Anda di halaman 1dari 20

LAPORAN PENDAHULUAN

PADA PASIEN DENGAN GANGGUAN PEMENUHAN KEBUTUHAN


OKSIGENASI
Disusun Untuk Memenuhi Tugas Praktik Klinik Keperawatan Dasar
Dosen Pembimbing : Alif Nurul Rosyidah, S.kep, Ners

Disusun oleh :

Nama : Agum Gumelar


Nim : P27901119003
Tingkat : 2A D-III Keperawatan

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES BANTEN


JURUSAN KEPERAWATAN TANGERANG
PRODI D-III KEPERAWATAN
2020

A.Konsep Gangguan TB Paru


1. Definisi
Tuberculosis adalah penyakit infeksi menular yang disebabkan
mycrobacterium tuberculosis yang menyerang paru-paru dan hampir
seluruh organ tubuh lainnya. Bakteri ini dapat masuk melalui saluran
pernapasan dan saluran pencernaan (GI) dan luka terbuka pada kulit.
Tetapi paling banyak melalui inhalasi droplet yang berasal dari orang yang
terinfeksi bakteri tersebut (sylvia A.price).
Klasifikasi tuberkolusis dari system lama :
1. Pembagian secara patologis
a. Tuberkolusis primer (childhood tuberkolusis)
b. Tuberkulosis post-primer (adult tuberkulosis)
2. Pembagian secara aktivitas radiologis tuberkulosis paru (koch
pulmonum) aktif, non aktif dan quiescent (bentuk aktif yang
menyembuh)
3. Pembagian secara radiologis (luas lesi)
a. Tuberkolusis minimal
b. Moderately advanced tuberkolusis
c. For advanced tuberkulosis
Klasifikasi menurut American Thoracic Society:
1. Kategori 0 : tidak pernah terpajan, dan tidak terinfeksi, riwayat kontak
negative, tes tuberculin negative.
2. Kategori 1: terpajan tuberkolusis, tapi tidak terbukti ada insfeksi,
disisni riwayat kontak posistif, tes tuberculin negative.
3. Kategori 3: terinfeksi tuberculosis dan sakit.
Klasifikasi diindonesia dipakai berdasarkan kelainan klinis, radiologis, dan
makro biologis :
1. Tuberkolusis paru
2. Bekas tuberkolusis paru
3. Tuberkolusis paru tersangka, yang terbagi dalam :
a. TB tersangka yang diobati :Sputum BTA (-), tetapi tanda-tanda lain
positif
b. TB tersangka yang tidak diobati :Sputum BTA negative dan tanda-
tanda lain juga meragukan.
Klasifikasi menurut WHO 1991 TB dibagi dalam 4 kategori yaitu :
(Sudoyo Aru)
1. Kategori 1, ditunjukan terhadap :
a. Kasus baru dengan sputum positif
b. Kasus baru dengan bentuk TB berat
2. Kategori 2, ditunjukan terhadap :
a. Kasus kambuh
b. Kasus gagal dengan sputum BTA positif
3. Kategori 3, ditunjukan terhadap
a. Kasus BTA negative dengankelainan paru yang luas
b. Kasus TB estra paru selain dari yang disebut dalam kategori
4. Kategori 4, ditunjukan terhadap : TB kronik

2. Etiologi
Penyebab tuberkolusis adalah mycrobacterium tuberculosis.basil
ini tidak berspora sehingga mudak dibasmi dengan pemanasan, sinar
matahari, dan sinar ultraviolet. Ada dua macam mikrobacteria tuberculosis
yaitu Tipe Human dan Tipe Bovin. Basil Tipe Bovin berada dalam susus
sapi yang menderita mastitis tuberkolosis usus. Basil Tipe Human bisa
berada di bercak ludah (droplet) dan di udara yang berasal dari penderita
TBC, dan orang yang terkena rentan terinfeksi bila menghirupnya. (Wim
de jong).
Setelah organism terinhalasi, dan masuk paru-paru bakteri dapat
bertahan hidup dan menyebar kenodus limfatikus lokal. Penyebaran
melalui aliran darag ini dapat menyebabkan TB pada organ lain, dimana
infeksi laten dapat bertahan sampai bertahun-tahun. (Patrick Davey).
Dalam perjalanan penyakitnya terdapat 4 fase : (Wim de jong).
1. Fase 1 (Fase Tuberculosis Primer)
Masuk kedalam paru dan berkembang biak tanpa menimbulkan reaksi
pertahanan tubuh.
2. Fase 2
3. Fase 3 (Fase Laten) : fase dengan kuman yang tidur (bertahun-
tahun/seumur hidup) dan rektifitas jika terjadi perubahan
keseimbangan daya tahan tubuh, dan bisa terdapat di tulang panjang,
vertebrata, tuba fallopi, otak kelenjar limf hilus, leher dan ginjal.
4. Fase 4 : dapat sembuh tanpa cacat atau sebaliknya, juga dapat
menyebar ke organ yang lain dan yang kedua keginjal setelah paru.

3. Patofisiologi dan Pathway


Infeksi diawali karena seseorang menghirup basil Mycobacerium
tuberkulosis. Bakteri menyebar melalui jalan napas menuju alveoli lalu
berkembang biak dan terllihat bertumpuk. Perkembangan Mycobacerium
tuberkulosis juga dapat menjangkau sampai ke area lain dari paru-paru
(lobus atas). Basil juga menyebar melalui sistem limfe dan aliran darah ke
bagian tubuh lain (ginjal, tulang dan korteks serebri) dan area lain dari
paru- paru (lobus atas). Selanjunya, sistem kekebalan tubuh memberikan
resspons dengan melakukan reaksi inflamasi. Neutrofil dan magrofak
melakukan aksi fagositosis (menelan bakteri), sementara limfosit spesifik-
tuberkulosis menghancurkan (melisikan) basil dan jaringan normal. Reaksi
jaringan ini mengakibatkan terakumulasinya eskudat dalam alveoli yang
menyebabkan bronkopneumonia. Infeksi awal biasanya timbul dalam
waktu 2-10 minggu setelah terpapar bakteri.
Interaksi antara Mycobacerium tuberkulosis dan sistem kekebalan
tubuh pada awal infeksi membentuk sebuah masa jaringan baru yang
disebut granuloma. Granuloma terdiri atas gumpalan basil hidup dan mati
yang dikelilingi oleh makrofag seperti dinding. Granuloma selanjutnya
berubah bentuk menjadi masa jaringan fibros. Bagian tengah dari masa
tersebut disebut ghon tubercle. Materi yang terdiri atas makrofag dan
bakteri menjadi nektorik yang selanjutnya membentuk materi yang
penampakannya seperti keju (necrotizing caseosa). Hal ini akan menjadi
klasifikasi dan akhirnya membentuk jaringan kolagen, emudian bakteri
menjadi nonaktif.
Setelah infeksi awal, jika respon sistem imun tidak adekuat maka
penyakit akan menjadi lebih parah. Penyakit yang kian parah dapat timbul
akibat infeksi ulang atau bakteri yang sebelumnya tidak aktif kembali
menjadi aktif. Pada kasus ini, ghon tubercle mengalami ulserasi sehingga
menghasilkan necrotizing caseosa di dalam bronkus. Tuberkel yang
uselrasinya menjadi sembuh dan membentuk jaringan parut. Paru-paru
yang terinseksi kemudian meradang, mengakibatkan timbulnya
bronkopneumonia, membentuk tuberkel dan seterusnya. Pneumonia
seluler ini dapat sembuh dengan sendirinya proses ini berjalan terus dan
basil terus difagosit atau berkembang biak di dalam sel. Makrofag yang
mengadakan di dalam infiltrasi menjadi lebih panjang dan sebagian
bersatu membentuk sel tuberkel epiteloid yang dikelilingi oleh limfosit
(membutuhkan 10-20 hari). Daerah yang mengalami nekrosis dan jaringan
geanulasi yang dikelilingi sel epiteloid dan fibroblas akan menimbulkan
resspons berbeda, kemudian pada akhirnya akan membentuk suatu kapsul
yang dikelilingi oleh tuberkel.
Pathway
4. Manifestasi klinis

a. Demam 40-41 C, serta ada batuk/darah


b. Sesak napas dan nyeri dada
c. Malaise, keringet malam
d. Suara khas pada perkusi dada, bunyi dada
e. Peningkatan sel darah putih dengan dengan dominasi limfosit
f. Pada anak
1) Berkurangnya BB 2 bulan berturut-turut tanpa sebab jelas atau
gagal tumbuh.
2) Demam tanpa sebab jelas, terutama jika berlanjut selama 2 minggu.
3) Batuk kronik >3 minggu, dengan atau tanpa wheeze
4) Riwayat kontak dengan pasien TB paru dewasa.
5) Semiua anak dengan reaksi cepat BCG (reaksi local timbul < 7 hari
setelah penyuntikan) harus dievaluasi dengan system scoring TB
anak
6) Anak dengan TB jika jumlah skor 5, >6 (skor maksimal 13)
7) Pasien usia balita yang mendapat skor 5, dirujuk kerumah sakit
untuk evaluasi lebih lanjut.

5. Penatalaksanaan (medis dan keperawatan)


Penatalaksanaan tuberkulosis paru (TB paru) dapat dibagi menjadi
dua fase, yaitu fase intensif dan fase lanjutan. Penggunaan obat juga
dapat dibagi menjadi obat utama dan tambahan.
a. Medikamentosa
Obat anti tuberkulosis (OAT) yang dipakai sebagai tatalaksana
lini pertama adalah rifampisin, isoniazid, pirazinamid, streptomisin,
dan etambutol, yang tersedia dalam tablet tunggal maupun dalam
sediaan dosis tetap (fixed dose combination). Jenis obat lini kedua
adalah kanamisin, kuinolon, dan derivat rifampisin dan isoniazid.
Dosis OAT adalah sebagai berikut :
1) Rifampisin (R) diberikan dalam dosis 10 mg/KgBB per hari
secara oral, atau 10 mg/kgBB oral dua kali seminggu dengan
perlakuan DOT, maksimal 600 mg/hari. Dikonsumsi pada waktu
perut kosong agar baik penyerapannya.
2) Isoniazid (H) diberikan dalam dosis 5 mg/kgBB oral tidak
melebihi 300 mg per hari untuk TB paru aktif, sedangkan pada
TB laten pasien dengan berat badan >30 kg diberikan 300 mg
oral. Pemberian isoniazid juga bersamaan dengan Piridoksin
(vitamin B6) 25-50 mg sekali sehari untuk mencegah neuropati
perifer
3) Pirazinamid (Z) pada pasien dengan HIV negatif diberikan 15-30
mg/kgBB per hari secara oral dalam dosis terbagi, tidak boleh
melebihi dua gram per hari. Atau dapat diberikan dua kali
seminggu dengan dosis 50 mg/kg BB secara oral
4) Etambutol (E) pada fase intensif dapat diberikan 20 mg/kgBB.
Sedangkan pada fase lanjutan dapat diberikan 15 mg/kgBB , atau
30 mg/kgBB diberikan 3 kali seminggu, atau 45 mg/kgBB
diberikan 2 kali seminggu
5) Streptomisin (S) dapat diberikan 15 mg/kgBB secara intra
muskular, tidak melebihi satu gram per hari. Atau dapat diberikan
dengan dosis dua kali per minggu, 25-30 mg/kgBB secara intra
muskular, tidak melebihi 1,5 gram per hari
Panduan pemberian OAT yang digunakan oleh Program Nasional
Pengendalian Tuberkulosis di Indonesia adalah :
Kategori 1 : 2RHZE/4RH3
Kategori 2 : 2 RHZES/RHZE/5RH3E3

a) Kategori 1
OAT Kategori 1 diberikan pada pasien baru, yaitu pasien TB
paru terkonfirmasi bakteriologis, TB paru terdiagnosis klinis,
dan pasien TB extra paru.
OAT kategori 1 diberikan dengan cara RHZdiberikan selama 2
bulan, dianjutkan dengan RH 4bulan.
b) Kategori 2
OAT Kategori 2 diberikan pada pasien BTA positif yang sudah
diberikan tatalaksana sebelumnya, yaitu pada pasien kambuh,
pasien gagal pengobatan dengan kategori 1, dan pasien yang
diobati kembali setelah putus obat.
c) Terapi MDR-TB
Gunakan sedikitnya 4-5 obat yang tidak pernah diberikan
sebelumnya, dimana obat-obat tersebut masih sensitif secara in vitro.
Jangan gunakan obat yang sudah resisten. Ada baiknya
mengonsultasikan pasien dengan MDR-TB kepada spesialis penyakit
paru.
Berikut ini adalah pilihan obat yang dapat diberikan pada pasien
dengan MDR-TB, dengan catatan bahwa obat-obat ini masih
sensitif :
Grup 1: first- line terapi oral, misalnya: pirazinamid, etambutol,
rifampisin.
Grup 2: injeksi, misalnya: kanamisin, amikasin, capreomycin,
streptomisin
Grup 3: golongan fluoroquinolon, misalnya: levofloksasin,
moxifloksasin, ofloksasin
Grup 4: second- lineterapi oral bakteriostatik, misalnya:
cycloserine, terizidone, asam para aminosalisilat (PAS), etionamide,
protionamide
Grup 5: obat-obat ini tidak dianjurkan oleh WHO untuk
penggunaan rutin karena efektifitasnya masih belum jelas. Namun
diikutsertakan dengan alasan bahwa bilamana ke 4 grup obat
tersebut diatas tidak mungkin diberikan kepada pasien, seperti pada
XDR-TB.
Penggunaan obat ini mesti dikonsultasikan terlebih dahulu dengan
spesialis penyakit paru. Contoh obatnya: clofazimine, linezolid,
amoksisilin klavulanat, thiocetazone, imipenem/cilastatin,
klaritromisin, INH dosis tinggi.
d) Kehamilan
Pada prinsipnya pengobatan TB pada kehamilan tidak berbeda
dengan pengobatan TB pada umumnya. Menurut WHO, hampir
semua OAT aman untuk kehamilan, kecuali streptomisin dan
kanamisin yang bersifat ototoksik pada janin. Pemberian kedua
obat tersebut akan menyebabkan gangguan pendengaran dan
keseimbangan pada bayi ketika lahir. Pada ibu hamil yang
mengkonsumsi OAT, dianjurkan pemberian piridoksin 50 mg/hari.
Vitamin K juga dianjurkan diberikan dengan dosis 10 mg/hari jika
rifampisin digunakan pada trimester ketiga.
e) Ibu Menyusui
Pada prinsipnya, pengobatan OAT pada ibu menyusui tidak
berbeda dengan pengobatan TB pada umumnya. Semua jenis OAT
aman bagi ibu menyusui. Tatalaksana OAT yang adekuat akan
mencegah penularan TB ke bayi. Untuk bayi yang menyusu dari
ibu penderita TB, terapi profilaksis isoniazid dapat diberikan.
b. Rawat Inap
Umumnya pasien dengan tuberkulosis paru (TB Paru) tidak perlu
dirawat inap. Namun akan memerlukan rawat inap pada keadaan atau
komplikasi berikut :
a) Batuk darah masif
b) Keadaan umum dan tanda vital buruk
c) Pneumotoraks
d) Empiema
e) Efusi pleural masif/bilateral
c. Kriteria Sembuh
Seseorang pasien Tuberkulosis paru (TB Paru) dianggap sembuh
apabila memenuhi kriteria :
a) BTA mikroskopik negatif dua kali (pada akhir fase intensif dan
aakhir pengobatan) dan telah mendapatkan pengobatan yang
adekuat
b) Pada foto toraks, gambaran radiologik tetap sama atau
menunjukkan perbaikan
c) Apabila dilakukan biakan, ditemukan biakan negatif
d. Monitoring
Monitoring pada tuberkulosis paru (TB paru) dilakukan dengan
dua tujuan, yaitu evaluasi pengobatan dan evaluasi komplikasi maupun
efek samping obat.
a) Evaluasi Pengobatan
Evaluasi penderita meliputi evaluasi klinik, radiologik, dan
bakteriologik. Pada evaluasi klinik, penderita diperiksa setiap 2
minggu pada 1 bulan pertama pengobatan, kemudian dilanjutkan
setiap 1 bulan. Hal yang dievaluasi adalah keteraturan berobat,
respon pengobatan, dan ada tidaknya efek samping pengobatan.
Pada setiap kali follow up, pasien dilakukan pemeriksaan fisik dan
berat badan diukur. Evaluasi bakteriologik bertujuan untuk
mendeteksi ada tidaknya konversi dahak. Evaluasi ini dilakukan
sebelum memulai pengobatan, setelah fase intensif, dan pada akhir
pengobatan. Evaluasi dilakukan berdasarkan pemeriksaan basil
tahan asam (BTA) atau biakan apabila tersedia. Evaluasi radiologik
dilakukan menggunakan foto rontgen toraks. Evaluasi dilakukan
sebelum memulai pengobatan, setelah fase intensif, dan pada akhir
pengobatan. Pada penderita yang telah dinyatakan sembuh,
evaluasi tetap dilakukan selama 2 tahun pertama untuk mendeteksi
adanya kekambuhan. Pemeriksaan BTA dilakukan pada bulan ke-3,
6, 12, dan 24 setelah dinyatakan sembuh. Sedangkan pemeriksaan
foto rontgen dada dilakukan pada bulan ke-6, 12, dan 24 setelah
dinyatakan sembuh.
b) Evaluasi Efek Samping Obat
Pasien TB yang diberikan pirazinamid harus diperiksa baseline serum
asam urat dan tes fungsi hati. Sedangkan pasien yang diterapi
etambutol mesti diperiksa baseline ketajaman penglihatannya dan juga
secara periodik dilakukan tes buta warna merah-hijau, menggunakan
tes Ishihara. Pasien yang mendapat suntikan streptomisin dimonitor
ketajaman pendengarannya, tes fungsi ginjal secara berkala, dan
pemeriksaan neurologis berkala.
Monitoring ini terintegrasi dalam program nasional bersama WHO, yaitu
strategi DOTS (Directly Observed Treatment, Short-course) sejak tahun
1995, yang dalam perkembangannya menghadapi banyak tantangan,
sehingga diperluas pada tahun 2005 menjadi strategi Stop TB untuk
mengoptimalkan mutu DOTS.
Pembiayaan pengendalian program TB yang lebih banyak berpusat kepada
aspek kuratif masih bergantungan pada pendanaan dari donor internasional
selain alokasi APBD yang masih rendah. Khusus warga DKI Jakarta yang
berobat TB melalui puskesmas, pemprov DKI memberikan subsidi
pengobatan TB secara gratis. Pada tingkat pertama, pasien yang datang ke
puskesmas akan ditangani oleh seorang dokter umum, dan bilamana
dianggap perlu, pasien TB dirujuk ke rumah sakit setempat yang memiliki
fasilitas pemeriksaan spesialistik.

6. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dapat digunakan pada tuberkulosis
paru (TB paru) adalah tuberkulin tes, foto rontgen dada, tes resistensi
OAT, gene Xpert MTB/ RIF assay, dan DNA sequencing.
a. Tuberculin Skin test (TST) atau Tes Mantoux
Tuberculin skin test (TST) positif menunjukkan kecenderungan
terjadinya infeksi primer TB. Tes ini merupakan metode standar
dalam menentukan apakah seseorang terinfeksi dengan
Mycobacterium tuberculosis. Konversi TST biasanya terjadi 3-6
minggu setelah paparan terhadap kuman TB. Sekitar 20% pasien-
pasien dengan TB aktif, khususnya pada penyakit yang sudah
berlanjut, memiliki hasil TST yang normal.
Pembacaan hasil TST dilakukan antara 48 dan 72 jam
setelah dimasukkan 0,1 ml suntikan tuberkulin PPD secara
intradermal. Suntikan yang benar akan menimbulkan gelembung kulit
kecil pucat berdiameter 6-10 mm. Reaksi terhadap suntikan akan
teraba mengeras, atau membengkak, disebut sebagai indurasi yang
diukur diameternya dalam milimeter ke arah aksis longitudinal pada
lengan bawah bagian ventral. Eritema tidak ikut diukur sebagai
indurasi.
Hasil reaksi TST diklasifikasikan sebagai berikut:
Indurasi ≥5 mm, dianggap positif pada:
1) Orang terinfeksi HIV
2) Orang yang baru tertular kuman TB
3) Seseorang yang hasil foto rontgen dadanya menunjukkan adanya
perubahan fibrotik yang konsisten dengan TB terdahulu
4) Pasien dengan transplantasi organ
5) Orang yang mengalami penurunan kekebalan tubuh karena
misalnya mengonsumsi >15 mg/ hari prednison selama satu bulan
atau lebih, atau antagonis TNF alfa
Indurasi ≥10 mm, dianggap positif pada:
1) Orang yang pernah bepergian ke negara-negara dengan prevalensi
tinggi TB dalam waktu <5 tahun
2) Pengguna obat-obat terlarang dengan cara suntikan
3) Tempat-tempat yang padat penduduknya Pekerja di laboratorium
mikrobiolog
4) Orang-orang dengan kondisi klinis yang lemah, yang memudahkan
mereka memiliki risiko tinggi terkena TB
Anak-anak usia <4 tahun
1) Bayi, anak dan remaja yang terpapar oleh orang dewasa yang memiliki risiko
tinggi terkena TB
Indurasi ≥15 mm, dianggap positif pada:
1) Tiap orang, termasuk mereka yang tidak memiliki faktor risiko terkena TB
Namun, program TST ini semestinya dilakukan hanya pada orang- orang
dengan risiko tinggi saja
2) Beberapa orang dapat bereaksi terhadap TST meski mereka tidak terinfeksi
Mycobacterium tuberculosis, hal ini disebut reaksi false- positif. Penyebab
reaksi false positif di antaranya adalah:
3) Infeksi dengan Mycobacterianon-tuberkulosis
4) Riwayat vaksinasi BCG sebelumnya
5) Cara penyuntikan TST yang tidak benar
6) Intepretasi yang tidak benar terhadap reaksi TST
7) Antigen yang digunakan tidak benar
b. Pemeriksaan Bakteriologik
Pemeriksaan bakteriologik untuk menemukan kuman tuberkulosis
mempunyai arti yang sangat penting dalam menegakkan diagnosis. Bahan untuk
pemeriksaan ini dapat diambil dari dahak, cairan pleura, cairan
serebrospinal,bilasan bronkus, bilasan lambung, kurasan bronkoalveolar, urin,
feses, dan jaringan biopsi. Umumnya, sampel yang digunakan adalah dahak
karena lebih mudah untuk diambil. Dahak diambil dengan cara setiap pagi
selama 3 hari berturut-turut, ataupun dengan pengambilan dahak sewaktu-pagi-
sewaktu.
Interpretasi hasil pemeriksaan mikroskopik dari 3 kali pemeriksaan ialah:
1) Apabila didapatkan 2 kali positif, dan 1 kali negatif → dianggap basil tahan
asam (BTA) positif
2) Apabila didapatkan 1 kali positif, dan 2 kali negatif → BTA diulangi 3 kali,
kemudian bila 1 kali positif, dan 2 kali negatif maka dianggap BTA positif.
Namun apabila 3 kali negatif maka dianggap BTA negatif
Berdasarkan hasil pemeriksaan dahak, TB paru dapat dibedakan menjadi TB paru
BTA positif dan BTA negatif.
Yang dimaksud TB paru BTA positif adalah :
1) Apabila sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak menunjukkan hasil
BTA positif
2) Apabila hasil satu pemeriksaan spesimen dahak menunjukkan BTA positif
dan pemeriksaan radiologik menunjukkan gambaran tuberkulosis aktif
3) Apabila hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan BTA positif
dan hasil biakan positif
Yang dimaksud TB paru BTA negatif adalah :
1) Apabila hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan hasil negatif , namun
gambaran klinis dan radiologik menunjukkan TB paru aktif, dan tatalaksana
dengan antibiotik sprektum luas tidak berespon Apabila hasil pemeriksaan
dahak 3 kali negatif, namun biakan positif Pemeriksaan bakteriologik lainnya
adalah pemeriksaan biakan kuman. Untuk Mycobacterium tuberculosis media
biakan yang digunakan adalah egg-base media seperti Lowenstein-Jensen,
ataupun agar media seperti Middle-Brook. Pemeriksaan ini merupakan baku
emas dalam diagnosis TB Paru.
c. Foto Rontgen dada
Foto rontgen dada dapat dilakukan dalam posisi lateral,
posteroanterior, dan lordotik apikal. Gambaran yang mungkin didapatkan
di antaranya adalah :
Kavitas, menandakan infeksi yang sudah berlanjut dan diasosiasikan dengan
adanya jumlah kuman TB yang tinggi
Infiltrat non-kalsifikasi berbentuk bulat, ini mesti dibedakan dengan karsinoma
paru Nodul-nodul kalsifikasi yang homogenus, ukuran 5-20 mm, seperti
tuberkuloma menunjukkan infeksi lama.
Pasien dengan hasil rontgen dada seperti tersebut diatas dan memiliki gambaran
klinis TB paru yang khas sudah dapat dikatakan terkena TB paru walaupun tanpa
dilakukan pemeriksaan sputum. Sebaliknya, bila gambaran rontgen dada normal,
tidak menyingkirkan TB terutama pada pasien dengan kekebalan tubuh menurun.
Pada TB primer aktif, gambaran rontgen dada tidak spesifik, bahkan kadang
normal. Secara tipikal dapat muncul gambaran seperti pneumonia dengan proses
infiltrasi pada bagian tengah atau bawah paru yang cenderung menyerupai
gambaran community-acquired pneumonia (CAP).
Pada kasus reaktivasi TB, gambaran klasik lesi berlokasi pada segmen posterior
lobus kanan bagian atas, segmen apikoposterior pada lobus kiri atas, dan segmen
apikal pada lobus-lobus bagian bawah. Kavitasi adalah gambaran yang paling
umum. Sedangkan tuberkuloma yang sembuh akan menjadi jaringan parut,
dimana parenkimnya akan hilang dan terjadi kalsifikasi.
Pada Infeksi TB dan HIV, lesi yang muncul akan atipikal, walaupun sekitar 20%
pasien dengan HIV positif dan TB aktif memiliki hasil rontgen dada yang normal.
Pada TB laten dan TB paru yang telah sembuh, gambaran dapat berbeda-beda.
Gambaran rontgen dapat berupa nodul-nodul yang radioopak, dengan atau tanpa
kalsifikasi pada hilus atau lobus-lobus atas. Selain itu, dapat pula muncul
gambaran nodul- nodul yang kecil, dengan atau tanpa jaringan parut fibrotik pada
lobus- lobus atas. Gambaran lesi-lesi fibrotik dan nodul-nodul dapat jelas
dibedakan, dan tampak memiliki densitas dengan gambaran radioopak dan tepi
yang jelas. Pasien dengan gambaran rontgen dada seperti ini yang disertai hasil
positif TST dikatakan sebagai karier laten. Pada pasien TB Milier, rontgen dada
akan menunjukkan lesi-lesi nodular kecil berukuran sekitar 2 mm yang banyak,
menyerupai bulir-bulir yang merupakan gambaran khas TB milier. Namun,
gambaran rontgen dada bisa bervariasi dan dapat disertai gambaran infiltrat-
infiltrat pada lobus atas dengan atau tanpa adanya kavitasi.
Apabila terjadi pleural TB, pada rontgen dada akan tampak gambaran empiema
ataupun efusi pleura.
d. Interferon-Gamma Release Assay (IGRA)
Konversi interferon-gamma release assay (IGRA) yang positif
merupakan cerminan reaksi hipersensitivitas yang lambat terhadap protein
Mycobacterium tuberculosis. Pemeriksaan ini dapat digunakan untuk
skrining infeksi TB laten Meski tes IGRA lebih mahal, memerlukan teknik
lab yang lebih canggih, dan prosesnya lebih rumit, namun tes ini lebih
menguntungkan dibandingkan TST, karena pasien hanya perlu sekali
berkunjung ke tempat pemeriksaan. Selain itu, tes juga dilakukan secara
ex vivo, tidak ada efek booster setelah pemeriksaan, dan tidak bergantung
pada riwayat vaksinasi BCG.
Namun, perlu diingat bahwa baik TST atau IGRA tidak cukup sensitif untuk
menyingkirkan seorang pasien terkena TB. Pada bayi dan orang dengan
imunosupresif kedua tes ini hendaknya diintepretasikan dengan hati-hati.
e. Tes resistensi Obat Anti Tuberkulosis (OAT)
Tes resistensi obat anti tuberkulosis (OAT) dilakukan pada pasien
yang dicurigai terdapat MDR-TB. Tes ini memerlukan waktu yang
lama, karena untuk mendapatkan hasilnya dibutuhkan waktu sekitar 3-8
minggu.
f. Gene Xpert MTB/RIF Assay
Uji gene Xpert Mycobacterium tuberculosis (MTB) merupakan tes
diagnostik yang cepat untuk mendeteksi Mycobacterium tuberculosis
kompleks. Tes ini mampu menguji kepekaan kuman terhadap rifampisin
dalam waktu kurang dari dua jam. Tes ini juga mudah digunakan,
sehingga hanya membutuhkan pelatihan teknis yang singkat pada petugas
laboratorium. Tes ini juga dapat mengidentifikasi secara cepat
kemungkinan MDR-TB, dimana apabila didapatkan kuman resisten
terhadap rifampisin maka kuman akan resisten pula terhadap isonizid
(INH). Perlu diingat bahwa intepretasi hasil tes ini mesti seiring dengan
evaluasi gambaran klinis pasien, hasil radiografi, dan tes laboratorium
lainnya.
g. DNA sequencing
Pemeriksaan menggunakan DNA sequencing lebih cepat untuk
mendeteksi resistensi OAT. Pemeriksaan ini memiliki spesifitas dan
senstivitas yang tinggi terhadap INH, rifampisin, etambutol dan
pirazinamide.
h. Serologi HIV
Pemeriksaan serologi HIV dapat dilakukan pada semua pasien
dengan suspek TB yang berisiko. Pemeriksaan ini juga sebaiknya
dilakukan pada gambaran kasus TB paru yang berat atau disertai resistensi
obat ataupun keterlibatan organ ekstra pulmonal.

i. Komplikasi
TB Paru apabila tidak ditangani dengan baik akan menimbulkan
komplikasi. Komplikasi-komplikasi yang terjadi pada penderita TB Paru
dibedakan menjadi dua, yaitu:
1) Komplikasi dini: pleuris, efusi pleura, empiema, laryngitis, usus.
2) Komplikasi pada stadium lanjut: komplikasi-komplikasi yang sering terjadi
pada penderita stadium lanjut adalah:
a) Hemoptisis masif (pendarahan dari saluran napas bawah) yang dapat
mengakibatkan kematian karena sumbatan jalan napas atau syok
hipovolemik
b) Kolaps lobus akibat sumbatan diktus
c) Bronkietakis (pelebaran bronkus setempat) dan fibrosis (pembekuan
jaringan ikat pada proses pemulihan atau reaktif) pada paru
d) Pnemotoraks spontan, yaitu kolaps spontan karena bula/blep yang
pecah
e) Penyebaran infeksi ke organ lain seperti otak, tulang, sendi, ginjal dan
sebagainya.

Anda mungkin juga menyukai