Anda di halaman 1dari 16

HUKUM PERIKATAN

Disusun oleh:
Ilham Bayu Prayogi (19612288)

Dosen Pembimbing : Eko Murtisaputra,S.H.,M.H,M.M

SEKOLAH TINGGI ILMU EKONOMI (STIE)


PEMBANGUNAN TANJUNGPINANG
TAHUN AJARAN 2019/2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah Swt. karena tuntunan, rahmat, serta limpahan
karunia penulis dapat menyelesaikan makalah ini sebagai bentuk tugas mata kuliah Aspek
Hukum Dalam Bisnis yang dibimbing oleh Bapak Eko Murtisaputra,S.H.,M.H,M.M.
Makalah ini berjudul “HUKUM PERIKATAN”. Dalam menyusun makalah ini, penulis telah
berupaya semaksimal mungkin untuk menyajikan yang terbaik sesuai kemampuan penulis.
Harapannya, semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi pembaca khususnya
mahasiswa terutama dalam menyusun makalah selanjutnya yang dapat digunakan sebagai
referensi.
Akhir kata pengantar ini penulis mengucapakan terimakasih kepada Eko
Murtisaputra,S.H.,M.H,M.M. yang telah membimbing kami dalam proses belajar-mengajar,
dan kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan makalah ini, dan jika ada
kritik dan saran yang bersifat membangun penulis akan menerimanya sebagai bahan acuan
mengoreksi diri dan kedepannya dapat menyajikan yang lebih baik dari makalah ini.

Tanjungpinang, 14 Desember 2020


DAFTAR ISI

Kata pengantar ...............................................................................................................1

Daftar Isi ...............................................................................................................2

BAB I PENDAHULUAN
Latar Belakang ...........................................................................................3
Rumusan Masalah ...........................................................................................4
Tujuan .......................................................................................................4

BAB II PEMBAHASAN
Pengertian Hukum Perikatan ................................................................................5
Dasar Hukum Hukum Perikatan ....................................................................5
Azas-azas Dalam Hukum Perikatan ....................................................................7
Wanprestasi dan Akibat-akibatnya ....................................................................8
Hapusnya Perikatan ............................................................................................9

BAB III PENUTUP


Kesimpulan...........................................................................................................15
Saran ..................................................................................................................16

DAFTAR
PUSTAKA ..............................................................................................................17
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Manusia hidup dan berkembang dalam suatu susunan masyarakat sosial yang mana di
dalamnya terdapat saling ketergantungan satu sama lain, seorang manusia tidak akan dapat
hidup sendiri dan akan selalu membutuhkan orang yang lain untuk mendampingi hidupnya.
Berbicara mengenai kehidupan masyarakat tentu tidak terlepas dari yang namanya kehidupan
sosial, dalam struktur kehidupan bermasyarakat tentu terdapat berbagai hal yang dianggap
sebagai pengatur yang bersifat kekal, mengikat dan memiliki sanksi yang tegas bagi para
pelanggarnya. Hal tersebut dapat dikatakan sebagai hukum. Hukum yang kini akan kita bahas
merupakan hukum yang mengatur segala bentuk tindakan antar perseorangan atau antar
sesama manusia, hukum ini dapat kita sebut sebagai hukum perdata.
Dalam hukum perdata ini banyak sekali hal yang dapat menjadi cangkupannya, salah satunya
adalah perikatan. Perikatan adalah suatu hubungan hukum dalam lapangan harta kekayaan
antara dua orang atau lebih di mana pihak yang satu berhak atas sesuatu dan pihak lain
berkewajiban atas sesuatu. Hubungan hukum dalam harta kekayaan ini merupakan suatu
akibat hukum, akibat hukum dari suatu perjanjian atau peristiwa hukum lain yang
menimbulkan perikatan.
Di dalam hukum perikatan setiap orang dapat mengadakan perikatan yang bersumber pada
perjanjian, perjanjian apapun dan bagaimana pun, baik itu yang diatur dengan undang-undang
atau tidak,inilah yang disebut dengan kebebasan berkontrak, dengan syarat kebebasan
berkontrak harus halal, dan tidak melanggar hukum, sebagaimana yang telah diatur dalam
Undang-Undang. Di dalam perikatan ada perikatan untuk berbuat sesuatu dan untuk tidak
berbuat sesuatu. Yang dimaksud dengan perikatan untuk berbuat sesuatu adalah melakukan
perbuatan yang sifatnya positif, halal, tidak melanggar undang-undang dan sesuai dengan
perjanjian. Sedangkan perikatan untuk tidak berbuat sesuatu yaitu untuk tidak melakukan
perbuatan tertentu yang telah disepakati dalam perjanjian.
Dalam perikatan terdapat beberapa pokok bahasan diantaranya: Ketentuan Umum Perikatan,
Prestasi dan Wanprestasi, Jenis-Jenis Perikatan, Perbuatan Melawan Hukum, Perwakilan
Sukarela, Pembayaran Tanpa Utang dan Hapusnya Perikatan.
Rumusan Masalah

Dari latar belakang di atas dapat dirumuskan beberapa rumusan masalah yang menjadi dasar
pembahasan materi kami, diantaranya :
Apa yang dimaksud dengan hukum perikatan ?
Apa saja dasar hukum perikatan dan asas-asas hukum perikatan ?
Bagaimana cara menghapuskan perikatan ?

Tujuan Penulisan

1. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan hokum perikatan,


2. Untuk mengetahui dasar hukum perikatan dan asas-asas hukum perikatan
3. Untuk mengetahui bagaimana cara untuk menghapuskan perikatan.

Manfaat Penulisan

Sebagai tambahan pengetahuan bagi penulis maupun pembaca,


Membuka wawasan tentang hukum perikatan dan bagian-bagian yang lainnya termasuk dasar
hukum, asas-asas hukum perikatan maupun cara penghapusannya,
Memberikan fakta dan gambaran yang relevan mengenai hukum perikatan.

BAB II
PEMBAHASAN

Pengertian Hukum Perikatan

Perikatan dalam bahasa Belanda disebut “ver bintenis”. Istilah perikatan ini lebih umum
dipakai dalam literatur hukum di Indonesia. Perikatan dalam hal ini berarti ; hal yang
mengikat orang yang satu terhadap orang yang lain. Hal yang mengikat itu menurut
kenyataannya dapat berupa perbuatan, misalnya jual beli barang. Dapat berupa peristiwa,
misalnya lahirnya seorang bayi, meninggalnya seorang. Dapat berupa keadaan, misalnya;
letak pekarangan yang berdekatan, letak rumah yang bergandengan atau letak rumah yang
bersusun (rusun). Karena hal yang mengikat itu selalu ada dalam kehidupan bermasyarakat,
maka oleh pembentuk undang-undang atau oleh masyarakat sendiri diakui dan diberi ‘akibat
hukum’. Dengan demikian, perikatan yang terjadi antara orang yang satu dengan yang lain itu
disebut hubungan hukum.
Jika dirumuskan, perikatan adalah adalah suatu hubungan hukum dalam lapangan harta
kekayaan antara dua orang atau lebih di mana pihak yang satu berhak atas sesuatu dan pihak
lain berkewajiban atas sesuatu. Hubungan hukum dalam harta kekayaan ini merupakan suatu
akibat hukum, akibat hukum dari suatu perjanjian atau peristiwa hukum lain yang
menimbulkan perikatan. Dari rumusan ini dapat diketahui bahwa perikatan itu terdapat dalam
bidang hukum harta kekayaan (law of property), juga terdapat dalam bidang hukum keluarga
(family law), dalam bidang hukum waris (law of succession) serta dalam bidang hukum
pribadi (pers onal law).
Menurut ilmu pengetahuan Hukum Perdata, pengertian perikatan adalah suatu hubungan
dalam lapangan harta kekayaan antara dua orang atau lebih dimana pihak yang satu berhak
atas sesuatu dan pihak lain berkewajiban atas sesuatu.
Beberapa sarjana juga telah memberikan pengertian mengenai perikatan. Pitlo memberikan
pengertian perikatan yaitu suatu hubungan hukum yang bersifat harta kekayaan antara dua
orang atau lebih, atas dasar mana pihak yang satu berhak (kreditur) dan pihak lain
berkewajiban (debitur) atas suatu prestasi. Pengertian perikatan menurutHofmann adalah
suatu hubungan hukum antara sejumlah terbatas subjek-subjek hukum sehubungan dengan itu
seorang atau beberapa orang daripadanya (debitur atau pada debitur) mengikatkan dirinya
untuk bersikap menurut cara-cara tertentu terhadap pihak yang lain, yang berhak atas sikap
yang demikian itu.
Istilah perikatan sudah tepat sekali untuk melukiskan suatu pengertian yang sama yang
dimaksudkan verbintenisdalam bahasa Belanda yaitu suatu hubungan hukum antara dua
pihak yang isinya adalah hak an kewajiban untuk memenuhi tuntutan tersebut.
Dalam beberapa pengertian yang telah dijabarkan di atas, keseluruhan pengertian tersebut
menandakan bahwa pengertian perikatan yang dimaksud adalah suatu pengertian yang
abstrak, yaitu suatu hal yang tidak dapat dilihat tetapi hanya dapat dibayangkan dalam pikiran
kita. Untuk mengkonkretkan pengertian perikatan yang abstrak maka perlu adanya suatu
perjanjian. Oleh karena itu, hubungan antara perikatan dan perjanjian adalah demikian,
bahwa perikatan itu dilahirkan dari suatu perjanjian.
Di dalam hukum perikatan, terdapat sistem yang terbuka, dan yang dimaksud dengan system
terbuka adalah setiap orang dapat mengadakan perikatan yang bersumber pada perjanjian,
perjanjian apapun dan bagaimanapun, baik itu yang diatur dengan undang-undang atau tidak,
inilah yang disebut dengan kebebasan berkontrak, dengan syarat kebebasan berkontrak harus
halal, dan tidak melanggar hukum, sebagaimana yang telah diatur dalam Undang-undang. Di
dalam perikatan ada perikatan untuk berbuat sesuatu dan untuk tidak berbuat sesuatu. Yang
dimaksud dengan perikatan untuk berbuat sesuatu adalah melakukan perbuatan yang sifatnya
positif, halal, tidak melanggar undang-undang dan sesuai dengan perjanjian. Sedangkan
perikatan untuk tidak berbuat sesuatu yaitu untuk tidak melakukan perbuatan tertentu yang
telah disepakati dalam perjanjian.

Dasar Hukum Perikatan

Sumber-sumber hukum perikatan yang ada di Indonesia adalah perjanjian dan undang-
undang, dan sumber dari undang-undang dapat dibagi lagi menjadi undang-undang melulu
dan undang-undang dan perbuatan manusia. Sumber undang-undang dan perbuatan manusia
dibagi lagi menjadi perbuatan yang menurut hukum dan perbuatan yang melawan hukum.
Dasar hukum perikatan berdasarkan KUH Perdata terdapat tiga sumber adalah sebagai
berikut :
Perikatan yang timbul dari persetujuan ( perjanjian)
Perikatan yang timbul dari undang-undang
Perikatan terjadi bukan perjanjian, tetapi terjadi karena perbuatan melanggar hukum
( onrechtmatige daad ) dan perwakilan sukarela ( zaakwaarneming )

Sumber perikatan berdasarkan undang-undang :


Perikatan ( Pasal 1233 KUH Perdata ) : Perikatan, lahir karena suatu persetujuan atau karena
undang-undang. Perikatan ditujukan untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu, atau
untuk tidak berbuat sesuatu.
Persetujuan ( Pasal 1313 KUH Perdata ) : Suatu persetujuan adalah suatu perbuatan dimana
satu orang atau lebih mengikatkan diri terhadap satu orang lain atau lebih.
Undang-undang ( Pasal 1352 KUH Perdata ) : Perikatan yang lahir karena undang-undang
timbul dari undang-undang atau dari undang-undang sebagai akibat perbuatan orang.
Azas-azas Dalam Hukum Perikatan

Asas-asas dalam hukum perjanjian diatur dalam Buku III KUH Perdata, yakni menganut azas
kebebasan berkontrak dan azas konsensualisme.
Asas Kebebasan Berkontrak

Asas kebebasan berkontrak terlihat di dalam Pasal 1338 KUHP Perdata yang menyebutkan
bahwa segala sesuatu perjanjian yang dibuat adalah sah bagi para pihak yang membuatnya
dan berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.
Asas konsensualisme

Asas konsensualisme, artinya bahwa perjanjian itu lahir pada saat tercapainya kata sepakat
antara para pihak mengenai hal-hal yang pokok dan tidak memerlukan sesuatu formalitas.
Dengan demikian, azas konsensualisme lazim disimpulkan dalam Pasal 1320 KUHP Perdata.
Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat adalah
Kata Sepakat antara Para Pihak yang Mengikatkan Diri
Kata sepakat antara para pihak yang mengikatkan diri, yakni para pihak yang mengadakan
perjanjian harus saling setuju dan seia sekata dalam hal yang pokok dari perjanjian yang akan
diadakan tersebut.
Cakap untuk Membuat Suatu Perjanjian
Cakap untuk membuat suatu perjanjian, artinya bahwa para pihak harus cakap menurut
hukum, yaitu telah dewasa (berusia 21 tahun) dan tidak di bawah pengampuan.

Mengenai Suatu Hal Tertentu


Mengenai suatu hal tertentu, artinya apa yang akan diperjanjikan harus jelas dan terinci
(jenis, jumlah, dan harga) atau keterangan terhadap objek, diketahui hak dan kewajiban tiap-
tiap pihak, sehingga tidak akan terjadi suatu perselisihan antara para pihak.
Suatu sebab yang Halal
Suatu sebab yang halal, artinya isi perjanjian itu harus mempunyai tujuan (causa) yang
diperbolehkan oleh undang-undang, kesusilaan, atau ketertiban umum.
Wanprestasi dan Akibat-akibatnya

Wansprestasi timbul apabila salah satu pihak (debitur) tidak melakukan apa yang
diperjanjikan. Adapun bentuk dari wansprestasi bisa berupa empat kategori, yakni :
Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya;
Melaksanakan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana yang dijanjikan;
Melakukan apa yang dijanjikan tetapi terlambat;
Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya.

Akibat-akibat wansprestasi berupa hukuman atau akibat-akibat bagi debitur yang melakukan
wansprestasi , dapat digolongkan menjadi tiga kategori, yakni :
Membayar Kerugian yang Diderita oleh Kreditur (Ganti Rugi)
Ganti rugi sering diperinci meliputi tinga unsure, yakni:
Biaya adalah segala pengeluaran atau perongkosan yang nyata-nyata sudah dikeluarkan oleh
salah satu pihak;
Rugi adalah kerugian karena kerusakan barang-barang kepunyaan kreditor yang diakibat oleh
kelalaian si debitor;
Bunga adalah kerugian yang berupa kehilangan keuntungan yang sudah dibayangkan atau
dihitung oleh kreditor.
Pembatalan Perjanjian atau Pemecahan Perjanjian
Di dalam pembatasan tuntutan ganti rugi telah diatur dalam Pasal 1247 dan Pasal 1248 KUH
Perdata. Pembatalan perjanjian atau pemecahan perjanjian bertujuan membawa kedua belah
pihak kembali pada keadaan sebelum perjanjian diadakan.
Peralihan Risiko
Peralihan risiko adalah kewajiban untuk memikul kerugian jika terjadi suatu peristiwa di luar
kesalahan salah satu pihak yang menimpa barang dan menjadi obyek perjanjian sesuai
dengan Pasal 1237 KUH perdata.

HAPUSNYA PERIKATAN

Menurut Ketentuan pasal 1381 KUH Perdata, ada sepuluh cara hapusnya perikatan. Kespeluh
cara tersebut diuraikan satu demi satu berikut ini :
Pembayaran
Yang dimaksud dengan pembayaran dalam hal ini tidak hanya meliputi penyerahan sejumlah
uang, tetapi juga penyerahan suatu benda. Dalam hal objek perikatan adalah pembayaran
uang dan penyerahan benda secara timbal balik, perikatan baru berakhir setelah pembayaran
uang dan penyerahan benda.

Penawaran Pembayaran Tunai Diikuti Penitipan


Jika debitor telah melakukan penawaran pembayaran dengan perantaraan notaries, kemudian
kreditor menolak penawaran tersebut, atas penolakan kreditor itu kemudian debitor
menitipkan pembayaran itu kepada panitera pengadilan negeri untuk disimpan. Dengan
demikian, perikatan menjadi hapus ( Pasal 1404 KUH Perdata ). Supaya penawaran
pembayaran itu sah perlu dipenuhi syarat-syarat :
Dilakukan kepada kreditor atau kuasanya;
Dilakukan oleh debitor yang wenang membayar;
Mengenai semua uang pokok, bunga, dan biaya yang telah ditetapkan;
Waktu yang ditetapkan telah tiba;
Syarat dimana utang dibuat telah terpenuhi;
Penawaran pembayaran dilakukan di tempat yang telah ditetapkan atau ditempat yang telah
disetujui; dan
Penawaran pembayaran dilakukan oleh notaries atau juru sita disertai oleh dua orang saksi.

Pembaruan Utang ( Novasi )


Pembaruan utang terjadi dengan cara mengganti utang lama dengan utang baru, debitor lama
dengan debitor baru. Dalam hal utang lama diganti dengan utang baru, terjadilah penggantian
objek perikatan, yang disebut “ Novasi Objektif”. Disini utang lama lenyap. Dalam hal terjadi
penggantian orangnya (subyeknya), maka jika debitornya yang diganti, pembaruan ini disebut
“Novasi Subjektif Pasif” jika kreditornya yang diganti, pembaruan ini disebut “novasi
subjektif aktif”. Dalam hal ini utang lama lenyap.

Perjumpaan Utang (kompensasi)


Dikatakan ada penjumpaan utang apabila utang piutang debitor dan kreditor secara timbale
balik dilakukan perhitungan. Dengan perhitungan itu utang piutang lama lenyap. Supaya
utang itu dapat diperjumpakan perlu dipenuhi syarat-syarat :
Berupa sejumlah uang atau benda yang dapat dihabiskan dari jenis dan kualitas yang sama;
Utang itu harus sudah dapat ditagih; dan
Utang itu seketika dapat ditentukan atau ditetapkan jumlahnnya (pasal 1427 KUH Perdata)

Setiap utang apapun sebabbnya dapat diperjumpakan, kecuali dalam hal berikut ini :
Apabila dituntut pengembalian suatu benda yang secara melawan hukum dirampas dari
pemiliknya, misalnya karena pencurian;
Apabila dituntut pengembalian barang sesuatu yang dititipkan atau dipinjamkan;
Terhadap suatu utang yang bersumber pada tunjangan napkah yang telah dinyatakan tidak
dapat disita (Pasal 1429 KUH Perdata) ;
Utang-utang Negara berupa pajak tidak mungkin dilakukan perjumpaan utang
(yurisprudensi); dan
Utang utang yang timbul dari perikatan wajar tidak mungkin dilakukan perjumpaan hutang
(yurisprudensi).

Pencampuran Utang
Menurut ketentuan Pasal 1436 KUH Perdata, Pencampuran utang itu terjadi apabila
kedudukan kreditor dan debitor itu menjadi satu tangan. Pencampuran utang tersebut terjadi
demi hukum. Pada pencampuran hutang ini utang piutang menjadi lenyap.

Pembebasan Utang
Pembebasan utang dapat terjadi apabila kreditor dengan tegas menyatakan tidak
menghendaki lagi prestasi dari debitor dan melepaskan haknya atas pembayaran atau
pemenuhan perikatan dengan pembebasan ini perikatan menjadi lenyap atau hapus.
Menurut ketentuan pasal 1438 KUH Perdata, pembebasan suatu hutang tidak boleh
didasarkan pada persangkaan, tetapi harus di buktikan. Pasal 1439 KUH Perdata menyatakan
bahwa pengembalian surat piutang asli secara sukarela oleh kreditor kepada debitor
merupakan bukti tentang pembebasan utangnya.

Musnahnya benda yang terutang


Menurut ketentuan pasal 1444 KUH Perdata, apabila benda tertentu yang menjadi objek
perikatan itu musnah, tidak dapat lagi diperdangkan, atau hilang bukan karena kesalahan
debitor, dan sebelum dia lalai , menyerahkannya pada waktu yang telah ditentukan; perikatan
menjadi hapus (lenyap) akan tetapi, bagi mereka yang memperoleh benda itu secara tidak
sah, misalnya, kerena pencurian, maka musnah atau hilangnya benda itu tidak membebaskan
debitor (orang yang mencuri itu) untuk mengganti harganya.
Meskipun debitor lalai menyerahkna benda itu dia juga akan bebas dari perikatan itu apabila
dapat membuktikan bahwa musnah atau hilangnya benda itu disebabkan oleh suatu keadaan
di luar kekuasaannya dan benda itu juga akan mengalami peristiwa yang sama measkipun
sudah berada di tangn kreditor.

Karena pembatalan
Menurut ketentuan pasala 1320 KUH Perdata, apabila suatu perikatan tidak memenuhi
syarat-syarat subjektif. Artinya, salah satu pihak belum dewasa atau tidak wenang melakukan
perbuatan hukum, maka perikatan itu tidak batal, tetapi “dapat dibatalkan” (vernietigbaar,
voidable). Perikatan yang tidak memenuhi syarat subjektif dapat dimintakan pembatalannya
kepada pengadilan negeri melalui dua cara, yaitu :
Dengan cara aktif
Yaitu menuntut pembatalan melalui pengadilan negeri dengan cara mengajukan gugatan.
Dengan cara pembelaan
Yaitu menunggu sampai digugat di muka pengadilan negeri untuk memenuhi perikatan dan
baru diajukan alasan tentang kekurangan perikatan itu.
Untuk pembatalan secara aktif, Undang-undang memberikan pembatasan waktu, yaitu lima
tahun (pasal 1445 KUH Perdata), sedangkan untuk pembatalan sebagai pembelaan tidak
diadakan pembatasan waktu.

Berlaku Syarat Batal


Syarat batal yang dimaksud disini adalah ketentuan isis perikatan yang disetujui oleh kedua
pihak, syarat tersebut apabila dipenuhi mengakibatkan perikatan itu batal (nietig, void)
sehingga perikatan menjadi hapus. Syarat ini disebut “syarat batal”. Syarat batal pada asasnya
selalu berlaki surut, yaitu sejak perikatan itu dibuat. Perikatan yang batal dipulihkan dalam
keadaan semula seolah-olah tidak pernah terjadi perkatan.

Lampau Waktu (kadaluarsa)


Menurut ketentuan pasal 1946 KUH Perdata, lampau waktu adalah alat untuk memperolah
sesuatu atau untuk dibebaskan dari suatu perikatan dengan lewatnya suatu waktu tertentu dan
syarat-syarat yang ditentukan oleh Undang-undang. Atas dasar ketentuan pasal tersebut dapat
diketahui ada dua macam lampau waktu yaitu :
Lampau waktu untuk memperolah hak milik atas suatu benda disebut acquisitieve verjaring.
Lampau waktu untuk dibebaskan dari suatu perikatan atau dibebaskan dari tuntutan disebut
extinctieve verjaring.
Menurut ketentuan pasal 1963 KUH Perdata, untuk memperoleh hak milik atas suatu benda
berdasar pada daluarsa (lampau waktu) harus dipenuhi unsur-unsur adanya iktkad baik; ada
alas hak yang sah; menguasai benda it uterus-menerus selama dua puluh tahu tanpa ada yang
mengggugat, jika tanpa alas hak, menguasai benda itu secara terus-menerus selama 30 tahun
tanpa ada yang mengugat.
Pasal 1967 KUH perdata menentukan bahwa segala tuntutan, baik yang bersifat kebendaan
maupun yang bersifat perorangan hapus karena daluarsa, dengan lewat waktu 30 tahun.
Sedangkan orang yang menunujukkan adanya daluarsa itu tidak usah menunjukkan alas hak
dan tidak dapat diajukan terhadapnya tangkisan yang berdasar pada iktikad buruk.
Benda bergerak yang bukan bunga atau piuatang yang bukan atas tunjuk (niet aan toonder),
siapa yang menguaisainya dianggap sebagai pemiliknya. Walaupun demikian, jika ada orang
yang kehilangan atau kecurian suatu benda, dalam jangka waktu 3 tahun terhitung sejak hari
hilangnya atau dicurigainya benda itu, dia dapat menuntut kembali bendanya yang hilang
atau dicuri itu sebagai miliknya dari tangan siapapun yang menuasainya. Pemegang benda
terakhir dapat menuntut pada orang terakhir yang menyerahkan atau menjual kepadanya
suatu ganti kerugian (pasal 1977 KUH Perdata).
Daluarsa tidak berjalan atau tertangguh dalam hal-hal seperti tersebut berikut ini:
Terhadap anak yang belum dewasa, orang di bawah pengampuan;
Terhadap istri selam perkawinan (ketentuan ini tidak berlaku lagi)
Terhadap piutang yang digantungkan pada suatu syarat selama syarat itu tidak terpenuhi; dan
Terhadap seorang ahli waris yang telah menerima suatu warisan dengan hak istimewa untuk
membuat pendaftaran harta peninggalan mengenai hutang-piutangnya (pasal 1987-1991 KUH
Perdata).
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

kesimpulan dari makalah di atas dengan materi hukum perikatan dapat kita simpulkan bahwa
hubungan hukum yang terjadi diantara dua orang pihak atau lebih, yakni pihak yang satu
berhak atas prestasi dan pihak lainnya wajib memenuhi prestasi, begitu juga sebaliknya.
Maka dari pengertian hukum perikatan di atas, dapat dihubungkan perikatan dengan
perjanjian adalah perjanjian yang menimbulkan perikatan. Perjanjian merupakan salah satu
sumber yang paling banyak menumbulkan perikatan karena hukum perjanjian menganut
sistim terbuka. Dan makalah ini pun membahas tentang seluk-beluk mengenai hukum
perikatan di antara nya : pengertian hukum perikatan, dasar hukum perikatan, azas-azas
hukum perikatan, wanprestasi dan akibat-akibatnya, dan hapusnya perikatan. Hukum
perikatan pun tertera dalam undang-undang yang berbunyi :
Perikatan ( Pasal 1233 KUH Perdata ) : Perikatan, lahir karena suatu persetujuan atau karena
undang-undang. Perikatan ditujukan untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu, atau
untuk tidak berbuat sesuatu.
Persetujuan ( Pasal 1313 KUH Perdata ) : Suatu persetujuan adalah suatu perbuatan dimana
satu orang atau lebih mengikatkan diri terhadap satu orang lain atau lebih.
Undang-undang ( Pasal 1352 KUH Perdata ) : Perikatan yang lahir karena undang-undang
timbul dari undang-undang atau dari undang-undang sebagai akibat perbuatan orang.
Dan disimpulkan dalam Pasal 1320 KUHP Perdata. Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan
empat syarat adalah :
1. Kata Sepakat antara Para Pihak yang Mengikatkan Diri
2. Cakap untuk Membuat Suatu Perjanjian
3. Mengenai Suatu Hal Tertentu
4. Suatu sebab yang Halal
Saran
Dari penjelasan yang telah saya paparkan sebelumnya terdapat sebuah kelebihan dan
kekurangannya masing-masing, namun untuk meningkatkan pemaparan di atas adapun saran-
saran untuk menunjang sebuah peningkatan dari materi maupun penerapannya.
Alangkah baiknya jika hukum perikatan ini tidak hanya dijadikan sebagai materi yang
membantu proses pemahaman mahasiswa saja namun dapat digunakan langsung atau
dipraktekan secara langsung dalam kehidupan sehari-hari atau dalam proses pembelajaran.
Sebaiknya pemerintah dan masyakarat dapat membangun kerja sama yang baik dalam
mengarahkan proses berlangsungnya perikatan yang ada di dalam kehidupan sehari-hari.
Alangkah baiknya jika setiap individu dapat menerapkan dan mengerti benar mengenai
materi yang sudah kami paparkan di atas.

DAFTAR PUSTAKA

https://p4hrul.wordpress.com/2012/04/19/hukum-perikatan/
http://www.scribd.com/doc/20976269/Definisi-Hukum-Perikatan
http://www.scribd.com/doc/16733475/Hukum-Perikatan
http://saifulanamlaw.blogspot.co.id/2013/08/asas-asas-hukum-perikatan-yang-harus.html

Anda mungkin juga menyukai