SEJARAH INDONESIA
KEISHA EMMANUELLA / 15
XII MIPA 1 | SMAN 103 JAKARTA
ORDE BARU DAN REFORMASI
A. ORDE BARU
Kabinet Ampera dipimpin oleh Presiden Soekarno, namun pelaksanaannya dilakukan oleh
Presidium Kabinet yang dipimpin oleh Jenderal Soeharto. Akibatnya, muncul dualisme
kepemimpinan yang menjadi kondisi kurang menguntungkan bagi stabilitas politik saat itu.
Soekarno kala itu masih memiliki pengaruh politik, namun kekuatannya perlahan-lahan
dilemahkan. Kalangan militer, khususnya yang mendapatkan pendidikan di negara Barat,
keberatan dengan kebijakan pemerintah Soekarno yang dekat dengan Partai Komunis
Indonesia. Mengalirnya bantuan dana dari Uni Soviet dan Tiongkok pun semakin menambah
kekhawatiran bahwa Indonesia bergerak menjadi negara komunis. Akhirnya pada 22 Februari
1967, untuk mengatasi situasi konflik yang semakin memuncak kala itu, Presiden Soekarno
menyerahkan kekuasaan kepada Jenderal Soeharto. Penyerahan ini tertuang dalam
Pengumuman Presiden Mandataris MPRS, Panglima Tertinggi ABRI Tanggal 20 Februari
1967. Pengumuman itu didasarkan atas Ketetapan MPRS No. XV/MPRS/1966 yang
menyatakan apabila presiden berhalangan, pemegang Surat Perintah 11 Maret 1966 berfungsi
sebagai pemegang jabatan presiden. Pada 4 Maret 1967, Jenderal Soeharto memberikan
keterangan pemerintah di hadapan sidang DPRHR mengenai terjadinya penyerahan
kekuasaan. Namun, pemerintah tetap berpendirian bahwa sidang MPRS perlu dilaksanakan
agar penyerahan kekuasaan tetap konstitusional. Karena itu, diadakanlah Sidang Istimewa
MPRS pada tanggal 7-12 Maret 1967 di Jakarta, yang akhirnya secara resmi mengangkat
Soeharto sebagai presiden Republik Indonesia hingga terpilihnya presiden oleh MPR hasil
pemilihan umum.
a) Kebijakan Ekonomi
- REPELITA (Rencana Umum Pembangunan Lima Tahun)
Di awal kekuasaannya, Pemerintah Orde Baru mewarisi kemerosotan ekonomi yang
ditinggalkan oleh pemerintahan sebelumnya. Kemerosotan ekonomi ini ditandai oleh
rendahnya pendapatan perkapita penduduk Indonesia yang hanya mencapai 70 dollar AS,
tingginya inflasi yang mencapai 65%, serta hancurnya sarana-sarana ekonomi akibat konflik
yang terjadi di akhir pemerintahan Soekarno.
Untuk mengatasi kemerosotan ini, pemerintah Orde Baru membuat program jangka pendek
berdasarkan Tap. MPRS No. XXII/MPRS/1966 yang diarahkan kepada pengendalian inflasi
dan usaha rehabilitasi sarana ekonomi, peningkatan kegiatan ekonomi, dan pencukupan
kebutuhan sandang. Program jangka pendek ini diambil dengan pertimbangan apabila inflasi
dapat dikendalikan dan stabilitas tercapai, kegiatan ekonomi akan pulih dan produksi akan
meningkat. Mulai pada 1 April 1969, pemerintah menciptakan landasan untuk
pembangunan yang disebut sebagai Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita). Repelita
pertama yang mulai dilaksanakan tahun 1969 tersebut fokus pada rehabilitasi prasarana
penting dan pengembangan iklim usaha dan investasi. Pembangunan sektor pertanian diberi
prioritas untuk memenuhi kebutuhan pangan sebelum membangun sektor-sektor
lain. Pembangunan antara lain dilaksanakan dengan membangun prasana pertanian
seperti irigasi, perhubungan, teknologi pertanian, kebutuhan pembiayaan, dan kredit
perbankan. Petani juga dibantu melalui penyediaan sarana penunjang utama
seperti pupuk hingga pemasaran hasil produksi.
Repelita I membawa pertumbuhan ekonomi naik dari rata-rata 3% menjadi 6,7% per tahun,
pendapatan perkapita meningkat dari 80 dolar AS menjadi 170 dolar AS, dan inflasi dapat
ditekan menjadi 47,8% pada akhir Repelita I pada tahun 1974. Repelita II (1974-1979) dan
Repelita III (1979-1984) fokus pada pencapaian pertumbuhan ekonomi, stabilitas nasional,
dan pemerataan pembangunan dengan penekanan pada sektor pertanian dan industri yang
mengolah bahan mentah menjadi bahan baku. Pada tahun 1984, Indonesia berhasil
mencapai status swasembada beras dari yang tadinya merupakan salah satu negara
pengimpor beras terbesar di dunia pada tahun 1970-an. Fokus Repelita IV (1984-1989) dan
Repelita V (1989-1994), selain berusaha mempertahankan kemajuan di sektor pertanian,
juga mulai bergerak menitikberatkan pada sektor industri khususnya industri yang
menghasilkan barang ekspor, industri yang menyerap tenaga kerja, industri pengolahan
hasil pertanian, dan industri yang dapat menghasilkan mesin-mesin industri.
- SWASEMBADA BERAS
Sejak awal berkuasa, pemerintah Orde Baru menitikberatkan fokusnya pada pengembangan
sektor pertanian karena menganggap ketahanan pangan adalah prasyarat utama kestabilan
ekonomi dan politik. Sektor ini berkembang pesat setelah pemerintah membangun berbagai
prasarana pertanian seperti irigasi dan perhubungan, teknologi pertanian, hingga
penyuluhan bisnis. Pemerintah juga memberikan kepastian pemasaran hasil produksi
melalui lembaga yang diberi nama Bulog (Badan Urusan Logistik).
Mulai tahun 1968 hingga 1992, produksi hasil-hasil pertanian meningkat tajam. Pada tahun
1962, misalnya, produksi padi hanya mencapai 17.156 ribu ton. Jumlah ini berhasil
ditingkatkan tiga kali lipat menjadi 47.293 ribu ton pada tahun 1992, yang berarti produksi
beras per jiwa meningkat dari 95,9 kg menjadi 154,0 kg per jiwa. Prestasi ini merupakan
sebuah prestasi besar mengingat Indonesia pernah menjadi salah satu negara pengimpor
beras terbesar di dunia pada tahun 1970-an.
- PEMERATAAN KESEJAHTERAAN PENDUDUK
Pemerintah juga berusaha mengiringi pertumbuhan ekonomi dengan pemerataan
kesejahteraan penduduk melalui program-program penyediaan kebutuhan pangan,
peningkatan gizi, pemerataan pelayanan kesehatan, keluarga berencana, pendidikan dasar,
penyediaan air bersih, dan pembangunan perumahan sederhana. Strategi ini dilaksanakan
secara konsekuen di setiap pelita. Berkat usaha ini, penduduk Indonesia berkurang dari
angka 60% pada tahun 1970-an ke angka 15% pada tahun 1990-an. Pendapatan perkapita
masyarakat juga naik dari yang hanya 70 dolar per tahun pada tahun 1969, meningkat
menjadi 600 dolar per tahun pada tahun 1993. Pemerataan ekonomi juga diiringi dengan
adanya peningkatan usia harapan hidup, dari yang tadinya 50 tahun pada tahun 1970-an
menjadi 61 tahun di 1992. Dalam kurun waktu yang sama, angka kematian bayi juga
menurun dari 142 untuk setiap 1.000 kelahiran hidup menjadi 63 untuk setiap 1.000
kelahiran hidup. Jumlah penduduk juga berhasil dikendalikan melalui program Keluarga
Berencana (KB). Selama dasawarsa 1970-an, laju pertumbuhan penduduk mencapai 2,3%
per tahun. Pada awal tahun 1990-an, angka tersebut dapat diturunkan menjadi 2,0% per
tahun.
b) Politik
Pada tahun 1973 setelah dilaksanakan pemilihan umum yang pertama pada masa Orde Baru
pemerintahan pemerintah melakukan penyederhanaan dan penggabungan (fusi) partai- partai
politik menjadi tiga kekuatan sosial politik. Penggabungan partai-partai politik tersebut tidak
didasarkan pada kesamaan ideologi, tetapi lebih atas persamaan program. Tiga kekuatan sosial
politik itu adalah:
Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang merupakan gabungan dari NU, Parmusi, PSII, dan
PERTI
Partai Demokrasi Indonesia (PDI) yang merupakan gabungan dari PNI, Partai Katolik, Partai
Murba, IPKI, dan Parkindo
Golongan Karya
Selama masa Orde Baru pemerintah berhasil melaksanakan enam kali pemilihan umum, yaitu
tahun 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997. Dalam setiap Pemilu yang diselenggarakan
selama masa pemerintahan Orde Baru, Golkar selalu memenangkan Pemilu.
Pada Pemilu 1997 yang merupakan pemilu terakhir masa pemerintahan Orde Baru, Golkar
memperoleh 74,51% dengan perolehan 325 kursi di DPR. Ini merupakan perolehan suara
terbanyak Golkar dalam pemilu. Adapun PPP memperoleh 89 kursi dan PDI mengalami
kemorosotan perolehan suara dengan hanya mendapat 11 kursi di DPR.
Kemorosotan perolehan suara PDIP disebabkan adanya konflik intern di tubuh partai berkepala
banteng tersebut. PDI akhirnya pecah menjadi PDI Suryadi dan PDI Megawati Soekarno Putri
yang sekarang menjadi PDIP. Penyelenggaraan Pemilu yang teratur selama masa pemerintahan
Orde Baru telah menimbulkan kesan bahwa demokrasi di Indonesia telah berjalan dengan
baik. Apalagi Pemilu berlangsung dengan asas LUBER (langsung, umum, bebas, dan rahasia).
Namun dalam kenyataannya, Pemilu diarahkan untuk kemenangan salah satu kontestan Pemilu
saja yaitu Golkar. Kemenangan Golkar yang selalu mencolok sejak Pemilu 1971 sampai dengan
Pemilu 1997 menguntungkan pemerintah yang perimbangan suara di MPR dan DPR didominasi
oleh Golkar. Keadaan ini telah memungkinkan Soeharto menjadi Presiden Republik Indonesia
selama enam periode, karena pada masa Orde Baru presiden dipilih oleh anggota MPR. Selain
itu setiap pertanggungjawaban, rancangan Undang-undang, dan usulan lainnya dari pemerintah
selalu mendapat persetujuan MPR dan DPR tanpa catatan.
Menurut Connie Rahakundini Bakrie, Orde Baru menempatkan militer sebagai pemain sentral
dalam perpolitikan melalui doktrin Dwi Fungsi ABRI. Selain menjadi angkatan bersenjata, ABRI
juga memegang fungsi politik, menjadikannya organisasi politik terbesar di negara. Timbulnya
pemberian peran ganda pada ABRI karena adanya pemikiran bahwa TNI adalah tentara pejuang
dan pejuang tentara. Kedudukan TNI dan POLRI dalam pemerintahan adalah sama. di MPR dan
DPR mereka mendapat jatah kursi dengan cara pengangkatan tanpa melalui Pemilu.
Dasar hukum pelaksanaan Dwifungsi ABRI di antaranya yakni Ketetapan MPR, yaitu sejak TAP
MPR(S) No. II Tahun 1969 hingga TAP MPR No. IV Tahun 1978. Selain itu, dasar hukumnya yakni
Undang-Undang (UU) No. 15 dan 16 tahun 1969 yang diperbarui menjadi UU No. 4 dan 5 tahun
1975. Pengukuhan peran ABRI sebagai kekuatan sosial politik ditegaskan dalam UU No. 20
Tahun 1982. Dalam penjelasan pasalnya disebutkan bahwa prajurit ABRI dalam bidang sosial
politik bertindak selaku dinamisator dan stabilisator. Peran dinamisator sebenarnya telah
diperankan ABRI sejak zaman Perang Kemerdekaan. Waktu itu Jenderal Soedirman telah
melakukannya dengan meneruskan perjuangan, walaupun pemimpin pemerintahan telah
ditahan Belanda. Demikian juga halnya yang dilakukan Soeharto ketika menyelamatkan bangsa
dari perpecahan setelah Gerakan 30 September, yang melahirkankan Orde Baru.
Sistem ini memancing kontroversi di tubuh ABRI sendiri. Banyak perwira, khususnya mereka
yang berusia muda, menganggap bahwa sistem ini mengurangi profesionalitas ABRI. Masuknya
pendidikan sosial dan politik dalam akademi militer mengakibatkan waktu mempelajari strategi
militer berkurang.
Secara kekuatan, ABRI juga menjadi lemah dibandingkan negara Asia Tenggara lainnya. Saat itu,
hanya ada 533.000 prajurit ABRI, termasuk Polisi yang kala itu masih menjadi bagian dari
ABRI. Angka ini, yang hanya mencakup 0,15 persen dari total populasi, sangat kecil dibanding
Singapura (2,06%), Thailand (0,46%), dan Malaysia (0,68%). Pendanaan yang didapatkan ABRI
pun tak kalah kecil, hanya sekitar 1,96% dari total PDB, sementara angkatan bersenjata
Singapura mendapatkan 5,48% dan Thailand 3,26%. Selain itu, peralatan dan perlengkapan yang
dimiliki juga sedikit; ABRI hanya memiliki 100 tank besar dan 160 tank ringan.
Menurut Connie Rahakundini Bakrie, Orde Baru menempatkan militer sebagai pemain sentral
dalam perpolitikan melalui doktrin Dwi Fungsi ABRI. Selain menjadi angkatan bersenjata, ABRI
juga memegang fungsi politik, menjadikannya organisasi politik terbesar di negara. Timbulnya
pemberian peran ganda pada ABRI karena adanya pemikiran bahwa TNI adalah tentara pejuang
dan pejuang tentara. Kedudukan TNI dan POLRI dalam pemerintahan adalah sama. di MPR dan
DPR mereka mendapat jatah kursi dengan cara pengangkatan tanpa melalui Pemilu.
Dasar hukum pelaksanaan Dwifungsi ABRI di antaranya yakni Ketetapan MPR, yaitu sejak TAP
MPR(S) No. II Tahun 1969 hingga TAP MPR No. IV Tahun 1978. Selain itu, dasar hukumnya yakni
Undang-Undang (UU) No. 15 dan 16 tahun 1969 yang diperbarui menjadi UU No. 4 dan 5 tahun
1975. Pengukuhan peran ABRI sebagai kekuatan sosial politik ditegaskan dalam UU No. 20
Tahun 1982. Dalam penjelasan pasalnya disebutkan bahwa prajurit ABRI dalam bidang sosial
politik bertindak selaku dinamisator dan stabilisator. Peran dinamisator sebenarnya telah
diperankan ABRI sejak zaman Perang Kemerdekaan. Waktu itu Jenderal Soedirman telah
melakukannya dengan meneruskan perjuangan, walaupun pemimpin pemerintahan telah
ditahan Belanda. Demikian juga halnya yang dilakukan Soeharto ketika menyelamatkan bangsa
dari perpecahan setelah Gerakan 30 September, yang melahirkankan Orde Baru.
Sistem ini memancing kontroversi di tubuh ABRI sendiri. Banyak perwira, khususnya mereka
yang berusia muda, menganggap bahwa sistem ini mengurangi profesionalitas ABRI. Masuknya
pendidikan sosial dan politik dalam akademi militer mengakibatkan waktu mempelajari strategi
militer berkurang.
Secara kekuatan, ABRI juga menjadi lemah dibandingkan negara Asia Tenggara lainnya. Saat itu,
hanya ada 533.000 prajurit ABRI, termasuk Polisi yang kala itu masih menjadi bagian dari
ABRI. Angka ini, yang hanya mencakup 0,15 persen dari total populasi, sangat kecil dibanding
Singapura (2,06%), Thailand (0,46%), dan Malaysia (0,68%). Pendanaan yang didapatkan ABRI
pun tak kalah kecil, hanya sekitar 1,96% dari total PDB, sementara angkatan bersenjata
Singapura mendapatkan 5,48% dan Thailand 3,26%. Selain itu, peralatan dan perlengkapan yang
dimiliki juga sedikit; ABRI hanya memiliki 100 tank besar dan 160 tank ringan.
Pada masa Orde Baru politik luar negeri Indonesia yang bebas aktif kembali dipulihkan. MPR
mengeluarkan sejumlah ketetapan yang menjadi landasan politik luar negeri Indonesia.
Pelaksanaan politik luar negeri Indonesia harus didasarkan pada kepentingan nasional, seperti
pembangunan nasional, kemakmuran rakyat, kebenaran, serta keadilan.
Serta banyak peristiwa politik penting lainnya yang terjadi pada masa orde baru, seperti
kembalinya Indonesia menjadi anggota PBB pada tanggal 28 September 1966 dan beberapa
normalisasi hubungan dengan negara lain; pemulihan hubungan dengan Singapura, Malaysia,
dan RRT (Republik Rakyat Tiongkok)
Namun, dibalik kesuksesan atau kejayaan masa orde baru tetap saja terdapat kekurangan-kekurangan
pada masa pemerintahannya. Adapun kelemahan masa pemerintahan orde baru adalah sebagai berikut:
Pada pertengahan 1997, Indonesia diserang krisis keuangan dan ekonomi Asia
disertai kemarau terburuk dalam 50 tahun terakhir dan harga minyak, gas dan komoditas ekspor lainnya
yang semakin jatuh. Rupiah jatuh, inflasi meningkat tajam, dan perpindahan modal dipercepat. Hal ini
yang kemudian menjadi salah satu pemicu lahirnya reformasi.
B. REFORMASI
Era Reformasi atau Pasca Soeharto dimulai pada pertengahan 1998, tepatnya
saat Presiden Soeharto mengundurkan diri pada 21 Mei 1998 dan digantikan wakil presiden BJ Habibie.
Reformasi tersebut tidak terjadi begitu saja, namun terdapat beberapa syarat untuk terjadinya sebuah
reformasi. Dibawah ini merupakan beberapa syarat terjadinya sebuah reformasi:
Terdapat penyimpangan-penyimpangan yang terjadi didalam penyelenggaraan pada suatu negara
atau dalam masyarakat.
Adanya sebuah harapan dan juga cita-cita positif yang ingin dicapai oleh masyarakat pada masa
depan.
Adanya moral serta etika didalam mencapai cita-cita yang ingin dicapai.
I. LATAR BELAKANG REFORMASI
Gerakan reformasi terjadi atas tuntutan rakyat kepada pemerintah. Secara umum latar
belakang munculnya reformasi karena penyelewengan dan perlakuan tidak adil pada era
Orde Baru. Masalah utama yang dapat menyebabkan atau mendorong adanya munculnya
reformasi ialah kesulitan yang dihadapi dengan kalangan masyarakat dalam memenuhi
kebutuhan dasar. Harga untuk sembilan bahan pokok seperti beras, tepung, minyak goreng,
minyak tanah, ikan kering, susu, gula, telur, dan garam naik tajam. Bahkan, warga perlu
menyewa untuk membeli makanan. Sementara itu, dalam sebuah situasi di bidang politik dan
kondisi ekonomi di wilayah Indonesia yakni semakin tak menentu dan di luar kendali.
Harapan dalam kalangan masyarakat sebagai perbaikan politik dan dengan ekonomi semakin
jauh dari kenyataan.
Situasi ini dapat membuat rakyat Indonesia yakni semakin kritis dan curiga dengan
pemerintah Orde Baru. Pemerintah Orde Baru tidak mampu, atas dasar Pancasila dan
konstitusi 1945, untuk menciptakan kehidupan yang adil bersama dalam makmur dan
kemakmuran dalam sebuah keadilan, dan oleh karena itu adanya sebuah tujuan dalam
lahirnya reformasi ialah sebuah tatanan dalam kehidupan yang bangsa, masyarakat, dan
negara untuk meningkatkan. Kesulitan pada kalangan masyarakat dalam memenuhi
kebutuhan dasar merupakan faktor atau alasan penting bagi kemunculan sebuah gerakan
reformasi.
Pemerintahan dalam Orde Baru, yang dipimpin dengan Presiden Suharto selama 32 tahun,
terbukti tidak konsisten dan konsisten dalam melaksanakan sebuah cita-cita dalam Orde
Baru. Pada awal berdirinya pada tahun 1966, Orde Baru yakni dapat bertekad sebagai
mengatur dalam sebuah kehidupan nasional, sosial, dan negara berdasarkan UUD 1945 dan
Pancasila.
Namun dalam implementasinya, pemerintah dengan Orde Baru telah melakukan begitu
banyak penyimpangan dari nilai-nilai Pancasila dan ketentuan-ketentuan UUD 1945, yang
sangat merugikan kaum muda. Padahal, dalam sebuah UUD 1945 dan Pancasila hanya
digunakan legitimasi sebagai mempertahankan sebuah kekuasaan. Reformasi terjadi karena
adanya krisis moneter yang terjadi di Asia yang menyebar dari Thailand, Malaysia, Korea
Selatan dan kemudian di Indonesia tahun 1997. Adanya krisis ini membuat pihak atasan
pemerintahan semakin merajalela dengan adanya KKN dan kemiskinan rakyat semakin
meningkat serta kesenjangan sosial semakin terlihat.
Kekecewaan tersebut kemudian mendorong Gerakan reformasi. Dalam jurnal Berakhirnya
Pemerintahan Presiden Soeharto Tahun 1998 (2014) karya Lilik Eka Aprilia dkk, terdapat
beberapa faktor yang menjadi penyebab munculnya Gerakan reformasi, yaitu sebagai
berikut:
Partai Golongan Karya mendominasi bidang politik
Pemilu dilakukan untuk menyalurkan aspirasi rakyat dan untuk menegakkan
demokrasi. Di Era Orde Baru telah terjadi enam kali pemilihan umum, yaitu tahun 1971,
1977, 1982, 1992, dan 1997. Di mana setiap pelakaanaan Pemilu, partai Golongan
Karya selalu mendominasi pemenangan. Hal tesebut karena semua elemen
pemerintahan (pegawai negeri) diharuskan memilih Golkar (Golongan Karya).
Hasil pembangunan tidak merata
Pemerintahan Orde Baru selalu memfokuskan pembangunan di Pulau Jawa. Sementara
daerah lainnya kurang diperhatikan. Pembangunan tersebut hanya dinikmati oleh
sebagian kecil dari maayarakat. Beberapa daerah luar jawa tetap miskin walaupun
menyumbang devisa lebih besar untuk negara. Misalnya, Kalimantan Timur, Riau, dan
Papua memberikan sumbangsih yang cukup besar bagi negara baik melalui hasil bumi
maupun pariwisata.
Munculnya krisis ekonomi
Krisis ekonomi di Indonesia terjadi pada 1997 yang cukup besar dan dipicu dari krisis
keuangan. Hal tersebut dimulai ketika nilai tukar bath (mata uang Thailand) terhadap
dolar Amerika.
Penurunan nilai kurs menyebabkan nilai utang luar negeri Indonesia yang sebelumnya
sudah jatuh tempo menjadi membengkak. Jatuhnya nilai kurs baht selanjutnya menular
di seluruh kawasan Asia Tenggara, termasuk Indonesia.
Retaknya Kekuasaan Orde Baru
Era Orde Baru menerapkan sistem sentralistik dan militeristik.
Hal ini dilakukan untuk menjaga status quo pemerintah. Sehingga seluruh unsur
masyarakat dan bangsa sangat tergantung kepada negara. Akibat penerapan sistem
tersebut, kemampuan unsur masyarakat dan bangsa diabaikan. Sehingga terjadi
perilaku yang tidak wajar di bidang politik, ekonomi, sosial, dan budaya di masyarakat
dan negara. Pola parternalistik juga menumbuhkan korupsi, kolusi, dan nepotisme
(KKN).
Sementara hubungan bertumpu pada presiden dan menimbulkan penilaian bahwa
presiden merupakan cerminan dari sistem itu sendiri. Sehingga jika figur tunggal
kekuasaan jatuh, maka sistem atau rezim tersebut juga jatuh. Terbukti dengan
lengsernya Soeharto akibat pergolakan masyarakat yang tidak terkendali.
Gerakan antikemapanan
Anti-kemapanan adalah pandangan atau kepercayaan yang mengambil posisi
bersebrangan dengan prinsip-prinsip social, politik, dan ekonomi yang konvensional
dalam masyarakat. Gerakan antikemapanan muncul dari unsur yang terpinggirkan oleh
rezim Soeharto. Misalnya orde lama, lawan politik, dan kalangan muda yang memiliki
paham sosialisme-marxisme. Sehingga memunculkan berbagai dorongan dari keinginan
rakyat.