Anda di halaman 1dari 24

Orde Baru & Reformasi

SEJARAH INDONESIA

KEISHA EMMANUELLA / 15
XII MIPA 1 | SMAN 103 JAKARTA
ORDE BARU DAN REFORMASI

A. ORDE BARU

Orde Baru adalah sebutan bagi masa pemerintahan Presiden Soeharto di Indonesia. Orde Baru


menggantikan Orde Lama yang merujuk kepada era pemerintahan Soekarno. Lahirnya Orde Baru diawali
dengan dikeluarkannya Surat Perintah 11 Maret 1966. Orde Baru berlangsung dari
tahun 1966 hingga 1998. Dalam jangka waktu tersebut, ekonomi Indonesia berkembang pesat meskipun
hal ini terjadi bersamaan dengan praktik korupsi yang merajalela.

I. LATAR BELAKANG ORDE BARU


Meski telah merdeka, Indonesia pada tahun 1950 hingga 1960-an berada dalam kondisi yang
relatif tidak stabil. Bahkan setelah Belanda secara resmi mengakui kemerdekaan Indonesia pada
tahun 1949, keadaan politik maupun ekonomi di Indonesia masih labil karena ketatnya
persaingan di antara kelompok-kelompok politik. Keputusan Soekarno untuk mengganti sistem
parlemen dengan Demokrasi Terpimpin memperparah kondisi ini dengan memperuncing
persaingan antara angkatan bersenjata dengan Partai Komunis Indonesia, yang kala itu berniat
mempersenjatai diri. Sebelum sempat terlaksana, peristiwa Gerakan 30 Septemberterjadi dan
mengakibatkan diberangusnya Partai Komunis Indonesia dari Indonesia. Sejak saat itu,
kekuasaan Soekarno perlahan-lahan mulai melemah.
Kebangkitan Soeharto diawali dengan lahirnya SUPERSEMAR (Surat Perintah 11 Maret) yang
dikeluarkan pada tanggal 11 Maret 1966. Dengan diterbitkannya surat ini kemudian menjadi
dasar legalitas dan kelahiran orde baru yang disebutkan bertujuan untuk meletakkan kembali
tatanan seluruh kehidupan rakyat, bangsa, dan negara pada kemurnian pelaksanaan Pancasila
dan Undang-Undang Dasar 1945. Supersemar tidak dikeluarkan secara begitu saja, terdapat
rangkaian peristiwa yang menjadi faktor dikeluarkannya surat ini. Kelahiran Supersemar terjadi
dalam serangkaian peristiwa pada tanggal 11 Maret 1966. Saat itu, Sidang Kabinet Dwikora yang
disempurnakan yang dipimpin oleh Presiden Soekarno sedang berlangsung. Di tengah-tengah
acara, ajudan presiden melaporkan bahwa di sekitar istana terdapat pasukan yang tidak
dikenal. Untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan, Presiden Soekarno menyerahkan
pimpinan sidang kepada Wakil Perdana Menteri (Waperdam) II Dr. Johannes Leimena dan
berangkat menuju Istana Bogor, didampingi oleh Waperdam I Dr Subandrio, dan Waperdam
III Chaerul Saleh. Leimena sendiri menyusul presiden segera setelah sidang berakhir.
Di tempat lain, tiga orang perwira tinggi, yaitu Mayor Jenderal Basuki Rachmat, Brigadir
Jenderal M. Yusuf, dan Brigadir Jenderal Amir Machmud bertemu dengan Letnan Jenderal
Soeharto selaku Menteri Panglima Angkatan Darat dan Panglima Komando Operasi Pemulihan
Keamanan dan Ketertiban (Pangkopkamtib) untuk meminta izin menghadap presiden. Segera
setelah mendapat izin, pada hari yang sama tiga perwira tinggi ini datang ke Istana Bogor
dengan tujuan melaporkan kondisi di ibu kota Jakarta meyakinkan Presiden Soekarno
bahwa ABRI, khususnya AD, dalam kondisi siap siaga. Namun, mereka juga memohon agar
Presiden Soekarno mengambil tindakan untuk mengatasi keadaan ini. Menanggapi permohonan
ini, Presiden Soekarno mengeluarkan surat perintah yang ditujukan kepada Letnan Jenderal
Soeharto selaku Menteri Panglima Angkatan Darat untuk mengambil tindakan dalam rangka
menjamin keamanan, ketenangan, dan stabilitas pemerintahan demi keutuhan bangsa dan
negara Republik Indonesia. Perumusan surat perintah ini sendiri dibantu oleh tiga perwira tinggi
ABRI, yaitu Mayor Jenderal Basuki Rachmat, Brigadir Jenderal M. Yusuf, Brigadir Jenderal Amir
Machmud, dan Brigadir Jenderal Sabur, Komandan Pasukan Pengawal
Presiden Cakrabirawa. Surat perintah inilah yang kemudian dikenal sebagai Surat Perintah 11
Maret 1966 atau Supersemar. ebagai tindak lanjut keluarnya Surat Perintah Sebelas Maret,
Letnan Jenderal Soeharto mengambil beberapa tindakan. Pada tanggal 12 Maret 1966, ia
mengeluarkan surat keputusan yang berisi pembubaran dan larangan bagi Partai Komunis
Indonesia serta ormas-ormas yang bernaung dan berlindung atau senada dengannya untuk
beraktivitas dan hidup di wilayah Indonesia. Keputusan ini kemudian diperkuat dengan
Keputusan Presiden/Pangti ABRI ABRI/Mandataris MPRS No.1/3/1966 tanggal 12 Maret
1966. Keputusan pembubaran Partai Komunis Indonesia beserta ormas-ormasnya mendapat
sambutan dan dukungan karena merupakan salah satu realisasi dari Tritura.
Pada tanggal 18 Maret 1966, Soeharto mengamankan 15 orang menteri yang dinilai tersangkut
dalam Gerakan 30 Septemberdan diragukan etika baiknya yang dituangkan dalam Keputusan
Presiden No. 5 Tanggal 18 Maret 1966. Ia kemudian memperbaharui Kabinet Dwikora yang
disempurnakan dan membersihkan lembaga legislatif, termasuk MPRS dan DPRGR, dari orang-
orang yang dianggap terlibat Gerakan 30 September. Keanggotaan Partai Komunis
Indonesia dalam MPRS dinyatakan gugur. Peran dan kedudukan MPRS juga dikembalikan sesuai
dengan UUD 1945, yakni di atas presiden, bukan sebaliknya. Di DPRGR sendiri, secara total ada
62 orang anggota yang diberhentikan. Soeharto juga memisahkan jabatan pimpian DPRGR
dengan jabatan eksekutif sehingga pimpinan DPRGR tidak lagi diberi kedudukan sebagai
menteri.
Pada tanggal 20 Juni hinga 5 Juli 1955 diadakan siding umum IV MPRS yang menghasilkan
beberapa ketetapan MPRS salah satunya yaitu tentang pengesahan dan pengukuhan
supersemar. Hasil dari Sidang Umum IV MPRS ini menjadi landasan awal tegaknya Orde Baru dan
dinilai berhasil memenuhi dua dari tiga tuntutan rakyat (tritura), yaitu pembubaran Partai Komunis
Indonesia dan pembersihan kabinet dari unsur-unsur Partai Komunis Indonesia.
Selain dibubarkan dan dibersihkan, kader-kader Partai Komunis Indonesia juga dibantai
khususnya di wilayah pedesaan-pedesaan di pulau Jawa. Pembantaian ini tidak hanya dilakukan
oleh angkatan bersenjata, namun juga oleh rakyat biasa yang dipersenjatai. Selain kader, ribuan
pegawai negeri, ilmuwan, dan seniman yang dianggap terlibat juga ditangkap dan
dikelompokkan berdasarkan tingkat keterlibatannya dengan Partai Komunis Indonesia. Sebagian
diasingkan ke Pulau Buru, sebuah pulau kecil di wilayah Maluku. Pada tanggal 30 September
setiap tahunnya, pemerintah menayangkan film yang menggambarkan Partai Komunis Indonesia
sebagai organisasi yang keji.
Dalam rangka memenuhi tuntutan ketiga Tritura, Soeharto dengan dukungan Ketetapan MPRS
No. XIII/MPRS/1966 membentuk kabinet baru yang diberi nama Kabinet Ampera. Tugas utama
Kabinet Ampera adalah menciptakan stabilitas ekonomi dan stabilitas politik, atau dikenal
dengan nama Dwidarma Kabinet Ampera. Program kerja yang dicanangkan Kabinet Ampera
disebut Caturkarya Kabinet Ampera, yaitu:

1. memperbaiki perikehidupan rakyat terutama di bidang sandang dan pangan;


2. melaksanakan pemilihan umum dalam batas waktu seperti tercantum dalam Ketetapan
MPRS No. XI/MPRS/1966 (5 Juli 1968);
3. melaksanakan politik luar negeri yang bebas dan aktif untuk kepentingan nasional sesuai
dengan Ketetapan MPRS No. XI/MPRS/1966;
4. melanjutkan perjuangan antiimperialisme dan antikolonialisme dalam segala bentuk dan
manifestasinya.

Kabinet Ampera dipimpin oleh Presiden Soekarno, namun pelaksanaannya dilakukan oleh
Presidium Kabinet yang dipimpin oleh Jenderal Soeharto. Akibatnya, muncul dualisme
kepemimpinan yang menjadi kondisi kurang menguntungkan bagi stabilitas politik saat itu.
Soekarno kala itu masih memiliki pengaruh politik, namun kekuatannya perlahan-lahan
dilemahkan. Kalangan militer, khususnya yang mendapatkan pendidikan di negara Barat,
keberatan dengan kebijakan pemerintah Soekarno yang dekat dengan Partai Komunis
Indonesia. Mengalirnya bantuan dana dari Uni Soviet dan Tiongkok pun semakin menambah
kekhawatiran bahwa Indonesia bergerak menjadi negara komunis. Akhirnya pada 22 Februari
1967, untuk mengatasi situasi konflik yang semakin memuncak kala itu, Presiden Soekarno
menyerahkan kekuasaan kepada Jenderal Soeharto. Penyerahan ini tertuang dalam
Pengumuman Presiden Mandataris MPRS, Panglima Tertinggi ABRI Tanggal 20 Februari
1967. Pengumuman itu didasarkan atas Ketetapan MPRS No. XV/MPRS/1966 yang
menyatakan apabila presiden berhalangan, pemegang Surat Perintah 11 Maret 1966 berfungsi
sebagai pemegang jabatan presiden. Pada 4 Maret 1967, Jenderal Soeharto memberikan
keterangan pemerintah di hadapan sidang DPRHR mengenai terjadinya penyerahan
kekuasaan. Namun, pemerintah tetap berpendirian bahwa sidang MPRS perlu dilaksanakan
agar penyerahan kekuasaan tetap konstitusional. Karena itu, diadakanlah Sidang Istimewa
MPRS pada tanggal 7-12 Maret 1967 di Jakarta, yang akhirnya secara resmi mengangkat
Soeharto sebagai presiden Republik Indonesia hingga terpilihnya presiden oleh MPR hasil
pemilihan umum.

II. MASA PEMERINTAHAN ORDE BARU

a) Kebijakan Ekonomi
- REPELITA (Rencana Umum Pembangunan Lima Tahun)
Di awal kekuasaannya, Pemerintah Orde Baru mewarisi kemerosotan ekonomi yang
ditinggalkan oleh pemerintahan sebelumnya. Kemerosotan ekonomi ini ditandai oleh
rendahnya pendapatan perkapita penduduk Indonesia yang hanya mencapai 70 dollar AS,
tingginya inflasi yang mencapai 65%, serta hancurnya sarana-sarana ekonomi akibat konflik
yang terjadi di akhir pemerintahan Soekarno.
Untuk mengatasi kemerosotan ini, pemerintah Orde Baru membuat program jangka pendek
berdasarkan Tap. MPRS No. XXII/MPRS/1966 yang diarahkan kepada pengendalian inflasi
dan usaha rehabilitasi sarana ekonomi, peningkatan kegiatan ekonomi, dan pencukupan
kebutuhan sandang. Program jangka pendek ini diambil dengan pertimbangan apabila inflasi
dapat dikendalikan dan stabilitas tercapai, kegiatan ekonomi akan pulih dan produksi akan
meningkat. Mulai pada 1 April 1969, pemerintah menciptakan landasan untuk
pembangunan yang disebut sebagai Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita). Repelita
pertama yang mulai dilaksanakan tahun 1969 tersebut fokus pada rehabilitasi prasarana
penting dan pengembangan iklim usaha dan investasi. Pembangunan sektor pertanian diberi
prioritas untuk memenuhi kebutuhan pangan sebelum membangun sektor-sektor
lain. Pembangunan antara lain dilaksanakan dengan membangun prasana pertanian
seperti irigasi, perhubungan, teknologi pertanian, kebutuhan pembiayaan, dan kredit
perbankan. Petani juga dibantu melalui penyediaan sarana penunjang utama
seperti pupuk hingga pemasaran hasil produksi.
Repelita I membawa pertumbuhan ekonomi naik dari rata-rata 3% menjadi 6,7% per tahun,
pendapatan perkapita meningkat dari 80 dolar AS menjadi 170 dolar AS, dan inflasi dapat
ditekan menjadi 47,8% pada akhir Repelita I pada tahun 1974. Repelita II (1974-1979) dan
Repelita III (1979-1984) fokus pada pencapaian pertumbuhan ekonomi, stabilitas nasional,
dan pemerataan pembangunan dengan penekanan pada sektor pertanian dan industri yang
mengolah bahan mentah menjadi bahan baku. Pada tahun 1984, Indonesia berhasil
mencapai status swasembada beras dari yang tadinya merupakan salah satu negara
pengimpor beras terbesar di dunia pada tahun 1970-an. Fokus Repelita IV (1984-1989) dan
Repelita V (1989-1994), selain berusaha mempertahankan kemajuan di sektor pertanian,
juga mulai bergerak menitikberatkan pada sektor industri khususnya industri yang
menghasilkan barang ekspor, industri yang menyerap tenaga kerja, industri pengolahan
hasil pertanian, dan industri yang dapat menghasilkan mesin-mesin industri.
- SWASEMBADA BERAS
Sejak awal berkuasa, pemerintah Orde Baru menitikberatkan fokusnya pada pengembangan
sektor pertanian karena menganggap ketahanan pangan adalah prasyarat utama kestabilan
ekonomi dan politik. Sektor ini berkembang pesat setelah pemerintah membangun berbagai
prasarana pertanian seperti irigasi dan perhubungan, teknologi pertanian, hingga
penyuluhan bisnis. Pemerintah juga memberikan kepastian pemasaran hasil produksi
melalui lembaga yang diberi nama Bulog (Badan Urusan Logistik).
Mulai tahun 1968 hingga 1992, produksi hasil-hasil pertanian meningkat tajam. Pada tahun
1962, misalnya, produksi padi hanya mencapai 17.156 ribu ton. Jumlah ini berhasil
ditingkatkan tiga kali lipat menjadi 47.293 ribu ton pada tahun 1992, yang berarti produksi
beras per jiwa meningkat dari 95,9 kg menjadi 154,0 kg per jiwa. Prestasi ini merupakan
sebuah prestasi besar mengingat Indonesia pernah menjadi salah satu negara pengimpor
beras terbesar di dunia pada tahun 1970-an.
- PEMERATAAN KESEJAHTERAAN PENDUDUK
Pemerintah juga berusaha mengiringi pertumbuhan ekonomi dengan pemerataan
kesejahteraan penduduk melalui program-program penyediaan kebutuhan pangan,
peningkatan gizi, pemerataan pelayanan kesehatan, keluarga berencana, pendidikan dasar,
penyediaan air bersih, dan pembangunan perumahan sederhana. Strategi ini dilaksanakan
secara konsekuen di setiap pelita. Berkat usaha ini, penduduk Indonesia berkurang dari
angka 60% pada tahun 1970-an ke angka 15% pada tahun 1990-an. Pendapatan perkapita
masyarakat juga naik dari yang hanya 70 dolar per tahun pada tahun 1969, meningkat
menjadi 600 dolar per tahun pada tahun 1993. Pemerataan ekonomi juga diiringi dengan
adanya peningkatan usia harapan hidup, dari yang tadinya 50 tahun pada tahun 1970-an
menjadi 61 tahun di 1992. Dalam kurun waktu yang sama, angka kematian bayi juga
menurun dari 142 untuk setiap 1.000 kelahiran hidup menjadi 63 untuk setiap 1.000
kelahiran hidup. Jumlah penduduk juga berhasil dikendalikan melalui program Keluarga
Berencana (KB). Selama dasawarsa 1970-an, laju pertumbuhan penduduk mencapai 2,3%
per tahun. Pada awal tahun 1990-an, angka tersebut dapat diturunkan menjadi 2,0% per
tahun.

b) Politik

Dalam rangka menjamin keamanan, ketenangan, serta stabilitas pemerintahan, Soeharto


sebagai pengemban Supersemar telah mengeluarkan kebijakan:

 Membubarkan Partai Komunis Indonesia pada tanggal 12 Maret 1966 yang diperkuat dengan


Ketetapan MPRS No IX/MPRS/1966
 Menyatakan Partai Komunis Indonesia sebagai organisasi terlarang di Indonesia
 Pada tanggal 8 Maret 1966 mengamankan 15 orang menteri yang dianggap terlibat  Gerakan
30 September 1965.

Pada tahun 1973 setelah dilaksanakan pemilihan umum yang pertama pada masa Orde Baru
pemerintahan pemerintah melakukan penyederhanaan dan penggabungan (fusi) partai- partai
politik menjadi tiga kekuatan sosial politik. Penggabungan partai-partai politik tersebut tidak
didasarkan pada kesamaan ideologi, tetapi lebih atas persamaan program. Tiga kekuatan sosial
politik itu adalah:

 Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang merupakan gabungan dari NU, Parmusi, PSII, dan
PERTI
 Partai Demokrasi Indonesia (PDI) yang merupakan gabungan dari PNI, Partai Katolik, Partai
Murba, IPKI, dan Parkindo
 Golongan Karya

Penyederhanaan partai-partai politik ini dilakukan pemerintah Orde Baru dalam


upayamenciptakan stabilitas kehidupan berbangsa dan bernegara. Pengalaman sejarah pada
masa pemerintahan sebelumnya telah memberikan pelajaran, bahwa perpecahan yang terjadi
dimasa Orde Lama, karena adanya perbedaan ideologi politik dan ketidakseragaman persepsi
serta pemahaman Pancasila sebagai sumber hukum tertinggi di Indonesia.

Selama masa Orde Baru pemerintah berhasil melaksanakan enam kali pemilihan umum, yaitu
tahun 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997. Dalam setiap Pemilu yang diselenggarakan
selama masa pemerintahan Orde Baru, Golkar selalu memenangkan Pemilu.

Pada Pemilu 1997 yang merupakan pemilu terakhir masa pemerintahan Orde Baru, Golkar
memperoleh 74,51% dengan perolehan 325 kursi di DPR. Ini merupakan perolehan suara
terbanyak Golkar dalam pemilu. Adapun PPP memperoleh 89 kursi dan PDI mengalami
kemorosotan perolehan suara dengan hanya mendapat 11 kursi di DPR.

Kemorosotan perolehan suara PDIP disebabkan adanya konflik intern di tubuh partai berkepala
banteng tersebut. PDI akhirnya pecah menjadi PDI Suryadi dan PDI Megawati Soekarno Putri
yang sekarang menjadi PDIP. Penyelenggaraan Pemilu yang teratur selama masa pemerintahan
Orde Baru telah menimbulkan kesan bahwa demokrasi di Indonesia telah berjalan dengan
baik. Apalagi Pemilu berlangsung dengan asas LUBER (langsung, umum, bebas, dan rahasia).
Namun dalam kenyataannya, Pemilu diarahkan untuk kemenangan salah satu kontestan Pemilu
saja yaitu Golkar. Kemenangan Golkar yang selalu mencolok sejak Pemilu 1971 sampai dengan
Pemilu 1997 menguntungkan pemerintah yang perimbangan suara di MPR dan DPR didominasi
oleh Golkar. Keadaan ini telah memungkinkan Soeharto menjadi Presiden Republik Indonesia
selama enam periode, karena pada masa Orde Baru presiden dipilih oleh anggota MPR. Selain
itu setiap pertanggungjawaban, rancangan Undang-undang, dan usulan lainnya dari pemerintah
selalu mendapat persetujuan MPR dan DPR tanpa catatan.

Menurut Connie Rahakundini Bakrie, Orde Baru menempatkan militer sebagai pemain sentral
dalam perpolitikan melalui doktrin Dwi Fungsi ABRI. Selain menjadi angkatan bersenjata, ABRI
juga memegang fungsi politik, menjadikannya organisasi politik terbesar di negara. Timbulnya
pemberian peran ganda pada ABRI karena adanya pemikiran bahwa TNI adalah tentara pejuang
dan pejuang tentara. Kedudukan TNI dan POLRI dalam pemerintahan adalah sama. di MPR dan
DPR mereka mendapat jatah kursi dengan cara pengangkatan tanpa melalui Pemilu.

Dasar hukum pelaksanaan Dwifungsi ABRI di antaranya yakni Ketetapan MPR, yaitu sejak TAP
MPR(S) No. II Tahun 1969 hingga TAP MPR No. IV Tahun 1978. Selain itu, dasar hukumnya yakni
Undang-Undang (UU) No. 15 dan 16 tahun 1969 yang diperbarui menjadi UU No. 4 dan 5 tahun
1975. Pengukuhan peran ABRI sebagai kekuatan sosial politik ditegaskan  dalam UU No. 20
Tahun 1982. Dalam penjelasan pasalnya disebutkan bahwa prajurit ABRI dalam bidang sosial
politik bertindak selaku dinamisator dan stabilisator. Peran dinamisator sebenarnya telah
diperankan ABRI sejak zaman Perang Kemerdekaan. Waktu itu Jenderal Soedirman telah
melakukannya dengan meneruskan perjuangan, walaupun pemimpin pemerintahan telah
ditahan Belanda. Demikian juga halnya yang dilakukan Soeharto ketika menyelamatkan bangsa
dari perpecahan setelah Gerakan 30 September, yang melahirkankan Orde Baru.

Sistem ini memancing kontroversi di tubuh ABRI sendiri. Banyak perwira, khususnya mereka
yang berusia muda, menganggap bahwa sistem ini mengurangi profesionalitas ABRI. Masuknya
pendidikan sosial dan politik dalam akademi militer mengakibatkan waktu mempelajari strategi
militer berkurang.

Secara kekuatan, ABRI juga menjadi lemah dibandingkan negara Asia Tenggara lainnya. Saat itu,
hanya ada 533.000 prajurit ABRI, termasuk Polisi yang kala itu masih menjadi bagian dari
ABRI. Angka ini, yang hanya mencakup 0,15 persen dari total populasi, sangat kecil dibanding
Singapura (2,06%), Thailand (0,46%), dan Malaysia (0,68%). Pendanaan yang didapatkan ABRI
pun tak kalah kecil, hanya sekitar 1,96% dari total PDB, sementara angkatan bersenjata
Singapura mendapatkan 5,48% dan Thailand 3,26%. Selain itu, peralatan dan perlengkapan yang
dimiliki juga sedikit; ABRI hanya memiliki 100 tank besar dan 160 tank ringan.

Menurut Connie Rahakundini Bakrie, Orde Baru menempatkan militer sebagai pemain sentral
dalam perpolitikan melalui doktrin Dwi Fungsi ABRI. Selain menjadi angkatan bersenjata, ABRI
juga memegang fungsi politik, menjadikannya organisasi politik terbesar di negara. Timbulnya
pemberian peran ganda pada ABRI karena adanya pemikiran bahwa TNI adalah tentara pejuang
dan pejuang tentara. Kedudukan TNI dan POLRI dalam pemerintahan adalah sama. di MPR dan
DPR mereka mendapat jatah kursi dengan cara pengangkatan tanpa melalui Pemilu.

Dasar hukum pelaksanaan Dwifungsi ABRI di antaranya yakni Ketetapan MPR, yaitu sejak TAP
MPR(S) No. II Tahun 1969 hingga TAP MPR No. IV Tahun 1978. Selain itu, dasar hukumnya yakni
Undang-Undang (UU) No. 15 dan 16 tahun 1969 yang diperbarui menjadi UU No. 4 dan 5 tahun
1975. Pengukuhan peran ABRI sebagai kekuatan sosial politik ditegaskan  dalam UU No. 20
Tahun 1982. Dalam penjelasan pasalnya disebutkan bahwa prajurit ABRI dalam bidang sosial
politik bertindak selaku dinamisator dan stabilisator. Peran dinamisator sebenarnya telah
diperankan ABRI sejak zaman Perang Kemerdekaan. Waktu itu Jenderal Soedirman telah
melakukannya dengan meneruskan perjuangan, walaupun pemimpin pemerintahan telah
ditahan Belanda. Demikian juga halnya yang dilakukan Soeharto ketika menyelamatkan bangsa
dari perpecahan setelah Gerakan 30 September, yang melahirkankan Orde Baru.

Sistem ini memancing kontroversi di tubuh ABRI sendiri. Banyak perwira, khususnya mereka
yang berusia muda, menganggap bahwa sistem ini mengurangi profesionalitas ABRI. Masuknya
pendidikan sosial dan politik dalam akademi militer mengakibatkan waktu mempelajari strategi
militer berkurang.

Secara kekuatan, ABRI juga menjadi lemah dibandingkan negara Asia Tenggara lainnya. Saat itu,
hanya ada 533.000 prajurit ABRI, termasuk Polisi yang kala itu masih menjadi bagian dari
ABRI. Angka ini, yang hanya mencakup 0,15 persen dari total populasi, sangat kecil dibanding
Singapura (2,06%), Thailand (0,46%), dan Malaysia (0,68%). Pendanaan yang didapatkan ABRI
pun tak kalah kecil, hanya sekitar 1,96% dari total PDB, sementara angkatan bersenjata
Singapura mendapatkan 5,48% dan Thailand 3,26%. Selain itu, peralatan dan perlengkapan yang
dimiliki juga sedikit; ABRI hanya memiliki 100 tank besar dan 160 tank ringan.

Pada masa Orde Baru politik luar negeri Indonesia yang bebas aktif kembali dipulihkan. MPR
mengeluarkan sejumlah ketetapan yang menjadi landasan politik luar negeri Indonesia.
Pelaksanaan politik luar negeri Indonesia harus didasarkan pada kepentingan nasional, seperti
pembangunan nasional, kemakmuran rakyat, kebenaran, serta keadilan.

Serta banyak peristiwa politik penting lainnya yang terjadi pada masa orde baru, seperti
kembalinya Indonesia menjadi anggota PBB pada tanggal 28 September 1966 dan beberapa
normalisasi hubungan dengan negara lain; pemulihan hubungan dengan Singapura, Malaysia,
dan RRT (Republik Rakyat Tiongkok)

Namun, dibalik kesuksesan atau kejayaan masa orde baru tetap saja terdapat kekurangan-kekurangan
pada masa pemerintahannya. Adapun kelemahan masa pemerintahan orde baru adalah sebagai berikut:

1. Semaraknya korupsi, kolusi, nepotisme


2. Pembangunan Indonesia yang tidak merata dan timbulnya kesenjangan pembangunan antara
pusat dan daerah, sebagian disebabkan karena kekayaan daerah sebagian besar disedot ke
pusat
3. Munculnya rasa ketidakpuasan di sejumlah daerah karena kesenjangan pembangunan, terutama
di Aceh dan Papua
4. Kecemburuan antara penduduk setempat dengan para transmigran yang memperoleh
tunjangan pemerintah yang cukup besar pada tahun-tahun pertamanya
5. Bertambahnya kesenjangan sosial (perbedaan pendapatan yang tidak merata bagi si kaya dan si
miskin)
6. Pelanggaran HAM kepada masyarakat non pribumi (terutama masyarakat Tionghoa)
7. Kritik dibungkam dan oposisi diharamkan
8. Kebebasan pers sangat terbatas, diwarnai oleh banyak koran dan majalah yang dibredel
9. Penggunaan kekerasan untuk menciptakan keamanan, antara lain dengan program
"Penembakan Misterius" (atau disingkat sebagai "petrus")
10. Tidak ada rencana suksesi (penurunan kekuasaan ke pemerintah/presiden selanjutnya)
11. Menurunnya kualitas birokrasi Indonesia yang terjangkit penyakit Asal Bapak Senang, hal ini
kesalahan paling fatal Orde Baru karena tanpa birokrasi yang efektif negara pasti hancur.
12. Menurunnya kualitas tentara karena level elit terlalu sibuk berpolitik sehingga kurang
memperhatikan kesejahteraan anak buah.
13. Pelaku ekonomi yang dominan adalah lebih dari 70% aset kekayaaan negara dipegang oleh
swasta.

Pada pertengahan 1997, Indonesia diserang krisis keuangan dan ekonomi Asia
disertai kemarau terburuk dalam 50 tahun terakhir dan harga minyak, gas dan komoditas ekspor lainnya
yang semakin jatuh. Rupiah jatuh, inflasi meningkat tajam, dan perpindahan modal dipercepat. Hal ini
yang kemudian menjadi salah satu pemicu lahirnya reformasi.

B. REFORMASI
Era Reformasi atau Pasca Soeharto dimulai pada pertengahan 1998, tepatnya
saat Presiden Soeharto mengundurkan diri pada 21 Mei 1998 dan digantikan wakil presiden BJ Habibie.
Reformasi tersebut tidak terjadi begitu saja, namun terdapat beberapa syarat untuk terjadinya sebuah
reformasi. Dibawah ini merupakan beberapa syarat terjadinya sebuah reformasi:
 Terdapat penyimpangan-penyimpangan yang terjadi didalam penyelenggaraan pada suatu negara
atau dalam masyarakat.
 Adanya sebuah harapan dan juga cita-cita positif yang ingin dicapai oleh masyarakat pada masa
depan.
 Adanya moral serta etika didalam mencapai cita-cita yang ingin dicapai.
I. LATAR BELAKANG REFORMASI

Gerakan reformasi terjadi atas tuntutan rakyat kepada pemerintah. Secara umum latar
belakang munculnya reformasi karena penyelewengan dan perlakuan tidak adil pada era
Orde Baru. Masalah utama yang dapat menyebabkan atau mendorong adanya munculnya
reformasi ialah kesulitan yang dihadapi dengan kalangan masyarakat dalam memenuhi
kebutuhan dasar. Harga untuk sembilan bahan pokok seperti beras, tepung, minyak goreng,
minyak tanah, ikan kering, susu, gula, telur, dan garam naik tajam. Bahkan, warga perlu
menyewa untuk membeli makanan. Sementara itu, dalam sebuah situasi di bidang politik dan
kondisi ekonomi di wilayah Indonesia yakni semakin tak menentu dan di luar kendali.
Harapan dalam kalangan masyarakat sebagai perbaikan politik dan dengan ekonomi semakin
jauh dari kenyataan. 
Situasi ini dapat membuat rakyat Indonesia yakni semakin kritis dan curiga dengan
pemerintah Orde Baru. Pemerintah Orde Baru tidak mampu, atas dasar Pancasila dan
konstitusi 1945, untuk menciptakan kehidupan yang adil bersama dalam makmur dan
kemakmuran dalam sebuah keadilan, dan oleh karena itu adanya sebuah tujuan dalam
lahirnya reformasi ialah sebuah tatanan dalam kehidupan yang bangsa, masyarakat, dan
negara untuk meningkatkan. Kesulitan pada kalangan masyarakat dalam memenuhi
kebutuhan dasar merupakan faktor atau alasan penting bagi kemunculan sebuah gerakan
reformasi.
Pemerintahan dalam Orde Baru, yang dipimpin dengan Presiden Suharto selama 32 tahun,
terbukti tidak konsisten dan konsisten dalam melaksanakan sebuah cita-cita dalam Orde
Baru. Pada awal berdirinya pada tahun 1966, Orde Baru yakni dapat bertekad sebagai
mengatur dalam sebuah kehidupan nasional, sosial, dan negara berdasarkan UUD 1945 dan
Pancasila.
Namun dalam implementasinya, pemerintah dengan Orde Baru telah melakukan begitu
banyak penyimpangan dari nilai-nilai Pancasila dan ketentuan-ketentuan UUD 1945, yang
sangat merugikan kaum muda. Padahal, dalam sebuah UUD 1945 dan Pancasila hanya
digunakan legitimasi sebagai mempertahankan sebuah kekuasaan.  Reformasi terjadi karena
adanya krisis moneter yang terjadi di Asia yang menyebar dari Thailand, Malaysia, Korea
Selatan dan kemudian di Indonesia tahun 1997. Adanya krisis ini membuat pihak atasan
pemerintahan semakin merajalela dengan adanya KKN dan kemiskinan rakyat semakin
meningkat serta kesenjangan sosial semakin terlihat. 
Kekecewaan tersebut kemudian mendorong Gerakan reformasi. Dalam jurnal Berakhirnya
Pemerintahan Presiden Soeharto Tahun 1998 (2014) karya Lilik Eka Aprilia dkk, terdapat
beberapa faktor yang menjadi penyebab munculnya Gerakan reformasi, yaitu sebagai
berikut:
 Partai Golongan Karya mendominasi bidang politik
Pemilu dilakukan untuk menyalurkan aspirasi rakyat dan untuk menegakkan
demokrasi. Di Era Orde Baru telah terjadi enam kali pemilihan umum, yaitu tahun 1971,
1977, 1982, 1992, dan 1997. Di mana setiap pelakaanaan Pemilu, partai Golongan
Karya selalu mendominasi pemenangan. Hal tesebut karena semua elemen
pemerintahan (pegawai negeri) diharuskan memilih Golkar (Golongan Karya).
 Hasil pembangunan tidak merata
Pemerintahan Orde Baru selalu memfokuskan pembangunan di Pulau Jawa. Sementara
daerah lainnya kurang diperhatikan. Pembangunan tersebut hanya dinikmati oleh
sebagian kecil dari maayarakat. Beberapa daerah luar jawa tetap miskin walaupun
menyumbang devisa lebih besar untuk negara. Misalnya, Kalimantan Timur, Riau, dan
Papua memberikan sumbangsih yang cukup besar bagi negara baik melalui hasil bumi
maupun pariwisata.
 Munculnya krisis ekonomi
Krisis ekonomi di Indonesia terjadi pada 1997 yang cukup besar dan dipicu dari krisis
keuangan. Hal tersebut dimulai ketika nilai tukar bath (mata uang Thailand) terhadap
dolar Amerika.
Penurunan nilai kurs menyebabkan nilai utang luar negeri Indonesia yang sebelumnya
sudah jatuh tempo menjadi membengkak. Jatuhnya nilai kurs baht selanjutnya menular
di seluruh kawasan Asia Tenggara, termasuk Indonesia.
 Retaknya Kekuasaan Orde Baru
Era Orde Baru menerapkan sistem sentralistik dan militeristik.
Hal ini dilakukan untuk menjaga status quo pemerintah. Sehingga seluruh unsur
masyarakat dan bangsa sangat tergantung kepada negara. Akibat penerapan sistem
tersebut, kemampuan unsur masyarakat dan bangsa diabaikan. Sehingga terjadi
perilaku yang tidak wajar di bidang politik, ekonomi, sosial, dan budaya di masyarakat
dan negara. Pola parternalistik juga menumbuhkan korupsi, kolusi, dan nepotisme
(KKN).
Sementara hubungan bertumpu pada presiden dan menimbulkan penilaian bahwa
presiden merupakan cerminan dari sistem itu sendiri. Sehingga jika figur tunggal
kekuasaan jatuh, maka sistem atau rezim tersebut juga jatuh. Terbukti dengan
lengsernya Soeharto akibat pergolakan masyarakat yang tidak terkendali.
 Gerakan antikemapanan
Anti-kemapanan adalah pandangan atau kepercayaan yang mengambil posisi
bersebrangan dengan prinsip-prinsip social, politik, dan ekonomi yang konvensional
dalam masyarakat. Gerakan antikemapanan muncul dari unsur yang terpinggirkan oleh
rezim Soeharto. Misalnya orde lama, lawan politik, dan kalangan muda yang memiliki
paham sosialisme-marxisme. Sehingga memunculkan berbagai dorongan dari keinginan
rakyat.

II. KRONOLOGI REFORMASI


- 1 Mei 1998 : KRISIS MONETER, H-20
Memasuki pertengahan 1997 krisis moneter (krismon) melanda Indonesia. Nilai rupiah
anjlok terhadap dolar Amerika, yang berfluktuasi Rp12.000-Rp18.000 dari Rp2.200 pada
awal tahun. Di tengah situasi ini, tim ekonomi Soeharto justru menaikkan tarif listrik dan
bahan bakar minyak. Ekonomi rakyat semakin terpuruk. Soeharto menyiasati situasi
rawan pangan dengan kampanye makan tiwul, yang disampaikannya melalui televisi.
Namun Soeharto tetap penuh percaya diri, dan melakukan perjalanan ke luar negeri. Ia
terbang ke Jerman untuk berobat.
- 2 Mei 1998 : KEMISKINAN TERSEMBUNYI, H-19
Sidang Umum MPR 98 memberi gelar Bapak Pembangunan kepada Presiden Soeharto.
Gelar ini diberikan karena Soeharto dianggap berhasil dalam pembangunan ekonomi.
Selama 30 tahun kekuasaannya, pendapatan perkapita meningkat dari US$80 di tahun
1967 menjadi US$990 di tahun 1997. Ekspor meningkat dari US$ 665juta menjadi US$52
miliar. Namun di balik angka-angka itu tersimpan angka kemiskinan yang besar
jumlahnya. Bappenas pernah menyatakan bahwa jumlah penduduk miskin di tahun
1993 berjumlah 27 juta jiwa. Namun tolok ukur kemiskinan adalah setiap orang yang
berpenghasilan Rp20.000/bulan. Bila batas kemiskinan tersebut menggunakan ukuran
kebutuhan fisik minimum dari Depnaker tahun 1993 yaitu Rp80.000/bulan,maka sekitar
180 juta jiwa atau hampir 90% rakyat hidup dalam garis kemiskinan.
- 3 Mei 1998 : GERAKAN MAHASISWA’98 , H-18
Gerakan Mahasiswa terbukti menjadi gerakan yang paling konsisten melawan Orde
Baru. Represi dan pemenjaraan tidak menghentikan perlawanan.
Sejak 1971 hingga 1988 mereka tak henti-henti melakukan aksi-aksi penggulingan
Soeharto. Tahun 1971 mereka menyerukan golput, untuk tidak memilih dalam pemilu
yang mereka anggap sekadar memenangkan Golkar, partai Soeharto. Tahun 1974
mereka kembali bergerak untuk menolak dominasi modal asing dan kepemimpinan
Soeharto. Tahun 1978 mereka menuntut sidang istimewa MPR untuk meminta
pertanggungjawaban Soeharto atas penyelewengan UUD 45 dan Pancasila. Akhir
1980an mahasiswa kembali bergerak untuk menunjukkan solidaritas kepada kaum tani
yang tergusur: Kedung Ombo, Badega, Cimacan, Cilacap dll.
Awal 1990an radikalisme mahasiswa mulai diarahkan pada struktur politik Orde Baru. Di
Jakarta FAMI melakukan aksi di DPR menuntut Sidang Istimewa. Tahun 1994 dibentuk
sejumlah gerakan mahasiswa. antara lain SMID, Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk
Demokrasi.
- 4 Mei 1998 : TAPOS, H-17
Peternakan Tapos mulai dibangun tahun 1974 dengan merebut 750 hektar tanah petani.
Di kawasan ini lalu dibangun berbagai proyek pertanian dan peternakan, yang sering
menjadi tempat pertemuan informal Soeharto dengan para kroninya. Karena pasokan
pangan hewan butuh tanah yang lebih luas, para petani dilarang menggarap kebun dan
dipaksa menanam rumput gajah. Haji Dodo petani Tapos yang melawan dan tetap
menanami kebonnya harus berurusan dengan aparat yang memenggal pergelangan
tangannya. "Sampai sepuluh tahun saya merasa tangan saya masih ada, sering gatal
pada bagian yang buntung," katanya.
- 6 Mei 1998 : PENCULIKAN AKTIVIS 1997-1998, H-15
Penculikan aktivis 1997/1998 adalah proses penghilalangan secara paksa atau
penculikan terhadap aktivis pro-demokrasi yang terjadi menjelang pemilu 1997 dan SU
MPR 1998. Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan KONTRAS mencatat 23
orang telah dihilangkan oleh alat negara selama periode 1997-1998. Dari angka itu satu
orang dinyatakan mati, sembilan orang dilepaskan dan 13 lainnya masih hilang hingga
hari ini.
- 7 Mei 1998 : TIM MAWAR, H-14
Masih soal penculikan akitivis. Siapa yang melakukan dan harus bertanggung jawab?
Temuan tiga lembaga di bawah negara, DKP, TGPF dan Tim Ad Hoc Komnas HAM
memberikan rekomendasi supaya Prabowo dan semua pihak yang terlibat penculikan
diadili di Pengadilan Militer. Dalam kenyataan yang diadili hanya Tim Mawar, tapi
mereka hanya 11 orang pelaku, bukan pengambil keputusan. Walaupun Prabowo
diberhentikan atas rekomendasi Dewan Kehormatan Perwira sebelas tahun sebelum
masa pensiun, namun ia tak pernah diadili. Pius Lustrilanang seorang korban
menceritakan penyekapan dan penculikan yang dialaminya selama dua bulan oleh Tim
Mawar. Testimoni di Komnas HAM ini menyentak kesadaran kita akan bobroknya
pemerintah saat itu dan memicu tuntutan akan perubahan. Pius kemudian dilarikan ke
Belanda dan baru bisa pulang ke Indonesia setelah Reformasi. Pada hari kepulangannya
Pius disambut oleh teman-teman aktivis dengan membawa poster sosok yang dianggap
bertanggung jawab atas operasi Tim Mawar.
- 8 Mei 1998 : PARTAI RAKYAT DEMOKRATIK, H-13
Partai Rakyat Demokratik PRD dideklarasikan pada 22 Juli 1996, dengan ketua Budiman
Sudjatmiko. Banyak dari anggotanya adalah intelektual muda dan aktivis, khususnya
mahasiswa. Lima hari kemudian, pada 27 Juli 1996 dalam peristiwa yang dikenal sebagai
Kudatuli, PRD dituduh mendalangi kerusuhan yang berujung pada perebutan kantor PDI.
Bahkan PRD kemudian dinyatakan terlarang oleh pemerintah orde-baru dan banyak
anggotanya yang hilang, diburu dan dipenjarakan.
Mulanya Persatuan Rakyat Demokratik adalah organisasi payung dari ormas massa lintas
sektoral:
1) Buruh (FNPBI) tokohnya: Dita indah Sari (dipenjarakan), Suyat dan Bimo Petrus
(diculik tak kembali)
2) Jaringan Kerja Kebudayaan Rakyat (JAKKER) tokohnya: Wiji Thukul (diculik tak
kembali) Raharja Waluya Jati (diculik).
3) Serikat Tani (STN) tokohnya: Herman Hendrawan (diculik tak kembali)
4) Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (SMID) tokohnya, Garda Sembiring
(penjara), Andi Arief (diculik), Nezar Patria (diculik).
Organisasi payung ini kemudian bertransformasi dari organisasi massa menjadi PRD.
Pada Pemilu pertama pasca-reformasi, PRD yang sebelumnya dinyatakan terlarang oleh
Orde Baru, diakui dan turut serta dalam pemilu 1999. Tapi karena Budiman Sudjatmiko
masih di Rutan Cipinang , konsolidasi dilakukan dari dalam penjara.
- 9 Mei 1998 : FORKOT, H-12
Salah satu elemen mahasiswa yang sering bentrok dengan aparat namanya FORKOT
atau Forum Kota. Awalnya beranggotakan sekitar 16 kampus belakangan sempat
bengkak menjadi 70an. Mereka bersama FKSMJ tercatat sebagai organ gerakan
mahasiswa pertama yang menembus gedung MPR pada 18 Mei 1998. Setelah jatuhnya
Soeharto aksi-aksi mereka makin radikal, hal mana sejalan dengan represi yang
dilakukan TNI dan Polri. Aksi-aksi mereka menuntut dihapuskannya Dwi fungsi TNI,
menentang SI MPR 98, penolakan RUU PKB sering berakhir chaos. Ribuan aktivis Forkot
bersama mahasiswa dan organ lain, berani menghadapi panser dan meriam air aparat
dengan hanya bersenjatakan tongkat bendera batu dan molotov. Aksi radikal mereka
tak urung mengundang kecaman dan cibiran dari berbagai organisasi yang mendukung
Habibie seperti KISDI (Komite Indonesia untuk Solidaritas Dunia Islam), PAM Swakarsa
dan kelompok-kelompok pro-Orde Baru yang antigerakan mahasiswa memplesetkan
kepanjangan Forkot sebagai Forum Komunis Total.
- 10 Mei 1998 : DUKUNGAN DARI ELEMEN MASYARAKAT, H-11
Krisis Moneter telah menyebabkan banyak perusahaan merumahkan karyawannya
dalam jumlah besar. Kelas menengah pun tak luput dari imbasnya. Ekonomi kolaps,
pengangguran terjadi di mana-mana. Seiring dengan meningkatnya eskalasi gerakan
mahasiswa, dukungan dari berbagai elemen masyarakatpun meningkat. Dukungan mulai
membanjir dari elite politik, organisasi non pemerintah, buruh dan rakyat. Berbagai
gerakan mulai menyokong dan menyumbang pada gerakan mahasiswa. Bahkan tidak
jarang secara perorangan.
- 11 Mei 1998 : SUARA IBU PEDULI, H-10
Sejak Orde Baru berkuasa gerakan perempuan telah dikooptasi menjadi perkakas politik
negara lewat Dharma Wanita dan Kowani. Peran perempuan yang sebelumnya penting
dalam kehidupan sosial direduksi menjadi "kaum Ibu" yang harus tunduk dalam pakem
politik patriarki. Pada pertengahan 1980an ketika ide feminisme mulai masuk dalam
kesadaran perempuan kelas menengah terpelajar Indonesia, perjuangan menuntut
kesetaraan gender mulai disuarakan. Di Jakarta ada Kalyanamitra dan Solidaritas
perempuan. Di Yogya muncul Kelompok Perempuan Cut Nya' Dien, dan berbagai tempat
terutama pada daerah konflik seperti Aceh, Papua, Timor dsb. Pada 1997 saat krisis
moneter, aktifvs perempuan dari berbagai lembaga membentuk Koalisi Perempuan
Indonesia. Koalisi ini kemudian terlibat dalam aksi-aksi politik mendukung gerakan
mahasiswa dan memasukkan perspektif gender dalam tuntutan gerakan reformasi. Awal
1998 ketika krisis makin parah, para aktivis yang tergabung dalam Suara Ibu Peduli (SIP)
menuntut penurunan harga susu.
Mereka melakukan demo di Monas. Tiga orang tokohnya diinterogasi semalaman di
Polda dan diadili sebulan kemudian. Mereka dinyatakan bersalah karena melanggar
KUHP tentang arak-arakan. Mereka adalah Gadis Arivia, Wilasih dan Karlina. Demo di
Monas hanya berlangsung setengah jam, tapi 'magnitude'-nya cukup besar mengingat
demo ini dilakukan oleh kaum wanita.
- 12 Mei 1998 : PELUNCURAN NOVEL ‘SAMAN’, H-9
Pada 12 Mei 1998 itu Teater Utan Kayu (TUK) akan mengadakan peluncuran novel
Saman, karya Ayu Utami. Novel itu sedang ramai dibicarakan, karena, selain menang
sayembara Dewan Kesenian Jakarta, juga dianggap mendobrak segala tabu: seks,
agama, dan politik—seperti membawakan suara zaman yang muak dengan rezim Orde
Baru.
Tetapi, siang itu terdengar kabar, mahasiswa Trisakti mati ditembak seusai demo damai.
Malamnya, peluncuran Saman tetap diadakan, dengan menghilangkan acara hiburan,
sebagai tanda belasungkawa. Esoknya, Jakarta telah rusuh. Suatu pembukaan pameran
yang direncanakan di TUK tidak dihadiri undangan. Kendaraan umum tidak beroperasi.
Jalan tidak aman. Sepuluh hari kemudian, 21 Mei, Soeharto mengundurkan diri. Setelah
itu, dunia sastra dilanda eforia kebebasan selama sekitar lima atau tujuh tahun. Karya
penulis perempuan, kisah tentang LGBT, pemikiran kiri, kritik terhadap pemerintah, dll.
memenuhi pasar buku. Sepuluh tahun setelah Reformasi, situasi berubah. Pasar buku
didominasi buku-buku religi. Kekerasan atas nama agama meningkat. Penerbit dan
penulis mulai kembali melakukan sensor diri.
- 13 Mei 1998 : PENEMBAKAN TRISAKTI
Tanggal 12 Mei 1998 para Mahasiswa Universitas Trisakti Jakarta melakukan aksi damai
menuju gedung DPR/MPR. Mereka memulai reli dari depan kampus Trisakti di Slipi
sambil membagi bagikan bunga. Tapi aparat menghadapi aksi damai mahasiswa dengan
tembakan. Empat mahasiswa gugur.
- 15 Mei 1998 : PENJARAHAN, H-6
Rakyat miskin yang kehilangan harapan bagaikan daun kering yang mudah tersulut api
provokasi dan kemarahan. Setelah pemakaman empat pahlawan reformasi, kerusuhan
mulai terjadi di daerah Grogol dan meruyak ke seluruh Jakarta. Dari tanggal 13-15 Mei
terjadi penjarahan dan huru-hara yang meluas ke Bogor, Tangerang, Bekasi bahkan ke
Solo dan seantero Nusantara. Korban yang tercatat berjatuhan.
Kompas 16 Mei 1998: menurut Kadispen Mabes Polri Bigjen Dai Bachtiar, jumlah korban
yang tewas di wilayah DKI 200 orang, belum termasuk 20 korban yang loncat dari
gedung. Sementara di Tangerang 100 orang terpanggang dan jasad para korban
sebagian besar dalam keadaan hangus.
- 16 Mei 1998 : KORBAN LAGI, H-5
Ita Martadinata adalah anggota Tim Relawan untuk Kemanusiaan yang dibunuh secara
misterius. Pembunuhan ini terjadi hanya berselang 3 hari setelah Tim Relawan
mengadakan konferensi pers yang menjelaskan bahwa banyak anggota tim yang
menerima ancaman pembunuhan bila tidak menghentikan bantuan mereka terhadap
investigasi internasional tentang perkosaan dan pembakaran sejumlah perempuan
Tionghoa dalam kerusuhan Mei 98. Sedianya Ita (20 tahun) bersama Ibunya dan empat
orang korban akan berangkat ke Amerika untuk memberikan testimoni kepada Kongres
Amerika tentang tragedi tersebut. Pihak berwajib mengumumkan bahwa peristiwa ini
hanya pembunuhan biasa, tapi Tim Relawan berpendapat peristiwa ini dimaksudkan
sebagai ancaman kepada mereka yang terlibat di dalam aktivitas kemanusiaan untuk
menghentikan kegiatan mereka.
- 17 Mei 1998 : PEMBAKARAN DAN PENJARAHAN, H-4
Penjarahan terus berlangsung selama 13-17 Mei. Kerusuhan ini telah mengakibatkan
kerugian fisik di Jakarta sebesar Rp2.5 triliun. Menurut Gubernur Sutiyoso (Kompas 18
Mei), kerugian terjadi akibat kerusakan 13 pasar, 2479 ruko, 40 Mal, 1600 toko, 45
bengkel, 11 polsek, 380 kantor swasta, 65 kantor bank, 24 restoran, 12 hotel, 9 pom
bensin, 8 bis kota, 1119 mobil, 1026 rumah penduduk dan gereja. Sementara itu
Bandara Halim Perdanakusuma dibanjiri pengungsi warga asing dan WNI yang
bergabung dalam arus evakuasi dari Jakarta yang dilanda kerusuhan.
- 19 Mei 1998 : TUNTUTAN MAHASISWA, H-2
Dukungan mulai membanjir dari elite politik, organisasi non-pemerintah, buruh dan
rakyat. Kabinet Soehartopun terbelah. Para menteri dibawah Ginanjar Kartasasmita
mengundurkan diri dari kabinet. Bahkan Harmoko, ketua MPR dan loyalis Soeharto,
dengan tegas mengeluarkan pernyataan agar Soeharto mengundurkan diri secara arif
dan bijaksana. Siaran pers disambut sorak-sorai massa. Akhir perjuangan panjang terasa
terasa makin dekat. Akan tetapi kegembiraan tersebut ternyata datang terlalu cepat.
Empat jam kemudian Panglima ABRI Wiranto mengadakan rapat kilat dengan kepala staf
dan Kapolri serta para panglima komando operasi di markas besar ABRI dan
menyatakan: pernyataan tersebut hanyalah pendapat individual meskipun disampaikan
secara kolektif. Sesuai dengan konstitusi pendapat tersebut tidak memiliki ketetapan
hukum.
- 20 Mei 1998 : SIDANG TAHANAN POLITIK TERAKHIR SOEHARTO, H-1
20 Mei 1998 Hari Kebangkitan Nasional. Pengadilan Negeri Jakarta Utara
melangsungkan sidang putusan terhadap enam orang terkait penyelenggaraan Kongres
Rakyat Indonesia. Keenam orang itu: seniman dan aktivis Ratna Sarumpaet serta
putrinya Fathom Saulina; pengacara Alexius Suria Tjahaja Tomu (sudah meninggal);
aktivis Nandang Wirakusumah dan Joel Taher serta wartawan Ging Ginanjar (sekarang
adalah News Editor di BBC Indonesia). Mereka ditangkap saat berlangsungnya Kongres
Rakyat Indonesia yang bermaksud memilih secara simbolik presiden versi rakyat, pada
10 Maret 1998, sehari sebelum Soeharto dipilih dan dilantik lagi sebagai presiden.
Keenam orang itu dinyatakan bersalah namun dibebaskan pada hari itu juga -sehari
sebelum Soeharto jatuh. Sebuah sandiwara persidangan yang panjang dan bertele-tele
namun tetap harus ditonton dengan sabar. Kami menduga-duga, persidangan ini
diadakan tanggal 20 Mei tentulah agar keputusan pengadilan tampak sebagai sebuah
hadiah sehari sebelum jatuhnya Soeharto. Dan benar saja: mereka tetap divonis
bersalah, tapi dijatuhi hukuman sesuai masa tahanan selama 70 hari. Dengan kata lain:
bebas.
- 21 Mei 1998 : TUMBANGNYA ORDE BARU, HARI H
Pada 21 Mei 1998 di hadapan para wartawan media seluruh dunia, Soeharto
mengumumkan mundur sebagai presiden. Wakilnya, B.J Habbibie, langsung dilantik
menjadi presiden RI yang ketiga. Akhir sebuah kediktatoran yang kejam dan congkak
berakhir secara dramatis. Di jalan-jalan dan di gedung DPR, rakyat meluapkan
kegembiraan dengan berbagai ekspresi. Sebuah fase baru dimulai, perjalanan transisi
sebuah bangsa menuju demokrasi.
Untuk mencegah hal buruk yang pernah terjadi berlanjut, maka disusunlah 6 tuntutan
reformasi:
1. Penegakan supremasi hukum
2. Pemberantasan KKN
3. Mengadili Soeharto dan kroninya
4. Cabut Dwifungsi ABRI/Polri
5. Pemberian otonomi daerah yang seluas-luasnya
6. Laksanakan amandemen UUD 1945

III. REFORMASI DI MASA SEKARANG


Sudah banyak asa dan amarah dicurahkan oleh gelombang massa yang menginginkan
perubahan setelah 32 tahun hidup di bawah tatanan militer dan demokrasi palsu. Suharto
berhasil ditumbangkan oleh kombinasi kekuatan moral solidaritas mahasiswa di jalanan dan
manuver-manuver politik kelompok elite di parlemen dan gedung-gedung partai. Meski
tercoreng oleh serangkaian konflik horizontal di kalangan rakyat biasa, namun tak salah
menyebut bahwa gerakan reformasi adalah sebuah usaha patungan yang luar biasa.
Gerakan reformasi sudah menemukan akarnya setidaknya semenjak peristiwa Malapetaka
Limabelas Januari (Malari) 1974, gerilya Buku Putih mahasiswa ITB tahun 1978, dan
penyampaian Petisi 50 di parlemen tahun 1980. Meski usaha-usaha tersebut belum mampu
menggoyang pilar-pilar Orde Baru, yakni dwifungsi ABRI, dominasi Golkar, dan tafsir tunggal
Pancasila, namun sudah menjadi bukti bahwa angan-angan keamanan dan ketertiban
masyarakat ala Suharto tidaklah ideal; sebuah selimut keangkuhan yang menyelimuti
rakyatnya dengan kebijakan opresif dan anti-kritik. Reformasi dapat tercipta karena orang-
orangnya menginginkan pembaharuan di berbagai bidang, baik politik, sosial, ekonomi, dan
kebebasan untuk menyuarakan pendapat tanpa takut dibalas todongan bedil oleh penguasa.
Dengan kata lain, ada impian untuk mewujudkan masyarakat madani. Reformis, sebagai
motor dalam menjalankan segala aspek kehidupan di masa reformasi, tentu sudah
seharusnya meninggalkan nilai-nilai otoriter Orde Baru dan turunannya yang terbukti
gagal. Masa reformasi diharapkan mampu menyajikan perubahan, bersifat korektif, dan
bercorak pembaharuan. Namun, melihat menjengkelkannya fenomena sosial-politik yang
belakangan ini tersaji, mulai dari gelombang politik identitas, membanjirnya hoaks dan
persekusi, sampai kasus-kasus korupsi tak berkesudahan, terlebih ketika hal-hal tersebut
disponsori oleh para pentolan reformis yang dahulu begitu menjanjikan sebagai agen
perubahan, maka tak salah untuk mempertanyakan apakah bahwasanya reformasi sudah
berjalan di trek yang benar, dan disetir oleh orang-orang yang tepat?
Gerakan reformasi adalah usaha patungan, namun, tergantung dengan siapa yang diajak
bicara, porsi patungan kelompok-kelompok yang berkontribusi di dalamnya tidaklah setara.
Keduanya sejatinya komplementer, namun banyak pula hal-hal yang tidak mereka saling
sepakati. Kelompok mahasiswa merasa bahwa mereka adalah penggerak utama gagasan
reformasi, dan kelompok elit juga merasa perannya vital karena merekalah yang secara
langsung terlibat dalam upaya-upaya perbaikan birokrasi-administratif dalam pemerintahan.
Karena itulah, banyak suara sumbang terdengar di mana-mana tak lama pasca Suharto
dilengserkan. Tanda muramnya potensi reformasi mulai terlihat ketika trisula reformis,
Megawati, Gus Dur, dan Amien Rais terlibat dalam pembagian kekuasaan, terutama kala
Amien Rais membuat Poros Tengah untuk menjegal Megawati dan kemudian menurunkan
Gus Dur dari kursi kepresidenannya. Ditambah, dua kelompok mahasiswa paling mencolok,
yakni kiri (sosialis-moderat) dan kanan (Islam-konservatif) yang sebelumnya menemukan
tujuan bersamanya menggulingkan Orde Baru pun saling sibuk dengan kepentingan
kelompoknya masing-masing. Tidak adanya gerak kompak untuk menyamakan visi misi
reformasi itulah yang menyebabkan mengapa tokoh-tokoh reformis terlihat gagal
membentuk tatanan reformasi yang ideal dan benar-benar mengeliminasi warisan Orde Baru.
Pilar-pilar Orde Baru memang berhasil diruntuhkan, tetapi lantai kotor yang menjadi tempat
pilar-pilar tersebut tegak berdiri luput untuk dibersihkan. Dan celakanya, di atas lantai itulah
pilar-pilar reformasi kini didirikan, terlihat kokoh namun tidak sedap dipandang mata. Hal itu
sejalan dengan amanat reformasi yang belum sepenuhnya terlaksana. Suharto dan kroni-
kroninya belum mendapatkan pengadilan yang pantas. Nama Suharto masih mengkilap,
bahkan seruan untuk mengangkatnya sebagai Pahlawan Nasional diajukan seakan-akan
dengan tidak menghiraukan cela pemerintahannya. Keluarga Cendana, dengan Tommy
sebagai nahkodanya, pun bisa bebas menguji peruntungan politiknya kembali dengan mulus
dan minim kritik.
Fenomena dominasi militer dan terpusatnya kekuasaan di Jakarta memang sudah berhasil
dilucuti dengan mengembalikan fungsi tentara sebagai alat militer dan otonomi daerah yang
kian diperluas. Namun hal itu tidak memperbaiki masalah-masalah mendasarnya.
Arogansi tentara dan campur tangan seenaknya terhadap aspek-aspek kehidupan sipil masih
terjadi di mana-mana, utamanya kala menyinggung Peristiwa 1965. Otonomi daerah tanpa
pengawasan yang tepat sasaran lantas melestarikan korupsi, kolusi, dan nepotisme di
kalangan pejabat-pejabat daerah. Terlebih lagi minimnya peninjauan terhadap peraturan-
peraturan daerah yang kontroversial dan melukai angan-angan pembaharuan, seperti
misalnya hukuman cambuk di Aceh dan pelarangan kepemilikan tanah bagi orang-orang
nonpribumi di Yogyakarta.
Bagaimana dengan supremasi hukum? Setelah puluhan tahun prosedur hukum dimanipulasi
demi kepentingan penguasa, kini hukum telah menjadi payung pelindung handal bagi
segenap rakyat Indonesia.
Satu lagi yang amat disayangkan adalah semakin meluasnya konflik horizontal di kalangan
masyarakat dengan sebab-sebab fundamentalisme agama, diskriminasi ras dan etnis, serta
kesenjangan sosial-ekonomi yang bermuara pada kepentingan-kepentingan politik. Terlebih
ketika hal tersebut dikompori oleh tokoh-tokoh yang pernah menjadi wajah reformasi,
seperti Amien Rais yang dengan kritik-kritik nyinyirnya mencoba berkonfrontasi dengan
pemerintahan Jokowi. Jika dahulu Amien dikatakan menunggangi kelompok mahasiswa,
maka kini kelompok Islam yang berada di belakangnya. Celakanya, aksinya tersebut justru
menyulut api bernama politik identitas. Apa yang buruk di Orde Baru memang sebagian
berhasil diperbaiki, walau lalu menelurkan masalah-masalah baru akibat kelalaian para
reformis dalam merawat dan membesarkan reformasi.
Mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan era Orde Baru, Daud Jusuf, pernah menulis
sebuah opini di harian Kompas pada 2007 silam yang berjudul ‘Untuk Apa Reformasi?'. Ia
menyinggung bahwa reformasi adalah sebuah kesia-siaan apabila pemimpin tidak menjawab
panggilan tugasnya, yakni menciptakan harmoni politik dan ekonomi demi kebajikan kedua-
duanya. Harmoni inilah yang menjadi cita-cita adiluhung bagi para reformis, bukan seperti
harmoni yang dibuat-buat Orde Baru, namun harmoni sesungguhnya yang lahir dari nilai-nilai
demokrasi. 20 tahun sudah reformasi berjalan. Ada banyak hal yang dapat disyukuri darinya,
sebagaimana banyak juga hal yang bisa disesalkan. Jelasnya, sulit mengatakan bahwa
reformasi yang mencoba memperbaiki, utamanya sektor politik-ekonomi ini, sebagai
kegagalan total. Pilar reformasi memang memiliki retakan di mana-mana, namun, seharusnya
masih belum terlambat untuk ditambal. Untuk mewujudkannya perlu modal tabiat baik, akal
sehat, serta idealisme reformis sejati: ketika reformis-reformis tua tercemari, maka sudah
saatnya reformis-reformis muda tampil menawarkan keharmonian yang dicita-citakan.

Anda mungkin juga menyukai