Anda di halaman 1dari 4

Akal, Nafs Dan Hawa

Mutiara Hikmah Kitab : Îdhôhu Asrôri ‘Ulûmil Muqorrobîn

Allah Ta’âlâ berfirman kepada orang-orang yang memiliki hati,


“Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat peringatan
bagi orang yang memiliki hati.” (QS Qaf, 50:37)Dan ketika menyebut
nafs Allah Ta’âlâ berfirman, “Sesungguhnya nafs itu selalu menyuruh
kepada kejahatan…” (QS Yusuf, 12:53)

Allah berfirman kepada Musa as, “Salahkanlah nafs-mu, karena yang


paling layak untuk disalahkan adalah nafs. Ketika bermunajat kepada-
Ku, bermunajatlah dengan lisan yang shidq dan hati yang takut.”

Ketahuilah, setiap kali hati memiliki sesuatu yang baik, maka nafs
pun memiliki hal serupa yang dapat mengaburkan. Sebagaimana Allah
memberi hati keinginan (irâdah), maka Allah juga memberi nafs angan-
angan kosong (tamanniy). Sebagaimana Allah memberi hati perasaan
cinta (mahabbah), maka Allah memberi nafs hawa nafsu (hawâ).
Sebagaimana Allah memberi hati harapan (rojâ`), maka Allah memberi
nafs ketamakan (thoma’). Sebagaimana Allah memberi hati perasaan
takut (khauf), maka Allah memberi nafs perasaan putus asa (qunûth).
Perhatikan dan renungkan kata-kataku ini.

Salah satu contoh yang dapat memberikan gambaran jelas kepadamu


adalah keadaan orang yang terlilit hutang. Kamu seringkali melihat
orang yang tidak mau melunasi hutangnya. Namun ketika memperoleh
harta, ia justru menyedekahkannya, dan tidak berusaha melunasi
hutangnya. Itulah contoh perbuatan baik yang timbul dari nafs.
Sebab, di antara sekian banyak jenis nafs, ada nafs yang suka
melakukan murûah dan merasakan kenikmatan ketika memberi.

Orang yang nafs-nya seperti ini merasakan kenikmatan dalam memberi


sebagaimana orang jahat merasakan kenikmatan ketika menolak
permohonan pertolongan. Demikian pula halnya dengan mereka yang
mengerjakan sunah, tapi meninggalkan yang wajib. Misalnya: orang
yang mengerjakan ibadah haji berulang kali dengan uang halal dan
haram serta mengabaikan ketakwaan dalam urusan-urusannya yang lain.
Di antara mereka ada yang menunaikan ibadah haji dengan berjalan
kaki, tapi meremehkan salat. Hasan Al-Bashri rhm berkata, “Ada
seseorang berkata,’ Aku telah haji, aku telah haji.’ Kamu telah
menunaikan ibadah haji, oleh karena itu sambunglah tali silaturahmi,
bantulah orang yang sedang kesusahan, dan berbuat baiklah kepada
tetangga.”

Contoh lain adalah orang-orang yang mencari harta haram kemudian


membelanjakannya dalam kebaikan. Sebagaimana telah kuberitahukan
kepadamu, semua perbuatan ini digerakkan oleh nafs, sama sekali
tidak memiliki hubungan dengan hati.

Allah menjadikan “perbuatan yang dilakukan secara berlebih-lebihan”


untuk nafs dan “perbuatan yang dikerjakan secara wajar” untuk hati.
Jika kamu melihat perilaku, atau pencarian ilmu dan ibadah
dikerjakan dengan tenang (thuma’ninah), maka ketahuilah bahwa
perbuatan itu muncul dari hati dan pelakunya adalah orang berakal.
Tetapi, jika kamu melihat seseorang yang perilaku, cara menuntut
ilmu dan ibadahnya tidak dilakukan dengan tenang, pelakunya
emosional dan bodoh, maka ketahuilah bahwa kegiatan itu digerakkan
oleh nafs dan hawâ. Sebab, hawâ merusak dan menggoncangkan akal. Di
mana pun berada, hawâ akan selalu merusak.

Demikianlah sifat hawâ. Jika hawâ berinteraksi dengan akal, hawâ


akan merendahkan dan menggoyahkannya. Jika berinteraksi dengan
agama, hawâ akan mengotori dan merusaknya. Sehingga kamu dapat
melihat bahwa orang yang agamanya dan cara ber-sulûk-nya baik bila
dikuasai oleh hawâ, urusannya menjadi kacau, keadaannya menjadi
buruk dan dibenci masyarakat. Begitulah sifat kebatilan, ia akan
merusak kebenaran, jika keduanya bercampur. Jika hawâ mampu merusak
orang yang berakal dan beragama, lalu bagaimana menurutmu jika hawâ
merasuki para pecinta dunia yang jiwanya lemah? Bagaimana keadaan
mereka nanti?

Segala hal yang dirusak oleh hawâ dapat diperbaiki oleh akal, karena
hawâ mempunyai tingkat setaraf dengan akal. Hawâ akan merendahkan
dan menjerumuskan manusia, sebaliknya akal akan memuliakan dan
meninggikannya. Sungguh besar perbedaan keduanya!

Kamu lihat orang yang dipengaruhi hawâ tampak seperti orang buta,
tidak tahu jalan (menuju Allah). Hawâ menghambatnya dari mencari
sesuatu yang memiliki hakikat, membuatnya tidak memikirkan akibat
perbuatan yang ia lakukan, membuatnya suka bertengkar dan
bermusuhan, membuang-buang umur dalam mencintai dan membanding-
bandingkan keutamaan para imam.

Lain halnya dengan orang-orang yang berakal, mereka sibuk dengan


diri mereka sendiri, menyempurnakan semua amal mereka dengan niat-
niat yang baik, memanfaatkan waktu yang mereka miliki dengan sebaik-
baiknya, berusaha keras untuk berbuat kebajikan, dan menyesali
perbuatan baik yang tidak dapat mereka kerjakan.

(Memahami Hawa Nafsu, Îdhôhu Asrôri ‘Ulûmil Muqorrobîn, Putera


Riyadi)

Catatan: Hawâ adalah makanan nafs. Hal ini membuat nafs sangat
bergantung dan sulit melepaskan diri dari cengkeraman hawâ. Oleh
karena itu, jauhilah hawâ dan bebaskanlah nafs-mu darinya. Sebab,
hawâ akan menodai agama dan murûah-mu. Jika kamu perhatikan dan
beda-bedakan semua peristiwa yang terjadi, maka akan kamu dapati
bahwa hawâ-lah yang menjadi sumber segala fitnah dan bencana dalam
peristiwa-peristiwa itu. Karena, hawâ merupakan sumber kebatilan dan
kesesatan. Hawâ bak minuman memabukkan. Seseorang yang meneguknya
akan dikuasai oleh minuman itu dan akan hilang akal sehatnya.

Murûah: usaha seseorang untuk melaksanakan semua hal yang dianggap


baik dan menjauhi semua hal yang dianggap buruk oleh ma

Anda mungkin juga menyukai