Anda di halaman 1dari 4

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM BREBES

TAHUN AKADEMIK 2019/2020

NAMA : SOLIKHIN AJI SAPUTRA


NIM/ NIRM : 19.01.3626
JURUSAN/ PRODI : TARBIYAH/ PAI A
SEMESTER : 2
TUGAS MATERI KULIAH : SEJARAH PENDIDIKAN ISLAM
DOSEN PENGAMPU : ISLAH SEILLARISKI, S.PD, M.HUM

RESUME BUKU SEJARAH PENDIDIKAN ISLAM


PROF. AZYUMARDI AZRA, MA, M.PHIL, PH.D

BAGIAN PERTAMA
PENDIDIKAN ISLAM : TRADISI DAN TANTANGAN MILLENIUM III

1. Pendidikan Islam : Pengantar Pendidikan Dasar.


Secara lebih rinci, Yusuf al-Qardhawi memberikan pengertian, “Pendidikan Islam adalah
pendidikan manusia seutuhnya, akal dan hatinya, rohani dan jasmaninya, akhlak dan
ketrampilannya. Karena itu, pendidikan islam menyiapkan manusia untuk hidup baik
dalam keadaan damai maupun perang, dan menyiapkannya untuk menghadapi masyarakat
dengan segala kebaikan dan kejahatannya, manis dan pahitnya” (al-Qadrawi: 157).

2. Ilmu dan Tradisi Keilmuan dalam Masyarakat Muslim, Menuju Rekontruksi Peradaban
Islam.
 Pandangan Islam tentang Ilmu
Pembicaraan tentang rekontruksi peradaban islam melalui ilmu dan teknologi, di masa
kini dan yang akan datang, tak dapat tidak melibatkan pembahasan mengenai
kedudukan dan tradisi keilmuan dalam islam. Kita tidak membicarakan panjang lebar
tentang kedudukan ilmu di dalam islam, karena sudah umum diketahui. Secara singkat
dapat dikemukakan, islam secara doktrinal sangat mendukung pengembangan ilmu.
Dalil naqli yang sering dikemukakan para ahli.
Perbincangan tentang islamisasi ilmu dan teknologi bukan tidak bermanfaat. Ia dapat
merupakan langkah awal untuk membangun paradigma lebih “islami”, bukan hanya
pada tingkat masyarakat muslim, tetapi juga pada tingkat global. Ini seharusnya tidak
membuat kaum muslim terutama kalangan ahli dan terpelajar mengabaikan masalah-
masalah berat yang terdapat pada tingkat praksis yang tetap tidak atau belum
terpecahkan. Diantara masalah-masalah pokok itu adalah :
1. Lemahnya masyarakat ilmiah.
2. Kurang integraknya kebijakan sains nasional.
3. Tidak memadainya anggaran penelitian ilmiah.
4. Kurangnya kesadaran di kalangan sektor ekonomi tentang pentingnya penelitian
ilmiah.
5. Kurang memadainya fasilitas perpustakaan, dokumentasi, dan pusat informasi.
6. Isolasi ilmuwan.
7. Birokrasi, Restriksi, dan kurangnya insentif.

3. Mengembangkan Studi Islam sebagai Disiplin Ilmu Universitas di Negara-negara Muslim.


 Studi islam dan tantangan dunia modern.
Sejarah mencatat, studi islam telah berkembang sejak masa awal dunia islam.
Tumbuhnya lembaga pendidikan diilhami ajaran islam itu sendiri yang menyatakan
bahwa pendidikan islam merupakan kewajiban bagi setiap muslim. Banyak ayat al-
Qur’an termasuk wahyu pertama yang diturunkan Allah SWT. Kepada Nabi
Muhammad seperti dikutip ayat dibawah ini :
Bacalah dengan nama Tuhanmu, yang menciptakan manusia dari segumpal darah;
“Bacalah dan Tuhanmulah yang paling mulia;
Yang mengajarkanmu dengan pena;
Yang mengajarkan manusia tentang apa yang tidak dia ketahui.”
(Surat al-‘alaq : 96, ayat 1-5)
Wahyu Tuhan yang pertama kepada Nabi Muhammad
Ayat diatas menjelaskan tentang tugas setiap muslim untuk belajar kapanpun dan
dimanapun. Salah satunya, setiap muslim dapat belajar di masjid.
 Masa depan studi islam.
Terlepas dari perkembangan ilmu dan teknologi yang kini sangat pesat, setidaknya
dalam beberapa dekade terakhir, semakin banyak orang tertarik untuk melihat kembali
agama dan ajaran spiritual. Karena situsasi anomali yang disebabkan perubahan sangat
cepat dalam semua aspek kehidupan, banyak orang merasakan membutuhkan
pegangan kuat. Dalam hal ini agama tidak mengherankan bila hampir semua agama
dan spiritual bangkit kembali dalam berbagai bentuk.

4. Modernisasi Pendidikan Islam dan Epitomologi Ilmu.


Sebagaimana disimpulkan Shipman (1992: 33-35), fungsi pokok pendidikan dalam
masyarakat modern terdiri dari tiga : sosialisasi, penyekolahan, dan pendidikan.
Pendidikan dalam proses modernisasi mengalami perubahan fungsional dan antarsistem.
Perubahan tersebut pada tingkat konseptual dapat dirumuskan dengan menggunakan
“pendekatan sistem”. Don Adams (1970), yang menggunakan “pendekatan sistem” ini
dalam kajian pendidikan dan modernisasi, menemukan beberapa variabel berikut yang
dapat pula diterapkan dalam agenda modernisasi pendidikan islam di Indonesia secara
keseluruhan.
 Input pendidikan masyarakat ke dalam sistem pendidikan.
1. Ideologis normatif.
2. Mobilisasi politik.
3. Mobilisasi ekonomi.
4. Mobilisasi sosial.
5. Mobilisasi kultural.
Pada saat ini yang sama variabel-variabel yang tercakup dalam transformasi sistem
pendidikan adalah :
1. Modernisasi administratif.
2. Diferensasi struktural.
3. Ekspansi kapasitas.
Transformasi dengan mempertimbangkan semua variabel tersebut, pada gilirannya
menghasilkan output pendidikan yang merupakan input bagi masyarakat dengan ciri :
1. Perubahan sistem nilai.
2. Output politik.
3. Output ekonomi.
4. Output sosial.
5. Output kultural.
 Modernisasi pendidikan islam di Indonesia.
Pertumbuhan modernisasi pendidikan islam di Indonesia berkaitan erat dengan
pertumbuhan gagasan modernisasi islam di kawasan ini. Gagasan modernisasi islam
yang menemukan momentumnya sejak awal abad ke-20 , pada lapangan pendidikan
direalisasikan dengan pembentukan lembaga pendidikan modern yang diadopsi dari
sistem pendidikan kolonial Belanda. Pemrakarsa pertama dalam hal ini adalah
organisasi organisasi “modernis” seperti jami’at khair, al-irsyad dan muhammadiyah.

5. Pendidikan Islam dan Sumber Daya Manusia dalam Era Globalisasi.


Era globalisasi, dewasa ini dan di masa datang, sedang dan terus memmengaruhi
perkembangan sosial budayabmasyarakat muslim Indonesia umumnya, atau pendidikan
islam, khususnya. Argumen panjang lebar tak perlu dikemukakan lagi, bahwa masyarakat
muslim tidak dapat menghindari diri dari proses globalisasi tersebut, apalagi jika ingin
survive dan berjaya di tengah perkembangan dunia yang kian kompetitif di masa kini dan
abad ke-21.
 Pembangunan dan sumber daya manusia.
Proses globalisasi ekonomi di Indonesia tampaknya merupakan konsekuensi atau
implikasi yang tidak terelakkan dari proses pembangunan nasional. Pembangunan itu
sendiri, sebagaimana sering dikemukakan para pejabat Indonesia, bertujuan
membangun manusia Indonesia seutuhnya, yakni makmur dan sejahtera, lahir dan
batin, material dan spiritual. Dilihat dari perspektif ini, momentum pembangunan
haruslah senantiasa dipelihara dan ditingkatkan, karena pembangunan manusia
Indonesia seutuhnya merupakan proses yang boleh dikatakan tidak pernah berakhir,
sesuai dengan sifat dinamis manusia itu sendiri.
 Dilema pesantren.
Dalam pengamatan saya sementara ini, lembaga pendidikan pesantren kelihatan
mengalami semacam “kebangkitan”, atau setidaknya menemukan “popularitas” baru.
Secara kuantitatif, jumlah pesantren meningkat; berbagai pesantren baru muncul
dimana-mana, tidak hanya di Jawa tetapi juga di Sumatera, dll. Yang menarik dari
perkembangan kuantitatif ini adalah adalah gejala pertumbuhan pesantren baru di
wilayah urban, yang mengalami perkembangan cukup “fenomenal”. Misalnya adalah
Pesantren Darul Muttaqin di Parung, Jawa Barat. Lalu di pasar Usang, di dekat kota
padang, berdiri “Pesantren Modern Prof. Dr. Hamka”.
Kemunculan pesantren urban sekaligus merupakan indikasi tentang kerinduan orang
tua muslim untuk mendapatkan pendidikan islami yang baik atau sebaliknya, boleh
jadi mengindikasikan kepasrahan orang tua muslim yang merasa tidak mampu lagi
mendidik sendiri anak mereka secara islami.
 Penutup.
Pesantren harus menumbuhkan apresiasi yang sepatutnya terhadap semua
perkembangan yang terjadi di masa kini dan mendatang, sehingga dapat memproduksi
calon ulama yang berwawasan luas.

6. Paradigma pembelajaran di Era Global.


Tidak ragu lagi, era global kadang-kadang juga disebut sebagai era kesejagatan
menimbulkan perubahan penting dalam berbagai aspek kehidupan; ekonomi, politik,
sosial, budaya, teknologi, pendidikan, dll. Berbagai kemajuan penting dalam teknologi
informasi, komunikasi dan transportasi telah mempercepat jika tidak menyebabkan proses
globalisasi tersebut. Hasilnya, informasi instan dapat diterima dan diikuti masyarakat
diberbagai penjuru dunia. Dan, dalam waktu tidak terlalu lama, perubahan pada tingkat
global memengaruhi masyarakat-masyarakat tersebut.
 Paradigma baru pembelajaran.
Kata “paradigma” itu sendiri telah digunakan sejak zaman Plato dalam bentuk
“paradeigma” yang berarti “a basic form encompassing your entire destiny” (Harefa,
2000;83). Dalam wacana kontemporer, kata “paradigma” menemukan momentumnya
melalui Thomas S. Kuhn (1962/1970). Dari berbagai definisi yang diberikan para ahli,
agaknya yang paling tepat adalah yang diberikan Joel Arthur Barker (1992), bahwa :
“Sebuah paradigma adalah seperangkat peraturan dan ketentuan (tertulis maupun
tidak) yang berfungsi untuk dua hal; (1) menciptakan atau menentukan batas-batas;
dan (2) menjelaskan cara berperilaku di dalam batas-batas tersebut agar menjadi orang
yang berhasil”.
 Pembelajaran Emansipatoris
Apa yang saya maksudkan dengan paradigma emansipatoris adalah paradigma
pembelajaran yang sejak dari tingkat pandangan dunia filosofis (phillosophical
worldview), sampai ketingkat strategi, pendekatan, proses dan teknologi pembelajaran
menuju arah pembebasan peserta didik dalam segenap eksistensinya.
 Beyond Teknologi Pembelajaran.
Bagaimanapun, sejauh menyangkut teknologi pembelajaran, kesan saya terdapat
kecenderungan terkuat bahwa teknologi pembelajaran menjadi terjebak ke dalam hal-
hal teknis menyangkut perumusan desain intruksional daripada hal-hal lain yang lebih
bersifat substantif. Meminjam kerangka antropolog Amerika Serika, Clifford Geertz
tentang “involusi pertanian”. Saya melihat terjadinya kecenderungan involusi
teknologi pendidikan, yang menimbulkan kerumitan yang tidak perlu, yang pada
gilirannya mengakibatkan terpasungnya proses pembelajaran yang kreatif dan inovatif.
Karena itulah, teknologi pendidikan yang betul-betul fungsional haruslah beyond
teknologi pendidikan yang bisa disebut sudah konvensional lebih daripada sekadar
hal-hal teknis mengenai desain instruksional.

Anda mungkin juga menyukai