengemis yang mengambil keuntungan dari rasa
iba pemerintah dan masyarakat karena tanpa sadar kita lah yang membuat mereka berbuat demikian.
Tidak bermaksud untuk membela dan menjustifikasi kesalahan yang mereka lakukan, tetapi harus ada
evaluasi terhadap bantuan yang diberikan untuk mereka karena pada dasarnya tujuan pemberian
bantuan adalah agar orang yang membutuhkan dapat memberdayakan dan menolong dirinya sendiri
sehingga mampu mengikis ketergantungan terhadap bantuan secara perlahan.

Secara sederhana siklus dan rantai kemiskinan yang berkepanjangan ini didominasi oleh terbatas nya
akses bantuan pada sumber-sumber sosial yang mendidik dan memberdayakan sehingga masyarakat
miskin melihat bantuan yang diberikan sebagai 'peluang' untuk menumpuk keuntungan karena tanpa
sadar tercipta anggapan bahwa "sesulit apapun kondisi hidup, akan selalu ada orang yang mengasihani"
sehingga mereka rasa tak perlu berusaha lagi, cukup dari pemberian.

Satu poin penting yang menjadi pekerjaan rumah kita bersama dalam usaha meningkatkan
kesejahteraan sosial bukanlah meningkatkan jumlah program kesejahteraan yang digalangkan
melainkan memberikan bantuan yang bersifat mendidik kepada masyarakat yang membutuhkannya
untuk menurunkan ketergantungan terhadap pemberian bantuan dan mampu memberdayakan dan
menolong diri mereka sendiri.

Pada kesimpulannya, pusat letak kesalahan terhadap siklus kemiskinan yang berkepanjangan berada
pada sifat pemberian bantuan yang seringkali memanjakan, karena tanpa sadar, perilaku pengemis yang
'memanfaatkan' rasa iba dan bantuan terbentuk dari sini.

Sumber data : Badan Pusat Statistik. 2016. Persentase Penduduk Miskin Maret 2016 Mencapai 10,86
Persen. https://www.bps.go.id/brs/view/id/1229

Anda mungkin juga menyukai