BAB I
PENDAHULUAN
seperti, peningkatan kadar SGOT dan SGPT pada hepar dari ikan mrigala
(Cirrhinus mrigala) fase juvenil (Saravanan, 2011), nekrosis pada insang dan
radikal bebas yang disebabkan penurunan aktivitas enzim katalase pada ikan mas
takipnu dan kejang berulang yang kemudian pada hasil laboratorium ditemukan
Uji toksisitas dapat dilakukan secara umum dan khusus. Uji toksisitas secara
dalam waktu tertentu (sub kronik) (OECD, 2012). Uji toksisitas khusus dalam
waktu paparan subkronik dilakukan untuk melihat efek toksik terhadap perubahan
histologi organ hewan coba (Soemirat, 2005). Organ yang rentan terhadap zat
2
toksik yang meningkat akan meningkatkan produksi radikal bebas dalam hepatosit
dari hewan coba (Rajini, 2015). Hewan coba yang dapat digunakan dalam uji
Berdasarkan penelitian, ikan zebra (Danio rerio) memiliki 70% DNA yang
homolog dengan manusia (Hollert dan Steffen, 2015 ). Kelebihan fase juvenil
dalam mengamati efek toksik adalah zat toksik langsung memapar permukaan
tubuh ikan zebra (Pihalová dkk,2010) dan ukuran tubuh yang kecil mempercepat
proses distribusi dan akumulasi zat toksik tersebut (Diedrich,2015). Penelitian ini
dilakukan pada ikan zebra fase juvenil karena merupakan fase yang mewakili
masa anak-anak pada siklus hidup manusia, dimana fungsi hepar pada masa anak
daun nimba dengan menentukan Lethal Concentration 50 (LC50) dan melihat efek
dekokta daun nimba pada hepar jika dikonsumsi dalam waktu subkronik.
3
(Azadirachta indica ) pada ikan zebra (Danio rerio) fase juvenil yang
indica) pada dosis MATC dan Lethal Concentration 50% (LC50) terhadap
nimba (Azadirachta indica ) pada ikan zebra (Danio rerio) fase juvenil
rerio).
4
Secara teoritis : Sebagai landasan ilmiah tentang pengaruh nilai MATC dan
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Toksisitas
Toksin adalah zat yang dapat menimbulkan gejala abnormal hingga kematian
(Hardiansyah dan Rimbawan, 2000). Tubuh yang terpapar toksik secara konsisten
dapat mengalami perubahan fungsi secara fisiologis (Soemirat, 2005). Semua zat
dapat menjadi toksin dalam dosis tertentu. Efek dari toksin yang menimbulkan
dalam waktu paparan tertentu (Nugroho, 2004). Toksisitas adalah potensi toksin
yang dapat menimbulkan efek berbahaya seperti kerusakan organ hingga kematian
pada organisme yang terpapar (Soemirat, 2005). Toksisitas dapat diuji dengan
tahap in-vitro menggunakan sel dan tahap in-vivo menggunakan beberapa jenis
spesies (Leusch dkk, 2012). Toksisitas juga dapat dilihat dari kemampuan toksin
tergantung pada interaksi molekuler antara toksin sebagai ligan dengan reseptor
yang diaktifkan pada tubuh. Efek yang timbul dipengaruhi oleh konsentrasi
toksin, jenis toksin, dan lama paparan toksin (Wirasuta dan Niruri, 2007).
Penilaian tingkat toksisitas dari toksin disebut sebagai uji toksisitas. Uji
toksisitas dilakukan dalam beberapa bidang ilmu salah satunya dalam ilmu
pencegahan dan teraupetik (Wirasuta dan Niruri, 2007). Uji toksisitas merupakan
6
salah satu bentuk evaluasi efek suatu herbal yang akan diaplikasikan sebagai
pengobatan di masyarakat. Uji toksisitas herbal harus dinilai pada beberapa jenis
hewan coba (Wirasuta dan Niruri, 2007). Uji toksisitas herbal yang menjadi bahan
obat dapat dilakukan secara akut, subkronis dan kronis (Hanifah, 2015).
2.1.2 Mekanisme Kerja Toksikan dan Metabolisme Zat Toksik dalam tubuh
2007).
Fase eksposisi disebut juga fase farmaseutika yang merupakan fase awal
toksin masuk kedalam tubuh organisme. Fase ini dipengaruhi oleh bentuk sediaan
toksin, karena pada fase ini toksin larut secara merata dan akan terjadi absorbsi
dari zat aktif tersebut sehingga menimbulkan efek biologik. Absorbsi zat aktif
tersebut dipengaruhi oleh konsentrasi dan lamanya paparan dari zat aktif
distribusi, ekskresi dan metabolisme toksin (Katzung BG, 2013). Pada Fase ini zat
aktif toksin tersebar didalam seluruh pembuluh darah dan pembuluh limfe yang
menyebabkan adanya interaksi antara zat aktif toksin dengan reseptornya didalam
tubuh. Pada fase ini juga terjadi ekskresi dari zat racun dan terjadi pembentukan
Niruri, 2007).
7
munculnya efek dari zat aktif yang bersifat toksik, sifat toksik dari suatu bahan
Toksikodinamik juga disebut fase untuk menilai efek merugikan dari zat aktif
(Katzung BG, 2013). Efek merugikan yang muncul merupakan hasil interaksi zat
aktif dengan reseptor, yang dapat terjadi secara reversibel dan irreversibel.
Interaksi yang reversibel akan menyebabkan efek toksik menghilang setelah zat
Metabolisme zat toksik pada tubuh mengalami 2 fase. Pada fase 1, reaksi
masuk ketubuh akan diubah dalam bentuk aktif menjadi inaktif untuk
akan diubah dari kondisi inaktif menjadi aktif. Sitokrom P450 merupakan
reduksi sitokrom P450 yang akan di oksidasi oleh substrat enzimatik sehingga
asing dalam tubuh. Senyawa menjadi lebih larut dan kemudian akan mudah di
ekskresikan. Pada tahap ini ada beberapa tipe reaksi, diantarnya : tipe pertama
sulfasi yang dalam reaksi ini diperankan oleh adenosin 3 fosfat 5 fosfosulfat. Tipe
merupakan tripeptida yang terdiri dari asam glutamat,sistein dan glisin. Senyawa
yang bersifat karsinogenik atau yang berpotensi toksik dikonjugasikan oleh GSH.
Enzim yang mengkatalisis reaksi ini adalah glutation S-transferase yang banyak
didapatkan pada sitosol hepatosit. Proses konjugasi oleh enzim ini sangat penting
karena jika proses konjugasi tidak terjadi maka zat yang bersifat toksik akan
berikatan dengan DNA, RNA dan protein sehingga menimbulkan kematian sel.
Gugus glutamil dan glisin dipisahkan dari glutation oleh enzim spesifik dan gugus
dan dapat dikatalisis oleh glutation peroksidase (Murray dkk, 2014). Beberapa
kondisi dapat menurunkan kadar GSH seperti obat,alkohol, makanan dan polusi
Toksik merupakan salah satu jejas sel yang dapat menyebabkan kematian
pada sel. Hal ini dipengaruhi oleh jenis toksik, lama paparan toksik, sifat toksik,
kemampuan sel beradaptasi, genetika sel, dan kemampuan fisiologis organel sel.
Senyawa yang bersifat toksik akan menyebabkan jejas pada sel yang bersifat
reversibel atau irreversibel. Jejas sel yang reversibel merupakan jenis jejas yang
9
tidak mengakibatkan kerusakan membran dan inti. Jejas sel yang irreversibel
merupakan efek toksik yang berat sehingga sel tidak dapat pulih kembali dan
Mekanisme kematian sel yang diakibatkan oleh jejas toksik adalah kematian
Mekanisme aktivasi jalur nekrosis karena adanya interkasi langsung antara zat
toksik dengan organel sel yang penting, seperti interaksi dengan membran sel
Selain itu zat toksik dapat membentuk radikal bebas yang dapat menyebabkan
kerusakan pada asam nuklet, protein dan lipid di dalam sel. Radikal bebas yang
menyebabkan jejas pada sel adalah Reactive Oxygen Species (ROS). ROS
menginduksi kematian sel dari tiga mekanisme utama yaitu peroksidasi lemak
pada membran, reaksi silang pada protein dan kerusakan DNA (Kumar, 2013).
ROS terbentuk dari superoksida yang akan diubah menjadi hidrogen peroksida,
yang kemudian melalui reaksi fenton menjadi radikal hidroksil karena adanya
unsur logam seperti Fe2+. ROS juga dihasilkan oleh sel fagosit sebagai bahan
beberapa keadaan seperti absorbsi energi radiasi, metabolisme enzim dari zat
kimia eksogen, dan proses peradangan. Radikal bebas akan dinetralkan dengan
10
(Kumar, 2013) :
pembentukan protein.
Kematian secara nekrosis dapat di lihat dari gambaran histologi organ yang
mengalami nekrosis. Suatu sel yang mengalami nekrosis memiliki perubahan pada
gambaran sitoplasma yaitu warna yang lebih terang karena peningkatan ikatan
diskontinue pada membran plasma dan organel, dilatasi atau odem sel, kerusakan
lisosom dan mielin di sitoplasma. Perubahan pada inti sel yaitu kromatin
memudar yang disebut kariolisis, inti mengecil disebut piknosis, dan inti piknotik
Uji toksisitas dalam PerMenKes tahun 1992 merupakan tahapan uji senyawa
sebelum dikonsusmsi oleh masyarakat. Uji toksisitas dapat dilakukan pada hewan
air dengan metode pengenceran dari larutan atau tanpa pengenceran, yang
dilakukan dengan air bersih bebas klorin. Penggantian larutan dilakukan setiap 24
jam atau dalam waktu yang telah ditentukan peneliti. Pengujian dengan
Uji toksisitas akut merupakan penilaian potensi berbahaya suatu bahan toksik
dalam jangka waktu pendek yaitu 24-96 jam. Penilaian waktu akut diambil
sebagai panduan untuk melakukan uji toksisitas dalam waktu yang lebih lama dan
akut. Tujuan dari uji toksisitas akut yaitu menentukan nilai lethal,
untuk mengetahui efek kerusakan organ dan untuk memberikan batas aman suatu
uji toksisitas akut adalah menentukan konsentrasi bahan uji yang memiliki efek
negatif dalam suatu kondisi jangka pendek, uji toksisitas akut paling umum
melihat konsentrasi senyawa yang dapat menyebabkan kematian 50% dari total
sampel yang digunakan atau disebut dengan nilai LC 50 atau LD50. Hasil yang
organisme (OECD,2012). Uji toksisitas akut terdiri dari uji respon kematian untuk
menentukan nilai LD atau LC, uji iritasi mata dan kulit dari hewan coba, dan
Uji toksisitas sub kronik dilakukan dengan pemberian paparan yang berulang
selama 10% masa hidup hewan coba, dalam hari secara umum dilakukan 14
hingga 28 hari dan dapat dilanjutkan hingga 90 hari sesuai dengan hewan coba
yang digunakan (Lu,2010). Uji toksisitas subkronik dilakukan untuk menilai dosis
letal selama ≥ 14 hari dan melihat efek dari suatu bahan toksik pada perubahan
prilaku, panjang dan berat badan, dan perubahan fungsi organ (OECD,201).
Berdasarkan PerMenKes (1992) Uji toksisitas sub kronik dilakukan untuk melihat
vital seperti otak, jantung, hepar, ginjal, yang dilakukan dengan mengamati
tersebut. Uji toksisitas dilakukan dengan waktu sub kronik, karena pada
penggunaan alami zat toksikan sering digunakan dalam waktu berulang hingga
menimbulkan efek (Thomas Dan Janz, 2011). Tujuan dari uji toksisitas subkronik
adalah menentukan nilai NOEC dan LOEC, perubahan pada organ, mortalitas,
respon biologis seperti hematologic dan biokimia darah, perilaku yang tidak
14
toksik pada organ karena waktu subkronik memberikan informasi yang lebih
realistis terhadap efek racun dibandingkan dengan toksisitas akut. Pengujian sub
akut biasanya menggunakan 3 rentan dosis dengan nilai terendah merupkan nilai
perubahan pada parameter yang dinilai pada hewan coba, dosis menengah, dan
Uji toksisitas kronik merupakan uji yang dilakukan dalam waktu bulan
hingga tahun berdasarkan hewan coba yang digunakan (Lu,2010). Uji toksisitas
kronik berdasarkan PerMenKes (1992) lama paparan pada hewan coba disamakan
dilakukan untuk melihat efek kematian, efek karsinogenik, efek reproduksi dan
fungsi organ. Pada uji toksisitas kronik dilakukan pegamatan efek pada semua
organ dan melihat tingkat keparahan yang terjadi dimasing-masing organ, karena
beberapa senyawa memiliki sifat toksik yang berbeda pada organ yang berbeda
(Soemirat, 2005). Tujuan uji toksisitas kronik adalah menetukan organ yang rusak
dan menjadi tahap akhir potensi karsinogenik dari suatu bahan (Arome, 2013).
Uji toksisitas kronik mampu melihat suatu efek dengan komplek dari suatu
organ dan melihat efek karsinogenik pada organ. Uji toksisitas kronik dalam
15
(Vosyliene,2007).
Lethal Concentration 50% (LC50) adalah nilai konsentasi dari suatu senyawa
yang dapat meyebabkan kematian 50% dari jumlah populasi hewan. Prinsip uji
toksisitas dengan menetukan nilai LC50 adalah hubungan antara waktu paparan
dengan kematian hewan coba (Vosyliene, 2007), dimana ikan dipaparkan dalam
waktu tertentu yang menyebabkan kematian 50% dari jumlah sampel (OECD,
2012). LC50 merupakan uji toksisitas akut yang paling sering dilakukan untuk
menilai kematian hewan coba, gerak hewan coba yang menurun, gerak insang
yang menurun, dan reaksinya terhadap suatu sentuhan. LC50 tidak hanya
Hewan coba yang digunakan untuk menentukan nilai LC50 adalah hewan
adalah ikan. Ikan merupakan hewan air yang dapat hidup dalam laboratorium,
sebaiknya adalah > 10 ekor ikan, lingkungan harus jauh dari kontaminasi sehingga
metode yang baik digunakan adalah semi statis (OECD, 2012). Ikan yang
suatu senyawa dengan melihat nilai LC50. Dilakukan analisa probit pada masing-
(MATC)
toksik yang dapat terkompensasi oleh hewan coba. MATC adalah hasil
pengukuran rerata dari nilai NOEC dan LOEC. Uji MATC dilakukan untuk
kontrol baik secara biologis dan statistik pada hewan coba yang terpapar (Johari,
dan perkembangan, masa hidup dari hewan coba (Johari, 2014), Sehingga dalam
penentuan LOEC dan NOEC observasi juga penting dilakukan pada kelompok
kontrol.
NOEC merupakan nilai batas aman dari suatu zat untuk diaplikasikan pada
manusia, sedangkan LOEC merupakan nilai batas yang tidak dapat diaplikasikan
manusia. Pada penentuan NOEC dan LOEC harus dilakukan observasi dari efek
biologis tidak hanya dihitung secara statistik (Crane, 2000). Pada Uji NOEC,
maksimal efek yang ditimbulkan adalah 10%. Untuk menentukan NOEC dapat
17
menggunakan rumus LOEC/2, namun rumus ini dapat digunakan jika efek yang
ditimbulkan >10% dan <20% jika dibandingkan dengan kontrol (ECA, 2008).
Filum : Spermatophyta
Kelas : Dycotiledoneae
Ordo : Rutales
Genus : Azadirachta
dapat tumbuh pada kondisi yang sangat kering dan dapat beradaptasi pada
tanah basa yaitu pH ± 8,5 (Nishan, 2014). Tanaman nimba disebut cemara tropis
dengan tinggi 12-18 meter dan diameter pohon 1,8-2,4 meter ( Bempah, 2011).
18
Daunnya dapat gugur dan tumbuh lagi pada bulan maret dan april (puri,
1999). Warna daun nimba hijau, berimbun diujung dahan dan memiliki 2 kelenjar
dibagian dasar (Orwa, 1999). Daunnya memiliki 3 lobus stigmata (Nishan, 2014).
Bentuk daun menyirip ganda dengan panjang 30 cm. Anak daun memiliki bentuk
bergerigi yang jumlahnya ± 10-12 lembar, panjangnya 7cm dan lebarnya 2,5 cm.
Daun tumbuh subur didaerah yang kering dan gersang (Bempah, 2011). Daun
2.2.3 Kandungan Zat Aktif dan Manfaat Daun Nimba (Azadirachta indica
A.juss)
Senyawa pada nimba dibagi dalam 2 kelas utama. Kelas pertama yaitu
Zat aktif tersebut memliki beberapa manfaat seperti, limonoid yang efektif
Salah satu senyawa yang diketahui terdapat pada nimba adalah azadirachtin
yang terdapat pada semua bagian tumbuhan. Azadirachtin merupakan zat aktif
ada dalam sitoplasma dan nukleus, sehingga mempengaruhi aktivitas gen dan
efek menghambat pembelahan sel pada jalur miosis dan mitosis dan menghambat
menghambat pembelahan sel dengan blockade sel setelah terjadinya sintesis DNA
Selain itu nimba juga memiliki senyawa quercetin dan β sitosterol yang
dan membentuk reaksi dengan ion logam transisi, namun peningkatan dosis dapat
peroksida (Purba,2009).
Senyawa nimbolide yang banyak ditemukan didaun dan bunga memiliki efek
Staphyloccocus aureus dan antikanker yang diuji pada beberapa jenis sel kanker.
independent oksigen dan dependent oksigen, menginduksi sel Th1, aktivasi dari
Daun nimba memiliki beberapa zat aktif yang bersifat toksik seperti
golongan terpenoid tersebut dapat ditarik dengan pelarut air ( Marenti, 2014).
salah satunya pada spesies ikan Channa gacua. Hambatan pada cholinesterase
yang mempengaruhi kerja dari otot rangka dan otot polos, sehingga ganggaun
pada transmisi saraf dan otot dapat menyebabkan beberapa kondisi seperti ataksia
yang ditandai dengan abnormalitas gerak renang dari ikan, proses ini akan
jika tidak diberikan rangsangan, hal ini menyebabkan gerak ikan kepermukaan
untuk pengambilan oksigen gagal. Lethargy menjadi tanda awal akan terjadinya
respiratory yang ditandai dengan gangguan kadar ion pada ikan dan gerak ikan
sel kanker darah dan sel melanoma, pada penelitian ini dibuktikan bahwa
fragmentasi inti sel. Pada penelitian ini dijelaskan bahwa senyawa nimbolide
menyebabkan induksi kematian secara apoptosis pada dosis yang lebih rendah,
sedangkan pada dosis yang lebih tinggi menyebabkan kematian sel secara
nekrosis, kematian secara nekrosis diduga karena induksi apptosis yang tidak
(CAT). Paparan dekokta daun nimba pada dosis yang lebih tinggi dari LC50 secara
toksik, sehingga berefek pada integritas dan fungsi sel. Penelitian lain juga
menyatakan penurunan enzim katalase ditemukan pada dosis ekstrak daun nimba
pada species Cyprus carpio. Pada penelitian ini juga dibuktikan terjadinya
ROS dan radikal bebas reaktif lainnya. Penurunan GST dibuktikan pada dosis
LC50 yang ditemukan (Glisic, 2014). Selain itu ekstrak nimba menginduksi
(Priyadarsini, 2010). Tingginya kadar radikal bebas dalam suatu sel dapat
katalase yang diinduksi oleh ekstrak daun nimba akan menyebabkan penumpukan
beberapa sel organ. Pada spesies ikan katalase banyak dijadikan parameter
toksikologi lingkungan dengan melihat kondisi pada organ hepar, otak, dan insang
(Wu dkk, 2015). Selain itu juga terdapat gambaran kerusakan nekrosis jaringan
insang yang menandakan tingginya kadar radikal bebas yang diinduksi oleh
Pada penelitian ini mengamati toksisitas ekstrak air daun nimba pada
perubahan parameter ion plasma, biokimia dan enzim. Dari hasil penelitian
didapatkan, penurunan ion Na+ dan Cl- pada plasma, peningkatan K+ pada plasma,
penurunan protein, peningkatan SGOT dan SGPT pada insang, otot dan hepar
ikan yang menjadi tanda kerusakan organ tersebut. Gangguan konsentrasi ion
pada plasma di sebabkan karena organ osmeregulasi yaitu insang dan ginjal
sebanyak 95% (Barcarolli and Martinez, 2004). Ketidak seimbangan ion pada
sistemik. Penelitian ekstrak daun nimba pada ikan nila menyebabkan respon stres
(Saravanan, 2011). Toksisitas daun nimba juga dinilai pada efek neurotoksik pada
ikan zebra dengan melihat perubahan prilaku seperti anxiestas, pembelajaran dan
aktivitas locomotor dengan menilai aktivitas berenang. Pada dosis 40 ml/L ikan
zebra terlihat tremor, dan kondisi tremor merupakan kondisi awal indikasi adanya
Pada dosis yang meningkat efek antioksidan dari quercetin yang terkandung
pada daun nimba berubah menjadi prooksidan karena adanya proses metabolisme.
bersifat semireaktif, saat berinteraksi dengan oksigen radikal ini akan membentuk
superoksida yang merupakan radikal bebas, radikal quionon juga dapat bereaksi
bereaksi dengan Fe3+ membentuk suatu radikal quinon yang baru. Radikal
Filum : Chordata
Kelas : Actinopterygii
Ordo : Cypriniformes
Family : Cyprinidae
Subfamily : Rasborinidae
Genus : Danio
populasi. Ikan zebra memiliki tahapan perkembangan yang mudah diamati dari
embrio, larva, juvenil, dan dewasa. Ikan zebra dikatakan juvenil sejak umur 30
hari hingga 4 bulan atau mampu melakukan fertilisasi. Juvenil dan ikan zebra
dewasa memiliki morfologi yang sangat mirip, namun juvenil belum memiliki
umur dan diukur dari ujung mulut hingga pangkal ekor. Lebar tubuh anterior
diukur dari sirip punggung anterior ke sirip anal yang anterior. Lebar tubuh
bagian punggung diukur dari sirip punggung anterior ke sirip punggung posterior
(Pritchard, 2011).
Panjang tubuh ikan zebra fase juvenil ± 1 cm. Tubuhnya panjang, dengan
kepala yang pendek, memiliki bentuk mulut yang runcing. Rahang bawah lebih
menonjol sehingga bentuk mulut seperti terkunci rapat. Hal yang menjadi ciri
khas dari ikan ini adalah pigmen warna tubuh seperti zebra yang tersusun garis
longitudinal diseluruh tubuh. Perubahan dari larva ke juvenil yang paling tampak
adalah adanya pigmentasi pada permukaan tubuh, sirip dewasa yang muncul, dan
Bentuk tubuh ramping dan bagian lateral lebih tipis sehingga memiliki bentuk
tubuh runcing. Bentuk mulut oblique yang lebih condong keatas karena rahang
bawah lebih panjang keatas dan terlihat menonjol. Memiliki corak tubuh dengan
bentuk garis. Sirip anal bergaris. Sirip punggung memiliki warna biru tua dengan
batas putih. Pola warna ditentukan oleh sel pigmen yaitu melanophores,
xanthopores dan iridophores (Spence, 2008). Ikan zebra memiliki garis biru hitam
yang bersal dari sel pigmen melanosphores dan iridiophores. Garis kuning pada
pigmentasi sesuai dengan lingkungan luar untuk adaptasi dan perlindungan diri
(Reed B dan Maggy, 2011). Perkembangan corak tubuh dimulai dari bagian
tengah tubuh. Warna corak tubuh akan lebih terang saat ada bahaya (Spence,
2008).
27
Jantan dan betina memiliki warna yang sama. Jantan memiliki sirip anal yang
besar dan kekuningan. Saat juvenil sulit untuk membedakan jantan dan betina
karena cara membedakannya tidak dapat dari bentuk tubuh, tapi dengan melihat
Lingkungan hidup yang baik untuk ikan zebra adalah pH 7-8, dengan suhu 25ºC
2.3.3 Anatomi, Histologi dan Fisiologi Hepar Ikan Zebra (Danio rerio) Fase
Juvenile
Hepar merupakan organ solid yang memiliki 3 lobus yang berfungsi dalam
tempat penyimpanan beberapa substansi seperti lemak, asam amino dan glikogen
(ZFIN, 2013). Hepar ikan zebra terletak dekat dengan bagian cranial dan abdomen
yang berada disekitar sistem digestive. Pada ikan zebra area portal dan arteri
hepatika tidak dapat diamati. Darah masuk melalui vena portal yang bercabang
kesinusoid menyatu dengan pembuluh darah pusat dan dibawa keluar hepar.
28
Secara mikroskopik parenkim ikan zebra homogen terdiri dari hepatosit yang
Lumen sinusoid terdiri dari endotelium kontinue yang tidak memiliki lamina
basal. Hepatosit normal memiliki inti yang berada ditengah dengan bentuk oval
(Marciela et al, 2016). Hepar ikan zebra secara histologi memiliki gambaran
hepatosit yang tidak terorganisir dilobus dan trias portal tidak jelas. Memiliki
Vena porta, arteri hepatika, dan duktus biliaris yang besar dan struktur- struktur
ini tersebar diparenkim hati dan tidak membentuk sistem portal seperti mamalia
memanjang dan pusatnya ada disaluran empedu. Memiliki kanalikuli yang muncul
dari membran apikal hepatosit yang berada disekitar pusat saluran empedu.
saluran yang lebih besar. Saluran empedu yang besar dapat dianalisis dan tersusun
dari epitel kuboid. Hepar ikan zebra memiliki stellate cells namun tidak memiliki
Xenobiotik
Pada hepar ikan zebra terjadi proses metabolisme zat xenobiotik sama dengan
yang terjadi pada hewan mamalia dan manusia. Pada hepar ikan zebra ditemukan
adanya CYP3A65 yang homolog dengan CYP3 pada manuia yang merupakan sub
famili dari sitokrom P450 yang berperan dalam proses metabolisme zat pada
hepar pada fase 1. Pada hepar ikan zebra terdapat enzim GSH diekspresikan oleh
gen Gst alpha yang dalam hepatosit ikan zebra memiliki dua bentuk yaitu GSTA1
30
dan GSTA2. GSH yang merupakan enzim yang dibutuhkan dalam proses
konjugasi metabolisme zat xenobotik pada fase 2, kondisi GSH yang menurun
sering menjadi indikator pemeriksaan hepar untuk melihat suatu zat bersifat
toksik. Selain itu pada hepar ikan zebra terdapat enzim katalase yang merupakan
lemak, sebagi tempat penyimpanan besi, vitamin, produksi bilirubin (Wu dkk,
2015).
31
Pada metabolisme ikan zebra secara fisiologis akan dihasikan radikal bebas
seperti pada proses rantai elektron akan menghasilkan superoksida yang banyak,
selain itu tingginya kadar besi pada hepatosit dapat menginduksi terjadinya reaksi
pada hepar dapat terjadi kerusakan sel, namun hepar memiliki kandungan
Gambar 2.5 Mekanisme terbentuknya radikal bebas dan efek yang dapat
ROS dapat menginduksi peroksidasi lemak pada membran, reaksi silang pada
protein dan kerusakan DNA (Kumar, 2013). Radikal bebas akan dinetralkan
superoksida dismutase, hidrogen peroksida yang diubah menjadi molekul air oleh
glutathion dan katalase. ROS memiliki sifat reaktif terhadap protein dan lipid
Alasan penggunaan ikan zebra sebagai model hewan coba penelitian adalah
genom yang sudah dipetakan dan dipublikasikan. Penelitian ikan zebra sudah
tahap analisis molekuler. 70% gen yang terkait penyakit manusia homolog dengan
gen pada ikan zebra (Hollert, 2015). Ikan zebra memiliki 2 pasang kromosom
yang lebih dibandingkan dengan 23 pasang kromosom manusia (Hill, 2005). Ikan
zebra banyak dijadikan hewan model penelitian karena berdasarkan genom yang
telah diteliti, ikan zebra memunculkan beberapa jenis penyakit yang dapat muncul
pada manusia jika terpapar oleh toksik yang sama (Hill, 2005). Mutasi pada gen
penelitian ortholog gen ikan zebra dengan manusia (Ma dkk, 2003). Kedekatan
34
genetik dengan mamalia dapat menjadikan ikan zebra hewan coba pengganti
penggunaan spesies model mamalia seperti tikus yang perawatannya rumit dan
Ikan zebra memiliki anatomi, morfologi, fisiologi dan biokimia yang mudah
diamati untuk melihat efek xenobiotik (Hill, 2005). Ikan zebra dapat dipelihara
dan penyakit genetika. Ikan zebra merupakan ikan air tawar yang dapat digunakan
sebagai model hewan coba untuk penelitian skrining obat preklinik (Ma dkk,
2003). Ikan zebra dapat digunakan sebagai model hewan coba untuk penelitian
zebra dapat digunakan untuk mengetahui efek dari suatu senyawa dengan menilai
QT interval yang memiliki gelombang yang sama dengan manusia. Skrening obat
hepatotoksik dapat dinilai dengan melihat aktivitas enzim hepar dan nekrosis
hepar. Skrining obat neurotoksik dapat dinilai glial fibrillary acidic protein,
Secara morfologi ikan zebra memiliki ukuran yang kecil sehingga dengan
dkk, 2003). Beberapa kelebihan yang dimiliki oleh ikan zebra sebagai hewan
cepat, memerlukan wadah kecil untuk perlakuan (Ma dkk, 2003). ikan zebra
mudah diamati, dapat memberikan efek dari toksik yang ada dilingkungan
(Lawrence, 2007).
2.3.5 Ikan Zebra Fase Juvenil Sebagai Hewan Model Untuk Menentukan
Ikan zebra merupakan spesies air tawar yang sering digunakan untuk menilai
toksikologi. Ikan zebra dapat digunakan untuk mengetahui nilai toksik senyawa,
hubungan tingkatan dosis toksik dengan efek yang dimunculkan, dan mekanisme
dalam tubuh. Uji toksisitas pada ikan zebra dapat dilakukan dalam waktu akut,
dosis paparan. Efek yang ditimbulkan dapat dinilai dari kematian, pertumbuhan,
kelainan prilaku, dan gangguan pada organ. Efek kematian karena paparan toksik
ikan zebra dapat ditentukan dengan metode LC50 (Ma dkk, 2003).
Uji toksisitas akut (96 jam) obat golongan NSAD diclofenac dengan mencari
nilai LC50 pada juvenile dan embrio ikan zebra. Nilai LC 50 yang didapatkan pada
embrio dan juvenile berbeda. Berdasarkan peneltian, sensitifitas suatu zat toksik
enzim, jalur metabolisme, dan proses penyerapan toksin oleh tubuh (Praskova
dkk,2011). Pada uji toksisitas terbutryn dengan embrio dan juvenile ikan zebra,
36
didapatkan signifikansi nilai LC50 lebih tinggi pada juvenile ikan zebra.
Juvenile merupakan tahapan setelah larva dimana membran yang melapisi embrio
telah terlepas, sehingga zat toksik langsung memapar tubuh dari juvenile (Pihalová
memiliki sensitifitas tinggi terhadap toksik karena sistem enzimatif yang belum
bekerja secara optimal. Namun, juvenile memiliki sensitifitas yang lebih tinggi
karena memiliki sistem metabolisme toksik yang lengkap dan tidak memiliki
2.3.6 Ikan Zebra Fase Juvenil Sebagai Hewan Model Untuk Menilai
dilakukan pada hepar, ginjal, dan otak ikan zebra. Penelitian dilakukan dengan
melihat efeknya pada histologi dari organ-organ tersebut. Dari hasil penelitian
dilakukan adalah untuk melihat efek akut dari ivermektin yang dinilai pada
histologi terjadi pada hari ke 21 dan hari ke 28. Gambaran histologi dari hepar
37
Secara histologi sel hepatosit ikan zebra terbentuk pada 52 hpf. Fungsi dari
hepar ikan zebra adalah produksi empedu, sekresi protein serum, penyimpanan
zebra menjadi salah satu indikator penelitian untuk evaluasi efek paparan obat dan
racun (chu and sadler, 2009). Kerusakan pada hepar dapat terjadi karena
metabolisme zat toksik terbesar terjadi dihepar. Pada tahap detoksifikasi fase I sel
dilakukan oleh hepar. proses perlawanan terhadap zat toksik akan meningkatkan
kerja hepatosit yang juga dipengaruhi oleh cara kerja toksik, sehingga dapat
sel karena stressor. Efek toksik yang terpapar secara lama dapat menyebabkan
kematian sel (nekrosis) karena metabolisme sel yang terganggu (Rajini, 2015).
inflamasi pada sel hepatosit. Adanya kondisi vakuolasi menyebabkan sintesi dari
zat xenobiotik tidak terjadi secara sempurna hingga pelepasanya keluar hepar.
hepatosit yang menjadi abnormal, maka proses sintesis lipid pada hepar akan
38
BAB III
KERANGKA KONSEP
Azadirachtin Nimbolide
Detoksifikasi
Hambat asetilcholinesterase Sintesis protein dihepar
terhambat
Asetil-kolin terakumulasi disinap
Pembentukan enzim Menghasilkan generasi
Gangguan stimulasi post sinap menurun ROS dihepatosit
Keterangan :
Simplisia daun nimba diekstrak menggunakan pelarut air dengan metode
dekoktasi. Sehingga mampu menarik zat aktif azadirachtin dan nimbolide.
Dekokta daun nimba dipaparkan pada ikan zebra fase juvenil. Zat aktif
azadirachtin dan nimbolide akan bereaksi didalam tubuh ikan zebra. Azadirachtin
menyebabkan hambatan asetilkolinesterase sehingga asetilkolin terakumulasi
disinap, hal ini menyebabkan regulasi sistem saraf dan otot terganggu sehingga
menyebabkan beberapa kondisi diantaranya ataksia yang merupakan tanda
ganggaun regulasi sistem saraf dengan otot rangka yang selanjutnya
menyebabakan letargi yaitu kondisi penurunan kesadaran yang masih dapat
dipulihkan dengan suatu rangsangan. Selain itu terjadi gangguan pada regulasi
sistem saraf dan sistem respirasi menyebabkan kondisi distres respiratori pada
ikan yang ditandai dengan perubahan osmoregulasi dan perilaku ikan, hal ini akan
menginduksi kematian ikan sehingga dapat menentukan nilai LC50. Azadirachtin
juga memiliki efek langsung pada sel yaitu penghambatan sistesis protein yang
akan berdampak pada penurunan produksi enzim khususnya enzim yang bersifat
antioksidan seperti katalase dan GSH. Paparan zat aktif nimbolide mengahsilkan
generasi ROS selain itu pada proses detoksifikasi dari zat aktif akan terbentuk
ROS, ROS yang meningkat tidak dapat di netralkan oleh antioksidan endogen
karena produksi yang menurun sehingga menyebabkan ROS terakumulasi dan
menimbulkan kerusakan membran sel. Keruskan membran sel dapat
menyebabkan peningkatan Ca intrasel sehingga mengaktifasi endonuklease yang
dapat menyebakan keruskan inti. Kerusakan inti dimulai dari kariolisis yaitu
benang kromatin yang memudar, kemudian terjadi pengecilan inti sel yang
disebut piknosis dan terakhir inti sel mengalami fragmentasi yang disebut
karioreksis, gambaran ini merupakan jalur kematian nekrosis yang dapat terjadi
pada sel hepatosit ikan zebra fase juvenil.
41
H0:
H1:
Variabel Bebas
Variabel Terikat
Konsentrasi ambang dari dekokta daun nimba yang dibatasi oleh nilai
LOEC dan NOEC dekokta daun nimba di proses dengan cara ekstraksi
simplisia daun nimba menggunakan pelarut air pada suhu 90ºC selama 30
simplisia daun nimba menggunakan pelarut air pada suhu 90ºC selama 30
persentase dari jumlah sel hepatosit yang mengalami nekrosis pada ikan
zebra fase juvenil dengan ciri morfologi panjang badan 1-2 cm, batas
pigmentasi pada permukaan tubuh belum sempurna, sirip kecil, dan tidak
subjektivitas dan diamati pada 5 lapang pandang dengan gambaran inti sel
43
mengecil dan warna basofil meningkat (piknosis) dan inti yang piknosis
BAB IV
METODE PENELITIAN
menggunakan desain penelitian control group post test only design dengan tujuan
untuk mengetahui nilai Lethal Concentration 50% dan efek toksik sub kronik
indica A.Juss) terhadap Ikan Zebra (Danio rerio), telah mendapatkan surat
Sampel yang digunakan pada penelitian ini yaitu ikan zebra fase juvenil
dengan usia 2 bulan dan ukuran tubuh 1-2 cm (Singleman, 2014), pemilihan
sebanyak 3 kali, sehingga total ikan yang dibutuhkan untuk 9 dosis adalah 270
hepatosit ikan zebra fase juvenil dibagi dalam 4 kelompok yaitu kelompok
kontrol, terapi, MATC dan LC50. Penentuan jumlah sampel per kelompok
3. Minyak emersi
4. Kamera
Hewan coba yang digunakan adalah ikan zebra fase juvenil, yang diperoleh
dari Sentra Pembiakan Ikan Zebra Tulung Agung. Identifikasi dan sertifikasi
47
Dilakukan adaptasi selama 7 hari pada ikan zebra fase juvenil dengan suhu
Universitas Islam Malang dengan tujuan untuk melihat kemampuan bertahan ikan
laboratorium.
dengan aerator set, termometer dan heater dengan suhu 28-29 ºC. Ikan Zebra fase
dalam satuan mg lalu dimasukkan ke pelarut air 1 L diletakkan diatas air yang
suhunya 90ºC selama 30 menit, sehingga menjadi satuan mg/L (ppm). Hasil
200ppm, 300ppm, 400ppm, 500ppm, dan 600ppm, 700ppm, dan 800ppm. Dosis
LC50 ditentukan dari trial dose berdasarkan kelipatan dari 100 ppm. Hasil trial
100ppm, 125ppm, 150ppm, dan 175ppm berdasarkan trial dose dari kelipatan 25
ppm (Osanaiye, 2013), hasil yang diharapkan adalah adanya efek kematian pada
dosis terendah (LOEC) dan tidak adanya efek kematian pada dosis tertinggi
Penentuan dosis berdasarkan pada 8 kelompok trial dose. Jumlah ikan yang
digunakan adalah 10 ekor ikan zebra fase juvenil dengan 3 kali ulangan. Total
ikan zebra fase juvenil yang digunakan adalah 240 ekor. Lama paparan dekokta
daun nimba adalah 15 hari dan penggantian dekokta daun nimba setiap <24 jam.
fase juvenil. Pada proses perlakuan digunakan 12 ekor ikan zebra fase juvenil
sehingga total sampel yang dibuthkan adalah 48 ekor ikan zebra fase juvenil.
51
4.4 Tabel Perlakuan Uji Nekrosis Hepatosit Ikan Zebra Fase Juvenil
yang ditandai dengan hilangnya pergerakan ikan zebra dilakukan insisi dibagian
inferior tubuh ikan zebra, selanjutnya dilakukan pengambilan organ hepar ikan
perlakuan, dilakukan proses dehidrasi untuk menarik air secara bertahap dengan
formalin 10% selama 5 jam, dilanjutkan pemberian aceton 3 kali setiap 30 menit.
mengganti alkohol dari jaringan dengan Xylol 3 kali setiap 30 menit. Tahap ketiga
tahap kedua 1 jam. Tahap ke empat adalah pengeblokan yang bertujuan untuk
52
xylol 3 kali setiap 5 menit. Selanjutnya tahap pewarnaan jaringan dengan tahap
kedalam air selama 10 menit, selanjutnya pengecetan dengan cat utama yaitu
aminia air 5-10 celup, selnjutnya dilakukan cat pembanding dengan eosin 1%,
xylol, tahap akhir mounting dengan etelen dan deckglass. Selanjutnya dilakukan
analisa preparat.
binokuler perbesaran 1000x, pada 5 lapang pandang dan dihitung oleh 3 orang
menentukan jumlah nekrosis hepatosit yang ditandai dengan perubahan pada inti
sel yaitu, kariolisis (warna benang-benang kromatin memudar), piknosis ( inti sel
Gambar 4.1 histologi normal hepatosit ikan zebra fase juvenil (Rajini,2015)
varian (ANOVA) apabila persyaratan nya terpenuhi yaitu penelitian > 2 sampel,
jumlah sampel homogen pada setiap kelompok dan jenis data terdistribusi normal.
kelompok perlakuan dengan nilai p < 0,005. Analisa post hoc test LSD digunakan
penelitian. Analisa data yang tidak memenuhi syarat dilakukan dengan analisa
non parametric menggunakan Kruskal wallis dan man whitney . Analisa data
untuk LC50 menggunakan regresi probit untuk menganalisis berbagai respon dosis
yang digunakan sehingga dapat menentukan toksisitas relatif dari bahan kimia
Kelompok perlakuan
K1 K2 K3 K4 K5 K6 K7 K8 K9
DDN DDN DDN DDN DDN DDN DDN DDN DDN
75 100 200 300 400 500 600 700 800
ppm ppm ppm ppm ppm ppm ppm ppm
ppm
(3x) (3x) (3x) (3x) (3x) (3x) (3x) (3x)
(3x)
Hasil
Kesimpulan
56
Hasil
Analisa Data
Kesimpulan
57
BAB V
5.1 Nilai Lethal Concentration 50% (LC50) Sub Kronik Dekokta Daun Nimba
(Azadirachta indica A. Juss) pada Ikan Zebra (Danio rerio) Fase Juvenil
Nilai LC50 sub kronik dekokta daun nimba pada ikan zebra fase juvenil dapat
Tabel 5.1 Rerata Persentase Kematian Ikan Zebra Fase Juvenil Yang
dipaparkan Dekokta Daun Nimba Secara Sub Kronik pada Beberapa Trial
Dose
Berdasarkan Analisa probit pada tabel 5.2, didapatkan nilai LC50 sub kronik
dekokta daun nimba yang dipaparkan pada ikan zebra fase juvenil adalah 409,736
mg/L. Dosis LC50 yang didapatkan termasuk dalam deskripsi hampir toksik
persentase kematian ikan zebra fase juvenile memiliki nilai 132 mg/L.
5.2 Hasil Paparan Subkronik Dekokta Daun Nimba (Azadirachta indica A.Juss)
Terhadap Jumlah Hepatosit Nekrosis Ikan Zebra (Danio rerio) Fase Juvenil
A B
C D
Keterangan : Gambar 5.1 merupakan gambaran hepatosit ikan zebra dengan
pewarnaan Hematoxilin Eosin yang diamati pada mikroskop binokuler perbesaran
1000x. gambar A. Kontrol, B. Dosis Terpai (50 mg/L), C. Dosis MATC (mg/L),
D. Dosis LC50 (410mg/L). merupakan gambar hepatosit normal, hepatosit
nekrosis (kariolisis), hepatosit nekrosis (piknosis), hepatosit nekrosis
(karioreksis).
59
Tabel 5.3 Rerata Persentase Hepatosit Nekrosis Ikan Zebra Fase Juvenil
100.00
90.00 c
b
80.00
70.00
60.00
50.00
40.00
30.00
20.00 a a
10.00
0.00
kontrol terapi MATC LC50
Kelompok Perlakuan
Keterangan: tabel 5.3 dan gambar 5.2 merupakan data hasil hitungan rerata jumlah
hepatosit nekrosis (%) ikan zebra yang yang dipaparkan dekokta daun nimba
dalam waktu sub kronik (15 hari). Data dianalisa menggunakan uji statistik
Kruskal Wallis Test dengan hasil p<0,05 dan dilanjutkan dengan analisa Mann
Whitney Test. Notasi a p<0,05 terhadap kelompok dosis MATC dan LC50, notasi b
p<0,05 terhadap kelompok kontrol, dosis terapi, dan dosis LC50, notasi c p<0,05
terhadap kelompok kontrol, dosis terapi dan dosis MATC.
kelompok kontrol (p<0,05) dan 85,9% dan 87,4% dibandingkan kelompok dosis
60
hepatosit nekrosis ikan zebra fase juvenil sebesar 10,7% dibandingkan kelompok
Rerata
Kelompok hepatosit
penelitian nekrosis
Spearman's Kelompok Correlation
1.000 .816**
rho penelitian Coefficient
Sig. (2-tailed) . .000
N 20 20
Rerata Correlation
.816** 1.000
hepatosit Coefficient
nekrosis Sig. (2-tailed) .000 .
N 20 20
Keterangan: tabel 5.4 merupakan hasil uji korelasi Spearman rho antara kelompok
kontrol, terapi, MATC dan LC50 dengan rerata persentase hepatosit nekrosis.
Didapatkan adanya hubungan yang signifikan (p<0,05), koefisien korelasi
0,816** dan arah hubungan positif.
Berdasarkan tabel 5.4 didapatkan hasil yang signifikan dengan korelasi positif
antara rerata jumlah hepatosit nekrosis ikan zebra fase juvenile dengan kelompok
perlakuan yaitu kontrol, dosis terapi (50mg/L), dosis MATC (132 mg/L), dan
hepatosit nekrosis ikan zebra fase juvenile sebesar 0,816%, sehingga peningkatan
dosis dekokta daun nimba akan meningkatkan jumlah hepatosit nekrosis ikan
BAB VI
PEMBAHASAN
6.1 Nilai Lethal Concentration 50% (LC50) Sub Kronik Dekokta Daun Nimba
(Azadirachta indica A.Juss) Pada Ikan Zebra (Danio rerio) Fase Juvenil
Pada penelitian ini nilai LC50 subkronik dekokta daun nimba pada ikan zebra
fase juvenil adalah 409,736 mg/L dan termasuk dalam tingkat hampir toksik
dipengaruhi oleh beberapa hal yaitu zat aktif pada nimba yang bersifat toksik
(Mordue,2000), tingkat dosis waktu paparan dari daun nimba (Kumar, 2012) dan
tahap perkembangan dari ikan zebra yaitu fase juvenile (Dhara,2016). Daun
nimba yang diekstrak menggunakan metode dekoktasi dengan pelarut air dapat
alkaloid (Al-Hasemi,2016).
terdapat pada daun nimba akan masuk kedalam tubuh ikan zebra (Wirasuta dan
pembuluh darah dan menimbulkan efek pada sistem neuromusular junction yaitu
menjadi kolin dan asetat untuk mencegah depolarisasi yang terus menerus
62
oleh terminal saraf ke celah sinap yang kemudian berikatan dengan reseptornya
untuk menghantarkan impuls saraf. Selanjutnya Ach akan didegradasi oleh AChe
yang berada dimembran post sinap. Jika terjadi hambatan pada kerja AChe, saraf
akan mengalami depolarisasi secara terus menerus (Nathan, 2008) sehingga tidak
kerusakan pada sistem saraf pusat dan sistem saraf tepi yang menyebabkan
gangguan koordinasi antara sistem saraf dan otot rangka, menimbulkan kondisi
ataksia ditandai dengan gerak ikan yang abnormal (Bernadi, 2013), menyebabkan
otot kelelahan sehingga menimbulkan letargi ditandai dengan ikan akan bergerak
jika diberikan rangsangan sentuhan (Nathan, 2008) dan terjadi gangguan perilaku
awal gangguan respirasi, namun pada dosis yang lebih tinggi dibuktikan
Kekurangan oksigen pada ikan dapat menyebabkan terjadi hipoksia pada otak
Kematian pada hewan coba yang lingkungannya terpapar oleh dekokta daun
nimba dipengaruhi oleh tingkatan dosis dan lama paparan dari daun nimba
63
(Dhara,2016). Dosis nimba yang tinggi dan paparan yang lama akan mengubah
efek terapi dari zat aktif quercetin dan alkaloid. Quercetin merupakan golongan
obat antidiabetes (Satyanarayana,2015). Namun, pada dosis yang lebih tinggi dari
karena adanya hambatan pada enzim α-amilase dan α glucosidase yang berfungsi
Selain itu penggunakan hewan coba pada fase perkembangan juvenil diduga
menyebabkan distribusi dan akumulasi dari zat toksik cepat (Dhara, 2016), karena
ukuran tubuh dan umur ikan mempengaruhi tingkat sensitivitas ikan terhadap
difusi pada sistem pernafasan sekitar 60% belum sempurna, perkembangan lamela
insang dipengaruhi oleh proses pertukaran oksigen dan regulasi ion pada insang
menyebabkan ikan zebra fase juvenile yang memiliki pertumbuhan yang belum
6.2 Efek Paparan Subkronik Kelompok Kontrol Dan Dosis Terapi Dekokta
Daun Nimba (Azadirachta Indica A.Juss) Terhadap Jumlah Hepatosit
Nekrosis Ikan Zebra (Danio Rerio) Fase Juvenil
analisa data. Berdasarkan teori jumlah nekrosis yang terjadi pada kelompok
kontrol dan dosis terapi masuk dalam kategori ringan karena kurang dari
pembentukan radikal bebas dari fungsi fisiologi hepar ikan zebra dalam
Pada proses pembentukan energi terdapat kerja dari NADPH pada membran
dan dapat bereaksi dengan logam Fe2+ menghasilkan radikal hidroksi yang
Oxygen Species (ROS). Pada fase I bahan asing berikatan dengan sitokrom p450
oksidase pada ikan zebra diekspresikan oleh gen CYP3A65 dan CYP3A4 yang
diberikan lagi elektron oleh NADPH sehingga menjadikan substrat tidak reaktif
katalase dan GSH diubah menjadi H2O2 (Sukhla dkk, 2017; Chen, 2015).
ROS yang terbentuk karena adanya peningkatan kerja dari hepar dalam
terjadi kerusakan membran sel dan meningkatkan influx Ca2+ ke intrasel, hal ini
diduga karena ROS yang terbentuk dapat dinetralisir oleh antioksidan dari daun
nimba. Berdasarkan penelitian, jumlah antioksidan pada ikan yang terpapar daun
Quercetin dibentuk oleh gugus hidroksil fenolik yang melekat pada cincin
gluthation sebagai suatu antioksidan untuk mengubah H2O2 menjadi oksigen dan
(Chattopadhya,2003).
Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian Prihapsara (2017) yang
hepatosit ikan zebra fase juvenil pada kelompok MATC dan LC 50, jika
dibandingkan dengan kelompok kontrol dan dosis terapi. Hal ini didukung oleh
teori bahwa daun nimba mengandung zat aktif azadirachtin dan nimbolide yang
berdasarkan beberapa penelitian memiliki efek negatif pada sel (mordue, 2000;
Priyadarsini, 2010). Paparan dekokta daun nimba pada lingkungan ikan zebra
menyebabkan zat aktif pada nimba akan masuk kedalam tubuh ikan zebra. Zat
aktif pada nimba menjadi suatu zat asing yang akan dimetabolisme oleh hepar.
Metabolism zat asing pada hepar terjadi dalam 2 fase (Muray,2014). Pada fase I
zat aktif nimba akan berikatan dengan sitokrom p450 kemudian terjadi proses
oksidasi yang mengubah Fe2+ menjadi Fe3+ yang akan menyebabkan terbentuknya
radikal bebas dari nimba. Setelah itu akan terjadi proses oksidasi dengan
67
oksigen dan zataktif nimba yang berikatan dengan P450 hal ini membentuk
yang berpotensi toksik dikonjugasikan oleh glutation peroksidase dan reaksi ini
sitosol hepatosit (Muray dkk,2014). Pada ikan zebra terdapat glutation yang
diekspresikan oleh gen GSTA1 dan GSTA2 (Glisic,2014). Proses konjugasi oleh
enzim ini sangat penting karena jika proses konjugasi tidak terjadi maka zat yang
bersifat toksik akan berikatan dengan DNA, RNA dan protein sehingga
nimbolide dan superoksida meningkat, hal ini didukung oleh teori penelitian
radikal bebas (Priyadarsini, 2010). Superoksida (O2 ) yang terbentuk pada fase I
metabolisme akan diubah oleh SOD menjadi H2O2 yang bersifat toksik, sehingga
pada proses ini dibutuhkan peran katalase dan GST untuk mengubah H2O2
menjadi molekul air dan oksigen. Selain itu nimba memiliki kandungan quercetin
yang memiliki aktivitas prooksidan pada dosis yang tinggi seperti dosis MATC
Zat aktif azadirachtin yang terdapat pada nimba memiliki efek penghambatan
2000) baik itu katalase dan glutation. Hal ini menyebabkan adanya akumulasi
menginduksi kematian sel jalur nekrosis (Kumar,2013). Pada sel yang mengalami
gambaran DNA yang memadat dan mengecil dengan gambaran basophil yang
meningkat. Karioreksis adalah proses fargmentasi dari inti sel yang mengalami
piknosis (kumar,2013).
radikal bebas menyerang organ tubuh yang lain. Toksin yang terakumulasi di
pertukaran ion dan oksigen (Saravana,2011), hal ini akan menyebabkan tubuh
mengalami kekurangan oksigen dan dapat berdampak hipoksia pada otak. Selain
secara apoptosis pada dosis yang lebih rendah, sedangkan pada dosis yang lebih
pada paparan dekokta daun nimba dengan dosis lebih tinggi dari LC50 (Winkaler,
diduga menjadi penyebab adanya hubungan positif antara dosis paparan dekokta
BAB VII
PENUTUP
7.1 Kesimpulan
pada ikan zebra fase juvenil termasuk dalam tingkat hampir toksik
(409.736mg/L).
7.2 Saran
1. Perlu dilakukan penelitian biomarker pada hepar yaitu SGOT dan SGPT
pada ikan zebra fase juvenile yang dipaparkan dosis MATC dan LC 50
2. Perlu dilakukan penelitian kadar radikal bebas dan antioksidan pada hepar
Daftar Pustaka
Biodiversitas. 8(3):320–325
4 (5):605-607
2229-712x
72
104: 257–260
Juss) sebagai Pestisida Alami yang Aman Bagi Makhluk Hidup dan Ramah
Giulio R.T end David E.H. 2008. The toxicology of Fishes. CRC
grup.New York
Gupta and Mullins, 2009. Protocol for Adult Fish Dissection. Zebrafish
Course
Hanifah N.Z. 2015. Uji Toksisitas Akut Ekstrat Metanol Daun Sirsak
Terhadap Larva Artemia Salina Leach Dengan Metode Brine Shrimp Lethality
Heuzé V., Tran G., Archimède H., Bastianelli D., Lebas F. 2015. Neem
188-192
74
Kovrižnych J.A., Ružena S., Dagmar Z., Eva R., Elena S. 2014. Long-term
(30 days) toxicity of NiO nanoparticles for adult zebrafish Danio rerio.Interdiscip
Ma C., Chunlei P. Wen L.S., Chaojie Z., Chatherine W and Patricia. 2003.
Zebrafish: in vivo model for drug screening various characteristic of the zebrafish
Maithani A.,Versha P., Geeta P., Ishan D., and Deepak K. 2011.
India. 4(6):1824-1827.
Aquatic Toxicity Using A Zebrafish (Danio rerio) Model. Thai J Vet Med. 44(4):
445-452
Aveiro. Portugal
Mada. Yogyakarta.
Orwa C., Mutua A., Kindt R., Jamnadass R. dan Simons A. 2009.
(http://www.worldagroforestry.org/af/treedb/)
Indonesia
76
Plhalová L., Stanislava M., Petra D., Petr M., Zdeňka S., Vladimíra P.,
Iveta B., Eva V. and Helena M. 2010. Comparison of Terbutryn Acute Toxicity to
Danio rerio and Poecilia reticulata. ACTA VET. BRNO. 79: 593-598
in juvenile and embryonic stages of the zebrafish (Danio rerio). Polish Journal of
32(1):101–104
neem limonoids azadirachtin and nimbolide induce cell cycle arrest and
Puri H.S .1999. The Divine Tree Azadirachta indica. OPA (Overseas
R´obert K., et al. 2015. Fate and Effects Of The Residues Of Anticancer
Drugs In The Environment Acute and sub-chronic toxicity of four cytostatic drugs
Reed B. and Maggy. 2011. Guidance on the housing and care of Zebra
Rhaul de Oliveira. 2009. Zebrafish early life-stages and adults as a tool for
MEX: a Component of Neem Oil Whose Action Is Exerted at the Cell Membrane
14-26
Zebrafish, Danio Rerio: A Staging Tool for Teaching and Research. 11 (4)
Yogyakarta.
78
calculation and organ pathology. Iranian Journal of Fisheries Sciences 16(1) :26-
37
Spence R., Gabriele G., Christian L. and Carl S. 2008. The behaviour and
Leicester.UK
Vosylienë M.Z. 2007. Review Of The Methods For Acute and Chronic
Wei Lu J, Yi-Jung Ho, Yi-Ju Yang, Heng-An Liao, Shih-Ci Ciou, Liang-
In Lin, Da-Liang Ou. 2015. Zebrafish as a disease model for studying human
3:1213-1230
Acute lethal and sublethal effects of neem leaf extract on the neotropical
236–244
Udayana. Bali.