Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH

KEPERAWATAN BENCANA
TENTANG
MASALAH KESEHATAN YANG TERJADI DI
PROVENSI MALUKU AKIBAT BENCANA

Oleh :
Nama : Dila Sintya Unwakoly
NPM : 12114201180157
Kelas/Sem : D/VI
Prodi : Keperawatan

FAKULTAS KESEHATAN
UNIVERSITAS KRISTEN INDONESIA MALUKU
2021
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa. Karena atas
berkat rahmat dan cinta kaasihnya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan makalah
ini tanpa menghadapi halangan yang berarti selama masa penulisan.

Makalah Keperawatan Bencana dengan judul “Masalah Kesehatan Yang Terjadu di


provinsi Maluku Akibat Bencana” ini membahas tentang masalah kesehatan apa saja yang
terjadi saat bencana melanda suatu daerah, bagaimana peran perawat dalam mengatasi
masalah tersebut, dan bagaimana cara mengatasinya. Makalah ini membahasa terkhususnya
masalah yang terjadi di wilayah Provinsi Maluku.
Terima Kasih penulis sampaikan kepada dosen mata kuliah yang telah memberikan
tugas ini sehingga penulis dapat lebih memahami masala-masalah yang terjadi paska bencana
dan bagaimana seorang perawat menangani masalah-masalah tersebut.

Penulis menyadari bahwa makalah ini jauh dari kata sempurna dan masih terdapat
banyak kesalahan baik dalam isi maupun sistemmatika penulisan, oleh karenanya kritik dan
saran yang membangun sangat penulis harapkan dari semua pihak. Akhir kata penulis
ucapkan mohon maaf bila terdapat kesalahan dalam penulisan dan terima kasih. Semoga
Makalah ini bermanfaat bagi kita semua.

Penulis

Ambon, 3 Maret 2021

ii
DAFTAR ISI

Halaman

Cover .................................................................................................................... i

Kata Pengantar ..................................................................................................... ii

Daftar Isi .............................................................................................................. ii

BAB I Pendahuluan ............................................................................................ 1

A. Latar Belakang .......................................................................................... 1


B. Rumusan Masalah ..................................................................................... 2
C. Tujuan Penulisan ....................................................................................... 2

BAB II Pembahasan ............................................................................................. 3

A. Masalah Kesehatan Pasca Bencana ........................................................... 3


B. Peran Petugas Kesehatan dan Partisipasi Masyarakat dalam Menangani
Bencana ..................................................................................................... 5
C. Manajemen Bencana Provinsi Maluku...................................................... 7

BAB III Penutup .................................................................................................. 12

A. Kesimpulan .............................................................................................. 12
B. Saran ........................................................................................................ 12

Daftar Pustaka ...................................................................................................... 14

iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Maluku merupakan salah satu provinsi di kawasan Timur Negara Republik Indonesia
yang memiliki posisi strategis, karena kedudukannya berada antara sebagian wilayah
Barat dan Tengah Indonesia dengan Papua di bagian Timur, serta menjadi penghubung
wilayah Selatan yakni Negara Australia dan Timor Leste dengan wilayah Utara yaitu
Maluku Utara dan Sulawesi. Selain itu, Provinsi Maluku berada pada jalur lintas
internasional yaitu dilalui oleh 3 (tiga) Alur Laut Kepulaun Indonesia (ALKI). Posisi ini
mempunyai arti yang sangat strategis di bidang ekonomi, perdagangan dan investasi.
(DPMPTSP, 2018)
Namun letak provinsi yang stategis ini juga mengakibatkan provinsi Maluku rentan
terhadap bencana, baik gempa hingga tsunami, dan hal ini masih terus membayangi
Provinsi Maluku hingga saat ini. Catatan sejarah menunjukkan kawasan Laut Maluku
beberapa kali terjadi gempa kuat dan merusak. Tercatat gempa Sangir pada 1 April 1936
menjadi gempa dahsyat yang pernah terjadi di zona Maluku, karena guncangannya
mencapai skala intensitas VIII - IX MMI yang merusak ratusan rumah. Selain itu, Gempa
Pulau Siau pada 27 Pebruari 1974 juga memicu longsoran dan kerusakan banyak rumah
di berbagai tempat. Terakhir adalah Gempa Sangihe-Talaud pada 22 Oktober 1983, di
mana gempa ini merusak banyak bangunan rumah.
Zona sumber gempa Laut Maluku juga memiliki catatan sejarah tsunami destruktif,
seperti Tsunami Banggai-Sangihe 1858 yang menyebabkan seluruh kawasan pantai timur
Sulawesi, Banggai, dan Sangihe dilanda tsunami, Tsunami Banggai-Ternate 1859
mengakibatkan banyak rumah di pesisir disapu tsunami, Gempa Kema-Minahasa 1859
juga memicu tsunami setinggi atap rumah-rumah penduduk, Tsunami Gorontalo 1871
juga menerjang di sepanjang pesisir Gorontalo, Tsunami Tahuna 1889 menerjang
kawasan pesisir Tahuna setinggi 1,5 meter, Tsunami Kepulauan Talaud 1907 menerjang
pantai setinggi 4 meter, dan Tsunami Salebabu 1936 menyapu pantai setinggi 3 meter.
Kejadian Gempa bumi Maluku 2019 adalah sebuah gempa dengan magnitudo 6,5 pada
tanggal 26 September 2019, yang menyebabkan banyak kerusakan dan kerugian yang
dialamai oleh masyarakat baik secara fisik, finansial maupun kesehatan.

1
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan Latar belakang diatas maka rumusan masalah yang akan dibahas dalam
Makalah ini adalah sebagai Berikut :
1. Masalah Kesehatan apa saja yang dapat terjadi pasca bencana di wilayah provinsi
Maluku?
2. Bagimana peran tenaga kesehatan dan partisipasi masyarakat dalam menghadapi
masalah-masalah yang terjadi?
3. Bagaimana manajemen bencana yang tepat dalam mengatasi bencana di wilayah
provinsi Maluku?

C. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah sebagai berikur ;
1. Mengetahui masalah apasaja yang dapat terjadi di wilayah Provinsi Maluku pasca
bencana
2. Mengetahui dan memahami peran tenaga kesehatan dan partisipasi masyarakat dalam
menghadapi bencana di wilayah provinsi Maluku
3. Mengetahui dan mamahami manajemen bencana yang tepat dalam mengatasi bencana
di wilayah provinsi Maluku

2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Masalah Kesehatan Pasca Bencana
Bencana tidak hanya menimbulkan korban meninggal dan luka serta rusaknya
berbagai fasilitas kesehatan, tetapi juga berdampak pada permasalahan kesehatan
masyarakat, seperti munculnya berbagai penyakit paskagempa, fasilitas air bersih dan
sanitasi lingkungan yang kurang baik, trauma kejiwaan serta akses terhadap pelayanan
kesehatan reproduksi perempuan dan pasangan. Salah satu dampak bencana terhadap
menurunnya kualitas hidup penduduk dapat dilihat dari berhagai permasalahan kesehatan
masyarakat yang terjadi.
Bencana yang diikuti dengan pengungsian berpotensi menimhulkan masalah
kesehatan yang sehenamya diawali oleh masalah hidang/sektor lain. Bencana gempa
humi, banjir, longsor dan letusan gunung berapi, dalam jangka pendek dapat herdampak
pada korhan meninggal, korhan cedera herat yang memerlukan perawatan intensif,
peningkatan risiko penyakit menular, kerusakan fasilitas kesehatan dan sistem penyediaan
air (Pan American Health Organization, 2006 dalam Widayatun 2016). Timhulnya
masalah kesehatan antara lain berawal dari kurangnya air bersih yang berakibat pada
huruknya kehersihan diri, huruknya sanitasi lingkungan yang merupakan awal dari
perkemhanghiakan beberapa jenis penyakit menular.
Persediaan pangan yang tidak mencukupi juga merupakan awal dari proses terjadinya
penurunan derajat kesehatan yang dalam jangka panjang akan mempengaruhi secara
langsung tingkat pemenuhan kebutuhan gizi korhan hencana. Pengungsian tempat tinggal
yang ada sering tidak memenuhi syarat kesehatan sehingga secara langsung maupun tidak
langsung dapat menurunkan daya tahan tubuh dan bila tidak segera ditanggulangi akan
menimhulkan masalah di bidang kesehatan. Sementara itu, pemberian pelayanan
kesehatan pada kondisi hencana sering menemui banyak kendala akihat rusaknya fasilitas
kesehatan, tidak memadainya jumlah dan jenis obat serta alat kesehatan, terbatasnya
tenaga kesehatan dan dana operasional. Kondisi ini tentunya dapat menimbulkan dampak
lebih buruk bila tidak segera ditangani (Pusat Penanggulangan Masalah Kesehatan
Sekretariat Jenderal Departemen Kesehatan, 2001 dalam Widayatun 2016).
Dampak hencana terhadap kesehatan masyarakat relatif berheda-beda, antara lain
tergantung dari jenis dan hesaran bencana yang terjadi. Kasus cedera yang memerlukan
perawatan medis, misalnya, relatif lehih hanyak dijumpai pada bencana gempa bumi
dihandingkan dengan kasus cedera akihat banjir dan gelomhang pasang. Sehaliknya,
3
hencana hanjir yang terjadi dalam waktu relatif lama dapat menyehahkan kerusakan
sistem sanitasi dan air bersih, serta menimhulkan potensi kejadian luar biasa (KLB)
penyakit-penyakit yang ditularkan melalui media air (water-borne diseases) seperti diare
dan leptospirosis. Terkait dengan hencana gempa humi, selain dipengaruhi kekuatan
gempa, ada tiga faktor yang dapat mempengaruhi hanyak sedikitnya korhan meninggal
dan cedera akihat hencana ini, yakni: tipe rumah, waktu pada hari terjadinya gempa dan
kepadatan penduduk (Pan American Health Organization, 2006 dalam Widayatun 2016).
Sementara itu permasalahan kesehatan yang terjadi di wilayah provinsi Maluku pasca
bencana yang terjadi pada 2019 lalu yaitu Permasalahan kesehatan secara langsung yang
diakibatkan oleh bencana yaitu luka, baik luka lecet, luka sobek, dan memar.
Permasalahan kesehatan lain yang juga ditimbulkan oleh gempa dan bersifat langsung
adalah patah tulang, mulai dari patah tulang tertutup, terbuka, hingga multiple fracture.
Permasalahan kesehatan yang serupa dapat ditemukan juga pada bencana banjir dan
tsunami, namun tidak seumum kematian akibat tenggelam. Sedangkan Luka infeksi
akibat perawatan luka yang tidak optimal dan berkembangnya penyakit menular pada
tenda-tenda pengungsian adalah sebagian permasalahan kesehatan yang muncul secara
tidak langsung akibat bencana. Permasalahan-permasalahan ini muncul diakibatkan oleh
beberapa faktor.
1. Sanitasi yang buruk
Setiap orang setidaknya membutuhkan air bersih sebanyak 15-20 liter sehari
untuk keperluan domestiknya. Tentunya hal ini tidak mudah untuk dicapai dalam
keadaan bencana. Terbatasnya sumber air bersih yang tersedia dan tidak tersedianya
tempat pembuangan limbah baik yang berasal dari manusia maupun dari rumah
tangga membuat penyakit menular mudah berkembang di tempat-tempat
pengungsian. Sanitasi yang buruk ini membuat penyakit seperti diare dan infeksi
saluran pernapasan mudah terjadi.
Kurangnya sanitasi serta kebersihan diri dan lingkungan yang buruk, berkaitan
dengan penularan beberapa penyakit infeksi yaitu penyakit diare, kolera, typhoid
fever, dan paratyphoid fever, disentri, penyakit cacing tambang, ascariasis, hepatitis A
dan E, penyakit kulit, trakhoma, schistosomiasis, cryptosporidiosis, malnutrisi, dan
penyakit yang berhubungan dengan malnutrisi
2. Tempat pengungsian yang padat.
Di dalam tempat pengungsian setiap orang seharusnya mendapatkan area
seluas 3,5 meter persegi. Tetapi pada kenyataannya, kondisi seperti ini sulit kita
4
temukan terlebih lagi pada bencana yang mengakibatkan kerusakan infrastruktur
bangunan yang parah. Tempat yang biasa dijadikan pengungsian oleh masyarakat
antara lain sekolah dan bangunan umum lainnya. Pada bencana dengan kerusakan
infrastruktur yang massif (lebih dari 25% tempat tinggal warga rusak parah),
dibangunlah tenda-tenda pengungsian (shelter) sebagai tempat tinggal sementara.
Namun, shelter ini juga membawa dampak buruk sosial jangka panjang. Shelter dapat
menarik orang-orang yang tidak memiliki tempat tinggal untuk menetap di sana.
Padahal, shelter dibangun secara sementara dan tentunya kondisinya tidak sesuai
standar rumah tinggal.
3. Permasalahan psikologis pascabencana.
Kehilangan rumah, harta benda, bahkan orang terkasih secara tiba-tiba
menjadi pemicu munculnya gangguan psikologis pada korban bencana. Beberapa
reaksi yang diperlihatkan oleh korban bencana yang mengalami gangguan psikologis
misalnya merasa sendiri dan tidak ada orang lain yang bernasib serupa, gangguan
tidur misalnya sulit tidur atau malah banyak tidur, merasa lelah dan tidak berenergi,
cemas, sakit kepala, hingga penyalahgunaan zat adiktif untuk menghilangkan stres.
Pada kondisi ini, korban bencana harus mendapat dukungan psikologis yang
memadai baik oleh relawan, tenaga kesehatan, maupun sesama korban. Kondisi stress
di pengungsian juga dapat menimbulkan permasalahan psikologis pada korban
bencana baik yang dewasa maupun anak-anak. Dukungan yang dapat diberikan
misalnya memberikan informasi yang terpercaya mengenai bencana tersebut tanpa
melebih-lebihkan, membantu meyakinkan korban bencana bahwa kesedihan yang
dialaminya akan berlalu, dan menjelaskan bagaimana caranya untuk berdamai dengan
tragedi yang sudah terjadi.

B. Peran Petugas Kesehatan dan Partisipasi Masyarakat dalam Menangani Bencana


Bencana alam yang menimpa suatu daerah, seringkali menimbulkan korban jiwa dan
kerusakan, baik itu korban meninggal, korban luka luka maupun kerusakan fasilitas
umum dan harta benda masyarakat. Selain itu, terjadinya bencana alam sering
mengakibatkan wilayah terkena dampak menjadi terisolasi sehingga sulit dijangkau oleh
para relawan untuk memberikan pertolongan dan bantuan. Selain jatuhnya korban jiwa
dan korban luka, permasalahan lain yang terkait dengan kondisi kesehatan masyarakat
adalah munculnya berbagai penyakit setelah bencana. Sebagai contoh hingga satu bulan
lebih setelah kejadian bencana gempa di Maluku 2019, para korban gempa masih tinggal
5
di tenda-tenda pengungsian dengan fasilitas air bersih yang terbatas dan sanitasi
lingkungan yang kurang baik. Kondisi tersebut ditambah dengan banyaknya debu dan
nyamuk yang mengakibatkan para korban, terutama balita dan lansia, rentan terkena
penyakit gatal-gatal, diare, flu, batuk dan demam.
Selain rentan terhadap berbagai penyakit, sebagian korban juga mengalami trauma
kejiwaan. Kondisi traumatik tersebut sangat beragam bentuk:nya, namun gejala umum
yang diderita para korban menunjukkan reaksi ketakutan. Berbagai isu dan informasi
yang berkembang di masyarakat tentang kemungkinan terjadinya gempa susulan yang
lebih besar menimbulkan kepanikan luar biasa di kalangan masyarakat setempat.
Beberapa dari mereka tidak mengetahui informasi yang benar mengenai kemungkinan-
kemungkinan terjadinya gempa susulan
Pengalaman gempa Maluku 2019 memberikan pembelajaran bahwa peran petugas
kesehatan dalam penanganan bencana cukup penting dalam menyelamatkan korban jiwa.
Dalam masa tanggap darurat petugas kesehatan dari Puskesmas mampu berperan
melaksanakan fungsinya melakukan penanganan gawat darurat dan pelayanan kesehatan
lanjutan serta memfasilitasi kegiatan pelayanan kesehatan yang dilakukan oleh para
relawan. Pelayanan tersebut dilakukan dengan segala keterbatasan sumber daya manusia,
alat kesehatan dan obat obatan dan sarana penunjang lainya yang sangat tidak memadai
karena rusak akibat gempa. Adapun tindakan yang dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan
dan masyarakat (relawan) setelah terjadinya bencana diantaranya sebagai berikut :
1. Sesaat Setalah Gempa (Hari Pertama hingga Hari Ketiga)
Adapun hal-hal yang dapat dilakukan Sesaat setelah gempa terjadi diantaranya adalah
a. segera bertindak cepat menyiapkan lokasi yang aman dan layak untuk di jadikan
tempat pengusian
b. Memeriksaan persediaan obat yang tidak rusak dan layak pakai
c. Prioritaskan pelayanan petugas kesehatan dihari pertama untuk penanganan
kegawatdaruratan (Emergency) Penanganan kegawatdarutatan dilakukan untuk
mengurangi bertambahnya korban jiwa.
d. Pilah pasien dengan menggunakan metode TRIASE. Pasien yang mendapatkan
prioritas penanganan adalah pasien label merah, artinya pasien tersebut
mengalami luka parah serta keselamatan jiwanya terancam apabila tidak segera
diambil tindakan medis yang tepat, Kuning untuk luka berat tidak mengancam
nyawa, hijau untuk luka ringan dan hitam untuk pasien yang tidak tertolong

6
2. Masa Tanggap Darurat (Hari ketiga hingga satu bulan setelah bencana)
1. Menyediakan makanan, air dan pakaian yang layak untuk para pengusi dengan
bekerja sama bersama pihak-pihak pemerintah dan masyarakat
2. Mempromosikan pola hidup bersih dan sehat selama di wilayah pengungsian
3. Menpromosikan bahaya dan masalah-masalah yang dapat terjadi selama di
pengungsian, serta cara mengatasi
4. Memberikan konseling dan penangan pada korban bencana yang mengalami
trauma psikologis
3. Masa rehabilitasi dan rekonstruksi (Sejak satu bulan sesudah gempa)
Setelah masa tanggap darurat berakhir, pelayanan terfokus pada pelayanan
kesehatan promotif, seperti pemantauan gizi bayi, balita dan lansia, memonitor
kondisi kesehatan reproduksi para perempuan korban gempa, upaya hidup bersih dan
pemulihan sanitasi lingkungan.
Pemantauan gizi dilakukan berkoordinasi dengan para relawan yang bertugas
di tenda-tenda darurat. Kegiatan yang dilakukan oleh petugas Puskesmas dalam
pemantauan gizi antara lain memastikan bahwa bantuan makanan yang diberikan
kepada bayi dan balita ( seperti susu dan makanan tambahan) cukup memadai bagi
para korban bencana. Demikian pula dengan masalah kesehatan reproduksi
perempuan, petugas Puskesmas bekerja sama dengan relawan dan pemerintah · desa
setempat memantau bantuan yang diber,ikan kepada para korban gempa telah
mengakomodasi kepentingan para perempuan untuk menjaga kesehatan
reproduksinya (tersedianya pembalut dan pakaian dalam). Untuk pemulihan sanitasi
lingkungan petugas Puskesmas juga berkoordiansi dengan relawan dan petugas
pemerintah terkait untuk memonitor ketersediaan air bersih dan MCK pada masing-
masing lokasi pengungsian.

C. Manajemen Bencana Provinsi Maluku


Manajemen bencana merupakan serangkaian kegiatan yang dilasanakan dalam rangka
usaha pencegahan, mitigasi kesiapsiagaan, tanggap darurat, dan pemulihan yang berkaitan
dengan kejadian bencana. Manajemen bencana dilakukan dengan tujuan untuk mengurangi
kerugian dan risiko yang mungkin terjadi dan mempercpat proses pemulihan pasca bencana
itu terjadiManajemen bencana terdiri dari dua tahap yaitu ex-ante (sebelum terjadi bencana)
dan ex-past (setelah terjadi bencana). Ex-ante terdiri dari mitigasi, pencegaham, dan

7
kesiapsiagaan. Tahap ex-past berupa tanggap darurat, rehabilitasi, dan rekonstruksi. Menurut
Warfield, manajemen bencana mempunyai tujuan:
1. Mengurangi, atau mencegah, kerugian karena bencana,
2. Menjamin terlaksananya bantuan yang segera dan memadai terhadap korban bencana,
3. Mencapai pemulihan yang cepat dan efektif.
Dengan demikian, siklus manajemen bencana memberikan gambaran bagaimana rencana
dibuat untuk mengurangi atau mencegah kerugian karena bencana, bagaimana reaksi
dilakukan selama dan segera setelah bencana berlangsung dan bagaimana langkah-langkah
diambil untuk pemulihan setelah bencana terjadi. Secara garis besar terdapat empat fase
manajemen bencana, yaitu:
1. Fase Mitigasi
upaya memperkecil dampak negative bencana. Contoh: zonasi dan pengaturan bangunan
(building codes), analisis kerentanan; pembelajaran public
2. Fase Preparadness
merencanakan bagaimana menaggapi bencana. Contoh: merencanakan kesiagaan; latihan
keadaan darurat, system peringatan.
3. Fase respon
upaya memperkecil kerusakan yang disebabkan oleh bencana. Contoh: pencarian dan
pertolongan; tindakan darurat,
4. Fase Recovery
mengembalikan masyarakat ke kondisi normal. Contoh: perumahan sementara, bantuan
keuangan; perawatan kesehatan.
Keempat fase manajemen bencana tersebut tidak harus selalu ada, atau tidak secara
terpisah, atau tidak harus dilaksanakan dengan urutan seperrti tersebut diatas. Fase-fase
sering saling overlap dan lama berlangsungnya setiap fase tergantung pada kehebatan atau
besarnya kerusakan yang disebabkan oleh bencana itu. Dengan demikian, berkaitan dengan
penetuan tindakan di dalam setiap fase itu, kita perlu memahami karakteristik dari setiap
bencana yang mungkin terjadi.
Manajemen bencana terdiri dari 2 mekanisme yaitu mekanisme internal atau informal dan
mekanisme eksternal atau informal.
a. Mekanisme internal atau informal
Mekanisme internal atau informal, yaitu unsur-unsur masyarakat di lokasi bencana
yang secara umum melaksanakan fungsi pertama dan utama dalam manajemen bencana
dan seringkali disebut mekanisme manajemen bencana alamiah, ini terdiri dari keluarga,
8
organisasi sosial informal (pengajian, pelayanan kematian, kegiatan kegotong royongan,
arisan dan sebagainya) serta masyarakat lokal.
b. Mekanisme eksternal atau formal
Mekanisme eksternal atau formal,, yaitu organisasi yang sengaja dibentuk untuk
tujuan manajemen bencana, contoh organisasi manajemen bencana di Indonesia
diantaranya seperti BAKORNAS PB, SATKORLAK PB, SATLAK PB dan BNPB
maupun BPBD.
Siklus manajemen bencana terbagi menjadi 3 tahapan atau fase, 3 tahap atau fase
manajemen bencana yaitu:

1. Tahap Pra Bencana


Dalam fase pra bencana ini mencakup kegiatan, mitigasi, kesiapsagaan dan peringatan
dini.
a. Pencegahan (Prevention)
Upaya yang dilakukan untuk mencegah terjadinya bencana jika mungkin dengan
meniadakan bahaya. Contoh kegiatan pencegahan diantaranya melarang pembakaran
hutan dalam perladangan, melarang penambangan batu di daerah curam, melarang
membuang sampah sembarangan dan lain sebagainya.
b. Mitigasi Bencana (Mitigation)
Mitigasi adalah serangkaian upaya yang dilakukan untuk mengurangi risiko
bencana baik melalui pembangunan fisik, maupun penyadaran dan peningkatan
kemampuan menghadapi ancaman bencana. Kegiatan mitigasi inidapat dilakukan
melalui pelaksanaan penataan ruangan; pengaturan pembangunan, pembangunan
infrastruktur, tata bangunan; dan penyelenggaraan pendidikan, penyuluhan, pelatihan
baik secara konvensional maupun modern.
c. Kesiapsiagaan (Preparedness)
Kesiapsiagaan adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk mengantisipasi
bancana melalui pengorganisasian dan langkah yang tepat guna dan berdaya guna.
d. Peringatan Dini (Early Warning)
Peringatan Dini adalah serangkaian kegiatan pemberian peringatan sesegera
mungkin pada masyarakat mengenai kemungkinan terjadinya bencana pada suatu
tempat oleh lembaga yang berwenang atau upaya untuk memberikan tanda peringatan
bahwa bencana kemungkinan akan segera terjadi.

9
Pemberian peringatan dini ini harus menjangkau masyarakat (accesible), segera
(immediate), tegas tidak membingungkan (coherent), bersifat resmi (official).

2. Tahap Saat Terjadi Bencana


Dalam tahap ini tindakan yang dilakukan baik oleh tenaga kesehatan dan masyarakat
serta pemerintah mencakup tanggap darurat dan bantuan darurat.
a. Tanggap Darurat (response)
Tanggap darurat adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan dengan segera pada
saat kejadian bencana untuk menangani dampak buruk yang ditimbulkan . Ini meliputi
kegiatan penyelamatan dan evakuasi korban, harta benda, pemenuhan kebutuhan
dasar, perlindungan, pengurusan pengungsian dan pemulihan sarana prasarana.
Berikut beberapa kegiatan yang dilakukan pada tahap tanggap darurat, diantaranya
yaitu:
1) Pengkajian yang tepat terhadap lokasi, kerusakan dan sumberdaya
2) Penentuan status keadaan darurat bencana
3) Penyelamatan dan evakuasi masyarakat terkena bencana
4) Pemenuhan kebutuhan dasar
5) Perlindungan terhadap kelompok rentan
6) Pemulihan dengan segera prasarana dan sarana vital
b. Bantuan Darurat (relief)
Ini merupakan upaya untuk memberikan bantuan berkaitan dengan pemenuhan
kebutuhan dasar berupa sandang, pangan, tempat tinggal sementara, kesehatan,
sanitasi dan juga air bersih.

3. Tahap Pasca Bencana


Dalam tahapan ini mencakup pemulihan, rehabilitasi dan juga rekonstruksi.
a. Pemulihan (Recovery)
Pemulihan adalah rangkaian kegiatan untuk mengembalikan kondisi masyarakat
dan lingkungan hidup yang terkena bencana dengan memfungsikan kembali
kelembagaab, prasarana dan sarana dengan melakukan upata rehabilitasi.
b. Rehabilitasi (rehabilitation)
Rehabilitasi adalah perbaikan dan pemulihan semua aspek pelayanan ublic
atau masyarakat hingga tingkat yang memadai pada wilayah pasca bencana dengan

10
sasaran utama untuk normalisasi atau berjalannya secara wajar semua aspek
pemerintahan dan kehidupan masyarakat pada wilayah pasca bencana.
c. Rekonstruksi (reconstruction)
Rekonstruksi adalah perumusan kebijakan dan usaha serta langkah-langkah nyata
yang terencana dengan baik, konsisten dan berkelanjutan untuk membangun kembali
secara permanen semua prasarana, sarana dan sistem kelembagaan baik tingkat
pemerintahan maupun masyarakat dengan sasaran utama tumbuh berkembangnya
kegiatan perekonomian, sosial dan budaya, tegaknya hukum dan ketertiban dan
bangkitnya peran dan partisipasi masyarakat sipil dalam segala aspek kehidupan
bermasyarakat di wilayah pasca bencana. Lingkup pelaksanaan rekonstruksi terdiri
atas program rekonstruksi fisik dan program rekonstruksi non fisik.

11
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Bencana tidak hanya menimbulkan korban meninggal dan luka serta rusaknya
berbagai fasilitas kesehatan, tetapi juga berdampak pada permasalahan kesehatan
masyarakat, seperti munculnya berbagai penyakit paskagempa, fasilitas air bersih dan
sanitasi lingkungan yang kurang baik, trauma kejiwaan serta akses terhadap pelayanan
kesehatan reproduksi perempuan dan pasangan. Salah satu dampak bencana terhadap
menurunnya kualitas hidup penduduk dapat dilihat dari berhagai permasalahan kesehatan
masyarakat yang terjadi. Contohnya seperti sanitasi lingkungan, pengungsian yang padat
dan masalah psikologis pasca bencana
Manajemen bencana dilakukan dengan tujuan untuk mengurangi kerugian dan risiko
yang mungkin terjadi dan mempercpat proses pemulihan pasca bencana itu
terjadiManajemen bencana terdiri dari dua tahap yaitu ex-ante dan ex-past . Menjamin
terlaksananya bantuan yang segera dan memadai terhadap korban bencana, 3. Mencapai
pemulihan yang cepat dan efektif. Respon upaya memperkecil kerusakan yang
disebabkan oleh bencana.
Fase-fase sering saling overlap dan lama berlangsungnya setiap fase tergantung pada
kehebatan atau besarnya kerusakan yang disebabkan oleh bencana itu. Dengan
demikian, berkaitan dengan penetuan tindakan di dalam setiap fase itu, kita perlu
memahami karakteristik dari setiap bencana yang mungkin terjadi. Mekanisme internal
atau informal, yaitu unsur-unsur masyarakat di lokasi bencana yang secara umum
melaksanakan fungsi pertama dan utama dalam manajemen bencana dan seringkali
disebut mekanisme manajemen bencana alamiah, ini terdiri dari keluarga, organisasi
sosial informal serta masyarakat lokal. Mekanisme eksternal atau formal,, yaitu organisasi
yang sengaja dibentuk untuk tujuan manajemen bencana, contoh organisasi manajemen
bencana di Indonesia diantaranya seperti BAKORNAS PB, SATKORLAK PB, SATLAK
PB dan BNPB maupun BPBD.

B. Saran
Penanganan bencana yang baik dapat terjadi bila adanya persiapan, dan kerja sama
dari semua pihak oleh karenanya baik untuk pemerintah maupun tenaga kesehatan dan
juga masyarakat sangat diharapkan agar dapat memahami konsep dan manajemen
bencana serta pertolongan-pertolongan pertama yang dapat dialaukan agar dapat
12
meminimalisir korban bencana saat terjadi bencana. Korban bencana juga dihimbau agar
dapat melakukan konssultasi dan pemeriksaan menyeluruh pasca bencana agar
menghindari terjadinya trauma akibat bencana yang sewaktu-waktu bisa saja dapat
menggangu aktivitas dan kesehatan masayarakat.

13
DAFTAR PUSTAKA

Marlon Ririmasse.2014. Bencana Masa Lalu di Kepulauan Maluku : Pengetaguan dan


Pengembangan Bagi Studi Arkeologi. AMERTA, Jurnal Penelitian dan
Pengembangan Arkeologi Vol. 32 No. 2,
Mohammad Ridwan Lessyab) dkk. 2017. Pemetaan Resiko Bencana Tsunami di Wilayah Pesisi
Kecamatan Weda Tengah, Kabupaten Halmahera Tengaj, Maluku Utara. Prosiding
Seminar Nasional KSP2K II
Rizanda Machmud. 2018. Peran Petugas Kesehatan Dalam Penanggulangan Bencana
Alam.ANDALAS Jurnal Of Public Health.Vol 3 No 1
Widayatun & Zainal Fatoni. 2016.Permasalahan Kesehatan Dalam Kondisi Bencana :
Peran Petugas Kesehatan dan Parisipasi Masyarakat. Jurnal Kependudukan
Indonesia Vol. 8 No.1.
Yustina Sopacua & Selvianus Salakay. 2020. Sosialisasi Mitigasi Bencana oleh Badan
Penanggulangan Bencana Daerah Kota Ambon. Communicare : Journal of
Communication Studies Volume 7 No. 1, June 2020, p 1 – 17. Fakultas Ilmu Sosial
dan Ilmu Politik Universitas Pattimura, Ambon, Indonesia

14

Anda mungkin juga menyukai