Anda di halaman 1dari 35

A.

KEWAJIBAN LANCAR
Kewajiban lancar adalah utang yang diharapkan akan dibayar (1) dalam
jangka waktu satu tahun atau satu siklus operasi normal perusahaan (tergantung
mana yang lebih panjang), dan (2) dengan menggunakan aset lancar yang ada atau
hasil dari pembentukan kewajiban lancar yang lain. Kewajiban lancar meliputi
utang wesel, utang dagang, pendapatan diterima di muka, dan beban-beban yang
masih harus dibayar seperti utang gaji, utang pajak, dan utang bunga.
Perusahaan harus selalu memperhatikan besarnya kewajiban lancar dalam
hubungannya dengan jumlah aset lancar. Perusahaan yang memiliki kewajiban
lancar lebih besar dari aset lancar berada dalam kondisi yang mengkhawatirkan,
karena ada kemungkinan perusahaan dengan kondisi seperti itu tidak akan dapat
melunasi kewajiban yang segera harus dibayar. Oleh karena itu, manajemen,
kreditur, dan investor biasanya memberi perhatian khusus pada jumlah modal
kerja (aset lancar dikurangi kewajiban lancar), dan perbandingan antara aset
lancar dengar kewaiiban lancar yang disebut rasio lancar (current ratio).

B. JENIS-JENIS KEWAJIBAN LANCAR


Beberapa diantara kewajiban lancar yang disebutkan di atas, telah kita
kenal pada bab-bab yang lalu. Misalnya jurnal untuk mencatat terjadinya utang
dagang, dan jurnal penyesuaian untuk mencatat utang beban telah dibahas dalam
Dasar-dasar Akuntansi Jilid I. Beberapa jenis kewajiban lancar lainnya akan
dibahas di bawah ini.
1. UTANG WESEL
Kewajiban yang didukung dengan bukti tertulis secara formal, dalam
bentuk wesel atau promes, disebut utang wesel atau wesel bayar. Fihak yang
mempunyai tagihan akan lebih menyukai wesel, karena terdapat bukti yang
kuat untuk menuntut pembayaran, lebih-lebih jika harus berperkara di
pengadilan. Utang wesel biasanya mengharuskan fihak yang berutang untuk
membayar bunga, dan utang semacam ini biasanya diambil untuk memenuhi
kebutuhan dana jangka pendek.
Wesel bisa dibuat dengan jangka waktu yang berbeda-beda. Apabila
jangka waktu wesel kurang dari satu tahun, maka wesel tersebut
digolongkan sebagai kewajiban lancar atau kewajiban jangka pendek. Wesel
bisa berbunga atau tidak berbunga.
a. Wesel Berbunga
Misalkan Bank Duta Pertiwi menyetujui untuk memberi pinjaman
sebesar Rp 10.000.000,00 pada tanggal 1 Oktober 2012. Untuk itu bank
minta kepada CV Progo untuk menandatangani sebuah promes dengan
bunga 12%, dengan jangka waktu 4 bulan. Apabila wesel berbunga, maka
jumlah uang yang diterima CV Progo setelah wesel ditandatangani adalah
sebesar nilai nominal wesel tersebut.
Seandainya tahun buku CV Progo berakhir tanggal 31 Desember,
dan pada tanggal tersebut perusahaan menyusun neraca, maka pada tanggal
31 Desember perlu dibuat jurnal penyesuaian untuk mencatat utang bunga
sebesar Rp 300.000,00 (Rp 10.000.000,00 x 12% x 3/12) yaitu untuk
periode bulan Oktober sampai dengan Desember 2012.
Pada tanggal jatuh wesel, CV Progo harus membayar nilai jatuh
wesel yang terdiri dari nilai nominal wesel Rp 10.000.000,00 ditambah
beban bunga Rp 400.000,00 (Rp 10.000.000,00 x 12% x 4/12). Pada saat
pelunasan, beban bunga yang diperhitungkan hanya satu bulan, sebab beban
bunga untuk periode Oktober sampai dengan Desember 2012, telah
dibebankan sebagai beban untuk periode tahun 2012 yang lalu.
b. Wesel Tidak Berbunga
Seperti disebutkan di atas, wesel mungkin dibuat tanpa bunga. Wesel
tidak berbunga adalah wesel yang tidak secara eksplisit menyebutkan tingkat
bunga tertentu dalam surat wesel yang bersangkutan. Sebenarnya wesel
tersebut tetap mengandung bunga, karena peminjam diwajibkan membayar
jumlah yang lebih besar pada tanggal jatuh dibandingkan dengan jumlah
pinjaman yang diterimanya. Dalam hal ini, bunga wesel adalah selisih
antara jumlah yang dibayar pada tanggal jatuh dengan jumlah pinjaman
yang diterima pada saat wesel ditandatangani. Dengan perkataan lain,
peminjam menerima kas sebesar nilai tunai atau nilai wesel saat ini (present
value).
Nilai tunai adalah sama dengan nilai nominal wesel pada tanggal
jatuh dikurangi bunga atau diskonto yang dibebankan oleh fihak pemberi
pinjaman selama jangka waktu wesel. Sebagai contoh, misalkan CV Progo
menandatangani wesel tanpa bunga dengan nilai nominal Rp 10.400.000,00,
jangka waktu 4 bulan, pada Bank Duta Pertiwi. Nilai tunai wesel adalah Rp
10.000.000,00. Jurnal untuk mencatat transaksi di atas dalam pembukuan
CV Progo adalah sebagai berikut:
Dalam jurnal di atas, akun Utang Wesel dikredit sebesar nilai
nominal wesel yaitu Rp10.400.000,00 yang jumlahnya lebih besar daripada
jumlah kas yang diterima. Selisih antara nilai nominal wesel dengan jumlah
kas yang diterima didebetkan ke akun Diskonto Utang Wesel. Akun
Diskonto Utang Wesel a merupakan lawan (contra account) terhadap akun
Utang Vesel. Oleh karena itu akun ini dalam neraca dikurangkan terhadap
akun Utang Wesel. Dalam contoh di atas, jumlah diskonto sebesar Rp
400.000,00 merupakan beban peminjaman uang selama 4 bulan. Oleh
karena itu beban tersebut harus dibebankan sebagai beban bunga selama
jangka waktu wesel. Saldo akun Diskonto Utang Wesel yang ada pada suatu
saat menunjukkan saldo akun ini yang akan dibawa ke periode berikutnya.
Diskonto utang wesel bisa dikurangi jumlahnya secara bertahap
dalam jumlah yang sama besarnya (garis lurus) selama jangka waktu reset.
Semakin rendah jumlah saldo akun diskonto, maka saldo bersih akun
kewajiban semakin naik. Seandainya CV Progo menyusun laporan
keuangan setiap tanggal 31 Desember, maka pada tanggal 31 Desember
2012 harus dibuat jurnal penyesuaian untuk mengakui beban bunga selama
tahun 2012 dan mengurangi saldo akun Diskonto Utang Wesel sebesar Rp
300.000,00 (3/4 x Rp400.000,00).
c. Perbandingan Wesel Berbunga Dan Wesel Tidak Berbunga
Dari uraian tentang wesel tidak berbunga di atas, nampak bahwa
istilah wesel tidak berbunga tidaklah tepat. Sebenarnya tidak ada wesel yang
tidak berbunga. Dalam contoh di atas terlihat jelas bahwa dalam wesel
berbunga maupun wesel tidak berbunga, tetap ada perhitungan bunga.
Apabila akuntansi wesel berbunga dan wesel tidak berbunga pada CV Progo
dibandingkan maka akan nampak bahwa hasil keduanya persis sama.
Berikut adalah perbandingan penyajian dalam laporan laba-rugi dan neraca
yang dihasilkan untuk wesel berbunga dan wesel tidak berbunga pada
tanggal 31 Desember 2012:

WESEL BERBUNGA WESEL TIDAK BERBUNGA

Laroran Laba-Rugi Laporan Laba-Rugi

Beban Bunga Rp 300.000,00 Beban Bunga Rp 300.000,00

Neraca Neraca

Utang Wesel Rp 10.000.000,00 Utang Wesel Rp 10.400.000,00


Utang Bunga 300.000,00 Diskonto Wesel (100.000,00)
Rp 10.300.000,00 Rp 10.300.000,00

2. UTANG PAJAK
Menurut Al Haryono Jusup, sebagai konsumen kita sering dikenai pajak
atas barang/jasa yang kita beli, misalnya apabila kita menginap di hotel, atau
apabila kita membeli barang-barang tertentu, misalnya mobil. Pajak ini
dinamakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atau pajak penjualan. Tarif
pajak ditetapkan atas dasar persentase tertentu dari harga jual. Pihak penjual
memungut pajak tersebut dari pembeli pada saat penjualan terjadi, dan secara
periodik (biasanya secara bulanan) menyetorkannya ke Kas Negara. Dengan
demikian, pajak yang dipungut dari pembeli untuk disetorkan ke Kas Negara
ditinjau dari pihak penjual merupakan utang kepada negara yang disebut
Utang Pajak PPN. (Al Haryono Jusup, Dasar-Dasar Akuntansi Jilid 2, 203:
2011)
3. PENDAPATAN DITERIMA DI MUKA
Menurut Al Haryono Jusup, perusahaan kadang-kadang menerima
pembayaran di muka atas barang atau jasa yang penyerahannya akan
dilakukan di waktu yang akan datang. Seperti perusahaan penerbangan
sering menjual tiket untuk penerbangan bulan berikutnya. Penerimaan kas
yang terjadi sebelum barang/jasa diserahkan kepada pembeli, harus
diberlakukan sebagai utang, karena penjual mempunyai kewajiban untuk
menyerahkan barang/jasa di waktu yang akan datang. Pencatatan atas
penerimaan pendapatan diterima di muka dan penyelesaiannya adalah
sebagai berikut :
1. Apabila perusahaan menerima pembayaran di muka dari pembeli,
maka akun Kas didebet dan akun utang yang disebut Pendapatan
Diterima Di Muka dikredit.
2. Apabila barang telah dikirimkan atau jasa telah diberikan, maka
akun Pendapatan Diterima Di Muka didebet, dan akun
Pendapatan didebet.
Sebagai contoh, misalkan pada tanggal 1 Desember 2012, CV
Serayu menerima pesanan 400 buah kursi kuliah dari PT Merbabu dengan
harga Rp 100.000 per buah. Pada tanggal tersebut PT Merbabu membayar
uang muka sebesar Rp 25.000.000, jurnal yang dibut CV Serayu untuk
mencatat penerimaan kas adalah :
2012 Kas Rp 25.000.000
Des 1
Pendapatan Diterima di Muka Rp 25.000.000

(untuk mencatat penerimaan uang


muka atas pesanan 400 buah
kursi)
Pada tanggal 31 Desember, CV Serayu mngirimkan 100 buah kursi
sebagai penyerahan tahap pertama. Jurnal yang harus dibuat untuk
mencatat pendapatan dari 100 buah kursi yang sudah diserahkan
adalah :
2012 Pendapatan Diterima di Muka Rp 10.000.000
Des 31
Penjualan Rp 10.000.000

(untuk mencatat pendapatan atas


penyerahan 100 buah kursi)

Selain jurnal diatas, CV Serayu juga membuat jurnal untuk


mencatat harga pokok penjualan dan pengurangan persediaan
(misalkan harga pokok per buah kursi Rp 60.000) sebagai berikut :
2012 Harga Pokok Penjualan Rp 6.000.000
Des 31
Persediaan Rp 6.000.000

(untuk mencatat pendapatan atas


penyerahan 100 buah kursi)

Dari contoh diatas, jelas bahwa suatu penerimaan kas di muka merupakan
kewajiban. Penerimaan ini baru akan menjadi pendapatan apabila barang/jasa
telah diserahkan kepada pemberi uang muka. Dengan demikian, saldo akun
Pendapatan Diterima di Muka mencerminkan kewajiban perusahaan untuk
menyerahkan barang/jasa di masa yang akan datang. (Al Haryono Jusup,
Dasar-Dasar Akuntansi Jilid 2, 204-206: 2011)
4. BAGIAN DARI UTANG JANGKA PANJANG YANG JATUH
TEMPO DALAM PERIODEBERJALAN/TAHUN DEPAN
Menurut Al Haryono Jusup, perusahaan kadang-kadang mempunyai
kewajiban jangka panjang yang sebagian diantaranya akan jatuh tempo
(harus dibayar) dalam waktu tidak lebih dari 1 tahun sejak tanggal neraca.
Sebagai contoh, misalkan PT Kerinci pada tanggal 1 Januari 2010
menerima pinjaman jangka panjang dari Bank Nusantara. Pada tanggal
tersebut ditandatangani sebuah promes bernilai nominal Rp 25.000.000
dengan jangka waktu 5 tahun. Dalam perjanjian ditetapkan bahwa promes
tersebut harus diangsur pada setiap tanggal 1 Januari (mulai 1 Januari
2011) sebesar Rp 5.000.000. Maka, untuk menyusun neraca PT Kerinci
pada tanggal 31 Desmber 2010 adalah 1/5 bagian dari utang wesel (Rp
5.000.000) harus dilaporkan sebagai kewajiban jangka pendek, sedangkan
sisanya (Rp 20.000.000) dilaporkan sebagai kewajiban jangka panjang.
(Al Haryono Jusup, Dasar-Dasar Akuntansi Jilid 2, 206: 2011)

C. PENYAJIAN DAN ANALISIS LAPORAN KEUANGAN KEWAJIBAN


LANCAR DALAM NERACA
Menurut Al Haryono Jusup, kewajiban lancar adalah kelompok kewajiban
yang harus dilaporkan paling atas dalam neraca yang didalamnya setiap
kewajiban dicantumkan secara terpisah. Selain itu, jangka waktu utang wesel
dan informasi penting lainnya harus diungkapkan dalam catatan atas laporan
keuangan. Kewajiban lancar biasanya tidak dicantumkan berdasarkan urutan
tanggal pelunasannya, karena tanggal pelunasan untuk suatu kewajiban lancar
tertentu. Berikut adalah contoh pelaporan kewajiban lancar dalam neraca :

PT Jayawijaya
Neraca (Sebagian)
Kewajiban Lancar
Utang wesel................................................................. 362.000.000
Utang dagang.............................................................. 1.498.000.000
Utang gaji.................................................................... 733.000.000
Utang pajak................................................................. 356.000.000
Utang jangka panjang jatuh tempo
dalam 1 tahun.................................................. 78.000.000
Utang bunga lain......................................................... 190.000.000
Utang lain-lain............................................................ 65.000.000

Jumlah kewajiban lancar............................................. 3.482.000.000

(Al Haryono Jusup, Dasar-Dasar Akuntansi Jilid 2:206-207, 2011)


D. KEWAJIBAN KONTINJENSI
Kewajiban kontijensi adalah kewajiban yang tergantung pada terjadinya
atau tidak terjadinya satu atau lebih kewajian masa depan untuk meneguhkan
jumlah hutangnya, pihak yang dibayarkan, tanggal pembayaran, atau
keberadaannya. Kontijensi didefinisikan sebagai kondisi situasi atau
serangkaian situasi yang ada melibatkan ketidakpastian mengenai keuntungan
(kontijensi keuntungan) atau kerugian (kontijensi kerugian) bagi perusahaan
yang akhirnya akan diselesaikan apabila satu atau lebih kejadian masa depan
terjadi atau tidak terjadi. Kewajiban yang terjadi sebagai akibat dari kerugian
disebut kerugian kontijensi. Standar mengidentifikasikan bahwa kejadian
kontijensi terbagi menjadi tiga yaitu kejadian kontijensi dengan kemungkinan
besar, kejadian kontijensi dengan cukup mungkin, dan kejadian kontijensi
dengan kemungkinan kecil.  
Suatu kontijensi kerugian harus diakrualkan dengan pembebanan ke beban
(pengeluaran) dan suatu kewajiban akan dicatat hanya jika dua kondisi ini
memenuhi. Kondisi yang pertama adalah informasi yang tersedia sebelum
penerbitan laporan keuangan menunjukan bahwa kemungkian besar suatu
kewajiab telah terjadi pada tanggal laporan keuangan. Kondisi yang kedua
adalah jumlah kerugian yang diestimasi dengan layak. Siapa yang sebenarnya
harus dibayar atau tanggal pembayaran yang tepat tidak perlu diketahui untuk
mencatat suatu kewajiban. Apa yang harus diketahui adalah apakah ada
kemungkian besar bahwa suatu kewajiban telah terjadi. Konsep dan
prosedur akuntansi yang berkaitan dengan pos-pos kontijensi relatif masih
baru dan belum terselesaikan. Para akuntan yang berpraktek mengungkapkan
keprihatinan atas keberagaman yang terjadi atas penafsiran reasonable,
reasonably possible, dan remote. Praktek saat ini sangat mengandalkan
bahasa eksak yang digunakan sebagai tanggapan yang diterima dari para ahli
hukum, akibatnya akrual dan pengungkapan kontijensi sangat berbeda-beda
dalam praktek.
1. Perkara pengadilan, Tuntutan dan Pengenaan
Menurut Sandhi Idhar Rosydi, faktor-faktor berikut ini yang harus
dipertimbangkan dalam menentukan apakah suatu kewajiban harus dicatat
berkenaan dengan perkara pengadilan yang ditunda atau mengancam dan
tuntutan atau pengenaan yang sebenarnya atau yang mungkin adalah
sebagai berikut:
a) Periode waktu  dimana terjadi penyebab dasar dari tindakan
b) Kemungkinan  dari suatu hasil yang tidak menguntungkan
c) Kemampuan untuk membuat taksiran yang layak atas jumlah
kerugian
Untuk melaporkan kerugian dan kewajiban dalam laporan keuangan,
penyebab perkara pengadilan harus terjadi pada atau sebelum tanggal
laporan keuangan. Tidak menjadi masalah apakah perusahaan tidak sadar
akan adanya atau kemungkinan adanya tuntutan hukum atau klaim sesudah
tanggal pelaporan keuangan tetapi sebelum laporan tersebut diterbitkan.
Untuk perkara atau gugutan yang ditunda jarang diramalkan dengan suatu
kepastian. Dan sekalipun bukti yang tersedia pada tanggal neraca tidak
menguntungkan tergugat, hampir tidak layak untuk mengharapkan
perusahaan mempublikasikan dalam laporan keuangan estimasi dir jumlah
uang dari kemungkinan hasil negatif.
Berkenaan dengan gugatan yang belum diajukan dan klaim dan
pengenaan yang belum dinyatakan, perusahaan harus menentukan
tingkat probabilitasnya bahwa gugtan tersebut akan diajukan atau
pengenaan yang diteguhkan dan probabilitas dari hasil yang
menguntungkan.
2. Pengungkapan Kontijensi Kerugian
Untuk melaporkan kerugian dan kewajiban dalam laporan keuangan
perusahaan perusahan dapat membebankan kedalam beban dan hutang
perusahaan. Kontijensi yang melibatkan tuntutan atau pengenaan yag
belum dinyatakan tidak perlu diungkapkan apabila tidak ada penuntut
yang datang kecuali jika dianggap memiliki kemungkinan yang besar
ahwa suatu tuntutan akan dinyatakan dan terdapat cukup kemungkinan
bahwa hasilnya akan dapat menguntungkan.
Menurut Sandhi Idhar Rosydi, kewajiban lain yang harus
diungkapkan sekalipun memiliki kerugian yang kecil adalah sebagai
berikut:
1. Jaminan atas hutang pihak lain
2.  Kewajiban bank komersial menurut standby letters of credit
3. Jaminan untuk membeli kembali piutang (atau kekayaan lain yang
berkaitan) yang telah dijual atau digadaikan.
3. Biaya Garansi Dan Jaminan
Jaminan/Garansi Produk (warranty or product guarantee) adalah
suatu janji yang dibuat oleh penjual kepada pembeli untuk meperbaiki
kekurangan dalam kuantitas, kualitas, atau kerja suatu produk. Garansi ini
biasanya digunaka oleh perusahaan sebagai teknik promosi penjualan.
Jaminan dan garansi adakalanya diiringi dengan biaya dimasa yang akan
datang atau biasa disebut biaya purna jual. Walaupun jumlah, dan waktu
kejadian yang tidak menentu dimasa yang akan datang, perusahaan
mungkin ataupun harus mengestimasikan dengan layak atas perkiraan
tersebut. Jumlah kewajiban merupakan taksiran dari semua biaya yang
akan dikeluarkan sesudah penjualan, sesudah penyerahan dan sejumlah
biaya yang terjadi untuk mengoreksi kerusakan atau kecacatan barang
yang disyaratkan menurut ketentuan jaminan. Terdapat dua pendekatan
dalam mencatat kerugian kotijenji dari suatu produk yang berupa jamian
yaitu metode kas dan metode akrual.
Dasar Kas pengakuan metode ini mensyaratkan bahwa biaya
jaminan dibebankan pda saat terjadinya suatu transaksi. Dengan demikian
dapat dikatakan bahwa jaminan diakui pada saat penjual menempati jaji
kepada konsumen atas perjanjian yang dilaksanakan. Metode ini
merupakan metode yang diakui dalam perpajakan perusahaan. Seringkali
dibenarkan untuk akuntansi atas dasar kecepatan pemprosesan bila
jaminan jumlahnya tidak material dan waktu jaminan relatif pendek.
Metode dasar kas disyaratkan bila kewajiban tidak diakrualkan dalam
tahun berjalan karena tidak mungkin kewajiban tersebut terjadi dan jumlah
kewajiban tersebut tidak dapat diperkirakan dengan layak.
Dasar Akrual dapat digunakan apabila pelanggan akan mengajukan
tuntutan berdasarkan jaminan berkenaan dengan produk atau jasa yang
telah dijual dan taksiran yang layak atas biaya yang terlibat
didalamnya.Menurut metode akrual, biaya jaminan dibebankan dalam
biaya operasi pada tahun berjalan. Metode akrual merupakan metode yang
diterima secara umum. Penggunaan metode akrual dikalsifikasikan lagi
menjadi dua pendekatan yaitu metode beban dan metode penjualan.
Apabila perusahaan tidak memisahkan antara produk dengan jaminan
maka perusahaan dapat menggunakan metode beban. Namun apabla
perusahaan memisahkan harga antara harga jual dan jaminan maka
pendekatan yang dilakukan adalah pendekatan penjualan.
Apabila jaminan merupakan bagian yang terpadu dan tidak dapat
dipisahkan dari penjualan dan dipandang sebagai kerugian kontijensi maka
metode yang digunakan adalah metode beban sebagai berikut:
Kas Rp xxx,-
      Penjualan Rp xxx,-
(Jurnal untuk mencatat penjualan barang dengan kewajiban jaminan
yang diakui)

Beban Jaminan Rp xxx,-


      Kas Rp xxx,-
(Jurnal untuk mencatat pembayaran jaminan oleh perusahaan)

Beban Jaminan Rp xxx,-


      Kewajiban Kontijensi atas Jaminan Rp xxx,-
(Jurnal untuk mencatat kewajiban kontijensi atas jaminan oleh
perusahaan)
Metode kedua yang digunakan dalam mencatat jaminan
adalah pendekatan penjualan. Pendekatan ini dicirikan dengan
pemisahan antara jaminan dengan harga penjualan yang dilakukan oleh
perusahaan. Adapun jurnal adalah sebagai berikut:
Kas Rp xxx,-
      Penjualan Rp xxx,-
      Pendapatan Jaminan yang belum dihasilakanRp xxx,-
(Jurnal untuk mencatat kewajiban kontijensi atas jaminan oleh
perusahaan)
Pendapatan jaminan yang belum dihasilkan  Rp xxx,-
      Pendapatan Jaminan                                                     Rp xxx,-
(Jurnal untuk mencatat kewajiban kontijensi atas jaminan oleh
perusahaan)
(Kieso and Weagant, Buku Akuntansi Intermediate, Bhinarupa Akhsara,
2005)
E. AKUNTANSI PENGGAJIAN
Menurut Al Haryono Jusup, kewajiban perusahaan kepada karyawan
dalam bentuk upah dan gaji yang belum dibayar, kadang-kadang cukup besar
jumahnya. Lebih-lebih dalam perusahaan yang meliliki tenaga kerja yang
banyak jumlahnya, beban gaji seringkali mencerminkan jumlah yang cukup
besar bila dibandingkan beban yang lain. Selain gaji, perusahaan biasanya
memberikan berbagai kompensasi berupa tunjangan, seperti tunjangan
kesehatan, tunjangan asuransi, dan tunjangan lainnya. Dengan adanya
komponen yang harus dibayarkan kepada karyawan, maka diperlukn
akuntansi penggajian yang tepat, desertai pengawasan yang memadai.
Akuntansi penggajian tidak semata-mata menyangkut soal pembayaran gaji
atau upah kepada para karyawan. Perusahaan juga mempunyai kewajiban
untuk menyelenggarakan administrasi penggajian untuk setiap karyawan,
termasuk juga data pajak penghasilan tiap karyawan.
(Al Haryono Jusup, Dasar-Dasar Akuntansi Jilid 2, 207:2011)
 GAJI DAN UPAH
Istilah “gaji” sebenarnya meliputi gaji dan upah yang dibayarkan
perusahan kepada para karyawan. Para manajer, pegawai administrasi, dan
pegawai penjualan, bisanya mendapat gaji dari perusahaan yang
jumlahnya tetap. Tarif gaji biasanya dinyatakan dalam gaji perbulan.
Karyawan atau pegawai perusahaan lainnya, seperti pegawai urusan
gudang atau pabrik, biasanya mendapat upah yang tarifnya dinyaakan
dalam rupaiah per jam, per unit produk, atau satuan lainnya. Kadang-
kadang istilah gaji dan upah diartikan sama, sehingga istilah penggajian
sudah dianggap meliputi juga pengupahan.
Dalam istilah gaji, tidak termasuk uang jasa atau honorarium yang
dibayarkan kepada pihak luar yang memberikan jasanya kepada
perusahaan. Sebagai contoh, uang jasa (honorarium) yang dibayarkan
kepada penasehat hukum atau akuntan public oleh perusahaan tidak
termasuk dalam gaji pegawai, karena pihak luar bukanlah karyawan
perusahaan. (Al Haryono Jusup, Dasar-Dasar Akuntansi Jilid 2, 208:2011)
1. PENGENDALIAN INTEREN ATAS PENGGAJIAN
Menurut Al Haryono Jusup, prinsip-prinsip pengendalian interen
yang telah dibahas pada bab sebelumnya berlaku umum untuk segala
aspek kegiatan perusahaan. Apabila diterapkan pada penggajian, maka
tujuan pengendalian interen adalah :
1. Untuk mengamankan kekayaan perusahaan dari pembayaran gaji yang
tidak sah
2. Untuk menjamin ketelitian dan dapat dipercayanya catatan akuntansi
tentang penggajian.
Pentingnya kedua tujuan pokok tersebut sangat jelas. Apabila
perusahaan menarik chek untuk karyawan fiktif atau membayar upah ebih
besar dari pendapatan karyawan yang sesungguhnya, maka perusahaan
akan menderita kerugian yang tidak perlu berupa hilangnya kas. Demikian
pula catatan yang tidak benar akan mengakibatkan penarikan chek dalam
jumlah yang keliru, dan selanjutnya akan mengakibatkan laporan
keuangan dan pembayaran pajak karyawan menjadi keliru pula.
Penyelewengan dalam kegiatan penggajian kerpkali terjadi pada
berbagai perusahaan. Seperti telah di singgung di ata, beberapa bentuk
penyelewengan yang sering dijumpai, ialah dengan menambahkan nama-
nama karyawan palsu (fiktif) dalam daftar gaji, dan uangnya diterima oleh
si pemalsu daftar tsersebut. Bentuk kecurangan lain ialah memanipulasi
(menambahkan) jam kerja karyawan, menggunakan tariff yang tidak
diotorisasi pejabat yang berwenang, tetap mencantumkan nama karyawan
yang sudah berhenti dalam daftar gaji, dan membuat chek ganda (satu
orang karyawan diberi lebih dari satu lembar chek).
Kegiatan penggajian meliputi empat fungsi yaitu pengangkatan
pegawai, penghitungan waktu kerja pegawai, pembuatan daftar gaji, dan
pembayaran gaji. Agar system pengendalian interen berjalan dengan
efektif, maka keempat fungsi tersebut harus didelegasikan pada bagian aau
orang yang berbeda. (Al Haryono Jusup, Dasar-Dasar Akuntansi Jilid 2,
208-209:2011)

 PENGANGKATAN PEGAWAI
Pendaftaran calon pegawai, wawancara dan seleksi pendaftar serta
pengangkatan pegawai dilaksanakan oleh bagian personalia. Bagian ini
memegang peranan penting dalam pengawasan karyawan, terutama dalam
hal dokumentasi dan pemberian otorisasi. Apabila seorang karyawan
diangkat, bagian personalia akn mencatat berbagai informasi penting
mengenai karyawan tersebut, yang meliputi data diri, status, tingkat
gaji/upah, mutasi dan sebagainya.
Setiap perubahan atas informasi tersebut, harus selalu dicatat dan
mendapat persetujuan dari bagian personalia. Formulir persetujuan
pengangkatan pegawai dikirim ke bagian penggajian sebagai dasar untuk
memasukkan karyawan baru tersebut ke dalam daftar gaji. Pencantuman
nama karyawan baru dalam daftar gaji harus mendapat persetujuan dari
kepala bagian personalia. Hal ini penting untuk menghindari masuknya
nama pegawai fiktif ke dalam daftar gaji.
Bagian personalia juga bertanggungjawab untuk mengotorisasi
perubahan tingkat gaji dan upah dan memberhentikan pegawai. Pemberian
otoritas harus dilakukan secara tertulis, dan salah satu copy perubahan
status harus dikirim ke baian penggajian. (Al Haryono Jusup, Dasar-Dasar
Akuntansi Jilid 2, 209-210:2011)

 PENCATATAN WAKTU KERJA


Menurut Al Haryono Jusup, bidang kegiatan lain yang penting
ditinjau dari segi pengendalian interen ialah pencatatan waktu kerja.
Karyawan harian atau karyawan yang upahnya dihitung berdasarkan tariff
per jam, biasanya diwajibkan untuk mencatatkan waktu kerjanya dengan
cara memasukkan kartu waktu (timeclock). Waktu kedatanga dan waktu
pulang akan dicatat secara otomatis apabila pegawai memasukkan kartu
waktu kedalam mesin pencatat waktu yang disediakan perusahaan.
Seperti dijelaskan pada bab sebelumnya, penggunaan peralatan
mekanis dan elektronis (seperti halnya timeclock ini), sangat membantu
ketepatan data dan mengurangi kemungkinan terjadinya pemalsuan waktu
kerja. Prosedur pemakaian timeclock sebaiknya diawasi oleh pengawas
atau satpam untuk meyakinkan bahwa satu orang karyawan hanya
memasukkan satu kartu. Pada akhir periode gaji (misalnya akhir minggu
atau akhir bulan), pengawas harus menandatangani (mengesahkan) waktu
kerja pegawai dalam kartu waktu. Apabila pegawai melakukan kerja
lembur, maka hal itu harus dilakuka dengan persetujuan tertulis dari
pengawas. Hal ini penting untuk mencegah pemalsuan jam kerja melalui
kerja lembur yang sesungguhnya tidak dilakuan. Kartu waktu kerja yang
telah disahkan pengawas dikirim ke bagian penggajian. (Al Haryono
Jusup, Dasar-Dasar Akuntansi Jilid 2,210:2011)

 PEMBUATAN DAFTAR GAJI


Daftar gaji dibuat oleh bagian penggajian berdasarkan dua sumber
berikut (1) otorisasi dari bagian personalia, dan (2) kartu waktu yang telah
mendapat persetujuan. Berhubung penghitungan gaji cukup rumit, kadang-
kadang diprlukan petugas kedua, yang bekerja secara terpisah, untuk
memeriksa perhitungan yang dilakukan pertama. Daftar gaji yang telah
diperiksa ditandatangani oleh kepala bagian penggajian. Bagian
penggajian juga berkewajiban untuk menyiapkan check gaji (tapi tidak
boleh menandatanganinya), menyimpan catatan gaji, dan menyiapkan
pembayaran pajak penghasilan karyawan. (Al Haryono Jusup, Dasar-
Dasar Akuntansi Jilid 2, 210:2011)

 PEMBAYARAN GAJI
Pembayaran gaji biasanya dilakukan oleh kasir dibagian keuangan.
Pembayaran dengan menggunakan chek dilakukan dengan maksut untuk
mengurangi risiko kerugian akibat pencurian dan demi kepraktisan. Agar
tercipta pngendalian intern yang baik, chek gaji harus bernomor urut
tercetak, dan pemakaian setiap lembar chek harus dapat
dipertanggungjawabkan. Semua chek harus ditandatangani oleh kepala
bagian keuangan atau bendagara atau pejabat yang ditunjuk, dan
penyerahannya kepada pegawai yang berhak harus selalu di bawah
pengawasan bagian keuangan. Chek bisa dibayarkan oleh bagian keuangan
atau oleh juru bayar.
Apabila pembayaran dilakukan dengan uang maka diperlukan orang
kedua untuk menghitung uang yang dimasukkan ke dalam amplop gaji,
dan untuk mendapatkan tandatangan penerimaan dari pegawai yang telah
menerima amplop gajinya. (Al Haryono Jusup, Dasar-Dasar Akuntansi
Jilid 2, 211:2011)
2. PERHITUNGAN GAJI KARYAWAN
Menurut Al Haryono Jusup, penghasilan kotor karyawan terdiri dari
tiga sumber, yaitu upah, gaji, dan bonus. Mengingat bahwa bonus dihitung
dengan dasar yang berbeda, maka bonus akan dibahas secara terpisah.
a. Gaji dan Upah
Menurut Al haryono Jusup, istilah “Gaji” sebesarnya meliputi
semua gaji dan upah yang dibayarkan perusahaan kepada para
karyawannya. Para manajer, pegawai administratif, dan pegawai
penjualan, biasanya mendapat gaji dari perusahaan yang jumlahnya
tetap.
Dalam istilah gaji, tidak termasuk uang jasa atau honorium yang
dibayarkan kepada pihak luar yang memberikan jasanya kepada
perusahaan. Sebagai contoh, uang honorium yang dibayarkan kepada
penasehat hukum atau akuntan publik oleh perusahaan tidak termasuk
dalam gaji pegawai, karena pihak luar bukanlah keryawan perusahaan.
(Al Haryono Jusup, Dasar-Dasar Akuntansi Jilid 2, 208:2011)
Total upah seorang pegawai dihitung dengan mengkalikan tarif
upah per jam dengan jumlah jam kerja pegawai yang bersangkutan.
Selain upah yang dibaya untuk jam kerja biasa, pegawai mungkin masih
menerima upah lembur yang tarifnya biasanya lebih tinggi daripada
tariff biasa. Pegawai yang bekerja pada jam atau hari tertentu biasanya
juga menerima pembayaran dengan tariff istimewa, missal untuk keja
malam, kerja di hari libur atau pada malam minggu. Berikut adalah
contoh perhitungan upah kotor Budiman yang telah bekerja selama 44
jam dalam minggu ini :
JENIS J TARIF PENGHAS
PEMBAYARAN AM ILAN KOTOR
Biasa 4 Rp. Rp.
Lembur 0 10.000,00 400.000,00
TOTAL UPAH 4 Rp. Rp.
12.000,00 48.000,00
Rp.
448.000,00

Gaji pegawai pada umumnya didasarkan pada tarif per bulan atau
per tahun. Tarif tersebut digunakan dalam perhitungan gaji pegawai
sesuai dengan periode pembayaran gaji pada perusahaan yang
bersangkutan. (Al Haryono Jusup, Dasar-Dasar Akuntansi Jilid 2,
212:2011)
b. Bonus
Menurut Al Haryono Jusup, Perusahaan kadang-kadang memiliki
perjanjian pemberian bonus dnegan karyawannya mereka yang
mendapat bonus umumnya adalah personil-personil kunci dalam
perusahaan. Perjanjian bonus bisa didasarkan pada bermacam-macam
faktor, misalnya kelebihan penjualan di atas jumlah tertentu, atau
jumlah laba bersih. Sebagai contoh : misal PT. Lawu memberi bonus
kepada karyawannya sebesar 10% dari penjualan. Seandainya penjualan
pada suatu tahun berjumlah Rp. 200.000.000,00, maka bonus yang
dibayarkan kepada karyawan berjumlah Rp. 20.000.000,00 ((10% X
Rp. 200.000.000,00). Jurnal untuk mencatat bonus adalah sebagai
berikut :
Beban bonus Rp.
Utang bonus 20.000.000,00 Rp.
20.000.000,00

Apabila bonus dibaya, maka akun utang bonus didebet dan kas dikredit
Utang bonus Rp.
Kas 20.000,000,00 Rp.
20.000.000,00

(Al Haryono Jusup, Dasar-Dasar Akuntansi Jilid 2, 212:2011)

 POTONGAN ATAS PENGHASILAN KARYAWAN


Menurut Al Haryono Jusup, jumlah gaji yang dibayarkan kepada
karyawan seringkali tidak sama dengan jumlah penghasilan kotor karyawan
yang diterangkan di atas. Hal ini disebabkan karena adanya berbagai
potongan yang dikenakan terhadap penghasilan kotor. Potongan tersebut ada
yang sifatnya wajib dan ada pula yang ditetapkan berdasarkan aturan interen
dalam perusahaan.

 Potongan Wajib
Potongan wajib adalah potongan yang harus dilakukan oleh
perusahaan atas penghasilan kotor para karyawannya yang ditetapkan
berdasarkan undang-undang atau peraturan pemerintah. Contoh potongan
wajib adalah pajak penghasilan karyawan dan iuran asuransi tenaga kerja.
Pengurangan-pengurangan iini tidak menjadi beban perusahaan, karena
perusahaan hanya berkewajiban memotong dari penghasilan karyawan dan
kemudian menyetorkannya ke Kas Negara atau kepada pihak yang
berwenang. (Al Haryono Jusup, Dasar-Dasar Akuntansi Jilid 2, 213:2011)
a. Pajak Penghasilan Karayawan (PPh)
Berdasarkan undang-undang No. 7 Tahun 1983 tentang Pajak
Penghasilan (UU. PPh 1984), perusahaan wajib melakukan pemotongan
pajak atas penghasilan para karyawan yang memenuhi ketentuan
sebagaimana diatur dalam undnag-undang tersebut. Pajak penghasilan
bagi karyawan yang bekerja pada suatu perusahaan menurut UU PPh
1984 tergolong dalam pajak penghasilan pasal 21. Pajak penghasilan
(PPh) pasal 21 adalah pajak yang dikenakan atas penghasilan berupa
gaji, upah, honorarium, tunjangan dan pembayarn lain dengan nama
apapun sehubungan dengan pekerjaan atau jabatan atau sebagai imbalan
atas jasa. Wajib pajak PPh pasal 21 wajib pajak dalam negeri yang
meliputi :
 Pegawai, karyawan atau karyawati tetap.
 Pegawai, karyawan atau karyawati lepas.
 Penerima honorarium.
 Penerima upah, baik upah harian, upah borongan, maupun upah
satuan.
Obyek PPH pasal 21 adalah penghasilan. Adapun penghasilan
yang dikenakan pemotongan PPh pasal 21 adalah :
 Penghasilan rutin bulanan, baik berupa penghasilan pokok
maupun tunjangan-tunjangan rutin bulanan
 Penghasilan tidak rutin bulanan dan yang biasanya diberikan
sekali saja atau sekali dalam setahun
 Upah harian, mingguan, upah satuan dan upah borongan
 Upah pension, uang tebusan pension, uang tabungan hari tua
(THT), uang tunggu, uang pesangon, dan pembayarn lain sejenis
 Honorarium, komisi atau pembayaran lain sebagai imbalan atas
jasa yang dilakukan di Indonesia.
Tarif pajak penghasilan diatur dalam pasal 17 UU. PPh 1984, yang
telah berkali-kali diubah, terakhir pada tahun 2008, sebagai berikut :
Penghasilan kena pajak Tarif
 Sampai dengan Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta pajak
rupiah 5%

 Di atas Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah)


sampai dengan Rp. 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh 15%
juta rupiah)

 Di atas Rp. 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta


rupiah) sampai dengan Rp. 500.000.000,00 (lima ratus 25%
juta rupiah)

 Di atas Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah)


30%

(Al Haryono Jusup, Dasar-Dasar Akuntansi Jilid 2, 214:2011)


Besarnya pemungutan PPh pasal 21 sama dengan tariff dikalikan
penghasilan kena pajak (PKP). Dengan memperhatikan ketentuan-
ketentuan di atas, maka besarnya PPh pasal 21 juga tergantung dari
penghasilan yang diperoleh karyawan. Ketentuan-ketentuan dan contoh
perhitungan untuk setiap macam penghasilan tersebut secara rinci dapat
dilihat pada buku Petunjuk Pemotongan PPh pasal 21 dan PPh pasal 26.
Penghasilan kena pajak (PKP) sama dengan penghasilan bruto
dikurangi dengan :
 Beban jabatan sebesar 55 dari penghasilan bruto, maksimum Rp.
540.000,00 setahun, atau Rp. 45.000,00 sebulan
 Iuran pension, iuran tabungan haru tua atau tunjangan hari tua
yang dibayar wajib pajak
 Penghasilan tidak kena pajak (PTKP)
(Al Haryono Jusup, Dasar-Dasar Akuntansi Jilid 2, 215:2011)
Untuk memperoleh PKP setahun, PKP sebulan dikalikan 12, dan
untuk memperoleh jumlah pajak penghaislan per bulan, jumlah pajak
penghasilan setahun dibagi 12. Berikut ini adalah skema perhitungan
pajak penghasilan rutin bulanan :
PERHITUNGAN PPh PASAL 21
UNTUK PENGHASILAN RUTIN BULANAN
Penghasilan :
Gaji sebulan (gaji pokok Xxxx
ditambah tunjangan-tunjangan
lainnya yang berbentuk rupiah)
Iuran asuransi kecelakaan Xxxx
kerja*) Xxxx
Iuran asuransi kematian*) (+)

Penghasilan bruto sebulan Xxxx

Potongan-potongan yang diperkenakan :


Beban jabatan; 5% dari Xxxx
penghasilan bruto maksimal sebesr
Rp. 45.000,00 Xxxx
Iuran pension**) Xxxx
Iuran Tabungan Hari Tua**) (+)

Jumlah potongan yang diperkenakan Xxxx


(-)

Penghasilan neto sebulan Xxxx


Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) Xxxx
Penghasilan Kena Pajak Sebulan (PKPb) (-)
Xxxx

Penghasilan kena pajak setahun (PKPt) =PKPb x 12


PPh pasal 21 setahun = Tarif pasal 17 x PKPt
PPh pasal 21 sebulan =PPH pasal 21 setahun : 12
*) pemberi kerja masuk program ASTEK dan iuran tersebut dibayar
oleh pemberi kerja
**) dibayar oleh wajib pajak sendiri

(Al Haryono Jusup, Dasar-Dasar Akuntansi Jilid 2, 216:2011)

b. Iuran Program Asuransi Sosial Tenaga Kerja (ASTEK)


Berdasarkan pasal 3 ayat 1 peraturan pemerintah No. 33 Tahun
1977, perusahaan wajib menyelenggarakan program ASTEK baik
dengan mempertanggungjawabkan tenaga kerjanya yang bekerja dalam
suatu ikatan kerja dengan prusahaan dalam program asuransi
kecelakaan kerja dan asuransi kematian, maupun dengan memenuhi
kewajibannya dalam program tabungan hari tua kepada Badan
Penyelnggara. Program ASTEK meliputi :
a. Program Asuransi Kecelakaan Kerja
b. Program Tabungan Hari Tua yang dikaitkan dengan Asuransi
Kematian.
Sebagaimana disebutkan dalam pasal 9 Surat Keputusan Menteri
Tenaga Kerja, Transmigrasi dan Koperasi No. Kep-1 16/Men/1977
(tentang Peraturan Tata Cara, Persyaratan Pendaftaran, Pembayaran
Iuran dan Pembayaran Jaminan Asuransi Sosial Tenaga Kerja),
pembayaran iiuran Astek dilakukan secara bulanan oleh perusahaan
dan paling lambat telah dibayarkan tanggal 15 bulan berikut dari iuran
bulan yang bersangkutan.
Berbeda dengan pajak penghasilan karyawan yang sepenuhnya
menjadi tanggungan karyawan, iuran Astek sebagian ditanggung oleh
perusahaan an sebagian lagi ditanggung bersama oleh perusahaan dan
karyawan. Bagian iuran yang ditanggung oleh perusahaan adalah
menjadi beban perusahaan, sedangkan bagian yang ditanggung oleh
karyawan bukan merupakan beban perusahaan. Berdasarkan Peraturan
Pemerintah No. 33 Tahun 1977, besarnya iuran dan penanggung iuran
adalah sebagai berikut:
(1) Iuran Asuransi Kecelakaan Kerja
Iuran untuk asiransi kecelakaan kerja ditanggung oleh
perusahaan. Besarnya iuran untuk pmbebanan program asuransi
kecelakaan kerja dibagi menjadi 10 kelas, dengan iuran terendah
2,4 pemil, dan iuran tertinggi 36 pemil.
(2) Iuran Tabungan Hari Tua
Iuran untuk program tabungan hari tua ditanggung oleh
perusahaan dan tenaga kerja. Besarnya iuran untuk tabungan hari
tua (Pasal 9 ayat 2 Peraturan Pemerintah No. 33 tahun 1977) ialah :
 Dari perusahaan 1,5% dari upah, dan
 Dari tenaga kerja 1% dari upah
(3) Iuran Asuransi Kematian
Iuran untuk pembeban program asuransi kematian ditanggung
perusahaan. Besarnya iuran untuk program asuransi kematian
ditetapkan sebesar 0,5% dari upah. (Al Haryono Jusup, Dasar-
Dasar Akuntansi Jilid 2, 216-217:2011)
Dengan demikian dari ketiga program Astek di atas, hanya
program Tabungan Hari Tua yang menjadi beban karyawan,
sedangkan selebihnya menjadi tanggungan perusahaan. Untuk
melaksanakan ketentuan tersebut Pasal 9 ayat 2, perusahaan diberi
kewenangan untuk melakukan pemotongan upah dari tenaga kerja
yang bersangkutan, sepanjang yang menjadi kewajiban tenaga kerja,
dan wajib membayarkannya kepada Badan Penyelenggara (dalam hal
ini Perum Astek).
Contoh : Perusahaan tempat Budiman bekerja turut serta dalam
program Astek yang meliputi asuransi kecelakaan tenaga kerja,
tabungan hari tua, dan suransi kematian. Untuk penghasilan Budiman
pada bulan ini sebesar Rp. 448.000,00, iuran Astek yang harus dibayar
kepada Perum Astek adalah sebagai berikut :
Ditanggung oleh :
perusahaan Karyawan
Asuransi Rp.
Kecelakaan 12.544,00
28/1000 x Rp.
448.000,00
Tabungan Hari Tua
: Rp. Rp. 4.480,00
1,5% x Rp. 6.720,00
448.000,00
1% x Rp. Rp. 4.480,00
448.000,00 Rp.
Asuransi 2.240,00
Kematian : Rp.
0,5% x Rp. 21.504,00
448.000,00
Dengan demikian untuk upah Budiman bulan ini sebesar Rp.
448.000,00, perusahaan harus menyetor ke Perum Astek sebesar Rp.
25.984,00. Dari jumlah tersebut, Rp. 21.504,00 ditanggung perusahaan
(yang akan dicatat sebagai bagian dari beban tenaga kerja) dan Rp.
4.480,00 ditanggung oleh Budiman yang dipotong dari upah Budiman
pada waktu perusahaan membayar upah tersebut. (Al Haryono Jusup,
Dasar-Dasar Akuntansi Jilid 2, 217:2011)

 Potongan Sukarela
Menurut Al Haryono Jusup, penghasilan kotor karyawan bisa
dipotong untuk tujuan-tujuan tertentu atas permintaan atau persetujuan
karyawan. Potongan ini bisa dilakukan secara kelompok atau perorangan.
Sebagai contoh : potongan secara kelompok dilakukan untuk iuran
koperasi karyawan atau iuran Kopri (khusus pegawai negeri). Potongan
perorangan hanya dilakukan atas penghasilan karyawan tertentu, misalnya
potongan gaji untuk angsuran pinjaman karyawan kepada perusahaa.
(Al Haryono Jusup, Dasar-Dasar Akuntansi Jilid 2, 218:2011)

 PENGHASILAN BERSIH KARYAWAN


Menurut Al Haryono Jusup, penghasilan bersih seorang karyawan dihitung
dengan mengurangkan potongan-potongan (baik wajib maupun sukarela) atas
penghasilan kotornya. Berikut adalah contoh perhitungan penghasilan bersih
Budiman untuk bulan ini :
Penghasilan kotor Rp.
Dikurangi Potongan 448.000,00
PPh Pasal 21 Rp. 16.426,00
Iuran ASEK 4.480,00
IURAN Koperasi 1.000,00
Angsuran Pinjaman 5.000,00

Penghasilan Bersih Rp.


26.906,00
Rp.
421.094,00

Dalam perhitungan di atas, PPh pasal 21 dihitung sebesar 15% dari


pendapatan kena pajak (penghasilan kotor dikurangi dengan pendapatan tidak
kena pajak). Selain itu simisalkan bahwa Budiman menjadi anggota koperasi
karyawan perusahaan dengan iuran anggota per bulan sebesar Rp. 1.000,00.
Potongan angsuran pinjaman adalah potongan atas gaji karena Budiman
meminjam uang kepada perusahaan sebesar Rp. 100.000,00 yang akan
dibayar dengan 20 kali angsuran sebesar Rp. 5.000,00 per bulan. (Al Haryono
Jusup, Dasar-Dasar Akuntansi Jilid 2, 219: 2011)

3. PENCATATAN PENGGAJIAN
Menurut Al Haryono Jusup, berdasarkan daftar gaji yang telah
disusun oleh bagian penggajian, bagian akuntansi akan mencatat beban
gaji dan upah untuk bulan Januari dengan jurnal sebagai berikut :

J Beban Gaji Kantor Rp.


an 31
Beban Upah 2.550.000,00
Utang PPh Rp. Rp.
Karyawan 2.162.000,00 308.726,00
Utang Astek 47.120,00
Karyawan 12.500,00
Utang Koperasi 17.500,00
Karyawan 4.326.964
Piutang ,00
Karyawan
Utang Gaji &
Upah
(Untuk mencatat
beban gaji dan upah bulan
Januari 2012)

Pengkreditan pada akun Utang P.Ph Karyawan, Utang Astek, dan Utang
Koperasi Karyawan, menunjukkan jumlah yang harus dibayar perusahaan ke
Kas Negara (untuk pajak penghasilan karyawan), ke PerumAstelk (untuk
bagian dari tabungan hari tua yang menjadi beban karyawan), dan ke
Koperasi Karyawan Perusahaan ( untuk iuran koperasi). Pengkreditan pada
akun Piutang Karyawan berarti karyawan mengangsur kewajibannya
(utangnya) kepada perusahaan, sedangkan pengkreditan pada akun Utang
Haji dan Upah menunjukkan jumlah penghasilan bersih karyawan yang harus
dibayar perusahaan. Pendebetan atas akun Beban Gaji Kantor dan Beban
Upah adalah sebesar penghasilan kotor karyawan yaitu beban gaji dan upah
yang ditanggung perusahaan. (Al Haryono Jusup, Dasar-Dasar Akuntansi
Jilid 2, 221: 2011)
 PEMBAYARAN KEPADA KARYAWAN
Menurut Al Haryono Jusup, seperti telah disinggung di atas,
pembayaran gaji kepada karyawan bias dilakukan dengan menggunakan
check atau bisa juga dengan uang. Apabila gaji dibayar dengan
menggunakan check, maka perusahaan menyiapkan check untuk setiap
karyawan, sebesar jumlah pendapatan bersih masing-masing karyawan
seperti tercantum dalam daftar gaji. Check yang dilampiri dengan
keterangan perhitungan gaji atau upah untuk setiap karyawan, diserahkan
kepada masing-masing karyawan oleh kasir atau juru bayar. Nomor-nomor
check dituliskan pada kolom terakhir dalam daftar gaji. Jurnal untuk
mencatat pembayaran gaji adalah sebagai berikut :

J
an 31 Utang Gaji & Upah Rp.
Kas 4.326.964,00 Rp.
4.326.964,00
(Untuk mencatat
pembayaran gaji dan upah
bulan Januari 2012)

Jika gaji dibayar dengan uang tunai, maka perusahaan hanya menarik satu
lembar check sebesar jumlah seluruh penghasilan bersih karyawan, dan
selanjutnya diuangkan oleh kasir perusahaan ke bank. Selanjutnya kasir
memasukkan uang ke dalam masing-masing amplop gaji untuk dibagikan
(dibayarkan) kepada karyawan yang bersangkutan. (Al Haryono Jusup,
Dasar-Dasar Akuntansi Jilid 2, 222: 2011)

4. PAJAK GAJI YANG DITANGGUNG OLEH PERUSAHAAN


Menurut Al Haryono Jusup, seperti telah disinggung di atas,
perusahaan kadang-kadang melakukan pengeluaran untuk kepentingan
karyawan yang ditanggung sebagai beban perusahaan. Hal ini mungkin
timbul dari kebijakan perusahaan sendiri dalam upaya meningkatkan
kesejahteraan karyawan, atau mungkin juga karena diharuskan oleh
pemerintah.
Sebagai contoh, perusahaan mungkin memberikan tunjangan
kesehatan kepada karyawan yang diberikan tiap bulan atau tiap tahun.
Selain itu ada juga perusahaan yang memberikan tunjangan rekreasi
karyawan yang diberikan setahun sekali. Apabila hal itu telah menjadi
kesepakatan antara karyawan dengan perusahaan, maka pengeluaran untuk
hal-hal tersebut akan diperlakukan sebagai beban perusahaan dan jumlah
yang telah menjadi hak karyawan tetapi belum dibayar oleh perusahaan,
harus dilaporkan sebagai utang kepada karyawan.
Pengeluaran untuk keperluan karyawan yang diharuskan oleh
peraturan pemerintah, seperti telah disinggung di atas, misalnya asuransi
social tenaga kerja (ASTEK). Bagian dari iuran astek yang ditanggung
perusahaan merupakan beban perusahaan. Seperti yang dijelaskan di
halaman 216. Bagian dari iuran Astek yang menjadi beban perusahaan
adalah Asuransi Kecelakaan (28 permil), Tabungan Hari Tua (1,5%) dan
Angka Kematian (0,5%). Tarif iuran Astek ini apabila diterapkan pada gaji
dan upah kotor PT. Gunung Mas di atas (lihat daftar gaji di halaman 220)
adalah sebagai berikut :
Asuransi kecelakaan : 28/1000 x Rp.
4.662.000,00 = Rp. 130.536,00
Tabungan hari tua : 1,5% x Rp. 4.662.000,00 = Rp.
69.930,00
Asuransi kematian : 0,5% x Rp. 4.662.000,00 = Rp.
23.310,00

Jumlah iuran Astek bulan Januari yang menjadi beban perusahaan … Rp.

223.776,00
Jurnal untuk mencatat beban iuran Astek yang menjadi beban
perusahaan adalah sebagai berikut :
2
012 Beban Gaji & Upah Rp.
J Utang Astek & 223.776,00 Rp.
an 31 Perusahaan 223.776,00

(Untuk mencatat iuran


Astek yang menjadi beban
perusahaan)

Jurnal yang harus dibuat untuk mencatat pembayaran iuran Astek


yang telah dipotong dari gaji karyawan maupun yang menjadi beban
perusahaan ke Perum astek adalah sebagai berikut :
2
012 Utang Astek - Perusahaan Rp.
F ………… 223.776,00 Rp.
eb 5 Utang Astek - Karyawan 47.120,00 270.896,00
…………..
K a s
…………………………...
(Untuk mencatat
pembayaran iuran Astek)

Dalam hal ini digunakan akun Utang Astek yang terpisah dengan utang
Astek yang berasal dari potongan gaji dan upah karyawan agar
perhitungannya mudah diperiksa. Utang ini dilaporkan dalam neraca sebagai
utang lancer, karena harus dibayar perusahaan dalam waktu kurang dari satu
tahun. Beban gaji & upah dilaporkan dalam laporan laba-rugi sebagai beban
operasi. (Al Haryono Jusup, Dasar-Dasar Akuntansi Jilid 2, 222-224: 2011)

5. PELAPORAN DAN PENYETORAN PAJAK GAJI/PENGHASILAN


(PPh)
Menurut www.wikipedia.org Pajak Penghasilan dikenal
sebagai Pajak Penghasilan (PPh) adalah pajak yang dibebankan pada
penghasilan perorangan, perusahaan atau badan hukum lainnya. Pajak
penghasilan bisa diberlakukan progresif, proporsional, atau regresif.
Penghasilan Tidak Kena Pajak, disingkat PTKP adalah
pengurangan terhadap penghasilan bruto orang pribadi atau perseorangan
sebagai wajib pajak dalam negeri dalam menghitung penghasilan kena
pajak yang menjadi objek pajak penghasilan yang harus dibayar wajib
pajak di Indonesia. PTKP diatur dalam pasal 7 Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir
dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan
Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak
Penghasilan. (www.wikipedia.org)
Makhfal Nasirudin Seperti yang telah kita ketahui, mulai bulan
Januari 2013, Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) telah berubah.
Sekarang untuk Wajib Pajak yang berstatus tidak kawin dan tidak
mempunyai tanggungan jumlah PTKP-nya sebesar Rp 24.300.000,00 atau
setara dengan Rp 2.025.000,00 per bulan. Dengan adanya perubahan itu,
tata cara penghitungan PPh Pasal 21 juga mengalami perubahan.
Perubahan itu diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor Per-
31/PJ/2012 tentang Pedoman Teknis Tata Cara Pemotongan, Penyetoran
dan Pelaporan Pajak Penghasilan Pasal 21 dan/atau Pajak Penghasilan
Pasal 26 Sehubungan dengan Pekerjaan, Jasa, dan Kegiatan Orang Pribadi.
Dalam aturan baru tersebut, yang berkewajiban melakukan
Pemotongan PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 adalah pemberi kerja,
bendahara atau pemegang kas pemerintah, yang membayarkan gaji, upah
dan sejenisnya dalam bentuk apapun sepanjang berkaitan dengan
pekerjaan atau jabatan, jasa, dan kegiatan; dana pensiun, badan
penyelenggara jaminan sosial tenaga kerja, dan badan-badan lain yang
membayar uang pensiun secara berkala dan tunjangan hari tua atau
jaminan hari tua; orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau
pekerjaan bebas serta badan yang membayar honorarium, komisi atau
pembayaran lain dengan kondisi tertentu dan penyelenggara kegiatan,
termasuk badan pemerintah, organisasi yang bersifat nasional dan
internasional, perkumpulan, orang pribadi serta lembaga lainnya yang
menyelenggarakan kegiatan, yang membayar honorarium, hadiah, atau
penghargaan dalam bentuk apapun kepada Wajib Pajak orang pribadi
berkenaan dengan suatu kegiatan.
Penghitungan PPh Pasal 21 menurut aturan yang baru tersebut,
dibedakan menjadi 6 macam, yaitu : PPh Pasal 21 untuk Pegawai tetap dan
penerima pensiun berkala; PPh pasal 21 untuk pegawai  tidak tetap atau
tenaga kerja lepas; PPh pasal 21 bagi anggota dewan pengawas atau dewan
komisaris yang tidak merangkap sebagai pegawai tetap, penerima imbalan
lain yang bersifat tidak teratur, dan peserta program pensiun yang masih
berstatus sebagai pegawai yang menarik dana pensiun.  Di kesempatan ini
akan dipaparkan tentang contoh perhitungan PPh pasal 21 untuk Pegawai
Tetap dan Penerima Pensiun Berkala.
Penghitungan PPh Pasal 21 untuk pegawai tetap dan penerima
pensiun berkala dibedakan menjadi 2 (dua): Penghitungan PPh Pasal 21
masa atau bulanan yang rutin dilakukan setiap bulan dan Penghitungan
kembali yang dilakukan setiap masa pajak Desember (atau masa pajak
dimana pegawai berhenti bekerja).
Berikut disampaikan contoh sebagai mana tercantum dalam
peraturan tersebut: Budi Karyanto pegawai pada perusahaan PT Candra
Kirana, menikah tanpa anak, memperoleh gaji sebulan Rp3.000.000,00.
PT Candra Kirana mengikuti program Jamsostek, premi Jaminan
Kecelakaan Kerja dan premi Jaminan Kematian dibayar oleh pemberi
kerja dengan jumlah masing-masing 0,50% dan 0,30% dari gaji. PT
Candra Kirana menanggung iuran Jaminan Hari Tua setiap bulan sebesar
3,70% dari gaji sedangkan Budi Karyanto membayar iuran Jaminan Hari
Tua sebesar 2,00% dari gaji setiap bulan. Disamping itu PT Candra Kirana
juga mengikuti program pensiun untuk pegawainya. PT Candra Kirana
membayar iuran pensiun untuk Budi Karyanto ke dana pensiun, yang
pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan, setiap bulan sebesar
Rp100.000,00, sedangkan Budi Karyanto membayar iuran pensiun sebesar
Rp50.000,00. Pada bulan Juli 2013 Budi Karyanto hanya menerima
pembayaran berupa gaji.  Penghitungan PPh Pasal 21 bulan Juli 2013
adalah sebagai berikut:
3.000.
Gaji  
000,00
Premi Jaminan Kecelakaan 15.000
 
Kerja     ,00
9.000,
Premi Jaminan Kematian  
00
3.024.
Penghasilan bruto  
000,00
Pengurangan    
1. Biaya jabatan    
151.20
5%x3.024.000,00  
0,00
50.000
2. Iuran Pensiun  
,00
60.000
3. Iuran Jaminan Hari Tua  
,00
261.20
   
0,00
Penghasilan neto sebulan   2.762.
800,00
Penghasilan neto setahun    
33.153
12x2.762.800,00  
.600,00
PTKP    
24.300
- untuk WP sendiri  
.000,00
2.025.
- tambahan WP kawin  
000,00
26.325
   
.000,00
Penghasilan Kena Pajak 6.828.
 
setahun 600,00
6.828.
Pembulatan  
000,00
PPh terutang    
341.40
5%x6.828.000,00  
0,00
PPh Pasal 21 bulan Juli    
28.452
341.400,00 : 12  
,00

Catatan:
 Biaya Jabatan adalah biaya untuk mendapatkan, menagih dan
memelihara penghasilan yang dapat dikurangkan dari penghasilan
setiap orang yang bekerja sebagai pegawai tetap tanpa memandang
mempunyai jabatan ataupun tidak.
 Contoh di atas berlaku apabila pegawai yang bersangkutan sudah
memiliki NPWP. Dalam hal pegawai yang bersangkutan belum
memiliki NPWP, maka jumlah PPh Pasal 21 yang harus dipotong
pada bulan Juli adalah sebesar: 120% x Rp28.452,00=Rp
34.140,00
(http://www.pajak.go.id/content/article/cara-penghitungan-
pph-pasal-21-terbaru
DAFTAR PUSTAKA

1. Al. Haryono Jusup. Dasar-dasar Akuntansi Jilid 2 Edisi 7.  Yogyakarta :


Bagian Penerbitan Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi YKPN, 2011.
2. Kieso and Weagant, Buku Akuntansi Intermediate, , Yogyakarta:
Bhinarupa Akhsara, 1995. Diterjemahkan oleh : Gina Gania
3. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945/Perubahan
III
4. Keputusan Direktur Jendral Pajak Nomor KEP- 545/PJ./2000 mengenai
Petunjuk PelaksanaanPemotongan, Penyetoran dan Pelaporan Pajak
Penghasilan Pasal 21 dan / atau PajakPenghasilan Pasal 26 Sehubungan
Dengan Pekerjaan, Jasa, dan Kegiatan Orang Pribadisebagaimana telah
diubah dengan PER- 15/PJ/2006, PER- 31/PJ/2009, dan terakhir
diubahdengan PER- 57/PJ/2009.

Anda mungkin juga menyukai