PRODI ILMUKOMUNIKASI
FAKULTAS ILMU-ILMU SOSIAL
UNIVERSITAS DEHASEN KOTA BENGKULU
0
BAB I
PENDAHULUAN
LATAR BELAKANG
Pemerintah era kepemimpinan Presiden Ir. H. Joko Widodo sejak awal selalu
mengumandangkan untuk mempermudah berinvestasi, semangat ini bisa jadi bukan karena
unsur pihak lain melainkan pengalaman sebelum menjadi seorang presiden adalah seorang
pengusaha Meubel, yang dalam menjalankan usahanya mengalami kendala dalam prosedur
perijinan dan peraturan-peraturan lain yang menghambat dirinya dalam berusaha.
Beberapa kali Presiden Joko Widodo menegaskan, investasi dan ekspor adalah dua hal
penting untuk ditingkatkan. Dua hal itu adalah penopang pertumbuhan ekonomi nasional dan
membuka lapangan pekerjaan di Indonesia. Demikian diungkapkan Presiden Jokowi saat
membuka Sidang Kabinet Paripurna di Istana Negara pada hari Rabu 16 Mei 2018 siang, di
hadapan para menteri Kabinet Kerja.
Dalam rangka meningkatkan minat berinvestasi itulah maka presiden Joko Widodo
melakukan banyak gebrakan perubahan terhadap peraturan yang menghambat dalam
berinvestasi. Selain itu pemerintah juga mempersingkat prosedur-prosedur perizinan dengan
mempermudah dan mempercepat proses perijinan dalam berusaha. Selama ini dalam
mengurus izin usaha selalu mengalami kendala waktu dan kepastian, lamanya pengurusan
perizinan suatu usaha tidak bisa diprediksikan, serta tidak jelasnya peraturan dan saling
berbenturannya prosedur perijinan usaha selalu menjadi kendala dalam berusaha.
Kendala peraturan dan perijinan dalam berinvestasi itulah akhirnya membuat Presiden
Joko Widodo melontarkan konsep Omnibus Law dalam peraturan perundang-undangan.
Konsep ini pertama kali disampaikan oleh presiden Joko Widodo dalam pidato pertamanya
setelah pelantikan dirinya sebagai presiden yang kedua kalinya periode 2019-2024. Gagasan
ini tentunya membuat para politisi dan pakar hukum kembali meninjau kembali apa yang
dimaksud dalam Omnibus Law tersebut.
Menurut Presiden Joko Widodo, melalui Omnibus Law ini akan dilakukan
penyederhanaan kendala regulasi atau peraturan yang saat ini berbelit dan panjang dalam
berinvestasi atau berusaha. Langkah awal yang akan dilaksanakan Presiden Jokowi adalah
ingin mengajak DPR RI untuk mematangkan dua Undang-Undang besar. Undang-undang
yang dimaksud yaitu pertama, UU Cipta Lapangan Kerja dan kedua, UU Pemberdayaan
UMKM. Kedua undang-undang itu akan menjadi Omnibus Law, yang dalam pernyataannya
dapat merevisi beberapa Undang-undang yang terkait atau bahkan puluhan Undang-undang.
Indonesia telah melewati rezim pemerintahan dari pemerintahan Orde Lama hingga
Orde Reformasi. Pergantian Presiden dan kabinet pemerintahan yang mengakibatkan lahirnya
banyak peraturan perundang-undangan sesuai keinginan masing-masing pemerintahan yang
berkuasa saat itu. Hal ini kemudian menimbulkan persoalan regulasi dimana ada beberapa
peraturan perundang-undangan yang tumpah tindih sehingga menimbulkan konflik kebijakan
antara satu kementerian dengan kementerian lainnya. Untuk menyelesaikan persoalan
regulasi tersebut dibutuhkan suatu terobosan hukum yang tepat dan salah satu jalan keluarnya
melalui konsep Omnibus Law. Bagi sebagian kalangan masyarakat masih terasa asing
mendengar istilah Omnibus Law. Bahkan beberapa kalangan akademisi hukum masih
memperdebatkan konsep Omnibus Law tersebut bila diterapkan dikhawatirkan akan
mengganggu sistem perundang-undangan Indonesia karena disinyalir penyebabnya sistem
hukum yang dianut di Indonesia yang dominan adalah Civil Law, sedangkan Omnibus Law
1
ini berasal dari sistem hukum Common Law. Inilah kemudian gagasan tersebut menjadi
menarik untuk dikaji dari sistem hukum yang berlaku di Indonesia.
2
PERMASALAHAN
1. Apakah yang dimaksud Omnibus Law ?
2. Bagaimana implementasinya Omnibus Law dalam sistem perundang-undangan RI ?
Mungkinkah bisa diterapkan dalam sistem perundang-undangan RI?
3
BAB II
PEMBAHASAN
4
Selain itu bisa juga diketahui bahwa tujuan dimunculkan ide atau gagasan Omnibus
Law adalah (1) untuk mengatasi konflik peraturan perundang-undangan secara cepat, efektif
dan efisien; (2) menyeragamkan kebijakan pemerintah baik ditinkat pusat maupun daerah
untuk menunjang iklim investasi; (3) agar pengurusan perizinan lebih terpadu, efisien dan
efektif; (4) untuk memutus mata rantai birokrasi administrasi yang berlama-lama; (5) untuk
meningkatkan hubungan koordinasi antar instansi terkait karena telah diatur dalam kebijakan
omnibus regulation yang terpadu; dan (6) sebagai jaminan adanya kepastian hukum dan
perlindungan bagi pengambil kebijakan.
5
yang diusulkan presiden Joko Widodo adalah sebagai berikut. (Hasil Seminar yang dilakukan
oleh kementerian Koordinator bidang perekonomian tanggal 30 Oktober 2019 di Jakarta)
1. Penyederhanaan Perizinan
a. Mengubah konsepsi kegiatan usaha dari berbasis izin (license approach) menjadi
penerapan standar dan berbasis risiko (Risk-Based Approach/RBA)
b. Kegiatan usaha yang tidak menimbulkan risiko bagi kesehatan, keselamatan, dan
lingkungan (termasuk SDA) tidak memerlukan izin dan hanya melalui pendaftaran
dan penggunaan standar.
c. Perubahan pada izin dasar:
1) Izin Lokasi untuk kegiatan usaha tidak diperlukan dengan Penggunaan Peta
Digital RDTR (Rencana Detil Tata Ruang)
2) Penerapan standar untuk Izin Linkungandan AMDAL hanya untuk kegiatan usaha
yang risiko tinggi (norma waktu dan prosedur yang lebih pendek dan ringkas)
3) Penerapan standar untuk mendirikan bangunan dan penilaian kelayakan bagunan
(IMB & SLF) dan penialaian (comply) dilakukan oleh profesi bersertifikat
4) Menghapus Izin Usaha dengan penerapan Izin Operasional / Komersial yang
berbasis RBA
d. Perubahan pada perizinan sektor (izin usaha dan izin operasional / komersial)
1) Kegiatan sektor di tentukan dalam tingkatan risiko: rendah, sedang, dan tinggi
berdasarkan parameter kesehatan (health), keselamatan(safety), dan lingkungan
(environment)
2) Semakin tinggi potensi risiko yang ditimbulkan oleh aktivitas bisnis tertentu,
semakin ketat kontrol dari Pemerintah dan semakin banyak perizinan yang
dibutuhkan atau inspeksi yang dilakukan
3) Kelompok risiko sektor:
a) sektor risiko rendah hany adidaftarkan
b) sektor risiko menengah menggunakan standar
c) sektor risiko tnggi wajib mendapatkan izin.
a. Mengubah konsepsi persyaratan investasi dari negative list (DNI) menjadi postif
list, yaitu dengan menetapkan daftar kegiatan usaha yang prioritas (priority list)
dan daftar kegiatan usaha lainnya yang didorong untuk dikembangkan (white list),
dengan demikian akan fokus terhadap beberapa kegiatan usaha yang perlu
mengundang modal asing
b. Daftar bidang usaha yang tertutup hanya untuk kegiatan usaha yang didasarkan
untuk kepentingan nasional (national interest), konvensi internasional, dan
kepatutan
c. Menghapus ketentuan persyaratan investasi dalam UU sektor dan cukup diatur
dalam UU Penanaman Modal (perlu mengubah 13 UU sektor yang mengatur
persyaratan investasi
d. Mengubah konsepsi pembedaan PMA dan PMDAN dan hanya mengatur
ketentuan dan batasan kepemilikan saham oleh asing (share holding) yang
ditetapkan oleh Presiden
6
3. Administrasi Pemerintah
a. Dalam rangka penerapan perizinan yang berbasis standar dan RBA memerlukan
adanya perubahan dan penataan kewenangan perizinan yang saat ini tersebar
diantara K/L dan daerah.
b. Presiden berwenang untuk melaksanakan seluruh kewenangan pemerintahan (c.q.
peizinan) termasuk yang telah didelegasikan oleh UU kepada Menteri / Kepala
dan / atau Gubernur dan Bupati/Walikota.
c. Pelaksanaan UU oleh Menteri / Kepala dan Pemda merupakan pelaksanaan dari
kewenangan Presiden (delegasi kewenangan Presiden) dan dengan demikian
Peraturan Menteri/ Kepala dan Perda/ Perkada merupakan pelaksanaan dari
pendelegasian dari PP atau Perpres dan NSPK (Norma, Standar, Prosedur dan
Kriteria)
d. Penetapan NSPK (Norma, Standar, Prosedur dan Kriteria) oleh Presiden
e. Presiden berwenang membatalkan Perda dengan Peraturan Presiden.
f. Sanksiyang berkaitan dengan administrasi perizinan berbentuk sanksi
administratif dan sanksi perdata dan menghapus sanksi yang bersifat pidana
(mengikuti ketentuan KUHP)
g. Penegakan hukum (sanksi pidana)
7
Terhadap hierarki tersebut, Jimly Ashidqie berpendapat bahwa Peraturan daerah
(Perda) itu laksana Undang-Undang ditingkat Nasional, atau dikenal sebagai local statute atau
locale wet. Karena itu Perda bisa disebut sebagai Undang-Undang bersifat lokal, jika dilihat
dari organ yang membentuknya, yaitu eksekutif dan legislatif ditingkat Pemerintah daerah.
Di dalam hierarki / tata urutan peraturan perundang-undangan di Indonesia
sebagaimana diatur di dalam Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan, belum memasukkan konsep Omnibus Law sebagai salah satu
asas dalam sumber hukum. Tetapi harmonisasi peraturan perundang-undangan di Indonesia
terus menerus dilakukan untuk meminimalkan konflik peraturan perundang-undangan.
Sistem hukum Indonesia yang menganut sistem Civil Law menjadi salah satu penyebab
belum dikenalnya konsep Omnibus Law.
Negara lain yang menganut sistem Civil Law adalah Negara Vietnam dengan ibukota
Hanoi. Bentuk negara Vietnam adalah kesatuan, bentuk pemerintahan adalah republik sosialis
dan sistem pemerintahannya adalah parlementer. Vietnam dipimpin oleh seorang kepala
negara yaitu Presiden dan kepala pemerintahan yaitu Perdana Menteri. Kekuasaan legislatif
berada ditangan National Assembly (Unikameral), sebagai representasi tertinggi rakyat
Vietnam. National Assembly ini dijalankan oleh Standing Committee.
Omnibus Law pertama kali dipraktekkan ketika Vietnam hendak mengadopsi hasil
aksesi dengan WTO pada tahun 2006. Untuk mengimplementasikan hal tersebut Perdana
Menteri memerintahkan Kementerian Hukum untuk melakukan penelitian terkait
kemungkinan penerapan pendekatan Omnibus di Vietnam. Hasil penelitian menunjukan
bahwa dimungkinkan untuk menerapkan pendekatan omnibus mengingat tidak ada peraturan
yang melarang. Selain itu, adanya tumpang tindih peraturan dan panjangnya prosedur
legislasi untuk mengubah sebuah pasal, menjadi pertimbangan diadopsinya omnibus law di
Vietnam.
Menimbang dari penerapan Omnibus Law di negara lain tersebut, maka permasalahan
harmonisasi peraturan perundang-undangan di Indonesia, pemerintah perlu mengambil suatu
upaya terobosan hukum untuk membenahi konflik regulasi. Tuntutan perbaikan dan
pembenahan tumpang tindih peraturan perundang-undangan di Indonesia sudah sangat
mendesak untuk dilakukan. Salah satu gagasan Omnibus Law berkemungkinan untuk
diterapkan di Indonesia asalkan diberikan ruang dan fondasi hukum.
Omnibus Law bukanlah hal baru di dunia ilmu hukum secara global, hanya saja untuk
di Indonesia sudah sangat diperlukan untuk membenahi tumpang tindih peraturan perundang-
undangan. Proses harmonisasi peraturan perundang-undangan selain hambatan diatas juga
memakan waktu yang lama. Dengan konsep Omnibus Law maka peraturan yang dianggap
tidak relevan atau bermasalah dapat diselesaikan secara cepat.
Tata urutan peraturan perundang-undangan di Indonesia sudah harus direvisi dan
memberikan ruang untuk menerapkan konsep Omnibus Law. Apalagi kondisi saat ini
pengambil kebijakan dapat dengan mudah dikriminalisasikan oleh aparat penegak hukum.
Pemahaman ilmu hukum aparat penegak hukum mayoritas memakai kacamata positivisme
hukum, sehingga sulit memberikan ruang pengambil kebijakan dalam hal ini pejabat untuk
melakukan diskresi. Seringkali diskresi yang dilakukan oleh pejabat pengambil kebijakan
berujung pidana karena didakwa melakukan tindak pidana korupsi.
Hal tersebut merupakan sebuah ironi dimana Indonesia sebagai negara hukum dengan
segala perangkatnya bertujuan untuk melindungi hak asasi manusia dan memberikan keadilan
8
bagi sebagian besar warganya yang sangat mendesak sekarang “membawa keadilan kepada
rakyat” (to bring justice to the people) dengan menyelesaikan secara baik persoalan-persoalan
yang oleh rakyat dianggap harus diselesaikan secara hukum. Persoalan lain bilamana
perbuatan itu tidak disukai atau dibenci oleh masyarakat karena merugikan atau
menimbulkan korban. Dengan kata lain, sejauh mana persoalan atau perbuatan tersebut
bertentangan dengan nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat dan masyarakat menganggap
patut atau tidak patut dihukum dalam rangka menyelenggarakan kesejahteraan dan keamanan
masyarakat.
Mencermati sistem perundang-undangan di Indonesia, Undang-Undang yang nantinya
dihasilkan dari konsep Omnibus Law bisa mengarah sebagai Undang-Undang Payung karena
mengatur secara menyeluruh dan kemudian mempunyai kekuatan terhadap aturan yang lain.
Akan tetapi di Indonesia justru tidak menganut Undang-Undang Payung karena posisi
seluruh Undang-Undang adalah sama. Persoalan yang muncul bila dikaji dari perspektif teori
peraturan perundang-undangan mengenai kedudukannya, sehingga kedudukannya harus
diberikan legitimasi dalam Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan harus diamandemen.
Konsep omnibus law pernah dilaksanakan di Negara kita yaitu : (Hasil Seminar yang
dilakukan oleh kementerian Koordinator bidang perekonomian tanggal 30 Oktober 2019 di
Jakarta)
1. Perpu Nomor 1 Tahun 2017 tentang Akses Informasi Keuangan Untuk Kepentingan
Perpajakan jo UU Nomor 9 Tahun 2017, yang mencabut:
• Pasal 35 ayat (2) & Pasal 35A UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
• Pasal 40 & Pasal 41 UU Perbankan
• Pasal 47 UU Pasar Modal
• Pasal 17, Pasal 27, & Pasal 55 UU Perdagangan Berjangka Komoditi
• Pasal 41 dan Pasal 42 UU Perbankan Syariah
2. UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, yang mencabut
• UU Nomor 5 Tahun 1962 tentang Perusahaan Daerah
• Pasal157, Pasal158 ayat (2) s.d. ayat (9), dan Pasal 159 UU Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah
• Pasal 1 angka 4, Pasal 314 s.d. Pasal 412, Pasal 418 s.d. Pasal 421 UU Nomor 17
Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPRD, dan DPD
a. Diplomasi
Diplomasi adalah seni dan praktik bernegosiasi oleh seseorang (disebut diplomat) yang
biasanya mewakili sebuah negara atau organisasi. Kata diplomasi sendiri biasanya langsung
terkait dengan diplomasi internasional yang biasanya mengurus berbagai hal
seperti budaya, ekonomi, dan perdagangan. Biasanya, orang menganggap diplomasi sebagai
cara mendapatkan keuntungan dengan kata-kata yang halus. Perjanjian-perjanjian
internasional umumnya dirundingkan oleh para diplomat terlebih dahulu sebelum disetujui
oleh pembesar-pembesar negara. Istilah diplomacy diperkenalkan ke dalam bahasa
9
Inggris oleh Edward Burke pada tahun 1796 berdasarkan sebuah kata dari bahasa Prancis
yaitu diplomatie.
Menurut Kepres Nomor 108 Tahun 2003 Tentang Organisasi Perwakilan Republik
Indonesia di Luar Negeri, perwakilan diplomatik adalah kedutaan besar Republik Indonesia
dan perutusan tetap Republik Indonesia yang melakukan kegiatan diplomatik di seluruh
wilayah negara penerima dan/atau pada organisasi internasional untuk mewakili dan
memperjuangkan kepentingan bangsa, negara dan pemerintah Republik Indonesia.
b. Negosiasi
Diplomasi adalah seni dan praktik bernegosiasi oleh seseorang (disebut diplomat) yang
biasanya mewakili sebuah negara atau organisasi. Kata diplomasi sendiri biasanya langsung
terkait dengan diplomasi internasional yang biasanya mengurus berbagai hal
seperti budaya, ekonomi, dan perdagangan. Biasanya, orang menganggap diplomasi sebagai
cara mendapatkan keuntungan dengan kata-kata yang halus. Perjanjian-perjanjian
internasional umumnya dirundingkan oleh para diplomat terlebih dahulu sebelum disetujui
oleh pembesar-pembesar negara. Istilah diplomacy diperkenalkan ke dalam bahasa
Inggris oleh Edward Burke pada tahun 1796 berdasarkan sebuah kata dari bahasa Prancis
yaitu diplomatie.
Menurut Kepres Nomor 108 Tahun 2003 Tentang Organisasi Perwakilan Republik
Indonesia di Luar Negeri, perwakilan diplomatik adalah kedutaan besar Republik Indonesia
dan perutusan tetap Republik Indonesia yang melakukan kegiatan diplomatik di seluruh
wilayah negara penerima dan/atau pada organisasi internasional untuk mewakili dan
memperjuangkan kepentingan bangsa, negara dan pemerintah Republik Indonesia.
1. Proses
10
orang menang" adalah dengan mempertimbangkan setiap aspek negosiasi dari
sudut pandang pada pihak lain dan pihak negosiator.
4. Keterampilan dasar
Ketajaman pikiran/kelihaian
Sabar
Kemampuan beradaptasi
Daya tahan
Kemampuan bersosialisasi
Konsentrasi
Kemampuan berartikulasi
Memiliki selera humor
5. taktik
Taktik akan membantu untuk melihat permasalahan sebenarnya yang sedang
diperdebatkan di meja perundingan. Taktik dapat menguraikan kemandekan, juga
dapat membantu untuk melihat dan melindungi diri dari kebohongan negosiator.
6. Mengernyit (The Wince)
Taktik ini dikenal juga dengan istilah Terkejut (Flinch) merupakan reaksi
negatif terhadap tawaran seseorang. Dengan kata lain, bertindak terkejut saat
negosiasi yang diadakan pihak negosiator berjalan dengan keinginan pihak lain.
7. Berdiam (The Silence)
Jika Anda tidak menyukai apa kata seseorang, atau jika Anda baru saja
membuat tawaran dan Anda sedang menunggu jawaban, diam bisa menjadi pilihan
terbaik Anda. Kebanyakan orang tidak bisa bertahan dalam kesunyian panjang (Dead
Air Time). Mereka menjadi tidak nyaman jika tidak ada percakapan untuk mengisi
kekosongan antara Anda dan pihak lain. Biasanya, pihak lain akan merespon dengan
konsesi atau memberikan kelonggaran.
8. Ikan Haring Merah (Red Herring)
Istilah ini diambil dari kompetisi tua di Inggris, Berburu Rubah (Fox Hunting
Competition). Dalam kompetisi ini, tim lawan akan menyeret dan membaui jejak
rubah ke arah lain dengan ikan. Sehingga, anjing lawan akan terkecoh dan kehilangan
jejak. Sama halnya saat negosiator membawa "ikan amis" atau isu lain ke meja
perundingan untuk mengalihkan perhatian dari isu utama bahasan.
9. Kelakuan Menghina (Outrageous Behaviour)
Segala bentuk perilaku – biasanya dianggap kurang bermoral dan tidak dapat
diterima oleh lingkungan- dengan tujuan memaksa pihak lain untuk setuju. Seperti
pihak manajemen muak dengan tuntutan yang dianggap tidak masuk akal dan
terpaksa menandatangi kontrak dengan air mata kemudian membuangnya secara
ganas dan dramatis seolah-olah diliput oleh media. Tujuan dari taktik ini adalah untuk
menggertak orang-orang yang terlibat dalam negosiasi.
10. Yang Tertulis (The Written Word)
11
Adalah persyaratan ditulis dalam perjanjian yang tidak dapat diganggu
gugat. Perjanjian, sewa guna usaha (leasing), atau harga di atas pahatan batu dan
sekarang di kertas (uang).
11. Pertukaran (The Trade-off)
Taktik ini digunakan untuk tawar menawar. Pertukaran hanya
menawarkan konsesi, sampai semua pihak setuju dengan syarat – syarat. Sebenarnya,
taktik ini dipakai untuk kompromi.
12. Ultimatum (The Ultimatum)
Penggunaan ultimatum kadang-kadang (seldom) efektif sebagai taktik
pembuka dalam negosiasi. Namun, suatu saat dalam sebuah negosiasi yang panjang
saat Anda merasa Anda perlu menggunakan taktik ini.
13. Berjalan Keluar (Walking Out)
Pada beberapa situasi, berjalan keluar dapat digunakan sebagai strategi untuk
memberikan tekanan pada pihak lain.
14. Kemampuan untuk Mengatakan "Tidak" (The Ability to Say "No")
Sebuah taktik memegang peran sangat penting dalam segala macam strategi
negosiasi dan cara menyampaikannya secara tepat. Pertama dan paling dasar untuk
mempelajari taktik ini adalah bahwa apa pun bila mengatakan 'tidak' secara langsung,
diterjemahkan oleh pihak lain sebagai 'ya'.
“Pendapat saya mengenai disahkannya RUU Cipta Kerja, mengacu pada poin "sanksi
pidana pada perusahaan yang telat membayar karyawannya dihilangkan". Poin tersebut
sangat memberatkan pihak Prakerja, karena ini sama saja mematikan pekerja dan membuat
para pengusaha bebas membayar upah pekerjanya kapan saja tanpa dikenai sanksi.
Berdasarkan pion tersebut, damapak parah pengusaha tidak lagi terkena dendan di karenakan
telat membayar upah kerja
Kalau saya, persiapan menghadapi Omnibus Law ini dengan cara
mendalami skill saya untuk lebih siap bersaing dengan TKA yang nantinya akan bebas
bekerja di Indonesia. Harapan saya, semoga para anggota yang katanya DPR ini akan
mengkaji ulang berbagai poin-poin yang dapat meresahkan warganya sendiri.”
12
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Omnibus law adalah hal baru dalam bidang peraturan perundang-undangan negara
Republik Indonesia, selain karena sistem hukum negara kita menganut Civil Law sistem juga
karena produk-produk peraturan pemerintahan saat ini adalah warisan dari sistem yang lama.
Sehingga dari uraian dan pembahasan diatas dapat ditarik kesimpulannya sebagai berikut.
1. Omnibus law adalah sebuah produk Undang-Undang yang bisa mencabut atau mengubah
beberapa undang-undang yang ada yang berlaku yang bisa tersebar dalam beberapa
peraturan, kemudian dirampingkan dalam satu Undang-undang agar lebih tepat sasaran
yang menjadi sebuah solusi atas konflik antara penyelenggara pemerintah dengan
peraturan perundang-undangan dengan tujuan tertentu untuk meningkatkan iklim
investasi dan sebagai jaminan kepastian hukum dan perlindungan hukum bagi pengambil
kebijakan.
2. Di dalam hierarki / tata urutan peraturan perundang-undangan di Indonesia belum
memasukkan konsep Omnibus Law sebagai salah satu asas dalam sumber hukum, tetapi
harmonisasi peraturan perundang-undangan di Indonesia terus menerus dilakukan untuk
meminimalkan konflik peraturan perundang-undangan.
3. Undang-Undang yang nantinya dihasilkan dari konsep Omnibus Law bisa mengarah
sebagai Undang-Undang Payung karena mengatur secara menyeluruh dan kemudian
mempunyai kekuatan terhadap aturan yang lain. Akan tetapi di Indonesia justru tidak
menganut Undang-Undang Payung karena posisi seluruh Undang-Undang adalah sama,
sehingga kedudukannya harus diberikan legitimasi dalam Undang-undang Nomor 12
Tahun 2011 perlu diamandemen.
4. Konsep omnibus law pernah dilaksanakan di Negara kita yaitu Perpu Nomor 1 Tahun
2017 tentang Akses Informasi Keuangan Untuk Kepentingan Perpajakan jo UU Nomor 9
Tahun 2017 dan UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, yang dengan
adanya hal tersebut bisa dijadikan contoh untuk pemerintah dalam mengambil langkah
konsep ini.
13
DAFTAR PUSTAKA
Sadono, Bambang, 2019. Penataan Sistem Ketatanegaraan, Jakarta : Badan Pengkajian MPR
RI.
https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt58a6fc84b8ec3/menimbang-konsep-omnibus-
law-bila-diterapkan-di-indonesia/
Seng, Joo Seng; Elizabeth, Ngah-Kiing Lim. Strategies for Effective Cross – Cultural
Negotiation: The FRAME Approach. 2004. Singapore. McGrawHill.hal 5 – 6.
Oxford Learner's Pocket Dictionary. 3rd Ed. 2004. China. Oxford University Press.
Kozicki, Stephen. The Creative Negotiator. 2005. New Delhi. McGrawHill. hal 47.
Dolan, Patrick John. Smart Negotiating: It’s a Done Deal. 2006. Canada. Entrepreneur Press.
Hal 96-106
Tribe, Diana . Essential Legal Skills: Negotiation. 1993. Great Britain. Cavendish Publishing
Limited. Hal 78 – 85
14