Anda di halaman 1dari 2

Masalah Gizi

Masalah kekurangan gizi di Distrik Agats, Papua, masih berlanjut. Guru besar Ilmu Gizi
Universitas Hasanuddin Makassar, Nurpudji Taslim, membeberkan sejumlah masalah penyebab
kekurangan gizi di distrik Agats. 

"Masalah utama kurang gizi karena masyarakat asli sudah tidak memproduksi sagu. Karena ada
pembagian beras raskin yang mereka tunggu dan dapat setiap bulan," kata Nurpudji melalui
keterangan tertulis yang diterima Medcom.id, Sabtu (10/2/2018). 
Nurpudji menuturkan, sebelumnya masyarakat Agats mengonsumsi sagu dengan ikan. Namun,
kini masyarkat Agats mengonsumsi beras raskin dengan mi instan. "Sudah terjadi pergeseran
pola makan yang luar biasa. Dulu mereka makan sagu dengan ikan, kini makan nasi dengan mi
instan sebagai lauk," ujarnya.
Nurpudji mengungkapkan, saat terjadi keterlambatan beras, masyarakat membeli sagu yang
dibuat pendatang dengan harga mahal. 
"Intinya, kebijakan pemerintah mengubah pola makan berbasis pangan lokal dengan beras raskin
harus diubah. Itu menimbulkan banyak masalah," kata Nurpudji yang kini berada di Agats
bersama Tim Medis dan Kesehatan Universitas Hasanuddin.
Selain itu, kekurangan gizi di Agats juga berkait dengan Pilkada Papua 2018. Masyarakat, kata
Nurpudji, dijanjikan akan dipenuhi kebutuhan hidupnya. Sehingga, masyarakat hanya menunggu
dan menjadi malas.

"Masalah ketiga, dulu sebelum pemekaran tenaga puskesmas dan puskesmas pembantu sedikit
tidak ada masalah gizi kurang. Saat ini banyak tenaga kesehatan dan banyak pustu namun
banyak masalah, kenapa?" tanya dia. 
Masalah keempat, lanjut Nurpudji, budaya paternalisme masih sangat kuat. Suami dan laki-laki
hanya berdiam di rumah sementara para perempuan dan ibu hamil harus memenuhi kebutuhan
rumah tangga. 
"Perempuan dan ibu hamil membelah kayu, cari sayur dan mengasuh anak, rata-rata tensi ibu
hamil sekitar 90/ 70mmHg, mereka menderita anemia yang berdampak pada anak yang
dilahirkan," ujarnya.
Kelima, kata dia, berdasar penelusurannya banyak anak di Agats enggan sekolah. Dia pun tak
menemukan jawaban dari anak-anak di Agats alasan malas dan merasa tidak perlu sekolah. 

Terakhir, kata dia, masalah lingkungan. Nurpudji menuturkan, di kawasan Agats belum peduli
kebersihan. Banyak sampah bertebaran di sekitar rumah yang berada di rawa-rawa. 
Selain itu, kata Nurpudji, masyarakat asli sangat bergantung dengan air hujan. Saat tidak turun
hujan, masyarakat mengonsumsi air rawa yang bercampur dengan air buangan kamar mandi
yang juga berfungsi sebagai toilet. 
"Intinya, kebijakan pemerintah harus diubah. Pemberian raskin serta otsus dengan memberi uang
bukan keterampilan sama dengan membuang garam di laut," tegasnya. 

Anda mungkin juga menyukai