Anda di halaman 1dari 14

LAPORAN AKHIR PRAKTIKUM

AGROKLIMATOLOGI

PENGAMATAN CURAH HUJAN (75% TERBUKA)

07 NOVEMBER 2019 – 06 DESEMBER 2019

DISUSUN OLEH:

Muhammad Rafi Al-fiqkri (D1B018073)

Rekha Purnamasari (D1B018092)

DOSEN PENGAMPU:

Dr. Ir. WISKANDAR, M.P

Dr. Ir. ARYUNIS, M.P

PROGRAM STUDI AGRIBISNIS (F)

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS JAMBI

2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur kita panjatkan atas kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan
petunjuk, sehingga kita dapat menyelesaikan Laporan Akhir Praktikum Agroklimatologi tentang
Pengamatan Curah Hujan.

Saya ucapkan terimakasih kepada pihak-pihak yang telah membantu dalam penulisan
laporan ini. Dan semoga laporan ini dapat bermanfaat bagi pembaca.

Dalam mengisi laporan ini saya menyadari bahwa laporan ini masih jauh dari
kesempurnaan dan masih banyak kekurangan, oleh karenanya diharapkan kepada pembaca untuk
memberikan masukan-masukan berupa saran dan kritik yang bersifat membangun demi
kesempurnaan laporan ini.

Jambi, 7 Desember 2019

Penulis
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Curah hujan adalah unsur iklim yang sangat berubah-ubah dari tahun ke tahun, adalah
penting bahwa setiap analisis iklim pertanian mempertimbangkan variabilitas ini dan tidak hanya
didasarkan atas nilai rata-rata. Curah hujan rata-rata adalah 850 mm dan total tahunan berkisar
dari 416 mm pada tahun 1975 sampai 1181 pada tahun 1931.

Evaporasi (penguapan) terjadi Ketika air dipanaskan oleh sinar matahari, permukaan
molekul-molekul air memiliki cukup energi untuk melepaskan ikatan molekul air tersebut dan
kemudian terlepas dan mengembang sebagai uap air yang tidak terlihat di atmosfir.

Hujan turun dari awan, adanya awan belum tentu turunnya hujan. Hujan baru turun bila
butir-butir air di awan bersatu menjadi besar dan mempunyai daya berat yang cukup dan suhu di
bawah awan harus lebih rendah dari suhu awan itu sendiri, maka butir-butir air yang telah besar
dan berat jatuh sebagai hujan

Curah hujan yang dinyatakan dalam milimeter (mm) yaitu tinggi lapisan air yang jatuh di
atas permukaan tanah, andaikata air tidak meresap ke dalam tanah, mengalir atau terjadi
penguapan akan mempunyai volume 1 liter.

Curah hujan sering disebut dengan presipitasi. Presipitasi adalah air dalam bentuk cair
atau padat yang mengendap ke bumi yang selalu didahului oleh proses kondensasi atau sublimasi
atau kombinasi keduanya yang sering dinyatakan dalam mm. Uap air merupakan sumber
presipitasi seperti hujan dan salju. Jumlah uap air yang terkandung dalam udara merupakan
indikator potensi atmosfer untuk terjadinya presipitasi. Kandungan uap air diatmosfer hanya
kurang dari 2 % dari total volume di atmosfer. Kandungan uap air dapat bervariasi antara 0 %
hingga 3 % didaerah lintang menengah dan dapat mencapai 4 % di daerah tropika basah.

Hujan merupakan unsur fisik lingkungan yang paling beragam baik menurut waktu
maupun tempat dan hujan juga merupakan faktor penentu serta faktor pembatas bagi kegiatan
pertanian secara umum, oleh karena itu klasifikasi iklim untuk wilayah Indonesia (Asia Tenggara
umumnya) seluruhnya dikembangkan dengan menggunakan curah hujan sebagai kriteria utama.
Dengan adanya hubungan sistematik antara unsur iklim dengan pola tanam dunia telah
melahirkan pemahaman baru tentang klasifikasi iklim, dimana dengan adanya korelasi antara
tanaman dan unsur suhu atau presipitasi menyebabkan indeks suhu atau presipitasi dipakai
sebagai kriteria dalam pengklasifikasian iklim.

1.2 Tujuan

Dalam praktikum agroklimatologi mengenai curah hujan ini, memiliki tujuan yaitu untuk
mengenal alat yang digunakan untuk mengukur curah hujan serta mengenal bagian-bagian dari
alat tersebut. Selain itu, untuk mengetahui cara pengmbilan data serta penetapan curah hujan dari
alat tersebut.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Hujan adalah kebasahan yang jatuh ke bumi dalam bentuk cair. Butir-butir hujan
mempunyai garis tengah 0,08 – 6 mm. Hujan terdapat dalam beberapa macam yaitu hujan halus,
hujan rintik-rintik dan hujan lebat. Perbedaan terutama pada besarnya butir-butir. Hujan lebat
biasanya turun sebentar saja jatuh dari awan cumulonimbus. Hujan semacam ini dapat amat kuat
dengan intensitas yang besar (Karim,1985).

Curah hujan dapat diukur dengan alat pengukur curah hujan otomatis atau yang manual.
Alat-alat pengukur tersebut harus diletakkan pada daerah yang masih alamiah, sehingga curah
hujan yang terukur dapat mewakili wilayah yang luas. Salah satu tipe pengukur hujan manual
yang paling banyak dipakai adalah tipe observatorium (obs) atau sering disebut ombrometer.
Curah hujan dari pengukuran alat ini dihitung dari volume air hujan dibagi dengan luas mulut
penakar. Alat tipe observatorium ini merupakan alat baku dengan mulut penakar seluas 100 cm2
dan dipasang dengan ketinggian mulut penakar 1,2 meter dari permukaan tanah (jumin, 2002)

Alat pengukur hujan otomatis biasanya memakai prinsip pelampung, timbangan dan
jungkitan. Keuntungan menggunakan alat ukur otomatis ini antara lain seperti, waktu terjadinya
hujan dapat diketahui, intensitas setiap terjadinya hujan dapat dihitung, pada beberapa tipe alat,
pengukuran tidak harus dilakukan tiap hari karena periode pencatatannya lebih dari sehari, dan
beberapa keuntungan lain (Sutedjo, Mul Suryani dan Kartasapoetra. 2005).

Curah hujan dapat diklasifikasikan berdasarkan bentuk atau unsur-unsur presipitasi yakni
pertama,hujan. Hujan adalah butir-butir air yang jatuh ke bumi dalam bentuk cair. Butir-butir
hujan mempunyai garis tengah 0,08 – 6 mm. Macam hujan yaitu hujan halus, hujan rintik-rintik
dan hujan lebat. Perbedaan terutama pada besarnya butir-butir. Hujan lebat biasanya turun
sebentar saja dari awan cumulonimbus. Hujan semacam ini dapat amat kuat dengan intensitas
yang besar. Kedua salju, terjadi karena sublimasi uap air pada suhu dibawah titik beku. Bentuk
dasar dari slju adalah hexagonal akan tetapi hal ini tergantung dari suhu dan cepatnya sublimasi.
Dan yang ketiga, hujan ES. Hujan es jatuh pada waktu hujan guntur dari awan cumulonimbus.
Didalam awan terdapat konveksi dari udara panas dan lembab. Dalam udara panas dan lembab
yang naik secara konvektif, dan terjadilah sublimasi. Bilamana aliran menjadi lemah, butir-butir
air akan turun sehingga sampai pada bahagian bawah, disini mengisap air sehingga sebagian
membeku oleh inti yang sangat dingin itu (Handoko, 1986).

Curah hujan dapat diukur dengan alat pengukur curah hujan otomatis atau yang manual.
Alat-alat pengukur tersebut harus diletakkan pada daerah yang masih alamiah, sehingga curah
hujan yang terukur dapat mewakili wilayah yang luas. Salah satu tipe pengukur hujan manual
yang paling banyak dipakai adalah tipe observatorium (obs) atau sering disebut ombrometer.
Curah hujan dari pengukuran alat ini dihitung dari volume air hujan dibagi dengan luas mulut
penakar. Alat tipe observatorium ini merupakan alat baku dengan mulut penakar seluas 100 cm2
dan dipasang dengan ketinggian mulut penakar 1,2 meter dari permukaan tanah. ( Jumin, 2002).

Evaporasi merupakan konversi air kedalam uap air. Proses ini berjalan terus hampir tanpa
berhenti disiang hari dan kerap kali dimalam hari, perubahan dari keadaan cair menjadi gas ini
memerlukan energi berupa panas laten untuk evaporasi, proses tersebut akan sangat aktif jika
ada penyinaran matahari langsung, awan merupakan penghalangan radiasi matahari dan
penghambat proses evaporasi. Jika uap air menguap ke atmosfer maka lapisan batas antara
permukaan tanah dan udara menjadi jenuh oleh uap air sehingga proses penguapan berhenti,agar
proses tersebut berjalan terus,lapisan jenuh harus diganti dengan udara kering, pergantian itu
hanya mungkin jika ada angina,yang akan menggeser komponen uap air,kecepatan angina
memegang peranan penting dalam proses evaporasi. (Wahyuningsih, 2004).

Evaporasi yang terus menerus memerlukan pemindahan uap air dari permukaan sedikit
ke atas,tanpa memindahkan udara dekat bumi, udara itu akan jenuh dengan uap air dan evaporasi
akan berhenti. Molekul air terus menerus bergerak melewati permukaan air ke atmosfer bumi.
Bila jumlah molekul-molekul yang keluar dari permukaan lebih besar dari pada jumlah yang
kembali ke permukaan air maka terjadi evaporasi. Pergantian secara netto hanya merupakan
sebagian kecil dari jumlahnya (AAK, 1997).

Informasi curah hujan diperlukan mengenai jumlah hujan, jumlah hari hujan dan
sebarannya menurut waktu. Kelembaban berkaitan dengan pertumbuhan hama dan penyakit
tertentu pada berbagai tanaman. Suhu berkatan dengan umur tanaman, pertumbuhan generatif,
pembentukan biji, buah dan gangguan fisiologis lainnya. Angin diperlukan untuk penguapan,
penyerbukan, keseimbangan kandungan udara, bahkan tenaga angin dapat dipakai untuk
menggerakan berbagai alat mekanik pertanian. Yoshida and Parao (1976) menyatakan suhu,
radiasi surya dan curah hujan mempengaruhi pertumbuhan dan hasil padi melalui dua cara.
Pertama secara langsung, iklim mempengaruhi proses fisiologis tanaman, seperti pertumbuhan
vegetatif, susunan organ-organ penyimpanan dan pengisian gabah. Kedua secara tidak langsung
mempengaruhi hasil gabah melalui kerusakan oleh hama dan penyakit yang menyerang tanaman.

Informasi iklim yang diperlukan untuk pertanian praktis sifatnya (Darwis, 1992), agak
berbeda dengan informasi iklim yang ada sekarang ini tersedia. Yang diperlukan lebih spesifik
antara lain:

1. Informasi wilayah

Berdasarkan sifat iklim suatu wilayah, komoditas pertanian apa yang sesuai di daerah
tersebut untuk dikembangkan mungkin dapat dibedakan atas komoditas sesuai dan sesuai
bersyarat.

2. Informasi Komoditas

Sebagai contoh bila ada orang mau menanam mangga. Dimana daerah yang cocok
iklimnya untuk tanaman tersebut. Kalau dapat dilengkapi dengan informasi sifat tanah, luas
areal, social ekonomi dan lain sebagainya, yang mendukung pertumbuhan dan produksi mangga.
Contoh lain, kalau di Padang Sidempuan iklim mikro dan sifat tanah telah cocok untuk bertanam
Salak dengan pertumbuhan dan produksi telah maksimal, seharusnya didaerah itu jangan
dikembangkan lagi komoditas lain yang dapat mengganggu areal Salak seperti Kelapa Sawit dan
Karet serta pemukiman.

3. Pola Curah hujan

Pola curah hujan selama satu musim atau satu tahun yang akan datang, sangat diperlukan
untuk merencanakan pertanian. Kapan, berapa lama, berapa banyak curah hujan pada suatu
lokasi tertentu. Secara terinci dapat diinformasikan berapa persen peluang curah hujan sejumlah
yang diharapkan dapat diperoleh. Hal ini dapat berbeda untuk komoditas yang berbeda pula.
Untuk mendukung ini sebenarnya dari zaman Belanda sampai era tahun 70-an masih sangat
banyak pengamatan curah hujan di Sumatera Utara dengan system kerja sama antara BMG
dengan instansi terkait lainnya. Namun belakangan ini makin sedikit pengamatan yang
berkesinambungan dilaksanakan. Tentu saja berakibat informasi ini tidak setiap tempat dapat
tersedia, padahal dengan system kerja sama tersebut BMG menyediakan alat dan hasil
analisisnya. Instansi terkait yang melakukan pengamatan dan mengirim data ke BMG.

4. Peluang Kekeringan

Tidak hanya pola curah hujan yang perlu diprakirakan. Peluang terjadinya kekeringan
pun perlu dikaji dengan seksama. Berapa persen peluang terjadinya kekeringan pada satu waktu
didaerah tertentu. Kapan akan terjadinya pun sebenarnya dapat diprakirakan. Hal ini semua
hanya dapat dilakukan jika data tersedia dengan lengkap di daerah-daerah sentra pertanian
khususnya.

5. Peta Iklim

Peta iklim untuk pertanian seyogianya selalu dapat diperbaharui secara berkala, terutama
untuk pola curah hujan dengan data-data mutakhir. Dewasa ini walaupun Sumatera Utara telah
memiliki peta iklim (zone agroklimat menurut Oldeman) yang disusun tahun 90-an sebenarnya
harus selalu di up dating secara berkala sesuai dengan data-data mutakhir (Darsiman, dkk, 1999).
Persoalan kita adalah data-data mutakhir volumenya makin menurun. Salah satu penyebabnya
adalah, sebelumnya semua stasiun hujan yang ada, BMG bekerjasama dengan Diperta, Disbun,
Dishut dan PU Pengairan Tk I Sumut, namun setelah Otonomi Daerah belum ada kejelasan
Stasiun Hujan kerjasama yang ada di daerah siapa yang bertanggung jawab secara structural.
BAB III

PELAKSANAAN PRAKTIKUM

3.1 Waktu dan Tempat

Praktikum Pengukuran Curah Hujan ini dilaksanakan pada hari kamis, tanggal 07
November 2019 s/d 06 Desember 2019 pukul 09.00 WIB di kebun percobaan 75% terbuka
Fakultas Pertanian Universitas Jambi.
3.2 Alat dan Bahan
1. Kayu
2. Botol minuman 1,5 L
3. Tali raffia
4. Cutter
5. Gelas piala
3.3 Prosedur Praktikum
1. Menyiapkan alat dan bahan yang diperlukan.
2. Menentukan lokasi penempatan ombrometer (75% terbuka).
3. Membuat alat pengukuran curah hujan (ombrometer).
4. Memasang ombrometer sesuai prosedur dan posisi lurus 180 derajat.
5. Melakukan pengamatan terhadap curah hujan dalam rentang waktu 1x24 jam.
Dimana rentang waktu dimulai pukul 09.00 WIB.
6. Menghitung curah hujan menggunakan gelas ukur. Jika dalam 1x24 jam tidak terjadi
hujan maka data ditulis nol.
7. Buat data curah hujan dalam bentuk table dan grafik.
BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil

Tabel Pengamatan Curah Hujan Selama Satu Bulan ( 07 November 2019 – 06 Desember 2019):

NO Hari/Tanggal Pengamatan Curah Hujan


(mm)
1 07 November 2019 0
2 08 November 2019 0
3 09 November 2019 0
4 10 November 2019 0
5 11 November 2019 5,5
6 12 November 2019 0
7 13 November 2019 0
8 14 November 2019 2
9 15 November 2019 1,7
10 16 November 2019 1
11 17 November 2019 0
12 18 November 2019 0
13 19 November 2019 5
14 20 November 2019 0
15 21 November 2019 5
16 22 November 2019 3,7
17 23 November 2019 1,8
18 24 November 2019 0
19 25 November 2019 0
20 26 November 2019 0
21 27 November 2019 34
22 28 November 2019 0
23 29 November 2019 0
24 30 November 2019 3,8
25 01 Desember 2019 6,1
26 02 Desember 2019 2,9
27 03 Desember 2019 0
28 04 Desember 2019 0
29 05 Desember 2019 0
30 06 Desember 2019 0
Rata - rata 2,4
Kurva Pengamatan Curah Hujan 07 November 2019 – 04 Desember 2019:

40
35 34

30
25
20
15
10
5.5 5 5 3.7 6.1
5 3.8 2.9
2 1.7 1 1.8
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
0
19 -19 -19 -19 -19 -19 -19 -19 -19 -19 -19 -19 019 019 019
ov- v v v v v v v v v v v 2 2 2
-N -No -No -No -No -No -No -No -No -No -No -No er er ber
0 7 0 9 1 1 1 3 1 5 1 7 1 9 2 1 2 3 2 5 2 7 2 9 b b
m m m
se ese ese
De D D
01 03 05

Curah Hujan (mm)

4.2 PEMBAHASAN

Pada pengamatan data curah hujan yang diperoleh yaitu data hujan yang diolah dan
diamati yang terhitung dari tanggal 07 November 2019 sampai 06 Desember 2019 hanya teradi
12x hujan. Pada pengamatan ini curah hujan yang paling besar terjadi pada tanggal 27 November
2019 dengan curah hujan 34 mm Dan curah hujan paling kecil pada tanggal 16 November 2019
yaitu 1 mm. Hujan selama 4 minggu ini termasuk dalam klasifikasi curah hujan sangat ringan
karena rata-rata curah hujannya dibawah 5 mm. Salah satu factor yang mempengaruhi klasifikasi
curah hujan ini adalah letak ombrometer dimana pada pengamatan ini diletakkan pada tempat
75% terbuka dan perubahan musim.
BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Dari data dan pengamatan praktikum yang telah dilaksanakan dapat disimpulkan dari
data pengelolaan pada daftar curah hujan dari 07 November 2019 sampai 06 Desember 2019
dapat diketahui bahwa kebun percobaan Fakultas Pertanian Universitas Jambi dalam keadaan
75% terbuka termasuk dalam klasifikasi curah hujan sangat ringan, dimana curah hujannya
dibawah 5 mm yaitu rata-rata dalam 4 minggu adalah 2,4 mm.

5.2 Saran
Praktikum agroklimatologi ini merupakan praktikum yang berperan penting dalam dunia
pertanian. Dalam melakukan pengamatan curah hujan ini saat penempatan ombrometer harus
diletakkan pada tempat yang benar-benar datar sehingga pengukuran data lebih akurat dan
meminimalisir kesalahan.
DAFTAR PUSTAKA

AAK. 2003. Dasar-Dasar Bercocok Tanam. PT Kanisius. Yogyakarta.

Darsiman, B,. Sutrisno., Mukri Siregar., Nazaruddin Hisyam. 1999. Kharakteristik Zone
Agroklimat E2 di Sumatera Utara. Makalah Penunjang Kongres IV PERHIMPI dan Simposium
Internasional I, Bogor, 18-20 Oktober 1999. 9 pp

Darwis, S. N. 1992. Pemantapan Pola Iklim untuk Pertanian. Proc.Symposium Met. Pertanian
III. PERHIMPI. P9-20.

Handoko. 1994. Klimatologi Dasar. PT Dunia Pustaka Jaya. Jakarta.

Jumin, Hasan Basri. 2002. Agroekologi Suatu Pendekatan Fisiologi. PT. Raja Grafindo Persada,
Jakarta

Karim, K. 1985. Diktat Kuliah Dasar-Dasar Klimatologi. Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh.

Sutedjo, Mul Suryani dan Kartasapoetra. 2005. Pengantar Ilmu Tanah. PT RINEKA CIPTA,
Jakarta.

Wahyuningsih, Utami. 2004. Geografi. Pabelan. Jakarta

Yoshida, S., and F.T Parao. 1976. Climate influence on yield and yield components of lowland
rice in tropics. Proc. Of Symposium on Climate and Rice. The Int. Res. Inst. Los Banos,
Philippines. P471-494

Anda mungkin juga menyukai