Anda di halaman 1dari 82

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Nimba (Azadirachta indica) merupakan salah satu tanaman yang

dimanfaatkan masyarakat sebagai obat herbal, karena memiliki manfaat sebagai

antimalaria, analgetik, antiinflamasi dan antioksidan (Alzohairy,2016). Namun,

beberapa penelitian membuktikan daun nimba menyebabkan beberapa gangguan

seperti, peningkatan kadar SGOT dan SGPT pada hepar dari ikan mrigala

(Cirrhinus mrigala) fase juvenil (Saravanan, 2011), nekrosis pada insang dan

ginjal Prochilodus lineatus fase juvenil (Winkaler, 2006), dan peningkataan

radikal bebas yang disebabkan penurunan aktivitas enzim katalase pada ikan mas

(Cyprinus carpio) (Winkaler, 2006). Secara empirik nimba menyebabkan seorang

anak mengalami keracunan dengan kondisi klinis muntah, kesadaran menurun,

takipnu dan kejang berulang yang kemudian pada hasil laboratorium ditemukan

perubahan pada enzim hepar dan terjadi leukositosis (Boeke dkk,2004).

Berdasarkan data tersebut perlu dilakukan uji toksisitas untuk mengetahui

keamanan penggunaan daun nimba

Uji toksisitas dapat dilakukan secara umum dan khusus. Uji toksisitas secara

umum dilakukan dengan cara menentukan Lethal Concentration 50% (LC50)

dalam waktu tertentu (sub kronik) (OECD, 2012). Uji toksisitas khusus dalam

waktu paparan subkronik dilakukan untuk melihat efek toksik terhadap perubahan

histologi organ hewan coba (Soemirat, 2005). Organ yang rentan terhadap zat
2

toksik adalah hepar karena berfungsi sebagai detoksifikasi. Metabolisme zat

toksik yang meningkat akan meningkatkan produksi radikal bebas dalam hepatosit

sehingga menginduksi kematian jalur nekrosis. Kerusakan hepar akan

menyebabkan toksikan terdistribusi keseluruh tubuh sehingga memicu kematian

dari hewan coba (Rajini, 2015). Hewan coba yang dapat digunakan dalam uji

toksisitas adalah ikan Zebra (Danio rerio) fase juvenil (OECD,2012).

Berdasarkan penelitian, ikan zebra (Danio rerio) memiliki 70% DNA yang

homolog dengan manusia (Hollert dan Steffen, 2015 ). Kelebihan fase juvenil

dalam mengamati efek toksik adalah zat toksik langsung memapar permukaan

tubuh ikan zebra (Pihalová dkk,2010) dan ukuran tubuh yang kecil mempercepat

proses distribusi dan akumulasi zat toksik tersebut (Diedrich,2015). Penelitian ini

dilakukan pada ikan zebra fase juvenil karena merupakan fase yang mewakili

masa anak-anak pada siklus hidup manusia, dimana fungsi hepar pada masa anak

mendukung proses pertumbuhan dan perkembangan (Karaman,2011).

Berdasarkan uraian tersebut maka perlu dilakukan pengujian toksisitas dekokta

daun nimba dengan menentukan Lethal Concentration 50 (LC50) dan melihat efek

dekokta daun nimba pada hepar jika dikonsumsi dalam waktu subkronik.
3

1.2 Rumusan Masalah

1. Berapakah dosis Lethal Concentration 50% (LC50) dekokta daun nimba

(Azadirachta indica ) pada ikan zebra (Danio rerio) fase juvenil yang

dipaparkan secara subkronik?

2. Bagaimana efek paparan subkronik dekokta daun nimba (Azadirachta

indica) pada dosis MATC dan Lethal Concentration 50% (LC50) terhadap

jumlah hepatosit nekrosis ikan zebra (Danio rerio) fase juvenil?

1.3 Tujuan Penelitian

1. Untuk menentukan dosis Lethal Concentration 50% (LC50) dekokta daun

nimba (Azadirachta indica ) pada ikan zebra (Danio rerio) fase juvenil

yang dipaparkan secara subkronik.

2. Untuk membuktikan efek paparan subkronik dekokta daun nimba

(Azadirachta indica) pada dosis MATC dan Lethal Concentration 50%

(LC50) terhadap jumlah hepatosit nekrosis juvenil ikan zebra (Danio

rerio).
4

1.4 Manfaat Penelitian

Secara teoritis : Sebagai landasan ilmiah tentang pengaruh nilai MATC dan

Lethal Concentration 50% (LC50) paparan subkronik dekokta daun nimba

(Azadirachta indica) terhadap jumlah hepatosit nekrosis ikan zebra (Denio

rerio) fase juvenil.

Secara praktis : Untuk menentukan batas dosis aman penggunaan daun

Nimba dalam jangka waktu tertentu.


5

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Toksisitas

2.1.1 Definisi Toksin dan Toksisitas

Toksin adalah zat yang dapat menimbulkan gejala abnormal hingga kematian

(Hardiansyah dan Rimbawan, 2000). Tubuh yang terpapar toksik secara konsisten

dapat mengalami perubahan fungsi secara fisiologis (Soemirat, 2005). Semua zat

dapat menjadi toksin dalam dosis tertentu. Efek dari toksin yang menimbulkan

kerusakan organ tubuh disebut toksisitas (Soemirat, 2005).

Toksisitas diartikan sebagai dosis toksin yang menghasilkan efek negatif

dalam waktu paparan tertentu (Nugroho, 2004). Toksisitas adalah potensi toksin

yang dapat menimbulkan efek berbahaya seperti kerusakan organ hingga kematian

pada organisme yang terpapar (Soemirat, 2005). Toksisitas dapat diuji dengan

tahap in-vitro menggunakan sel dan tahap in-vivo menggunakan beberapa jenis

spesies (Leusch dkk, 2012). Toksisitas juga dapat dilihat dari kemampuan toksin

berinteraksi secara molekuler dengan tubuh. Efek berbahaya yang timbul

tergantung pada interaksi molekuler antara toksin sebagai ligan dengan reseptor

yang diaktifkan pada tubuh. Efek yang timbul dipengaruhi oleh konsentrasi

toksin, jenis toksin, dan lama paparan toksin (Wirasuta dan Niruri, 2007).

Penilaian tingkat toksisitas dari toksin disebut sebagai uji toksisitas. Uji

toksisitas dilakukan dalam beberapa bidang ilmu salah satunya dalam ilmu

kedokteran. Dalam ilmu kedokteran toksisitas memiliki nilai diagnostik,

pencegahan dan teraupetik (Wirasuta dan Niruri, 2007). Uji toksisitas merupakan
6

salah satu bentuk evaluasi efek suatu herbal yang akan diaplikasikan sebagai

pengobatan di masyarakat. Uji toksisitas herbal harus dinilai pada beberapa jenis

hewan coba (Wirasuta dan Niruri, 2007). Uji toksisitas herbal yang menjadi bahan

obat dapat dilakukan secara akut, subkronis dan kronis (Hanifah, 2015).

2.1.2 Mekanisme Kerja Toksikan dan Metabolisme Zat Toksik dalam tubuh

Reaksi interaksi toksin dengan organisme memiliki 3 fase yaitu fase

eksposisi, fase toksikokinetik,dan fase toksikodinamik (Wirasuta dan Niruri,

2007).

Fase eksposisi disebut juga fase farmaseutika yang merupakan fase awal

toksin masuk kedalam tubuh organisme. Fase ini dipengaruhi oleh bentuk sediaan

toksin, karena pada fase ini toksin larut secara merata dan akan terjadi absorbsi

dari zat aktif tersebut sehingga menimbulkan efek biologik. Absorbsi zat aktif

tersebut dipengaruhi oleh konsentrasi dan lamanya paparan dari zat aktif

(Wirasuta dan Niruri, 2007).

Fase toksikokinetik disebut juga fase farmakokinetik merupakan fase

distribusi, ekskresi dan metabolisme toksin (Katzung BG, 2013). Pada Fase ini zat

aktif toksin tersebar didalam seluruh pembuluh darah dan pembuluh limfe yang

menyebabkan adanya interaksi antara zat aktif toksin dengan reseptornya didalam

tubuh. Pada fase ini juga terjadi ekskresi dari zat racun dan terjadi pembentukan

metabolit aktif yang dapat menyebabkan terjadinya toksifikasi (Wirasuta dan

Niruri, 2007).
7

Fase toksikodinamik atau disebut juga fase farmakodinamik, merupakan fase

munculnya efek dari zat aktif yang bersifat toksik, sifat toksik dari suatu bahan

akan mempengaruhi fungsi fisiologis dari tubuh (Gunawan, 2012).

Toksikodinamik juga disebut fase untuk menilai efek merugikan dari zat aktif

(Katzung BG, 2013). Efek merugikan yang muncul merupakan hasil interaksi zat

aktif dengan reseptor, yang dapat terjadi secara reversibel dan irreversibel.

Interaksi yang reversibel akan menyebabkan efek toksik menghilang setelah zat

aktif tereliminasi dari reseptornya, sedangkan interaksi yang irreversibel

menyebabkan perubahan biokimia sel yang dapat menyebabkan terbentuknya

peroksida sehingga menimbulkan cedera sel (Wirasuta dan Niruri, 2007).

Metabolisme zat toksik pada tubuh mengalami 2 fase. Pada fase 1, reaksi

diperankan oleh mono-oksigenase atau sitokrom P450. Senyawa asing yang

masuk ketubuh akan diubah dalam bentuk aktif menjadi inaktif untuk

diekskresikan. Namun beberapa obat yang bersifat prokarsinogen atau pro-drug

akan diubah dari kondisi inaktif menjadi aktif. Sitokrom P450 merupakan

monooksigenase yang penting dalam proses detoksifikasi obat. Lokasi dari

sitokrom P450 adalah retikulum endoplasma hepar dan intestine. Nicotinamide

Adenine Dinucleotide Phosphate (NADPH) memberikan pereduksi untuk proses

reduksi sitokrom P450 yang akan di oksidasi oleh substrat enzimatik sehingga

menjadi proses siklus hidroksilase. Fase 2 merupakan tahap konjugasi senyawa

asing dalam tubuh. Senyawa menjadi lebih larut dan kemudian akan mudah di

ekskresikan. Pada tahap ini ada beberapa tipe reaksi, diantarnya : tipe pertama

adalah glukuronidasi yang dilakukan oleh asam UDP-glukoronat yang merupakan


8

donor glukoronil dan berbagai glukuronosiltransferase. Tipe kedua adalah reaksi

sulfasi yang dalam reaksi ini diperankan oleh adenosin 3 fosfat 5 fosfosulfat. Tipe

ketiga adalah konjugasi dengan glutation atau gama-glutamil-sisteinilglisin yang

merupakan tripeptida yang terdiri dari asam glutamat,sistein dan glisin. Senyawa

yang bersifat karsinogenik atau yang berpotensi toksik dikonjugasikan oleh GSH.

Enzim yang mengkatalisis reaksi ini adalah glutation S-transferase yang banyak

didapatkan pada sitosol hepatosit. Proses konjugasi oleh enzim ini sangat penting

karena jika proses konjugasi tidak terjadi maka zat yang bersifat toksik akan

berikatan dengan DNA, RNA dan protein sehingga menimbulkan kematian sel.

Hasil konjugasi oleh glutation mengalami metabolisme sebelum diekskresikan.

Gugus glutamil dan glisin dipisahkan dari glutation oleh enzim spesifik dan gugus

asetil ditambhakan ke gugus amino residu sisteinil sehingga terbentuk asam

merkaptuat suatu konjugat L-asetilsistein yang diekskresikan ke urin. Glutation

merupakan dekomposisi dari hidrogen peroksida yang memiliki potensi toksik

dan dapat dikatalisis oleh glutation peroksidase (Murray dkk, 2014). Beberapa

kondisi dapat menurunkan kadar GSH seperti obat,alkohol, makanan dan polusi

lingkungan (Glisic, 2014) .

2.1.3 Jalur Kematian Akibat Jejas Toksik

Toksik merupakan salah satu jejas sel yang dapat menyebabkan kematian

pada sel. Hal ini dipengaruhi oleh jenis toksik, lama paparan toksik, sifat toksik,

kemampuan sel beradaptasi, genetika sel, dan kemampuan fisiologis organel sel.

Senyawa yang bersifat toksik akan menyebabkan jejas pada sel yang bersifat

reversibel atau irreversibel. Jejas sel yang reversibel merupakan jenis jejas yang
9

tidak mengakibatkan kerusakan membran dan inti. Jejas sel yang irreversibel

merupakan efek toksik yang berat sehingga sel tidak dapat pulih kembali dan

mengaktifkan mekanisme kematian (Kumar, 2013).

Mekanisme kematian sel yang diakibatkan oleh jejas toksik adalah kematian

secara nekrosis. Nekrosis disebut juga kematian yang bersifat patologis.

Mekanisme aktivasi jalur nekrosis karena adanya interkasi langsung antara zat

toksik dengan organel sel yang penting, seperti interaksi dengan membran sel

sehingga mengakibatkan peningkatan permeabilitas membran sel. Peningkatan

membran plasma akan mengganggu keseimbangan tekananan osmotik sehingga

permeabilitas membran meningkat dan menyebabkan keluarnya metabolit yang

dibutuhkan dalam pembentukan ATP. Kerusakan membran mitokondria

berhubungan dengan penurunan produksi ATP yang akan menyebabkan nekrosis.

Selain itu zat toksik dapat membentuk radikal bebas yang dapat menyebabkan

kerusakan pada asam nuklet, protein dan lipid di dalam sel. Radikal bebas yang

menyebabkan jejas pada sel adalah Reactive Oxygen Species (ROS). ROS

menginduksi kematian sel dari tiga mekanisme utama yaitu peroksidasi lemak

pada membran, reaksi silang pada protein dan kerusakan DNA (Kumar, 2013).

ROS terbentuk dari superoksida yang akan diubah menjadi hidrogen peroksida,

yang kemudian melalui reaksi fenton menjadi radikal hidroksil karena adanya

unsur logam seperti Fe2+. ROS juga dihasilkan oleh sel fagosit sebagai bahan

penghancuran mikroba. Pembentukan radikal bebas dapat meningkat pada

beberapa keadaan seperti absorbsi energi radiasi, metabolisme enzim dari zat

kimia eksogen, dan proses peradangan. Radikal bebas akan dinetralkan dengan
10

adanya antioksidan endogen, seperti superoksida yang dinetralkan oleh

superoksida dismutase (SOD), hidrogen peroksida yang diubah menjadi molekul

air olehglutathion (GSH)an katalase, selain itu antioksidan eksogen seperti

vitamin E, vit. A, Vit.C.

Berikut beberapa penyebab lain yang dapat mengaktifasi jalur nekrosis

(Kumar, 2013) :

1. Jumlah ATP yang menurun utamanya disebabkan oleh penurunan

transport oksigen dan nutrisi, kerusakan mitokondria, dan toksin.

Adaptasi organ terhadap penurunan ATP berbeda, misal hepar yang

memiliki kemampuan glikolisis tinggi sehingga mampu menghasilkan

ATP tambahan. Namun, otak memiliki kemampuan glikolisis yang

rendah sehingga rentan pada kondisi kekurangan oksigen. Penurunan

jumlah ATP akan menyebabkan diantaranya transport ion natrium-

kalium di membran sel terganggu, aktifasi glikolisis anaerob,

terganggunya canal Ca2+,terganggunya kerja ribososm dan RE dalam

pembentukan protein.

2. Kerusakan pada mitokondria dapat disebabkan oleh penurunan jumlah

oksigen, toksin dan radiasi. Kerusakan pada mitokondria memiliki

beberapa efek diantaranya, penurunan produksi ATP, terbentuknya

ROS, dan terjadinya fosforilasi oksidatif.

3. Influx kalsium kedalam sel yang meningkat diakibatkan oleh

penurunan ATP, iskemi, dan beberapa toksin. Peningkatan kalsium

didalam sel akan mengaktifkan beberapa enzim diantaranya


11

fosfolipase dan protease yang akan merusak membran sel,

endonuklease yang akan memecah DNA dan kromatin,

adenotrifosfatase yang akan mempercepat penurunan ATP.

4. Kerusakan membran lisosom akan mengubah kondisi sitoplasma

menjadi asam sehingga mengaktifasi beberapa enzim diantaranya

RNAase, DNAase, protease, glukosidase, sehingga terjadi pencernaan

pada organel sel yang akan mengaktifasi jalur kematian nekrosis.

Kerusakan membran plasma karena ROS mengakibatkan turunnya

atau hilangnya keseimbangan osmotik sehingga masuknya cairan dan

ion keintrasel, metabolit pembentukan ATP akan keluar ke ekstrasel

sehingga akan terjadi deplesi ATP.

Kematian secara nekrosis dapat di lihat dari gambaran histologi organ yang

mengalami nekrosis. Suatu sel yang mengalami nekrosis memiliki perubahan pada

gambaran sitoplasma yaitu warna yang lebih terang karena peningkatan ikatan

eosin dengan protein sitoplasma yang mengalami denaturasi, gambaran vakuola,

diskontinue pada membran plasma dan organel, dilatasi atau odem sel, kerusakan

lisosom dan mielin di sitoplasma. Perubahan pada inti sel yaitu kromatin

memudar yang disebut kariolisis, inti mengecil disebut piknosis, dan inti piknotik

mengalami fragmentasi disebut karioreksis, kemudian inti akan mengalami

kariolisis (Kumar, 2013).


12

2.1.4 Uji Toksisitas Umum

Uji toksisitas dalam PerMenKes tahun 1992 merupakan tahapan uji senyawa

sebelum dikonsusmsi oleh masyarakat. Uji toksisitas dapat dilakukan pada hewan

air dengan metode pengenceran dari larutan atau tanpa pengenceran, yang

dilakukan dengan air bersih bebas klorin. Penggantian larutan dilakukan setiap 24

jam atau dalam waktu yang telah ditentukan peneliti. Pengujian dengan

Pergantian larutan memiliki beberapa kelebihan diantaranya mengurangi

kemungkinan penurunan dissolved oxygen, tingginya kandungan biochemical

oxygen demand, mengurangi kemungkinan hilangnya toksikan karena penguapan

atau absorbsi (Soemirat, 2005).

2.1.4.1 Uji Toksisitas Akut

Uji toksisitas akut merupakan penilaian potensi berbahaya suatu bahan toksik

dalam jangka waktu pendek yaitu 24-96 jam. Penilaian waktu akut diambil

sebagai panduan untuk melakukan uji toksisitas dalam waktu yang lebih lama dan

mengetahui tingkat keamanan penggunaan beberapa bahan toksik dalam waktu

akut. Tujuan dari uji toksisitas akut yaitu menentukan nilai lethal,

mengidentifikasi perubahan fungsi organ sehingga dapat dilakukan studi lanjutan

untuk mengetahui efek kerusakan organ dan untuk memberikan batas aman suatu

zat sehingga dapat di klasifikasikan untuk pelabelan (Arome,2013). Tujuan dari

uji toksisitas akut adalah menentukan konsentrasi bahan uji yang memiliki efek

negatif dalam suatu kondisi jangka pendek, uji toksisitas akut paling umum

dilakukan dengan mencari nilai LC50 atau LD50 (Vosieline,2007).


13

Metode penelitian toksisitas akut yang sering digunakan adalah dengan

melihat konsentrasi senyawa yang dapat menyebabkan kematian 50% dari total

sampel yang digunakan atau disebut dengan nilai LC 50 atau LD50. Hasil yang

dapat diobservasi adalah kematian organisme atau terjadinya imobilisasi dari

organisme (OECD,2012). Uji toksisitas akut terdiri dari uji respon kematian untuk

menentukan nilai LD atau LC, uji iritasi mata dan kulit dari hewan coba, dan

skrining pertama mutagen (Soemirat,2005).

2.1.4.2 Uji Toksisitas Sub Kronik

Uji toksisitas sub kronik dilakukan dengan pemberian paparan yang berulang

selama 10% masa hidup hewan coba, dalam hari secara umum dilakukan 14

hingga 28 hari dan dapat dilanjutkan hingga 90 hari sesuai dengan hewan coba

yang digunakan (Lu,2010). Uji toksisitas subkronik dilakukan untuk menilai dosis

letal selama ≥ 14 hari dan melihat efek dari suatu bahan toksik pada perubahan

prilaku, panjang dan berat badan, dan perubahan fungsi organ (OECD,201).

Berdasarkan PerMenKes (1992) Uji toksisitas sub kronik dilakukan untuk melihat

efek akumulasi bahan toksik, sehingga dilakukan pemeriksaan pada organ-organ

vital seperti otak, jantung, hepar, ginjal, yang dilakukan dengan mengamati

perubahan histopatologik atau parameter biokimia adanya toksik di organ

tersebut. Uji toksisitas dilakukan dengan waktu sub kronik, karena pada

penggunaan alami zat toksikan sering digunakan dalam waktu berulang hingga

menimbulkan efek (Thomas Dan Janz, 2011). Tujuan dari uji toksisitas subkronik

adalah menentukan nilai NOEC dan LOEC, perubahan pada organ, mortalitas,

respon biologis seperti hematologic dan biokimia darah, perilaku yang tidak
14

normal, farmakokinetik, reproduksi, dan skrining kedua terhadap mutagenik

(Soemirat,2005). Tujuan dari penelitian sub kronik adalah mengevaluasi efek

toksik pada organ karena waktu subkronik memberikan informasi yang lebih

realistis terhadap efek racun dibandingkan dengan toksisitas akut. Pengujian sub

akut biasanya menggunakan 3 rentan dosis dengan nilai terendah merupkan nilai

yang akan diaplikasikan (Arome,2013). Dosis yang paling tinggi menggambarkan

perubahan pada parameter yang dinilai pada hewan coba, dosis menengah, dan

dosis terendah yang tidak menimbulkan efek toksik (Arome,2013).

2.1.4.3 Uji Toksisitas Kronik

Uji toksisitas kronik merupakan uji yang dilakukan dalam waktu bulan

hingga tahun berdasarkan hewan coba yang digunakan (Lu,2010). Uji toksisitas

kronik berdasarkan PerMenKes (1992) lama paparan pada hewan coba disamakan

dengan lamanya obat dikonsusmsi oleh masyarakat. Penelitian toksisitas kronik

dilakukan untuk melihat efek kematian, efek karsinogenik, efek reproduksi dan

fungsi organ. Pada uji toksisitas kronik dilakukan pegamatan efek pada semua

organ dan melihat tingkat keparahan yang terjadi dimasing-masing organ, karena

beberapa senyawa memiliki sifat toksik yang berbeda pada organ yang berbeda

(Soemirat, 2005). Tujuan uji toksisitas kronik adalah menetukan organ yang rusak

dan menjadi tahap akhir potensi karsinogenik dari suatu bahan (Arome, 2013).

Uji toksisitas kronik mampu melihat suatu efek dengan komplek dari suatu

perubahan pertumbuhan dan perkembangan yang akan mengubah suatu fungsi

organ dan melihat efek karsinogenik pada organ. Uji toksisitas kronik dalam
15

waktu lama dengan mengikuti tahap perkembangan hewan coba

(Vosyliene,2007).

2.1.5 Uji Toksisitas Dengan Lethal Concentration 50% (LC50 )

Lethal Concentration 50% (LC50) adalah nilai konsentasi dari suatu senyawa

yang dapat meyebabkan kematian 50% dari jumlah populasi hewan. Prinsip uji

toksisitas dengan menetukan nilai LC50 adalah hubungan antara waktu paparan

dengan kematian hewan coba (Vosyliene, 2007), dimana ikan dipaparkan dalam

waktu tertentu yang menyebabkan kematian 50% dari jumlah sampel (OECD,

2012). LC50 merupakan uji toksisitas akut yang paling sering dilakukan untuk

menilai kematian hewan coba, gerak hewan coba yang menurun, gerak insang

yang menurun, dan reaksinya terhadap suatu sentuhan. LC50 tidak hanya

konsentrasi yang menyebabkan kematian namun juga konsentrasi yang dapat

menurunkan mobilisasi setelah dipapar pada waktu tertentu (Vosylienë, 2007).

Hewan coba yang digunakan untuk menentukan nilai LC50 adalah hewan

aquatik. Hewan perairan yang sering digunakan untuk menentukan nilai LC 50

adalah ikan. Ikan merupakan hewan air yang dapat hidup dalam laboratorium,

sehingga sering digunakan sebagai hewan coba. Sampel yang digunakan

sebaiknya adalah > 10 ekor ikan, lingkungan harus jauh dari kontaminasi sehingga

metode yang baik digunakan adalah semi statis (OECD, 2012). Ikan yang

memiliki morfologi kecil lebih sering digunakan untuk mengetahui kerentanan

suatu senyawa dengan melihat nilai LC50. Dilakukan analisa probit pada masing-

masing dosis untuk menilai mortalitas ikan (Ullah, 2016).


16

2.1.6 Uji Toksisitas Dengan Maximum Allowable Toxic Concentration

(MATC)

Maximum Allowable Toxic Concentration (MATC) adalah konsentrasi bahan

toksik yang dapat terkompensasi oleh hewan coba. MATC adalah hasil

pengukuran rerata dari nilai NOEC dan LOEC. Uji MATC dilakukan untuk

mengetahui hubungan konsentrasi dengan efek yang ditimbulkan (ECA, 2008).

NOEC (No Observed Effect Concentration) adalah konsentrasi tertinggi yang

tidak menyebabkan efek yang berbeda secara signifikan dibanding kelompok

kontrol baik secara biologis dan statistik pada hewan coba yang terpapar (Johari,

2014). LOEC (Lowest Observed Effect Cincentration) adalah konsentrasi

terendah yang menyebabka efek yang berbeda secara signifikan dibanding

kelompok kontrol, efek tersebut merugikan pada morfologi, fungsi, pertumbuhan

dan perkembangan, masa hidup dari hewan coba (Johari, 2014), Sehingga dalam

penentuan LOEC dan NOEC observasi juga penting dilakukan pada kelompok

kontrol.

NOEC merupakan nilai batas aman dari suatu zat untuk diaplikasikan pada

manusia, sedangkan LOEC merupakan nilai batas yang tidak dapat diaplikasikan

manusia. Pada penentuan NOEC dan LOEC harus dilakukan observasi dari efek

biologis tidak hanya dihitung secara statistik (Crane, 2000). Pada Uji NOEC,

maksimal efek yang ditimbulkan adalah 10%. Untuk menentukan NOEC dapat
17

menggunakan rumus LOEC/2, namun rumus ini dapat digunakan jika efek yang

ditimbulkan >10% dan <20% jika dibandingkan dengan kontrol (ECA, 2008).

2.2 Herbal Nimba (Azadirachta indica A.Juss)

2.2.1 Taksonomi Nimba

Filum : Spermatophyta

Sub Filum : Angiospermae

Kelas : Dycotiledoneae

Sub Kelas : Monochlamydeae

Ordo : Rutales

Family : Meliaceae Gambar 2.1 Daun Nimba


(Hauze,2015)
Sub Family : Meliadeae

Genus : Azadirachta

Spesies : Azadirachta indica (Ambarwati, 2007).

2.2.2 Morfologi Nimba

Tanaman nimba memiliki tiga species diantaranya Azadirachta indica,

Azadirachta siamensis, dan Azadirachta excelsa. Azadirachta indica banyak

tumbuh di Asia Selatan, termasuk Indonesia (Ardiansyah, 2002). Pohon nimba

dapat tumbuh pada kondisi yang sangat kering dan dapat beradaptasi pada

lingkungannya hingga suhu 120ᵒC dengan curah hujan 18 inci/tahun, kondisi

tanah basa yaitu pH ± 8,5 (Nishan, 2014). Tanaman nimba disebut cemara tropis

dengan tinggi 12-18 meter dan diameter pohon 1,8-2,4 meter ( Bempah, 2011).
18

Daunnya dapat gugur dan tumbuh lagi pada bulan maret dan april (puri,

1999). Warna daun nimba hijau, berimbun diujung dahan dan memiliki 2 kelenjar

dibagian dasar (Orwa, 1999). Daunnya memiliki 3 lobus stigmata (Nishan, 2014).

Bentuk daun menyirip ganda dengan panjang 30 cm. Anak daun memiliki bentuk

bergerigi yang jumlahnya ± 10-12 lembar, panjangnya 7cm dan lebarnya 2,5 cm.

Daun tumbuh subur didaerah yang kering dan gersang (Bempah, 2011). Daun

nimba jika dikonsusmsi terasa pahit (puri,1999).

2.2.3 Kandungan Zat Aktif dan Manfaat Daun Nimba (Azadirachta indica

A.juss)

Senyawa pada nimba dibagi dalam 2 kelas utama. Kelas pertama yaitu

golongan isoprenoid dan kelas kedua yaitu non isoprenoid.

Table 2.1 Zat Aktif Pada Daun Nimba (Maithani, 2011;Eid,2017)

Golongan Isoprenoid Golongan Non Isoprenoid


Limonoid Asam Amino
Gedunin Polisakarida
C-Secomeliacins Flavonoid
Nimbin Tannin
Salanin Saponin
Azadirachtin Steroid
Nimbolide Keton
Salanin Valassin Fenolik
Meliantriol Alkaloid
Nimbidin Karotenoid

Zat aktif tersebut memliki beberapa manfaat seperti, limonoid yang efektif

sebagai antikanker; gedunin yang efektif sebagai antimalaria dan antifungi;

nimbin yang efektif sebagai antiinflamasi; salanin, azadirachtin dan nimbidin

yang efektif sebagai antiinflamasi, antipiretik, hipoglikemi, antigastrik-ulser,


19

antifungi dan antibakteri; nimbolide efektif sebagai antimalaria, antibakteri,

antikanker dan antioksidan; polisakarida efektif sebagai antitumor dan

antiinflamasi; flavonoid efektif sebagai antioksida dan antidiabetes (Maithani,

2011;Eid,2017). Nimba juga memiliki kandungan kalsium yang tinggi dan

vitamin C (Maithani, 2011;Eid,2017).

Salah satu senyawa yang diketahui terdapat pada nimba adalah azadirachtin

yang terdapat pada semua bagian tumbuhan. Azadirachtin merupakan zat aktif

yang menurut penelitian memiliki aktivitas antivirus, antibakteri, antifungi,

antifertiltas, antimalaria, antioksidan, antikanker (Ardiansyah, 2002).

Azadirachtin merupakan senyawa yang memiliki gugus hidroksil sehingga

berpotensi sebagai antioksidan dengan mekanisme mendonorkan atom

hidrogennya (Puri,2006). Azadirachtin memiliki sifat reaktif dengan molekul yang

ada dalam sitoplasma dan nukleus, sehingga mempengaruhi aktivitas gen dan

protein, mempengaruhi proses transkripsi, menurunkan kerja enzim, mengganggu

kanal Ca2+, menurunkan proses detoksifikasi (Lin,2016). Azadirachtin memiliki

efek menghambat pembelahan sel pada jalur miosis dan mitosis dan menghambat

sintesis protein pada semua jenis sel, mempengaruhi system neurosecretory

sehingga menghambat hormone-hormon peptida (Mordue, 2000). Azadirachtin

menghambat pembelahan sel dengan blockade sel setelah terjadinya sintesis DNA

dan saat kromosom terpisah, azadirachtin menghambat pembentukan sitoskeletal

yang merupakan mekanisme kerjanya dalam membunuh parasite malaria

Plasmodium berghei (Lin,201).

Nimba juga memiliki senyawa gedunin yang memiliki aktivitas antidiabetik,


20

antikanker, antiinflamasi dan analgetik (Nishan, 2014). Mekanisme kerja sebagai

antidiabetik dengan menghambat alfa-amilase (Ponnusamy,2015), sebagai

antikanker mekanisme kerjanya meningkatkan aktivitas caspase sehingga induksi

kematian secara apoptosis dan meningkatkan produksi ROS (Tarmarajah,2017),

sebagai antiinflamasi dan analgetik bekerja dalam mengurangi aktivitas neutrophil

dan makrofag, menghambat influx kalsium, menghambat dalam peroses adhesi

kemotaksis dan pembentukan lipid (Conte,2015).

Selain itu nimba juga memiliki senyawa quercetin dan β sitosterol yang

merupakan golongan polyphenolic flavonoid yang memiliki aktivitas antifungi,

antibakteri dan antioksidan. Nimba juga memiliki kandungan asam askorbat

sehingga memiliki aktivitas antioksidan yang tinggi (Maithani, 2011). Mekanisme

kerja antioksidannya dengan menangkap radikal bebas, mencegah reaksi berantai,

dan membentuk reaksi dengan ion logam transisi, namun peningkatan dosis dapat

mengubah efek antioksidan menjadi prooksidan karena peningkatan kecepatan

oksidasi sehingga tidak sempurna. Quercetin efektif dalam menetralkan radikal

hidroksil dengan pemberian atom hydrogen, menetralkan superoksida, dan radikal

peroksida (Purba,2009).

Senyawa nimbolide yang banyak ditemukan didaun dan bunga memiliki efek

sitotoksik (Alzohairy, 2016). Senyawa nimbolide juga memiliki aktivitas anti

malaria untuk Plasmodium falciparum, aktivitas anti bakteri terhadap

Staphyloccocus aureus dan antikanker yang diuji pada beberapa jenis sel kanker.

Mekanisme kerja nimbolide sebagai antikanker dengan meningkatkan produksi

ROS pada reaksi metabolismenya dan meningkatkan terjadinya reaksi fenton


21

(Priyadarsini,2010). Sebagai antiiflamsi dengan aktifasi IFN-gamma yang bersifat

independent oksigen dan dependent oksigen, menginduksi sel Th1, aktivasi dari

monosit dan sel dendritik (Faal,2012).

2.2.4 Toksisitas Daun Nimba (Azadirachta indica A.juss)

Daun nimba memiliki beberapa zat aktif yang bersifat toksik seperti

azadirachtin dan nimbolide (Priyadarsini, 2010). Metabolit sekunder dari

golongan terpenoid tersebut dapat ditarik dengan pelarut air ( Marenti, 2014).

Berdasarkan penelitian zadirachtin memiliki efek langsung menghambat

cholinesterase, hal ini merupakan mekanisme azadirachtin menginduksi kematian

salah satunya pada spesies ikan Channa gacua. Hambatan pada cholinesterase

menyebabkan asetilkolin terakumulasi pada sinap, sehingga akan terjadi

gangguan pada neuromuskular junction. Asetilkolin merupakan neurotransmitter

yang mempengaruhi kerja dari otot rangka dan otot polos, sehingga ganggaun

pada transmisi saraf dan otot dapat menyebabkan beberapa kondisi seperti ataksia

yang ditandai dengan abnormalitas gerak renang dari ikan, proses ini akan

menginduksi terjadinya lethargy yang dimana ikan tidak mengalami pergerakan

jika tidak diberikan rangsangan, hal ini menyebabkan gerak ikan kepermukaan

untuk pengambilan oksigen gagal. Lethargy menjadi tanda awal akan terjadinya

kematian. Selain itu gangguan transmisi akan menyebabkan terjadinya distres

respiratory yang ditandai dengan gangguan kadar ion pada ikan dan gerak ikan

kepermukaan yang meningkat (Srivastava,2013).

Penelitian lain tentang efek nimbolide sebagai antikanker dilakukan pada


22

sel kanker darah dan sel melanoma, pada penelitian ini dibuktikan bahwa

nimbolide menyebabkan terjadinya kematian secara nekrosis yang terlihat dari

fragmentasi inti sel. Pada penelitian ini dijelaskan bahwa senyawa nimbolide

menyebabkan induksi kematian secara apoptosis pada dosis yang lebih rendah,

sedangkan pada dosis yang lebih tinggi menyebabkan kematian sel secara

nekrosis, kematian secara nekrosis diduga karena induksi apptosis yang tidak

sempurna (Roy, 2007).

Penelitian dengan Prochilodus lineatus melihat aktivitas enzim katalase

(CAT). Paparan dekokta daun nimba pada dosis yang lebih tinggi dari LC50 secara

signifikan menurunkan aktivitas katalase. Penurunan aktivitas enzim yang

menjadi antioksidan akan membuat penumpukan radikal hidroksil yang bersifat

toksik, sehingga berefek pada integritas dan fungsi sel. Penelitian lain juga

menyatakan penurunan enzim katalase ditemukan pada dosis ekstrak daun nimba

pada species Cyprus carpio. Pada penelitian ini juga dibuktikan terjadinya

penurunan Gluthatione S-Transferase, GST merupakan enzim yang menetralkan

ROS dan radikal bebas reaktif lainnya. Penurunan GST dibuktikan pada dosis

LC50 yang ditemukan (Glisic, 2014). Selain itu ekstrak nimba menginduksi

terbetuknya superoxide radical (O2-) pada proses metabolisme nimbolide

(Winkaler, 2006). Kandungan nimbolide pada daun nimba secara signifikan

meningkatkan radikal bebas dan menyebabkan gangguan pada membran

mitokondria sehingga permeabilitas membran mitokondria meningkat

(Priyadarsini, 2010). Tingginya kadar radikal bebas dalam suatu sel dapat

menyebabkan kematian sel jalur nekrosis (kumar, 2013). Penurunan kadar


23

katalase yang diinduksi oleh ekstrak daun nimba akan menyebabkan penumpukan

radikal bebas pada beberapa organ sehingga menyebabkan kerusakan pada

beberapa sel organ. Pada spesies ikan katalase banyak dijadikan parameter

toksikologi lingkungan dengan melihat kondisi pada organ hepar, otak, dan insang

(Wu dkk, 2015). Selain itu juga terdapat gambaran kerusakan nekrosis jaringan

insang yang menandakan tingginya kadar radikal bebas yang diinduksi oleh

ekstrak daun nimba (Hauze, 2015).

Pada penelitian ini mengamati toksisitas ekstrak air daun nimba pada

perubahan parameter ion plasma, biokimia dan enzim. Dari hasil penelitian

didapatkan, penurunan ion Na+ dan Cl- pada plasma, peningkatan K+ pada plasma,

penurunan protein, peningkatan SGOT dan SGPT pada insang, otot dan hepar

ikan yang menjadi tanda kerusakan organ tersebut. Gangguan konsentrasi ion

pada plasma di sebabkan karena organ osmeregulasi yaitu insang dan ginjal

mengalami gangguan, insang merupakan organ yang mengatur osmeregulasi

sebanyak 95% (Barcarolli and Martinez, 2004). Ketidak seimbangan ion pada

plasma dapat menyebabkan gangguan pada proses pembentukan ATP karena

terganggunya Na/K ATPase (Saravanan, 2011).

Tersebarnya toksikan ke sistemik akan menyebabkan respon stres pada

sistemik. Penelitian ekstrak daun nimba pada ikan nila menyebabkan respon stres

setelah paparan 12 minggu yaitu peningkatan kortisol dan katekolamin

(Saravanan, 2011). Toksisitas daun nimba juga dinilai pada efek neurotoksik pada

ikan zebra dengan melihat perubahan prilaku seperti anxiestas, pembelajaran dan

memory. Ekstrak daun nimba pada dosis 20 ml/L membuktikan penurunan


24

aktivitas locomotor dengan menilai aktivitas berenang. Pada dosis 40 ml/L ikan

zebra terlihat tremor, dan kondisi tremor merupakan kondisi awal indikasi adanya

kandungan toksik pada ekstrak daun nimba (Bernadi, 2013).

Pada dosis yang meningkat efek antioksidan dari quercetin yang terkandung

pada daun nimba berubah menjadi prooksidan karena adanya proses metabolisme.

Metabolisme quercetin akan membentuk suatu radikal semiquinone (Q*) yang

bersifat semireaktif, saat berinteraksi dengan oksigen radikal ini akan membentuk

superoksida yang merupakan radikal bebas, radikal quionon juga dapat bereaksi

dengan hidoksil peroksida sehingga membentuk radikal hidroksil, yang kemudian

bereaksi dengan Fe3+ membentuk suatu radikal quinon yang baru. Radikal

semiquinone juga bereaksi dengan antioksidan endogen yaitu GSH sehingga

bereaksi menjadi radikal Glutation (Matodiewa,1999).

Gambar 2.1 Mekanisme Perubahan Quercetin Menjadi Prooksidan


(Matodiewa,1999)
25

2.3 Ikan Zebra (Danio rerio)

2.3.1 Taksonomi Ikan Zebra (Danio rerio)

Filum : Chordata

Kelas : Actinopterygii

Ordo : Cypriniformes

Family : Cyprinidae

Subfamily : Rasborinidae

Genus : Danio

Species : Danio rerio (Nogueira dkk, 2009).

2.3.2 Morfologi Juvenil Ikan Zebra (Danio rerio)

Gambar 2.2. Gambaran Morfologi Juvenile Ikan Zebra (Danio rerio)


(Singleman and Nathalia, 2014).

Dalam pertumbuhannya ikan zebra dipengaruhi oleh beberapa faktor

diantaranya kualitas air, temperatur, genetik, kualitas makanan, kepadatan

populasi. Ikan zebra memiliki tahapan perkembangan yang mudah diamati dari

embrio, larva, juvenil, dan dewasa. Ikan zebra dikatakan juvenil sejak umur 30

hari hingga 4 bulan atau mampu melakukan fertilisasi. Juvenil dan ikan zebra

dewasa memiliki morfologi yang sangat mirip, namun juvenil belum memiliki

faseseksual yang matang (Singleman, 2014). Panjang badan bervariasi sesuai


26

umur dan diukur dari ujung mulut hingga pangkal ekor. Lebar tubuh anterior

diukur dari sirip punggung anterior ke sirip anal yang anterior. Lebar tubuh

bagian punggung diukur dari sirip punggung anterior ke sirip punggung posterior

(Pritchard, 2011).

Panjang tubuh ikan zebra fase juvenil ± 1 cm. Tubuhnya panjang, dengan

kepala yang pendek, memiliki bentuk mulut yang runcing. Rahang bawah lebih

menonjol sehingga bentuk mulut seperti terkunci rapat. Hal yang menjadi ciri

khas dari ikan ini adalah pigmen warna tubuh seperti zebra yang tersusun garis

longitudinal diseluruh tubuh. Perubahan dari larva ke juvenil yang paling tampak

adalah adanya pigmentasi pada permukaan tubuh, sirip dewasa yang muncul, dan

ossifikasi dari tulang (Volhard dan Ralf, 2002).

Bentuk tubuh ramping dan bagian lateral lebih tipis sehingga memiliki bentuk

tubuh runcing. Bentuk mulut oblique yang lebih condong keatas karena rahang

bawah lebih panjang keatas dan terlihat menonjol. Memiliki corak tubuh dengan

bentuk garis. Sirip anal bergaris. Sirip punggung memiliki warna biru tua dengan

batas putih. Pola warna ditentukan oleh sel pigmen yaitu melanophores,

xanthopores dan iridophores (Spence, 2008). Ikan zebra memiliki garis biru hitam

yang bersal dari sel pigmen melanosphores dan iridiophores. Garis kuning pada

tubuhnya mengadung sel pigmen xanthopores dan iridophores. Tingkat

pigmentasi sesuai dengan lingkungan luar untuk adaptasi dan perlindungan diri

(Reed B dan Maggy, 2011). Perkembangan corak tubuh dimulai dari bagian

tengah tubuh. Warna corak tubuh akan lebih terang saat ada bahaya (Spence,

2008).
27

Jantan dan betina memiliki warna yang sama. Jantan memiliki sirip anal yang

besar dan kekuningan. Saat juvenil sulit untuk membedakan jantan dan betina

karena cara membedakannya tidak dapat dari bentuk tubuh, tapi dengan melihat

kelamin didepan anus yang dilihat dengan perbesaran (Spence, 2008).

Lingkungan hidup yang baik untuk ikan zebra adalah pH 7-8, dengan suhu 25ºC

dan kandungan oksigen terlarut dipertahankan 80% (Oliveira, 2009).

2.3.3 Anatomi, Histologi dan Fisiologi Hepar Ikan Zebra (Danio rerio) Fase

Juvenile

Gambar 2.3. Gambaran Anatomi Pada Tahap Awal Juvenile Ikan


Zebra
keterangan : anatomi juvenil ikan zebra (Chu dan Kirsten, 2009).

Hepar merupakan organ solid yang memiliki 3 lobus yang berfungsi dalam

produksi empedu, detoksifikasi, protein plasma, faktor pembekuan, dan menjadi

tempat penyimpanan beberapa substansi seperti lemak, asam amino dan glikogen

(ZFIN, 2013). Hepar ikan zebra terletak dekat dengan bagian cranial dan abdomen

yang berada disekitar sistem digestive. Pada ikan zebra area portal dan arteri

hepatika tidak dapat diamati. Darah masuk melalui vena portal yang bercabang

kesinusoid menyatu dengan pembuluh darah pusat dan dibawa keluar hepar.
28

Gambar 2.4. Struktur Histologi Hepar Juvenile Ikan Zebra


Keterangan : panah merah menunjukkan gambaran hepar juvenil ikan zebra (Bio
Atlas, 2013).

Secara mikroskopik parenkim ikan zebra homogen terdiri dari hepatosit yang

mengelilingi sinusoid yang dipisahkan sehingga terlihat menjadi dua bagian.

Lumen sinusoid terdiri dari endotelium kontinue yang tidak memiliki lamina

basal. Hepatosit normal memiliki inti yang berada ditengah dengan bentuk oval

(Marciela et al, 2016). Hepar ikan zebra secara histologi memiliki gambaran

hepatosit yang tidak terorganisir dilobus dan trias portal tidak jelas. Memiliki

Vena porta, arteri hepatika, dan duktus biliaris yang besar dan struktur- struktur

ini tersebar diparenkim hati dan tidak membentuk sistem portal seperti mamalia

(Wei-Lu dkk, 2015). memiliki struktur tubular, hepatositnya berbentuk tabung

memanjang dan pusatnya ada disaluran empedu. Memiliki kanalikuli yang muncul

dari membran apikal hepatosit yang berada disekitar pusat saluran empedu.

Memiliki saluran empedu intrahepatik yang kecil kemudia bergabung menjadi

saluran yang lebih besar. Saluran empedu yang besar dapat dianalisis dan tersusun

dari epitel kuboid. Hepar ikan zebra memiliki stellate cells namun tidak memiliki

sel kupper (Wilkins and Michael, 2013).


29

Xenobiotik

Gambar 2.5 mekanisme detoksifikasi pada ikan zebra


(Sukhla dkk, 2017; Chen, 2015)

Pada hepar ikan zebra terjadi proses metabolisme zat xenobiotik sama dengan

yang terjadi pada hewan mamalia dan manusia. Pada hepar ikan zebra ditemukan

adanya CYP3A65 yang homolog dengan CYP3 pada manuia yang merupakan sub

famili dari sitokrom P450 yang berperan dalam proses metabolisme zat pada

hepar pada fase 1. Pada hepar ikan zebra terdapat enzim GSH diekspresikan oleh

gen Gst alpha yang dalam hepatosit ikan zebra memiliki dua bentuk yaitu GSTA1
30

dan GSTA2. GSH yang merupakan enzim yang dibutuhkan dalam proses

konjugasi metabolisme zat xenobotik pada fase 2, kondisi GSH yang menurun

sering menjadi indikator pemeriksaan hepar untuk melihat suatu zat bersifat

toksik. Selain itu pada hepar ikan zebra terdapat enzim katalase yang merupakan

antioksidan alami yang menjadi katalisator dari pembentukan radikal bebas

hidroksil pada hepar ikan zebra karena metabolisme zat toksik.

Gambar 2.6 proses metabolisme pada ikan


(Wu,2016)
Hepar ikan zebra juga berfungsi dalam metabolisme karbohidrat, protein dan

lemak, sebagi tempat penyimpanan besi, vitamin, produksi bilirubin (Wu dkk,

2015).
31

Gambar 2.7 Sumber radikal bebas secara fisiologis pada ikan


(Paital dkk, 2016; Valero, 2015)
32

Pada metabolisme ikan zebra secara fisiologis akan dihasikan radikal bebas

seperti pada proses rantai elektron akan menghasilkan superoksida yang banyak,

selain itu tingginya kadar besi pada hepatosit dapat menginduksi terjadinya reaksi

fenton yang dapat menyebakan terbentuknya radikal hidroksil, aktivitas dari

NADPH dapat menyebabkan terbentuknya radikal bebas superoksida, sehingga

pada hepar dapat terjadi kerusakan sel, namun hepar memiliki kandungan

antioksidan yang tinggi dan kemampuan regenerasi sehingga kondisi fisiologis

tidak terganggu (Marks,2000).


33

Gambar 2.5 Mekanisme terbentuknya radikal bebas dan efek yang dapat

ditimbulkan pada tubuh ikan (Luschak,2015;Reppeto, 2012).

ROS dapat menginduksi peroksidasi lemak pada membran, reaksi silang pada

protein dan kerusakan DNA (Kumar, 2013). Radikal bebas akan dinetralkan

dengan adanya antioksidan endogen seperti superoksida yang dinetralkan oleh

superoksida dismutase, hidrogen peroksida yang diubah menjadi molekul air oleh

glutathion dan katalase. ROS memiliki sifat reaktif terhadap protein dan lipid

sehingga menyebabkan terjadinya peroxidase lipid yang dapat meningkatkan

permeabilitis membrane sel sehingga terjadi peningkatan influx kalsium yang

efeknya dapat merusak membran organel dan merusak mitokondria sehingga

dapat menginduksi kematian sel jalur nekrosis (Luschak,2015;Reppeto, 2012).

2.3.4 Keunggulan Ikan Zebra Sebagai Hewan Penelitian

Alasan penggunaan ikan zebra sebagai model hewan coba penelitian adalah

genom yang sudah dipetakan dan dipublikasikan. Penelitian ikan zebra sudah

tahap analisis molekuler. 70% gen yang terkait penyakit manusia homolog dengan

gen pada ikan zebra (Hollert, 2015). Ikan zebra memiliki 2 pasang kromosom

yang lebih dibandingkan dengan 23 pasang kromosom manusia (Hill, 2005). Ikan

zebra banyak dijadikan hewan model penelitian karena berdasarkan genom yang

telah diteliti, ikan zebra memunculkan beberapa jenis penyakit yang dapat muncul

pada manusia jika terpapar oleh toksik yang sama (Hill, 2005). Mutasi pada gen

memunculkan fenotip yang sama dengan penyakit manusia berdasarkan pada

penelitian ortholog gen ikan zebra dengan manusia (Ma dkk, 2003). Kedekatan
34

genetik dengan mamalia dapat menjadikan ikan zebra hewan coba pengganti

penggunaan spesies model mamalia seperti tikus yang perawatannya rumit dan

kesedian tempat yang dibutuhkan besar( Spence, 2008 ).

Ikan zebra memiliki anatomi, morfologi, fisiologi dan biokimia yang mudah

diamati untuk melihat efek xenobiotik (Hill, 2005). Ikan zebra dapat dipelihara

dilaboratorium untuk melakukan penelitian toksisitas kimiawi, calon obat baru,

dan penyakit genetika. Ikan zebra merupakan ikan air tawar yang dapat digunakan

sebagai model hewan coba untuk penelitian skrining obat preklinik (Ma dkk,

2003). Ikan zebra dapat digunakan sebagai model hewan coba untuk penelitian

tentang genetik, perkembangan, neurofisiologi, biomedis. (Spence, 2008). Ikan

zebra dapat digunakan untuk mengetahui efek dari suatu senyawa dengan menilai

sifat kardiotoksik,hepatotoksik, neurotoksik. Pada penelitian skreening obat yang

dapat menyebabkan cardiotoksik dapat dilakukan dengan melihat pemanjangan

QT interval yang memiliki gelombang yang sama dengan manusia. Skrening obat

hepatotoksik dapat dinilai dengan melihat aktivitas enzim hepar dan nekrosis

hepar. Skrining obat neurotoksik dapat dinilai glial fibrillary acidic protein,

dopaminergik neuron, neuromotorik, dan apoptosis (Grath dan Chun, 2008).

Secara morfologi ikan zebra memiliki ukuran yang kecil sehingga dengan

populasi yang besar dapat di manfaatkan sebagai penelitian dilaboratorium (Ma

dkk, 2003). Beberapa kelebihan yang dimiliki oleh ikan zebra sebagai hewan

model penelitian adalah kemudahan dalam pemeliharaan, perkembangan yang

cepat, memerlukan wadah kecil untuk perlakuan (Ma dkk, 2003). ikan zebra

dijadikan sebagai model hewan penelitian karena memiliki potensi reproduksi


35

tinggi, ukuran tubuh kecil, perkembangan cepat, transparansi embrio, perilaku

mudah diamati, dapat memberikan efek dari toksik yang ada dilingkungan

(Lawrence, 2007).

2.3.5 Ikan Zebra Fase Juvenil Sebagai Hewan Model Untuk Menentukan

LC50 dan MATC

Ikan zebra merupakan spesies air tawar yang sering digunakan untuk menilai

toksikologi. Ikan zebra dapat digunakan untuk mengetahui nilai toksik senyawa,

hubungan tingkatan dosis toksik dengan efek yang dimunculkan, dan mekanisme

toksik sehingga menimbulkan efek. Ikan zebra memiliki kemampuan

menunjukkan respon detoksifikasi sebagai tanda adanya toksik yang bekerja

dalam tubuh. Uji toksisitas pada ikan zebra dapat dilakukan dalam waktu akut,

sub kronik, dan kronik (Hill, 2005).

Ikan zebra memperlihatkan respon yang dapat dihubungkan dengan tingkat

dosis paparan. Efek yang ditimbulkan dapat dinilai dari kematian, pertumbuhan,

kelainan prilaku, dan gangguan pada organ. Efek kematian karena paparan toksik

ikan zebra dapat ditentukan dengan metode LC50 (Ma dkk, 2003).

Uji toksisitas akut (96 jam) obat golongan NSAD diclofenac dengan mencari

nilai LC50 pada juvenile dan embrio ikan zebra. Nilai LC 50 yang didapatkan pada

embrio dan juvenile berbeda. Berdasarkan peneltian, sensitifitas suatu zat toksik

menyebabkan kematian hewan coba dengan metode LC 50 dipengaruhi oleh sistem

enzim, jalur metabolisme, dan proses penyerapan toksin oleh tubuh (Praskova

dkk,2011). Pada uji toksisitas terbutryn dengan embrio dan juvenile ikan zebra,
36

didapatkan signifikansi nilai LC50 lebih tinggi pada juvenile ikan zebra.

Berdasarkan teori tahap juvenile lebih sensitif dibandingkan tahap embrio.

Juvenile merupakan tahapan setelah larva dimana membran yang melapisi embrio

telah terlepas, sehingga zat toksik langsung memapar tubuh dari juvenile (Pihalová

dkk,2010). Pada penelitian uji toksisitas ketoprofen dijelaskan bahwa, embrio

memiliki sensitifitas tinggi terhadap toksik karena sistem enzimatif yang belum

bekerja secara optimal. Namun, juvenile memiliki sensitifitas yang lebih tinggi

karena memiliki sistem metabolisme toksik yang lengkap dan tidak memiliki

lapisan chorion (Prasková dkk, 2011).

2.3.6 Ikan Zebra Fase Juvenil Sebagai Hewan Model Untuk Menilai

Nekrosis sel Hepatosit

Uji toksisitas untuk mengetahui efek dari chloramine-T sebagai disinfeksi

dilakukan pada hepar, ginjal, dan otak ikan zebra. Penelitian dilakukan dengan

melihat efeknya pada histologi dari organ-organ tersebut. Dari hasil penelitian

didapatkan gambaran nekrosis hepar (Soleimani, 2016). Penelitian lain yang

dilakukan adalah untuk melihat efek akut dari ivermektin yang dinilai pada

perubahan prilaku, perubahan pigmentasi, mortalitas dan histopatologi dari liver.

Pada jaringan hepar didapatkan gambaran histologi nekrosis, hepatitis akut,

infiltrasi sel mononuklear multifokal (Thripurasundari dkk, 2014). Penelitian uji

toksisitas sub lethal dari kombinasi pestisida chloropyros dan cypermethrin

dengan mengevaluasi perubahan histopatologi pada jaringan hepar, Perubahan

histologi terjadi pada hari ke 21 dan hari ke 28. Gambaran histologi dari hepar
37

adalah vakuolasi sitoplasma, steatosis, pyknotik, karyoreksis yang menjadi tanda

terjadinya nekrosis (Rajini, 2015).

Hepar merupakan organ yang berperan dalam metabolisme dan ekskresi

toksik, sehingga perubahan histologi hepar menjadi salah satu indikator

pencemaran air (Pereira, 2015).

Secara histologi sel hepatosit ikan zebra terbentuk pada 52 hpf. Fungsi dari

hepar ikan zebra adalah produksi empedu, sekresi protein serum, penyimpanan

glikogen, lipogenesis dan metabolisme senyawa xenobiotik. Hepar pada ikan

zebra menjadi salah satu indikator penelitian untuk evaluasi efek paparan obat dan

racun (chu and sadler, 2009). Kerusakan pada hepar dapat terjadi karena

metabolisme zat toksik terbesar terjadi dihepar. Pada tahap detoksifikasi fase I sel

akan menghasilkan suatu radikal bebas yaitu superoksida. Proses detoksifikasi

dilakukan oleh hepar. proses perlawanan terhadap zat toksik akan meningkatkan

kerja hepatosit yang juga dipengaruhi oleh cara kerja toksik, sehingga dapat

menginduksi terjadinya vakuolasi dan hipertropi yang merupakan tahap adaptasi

sel karena stressor. Efek toksik yang terpapar secara lama dapat menyebabkan

kematian sel (nekrosis) karena metabolisme sel yang terganggu (Rajini, 2015).

Gambaran vakoulasi pada tahap awal merupakan respon tanda terjadinya

inflamasi pada sel hepatosit. Adanya kondisi vakuolasi menyebabkan sintesi dari

zat xenobiotik tidak terjadi secara sempurna hingga pelepasanya keluar hepar.

Gambaran yang terjadi kemudian adalah piknosis hepatosist sehingga bentuk

hepatosit yang menjadi abnormal, maka proses sintesis lipid pada hepar akan
38

terganggu. Gambaran karyoreksis merupakan tanda tingginya toksik dalam

senyawa tersebut (Olurin, 2016).

Gambar 2.5. Gambaran Perubahan Histologi Hepar Juvenile Ikan Zebra


Keterangan : A : hepatosit normal, B: hepatosit nekrosis (Rajini,2015)
39

BAB III

KERANGKA KONSEP

3.1 Kerangka Konsep penelitian

Lingkungan Ikan zebra fase juvenil


Dosis Dekokta Daun Nimba

Azadirachtin Nimbolide

Detoksifikasi
Hambat asetilcholinesterase Sintesis protein dihepar
terhambat
Asetil-kolin terakumulasi disinap
Pembentukan enzim Menghasilkan generasi
Gangguan stimulasi post sinap menurun ROS dihepatosit

Gangguan neuromuscular Katalase dan GSH Akumulasi ROS


menurun dihepatosit

ataksia Gangguan gerak


insang Kerusakan membran
letargi sel hepatosit
Distres
Kegagalan respiratory Influx Ca
kompensasi Pospolipase meningkat
Hipoksia otak dan protease
Endonuklease
Kematian Kerusakan
hewan coba membran inti Fragmentasi
DNA dan
Mencapai Piknosis kromatin
50% sampel
kariolisis
Nilai LC50 Nekrosis sel
hepatosit
karioreksis
40

Keterangan :
Simplisia daun nimba diekstrak menggunakan pelarut air dengan metode
dekoktasi. Sehingga mampu menarik zat aktif azadirachtin dan nimbolide.
Dekokta daun nimba dipaparkan pada ikan zebra fase juvenil. Zat aktif
azadirachtin dan nimbolide akan bereaksi didalam tubuh ikan zebra. Azadirachtin
menyebabkan hambatan asetilkolinesterase sehingga asetilkolin terakumulasi
disinap, hal ini menyebabkan regulasi sistem saraf dan otot terganggu sehingga
menyebabkan beberapa kondisi diantaranya ataksia yang merupakan tanda
ganggaun regulasi sistem saraf dengan otot rangka yang selanjutnya
menyebabakan letargi yaitu kondisi penurunan kesadaran yang masih dapat
dipulihkan dengan suatu rangsangan. Selain itu terjadi gangguan pada regulasi
sistem saraf dan sistem respirasi menyebabkan kondisi distres respiratori pada
ikan yang ditandai dengan perubahan osmoregulasi dan perilaku ikan, hal ini akan
menginduksi kematian ikan sehingga dapat menentukan nilai LC50. Azadirachtin
juga memiliki efek langsung pada sel yaitu penghambatan sistesis protein yang
akan berdampak pada penurunan produksi enzim khususnya enzim yang bersifat
antioksidan seperti katalase dan GSH. Paparan zat aktif nimbolide mengahsilkan
generasi ROS selain itu pada proses detoksifikasi dari zat aktif akan terbentuk
ROS, ROS yang meningkat tidak dapat di netralkan oleh antioksidan endogen
karena produksi yang menurun sehingga menyebabkan ROS terakumulasi dan
menimbulkan kerusakan membran sel. Keruskan membran sel dapat
menyebabkan peningkatan Ca intrasel sehingga mengaktifasi endonuklease yang
dapat menyebakan keruskan inti. Kerusakan inti dimulai dari kariolisis yaitu
benang kromatin yang memudar, kemudian terjadi pengecilan inti sel yang
disebut piknosis dan terakhir inti sel mengalami fragmentasi yang disebut
karioreksis, gambaran ini merupakan jalur kematian nekrosis yang dapat terjadi
pada sel hepatosit ikan zebra fase juvenil.
41

3.2 Hipotesis Penelitian

H0:

- Paparan dosis MATC dan LC50 subkronik dekokta daun nimba

(Azadirachta indica Juss) tidak meningkatkan jumlah nekrosis pada

hepatosit ikan zebra (Danio rerio) fase juvenil .

H1:

- Paparan dosis MATC dan LC50 subkronik dekokta daun nimba

(Azadirachta indica Juss) meningkatkan jumlah nekrosis pada hepatosit

ikan zebra (Danio rerio) fase juvenil .

3.3 Variabel Penelitian

Variabel Bebas

- Dosis MATC Dekokta Daun Nimba

- Dosis LC50 Dekokta Daun Nimba

Variabel Terikat

- Jumlah nekrosis hepatosit ikan zebra fase juvenil


42

3.4 Definisi Operasional

1. Maximum Allowable Toxic Concentration (MATC) Dekokta Daun Nimba

Maximum Allowable Toxic Concentration (MATC) adalah

Konsentrasi ambang dari dekokta daun nimba yang dibatasi oleh nilai

LOEC dan NOEC dekokta daun nimba di proses dengan cara ekstraksi

simplisia daun nimba menggunakan pelarut air pada suhu 90ºC selama 30

menit yang akan dipaparkan selama 15 hari pada hewan coba.

2. Lethal Concentration 50% (LC50) Dekokta Daun Nimba

Lethal Concentration 50% (LC50) Dekokta Daun Nimba adalah nilai

konsentrasi dekokta daun nimba yang di proses dengan cara ekstraksi

simplisia daun nimba menggunakan pelarut air pada suhu 90ºC selama 30

menit yang dipaparkan selama 15 hari pada hewan coba sehingga

meyebabkan kematian 50% dari jumlah sampel.

3. Jumlah Nekrosis Hepatosit Ikan Zebra Fase Juvenil

Jumlah Nekrosis Hepatosit Ikan Zebra Fase Juvenil adalah hasil

persentase dari jumlah sel hepatosit yang mengalami nekrosis pada ikan

zebra fase juvenil dengan ciri morfologi panjang badan 1-2 cm, batas

pigmentasi pada permukaan tubuh belum sempurna, sirip kecil, dan tidak

dapat dibedakan antara jantan dan betina. Hepatosit yang mengalami

nekrosis dianalisa secara manual dengan mikroskop binokuler pada

perbesaran 1000x, dilakukan oleh tiga orang pengamat untuk menghindari

subjektivitas dan diamati pada 5 lapang pandang dengan gambaran inti sel
43

yaitu warna basofil kromatin yang memudar (kariolisis), inti yang

mengecil dan warna basofil meningkat (piknosis) dan inti yang piknosis

mengalami fragmentasi (karioreksis). Rumus :

𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ ℎ𝑒𝑝𝑎𝑡𝑜𝑠𝑖𝑡 𝑛𝑒𝑘𝑟𝑜𝑠𝑖𝑠


% jumlah nekrosis per lapang pandang = X 100%
𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ ℎ𝑒𝑝𝑎𝑡𝑜𝑠𝑖𝑡 𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙
44

BAB IV

METODE PENELITIAN

4.1 Desain Penelitian

Penelitian menggunakan metode eksperimental laboratorium secara in vivo

menggunakan desain penelitian control group post test only design dengan tujuan

untuk mengetahui nilai Lethal Concentration 50% dan efek toksik sub kronik

dekokta daun nimba (Azadirachta indica A.Juss) terhadap jumlah nekrosis

hepatosit ikan zebra (Danio rerio) fase juvenile.

4.2 Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian akan dilaksanakan di Laboratorium Terpadu Fakultas Kedokteran

Universitas Islam Malang.

Jadwal Kegiatan Penelitian :

Desember Januari Februari Maret April Mei Juni


N
Kegiatan 2017 2018 2018 2018 2018 2018 2018
o
1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
Mendapatka
1 n Ethical
Clearence
Pembelian
2 Alat &
Bahan
3 Aklimatisai
Hewan
Coba
4 Perlakuan
Hewan
Coba
5 Pengukuran
Variabel
6 Analisa
Data
7 Penulisan
Hasil
Penelitian
45

4.3 Kelayakan Etik

Penelitian dengan judul Uji Toksisitas Dekokta Daun Nimba ( Azadirachta

indica A.Juss) terhadap Ikan Zebra (Danio rerio), telah mendapatkan surat

keterangan kelayakan etik dari Komisi Etik Penelitian Institusi Biosains

Universitas Brawijaya dengan No. 923-KEP-UB tahun 2018.

4.4 Metode Pengambilan Sampel

Sampel yang digunakan pada penelitian ini yaitu ikan zebra fase juvenil

dengan usia 2 bulan dan ukuran tubuh 1-2 cm (Singleman, 2014), pemilihan

sampel dengan metode purposive sampling. Penentuan dosis LC50 dengan

menggunakan 10 ekor ikan pada setiap kelompok perlakuan dengan ulangan

sebanyak 3 kali, sehingga total ikan yang dibutuhkan untuk 9 dosis adalah 270

ekor ikan zebra fase juvenile.

Untuk mengetahui efek dekokta daun nimba terhadap perubahan histopatogi

hepatosit ikan zebra fase juvenil dibagi dalam 4 kelompok yaitu kelompok

kontrol, terapi, MATC dan LC50. Penentuan jumlah sampel per kelompok

menggunakan aplikasi G-power, sehingga sampel yang dibutuhkan adalah 5 ekor

ikan zebra fase juvenil (Charan,2013).

4.5 Alat Dan Bahan Penelitian

4.5.1 Pembuatan Dekokta Daun Nimba (Azadirachta indica A.Juss)

1. Timbangan Digital merk Dhaus 6. Beker glass 1 L

Pioneer PA214210 mg 7. Hiter


46

2. Panci dekoktasi 8. Kertas saring

3. Thermometer Alkohol 9. Vakum

4. Kompor listrik 10. Simplisia daun nimba

5. Pengaduk 11. Purified water

4.5.2 Pemeliharaan Ikan Zebra (Danio rerio) Fase Juvenile

1. Aquarium (60cm x 30cm x35cm) 4. Termometer

2. Purified water 5. Hiter

3. Pakan ikan 6. Aerator

4.5.3 Penentuan LC50

1. Dekokta daun nimba 5. Pipet tetes

2. Purified water 6. Aquarium pengamatan ukuran 1 L

3. Gelas ukur 100ml 7. Tabung enlemeyer 1000 ml

4. Bekker glas 1000ml

4.5.4 Pengamatan Histologi Hepar

1. Preparat histologi hepatosit pewarnaan HE

2. Mikroskop binokuler Olympus

3. Minyak emersi

4. Kamera

4.6 Tahap Penelitian

4.6.1 Aklimatisasi Hewan Coba ikan zebra fase juvenil

Hewan coba yang digunakan adalah ikan zebra fase juvenil, yang diperoleh

dari Sentra Pembiakan Ikan Zebra Tulung Agung. Identifikasi dan sertifikasi
47

dilakukan di Fakultas Kelautan dan Perikanan Universitas Muhammadiyah

Malang dengan Nomor : 02/Analisa/Lab.Perikanan/FPP-UMM/XII/2017

Dilakukan adaptasi selama 7 hari pada ikan zebra fase juvenil dengan suhu

optimal 28-29ºC di Laboratorium Terpadu Zebra fish Fakultas Kedokteran

Universitas Islam Malang dengan tujuan untuk melihat kemampuan bertahan ikan

setelah terjadi perubahan lingkungan dari ekosistem alami menjadi lingkungan

laboratorium.

4.6.2 Pemeliharaan Ikan Zebra (Danio rerio) fase juvenil

Pemeliharaan ikan zebra fase juvenil dilakukan di Laboratorium Terpadu

Zebra fish Fakultas Kedokteran Universitas Islam Malang. Pemeliharaan

dilakukan dalam aquarium berukururan 60cm x 30cm x 35cm yang dilengkapi

dengan aerator set, termometer dan heater dengan suhu 28-29 ºC. Ikan Zebra fase

juvenil diberikan makan 2 kali sehari dengan tetrabit. Pengurasan aquarium

dilakukan 1 kali dalam seminggu.

4.6.3 Pembuatan Ekstrak Dekokta Daun Nimba dan Penentuan Dosis

Simplisia daun nimba (Azadirachta indica A.Juss) diperoleh dari Balai

Materia Medika, Batu. Simplisia yang diperoleh ditimbang sesuai kebutuhan

dalam satuan mg lalu dimasukkan ke pelarut air 1 L diletakkan diatas air yang

suhunya 90ºC selama 30 menit, sehingga menjadi satuan mg/L (ppm). Hasil

dekoktasi daun nimba (Azadirachta indica A.Juss) didinginkan dan disaring

menggunakan kertas saring dan kasa kemudian di vacum.


48

4.6.4 Penentuan Dosis

Dosis yang digunakan untuk menentukan LC50 yaitu 75ppm, 100ppm,

200ppm, 300ppm, 400ppm, 500ppm, dan 600ppm, 700ppm, dan 800ppm. Dosis

LC50 ditentukan dari trial dose berdasarkan kelipatan dari 100 ppm. Hasil trial

dose yang diharapkan adalah kematian ikan 50%.

Dosis yang digunakan untuk menentukan MATC yaitu 50ppm, 75ppm,

100ppm, 125ppm, 150ppm, dan 175ppm berdasarkan trial dose dari kelipatan 25

ppm (Osanaiye, 2013), hasil yang diharapkan adalah adanya efek kematian pada

dosis terendah (LOEC) dan tidak adanya efek kematian pada dosis tertinggi

dibawah dosis LC50 (NOEC).

Rumus MATC = √LOEC x NOEC

4.6.5 Penentuan LC50 Sub Kronik Dekokta Daun Nimba

Penentuan dosis berdasarkan pada 8 kelompok trial dose. Jumlah ikan yang

digunakan adalah 10 ekor ikan zebra fase juvenil dengan 3 kali ulangan. Total

ikan zebra fase juvenil yang digunakan adalah 240 ekor. Lama paparan dekokta

daun nimba adalah 15 hari dan penggantian dekokta daun nimba setiap <24 jam.

Persentase kematian dihitung dengan rumus :

𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑖𝑘𝑎𝑛 𝑚𝑎𝑡𝑖


% kematian = 𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙 𝑖𝑘𝑎𝑛 𝑝𝑎𝑑𝑎 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙 𝑋 100%
49

Tabel 4.1 Penentuan dosis LC50 dekokta daun nimba


Kelompok n Jumlah ikan Perlakuan
Kelompok dosis 3 10 ekor ikan zebra fase Hewan coba di tempatkan pada
ke 1 juvenil aquarium kecil yang berisi dekokta
daun nimba 1L dosis 75 ppm selama
15 hari
Kelompok dosis 3 10 ekor ikan zebra fase Hewan coba di tempatkan pada
ke 2 juvenil aquarium kecil yang berisi dekokta
daun nimba 1L dosis 100 ppm
selama 15 hari
Kelompok dosis 3 10 ekor ikan zebra fase Hewan coba di tempatkan pada
ke 3 juvenil aquarium kecil yang berisi dekokta
daun nimba 1l dosis 200 ppm selama
15 hari
Kelompok dosis 3 10 ekor ikan zebra fase Hewan coba di tempatkan pada
ke 4 juvenil aquarium kecil yang berisi dekokta
daun nimba 1L dosis 300 ppm
selama 15 hari
Kelompok dosis 3 10 ekor ikan zebra fase Hewan coba di tempatkan pada
ke 5 juvenil aquarium kecil yang berisi dekokta
daun nimba 1L dosis 400 ppm
selama 15 hari
Kelompok dosis 3 10 ekor ikan zebra fase Hewan coba di tempatkan pada
ke 6 juvenil aquarium kecil yang berisi dekokta
daun nimba 1L dosis 500 ppm
selama 15 hari
Kelompok dosis 3 10 ekor ikan zebra fase Hewan coba di tempatkan pada
ke 7 juvenil aquarium kecil yang berisi dekokta
daun nimba 1L dosis 600 ppm
selama 15 hari
Kelompok dosis 3 10 ekor ikan zebra fase Hewan coba di tempatkan pada
ke 8 juvenil aquarium kecil yang berisi dekokta
daun nimba 1L dosis 700 ppm
selama 15 hari
Kelompok dosis 3 10 ekor ikan zebra fase Hewan coba di tempatkan pada
ke 9 juvenil aquarium kecil yang berisi dekokta
daun nimba 1L dosis 800 ppm
selama 15 hari

Tabel 4. 2 klasifikasi Lethal Concentration 50% (LC50) (GESAMP,2002)


Klasifikasi Deskripsi Nilai LC50 (satuan ppm)
Tidak toksik >1000
Hampir toksik >100 - ≤1000
Sedikit toksik >10 - ≤100
Sedang >1 - ≤10
Tinggi >0.1 - ≤1
Sangat tinggi >0.01 - ≤0.1
Ekstrem ≤0.01
50

Tabel 4.3 Penentuan dosis MATC dekokta daun nimba


Kelompok n Jumlah ikan Perlakuan
Kelompok dosis 3 10 ekor ikan zebra fase Hewan coba di tempatkan pada
ke 1 juvenil aquarium kecil yang berisi dekokta
daun nimba 1L dosis 50 ppm selama
15 hari
Kelompok dosis 3 10 ekor ikan zebra fase Hewan coba di tempatkan pada
ke 2 juvenil aquarium kecil yang berisi dekokta
daun nimba 1L dosis 75 ppm selama
15 hari
Kelompok dosis 3 10 ekor ikan zebra fase Hewan coba di tempatkan pada
ke 3 juvenil aquarium kecil yang berisi dekokta
daun nimba 1l dosis 100 ppm selama
15 hari
Kelompok dosis 3 10 ekor ikan zebra fase Hewan coba di tempatkan pada
ke 4 juvenil aquarium kecil yang berisi dekokta
daun nimba 1L dosis 125 ppm
selama 15 hari
Kelompok dosis 3 10 ekor ikan zebra fase Hewan coba di tempatkan pada
ke 5 juvenil aquarium kecil yang berisi dekokta
daun nimba 1L dosis 150 ppm
selama 15 hari
Kelompok dosis 3 10 ekor ikan zebra fase Hewan coba di tempatkan pada
ke 6 juvenil aquarium kecil yang berisi dekokta
daun nimba 1L dosis 175 ppm
selama 15 hari

4.6.6 Perlakuan Uji Nekrosis Hepatosit Ikan Zebra fase juvenil

Berdasarkan rumus federer dibutuhkan sampel sebanyak 6 ekor ikan zebra

fase juvenil. Pada proses perlakuan digunakan 12 ekor ikan zebra fase juvenil

sehingga total sampel yang dibuthkan adalah 48 ekor ikan zebra fase juvenil.
51

4.4 Tabel Perlakuan Uji Nekrosis Hepatosit Ikan Zebra Fase Juvenil

Kelompok Perlakuan Jumlah Perlakuan


ikan
Kelompok Kontrol 12 Hewan coba di tempatkan pada aquarium
(K1) kecil yang berisi purified water 1L selama
15 hari
Kelompok dosis terapi 12 Hewan coba di tempatkan pada aquarium
(P1) kecil yang berisi dekokta daun nimba 1L
dosis 50 ppm 1L selama 15 hari
Kelompok dosis MATC 12 Hewan coba di tempatkan pada aquarium
(P2) kecil yang berisi dekokta daun nimba 1L
dosis 132 ppm selama 15 hari
Kelompok dosis LC50 12 Hewan coba di tempatkan pada aquarium
(P3) kecil yang berisi dekokta daun nimba 1L
dosis 410 ppm selama 15 hari

4.6.6.1 Pengambilan Sampel Hepar Ikan Zebra Fase Juvenil


Ikan zebra dimasukkan kedalam air es, setelah kesadaran ikan zebra menurun

yang ditandai dengan hilangnya pergerakan ikan zebra dilakukan insisi dibagian

inferior tubuh ikan zebra, selanjutnya dilakukan pengambilan organ hepar ikan

zebra dan dimasukkan kedalam formalin 10%.

4.6.6.2 Pembuatan Preparat Ikan Zebra

Pemberian label pada wadah sediaan sesuai dengan label kelompok

perlakuan, dilakukan proses dehidrasi untuk menarik air secara bertahap dengan

formalin 10% selama 5 jam, dilanjutkan pemberian aceton 3 kali setiap 30 menit.

Tahap kedua dilakukan penjernihan dengan tujuan mentransparankan serta

mengganti alkohol dari jaringan dengan Xylol 3 kali setiap 30 menit. Tahap ketiga

yaitu impregnasi untuk menyamakan keadaan jaringan dengan bahan pengeblokan

menggunakan paraffin cair (56-60ºC) tahan pertama selama 30 menit kemudian

tahap kedua 1 jam. Tahap ke empat adalah pengeblokan yang bertujuan untuk
52

memudahkan penyayatan dengan mikrotom. Setelah blok parafin terbentuk

dilakukan pemotongan dengan mikrotom. Selanjutnya dilakukan deparafinasi

yaitu memasukkan hasil potongan kedalam oven 70 ºC selama 1 jam dimasukkan

xylol 3 kali setiap 5 menit. Selanjutnya tahap pewarnaan jaringan dengan tahap

hidrasi menggunakan alkohol 96% 3 kali setiap 2 menit, kemudian dimasukkan

kedalam air selama 10 menit, selanjutnya pengecetan dengan cat utama yaitu

harris hematoksilin selama 10 menit selanjutnya dicuci pada air mengalir

kemudian dicelupakan pada alkohol asam 1% 3-5, kemudian dicelupkan pada

aminia air 5-10 celup, selnjutnya dilakukan cat pembanding dengan eosin 1%,

kemudian dilakukan dehidrasi lagi dengan alkohol, selnjutnya penjernihan dengan

xylol, tahap akhir mounting dengan etelen dan deckglass. Selanjutnya dilakukan

analisa preparat.

4.6.6.3 Pengamatan Histologi Hepatosit Ikan Zebra Fase Juvenil

Pengamatan dilakukan pada 6 preparat ikan zebra disetiap kelompok

perlakuan yaitu K0 (kelompok kontrol), P1 (Kelompok Terapi), P2 (Kelompok

MATC), dan P3 (Kelompok LC50). Pengamatan dilakukan dengan mikroskop

binokuler perbesaran 1000x, pada 5 lapang pandang dan dihitung oleh 3 orang

pengamat untuk mengurangi subjektivitas. Pengamatan dilakukan untuk

menentukan jumlah nekrosis hepatosit yang ditandai dengan perubahan pada inti

sel yaitu, kariolisis (warna benang-benang kromatin memudar), piknosis ( inti sel

mengeci dan DNA menggumpal) dan karioreksis (DNA terfragmentasi)

(Kumar,2015). Penghitungan dilakukan dengan menentukan rerata jumlah


53

nekrosis hepatosit dalam 1 lapang pandang. Rumus persentasi nekrosis hepatosit

ikan zebra fase juvenil adalah :

𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ ℎ𝑒𝑝𝑎𝑡𝑜𝑠𝑖𝑡 𝑛𝑒𝑘𝑟𝑜𝑠𝑖𝑠


% jumlah nekrosis per lapang pandang = X 100%
𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ ℎ𝑒𝑝𝑎𝑡𝑜𝑠𝑖𝑡 𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙
4.7 Analisa Data

Gambar 4.1 histologi normal hepatosit ikan zebra fase juvenil (Rajini,2015)

Gambar 4.2 histologi nekrosis ikan zebra fase juvenil (Rajini,2015)


54

4.7 Analisa data

Analisa data pada penelitian ini akan menggunakan one-way analysis of

varian (ANOVA) apabila persyaratan nya terpenuhi yaitu penelitian > 2 sampel,

jumlah sampel homogen pada setiap kelompok dan jenis data terdistribusi normal.

Analisa ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan yang signifikan diantra

kelompok perlakuan dengan nilai p < 0,005. Analisa post hoc test LSD digunakan

untuk mengetahui kelompok yang berbeda secara signifikan diantara kelompok

penelitian. Analisa data yang tidak memenuhi syarat dilakukan dengan analisa

non parametric menggunakan Kruskal wallis dan man whitney . Analisa data

untuk LC50 menggunakan regresi probit untuk menganalisis berbagai respon dosis

yang digunakan sehingga dapat menentukan toksisitas relatif dari bahan kimia

pada organisme hidup (Finney,1952).


55

4.8 Diagram Alur Penelitian

Penetuan dosis LC50 Subkronik Ikan Zebra Fase Juvenil


Ikan zebra fase juvenil (usia 1-2 bulan)

Aklimatisasi hewan coba (7 hari )

Kelompok perlakuan

K1 K2 K3 K4 K5 K6 K7 K8 K9
DDN DDN DDN DDN DDN DDN DDN DDN DDN
75 100 200 300 400 500 600 700 800
ppm ppm ppm ppm ppm ppm ppm ppm
ppm
(3x) (3x) (3x) (3x) (3x) (3x) (3x) (3x)
(3x)

Pengamatan dilakukan dengan melihat jumlah


kematian 50% ikan zebra fase juvenil

Hasil

Analisa data mengunakan


analisis probit

Kesimpulan
56

Histologi Hepatosit Ikan Zebra fase Juvenil

ikan zebra fase juvenil


(usia 1- 2 bulan)

Kelompok Kontrol Kelompok terapi Kelompok Kelompok LC50


(K0) (P1) MATC (P2) (P3)
Pemberian 1L Purified pemberian dekokta Pemberian dekokta Pemberian dekokta
water daun nimba dosis daun nimba dosis daun nimba dosis
(Selama 15 hari) 50 ppm 132 ppm 410ppm
(Selama 15 hari) (Selama 15 hari) (Selama 15 hari)

Pengamatan nekrosis hepatosit ikan zebra fase


juvenil dengan pewarnaan HE

Hasil

Analisa Data

Kesimpulan
57

BAB V

HASIL DAN ANALISA DATA

5.1 Nilai Lethal Concentration 50% (LC50) Sub Kronik Dekokta Daun Nimba
(Azadirachta indica A. Juss) pada Ikan Zebra (Danio rerio) Fase Juvenil
Nilai LC50 sub kronik dekokta daun nimba pada ikan zebra fase juvenil dapat

dilihat pada tabel dibawah ini.

Tabel 5.1 Rerata Persentase Kematian Ikan Zebra Fase Juvenil Yang
dipaparkan Dekokta Daun Nimba Secara Sub Kronik pada Beberapa Trial
Dose

Dosis (mg/L) Rerata Kematian ± SD


%
75 0%±0,00
100 10%± 1,73
200 23%±1,53
300 40%±2,00
400 53%±0,58
500 53%±2,31
600 97%±0,58
700 87%±2,31
800 83%±2,89
Keterangan : Tabel 5.1 tentang persentase kematian ikan zebra fase juvenile
Tabel 5.2 Hasil Analisa Nilai LC50 Sub Kronik Dekokta Daun Nimba Pada
Ikan Zebra Fase Juvenil dengan Uji Probit

Waktu Probability 95% confidence


limits for
% konsentration
Kematian Konsentrasi
(mg/L)
0.1 192.943
0.2 249.866
0.3 301.070
15 0.4 353.058
hari 0.5 409.736
0.6 475.514
0.7 557.623
0.8 671.895
0.9 870.121
Keterangan: table 5.2 merupakan hasil analisa probit
58

Berdasarkan Analisa probit pada tabel 5.2, didapatkan nilai LC50 sub kronik

dekokta daun nimba yang dipaparkan pada ikan zebra fase juvenil adalah 409,736

mg/L. Dosis LC50 yang didapatkan termasuk dalam deskripsi hampir toksik

(>100-≤1000mg/L) (Gesamp,2002). Dosis MATC yang diperoleh dari hitungan

persentase kematian ikan zebra fase juvenile memiliki nilai 132 mg/L.

5.2 Hasil Paparan Subkronik Dekokta Daun Nimba (Azadirachta indica A.Juss)
Terhadap Jumlah Hepatosit Nekrosis Ikan Zebra (Danio rerio) Fase Juvenil

A B

C D
Keterangan : Gambar 5.1 merupakan gambaran hepatosit ikan zebra dengan
pewarnaan Hematoxilin Eosin yang diamati pada mikroskop binokuler perbesaran
1000x. gambar A. Kontrol, B. Dosis Terpai (50 mg/L), C. Dosis MATC (mg/L),
D. Dosis LC50 (410mg/L). merupakan gambar hepatosit normal, hepatosit
nekrosis (kariolisis), hepatosit nekrosis (piknosis), hepatosit nekrosis
(karioreksis).
59

Tabel 5.3 Rerata Persentase Hepatosit Nekrosis Ikan Zebra Fase Juvenil

Kelompok Penelitian Rerata ± SD (%)


Kontrol 13,46 ± 1,05a
Terapi 10,83 ± 2,24a
MATC 77,11 ± 1,37b
LC50 86,32 ± 2,2c

Rerata Persentase Hepatosit Nekrosis


Rerata Hepatosit Nekrosis (%)

100.00
90.00 c
b
80.00
70.00
60.00
50.00
40.00
30.00
20.00 a a
10.00
0.00
kontrol terapi MATC LC50
Kelompok Perlakuan

Gambar 5.2 Histogram Rerata Persentase Hepatosit nekrosis Ikan Zebra


Fase Juvenil

Keterangan: tabel 5.3 dan gambar 5.2 merupakan data hasil hitungan rerata jumlah
hepatosit nekrosis (%) ikan zebra yang yang dipaparkan dekokta daun nimba
dalam waktu sub kronik (15 hari). Data dianalisa menggunakan uji statistik
Kruskal Wallis Test dengan hasil p<0,05 dan dilanjutkan dengan analisa Mann
Whitney Test. Notasi a p<0,05 terhadap kelompok dosis MATC dan LC50, notasi b
p<0,05 terhadap kelompok kontrol, dosis terapi, dan dosis LC50, notasi c p<0,05
terhadap kelompok kontrol, dosis terapi dan dosis MATC.

Pada kelompok dosis terapi terjadi penurunan hepatosit nekrosis 19,53%

dibandingkan kelompok kontrol (p>0,05) Dosis MATC dan LC50 meningkatkan

jumlah hepatosit nekrosis berturut-turut 82,5% dan 84,4% dibandingkan

kelompok kontrol (p<0,05) dan 85,9% dan 87,4% dibandingkan kelompok dosis
60

terapi (p<0,05), sedangkan pada kelompok dosis LC50 terjadi peningkatan

hepatosit nekrosis ikan zebra fase juvenil sebesar 10,7% dibandingkan kelompok

dosis MATC (p<0,05).

Tabel 5.4 Hasil Korelasi Kelompok Penelitian dengan Jumlah Hepatosit


Nekrosis

Rerata
Kelompok hepatosit
penelitian nekrosis
Spearman's Kelompok Correlation
1.000 .816**
rho penelitian Coefficient
Sig. (2-tailed) . .000
N 20 20
Rerata Correlation
.816** 1.000
hepatosit Coefficient
nekrosis Sig. (2-tailed) .000 .
N 20 20

Keterangan: tabel 5.4 merupakan hasil uji korelasi Spearman rho antara kelompok
kontrol, terapi, MATC dan LC50 dengan rerata persentase hepatosit nekrosis.
Didapatkan adanya hubungan yang signifikan (p<0,05), koefisien korelasi
0,816** dan arah hubungan positif.

Berdasarkan tabel 5.4 didapatkan hasil yang signifikan dengan korelasi positif

antara rerata jumlah hepatosit nekrosis ikan zebra fase juvenile dengan kelompok

perlakuan yaitu kontrol, dosis terapi (50mg/L), dosis MATC (132 mg/L), dan

dosis LC50 (410 mg/L).

Peningkatan satu derajat dosis dekokta daun nimba meningkatkan jumlah

hepatosit nekrosis ikan zebra fase juvenile sebesar 0,816%, sehingga peningkatan

dosis dekokta daun nimba akan meningkatkan jumlah hepatosit nekrosis ikan

zebra fase juvenil.


61

BAB VI

PEMBAHASAN

6.1 Nilai Lethal Concentration 50% (LC50) Sub Kronik Dekokta Daun Nimba
(Azadirachta indica A.Juss) Pada Ikan Zebra (Danio rerio) Fase Juvenil
Pada penelitian ini nilai LC50 subkronik dekokta daun nimba pada ikan zebra

fase juvenil adalah 409,736 mg/L dan termasuk dalam tingkat hampir toksik

(>100- ≤1000ppm) (GESAMP,2002). Efek toksik dekokta daun nimba

dipengaruhi oleh beberapa hal yaitu zat aktif pada nimba yang bersifat toksik

(Mordue,2000), tingkat dosis waktu paparan dari daun nimba (Kumar, 2012) dan

tahap perkembangan dari ikan zebra yaitu fase juvenile (Dhara,2016). Daun

nimba yang diekstrak menggunakan metode dekoktasi dengan pelarut air dapat

menarik beberapa zat aktif seperti azadirachtin (Priyadarsini,2010), quercetin dan

alkaloid (Al-Hasemi,2016).

Azadirachtin merupakan golongan terpenoid yang diketahui sebagai senyawa

toksik yang dapat menginduksi kematian hewan coba (Dhara,2016), toksin

merupakan zat yang menimbulkan perubahan fisiologis menjadi abnormal hingga

kematian (Hardiansyah dan Rimbawan, 2000). Zat aktif azadirachtin yang

terdapat pada daun nimba akan masuk kedalam tubuh ikan zebra (Wirasuta dan

Niruri, 2007), kemudian terjadi proses distribusi dari azadirachtin melalui

pembuluh darah dan menimbulkan efek pada sistem neuromusular junction yaitu

menghambat asetilkolinesterase (AChe) (Nathan, 2008).

Asetilkolinesterase merupakan enzim yang mendegradasi asetilkolin (Ach)

menjadi kolin dan asetat untuk mencegah depolarisasi yang terus menerus
62

(Nathan, 2008). Secara fisiologis, selama proses neurotransmisi Ach dikeluarkan

oleh terminal saraf ke celah sinap yang kemudian berikatan dengan reseptornya

untuk menghantarkan impuls saraf. Selanjutnya Ach akan didegradasi oleh AChe

yang berada dimembran post sinap. Jika terjadi hambatan pada kerja AChe, saraf

akan mengalami depolarisasi secara terus menerus (Nathan, 2008) sehingga tidak

akan mampu menerima suatu impuls baru (Srivastava, 2013), menimbulkan

kerusakan pada sistem saraf pusat dan sistem saraf tepi yang menyebabkan

gangguan koordinasi antara sistem saraf dan otot rangka, menimbulkan kondisi

ataksia ditandai dengan gerak ikan yang abnormal (Bernadi, 2013), menyebabkan

otot kelelahan sehingga menimbulkan letargi ditandai dengan ikan akan bergerak

jika diberikan rangsangan sentuhan (Nathan, 2008) dan terjadi gangguan perilaku

umum ikan dalam mempertahankan hidupnya hingga menyebabkan kematian

(Srivastava, 2013). Penelitian sebelumnya melaporkan daun nimba dibawah dosis

LC50 menyebabkan peningkatan gerak berenang kepermukaan yang menjadi tanda

awal gangguan respirasi, namun pada dosis yang lebih tinggi dibuktikan

terjadinya penurunan gerakan ikan kepermukaan sehingga kompensasi terhadap

gangguan respirasi gagal (Bernadi,2013). Selain itu gangguan pada sistem

neuroumuscular junction mempengaruhi gerak dari insang, yang dapat

memperberat kondisi ikan dalam melakukan kompensasi pengambilan oksigen.

Kekurangan oksigen pada ikan dapat menyebabkan terjadi hipoksia pada otak

sehingga menimbulkan kematian (Nathan,2008).

Kematian pada hewan coba yang lingkungannya terpapar oleh dekokta daun

nimba dipengaruhi oleh tingkatan dosis dan lama paparan dari daun nimba
63

(Dhara,2016). Dosis nimba yang tinggi dan paparan yang lama akan mengubah

efek terapi dari zat aktif quercetin dan alkaloid. Quercetin merupakan golongan

polipenolik flavonoid yang memiliki efek hipoglikemi yang dimanfaatkan sebagai

obat antidiabetes (Satyanarayana,2015). Namun, pada dosis yang lebih tinggi dari

dosis terapi efek hipoglikemi menyebabkan fungsi kognitif terganggu dan

menyebabkan penurunan kesadaran (Scheen,2010). Efek hipoglikemi terjadi

karena adanya hambatan pada enzim α-amilase dan α glucosidase yang berfungsi

memecah karbohidrat dan penghambatan pada Sodium Glucose Co-Transporter 1

(SGLT1) sebagai Na/Glukosa transport pada sel epitel intestin (Hanhineva,2010).

Alkaloid pada dosis yang tinggi menyebabkan peningkatan kerja dari

neutronsmiter asetilkolin sehingga menyebabkan kejang hingga kelumpuhan atau

gagal nafas (Wink,2016).

Selain itu penggunakan hewan coba pada fase perkembangan juvenil diduga

menyebabkan distribusi dan akumulasi dari zat toksik cepat (Dhara, 2016), karena

ukuran tubuh dan umur ikan mempengaruhi tingkat sensitivitas ikan terhadap

suatu bahan toksik (Diedrich,2015). Pada tahap perkembangan juvenil fungsi

difusi pada sistem pernafasan sekitar 60% belum sempurna, perkembangan lamela

insang dipengaruhi oleh proses pertukaran oksigen dan regulasi ion pada insang

(Diedrich,2015), sehingga diduga perkembangan abnormal pada insang yang

terpapar lingkungan dekokta daun nimba menyebabkan pertukaran oksigen dan

ion terganggu (Dhara, 2016).


64

Adanya interaksi sinergis antra azadirachtin, alkaloid, dan Quercetin

menyebabkan ikan zebra fase juvenile yang memiliki pertumbuhan yang belum

sempurna mengalami kegagalan kompensasi hingga menyebabkan kematian.

6.2 Efek Paparan Subkronik Kelompok Kontrol Dan Dosis Terapi Dekokta
Daun Nimba (Azadirachta Indica A.Juss) Terhadap Jumlah Hepatosit
Nekrosis Ikan Zebra (Danio Rerio) Fase Juvenil

Persentase rerata hepatosit nekrosis pada kelompok kontrol lebih tinggi

dibandingkan kelompok dosis terapi namun tidak berbeda signifikan berdasarkan

analisa data. Berdasarkan teori jumlah nekrosis yang terjadi pada kelompok

kontrol dan dosis terapi masuk dalam kategori ringan karena kurang dari

30%(Lubis,2014). Nekrosis yang terjadi pada kelompok kontrol diduga karena

pembentukan radikal bebas dari fungsi fisiologi hepar ikan zebra dalam

pembentukan energi, metabolisme senyawa xenobiotik, penyimpanan vitamin,

dan penyimpanan ion besi (chu and sadler, 2009).

Pada proses pembentukan energi terdapat kerja dari NADPH pada membran

mitokondria sehingga terbentuk superokside yang dikatalis SOD menjadi H2O2

dan dapat bereaksi dengan logam Fe2+ menghasilkan radikal hidroksi yang

bersifat sangat reaktif (Paital dkk, 2016; Valero, 2015).

Pada proses metabolisme senyawa xenobiotik akan dihasilkan suatu Reactif

Oxygen Species (ROS). Pada fase I bahan asing berikatan dengan sitokrom p450

oksidase pada ikan zebra diekspresikan oleh gen CYP3A65 dan CYP3A4 yang

homolog dengan manusia (Muray,2014). Ikatan tersebut diberikan elektron oleh

NADPH p450 reduktase kemudian berikatan dengan molekul oksigen, selanjutnya


65

diberikan lagi elektron oleh NADPH sehingga menjadikan substrat tidak reaktif

dan menghasilkan superoksida (O2.), yang selanjutnya oleh antioksidan endogen

katalase dan GSH diubah menjadi H2O2 (Sukhla dkk, 2017; Chen, 2015).

Pada kelompok kontrol diduga antioksidan endogen tidak seimbang dengan

ROS yang terbentuk karena adanya peningkatan kerja dari hepar dalam

membentuk energi sehingga menimbulkan stress oksidatif. ROS yang tidak

berikatan dengan antioksidan bereaksi menyebabkan peroksidase lipid sehingga

terjadi kerusakan membran sel dan meningkatkan influx Ca2+ ke intrasel, hal ini

menyebabkan aktivasi beberapa enzim seperti protease dan endonuklease yang

dapat menginduksi kematian secara nekrosis (Kumar,2013).

Pada kelompok dosis terapi jumlah hepatosit nekrosis mengalami penurunan

diduga karena ROS yang terbentuk dapat dinetralisir oleh antioksidan dari daun

nimba. Berdasarkan penelitian, jumlah antioksidan pada ikan yang terpapar daun

nimba lebih tinggi dibandingkan kontrol (Plhalova,2017). Daun nimba memiliki

kandungan Quercetin yang diketahui memiliki efek antioksidan. Sifat Antioksidan

Quercetin dibentuk oleh gugus hidroksil fenolik yang melekat pada cincin

struktur. Mekanisme kerjanya sebagai pereduksi, mendonorkan hidrogen,

menetralkan radikal superoksida dan mengendalikan ion logam transisi. Flavonoid

mengaktifkan enzim antioksidan ( Prochazkova,2011) yang berdasarkan

penelitian kandungan flavonoid pada nimba signifikan meningkatkan kadar

gluthation sebagai suatu antioksidan untuk mengubah H2O2 menjadi oksigen dan

molekul air (Gupta,2016).


66

. Adanya antioksidan eksogen menyebabkan ROS yang terbentuk dapat

dinetralisir oleh antioksidan sehingga mengurangi kematian sel secara nekrosis

(Chattopadhya,2003).

Daun nimba juga diketahui memiliki aktivitas hepatoprotektif. Mekanisme

kerjanya dengan menghambat peroksidase lipid dan memperbaiki aktifitas Na/K

ATPase sehingga memperbaiki fungsi membran hepatosit (Prihapsara,2018).

Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian Prihapsara (2017) yang

menunjukkan adanya penurunan hepatosit nekrosis pada kelompok dosis terapi

dibandingkan dengan kelompok kontrol.

6.3 Efek Paparan Subkronik Dekokta Daun Nimba (Azadirachta indica


A.Juss) Pada Dosis MATC dan LC50 Terhadap Hepatosit Nekrosis Ikan
Zebra (Danio rerio ) Fase Juvenil.
Hasil penelitian membuktikan terjadinya peningkatan jumlah nekrosis

hepatosit ikan zebra fase juvenil pada kelompok MATC dan LC 50, jika

dibandingkan dengan kelompok kontrol dan dosis terapi. Hal ini didukung oleh

teori bahwa daun nimba mengandung zat aktif azadirachtin dan nimbolide yang

berdasarkan beberapa penelitian memiliki efek negatif pada sel (mordue, 2000;

Priyadarsini, 2010). Paparan dekokta daun nimba pada lingkungan ikan zebra

menyebabkan zat aktif pada nimba akan masuk kedalam tubuh ikan zebra. Zat

aktif pada nimba menjadi suatu zat asing yang akan dimetabolisme oleh hepar.

Metabolism zat asing pada hepar terjadi dalam 2 fase (Muray,2014). Pada fase I

zat aktif nimba akan berikatan dengan sitokrom p450 kemudian terjadi proses

oksidasi yang mengubah Fe2+ menjadi Fe3+ yang akan menyebabkan terbentuknya

radikal bebas dari nimba. Setelah itu akan terjadi proses oksidasi dengan
67

penambahan O2 yang kemudian terjadi pemberian elektron pada ikan antara

oksigen dan zataktif nimba yang berikatan dengan P450 hal ini membentuk

superoksda (Muray dkk,2014; Goldstone,2010).

Fase II merupakan tahap konjugasi senyawa asing dalam tubuh yang

bertujuan menjadikan senyawa lebih larut dan mudah di ekskresikan. Senyawa

yang berpotensi toksik dikonjugasikan oleh glutation peroksidase dan reaksi ini

dikatalisis oleh glutation S-transferase (GST) yang banyak didapatkan pada

sitosol hepatosit (Muray dkk,2014). Pada ikan zebra terdapat glutation yang

diekspresikan oleh gen GSTA1 dan GSTA2 (Glisic,2014). Proses konjugasi oleh

enzim ini sangat penting karena jika proses konjugasi tidak terjadi maka zat yang

bersifat toksik akan berikatan dengan DNA, RNA dan protein sehingga

menimbulkan kematian sel (Muray dkk,2014).

Adanya paparan berulang dari nimba selama 15 hari menyebabkan mekanisme

detoksifikasi dari hepatosit meningkat sehingga produksi dari radikal bebas

nimbolide dan superoksida meningkat, hal ini didukung oleh teori penelitian

bahwa nimba memiliki kandungan nimbolide yang signifikan meningkatkan

radikal bebas (Priyadarsini, 2010). Superoksida (O2 ) yang terbentuk pada fase I

metabolisme akan diubah oleh SOD menjadi H2O2 yang bersifat toksik, sehingga

pada proses ini dibutuhkan peran katalase dan GST untuk mengubah H2O2

menjadi molekul air dan oksigen. Selain itu nimba memiliki kandungan quercetin

yang memiliki aktivitas prooksidan pada dosis yang tinggi seperti dosis MATC

dan LC50. Mekanisme terbentuknya prooksidan dari quercetin adalah metabolisme

dari quercetin dapat memebentuk beberapa senyawa yang bersifat prooksidan


68

seperti o-semiquinon, o-quinon, aryloxyl dan DT-diaphorase yang bersifat

cytotoksik sehingga dapat merusak sel. Selain itu metabolisme quercetin

menghasilkan beberapa radikal bebas seperti superoksida, radikal hidroksil dan

H2O2 (Matodiewa,1999). Radikal tersebut dapat menyerang sel sehingga

menyebabkan kerusakan DNA, lipid dan organel lainnya. (Galati,2004). Pada

Zat aktif azadirachtin yang terdapat pada nimba memiliki efek penghambatan

sintesis protein sehingga menyebabkan penurunan produksi enzim (Mordue,

2000) baik itu katalase dan glutation. Hal ini menyebabkan adanya akumulasi

ROS dalam hepatosit yang menginduksi terjadinya peroksidasi lipid,menyebabkan

permeabilitas membrane sel hepatosit meningkat, kalsium masuk ke intrasel akan

meningkat, menyebabkan peningkatan permeabilitas mitokondria dan terjadi

pengeluaran enzim-enzim dari mitokondria ke sitosol. Enzim-enzim tersebut

diantaranya protease yang menyebabkan kerusakan membran inti dan

endonuklease menyebabkan fragmentasi dari DNA dan kromosom sehingga

menginduksi kematian sel jalur nekrosis (Kumar,2013). Pada sel yang mengalami

nekrosis gambaran inti selnya adalah kariolisis, piknotik dan karioreksis.

Kariolisis adalah warna basophil dari kromatin memudar. Piknosis adalah

gambaran DNA yang memadat dan mengecil dengan gambaran basophil yang

meningkat. Karioreksis adalah proses fargmentasi dari inti sel yang mengalami

piknosis (kumar,2013).

Kerusakan hepar yang masif menyebabkan fungsi detoksifikasi menurun dan

radikal bebas menyerang organ tubuh yang lain. Toksin yang terakumulasi di

insang akan menyebabkan kerja insang dalam mempertahankan diri meningkat


69

sehingga terjadi peningkatan produksi mukus yang menghambat proses

pertukaran ion dan oksigen (Saravana,2011), hal ini akan menyebabkan tubuh

mengalami kekurangan oksigen dan dapat berdampak hipoksia pada otak. Selain

itu toksik nimba menyebabkan peningkatan kortisol dan katekolamin yang

menyebakan peningkatan denyut jantung sehingga proses pompa jantung tidak

sempurna, jantung akan mengakami kelelahan yang akan menimbulkan iskemik

pada sel jantung (Saravana,2011;Valenzuela,1990. Peningkatan ROS akan

mengakibatkan terbentuknya peroksidasi lipid yang dapat menyebabkan,

kerusakan glomerulus yang dapat mengganggu regulasi ion tubuh (Rahal,2014).

Berdasarkan hasil analisa korelasi didapatkan adanya hubungan antara

peningkatan dosis dari daun nimba dengan nekrosis hepatosit. Penelitian

sebelumnya membuktikan senyawa nimbolide menyebabkan induksi kematian

secara apoptosis pada dosis yang lebih rendah, sedangkan pada dosis yang lebih

tinggi menyebabkan kematian sel secara nekrosis (Roy, 2007). Penelitian

sebelumnya juga membuktikan kadar enzim gluthation dan katalase menurun

pada paparan dekokta daun nimba dengan dosis lebih tinggi dari LC50 (Winkaler,

2006). Penurunan kadar antioksidan endogen dan peningkatan kadar prooksidan

diduga menjadi penyebab adanya hubungan positif antara dosis paparan dekokta

daun nimba dan peningkatan jumlah hepatosit nekrosis.


70

BAB VII

PENUTUP

7.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan maka dapat disimpulkan :

1. Dosis Lethal Concentration 50% (LC50) subkronik dekokta daun nimba

pada ikan zebra fase juvenil termasuk dalam tingkat hampir toksik

(409.736mg/L).

2. Pemberian dekokta daun nimba dosis MATC dan LC 50 sub kronik

menyebabkan peningkatan hepatosit nekrosis ikan zebra fase juvenil.

7.2 Saran

1. Perlu dilakukan penelitian biomarker pada hepar yaitu SGOT dan SGPT

pada ikan zebra fase juvenile yang dipaparkan dosis MATC dan LC 50

subkronik dekokta daun nimba.

2. Perlu dilakukan penelitian kadar radikal bebas dan antioksidan pada hepar

ikan zebra fase juvenil pada semua kelompok penelitian


71

Daftar Pustaka

Ambarwati. 2007. Efektivitas Zat Antibakteri Biji Mimba (Azadirachta

indica) Untuk Menghambat Salmonella Thyposa dan Staphylococcus Aureus.

Biodiversitas. 8(3):320–325

Alzohairy M.A.2016.Therapeutics Role of Azadirachta indica (Neem) and

Their Active Constituents in Diseases Prevention and Treatment. Hindawi

Publishing Corporation Evidence-Based Complementary and Alternative

Medicine : assessing drug-induced toxicity. Drug Discovery Today 11

Akinola O.B.,Ezekiel A., Caxton-M., Luciana D.2010. Chronic Treatment

with Ethanolic Extract of the Leaves of Azadirachta indica Ameliorates Lesions

of Pancreatic Islets in Streptozotocin Diabetes. Int. J. Morphol., 28(1):291-302

Ardiansyah, Wiryanto dan Edwi M. 2002. Toksisitas Ekstrak Daun

Mimba (Azadirachta indica A. Juss) pada Anakan Siput Murbei (Pomacea

canaliculata L.). BioSMART. Universitas Negeri surakarta. Surakarta. 1 (4)

Asim Ullah, dkk. 2016. Investigation of acute toxicity and LC 50 value of

Cu for a fish Oreochromis niloticus. Journal of Entomology and Zoology Studies.

4 (5):605-607

Bempah C.K., Archibold dan Jacob. 2011. Morphological studies of Neem

(Azadirachta indica A. Juss.) seed and physicochemical properties of its oil

extracts collected in Accra metropolis of Ghana. Legon, Accra-Ghana. ISSN

2229-712x
72

Bernadi M.M, Dias S.G, Barbosa V.E.2013. Neurotoxicity Of Neem

Commercial Formulation (Azadirachta indica A.Juss) in adult Zebra Fish (Danio

rerio). Elsevier: environmental toxicology and pharmacology .36 :1276–1282

Bhawar S.B and Bhanudas S.K. 2016. Evaluation Of Neem- Artemether

Combination For Antimalarial Activity In Plasmodium Berghei Infected Mice.

European Journal Of Pharmaceutical and Medical Research.3 (3): 213-216

Binesh C. P.2013. Mortality due to viral nervous necrosis in zebrafish

Danio rerio and goldfish Carassius auratus. Diseases Of Aquatic Organisms.

104: 257–260

Bio-Atlas.2013. Zebrafish Atlas.PENNSTATE

Crane.2000. What Level Of Effect Is A No Observed Effect?.

Environmental Toxicology and Chemistry. 19 (2): 516–519

Dzakiya N, Dkk. 2010. Pemanfaatan Daun Mimba (Azadirachta indica A.

Juss) sebagai Pestisida Alami yang Aman Bagi Makhluk Hidup dan Ramah

Lingkungan. Fakultas Mipa, Universitas Negeri Malang, Malang

European Chemicals Agency. 2008. Guidance on information

requirements and chemical safety assessment

Giulio R.T end David E.H. 2008. The toxicology of Fishes. CRC

grup.New York

Gunawan S.G. 2012. Farmakologi dan terapi. Departemen farmakologi

dan terapeutik Fakultas Kedokteran. Universitas Indonesia. Jakarta


73

Gupta and Mullins, 2009. Protocol for Adult Fish Dissection. Zebrafish

Course

Hanifah N.Z. 2015. Uji Toksisitas Akut Ekstrat Metanol Daun Sirsak

Terhadap Larva Artemia Salina Leach Dengan Metode Brine Shrimp Lethality

Test (BSLT). FK UIN Syarif Hidayatullah. Jakarta

Hardinsyah dan Rimbawan. 2000. Analisis Bahaya dan Pencegahan

Keracunan Pangan. Pergizi Pangan Indonesia, PATPI dan IPB bekerjasama

dengan Proyek CHN-3, Dirjen Pendidikan Tinggi, Jakarta.

Harti A.S. 2015.Mikrobiologi kesehatan. Cv. Andi offset. Yogyakarta

Heuzé V., Tran G., Archimède H., Bastianelli D., Lebas F. 2015. Neem

(Azadirachta indica). Feedipedia, http://www.feedipedia.org/node/182

Hill A.J., Hiroki T.,Warren H and Richard E. P. 2005. REVIEW:

Zebrafish as a Model Vertebrate for Investigating Chemical Toxicity.

Toxicological Sciences. 86(1):6–19

Hollert H. and Steffen H. K.2015. Danio rerio as a model in aquatic

toxicology and sediment research. Environ Sci Pollut Res, 22:16243–16246

Johari S.A.,Iman S.,Niko B.,Somayye S.M.,Andishe K.,Nina N.2014.

Original Article Does physical production of nanoparticles reduce their

ecotoxicity? A case of lower toxicity of AgNPs produced by laser ablation to

zebrafish (Danio rerio). International Journal of Aquatic Biology (2014) 2(4):

188-192
74

Karaman et al.2011. Liver function tests in children and adolescents

receiving risperidone treatment for a year: A longitudinal, observational study.

International Journal of Psychiatry in Clinical Practice. 15: 204–208

Katzung B.G.2013. Farmakologi dasar dan Klinik ed 12. EGC. Jakarta

Kovrižnych J.A., Ružena S., Dagmar Z., Eva R., Elena S. 2014. Long-term

(30 days) toxicity of NiO nanoparticles for adult zebrafish Danio rerio.Interdiscip

Toxicol. 7(1): 23–26

Leusch dkk. 2012. The role of toxicity testing in identifying toxic

substances in water: A framework for identification of suspected toxic compounds

in water. Australian Health Protection Principal Committee. Canberra.

Ma C., Chunlei P. Wen L.S., Chaojie Z., Chatherine W and Patricia. 2003.

Zebrafish: in vivo model for drug screening various characteristic of the zebrafish

make it an ideal tool for drug. McGrath Phylonix Pharmaceuticals. Cambridge

Maithani A.,Versha P., Geeta P., Ishan D., and Deepak K. 2011.

Azadirachta indica (NEEM) LEAF: A REVIEW. Journal of Pharmacy Research.

India. 4(6):1824-1827.

McGrath P and Chun-Qi Li.2008 Zebrafish: a predictive model for

Biodiversitas. 8(3): 320–325

Mercurio S.D. 2016. Understanding Toxicology. Jones & bartlett

Learning. Ascend learning Company. US


75

Moșneang C.L., Adrian G., 2014. Assessment of 2,4 difluoroaniline

Aquatic Toxicity Using A Zebrafish (Danio rerio) Model. Thai J Vet Med. 44(4):

445-452

Muray R.K.,dkk. 2014. Biokimia Harper. EGC.Jakarta

Muthulinggam N and Partiban Subramanian. 2014. Pharmacological and

non pharmacological activity of Azadirachta indica (Neem) - A review.

International Journal of Biosciences. 5 (6): 104-112

Nogueira, Soares, Domingues, André and Guilhermino. 2009. Zebrafish

early life-stages and adults as a tool for ecotoxicity assessment. Universidade de

Aveiro. Portugal

Nugroho A.P. 2004. Ekotoksikologi. Fakultas Biologi. Universitas Gadjah

Mada. Yogyakarta.

OECD .2012. Guidelines For The Testing Of Chemicals., 1-20

Orwa C., Mutua A., Kindt R., Jamnadass R. dan Simons A. 2009.

Agroforestree Database:a tree reference and selection guide version 4.0

(http://www.worldagroforestry.org/af/treedb/)

Pereira A.C.2015. Survey of histopathological effects and evaluation of

performance in juvenile zebrafish (Danio rerio) under chronic exposure to nitrate.

Faculdade de Ciências da Universidade do Porto

PerMenKes. 1992. Pedoman Fitofarmaka .Menteri Kesehatan Republik

Indonesia
76

Plhalová L., Stanislava M., Petra D., Petr M., Zdeňka S., Vladimíra P.,

Iveta B., Eva V. and Helena M. 2010. Comparison of Terbutryn Acute Toxicity to

Danio rerio and Poecilia reticulata. ACTA VET. BRNO. 79: 593-598

Praskova E., et al. 2011. Assessment of diclofenac LC50 reference values

in juvenile and embryonic stages of the zebrafish (Danio rerio). Polish Journal of

Veterinary Sciences.14(4) :545-549

Prášková E.,et al. 2011. Comparison of acute toxicity of ketoprofen

tojuvenile and embryonic stages of Danio rerio. Neuroendocrinol Lett.

32(1):101–104

Pritchard V.S. 2001. Behaviour and Morphology of the Zebrafish,Danio

rerio. The University of Leeds School of Biology

Priyadarsini R.V.,Senthil M., Sripriya, Karunagaran and Nagini. 2010. The

neem limonoids azadirachtin and nimbolide induce cell cycle arrest and

mitochondria-mediated apoptosis in human cervical cancer (HeLa) cells. Free

Radical Research. 44(6): 624–634.

Puri H.S .1999. The Divine Tree Azadirachta indica. OPA (Overseas

Publishers Association) N.V. Published by license under the Harwood Academic

Publishers imprint, part of The Gordon and Breach Publishing Group

R´obert K., et al. 2015. Fate and Effects Of The Residues Of Anticancer

Drugs In The Environment Acute and sub-chronic toxicity of four cytostatic drugs

in zebrafish. Environ Sci Pollut Res


77

Rajini A.,Revathy and G. Selvam. 2015. Histopathological Changes in

Tissues of Danio rerio Exposed to Sub Lethal Concentration of Combination

Pesticide. Indian Journal of Science and Technology. Vol 8(18)

Reed B. and Maggy. 2011. Guidance on the housing and care of Zebra

Fish (Denio rerio). Resech animal Departemen. RSPCA. UK

Rhaul de Oliveira. 2009. Zebrafish early life-stages and adults as a tool for

ecotoxicity assessment. Departemen Biologi. Universidade de Aveiro

Ricci F.,Valerio B. and Gianfranco R. 2009. Differential Cytotoxicity of

MEX: a Component of Neem Oil Whose Action Is Exerted at the Cell Membrane

Level. Molecules.14: 122-132

Roma A, dkk. 2015. Selective Induction of Apoptosis by Azadarichta indica

Leaf Extract by Targeting Oxidative Vulnerabilities in Human Cancer Cells. J

Pharm Pharm Sci (www.cspsCanada.org) . 18(4) : 729 – 746

Saravana M., M. Ramesh, A. Malarvizhi and R. Petkam.2011. Toxicity of

Neem Leaf Extracts (Azadirachta indica A. Juss) on Some Haematological,

Ionoregulatory, Biochemical and Enzymological Parameters of Indian Major

Carp, Cirrhinus mrigala. Journal of Tropical Forestry and Environment. 01 (01):

14-26

Sherwood L.2014.Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. EGC. Jakarta

Singleman C. and Nathalia G.H. 2014. Growth and Maturation in the

Zebrafish, Danio Rerio: A Staging Tool for Teaching and Research. 11 (4)

Soemirat J.2005. Toksikologi Lingkungan. Gajahmada University Press.

Yogyakarta.
78

Soleimani A, Sattari A, Kheirandish R, Sharifpour I. 2016. Safety

evaluation of chloramine –T on ornamental zebra fish (Danio rerio) using LC50

calculation and organ pathology. Iranian Journal of Fisheries Sciences 16(1) :26-

37

Spence R., Gabriele G., Christian L. and Carl S. 2008. The behaviour and

ecology of the zebrafish, Danio rerio. Department of Biology, University of

Leicester.UK

Thiripurasundar I.M., K.Sathya, A.Uma, M.R.Srinivasan, P.Rajasekar.

2014. A Comparative Study On The Toxicity Of Ivermectin In Zebra Fish and

Catla Fish Models. Indo American Journal of Pharmaceutical Reseach

Thomas, Janz.2011. Dietary selenomethionine exposure in adult zebrafish

alters swimming performance, energetics and the physiological stress response.

Toxicology Centre; University of Saskatchewan. Canada

Voldhard C.N dan Ralf D. 2002. Zebrafish. Oxford university press. US

Vosylienë M.Z. 2007. Review Of The Methods For Acute and Chronic

Toxicity Assessment Of Single Substances, Effluents and Industrial Waters. Acta

Zoologica Lituanica. 17 (1)

Wei Lu J, Yi-Jung Ho, Yi-Ju Yang, Heng-An Liao, Shih-Ci Ciou, Liang-

In Lin, Da-Liang Ou. 2015. Zebrafish as a disease model for studying human

hepatocellular carcinoma. World J Gastroenterol .21(42): 12042-12058


79

Wilkins B. J. and Michael Pack.2013. Zebrafish Models of Human Liver

Development and Disease. American Physiological Society. Compr Physiol

3:1213-1230

Winkaler E.U, Thiago R.M. S, Joaquim G M and Cláudia B.R. 2006.

Acute lethal and sublethal effects of neem leaf extract on the neotropical

freshwater fish Prochilodus lineatus. Comparative Biochemistry and Physiology :

236–244

Wirasuta MAG dan Niruri R.2006. Buku Ajar Toksikologi Umum.

Jurusan Farmasi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas

Udayana. Bali.

ZFIN. 2013. Zebra Fish Information Network


80
81
82

Anda mungkin juga menyukai