Anda di halaman 1dari 28

www.legalitas.

org
LEGISLATIVE DRAFTING, ANTARA CITA DAN REALITA1

SUHARIYONO AR2

1. Pendahuluan
Penggunaan istilah legislative drafting dalam materi yang disampaikan
hanya difokuskan pada pembentukan peraturan perundang-undangan di
Indonesia. Dunia “cita” atau disebut dengan ide sering diperbandingkan
dengan dunia nyata atau realita. Hal ini untuk membuktikan apakah sesuatu
yang diharapkan itu dapat terwujud sesuai dengan ide yang diinginkan.
Pembahasan diarahkan pada peran perancang dan keterlibatannya dalam
penyusunan peraturan perundang-undangan.
Sebagaimana dipahami bersama bahwa sesudah menjalani kehidupan
sebagai bangsa yang merdeka selama setengah abad lebih, tidak lagi
sekadar menghadapi persoalan-persoalan yang berkadar kuantitatif,

rg
.o
melainkan sedang dan akan menghadapi masalah yang bernilai kualitatif
as
dalam membentuk hukum (peraturan perundang-undangan), melaksanakan,
lit

dan menegakkannya.
ga
.le

Berdiri di atas tahun 2008 (bulan Juli), apalagi membandingkannya


w

dengan keadaan pada tahun 1945 dan lebih maju lagi pada permulaan abad
w

keduapuluh, Indonesia memang sudah berubah sangat besar dan perubahan


w

itu berlangsung dengan cepat dan semakin cepat, terutama dalam


mewujudkan demokrasi dan pembangunan nasional pada umumnya. Hukum
pun dibuat untuk mencapai perkembangan tersebut, walaupun sangat
tersengal-sengal. Sebagaimana kita sadari bersama bahwa hukum berusaha
mencapai perkembangan tersebut, namun ternyata masyarakatnya belum
siap untuk melaksanakan hukum yang dibuatnya itu. Padahal hukum harus
ada dalam masyarakat dengan tugas menjaga ketertiban, keamanan, dan
memberikan keadilan.

1
Ceramah Peningkatan Fungsional Perancang Peraturan Perundang-undangan 10 Juli 2008
2
Direktur Perancangan Peraturan Perundang-undangan Ditjen Peraturan Perundang-undangan Dep. Hukum
dan Hak Asasi Manusia
www.legalitas.org
Selain masalah di atas, ternyata hukum tidak seteril dari subsistem
kemasyarakatan lainnya. Politik kerapkali melakukan intervensi atas
pembuatan dan pelaksanaan hukum sehingga muncul juga pertanyaan
berikutnya tentang subsistem mana antara hukum dan politik yang dalam
kenyataannya lebih suprematif. Dan pertanyaan-pertanyaan lain yang lebih
spesifik pun dapat mengemuka seperti bagaimanakah pengaruh politik
terhadap hukum, mengapa politik banyak mengintervensi hukum, jenis sistem
politik yang bagaimana yang dapat melahirkan produk hukum yang
berkarakter seperti apa. Upaya untuk memberi jawaban atas pertanyaan-
pertanyaan di atas merupakan upaya yang sudah memasuki wilayah politik
hukum.
Politik hukum, kadangkala juga merambah di lingkungan dalam
pemerintah pada waktu rancangan peraturan tersebut dibahas
antardepartemen terkait dengan masalah kepentingan sektor dan

rg
.o
kepentingan lainnya. Apakah hal ini termasuk dalam wilayah politik hukum?
as
Kepentingan sektor inilah yang kemudian mempengaruhi politik hukum yang
lit

memang sejak semula diharapkan politik hukum dapat bermanfaat atau


ga
.le

berguna dalam kehidupan bermasyarakat. Sekali lagi, sterilisasi politik hukum


w

dicampuri oleh kepentingan sektor.


w

Sumber daya manusia dan jumlah perancang peraturan perundang-


w

undangan yang masih minim, juga merupakan salah satu penyebab


terjadinya kesenjangan antara kuantitas dan kualitas produk peraturan
perundang-undangan.

2. Fungsi dan Asas Pembentukan Peraturan


Pembangunan hukum yang dilaksanakan secara komprehensif
mencakup substansi hukum, kelembagaan hukum, dan budaya hukum serta
dibarengi dengan penegakan hukum secara tegas, konsisten, dengan tetap
menjunjung tinggi hak asasi manusia, akan mampu mengaktualisasikan
fungsi hukum sebagai sarana pembaharuan dan pembangunan serta

2
www.legalitas.org
instrumen penyelesaian masalah secara adil dan sebagai pengatur perilaku
masyarakat untuk menghormati hukum.
Teraktualisasinya fungsi hukum akan mewujudkan tegaknya wibawa
hukum yang memperkukuh peran hukum dalam pembangunan untuk
menjamin agenda pembangunan nasional berjalan tertib, terarah, dan
konsekuensi dari berbagai kebijakan dan langkah yang diambil dapat
diprediksi berdasarkan pada asas kepastian hukum, kemanfaatan, dan
keadilan.
Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia sebagai unsur pelaksana
pemerintah dengan tugas membantu Presiden dalam menyelenggarakan
sebagian tugas pemerintahan di bidang hukum dan hak asasi manusia
mempunyai peran yang sangat strategis untuk mengaktualisasikan fungsi
hukum, menegakkan hukum, menciptakan budaya hukum, dan membentuk
peraturan perundang-undangan yang adil, konsisten, tidak diskriminatif, tidak

rg
bias gender, serta memperhatikan .oterlaksananya penghormatan,
as
pemenuhan, dan perlindungan hak asasi manusia. Pengaktualisasian
lit

tersebut sudah barang tentu tidak dapat dilaksanakan oleh Departemen


ga
.le

Hukum dan Hak Asasi Manusia sendiri, melainkan harus bekerja sama atau
w

mengadakan koordinasi dengan instansi terkait lain.


w

Orang belum menyadari betul bahwa seluruh kehidupan dan tingkah


w

lakunya dibatasi, dilingkupi, atau dikelilingi oleh peraturan perundang-


undangan. Sebagai sasaran atau adresat peraturan perundang-undangan,
orang masih belum juga menyadari betapa pentingnya suatu peruturan
perundang-undangan bagi dirinya atau orang lain di sekilingnya. Betapa hak
orang diberikan dan sekaligus dibatasi dan betapa kewajiban orang
dilekatkan pada masing-masing demi ketertiban seluruh kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Pertanyaannya adalah berapa
peraturan yang diperlukan oleh negara ini untuk mengatur seluruh kehidupan
masyarakat? Apakah semua perbuatan, tindakan, atau tingkah laku setiap
orang dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara sudah
dibagi habis atau sudah diatur oleh peraturan perundang-undangan?

3
www.legalitas.org
Apakah peraturan perundang-undangan itu segala-galanya, terutama
dalam kapasitasnya sebagai penegak keadilan? Tekait dengan keadilan,
pernah seorang Ketua Mahkamah Agung Amerika Serikat, Earl Warren
mengatakan bahwa “bukan aturan hukum, namun itikad dan kesungguhanlah
yang dapat menegakkan keadilan”.3 Tentu pernyataan di atas bukan diartikan
kemudian kita berhenti membentuk peraturan perundang-undangan, namun
demikian, perlu dipetik dari pernyataan di atas bahwa peraturan perundang-
undangan tidak lebih dari seonggok kertas yang lusuh, jika tidak dijalankan
dengan moralitas dan integritas. Mungkin Warren telah jenuh membaca
aturan hukum yang setiap tahun bertumpuk semakin tinggi, namun tetap
mandul di tingkat implementasinya.
Kekhawatiran adanya permasalahan di atas, dari sisi pembentukan
peraturan perundang-undangan, setidak-tidaknya pembentuk peraturan harus
memahami terlebih dahulu asas-asas pembentukan peraturan perundang-

rg
.o
undangan dan asas-asas materi muatan peraturan perundang-undangan
as
sebelum membentuknya untuk mencegah peraturan perundang mandul.
lit

Persoalan aparat penegak hukum tidak perlu dibahas di sini, namun paling
ga
.le

tidak pembentuk peraturan perundang-undangan yakin bahwa sarana dan


w

prasarana (terutama penegak hukumnya) akan tersedia dengan baik jika


w

peraturan perundang-undangan diundangkan.


w

Pasal 5 UU P3 menentukan bahwa “dalam membentuk Peraturan


Perundang-undangan harus berdasarkan pada asas Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan yang baik yang meliputi :
a) kejelasan tujuan (setiap pembentukan peraturan perundang-
undangan harus mempunyai tujuan yang jelas yang hendak
dicapai);
b) kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat (setiap jenis
peraturan perundang-undangan harus dibuat oleh lembaga/pejabat
pembentuk peraturan perundang-undangan yang berwenang.
Peraturan perundang-undangan tersebut dapat dibatalkan atau
batal demi hukum, apabila dibuat oleh lembaga/pejabat yang tidak
berwenang);

3
Budi Gunawan, Koloni Keadilan, Kumpulan Analisis di Majalah FORUM, Forum Media Utama,
Gramedia, 2006

4
www.legalitas.org
c) kesesuaian antara jenis dan materi muatan (dalam pembentukan
peraturan perundang-undangan harus benar-benar memperhatikan
materi muatan yang tepat dengan jenis peraturan perundang-
undangannya);
d) dapat dilaksanakan (setiap pembentukan peraturan perundang-
undangan harus memperhitungkan efektifitas Peraturan
Perundang-undangan tersebut di dalam masyarakat, baik secara
filosofis, yuridis, maupun sosiologis);
e) kedayagunaan dan kehasilgunaan (setiap peraturan perundang-
undangan dibuat karena memang benar-benar dibutuhkan dan
bermanfaat dalam mengatur kehidupan bermasyarakat, berbangsa,
dan bernegara);
f) kejelasan rumusan (setiap peraturan perundang-undangan harus
memenuhi persyaratan teknis penyusunan peraturan perundang-
undangan, sistematika, dan pilihan kata atau terminologi, serta
bahasa hukumnya jelas dan mudah dimengerti, sehingga tidak
menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam
pelaksanaannya); dan
g) keterbukaan (dalam proses pembentukan peraturan perundang-
undangan mulai dari perencanaan, persiapan, penyusunan, dan

rg
pembahasan bersifat transparan dan terbuka. Dengan demikian
.o
seluruh lapisan masyarakat mempunyai kesempatan yang seluas-
as
luasnya untuk memberikan masukan dalam proses pembuatan
peraturan perundang-undangan).
lit
ga
.le

Asas-asas tersebut merupakan dasar berpijak bagi pembentuk


w

peraturan perundang-undangan dan penentu kebijakan dalam membentuk


w
w

peraturan perundang-undangan. Semua asas di atas, harus terpateri dalam


diri pembentuk peraturan dan penentu kebijakan yang biasanya diwujudkan
dalam bentuk-bentuk pertanyaan dalam setiap langkah yang ditempuh.
Misalnya, apakah pentingnya membentuk peraturan ini? Tujuannya apa?
Apakah bermanfaat bagi kemaslahatan masyarakat? Tidakkah instrumen
lain, selain peraturan, sudah cukup? Dalam menyusun substansi yang
diinginkan oleh penentu kebijakan, pembentuk peraturan harus selalu
bertanya, apakah rumusan tersebut sudah jelas dan tidak menimbulkan
penafsiran?

5
www.legalitas.org
3. Program Legislasi Nasional yang Belum Fokus
Berdasarkan data yang ada, dapat diketahui bahwa saat ini ada ratusan
program legislasi dari seluruh departemen/LPND, baik yang telah selesai
disusun maupun yang dalam proses penyusunan, termasuk persiapan
naskah akademiknya dan proses harmonisasi di Departemen Hukum dan
HAM.
Sebagaimana diketahui bahwa jumlah program legislasi yang diajukan,
setiap tahun terus bertambah, padahal oleh Baleg dan Pemerintah telah
ditetapkan sebanyak 284 RUU dalam Program Legislasi Nasional 2005-2009.
Ternyata, perkembangan hukum dan kebutuhan hukum masyarakat berubah
sesuai dengan perkembangan zaman itu sendiri. Pasal 17 ayat (3) Undang-
Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan (UU P3) menentukan bahwa “Dalam keadaan tertentu, Dewan
Perwakilan Rakyat atau Presiden dapat mengajukan rancangan undang-

rg
.o
undang di luar Program Legislasi Nasional (Prolegnas).” Ketentuan ini
as
kemudian digunakan oleh DPR-RI dan Pemerintah untuk mengembangkan
lit

keinginannya mengatur sesuatu dalam undang-undang di luar Prolegnas.


ga
.le

Dari keinginan tersebut, ternyata membawa dampak yang sangat luas


w

terhadap pencapaian atau target yang semula telah disepakati yang berakibat
w

terbengkalainya Prolegnas itu sendiri.


w

Departemen Hukum dan HAM, yang mewakili Pemerintah dalam


penyusunan Prolegnas, selalu menghadapi persoalan karena tidak dapat
melarang atau membatasi prakarsa departemen/LPND dalam mengajukan
usulan prolegnas baru, apalagi jika program yang diusulkan tersebut benar-
benar penting dan perlu untuk melaksanakan penyelenggaraan negara dan
kepemerintahan, misalnya, penyelenggaraan pemilu dan parpol serta
keinginan untuk mengubah pengaturan mengenai Mahkamah Konstitusi,
Komisi Yudisial, dan Mahkamah Agung.
Posisi tawar terhadap pengajuan prolegnas baru merupakan salah satu
persoalan tersendiri karena ternyata DPR-RI, melalui Balegnya, juga
mengajukan usulan prolegnas baru di luar yang 284 RUU tersebut. Dengan

6
www.legalitas.org
demikian, makna Prolegnas 2005-2009 sebagai acuan instrumen
perencanaan yang terpadu dan sistematis belum sepenuhnya mengikat. Jika
Pasal 17 ayat (3) tersebut dibiarkan berkembang dan tanpa kendali, maka
yang terjadi adalah munculnya inflasi jumlah RUU yang berakibat “lebih besar
dari pasak”, terkait dengan kemampuan DPR-RI dan Pemerintah untuk
menyelesaikan program tersebut. Pemerintah pada dasarnya menunggu
diundang untuk membahas suatu RUU karena konsekuensi dari pergeseran
kekuasaan pembentukan undang-undang berdasarkan UUD 1945 dan UU
P3. Jadi, kemampuan DPR-RI lebih dipertaruhkan untuk menyelesaikan
RUU, dibandingkan dengan Pemerintah.
Peran legislatif sebagai poros utama pembentukan undang-undang
sering kali terabaikan karena banyaknya pekerjaan di luar pembentukan RUU
yang harus diemban oleh anggota dewan, misalnya, pekerjaan-pekerjaan
melakukan fit and proper test untuk jabatan pemerintahan tertentu dan raker-

rg
.o
raker lain di luar pembentukan rancangan undang-undang.
as
Sebagaimana telah kita ketahui bahwa prosedur penyusunan peraturan
lit

perundang-undangan, selain sebagian ditentukan dalam UU P3, secara rinci


ga
.le

juga diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 61 tentang Tata Cara


w

Penyusunan dan Pengelolaan Program Legislasi Nasional dan Peraturan


w

Presiden Nomor 68 tentang Tata Cara Mempersiapkan RUU, Rperpu, RPP,


w

dan Rpresiden.
Dalam Perpres 61 ditentukan bahwa penyusunan Prolegnas di
lingkungan DPR-RI dikoordinasikan oleh Badan Legislasi sedangkan
penyusunan Prolegnas di lingkungan Pemerintah dikoordinasikan oleh
Menteri (Menteri Hukum dan HAM). Penyusunan Prolegnas di lingkungan
DPR-RI dan Pemerintah dilakukan dengan memperhatikan konsepsi RUU
yang meliputi:
a. latar belakang dan tujuan penyusunan;
b. sasaran yang akan diwujudkan;
c. pokok-pokok pikiran, lingkup atau objek yang akan diatur; dan
d. jangkauan dan arah pengaturan.

7
www.legalitas.org
Terkait dengan penyusunan Prolegnas di lingkungan Pemerintah,
Menteri meminta kepada menteri lain dan pimpinan LPND mengenai
perencanaan pembentukan RUU di lingkungan instansinya masing-masing
sesuai dengan lingkup bidang tugas dan tanggung jawabnya. Penyampaian
perencanaan pembentukan RUU disertai dengan pokok materi yang akan
diatur serta keterkaitannya dengan peraturan perundang-undangan lainnya.
Dalam hal menteri lain atau pimpinan LPND telah menyusun naskah
akademis, maka naskah akademis tersebut wajib disertakan dalam
penyampaian perencanaan pembentukan RUU.
Setelah RUU disampaikan, Menteri melakukan pengharmonisasian,
pembulatan, dan pemantapan konsepsi RUU dengan penyusun perencanaan
(pemrakarsa) dan bersama-sama dengan menteri lain dan pimpinan LPND
yang terkait dengan substansi RUU. Upaya pengharmonisasian, pembulatan,
dan pemantapan konsepsi RUU diarahkan pada perwujudan keselarasan

rg
konsepsi tersebut dengan: .o
as
a. falsafah negara;
lit

b. tujuan nasional berikut aspirasi yang melingkupinya;


ga
.le

c. UUD Negara RI Tahun 1945;


w

d. undang-undang lain yang telah ada berikut segala peraturan


w

pelaksanaannya; dan
w

e. kebijakan lainnya yang terkait dengan bidang yang diatur dengan RUU
tersebut.
Upaya pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi
RUU dilaksanakan melalui forum konsultasi yang dikoordinasikan oleh
Menteri. Dalam hal konsepsi RUU terebut disertai dengan naskah akademis,
maka naskah akademis dijadikan bahan pembahasan dalam forum
konsultasi. Dalam forum konsultasi tersebut, dapat diundang para ahli dari
lingkungan perguruan tinggi dan organisasi di bidang sosial, politik, profesi,
atau kemasyarakatan lainnya sesuai dengan kebutuhan.
Konsepsi RUU yang telah memperoleh pengharmonisasian,
pembulatan, dan pemantapan konsepsi, oleh Menteri wajib dimintakan

8
www.legalitas.org
persetujuan terlebih dahulu kepada Presiden sebagai Prolegnas yang
disusun di lingkungan Pemerintah sebelum dikoordinasikan dengan DPR-RI.
Dalam hal Presiden memandang perlu untuk mendapatkan kejelasan
lebih lanjut atas dan/atau memberikan arahan terhadap konsepsi RUU,
Presiden menugaskan Menteri untuk mengkoordinasikan kembali konsepsi
RUU dengan penyusun perencanaan dengan menteri lain atau pimpinan
LPND yang terkait. Hasil koordinasi tersebut oleh Menteri dilaporkan kepada
Presiden. Hasil penyusunan Prolegnas di lingkungan Pemerintah, oleh
Menteri dikoordinasikan dengan DPR-RI melalui Badan Legislasi dalam
rangka sinkronisasi dan harmonisasi Prolegnas.
Setelah melakukan koordinasi dengan DPR-RI, Menteri
mengkonsultasikan dahulu masing-masing konsepsi RUU yang dihasilkan
oleh DPR-RI kepada menteri lain atau pimpinan LPND sesuai dengan lingkup
bidang tugas dan tanggung jawabnya dengan masalah yang akan diatur

rg
dalam RUU. Konsultasi tersebut.o dilaksanakan dalam rangka
as
pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi RU, termasuk
lit

kesiapan dalam pembentukannya. Pelaksanaan pengharmonisasian,


ga
.le

pembulatan, dan pemantapan konsepsi RUU tersebut dilakukan dengan tetap


w

memperhatikan keselarasan konsepsi di atas.


w

Hasil penyusunan Prolegnas di lingkungan DPR-RI dan konsultasi


w

dalam rangka pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi


RUU, oleh Menteri dimintakan persetujuan terlebih dahulu kepada Presiden
sebelum dikoordinasikan kembali dengan DPR-RI.
Setelah dilakukan perencanaan melalui Prolegnas, di lingkungan
Pemerintah, telah diatur mengenai tata cara mempersiapkan RUU yang telah
ditentukan dalam Peraturan Presiden Nomor 68 Tahun 2005 tentang Tata
Cara Mempersiapkan RUU, Rperpu, RPP, dan Rperpres (Perpres 68).
Dalam Perpres 68 ditentukan bahwa penyusunan RUU dilakukan
pemrakarsa berdasarkan Prolegnas. Penyusunan RUU yang didasarkan
pada Prolegnas tidak memerlukan persetujuan izin prakarsa dari Presiden.

9
www.legalitas.org
Pemrakarsa melaporkan penyiapan dan penyusunan RUU kepada Presiden
secara berkala.
Dalam keadaan tertentu, pemrakarsa dapat menyusun RUU di luar
Prolegnas setelah terlebih dahulu mengajukan permohonan izin prakarsa
kepada Presiden, dengan disertai penjelasan mengenai konsepsi pengaturan
RUU yang meliputi:
a. urgensi dan tujuan penyusunan;
b. sasaran yang ingin diwujudkan;
c. pokok pikiran, lingkup, atau objek yang akan diatur; dan
d. jangkauan serta arah pengaturan.
Keadaan tertentu di atas adalah:
a. menetapkan Perpu menjadi UU;
b. meratifikasi konvensi atau perjanjian internasional;
c. mengatasi keadaan luar biasa, keadaan konflik, atau bencana alam;

rg
.o
d. keadaan tertentu lainnya yang memastikan adanya urgensi nasional
as
atas suatu RUU yang dapat disetujui bersama oleh Baleg dan Menteri.
lit

Dengan adanya ketentuan di atas, keinginan DPR-RI dan Pemerintah


ga
.le

untuk mertatifikasi konvensi atau penjanjian internasional setiap saat bisa


w

dilakukan. Dalam proses pembahasan (baik antardep maupun di DPR) lebih


w

mudah dibandingkan dengan penyusunan RUU biasa karena substansinya


w

hanya 2 pasal dan rata-rata 3 x pertemuan sudah dapat diselesaikan.


Dalam mempersiapkan RUU, sebagaimana dilakukan selama ini,
pengaturan dalam Perpres 68 ditentukan mengenai pembentukan panitia
antadepartemen dan pemrakarsa dapat mempersiapkan naskah
akademisnya terlebih dahulu. Dalam rapat antardepartemen, pemrakarsa
dapat mengundang pakar baik dari perguruan tinggi maupun pihak lainnya.
Setelah RUU selesai dibahas, pemrakarsa diberikan kesempatan untuk
mengadakan sosialiasi kepada masyarakat (sebagai asas keterbukaan) untuk
mendapatkan masukan atas substansi RUU.
Namun sayangnya, prosedur di atas, dalam praktiknya belum
sepenuhnya dijalankan sebagaimana mestinya, baik oleh Pemerintah

10
www.legalitas.org
maupun oleh DPR-RI. Hal inilah yang mengakibatkan penyusunan RUU tidak
optimal. Jumlah yang 284 tersebut, jika ditelaah, ada beberapa yang hanya
sekadar dicantumkan judulnya (nama RUU) saja, padahal naskah
akademiknya dan substansi RUU sendiri belum dipersiapkan. Dengan
demikian, alasan mengapa RUU perlu disusun, sering tidak mampu dijawab
oleh pemrakarsa, alias masih dalam angan-angan. Dijumpai pula beberapa
nama RUU yang tumpang tindih, misalnya, RUU-RUU di bidang
pemerintahan, yakni RUU tentang Pelayanan Publik, RUU tentang
Administrasi Pemerintahan, RUU tentang Etika Pemerintahan, RUU tentang
Perilaku Aparat Negara, RUU tentang Standar Pelayanan Publik, RUU
tentang Konflik Kepentingan Pejabat Publik, RUU tentang Perubahan
Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian,
RUU tentang Pemerintah Pusat, RUU tentang Kepegawaian Daerah, RUU
tentang Kepegawaian POLRI, RUU tentang Kesekretariatan Negara, dll.

rg
RUU-RUU di bidang kesehatan, .o misalnya, RUU tentang Karantina
as
Kesehatan, RUU tentang Praktik Kefarmasian, RUU tentang Praktik Perawat,
lit

RUU tentang Praktik Bidan, RUU tentang Pengawasan Obat dan Makanan,
ga
.le

RUU tentang Bahan Berbahaya, RUU tentang Kesehatan, RUU tentang


w

Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga Sejahtera, dll.


w

Masalah nama-nama RUU di atas akan membingungkan bagi


w

pembentuk RUU terkait dengan ruang lingkup pengaturan dan materi muatan
yang akan diatur. Belum lagi bagi pembentuk RUU yang dihadapkan pada
nama-nama RUU yang belum jelas pengaturan dan ruang lingkupnya,
misalnya, RUU tentang Energi (aturan pelaksanaannya tersebar dalam
undang-undang yang mengatur Mineral dan Batubara, Migas, dan
Ketegalistrikan), RUU tentang Etika Kehidupan Berbangsa, RUU tentang
Kode Etik Hakim, RUU tentang Kebijakan Penghapusan Perkosaan dan
Kekerasan Seksual, RUU tentang Kebijakan Penghapusan Pelecehan
Seksual di Tempat Kerja, RUU tentang Kebijakan Perlindungan Pekerja
Rumah Tangga atau Pekerja di Sektor Informal, RUU tentang Anti
Penyiksaan, RUU tentang Demokrasi Ekonomi, RUU tentang Bentuk Kredit

11
www.legalitas.org
Peminjaman Bank dan Hipotik Bagi Perempuan, RUU tentang Pengaturan
Hak-hak Perempuan, RUU tentang Kebudayaan, RUU tentang Kebumian,
dan RUU tentang Anti Diskriminasi, Ras, dan Etnik.

4. Keberadaan Naskah Akademis dan Proses Harmonisasi


Naskah akademik (NA) adalah naskah yang dapat
dipertanggungjawabkan secara ilmiah mengenai konsepsi yang berisi latar
belakang, tujuan penyusunan, sasaran yang ingin diwujudkan dan lingkup,
jangkauan, objek, atau arah pengaturan RUU (Pasal 1 Perpres Nomor 68
Tahun 2005). Perlu tidaknya NA dalam Perpres tersebut merupakan pilihan
bagi Pemerintah untuk menyediakan, sedangka bagi DPR-RI melalui Tata
Tertibnya, penyediaan NA diwajibkan dalam setiap penyusunan RUU. Secara
tidak langsung, kewajiban tersebut berimbas bagi Pemerintah untuk selalu
menyediakan. Jika Pemerintah tidak menyediakan, kemungkinan besar RUU

rg
.o
yang diajukan tidak dapat masuk dalam Prolegnas sebagai daftar prioritas.
as
Mengapa NA dianggap penting untuk dijadikan landasan penyusunan
lit

suatu RUU? Sesuai dengan definisi di atas, setidak-tidaknya suatu RUU


ga
.le

dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah mengenai konsepsi yang berisi


w

latar belakang, tujuan penyusunan, sasaran yang ingin diwujudkan dan


w

lingkup, jangkauan, objek, atau arah pengaturan.


w

NA dalam proses penyusunan suatu RUU merupakan potret atau peta


tentang berbagai hal atau permasalahan yang ingin dipecahkan melalui
undang-undang yang akan dibentuk dan disahkan. Makna yang sering
dikemukakan oleh pembentuk undang-undang bahwa dalam pertimbangan
RUU selalu dicantumkan segi filosofis, sosiologis, dan yuridis, mengingatkan
kepada kita semua betapa segi tersebut penting karena terkait dengan
konstatasi fakta yang ada dan bagaimana fakta tersebut dapat dipecahkan
melalui cara-cara yang filosofis dan yuridis.
Dengan NA, fakta yang dianggap bermasalah dipecahkan secara
bersama oleh Pemerintah dan DPR-RI, tanpa mementingkan golongan atau
kepentingan individu. Jika NA selalu mendasarkan pada urgensi dan tujuan

12
www.legalitas.org
penyusunan, sasaran yang ingin diwujudkan, pokok pikiran, lingkup, atau
objek yang akan diatur, serta jangkauan serta arah pengaturan yang memang
dikehendaki oleh masyarakat, maka proses bottom up yang selama ini
diinginkan oleh masyarakat, akan terwujud. Jika suatu RUU yang dihasilkan
melalui proses bottom up, diharapkan undang-undang yang dihasilkan akan
berlaku sesuai dengan kehendak rakyat dan berlakunya langgeng.
Sebagaimana dikemukakan di atas bahwa Pemerintah sering kali tidak
dapat menolak departemen/LPND untuk menyusun RUU yang kemudian
dimintakan untuk diharmonisasi di Departemen Hukum dan HAM, walaupun
RUU yang diajukan tersebut tidak termasuk dalam Prolegnas. Sebaliknya,
beberapa RUU yang telah masuk dalam Prolegnas, pemrakarsa sering
mengalami kesulitan untuk membentuknya karena belum dipersiapkannya
NA dan alasan-alasan lainnya. Belum lagi terhadap RUU-RUU yang tidak
jelas ruang lingkup pengaturan dan materi muatan yang diaturnya

rg
sebagaimana diuraikan di atas. .o
as
Kesulitan lain yang dihadapi oleh Departemen Hukum dan HAM adalah
lit

masih adanya egoisme sektoral dari instansi pemrakarsa terkait dengan


ga
.le

pengaturan kewenangan yang dimilikinya. Yang lebih sulit lagi adalah apabila
w

RUU tersebut merupakan inisiatif DPR yang di dalamnya mengatur banyak


w

kepentingan yang tumpang tindih dengan kewenangan lainnya. Dengan


w

demikian, harmonisasi dilakukan pada saat pembahasan yang sebelumnya


dipersiapkan dalam daftar inventarisasi masalah (DIM).
Dari pengalaman di atas, untuk tidak menimbulkan polemik dalam
tingkat pembahasan, proses harmonisasi seharusnya dilakukan sejak NA
dibuat sampai di tingkat penyusunan peraturan, baik dilakukan oleh
Pemerintah maupun oleh DPR-RI. Sering didengar bahwa sewaktu DPR-RI
membahas RUU dengan Pemerintah, muncul RUU tandingan yang berasal
dari luar dengan mengatasnamakan kepentingan tertentu. Hal-hal inilah yang
kemudian mempengaruhi kualitas substansi RUU dilihat dari prospek,
ekspektasi, dan harapan politik hukum, terutama pembangunan hukum
nasional.

13
www.legalitas.org
5. Pemahaman tentang Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan
Sebelum berbicara mengenai materi muatan, norma, dan penerapan
peraturan perundang-undangan, untuk memahaminya, terlebih dahulu
ditampilkan jenis peraturan perundang-undangan karena jenis tersebut terkait
erat dengan materi muatan, norma, dan penerapan peraturan perundang-
undangan.
Rincian jenis peraturan perundang-undangan membedakan materi
muatan masing-masing jenis tersebut. Demikian pula terhadap jenis norma
dan cara penerapannya. Untuk membedakan masing-masing tersebut, sering
mengalami kesulitan karena ada perbedaan yang sangat tipis antara jenis
yang satu dengan jenis lainnya, dan kemungkinan dapat menimbulkan
tumpang tindih materi muatan dan persamaan jenis norma pada masing-
masing jenis yang jenjangnya berurutan satu tingkat ke bawah atau ke atas.
Pasal 7 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan

rg
.o
Peraturan Perundang-undangan (UU P3) menentukan bahwa:
as

(1) Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan adalah sebagai


lit

berikut :
ga

a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun


.le

1945;
w

b. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-


w

Undang;
w

c. Peraturan Pemerintah;
d. Peraturan Presiden;
e. Peraturan Daerah.
(2) Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e
meliputi :
a. Peraturan Daerah provinsi dibuat oleh dewan perwakilan
rakyat daerah provinsi bersama dengan gubernur;
b. Peraturan Daerah kabupaten/kota dibuat oleh dewan
perwakilan rakyat daerah kabupaten/kota bersama
bupati/walikota;
c. Peraturan Desa/peraturan yang setingkat, dibuat oleh badan
perwakilan desa atau nama lainnya bersama dengan kepala
desa atau nama lainnya.

14
www.legalitas.org
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembuatan Peraturan
Desa/peraturan yang setingkat diatur dengan Peraturan Daerah
kabupaten/kota yang bersangkutan.
(4) Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), diakui keberadaannya dan mempunyai
kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan
Perundang-undangan yang lebih tinggi.
(5) Kekuatan hukum Peraturan Perundang-undangan adalah sesuai
dengan hierarki sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Penjelasan Pasal 7
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Termasuk dalam jenis Peraturan Daerah Provinsi
adalah Qanun yang berlaku di Daerah Provinsi
Nanggroe Aceh Darussalam dan Perdasus serta
Perdasi yang berlaku di Provinsi Papua.
Huruf b

rg
Cukup jelas. .o
Huruf c
as
Cukup jelas.
lit

Ayat (3)
ga

Cukup jelas.
.le

Ayat (4)
w
w

Jenis Peraturan Perundang-undangan selain dalam


w

ketentuan ini, antara lain, peraturan yang dikeluarkan oleh


Majelis Permusyawaratan Rakyat dan Dewan Perwakilan
Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung,
Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Bank
Indonesia, menteri, kepala badan, lembaga, atau komisi
yang setingkat yang dibentuk oleh undang-undang atau
pemerintah atas perintah undang-undang, dewan
perwakilan rakyat daerah provinsi, gubernur, dewan
perwakilan rakyat daerah kabupaten/kota, bupati/walikota,
kepala desa atau yang setingkat.
Ayat (5)
Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan “hierarki” adalah
penjenjangan setiap jenis Peraturan Perundang-undangan
yang didasarkan pada asas bahwa Peraturan Perundang-
undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan
dengan Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi.

15
www.legalitas.org
Selanjutnya, dalam pasal-pasal berikutnya, ditentukan mengenai materi
muatan pada masing-masing jenis peraturan. Materi muatan yang harus
diatur dengan Undang-Undang berisi hal-hal yang mengatur lebih lanjut
ketentuan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
yang meliputi: hak-hak asasi manusia; hak dan kewajiban warga negara;
pelaksanaan dan penegakan kedaulatan negara serta pembagian kekuasaan
negara; wilayah negara dan pembagian daerah; kewarganegaraan dan
kependudukan; dan keuangan negara. Di samping itu, materi muatan
Undang-Undang juga bisa berasal dari perintah Undang-Undang lain.
Materi muatan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
(Perpu) sama dengan materi muatan Undang-Undang. Materi muatan
Peraturan Pemerintah (PP) berisi materi untuk menjalankan Undang-
Undang sebagaimana mestinya. Materi muatan Peraturan Presiden (Perpres)
berisi materi yang diperintahkan oleh Undang-Undang atau materi untuk

rg
.o
melaksanakan Peraturan Pemerintah. Materi muatan Peraturan Daerah
as
(Perda) adalah seluruh materi muatan dalam rangka penyelenggaraan
lit

otonomi daerah dan tugas pembantuan, dan menampung kondisi khusus


ga
.le

daerah serta penjabaran lebih lanjut Peraturan Perundang-undangan yang


w

lebih tinggi. Dari tata urutan (hirarki) dan jenis di atas, tampak bahwa semakin
w

ke bawah, materi muatan peraturan masing-masing semakin mengkerucut.


w

Dengan mengkerucutnya materi muatan, orang akan lebih mudah


menentukan materi muatan yang terbawah karena yang terakhir ini sebagai
hasil residu peraturan di atasnya.

Sebagaimana digambarkan di atas, untuk mempermudah penentuan


materi muatan peraturan perundang-undangan, digunakan penelaahan
secara residu, di samping pemahaman mengenai materi muatan itu sendiri.
Materi Muatan peraturan perundang-undangan adalah materi yang dimuat
dalam peraturan perundang-undangan sesuai dengan jenis, fungsi, dan
hierarki peraturan perundang-undangan.
Di dalam ilmu peraturan perundang-undangan, telah dikenal teori
berjenjang yang menyatakan bahwa semakin tinggi tingkat peraturan,

16
www.legalitas.org
semakin meningkat keabstrakannya. Sebaliknya, semakin rendah tingkat
peraturan, semakin meningkat kekonkritannya. Hipotesis yang dapat
digambarkan adalah jika peraturan yang paling rendah, penormaannya masih
bersifat abstrak, maka peraturan tersebut kemungkinan besar tidak bisa
dilaksanakan atau ditegakkan secara langsung karena masih memerlukan
peraturan pelaksanaan atau petunjuk pelaksanaan. Undang-undang,
peraturan pemerintah, peraturan presiden dan peraturan daerah, seyogyanya
langsung dapat dilaksanakan secara berjenjang, dengan catatan bahwa
materi muatan undang-undang disesuaikan lagi dengan macam undang-
undang itu sendiri. Sebagaimana diketahui bahwa macam undang-undang
terdiri atas:
a. undang-undang hukum pidana;
b. undang-undang hukum perdata;
c. undang-undang hukum administrasi;

rg
d. undang-undang pengesahan; .o
as
e. undang-undang penetapan; dan
lit

f. undang-undang arahan atau pedoman.


ga
.le

Materi muatan Undang-Undang Dasar (UUD), sudah barang tentu lebih


w

abstrak daripada materi muatan Undang-Undang. Keabstrakan UUD,


w

biasanya ditunjukkan oleh sifat keuniversalannya atau sifat keumumannya


w

(norma yang umum dan perlu penjabaran oleh peraturan di bawahnya).


Kadangkala, sifat tersebut juga mengandung suatu asas atau mempunyai
norma asasi. Asasi atau tidak asasinya suatu norma, orang yang menyatakan
itu dalam kesimpulan tesis atau pendapatnya. Hal ini sering pula berlaku bagi
undang-undang karena undang-undang sering menjadi kendaraan UUD
sehingga muatannya bersinggungan (tumpang tindih) dengan muatan UUD,
terutama dengan macam undang-undang yang berisi arahan atau pedoman.
Jika kita setuju dengan cara pemahaman “residu”, dikaitkan dengan tata
urutan peraturan perundang-undangan, maka seyogyanya peraturan
perundang-undangan di bawah undang-undang juga harus lebih mudah atau
langsung dilaksanakan (diterapkan) dan ditegakkan dibandingkan dengan

17
www.legalitas.org
undang-undang itu sendiri. Pembentuk peraturan perundang-undangan (di
bawah UUD) harus merancang normanya agar substansi peraturan
perundang-undangan dapat langsung diterapkan dan ditegakkan, yakni
dengan menjauhkan diri untuk merancang normanya kepada sifat
universalitas dan asas-asas yang berlaku umum (nasional). Perancang
peratuarn perundang-undangan harus memikikirkan bagaimana suatu
peraturan tidak terlalu banyak berisi delegasian dari peraturan perundang-
undangan di atasnya sehingga tidak terjebak pada materi muatan yang lebih
abstrak. Agak aneh jika ada suatu peraturan perundang-undangan di bawah
undang-undang berisi asas-asas dan berisi hak dan kewajiban yang
membebani masyarakat. Aneh juga jika suatu Perda menentukan bahwa
“Setiap orang yang melakukan penganiayaan terhadap orang lain yang
mengakibatkan luka dipidana dengan pidana …..”.
Pemahaman “residu” tidak hanya terkait dengan pola di atas, melainkan

rg
.o
juga pada tata urutan yang secara formal telah ditentukan dalam Pasal 7 UU
as
P 3, artinya, urutan tersebut menggambarkan makna deduktif materi muatan
lit

peraturan perundang-undangan. Tata urutan peraturan semakin ke bawah


ga
.le

semakin konkret dan langsung dapat dilaksanakan karena kesederhanaan


w

materinya (walaupun kadangkala peraturan di bawah, yang biasanya lebih


w

teknis, sangat kompleks dan rumit).


w

Sebagaimana disebutkan di atas bahwa materi muatan yang harus


diatur dengan UU berisi hal-hal yang mengatur lebih lanjut ketentuan UUD
yang meliputi:
1) hak-hak asasi manusia;
2) hak dan kewajiban warga negara;
3) pelaksanaan dan penegakan kedaulatan negara serta pembagian
kekuasaan negara;
4) wilayah negara dan pembagian daerah;
5) kewarganegaraan dan kependudukan; dan
6) keuangan negara.
Di samping itu, materi muatan UU juga bisa berasal dari perintah UU lain.

18
www.legalitas.org
Dari 6 hal di atas, secara rinci terdapat delegasian (dengan frasa “diatur
dengan atau diatur dalam undang-undang”) yang diamanatkan oleh UUD,
yang kurang lebih berjumlah 38 delegasian. Tiga puluh delapan delegasian
tersebut melipuit, antara lain, pengaturan mengenai:
1) pemilihan umum; 21) Badan Pemeriksa
2) syarat untuk menjadi Keuangan;
Presiden dan Wakil 22) kekuasaan kehakiman;
Presiden; 23) wewenang Mahkamah
3) tata cara pemilihan Presiden Agung;
dan Wakil Presiden; 24) susunan, kedudukan,
4) penetapan keadaan bahaya; keaanggotaan, dan hukum
5) pemberian gelar, tanda jasa, acara Mahkamah Agung;
dan lain-lain kehormatan; 25) susunan, kedudukan,
6) kementerian negara; keaanggotaan Komisi
7) penyelenggaraan Yudisial;
pemerintahan daerah; 26) Mahkamah Konstitusi;
8) hubungan wewenang antara 27) syarat untuk menjadi dan
pusat dan daerah; untuk diberhentikan sebagai

rg
9) hubungan keuangan, hakim;
pelayanan umum, .o28) warga negara dan
as
pemanfaatan sumber daya penduduk;
alam dan sumber daya 29) kemerdekaan berserikat dan
lit

lainnya antara pusat dan berkumpul, mengeluarkan


ga

daerah; pikiran dengan lisan dan


.le

10) daerah yang bersifat khusus tulisan;


w

atau istimewa; 30) pertahanan dan keamanan;


w

11) susunan DPR; 31) perekonomian nasional;


w

12) hak anggota DPR; 32) pengaturan cabang produksi


13) tata cara pembentukan yang penting bagi negara
undang-undang; dan yang menguasai hajat
14) syarat dan tata cara hidup orang banyak;
pemberhentian anggota 33) pengaturan bumi dan air dan
DPR; kekayaan alam
15) susunan dan kedudukan 34) penyelenggaraan sistem
DPRD; pendidikan nasional;
16) syarat dan tata cara 35) pemeliharaan fakir miskin;
pemberhentian anggota 36) pengembangan sistem
DPRD; jaminan sosial;
17) pejak dan pungutan lain 37) penyediaan fasilitas
yang bersifat memaksa; pelayanan kesehatan;
18) macam dan harga mata 38) bendera, bahasa, dan
uang; lambang negara, serta lagu
19) keuangan negara; kebangsaan.
20) Bank Sentral;

19
www.legalitas.org

Dari 38 hal di atas, masih ada beberapa hal lagi yang perlu diatur
dengan UU sebagai penjabaran lebih lanjut berdasarkan keinginan,
permintaan, dan kebutuhan institusi dan/atau masyarakat karena di luar hal
tersebut masih banyak hal yang terkait dengan hak dan kewajiban serta
pembebanan kepada masyarakat yang perlu pengaturan, di samping
pengaturan mengenai sektor-sektor atau bidang-bidang tertentu. Kebutuhan
tersebut kemudian dituangkan dalam program legislasi nasional (Prolegnas)
yang disusun bersama antara DPR dan Pemerintah (termasuk delegasian
UUD di atas). Prolegnas tahun 2005 sampai dengan 2009 ditetapkan 284
RUU.
Sudah barang tentu, seluruh program legislasi tersebut diharapkan
dapat diwujudkan, tidak hanya pembentukannya, melainkan juga bagaimana
membuat norma yang baik sesuai dengan norma materi muatan UU dan

rg
.o
kemudahan penerapannya. Jika perancang UU konsisten bahwa norma UU
as
tidak dirumuskan seperti norma UUD dan norma UU harus jelas adresatnya
lit

dengan menyebutkan siapa melaksanakan apa, siapa menentukan apa, apa


ga
.le

diwajibkan atau diharuskan siapa, siapa mewajibkan atau mengharuskan


w

apa, dan penyediaan dana bagi siapa dan apa, maka UU tersebut akan
w

mudah dilaksanakan dan diterapkan.


w

Dalam kesempatan ini, perlu pula dikemukakan mengenai materi


peraturan daerah. Di dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah (UU PD), beberapa pasal menyebut mengenai materi
muatan Perda. Pasal 10 UU PD menentukan bahwa: (1) Pemerintah Daerah
menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangannya,
kecuali urusan pemerintahan yang oleh Undang-Undang ini ditentukan
menjadi urusan Pemerintah. (2) Dalam menyelenggarakan urusan
pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya
untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan berdasarkan
asas otonomi dan tugas pembantuan. (3) Urusan pemerintahan yang menjadi
www.legalitas.org
urusan Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. politik
luar negeri; b. pertahanan; c. keamanan; d. yustisi; e. moneter dan fiskal
nasional; dan f. agama. (4) Dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan
sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Pemerintah menyelenggarakan sendiri
atau dapat melimpahkan sebagian urusan pemerintahan kepada perangkat
Pemerintah atau wakil Pemerintah di daerah atau dapat menugaskan kepada
pemerintahan daerah dan/atau pemerintahan desa. (5) Dalam urusan
pemerintahan yang menjadi kewenangan Pemerintah, di luar urusan
pemerintahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah dapat: a.
menyelenggarakan sendiri sebagian urusan pemerintahan; b. melimpahkan
sebagian urusan pemerintahan kepada Gubernur selaku wakil Pemerintah;
dan c. menugaskan sebagian urusan kepada pemerintahan daerah dan/atau
pemerintahan desa berdasarkan asas tugas pembantuan.
Ketentuan Pasal 10 di atas merupakan materi muatan umum untuk

rg
.o
Perda setelah dikurangi urusan Pemerintah (pemerintah pusat) yang meliputi
as
6 hal tersebut. Selain sisa dari 6 hal di atas, materi muatan Perda dapat
lit

ditambah pula dengan pelimpahan sebagian urusan Pemerintah kepada


ga
.le

perangkat Pemerintah atau wakil Pemerintah di daerah atau dapat


w

menugaskan kepada pemerintahan daerah dan/atau pemerintahan desa;


w

pelimpahan sebagian urusan pemerintahan kepada Gubernur selaku wakil


w

Pemerintah; dan penugasan sebagian urusan kepada pemerintahan


daerah/atau pemerintahan desa berdasarkan asas tugas pembantuan.
Agak sulit untuk mengatakan bahwa sisa dari yang 6 hal di atas menjadi
seluruh hal yang di luar 6 hal tersebut. Hal ini dikarenakan ketentuan Pasal
10 ayat (5) masih membuka kemungkinan adanya kewenangan urusan
Pemerintah lainnya, selain 6 hal tersebut. Untuk memudahkan memahami
masalah tersebut, Pasal 11 sampai Pasal 18 membuat rincian mengenai
urusan pemerintahan yang diserahkan kepada daerah (rincian terlampir).
Rincian yang ditentukan, masih membuka penambahan urusan pemerintahan
di daerah, yakni dengan adanya ketentuan “urusan lainnya (wajib atau
pilihan) yang diamanatkan oleh peraturan perundang-undangan”, yang

21
www.legalitas.org
dikenal dengan ketentuan delegasian. Di samping itu, ada beberapa pasal
yang secara jelas menyebutkan bahwa urusan pemerintahan daerah diatur
dengan Perda, misalnya, Pasal 158, Pasal 176, Pasal 177, Pasal 181, dan
Pasal 200.
Jika ada suatu peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi
daripada Perda yang telah disahkan atau ditetapkan, pemerintah daerah
harus menyisir pasal perpasal pada bagian mana terdapat ketentuan
delegasian. Hal ini penting untuk menunjukkan sikap kepedulian daerah
dalam menangkap keingingan atau aspirasi yang sifatnya nasional. Pasal 13
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan
dalam Rumah Tangga menentukan bahwa “Untuk penyelenggaraan
pelayanan terhadap korban, pemerintah dan pemerintah daerah sesuai
dengan fungsi dan tugas masing-masing dapat melakukan upaya: a.
penyediaan pelayanan khusus di kantor kepolisian; b. penyediaan aparat,

rg
.o
tenaga kesehatan, pekerja sosial, dan pembimbing rohani; c. pembuatan dan
as
pengembangan sistem dan mekanisme kerja sama program pelayanan yang
lit

melibatkan pihak yang mudah diakses oleh korban; dan d. memberikan


ga
.le

perlindungan bagi pendamping, saksi, keluarga, dan teman korban.


w

Dengan gambaran di atas, pada dasarnya masih banyak pekerjaan


w

pemerintahan daerah yang harus diselesaikan dengan mempersiapkan


w

Raperda-raperda yang disesuaikan dengan materi muatan terkait dengan


kewenangan urusan pemerintahan daerah, delegasian dari peraturan
perundang-undangan di atasnya, dan atribusian. Untuk mempersiapkan dan
membentuk Perda tersebut, perlu diperhatikan Pasal 136 sampai dengan
Pasal 147 UU PD dan secara keseluruhan isi UU P3. Selain peraturan
perundang-undangan tersebut, Peraturan Pemerintah Nomor 38 tentang
Pembagian Urusan Pemerintahan Pusat, Pemerintah Provinsi, dan
Pemerintahan Kabupaten/Kota mengatur secara jelas urusan-urusan
pemerintahan daerah yang menjadi kewenangannya.

22
www.legalitas.org
6. Peran Perancang Peraturan Perundang-undangan (legislative drafter)
Dalam Penjelasan UU P3 disebutkan bahwa Untuk menunjang
pembentukan peraturan perundang-undangan, diperlukan peran tenaga
perancang peraturan perundang-undangan sebagai tenaga fungsional yang
berkualitas yang mempunyai tugas menyiapkan, mengolah, dan merumuskan
rancangan peraturan perundang-undanganan. Makna ”berkualitas”
sebagaimana ditentukan dalam penjelasan tersebut tampaknya akan
mengalami hambatan dan tantangan tersendiri dalam bidang kepemerintahan
karena masih berbenah di sana-sini mengingat jabatan tersebut relatif anyar
atau baru dibanding jabatan fungsional lainnya seperti jabatan peneliti atau
jaksa penuntut umum. Mencari format mengenai kompetensi dan sertifikasi
jabatan fungsional perancang serta kurikulum dalam diklat perancang,
diperlukan kerja keras dan ketekunan yang luar biasa. Hal ini masih dalam
proses penyelesaian di lingkungan Departemen Hukum dan HAM.

rg
.o
Perancang adalah pegawai negeri sipil yang diberi tugas, tanggung
as
jawab, wewenang, dan hak, secara penuh oleh pejabat yang berwenang
lit

untuk melakukan kegiatan menyusun peraturan perundang-undangan


ga
.le

dan/atau instrumen hukum lainnya pada instansi pemerintah. Kedudukan


w

jabatan fungsional termasuk dalam rumpun hukum dan peradilan dan tugas
w

perancang adalah menyiapkan, melakukan, dan menyelesaikan seluruh


w

kegiatan teknis fungsional perancangan peraturan perundang-undangan di


lingkungan unit peraturan perundang undangan instansi pemerintah. Tugas,
tanggung jawab, wewenang, dan hak serta kedudukan perancang telah
mempunyai dasar hukum yang kuat berdasarkan peraturan perundang-
undangan, yakni:
1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok
Kepegawaian sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 43 Tahun 1999;
2) Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 1994 tentang Jabatan
Fungsional Pegawai Negeri Sipil;

23
www.legalitas.org
3) Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2005 tentang Rangkap
Jabatan;
4) Keputusan Presiden Nomor 87 Tahun 1999 tentang Rumpun Jabatan
Fungsional Pegawai Negeri Sipil;
5) Peraturan Presiden Nomor 37 Tahun 2006 tentang Tunjangan
Fungsional Perancang;
6) Keputusan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor
41/Kep/M.PAN/12/2000 tentang Jabatan Fungsional Perancang
Peraturan Perundang-undangan
7) Keputusan Bersama Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia dan
Kepala Badan Kepegawaian Negara Nomor. M.390-kp.04.12 Tahun
2002 dan Nomor 01 Tahun 2002 tentang Petunjuk Pelaksanaan
Jabatan Fungsional Perancang Peraturan Perundang-undangan dan
Angka Kreditnya

rg
.o
8) Keputusan Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia no.04.pr.07.10
as
tahun 2004 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen
lit

Kehakiman dan HAM.


ga
.le

Dengan adanya peraturan perundang-undangan di atas, pada dasarnya


w

tidak perlu diragukan lagi bahwa eksistensi perancang (atau calon


w

perancang) di tanah air telah dipayungi oleh hukum dalam menjalankan


w

tugas, fungsi, hak, dan tanggung jawabnya. Pemerintah, dalam hal ini
Departemen Hukum dan HAM, tinggal meningkatkan pendidikan dan
pelatihan serta menghitung kebutuhan perancang pada seluruh instansi
pemerintah, baik di tingkat pusat maupun di daerah, termasuk di lingkungan
DPR-RI atau DPRD.
Permasalahan klasik yang selama ini dihadapi dalam penyediaan
perancang adalah kurangnya kualitas dan kuantitas perancang di beberapa
instansi pemerintah karena salah satu masalah yang belum seluruhnya
dipecahkan adalah ketersediaan kurikulum di fakultas hukum baik pada
universitas negeri maupun swasta mengenai mata pelajaran wajib tentang
perancangan peraturan perundang-undangan, sehingga lulusan sarjana

24
www.legalitas.org
hukum kurang memahami mengenai perancangan peraturan perundang-
undangan. Bidang yang satu ini juga sering menjadi pertanyaan bagi dekan
fakultas hukum, apakah termasuk pada bidang hukum tata negara atau
hukum administrasi negara atau hukum tata pemerintahan atau bidang
tersendiri? Departemen Pendidikan Nasional harus sudah menentukan
bahwa bidang perancangan peraturan perundang-undangan merupakan
kurikulum wajib (bukan pilihan) dan ditetapkan jumlah SKS-nya sesuai
dengan kebutuhan, misalnya, diperlukan jam mata kuliah pelatihan
perancangan peraturan perundang-undangan.
Di samping masalah di atas, mutasi ke jabatan struktural atau jabatan
lainnya yang menjanjikan, membuat pejabat fungsional perancang beralih
atau berpindah ke jabatan struktural. Budaya terstruktur untuk berkuasa
tampaknya masih kental di lingkungan pegawai negeri sehingga pilihan
tertuju pada jabatan struktural, dan malah pada jabatan struktural tertentu

rg
.o
diperebutkan. Insentif atau penghargaan bagi pejabat fungsional perancang
as
perlu segera diwujudkan, termasuk tunjangan fungsional yang memadai dan
lit

masa jabatan usia pensiun bagi perancang. Tanpa hal ini, mungkin kualitas
ga
.le

dan kuantitas pejabat fungsional perancang akan mengalami hambatan.


w
w

7. Penutup
w

Yang penting untuk dipahami oleh pembentuk peraturan perundang-


undangan, terutama perancang peraturan perundang-undangan, adalah
mengenai materi muatan peraturan. Materi muatan terkait erat dengan jenis
dan macam peraturan perundang-undangan serta terkait dengan
pendelegasian pengaturan. Selain terkait dengan jenis dan delegasian,
materi muatan terkait dengan cara merumuskan norma. Perumusan norma
peraturan harus ditujukan langsung kepada pengaturan lingkup bidang tugas
masing-masing yang berasal dari delegasian dari peraturan perundang-
undangan yang lebih tinggi tingkatannya dan tetap pula memperhatikan
peraturan perundang-undangan lainnya yang lebih tinggi tingkatannya atau
sederajat.

25
www.legalitas.org
Pengetahuan mengenai bentuk dan jenis peraturan perundang-
undangan sangat penting dalam perancangan peraturan perundang-
undangan karena :
a. setiap pembentukan peraturan perundang-undangan harus dapat
ditunjukkan secara jelas peraturan perundang-undangan tertentu yang
menjadi landasan atau dasarnya (landasan yuridis);
b. tidak setiap peraturan perundang-undangan dapat dijadikan landasan
atau dasar yuridis pembentukan peraturan perundang-undangan,
melainkan hanya peraturan perundang-undangan yang sederajat atau
lebih tinggi yang dapat mendelegasikan ke peraturan perundang-
undangan sederajat atau lebih rendah. Jadi peraturan perundang-
undangan yang lebih rendah tidak dapat dijadikan dasar peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi. Ketentuan ini menunjukkan
betapa pentingnya aturan mengenai tata urutan peraturan perundang-

rg
.o
undangan (lihat UU Nomor 10 Tahun 2004);
as
c. pembentukan peraturan perundang-undangan berlaku prinsip bahwa
lit

peraturan perundang-undangan yang sederajat atau yang lebih tinggi


ga
.le

dapat menghapuskan peraturan perundang-undangan yang sederajat


w

atau lebih rendah. Prinsip ini mengandung beberapa hal :


w

1) pencabutan peraturan perundang-undangan yang ada hanya


w

mungkin dilakukan oleh peraturan perundang-undangan yang


sederajat atau yang lebih tinggi;
2) dalam hal peraturan perundang-undangan yang sederajat
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang
sederajat lainnya, maka berlaku peraturan perundang-undangan
yang terbaru dan peraturan perundang-undangan yang lama
dianggap telah dikesampingkan (lex posterior derogat priori);
3) dalam hal peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi
tingkatnya bertentangan dengan peraturan perundang-undangan
yang lebih rendah, maka berlaku peraturan perundang-undangan
yang lebih tinggi tingkatannya;

26
www.legalitas.org
d. dalam hal peraturan perundang-undangan sederajat yang mengatur
bidang-bidang khusus, maka peraturan perundang-undangan yang
mengatur bidang umum yang berkaitan dengan bidang khusus
tersebut dikesampingkan (lex specialis derogat lex generalis).
e. pentingnya pengetahuan mengenai bentuk atau jenis peraturan
perundang-undangan kaitannya dengan materi muatan peraturan
perundang-undangan. Materi muatan undang-undang adalah berbeda
dengan materi muatan peraturan presiden. Materi muatan biasanya
tergantung dari delegasian atau atribusian peraturan perundang-
undangan yang lebih tinggi atau sederajat. Undang-undang dan Perda
bermateri muatan salah satunya adalah pengaturan hak asasi manusia
dan pengaturan sanksi yang memberatkan atau membebani rakyat.
Selain itu, yang lebih penting adalah bahwa pembentuk peraturan harus
memahami makna asas pembentukan peraturan perundang-undangan dan

rg
.o
asas materi muatan yang telah diuraikan di atas.
as
Asas-asas tersebut merupakan dasar berpijak bagi pembentuk peraturan
lit

perundang-undangan dan penentu kebijakan. Semua asas di atas, harus


ga
.le

terpateri dalam diri mereka yang akan membentuk peraturan perundang-


w

undangan yang biasanya diwujudkan dalam bentuk pertanyaan dalam setiap


w

langkah yang ditempuh. Misalnya, apakah pentingnya membentuk peraturan


w

ini? Tujuannya apa? Apakah bermanfaat bagi kemaslahatan masyarakat?


Tidakkah instrumen lain, selain peraturan, sudah cukup? Dalam menyusun
substansi yang diinginkan oleh penentu kebijakan, pembentuk peraturan
harus selalu bertanya, apakah rumusan tersebut sudah jelas dan tidak
menimbulkan penafsiran?
Jika hal-hal di atas diperhatikan, diharapkan keinginan “cita” (dunia ide)
yang dituangkan dalam peraturan perundang-undangan dapat dilaksanakan
dengan mudah yang pada akhirnya dapat mewujudkan tegaknya wibawa
hukum yang memperkukuh peran hukum dalam pembangunan untuk
menjamin agenda pembangunan nasional.
************

27
www.legalitas.org

Daftar Bacaan

Atmasasmita, Romli, Moral dan Etika Pembangunan Hukum Nasional: Reorientasi


Politik Perundang-undangan, Makalah disampaikan dalam Seminar Pembangunan
Hukum Nasional VIII di Bali, 14-18 Juli 2003

Budi Gunawan, Koloni Keadilan, Kumpulan Analisis di Majalah FORUM, Forum Media
Utama, Gramedia, 2006

Friedman, Lawrence M. American Law an Introduction, Second Edition, Penerjemah


Wishnu Basuki, Tata Nusa Jakarta, 1984

Harkristuti Harkrisnowo, Rekonstruksi Konsep Pemidanaan: Suatu Gugatan terhadap


Proses Legislasi dan Pemidanaan di Indonesia, Orasi pada Pengukuhan Guru Besar
Tetap dalam Ilmu Hukum Pidana, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 8 Maret
2003

Kusumaatmadja, Mochtar, Konsep-Konsep Hukum dalam Pembangunan, Kumpulan


Karya Tulis, Alumni, Bandung, 2002

rg
.o
Mahfud MD, Moh. Politik Hukum di Indonesia, LP3ES
as
lit

Rahardjo, Satjipto Sisi-sisi Lain dari Hukum di Indonesia, Kompas, Jakarta, 2003
ga
.le

Sumarjono, E. Etika Hukum: Relevansi Teori Hukum Kodrat Thomas Aquinas, Kanisius,
2002
w
w

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945


w

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-


undangan dan peraturan pelaksanaannya

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan peraturan


pelaksanaannya

28

Anda mungkin juga menyukai