NIM : A1A319011
TUGAS
JAWAB
Sesuai Undang-undang Nomor 8 Tahun 2012 Tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah pengertian
pemilihan umum diuraikan secara detail. Pemilu adalah sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat
yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil dalam Negara
Kesatuan Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar Negara Republik
Indonesia 1945. Dengan kata lain, pemilu merupakan sarana bagi rakyat untuk menjalankan
kedaulatan dan merupkakan lembaga Demokrasi.
1. Ali Moertopo
Menurut Ali Moertopo pengertian Pemilu sebagai berikut: “Pada hakekatnya, pemilu adalah
sarana yang tersedia bagi rakyat untuk menjalankn kedaulatannya sesuai dengan azas yang
bermaktub dalam Pembukaan UUD 1945. Pemilu itu sendiri pada dasarnya adalah suatu
Lembaga Demokrasi yang memilih anggota-anggota perwakilan rakyat dalam MPR, DPR, DPRD,
yang pada gilirannya bertugas untuk bersama-sama dengan pemerintah, menetapkan politik
dan jalannya pemerintahan negara”.
2. Morissan (2005:17)
Menurut Morissan, Pemilihan umum adalah cara atau sarana untuk mengetahui keinginan
rakyat mengenai arah dan kebijakan negara kedepan. Paling tidak ada tiga macam tujuan
pemilihan umum, yaitu memungkinkan peralihan pemerintahan secara aman dan tertib untuk
melaksanakan kedaualatan rakyat dalam rangka melaksanakan hak asasi warga Negara
Terdapat bagian-bagian atau komponen-komponen yang merupakan sistem itu sendiri dalam
melaksanakan pemilihan umum diantaranya:
1. Sistem hak pilih
2. Sistem pembagian daerah pemilihan.
3. Sistem pemilihan
4. Sistem pencalonan.
Pada sistem ini, rakyat dianggap sebagai suatu massa individu-individu yang sama. Individu-
individu inilah sebagai pengendali hak pilih masing-masing dalam mengeluarkan satu suara di
tiap pemilihan umum untuk satu lembaga perwakilan.
Pada sistem ini, rakyat dianggap sebagai sekelompok individu yang hidup bersama-sama dalam
beraneka ragam persekutuan hidup. Jadi persekuuan-persekutuan inilah yang diutamakan
menjadi pengendali hak pilih.
Pada masa ini pemilu diselenggarakan oleh kabinet BH-Baharuddin Harahap (tahun 1955). Pada
pemilu ini pemungutan suara dilaksanakan 2 kali yaitu yang pertama untuk memilih anggota
Dewan Perwakilan Rakyat pada bulan September dan yang kedua untuk memilih anggota
Konstituante pada bulan Desember. Sistem yang diterapkan pada pemilu ini adalah sistem
pemilu proporsional. Sistem Pemilu.
Pelaksanaan pemilu pertama ini berlangsung dengan demokratis dan khidmat, Tidak ada
pembatasan partai politik dan tidak ada upaya dari pemerintah mengadakan intervensi atau
campur tangan terhadap partai politik dan kampanye berjalan menarik. Pemilu ini diikuti 27
partai dan satu perorangan.
Akan tetapi stabilitas politik yang begitu diharapkan dari pemilu tidak tercapai. Kabinet Ali (I
dan II) yang terdiri atas koalisi tiga besar: NU, PNI dan Masyumi terbukti tidak sejalan dalam
menghadapi beberapa masalah terutama yang berkaitan dengan konsepsi Presiden Soekarno
zaman Demokrasi Parlementer berakhir.
2. Zaman Demokrasi Terpimpin (1959-1965)
Setelah pencabutan Maklumat Pemerintah pada November 1945 tentang keleluasaan untuk
mendirikan partai politik, Presiden Soekarno mengurangi jumlah partai politik menjadi 10
parpol. Pada periode Demokrasi Terpimpin tidak diselanggarakan pemilihan umum.
Setelah turunnya era Demokrasi Terpimpin yang semi-otoriter, rakyat berharap bisa merasakan
sebuah sistem politik yang demokratis & stabil. Upaya yang ditempuh untuk mencapai
keinginan tersebut diantaranya melakukan berbagai forum diskusi yang membicarakan tentang
sistem distrik yang terdengan baru di telinga bangsa Indonesia.
Pendapat yang dihasilkan dari forum diskusi ini menyatakan bahwa sistem distrik dapat
menekan jumlah partai politik secara alamiah tanpa paksaan, dengan tujuan partai-partai kecil
akan merasa berkepentingan untuk bekerjasama dalam upaya meraih kursi dalam sebuah
distrik. Berkurangnya jumlah partai politik diharapkan akan menciptakan stabilitas politik dan
pemerintah akan lebih kuat dalam melaksanakan program-programnya, terutama di bidang
ekonomi.
Karena gagal menyederhanakan jumlah partai politik lewat sistem pemilihan umum,
Presiden Soeharto melakukan beberapa tindakan untuk menguasai kehidupan kepartaian.
Tindakan pertama yang dijalankan adalah mengadakan fusi atau penggabungan diantara partai
politik, mengelompokkan partai-partai menjadi tiga golongan yakni Golongan Karya (Golkar),
Golongan Nasional (PDI), dan Golongan Spiritual (PPP). Pemilu tahun1977 diadakan dengan
menyertakan tiga partai, dan hasilnya perolehan suara terbanyak selalu diraih Golkar.
Pada masa Reformasi 1998, terjadilah liberasasi di segala aspek kehidupan berbangsa
dan bernegara. Politik Indonesia merasakan dampak serupa dengan diberikannya ruang bagi
masyarakat untuk merepresentasikan politik mereka dengan memiliki hak mendirikan partai
politik. Banyak sekali parpol yang berdiri di era awal reformasi. Pada pemilu 1999 partai politik
yang lolos verifikasi dan berhak mengikuti pemilu ada 48 partai. Jumlah ini tentu sangat jauh
berbeda dengan era orba.
Pada tahun 2004 peserta pemilu berkurang dari 48 menjadi 24 parpol saja. Ini disebabkan telah
diberlakukannya ambang batas(Electroral Threshold) sesuai UU no 3/1999 tentang PEMILU
yang mengatur bahwa partai politik yang berhak mengikuti pemilu selanjtnya adalah parpol
yang meraih sekurang-kurangnya 2% dari jumlah kursi DPR. Partai politikyang tidak mencapai
ambang batas boleh mengikuti pemilu selanjutnya dengan cara bergabung dengan partai
lainnya dan mendirikan parpol baru.
Salah satunya adalah masalah kertas suara dan kotak suara. Sebagai contoh kertas suara yang
seharusnya diperuntukan untuk daerah X ternyata terkirim kedaerah Y. Hal ini jelas membuat
panitia tingkat daerah tidak dapat melaksanakan tugas dengan baik, fenomena-fenomena
tersebut banyak terjadi diberbagai daerah-daerah hal itu sering memicu konflik antar partai
peserta pemilu maupun antar para pendukung masing-masing partai politik. Kertas suara pada
pemilu 2019 di samping memuat tanda gambar partai, juga terdapat nama calon anggota partai
politik. ,sehingga setiap daerah pemilihan kertas suara pasti tidak sama. Karena pembuatan
kertas suara dilakukan di berbagai daerah, maka terjadi banyak kesalahan dalam
pencetakannya. Hal itu mengakibatkan pemilihan umum di daerah-daerah tidak dapat
dilakukan secara serentak pada hari yang telah ditentukan, karena kesalahan kertas suara.
Dengan demikian pemilihan umum tidak dilakukan satu hari karena menunggu pengganti kertas
suara yang salah. Hal lainnya adalah kesalahan survey dan verifikasi data penduduk, terutama
data penduduk yang sudah memenuhi kriteria sebagai pemilih dalam pemilu. Kenyataan
menunjukkan bahwa dalam pemilu-pemilu sebelumnya data penduduk yang dikeluarkan oleh
mendagri ternyata tidak sesuai dengan data dari penyelenggara. Hal ini tentu saja merupakan
bagian dari klemahan yang memunculkan permasalahan yang cukup mnntukan terhadap proses
pemilu.
Salah satu indikator keberhasilan sebuah penyelnggaraan pemilihan umum dapat dilihat dari
seberapa besar tingkat partisipasi masyarakat yang menggunakan hak pilihnya. Artinya jika
masyarakat antusias mengikuti kegiatan pemilihan umum, demokrasi dapat dipandang mampu
melibatkan aspirasi masyarakat masyarakat melalui proses pemilu yang demokratis.
Sejalan dengan pendapat tersebut, Hantington dalam Arifin (2006:34) memandang
partisipasi politik sebagai kegiatan warga negara bertindak sebagai pribadi-pribadi,
dengan maksud mempengaruhi pembuatan keputusan oleh pemerintah. Partisipasi bisa
bersifat individual atau kolektif, terorganisasi atau spontan, mantap sproradis, secara
damai atau dengan kekerasan ,legal atau ilegal dan efektif atau tidak efektif.
https://sistempemerintahan-indonesia.blogspot.com/2013/06/pemilu-di-indonesia-
sistem.html
Arifin, Anwar. 2006. Pencitraan dalam Politik : Strategi Pemenangan Pemilu dalam Perspektif
Komunikasi Politik. Jakarta: Pustaka Indonesia.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Undang-Undang Nomor 7 Tahun
2017 tentang Pemilihan Umum