Anda di halaman 1dari 30

BAB I

LAPORAN KASUS

I. Identitas Pasien
 Nama Pasien : Nn. Y
 Jenis Kelamin : Perempuan
 Tanggal Lahir / Usia : 21 tahun
 Pekerjaan : Mahasiswa
 Alamat : Oesapa
 Status Pernikahan : Menikah
 Suku : Rote
 Agama : Kristen Protestan
 Pendidikan Terakhir : SMA
 Tanggal Masuk Perawatan : 23 Juni 2020

II. Anamnesis
A. Keluhan Utama
Nyeri perut kanan bawah sejak 3 hari SMRS.
B. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke IGD RSUD SK Lerik dengan keluhan nyeri perut kanan bawah sejak
3 hari SMRS. Awalnya nyeri dirasakan di ulu hati lalu berpindah ke perut kanan
bawah. Nyeri yang dirasakan tajam seperti ditusuk jarum dan hilang timbul sepanjang
hari. Nyeri bertambah parah ketika pasien hendak bangun dari tempat tidur ataupun
batuk dan membaik ketika pasien diam dan beristirahat. Nyeri sudah dirasakan pasien
selama 1 tahun terakhir dan sering hilang timbul. Pasien juga mengeluhkan adanya
mual dan muntah setelah mulai merasa nyeri. Sejak timbulnya gejala, nafsu makan
pasien berkurang. 2 hari SMRS pasien mengalami demam. Pasien menyangkal
mengalami sulit atau nyeri saat BAK ataupun gangguan pola BAB. Tidak ada riwayat
penurunan berat badan drastis dalam beberapa bulan terakhir.
C. Riwayat Haid
 Menarche : 13 tahun
 Lamanya haid : 5-7 hari
 Siklus : teratur, 27-29 hari
 Banyaknya : 2-3 kali ganti pembalut/hari
 Nyeri haid : tidak ada
D. Riwayat Penyakit Dahulu
 Hipertensi : Disangkal
 Diabetes Mellitus : Disangkal
 Penyakit Jantung : Disangkal
 Asma : Disangkal
 Riwayat Alergi : Tidak ada
 Riwayat Operasi : Tidak ada
 Riwayat Pengobatan : Tidak ada
E. Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak ada.
F. Riwayat Sosial
Pasien menyangkal memiliki kebiasaan merokok, minum alkohol atau menggunakan
obat-obatan rutin.

III. Pemeriksaan Fisik Generalis


A. Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
G. Kesadaran : Compos mentis; GCS 15 (E4 M6 V5)
H. Tanda Vital
 Tekanan Darah : 110/80 mmHg
 Pernafasan : 20x/menit
 Nadi : 88x/menit
 Suhu : 37oC
I. Status Generalis
 Kepala : Normocephal
 Mata : Konjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/-, refleks pupil +/+
 Hidung : Septum deviasi (-), mukosa normal, hipertrofi konka (-),
sekret (-)
 Telinga : Normotia, sekret (-), serumen -/-, liang telinga lapang
 Tenggorokan : Faring hiperemis (-), tonsil T1-T1
 Leher : Bentuk normal, KGB tidak teraba, kelenjar tiroid tidak teraba
 Thoraks
Jantung Inspeksi : Iktus kordis tidak tampak
Palpasi : Iktus kordis teraba
Perkusi : Batas jantung kesan tidak melebar
Auskultasi : BJ I-II reguler, murmur (-), gallop (-)
Paru-paru Inspeksi : Bentuk dan pergerakan dada simetris kanan-
kiri
Palpasi : Taktil vokal fremitus teraba simetris
Perkusi : Sonor di seluruh lapang paru
Auskultasi : Suara nafas vesikuler +/+, wheezing -/-, rhonki
-/-
 Abdomen
Inspeksi : Datar
Auskultasi : Bising usus (+)
Palpasi : Nyeri tekan titik McBurney (+), nyeri lepas titik McBurney
(+), Rovsing sign (+), defans muskular lokal(+), Psoas sign (+),
Obturator sign (+), hepar dan limpa sulit dinilai karena nyeri
Perkusi : Timpani di seluruh lapang abdomen
 Ekstremitas : Akral hangat, edema -/-, CRT < 2 detik

IV. Pemeriksaan Penunjang


A. Pemeriksaan Laboratorium
Jenis Pemeriksaan Hasil (23 Februari 2018) Nilai Rujukan
HEMATOLOGI
Hemoglobin 12 12.9-15.9 g/dl
Hematokrit 37 38-42%
Eritrosit 4.3 4.3 – 6.0 juta/μL
Leukosit 19.170 4.800-10.800 /μL
Trombosit 271.000 150.000-300.000 /μL
MCV 86 80-96 fL
MCH 29 27-32 pg
MCHC 33 32-36 g/dL
KIMIA KLINIK
Glukosa Darah Sewaktu 102 <140 mg/dL
URINALISIS
Warna Kuning Kuning
Kejernihan Jernih Jernih
PH 6,5 4,6 – 8,0
Berat Jenis 1.020 1,010 – 1,030
Protein -/Negatif Negatif
Glukosa -/Negatif Negatif
Bilirubin -/Negatif Negatif
Nitrit -/Negatif Negatif
Keton -/Negatif Negatif
Urobilinogen -/Negatif Negatif – Positif 1
Eritrosit 1-1-1 < 2 /LPB
Leukosit 2-2-2 < 5 /LPB
Silinder -/Negatif Negatif /LPK
Kristal -/Negatif Negatif
Epitel +/Positif 1 Positif
Lain - lain -/Negatif Negatif

J. Alvarado Score
Temuan Poin Pasien
Perpindahan nyeri ke fossa iliaca dextra 1 1
Anoreksia 1 1
Mual atau muntah 1 1
Nyeri tekan : fossa iliaca dextra 2 2
Nyeri lepas : fossa iliaca dextra 1 1
Demam ≥36,3oC 1 1
Leukositosis ≥10 x 109 /L 2 2
Shift to the left of neutrophils 1 0
Total 10 9
Interpretasi : Kemungkinan besar apendisitis (≥7)

V. Resume
Pasien Nn. M, perempuan berusia 21 tahun datang ke IGD dengan keluhan
nyeri perut kanan bawah sejak 3 hari SMRS. Awalnya pada ulu hati lalu berpindah ke
kanan bawah. Nyeri dirasa tajam seperti ditusuk jarum dan hilang timbul. Bertambah
parah ketika hendak bangun dari tidur atau batuk dan membaik ketika diam dan
beristirahat. Terdapat mual, muntah dan penurunan nafsu makan. 2 hari SMRS
mengalami demam.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan pasien tampak sakit sedang, compos mentis
dan GCS 15. Tekanan darah 110/80 mmHg, pernafasan 20x/menit, nadi 88x/menit,
suhu 37oC, dan VAS 3/10. Pada status generalis tidak ditemukan kelainan, kecuali
abdomen. Dari inspeksi didapatkan abdomen datar. Dari auskultasi didapatkan bising
usus (+). Dari palpasi didapatkan nyeri tekan titik McBurney (+), nyeri lepas titik
McBurney (+), Rovsing sign (+), dan defans muskular lokal(+). Dari perkusi
didapatkan timpani di seluruh lapang abdomen.
Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan leukositosis (19.170/μL). Selain
itu pemeriksaan hematologi, kimia klinik, dan urinalisi masih dalam batas normal.
Didapatkan skor 9 pada Alvarado score, yang diinterpretasikan sebagai kemungkinan
besar apendisitis (skor ≥7).

VI. Diagnosis
Susp. Apendisitis akut
Diagnosa Banding : pelvic inflammatory disease, ISK, BSK

VII. Penatalaksanaan
A. Non-medikamentosa
 Edukasi pasien dan keluarga tentang penyakit pasien dan rencana tatalaksana.
 Informed consent tindakan pembedahan apendektomi.
K. Medikamentosa
 IVFD RL 500 mL / 8 jam
 Ketorolac 3 x 30 mg IV
 Ranitidin 2 x 50 mg IV
 Ceftriaxone 2 x 1 g IV
L. Tindakan
 Open appendectomy cito

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Apendiks


Appendiks merupakan organ dengan struktur tubular yang rudimeter dan tanpa
fungsi yang jelas. Appendiks berkembang dari posteromedial caecum dengan panjang
yang bervariasi namun pada orang dewasa sekitar 5-15 cm dan diameter sekitar 0,5-
0,8 cm. Appendiks merupakan derivat bagian dari midgut yang terdapat di antara
Ileum dan Colon ascendens. Caecum terlihat pada minggu ke-5 kehamilan dan
apppendiks terlihat pada minggu ke-8 kehamilan yaitu bagian ujung dari protuberans
caecum. Dalam proses perkembangannya, awalnya apendiks berada pada apeks
caecum, tetapi kemudian berotasi dan terletak lebih medial ekat Plica ileocaecalis.
Lumen apendiks sempit dibagian proksimal dan melebar di bagian distal. Hampir
seluruh permukaan apendiks dikelilingi oleh peritoneum dan mesoapendiks (mesenter
dari appendiks) yang merupakan lipatan peritoneum yang berjalan kontinyu sepanjang
appendiks dan berakhir di ujung appendiks.1,2

Secara histologi, struktur


apendiks sama dengan usus
besar. Kelenjar submukosa dan
mukosa dipisahkan dari
lamina muskularis.
Diantaranya berjalan
pembuluh darah dan kelenjar limfe. Bagian paling luar apendiks ditutupi oleh lamina
serosa yang berjalan pembuluh darah besar yang berlanjut ke dalam mesoapendiks.
Bila letak apendiks retrosekal, maka tidak tertutup oleh peritoneum viserale.
Pada appendiks terdapat 3 taenia coli yang menyatu di persambungan caecum
dan bisa berguna dalam menandakan tempat untuk mendeteksi appendiks. Posisi
apendiks terbanyak adalah retrocaecal 74% baik intraperitoneal maupun
retroperitoneal dimana appendiks berputar ke atas di belakng caecum. Selain itu juga
terdapat posisi pelvic (panggul) 21% (appendiks menggantung ke arah pelvic minor),
subcaecal ( dibawah caecum) 1,5%, retroileal (dibelakang usus halus) 0,5%, dan pre-
ileal 1%. 3

Persarafan parasimpatis berasal dari cabang n.vagus yang mengikuti


a.mesenterika superior dan a.apendikularis, sedangkan persarafan simpatis berasal
dari n.torakalis X. Oleh karena itu, nyeri viseral pada apendisitis bermula di sekitar
umbilikus.
Pendarahan apendiks berasal dari a.apendikularis yang merupakan arteri tanpa
kolateral. Jika arteri ini tersumbat, misalnya karena thrombosis pada infeksi, apendiks
akan mengalami gangrene.

2.2 Histologi Apendiks


Komposisi histologi serupa dengan usus besar, terdiri dari empat lapisan yakni
mukosa, submukosa, muskularis eksterna, dan lapisan serosa. Permukaan dalam atau
mukosa secara umum sama seperti mukosa colon, berwarna kuning muda dengan
gambaran nodular, dan komponen limfoid yang prominen. Komponen limfoid ini
mengakibatkan lumen dari appendiks seringkali berbentuk irreguler (stelata) pada
potongan melintang. Dindingnya berstruktur sebagai berikut :4
A. Tunica mucosa
B. Tunica submucosa
C. Tunica muscularis
Walaupun tipis, tapi masih dapat dibedakan adanya lapisan dua lapisan.
D. Tunica serosa
Tunica serosanya mempunyai struktur yang tidak pada intestinum tenue.
Kadang-kadang pada potongan melintang dapat diikuti pula mesoappendix
yang merupakan alat penggantung sebagai lanjutan peritoneum viserale.
Potongan melintang Apendiks
2.3 Fisiologi Apendiks
Apendiks menghasilkan lendir 1-2 ml per hari. Lendir normalnya dicurahkan
ke dalam lumen dan selanjutnya mengalir ke sekum. Hambatan aliran lendir di muara
apendiks tampaknya berperan pada pathogenesis apendisitis. Apendiks juga
merupakan organ imunologik yang berperan dalam sekresi IgA karena termasuk
dalam komponen (gut associated lymphoid tissue). Imunoglobulin ini sangat efektif
sebagai pelindung terhadap infeksi. Namun demikian, pengangkatan apendiks tidak
meN BCVFmpengaruhi sistem imun tubuh karena jumlah jaringan limfe di sini kecil
sekali jika dibandingkan dengan jumlahnya di saluran cerna dan di seluruh tubuh.2

2.4 Definisi Apedisitis


Apendisitis adalah peradangan dari apendiks vermiformis dan merupakan
penyebab abdomen akut paling sering.5

2.5 Epidemiologi
Insidens apendisitis akut di negara maju lebih tinggi daripada di negara
berkembang, tetapi beberapa tahun terakhir angka kejadiannya menurun bermakna.
Hal ini disebabkan oleh meningkatnya penggunaan makanan berserat dalam menu
sehari-hari. Apendisitis dapat ditemukan pada semua umur, hanya pada anak kurang
dari satu tahun jarang dilaporkan. Insidens tertinggi pada kelompok umur 20-30 tahun,
setelah itu menurun. Insidens pada lelaki dan perempuan umumnya sebanding, kecuali
pada umur 20-30 tahun, insidens pada lelaki lebih tinggi. Meskipun jarang, pernah
dilaporkan kasus appendiks neonatal dan prenatal. Pasien dengan usia yang lebih dari
60 tahun dilaporkan sebanyak 50% meninggal akibat apendisitis.6
2.6 Etiologi
Apendisitis akut merupakan merupakan infeksi bakteria. Sumbatan lumen
apendiks merupakan faktor pencetus disamping hiperplasia jaringan limfe, fekalit,
tumor apendiks dan cacing askaris dapat pula menyebabkan sumbatan. Penyebab lain
yang diduga dapat menimbulkan apendisitis adalah erosi mukosa apendiks karena
parasit seperti E.histolytica.DeJong Penelitian epidemiologi menunjukkan peran
kebiasaan makan makanan rendah serat dan pengaruh konstipasi terhadap timbulnya
apendisitis. Konstipasi akan menaikkan tekanan intrasekal yang berakibat timbulnya
sumbatan fungsional apendiks dan meningkatnya pertumbuhan kuman flora kolon
biasa.2,3

2.7 Klasifikasi
Ada beberapa jenis apendisitis yang memiliki perubahan yang berbeda
berhubungan dengan apendisitis, sehingga ada perbedaan gejala, pengobatan dan
prognosis. Appendisitis diklasifikasikan sebagai berikut :

1. Appendisitis akut
a. Appendisitis akut sederhana ( Cataral Appendicitis)
Proses peradangan baru terjadi di mukosa dan sub mukosa disebabkan
obstruksi. Sekresi mukosa menumpuk dalam lumen appendiks dan terjadi
peningkatan tekanan dalam lumen yang mengganggu aliran limfe, mukosa
appendiks jadi menebal, edema, dan kemerahan. Gejala diawali dengan
rasa nyeri di daerah umbilikus, mual, muntah, anoreksia, dan demam
ringan. Pada appendisitis cataral terjadi leukositosis dan appendiks terlihat
normal, hiperemia, edema, dan tidak ada eksudat serosa.
b. Appendisitis akut purulent (Supurative Appendicitis)
Tekanan dalam lumen terus bertambah disertai edema menyebabkan
terbendungnya aliran vena pada dinding appendiks dan menimbulkan
trombosis. Keadaan ini memperberat iskemik dan edema pada apendiks.
Mikroorganisme yang ada di usus besar berinvasi ke dalam dinding
appendiks menimbulkan infeksi serosa sehingga serosa menjadi suram
karena dilapisi eksudat dan fibrin. Pada appendiks dan mesoappendiks
terjadi edema, heperemia, dan di dalam lumen terdapat eksudat
fibrinopurulen.
Ditandai dengan rangsangan peritoneum lokal seperti nyeri tekan,
nyeri lepas di titik Mc Burney, defans muskuler, dan nyeri pada gerak aktif
dan pasif. Nyeri dan defans muskuler dapat terjadi pada seluruh perut
disertai dengan tanda-tanda peritonitis umum.
c. Appendisitis akut gangrenosa

Bila tekanan dalam lumen terus bertambah, aliran darah arteri mulai
terganggu sehingga terjadi infark dan gangren. Selain didapatkan tanda-
tanda supuratif, appendiks mengalami gangren pada bagian tertentu.
Dinding appendiks berwarna ungu, hijau keabuan atau merah kehitaman.
Apada appendisitis akut gangrenosa terdapat mikroperforasi dan kenaikan
cairan peritoneal yang purulen.
2. Appendisitis infiltrat
Appendisitis infiltrat adalah proses radang appendiks yang
penyebarannya dapat dibatasi oleh omentum, usus halus, sekum, kolon dan
peritoneum sehingga membentuk gumpalan massa flegmon yang melekat erat
satu dengan yang lainnya.
3. Appendisitis abses
Terjadi bila massa lokal yang terbentuk berisi nanah (pus), biasanya di
fossa iliaka kanan, lateral dari sekum, retrocaecal, sucaecal, dan pelvic.
4. Appendisitis perforasi
Adalah pecahnya appendiks yang sudah gangren yang menyebabkan
pus masuk kedalam rongga perut sehingga terjadi peritonitis umum. Pada
dinding appendiks tampak daerah perforasi dikelilingi oleh jaringan nekrotik.
5. Appendisitis kronis
Merupakan lanjutan appendisitis akut supuratif sebagai proses radang
yang persisten akibat infeksi mikroorganisme dengan virulensi rendah,
khususnya obstruksi parsial terhadap lumen. Diagnosis appendisitis kronis
baru dapat ditegakkan jika ada riwayat serangan nyeri berulang di perut kanan
bawah lebih dari dua minggu, radang kronik appendiks secara makroskopik
dan mikroskopik. Secara histologi, dinding appendiks menebal, sub mukosa
dan muskularis propia mengalami fibrosis. Terdapat infiltrat sel radang
limfosit dan eosinofil pada sub mukosa, muskularis propia, dan serosa.
Pembuluh darah serosa tampak dilatasi.

2.8 Patofisiologi
Apendisitis biasanya disebabkan oleh penyumbatan lumen apendiks oleh
hiperplasia limfoid, fekalit, benda asing, parasit, neoplasma atau striktur karena
fibrosis akibat peradangan sebelumnya, atau. Obstruksi tersebut menyebabkan mukus
yang diproduksi mukosa mengalami bendungan. Semakin lama mukus tersebut
semakin banyak, namun elastisitas dinding apendiks mempunyai keterbatasan
sehingga menyebabkan peningkatan tekanan intralumen. Tekanan yang meningkat
tersebut akan menghambat aliran limfe yang mengakibatkan edema, diapedesis
bakteri, dan ulserasi mukosa. Pada saat inilah terjadi apendisitis akut lokal yang
ditandai oleh nyeri epigastrium. Bila sekresi mukus terus berlanjut, tekanan akan terus
meningkat. Hal tersebut akan menyebkan obstruksi vena, edema bertambah, dan
bakteri akan menembus dinding. Peradangan yang timbul meluas dan mengenai
peritoneum setempat sehingga menimbulkan nyeri didaerah kanan bawah. Keadaan
ini disebut apendisitis supuratif akut. Bila kemudian aliran arteri terganggu akan
terjadi infark dinding apendiks yang diikuti dengan gangren. Stadium ini disebut
dengan apendisitis gangrenosa. Bila dinding yang telah rapuh itu pecah, akan terjadi
apendisitis perforasi. Bila semua proses diatas berjalan lambat, omentum dan usus
yang berdekatan akan bergerak kearah apendiks hingga timbul suatu massa lokal yang
disebut infiltrate apendikularis. Peradangan pada apendiks tersebut dapat menjadi
abses atau menghilang. Pada anak-anak, kerena omentum lebih pendek dan apendiks
lebih panjang, maka dinding apendiks lebih tipis. Keadaan tersebut ditambah dengan
daya tahan tubuh yang masih kurang sehingga memudahkan terjadinya perforasi.
Sedangkan pada orang tua, perforasi mudah terjadi karena telah ada gangguan
pembuluh darah.2,3,7
2.9 Manifestasi klinis
a. Nyeri abdominal
Karena adanya kontraksi appendix, distensi dari lumen appendix
ataupun karena tarikan dinding appendx yang mengalami peradangan.
Mula-mula nyeri dirasakan samar-samar, tumpul dan hilang timbul yang
merupakan nyeri viseral di daerah epigastrium atau sekitar umbilicus
karena appendix dan usus halus mempunyai persarafan yang sama. Setelah
beberapa jam (4-6 jam) nyeri berpindah dan menetap di abdomen kanan
bawah (titik Mc Burney). Apabila terjadi inflamasi (>6 jam) akan terjadi
nyeri somatik setempat yang berarti sudah terjadi rangsangan pada
peritoneum parietal dengan sifat nyeri yang lebih tajam, terlokalisir serta
nyeri akan lebih hebat bila batuk ataupun berjalan kaki.
Selain gejala klasik, ada beberapa gejala lain yang dapat timbul
sebagai akibat dari apendisitis. Timbulnya gejala ini bergantung pada letak
apendiks ketika meradang.
o Bila letak apendiks retrosekal retroperitoneal, yaitu di belakang
sekum (terlindung oleh sekum), tanda nyeri perut kanan bawah
tidak begitu jelas dan tidak ada tanda rangsangan peritoneal. Rasa
nyeri lebih ke arah perut kanan atau nyeri timbul pada saat
melakukan gerakan seperti berjalan, bernafas dalam, batuk, dan
mengedan. Nyeri ini timbul karena adanya kontraksi m. psoas
mayor yang menegang dari dorsal.
o Bila apendiks terletak di dekat atau menempel pada rektum, akan
timbul gejala dan rangsangan sigmoid atau rektum, sehingga
peristaltik meningkat, pengosongan rektum akan menjadi lebih
cepat dan berulang-ulang (diare).
o Bila apendiks terletak di dekat atau menempel pada kandung
kemih, dapat terjadi peningkatan frekuensi kemih, karena
rangsangan dindingnya.
b. Mual-muntah biasanya pada fase awal
Disebabkan karena rangsangan visceral akibat aktivasi nervus vagus.
Hampir 75% penderita disertai dengan vomitus, namun jarang berlanjut
menjadi berat dan kebanyakan vomitus hanya sekali atau dua kali.
c. Nafsu makan menurun (anoreksia)
Keadaan anoreksia hampir selalu ada pada setiap penderita appendisitis
akut, bila hal in tidak ada maka diagnosis appendisitis akut perlu
dipertanyakan.
d. Obstipasi dan diare pada anak-anak.
Penderita appendisitis akut juga mengeluh obstipasi sebelum
datangnya rasa nyeri dan beberapa penderita mengalami diare. Hal tersebut
timbul biasanya pada letak appendix pelvikal yang merangsang daerah
rektum.
e. Demam
Demam yang tidak terlalu tinggi, yaitu suhu antara 37,50 – 38,50C
tetapi bila suhu lebih tinggi, diduga telah terjadi perforasi.
Untuk mendiagnosis apendisits akut biasanya ditegakan
berdasarkan dari riwayat penyakit yaitu nyeri perut kanan bawah akut
disertai demam, dan dengan pemeriksaan fisik serta pemeriksaan
laboratorium darah yaitu leukosit.
Nyeri perut pada apendisitis akut merupakan keluhan awal
penderita. Nyeri bermula disekitar umbilikus yang kemudian berpindah ke
perut kanan bawah. Nyeri awal pada sekitar umbilikus adalah nyeri
viseral, berasal dari peritoneum viseralis yang dikirim ke sentral melalui
sistem saraf otonom dan diinterpretasi di otak pada thalamus.
2.10 Diagnosis Apendisitis
a. Anamnesis
Untuk menegakkan diagnosis pada apendisitis didasarkan atas
anamnesis ditambah dengan pemeriksaan laboratorium sarta pemeriksaan
penunjang lainnya. Gejala appendisitis ditegakkan dengan anamnesis yaitu
:
o Nyeri mula – mula di epigastrium (nyeri visceral) yang beberapa
waktu kemudian menjalar ke perut kanan bawah.
o Muntah
o Demam
o Gejala lain adalah badan lemah dan kurang nafsu makan, penderita
nampak sakit, menghindarkan pergerakan pada daerah perut.
b. Pemeriksaan fisik
1) Inspeksi
Kadang sudah terlihat waktu penderita berjalan sambil bungkuk dan
memegang perut. Penderita tampak kesakitan. Pada inspeksi perut
tidak ditemukan gambaran spesifik. Kembung sering terlihat pada
penderita dengan komplikasi perforasi. Penonjolan perut kanan bawah
bisa dilihat pada massa atau abses appendikuler.
2) Auskultasi
Peristaltik usus sering normal. Peristaltic dapat hilang pada ileus
paralitik karena peritonitis generalisata akibat appendisitis perforata.
3) Palpasi
Dengan palpasi di daerah titik Mc. Burney didapatkan tanda-tanda
peritonitis lokal yaitu:
o Nyeri tekan (+) Mc. Burney
Pada palpasi didapatkan titik nyeri tekan kuadran bawah atau titik
Mc Burney dan ini merupakan tanda kunci diagnosis.
o Nyeri lepas (+) karena rangsangan peritoneum
Rebound tenderness (nyeri lepas tekan) adalah rasa nyeri yang
hebat (dapat dengan melihat mimik wajah) di abdomen kanan
bawah saat tekanan secara tiba-tiba dilepaskan, setelah sebelumnya
dilakukan penekanan yang perlahan dan dalam dititik Mc Burney.
o Defens muskuler(+) karena rangsangan M.Rektus Abdominis
Defens muskuler adalah nyeri tekan seluruh lapangan abdomen
yang menunjukkan adanya rangsangan peritoneum parietal. Pada
appendiks letak retroperitoneal, defans muscular mungkin tidak
ada, yang ada nyeri pinggang.
Pemeriksaan Rectal Toucher
Akan didapatkan nyeri pada jam 11-1. Pada apendisitis pelvika akan
didapatkan nyeri terbatas sewaktu dilakukan colok dubur.
4) Perkusi : nyeri ketuk (+)
c. Pemeriksaan khusus
 Rovsing sign
Penekanan perut kiri bawah terjadi nyeri perut kanan bawah, karena
tekanan merangsang peristaltic dan udara usus, sehingga
menggerakkan peritoneum sekitar appendix yang meradang (somatic
pain)
 Blumberg sign
Disebut juga dengan nyeri lepas. Palpasi pada kuadran kiri bawah atau
kolateral dari yang sakit kemudian dilepaskan tiba-tiba, akan terasa
nyeri pada kuadran kanan bawah karena iritasi peritoneal pada sisi
yang berlawanan.
 Psoas sign
Dilakukan dengan rangsangan muskulus psoas. Ada 2 cara memeriksa:
1. Aktif : Pasien telentang, tungkai kanan lurus ditahan pemeriksa,
pasien memfleksikan articulation coxae kanan, psoas sign (+) bila
terasa nyeri perut kanan bawah.
2. Pasif: Pasien miring kekiri, paha kanan dihiperekstensikan
pemeriksa, psoas sign (+) bila terasa nyeri perut kanan bawah.

 Obturator sign
Dilakukan dengan menyuruh pasien tidur telentang, lalu dilakukan
gerakan fleksi dan endorotasi sendi panggul atau articulation coxae.
Obturator sign (+) bila terasa nyeri di perut kanan bawah.
d. Pemeriksaan penunjang

1) Pemeriksaan laboratorium

o Pemeriksaan darah : pada laboratorium darah terdapat leukositosi


ringan ( 10.000 – 18.000/mm3) yang didominasi >75% oleh sel
Polimorfonuklear (PMN), netrofil (shift to the left) dimana terjadi
pada 90% pasien. Hal ini biasanya terdapat pada pasien dengan
akut appendisitis dan apendisitis tanpa komplikasi. Sedangkan
leukosit >18.000/ mm3 meningkatkan kemungkinan terjadinya
perforasi apendiks dengan atau tanpa abses.

o Pemeriksaan urin : untuk melihat adanya eritrosit, leukosit, dan


bakteri dalam urin. Pemeriksaan ini sangat membantu dalam
menyingkirkan diagnosis banding seperti infeksi saluran kemih
atau batu ginjal yang mempunyai gejala klinis yang hampir sama
dengan appendisitis.
o Pemeriksaan laboratorium lain yang mendukung diagnosa
appendisitis adalah C- reaktif protein. CRP merupakan reaktan fase
akut terhadap infeksi bakteria yang dibentuk di hepar. Kadar serum
mulai meningkat pada 6-12 jam setelah inflamasi jaringan. Tetapi
pada umumnya, pemeriksaan ini jarang digunakan karena tidak
spesifik. Spesifitasnya hanya mencapai 50-87% dan hasil dari CRP
tidak dapat membedakan tipe dari infeksi bakteri.

2) Foto polos abdomen

Radiologi polos tidak spesifik, umunya tidak efektif untuk


biaya, dan dapat menyesatkan dalam stuasi tertentu. Dalam <5%, suatu
fekalith buram mungkin tidak terlihat di kuadran kanan bawah. Foto
polos abdomen dapat digunakan untuk menyingkirkan diagnosis
banding. Ditemukan fekalith dapat mendukung diagnosis. Dapat
ditemukan pula adanya local air fluid level, peningkatan densitas
jaringan lunak pada kuadran kanan bawah, perubahan bayangan psoas
line, dan free air (jarang) bila terjadi perforasi. Foto polos umumnya
tidak dianjurkan kecuali kondisi tertentu misalnya perforasi, obstruksi
usus, saluran kemih kalkulus.
3) USG

Merupakan pemeriksaan yang akurat untuk menentukan


diagnosis appendisitis. Tekniknya tidak mahal, dapat dilakukan dengan
cepat, tidak invasif, tidak membutuhkan kontras dan dapat digunakan
pada pasien yang sedang hamil karena tidak mengganggu paparan
radiasi. Secara sonografi, appendiks diidentifikasikan sebagai “blind
end”, tanpa peristaltik usus. Kriteria sonografi untuk mendiagnosis
appendisitis akut adalah adanya noncompressible appendiks sebesar 6
mm atau lebih pada diameter anteroposterior, adanya appendicolith,
interupsi pada kontinuitas lapisan submukosa, dan cairan atau massa
periappendiceal. Temuan perforasi appendisitis termasuk cairan
pericecal loculated, phlegmon (sebuah definisi penyakit lapisan
struktur dinding appendiks) atau abses, lemak pericecal menonjol, dan
kehilangan keliling dari layer submukosa.
False (+) dapat ditemukan pada adanya dilatasi tuba falopii dan
pada pasien yang obese hasilnya bisa tidak akurat, divertikulum
Meckel, divertikulitis cecal, penyakit radang usus, penyakit radang
panggul, dan endometriosis. Sedangkan false (-) didapatkan pada
appendiks.
4) Barium enema

Yaitu suatu pemeriksaan X-Ray dengan memasukkan barium ke colon


melalui anus. Barium enema merupakan kontra indikasi pada suspek
appendisitis akut sebab pada apendisitis akut ada kemungkinan sudah
terjadi mikroperforasi sehingga kontras dapat masuk ke intraabdomen
menyebabkan penyebaran kuman ke intraabdomen. Barium enema
indikasi untuk apendisitis kronik. Apendikogram dilakukan dengan
cara pemberian kontras BaSO4 serbuk halus yang diencerkan dengan
perbandingan 1 : 3 secara peroral dan diminum sebelum kurang lebih 8
– 10 jam untuk anak – anak atau 10 – 12 jam untuk dewasa.
Pemeriksaan ini dikatakan positif bila menunjukkan appendiks yang
non-filling dengan indentasi dari caecum menunjukkan adanya
appendisitis kronis. Hal ini menunjukkan adanya inflamasi pericaecal.
False negative (partial filling) didapatkan pada 10% kasus.
5) CT Scan

Appendisitis dapat didiagnosa berdasarkan CT-Scan apabila


didapatkan appendiks yang abnormal dengan inflamasi pada
periappendiceal. Appendiks dikatakan abnormal apabila terdistensi
atau menebal dan membesar >5-7 mm. Sedangkan yang termasuk
inflamasi periappendiceal antara lain adalah abses, kumpulan cairan,
edema, dan phlegmon. Inflamasi periappendiceal atau edem terlihat
sebagai perkapuran dari lemak mesenterium (“dirty fat”), penebalan
fascia lokalis, dan peningkatan densitas jaringan lunak pada kuadran
kanan bawah. CT-Scan khususnya digunakan pada pasien yang
mengalami penanganan gejala klinis yang telat (48-72 jam) sehingga
dapat berkembang menjadi phlegmon atau abses. Fekalith dapat
dengan mudah terlihat, tetapi adanya fekalith bukan patognomonik
adanya appendisitis. Temuan penting adalah arrowhead sign yang
disebabkan penebalan dari caecum.
Kekurangan dari CT-Scan termasuk mungkin iodinasi-kontras-
media alergi, ketidaknyamanan pasien dari pemberian media kontras
(terutama jika media kontras rektal digunakan), paparan radiasi
pengion, biaya dan tidak dapat digunakan untuk wanita hamil.
2.11 Scoring Apendicitis

Skor alvarado adalah suatu sistem skoring yang digunakan untuk


mendiagnosis appendisitis akut. Skor ini mempunyai 6 komponen klinik dan 2
komponen laboratorium dengan total skor poin 10. Skor ini dikemukakan oleh
Alfredo Alvarado dalam laporannya pada tahun 1986.8

Keterangan Alvarado score :

 Interpretasi dari Modified Alvarado Score :

1–4 sangat mungkin bukan appendisitis akut

5–7 sangat mungkin appendisitis akut

8 – 10 pasti appendisitis akut

 Penanganan berdasarkan skor Alvarado :

1–4 : observasi
5–7 : antibiotik

8 – 10 : operasi dini
2.12 Komplikasi

Komplikasi yang paling sering ditemukan adalah perforasi. Perforasi


apendiks akan menyebabkan peritonitis purulenta yang ditandai dengan demam
tinggi, nyeri perut yang makin hebat yang meliputi seluruh perut, perut menjadi
tegang dan kembung. Nyeri tekan dan defans muskular terjadi di seluruh perut,
mungkin disertai dengan punctum maksimal di regio iliaka kanan; peristaltis usus
dapat menurun sampai menghilang akibat adanya ileus paralitik.

Abses rongga peritoneum dapat terjadi bila pus yang menyebar terlokalisir
di suatu tempat paling sring di rongga pelvis dan subdiagfragma. Adanya massa
intraabdomen yang nyeri disertai nyeri harus dicurigai adanya abses.10

2.13 Penatalaksanaan Apendisitis


Setelah penegakan diagnosis apendisitis dilakukan, tata laksana utama pada
apendisitis adalah Apendektomi. Tata laksana mulai diarahkan untuk persiapan
operasi untuk mengurangi komplikasi pasca-operasi dan meningkatkan keberhasilan
operasi.

Medikamentosa
Persiapan operasi dilakukan dengan pemberian medikamentosa berupa
analgetik dan antibiotik spektrum luas, dan resusitasi cairan yang adekuat.
Pasien apendisitis seringkali datang dengan kondisi yang tidak stabil karena
nyeri hebat sehingga analgetik perlu diberikan. Antibiotik diberikan untuk
profilaksis, dengan cara diberikan dosis tinggi, 1-3 kali dosis biasanya.
Antibiotik yang umum diberikan adalah cephalosporin generasi 2 / generasi 3
dan Metronidazole. Hal ini secara ilmiah telah dibuktikan mengurangi
terjadinya komplikasi post operasi seperti infeksi luka dan pembentukan abses
intraabdominal.9
Indikasi Appendiktomi :
 Appendisitis akut
 Appendisitis kronik
 Periapendikular infiltrat dalam stadium tenang
 Apendiks terbawa dalam operasi kandung kemih
 Apendisitis perforata
Teknik operasi Apendiktomi :11
1) Open Appendectomy
- Dilakukan tindakan aseptik dan antiseptik
- Dibuat sayatan kulit :
Lokasi Insisi
 Incisi Grid Iron (McBurney Incision)

Insisi Gridiron pada titik Mc Burney. Garis insisi paralel dengan otot
oblikus eksternal, melewati titik Mc Burney yaitu 1/3 lateral garis yang
menghubungkan spina illiaka anterior superior kanan dan umbilikus.
Lapisan kulit yang dibuka pada Appendiktomi : cutis - sub cutis - fascia
scarfa - fascia camfer - aponeurosis MOE – MOI - M. Transversus - fascia
transversalis - pre peritoneum – peritoneum.
Sayatan ini mengenai kutis, subkutis dan fasia. Otot – otot dinding
perut dibelah secara tumpul menurut arah serabutnya. Setelah itu akan
tampak peritoneum parietal ( mengkilat dan berwarna biru keabu-abuan)
yang disayat secukupnya untuk meluksasi sekum. Sekum dikenali dari
ukurannya yang besar dan mengkilat dan lebih kelabu/putih, mempunya
haustrae dan taenia koli, sedangkan ileum lebih kecil, lebih merah dan
tidak mempunyai haustrae dan taenia koli. Basis appendiks dicari pada
pertemuan ketiga taenia koli. Teknik inilah yang paling sering dikerjakan
karena keuntungannya tidak terjadi benjolan dan tidak mungkin terjadi
herniasi, trauma operasi minimum pada alat –alat tubuh, dan masa istirahat
pasca bedah lebih pendek karena masa penyembuhannya lebih cepat.
Kerugiannya adalah lapangan iperasi terbatas, sulit diperluas, dan waktu
operasi lebih lama. Lapangan operasi dapat diperluas dengan memotong
secara tajam.
Incisi Grid Iron (McBurney Incision)
 Lanz transverse incision

Insisi dilakukan pada 2 cm dibawah pusat, insisi transversal pada garis


midklavikula-midinguinal. Mempunyai keuntungan kosmetik yang lebih
baik dari pada insisi grid iron.

Lanz transverse incision


 Rutherford Morisson’s incision (insisi suprainguinal)

Merupakan insisi perluasan dari insisi Mc Burney. Dilakukan jika


apendiks terletak di parasekal atau retrosekal dan terfiksir.
Rutherford Morisson’s incision (insisi suprainguinal)
 Low Midline Incision

Dilakukan jika appendiks sudah terjadi perforasi dan terjadi peritonitis


umum.
 Insisi paramedian kanan bawah

Insisi vertikal paralel dengan midline 2,5 cm dibawah umbilikus sampai di


atas pubis.

Lokasi Insisi Appendectomy

Perawatan Pasca Bedah


Pada hari operasi penderita diberikan infus menurut kebutuhan sehari
kurang lebih 2 – 3 liter cairan Ringer Laktat dan Dekstrosa. Pada appendisitis
tanpa perforasi : antibiotik diberikan hanya 1 x 24 jam. Pada appendisitis
dengan perforasi : antibiotik diberikan hingga jika gejala klinis infeksi reda
dan laboratorium normal. Mobilisasi secepatnya setelah penderita sadar
dengan menggerakkan kaki miring ke kiri dan ke kanan bergantian dan duduk.
Pemberian makan peroral di mulai dengan memberikan minum sedikit-sedikit
(50 cc) tiap jam apabila sudah ada aktifitas usus yaitu adanya flatus dan bising
usus. Bilamana dengan pemberian minum bebas penderita tidak kembung atau
mual maka pemberian makanan peroral dimulai. Jahitan diangkat pada hari
kelima sampai hari ke tujuh pasca bedah.
2) Laparoscopic Appendectomy

Pertama kali dilakukan pada tahun 1983. Laparoscopic dapat dipakai


sarana diagnosis dan terapeutik untuk pasien dengan nyeri akut abdomen dan
suspek appendisitis akut. Laparoscopic kemungkinan sangat berguna untuk
pemeriksaan wanita dengan keluhan abdomen bagian bawah. Membedakan
penyakit akut ginekologi dari appendisitis akut sangat mudah dengan
menggunakan laparoskop.12

Laparoscopic Appendectomy
2.14 Prognosis

Mortalitas adalah 0,1% jika appendisitis akut tidak pecah, dan 15% jika pecah
pada orang tua. Kematian biasanya akibat dari sepsis, emboli paru, atau aspirasi.
Prognosis membaik dengan diagnosis dini sebelum perforasi terjadi dan dengan
antibiotik yang adekuat. Morbiditas meningkat seiring dengan perforasi dan usia tua.
BAB III
PEMBAHASAN

Diagnosa apendisistus akut pada kasus ini dapat ditegakkan dengan dasar
anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Pada anamnesis,
didapatkan keluhan utama berupa nyeri perut kanan bawah sejak 3 hari SMRS.
Awalnya nyeri dirasakan di ulu hati menggambarkan gejala akibat distensi apendiks
yang menstimulasi ujung saraf dari afferent stretch fiber. Lalu nyeri berpindah ke
kuadran kanan bawah menggambarkan peradangan yang telah menyebar ke
peritoneum parietalis. Nyeri yang dialami pasien berupa nyeri akibat iritasi
peritoneum sehingga memburuk saat bergerak atau batuk (Dunphy sign) dan membaik
saat diam. Pasien juga mengeluhkan adanya gejala gastrointestinal berupa mual dan
muntah setelah gejala nyeri muncul, hal ini sering dijumpai pada apendisitis akibat
multiplikasi bakteri yang cepat di dalam apendiks. Selain itu pasien juga mengeluhkan
adanya demam yang menggambarkan adanya infeksi yang terjadi. Riwayat haid juga
perlu digali untuk memastikan tidak adanya riwayat kelainan obsterik ataupun
ginekologik, pada pasien ini tidak didapatkan masalah sehingga diagnosa banding
PID dapat dikesampingkan. Selain itu pasien juga menyangkal adanya riwayat
penyakit lainnya yg diidap pasien ataupun keluarga.
Berdasarkan pemeriksaan fisik, keadaan umum pasien tampak sakit sedang
dan hemodinamik stabil, namun didapatkan suhu tubuh pasien 37oC dan VAS 3/10.
Suhu tubuh pasien nantinya dapat dipertimbangkan untuk dimasukkan ke dalam
Alvarado Score. Berdasarkan pemeriksaan status generalis, ditemukan kelainan pada
abdomen melalui palpasi berupa : nyeri tekan dan nyeri lepas titik McBurney,
Rovsing sign, dan defans muskular lokal. Penemuan ini mendukung adanya iritasi
peritoneum parietalis lokal yang diduga akibat peradangan apendiks. Pada
pemeriksaan fisik lainnya tidak ditemukan kelainan, termasuk pemeriksaan genitalia
sehingga diagnosa banding PID dapat disingkirkan. Tanda-tanda ini mendukung
diagnosa apendisitis akut.
Berdasarkan pemeriksaan penunjang yang dilakukan, didapatkan leukositosis
(19.170/μL) dari pemeriksaan laboratorium. Selain itu, didapatkan skor 9 pada
Alvarado score, yang diinterpretasikan sebagai kemungkinan besar apendisitis (skor
≥7). Alvarado score sangatlah berguna untuk menyingkirkan diagnosa apendisitis dan
memilah pasien untuk manajemen diagnostik lanjutan.
Temuan Poin Pasien
Perpindahan nyeri ke fossa iliaca dextra 1 1
Anoreksia 1 1
Mual atau muntah 1 1
Nyeri tekan : fossa iliaca dextra 2 2
Nyeri lepas : fossa iliaca dextra 1 1
Demam ≥36,3oC 1 1
Leukositosis ≥10 x 109 /L 2 2
Shift to the left of neutrophils 1 0
Total 10 9

Berdasarkan diagnosa klinis yang telah ditegakkan, maka pasien direncanakan


untuk dioperasi open appendectomy cito. Tindakan ini menjadi pilihan karena
apendisitis akut termasuk dalam kegawatdaruratan dalam bidang bedah. Operasi cito
menjadi pilihan untuk mencegah progresi penyakit yang nantinya dapat menyebabkan
kerusakan dan komplikasi yang lebih berat. Selain itu, dengan berkembangnya
apendisitis akut dan terjadi perforasi maka peritonitis akan terjadi dan akan
mempersulit penanganan pasien serta meningkatkan mortalitas. Sebagai tatalaksana
awal pasien dipasangkan IV line untuk memudahkan akses memasukkan obat dan
rehidrasi. Pasien diberikan cairan (RL sebanyak 500 mL / 8 jam), analgesik (ketorolac
3 x 30 mg IV) dan antibiotik (ceftriaxone 2 x 1 g IV).

DAFTAR PUSTAKA
1. Shrestha, S. Anatomy of appendix and appendicitis.
http://medchrome.com/basic-science/anatomy/anatomy-appendix-
appendicitis/. Accesed in July 20 2020
2. De Jong, W.Sjamsuhidajat R, 2004. Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi 2. EGC.
Jakarta.
3. Williams Norman S. Bailey and Love: Short practice of surgery. Edisi 26.
London: CRS Press. 2013.
4. Eroschenko, Viktor P. Atlas Histologi di Fiore Edisi 9. Jakarta. EGC. 2003
5. Chris Tanto, et al. Kapita selekta kedokteran. Ed 4. Jakarta : Media
Aesculapius. 2014
6. Addiss,D G. The epidemiology of appendicitis and appendectomy in the
United States. http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/2239906. Accessed in
July 23 2020

7. Brunicardi C, Anderson DK, Billiar T, Duhn DL, Hunter JG, Mathews JB,
Pallock RC. 2010. The Appendix on Chapter 30 in Schwartz’s Principles of
Surgery 9ed ebook. New York: McGraw-Hills.
8. Ohle Robert, O’Reilly Fran, O’Brien Kirsty K, Fahey Tom, Dimitrov
Borislav D. The Alvarado score for predicting acute appendicitis: a systematic
review. BMC Medicine 2011:9;139
9. ISHIKAWA Hiroshi. Diagnosis and Treatment of Acute Appendicitis. JMAJ
2003(5): 217–221
10. MIKE HARDIN D, JR., M.D. Acute Appendicitis: Review and Update. Am
Fam Physician. 1999;(7):2027-2034
11. Konstantinos M. Konstantinidis and Kornilia A. Anastasakou. Laparoscopic
Appendectomy. Greece: Department of Surgery, Athens Medical Center. 2011
12. Umashankar K Ballehaninna. Open Appendectomy. Available at :
http://emedicine.medscape.com/article/1582203-overview#showall. Accessed
in July 23 2020

Anda mungkin juga menyukai