KEPERAWATAN BENCANA
TENTANG
MASALAH KESEHATAN YANG TERJADI DI
PROVENSI MALUKU AKIBAT BENCANA
Oleh :
Nama : Dila Sintya Unwakoly
NPM : 12114201180157
Kelas/Sem : D/VI
Prodi : Keperawatan
FAKULTAS KESEHATAN
UNIVERSITAS KRISTEN INDONESIA MALUKU
2021
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa. Karena atas
berkat rahmat dan cinta kaasihnya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan makalah
ini tanpa menghadapi halangan yang berarti selama masa penulisan.
Penulis menyadari bahwa makalah ini jauh dari kata sempurna dan masih terdapat
banyak kesalahan baik dalam isi maupun sistemmatika penulisan, oleh karenanya kritik dan
saran yang membangun sangat penulis harapkan dari semua pihak. Akhir kata penulis
ucapkan mohon maaf bila terdapat kesalahan dalam penulisan dan terima kasih. Semoga
Makalah ini bermanfaat bagi kita semua.
Penulis
ii
DAFTAR ISI
Halaman
Cover .................................................................................................................... i
A. Kesimpulan .............................................................................................. 12
B. Saran ........................................................................................................ 12
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Maluku merupakan salah satu provinsi di kawasan Timur Negara Republik Indonesia
yang memiliki posisi strategis, karena kedudukannya berada antara sebagian wilayah
Barat dan Tengah Indonesia dengan Papua di bagian Timur, serta menjadi penghubung
wilayah Selatan yakni Negara Australia dan Timor Leste dengan wilayah Utara yaitu
Maluku Utara dan Sulawesi. Selain itu, Provinsi Maluku berada pada jalur lintas
internasional yaitu dilalui oleh 3 (tiga) Alur Laut Kepulaun Indonesia (ALKI). Posisi ini
mempunyai arti yang sangat strategis di bidang ekonomi, perdagangan dan investasi.
(DPMPTSP, 2018)
Namun letak provinsi yang stategis ini juga mengakibatkan provinsi Maluku rentan
terhadap bencana, baik gempa hingga tsunami, dan hal ini masih terus membayangi
Provinsi Maluku hingga saat ini. Catatan sejarah menunjukkan kawasan Laut Maluku
beberapa kali terjadi gempa kuat dan merusak. Tercatat gempa Sangir pada 1 April 1936
menjadi gempa dahsyat yang pernah terjadi di zona Maluku, karena guncangannya
mencapai skala intensitas VIII - IX MMI yang merusak ratusan rumah. Selain itu, Gempa
Pulau Siau pada 27 Pebruari 1974 juga memicu longsoran dan kerusakan banyak rumah
di berbagai tempat. Terakhir adalah Gempa Sangihe-Talaud pada 22 Oktober 1983, di
mana gempa ini merusak banyak bangunan rumah.
Zona sumber gempa Laut Maluku juga memiliki catatan sejarah tsunami destruktif,
seperti Tsunami Banggai-Sangihe 1858 yang menyebabkan seluruh kawasan pantai timur
Sulawesi, Banggai, dan Sangihe dilanda tsunami, Tsunami Banggai-Ternate 1859
mengakibatkan banyak rumah di pesisir disapu tsunami, Gempa Kema-Minahasa 1859
juga memicu tsunami setinggi atap rumah-rumah penduduk, Tsunami Gorontalo 1871
juga menerjang di sepanjang pesisir Gorontalo, Tsunami Tahuna 1889 menerjang
kawasan pesisir Tahuna setinggi 1,5 meter, Tsunami Kepulauan Talaud 1907 menerjang
pantai setinggi 4 meter, dan Tsunami Salebabu 1936 menyapu pantai setinggi 3 meter.
Kejadian Gempa bumi Maluku 2019 adalah sebuah gempa dengan magnitudo 6,5 pada
tanggal 26 September 2019, yang menyebabkan banyak kerusakan dan kerugian yang
dialamai oleh masyarakat baik secara fisik, finansial maupun kesehatan.
1
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan Latar belakang diatas maka rumusan masalah yang akan dibahas dalam
Makalah ini adalah sebagai Berikut :
1. Masalah Kesehatan apa saja yang dapat terjadi pasca bencana di wilayah provinsi
Maluku?
2. Bagimana peran tenaga kesehatan dan partisipasi masyarakat dalam menghadapi
masalah-masalah yang terjadi?
3. Bagaimana manajemen bencana yang tepat dalam mengatasi bencana di wilayah
provinsi Maluku?
C. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah sebagai berikur ;
1. Mengetahui masalah apasaja yang dapat terjadi di wilayah Provinsi Maluku pasca
bencana
2. Mengetahui dan memahami peran tenaga kesehatan dan partisipasi masyarakat dalam
menghadapi bencana di wilayah provinsi Maluku
3. Mengetahui dan mamahami manajemen bencana yang tepat dalam mengatasi bencana
di wilayah provinsi Maluku
2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Masalah Kesehatan Pasca Bencana
Bencana tidak hanya menimbulkan korban meninggal dan luka serta rusaknya
berbagai fasilitas kesehatan, tetapi juga berdampak pada permasalahan kesehatan
masyarakat, seperti munculnya berbagai penyakit paskagempa, fasilitas air bersih dan
sanitasi lingkungan yang kurang baik, trauma kejiwaan serta akses terhadap pelayanan
kesehatan reproduksi perempuan dan pasangan. Salah satu dampak bencana terhadap
menurunnya kualitas hidup penduduk dapat dilihat dari berhagai permasalahan kesehatan
masyarakat yang terjadi.
Bencana yang diikuti dengan pengungsian berpotensi menimhulkan masalah
kesehatan yang sehenamya diawali oleh masalah hidang/sektor lain. Bencana gempa
humi, banjir, longsor dan letusan gunung berapi, dalam jangka pendek dapat herdampak
pada korhan meninggal, korhan cedera herat yang memerlukan perawatan intensif,
peningkatan risiko penyakit menular, kerusakan fasilitas kesehatan dan sistem penyediaan
air (Pan American Health Organization, 2006 dalam Widayatun 2016). Timhulnya
masalah kesehatan antara lain berawal dari kurangnya air bersih yang berakibat pada
huruknya kehersihan diri, huruknya sanitasi lingkungan yang merupakan awal dari
perkemhanghiakan beberapa jenis penyakit menular.
Persediaan pangan yang tidak mencukupi juga merupakan awal dari proses terjadinya
penurunan derajat kesehatan yang dalam jangka panjang akan mempengaruhi secara
langsung tingkat pemenuhan kebutuhan gizi korhan hencana. Pengungsian tempat tinggal
yang ada sering tidak memenuhi syarat kesehatan sehingga secara langsung maupun tidak
langsung dapat menurunkan daya tahan tubuh dan bila tidak segera ditanggulangi akan
menimhulkan masalah di bidang kesehatan. Sementara itu, pemberian pelayanan
kesehatan pada kondisi hencana sering menemui banyak kendala akihat rusaknya fasilitas
kesehatan, tidak memadainya jumlah dan jenis obat serta alat kesehatan, terbatasnya
tenaga kesehatan dan dana operasional. Kondisi ini tentunya dapat menimbulkan dampak
lebih buruk bila tidak segera ditangani (Pusat Penanggulangan Masalah Kesehatan
Sekretariat Jenderal Departemen Kesehatan, 2001 dalam Widayatun 2016).
Dampak hencana terhadap kesehatan masyarakat relatif berheda-beda, antara lain
tergantung dari jenis dan hesaran bencana yang terjadi. Kasus cedera yang memerlukan
perawatan medis, misalnya, relatif lehih hanyak dijumpai pada bencana gempa bumi
dihandingkan dengan kasus cedera akihat banjir dan gelomhang pasang. Sehaliknya,
3
hencana hanjir yang terjadi dalam waktu relatif lama dapat menyehahkan kerusakan
sistem sanitasi dan air bersih, serta menimhulkan potensi kejadian luar biasa (KLB)
penyakit-penyakit yang ditularkan melalui media air (water-borne diseases) seperti diare
dan leptospirosis. Terkait dengan hencana gempa humi, selain dipengaruhi kekuatan
gempa, ada tiga faktor yang dapat mempengaruhi hanyak sedikitnya korhan meninggal
dan cedera akihat hencana ini, yakni: tipe rumah, waktu pada hari terjadinya gempa dan
kepadatan penduduk (Pan American Health Organization, 2006 dalam Widayatun 2016).
Sementara itu permasalahan kesehatan yang terjadi di wilayah provinsi Maluku pasca
bencana yang terjadi pada 2019 lalu yaitu Permasalahan kesehatan secara langsung yang
diakibatkan oleh bencana yaitu luka, baik luka lecet, luka sobek, dan memar.
Permasalahan kesehatan lain yang juga ditimbulkan oleh gempa dan bersifat langsung
adalah patah tulang, mulai dari patah tulang tertutup, terbuka, hingga multiple fracture.
Permasalahan kesehatan yang serupa dapat ditemukan juga pada bencana banjir dan
tsunami, namun tidak seumum kematian akibat tenggelam. Sedangkan Luka infeksi
akibat perawatan luka yang tidak optimal dan berkembangnya penyakit menular pada
tenda-tenda pengungsian adalah sebagian permasalahan kesehatan yang muncul secara
tidak langsung akibat bencana. Permasalahan-permasalahan ini muncul diakibatkan oleh
beberapa faktor.
1. Sanitasi yang buruk
Setiap orang setidaknya membutuhkan air bersih sebanyak 15-20 liter sehari
untuk keperluan domestiknya. Tentunya hal ini tidak mudah untuk dicapai dalam
keadaan bencana. Terbatasnya sumber air bersih yang tersedia dan tidak tersedianya
tempat pembuangan limbah baik yang berasal dari manusia maupun dari rumah
tangga membuat penyakit menular mudah berkembang di tempat-tempat
pengungsian. Sanitasi yang buruk ini membuat penyakit seperti diare dan infeksi
saluran pernapasan mudah terjadi.
Kurangnya sanitasi serta kebersihan diri dan lingkungan yang buruk, berkaitan
dengan penularan beberapa penyakit infeksi yaitu penyakit diare, kolera, typhoid
fever, dan paratyphoid fever, disentri, penyakit cacing tambang, ascariasis, hepatitis A
dan E, penyakit kulit, trakhoma, schistosomiasis, cryptosporidiosis, malnutrisi, dan
penyakit yang berhubungan dengan malnutrisi
2. Tempat pengungsian yang padat.
Di dalam tempat pengungsian setiap orang seharusnya mendapatkan area
seluas 3,5 meter persegi. Tetapi pada kenyataannya, kondisi seperti ini sulit kita
4
temukan terlebih lagi pada bencana yang mengakibatkan kerusakan infrastruktur
bangunan yang parah. Tempat yang biasa dijadikan pengungsian oleh masyarakat
antara lain sekolah dan bangunan umum lainnya. Pada bencana dengan kerusakan
infrastruktur yang massif (lebih dari 25% tempat tinggal warga rusak parah),
dibangunlah tenda-tenda pengungsian (shelter) sebagai tempat tinggal sementara.
Namun, shelter ini juga membawa dampak buruk sosial jangka panjang. Shelter dapat
menarik orang-orang yang tidak memiliki tempat tinggal untuk menetap di sana.
Padahal, shelter dibangun secara sementara dan tentunya kondisinya tidak sesuai
standar rumah tinggal.
3. Permasalahan psikologis pascabencana.
Kehilangan rumah, harta benda, bahkan orang terkasih secara tiba-tiba
menjadi pemicu munculnya gangguan psikologis pada korban bencana. Beberapa
reaksi yang diperlihatkan oleh korban bencana yang mengalami gangguan psikologis
misalnya merasa sendiri dan tidak ada orang lain yang bernasib serupa, gangguan
tidur misalnya sulit tidur atau malah banyak tidur, merasa lelah dan tidak berenergi,
cemas, sakit kepala, hingga penyalahgunaan zat adiktif untuk menghilangkan stres.
Pada kondisi ini, korban bencana harus mendapat dukungan psikologis yang
memadai baik oleh relawan, tenaga kesehatan, maupun sesama korban. Kondisi stress
di pengungsian juga dapat menimbulkan permasalahan psikologis pada korban
bencana baik yang dewasa maupun anak-anak. Dukungan yang dapat diberikan
misalnya memberikan informasi yang terpercaya mengenai bencana tersebut tanpa
melebih-lebihkan, membantu meyakinkan korban bencana bahwa kesedihan yang
dialaminya akan berlalu, dan menjelaskan bagaimana caranya untuk berdamai dengan
tragedi yang sudah terjadi.
6
2. Masa Tanggap Darurat (Hari ketiga hingga satu bulan setelah bencana)
1. Menyediakan makanan, air dan pakaian yang layak untuk para pengusi dengan
bekerja sama bersama pihak-pihak pemerintah dan masyarakat
2. Mempromosikan pola hidup bersih dan sehat selama di wilayah pengungsian
3. Menpromosikan bahaya dan masalah-masalah yang dapat terjadi selama di
pengungsian, serta cara mengatasi
4. Memberikan konseling dan penangan pada korban bencana yang mengalami
trauma psikologis
3. Masa rehabilitasi dan rekonstruksi (Sejak satu bulan sesudah gempa)
Setelah masa tanggap darurat berakhir, pelayanan terfokus pada pelayanan
kesehatan promotif, seperti pemantauan gizi bayi, balita dan lansia, memonitor
kondisi kesehatan reproduksi para perempuan korban gempa, upaya hidup bersih dan
pemulihan sanitasi lingkungan.
Pemantauan gizi dilakukan berkoordinasi dengan para relawan yang bertugas
di tenda-tenda darurat. Kegiatan yang dilakukan oleh petugas Puskesmas dalam
pemantauan gizi antara lain memastikan bahwa bantuan makanan yang diberikan
kepada bayi dan balita ( seperti susu dan makanan tambahan) cukup memadai bagi
para korban bencana. Demikian pula dengan masalah kesehatan reproduksi
perempuan, petugas Puskesmas bekerja sama dengan relawan dan pemerintah · desa
setempat memantau bantuan yang diber,ikan kepada para korban gempa telah
mengakomodasi kepentingan para perempuan untuk menjaga kesehatan
reproduksinya (tersedianya pembalut dan pakaian dalam). Untuk pemulihan sanitasi
lingkungan petugas Puskesmas juga berkoordiansi dengan relawan dan petugas
pemerintah terkait untuk memonitor ketersediaan air bersih dan MCK pada masing-
masing lokasi pengungsian.
7
kesiapsiagaan. Tahap ex-past berupa tanggap darurat, rehabilitasi, dan rekonstruksi. Menurut
Warfield, manajemen bencana mempunyai tujuan:
1. Mengurangi, atau mencegah, kerugian karena bencana,
2. Menjamin terlaksananya bantuan yang segera dan memadai terhadap korban bencana,
3. Mencapai pemulihan yang cepat dan efektif.
Dengan demikian, siklus manajemen bencana memberikan gambaran bagaimana rencana
dibuat untuk mengurangi atau mencegah kerugian karena bencana, bagaimana reaksi
dilakukan selama dan segera setelah bencana berlangsung dan bagaimana langkah-langkah
diambil untuk pemulihan setelah bencana terjadi. Secara garis besar terdapat empat fase
manajemen bencana, yaitu:
1. Fase Mitigasi
upaya memperkecil dampak negative bencana. Contoh: zonasi dan pengaturan bangunan
(building codes), analisis kerentanan; pembelajaran public
2. Fase Preparadness
merencanakan bagaimana menaggapi bencana. Contoh: merencanakan kesiagaan; latihan
keadaan darurat, system peringatan.
3. Fase respon
upaya memperkecil kerusakan yang disebabkan oleh bencana. Contoh: pencarian dan
pertolongan; tindakan darurat,
4. Fase Recovery
mengembalikan masyarakat ke kondisi normal. Contoh: perumahan sementara, bantuan
keuangan; perawatan kesehatan.
Keempat fase manajemen bencana tersebut tidak harus selalu ada, atau tidak secara
terpisah, atau tidak harus dilaksanakan dengan urutan seperrti tersebut diatas. Fase-fase
sering saling overlap dan lama berlangsungnya setiap fase tergantung pada kehebatan atau
besarnya kerusakan yang disebabkan oleh bencana itu. Dengan demikian, berkaitan dengan
penetuan tindakan di dalam setiap fase itu, kita perlu memahami karakteristik dari setiap
bencana yang mungkin terjadi.
Manajemen bencana terdiri dari 2 mekanisme yaitu mekanisme internal atau informal dan
mekanisme eksternal atau informal.
a. Mekanisme internal atau informal
Mekanisme internal atau informal, yaitu unsur-unsur masyarakat di lokasi bencana
yang secara umum melaksanakan fungsi pertama dan utama dalam manajemen bencana
dan seringkali disebut mekanisme manajemen bencana alamiah, ini terdiri dari keluarga,
8
organisasi sosial informal (pengajian, pelayanan kematian, kegiatan kegotong royongan,
arisan dan sebagainya) serta masyarakat lokal.
b. Mekanisme eksternal atau formal
Mekanisme eksternal atau formal,, yaitu organisasi yang sengaja dibentuk untuk
tujuan manajemen bencana, contoh organisasi manajemen bencana di Indonesia
diantaranya seperti BAKORNAS PB, SATKORLAK PB, SATLAK PB dan BNPB
maupun BPBD.
Siklus manajemen bencana terbagi menjadi 3 tahapan atau fase, 3 tahap atau fase
manajemen bencana yaitu:
9
Pemberian peringatan dini ini harus menjangkau masyarakat (accesible), segera
(immediate), tegas tidak membingungkan (coherent), bersifat resmi (official).
10
sasaran utama untuk normalisasi atau berjalannya secara wajar semua aspek
pemerintahan dan kehidupan masyarakat pada wilayah pasca bencana.
c. Rekonstruksi (reconstruction)
Rekonstruksi adalah perumusan kebijakan dan usaha serta langkah-langkah nyata
yang terencana dengan baik, konsisten dan berkelanjutan untuk membangun kembali
secara permanen semua prasarana, sarana dan sistem kelembagaan baik tingkat
pemerintahan maupun masyarakat dengan sasaran utama tumbuh berkembangnya
kegiatan perekonomian, sosial dan budaya, tegaknya hukum dan ketertiban dan
bangkitnya peran dan partisipasi masyarakat sipil dalam segala aspek kehidupan
bermasyarakat di wilayah pasca bencana. Lingkup pelaksanaan rekonstruksi terdiri
atas program rekonstruksi fisik dan program rekonstruksi non fisik.
11
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Bencana tidak hanya menimbulkan korban meninggal dan luka serta rusaknya
berbagai fasilitas kesehatan, tetapi juga berdampak pada permasalahan kesehatan
masyarakat, seperti munculnya berbagai penyakit paskagempa, fasilitas air bersih dan
sanitasi lingkungan yang kurang baik, trauma kejiwaan serta akses terhadap pelayanan
kesehatan reproduksi perempuan dan pasangan. Salah satu dampak bencana terhadap
menurunnya kualitas hidup penduduk dapat dilihat dari berhagai permasalahan kesehatan
masyarakat yang terjadi. Contohnya seperti sanitasi lingkungan, pengungsian yang padat
dan masalah psikologis pasca bencana
Manajemen bencana dilakukan dengan tujuan untuk mengurangi kerugian dan risiko
yang mungkin terjadi dan mempercpat proses pemulihan pasca bencana itu
terjadiManajemen bencana terdiri dari dua tahap yaitu ex-ante dan ex-past . Menjamin
terlaksananya bantuan yang segera dan memadai terhadap korban bencana, 3. Mencapai
pemulihan yang cepat dan efektif. Respon upaya memperkecil kerusakan yang
disebabkan oleh bencana.
Fase-fase sering saling overlap dan lama berlangsungnya setiap fase tergantung pada
kehebatan atau besarnya kerusakan yang disebabkan oleh bencana itu. Dengan
demikian, berkaitan dengan penetuan tindakan di dalam setiap fase itu, kita perlu
memahami karakteristik dari setiap bencana yang mungkin terjadi. Mekanisme internal
atau informal, yaitu unsur-unsur masyarakat di lokasi bencana yang secara umum
melaksanakan fungsi pertama dan utama dalam manajemen bencana dan seringkali
disebut mekanisme manajemen bencana alamiah, ini terdiri dari keluarga, organisasi
sosial informal serta masyarakat lokal. Mekanisme eksternal atau formal,, yaitu organisasi
yang sengaja dibentuk untuk tujuan manajemen bencana, contoh organisasi manajemen
bencana di Indonesia diantaranya seperti BAKORNAS PB, SATKORLAK PB, SATLAK
PB dan BNPB maupun BPBD.
B. Saran
Penanganan bencana yang baik dapat terjadi bila adanya persiapan, dan kerja sama
dari semua pihak oleh karenanya baik untuk pemerintah maupun tenaga kesehatan dan
juga masyarakat sangat diharapkan agar dapat memahami konsep dan manajemen
bencana serta pertolongan-pertolongan pertama yang dapat dialaukan agar dapat
12
meminimalisir korban bencana saat terjadi bencana. Korban bencana juga dihimbau agar
dapat melakukan konssultasi dan pemeriksaan menyeluruh pasca bencana agar
menghindari terjadinya trauma akibat bencana yang sewaktu-waktu bisa saja dapat
menggangu aktivitas dan kesehatan masayarakat.
13
DAFTAR PUSTAKA
14